Anda di halaman 1dari 69

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN RESILIENSI PADA

NARAPIDANA LAKI-LAKI KASUS NARKOTIKA PADA MASA


PANDEMI COVID-19 DI RUMAH TAHANAN JEPARA

OLEH
JESSICA ELFALIANDA SEPTHEN
802016167

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2022
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN RESILIENSI
PADA NARAPIDANA LAKI-LAKI KASUS NARKOTIKA
PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI RUMAH TAHANAN
JEPARA

Jessica Elfalianda Septhen


Sri Aryanti Kristianingsih

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2022
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial


dengan resiliensi pada narapidana laki-laki kasus narkotika pada masa pandemi
Covid-19 di Rumah Tahanan Jepara. Jumlah partisipan pada penelitian ini adalah
51 orang narapidana laki-laki dengan kasus narkotika pada masa Covid-19 dengan
pengambilan data yang diambil dengan teknik probability sampling jenis simple
random sampling. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional
dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Alat ukur yang digunakan adalah
Social Support Scale yang disusun oleh Rizkita dan Hasnida (2018), berdasarkan
teori dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan resiliensi
mrnggunakan The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) yang
dikembangkan oleh Connor dan Davidson. Hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan positif signifikan antara dukungan sosial dengan resiliensi narapidana
laki-laki kasus narkotika, dengan hasil r sebesar 0,647 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,000 (p<0,05) yang artinya semakin tinggi dukungan sosial maka akan
semakin tinggi resiliensi narapidana laki-laki dengan kasus narkotika pada masa
pandemi Covid-19. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang kuat dan searah
antara dukungan sosial dan resiliensi pada narapidana laki-laki kasus narkotika di
rumah tahanan Jepara. Implikasi hasil penelitian ini adalah penelitian ini dapat
membantu menjelaskan bahwa dukungan sosial yang sesuai untuk narapidana
dapat terus meningkatkan resiliensi pada narapidana selama menjalani masa
pidananya di masa pandemi.
Kata kunci: dukungan sosial, resiliensi, pengguna narkotika,

narapidana laki-laki.

i
ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between social support and
resilience in male prisoners of narcotics cases during the Covid-19 pandemic at
the Jepara Detention Center. The number of participants in this study were 51
male inmates with narcotics cases during the Covid-19 period. Data were taken
using a simple random sampling type of probability sampling technique. This
research is a correlational quantitative research using Spearman Rank
Correlation. The measuring instrument used is the Social Support Scale compiled
by Rizkita and Hasnida, based on the social support theory proposed by Sarafino
and resilience using The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC)
developed by Connor and Davidson. The results showed that there was a
significant positive relationship between social support and the resilience of male
prisoners in narcotics cases, with a result of r of 0.647 with a significance value
of 0.000 (p <0.05), which means that the higher social support, the higher the
resilience of male prisoners. men with narcotics cases during the Covid-19
pandemic. This study shows a strong and direct relationship between social
support and resilience in male prisoners of narcotics cases in the Jepara
detention house. The findings of this study have important implications for
understanding how effective social support for prisoners can continue to boost
their resilience even while they serve their sentences during a pandemic.
Keywords: social support, resilience, narcotics users, male prisoners.

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tahun 2019 silam, dunia mengalami suatu wabah bencana penyakit
COVID-19, yang pada mulanya muncul pertama kali di luar Indonesia yaitu di
Negara Tiongkok, Provinsi Hubei, Kota Wuhan. COVID-19 adalah virus baru
yang berasal dari satu keluarga yang sama dengan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) dan beberapa jenis flu biasa (Veska, 2020). COVID-19 mulai
dikenal masyarakat luas karena tingkat penyebarannya yang sangat tinggi dan
sampai menyentuh negara-negara lain termasuk tanah air Indonesia.

Dampak yang ditimbulkan penyakit COVID-19 tidak hanya mengarah pada


permasalahan kesehatan, tetapi juga mengarah pada seluruh aspek kehidupan
masyarakat baik di negara Indonesia maupun negara lain. Dampak lain dari wabah
penyakit tersebut juga memicu tingginya angka kejahatan tertentu (pencurian,
kasus narkoba, dan penipuan) sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan
kerja (PHK) pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama
masa pandemi COVID-19 di Indonesia membuat masyarakat nekat melakukan
kejahatan (Humas, 2020). Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas
Polri Brigjen Awi Setiyono, Polri mencatat kenaikan angka kriminalitas pada
minggu ke-28, atau pekan lalu, jika dibandingkan pada pekan sebelumnya sebesar
10,37 persen. Kasus narkoba dan pencurian dengan pemberatan (curat) jadi yang
terbanyak (Kejahatan Naik Di Pekan Kedua New Normal, Narkoba Tertinggi,
2020).

Di Indonesia tercatat beberapa provinsi yang mengalami peningkatan kasus


kejahatan kriminal selama pandemic termasuk salah satunya kasus narkotika.
Salah satunya yaitu Provinsi Jawa Tengah menempati rangking ke 4 daerah
dengan jumlah penyalahgunaan narkoba terbanyak (Utama, 2020). Salah satu kota
di Jawa Tengah yang terdampak dari meningkatnya kasus narkotika selama
pandemic Covid-19 yaitu Kota Jepara. Badan Narkotika Nasional Provinsi

1
2

(BNNP) Jawa Tengah, menyebutkan Kabupaten Jepara sebagai pusat peredaran


narkotika di Jateng (Shani, 2021).

Individu menyalahgunakan narkotika untuk kepentingan pribadi dan


merugikan orang lain dengan memperdagangkan atau mengedarkannya
merupakan suatu bentuk kejahatan yang harus segera ditangani dan tidak lepas
dari jeratan hukum. Keberadaan Undang-Undang Narkotika yakni Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu upaya politik
hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika.
Jika melanggar, pelaku penyalahgunaan narkotika akan dijerat Pasal 112 ayat (1)
Subsider Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika paling singkat empat tahun dan paling lama 12
tahun penjara. Seorang individu yang dinyatakan bersalah atas penyalahgunaan
narkoba dan dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan harus dikeluarkan dari
lingkungan normalnya dan akan dilakukan begitu masa pidananya selesai.
Individu ini dikenal sebagai narapidana dalam konteks narkoba (Umar, 2020)

Seseorang yang telah menyandang status sebagai narapidana akan


menemukan masalah baru di kehidupan penjara. Penderitaan ditandai oleh lima
masalah mendasar. Kelima masalah tersebut adalah sebagai berikut: kehilangan
otonomi atau keterampilan merawat diri, kehilangan hubungan heteroseksual,
kehilangan kebutuhan akan pelayanan, kehilangan kebebasan atau kemandirian,
dan kehilangan keinginan untuk merasa aman (Mayangsari, 2020)

Ketika seseorang masuk penjara, bukan hanya penyiksaan fisik saja yang
dialami, namun juga penyiksaan secara mental yang berujung pada gangguan
psikologis. Secara umum, efek hukuman penjara seumur hidup merugikan
kesehatan mental seseorang (Riza & Herdiana, 2013).

Banyaknya vonis yang diterima merupakan stressor yang paling banyak


dialami oleh narapidana. Narapidana jangka panjang sering mengalami tingkat
stres yang tinggi. Masalah utama yang dihadapi narapidana adalah perasaan
penolakan dan larangan bertemu keluarga. Jika masalah ini tidak segera
diselesaikan, maka akan meningkatkan tingkat stres dan meningkatkan risiko
bunuh diri (Siswati & Abdurrohim, 2011). Bisa dibayangkan kondisi psikologis
3

para napi di lapas atau rutan, di mana mereka terkurung dan tidak mampu
beradaptasi dengan lingkungannya karena keluarga yang seharusnya ada untuk
mendukung mereka tidak berinteraksi dengan mereka (Riza & Herdiana, 2013).

Dalam menghadapi berbagai perubahan kondisi dan tantangan baru bagi


narapidana kasus narkotika diperlukan suatu kemampuan agar dapat bertahan dan
mampu melalui situasi-situasi sulit tersebut. Kemampuan yang dimaksud adalah
resiliensi. Resiliensi individu adalah kapasitas mereka untuk mengatasi keadaan
yang sulit atau menyakitkan (Connor & Davidson, 2003). Dapat dikatakan bahwa
narapidana yang mampu bertahan dalam keadaan yang penuh tantangan selama
dipenjara, menjaga motivasinya, dan berpikir positif untuk maju memiliki
kemampuan resiliensi yang tinggi dan dapat membantu dirinya sendiri dalam
menyelesaikan masalah apapun.

Selain itu, Schoon (2006) menyebutkan faktor risiko (risk factor) dan faktor
protektif (protective factor) keduanya berdampak pada resiliensi. Orang dewasa
menjalani kehidupan yang mengandung faktor risiko dan sumber perlindungan. Di
antaranya termasuk kehidupan pernikahan, karir, spiritual, fisik, dan kehidupan
sosial. Jika proses kehidupannya positif maka akan menjadi faktor pelindung, dan
jika kurang baik selama perjalanan hidup maka akan menjadi faktor resiko yang
dapat menyebabkan seseorang mengalami stres dan gangguan psikologis lainnya.
Resiliensi pada awalnya dianggap sebagai sifat yang dibawa sejak lahir. Resiliensi
adalah hasil dari kombinasi antara alam (nature) dan pengasuhan (nurture),
dibantu oleh hubungan yang mendukung, bukan sifat yang melekat. Interaksi
dengan keluarga akan membantu dalam mengembangkan hubungan yang
berkelanjutan ini. Pengalaman keluarga dapat mengarah pada kemungkinan baru
yang dapat menjadi momen penting bagi narapidana (Rutter, 2006). Hal ini
didukung dengan hasil penelitian Tunliu et al. (2019) yang menyatakan bahwa
terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara dukungan sosial keluarga dan
resiliensi pada narapidana. Begitu juga dengan penelitian Hafidah & Margaretha
(2020) yang menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi
klien pemasyarakatan adalah faktor yang berada pada lapisan mikrosistem, yakni
faktor dukungan sosial.
4

Orang yang menerima dukungan sosial dari orang atau kelompok lain
mungkin menganggapnya menghibur, baik hati, menghargai, atau membantu.
Selama pandemi, menawarkan dukungan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan
dan ketahanan masyarakat terhadap kesulitan (Sarafino & Smith, 2011). Individu
dapat menemukan solusi yang efektif untuk kesulitan, merasa dihormati dan
dicintai, yang akan meningkatkan kepercayaan diri mereka dan memungkinkan
mereka menjalani kehidupan yang lebih baik. Dukungan yang tepat justru akan
membantu wbp memenuhi kebutuhannya saat menghadapi kondisi yang dianggap
menantang. Namun, tidak mungkin orang dapat mengurangi stres, jika mereka
tidak memandang bantuan sebagai bentuk dukungan dan dukungan yang mereka
terima tidak sesuai (Sarafino & Smith, 2011). Dukungan sosial sangat penting
bagi narapidana dengan tingkat resiliensi yang buruk karena dapat meningkatkan
kesehatan mental dan membantu orang tumbuh sebagai manusia yang lebih baik
dan merasa dicintai.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya terdapat hubungan yang positif


antara resiliensi dan dukungan sosial pada narapidana, di antaranya yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Tunliu et al. (2019) dan Ediati (2016) namun
terdapat perbedaan pada tempat penelitian yang diteliti dan kasus kriminal yang
tidak khusus.

Selain kedua penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Harier


Muiz & Sulistyarini (2015) juga meneliti variabel resiliensi tetapi sebagai hasil
dari efektivitas terapi dukungan kelompok pada remaja lapas yang menghasilkan
fakta bahwa terapi dukungan kelompok secara efektif dapat meningkatkan
resiliensi remaja di Lapas. Penelitian tersebut salah satu yang ikut mendukung
penelitian ini dalam menggunakan variabel dukungan sosial untuk meningkatkan
resiliensi pada narapidana meskipun bukan usia dewasa.

Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Hafidah & Margaretha


(2020), mereka meneliti tentang faktor risiko yang diteliti dalam resiliensi pada
klien pemasyarakatan adalah faktor riwayat penyalahgunaan zat dan obat dan
lingkungan sosial yang buruk, sedangkan faktor protektif yang diteliti dalam
penelitian tersebut ialah faktor dukungan sosial dan program reintegrasi sosial
5

yang didapatkan oleh klien pemasyarakatan melalui perspektif teori bioekologi


Bronfenbrenner. Dengan demikian dari hasil penelitian tersebut semakin
mendorong peneliti untuk meneliti dukungan sosial dan resiliensi pada narapidana
kasus narkotika dengan menggunakan pendekatan teori yang berbeda yaitu teori
Sarafino dan Connor-Davidson. Pada penelitian lain yang meneliti hubungan
dukungan sosial dan resiliensi pada narapidana dengan kasus tertentu masih
jarang ditemukan, oleh karena itu peneliti memilih kasus narkotika sebagai
sebagai kasus yang paling menonjol di antara kasus kriminal lain.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “apakah ada hubungan antara dukungan sosial anggota
keluarga dan resiliensi pada narapidana laki-laki kasus narkotika di masa
pandemic Covid-19?”

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan
sosial dan resiliensi pada narapidana laki-laki kasus narkotika di masa pandemic
Covid-19.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan pengetahuan tentang hubungan antara dukungan sosial dan
resiliensi pada narapidana laki-laki kasus narkotika dalam pengembangan ilmu
psikologi, yaitu psikologi kriminologi, psikologi sosial, psikologi komunikasi,
psikologi kepribadian, psikologi konseling dan psikologi keluarga.

b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi beberapa
pihak yang terlibat dalam kasus ini.
6

1) Bagi narapidana laki-laki dengan kasus narkotika.


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam mengerti
manfaat dukungan sosial keluarga dan resiliensi bagi narapidana yang
bersangkutan.

2) Bagi keluarga dari narapidana kasus narkotika.


Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memaksimalkan kembali
usaha dalam memberikan dukungan dan pengaruh yang positif pada narapidana
agar mampu meminimalisir hambatan dalam pembentukan resiliensi pada
narapidana dengan baik.

