Anda di halaman 1dari 249

FORMAT PRE PLANNING

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA AGREGAT REMAJA

Pre Planning ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Klinik Stase Keperawatan

Komunitas Semester 2 kelas 12 PED B

Oleh :

Rena Ivana, S. Kep (195140065)

Bernadete Agata Palupi, S. Kep (195140066)

Kharisma Dewi Oktariana, S. kep (195140069)

Lela Maeirta Nur Hazlinda, S. Kep (195140070)

Yeni Puspasari, S. Kep (195140068)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS


RESPATI INDONESIA 2020
PRE PLANNING

KEGIATAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN PADA REMAJA

Kelompok : KELOMPOK 3 PED 12 A


Topik Kegiatan : PENYULUHAN TENTANG BAHAYA NARKOBA,
MANAJEMEN NYERI DAN MERAWAT KEBERSIHAN
ORGAN VITAL
Tanggal Kegiatan : 13 JANUARI 2021
Sasaran : MASYARAKAT / RESPONDEN REMAJA

A. LATAR BELAKANG
Keperawatan Komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional yang
ditujukan kepada masyarakat dengan pendekatan pada kelompok resiko tinggi
dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui pencegahan
penyakit dan peningkatan kesehatan dengan menjamin keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai mitra dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan keperawatan. Pelayanan
Keperawatan Komunitas adalah seluruh masyarakat termasuk individu, keluarga
dan kelompok yang beresiko tinggi seperti keluarga penduduk didaerah kumuh,
daerah terisolasi dan daerah yang tidak terjangkau termasuk kelompok bayi,
balita, lansia dan ibu hamil (Veronica, Nuraeni, & Supriyono, 2017).
Komunitas berarti sekelompok individu yang tinggal pada wilayah
tertentu, memiliki nilai-nilai keyakinan dan minat yang relative sama, serta
berinteraki satu sama lain untuk mencapai tujuan. (Ratih Dwi Ariani, 2015)
Berbagai definisi dari keperawatan kesehatan komunitas telah dikeluarkan
oleh organisasi-organisasi profesional. Berdasarkan pernyataan dari American
Nurses Association (2014) yang mendefinisikan keperawatan kesehatan
komunitas sebagai tindakan untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan
dari populasi dengan mengintegrasikan ketrampilan dan pengetahuan yang sesuai
dengan keperawatan dan kesehatan masyarakat. Praktik yang dilakukan
komprehensif dan umum serta tidak terbatas pada kelompok tertentu,
berkelanjutan dan tidak terbatas pada perawatan yang bersifat episodik. (Effendi
& Makhfudli, 2010).
Remaja adalah periode perkembangan dimana individu mengalami
perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Potter & Perry, 2015).
Masa remaja terbagi atas tiga tahap yaitu masa remaja awal: usia sebelas tahun
sampai empat belas tahun, masa remaja pertengahan, usia lima belas tahun
sampai tujuh belas tahun dan masa remaja akhir, usia delapan belas tahun sampai
dua puluh tahun (Wong, 2018). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa yaitu antara usia sebelas tahun sampai empat belas
tahun hingga dua puluh tahun (Wong, 2018).
Penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja merupakan tindakan yang
tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat
dinamakan perilaku menyimpang. Penyimpangan terjadi apabila seseorang atau
sekelompok orang tidak mematuhi norma atau patokan dan nilai yang sudah baku
di masyarakat. Penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat
disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan
penyimpangan ini disebut dengan devian (deviant). Dalam kehidupan keseharian
fenomena tersebut hadir bersamaan dengan fenomena sosial yang lain, oleh sebab
itu untuk dapat memahaminya sebagai masalah sosial, dan membedakannya
dengan fenomena yang lain dibutuhkan suatu identifikasi (Soetomo, 2013 : 28).
Tingkat penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja Indonesia terus
mengalami peningkatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2018, setidaknya ada 2,2 juta remaja dari
13 provinsi di Indonesia yang menggunakan narkoba.
Kesehatan reproduksi pada remaja perlu diperhatikan, karena remaja
merupakan generasi penerus bangsa. Masa remaja ditandai dengan percepatan
perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional. Perubahan paling awal yang
terjadi pada remaja yaitu perkembangan secara fisik atau biologis, salah satunya
remaja mulai menstruasi. Menstruasi yang dialami para remaja wanita dapat
menimbulkan masalah, salah satunya adalah dismenore. Dismenore merupakan
masalah ginekologis yang paling umum dialami wanita usia remaja. Dismenore
yang dialami remaja berkaitan dengan terjadi ovulasi sebelumnya serta ada
hubungan dengan kontraksi otot uterus dan sekresi prostaglandin (dismenore
primer).
Pada sebagian kaum remaja, dismenore primer merupakan siksaan
tersendiri yang harus dialami setiap bulannya, sehingga remaja harus dapat
mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Banyak cara untuk
menghilangkan/menurunkan nyeri haid, baik secara farmakologis maupun
nonfarmakologis. Manajemen non-farmakologis lebih aman digunakan karena
tidak menimbulkan efek samping seperti obat-obatan. Cara nonfarmakologis
untuk meredakan dismenore, antara lain dengan abdominal stretching exercise
dan terapi minum air putih. Pada penelitian ini kombinasi terapi tersebut
Remaja putri rentan terkena infeksi organ reproduksi. Hal ini terjadi
karena kurangnya perilaku dalam merawat kebersihan diri terutama saat
mengalami menstruasi. Remaja putri memiliki tingkat perhatian yang rendah
terkait kesehatan reproduksi. Menurut hasil dari penelitian yang telah dilakukan
oleh Wulandari tahun 2012, didapatkan bahwa pengetahuan yang diterima oleh
remaja putri berusia 13 hingga 16 tahun tentang perawatan alat reproduksi
eksternal ketika menstruasi sebagian besar adalah cukup, yaitu 63 persen. Selain
itu, perilaku dalam melakukan perawatan terhadap organ reproduksi eksternal
yang mayoritas dalam frekuensi cukup sejumlah 48 persen.
Dikutip dari Netralnews.Com 2017. Psikolog dari Himpunan Psikologi
Indonesia (Himpsi), Sinaga mengungkapkan suatu studi di Kota Surabaya
menunjukkan 68% orang yang depresi di kota Pahlawan tersebut dialami oleh
remaja. Remaja yang tidak bisa mengikuti perkembangan ataupun gaya hidup
pada lingkungan sosialnya bisa berpengaruh pad atingkat stress dan
menjerumuskan pada depresi. Data Riskesdas 3013 menunjukkan prevalensi
gejala-gejala depresi dan kecemasan yang emnunjukkan gangguan mental
emosional uantuk usia 15 tahun. Keatas amencapai sekitar 14 juta orang atau 6%
dari jumlah penduduk Indonesia. Stress perlu diteliti karena berdampak buruk
bila terjadi berkepanjangan. Stress berkepanjangan berkaitan dengan peningkatan
merokok, penggunaan narkoba, kecelakaan msalah tidur dan gangguan makan
(Barseli, M., & Ifdil, I. (2017).
Penyakit Covid 19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga
menyerang anak-anak dan remaja. Berdasarkan Laporan Pusat Pengendalan
Dan Pencegahan. Penyakit Amerika (CDC) menunjukkan bahwa anak -anak
dan remaja lebih beresiko untuk mengalami komplikasi terkait penyakit
Covid-19. Dari data yang dikumpulkan pada bulan Februari sampai dengan Juli
2020 didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak dan remaja yang meninggal
karena penyakit yang terkait penyakit Covid-19 berusia 10-20 tahun
(Kompas.com, 2020) Cara terbaik untuk penanggulangan dan pencegah
penyakit ini adalah dengan memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Pemutusan rantai penularan bisa dilaksanakan dengan menerapkan
protokol kesehatan secara disiplin. Yaitu dengan cara sering mencuci tangan
dengan air mengalir dan sabun atau menggunakan hand sanitizer,
menggunakan masker dan tidak menyentuh area muka sebelum mencuci
tangan, serta menjaga jarak dalam setiap berkegiatan atau yang dikenal
dengan istilah 3M (Dirjen P2P Kemkes RI, 2020).Remaja merupakan bagian
dari masyarakat yang tidak dapat sepelekan dalam upaya pencegahan
penularan penyakt ini. Penerapan protokol kesehatan guna pemutusan
mata rantai penyebaran Covid-19 terutama pada remaja memerlukan
pemahaman dan pengetahuan yang baik. Oleh karena itu tujuan dari
penelitian ini adalah untuk melihat hubungan pengetahuan remaja
tentang Covid-19 dengan kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan
sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19.
Permasalahan ini disebabkan oleh pendidikan yang tergolong rendah dan
memiliki usia yang relatif muda diasumsikan tidak memiliki faktor pemungkin
untuk terkena suatu penyakit yang dapat menyerang organ reproduksi (Sari,
2012). Sementara itu, Lely tahun 2012 mengungkapkan peningkatan kejadian
infeksi pada organ reproduksi dapat dipengaruhi oleh zaman globalisasi
diwujudkan dengan lebatnya aliran informasi yang deras dan cepat.
Tahap analisa data merupakan tahap kedua dari proses keperawatan yang
didasari dari hasil pengkajian yang telah dilakukan melalui wawancara, kuesioner
dan observasi. Sedangkan perencanaan dalam proses keperawatan merupakan
tahap penentuan dari rencana-rencana tindakan keperawatan yang akan
diimplementasikan berdasarkan hasil pengkajian dan masalah yang ditemukan.
Analisa data mencakup data subjektif dan data objektif yang menyangkut
data tentang kesehatan responden. Analisa data dibuat dalam rangka untuk
menetapkan masalah keperawatan yang muncul di masyarakat (responden)
Setelah itu, masalah yang ada diprioritaskan bersama masyarakat untuk
menentukan perencanaan keperawatan yang tepat.
Berdasarkan hasil pengkajian data melalui kuesioner, observasi dan
wawancara dengan responden ditemukan beberapa permasalahan kesehatan yang
terjadi di masyarakat. Berdasarkan permasalahan tersebut dibuat suatu analisa
kemudian diprioritaskan sehingga dapat dirumuskan suatu perencanaan dan
intervensi keperawatan. Perencanaan dan intervensi keperawatan didasari dari
hasil analisa data yang telah diolah. Intervensi keperawatan yang telah
direncanakan diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ditemukan di
masyarakat.
Setelah dilakukan pengkajian pada tanggal 28 Desember 2020 s/d 15
Januari 2021 , didapatkan data tentang masalah kesehatan, salah satunya adalah
Pemeliharaan kesehatan Remaja cenderung beresiko. Berbagai masalah kesehatan
yang ditemukan akan diberikan intervensi sesuai dengan kesepakatan antara
masyarakat dengan mahasiswa pada saat kegiatan Musyawarah Masyarakat Desa
I.
Musyawarah Masyarakat Desa I dilaksanakan sebagai suatu wadah untuk
mengajak masyarakat bekerjasama dalam hal mengenal masalah kesehatan yang
terjadi serta bersama-sama membantu menentukan perencanaan dan intervensi
keperawatannya. Peran serta masyarakat dalam kegiatan ini diharapkan mampu
menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi oleh responden.

TUJUAN UMUM :
Masyarakat mampu memahami tentang bahaya narkoba, manajemen nyeri dan
merawat kebersihan, organ vital, menerapkan management stress pada remaja dan
melakukan persiapan menghadapi new normal berdasarkan prioritas masalah
yang ada di masyarakat.
B. TUJUAN KHUSUS :
a. Mampu menjelaskan bahaya narkoba
b. Mampu menjelaskan manajemen nyeri dan merawat kebersihan organ vital
(Responden)
c. Mampu menjelaskan stress dan cara melakukan management stress dengan cara
meditasi
d. Mampu menerapkan persiapan new normal
e. Mampu menentukan rencana yang akan di lakukan untuk bahaya
narkoba,manajemen nyeri, merawat kebersihan organ vital (Responden),
management stress dan pesiapan menghadapi new normal pada remaja.
C. PELAKSANAAN
Hari/ tanggal : Hari/Tanggal : Rabu, 14 Januari 2021
Waktu : Pukul : 14.00 WIB – 15.00 wib
Tempat : Via zoom
Metode : Diskusi, musyawarah, presentasi/paparan
Media : Laptop, Link zoom, PPT
Materi : implementasi dari masalah yang ditemukan dan telah
disepakati dengan responden.

D. STRUKTUR PENGORGANISASIAN :
1. Pembawa Acara : Lela Maeirta, S.kep
2. Host Zoominar : Rena Ivana Pinem, S.Kep
3. Time Keeper : kharisma, S.Kep
4. Sambutan : Rena ivana pinem, S.Kep
5. Penyaji : Bernadete Agatha, S.Kep
: Rena Ivana Pinem, S. Kep
: Lela Maeirta Nur Hazlinda, S. Kep
: Kharisma Dewi Oktariana, S. Kep
:Yeni Puspasari, S. Kep
6. Notulen : Yeni, S.Kep

E. STRATEGI PELAKSANAAN
No. Acara Kegiatan
1. Pembukaan - Pembukaan
10 Menit - Membaca Doa
- Memperkenalkan Team
- Menjelaskan Tujuan
- Mengirim Daftar hadir responden ke
ruang chat
- Pengisian soal Pre Test berbentuk
google form
2 Pelaksanaan Nara Sumber :
65
. menit
1. Rena Ivana Pinem, S. Kep
Topik : Edukasi bahaya narkoba
2. Bernadete Agata Palupi, S. Kep
Topik : edukasi management nyeri saat Haid
3. Kharisma Dewi Oktariana, S. Kep
Topik: cara merawat organ vital
4. Lela Maeirta N, S. Kep
Topik : management stress dengan Meditasi
5. Yeni Puspasari, S. Kep
Topik : persiapan new normal

3 Penutup - Memberi kesempatan bertanya


15
. Menit - Kesimpulan notulen
- Pengisian post test
- penutup

F. KRITERIA EVALUASI
1. Struktur
a. Waktu pelaksanaan musyawarah dengan resonden telah ditetapkan.
b. Tempat dan perlengkapan acara telah disiapkan.
c. Materi dan media atau alat bantu telah disiapkan.
d. Undangan telah dibuat.
e. Panitia penyelenggara telah dibentuk.

2. Proses
a. Masyarakat yang hadir sesuai dengan undangan.
Masyarakat antusias mengikuti penyuluhan tentang bahaya narkoba, manajemen
nyeri, merawat kebersihan organ vital, management stress dan persiapan new
normal
b. Masyarakat bisa menerima masalah kesehatan yang ada
c. Media dapat digunakan.
d. Acara dapat berjalan lancar

3. Hasil
a. Kehadiran warga masyarakat mencapai 80 % dari total undangan yang diberikan
ke Masyarakat /Responden
b. Tersusun perencanaan implementasi kesehatan yang akan dilakukan dengan
tujuan untuk merubah prilaku masyarakat /Responden
c. Teridentifikasi masalah kesehatan di masyarakat /Responden
d. Terbentuk Kelompok Kerja kesehatan (POKJAKES) masyarakat /Responden

*Sertakan lampiran yang diperlukan untuk setiap tahap pertemuan dengan masyarakat
*Lampirkan materi (jika berada di tahap pelaksanaan dan evaluasi) dengan sumber / rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Inut A & Putu L.P. (2016). Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Dismenore pada
Mahasiswi D3 Kebidanan Angkatan 2014 Di Whn Malang. Nursing News, 1, 190–199.

Agustina. (2019). Perbedaan Pengaruh Abdominal Streching Exercise dengan Kompres


Hangat terhadap Penurunan Nyeri Haid pada Mahasiswi

Fisioterapi. Jurnal Kesehatan, 2(1).

Elvika F. (2015). Dismenore Primer dengan Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Keperawatan, III,
55–62.

Ernawati. (2010). Terapi Relaksasi terhadap Nyeri Dismenore pada Mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Keperawatan, (18).

Hayati. (2018). Efektivitas Terapi Kompres Hangat terhadap Penurunan Nyeri Dismenore
pada Remaja di Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, VI(2), 156– 164.

Husna. (2018). Perbedaan Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Sesudah Diberikan

Kompres Hangat pada Remaja Putri di Universitas Dharmas Indonesia. Journal for
Quality in Women’s Health, 1(2), 43–49.

https://doi.org/10.30994/jqwh.v1i2.16

Karimah. (2018). Perbedaan Efektivitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Kompres Hangat
dalam Penurunan Nyeri Dismenore Jurnal Keperawatan Silampari, 2(1).

Gatot suparmono,2013,Hukum narkoba,Djambatan.Jakarta

Harlina,Lydya Martono dan satya joewana.2015.Belajar Hidup Bertanggung


jawab,Menangkal Narkoba dan kekerasan.Jakarta.Balai Pustaka

Soedjono Dirdjosiswono,1986,Hukum Narkotika Indonesia.Bandung


SKORING MASALAH
MENURUT STANOPE & LANCASTER 1996
Masalah Komponen penilaian skor bobot Total
kesehatan (skor X bobot)
Perilaku Kesadaran masyarakat 8 5 40
Kesehatan remaja terhadap masalah.
Cenderung Motivasi masyarakat untuk 8 8 64
beresiko b.d menyelesaikan masalah
pemilihan
Gaya hidup tidak Kemampuan masyarakat 8 7 54
sehat untuk menyelesaikan
masalah
Tersedianya fasilitas di 7 7 47
masyarakat
Derajat keparahan masalah 5 7 35

Waktu untuk menyelesaikan 8 8 64


masalah
Total 304
SATUAN ACARA PENYULUHAN MELAKUKAN KOMPRES HANGAT MENGURANGI NYERI
MENSTRUASI

Pokok Bahasan : Kompres air hangat hangat

Hari / Tanggal : Rabu/ 14 Januari 2021

Waktu : 10.00 WIB (30 menit)

Penyaji : Bernadete Agatha Palupi

Sasaran : Remaja

A. Tujuan

• Tujuan Instruksional Umum

Setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada Remaja diharapkan peserta dapat mengerti dan
mengetahui manfaat dan cara mengkompres hangat yang benar .

• Tujuan Instruksional Khusus

Setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada remaja selama 2x 30 menit diharapkan mampu
menjelaskan tentang :

1.Defenisi kompres hangat

2.Manfaat kompres hangat

3. indikasi kompres hangat

4. Menjelaskan alat dan bahan yang di gunakan untuk kompres hangat

5.Cara mengompres menggunakan air hangat


.

B. Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan

No Kegiatan Waktu Perawat Peserta Media /


Alat

1. Pembuka 2 menit · Salam pembuka · Menjawab salam Ceramah

D = Deskripsi · Memperkenalkan diri · Mendengarkan

T = Tujuan · Menjelaskan topik yang akan


disampaikan
R = Relevansi
· Menjelaskan TIU dan TIK

· Menjelaskan relevansi dari


materi yang disampaikan terhadap
kesehatan

2. Kerja 10 menit 1.Penyampaian Materi · Mendengarkan · PPT


Menjelaskan tentang : dengan penuh dan
perhatian Vidio
a. Defenisi kompres hangat
b. Manfaat kompres hangat · Bertanya
15 menit c. indikasi kompres hangat
· Menjawab
d. Menjelaskan alat dan
Pertanyaan
bahan yang di gunakan
untuk kompres hangat · Menjelaskan dan
e. Cara mengompres mempraktekkan
menggunakan air hangat
2. Tanya Jawab

Memberi kesempatan pada


peserta untuk mengajukan
pertanyaaan.
5 menit
3. Evaluasi

Memberikan pertanyaan tentang

a. Defenisi kompres hangat


b. Manfaat kompres hangat
c. indikasi kompres hangat
d. Menjelaskan alat dan
bahan yang di gunakan
untuk kompres hangat
e. Cara mengompres
menggunakan air hangat
3. Penutup 3 menit · Menyimpulkan · Mendengarkan

· Salam Penutup · Menjawab


salam

E. Sasaran

Sasaran ditujukan pada Remaja

F. Strategi Pelaksanaan

1. Metode : Ceramah, diskusi,praktek

2. Media : zoominar , Video

G. Setting
Peserta penyuluhan dengan tempat duduk berhadapan dengan penyaji

H. Evaluasi

1. Evaluasi Struktural

• Membuat SAP

• Kontrak Waktu

• Menyiapkan Peralatan

Peralatan atau media yang digunakan adalah zoominar dan vidio

• Setting

Zoominar

2. Evaluasi Proses

• Peserta

o Peserta penyuluhan mengikuti kegiatan sampai selesai.

o Peserta penyuluhan kooperatif dan aktif berpartisipasi selama proses penyuluhan

o Pertemuan berjalan dengan lancar.


• Penyuluh

o Bisa memfasilitasi jalannya penyuluhan.

o Bisa menjalankan perannya sesuai tugas dan tanggung jawab.

o Suasana selama kegiatan penyuluhan kondusif.


MATERI PENDIDIKAN KESEHATAN

1. Latar Belakang

Kompres hangat adalah tindakan dengan menggunakan kain atau handuk yang telah
dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada bagian tubuh tertentu sehingga dapat
memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh (Maharani dalam Wardiyah 2016)

Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan cairan atau alat
yang dapat menimbulkan hangat atau dingin pada bagian tubuh yang memerlukan.
Kompres meupakan metode untuk menurunkan suhu tubuh (Ayu, 2015).