3) Bagi Lembaga Kemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan dan beberapa instansi


yang terlibat (misalnya, BNN) dalam pembinaan narapidana.
Lembaga Kemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan dan beberapa instansi
yang terlibat (misalnya, BNN) dalam pembinaan narapidana yang akan
memberikan metode pembinaan agar sesuai dengan kondisi psikologis yang
dihadapi oleh para narapidana laki-laki kasus narkotika untuk menghindari
treatment maupun kegiatan yang dapat memicu permasalahan dalam
pembentukan resiliensi bagi narapidana kasus narkotika yang terlibat.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Resiliensi

Luthar et al. (2000) mendefinisikan resiliensi sebagai proses dinamis yang


mencakup adaptasi positif dalam konteks kesulitan yang signifikan. Menurut
Roberts & Masten (2004), Resiliensi mengacu pada pola adaptasi positif dalam
konteks kesulitan masa lalu atau sekarang, yang merupakan salah satu kelas
adaptif fenomena yang diamati dalam kehidupan manusia.. Selain itu, resiliensi
didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk pulih dari
peristiwa kehidupan yang menyedihkan dan menantang dengan peningkatan
pengetahuan untuk secara adaptif mengatasi situasi buruk serupa di masa depan
(Keye & Pidgeon, 2013).

Selanjutnya Rojas F. (2015) menyatakan resiliensi adalah kapasitas untuk


menang atas kesulitan. Faktanya, resiliensi terbukti ketika seseorang dapat
menghadapi atau beradaptasi dengan keadaan yang menantang. Kemampuan
seseorang, kelompok, atau komunitas untuk mencegah, mengurangi, atau
mengatasi dampak negatif dari kesulitan dikenal sebagai resiliensi (Grotberg,
1995). Menurut Connor & Davidson (2003) resiliensi didefinisikan sebagai
kualitas personal seseorang yang memungkinkan untuk berkembang dalam
menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Selanjutnya Siebert (2002) menjelaskan
resiliensi adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan hidup secara efektif
pada tingkat tinggi, menjaga kesehatan di bawah tekanan, mengatasi kesulitan,
mengubah cara hidup seseorang ketika yang sebelumnya tidak lagi sesuai dengan
keadaan, dan menghadapi masalah tanpa menggunakan kekerasan..

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan konsep teori (Connor &


Davidson, 2003) yaitu resiliensi didefinisikan sebagai kualitas personal seseorang
yang memungkinkan untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan dalam
hidupnya karena subjek pada penelitian ini berada pada kondisi yang cukup sulit
sehingga memicu efek negatif yang ditimbulkan dari keadaan tersebut (menjadi
8

narapidana di masa pandemi) yaitu permasalahan psikologis seperti kecemasan,


depresi dan stres. Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan Connor &
Davidson (2003) yang membahas karakteristik resiliensi sebagai penanganan
untuk mengatasi kecemasan, stres dan depresi. Selain itu, individu yang resilien
memiliki beberapa karakteristik personal, seperti memiliki regulasi emosi yang
baik, daya tahan terhadap stres, fleksibel dan mampu menerima perubahan,
memiliki hubungan yang lekat dengan orang lain, dan memiliki kontrol diri
(Connor & Davidson, 2003).

1. Aspek-aspek Resiliensi

Reivich, K., & Shatté (2002) juga memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut:

a. Emotion Regulation

Emotion regulation adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi


yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki
kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan
menjaga hubungan dengan orang lain.

b. Impulse Control

Impulse control adalah kemampuan individu untuk mengendalikan


keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu yang memiliki kemampuan impulse control yang rendah, cepat
mengalami perubahan emosi yang ini dipilih karena untuk melihat kedalaman
pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka.

c. Optimism

Optimism adalah ketika individu melihat bahwa masa depan individu


cemerlang. Optimism yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa
individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan.
9

d. Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk


mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama.

e. Empathy

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca


tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Seseorang yang
memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif.

f. Self Efficacy

Self efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu


memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Kepercayaan
akan kompetensi membantu individu untuk tetap berusaha, dalam situasi yang
penuh tantangan dan mempengaruhi kemampuan untuk mempertahankan harapan.

g. Reaching Out

Reaching out merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari


kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.

Aspek resiliensi yang dikemukakan oleh Connor & Davidson (2003), yaitu:

a. Personal competence, high standards, and tenacity (kemampuan pribadi,


standar yang tinggi, dan kegigihan).

Merupakan kemampuan individu dalam menentukan standar tujuan dan


kesediaan melakukan hal yang diperlukan untuk mencapai standar tersebut.
Kompetensi ini menggambarkan sikap individu yang akan teguh untuk mencapai
tujuan walaupun berada dalam kondisi yang menekan.
10

h. Trust in one’s instincts, tolerance of negative affect, and strengthening effects


of stress (kepercayaan diri, toleransi terhadap pengaruh negatif, dan kekuatan
menghadapi stress).

Artinya individu mempercayai perasaan dan insting yang dirasakannya.


Kepercayaan ini akan diikuti dengan adanya daya tahan terhadap emosi negatif
sehingga mampu menghadapi stres dengan baik.

i. Positive acceptance of change, and secure relationship (penerimaan positif


terhadap perubahan dan kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang
lain).

Aspek ini menggambarkan kemampuan berespon secara positif dalam


menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, menyesuaikan diri dengan cepat
terhadap perubahan, dan kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan orang
lain.

j. Control (kontrol).

Aspek ini berkaitan dengan kemampuan mengelola perasaan dan mengatur


perilaku ketika menghadapi masalah dan situasi yang menekan.

k. Spiritual influences (pengaruh spiritual).

Merupakan kepercayaan seseorang akan adanya Tuhan dan kemampuan


menarik makna dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Dari kedua aspek tersebut, peneliti memilih menggunakan aspek dari teori
Connor & Davidson (2003) karena disesuaikan dengan kondisi narapidana dan
diketahui bahwa beberapa penelitian yang meneliti kasus narapidana lebih
dominan menggunakan aspek dari Connor dan Davidson.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Resiliensi

Wu et al., (2013) menyatakan ada lima faktor yang memengaruhi resiliensi


seseorang, di antaranya: pertama, faktor genetik, meliputi NPY (Neuropeptide Y),
sistem noradrenergik dan dopaminergik, sistem serotonergik, dan sebagainya.
Kedua, faktor epigenetik. Epigenetik berkaitan dengan interaksi dengan paparan
11

risiko dan respons stres yang ditimbulkan. Ketiga, faktor perkembangan.


Lingkungan selama perkembangan seseorang dapat memengaruhi perkembangan
respons stres ketika menghadapi tantangan. Keempat, faktor psikologis yang
meliputi karakteristik dan perilaku individu seperti regulasi diri, optimisme,
humor, perilaku pro sosial, dan sebagainya. Kelima, faktor neurochemical.
Neurochemical berfungsi untuk menghasilkan efek pengaturan pada adaptasi
terhadap stres yang mampu bertahan lama.

Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi resiliensi. Everall et al.


(2006) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu:

a. Faktor individual

Faktor individual yang mempengaruhi resiliensi meliputi kemampuan


kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki
individu. Menurut Holaday & McPhearson (1997) keterampilan kognitif
berpengaruh penting pada resiliensi individu. Melalui kemampuan kognitif
individu dapat berpikir bahwa sebab terjadinya bencana bukan hanya karena
kelalaian namun juga atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu juga
akibatnya, individu akan berpikir untuk tidak menyesali apa yang terjadi dan
berusaha memaknainya serta berusaha menumbuh kembangkan semangat dan
optimalisasi kemampuan berpikir untuk menjadi pulih seperti sedia kala.

Untuk kembali pulih diperlukan tingkat inteligensi minimal, yaitu pada


tingkat rata-rata. Pada diri individu untuk berkembangnya resiliensi sangat terkait
erat dengan kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu lewat
bahasa yang tepat, melalui kemampuan membaca, dan berkomunikasi secara
nonverbal.

Resiliensi juga dikaitkan dengan kemampuan individu untuk melepaskan


pikiran dari trauma dengan memanfaatkan fantasi dan harapan-harapan yang
ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian diyakini
bahwa individu yang memiliki intelegensi yang tinggi memiliki resilien yang
lebih tinggi juga dibandingkan dengan individu yang berintelegensi rendah.
12

b. Faktor Keluarga

Faktor keluarga meliputi dukungan orang tua, yaitu bagaimana cara orang
tua memperlakukan dan melayani anak. Keterkaitan emosional dan batin antara
anggota keluarga sangat diperlukan dalam mendukung pemulihan individu-
individu yang mengalami stres dan trauma. Keterikatan para anggota keluarga
amat berpengaruh dalam pemberian dukungan terhadap anggota keluarga yang
mengalami musibah untuk dapat pulih dan memandang kejadian tersebut secara
objektif.

Begitu juga dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan resiliensi.


Selain dukungan dari orang tua, struktur keluarga juga berperan penting bagi
individu. Struktur keluarga yang lengkap terdiri dari ayah, ibu dan anak akan
mudah menumbuhkan resiliensi dan sebaliknya keluarganya yang tidak utuh dapat
menghambat tumbuh kembang resiliensi.

c. Faktor Komunitas

Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja.


Lafromboise et al., (2006) menambahkan dua hal terkait dengan faktor komunitas,
yaitu:

1) Gender

Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi individu. Resiko kerentanan


terhadap tekanan emosional, perlindungan terhadap situasi yang mengandung
resiko, dan stimulus terhadap kesulitan yang dihadapi dipengaruhi oleh gender.

2) Keterikatan dengan kebudayaan.

Keterikatan dengan budaya meliputi keterlibatan seseorang dalam aktivitas-


aktivitas terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan terhadap nilai-nilai yang
diyakini dalam kebudayaan tersebut. Beuf (dalam Holaday & McPhearson, 1997)
mengungkapkan bahwa resiliensi dipengaruhi secara kuat oleh kebudayaan, baik
sikap-sikap yang diyakini dalam suatu budaya, nilai-nilai dan standar kebaikan
dalam suatu masyarakat.
13

Pada kedua faktor yang telah dipaparkan di atas, dukungan sosial yang
dipilih bagi narapidana yaitu menurut Everall et al. yaitu karena terdapat faktor
keluarga, salah satu faktor yang sangat mempengaruhi resiliensi pada narapidana
yang bersangkutan.

B. Definisi Dukungan Sosial

Menurut Gunuc & Dogan (2013), dukungan sosial adalah kebutuhan


mendasar bagi individu untuk melanjutkan hubungan sosial, mengatasi kesepian,
beradaptasi dengan masyarakat, dan mempertahankan keadaan psikologis yang
stabil. Selain itu, King (2017) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah
informasi atau umpan balik dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang
dicintai dan diperhatikan, dihargai, dan dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan
komunikasi dan kewajiban yang timbal balik. Sedangkan menurut Sarafino (2006)
dukungan sosial yaitu, merupakan bentuk kepedulian, kenyamanan, penghargaan
yang diterima dari orang lain terhadap individu lainnya.

Berdasarkan definisi beberapa ahli di atas, peneliti menggunakan konsep


teori yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) yaitu dukungan sosial yaitu,
merupakan bentuk kepedulian, kenyamanan, penghargaan yang diterima dari
orang lain terhadap individu lainnya, karena pada beberapa penelitian sebelumnya
yang meneliti dukungan sosial pada subjek narapidana menggunakan teori ini dan
oleh sebab itu teori ini lebih dapat dipercaya pada konteks yang dipilih dan
disesuaikan dengan alat ukur yang telah dipilih. Penelitian sebelumnya oleh
Khalif & Abdurrohim (2020), Setyo (2018), Rahmi (2020), dan Jumaitina (2017)
dengan subjek yang sama yaitu narapidana dan menggunakan teori dari Sarafino.

1. Aspek-aspek Dukungan Sosial

Cutrona & Russell (1987)) menyebutkan ada enam aspek dari dukungan
sosial yaitu:
14

a. Guidance yaitu nasihat atau informasi yang didapatkan individu dari orang
lain.
b. Reliable alliance yaitu adanya jaminan bahwa individu memiliki orang yang
bisa diandalkan dalam memberikan dukungan, biasanya didapatkan dari
keluarga.
c. Reassurance of worth yaitu adanya pengakuan dari orang lain bahwa individu
berharga serta berkompeten.

d. Opportunity of nurturance yaitu adanya perasaan bahwa seseorang


mempercayakan sesuatu kepada individu yang berhubungan dengan skema
konseptualnya.

e. Attachment yaitu adanya kedekatan emosional dari seseorang yang


memberikan rasa aman.
f. Social integration yaitu rasa memiliki suatu kelompok yang memiliki kesamaan
minat, aktivitas dan perhatian.

Selain itu, House (1988) membedakan empat aspek dukungan sosial yaitu:

a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian


terhadap orang yang bersangkutan.
g. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif
untuk orang lain, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain,
misalnya orang itu kurang mampu atau lebih buruk keadaannya.

h. Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, misalnya orang


memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong
dengan memberi pekerjaan pada orang yang tidak punya pekerjaan.

i. Dukungan Informatif, mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan


informasi serta petunjuk.

Menurut Sarafino (2006) aspek-aspek dalam dukungan sosial yaitu:


15

a. Emotional or esteem support (dukungan emosional)

Dukungan emosional dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun


kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.

j. Tangible or instrumental support (dukungan jasa)

Dukungan ini dapat berupa bantuan jasa atau uang bisa juga berupa bantuan
dalam pekerjaan sehari-hari.

k. Informational support (informasi)

Dukungan berupa nasihat, pengarahan, umpan balik atau nasihat mengenai


apa yang dilakukan individu yang bersangkutan.

l. Companionship support (kebersamaan)

Dukungan yang berupa adanya kebersamaan, kesediaan dan aktivitas sosial


yang dilakukan orang lain bersama individu.

Dari pendapat ketiga para ahli di atas, peneliti memilih aspek yang
dikemukakan oleh Sarafino (2006) yang terdiri dari dukungan emosional,
dukungan jasa, dukungan informasi, dan dukungan kebersamaan. Bagian tersebut
dipilih karena sesuai dengan alat ukur yang telah dipilih oleh peneliti dalam
menganalisis dukungan sosial keluarga pada narapidana.

2. Dampak Dukungan Sosial

Menurut Bull (dalam Raisa & Ediati, 2016) dukungan sosial pada
narapidana dapat mengurangi dampak psikologis dari proses penahanan, misalnya
mengurangi dampak stres dan kesepian, serta menghindari dari tindakan
menyakiti diri atau bunuh diri.

Dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis


kepada individu, hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial
mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres. Stres yang tinggi dan
berlangsung dalam jangka panjang atau lama dapat memperburuk kondisi
kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi dengan adanya dukungan sosial
yang diterima individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal
16

ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan
individu (Baron & Byrne, 2004). Kondisi ini juga dijelaskan oleh Sarafino &
Smith (2011) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau
mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi
potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan.

Berdasarkan ketiga teori di atas, peneliti menyimpulkan bahwa dukungan


sosial dapat memberikan dampak yang baik bagi kesehatan individu baik secara
psikologis maupun secara fisik.

C. Hubungan antara Dukungan Sosial dan Resiliensi pada Narapidana Laki-laki


Kasus Narkotika

Tindak kejahatan yang dilakukan oleh narapidana menjadi bukti akan


rendahnya kemampuan resiliensi dalam menghadapi kondisi hidup yang sulit
(Afra et al., 2017). Hal tersebut tergambar pada karakteristik yang dijelaskan oleh
Connor & Davidson (2003), mengenai kompetensi personal, standar yang tinggi,
dan kegigihan. Seseorang yang resilien akan selalu memberikan usaha terbaiknya
untuk mendapatkan tujuannya. Ia juga tidak akan mudah putus asa, tidak mudah
menyerah dalam proses mendapatkan tujuannya. Selain itu faktor keluarga
berperan penting dalam menumbuhkan dan meningkatkan resiliensi pada individu
menurut Everall et al. (2006).

Selama pandemi Covid19 kunjungan keluarga pada narapidana dibatasi


karena muncul suatu kebijakan oleh pemerintah dalam mencegah penularan
Covid19. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan jajaran
Pemasyarakatan di tingkat unit utama, kantor wilayah serta Unit Pelaksana Teknis
(UPT) mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya pencegahan dan
penanggulagan Covid19 di antaranya yaitu pengecekan kepada seluruh pegawai
dan warga binaan pemasyarakatan (WBP) secara berkala (pengecekan kesehatan
melalui swab tes antigen maupun tes PCR), penundaan penerimaan tahanan baru,
penundaan kegiatan layanan kunjungan langsung yang diganti dengan video call,
serta pelaksanaan sidang melalui video conference, dan mengurangi kepadatan
penghuni Lapas/Rutan dengan program asimilasi dan integrasi (Biro Humas,
2021).
17

Sarafino (2006) mengungkapkan bahwa dukungan sosial merupakan bentuk


kepedulian, kenyamanan, penghargaan yang diterima dari orang lain terhadap
individu lainnya. Dukungan sosial sangat dibutuhkan narapidana pada saat seperti
ini meskipun keadaan berubah dengan adanya peraturan yang muncul seperti yang
telah dijelaskan di atas.

Rendahnya dukungan sosial dari keluarga akan membuat seseorang kurang


mampu mengelola emosinya, tetap tenang meski dalam situasi stres, berpikir
jernih dan akurat, kurang memiliki harapan dan kendali atas harapannya, tidak
mampu menganalisis masalah, kurang percaya diri dalam mengatasi masalah dan
kurang mampu mengatasi segala sesuatu yang mengancam sehingga
mengakibatkan rendahnya resiliensi individu. (Ariyati, 2018). Serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ferguson et al., (2013) menunjukkan bahwa
hubungan antara resiliensi dalam individu dan keluarga dan hubungan potensial
dengan pencegahan kejahatan melalui penguatan hubungan keluarga dan
komunikasi keluarga yang ditingkatkan.

Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa hubungan kedua variabel


positif dan sangat signifikan, hal itu ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan
oleh Hu et al. (2018) bahwa resiliensi psikologis berhubungan positif dengan
dukungan subjektif, pemanfaatan dukungan, dan dukungan objektif. Penelitian
yang dilakukan oleh McCanlies et al. (2018) menunjukkan bahwa dukungan
sosial dikaitkan dengan resiliensi yang lebih tinggi dan dikaitan dengan lebih
sedikit gejala depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Laksmi & Kustanti (2017)
yaitu adanya hubungan signifikan dan positif antara dukungan sosial suami
dengan resiliensi istri yang mengalami involuntary childless. Selajutnya dalam
penelitian Raisa & Ediati (2016) menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif
dan signifikan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada narapidanan.
Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima semakin tinggi resiliensi pada
narapidana, begitu juga sebaliknya semakin rendah dukungan sosial pada
narapidana semakin rendah resiliensinya. Hal ini sejalan dengan teori Reivich &
18

Shatté (2002) bahwa faktor eksternal (faktor dari luar individu) resiliensi
mencakup struktur dan aturan rumah, role models, dan dukungan sosial yang
bersumber dari keluarga, komunitas serta lingkungan sekitar.

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan kedua variabel di atas, maka hipotesis yang peneliti
kembangkan yaitu adanya hubungan positif antara dukungan sosial dan resiliensi
pada narapidana laki-laki kasus narkotika. Dengan demikian memiliki arti yaitu
semakin tinggi dukungan sosial pada keluarga maka semakin tinggi pula resiliensi
pada narapidana tersebut. Atau sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial
keluarga maka semakin rendah pula resiliensi narapidana tersebut.
19

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diambil oleh peneliti tentang “Hubungan
dukungan sosial dengan resiliensi narapidana laki-laki kasus narkotika di masa
pandemi Covid-19”. Rancangan penelitian yang digunakan peneliti yaitu dengan
menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif memiliki
beberapa tipe berdasarkan sifat-sifat permasalahannya, dan jika dilihat dari
permasalahan yang diambil penelitian ini peneliti menggunakan metode analisis
korelasional.

B. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian


Menurut Sugiyono (2014) variabel penelitian terdiri dari dua variabel yang
utama yaitu variabel independen/bebas (X) dan dependen/terikat (Y). Dalam
penelitian ini terdapat dua variabel yang saling mempengaruhi yaitu:

1. Variabel bebas (X) : Dukungan sosial


2. Variabel terikat (Y) : Resiliensi
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Adapun definisi operasional dari beberapa variabel dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut:

1. Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan bentuk kepedulian, kenyamanan, penghargaan


yang diterima dari orang lain terhadap individu lainnya. Adapun aspek-aspek
yang mempengaruhi dukungan sosial menurut Sarafino (2006) yaitu dukungan
emosional, dukungan jasa, informasi dan kebersamaan. Diukur dengan skala yang
disusun oleh Milala & Rizkita (2018) berdasarkan teori dukungan sosial yang
dikemukakan oleh Sarafino (2006). Perolehan skor pada skala ini menunjukkan
tingkat dukungan sosial subjek. Jadi, semakin tinggi skor dukungan sosial
20

menunjukkan bahwa subjek memperoleh dukungan sosial yang tinggi dan begitu
sebaliknya.

2. Resiliensi

Resiliensi yaitu suatu kemampuan dalam diri individu dalam mengatasi


kesulitan yang dihadapi seiring mengembangkan kualitas yang ada dalam diri
individu tersebut untuk kemudian dapat kembali memenuhi tujuan dalam
hidupnya. Kemampuan individu ini dibentuk oleh 5 faktor menurut Connor &
Davidson (2003) yaitu kompetensi personal, standar yang tinggi dan kegigihan;
keyakinan terhadap insting, toleransi terhadap efek negatif, dan efek menguatkan
dari stress; penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan lekat dengan
orang lain; kontrol; dan pengaruh spiritual. Diukur dengan skala The Connor-
Davidson Resilience Scale (CD-RISC) yang dikembangkan oleh Connor &
Davidson (2003) Perolehan skor pada skala ini menunjukkan tingkat resiliensi
subjek. Jadi, semakin tinggi skor resiliensi menunjukkan bahwa subjek
memperoleh resiliensi yang tinggi dan begitu sebaliknya.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dan sampel merupakan dua bagian yang tidak dapat terpisahkan
dalam memenuhi syarat-syarat merancang sebuah penelitian. Populasi merupakan
titik fokus dimana peneliti dapat mengetahui besarnya sampel penelitian dan cara
pengambilan sampel yang tepat sehingga perlu dijelaskan karakteristik populasi
tersebut.

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu laki-laki yang menjadi
narapidana kasus narkotika di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Jepara yang
berjumlah 341 orang pada tanggal 19 Oktober 2021 per bulannya. Dalam
pengambilan sampel, peneliti menggunakan teknik probability sampling jenis
simple random sampling. Teknik probability sampling merupakan teknik
sampling yang memberikan peluang yang sama bagi seluruh anggota populasi
untuk dipilih menjadi anggota sampel. Menurut Arikunto (2002), pengambilan
sampel apabila kurang dari 100 populasi maka di ambil semua, sehingga
penelitian merupakan penelitian populasi, namun jika jumlah subjeknya lebih dari
21

100 maka dapat di ambil 10 – 15% dari populasi. Dalam penelitian ini sampel
yang di gunakan adalah sebanyak 51 responden, yang di ambil dari 15% dari
jumlah populasi narapidana laki-laki yang ada di Rutan Jepara.

E. Metode Pengumpulan Data


Dalam metode pengumpulan data penelitian terdapat beberapa jenis teknik
pengumpulan data yaitu penelitian lapangan (wawancara, observasi dan
kuesioner) dengan tujuan mendapatkan data primer. Namun, dalam metode
pengumpulan data penelitian ini peneliti memilih menggunakan teknik kuesioner
berupa skala. Menurut Sugiyono (2018) Kuesioner merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.

Sedangkan Skala menurut Arikunto (2006) diartikan sebagai sejumlah


pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden
dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui. Skala yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Menurut Sugiyono
(2014) skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam skala Likert,
terdapat pernyataan-pernyataan yang bersifat favorable dan unfavorable.
Pernyataan favorable merupakan pernyataan yang mendukung atau memihak pada
obyek variabel yang diteliti, sebaliknya pernyataan unfavorable tidak mendukung
atau memihak objek variabel yang diteliti. Untuk penjelasan arti masing-masing
skor pada pernyataan favorable, skor paling tinggi ditujukan pada jawaban sangat
setuju dan skor paling rendah ditujukan pada jawaban sangat tidak setuju.
Sedangkan skor pada pernyataan unfavorable, skor paling tinggi ditujukan pada
jawaban sangat tidak setuju dan skor paling rendah ditujukan pada jawaban sangat
setuju.

Skala likert dengan 4 (empat) pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju,
tidak setuju dan sangat tidak setuju. Menurut Sugiyono (2018), dalam angket
disediakan 4 (empat) alternatif jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS) dengan skor 4,
Setuju (S) dengan skor 3, Tidak Setuju (TS) dengan skor 2, Sangat Tidak Setuju
(STS) dengan skor 1.
22

Dalam penelitian ini terdapat 2 fenomena sosial yang secara spesifik


dijadikan sebagai sebuah variabel penelitian yang kemudian akan diukur dalam
bentuk kuesioner. Dengan skala Likert, maka variabel tersebut akan diukur dan
dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan
sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa
pernyataan atau pertanyaan.

Instrumen penelitian ini menggunakan 2 bentuk skala yang berbeda karena


mengukur 2 variabel yaitu variabel bebas (Dukungan sosial) dan variabel
tergantung (Resiliensi).

1. Skala Dukungan Sosial


Untuk mengukur variabel Dukungan sosial, alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu skala dukungan sosial yang disusun oleh Milala & Rizkita
(2018), berdasarkan teori dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino
(2006). Memiliki daya beda item yang bergerak dari .252 sampai .645 dengan
nilai cronbach alpha mencapai .927. Pada awalnya jumlah keseluruhan item 61
setelah diuji coba menjadi 24.

Skala ini diberi 4 (empat) alternatif jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS),
Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan dalam
skala ini terdiri dari pernyataan yang positif (favorable) dan negatif (unfavorable).
Dalam penelitian ini mengunakan 24 item. Blueprint skala variabel bebas dalam
penelitian ini diuraikan pada pada tabel 1.1 berikut:

Tabel 1. Blueprint Skala Dukungan Sosial (Setelah Uji Coba)

Bentuk Jenis Item


No. Dukungan Indikator Perilaku Jumlah
Fav Unfav
Sosial
1. Emotional or Menerima 2,4,6 1,3,5 6
Esteem Support kenyamanan,
perhatian, empati, rasa
peduli.
23

Bentuk Jenis Item


No. Dukungan Indikator Perilaku Jumlah
Fav Unfav
Sosial
2. Tangible Menerima bantuan 8,10,12 7,9,11 6
materiil berupa uang,
makanan, atau barang.
3. Informational Menerima saran, 14,16,18 13,15,17 6
masukan, dan nasehat.

4. Companionship Suatu bentuk 20,22,24 19,21,23 6


Support dukungan sosial yang
dapat memberikan
dukungan bagi
seseorang dalam usaha
untuk mengurangi
tekanan yang
dirasakan. Melibatkan
ketersediaan dan
aktivitas sosial yang
dilakukan bersama-
sama.
Jumlah 24

2. Skala Resiliensi

Untuk mengukur variabel resiliensi, alat ukur yang digunakan dalam


penelitian ini yaitu The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan yang peneliti dapatkan dari
penelitian Thambusey (2018). Skala ini dikembangkan langsung oleh Connor &
Davidson (2003) dan berisi 25 item. Alat ukur CD-RISC sudah terstandarisasi dan
memiliki validitas internal dan reliabilitas yang baik, yakni tingkat reliabilitas
sebesar 0,89 dan konsistensi internal dengan rentang nilai 0.30 – 0.70 (Connor &
Davidson, 2003).

Skala yang dikembangkan oleh Connor & Davidson (2003) ini dalam
masing-masing item berisi 4 alternatif pilihan jawaban yang telah disusun dalam
format skala Likert dan terdapat pernyataan dalam bentuk favorable dan
24

unfavorable. Masing-masing item mempunyai rentang skala likert antara 0 hingga


4. Skoring dari pilihan jawaban yaitu, 0 untuk tidak setuju, 1 untuk kurang setuju,
2 untuk agak setuju, 3 untuk setuju, dan 4 untuk sangat setuju. Nilai yang lebih
tinggi pada skala ini mencerminkan resiliensi yang lebih besar (Connor &
Davidson, 2003).