2. Manfaat mengompres air hangat


Manfaat dan tujuan pemberian kompres hangat adalah (Poltekkes Kemenkes Maluku,
2012) :
a. Menurunkan suhu tubuh
b. Memperlancar sirkulasi darah
c. Mengurangi rasa sakit atau mengurangi nyeri
d. Memberi rasa hangat dan nyaman

3. Indikasi Kompres hangat


Kompres hangat diberikan pada klien dengan indikasi (Poltekkes Kemenkes Maluku,
2012) :

a. Klien dengan perut kembung

b. Klien dengan hipertermi

c. Klien yang mengalami radang, misalnya radang persendian

d. Kekejangan otot

e. Adanya abses atau akibat penyuntikan


f. nyeri disminore

4. Alat –alat yang digunakan untuk kompres hangat


a. Buli- buli atau warm water zack (WWZ)
b. Kain
c. Thermometer air jika ada
d. Air hangat suhu 40-450C

5. Cara mengompres dengan air hangat


a. Siapkan air hangat yang sudah diukur dengan thermometer air yang bersuhu 40-
45oC
b. Kemudian siapkan buli-buli atau WWZ diisi dengan air hangat yang bersuhu 40-
450C
c. Buli-buli atau WWZ dibalut dengan kain
d. Lalu letakkan dibagian yang nyeri selama 20 menit
e. mengganti air panas 10 menit untuk mempertahankan suhunya.

DAFTAR PUSTAKA
Inut A & Putu L.P. (2016). Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Dismenore pada
Mahasiswi D3 Kebidanan Angkatan 2014 Di Whn Malang. Nursing News, 1, 190–199.

Agustina. (2019). Perbedaan Pengaruh Abdominal Streching Exercise dengan Kompres Hangat
terhadap Penurunan Nyeri Haid pada Mahasiswi

Fisioterapi. Jurnal Kesehatan, 2(1).

Elvika F. (2015). Dismenore Primer dengan Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Keperawatan, III, 55–
62.

Ernawati. (2010). Terapi Relaksasi terhadap Nyeri Dismenore pada Mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Keperawatan, (18).

Hayati. (2018). Efektivitas Terapi Kompres Hangat terhadap Penurunan Nyeri Dismenore pada
Remaja di Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, VI(2), 156– 164.

Husna. (2018). Perbedaan Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Sesudah Diberikan

Kompres Hangat pada Remaja Putri di Universitas Dharmas Indonesia. Journal for Quality
in Women’s Health, 1(2), 43–49.

https://doi.org/10.30994/jqwh.v1i2.16

Karimah. (2018). Perbedaan Efektivitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Kompres Hangat
dalam Penurunan Nyeri Dismenore Jurnal Keperawatan Silampari, 2(1).

Luvita. (2015). Tingkat Pengetahuan Remaja Putri pada Penanganan Dismenore Primer dengan
Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Kebidanan, III, 55–62.

Miftahul & Khairiyatul. (2018). Perbedaan Efektivitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan
Kompres Hangat Dalam Penurunan Nyeri Dismenore. Jurnal Keperawatan Silampari, 2(1).

Murtiningsih. (2015). Penurunan Nyeri Dismenore Primer melalui Kompres Hangat pada
Remaja, 3.

Narsih U, Rohmatin H, & Widayati. (2017). Efektivitas Penanganan Dismenore dengan Kompres
Hangat dan Obat Anti Nyeri pada Remaja Putri. Sain Med, 9, 53.

Susanti & Putri. (2016). Kompres Hangat terhadap Tingkat Nyeri Dismenore. Jurnal
Keperawatan, 2, 1–6.

Herdman & Komitsuru. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi
10. Terjemahan oleh: Budi Anna Keliat. Jakarta: EGC
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

KOMPRES HANGAT MANAJEMEN NYERI

Nama : Bernadete Agatha Palupi, S.Kep

Npm : 195140066

Pengertian Kompres hangat adalah tindakan dengan menggunakan kain atau


handuk yang telah dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada
bagian tubuh tertentu sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan
menurunkan suhu tubuh (Maharani dalam Wardiyah 2016)
Tujuan Mengurangi dan menghilangkan nyeri

Indikasi Klien yang mengalami mengalami nyeri menstruasi

Petugas Perawat

Peralatan
a. Buli- buli atau warm water zack (WWZ)
b. Kain
c. Thermometer air jika ada
d. Air hangat suhu 40-450C

Prosedur Pelaksanaan A. Tahap Pra Interaksi


1. Menyiapkan alat
2. Mengkaji kesiapan klien untuk melakukan kompres air
hangat

B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan indentitas klien dan menyampaikan kontrak
waktu
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur
4. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien

C. Tahap Kerja
1.cucit angan
2. Menyiapkan alat dan bahan
3. Siapkan air hangat yang sudah diukur dengan thermometer
air yang bersuhu
40-45oC
4. Kemudian siapkan buli-buli atau WWZ diisi dengan air hangat
yang bersuhu
40-450C
5. Buli-buli atau WWZ dibalut dengan kain
6. Lalu letakkan dibagian yang nyeri selama 20 menit bergantian
air panas 10 menit untuk mempertahankan suhunya .

D. Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi Tindakan
2. Menganjurkan klien untuk melakukan kompres hangat jika
nyeri menstruasi muncul
3. Mengucapkan salam dan berpamitan dengan klien
Daftar Pustaka
Inut A & Putu L.P. (2016). Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Dismenore pada
Mahasiswi D3 Kebidanan Angkatan 2014 Di Whn Malang. Nursing News, 1, 190–199.

Agustina. (2019). Perbedaan Pengaruh Abdominal Streching Exercise dengan Kompres Hangat
terhadap Penurunan Nyeri Haid pada Mahasiswi

Fisioterapi. Jurnal Kesehatan, 2(1).

Elvika F. (2015). Dismenore Primer dengan Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Keperawatan, III, 55–
62.

Ernawati. (2010). Terapi Relaksasi terhadap Nyeri Dismenore pada Mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Keperawatan, (18).

Hayati. (2018). Efektivitas Terapi Kompres Hangat terhadap Penurunan Nyeri Dismenore pada
Remaja di Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, VI(2), 156– 164.

Husna. (2018). Perbedaan Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Sesudah Diberikan

Kompres Hangat pada Remaja Putri di Universitas Dharmas Indonesia. Journal for Quality
in Women’s Health, 1(2), 43–49.
MENEJEMEN NYERI
KOMPRES AIR HANGAT
NAMA : BERNADETE AGATHA PALUPI
NPM :195140066
PENGERTIAN

Kompres hangat adalah tindakan dengan


menggunakan kain atau handuk yang telah
dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada
bagian tubuh tertentu sehingga dapat memberikan
rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh
(Maharani dalam Wardiyah 2016)
PENGERTIAN LAIN MENURUT PARA
AHLI
Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh
dengan menggunakan cairan atau alat yang dapat
menimbulkan hangat atau dingin pada bagian tubuh
yang memerlukan. Kompres meupakan metode untuk
menurunkan suhu tubuh (Ayu, 2015).
MANFAAT

Manfaat dan tujuan pemberian kompres hangat


adalah (Poltekkes Kemenkes Maluku, 2012) :
a. Menurunkan suhu tubuh
b. Memperlancar sirkulasi darah
c. Mengurangi rasa sakit atau mengurangi nyeri
d. Memberi rasa hangat dan nyaman
KOMPRES HANGAT DIBERIKAN PADA
KLIEN DENGAN INDIKASI
a. Klien dengan perut kembung
b. Klien dengan hipertermi
c. Klien yang mengalami radang, misalnya
radang persendian
d. Kekejangan otot
e. Adanya abses atau akibat penyuntikan
f. nyeri disminore
ALAT YANG DI GUNAKAN

• Buli- buli atau warm water zack (WWZ)


• Kain
• Thermometer air jika ada
• Air hangat suhu 40-450C
CARA MENGOMPRES DENGAN AIR
HANGAT

• Siapkan air hangat yang sudah diukur dengan


thermometer air yang bersuhu 40-45oC
• Kemudian siapkan buli-buli atau WWZ diisi dengan air
hangat yang bersuhu 40-450C
• Buli-buli atau WWZ dibalut dengan kain
• Lalu letakkan dibagian yang nyeri selama 20 menit
• mengganti air panas 10 menit untuk mempertahankan
suhunya.
SELAMAT MENYAKSIKAN
SOAL PRE TEST

1. Alat apa yang di gunakan untuk mengopres ?


a. Buli-buli atau warm water zack
b. termometer
c. karpet tebal
2. berapa suhu yang di butuhkan untuk mengompres?
a. 30-40 ◦C
b. 40-45 ◦C
c. 60-70 ◦C
3. Apakah yang harus di perhatikan saat mengopres ?
a. mengganti air panas 10 menit untuk mempertahankan suhu airnya
b. air yang bersuhu 40-45oC, Buli-buli atau WWZ dibalut dengan kain
c. semua jawaban di atas benar
4. maanfaat yang di dapatkan setelah mengompres air hangat ?
a. hati gembira
b. mengurangi sakit kepala
c. mengurangi dan menghilangkan nyeri
5. tindakan kompres hangat diberikan pada klien atau orang yang mengalami ?
a. Pendarahan hebat
b. Muntah –muntah
c. Orang yang mengalami nyeri pada menstruasi,dan dapat menurunkan suhu tubuh

SOAL POST TEST

1. tindakan kompres hangat diberikan pada klien atau orang yang mengalami ?
a. Pendarahan hebat
b. Muntah –muntah
c. Orang yang mengalami nyeri pada menstruasi,dan dapat menurunkan suhu tubuh
Jawaban : C
2. Apakah yang harus di perhatikan saat mengopres ?
a. mengganti air panas 10 menit untuk mempertahankan suhu airnya
b. air yang bersuhu 40-45oC, Buli-buli atau WWZ dibalut dengan kain
c. semua jawaban di atas benar
jawaban : C
3. berapa suhu yang di butuhkan untuk mengompres?
a. 30-40 ◦C
b. 40-45 ◦C
c. 60-70 ◦C
Jawaban : B
4. maanfaat yang di dapatkan setelah mengompres air hangat ?
a. hati gembira
b. mengurangi sakit kepala
c. mengurangi dan menghilangkan nyeri
Jawaban : C
5. Alat apa yang di gunakan untuk mengopres ?
a. Buli-buli atau warm water zack
b. termometer
c. karpet tebal
Jawaban : A
PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES AIR HANGAT TERHADAP
PENURUNAN INTENSITAS NYERI DYSMENORRHEA PADA
REMAJA PUTRI DI SMA NEGERI 10
KOTA BENGKULU

Vellyza Colin, Buyung Keraman, Dwi Rolita


Email: vellyzacolin7@gmail.com

ABSTRAK

Masa pubertas yaitu bagian dari proses perkembangan dengan adanya kematangan organ
seksual dan kemampuan bereproduksi, yang ditandai dengan terjadinya menstruasi pertama
(menarche). Menstruasi adalah perubahan secara fisiologis pada perempuan.
Dysmenorrhea adalah nyeri perut yang berasal dari kram rahim dan terjadi selama
menstruasi. Beberapa perempuan mengalami sakit dan kram saat haid berlangsung. Rasa
sakit biasanya terjadi di perut bagian bawah. Secara umum penanganan nyeri dismenore
terbagi dalam dua kategori yaitu pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kompres air hangat terhadap
penurunan intensitas nyeri dysmenorrhea pada remaja putri di SMA Negeri 10 Kota
Bengkulu. Rancangan penelitian ini adalah Pra-Eksperiment dengan desain OneGroup Pre-
Post Test Design, menggunakan Accidental sampling dengan jumlah sampel
30 responden. Alat yang digunakan adalah kuesioner lembar karakteristik responden dan
Numeric Rating Scale (NRS) untuk mengetahui intensitas nyeri. Analisis data
menggunakan wilcoxon signed-rank test. Hasil penelitian ini terdapat pengaruh pemberian
kompres air hangat terhadap penurunan intensitas nyeri dysmenorrhea pada remaja putri di
SMA Negeri 10 Kota Bengkulu diperoleh nilai Z = -4.801 dengan pvalue=0,000<0,05 yang
berarti signifikan. Diharapkan bagi sekolah dan siswi melakukan kompres air hangat
sebagai salah satu alternatif terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri
dysmenorrhea.

Kata Kunci: Kompres Air Hangat, Nyeri Dysmenorrhea, Remaja Putri

The Effect of Providing Warm Water Compress to Decreasing Dysmenorrhea


Pain Intensity on Adolescent Girls at SMA Negeri 10 Bengkulu City

ABSTRACT

Puberty is part of the development process with the maturation of the sexual organs
and the ability to reproduce, which is marked by the occurrence of the first
menstruation (menarche). Menstruation is a physiological change in women.
Dysmenorrhea is abdominal pain that comes from uterine cramps and occurs during
menstruation. Some women experience pain and cramps during menstruation. Pain
usually occurs in the lower abdomen. In general, dysmenorrhea pain management
is divided into two categories, namely pharmacological and non-pharmacological
approaches. The aims of this study was to determine The Effect of Providing Warm
Water Compress to Decreasing Dysmenorrhea Pain Intensity on Adolescent Girls
at SMA Negeri 10 Bengkulu City. This study uses Pre-Experiment with One-Group
Pre-Post Test Design, sampling technique in this study uses accidental sampling
with total of 30 respondents. Instrumet in this study was questionnaire of respondent
characteristic sheet and Numeric Rating Scale (NRS) to determine the intensity of
pain. Data analysis using Wilcoxon signed-rank test. The results of this study
showed there is effect of Providing Warm Water Compress to Decreasing
Dysmenorrhea Pain Intensity on Adolescent Girls at SMA Negeri 10 Bengkulu City
obtained a value of Z = -4,801 with p-value = 0,000 <0.05, which means significant.
It is expected for school and students to compress warm water as an alternative
nonpharmacological therapy to reduce the pain of dysmenorrhea.

Keywords: Warm Water Compress, Dysmenorrhea Pain, Adolescent Girls


Dysmenorrhea adalah nyeri perut
Pendahuluan yang berasal dari kram rahim dan terjadi
Masa remaja adalah masa selama menstruasi (Nugroho& Utama,
peralihan dari anak-anak ke 2014). Beberapa perempuan mengalami
dewasa.Definisi remaja sendiri dapat sakit dan kram saat haid berlangsung.
ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu Rasa sakit biasanya terjadi di perut
secara kronologis, remaja adalah bagian bawah.Ada dua jenis
individu yang berusia antara 11-12 tahun dysmenorrhea. Bila rasa sakit tidak
sampai 20-21 tahun.Secara fisik, remaja disertai adanya riwayat infeksi pada
ditandai dengan adanya perubahan panggul atau keadaan panggul normal,
ukuran dan penampilan fisik dan adanya dinamakan dysmenorrhea primer.
kemampuan bereproduksi, dan secara Gejalanya ditandai dengan ingin
psikologis, remaja mengalami muntah, mual sakit kepala, nyeri
perubahan pada kognitif, mental, sosial punggung dan pusing. Penyebab yang
dan moral (Kusmiran, 2012). Periode pasti belum diketahui, para ahli
masa remaja ini sering disebut masa menduga rasa sakit ini disebabkan
pubertas yaitu bagian dari proses kontraksi otot dinding rahim. Dari kasus
perkembangan dengan adanya haid yang dialami perempuan, 75%
kematangan organ seksual dan kasus merupakan dysmenorrhea primer
kemampuan bereproduksi, yang ditandai (Sibagariang, 2016).
dengan terjadinya menstruasi pertama Menurut beberapa laporan
(menarche) (Widyastuti, Internasional prevalensi
2009). dismenoreasangattinggi dan setidak-nya
Menurut Kusmiran (2012) 50 % remaja putri mengalami
menstruasi adalah perubahan secara dismenorea sepanjang tahun
fisiologis pada perempuan. Menstruasi reproduktif. Hasil studi terbaru
adalah perdarahan yang teratur dari menunjukkan bahwa hampir 10%
uterus sebagai tanda bahwa organ remaja yang dis-menorea mengalami
kandungan telah berfungsi matang. absen sekolah danabsen kerja 1-3 hari
Secara umum, remaja mengalami per bulan atau kemampuan remaja
menarche adalah usia 12 sampai dengan dalam melakukan tugas sehari-hari
16 tahun, dengan siklus menstruasi akibat nyeri hebat (Umi. dkk, 2010).
normal terjadi setiap 22-35 hari, dengan Angka kejadian nyeri haid di dunia
lamanya menstruasi 2-7 hari. sangat besar, rata-rata lebih dari 50%
perempuan disetiap Negara mengalami
Dismenorea baik primer maupun berat. Pada 7 orang mahasiswi
sekunder (Novia&Puspitasari, 2009). Di merasakan dys-menorrhea selama 2 hari
Amerika Serikat, insiden dismenorea saat menstruasi, 4 orang merasakan
pada remaja putri dilaporkan sekitar dysmenorrhea pada hari pertama
92%. Puncak insiden dismenorea primer menstruasi, dan 1 orang mahasiswi
terjadi pada akhir masa remaja (ado- merasakan dysmenorrhea pada 2-4 jam
lescence) dan di awal usia 20-an pada hari pertama menstruasi. Keluhan
(Anurogo, 2011). Di Indonesia yang paling sering dirasakan 3 orang
perempuan yang pernah mengalami mengatakan pusing dan mual, 7 orang
dismenorea sebanyak 90% (Anurogo, mengatakan nyeri perut sampai
2011). punggung bawah, 2 orang mengatakan
Secara umum penanganan nyeri sakit pada payudara, dan terjadi
dismenore terbagi dalam dua kategori kelemahan pada ekstermitas bawah.
yaitu pendekatan far-makologis dan non Mereka me-ngatakan jika mengalami
farmakologis. Secara farmakologis nyeri dy-smenorrhea sekolah terganggu atau
dapat ditangani dengan terapi analgesik aktivitas lainnya terganggu karena harus
yang merupakan metode paling umum beristirahat. Siswi yang di wawancara
digunakan untuk menghilangkan nyeri. juga mengatakan belum pernah mencoba
Walaupun analgesik dapat mengompres hangat di area punggung
menghilangkan nyeri dengan efektif, bawah saat mengalami nyeri
namun penggunaan analgesik akan dysmenorrhea. Dengan adanya landasan
berdampak ketagihan dan akan di atas, maka peneliti ingin mengetahui
memberikan efek samping obat yang bagaimana pengaruh pemberian
berbahaya bagi pasien. Secara non kompres air hangat terhadap intensitas
farmakologik antara lain kompres nyeri dysmenorrhea pada siswi SMA
hangat, teknik relaksasi seperti nafas Negeri 10 Kota Bengkulu. Rumusan
dalam dan yoga (Potter & Perry, 2005). masalah dalam penelitian ini adalah
Kompres hangat dengan apakah ada pengaruh pemberian
menggunakan buli-buli panas yang kompres air hangat terhadap penurunan
mana secara konduksi dimana terjadi intensitas nyeri dysmenorrhea pada
pemindahan panas dari buli-buli ke remaja putri di SMA Negeri 10 Kota
dalam tubuh sehingga akan Bengkulu.
menyebabkan pelebaran pembuluh Tujuan penelitian ini adalah
darah sirkulasi menjadi lancar dan akan diketahuinya pengaruh pengaruh
menjadi ketegangan otot, sesudah otot pemberian kompres air hangat terhadap
miometrium rilek, rasa nyeri yang penurunan intensitas nyeri
dirasakan berangsur-angsur berkurang dysmenorrhea pada remaja putri di SMA
bahkan hilang (Merdianita, 2013). Negeri 10 Kota Bengkulu, diketahuinya
Berdasarkan wawancara yang intensitas nyeri dysmenorrhea sebelum
dilakukan pada bulan November 2018, dan sesudah dilakukan kompres air
terhadap 15 orang siswi SMA Negeri 10 hangat.
Kota Bengkulu, didapatkan 12 orang
mengalami dysmenorrhea, 3 orang tidak Metode Penelitian
mengalami dysmenorrhea, 7 orang Penelitian ini dilakukan di SMA
mengatakan nyeri skala ringan, 4 orang Negeri 10 Kota Bengkulu. Penelitian ini
nyeri skala sedang, 1 orang nyeri skala dilakukan pada tanggal 06 Juni – 24 Juli
2019. Rancangan penelitian ini adalah kuesioner/lembar per-tanyaan,
Pra-Eksperiment dengan desain One- kemudian melakukan tindakan kompres
Group Pre-Post Test Design. Penelitian hangat guna mengetahui apakah terjadi
ini memberikan inter-vensi kepada pe-nurunan rasa nyeri yang dirasakan
responden yang akan dilakukan tindakan pasien dan selanjutnya melakukan
perlakuan dan membandingkan sebelum pengukuran intensitas nyeri setelah
dan sesudah dilakukan intervensi. dilakukan tindakan kompres hangat.
Populasi dalam penelitian ini adalah Teknik analisa data menggunakan uji
siswi SMA Negeri 10 Kota Bengkulu normalitas data dengan Shapiro Wilk,
kelas XI yang mengalami dysmenorrhea univariat dan bivariat menggunakanuji
sebanyak 83 orang. Dalam penelitian ini Wilcoxon Sign Rank
sampel yang diambil menggunakan Test.
Accidental sampling dimana metode ini
dilakukan dengan cara mengambil kasus Hasil Penelitian dan pembahasan 1.
atau responden yang kebetulan ada atau Analisis Univariat
tersedia di suatu tempat sesuai dengan Analisis ini dilakukan untuk
karakteristik penelitian pada saat mendapatkan gambaran
dilakukan penelitian. Pengumpulan data masingmasing variabel yang diteliti,
dilakukan dengan cara wawancara pada baik variabel independen maupun
siswi SMA Negeri 10 Kota Bengkulu dependen
dan observasi yang dibantu dengan
instrumen dalam bentuk
Tabel 1.
Distribusi Frekuensi Intensitas Nyeri Dysmenorrhea Responden
Sebelum Pemberian Kompres Air Hangat di SMA Negeri 10 Kota
Bengkulu.

Skala Frekuensi (n) Persentase


Kategori nyeri
Nyeri (%)
Nyeri ringan 1-3 3 10,0
Nyeri sedang 4-6 19 63,3
Nyeri berat 7-9 8 26,7
Total 30 100

Dari tabel di atas dapat nyeri ringan, 19 orang (63,3%)


diketahui tingkat mengalami nyeri sedang dan 8
intensitas nyeri dysmenorrhea orang (26,7%) mengalami nyeri
sebelum dilakukan kompres air berat.
hangat yaitu 3 orang (10%)
mengalami
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Intensitas Nyeri Dysmenorrhea Responden Sesudah
Pemberian Kompres Air Hangat di SMA Negeri 10 Kota Bengkulu.
Kategori nyeri Skala nyeri Frekuensi (n) Persentase
(%)
Tidak nyeri 0 12 40
Nyeri ringan 1-3 12 40
Nyeri sedang 4-6 6 20
Total 30 100

Dari tabel di atas dapat orang (20%) mengalami nyeri


diketahui tingkat intensitas nyeri sedang.
dysmenorrhea sesudah 2. Uji Normalitas Data
dilakukan kompres air hangat Hasil uji normalitas data
yaitu 12 orang (40%) tidak menggunakan uji Shapiro wilk
nyeri, 12 orang (40%) diperlihatkan pada tabel sebagai
mengalami nyeri ringan dan 6 berikut:

Tabel 3.
Hasil Uji Normalitas Data
Intensitas nyeri
Statistik Df Sign
dysmenorrheal
Dysmenorrhea Sebelum .922 30 .031
Kompres Hangat
Dysmenorrhea Sesudah .835 30 .000
Kompres Hangat

a. P-value=0,031<0,05 untuk
data dysmenorrhea sebelum
Hasil uji normalitas data dengan uji kompres hangat, berarti tidak
Shapiro-Wilk dapat diketahui: normal.
b. P-value=0,000<0,05 untuk data kompres air hangat tidak ada skala
dysmenorrhea sesudah kompres nyeri yang sama atau tidak
hangat, berarti tidak normal. mengalami penurunan. Berdasarkan
Dimana dikatakan berdistribusi hasil uji wilcoxon dengan
normal apabila p value >0,05. menggunakan SPSS diperoleh nilai
Karena dua kelompok data Z = -4.801 dengan p-
tersebut tidak normal value=0,000<0,05 yang berarti
maka digunakan uji Wilcoxon signifikan, maka hasil penelitian ini
Sign Rank. adalah Ho ditolak dan Ha diterima.
3. Analisis Bivariat Sehingga dapat diartikan “Terdapat
Analisis bivariat dilakukan pengaruh pemberian kompres air
untuk mengetahui pengaruh hangat terhadap penurunan
pemberian kompres air intensitas nyeri dysmenorrhea pada
hangat terhadap penurunan remaja putri di SMA Negeri 10 Kota
intensitas nyeri dysmenorrhea pada Bengkulu.
remaja putri di SMA Negeri 10 Pembahasan
Kota Bengkulu menggunakan uji
Wilcoxon Signed Ranks Test.
Penelitian ini membuktikan bahwa
Hasil analisa uji wilcoxon pada
ada perbedaan antara skala nyeri
penelitian ini disajikan
menstruasi (dysmenorrhea) sebelum
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.
Analisa Pengaruh Pemberian Kompres Air Hangat Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri dysmenorrhea pada Remaja Putri di SMA
Negeri 10 Kota Bengkulu

Mean Sum of P-
Variabel Rank N Z
Rank Ranks Value
Dysmenorrhea Negative 30 15.50 465.00
Sesudah Kompres Ranks
Hangat - Positive
0 .00 .00 -4.801 0,000 Dysmenorrhea
Ranks
Sebelum Kompres Ties 0
Hangat Total 30

pemberian terapi kompres hangat


Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui dan sesudah pemberian terapi
bahwa dari 30 responden skala nyeri kompres hangat. Dari hasil analisis
posttest mengalami penurunan dari pada data yang diperoleh pada tabel 5. Hal
skala nyeri pretest. Sedangkan untuk ini terbukti pada hasil perlakuan
skala nyeri posttest pemberian kompres yang telah dilaksanakan oleh peneliti
air hangat tidak ada skala nyeri yang pada 30 responden di SMA Negeri
meningkat. Dan setelah diberikan 10 Kota Bengkulu pada awal
sebelum diberikan (tabel 4). Sesudah sangat efektif dilakukan untuk
pemberian kompres hangat, ternyata mengurangi nyeri dismenore karena
mampu menurun-kan nyeri menstruasi tidak me-merlukan biaya yang
(dysme-norrhea). Pada hasil penelitian banyak, waktu yang lama, dan kerja
ditemukan terjadi penurunan nilai rata- fisik yang berat tetapi harus tetap
rata skala nyeri sebelum dan sesudah hati-hati karena air yang terlalu
dilakukan terapi kompres hangat dan panas dapat mengakibatkan iritasi
setelah pada kulit. Penelitian ini senada
dilakukanujiWilxocon-test dengan penelitianyang telah
menggunakan pro-gram SPSS dilakukan oleh Ayu (2010) diperoleh
didapatkan hasil Asymp. Sig. penurunan ratarata nyeri kelompok
(2tailed)0.00< α = 0,05. Hal ini kompres hangat sebesar 2 derajat
menunjukkan bahwa terapi kompres skala VAS dengan nilai p value
hangat berdampak positif dalam 0,001 (< 0,005). Karena P value <
menurunkan nyeri dysmenorrhea 0,05 sehingga H0 ditolak hal ini
sehingga menjawab yaitu Ha diterima. menunjukkan ada pengaruh yang
Hasil penelitian ini didukung oleh teori signifikan sebelum dan sesudah
Lowdermilk, dkk (2013) dimana nyeri dilakukan kompres hangat.Menurut
dysmenorrhea dapat berkurang dengan Potter dan Perry, (2006), mekanisme
terapi non-farmakologi berupa kompres terjadinya penurunan nyeri akibat
hangat yaitu memberikan rasa aman dilakukan kompres hangat karena
pada responden dengan menggunakan ketika panas diterima reseptor,
cairan atau alat yang menimbulkan impuls akan diteruskan menuju
hangat pada bagian tubuh yang hipotalamus posterior akan terjadi
memerlukan. Hal ini berakibat terjadi reaksi reflek penghambatan simpatis
pemindahan panas keperut sehingga yang akan membuat pembuluh darah
perut yang dikompres menjadi hangat, berdilatasi sehingga membantu
terjadi pelebaran pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke bagian
dibagian yang mengalami nyeri serta perut bawah yang mengalami
me-ningkatnya aliran darah pada daerah nyeri/dismenorea, panas meredakan
tersebut sehingga nyeri dismenore yang nyeri dengan menyingkirkan
dirasakan akan berkurang atau hilang. produk-produk in-flamasi seperti
Secara non farmakologis kompres bradikinin, histamin dan
hangat sangat bermanfaat dalam prostaglandin yang me-nimbulkan
penurunan nyeri dismenore dimana rasa nyeri lokal.
terjadinya relaksasi otot serta Penelitian yang dilakukan
mengurangi iskemia uterus sehingga Bonde (2014) tentang
nyeri dapat berkurang atau hilang. Hal Pengaruh kompres
ini dapat terlihat pada hasil penelitian panas terhadap penurunan derajat
yang menunjukkan bahwa sebelum nyeri haid pada siswi SMA dan
dilakukan perlakuan terapi kompres SMK Yadika Kopandakan II
hangat banyak siswi yang berada pada dengan analisis uji statistik uji
skala nyeri sedang dan sesudah Wilcoxon, hasil dari nilai
dilakukan terapi kompres hangat terjadi pmenunjukkan bahwa ada
penurunan yang banyak berada pada hubungan yang bermakna antara
skala 0 (tidak nyeri).Kompres hangat kompres panas dengan penurunan
derajat nyeri haid (p=0,00). responden dalam kategori nyeri
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat sedang sebanyak 19 orang (63,3%) ,
disimpulkan bahwa kompres panas Setelah diberikan intervensi
berpengaruh terhadap penurunan kompres air hangat sebagian besar
derajat nyeri haid pada siswi SMA dan 12 orang (40%) tidak nyeri, 12 orang
SMK YadikaKopandakan II. Begitu (40%) mengalami nyeri ringan, Ada
pula menurut Nida (2016), berdasarkan pengaruh pemberian kompres air
hasil uji statistik Wilcoxon SignedRanks hangat terhadap penurunan
Test pengaruh kompres hangat terhadap intensitas nyeri dysmenorrhea pada
penurunan nyeri haid pada siswi kelas remaja putri di SMA Negeri 10 Kota
XI di SMK Bengkulu.
Muhammadiyah Watukelir didapatkan
nilai signifikasi (p) 0,00 yang berarti
Daftar Pustaka
bahwa nilai p(0,00) kurang dari 0,05;
Anurogo, D &Wulandari, A.
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
2011.Cara Jitu Mengatasi
pengaruh pemberian kompres hangat
Nyeri Haid. Yogyakarta:
ter-hadap penurunan nyeri dismenore.
ANDI.
Hal ini dapat dijelaskan dengan teori
Ayu. 2010. Pengaruh Kompres
yang dikemukakan oleh Perry & Potter
Hangat
(2005) pengompresan yang dilakukan
Terhadap Dismenorea Primer
dengan mempergunakan buli-buli panas
Pada Mahasiswi semester
yang di bungkus kain yaitu secara
VIII S1 Keperawatandi
konduksi dimana terjadi pemindahan
Universitas Muhammadiyah
panas dari buli-buli ke dalam tubuh Semarang 2 (5).
sehingga akan menyebabkan pelebaran 1-7. Diakses pada tanggal 28
pembuluh darah dan akan terjadi November 2018,
penurunan ketegangan otot sehingga
nyeri haid yang dirasakan akan Bonde, Fitrah, M.P.,
berkurang atau hilang, panas dapat FransiskaLintong,
menyebabkan dilatasi pembuluh darah Maya Moningka. 2014.
yang mengakibatkan peningkatan Pengaruh
sirkulasi darah. Berdasarkan fakta dan Kompres Panas terhadap
teori diatas dapat disimpulkan, bahwa Penurunan Derajat Nyeri Haid
terapi kompres hangat sangat pada Siswi SMA dan SMK
bermanfaat dalam penurunan skala nyeri YadikaKopandakan II. Jurnal
menstruasi (dismenore) dimana Fisika FakultasKedokteran
terjadinya relaksasi otot serta
Universitas Sam Ratulangi
mengurangi iskemia uterus sehingga
Manado. 3 (2)1-5. Diakses
nyeri dapat berkurang atau hilang dan
pada tanggal 5 Desember
remaja putri mulai membiasakan diri
2018,.
pada saat nyeri menstruasi datang akan
melakukan kompres hangat pada
Kusmiran, E. 2012.Kesehatan
perlakuan yang sama.
Reproduksi Remaja Dan
Simpulan
Wanita.
Sebelum diberikan intervensi kompres
Jakarta: SalembaMedika
air hangat rata-rata intensitas nyeri
Lowdermilk., Perry., Cashion. 2013. Penerbit Buku Kedokteran
KeperawatanMaternitas. Jakarta: EGC.
PT. Salemba Emban Patria.
_____.2006.Buku Ajar
Merdianita, Vonny. dkk. 2013. Fundamental Keperawatan:
Efektivitas Kompres Hangat Konsep, Proses dan Praktik.
Dalam Menurunkan intensitas Volume 2.Edisi 4. Jakarta:
Nyeri Dysmenorrhoea Pada Penerbit Buku
Mahasiswa STIKES RS Baptis Kedokteran EGC.
Kediri.Jurnal STIKES RS Baptis
Kediri 6 (1).1-10. Diakses pada Sibagariang, E. E. 2016. Kesehatan
tanggal 5 Desember 2018, dari Reproduksi Wanita. Edisi
Nida, R. M., & Sari, D. S. 2016. Revisi. Jakarta: CV. Trans Info
Pengaruh Pemberian Kompres Media
Hangat Terhadap Penurunan Umi, dkk. 2010. “Gambaran
Nyeri Dismenore Pada Siswi Pengetahuan Tentang
Kelas Xi Dismenorea Dan Penanganan
SmkMuhammadiyahWatukelirSu Dismenorea”.Semarang : program
koharjo (The Influence Of Warm sarjana”.
Compress Decrease In Widyastuti, Y., dkk. 2009.
Dismenorhea Eleventh Grade Kesehatan
Students Of Reproduksi. Yogyakarta:
SmkMuhammadiyahWatukelirSu
koharjo). Jurnal Kebidanan Dan
Kesehatan Tradisional, 1(2). 103-
109. Diakses pada tanggal 02
Januari 2019.

NoviaI,&Puspitasari N. 2008. Faktor


Risiko yang Mempengaruhi
Kejadian Dismenore
Primer.Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas
Airlangga. 1(3). 96-103. Diakses
pada tanggal 05 Desember 2018.

Nugroho.T& Utama. B. I. 2014.


Masalah Kesehatan Reproduksi
Wanita. Yogyakarta:
NuhaMedika.

Potter & Perry. 2005. Buku


AjarFundamentalkeperawatan:
Konsep, Proses dan Praktik.
Volume 1.Edisi 4. Jakarta:
www.nature.com/scientificreports

OPEN Heat therapy for primary


dysmenorrhea: A systematic
review
and meta-analysis of its effects on
Received: 5 April 2018
pain relief and quality of life
Accepted: 15 October 2018

Published: xx xx xxxx Junyoung Jo1,2 & Sun Haeng Lee 3

Primary dysmenorrhea, which is menstrual pain without pelvic pathology, is the most common
gynecologic condition in women. Heat therapy has been used as a treatment. We assessed the
evidence on heat therapy as a treatment for primary dysmenorrhea. We searched 11 databases for
studies published through July 2018. All randomized controlled trials (RCTs) that addressed heat
therapy for patients with primary dysmenorrhea were included. Data extraction and risk-of-bias
assessments were performed by two independent reviewers. Risk of bias was assessed using the
Cochrane risk-of-bias tool. Six RCTs met our inclusion criteria. Two RCTs found favorable effects of
heat therapy on menstrual pain compared with unheated placebo therapy. Three RCTs found
favorable effects of heating pads on menstrual pain compared with analgesic medication (n = 274;
SMD −0.72; 95% confidence interval −0.97 to −0.48; P < 0.001; two studies). One RCT showed beneficial
effects of heat therapy on menstrual pain compared with no treatment (n = 132; MD −4.04 VAS; 95% CI
−4.88 to −3.20; P < 0.001). However, these results are based on relatively few trials with small sample
sizes. Our review provided suggestive evidence of the effectiveness of heat therapy for primary
dysmenorrhea, but rigorous high-quality trials are still needed to provide robust evidence.

Primary dysmenorrhea refers to painful menstrual cramps in the lower abdominal region during menstruation in
the absence of any discernible macroscopic pelvic pathology1. It frequently involves other symptoms, including
sweating, headache, nausea, vomiting, diarrhea, and tremulousness before or during menstration2. Its estimated
prevalence varies between 45% and 95% of all women of reproductive age3. Dysmenorrheic pain is the primary
cause of recurrent short-term school or work absenteeism among young women of childbearing age4. Women
with this condition report that menstruation has an immediate negative impact on their quality of life (QoL),
whereas women who do not suffer from this condition do not report such an experience during menstruation 4.
Pelvic pain may also cause anxiety and depression, which can amplify the severity of pain5–7. Despite its negative
effects and the availability of treatment at minimal cost, few patients with primary dysmenorrhea visit medical
clinics, and members of this population are frequently undertreated8,9.
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) are considered the primary treatment for primary
dysmenorrhea, but they commonly cause adverse effects (AEs), including indigestion, headaches, and
drowsiness10. Typically, hormone contraceptives are used only for women who are not planning to become
pregnant9. Therefore, many women also seek alternative therapies, such as heating pads for cramps, to manage

1Department of Korean Obstetrics & Gynecology, Conmaul Hospital of Korean Medicine, 110 Seochojungang-ro,
Seocho-gu, 06634, Seoul, Republic of Korea. 2Research Institute of Korean Medicine, College of Korean Medicine,
Dongguk University, 123 Dongdae-ro, Gyeongju-si, Gyeongsangbuk-do, 38066, Seoul, Republic of Korea.
3Department of Pediatrics of Korean Medicine, Kyung Hee University Korean Medicine Hospital, Kyung Hee

University Medical Center, 23 Kyungheedae-ro, Dongdaemun-gu, 02447, Seoul, Republic of Korea.


Correspondence and requests for materials should be addressed to S.H.L. (email: civil011@empas.com)

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 1


www.nature.com/scientificreports/

their menstrual discomfort4,11. A recent systematic review suggested that heat therapy may be related to pain
reduction, although rigorous high-quality trials are still needed before conclusive recommendations can be
made11. However, as the review did not include several important randomized controlled trials (RCTs), another
comprehensive review that focuses on the type and method of various heating modalities is needed.

Superficial heat that ranges from 40–45 °C treats the application site to a depth of about 1 cm. Traditionally,
superficial heat has been used in different forms (e.g., hot water bags, towels, or bottles) to ease menstrual pain.
Although deep heat, such as shortwave diathermy and microwave diathermy, treats deeper structures at depths
of 2–5 cm, deep heat also causes vascular and metabolic changes in deeper tissues and organs 12. Studies have
found that heat is a common (36.5–50%) method for coping with dysmenorrhea13. For women with
dysmenorrhea, the application of local heat can reduce muscle tension and relax abdominal muscles to reduce
pain caused by muscle spasms. Heat can also increase pelvic blood circulation to eliminate local blood and body
fluid retention and diminish congestion and swelling, thereby enabling a reduction in pain caused by nerve
compression14. Therefore, in this review, we investigated current evidence related to the effectiveness of heat
therapy as a treatment for primary dysmenorrhea. All RCTs dealing with heat therapy for patients with primary
dysmenorrhea were analyzed to compare the effects of this treatment with those of control treatments on pain
indicators.

Results
Description of included trials. After removing duplicates, 1052 studies were screened and 15 full-text
articles were assessed for eligibility. Three studies that used moxibustion were excluded because it delivers heat
and excites the nervous system by acupoint stimulation 15. Two observational studies, one summary, and one
trial protocol were also excluded. One study compared infrared heat to hot packs, and the other study was
conducted in a non-randomized setting. Therefore, six RCTs were ultimately included in the analysis (Fig. 1).
The characteristics of the included studies are summarized in Table 1. Two RCTs were conducted in
America16,17, and one RCT each was conducted in Iran18, Korea19, Taiwan14, and Turkey13. All of the studies
were published in peer-reviewed journals. Four studies used a heating device, such as a patch or wrap 13,16–18,
and two studies used a ceramic belt emitting far-infrared radiation (FIR)14,19. Details of the heat treatment are
listed in Table 2. Akin et al. (2001 and 2004) reported only the mean value17 or the mean value and standard
error of the reduction in pain scores16. Furthermore, the exact number of participants in the intervention and
control groups was unclear. Akin et al. (2004) reported that 357 participants finished the trial, and 11 participants
were excluded; however, they finally analyzed 344 participants16. Ke et al. just reported pain scores using figures
with no numerical values14. One of the authors (JJ) contacted the corresponding authors by electronic mail to
request additional information, but the authors replied either that they had no raw data 16,17 or did not respond14.
Therefore, meta-analyses were performed using the other two studies that compared a heat patch with an
analgesic13,18. Another study that compared the FIR belt with a heat pack with a placebo belt with a heat pack
was reported separately19. We used data from the first menstrual cycle after treatment, with the exception of one
study, which reported a baseline difference in pain intensity during the first menstrual cycle 13.