Tabel 2. Blueprint CD-RISC (Skala Resiliensi)

No. Aspek Resiliensi Indikator Nomor Jumlah


Item
1. Personal 2, 5, 5
Kemampuan untuk
competence, high mencapai tujuan dalam 16, 20,
standar, and tenacity situasi 25
apapun,
menunjukkan sikap tenang,
tidak mudah putus asa.
2. Trust in one’s Toleransi terhadap afek 3, 6, 9, 5
instinct, tolerance or negatif dan kuat/tegar 14, 22
negative effect, and dalam menghadapi
strengthening effects tekanan, mampu
of stress melakukan coping terhadap
stress, berpikir secara hati-
hati dan tetap fokus
sekalipun sedang dalam
menghadapi masalah.
3. Positive acceptance Kemampuan beradaptasi 1, 7, 8, 5
of change and secure terhadap perubahan, 17, 21
relationships with mampu menemukan tujuan
others dan makna dari
pengalaman tersebut serta
mengapresiasi pengalaman
yang telah didapatkan.
4. Control Adanya pengendalian diri 4, 5, 5
dalam mencapai tujuan dan 10, 13,
bagaimana meminta atau 24
mendapatkan bantuan dari
orang lain, memiliki
harapan dan menunjukkan
usaha serta kerja keras.
5. Spiritual influence Kepercayaan terhadap 11, 12, 5
Tuhan, memiliki keyakinan 18, 19,
yang kuat. 23

Total 25
25

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Uji Validitas

Validitas memiliki pengertian yang dijelaskan oleh Sugiyono (2018) sebagai


berikut. “Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat
digunakan untuk mengukur apa yang harus diukur.”

Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah alat ukur
yang digunakan dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Suatu tes atau
instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat
tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai,
dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data
tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki
validitas rendah (Azwar, 2007).

Dalam uji validitas ini digunakan validitas item, yaitu mengkorelasikan skor
tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah dari setiap skor butir. Jika ada
item yang tidak memnuhi syarat, maka item tersebut tidak akan diteliti lebih
lanjut. Syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut Sugiyono (2018) memiliki
kriteria sebagai berikut:

a. Jika koefisien korelasi r ≥ 0,30 maka item tersebut dinyatakan valid,

b. Jika koefisien korelasi r ≤ 0,30 maka item tersebut dinyatakan tidak valid.

Pada pengujian validitas ini, peneliti menggunakan teknik product moment


dari Karl Pearson. Product moment adalah teknik yang digunakan untuk mencari
hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y)
serta menentukan arah besarnya koefisien korelasi antar dua variabel tersebut.

2. Uji Reliabilitas

Pada uji reabilitas ini peneliti akan mengukur apakah alat ukur yang dipilih
dapat dikategorikan reliabel (andal) atau tidak. Disebut reliabel, jika alat ukur ini
dapat mengukur secara konsisten atau stabil meskipun pertanyaan tersebut
26

diajukan dalam waktu yang berbeda. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi
disebut juga sebagai pengukuran yang reliabel.

Uji reliabilitas ini hanya dapat dilakukan jika tiap butir pertanyaan atau
pernyataan sudah dinyatakan valid. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa jauh hasil pengukuran dikatakan konsisten meski dilakukan dua kali
pengukuran atau lebih pada gejala yang sama baik kondisi maupun subjek yang
sama secara berulang-berulang dengan menggunakan alat ukur yang sama.
Reliabilitas dinyatakan dengan koefisien reabilitas yang angkanya berada dalam
rentang 0 hingga 1,00. Semakin tinggi koefisien reabilitas mendekati angka 1,00
berarti semakin tinggi reabilitas (Azwar, 2007).

Dalam penelitian ini, untuk menguji reabilitas alat ukur peneliti memilih
menggunakan teknik pengukuran Alpha Cronbach dengan menggunakan fasilitas
SPSS versi 22. untuk jenis pengukuran interval. Suatu instrumen dikatakan
reliabel jika nilai cronbach Alpha lebih besar dari batasan yang ditentukan yakni
0,6 atau nilai korelasi hasil perhitungan lebih besar daripada nilai dalam tabel dan
dapat digunakan untuk penelitian,

3. Uji Daya Diskriminasi Item


Dalam pengembangan tes sebagai instrumen pengukuran untuk riset
psikologi dan pendidikan, seleksi item berdasarkan statistik daya diskriminasi item
merupakan salah satu tehnik guna meningkatkan reliabilitas skor tes. Hal
tersebut adalah penting terutama dalam pendekatan teori skor-murni klasik.
Salah-satu statistik daya diskriminasi item adalah koefisien korelasi antara skor
item dan skor total tes yang dikenal dengan nama korelasi item-total (riX) dan
koefisien r-point biserial (rpbis). Daya beda yang ideal diperoleh bila r pbis atau riX
mendekati angka 1,00. Pada umumnya daya beda dianggap memuaskan bila
mencapai angka 0,30 (Azwar, 2009). Proses ini dapat dilakukan dengan bantuan
software analisis data, salah satunya SPSS. Analisis ini dilakukan untuk melihat
apakah skala dukungan sosial dan resiliensi memiliki reliabilitas yang
memuaskan, serta tiap itemnya memiliki korelasi item-total yang baik.
27

G. Teknik Analisa Data

1. Analisis Regresi Linier Sederhana


Analisis regresi untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara variabel
independen (X) terhadap variabel dependen (Y) sehingga dapat ditaksir nilai dari
variabel dependen (Y) jika independen (X) dapat diketahui atau sebaliknya
dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

a = Intercept (Nilai rata-rata Y jika X tetap)


b = Koefisien regresi (menunjukkan nilai rata-rata pertambahan Y
jika X bertambah sebesar satuan 2)
X = Variable independen
Y = Variabel dependen

2. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi ini adalah satu bagian dari analisis regresi linier yang
digunakan untuk mengukur kemampuan variabel independen dalam menjelaskan
variabel dependen. Koefisien determinasi disimbolkan dengan R square, dalam
rumus:
28

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah Penelitian & Pengumpulan Data Penelitian


Penelitian yang dilakukan peneliti berlokasi di Rumah Tahanan Negara
Kelas IIB Jepara yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di
bidang Pemasyarakatan termasuk dalam wilayah kerja Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah. Bangunannya berdiri
pada tahun 1830 berlokasi di Jalan Ahmad Yani No. 4 Jepara. Dulu dikenal
sebagai Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Jepara, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04.PR-07.03 Tahun 1985
tanggal 20 September 1985, menjadi Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Jepara.
Terkait dengan topik penelitian yang diambil, Rumah Tahanan Negara Kelas IIB
Jepara mengalami peningkatan jumlah narapidana laki-laki dalam kasus narkotika
dari tahun ke tahun sehingga jumlahnya lebih dominan daripada kasus yang lain.
Penghuni Rumah Tahanan (Rutan) kelas IIB Kabupaten Jepara selama ini
didominasi narapidana maupun tahanan kasus narkotika (Hazami, 2016). Oleh
sebab itu, peneliti memilih lokasi ini sebagai target dalam topik penelitian yang
diambil dan belum ada penelitian terkait kasus ini yang mengambil topik ini di
Rutan Jepara.

Pada langkah-langkah pengambilan data, sebelum dilakukan pembagian


kuesioner, terlebih dahulu peneliti meminta bantuan kepala pelayanan tahanan
Rutan Jepara (Pak Benny) untuk memanggil beberapa orang dengan kriteria kasus
narkotika dan yang berusia dewasa (di atas 19 tahun) yang sudah ditentukan.
Dalam ruangan hanya ada 24 orang sekali pertemuan, dan kemudian dipanggil
lagi di pertemuan berikutnya untuk memenuhi jumlah 51 orang. Berikut ini adalah
bukti pengambilan data di Rutan Jepara yang dilakukan pada pukul 09.40 – 12.30
WIB pada 22-23 April 2022 di dalam ruang rapat Rutan Jepara.
29

Gambar 1. Pengambilan data di Rutan Jepara

Namun, terdapat beberapa kendala yang dihadapi peneliti pada saat


pengambilan data adalah responden ada yang tidak sungguh-sungguh dalam
mengerjakan sehingga peneliti harus memeriksa kembali satu persatu jawaban
responden yang memiliki 2 jawaban dalam 1 pernyataan, pernyataan yang belum
dijawab karena kurang teliti jadi terburu-buru saat mengumpulkan, ada juga
responden yang meminta pendapat temannya yang seharusnya sesuai keadaan
dirinya sehingga peneliti meminta untuk tidak bekerja sama dan harus jujur
dalam mengerjakan soal-soal kuesioner dan banyak dari responden tidak
membaca dengan teliti petunjuk dalam kuesioner sehingga bertanya kembali
pada peneliti.

B. Partisipan Penelitian
Penelitian ini melibatkan 51 responden, yang dimana penentuan jumlah
responden dihitung menggunakan teknik probability sampling menurut
Arikunto (2002) yaitu 51 responden, yang di ambil dari 15% dari jumlah populasi
narapidana laki-laki yang ada di Rutan Jepara yang berjumlah 341 orang.
Pengambilan data pada 51 orang narapidana laki-laki kasus narkotika bertempat
di ruangan rapat Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kabupaten Jepara. Jawaban
dari responden yang terpilih akan diuraikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi dan persentase yang didapatkan dengan rumus:

P = f/s x 100%
Keterangan:
P = Persentase
f = Frekuensi kelas
30

s = Jumlah sampel

C. Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan membahas mengenai hasil penelitian serta analisis dari
skripsi yang berjudul “hubungan dukungan sosial dengan resiliensi pada
narapidana laki-laki kasus narkotika pada masa pandemi Covid-19 di rumah
tahanan Jepara”. Variabel X dalam penelitian ini adalah dukungan sosial
sedangkan variabel Y dalam penelitian ini adalah resiliensi narapidana.

1. Hasil Statistik Deskriptif


Data responden memiliki peranan yang sangat penting dalam penelitian
karena data tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan karakteristik tertentu
dalam responden sebagai target dalam penelitian. Karakteristik tersebut antara
lain usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, masa pidana dan jenis peran
dalam kasus narkotika yang akan mempengaruhi hasil dalam penelitian. Hal ini
dipilih karena karakteristik tersebut masuk dalam kategori faktor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi pada individu baik melalui individu sendiri, faktor
keluarga dan komunitas (Ifdil & Taufik, 2012).

Selanjutnya, pada bagian ini juga akan dipaparkan data hasil tanggapan
responden yang bertujuan untuk memperjelas hasil pembahasan. Hasil data
penelitian di bawah ini diproses menggunakan SPSS versi 22.

a. Usia Responden
Butir usia responden ditujukan untuk mengetahui rentang usia responden
yang merupakan narapidana laki-laki kasus narkotika yang ada di rumah tahanan
Jepara.
31

Usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
21-40 tahun 39 76.5 76.5 76.5
40-60 tahun 11 21.6 21.6 98.0
60+ tahun 1 2.0 2.0 100.0
Total 51 100.0 100.0

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Usia Responden

Berdasarkan hasil tabel 3. dapat dilihat bahwa dalam penelitian sebagian besar
responden berusia 21-40 tahun dengan jumlah 39 orang dan persentase 76,5%,
sedangkan responden yang berusia 40-60 tahun berjumlah 11 orang dengan
presentase 21,6% dan sebagian lainnya berusia di atas 60 tahun yang berjumlah 1
orang dengan persentase 2,0%. Pembagian usia responden tersebut sudah
ditentukan berdasarkan usia perkembangan psikologi menurut Hurlock (1991).

Dengan demikian, hasil temuan usia responden pada penelitian ini sesuai
dengan target sasaran penelitian ini untuk dapat dilakukan proses lebih lanjut
yaitu usia responden antara 21 – 61 tahun.

b. Status Tingkat Pendidikan Responden


Gambaran mengenai distribusi Pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
SD 6 11.8 11.8 11.8
SMP 19 37.3 37.3 49.0
SMA 22 43.1 43.1 92.2
D3 4 7.8 7.8 100.0
Total 51 100.0 100.0

Berdasarkan hasil dari tabel 4, dapat dilihat bahwa penelitian ini sebagian
besar responden memiliki status tingkat pendidikan terakhir yaitu SMA/SMK
yang berjumlah 22 orang dengan presentase 43,1%, sedangkan sebagian kecil
32

responden memiliki status tingkat pendidikan terakhir yaitu D3 yang berjumlah 4


orang dengan presentase 7,8%, selain itu responden yang memiliki status status
tingkat pendidikan terakhir SD berjumlah 6 orang dengan presentase 11,8% dan
tertinggi kedua responden yang memiliki status Pendidikan terakhir SMP
berjumlah 19 orang dengan presentase 37,3%.

c. Status Perkawinan Responden


Pemaparan hasil status perkawinan seluruh responden dapat dilihat pada
tabel berikut ini.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Status Perkawinan Responden

Status_Perkawinan
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Belum menikah 15 29.4 29.4 29.4
Sudah menikah 30 58.8 58.8 88.2
Cerai hidup 5 9.8 9.8 98.0
Cerai mati 1 2.0 2.0 100.0
Total 51 100.0 100.0

Diketahui pada tabel 5. di atas, sebagian besar jumlah responden memiliki


status perkawinan sudah menikah yang berjumlah 30 orang dengan persentase
58,8%, pada responden yang berstatus belum menikah berjumlah 15 orang dengan
persentase 29,4%, sedangkan responden yang berstatus cerai hidup berjumlah 5
orang dengan persentase 9,8% dan responden yang berstatus cerai mati berjumlah
paling sedikit yaitu 1 orang dengan persentase 2,0%.

d. Masa Pidana Responden


Tabel 6. Distribusi Frekuensi Masa Pidana Responden

Masa_Pidana
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Lebih dari 4 tahun 42 82.4 82.4 82.4
Kurang dari atau sama dengan
8 15.7 15.7 98.0
4 tahun
Menunggu hasil vonis
1 2.0 2.0 100.0
banding
33

Total 51 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 6. di atas, dapat dijelaskan bahwa responden penelitian


sebagian besar menjalani masa pidana di atas 4 tahun yaitu sebanyak 42 orang
dengan presentase 82,4% sedangkan responden yang menjalani masa pidana di
bawah atau sama dengan 4 tahun berjumlah lebih sedikit yaitu sebanyak 8 orang
dengan presentase 15,7% dan hanya 1 orang yang belum tahu hasil masa pidana
dan sedang menunggu hasil vonis banding dari Mahkamah Agung dengan
presentase 2,0 %.
e. Status Kasus Responden
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Status Kasus Responden

Status_Kasus
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Pengguna 38 74.5 74.5 74.5
Pengedar 13 25.5 25.5 100.0
Total 51 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 7. di atas, dapat dijelaskan bahwa responden penelitian


sebagian besar merupakan pengguna narkotika yaitu sebanyak 38 orang dari 51
orang dengan persentase 74,5%, sedangkan responden yang berstatus pengedar
narkotika berjumlah lebih sedikit yaitu 13 orang dari 51 orang dengan persentase
25,5%.

f. Kategorisasi hasil pengukuran skala dukungan sosial dan resiliensi narapidana


narkotika.