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 2


www.nature.com/scientificreports/

Risk of bias in the included studies. The risk of bias in studies involving random sequence generation and
blinding of outcome assessment was low in 33% of the trials (2/6) and unclear in 66% of the trials (4/6). The
risk of bias for allocation concealment was low in 33% of the trials (2/6), unclear in 50% of the trials (3/6), and
high in 17% of the trials (1/6). The risk of bias in blinding the participants and personnel was high in 33% of
the studies (2/6) and low in 66% of the studies (4/6). There was a low risk of bias of incomplete outcome data,
selective
First Participant Pain assessment Pain outcome
author Year (I/C) Intervention Comparison time measures Results(I/C) Adverse events (I/C)
Heated Unheated Day 1: 0, 1, 2, 3, A. Pain relief A. 3.55/3.07 (mean) B.
20/21 patch + 400 mg/day patch + 400 mg/day 4, 5, 6, 8, 10, and score on 6-point scale 43.8/39.0 (mean)
Ibuprofen Ibuprofen 12 h B. Reduction
Akin 2001 Day 2: 0, 2, 4, 6, in pain intensity during None
Heated patch + Unheated 8, 10, and 12 h days 1–2 on NRS-101 A. 3.27/1.95*** (mean) B.
20/20 Placebo patch + 40.4/21.9** (mean)
Day 3: 0 hour
Placebo
A. Pain relief score Conjunctivitis (1/0)
during day 1 on 6-point Pink skin (1/0)
0.5, 1, 1.5, 2, 3, scale B. Abdominal Headache (0/1)
4000 mg/day muscle tightness and A. 2.48 ± 1.23/2.17 ± 1.22*B.
Akin 2004 151/150 Heat wrap 4, 5, 6, 7, 8, 24, cramping during day Rhinitis (0/1)
Acetaminophen 40.40 ± 20.15/44.50 ± 20.45*
48 h 1 on NRS-101 Upper respiratory
infection (0/1)
Anxiety (0/1)
Menstrual A. 5.89 ± 2.16/6.33 ± 2.16 B.
cycle 3 29/28
Menstrual A. 6.13 ± 2.38/5.72 ± 2.38 B.
1st-degree burns (3/4)
cycle 4 29/28
A. Maximum Skin rash (1/0)
Far-infrared belt + Placebo belt + Hot Menstrual VAS score A. 4.96 ± 2.16/5.69 ± 2.16 B. Itching (4/2)
Lee 2011 52/52 B. Participants 29/19
Hot water bag water bag cycle 5 Abdominal
taking pain medications discomfort (1/0)
Menstrual A. 5.04 ± 2.45/5.97 ± 2.45 B.
cycle 6a Nausea (1/1)
25/25
Menstrual A. 5.08 ± 2.24/6.47 ± 2.24**B.
cycle 7a 26/25
1–3 days of Pain score on VRS-6 General trend towards lower
menstrual cycle and NRS-11 score in far-infrared belt group
Ke 2012 26/25 Far-infrared belt Placebo belt on Not reported
1–3
1–3 days of menstrual cycle**
SF-MPQ
A. Sensual
pain score on 34-point
scale
B. Emotional
2, 4, 8, 12, A. 5.55 ± 6.81/5.55 ± 6.84
pain score on 13-point
400 mg/day and 24 h after scale B. 2.63 ± 2.60/3.13 ± 2.94 C.
Navvabi 2012 72/75 Heated patch Not reported
Ibuprofen the onset of C. Current 26.54 ± 36.41/26.97 ± 32.91 D.
menstruation pain 1.63 ± 1.93/3.57 ± 2.72
score on 101-point
VAS
D. Total pain
score on 6-point VAS
Menstrual cycle T2. 4.76 ± 2.29/6.58 ± 1.66b T3.
1: T1, T2, T3 1.99 ± 2.42/5.78 ± 2.63b
66/66 No treatment T2. Mid-treatment
Menstrual cycle pain intensity on T2. 4.53 ± 2.39/6.90 ± 1.53b T3.
2: T1, T2, T3 10-cm VAS 1.90 ± 2.39/5.94 ± 2.51b
Potur 2014 Heated patch Not reported
Menstrual cycle T3. End of treatment T2. 4.76 ± 2.29/5.21 ± 2.60b T3.
1: T1, T2, T3 pain intensity on 1.99 ± 2.42/4.19 ± 3.03b
66/61 Self-analgesic drugs 10-cm VAS
Menstrual cycle T2. 4.53 ± 2.39/5.79 ± 2.45b T3.
2: T1, T2, T3 1.90 ± 2.39/3.61 ± 3.08b
Table 1. Baseline characteristics of included studies. I/C: Intervention/Comparison; ROB: risk of bias; NRS:
numerical rating scale; VAS: visual analogue scale; VRS: verbal rating scale; SF-MPQ: shortened revision
of the McGill Pain Questionnaire; T1: baseline, T2: after 4 h of intervention (mid-treatment), T3: after 8 h of
intervention (end of treatment). Scores are expressed as mean ± standard deviation. *P < 0.05, **P < 0.01.
aPost-treatment follow-up period. bThere was a significant difference among the three groups at T2 and T3 of

the intervention in terms of pain severity (P < 0.001).

reporting, and other sources in all studies. Figure 2 summarizes the risks of bias and Appendix S2 provides the
authors’ judgments on the risk of bias.

Outcome measures. Self-reported pain severity. Each of the six RCTs measured pain severity to identify the
effects of heat therapy on alleviating menstrual pain13,14,16–19. The meta-analysis of two studies13,18 showed that

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 3


www.nature.com/scientificreports/

the heat patch had a more favorable effect on the severity of menstrual pain compared with analgesic medication
(n = 274; SMD −0.72; 95% confidence interval [CI] −0.97 to −0.48; P < 0.001) and no treatment (n = 132; MD
−4.04 VAS; 95% CI −4.88 to −3.20; P < 0.001) (Fig. 3). In two studies, Akin et al. reported that the heat patch
demonstrated significant menstrual pain relief compared with unheated placebo therapy17 or acetaminophen16.
However, concurrent use of the heat patch and ibuprofen produced similar pain relief as the combined use of
the unheated placebo patch and ibuprofen17. Ke et al. showed a general trend towards a lower pain score in the
FIR-belt group compared with the placebo-belt or blank group14. Lee et al. found that the FIR belt with a heat
pack and the placebo belt with a heat pack had similar effects on pain relief (n = 104; MD −0.73 maximal VAS;
95% CI −1.56 to 0.10; P = 0.08) (Fig. 3)19. However, we found a significantly greater effect on pain relief in the
FIR-belt group (maximal VAS: 5.08 ± 2.24) compared with the placebo-belt group (maximal VAS 6.47 ± 2.24)
in the two menstrual cycles immediately following the end of treatment (P = 0.002).
First Treatment
author Year Method region Treatment duration
Wearing a kidney bean-shaped ultra-thin medical device that supplied Inside the
Akin 2001 heat at a constant temperature of 38.9 °C over a surface area of 180 cm 2 underwear on the 12 h/day for 2 days
for 12 hours lower abdomen
Akin 2004 Wearing a heat wrap at a constant temperature of 40 °C Not reported 8 hours
A. Wearing a sericite ceramic belt that emitted far-infrared ray (FIR) at a While sleeping at night
peak wavelength of 5–20 μm when warmed to 40 °C B. 9 × 7 cm disposable for three consecutive
Lee 2011 Lower abdomen
hot water bag containing iron powder and other chemicals that quickly menstrual cycles
heated up to 50 °C and stayed at that temperature for 10 hours
Wearing a 15 × 70 cm belt with 10 wt% FIR ceramic powders including Entire day during
Ke 2012 aluminum oxide, ferric oxide, magnesium oxide, and calcium carbonate that Abdomen menstruation
emitted 10.16 mW/cm2 FIR at a wavelength of 3–16 μm
Navvabi 2012 Wearing a 7 × 12 cm heated patch In underwear Not reported
Wearing the heat patch containing iron, coal, water, and salt that supplied For 8 hours during two
Potur 2014 heat at a constant temperature of 38.9 °C over a surface area of 180 cm 2 Lower abdomen menstrual cycles
for 8 hours
Table 2. Details of the heat therapies used in the RCTs.

Validated pain questionnaires. One study used a shortened revision of the McGill questionnaire, which has
proven validity and reliability, to measure pain 18. Pain severity was measured using 11 phrases describing
sensory pain (0 to 33 points) and 4 phrases describing emotional pain (0 to 12 points). However, there were no
significant differences between the heat patch and ibuprofen in terms of sensual and emotional pain (sensual
pain MD = −0.04; 95% CI −2.25 to 2.17; P > 0.05; emotional pain MD = −0.50; 95% CI −1.40 to 0.40; P > 0.05).

Validated quality-of-life questionnaires. One study measured menstrual symptom severity (menstrual quality of
life) using a standardized 17-item questionnaire16. The four core symptom clusters (pain, negative affect, water
retention, and food) were derived from a previous study 20. The heat-wrap group reported less severe menstrual
symptoms (0.91 ± 0.49) compared with the acetaminophen group (0.99 ± 0.49); however, the difference was not
statistically significant (MD = −0.08; 95% CI −0.19 to 0.03; P = 0.065). The pain cluster score (lower abdominal
cramping, low backache, and generalized aches/pains) of the heat-wrap group (1.20 ± 0.74) was significantly
lower than that of the acetaminophen group (1.35 ± 0.73; MD = −0.15; 95% CI −0.32 to 0.02; P = 0.040).
Additionally, the heat-wrap group had significantly lower scores regarding mood swings (P = 0.046), fatigue (P
= 0.012), and lower abdominal cramping (P = 0.008).

Adverse effects. Among the six studies, three noted if AEs were associated with treatment. Specifically, two
studies reported AEs16,19, and one study had no reported AEs17. Mild conjunctivitis and moderate application
site reactions occurred in the heat-wrap group, whereas moderate headache, rhinitis, and upper respiratory
infection and severe anxiety occurred in the acetaminophen group 16. The frequency of AEs, including first-
degree burns and itching, in the group that used the FIR belt with the heat pack was equal to that of the group
that used the placebo belt with the heat pack. All AEs disappeared within a few days without treatment. There
were no serious AEs, and no clinically relevant changes in vital signs; no patient discontinued the clinical trial
due to an AE19.

Discussion
This systematic review, which included six studies, found that heat therapy appears to decrease menstrual pain
in women with primary dysmenorrhea. There was a consistent reduction in menstrual pain with heat therapy
compared with unheated placebo therapy. There was also a trend towards a reduction in menstrual pain with
heat therapy compared with analgesic drugs. These results appear promising but should be interpreted cautiously
because they are based on relatively few trials with an unclear risk of selection bias.
We included only RCTs to remove potential bias and did not have any language restrictions. Although our
literature searches included English and Korean databases, and also included searching by hand for relevant
articles, we cannot be absolutely certain that all relevant RCTs were found. The meta-analysis included small

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 4


www.nature.com/scientificreports/

numbers of studies with relatively small sample sizes. This contributed to imprecision in estimates. There were
variations in the duration, type of heat therapy (e.g. patch or wrap or ceramic belt emitting FIR), and duration
of follow up used in these studies, leading to heterogeneity in the findings. Akin et al. reported only the mean
value17 or the mean value and standard error of the reduction in pain outcomes16. Ke et al. reported the outcome
only in figures in the paper14; therefore, meta-analyses were available from only two studies. A recently
published review, which examined the same topic as this article11, included a non-RCT that was excluded from
our review. Additionally, it failed to include several important studies16,17,19 that were included and analyzed in
our review.
NSAIDs appear to be an effective treatment for dysmenorrhea, although women using them need to be aware
of the substantial risk for AEs10. Hormone contraceptives are available only for patients who do not plan to
become pregnant9. Our systematic review showed the clear benefit of heat therapy for menstrual pain in women
with primary dysmenorrhea. Whether this translates into long-term clinical benefits has yet to be demonstrated.
One argument for using heat therapy for the management of dysmenorrhea may be that it causes fewer AEs than
conventional drugs. However, there was no evidence that there is a difference among them with regard to AEs.
If heat therapy were effective and safe for the management of dysmenorrhea in both the short- and long-term,

it could become a first-line non-pharmacologic treatment to decrease menstrual pain in women with primary
dysmenorrhea, particularly those with contraindications for NSAIDs.
This systematic review and meta-analysis suggests that heat therapy was associated with a decrease in
menstrual pain in women with primary dysmenorrhea. These results are consistent with the recommendation of
local heat as a complementary treatment for dysmenorrhea9. We need to compare the effects of various heating
modalities with those of other general interventions in terms of short- and long-term outcomes as well as cost-
effectiveness. A well-designed multicenter trial to address this issue and provide robust evidence of benefit is
warranted to clarify the role of heat therapy in this population.

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 5


www.nature.com/scientificreports/

Methods
Protocol registration. The protocol for this systematic review was registered (CRD42017060127), and the
review was conducted and reported as outlined in the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and
Meta-Analyses (PRISMA) statement21.

Literature search. We searched the following databases for relevant studies published through July 2018:
MEDLINE, EMBASE, the Cochrane Central Register of Controlled Trials, the Allied and Complementary
Medicine Database, and the Cumulative Index to Nursing and Allied Health Literature. We also searched six
Korean medical databases: the Oriental Medicine Advanced Searching Integrated System, the Korean
Traditional
Knowledge Portal, the Korean Studies Information Service System, the Research Information Service System,
Korea Med, and DBpia. Each search term was composed of a disease term (e.g., dysmenorrhea, menstrual pain,
painful menstruation, period pain, painful period, cramps, menstrual disorder, or pelvic pain) and an intervention
term (e.g., heat/warm). No language restrictions were imposed. The search strategies are presented in online

Forest plot of the heat therapy and control.

Supplement 1. Similar search strategies were applied to the other databases. Study selection was documented
and summarized in a PRISMA-compliant flow chart (http://www.prisma-statement.org) (Fig. 1)21.

Study selection. Types of research. All prospective RCTs, quasi-RCTs, and cluster RCTs were included.
Observational, cohort, case–control, and case series studies were excluded as were qualitative, uncontrolled
trials, and laboratory studies.

Type of participants. Patients of any age with primary dysmenorrhea were included in the systematic review.
Dysmenorrhea secondary to other pathologies, such as uterine myoma, endometriosis, or infection, was
excluded in this review.

Types of intervention. Randomized studies of superficial or deep heat therapy, either as the sole treatment or as
an adjunct to other treatments applied in both groups (intervention and control groups) in the same manner, were
included.

Types of comparisons. We included any type of control intervention, including no treatment, placebo, and
conventional medication. RCTs that compared different heat treatments were excluded.

Outcome measures. Primary outcomes. The primary outcomes were reduction of menstrual pain only during
the intervention or as a result of the intervention measured using a visual analogue scale (VAS) or numeric
rating scale (NRS).

Secondary outcomes. The secondary outcomes were scores on validated pain questionnaires, QoL, and AEs.

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 6


www.nature.com/scientificreports/

Data extraction. Two authors (JJ and SHL) performed the data extraction and quality assessment
using a predefined data extraction form. The form included information pertaining to the first author, study
design, language of publication, country where the trial was conducted, clinical setting, diagnostic criteria,
number of participants allocated to each group, drop-out number, treatment duration, outcome, outcome
results, and AEs associated with heat therapy. When studies reported outcomes at more than one time point, a
similar measurement point in other studies was used for the analysis, such as at the end of treatment or the first
menstrual cycle after treatment. Any disagreement among the authors was resolved by discussion among all
authors. When the data were insufficient or ambiguous, JJ contacted the corresponding author by electronic
mail or telephone to request additional information or clarification.

Assessment of risk of bias in the included studies. The risk of bias was assessed using the risk-of-bias
assessment tool from the Cochrane Handbook ver. 5.1.0, which includes random sequence generation, allocation
concealment, blinding of participants and personnel, blinding of outcome assessments, incomplete outcome
data, selective reporting, and other sources of bias22. Our review used ‘L’, ‘U’, and ‘H’ to indicate the results of
the assessments: ‘L’ indicated a low risk of bias, ‘U’ indicated that the risk of bias was unclear, and ‘H’ indicated
a high risk of bias. Disagreements were resolved by discussion among the authors.

Data synthesis and analysis. Statistical analyses were performed with the program Review Manager (ver.
5.3 Copenhagen: The Nordic Cochrane Centre, The Cochrane Collaboration, 2014). Trials were combined
according to the type of intervention and type of outcome measure and/or control. Data were pooled and
expressed as the mean difference (MD) or standardized mean difference (SMD) for continuous outcomes using
random-effects models, because high levels of heterogeneity had been anticipated.

Assessment and investigation of heterogeneity. Heterogeneity among studies was assessed using the
chi-square (χ2) test with a significance level of P < 0.1 and the I2 statistic23. The I2 statistic indicates the
proportion of variability among trials that was not explained by chance alone, and an I 2 value > 50% indicates
substantial heterogeneity23,24. When substantial heterogeneity was detected, we explored the sources of
heterogeneity by performing a subgroup analysis according to the type of intervention or control group. If some
factors (e.g., lack of included trials, large methodological or clinical differences among trials) were found, we
did not conduct a subgroup analysis or data synthesis, but instead created a narrative description of the included
studies. We assessed publication bias by using a funnel plot if 10 or more studies were included.

Missing data. We made our best efforts to analyze data on an intention-to-treat basis, and attempts were made
to obtain missing data from the original investigators. When these attempts were unsuccessful, we did not
substitute data for missing data but analyzed only the available data.

References
1. Dawood, M. Y. Primary dysmenorrhea: advances in pathogenesis and management. Obstet Gynecol 108, 428–441, https://doi.
org/10.1097/01.AOG.0000230214.26638.0c (2006).
2. De Sanctis, V. et al. Primary Dysmenorrhea in Adolescents: Prevalence, Impact and Recent Knowledge. Pediatr Endocrinol Rev
13, 512–520 (2015).
3. Proctor, M. & Farquhar, C. Diagnosis and management of dysmenorrhoea. BMJ 332, 1134–1138, https://doi.org/10.1136/
bmj.332.7550.1134 (2006).
4. Iacovides, S., Avidon, I. & Baker, F. C. What we know about primary dysmenorrhea today: a critical review. Hum Reprod Update
21, 762–778, https://doi.org/10.1093/humupd/dmv039 (2015).
5. Sahin, N., Kasap, B., Kirli, U., Yeniceri, N. & Topal, Y. Assessment of anxiety-depression levels and perceptions of quality of life
in adolescents with dysmenorrhea. Reprod Health 15, 13, https://doi.org/10.1186/s12978-018-0453-3 (2018).
6. Vitale, S. G., La Rosa, V. L., Rapisarda, A. M. C. & Lagana, A. S. Impact of endometriosis on quality of life and psychological
wellbeing. J Psychosom Obstet Gynaecol 38, 317–319, https://doi.org/10.1080/0167482X.2016.1244185 (2017).
7. Lagana, A. S. et al. Anxiety and depression in patients with endometriosis: impact and management challenges. Int J Womens
Health 9, 323–330, https://doi.org/10.2147/IJWH.S119729 (2017).
8. De Sanctis, V. et al. Dysmenorrhea in adolescents and young adults: a review in different country. Acta Biomed 87, 233–246 (2017).
9. Burnett, M. & Lemyre, M. No. 345-Primary Dysmenorrhea Consensus Guideline. J Obstet Gynaecol Can 39, 585–595,
https://doi. org/10.1016/j.jogc.2016.12.023 (2017).
10. Marjoribanks, J., Ayeleke, R. O., Farquhar, C., & Proctor, M. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs for dysmenorrhoea. Cochrane
Database Syst Rev, Cd001751, https://doi.org/10.1002/14651858.CD001751.pub3 (2015).
11. Igwea, S. E., Tabansi-Ochuogu, C. S. & Abaraogu, U. O. TENS and heat therapy for pain relief and quality of life improvement
in individuals with primary dysmenorrhea: A systematic review. Complement Ther Clin Pract 24, 86–91, https://doi.org/10.1016/j.
ctcp.2016.05.001 (2016).
12. Perez Machado, A. F. et al. Microwave diathermy and transcutaneous electrical nerve stimulation effects in primary dysmenorrhea:
clinical trial protocol. Pain Manag 7, 359–366, https://doi.org/10.2217/pmt-2017-0021 (2017).
13. Potur, D. C. & Komurcu, N. The effects of local low-dose heat application on dysmenorrhea. J Pediatr Adolesc Gynecol 27, 216–
221, https://doi.org/10.1016/j.jpag.2013.11.003 (2014).
14. Ke, Y. M. et al. Effects of somatothermal far-infrared ray on primary dysmenorrhea: a pilot study. Evid-Based Complement
Alternat Med 2012, 240314, https://doi.org/10.1155/2012/240314 (2012).
15. Xu, T., Hui, L., Juan, Y. L., Min, S. G. & Hua, W. T. Effects of moxibustion or acupoint therapy for the treatment of primary
dysmenorrhea: a meta-analysis. Altern Ther Health Med 20, 33–42 (2014).
16. Akin, M. et al. Continuous, low-level, topical heat wrap therapy as compared to acetaminophen for primary dysmenorrhea. J
Reprod Med 49, 739–745 (2004).
17. Akin, M. D. et al. Continuous low-level topical heat in the treatment of dysmenorrhea. Obstet Gynecol 97, 343–349 (2001).
18. Navvabi Rigi, S. et al. Comparing the analgesic effect of heat patch containing iron chip and ibuprofen for primary dysmenorrhea:
a randomized controlled trial. BMC Womens Health 12, 25, https://doi.org/10.1186/1472-6874-12-25 (2012).

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 7


www.nature.com/scientificreports/

19. Lee, C. H. et al. A multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled trial evaluating the efficacy and safety of a far
infraredemitting sericite belt in patients with primary dysmenorrhea. Complement Ther Med 19, 187–193,
https://doi.org/10.1016/j. ctim.2011.06.004 (2011).
20. Thys-Jacobs, S., Alvir, J. M. & Fratarcangelo, P. Comparative analysis of three PMS assessment instruments—the identification
of premenstrual syndrome with core symptoms. Psychopharmacol Bull 31, 389–396 (1995).
21. Liberati, A. et al. The PRISMA statement for reporting systematic reviews and meta-analyses of studies that evaluate health care
interventions: explanation and elaboration. Ann Intern Med 151, W65–94 (2009).
22. Higgins, J. P. T. & Altman, D. G. Chapter 8: assessing risk of bias in included studies,” in Cochrane Handbook for Systematic
Reviews of Interventions Version 5.1.0, J. Higgins and S. Green, Eds., The Cochrane Collaboration 2011, http://www.cochrane-
handbook.org (2011).
23. Deeks, J. J., Higgins, J. P. T., & Altman, D. G. Chapter 9: analyzing data and undertaking meta-analyses, in Cochrane Handbook
for Systematic Reviews of Interventions Version 5.1.0, J. Higgins and S. Green, Eds., The Cochrane Collaboration 2011,
http://www.
cochrane-handbook.org (2011).
24. Higgins, J. P. & Thompson, S. G. Quantifying heterogeneity in a meta-analysis. Stat Med. 21, 1539–5158 (2002).

Acknowledgements
This research was supported by grants from Korea Institute of Oriental Medicine (K18043).

Author Contributions
J.J.: Conception and design, acquisition of data, analysis plan, interpretation of data, drafting/revising and final
approval of article. S.H.L.: Acquisition of data, analysis, interpretation of data, drafting/revising and final
approval of article.

Additional Information
Supplementary information accompanies this paper at https://doi.org/10.1038/s41598-018-34303-z.
Competing Interests: The authors declare no competing interests.
Publisher’s note: Springer Nature remains neutral with regard to jurisdictional claims in published maps and
institutional affiliations.
Open Access This article is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International
License, which permits use, sharing, adaptation, distribution and reproduction in any medium or
format, as long as you give appropriate credit to the original author(s) and the source, provide a link to the
Creative Commons license, and indicate if changes were made. The images or other third party material in this
article are included in the article’s Creative Commons license, unless indicated otherwise in a credit line to the
material. If material is not included in the article’s Creative Commons license and your intended use is not
permitted by statutory regulation or exceeds the permitted use, you will need to obtain permission directly from
the copyright holder. To view a copy of this license, visit http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/.

© The Author(s) 2018

Scientific RePoRtS | (2018) 8:16252 | DOI:10.1038/s41598-018-34303-z 8


SATUAN ACARA PENYULUHAN BAHAYA NARKOBA

Pokok bahasan : Bahaya Narkoba


Sub pokok bahasan : Cara komunikasi menolak
Penggunaan Narkoba
Sasaran : Remaja dan Keluarga
Hari /Tanggal : Rabu / 13-01-2021
Waktu : 14.00-15.00 wib
Tempat : Rumah Bapak E
Penyuluh : Rena Ivana Pinem, S.Kep

A. Latar belakang
Narkoba adalah obat obatan terlarang yang jika dikonsumsi mengakibatkan kecanduan
dan jika terlalu lama dan sudah ketergantungan narkoba maka lambat laun organ dalam
tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi takaran maka pengguna itu akan overdosis dan
akhirnya dapat menyebabkan kematian. Dari hasil evaluasi menunjukan bahwa siswa
siswi memiliki pemahaman yang meningkat dibandingkan sebelum diberikan penyuluhan
tentang Napza dan dampak buruknya, sehingga meningkatkan kesadaran siswa akan
dampak yang bisa ditimbulkan.
Data estimasi berdasarkan pengisiaan questioner dan wawancara jumlah responden yaitu
91. Responden yang mempunyai anak usia remaja sebanyak 34 orang (49%) dan
responden yang tidak mempunyai anak usia remaja ada 33 orang (51%). Dari hasil
pengkajian selama 3 hari melalui pengisian questioner tanggal 22-25 Desember 2020
remaja yang mendapatkan penyimpangan perilaku ada 1 orang (33%). Remaja yang
menjawab ya 1 responden jenisnya yaitu ketergantungan obat. Remaja dengan
penyimpangan perilaku jenis minuman keras 0 orang (0%).

B. Tujuan Instruksional Umum


Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan selama 45 menit pada remaja dan keluarga pada
via zoom atau virtual online diharapkan remaja mampu melakukan komunikasi untuk
menolak penggunaan Narkoba.

C. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah diberikan penyuluhan tentang bahaya narkoba pada remaja dan keluarga
diharapkan remaja dan keluarga mampu:
1. Menyebutkan pengertian Narkoba
2. Menyebutkan faktor resiko Narkoba
3. Menyebutkan tanda dan gejala Narkoba
4. Menyebutkan Komplikasi Narkoba
5. Menyebutkan pertolongan pertama pada penderita Narkoba
6. Menyebutkan pencegahan Narkoba
7. Menyebutkan terapi komplementer untuk berkomunikasi menolak penggunaan
narkoba

D. Materi (Uraian terlampir)

1. Pengertian Narkoba
2. Faktor resiko Narkoba
3. Tanda dan gejala Narkoba
4. Komplikasi Narkoba
5. Pertolongan pertama pada penderita Narkoba
6. Pencegahan Narkoba
7. Terapi komplementer untuk berkomunikasi menolak penggunaan narkoba
No. Uraian Kegiatan Metode Media Waktu
1. Pendahuluan : Ceramah Lisan 5 Menit
a. Memberi salam
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan tujuan
d. Kontrak waktu

2 Pelaksanaan • Ceramah • Power 13 menit


a. Menjelaskan pengertian Narkoba • Diskusi point
b. Menjelaskan faktor resiko Narkoba • Tanya
c. Menjelaskan tanda dan gejala jawab
Narkoba
d. Menjelaskan Komplikasi Narkoba
e. Menjelaskan pertolongan pertama
pada penderita Narkoba
f. Menjelaskan pencegahan Narkoba
g. Menjelaskan terapi komplementer
untuk berkomunikasi menolak
penggunaan Narkoba
3. Penutup Ceramah Lisan 5 menit
a. Memberikan kesempatan pada remaja
dan keluarga untuk bertanya
b. Menyampaikan kesimpulan materi
c. Memberi evaluasi secara lisan
d. Memberi salam

8. Evaluasi (Terlampir)
1. Bentuk : Quesioner
2. Jenis pertanyaan : Google form
3. Jumlah pertanyaan : 5 pertanyaan
4. Waktu : 5 menit
MATERI PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG BAHAYA NARKOBA

A. Pengertian Narkoba
Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dapat mengubah perasaan, pikiran, suasana hati atau perilaku seseorang dan
dapat menimbulkan ketergantungan.

B. Faktor Resiko Narkoba

1. Memiliki teman yang seorang pecandu NAPZA.


2. Mengalami masalah ekonomi.
3. Pernah mengalami kekerasan fisik, emosi, atau seksual.
4. Memiliki masalah hubungan dengan pasangan, kerabat, atau keluarga.
C. Tanda Dan Gejala Penggunaan Narkoba

Berikut ini tanda-tanda dari Penggunaan Narkoba:


1. Hilangnya minat bergaul dan olahraga
2. Mengabaikan perawatan dan kerapihan diri
3. Disiplin pribadi mengendur
4. Suka menyendiri
5. Cepat tersinggung dan cepat marah
6. Suka mencuri barang di rumah
7. Prestasi sekolah atau kerja menurun
8. Mata merah
9. Penurunan atau peningkatan berat badan yang drastic dalam waktu singkat
10. Sulit atau tidak bisa tidur
Berikut ini gejala dari Penggunaan Narkoba:
1. Menjadi malas
2. Kurang memperhatikan badan sendiri
3. Hidup tidak teratur
4. Mudah tersinggung
5. Tidak dapat memegang kepentingan orang lain

D. Komplikasi Penggunaan Narkoba


1. Henti Nafas
2. HIV
3. Kanker Hati
4. Tuberkulosis

E. Pertolongan Pertama Pada Penderita Pen ggu n aan Narkoba:


1. Siapkan air panas didalam botol, caranya botol berisi air panas itu bisa diletakkan pada
Bagian perut pengguna sehingga kondisi orang ini akan merasa lebih baik.
2. Letakkan diruangan yang tenang
3. Coba berkomunikasi dengan tenang
4. Sediakan media hiburan
5. Hindari memberi obat
6. Temani atau jangan biarkan sendirian
7. Upayakan pasien tetap tenang
8. Lepaskan Pakaian agar kondisi tubuhnya lebih dingin
9. Hindari memberikan minuman bersoda
10.Hubungi dokter atau tenaga medis

F. Pencegahan Penggunaan Narkoba:

1. Menanamkan pemahaman hidup sehat anak usia dini


2. Pemahaman akan adanya racun di sekeliling kita
3. Memberikan informasi yang akurat dan jelas mengenai bahaya dari setiap jenis
Narkoba.
4. Bekerjasama dengan tempat Pendidikan (sekolah atau universitas)
5. Bekerjasama dengan lingkungan rumah seperti ketua RT dan RW
6. Hubungan komunikasi antara orang tua dan anak terjalin dengan baik
G. TERAPI KOMPLEMENTER CARA KOMUNIKASI MENOLAK PENGGUNAAN
NARKOBA
A. Menolak secara Halus
1) Maaf, saya tidak biasa memakai Narkoba
2) Terimakasih, tapi saya tidak dapat melakukannya
3) Tidak mau ah, teman saya masuk rumah sakit gara-gara ini dan sampai sekarang belum
sembuh-sembuh
B. Menolak secara Tegas
1) Pokoknya saya tidak mau memakai Narkoba
2) Tidak, saya tidak mau menjadi seorang pecandu Narkoba, itu kayak orang gila dan
Putus asa

MATERI BERKOMUNIKASI MENOLAK PENGGUNAAN NARKOBA

A. Manfaat Komunikasi menolak penggunaan Narkoba


Menyampaikan informasi untuk menolak bujukan orang yang mengajak kita untuk memakai
narkoba.

B. CARA BERKOMUNIKASI MENOLAK PENGGUNAAN NARKOBA


1) Maaf, saya tidak biasa memakai Narkoba
2) Terimakasih, tapi saya tidak dapat melakukannya
3) Tidak mau ah, teman saya masuk rumah sakit gara-gara ini dan sampai sekarang belum
Sembuh-sembuh.
4) Pokoknya saya tidak mau memakai Narkoba
5) Tidak, saya tidak mau menjadi seorang pecandu Narkoba, itu kayak orang gila dan
Putus asa
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

CARA KOMUNIKASI MENOLAK PENGGUNAAN NARKOBA

Nama : Rena Ivana Pinem, S.Kep

Npm : 195140065

Pengertian Cara komunikasi menolak penggunaan narkoba adalah cara


menyampaikan informasi untuk menolak bujukan orang yang mengajak
kita untuk memakai narkoba.

Tujuan Mengindari ajakan atau bujukkan penyalahgunaan Narkoba

Indikasi Remaja dan keluarga yang mengalami masalah dan pikiran

Petugas Perawat

Peralatan Video

Prosedur Pelaksanaan A. Tahap Pra Interaksi


1. Menyiapkan alat
2. Mengkaji kesiapan klien untuk melakukan komunikasi
menolak penggunaan narkoba

B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan indentitas klien dan menyampaikan kontrak
waktu
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur
4. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien

C. Tahap Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Memberikan contoh dengan berakting untuk berkomunikasi
menolak ajakkan penggunaan Narkoba
D. Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi Tindakan
2. Menganjurkan klien untuk melakukan kembali cara
komunikasi untuk menolak penggunaan narkoba
3. Mengucapkan salam dan berpamitan dengan klien
Daftar Pustaka

Pusat Kesehatan Markas Besar TNI. 2015. Buku Panduan Penyuluhan Narkoba. Hal.

Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Peran Pemuda Dalam Menghadapi Proxy War. Jitet. Hal. 29.

Anonim. Pengertian dan Jenis-Jenis NAPZA. Kabar Pernas & AIDS V. No 1 2015.

Wiradihardja Sudrajat, Syarifudin. 2014. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.


Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
BAHAYA NARKOBA
NAMA : RENA IVANA PINEM
NAMA : RENA IVANA PINEM

NPM : 195140065 NPM: 195140065


 Zatatau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dapat mengubah
perasaan, pikiran, suasana hati atau perilaku seseorang
dan dapat menimbulkan ketergantungan
1. Memiliki teman yang
seorang pecandu NAPZA.
2. Mengalami masalah
ekonomi.
3. Pernah mengalami
FAKTOR RESIKO
PENYALAHGUNAAN NARKOBA kekerasan fisik, emosi,
atau seksual.
4. Memiliki masalah
hubungan dengan
pasangan, kerabat, atau
keluarga.
Tanda Dan Gejala Penyalahgunaan
Narkoba
 Berikut ini tanda- tanda penyalahgunaan dari  Berikut ini Gejala dari penyalahgunaan
Narkoba: Narkoba:
 1. Hilangnya minat bergaul dan olahraga  1. Menjadi malas
 2. Mengabaikan perawatan dan kerapihan diri  2. Kurang memperhatikan badan sendiri
 3. Disiplin pribadi mengendur  3. Hidup tidak teratur
 4. Suka menyendiri  4. Mudah tersinggung
 5. Cepat tersinggung dan cepat marah  5. Tidak dapat memegang kepentingan orang
 6. Suka mencuri barang di rumah lain

 7. Prestasi sekolah atau kerja menurun
 8. Mata Merah
 9. Penurunan atau peningkatan berat badan
yang drastis dalam waktu singkat
 10. Sulit atau tidak bisa tidur
KOMPLIKASI
PENYALAHGUNAAN NARKOBA

➢HENTI NAFAS
➢HIV
➢KANKER HATI
➢TUBERKULOSIS
Pertolongan Pertama Pada Penderita
Penyalahgunaan Narkoba
1. SIAPKAN AIR PANAS DIDALAM BOTOL, CARANYA BOTOL BERISI AIR PANAS ITU BISA DILETAKKAN PADA
BAGIAN PERUT PENGGUNA SEHINGGA KONDISI ORANG INI AKAN MERASA LEBIH BAIK.
2. LETAKKAN DIRUANGAN YANG TENANG
3. COBA BERKOMUNIKASI DENGAN TENANG
4. SEDIAKAN MEDIA HIBURAN
5. HINDARI MEMBERI OBAT
6. TEMANI ATAU JANGAN BIARKAN SENDIRIAN
7. UPAYAKAN PASIEN TETAP TENANG
8. LEPASKAN PAKAIAN AGAR KONDISI TUBUHNYA LEBIH DINGIN
9. HINDARI MEMBERIKAN MINUMAN BERSODA
10.HUBUNGI DOKTER ATAU TENAGA MEDIS
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
1. MENANAMKAN PEMAHAMAN HIDUP SEHAT ANAK USIA DINI
2. PEMAHAMAN AKAN ADANYA RACUN DI SEKELILING KITA
3. MEMBERIKAN INFORMASI YANG AKURAT DAN JELAS
MENGENAI BAHAYA DARI SETIAP JENIS NARKOBA
4. BEKERJASAMA DENGAN TEMPAT PENDIDIKAN (SEKOLAH ATAU
UNIVERSITAS)
5. BEKERJASAMA DENGAN LINGKUNGAN RUMAH SEPERTI KETUA
RT DAN RW
6. HUBUNGAN KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
TERJALIN DENGAN BAIK
TERAPI KOMPLEMENTER CARA BERKOMUNIKASI
MENOLAK PENGGUNAAN NARKOBA
Menolak secara Halus Menolak secara Tegas

1) Maaf, saya tidak biasa memakai 1) Pokoknya saya tidak mau


narkoba memakai narkoba
2) Terimakasih, tapi saya tidak 2) Tidak, saya tidak mau menjadi
dapat melakukannya seorang pecandu narkoba, itu
kayak orang gila dan putus
3) Tidak mau ah, teman saya masuk
asa.
rumah sakit gara-gara ini dan
sampai sekarang belum sembuh-
sembuh.
SOAL PRE TEST DAN POST TEST
1. APAKAH ANDA MENGETAHUI APA ITU TENTANG BAHAYA NARKOBA?
A. YA TAHU
B. TIDAK TAHU

2. APAKAH ANDA PERNAH MELAKUKAN PENYIMPANGAN PERILAKU ?


A. PERNAH
B. TIDAK PERNAH

3. APA SAJAKAH TANDA DAN GEJALA DARI PENYALAHGUNAAN NARKOBA?


A. SERING BERGAUL DENGAN TEMAN DAN LINGKUNGAN
B. PRESTASI SEKOLAH MAUPUN KERJA MENINGKAT
C. SERING TIDUR
D. CEPAT TERSINGGUNG DAN MUDAH MARAH

4. APA SAJAKAH KOMPLIKASI DARI PENYALAHGUNAAN NARKOBA?


A. HIV
B. DIARE
C. COVID 19
D. GAGAL GINJAL

5. BAGAIMANA CARA BERKOMUNIKASI UNTUK MENOLAK PENGGUNAAN


NARKOBA?
A. ANDA SAJA YANG MEMAKAI NARKOBA, SAYA OGAH MENJADI SEPERTI
KAMU
B. SAYA MAU MEMAKAI NARKOBA TAPI KAMU HARUS DULUAN YA
C. TERIMAKASIH, TAPI SAYA TIDAK DAPAT MELAKUKANNYA
D. HEY PECANDU TIDAK USAH DEKAT-DEKAT DENGAN SAYA
eJournal Ilmu Komunikasi, 2014, 2 (2) :78-88
ISSN 0000-0000, ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id
© Copyright 2013

Strategi Komunikasi BNN ( Badan Narkotika Nasional )


Kota Samarinda Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba

Ardylas Y. Putra 1

Abstrak

Artikel ini menggambarkan tentang bagaimana strategi BNN ( badan


Narkotika Nasional ) kota samarinda dalam mensosialisasikan bahaya
narkoba. Artikel ini berargumentasi apa saja yang sudah menjadi Strategi
Komunikasi BNN untuk membuat masyarakat sadar akan bahayanya
penyalahgunaan narkoba serta faktor pendukugn dan penghambatnya.Data
yang dipaparkan dalam artikel ini bersumber dari penelitian lapangan selama
bulan Januari

Kata Kunci: Strategi Komunikasi , BNN, Bahaya Narkoba

Pendahuluan

Semakin maraknya penyalahgunaan narkoba yang terjadi


belakangan ini membuat banyak orang tua yang merasa takut anak anak
mereka juga menggunakan barang haram tersebut. Dan pihak BNN sendiri
mengakui bahwa Samarinda merupakan kota dengan persentasi pengguna
narkoba terbanyak di daerah Kaltim, sehingga lebih menguatkan rasa
khawatir para orang tua dan keluarga akan penyalahgunaan narkoba yang
melibatkan anggota keluarganya.

Tidak hanya orang tua dan juga keluarga yang di buat khawatir, melainkan
dari hasil survey Jumlah persentase perkembangan pengguna narkoba itu
sendiri dalam 2 tahun terakhir membuat BNN kota samarinda sedikit
kewalahan dalam melakukan sosialisasi di karenakan hampir setiap
kalangan masyarakat mengenal dan bahkan menggunakan narkoba.
Beberapa strategi sosialisasi kerap di lakukan oleh BNN kota itu sendiri
untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba di kota Samarinda beberapa
strategi itu dari mulai sosialisasi dengan menggunakan media elektronik,

1
Mahasiswa Program studi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Mulawarman.
Samarinda. Email :Ardylas.Yanunda@gmail.com
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )

media cetak sampai dengan menggunakan komunikasi bretatap muka


seperti penyuluhan ke sekolah - sekolah sampai dengan ke instansi –instansi
pemerintahan. Kesulitan yang kerap terjadi di kalangan para pegawai swasta
yang sedikit menghambat kinerja sosialisasi BNN dalam melakukan
penyuluhan – penyuluhan yang di karenakan jam kerja pegawai pegawai
swasta yang tidak bisa di tinggalkan untuk melakukan penyuluhan. Selain
dari BNN itu sendiri, banyak pihak yang juga banyak terlibat dalam
melakukan sosialisasi yang biasa di lakukan oleh BNN kota samarinda.
Seperti ORMAS – ORMAS dan juga LSM yang bergerak di bidang
pencegahan anti narkoba, dan sesekali meminta bantuan dari pihak
kepolisian dalam melakukan sosialisasi tentang bahayanya penyalahgunaan
narkoba.

Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana strategi
komunikasi BNN Kota dalam mensosialisasikan bahaya narkoba

Tujuan Penelitian
Untuk mendiskripsikan dan menganalisa Strategi komunikasi BNN
Kota Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba.

Kegunaan penelitian
1. Segi Teoritis:
Melalui penelitian ini di harapkan dapat memberikan
sumbangan pikiran dan memperkaya perbendaharaan
kepustakaan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan bagi jurusan ilmu komunikasi khususnya yang
berkaitan dengan upaya Majalah Emusikaltim dalam
meningkatkan kepedulian masyarakat di bidang kebudayaan di
kota Samarinda, serta sebagai masukan pada penelitian-
penelitian mendatang.
2. Segi Praktis
Hasil penelitian ini di harapkan juga dapat berguna bagi kedua
belah pihak baik pihak Majalah Emusikaltim maupun
mahasiswa khususnya mahasiswa ilmu komunikasi, dimana
hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan informasi dan
evaluasi serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang
berkaitan dengan kebudayaan yang ada di Indonesia.

79
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88

Kerangka Dasar Teori


Pengertian Teori :
Hingga sekarang tercatat tidak kurang dari seratus teori dan
model komunikasi yang diketengahkan para pakar komunikasi, terutama
pakar Amerika. Di bawah ini adalah teori dan model komunikasi yang di
gunakan oleh penulis :
1. S-M-C-R Model (Model S-M-C-R)
Rumus S-M-C-R adalah singkatan dari istilah-istilah: S singkatan dari
Source yang berarti sumber atau komunikator; M singkatan dari Message
yang berarti pesan; C singkatan dari Channel yang berarti saluran atau
media; sedangkan R singkatan dari Receiver yang berarti penerimaan atau
komunikan.
Khusus mengenai istilah Channel yang di singkat C pada rumus S-M-
C-R itu yang berarti saluran atau media, komponen tersebut menurut
Edward Sappir mengandung dua pengertian, yakni primer dan sekunder.
Media sebagai saluran primer adalah lambang, misalnya bahasa, kial
(gesture), gambar atau warna, yaitu lambang-lambang yang digunakan
khusus dalam komunikasi tatap muka (face-to-face communication),
sedangkan media sekunder adalah media yang berwujud, baik media
massa, misalnya surat kabar, televisi atau radio, maupun media nir massa,
misalnya surat, telepon, atau poster.

2. Lasswell’s Model (Model Lasswell)


Model komunikasi dari Harold Lasswell ini dianggap oleh pakar
komunikasi sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam
perkembangan teori komunikasi (1948). Lasswell menyatakan bahwa cara
yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi dalam menjawab
pertanyaan : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect
( siapa mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa).
Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Lasswell itu merupakan unsur-
unsur proses komunikasi, yaitu Communicator (komunikator), Message
(pesan), Media (media), Receiver (penerima/komuunikan) dan Effect (efek)
Adapun fungsi komunikasi menurut Lasswell adalah sebagai berikut :
a. The Surveillance of the invironment (pengamatan lingkungan)
b. The correlation of the parts of society in responding to the
environment (korelasi kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika
menanggapi lingkungan)

80
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )

c. The transmission of the social heritage from one generation to the


next (transmisi warisan sosial dari generasi yang satu ke generasi yang
lain) (Lasswel : 1948).