Penelitian ini menganalisis masing-masing variabel dengan menggunakan


perhitungan pengkategorian. Data penelitian ini dibagi dalam 3 kategori yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Selain itu, peneliti menentukan nilai indeks minimum,
maksimum, mean dan nilai standar deviasi.
34

Tabel 8. Deskriptif Statistika

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Dukungan Sosial 51 51 68 60.67 4.559
Resiliensi 51 82 99 90.84 5.147
N (listwise) 51

Berdasarkan tabel 8. di atas, terlihat skor minimum yang diperoleh pada


skala dukungan sosial adalah 51 dan skor maksimumnya adalah 68, rata-ratanya
adalah 60,67 dengan standar deviasi 4,559. Sedangkan skala resiliensi paling
rendah adalah 82 dan skor yang paling tinggi adalah 99, rata-ratanya adalah 90,84
dengan standar deviasi 5,147.

Dengan demikian, maka kategorisasi hasil pengukuran skala dukungan


sosial dan resiliensi narapidana narkotika dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9. Kategorisasi Pengukuran Skala Dukungan Sosial dan Resiliensi


Narapidana

Skala No Interval Kategori Mean N Persentase


Dukungan 1 X ≥ 72 Tinggi 0%
0
Sosial 48 ≤ X < 72 Sedang 60 1 100%
2
3 X < 48 Rendah 0%
0
Jumlah 1 100%
SD= 12 Min= 24 Max= 96
Resiliensi 1 X ≥ 75 Tinggi 62,5 1 100%
2 50 ≤ X < 75 Sedang 0%
0
3 X < 50 Rendah 0%
0
Jumlah 1 100%
SD= Min= 25 Max= 100
12,5
Tabel di atas menjelaskan bahwa tidak ada orang yang memiliki skor
dukungan sosial yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 0%, 51 orang
memiliki skor dukungan sosial yang berada pada kategori sedang dengan
35

persentase 100% dan tidak ada orang yang memiliki skor dukungan sosial pada
kategori rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 60 dapat
dikatakan bahwa rata-rata dukungan sosial subjek berada pada kategori sedang.

Sedangkan untuk skala resiliensi, 51 orang memiliki skor resiliensi yang


berada pada kategori tinggi dengan persentase 100%, tidak ada orang memiliki
skor resiliensi yang berada pada kategori sedang dengan persentase 0%, dan tidak
ada orang yang memiliki skor resiliensi yang berada kategori rendah dengan
persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 62,5 dapat dikatakan bahwa rata-rata
resiliensi subjek berada pada kategori tinggi.

Sebelum hasil kategorisasi data penelitian muncul seperti tabel di atas,


peneliti mengikuti pedoman kategorisasi menurut Azwar (2012). Untuk
mengkategorikan hasil pengukuran menjadi tiga kategori, pedoman yang
digunakan adalah:
Rendah X < M – 1SD
Sedang M – 1SD < X < M + 1SD
Tinggi M + 1SD < X
Keterangan:

M = Mean

SD = standar deviasi

Setelah mendapatkan kriteria penentuan kategorisasi skala dukungan sosial,


maka selanjutnya tinggal mencocokkannya dengan data penelitian melalui sistem
SPSS versi 22 melalui tahapan recode into different variables – descriptive
statistics frequency.

g. Hasil uji validitas dan reliabilitas data


Berdasarkan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, hasil
pengambilan data penelitian di lapangan kemudian diproses kembali sebelum
melalui tahapan uji asumsi klasik yaitu uji validitas dan reliabilitas data. Peneliti
menguji validitas dan reliabilitas data penelitian menggunakan SPSS ver. 22.

Dalam mengukur validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini


menggunakan teknik koefisien korelasi Pearson Product Moment. Pada skala
36

dukungan sosial terdapat 24 item yang dimana tidak ada item yang gugur dalam
pengujian ini dengan nilai validitas bergerak dari 0,281 sampai dengan 0,654
yang memiliki realibitas sebesar α = 0,787. Sedangkan pada skala resiliensi
terdapat 25 item yang dimana tidak ada item yang gugur dalam pengujian ini
dengan nilai validitas bergerak dari 0,280 sampai dengan 0,637 yang memiliki
realibilitas sebesar α = 0,724.

h. Hasil uji daya diskriminasi item.

1) Seleksi item pada skala dukungan sosial.


Proses seleksi item dilaksanakan untuk mencari item yang konsisten secara
internal yang pada gilirannya mampu meningkatkan reliabilitas. Proses seleksi
item dilakukan dengan cara membuang item pada pada kolom corrected item-
total correlation (rit) yang nilainya di bawah 0,3. Seleksi item pada skala ini
dilakukan dua kali untuk memenuhi syarat uji daya diskriminasi item.

Tabel 10. Seleksi item skala Dukungan sosial

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.882 9

Item-Total Statistics
Scale Corrected Cronbach's
Scale Mean if Variance if Item-Total Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Correlation Deleted
X5 13.71 6.532 .692 .864
X7 13.80 7.081 .426 .889
X9 13.55 6.853 .695 .865
X11 13.53 7.214 .537 .877
X13 13.73 6.363 .760 .857
X15 13.65 6.793 .612 .871
X17 13.57 6.970 .606 .871
X19 13.73 6.363 .760 .857
X23 13.57 6.970 .606 .871

Dari hasil output di atas dapat kita lihat bahwa semua item memiliki
korelasi item-total di atas 0,3. Reliabilitas skala juga sudah memuaskan yakni
37

0,882. Hal ini menunjukkan seluruh item dalam skala dukungan sosial, memiliki
konsistensi internal yang baik dan berfungsi dengan baik untuk membedakan
antar individu yang memiliki dan yang tidak memiliki dukungan sosial. Selain itu,
skala dukungan sosial juga memiliki reliabilitas alpha di atas 0,70, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa skala memiliki reliabilitas yang memuaskan,
sehingga hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya.

2) Seleksi item pada skala resiliensi.


Proses seleksi item dilaksanakan untuk mencari item yang konsisten secara
internal yang pada gilirannya mampu meningkatkan reliabilitas. Proses seleksi
item dilakukan dengan cara membuang item pada pada kolom corrected item-
total correlation (rit) yang nilainya di bawah 0,3. Seleksi item pada skala ini
dilakukan dua kali untuk memenuhi syarat uji daya diskriminasi item.

Tabel 11. Seleksi item skala Resiliensi

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.816 12

Item-Total Statistics
Scale Corrected Cronbach's
Scale Mean if Variance if Item-Total Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Correlation Deleted
Y1 39.61 9.923 .338 .813
Y2 39.90 9.690 .406 .808
Y3 39.63 9.438 .503 .799
Y6 39.71 9.692 .392 .809
Y11 39.61 9.323 .555 .795
Y16 39.51 9.935 .387 .809
Y17 39.73 9.443 .475 .802
Y19 39.65 9.393 .512 .798
Y20 39.76 9.424 .479 .801
Y22 39.65 9.393 .512 .798
Y23 39.65 9.353 .526 .797
Y24 39.63 9.438 .503 .799

Dari hasil output di atas dapat dilihat bahwa semua item memiliki korelasi
item-total di atas 0,3. Reliabilitas skala juga sudah memuaskan yakni 0,816. Hal
38

ini menunjukkan seluruh item dalam skala resiliensi, memiliki konsistensi internal
yang baik dan berfungsi dengan baik untuk membedakan antar individu yang
memiliki dan yang tidak memiliki resiliensi. Selain itu, skala resiliensi juga
memiliki reliabilitas alpha di atas 0,70, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
skala memiliki reliabilitas yang memuaskan, sehingga hasil pengukuran dengan
alat tersebut dapat dipercaya.

2. Hasil Uji Asumsi


Uji asumsi yang menjadi syarat uji hipotesis yang digunakan yaitu uji
normalitas Kolmogorov Smirnov dan uji linieritas. Pada penelitian ini, analisis
yang digunakan adalah analisis korelasional sebab variabel yang diteliti hanya
terdapat satu variabel independent yang mempengaruhi variabel dependent.
Sebelumnya peneliti berencana menggunakan teknik analisis data regresi linier
sederhana, namun dalam pengambilan data, data yang diperoleh tidak sesuai
harapan peneliti sehingga hasilnya seperti yang telah dipaparkan berikut ini.

a. Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah nilai pada variabel x dan y
berdistribusi normal atau tidak. Jika hasilnya normal maka asumsi dapat dikatakan
memenuhi syarat uji korelasi yang baik.

Tabel 12. Uji Normalitas KS

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Dukungan
Sosial Resiliensi

N 51 51
Normal Parametersa,b Mean 15.35 43.27

Std. Deviation 2.911 3.341


Most Extreme Absolute .224 .146
Differences
Positive .182 .111
Negative -.224 -.146
Test Statistic .224 .146
39

Asymp. Sig. (2-tailed) .000c .009c

Dari tabel 10. di atas, dapat dilihat bahwa pada skala dukungan sosial
diperoleh nilai Test Statistic sebesar 0,224 dengan angka Signifikansi sebesar
0,000 (p<0,05). Sedangkan pada skor resiliensi diperoleh nilai Test Statistic
sebesar 0,146 dengan angka Signifikansi sebesar 0,009 (p<0,05). Dengan
demikian nilai kedua variabel tersebut berdistribusi tidak normal, karena tidak
normal maka uji korelasi yang akan digunakana adalah korelasi Rank Spearman.
b. Uji Linieritas

Uji asumsi ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dari hubungan antar
variabel bebas dan terikat.

Tabel 13. Uji Linieritas

ANOVA Table
Mean
Sum of Squares df Square F Sig.
Resiliensi * Between (Combined) 312.382 8 39.048 6.673 .000
Dukungan Sosial Groups
Linearity 279.422 1 279.422 47.750 .000
Deviation
from 32.959 7 4.708 .805 .588
Linearity

Within Groups 245.775 42 5.852

Total 558.157 50

Berdasarkan nilai signifikansi, dari output di atas diperoleh nilai Deviation


from Linearity Sig. adalah 0,588 lebih besar dari 0,05. Maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan linear secara signifikan antara variabel Dukungan Sosial (X)
dengan variabel Resiliensi (Y).
40

3. Hasil Uji Hipotesis


Berdasarkan uji prasyarat yakni uji normalitas data serta uji linieritas data
dan hasilnya menunjukkan bawa data berdistribusi tidak normal dan hubungan
antara variabel dukungan sosial dan resiliensi menunjukkan linier, maka
dilanjutkan dengan menguji hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini.
Berdasarkan hipotesis yang diajukan, maka peneliti melakukan uji hipotesis
dengan menggunakan analisis statistik korelasi dikarenakan uji hubungan
(correlation) antar dua variabel.

a. Uji Korelasi Rank Spearman

Uji ini dilakukan untuk mengetahui hubungan keeratan antara 2 variabel


yaitu dukungan sosial dan resiliensi atau untuk menguji signifikansi hipotesis
asosiatif bila masing-masing variabel dihubungkan. Koefisien korelasi Spearman
juga merupakan ukuran yang menggambarkan kuat lemahnya hubungan antar
variabel. Uji korelasi Rank Spearman merupakan bagian dari statistik non
parametrik yang berarti tidak memerlukan asumsi normalitas atau linearitas.

Tabel 14. Uji Korelasi Rank Spearman

Correlations
Dukungan
Sosial Resiliensi
Spearman's Dukungan Correlation
1.000 .647**
rho Sosial Coefficient
Sig. (2-tailed) . .000

N 51 51

Resiliensi Correlation
.647** 1.000
Coefficient
Sig. (2-tailed) .000 .

N 51 51
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
41

Diketahui nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,00 (<0,05) maka dapat


disimpulkan bahwa variabel Dukungan sosial memiliki hubungan yang signifikan
dengan variabel Resiliensi. Nilai Correlation Coefficients bernilai positif sebesar
0,647 maka dapat disimpulkan arah hubungan kedua variabel adalah searah yang
artinya jika dukungan sosial meningkat maka resiliensi juga ikut meningkat. Nilai
Correlation Coefficients sebesar 0,647** dapat juga disimpulkan bahwa tingkat
hubungan kedua variabel (Dukungan sosial dan Resiliensi) memiliki hubungan
yang kuat karena berada di antara nilai koefisien korelasi sebesar 0,51-0,75.
Tanda bintang (**) artinya korelasi bernilai signifikan pada angka signifikansi
sebesar 0,01. Demikian hipotesis terbukti dan dapat diterima.

D. Pembahasan
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya korelasi positif dan searah
pada variabel dukungan sosial dan resiliensi narapidana laki-laki kasus narkotika
di Rutan Jepara. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi tersebut diketahui nilai
r sebesar 0,647 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) sehingga
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima. Hal ini menunjukkan
bahwa dukungan sosial memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap
resiliensi pada narapidana laki-laki kasus narkotika di Rutan Jepara di masa
pandemi Covid-19. Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa korelasi antara
dukungan sosial dan resiliensi memiliki hubungan yang positif yaitu penelitian
yang dilakukan Siregar (2021) pada Guru anak berkebutuhan khusus di masa
pandemi Covid-19, Nisa (2022) pada siswa pada kondisi Gap year, Nurjanah &
Diantina (2018) pada individu korban perceraian, Putri (2018) pada mantan
pecandu narkoba di BNN Sumatera Utara, Rahmawati et al. (2018) pada
caregiver penderita skizofrenia di Klinik Utama Kesehatan Jiwa Nur Ilahi
Bandung namun pada subjek yang berbeda-beda.

Hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi pada
narapidana sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raisa & Ediati (2016)
yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara
dukungan sosial dan resiliensi pada narapidana di Lapas kelas IIA wanita
Semarang. Hal ini didukung oleh teori Connor & Davidson (2003) yang
42

mengungkapkan bahwa individu yang resilien cenderung memiliki kompetensi


personal dan kegigihan, kekuatan menghadapi tekanan, penerimaan positif
terhadap diri dan perubahan, hubungan sosial yang hangat dengan orang lain,
pengendalian diri, serta kemampuan untuk menemukan kebermaknaan hidup
saat mengalami situasi sulit. Jadi, individu yang memiliki hubungan yang hangat
dengan orang lain termasuk terpenuhinya dukungan sosial dari orang lain pada
individu dapat membentuk pribadi yang resilien dan jika hal tersebut terus
dirasakan narapidana maka dapat meningkatkan resiliensi narapidana tersebut.

Hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi pada
narapidana juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tunliu et al.
(2019) yang menunjukkan adanya pengaruh positif yang signifikan antara
dukungan sosial dan resiliensi pada narapidana di Lapas kelas IIA Kupang. Pada
penelitian tersebut dukungan sosial keluarga berkontribusi 47,2%, yang berarti
dukungan sosial keluarga bukan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi
resiliensi terhadap pidana di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Kupang.
Sedangkan dalam penelitian ini tidak hanya dukungan keluarga yang diperoleh
narapidana untuk membentuk pribadi yang resilien, tetapi dukungan dari
narapidana lain, teman di luar Rutan dan pegawai Rutan selama di Rutan.
Menurut teori Sarafino & Smith (2011) dukungan sosial merupakan peran yang
sangat penting dalam proses penyembuhan yang sedang mengalami tekanan yang
menyebabkan stres. Dukungan sosial baik dari keluarga maupun kerabat sangat
dibutuhkan narapidana apalagi di saat kondisi stres selama menjalani masa pidana
di penjara.

Hubungan yang kuat antara dukungan sosial dengan resiliensi narapidana


menunjukkan bahwa semakin sering keluarga/kerabat/teman/penghuni Rutan
Jepara meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas bersama narapidana,
melakukan hobi bersama, melakukan kegiatan sosial bersama yang membuat
narapidana menjadi merasa diterima dan diperhatikan oleh orang-orang di
sekelilingnya, maka akan semakin tinggi pula resiliensi narapidana laki-laki
dengan kasus narkotika. Hal ini sejalan dengan teori
43

Hasil kategorisasi pada subyek penelitian menunjukkan bahwa sebagian


besar tingkat dukungan sosial yang diterima narapidana laki-laki berada pada
kategori sedang yaitu sebanyak 51 orang (100%), sedangkan resiliensi yang
dimiliki narapidana berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 51 narapidana
(100%).

Pada dukungan sosial narapidana yang berada pada kategori sedang,


diketahui bahwa beberapa narapidana memperoleh sedikit dukungan dari teman
di luar rutan untuk membantu narapidana mencari pekerjaan setelah bebas
nanti dan terdapat beberapa narapidana yang kesulitan memenuhi kebutuhan
hidupnya karena keluarga yang tidak selalu dapat mengirimkan bantuan berupa
uang yang dibutuhkan narapidana sehingga narapidana harus bekerja sampingan
dalam Rutan supaya mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Berdasarkan teori dari Sarafino & Smith (2011) dukungan tersebut termasuk
aspek dukungan sosial terkait dukungan instrumental, yaitu bentuk pemberian
perlakuan yang nyata atau dapat dirasakan secara langsung. Bantuan yang diberi
dapat memberi dampak agar mempermudah perilaku seperti memberi
pekerjaan, memberi barang atau meluangkan waktu. Apabila dukungan yang
diharapkan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan maka akan berdampak pada
perilaku pada narapidana dan permasalahan psikologisnya yang dapat memicu
stres.

Bagi seorang narapidana kasus narkotika dalam menjalani masa pidananya


di penjara dibutuhkan banyak faktor baik dari dalam diri maupun dari luar untuk
mendukung ketahanan resiliensi pada narapidana. Salah satu faktor dari luar yang
sangat dibutuhkan dalam pemberian kenyamanan fisik serta psikologis selama
proses penahanan pada narapidana yaitu dukungan sosial. Dukungan dapat
diperoleh dari siapa saja baik dari keluarga, teman, warga binaan lainnya dan
petugas rutan. Dukungan dari keluarga yang diberikan pada narapidana di rutan
Jepara yaitu antara lain perhatian dari keluarga dengan menghubungi melalui
video call yang disediakan oleh petugas Rutan selama masa pandemi, keluarga
mengirimkan makanan atau uang yang dibutuhkan narapidana, keluarga juga
44

mengirimkan hadiah kue ulang tahun saat narapidana berulang tahun,


mengunjungi saat sedang dirawat di rumah sakit, dan lain-lain. Dukungan dari
teman di luar Rutan Jepara yaitu termasuk menghubungi melalui video call, dan
mengirimkan bantuan berupa informasi pekerjaan kepada narapidana. Dukungan
dari warga binaan lainnya selama di Rutan Jepara yaitu bentuk kepedulian
narapidana lainnya saat melakukan aktivitas bersama-sama, saling berbagi
makanan saat ada keluarga yang mengirimkan makanan, memberikan bantuan
berupa uang dengan menawarkan kerjaan seperti menyuci baju, memijat, dan
menjual rokok, warga binaan lainnya juga saling membantu dengan memberikan
semangat dan nasehat pada narapidana yang sedang dalam kesulitan.

Selain itu dukungan dan penghargaan yang diberikan oleh petugas Rutan
pada narapidana di Rutan Jepara antara lain seperti memberikan tugas khusus
dalam pelayanan di kantor Rutan (dipekerjakan sebagai tamping Rutan),
memberikan dorongan semangat dan penghiburan saat narapidana sedang
bermasalah atau dalam kesulitan, petugas menyelenggarakan kegiatan yang
berfokus pada keagamaan, petugas juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang
mendukung pengembangan potensi narapidana dan mengatasi kejenuhan
narapidana selama di sel penjara, pemberian remisi pada narapidana yang
dilakukan pada waktu-waktu tertentu, dan lain sebagainya. Penelitian Lander
(dalam Firdaus & Kaloeti, 2020) menjelaskan bahwa kunjungan keluarga kepada
warga binaan dapat dijadikan tolak ukur adanya hubungan baik keluarga dengan
warga binaan, sehingga adanya rasa memiliki dapat dijadikan sebagai bentuk
dukungan. Warga binaan narkotika yang mendapatkan dukungan baik oleh
keluarga dan masyarakat memiliki resiliensi yang baik. Resiliensi dapat
ditingkatkan dengan melihat banyaknya dukungan sosial yang diterima dan
dirasakan oleh warga binaan narkotika (Raisa & Ediati, 2016).

Narapidana yang tidak mampu mengatasi masalah dan kesulitan pada saat
menjalani masa hukuman memiliki resiliensi rendah, diakibatkan karena
kurangnya dukungan sosial yang dirasakan atau tidak mendapatkan dukungan
yang sesuai dengan kebutuhan narapidana tersebut (Raisa & Ediati, 2016). Hal ini
sependapat dengan teori Sarafino & Smith (2011) yang mengatakan bahwa
dukungan yang sesuai akan sangat membantu individu untuk memenuhi
45

kebutuhan saat mengalami kondisi yang dirasa sulit, individu dapat menemukan
cara efektif untuk keluar dari masalah, merasa dirinya dihargai dan dicintai yang
akan meningkatkan kepercayaan pada dirinya untuk mampu menjalani kehidupan
dengan lebih baik. Akan tetapi ketika individu tidak melihat bantuan sebagai
bentuk dukungan, dan dukungan yang diberikan tidak sesuai, maka kecil
kemungkinan individu dapat mengurangi stres.

Pada penelitian Riza & Herdiana (2013) semakin tinggi dukungan yang
diberikan oleh keluarga, teman, dan orang yang dianggap penting oleh
narapidana akan membantu narapidana tersebut memiliki tingkat resiliensi yang
tinggi pula, namun sebaliknya jika dukungan yang diberikan rendah maka akan
sulitnya terbentuk resiliensi di dalam diri para narapidana atau rendahnya
resiliensi yang dimilikinya. Narapidana dengan tingkat resiliensi yang tinggi
memiliki kemampuan mudah beradaptasi dengan lingkungan, dapat
mengendalikan diri, dan memandang kondisi yang dialami secara positif. Namun
sebaliknya, jika narapidana dengan tingkat resiliensi yang rendah akan
mengalami kesulitan dalam beradaptasi, tidak mampu mengendalikan emosi,
dan memandang kondisi yang sedang dialaminya secara negatif.

Berdasarkan hasil data penelitian, resiliensi narapidana di Rutan Jepara berada


pada kategori tinggi. Pada saat narapidana sedang mengalami kesulitan
mengerjakan kuesioner mereka tidak segan untuk bertanya pada peneliti dan
merasa yakin akan jawaban sendiri, namun tidak sedikit juga yang bekerja sama
dengan teman sebelahnya dalam mengerjakan kuesioner yang diberikan peneliti.
Everall et al. (2006) mengatakan bahwa individu yang resilien sudah mampu
menyampaikan sesuatu dan berkomunikasi baik dengan orang lain. McClelland
(dalam Sarwono & Eko, 2009), kebutuhan berinteraksi adalah suatu keadaan
dimana seseorang berusaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung
dalam kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan, menikmati aktivitas bersama,
saling bekerja sama, mendukung, dan konformitas.

Relasi dan komunikasi yang baik dengan orang lain juga terbentuk dari
keyakinan diri narapidana di Rutan Jepara melalui kegiatan-kegiatan keagamaan
46

yang diikuti, selain semakin mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha Esa juga
semakin meningkatkan kekompakan dan kepedulian narapidana. Hal ini juga
dialami oleh warga binaan di Lapas Klas IIA Kupang oleh Tunliu et al. (2019),
mereka mampu merubah pola hidup dari yang biasa jahat/bandal/brutal,
mengetahui mana yang benar dan salah di mata hukum, mulai mendekatkan diri
dengan Tuhan dengan mempelajari agama sesuai dengan kepercayaan masing-
masing, yang sebelum masuk ke dalam Lapas tidak terlalu memperdulikan
agamanya. Narapidana yang memiliki resiliensi yang tinggi dapat menunjukkan
hubungan sosial yang positif, dan ketergantungan akan kepercayaan pada Tuhan
yang maha Esa saat menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Sehingga
dengan jelas diketahui bahwa hubungan sosial yang positif memberikan peranan
penting dalam perubahan perilaku narapidana dalam mengatasi resiliensi yang
rendah. Hal ini didukung oleh Connor & Davidson (2003) dalam aspek-aspek
yang mempengaruhi resiliensi yaitu diantaranya adalah penerimaan positif
terhadap perubahan dan kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian yang berpatokan pada data di lapangan yang


telah peneliti kumpulkan di Rumah Tahanan Jepara, bahwa dalam memetakan
karakteristik narapidana laki-laki kasus narkotika dapat dipetakan berdasarkan
identitasnya yaitu terdiri dari usia, status pendidikan, status perkawinan dan
masa pidana responden.

Dilihat dari perspektif usia, narapidana laki-laki kasus narkotika di Rutan


Jepara didominasi laki-laki yang berusia 21-40 tahun atau dapat dikatakan usia
dewasa awal menurut Hurlock. Hurlock (1991) membagi masa dewasa menjadi
tiga bagian, yaitu: masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult) yaitu
berkisar antara umur 21 sampai 40 tahun, masa dewasa madya (middle
adulthood) masa ini berlansung dari umur 40 sampai 60 tahun, dan masa dewasa
lanjut (masa tua/older adult) usia lanjut, masa ini dimulai dari umur 60 tahun
sampai akhir hayat. Diketahui pada hasil penelitian di atas jumlah responden
dominan pada usia dewasa awal (21-40 tahun) yaitu 39 orang. Hal ini juga terjadi
pada hasil penelitian yang dilakukan Febrianti & Masnina (2019) yang
47

menunjukkan karakteristik responden dari 55 responden dapat dilihat proporsi


usia tertinggi 30 tahun yaitu sebanyak 8 (14,5%) dan yang paling sedikit berumur
32 tahun sebanyak 3 (5.5%) responden. Hal ini terjadi karena responden di lapas
narkotika klas III Samarinda memiliki narapidana rata-rata berumur 26-35 tahun
yang termasuk usia dewasa awal.

Selain itu, pada penelitian Firdaus & Kaloeti (2020) diketahui hasil
pengujian negative emotional state berdasarkan usia menunjukkan tidak terdapat
perbedaan negative emotional state antara usia dewasa awal (18-40 tahun)
dengan usia dewasa madya (41-60 tahun). Individu yang mampu mengelola
emosinya dengan baik tidak hanya terlihat dari usia melainkan pengalaman
hidup yang pernah dialami sebelumnya. Hasil berbeda untuk pengujian daya
beda resiliensi terhadap usia yaitu ada perbedaan resiliensi pada warga binaan
narkotika berdasarkan usia. Usia berpengaruh terhadap resiliensi yang dimiliki
individu terutama di lapas karena kematangan dalam menghadapi masalah dapat
terbentuk seiring pengalaman hidup yang dijalani. Begitu juga dengan hasil
penelitian Umar (2020) jika dilihat dari perspektif gender, penyalahguna
narkotika di Sulawesi Barat didominasi laki-laki yang mencapai 29 orang atau
96,67 % dari 30 orang jumlah responden yang telah ditetapkan dengan usia rata-
rata 21 - 30 tahun sebesar 33,33% dan 31- 40 tahun sebesar 30,00%. Dilihat dari
usia para penyalahguna dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar
penyalahguna narkotika baik pengguna maupun pengedar adalah yang berusia
produktif.

Kemudian pada perspektif status tingkat pendidikan terakhir, narapidana


laki-laki kasus narkotika di Rutan Jepara rata-rata yaitu SMA/SMK yang
berjumlah 22 orang dengan persentase 43,1%. Pada penelitian Nuzzillah &
Sukendra (2017) dengan subjek narapidana dijelaskan bahwa distribusi responden
berdasarkan tingkat pendidikan dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden memiliki tingkat pendidikan dasar yaitu sebanyak 37 responden
(56,9%), dan yang berpendidikan menengah sebanyak 23 responden (35,4%)
serta pendidikan tinggi sebanyak 5 responden (7,7 %). Selain itu pada penelitian
48

Umar (2020) juga diketahui dari aspek pendidikan terakhir penyalahguna


narkotika sebelum ditahan rata-rata yakni Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
atau sekitar 30.00%. Dari aspek pendidikannya, hampir sebagian besar
penyalahguna baik pengguna maupun pengedar rata-rata pernah bersekolah,
setidaknya mereka seharusnya telah mengetahui dampak buruk dari penggunaan
narkotika (Umar, 2020).

Dari kedua penelitian tersebut yang memiliki hasil yang sama bahwa rata-
rata tingkat pendidikan terakhir para pengguna narkotika berada pada jenjang
Sekolah Dasar – Sekolah Menengah Atas, dan seharusnya mereka sudah
mengetahui konsep dasar tentang Narkotika dan dampak negatifnya bagi
kesehatan dan keamanan baik dari pelajaran di sekolah maupun dari sosialisasi
yang diadakan dari lembaga tertentu yang menangani kasus tersebut namun
mereka mengambil langkah yang salah.

Pada pernyataan World Drugs Reports 2018 yang diterbitkan United


Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), menyebutkan sebanyak 275 juta
penduduk di dunia atau 5,6 % dari penduduk dunia (usia 15-64 tahun) pernah
mengonsumsi narkoba. Sementara di Indonesia, BNN selaku focal point di bidang
Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
(P4GN) mengantongi angka penyalahgunaan narkoba tahun 2017 sebanyak
3.376.115 orang pada rentang usia 10-59 tahun. Sedangkan angka
penyalahgunaan Narkoba di kalangan pelajar di tahun 2018 (dari 13 ibukota
provinsi di Indonesia) mencapai angka 2,29 juta orang. Salah satu kelompok
masyarakat yang rawan terpapar penyalahgunaan narkoba adalah mereka yang
berada pada rentang usia 15-35 tahun atau generasi milenial (Puslitdatin, 2019)

Selain itu, dilihat dari perspektif status perkawinan responden penelitian,


rata-rata narapidana laki-laki di Rutan Jepara yang terkait kasus Narkotika
berjumlah 30 orang yang sudah menikah dengan presentase 58,8%. Pada
penelitian Febrianti & Masnina (2019), berdasarkan status menikah dimana
responden seluruhnya telah menikah dan memiliki keluarga sebanyak 55 (100%)
49

responden. Menurut Dr. Ismed Yusuf (dalam Febrianti & Masnina, 2019) sumber
stres terbesar sebanyak 70% adalah keluarga. Penelitian Brown & Gary (dalam
Febrianti & Masnina, 2019) mengemukakan bahwa laki-laki lebih melihat
pasangannya sebagai teman yang terbaik, maka dari itu laki-laki yang sudah
menikah lebih membutuhkan pasangannya. Hal demikian juga sama terjadi
dengan hasil penelitian Umar (2020) sebelum ditahan, rata-rata penyalahguna
telah bekerja yakni wiraswasta sebanyak 46,67%. Sebagian responden sudah
berstatus kawin yakni sebesar 50% dimana rata-rata sebesar 33,33% belum/tidak
memiliki anak. Jika dilihat dari status pernikahannya, sebagian penyalahguna
telah berkeluarga artinya telah memiliki tanggung jawab yang lain selain dirinya
meskipun sebagian masih belum/tidak memiliki anak. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa rata-rata status perkawinan narapidana laki-laki pengguna
narkotika adalah sudah bekeluarga/sudah menikah dan memiliki tanggungjawab
besar dalam menafkahi keluarga baik yang sudah memiliki anak maupun yang
belum memiliki anak sehingga sumber stres berada pada keluarga mereka.

Aspek identitas responden berikutnya, masa pidana narapidana laki-laki


kasus narkotika di Rutan Jepara sebagian besar menjalani masa pidana di atas 4
tahun yaitu sebanyak 42 orang dengan presentase 82,4%. Hal ini juga dialami
responden pada penelitian Febrianti & Masnina (2019), lamanya masa tahanan
yang paling banyak adalah 9 tahun masa tahanan yaitu sebanyak 10 responden
(18.2%) dan yang paling sedikit adalah 12 dan 13 tahun yaitu sebanyak 1
responden (1.8%).

Untuk mengetahui hubungan antara resiliensi pada narapidana narkotika


berdasarkan masa pidana atau vonis pidana, pada penelitian Firdaus & Kaloeti
(2020) dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan resiliensi pada warga binaan
narkotika yang diberikan vonis pidana ≤5 tahun maupun >5 tahun. Hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Siswati &
Abdurrohim (2011) bahwa vonis pidana yang diberikan mempengaruhi stres
yang dirasakan oleh warga binaan pemasyarakatan sebesar 57,5% sedangkan
sisanya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, usia, jenis kasus, latar belakang
50

lingkungan sosial, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Menurut Siswati &
Abdurrohim (2011) lama menjalani masa hukuman mempengaruhi kondisi stres
narapidana. Hasil penelitian yang telah di lakukan oleh Holmes & Rahe (dalam
Atkinson, 2003) juga menyebutkan bahwa hukuman penjara dapat menimbulkan
stres sebesar 63%, ini memperlihatkan bahwa lama menjalani masa hukuman
mempunyai peran dalam memicu munculnya kondisi stres. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa lamanya masa tahanan dapat mempengaruhi resiliensi pada
narapidana narkotika.

Selanjutnya aspek identitas responden penelitian antara lain yaitu status


kasus responden. Status kasus narapidana laki-laki kasus narkotika di Rutan
Jepara sebagian besar merupakan pengguna narkotika yaitu sebanyak 38 orang
dari 51 orang dengan persentase 74,5%. Hal ini juga dialami oleh Wahyuni (2017)
yang menjelaskan bahwa mayoritas pelaku dan narapidana narkoba masuk
dalam kategori pengguna atau bahkan korban, namun jika dilihat dari segi
kesehatannya, mereka benar-benar orang yang tidak sehat. Kesehatan para
pelaku kejahatan narkoba akan terganggu dengan kondisi Lapas saat ini yang
tidak mendukung, karena dampak negatif dari pengaruh perilaku kriminal lainnya
dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan.

Untuk mengetahui hubungan resiliensi dan dukungan sosial berdasarkan


status narapidana, pada penelitian Syukri (2019) menjelaskan bahwa dua
komponen yaitu internal dan eksternal berperan dalam proses membangun
resiliensi. Mudah terombang-ambing, ingin bereksperimen, mengikuti tren, dan
rendah diri adalah masalah internal yang menjadi sasaran obat-obatan.
Sedangkan penyebab ekstrinsik meliputi lingkungan yang penuh tekanan,
keluarga yang tidak sempurna, keluarga yang kurang perhatian, memiliki
keluarga yang menggunakan narkoba, dan memiliki teman dekat yang
menggunakan narkoba. Selain itu, jenis narkotika yang diminum dalam jangka
waktu lama (lebih dari satu tahun) akan menunjukkan daya tahan tubuh yang
rendah, sesuai dengan hubungan antara lama pemakaian dan resiliensi pengguna
yang signifikan (Mustirah, 2017). Hal ini dapat disimpulkan bahwa dukungan
51

sosial sangat berpengaruh pada individu sebagai pengguna narkotika dengan


tujuan supaya individu dapat memiliki resiliensi yang tinggi dan mencegah
terjerumusnya kembali ke dalam dunia narkotika.

Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov, dapat dilihat bahwa


pada skala dukungan sosial diperoleh nilai Test Statistic sebesar 0,224 dengan
angka Signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Sedangkan pada skor resiliensi
diperoleh nilai Test Statistic sebesar 0,146 dengan angka Signifikansi sebesar
0,009 (p<0,05). Kedua variabel yang telah diteliti menghasilkan data yang
berdistribusi tidak normal, meskipun hasilnya tidak normal tetap dapat diuji
secara lanjut untuk mengetahui korelasi antar kedua variabel tersebut.

Berdasarkan hasil uji linieritas diketahui nilai Sig. Deviation from Linearity
sebesar 0,588 > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
linier antara dukungan sosial dan resiliensi. Diketahui nilai Fhitung sebesar 0,805 <
Ftabel 2,24, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linier
antara dukungan sosial dan resiliensi. Karena hasil liniernya terpenuhi, maka uji
yang digunakan adalah uji korelasi Rank Spearman.

Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman, Diketahui nilai Sig. (2-tailed)
sebesar 0,000 (<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa variabel Dukungan sosial
memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel Resiliensi. Nilai Correlation
Coefficients bernilai positif sebesar 0,647 maka dapat disimpulkan arah hubungan
kedua variabel adalah searah yang artinya jika dukungan sosial meningkat maka
resiliensi juga ikut meningkat. Nilai Correlation Coefficients sebesar 0,647 dapat
juga disimpulkan bahwa tingkat hubungan kedua variabel (Dukungan sosial dan
Resiliensi) memiliki hubungan yang kuat.

Berdasarkan pengalaman langsung peneliti dalam melakukan penelitian, ada


beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi faktor penting yang perlu
diperhatikan oleh peneliti berikutnya agar dapat mengembangkan penelitian
terkait kasus ini ke depannya menjadi lebih baik. Keterbatasan dalam penelitian
ini adalah kurangnya wawancara yang mendalam pada responden penelitian dan
petugas Rutan terkait topik penelitian, jumlah responden 51 orang yang dimana
52

masih perlu banyak responden agar dapat memiliki hasil penelitian yang lebih
valid dan objektif sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya
dengan lebih lengkap, kurangnya eksplorasi teori yang dapat memperkaya
penelitian karena peneliti sadar akan kurangnya pengetahuan psikologi peneliti
terkait variabel yang telah diteliti dan terbatasnya waktu peneliti dalam
mengerjakan penelitian, dan dalam proses pengambilan data, informasi yang
diberikan responden melalui kuesioner terkadang tidak menunjukkan keadaan
responden yang sebenarnya dan peneliti sering menemukan kekeliruan dalam
pengisian kuesioner meskipun peneliti sudah mengingatkan untuk lebih teliti dan
jika tidak paham akan soal-nya bisa bertanya kepada peneliti, ditambah faktor
perspektif yang berbeda dalam mengerjakan penelitian juga menjadi
penyebabnya, di samping faktor kejujuran juga mempengaruhi hasil.

Selain itu, terdapat beberapa kendala yang dihadapi peneliti pada saat
pengambilan data adalah responden ada yang tidak sungguh-sungguh dalam
mengerjakan sehingga peneliti harus memeriksa kembali satu persatu jawaban
responden yang memiliki 2 jawaban dalam 1 pernyataan, pernyataan yang belum
dijawab karena kurang teliti jadi terburu-buru saat mengumpulkan, ada juga
responden yang meminta pendapat temannya yang seharusnya sesuai keadaan
dirinya sehingga peneliti meminta untuk tidak bekerja sama dan harus jujur
dalam mengerjakan soal-soal kuesioner dan banyak dari responden tidak
membaca dengan teliti petunjuk dalam kuesioner sehingga bertanya kembali
pada peneliti.
53

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Hasil kategorisasi pada subyek penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar tingkat dukungan sosial yang diterima narapidana laki-laki berada pada
kategori sedang yaitu sebanyak 51 orang (100%), sedangkan resiliensi yang
dimiliki narapidana berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 51 narapidana
(100%).

Pada dukungan sosial narapidana yang berada pada kategori sedang,


diketahui bahwa beberapa narapidana memperoleh sedikit dukungan dari teman di
luar rutan untuk membantu narapidana mencari pekerjaan setelah bebas nanti dan
terdapat beberapa narapidana yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya
karena keluarga yang tidak selalu dapat mengirimkan bantuan berupa uang yang
dibutuhkan narapidana sehingga narapidana harus bekerja sampingan dalam
Rutan supaya mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Berdasarkan teori dari Sarafino & Smith (2011) dukungan tersebut termasuk
aspek dukungan sosial terkait dukungan instrumental, yaitu bentuk pemberian
perlakuan yang nyata atau dapat dirasakan secara langsung. Berdasarkan hasil
data penelitian, resiliensi narapidana di Rutan Jepara berada pada kategori
tinggi. Pada saat narapidana sedang mengalami kesulitan mengerjakan kuesioner
mereka tidak segan untuk bertanya pada peneliti dan merasa yakin akan
jawaban sendiri, namun tidak sedikit juga yang bekerja sama dengan teman
sebelahnya dalam mengerjakan kuesioner yang diberikan peneliti Everall et al.
(2006) mengatakan bahwa individu yang resilien sudah mampu menyampaikan
sesuatu dan berkomunikasi baik dengan orang lain.

Ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi
narapidana laki-laki kasus narkotika. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi dukungan sosial, semakin tinggi pula resiliensi narapidana laki-
laki kasus narkotika di masa pandemic Covid-19.
54

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan
hal-hal sebagai berikut:

1. Bagi Narapidana Narkotika Laki-Laki


Untuk saling mendukung sesama narapidana dalam penjara, memberikan
motivasi dan menjaga hubungan pertemanan yang baik di lingkungan Rumah
Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan. Jika diketahui ada narapidana lain yang
membutuhkan hiburan saat sedang bermasalah dengan keluarga atau dengan
orang-orang terdekatnya, sebagai sesama narapidana tunjukkan rasa peduli dengan
mengajak berkomunikasi, memberikan hiburan atau memberikan bantuan supaya
orang tersebut dapat semangat kembali.

2. Peneliti Selanjutnya
a. Untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih mendalam khususnya terkait hal
yang sama dapat menggunakan metode kualitatif.

b. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan pengkajian lebih lanjut terkait


faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi resiliensi pada narapidana laki-laki
kasus narkotika dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat
digunakan untuk seterusnya.

c. Dalam penelitian selanjutnya, disarankan untuk mengambil sampel yang lebih


banyak, hal ini bertujuan untuk keakuratan data yang lebih baik dalam penelitian
berikutnya.