Pengertian Strategi
Menurut Stoner, Freeman, dan Gibert Jr yang di kutip dalam buku
Fandy Tjiptono (2000:3) dalam bukunya yang mengatakan bahwa
pengertian strategi dapat diartikan dalam dua perspektif yang berbeda yaitu
Dari perspektif apa yang suatu organisasi ingin lakukan dan dari perspektif
apa yang organisasi akhirnya lakukan. Berdasarkan perspektif pertama,
pengertian strategi adalah sebuah program.untuk menentukan dan mencapai
tujuan organisasi dan mengimplementasikan misinya.

Komunikasi
Dikemukakan oleh John R. Wenburg dan William W. Wilmot
juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, setidaknya ada tiga
pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu
arah, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai
transaksi.Komunikasi juga proses penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan, jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek,
pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol).
Konkritnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah
bahasa. Pikiran dan perasaan sebagai isi pesan yang disampaikan
komunikator kepada komunikan, selalu menyatu secara terpadu; secara
teoritis tidak mungkin hanya pikiran saja atau perasaan saja, masalahnya
mana di antara pikiran dan perasaan itu, yang dominan; jika perasaan yang
mendominasi pikiran hanyalah dalam situasi tertentu, misalnya suami
sebagai komunikator ketika sedang marah mengucapkan kata – kata
menyakitkan.

2.1.1 Strategi Komunikasi


Strategi komunikasi adalah suatu cara untuk mengatur
pelaksanaan proses komunikasi sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan evaluasi,untuk mencapai suatu tujuan. Strategi komunikasi
bertujuan agar:
a. Pesan mudah dipahami secara benar;
b. Penerima pesan dapat dibina dengan baik;
c. Kegiatan dapat termotivasi untuk dilakukan.
Pada kegiatan ini, komunikator perlu mengenali terlebih dahulu siapa yang
akan menjadi sasaran komunikasi (disesuaikan dengan tujuan komunikasi).

81
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88

Dalam pengenalan sasaran, komunikator perlu memperhatikan hal-hal


sebagaiberikut.
1. Pesan yang akan disampaikan disesuaikan dengan, antara lain:
pengalaman, pendidikan, status sosial, pola hidup, ideologi, dan keinginan
sasaran.
2. Situasi dan kondisi di sekeliling sasaran pada saat pesan akan
disampaikan dapat mempengaruhi penerimaan pesan, misalnya suasana
sedih, sakit, dan situasi
lingkungan yang tidak mendukung (Arifin, Anwar : 1983).

Komunikasi Sosial dan Pembangunan


Komunikasi Sosial dan Pembangunan merupakan gabungan dari
dua istilah yaitu, Komunikasi Sosial dan Komunikasi Pembangunan. Kedua
istilah tersebut mempunyai materi bahasan yang di dalamnya terkandung
ilmu yang mengajarkan tentang bagaimana komunikasi harus dilakukan,
sehingga berperan pada suatu penunjang pelaksanaan program - program
pembangunan dalam rangka menciptakan perubahan pada suatu sistem
sosial. "
2.1.2 Pengertian Narkoba
Pengertian Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah
keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika
masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum,
dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya.
Sedangkan pengertian narkoba menurut pakar kesehatan adalah
psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak
dioparasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini presepsi itu
disalah gunakan akibat pemakaian yang telah diluar batas dosis.

Pengertian dan Lingkup BNN


Badan Narkotika Nasonal (BNN), sebuah lembaga yang didirikan
oleh pemerintah, salah satu tugas dan fungsinya adalah untuk
menanggulangi bahaya Narkotika dan kelembagannya di Indonesia
dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik
Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Inteligen
Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan
nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu,
penanggulangan penyalahgunan narkoba, penanggulangan
penyelundupan, penanggulangan kenakalan kenakalan remaja,
penanggulangan subversif dan pengawasan orang asing. Badan ini tidak

82
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )

mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran


sendiri dari APBN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal
BAKIN.

Definisi Konsepsional
Dari konsep yang telah peneliti paparkan di atas maka Strategi
Komunikasi BNN dalam mensosialisasikan bahaya narkoba di kota
Samarinda ialah menggunakan komunikasi bertatap muka dan komunikasi
bermedia. Komunikasi bermedia umumnya di gunakan untuk komunikasi
informative, kekuatannya adalah dalam hal mengubah tingkah laku.
Komunikasi tatap muka atau yang biasa disebut komunikasi
intrapersonal ini sebuah komunikasi secara langsung bertemu antar manusia
atau individu untuk menyampaikan pesan, baik secara verbal maupun non
verbal.

Metode Penelitian
Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan


pendekatan kualitatif karena peneliti bermaksud untuk menentukan
memahami, menjelaskan dan memperoleh gambaran yang mendalam
tentang upaya Majalah Emusikaltim dalam meningkatkan kepadulian
masyarakat dibidang kebudayaan di kota Samarinda. Sejalan dengan
pendapat Sugiyono (2010;1) metode penelitian kualitatif sering disebut
metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi
yang alamiah (natural setting). Sedangkan metode yang digunakan lebih
menekankan pada metode penelitian deskriptif kualitatif, karena
pendekatan ini lebih peka dalam menangkap berbagai fenomena informasi,
khususnya yang berkaitan dengan fokus penelitian, disamping pendekatan
ini juga dapat menyajikan holistik /utuh dalam menganalisis suatu fenomena
sosial.
Selain itu juga dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono
(2010:59-60) yang menjadi instrumen atau alat peneliti adalah peneliti itu
sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi”
seberapa jauh peneliti kualitataif siap melakukan penelitian yang
selanjutnya terjun ke lapangan. Peneliti kualitatif sebagai human instrument,
berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber
data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,
menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.

83
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88

Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam sebuah penelitian dimaksudkan untuk
membatasi studi. Sesuai dengan permasalahan yang di rumuskan, maka
yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Strategi Komunikasi BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dengan
indicator sebagai berikut:
A. Melalui komunikasi tatap muka
- Seminar
- Penyuluhan
B. Melalui komunikasi bermedia
- Brosur
- Leaflet
- Media Elektronik

Sumber dan Jenis Data


Menurut Lofland dan Lofland (1984:47) sumber data utama dalam
penelitian kualitataif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen, dan lain-lain. Berdasarkan sumber
pengambilannya, data dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Data Primer
Sumber data lapangan yang dapat berarti seorang tokoh atau
masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintahan, dan sebagainya
yang merupakan sumber data primer. Sumber informasi
dokumenter merupakan sumber data primer dapat berupa arsip-
arsip yang berkaitan dengan masalah penelitian.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui beberapa sumber
informasi, antara lain:
a. Dokumen-dokumen, laporan, catatan dan profil.
b. Buku-buku ilmiah atau hasil penulisan yang relevan dengan
penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data

Field Work Research, yaitu penelitian langsung ke lapangan dengan cara :


a. Observasi
b. Wawancara
c. Analisis Dokumentasi
Teknik Analisis Data

84
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )

Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif


dengan melakukan pendekatan dengan metode analisis data kualitatif model
interaktif dari miles dan huberman dalam sugiono (2010:247) yang
mencakup pengumpulan data, penyederhanaan data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan.

Hasil Penelitian
Pembahasan
Strategi Komunikasi BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dalam
mensosialisankan Bahaya Narkoba adalah sebagai berikut:

a. Komunikasi Bertatap Muka


Strategi yang dilaksanakan oleh BNN kota Samarinda dalam
pelaksanaan program sosialisasi pencegahan narkoba sudah cukup
optimal.tetapi menurut peneliti kurangnya kesadaran dari masyarakat sendiri
yang membuat semakin banyaknya penyalahgunaan yang terjadi di
Samarinda itu sendiri. Program penyuluhan seminar dan lain sebagainya
sudah sering di lakukan,tetapi masyarakat yang mendengarkan hanya sambil
lalu saja tanpa ada penyerapan informasi yang sangat mendalam.

b. Komunikasi Bermedia
Salah satu strategi BNN dalam mensosialisasikan bahaya narkoba ini
juga dengan menggunakan komunikasi bermedia,yang di dalam nya
terdapat baliho,spanduk,brosur,leaflet dan juga media elektronik seperti
televisi swasta yang ada di kota samarinda. Sesuai dengan teory S-M-C-R
yang mengatakan Media sebagai saluran primer adalah lambang, misalnya
bahasa, kial (gesture), gambar atau warna, yaitu lambang-lambang yang
digunakan khusus dalam komunikasi tatap muka (face-to-face
communication), sedangkan media sekunder adalah media yang berwujud,
baik media massa, misalnya surat kabar, televisi atau radio, maupun media
nir massa, misalnya surat, telepon, atau poster.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa
selama ini pelaksanaan sosialisasi tentang bahaya narkoba yang dilakukan
oleh Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda sudah berjalan dengan
baik, meskipun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya maksimal ini
dikarenakan kesadaran yang didapat dari masyarakat dirasa kurang.

85
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88

Sehingga setiap tahunnya masih ada saja kasus – kasus tentang


penyalahgunaan narkoba di Kota Samarinda
Penyuluhan yang di lakukan oleh BNN itu sendiri mendapatkan
tanggapan yang positif, banyaknya para peserta penyuluhan dan juga
seminar – seminar membuat BNN merasa sosialisasi mereka tentang bahaya
narkoba kepada masyarakat sudah cukup berhasil, tetapi tidak bisa di
pungkiri lagi apabila masih banyak masyarakat yang terkena kasus narkoba
itu sendiri, itu di karenakan masih kurang kesadaran masyarakat itu sendiri
untuk memagari diri mereka dari yang nama nya narkoba itu sendiri.
Sekeras apapun upaya BNN dalam melakukan sosialisasi tidak akan
berpengaruh besar apabila masyarakat Samarinda sendiri masih
menggunakan Narkoba itu sendiri.
BNN ( Badan Narkotika Nasional ) melakukan 2 strategi
komunikasi, baik dengan menggunakan komunikasi bertatap muka dan juga
Komunikasi Bermedia.

Saran
1. Kurangnya waktu iklan yang di berikan Pihak TV dan juga Radio
serta tidak terlihatnya titik – titik baliho yang di pasang oleh BNN
sendiri seharusnya BNN menambah titik dalam memasang Baliho
dan juga menambah waktu di iklan yang mereka berikan kepada
TVRI dan juga RRI.
2. Terlalu terfokus kepada sekolah dan juga instansi BNN juga harus
membentuk Tim yang melakukan penyuluhan tidak hanya di
sekolah dan juga Instansi – Instansi swasta maupun negri.
Melainkan ke daerah daerah perumahan dan juga di setiap RT yang
ada di Samarinda, agar target sosialisasi merata.
3. Untuk memaksimalkan sosialisasi BNN kota samarinda seharusnya
sudah dapat memaksimalkan ruangan yang tersedia untuk
melakukan bimbingan konseling dan juga membuka hotline service
untuk menjamin kerahasiaan masyarakat yang ingin melakukan
konsultasi.

86
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )

Daftar Pustaka
Anggoro, Linggar. 2008. Teori & Profesi Kehumasan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Arifin, Anwar, 1983 Strategi Komunikasi, Sebuah Pengantar Ringkas,
Bandung, Amico.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan filsafat Komunikasi.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:
Prenada Media Group.
Kusumastuti, Frida. 2004. Dasar-Dasar Humas. Malang: Ghalia Indonesia.
Miles, Matthew B, 1992 . Analisis data kualitatif , Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Robbins, Stephen P, 1996. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, dan
Aplikasi. Jilid 2, Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit PT. Prenhallindo, Jakarta.
Ruslan, Rosady. 2005. Kiat dan Strategi kampanye public relation dan
komunikasi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Tjiptono, Fandy, 2000 . Strategi Komuikasi, Konsep dan Pengertian,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Wijaja, H. A.W. 1997, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta :
Penerbit Bumi Aksara.

87
International Journal of Public Health Science (IJPHS)
Vol. 7, No. 4, December 2018, pp. 260~267
ISSN: 2252-8806, DOI: 10.11591/ijphs.v7i4.14261  260

Risk Factors of Drug Abuse among Adolescence

Liena Sofiana, Suci Musvita Ayu, Marsiana Wibowo, Erni Gustina, Satriawan Jaohandhy Muhtori
Faculty of Public Health, Universitas Ahmad Dahlan, Indonesia

Article Info ABSTRACT


Article history: Yogyakarta City, which is known as the center of education is a
potential place for drug abuser to distribute illegal substance to the
Received Jul 11, 2018
youth. It is evident in the great number of drug users in Yogyakarta
Revised Nov 8, 2018
City, in which 50% of them are adolescents and university students.
Accepted Nov 15, 2018
The research aimed to know the relationships predisposing, enabling,
and reinforcing factors and the drug abuse among adolescents in
Keyword: Yogyakarta City. The research employed cross sectional design. The
samples were taken using multistage random cluster sampling. The
Adolescent data were taken through questionnaire given to 481 youth, at the age
Drug abuse of 15-19 years in 18 senior high school and the equals in Yogyakarta
Risk factor City. The data were then analyzed using Chi Square test. Attitude,
self-confidence, family role, and peer’s role are related to drug abuse.
Knowledge, information sources, and teacher’s role are not related to
drug abuse.
Copyright © 2018 Institute of Advanced Engineering and Science.
All rights reserved.

Corresponding Author:
Liena Sofiana,
Faculty of Public Health,
Universitas Ahmad Dahlan, Indonesia.
Email: liena.sofiana@ikm.uad.ac.id

1. INTRODUCTION
Drug abuse means the use of one or more types of drugs periodically or regularly without medical
indication. It may lead to physical and psychological health problem as well as disturbing social function [1].
Adolescence is the period of rapid physical, psychological, and intellectual growth and development.
Adolescents have special characteristics, in that they are curious, love adventures and challenges, as well as
having the tendency to take risk, or taking action without thinking [2].
In world drug report 2014, it is known that the estimation of drug users in 2012 was between 162
million and 324 million, or 3.5%-7%. The comparison of the prevalence in 2012 (3.5%-7%) and that of 2010
(3.5%-5.7%) show a relatively stable prevalence of drug abuse. The most common types to use were ganja,
opioid, cocaine, or amphetamine and stimulant types [3].
It is estimated that one out of twenty adults, or a quarter million people, ranged from 15 to 64 years
old, have ever used at least one type of drugs in 2014. The estimation of 207.400 drug-related death was in
line with 43.5 death per million, with the age group of 15-64 years old [4].
The prevalence of drug abuse was in the range of 2.20%, or around 4.098.029 people of the total
population of Indonesia (aged 10-59 years old). According to National Narcotics Board, no regency/city in
Indonesia is free from drug problem [5]. The survey conducted by the Research Centre of Data and
Information of National Narcotics Board stated that the prevalence of drug abuse in the city (1.9%) is higher
than that of the regency (1.4%) [2].
As many as 50% users are students, at school and university level. In 2014, drug users in
Yogyakarta City was in the fifth place in national level and in 2015 it went down to the eighth. In the same
year, the users in Yogyakarta City reached 62.082 in number, while in 2015 the number decreased into

Journal homepage: https://www.iaescore.com/journals/index.php/IJPHS


IJPHS ISSN: 2252-8806  261

60.182 users. The worst case was in the level of senior high (SMA), which was 61.9% of the total case
(189.294 suspects) [6].
Based on the data of Drug Addiction Treatment Centre, the highest number of drug users are in the
level of senior high school. Within 2008-2012, the proportion of the number of drug suspects were in senior
high school [7]. Therefore, the research is aimed to know the correlation between predisposing, enabling, and
reinforcing factors and drug users by adolescents in Yogyakarta City.

2. RESEARCH METHOD
The research was observational type with quantitative approach using cross sectional design. The
population is all students in 80 Senior High School, and the equals, in Yogyakarta City, as many as 36,360
students. The samples were taken using multistage random cluster sampling and were added as much as 10%
based on the calculation of the samples to avoid a missing data. The samples were also taken based on
particular criteria. Inclusion criteria: all students of 15 to 19 years old from the schools selected to be the
location of the research based on sampling techniques and students who are willing to become the
respondents. Exclusion criteria: number of students less than the minimum number required from each school
and sub-district with less than three villages. The samples were 481 in number. The research used
questionnaire as the instruments. The data were analyzed using Chi Square test.

3. RESULTS
The respondent characteristics are illustrated in the Table 1. The biggest number of the respondents
are 16 years old, reaching 231 people (48%), and the smallest number is 19 years old, reaching 6 people
(1.2%) of the samples. Based on gender, there are 245 male respondents. Even so, the results are not
significant compared to the number of female respondents. The highest percentage of the level of education
is Senior High School, as many as 216 respondents (44.9%), and the lowest is elementary school level,
reaching 26 respondents (5.4%) shown in Table 2.

Table 1. Respondent Characteristics Based on Age


No Year Frequency Percentage (%) Mean Min Max
1 15 85 17.7
2 16 231 48.0 16.28 15 19
3 17 118 24.5
4 18 41 8.5
5 19 6 1.2
Total 481 100.0
Source: Primary Data, 2017

Table 2. Distribution of Respondent Characteristics Based on Gender


and Parents’ Education Level
No Characteristics Frequency Percentage (%)
1. Gender
Male 236 49.1
Female 245 50.9
2. Parents’ Education Level
Unknown 62 12.9
Elementary 26 5.4
Junior High 36 7.5
Senior High 216 44.9
Higher Education 141 29.3
Total 481 100.0
Source: Primary Data, 2017

Univariate results of the research is shown in Table 3. The students in the senior high schools and
the equals in Yogyakarta City, as many as 361 respondents (75.1%), have higher level of knowledge. The
univariate analysis on attitude is categorized into two: negative and positive. Two hundred and fifty four
respondents, or 52.8%, have positive attitude. However the results are not significantly different between
negative and positive attitude. It is known that 375 respondents (78%) are confident. From the three
categories of information sources, the greatest number is the one with the lowest information sources, as
many as 240 respondents (49.9%).
Family role is categorized into two: participating and less participating. It is known that 323

Risk Factors of Drug Abuse among Adolescence (Liena Sofiana)


262  ISSN: 2252-8806

respondents (67.2%) states that family is involved in shaping adolescent’s behavior, particularly in
preventing them from using drugs. Similarly, teacher’s role is categorized into two: participating and less
participating. Four hundreds and ten respondents (85.2%) stated that teachers contribute to shape the attitude
of the students. As for peer’s role, it is known that peers influence the youth in using drugs. From all the
respondents, 267 people (55.5%) states that their peers did not influence them in using drugs. Thirty-one
(6.4%) respondents have ever used drugs without medical indication and 450 respondents have never used
drugs. There are 24 male users and 7 female users, while the average age is 17 years old.

Table 3. Distribution of Univariate Results


No Variables Frequency Percentage (%)
1. Knowledge
Low 120 24.9
High 361 75.1
2. Attitude
Negative 227 47.2
Positive 254 52.8
3. Self-Confidence
Less confident 106 22.0
Confident 375 78.0
4. Information Sources
Low 240 49.9
High 241 50.1
5. Family Role
Less participating 158 32.8
Participating 323 67.2
6. Teacher’s role
Less participating 71 14.8
Participating 410 85.2
7. Peer’s role
Participating 214 44.5
Less Participating 267 55.5
8. Drug Abuse
User 31 6.4
Non-user 450 93.6
Total 481 100.0
Source: Primary Data, 2017

Bivariate analysis results are presented in Table 4. Chi Square analysis resulted that four of seven
variables are statistically and biologically significant. They are attitude, self-confidence, family role, and
peer’s role. Based on bivariate analysis, it is known that four variables have p-value < 0.05.

Table 4. Recapitulation of Bivariate Analysis Results (Chi Square)


Variable Ratio Prevalence (RP) Confident Interval 95% P value
Knowledge 1.433 0.694-2.955 0.499
Attitude 3.836 1.685-8.734 0.001
Self Confidence 2.234 1.121-4.454 0.036
Information Sources 2.482 1.256-4.906 0.306
Family Role 2.482 1.256-4.906 0.013
Teacher’s Role 1.386 0.590-3.258 *0.435
Peer’s Role 3.587 1.638-7.857 0.100
Notes: * p-value is based on Fisher’s exact test
Sources: Primary Data, 2017

4. DISCUSSION
Most respondents are 16 years old. They are in the highest age group category, which is 231 in
number (48%), while the least is 19 years old, where there were only 6 respondents (1.2%). The average age
of the research subject is 16.28 years old. It is known that 31 respondents (6.4%) have once used drugs
without medical indication and 450 respondents (93.6%) have never used drugs. The average age is 17 years
old. Previous research showed that older adolescents have higher tendency to use drugs, of which they may
double the risks [8]. In early adolescence (14-16 years old) and middle (17-18 years), adolescents are usually
in the process of questioning their identity. At the end of the period of adolescence, which is above 18 years
old, they think they are mature and able to stand on their own. However, they do not have the capability of

IJPHS Vol. 7, No. 4, December 2018: 260 – 267


IJPHS ISSN: 2252-8806  263

taking the responsibility of their actions. The condition allows them to take non-anticipative behaviors upon
the use of drugs [9].
The questionnaires found 24 male users and 7 female users. Based on the pattern of drug abuse in
2006, 2009, and 2011, it is known that the highest number of abuse was by male users and that the higher the
age, the higher the number of drug abuse [6]. The results are in line with a research conducted in Sleman, in
that male adolescent are 20 times more likely to misuse drugs, compared to female [10]. Another research
also found that male are likely to misuse drugs [11]. In social construction, female are demanded to be
obedient, passive, patient, and loyal. Meanwhile, male are dominant, aggressive, and initiative in a
relationship [10].
The highest percentage of parents’ educational level is Senior High, which is as many as 44.9% (216
respondents), while the lowest is elementary, 5.4% or 26 respondents. The higher the level of education, the
higher is the pride [12]. Different from a research conducted in Pekanbaru on the correlation between level of
education and drug abuse, it is known that the OR value=1.51. It means that people with low education level
have 1.51 chances of misusing drugs. Based on the value, it can be concluded that education level is the risk
factor of drug abuse, although the correlation is low. Statistic test using Chi Square of alpha (5%) shows the
value of 0.225. Hence, p value is higher than the alpha. This way, Ha is refused. Then, it concludes that there
is no significant difference between those with low level of education and those with the higher level [13].

4.1. The correlation between knowledge and drug abuse by adolescent in Yogyakarta city
It is known that knowledge is not related to drug abuse in Yogyakarta City. Although it is not
significant statistically, the RP (Ration Prevalence) reached 1.433. In other words, adolescents with low
knowledge have 1.433 chances to misuse drug.
Inadequate learning materials about drugs in schools create a situation where adolescents/students
do not understand about the types, dangers, and effects of drugs. However, it is possible that those in higher
education level to misuse drugs. Individuals’ knowledge on particular ideas has different intensity [14].
The results are in line with previous research, stating that knowledge is not related to drug abuse
(p-value=0.073) because of the existence of other factors, such as environment, family, peers, and the
society [15]. The results are inversely proportional with a research conducted in Jepara. It found that there is
positive correlation between students’ knowledge about drugs and prevention of drug abuse (p-value 0.0001;
r=0.378). The latter shows that the higher the education, the higher the possibility to prevent them from
misusing drugs [16].
Human develop their knowledge because they use the language to communicate the information
they obtained17. Individuals who understand about drug abuse may have the curiosity to try to consume it
because of the environment or because they imitate certain figures. This way, these individuals may develop
attitude and behavior, which are against the knowledge [18].

4.2. The correlation between attitude and drug abuse by adolescent in Yogyakarta city
Chi Square test shows that there is correlation between attitude and drug abuse. Attitude is the risk
factor of drug abuse. It is known from the score of Ratio Prevalence (RP), which is more than one: 3.836.
The prevalence of using drug is 3.836 times higher in adolescent having negative attitude compared to those
with positive attitude. Behavior manifests in knowledge and attitude. Attitude is the results of an individual’s
way of thinking on particular object. It is not always in the form of action/activity. Instead, it is a
predisposition of an action or a behavior [14]. It is in line with previous research, stating that attitude is
correlated with behavior in terms drug abuse (p value 0.03) [19]. The manifestation of attitude in an action
needs supporting factor or a condition, such as facilities or supports from family, school environment, and
peers [17].
Attitude can also depend on gender; in that male adolescents tend to be more rebellious compared to
female. It is supported by a research conducted in Gorontalo, showing that there is different attitude between
female and male respondents. However, it is not only because of gender, but also because of their different
way of thinking [20]. Theoretically, attitude is formed within an individual based on their belief, point of
view, thought, personal experience, emotional needs, information from others, and perception on particular
objects that they see or know.

4.3. The correlation between self-confidence and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Chi Square test show a correlation between self-confidence and drug abuse. Self-confidence is the
risk factor of drug abuse. The RP value was 2.234, meaning that adolescents who feel less confident are more
likely to misuse the drugs. The chance is 2.234 times higher than those who feel confident. Self-confidence is
closely related to motivation. Individuals’ relatively stable assessment on themselves avoid the temptation of
any misconducts. Theoretically, self-assessment is positive. It raises their motivation to respect

Risk Factors of Drug Abuse among Adolescence (Liena Sofiana)


264  ISSN: 2252-8806

themselves [21].
Previous research shows that self-esteem correlates with drugs abuse (p value (0.000), where the
higher the self-esteem, the lower the possibility of drug abuse [22]. Another research shows there is negative
correlation between self-esteem and social anxiety of drug users in Balai Kasih Sayang Parmadi Siwi, East
Jakarta. The negative results of coefficient correlation means that the higher the self-esteem, the lower the
social anxiety. Conversely, the lower the self-confidence, the higher the social anxiety (r -.429) [23].
In fact, experimental use may lead to severe damage. Immature emotion of adolescents carry them
away and lead them to think only about enjoyment and always try something new [24]. Another research
proves that adolescents have great curiosity and are eager to try new things, thereby making them prone to
negative or deviant behavior, one of them is drug abuse.

4.4. The correlation between information sources and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Chi Square test shows that information sources do not correlate with drug abuse. Although it is
statistically insignificant, the RP value reached 2.482. It means that adolescents with little information about
drugs are 2.482 times likely to misuse drugs. Environment greatly influences individuals’ behavior.
Adolescents try to use drugs for experimental reason and because they do not have adequate knowledge on
the substance. The condition is worse since the surroundings ignore the fact and, indeed, they do not
complain about the adolescents using drugs. It is thus potential situation to bring adolescents to drug abuse.
Previous research shows a correlation between affordability and drug abuse. In other words, the easier the
respondents reach the drugs, the more the chance they misuse them. Affordability is not always related to
distance, but areas and also easiness in getting something [25].
Another research also found that the statistics test show significant correlation between the access to
reproduction health information and drug abuse by adolescents (OR 1.28). Proportionally, the research
indicates a positive pattern where adolescents who have the access to reproduction health information have
1.28 chances to misuse drugs [26]. Another research shows that information sources, either printed or
electronic are not correlated with risky behavior (drug abuse) [27].
Easy access to obtain drugs increases the number of drug abuse from year to year. Social media
becomes one of their tools to do the transaction. Indeed, they do not need to meet each other to purchase the
drugs. They use specific code to arrange the meetings. The governments have taken several efforts to
demolish drug syndicates. In fact, Indonesian National Narcotic Board with the cooperation with other parties
have informed the society through several activities, such as insemination to many schools and anti-drug
advertising [2]. These results support the present research, in that information does not influence individuals
to use drugs.

4.5. The correlation between family role and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Chi Square test show that family role correlates with drug abuse. It is the risk factor of drug abuse as
well. It is known from the value of Ratio Prevalence (RP), which is 2.482. Adolescents whose family do not
concern much about their behavior have 2.482 chances to misuse drugs. This number indicates significant
influence of family role on adolescents’ behavior. However, the number of drug users whose family concern
much about their condition is not significantly different from that whose family are less participating. It is
possible when parents do not pay attention to their children, freeing them from anxiety. The theory suggests
that family is the protective or risk factor of drug abuse [28].
Parents’ busyness triggers the increase of drug abuse by adolescents in Yogyakarta City. It is in line
with a research conducted in Mental Health Hospital of Prof. Hb. Sa’anin, indicating that family role is
correlated with drug abuse (p value 0.009; OR 4.2). The research found that more than a half (70%) of the
respondents stated that drug users come from family who concerned less about preventing drug abuse [29].
In general, adolescents’ deviant behaviors are caused by parents’ carelessness, incomplete family
members, bad examples presented by parents, and bad environment. Besides, other factors, such as economy
and parents’ education, provide the adolescents inadequate insemination and information about drugs [25].

4.6. The correlation between teachers’ role and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
The research finds no correlation between teacher’s role and drug abuse. The RP (Ratio Prevalence)
score was1.386, meaning that 1.386 chances indicate that teacher does not correlate with adolescents who are
likely to misuse drugs. Teachers who involve themselves in shaping adolescents’ behavior cannot guarantee
that they will not use drugs. The results were inversely proportional, where more than half (80.6%)
adolescents use drugs even if their teachers have taken good care of them. It is likely that students only
observe their teachers’ attendance during school hours. Meanwhile, when they are outside the school, peers
have greater influence on their behavior.
Previous research indicates that there are different signs of drug abuse found by homeroom teachers

IJPHS Vol. 7, No. 4, December 2018: 260 – 267


IJPHS ISSN: 2252-8806  265

and counseling and guidance teachers from six students before and after their treatment. P value was 0.000
and the RATER consistency of the teachers show correlation coefficient of 0.995 [30]. Theoretically, teachers
have central roles: planners, caretaker, or learning evaluator. It means that teacher’s capability in creating
quality learning greatly influences the success of education in general. Learning quality relies much on
teachers’ capability, particularly in providing effective and efficient learning activities [31].

4.7. The correlation between peers’ role and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Peers’ role is correlated with drug abuse, it becomes the risk factor as well. The results is seen from
the Ratio Prevalence value, which was 3.587. It means that peers have 3.587 greater influence on drug abuse
by adolescents. Labile ways of thinking allows adolescents to follow the trends in the society, particularly
their peers.
Peers have greater influence, for adolescents spending more of their time with their peers. Most
people offer drugs to their friends: colleagues, friends inside and outside their neighborhood. The higher the
attitude and supports of their peers to use drugs, the easier individuals to misuse drugs. Minimum school
activities and facilities at school increase students’ boredom during school hours and encourage them to skip
classes. The condition triggers deviant behaviors; one of them is drug abuse.
The result is in accordance with a research conducted in North Semarang sub-district, showing that
peers are correlated with drug abuse (p value=0.000) [25]. Similarly, a research conducted in Prof. Hb.
Sa’anin Mental Hospital [9] found that there is a correlation between peers and drug abuse (p value 0.000,
OR=9). Another research also shows positive and highly significant correlation between peers interaction
within the school and the risk of drug abuse by adolescents (p value=0.005) [32].
Peers greatly influence the occurrence of drug abuse. Individuals feel anxious when they are
rejected by the society. Therefore, they try to get the approval of their groups. Conflict between parents and
adolescents are related to loyalty, whether these adolescents are loyal to their parents or loyal to their peers.
Adolescents are susceptible to the values of their peers, such as appearance, behavior, and attitude. Not all
adolescents has a strong ego and has the willingness to separate themselves from the values/rules/norms of
the peer group [32].

5. CONCLUSION
Based on the findings and discussion, it can be concluded that four out of seven independent
variables significantly correlated with drug abuse by adolescents in Yogyakarta City. They are attitude, self-
confidence, family role, and peers’ role. Knowledge, information sources, and teachers’ role are the risk
factors of drug abuse by adolescents in Yogyakarta City. However, they are not significant statistically.

6. SUGGESTIONS
Knowledge, attitude, self-confidence, information sources, family role, teacher’s role, and peers are
the risk factors of drug abuse in Yogyakarta City. Yogyakarta City Education Board needs to include the
materials of drugs in the curriculum or school subjects as well as promoting P4GN (Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba-Prevention and Eradication of Drug Abuse
and Illegal Distribution). In addition it can provide the advocacy to educational institutions for adolescent
counseling programs.
Every school should have PIK (Information and counseling center for creative youth), life skills, and
counseling services. Besides, schools need to organize counseling and guidance program for drug-related
problems, led by expert, such as doctors, in order to increase the students’ awareness of the dangers of drugs.
They can also establish a counseling program for parents, particularly about how to build effective
communication to their adolescent children.
Building good characters of children can start by maintaining strong personalities, manners,
optimism, capability to communicate and interact with children, and spending more times with children while
discussing their everyday activities. In addition, parents can improve the children’s characters through
several aspects, such as social aspects (caring for other beings, respecting the elders, developing discipline
attitude and habit, and maintaining good friendship).
Adolescents at risk of abusing drugs are those with low self-esteem, negative attitude, low
interaction with the surroundings, less harmonious family, and negative social environment. With these
conditions, adolescents need to consult their teachers or Information and Counseling Center for Creative
Adolescents at schools. Those who are not at risk should take care of themselves by joining positive activities
inside and outside schools to prevent themselves from the dangers of drug abuse.
The next research is expected to expand the risk factors of drug abuse. It may be in terms of social

Risk Factors of Drug Abuse among Adolescence (Liena Sofiana)


266  ISSN: 2252-8806

aspects, economic status, and social status. In addition, the research can be conducted to different age groups
of other cities or regencies in the Special Region of Yogyakarta City as well using different methods, such as
qualitative to obtain in-depth information on drug abuse.

REFERENSI
[1] Azmiyati, S, R., Cahyati, W, H., Handayani, O,W,K. “Overview of Drug Use in Street Children in the City of
Semarang,” Jurnal Kesmas (Journal of Public Health) vol.9 no.2 137-14, 2014.
[2] National Narcotics Agency Data and Information Center. Narcotics Abuse Prevalence Survey in Household Groups
in 20 Provinces in 2015. Jakarta: National Narcotics Agency Data and Information Research Center of the Republic
of Indonesia, 2016.
[3] United Nation Office on Drugs and Crime. World Drug Report 2014. Excerpted from
https://www.unodc.org/documents/wdr2014/World_Drug_Report_2014_web.pdf. Friday 3 March 2017 at 20.53
WIB in Yogyakarta City, 2014.
[4] United Nation Office on Drugs and Crime. World Drug Report 2016. Excerpted from
https://www.unodc.org/doc/wdr2016/WORLD_DRUG_REPORT_2016_web.pdf. Monday 10 April 2017 at 9.33 in
Yogyakarta City, 2016.
[5] National Narcotics Agency. 2015 National Narcotics Agency Performance Report. National Narcotics Agency:
Jakarta, 2015.
[6] National Narcotics Agency. Data on Central Java Provincial Narcotics Crime for 2007-2011. Excerpted from
http://103.3.70.3/portal/index.php/k onten / detail / deputipemberantasan / data-case narcotics / 10247 / data-act-
drug administration-province-Central Java-2007-2011. Thursday 2 March 2017 at 23.08 WIB in Yogyakarta City,
2012.
[7] Ministry of Health of the Republic of Indonesia. General Description of Drug Abuse in Indonesia. Data and
information Center. Ministry of Health of the Republic of Indonesia: Jakarta, 2014.
[8] Kusworo, Tanto., Ritohardoyo, Su., Sutomo, Adi Heru. “Relationship between Accesses to Reproductive Health
Information with Drug Risk Behavior in Adolescents in Indonesia,” Journal of Gadjah Mada University Vol. 28,
No. 2 p. 179-187, 2014.
[9] Siregar, M. “Factors Affecting Narcotics Abuse in Adolescents. Descriptive Study at the "Insyaf" Pamardi Putra
Social Institution in Medan,” Journal of Community Empowerment, Vol.3 No.2 May 2004: 100-105, 2004.
[10] Muslihatun, Wafi Nur., Santi, Mina Yumei. Anticipation of Adolescents against the Dangers of Drug Abuse in the
Adolescent Reproductive Health Triad in Sleman. Journal of Midwifery and Nursing, Vol. 11, No. 1: 41-50, 2015.
[11] Afandi, D., Chandra, F., Novitasari, D., Riyanto, I., Kurniawan, L. “Drug Abuse Rate and Risk Factors among
High School Students,” Indonesian Medical Magazine Vol. 59, Number 6 p.266-271, 2009.
[12] Hidayati, Nurul Aini. The Influence of Parental Education Levels on Adolescent Self Esteem. Psychology &
Humanity Seminar. ISBN: 978-979-796-324-8, 2015.
[13] Matwimiyadi. “Relationship between Levels of Education and Employment with Drug Abuse,” Journal of
Community Health Vol. 2, No. 5, p. 211-214, 2014.
[14] Notoatmodjo, Soekidjo, Health Behavioral Science. Rineka Cipta: Jakarta, 2010.
[15] Dale, Dewinny Septalia. “Relationship between Knowledge of Adolescents with Narcotics Abuse at the Class II B
Correctional Institution in Pekanbaru,” Journal of Scientia Vol. 4 No. 01 pg 391-395, 2016.
[16] Prisaria, N. “Relation of Knowledge and Social Environment to Drug Abuse Prevention Measures in Students of
Jepara 1 High School,” Social Journal in http://e-journal.undip.ac.id/ accessed on August 16, 2017 in Yogyakarta
City, 2013.
[17] Luis L. and Paul S. “The Influence of Information literacy, Internet Addiction and Parenting Styles on Internet
Risks,” Journal New Media and Society 14th Edition: 117-136, 2012.
[18] Anja, C. Huizink., Esko Levälahti., Tellervo Korhonen., Danielle M. Dick., Lea Pulkkinen., Richard J. Rose., and
Jaakko Kaprio. “Tobacoo, Cannabis and Other Illicit Drug Use among Finish Adolescents Twins: Causal
Relationship or Causal Liabilities,” Journal of Studies on Alcohol and Drugs, Vol. 71: 5-14, 2010.
[19] Asti, Yeli. “Relationship between Knowledge and Attitudes towards Drug Abuse in the Pontianak City Middle
School 4 Students in 2013,” PSPD Student Journal FK Tanjung Tempura, Vol. 1 No.1, 2014.
[20] Madania. The Effect of Giving Booklet on Knowledge and Attitudes of Students Regarding Drug Abuse in Public
High School 01 Gorontalo City. Thesis. Gorontalo State University, 2014.
[21] Thursan, Hakim. Overcoming not self confidence. Puspa Swara: Jakarta, 2002.
[22] Pradhana, Readen Bagus Hayu Adhi. “Self-Esteem Relation to Narcotics Abuse and Harmful Drugs in Batu
Malang Senior High School Students 2,” Indonesian Counseling Journal vol. 1 No.1, p. 29-35, 2015.
[23] Nainggolan, Togiaratua. “The Relationship between Self-Confidence and Social Anxiety in Drug Users in the
Parmadi Siwi Love Center,” Journal of Socioconsepsia Vol. 16 No. 02 p. 161-174, 2011.
[24] Lestari, H., et al., “Youth Risk Behavior in Indonesia according to the Adolescent Reproductive Health Survey in
Indonesia (SKRRI) in 2007,” Reproductive Health Journal Vol. 1 No. 3. August 2011: 136- 144, 2011.
[25] Maharti, Vikiat Ika. “Factors Associated with Narcotics Abuse Behavior in Teens Aged 15-19 Years in North
Semarang Subdistrict, Semarang City,” Public health journal vol. 3, No. 3 p. 945-953, 2015.

IJPHS Vol. 7, No. 4, December 2018: 260 – 267


IJPHS ISSN: 2252-8806  267

[26] Kusworo, Tanto, Ritohardoyo, Su, Sutomo, Adi Heru. “Relationship between Accesses to Reproductive Health
Information with Drug Risk Behavior in Adolescents in Indonesia,” Journal of Gadjah Mada University Vol. 28,
No. 2 p. 179-187, 2014.
[27] Maisya, Iram Barida., Susilowati, Andi. “Factors in Young Adolescents and the Availability of Information Media
in Relation to Risk Behavior,” Journal of Reproductive Health Vol. 5, No. 3 p. 1-7, 2013.
[28] Rahmawati S. “Relationship between Family Condition and Behavior Using Koba Nar in Students of SMA 20
Jakarta,” Thesis. Faculty of Public Health, University of Indonesia, 2008.
[29] Rahmadona, Elviza, Agustin, Helfi. “Factors Associated with Drug Abuse in Prof. RSJ Hb Sa’anin,” Andalas
Public Health Journal Vol. 8, No. 2, p. 60-66, 2014.
[30] Afiatin, T. “Influence of the Group Program ‘AJI" in Increasing Self-Esteem, Assertiveness and Knowledge of
Drug for Prevention of Drug Use in Adolescents,” Psychology Journal No.1 p. 28-54, 2004.
[31] Mulyasa, E. Become a Professional Teacher Creating Creative and Fun Learning. PT. Teenager Rosdakarya:
Jakarta, 2007.
[32] Sugiarti. Relationship between Peer-Friend Interactions in School Environments and Risk of Drug Abuse in
Adolescents. Thesis. University of Muhammadiyah Surakarta, 2013.

Risk Factors of Drug Abuse among Adolescence (Liena Sofiana)


SATUAN ACARA PENYULUHAN KESEHATAN LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT
KELURAHAN KRAMAT JATI
Rabu, 13Januari 2021

A. Topik : Kesehatan Reproduksi


B. Sub topik : Mengajarkan cara menjaga kebersihan pada organ reproduksi
C. Tujuan Instruksional :
1. Umum :
Setelah di berikan penyuluhan diharapkan masyarakat lingkungan mengerti tentang
kesehatan reproduksi.