3. Bagi Rutan Jepara

a. Harapannya pihak Rutan Jepara dapat ikut terlibat dalam memperhatikan


kondisi narapidana saat sedang mengalami masalah baik sebagai tahanan baru
atau narapidana yang sudah berkali-kali masuk penjara agar mereka tetap merasa
mendapat dukungan selama di penjara dan tidak dibeda-bedakan.

b. Perlunya pihak Rutan mengadakan kegiatan santai yang dapat memberikan


hiburan bagi narapidana di kala kesibukan mereka sehari-hari dan kegiatan yang
memberikan manfaat dalam pengembangan potensi narapidana seperti pelatihan
55

kerja sesuai passion narapidana supaya saat bebas nanti narapidana memiliki
bekal skill baru dalam dunia kerja dan memiliki pandangan yang lebih baik ke
depannya.

c. Sebaiknya dalam Rutan Jepara disediakan pegawai Rutan yang memiliki ilmu
dasar psikologi sehingga dapat membantu narapidana dalam menghadapi masalah
di sisi psikologis, selain fisiologis.

d. Peneliti berharap pegawai Rutan Jepara juga ikut peduli pada narapidana yang
tidak bisa atau kesulitan menghubungi keluarganya untuk dapat menghubungi
kerabat narapidana baik melalui video call maupun kunjungan langsung supaya
narapidana mendapatkan bentuk dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
56

DAFTAR PUSTAKA

Afra, Z., Bakhshayesh, A. R., & Yaghoubi, H. (2017). A Comparative Study


Between Resilience with Life Satisfaction in Normal and Prisoner Women.
Journal of Fundamentals of Mental Health, 19(4), 172–178.
https://jfmh.mums.ac.ir/jufile?ar_sfile=280341
Arikunto, S. (2002). Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. PT
Rineka Cipta.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT Rineka
Cipta.
Ariyati, P. C. (2018). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Resiliensi
Pada Remaja Di Keluarga Miskin [Universitas Muhammadiyah Malang].
https://eprints.umm.ac.id/42654/1/SKRIPSI_PCA_PFSI_206.pdf
Atkinson, R. L. (2003). Pengantar Psikologi. Erlangga.
http://opac.iainkediri.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=7380%0A
Azwar, S. (2007). Metode Penelitian. Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2009). Metode Penelitian. Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial jilid 1 (Ed.ke-10). Erlangga.
http://kin.perpusnas.go.id/DisplayData.aspx?pId=30665&pRegionCode=JIU
NMAL&pClientId=111
Biro Humas, H. dan K. (2021). Langkah Kemenkumham Mengendalikan Covid-19
di Lapas dan Rutan. Kemenkumham.Go.Id.
https://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/langkah-kemenkumham-
mengendalikan-covid-19-di-lapas-dan-rutan
Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new Resilience
scale: The Connor-Davidson Resilience scale (CD-RISC). Depression and
Anxiety, 18(2), 76–82. https://doi.org/10.1002/da.10113
Cutrona, C. E., & Russell, D. (1987). The provisions of social relationships and
adaptation to stress. Advances in Personal Relationships, January, 37–67.
Everall, R. D., Jessica Altrows, K., & Paulson, B. L. (2006). Creating a future: A
study of resilience in suicidal female adolescents. Journal of Counseling and
Development, 84(4), 461–470. https://doi.org/10.1002/j.1556-
6678.2006.tb00430.x
Febrianti, M., & Masnina, R. (2019). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan
Tingkat Stress pada Narapidana di Lapas Narkotika Kelas III Samarinda.
Borneo Student Research, 1(1), 476–481.
Ferguson, C., Harms, C., Pooley, J. A., Cohen, L., & Tomlinson, S. (2013). Crime
57

prevention: The role of individual resilience within the family. Psychiatry,


Psychology and Law, 20(3), 423–430.
https://doi.org/10.1080/13218719.2012.707971
Firdaus, T., & Kaloeti, D. V. S. (2020). Hubungan Antara Negative Emotional
State Dengan Resiliensi Pada Warga Binaan Narkotika Di Lembaga
Pemasyarakatan Kedungpane Semarang. Jurnal Empati, 8(Nomor 4), 684–
693. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/empati.2019.26534
Grotberg, E. H. (1995). A guide to promoting resilience in children :
strengthening the human spirit (Issue 8). Bernard van Leer Foundation.
Gunuc, S., & Dogan, A. (2013). The relationships between Turkish adolescents’
Internet addiction, their perceived social support and family activities.
Computers in Human Behavior, 29(6), 2197–2207.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.04.011
Hafidah, A. nurul, & Margaretha, M. (2020). Faktor Resiliensi Klien
Pemasyarakatan Dalam Perspektif Teori Bioekologi Bronfenbenner:
Pentingnya Faktor Dukungan Sosial. PSYCHE: Jurnal Psikologi, 2(1), 52–
68. https://doi.org/10.36269/psyche.v2i1.161
Harier Muiz, R., & Sulistyarini, R. I. (2015). Efektivitas Terapi Dukungan
Kelompok Dalam Meningkatkan Resiliensi Pada Remaja. 7(2), 173–190.
Hazami, A. (2016). Pengguna Narkoba Pemula Banyak yang Meringkuk di Rutan
Jepara. Murianews.
https://www.murianews.com/2016/08/06/90441/pengguna-narkoba-pemula-
banyak-yang-meringkuk-di-rutan-jepara
Holaday, M., & McPhearson, R. W. (1997). Resilience and severe burns. Journal
of Counseling and Development, 75(5), 346–356.
https://doi.org/10.1002/j.1556-6676.1997.tb02350.x
House, J. (1988). Structures And Processes Of Social Support. Annual Review of
Sociology, 14(1), 293–318. https://doi.org/10.1146/annurev.soc.14.1.293
Hu, T., Xiao, J., Peng, J., Kuang, X., & He, B. (2018). Relationship between
resilience, social support as well as anxiety/depression of lung cancer
patients: A cross‑sectional observation study. Journal of Cancer Research
and Therapeutics, 14(1), 72–77. https://doi.org/10.4103/jcrt.JCRT_849_17
Humas. (2020). Pakar Hukum: Penyebab Kejahatan Meningkat Akibat
Banyaknya PHK di Tengah Pandemi COVID-19. Uai.Ac.Id.
https://uai.ac.id/en/pakar-hukum-penyebab-kejahatan-meningkat-akibat-
banyaknya-phk-di-tengah-pandemi-covid-19/
Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan (Cet. 2). Erlangga.
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=517750
Ifdil, I., & Taufik, T. (2012). Urgensi Peningkatan dan Pengembangan Resiliensi
Siswa di Sumatera Barat. Pedagogi: Jurnal Ilmu Pendidikan, 12(2), 115.
58

https://doi.org/10.24036/pendidikan.v12i2.2195
Jumaitina. (2017). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Dan Penyesuaian Diri
Dengan Penerimaan Diri Pada Narapidana Remaja Di Lapas Pekanbaru.
[Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau]. http://repository.uin-
suska.ac.id/id/eprint/21353%0A
Kejahatan Naik di Pekan Kedua New Normal, Narkoba Tertinggi. (2020). CNN
Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200714135109-12-
524481/kejahatan-naik-di-pekan-kedua-new-normal-narkoba-tertinggi
Keye, M. D., & Pidgeon, A. M. (2013). Investigation of the Relationship between
Resilience, Mindfulness, and Academic Self-Efficacy. Open Journal of
Social Sciences, 01(06), 1–4. https://doi.org/10.4236/jss.2013.16001
Khalif, A., & Abdurrohim, A. (2020). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan
Kebahagiaan Pada Narapidana Di Lapas Perempuan Kelas II A Semarang.
Psisula: Prosiding Berkala Psikologi, 1(September), 240–253.
https://doi.org/10.30659/psisula.v1i0.7717
King, L. A. (2017). Psikologi umum : sebuah pandangan apresiatif (D. Mandasari
& A. Sartika (Eds.); ke-3). Salemba Humanika.
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1193855#
Lafromboise, T. D., Hoyt, D. R., Oliver, L., & Whitbeck, L. B. (2006). Family,
community, and school influences on resilience among American Indian
adolescents in the upper Midwest. Journal of Community Psychology, 34(2),
193–209. https://doi.org/10.1002/jcop.20090
Laksmi, V. A., & Kustanti, E. R. (2017). Involuntary Childless. Jurnal Empati,
6(1), 431–435. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/empati.2017.15184
Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The construct of resilience: A
critical evaluation and guidelines for future work. Child Development, 71(3),
543–562. https://doi.org/10.1111/1467-8624.00164
Mayangsari, M. W. & S. (2020). Resiliensi pada Narapidana Tindak Pidana
Narkotika Ditinjau dari Kekuatan Emosional dan Faktor Demografi. Gadjah
Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 6(1), 80.
https://doi.org/10.22146/gamajop.52137
McCanlies, E. C., Gu, J. K., Andrew, M. E., & Violanti, J. M. (2018). The effect
of social support, gratitude, resilience and satisfaction with life on depressive
symptoms among police officers following Hurricane Katrina. International
Journal of Social Psychiatry, 64(1), 63–72.
https://doi.org/10.1177/0020764017746197
Milala, B., & Rizkita, N. (2018). Hubungan Dukungan Sosial dengan Optimisme
Masa Depan Warga Binaan Perempuan di Lembaga Permasyarakatan
Tanjung Gusta Medan [Universitas Sumatera Utara].
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/7328
Mustirah, D. (2017). Resiliensi pada mantan pecandu narkoba di kampung
59

narkoba Madura [Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim


Malang]. http://etheses.uin-malang.ac.id/11540/1/13410003.pdf
Nisa, I. F. (2022). Hubungan antara dukungan sosial dan resiliensi siswa pada
kondisi gap year [Universitas Surabaya].
http://repository.ubaya.ac.id/42459/1/ED_584_Abstrak.pdf
Nurjanah, A., & Diantina, F. P. (2018). Korelasi Dukungan Sosial dengan
Resiliensi pada Individu Korban Perceraian. Prosiding Psikologi, 773–778.
Nuzzillah, A. N., & Sukendra, M. D. (2017). Analisis Pengetahuan Dan Sikap
Narapidana Kasus Narkoba Terhadap Perilaku Berisiko Penularan Hiv/Aids.
JHE (Journal of Health Education), 2(1), 11–19.
Puslitdatin. (2019). Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat.
Bnn.Go.Id. https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-
meningkat/
Putri, D. A. (2018). Hubungan Dukungan Sosial Terhadap Resiliensi pada
Mantan Pecandu Narkoba di Pasca Rehabilitasi BNN Provini Sumatera
Utara [Universitas Medan Area].
http://repository.uma.ac.id/handle/123456789/9598
Rahmawati, R. E., Jodin, S., & Widianti, A. T. (2018). Hubungan Dukungan
Sosial Dengan Resiliensi Caregiver Penderita Skizofrenia Di Klinik. Jurnal
Keperawatan ’Aisyiyah, 5(1), 25–30.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/1600942
Rahmi, M. (2020). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kesejahteraan
Psikologis pada Narapidana Remaja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Kelas II Banda Aceh. In Kehidupan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan merupakan konsekuensi hukuman atas perilaku melanggar
hukum yang pernah dilakukan. Hukuman ini tidak hanya berlaku pada
dewasa, namun juga berlaku pada remaja. Berbagai permasalahan dialami
narapidana diantar. UIN Ar-Raniry.
Raisa, R., & Ediati, A. (2016). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan
Resiliensi Pada Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wanita
Semarang. Jurnal Empati, 5(3), 537–542.
Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skills for
overcoming life’s inevitable obstacles. Broadway Books.
Riza, M., & Herdiana, I. (2013). Resiliensi pada narapidana laki - laki di lapas
kelas I Madaeng. Jurnal Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 2(01), 1–6.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Muhammad Riza (110810248)_Ringkasan
fix.pdf
Roberts, J. M., & Masten, A. . (2004). Resilience in context. Resilience in
Children, Families, Communities: Linking Context to Practice and Policy,
13–25.
Rojas F., L. F. (2015). Factors Affecting Academic Resilience in Middle School
60

Students: A Case Study. GiST Education and Learning Research Journal,


11(11), 63–78. https://doi.org/10.26817/16925777.286
Rutter, M. (2006). Implications of resilience concepts for scientific understanding.
Annals of the New York Academy of Sciences, 1094.
https://doi.org/10.1196/annals.1376.002
Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology Biopsychosocial Interactions (5th ed).
John Willey & Sons Inc.
Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial
Interactions (7th ed.). In John Wiley & Sons, inc.
Sarwono, S. W., & Eko, A. M. (2009). Psikologi Sosial. Penerbit Salemba
Humanika.
Schoon, I. (2006). Risk and resilience: Adaptations in changing times. Cambridge
University Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1017/CBO9780511490132
Setyo, F. G. (2018). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kesepian Pada
Narapidana Kasus Narkotika Lapas Kelas IIa Sungguminasa, Gowa
[Universitas Negeri Makassar]. http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/9689
Shani, R. (2021). Jepara Disebut sebagai Pusat Peredaran Narkotika di Jateng.
Medcom.Id. https://www.medcom.id/nasional/daerah/4baY6wRb-jepara-
disebut-sebagai-pusat-peredaran-narkotika-di-jateng
Siebert, A. (2002). Caregiver Resiliency. ASCA School Counselor, 39(6).
Siregar, A. S. (2021). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Resiliensi Pada
Guru Anak Berkebutuhan Khusus Di Masa Pandemi Covid-19 [Universitas
Islam Indonesia]. https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/37667
Siswati, T. I., & Abdurrohim. (2011). Masa hukuman & stres pada narapidana.
Fakultas Psikologi, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, 4(2), 95–
106.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif. Alfabeta.
Syukri, M. (2019). Hubungan Jenis, Lama Pemakaian Dan Harga Diri Dengan
Resiliensi Pengguna Napza Fase Rehabilitasi. Jambura Health and Sport
Journal, 1(2), 41–47. https://doi.org/10.37311/jhsj.v1i2.2568
Thambusey, L. H. (2018). Pengaruh Iklim Organisasi dan Resiliensi Terhadap
Keterikatan Kerja pada Konselor Adiksi di Lembaga Medan Plus.
Universitas Sumatera Utara.
Tunliu, S. K., Aipipidely, D., & Ratu, F. (2019). Dukungan Sosial Keluarga
Terhadap Resiliensi pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Kupang. Journal of Health and Behavioral Science, 1(2), 68–82.
https://doi.org/10.35508/jhbs.v1i2.2085
61

Umar, A. R. M. (2020). Tinjauan Yuridis Karakteristik Narapidana


Narkotikapada Lapas/Rutan Di Provinsi Sulawesi Barat. 1–39.
https://sulbar.kemenkumham.go.id/attachments/article/4339/Karakteristik
narapidana Narkotika.pdf
Utama, D. A. (2020). BNN Sebut Jateng Peringkat 4 Nasional Penyalahgunaan
Narkoba. Merdeka.Com. https://www.merdeka.com/peristiwa/bnn-sebut-
jateng-peringkat-4-nasional-penyalanggunaan-narkoba.html
Veska, D. (2020). Tanya-jawab seputar coronavirus (COVID-19). UNICEF.Org.
https://www.unicef.org/indonesia/id/coronavirus/tanya-jawab-seputar-
coronavirus
Wahyuni, D. F. (2017). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. In M Rizqi Azmi
(Ed.), Perpustakaan Nasional (Edisi ke-1). PT Nusantara Persada Utama.
https://jdih.situbondokab.go.id/barang/buku/Dasar-Dasar Hukum Pidana di
Indonesia by Dr. Fitri Wahyuni., S.H., M.H. (z-lib.org).pdf
Wu, G., Feder, A., Cohen, H., Kim, J. J., Calderon, S., Charney, D. S., & Mathé,
A. A. (2013). Understanding resilience. Frontiers in Behavioral
Neuroscience, 7(10), 1–15. https://doi.org/10.3389/fnbeh.2013.00010

Anda mungkin juga menyukai