2. Khusus :
Setelah diberikan penyuluhan ibu- ibu lingkungan akan dapat :
a. Menyebutkan pengertian Kesehatan Reproduksi
b. Menyebutkan tujuan Kesehatan Reproduksi
c. Menyebutkan Fungsi Alat Reproduksi
d. Menyebutkan Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja
e. Menyebutkan manfaat menjaga kebersihan alat reproduksi
f. Menyebutkan cara merawat dan menjaga organ reproduksi
g. Menyebutkan prosedur merawat dan menjaga organ reproduksi

D. Perencanaan Penyuluhan
1. Waktu
a. Hari : Rabu
b. Tanggal : 13 Januari 2021
c. Jam : 14.00-15.00
2. Tampat : Via Zoom
3. Sasaran : Remaja
4. Metode : Ceramah dan Tanya Jawab
5. Media : Link Zoom, Laptop, Michropone, alat tulis
E. Kegiatan Penyuluhan

No Tahap Waktu Kegiatan Kegiatan Media


Kegiatan Penyuluhan Peserta
Pendahuluan 5 menit 1. Memberikan - Menjawab Link zoom
salam salam Mikrophone
1. 2. Memperkenalkan
diri
3. Menjelaskan - Menyimak
tujuan apresiasi
Penyaji 15 menit Menjelaskan materi
tentang :
1. Menyebutkan 1.Mendengarkan
pengertian / memperhatikan
Kesehatan
Reproduksi Laptop
2. Menyebutkan Mikrophone
2. tujuan 2. Mengajukan
Kesehatan pertanyaan bila
Reproduksi kurang mengerti
3. Menyebutkan .
Fungsi Alat
Reproduksi
4. Menyebutkan
Permasalahan
prioritas
kesehatan
reproduksi
pada remaja
5. Menyebutkan
manfaat
menjaga
kebersihan
alat
reproduksi
6. Menyebutkan
cara merawat
dan menjaga
organ
reproduksi
7. Menyebutkan
prosedur
merawat dan
menjaga
organ
reproduksi
3. Penutup 10 menit 1. Melakukan
evaluasi dengan
memberikan Memperhatikan
pertanyaan dan menjawab Laptop
2. Menyimpulkan pertanyaan Mikrophone
materi yang telah
disampaikan
3. Memberi
kesempatan
kepada peserta
untuk bertanya
kembali jika
kurang jelas
E. Materi Penyuluhan: Terlampir
F. Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
Tim penyuluhan datang 15 menit sebelum waktu yang ditetapkan untuk mempersiapkan
sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan. Semua peserta datang tepat pada waktunya.
Penyuluhan dimulai 14.00 wib. Peserta yang hadir berjumlah 30 orang.
2. Evaluasi Proses
Pelaksanaan penyuluhan berjalan sesuai rencana. Peserta antusias mendengarkan materi
penyuluhan dan menjawab pertanyaan yang diajukan penyaji
3. Evaluasi Hasil
Target peserta > 50% mampu menjawab pertanyaan yang diajukan penyaji, meliputi:
a. Pengertian Kesehatan Reproduksi
b. Tujuan Kesehatan Reproduksi
c. Fungsi Alat Reproduksi
d. Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja
e. Manfaat menjaga kebersihan alat reproduksi
f. Cara merawat dan menjaga organ reproduksi
g. Menyebutkan prosedur merawat dan menjaga organ reproduksi
Lampiran 1 : Materi Penyuluhan

A. Pengertian Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi menurut Kemenkes RI (2015) adalah keadaan sehat secara


fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.

Kesehatan Reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan social
secara utuh, semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan system reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Yani Widyastuti, 2009:5)
Tujuan dari program kesehatan reproduksi remaja adalah untuk membantu remaja agar
memahami dan menyadari ilmu tersebut, sehingga memiliki sikap dan perilaku sehat dan
tentu saja bertanggungjawab kaitannya dengan masalah kehidupan reproduksi. Upaya yang
dilakukan melalui advokasi, promosi KIE, Konseling, pelayanan kepada remaja yang
memiliki masalah khusus serta memberi dukungan pada kegiatan remaja yang bersifat
positif (Yani Widyastuti, 2009:5).

B. Tujuan program reproduksi remaja


Untuk membantu remaja agar memahami dan menyadari ilmu tersebut, sehingga
memiliki sikap dan perilaku sehat dan tentu saja bertanggung jawab kaitannya dengan
masalah kehidupan reproduksi.

C. Fungsi alat reproduksi


1. Menyimpan dan memproduksi sel sperma pada laki- laki
2. Menghasilkan, menyimpan dan memproduksi sel telur (ovum) di Rahim pada
perempuan
3. Untuk menambah keturunan
4. Memproduksi hormone
D. Organ reproduksi
1. Organ Reproduksi Wanita
Organ reproduksi wanita dibagi menjadi dua yaitu organ reroduksi dalam dan luar
(Widyastuti, 2012).
1) Organ reproduksi luar
a. Mons veneris (Rambut Kemaluan)
Merupakan suatu bangunan yang terdiri atas kulit yang di bawahnya
terdapat jaringan lemak menutupi tulang kemaluan/simphisis. Mons
veneris ditutupi rambut kemaluan. Fungsi Mons veneris adalah
sebagai pelindung terhadap benturan-benturan dari luar dan dapat
menghindari infeksi dari luar dan berfungsi untuk melindungi alat
genetalia dari masuknya kotoran selain itu untuk estetika (Irianto,
2014).
b. Labia Mayora (bibir besar)
Terdiri atas bagian kanan dan kiri lonjong mengecil ke bawah dan
bersatu di bagian bawah. Bagian luar labia mayora terdiri dari kulit
berambut, kelenjar lamak, dan kelenjar keringat. Bagian dalamnya
tidak berambut dan mengandung kelenjar lemak, bagian ini
mengandung banyak ujung syaraf sehingga sensitif terhadap
hubungan seks. Berfungsi untuk menutupi organorgan genetalia di
dalamnya dan mengeluarkan cairan pelumas pada saat menerima
rangsangan seksual (Irianto, 2014).
c. Labia Minora (bibir kecil)
Merupakan lipatan kecil di bagian dalam labia mayora. Bagian
depannya mengelilingi klitoris. Kedua labia ini mempunyai
pembuluh darah, sehingga dapat menjadi besar saat keinginan seks
bertambah. Labia ini analog dengan kulit skrotum pada pria.
Berfungsi untuk menutupi organ-organ genetalia di dalamnya serta
merupakan daerah erotik yang mengandung pambuluh darah dan
syaraf (Irianto, 2014).
d. Klitoris
Merupakan bagian yang erektil, seperti penis pada wanita. Mengandung
banyak pembuluh darah dan serat saraf sehingga sangat sensitif saat
hubungan seks (Irianto, 2014).
e. Vestibulum (Vestibula)
Bagian kelamin ini dibatasi oleh kedua labia kanan-kiri dan bagian atas
oleh klitoris serta bagian belakang pertemuan labia minora. Pada
bagian vestibulum terdapat muara vagina (liang senggama), saluran
kencing, kelenjar Bartholini dan kelenjar Skene. Berfungsi untuk
mengeluarkan cairan apabila ada rangsangan seksual yang berguna
untuk melumasi vagina pada saat bersenggama (Irianto, 2014).
f. Himen (selaput dara)
Merupakan selaput tipis yang menutupi sebagian lubang vagina luar.
Pada umumnya himen berlubang sehingga menjadi saluran aliran
darah menstruasi atau cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar rahim
dan kelenjar endometrium (lapisan dalam rahim) (Widyastuti,
2012).
2) Organ Reproduksi dalam
a. Vagina (Liang Kemaluan)
Merupakan saluran muskulo-membranasea (otot-selaput) yang
menghubungkan rahim dengan dunia luar. Bagian ototnya berasal
dari otot levator ani dan otot sfingter ani (otot dubur) sehingga dapat
dikendalikan dan dilatih. Dinding vagina mempunyai lipatan
sirkuler (berkerut) yang disebut “rugae”. Berfungsi sebagai sebagai
jalan lahir bagian lunak, sebagai sarana 21 hubungan seksual,
saluran untuk mengalirkan lendir dan darah menstruasi (Irianto,
2014).
b. Rahim (Uterus)
Bentuk rahim seperti buah pir atau alpukat, dengan berat sekitar 30
gram. Terletak di panggul kecil diantara rektum (bagian usus
sebelum dubur) dan di depannya terletak kandung kemih. Hanya
bagian bawahnya disangga oleh ligamen yang kuat, sehingga bebas
untuk tumbuh dan berkembang saat kehamilan. Berfungsi sebagai
alat tempat terjadinya menstruasi, sebagai alat tumbuh dan
berkembangnya hasil konsepsi, tempat pembuatan hormon misal
HCG (Irianto, 2014).
c. Tuba Fallopii (Saluran telur)
Tuba Fallopii berasal dari ujung ligamentum latum berjalan ke arah
lateral, dengan panjang sekitar 12 cm. Tuba Fallopii bukan
merupakan saluran lurus, tetapi mempunyai bagian yang lebar
sehingga membedakannya menjadi empat bagian. Tuba fallopii
merupakan bagian yang paling sensitif terhadap infeksi dan menjadi
penyebab utama terjadinya kemandulan (infertilitas). Fungsi tuba
fallopii sangat vital dalam proses kehamilan, yaitu menjadi saluran
tempat bertemunya spermatozoa dan ovum, mempunyai fungsi
penangkap ovum, tempat terjadinya pembuahan (fertilitas), menjadi
saluran dan tempat pertumbuhan hasil pembuahan sebelum mampu
menanamkan diri pada lapisan dalam Rahim (Irianto, 2014).
d. Indung Telur (Ovarium)
Indung telur terletak antara rahim dan dinding panggul, dan digantung
ke rahim oleh ligamentum ovari proprium dan ke dinding panggul
oleh ligamentum infundibulo-pelvikum. Indung telur merupakan
sumber hormonal perempuan yang paling utama, sehingga
mempunyai dampak keperempuanan dalam pengatur proses
menstruasi. Indung telur mengeluarkan telur (ovum) setiap bulan
silih berganti kanan dan kiri. Pada saat telur (ovum) dikeluarkan
perempuan di sebut “dalam masa subur”. Fungsi ovarium adalah
sebagai penghasil sel telur/ovum, sebagai organ yang menghasilkan
hormon (estrogen dan progesteron) (Irianto, 2014).
e. Parametrium (Penyangga rahim)
Merupakan lipatan peritonium dengan berbagai penebalan, yang
menghubungkan rahim dengan tulang panggul. Lipatan atasnya
mengandung tuba fallopii dan ikut serta menyangga indumg telur.
Bagian ini sensitif terhadap infeksi sehingga mengganggu fungsinya
(Widyastuti, 2012).
E. Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai
menjadi:
1. Pengetahuan yang tidak lengkap dan tidak tepat tentang masalah seksualitas,
misalnya mitos yang tidak benar.
2. Kurangnya bimbingan untuk bersikap positif dalam hal berkaitan dengan
seksualitas.
3. Menyalahgunakan dan ketergantungan napza, yang mengarah kepada penularan
HIV/AIDS malalui jarum suntik dan melalui hubungan seks bebas. Masalah ini
semakin mengkhawatirkan dewasa ini.
4. Menyalahgunakan seksual.
5. Kehamilan remaja.
6. Kehamilan Pra nikah/di luar ikatan pernikahan (Yani Widyastuti, 2009:38).
F. Manfaat menjaga kebersihan alat reproduksi
1. Kulit di sekitar alat reproduksi selalu sehat dan bebas dari bau tidak sedap.
2. Aktivitas buang air kecil dan buang air besar tidak terganggu.
3. Terhindar dari berbagai penyakit.
4. Dapat beraktivitas sehari-hari dengan nyaman.
G. Cara merawat dan menjaga organ reproduksi
1. Pakai handuk yang lembut, kering, bersih, dan tidak berbau atau lembab.
2. Memakai celana dalam dengan bahan yang mudah menyerap keringat
3. Pakaian dalam diganti minimal 2 kali dalam sehari
4. Bagi perempuan, sesudah buang air kecil, membersihkan alat kelamin sebaiknya
dilakukan dari arah depan menuju belakang agar kuman yang terdapat pada anus
tidakmasuk ke dalam organ reproduksi.
5. Bagi laki-laki, dianjurkan untuk dikhitan atau disunat agarmencegah terjadinya
penularan penyakit menular seksual serta menurunkan risiko kanker penis.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, mukhlisiana SST., M. Kes. 2020. “Buku Ajar Kesehatan Reproduksi”.


Bandung. Penerbit media sains Indonesia

Rahayu, Atikah. 2017. “Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Remaja dan Lansia”.
Yogyakarta. indd (ulm.ac.id). Airlangga University Press

https://www.mikirbae.com/2020 di jelajah pada 10/01/2021 22.00 wib

https://promkes.kemkes.go.id/Pentingnya Menjaga Kebersihan Alat Reproduksi di


jelajah pada 10/01/2021 22.30 wib
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

A. Topik: Mengajarkan cara menjaga kebersihan pada organ reproduksi


B. Pengertian: Keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi.
C. Tujuan:
1. Meningkatkan pengetahuan pada agregat remaja, dalam pencegahan masalah
kesehatan khusus pada remaja
2. Mampu mengetahui informasi tentang kesehatan reproduksi pada remaja dan
mengajarkan cara menjaga kebersihan pada organ vital
D. Prosedur
- Fase orientasi
1. Ucapkan salam
2. Jelaskan tujuan dilakukan tindakan tersebut
3. Berikan klien kesempatan untuk bertanya
- Fase kerja
1. Mengganti celana dalam minimal sehari dua kali
2. Ketika sedang menstruasi gantilah pembalut setiap 4 jam sekali
3. Biasakan cebok dengan air bersih sesudah buarng air kecil
4. Setelah BAB, bersihkan alat kelamin dari arah vagina kearah anus untuk mencegah
kotoran masuk ke vagina, gunakan sabun seperlunya untuk daerah anus saja
5. Cucilah tangan dengan sabun setelah selesai
- Fase terminasi
1. Berikan kesempatan klien untuk bertanya
2. Jelaskan jika tindakan telas selesai
3. Ucapkan salam
E. Dokumentasi
- Mencatat seluruh kegiatan dari awal sampai akhir
Kharisma Dewi Octriana
Kesehatan Reproduksi 195140069

MENJAGA KEBERSIHAN ORGAN VITAL REPRODUKSI


APA ITU KESEHATAN REPRODUKSI

• Kesehatan reproduksi menurut Kemenkes


RI (2015) adalah keadaan sehat secara fisik,
mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-
mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan
proses reproduksi.
TUJUAN PROGRAM REPRODUKSI REMAJA

Untuk membantu remaja agar memahami


dan menyadari ilmu tersebut, sehingga
memiliki sikap dan perilaku sehat dan tentu
saja bertanggung jawab kaitannya dengan
masalah kehidupan reproduksi.
FUNGSI ALAT REPRODUKSI

• Menyimpan dan memproduksi


sel sperma pada laki- laki
• Menghasilkan, menyimpan dan
memproduksi sel telur (ovum)
di Rahim pada perempuan
• Untuk menambah keturunan
• Memproduksi hormon
PERMASALAHAN PRIORITAS KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA
DAPAT DIKELOMPOKKAN SEBAGAI MENJADI:

• Kehamilan tak dikehendaki,


yang seringkali menjurus
kepada aborsi yang tidak aman
dan komplikasinya
• Pernikahan dini
• Masalah PMS, termasuk infeksi
HIV/AIDS.
• Seks bebas
MANFAAT MENJAGA KEBERSIHAN ALAT
REPRODUKSI
• Kulit di sekitar alat reproduksi selalu sehat dan bebas dari bau tidak sedap.
• Aktivitas buang air kecil dan buang air besar tidak terganggu.
• Terhindar dari berbagai penyakit.
• Dapat beraktivitas sehari-hari dengan nyaman.
CARA MERAWAT DAN MENJAGA ORGAN REPRODUKSI
PROSEDUR MERAWAT DAN MENJAGA ORGAN
REPRODUKSI

20+ Inspirasi Poster Cara Menjaga Kesehatan Alat Reproduksi - Nikies


Diary
LAMPIRAN JOURNAL INDONESIA DAN INTERNASIONAL
Pertanyaan…

1. Keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi adalah
pengertian dari……
a. Kesehatan reproduksi
b. Kesehatan mental
c. Kesehatan fisik
1. Apa remaja perlu mengetahui tentang kesehatan reproduksi?...
a. Ya, Penting
b. Tidak penting
c. Tidak tahu
2. Cara menjaga kebersihan organ reproduksi pada wanita …..
a. Pakaian dalam diganti minimal 2 kali dalam sehari, sesudah buang air kecil,
membersihkan alat kelamin sebaiknya dilakukan dari arah depan menuju
belakang agar kuman yang terdapat pada anus tidak masuk ke dalam organ
reproduksi.
b. Mandi 1 kali sehari
c. Jarang mengganti celana dalam

3. Cara menjaga kebersihan organ reproduksi pada laki- laki, dengan cara……
a. Tidak dibasuh setelah buang air kecil
b. Dianjurkan untuk dikhitan atau disunat agar mencegah terjadinya
penularan penyakit menular seksual serta menurunkan risiko kanker penis,
mengganti celana dalam 2 kali sehari
c. Jarang mengganti celana dalam
4. Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja, sebagai berikut kehamilan tak
dikehendaki, pernikahan dini, seks bebas dan …
a. Bergaul denga teman sebaya
b. Masalah penyakit menular seksual, termasuk infeksi HIV/AIDS.
c. Gangguan menstruasi
PUBLISHED BY
Global Health Management Journal
www.publications.inschool.id

Original Research Article ISSN 2580-9296 (ONLINE)

Knowledge, attitude, and behavior about sexual and reproductive health among
adolescent students in Denpasar, Bali, Indonesia

Putu Erma Pradnyani 1,3, I Gusti Ngurah Edi Putra 2,3, Ni Luh Eka Purni Astiti 3
1
Faculty of Public Health, Airlangga University, Indonesia.
2
Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand.
3
KISARA (Kita Sayang Remaja) IPPA Bali Chapter, Indonesia.

*Corresponding author. Email: ediputra.ign@gmail.com

ARTICLE INFO ABSTRACT

Article history: Background: Adolescent sexual and reproductive health (SRH) problems remain an important
Received 26 October 2018 public health issue in many developing countries, such as Indonesia. Therefore, assessing SRH
Reviewed 08 January 2019 knowledge, attitude, and behavior among adolescents are worth considering for public health
Received in revised form 25 February 2019 intervention purpose in order to reduce their vulnerability to SRH problems.
Accepted 28 February 2019 Aims: This study aimed to assess SRH knowledge, attitude, and behavior among adolescent
students in Denpasar, Bali, Indonesia.
Methods: This was a cross-sectional school-based study conducted in Denpasar, Bali, Indonesia
Keywords: from July to September 2016. This study applied multi-stage random sampling to recruit 1,200
Sexual and reproductive health (SRH) students out of 24 junior, senior, and vocational high schools. Variables in this study consisted
Adolescents
of socio-demographic characteristics, knowledge, attitude, and behavior related to SRH. Data
Students
were analyzed using descriptive analysis and cross-tabulation to identify proportion differences.
Knowledge
Attitude Results: Regarding knowledge on SRH, students had less knowledge on a reproductive process
Sexual behavior (10.1%) and reproductive risk (11.4%), but half of them knew about the sexually transmitted
infections (STIs) and HIV&AIDS (55.6%) and almost all had sufficient knowledge on puberty
(90.7%). Meanwhile, few students argued that several sexual behaviors can be performed before
getting married, such as kissing and hugging (48.9%), petting and oral sex (18.7%) and sexual
intercourse (vaginal sex) (13.8%). Out of 1,200 adolescent students, 880 (73.3%) reported for
have ever been in dating with someone. Among adolescent dating, few students reported for an
experience of petting (14.3%), oral sex (9.8%), vaginal sex (6.5%), and anal sex (2.6%).
Conclusion: Adolescent students in Denpasar, Bali, had a low level of sufficient knowledge in
some SRH aspects, a few students reported for permissive attitude and performed premarital
sexual behaviors. Therefore, providing comprehensive sexuality education (CSE) is worth
considering to improve knowledge and appropriate skills in order to prevent risky sexual
behavior among adolescents.

© 2019 Publications of Yayasan Aliansi Cendekiawan Indonesia Thailand


This is an open-access following Creative Commons License Deed – Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0)

problems which currently needs a lot of attention is risky


INTRODUCTION sexual behavior. The national figure from the Indonesia
Demographic and Health Survey in 2012 showed that
In many developing countries, including Indonesia, the
33.3% of females and 34.5% of males aged 15-19 years
high population of adolescents without adequate
old have started dating before 15 years old [1].
development of information, technology, and facilities
Meanwhile, the finding from Riset Kesehatan Dasar (the
can lead to adolescent’s problems. One of those
National Health Research) in 2010 found that some

Cite this article as Pradnyani PE, Putra IGNE, Astiti NLEP. Knowledge, attitude, and behavior about sexual and
reproductive health among adolescent students in Denpasar, Bali, Indonesia. Global Health
Management Journal. 2019; 3(1):31-39.
Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1 32

adolescents aged 10-24 years old had premarital sexual Bali Chapter from July to September 2016. The
experience [2]. In addition, Indonesian adolescents have population of this study was adolescents from junior,
been documented with carrying a high risk sexual senior, and vocational high school in Denpasar, Bali with
behavior since the protected sex among them was at very an inclusion criterion that students were in schools and
low level [3]. To respond this problem, some previous willing to participate in this study at the time of survey.
study suggested to provide comprehensive sexual and Adolescent students were selected as samples in this study
reproductive health (SRH) education [3, 4]. because they can represent the adolescents in community,
particularly in geographical area of Denpasar. As the most
In many setting in Indonesia, adolescents face
developed area, the rates of school-age adolescents who
difficulties to access the SRH information and services.
did not attend schools due to underprivileged economic
Even though they are supported by Health Law No.
status might be identified at very low level. Therefore,
36/2009, article 72 which stated that everyone has rights
recruiting adolescent students in this study can estimate
to obtain information, education, and counseling about
the SRH situation among school-age adolescents
reproductive health [5], the implementation is far away
properly. The sample size was determined using the
from the expectation. The socio-cultural in Indonesia
formula for a population proportion with assumptions:
places the reproductive health matters as taboo and
95% confidence interval; 50% as the anticipated
sensitive issues and its discussion is viewed as private
population proportion; and 5% of absolute precision,
realm. Not surprisingly then, this condition contributes
making a minimum sample size of 385 students.
to insufficient knowledge regarding SRH and risky
However, to increase generalizability, we decided to
sexual behavior among Indonesian adolescents [6].
collect 400 students from each level of education (junior,
Risky sexual activity among adolescents would certainly senior, and vocational high school), resulting in a total
increase the risk of being infected with STIs and HIV, as sample of 1,200 students, as representative of the
well as, unintended pregnancy [7]. As one of the sampling population.
provinces in Indonesia, adolescents in Bali are also
This study employed a multi-stage cluster random
vulnerable to SRH consequences due to lack of access to
sampling to recruit students from the selected population.
SRH information and services since SRH discussion is
First, 24 schools were selected through cluster
viewed as inappropriate for unmarried people.
probabilistic selection, stratified by four sub-districts of
Moreover, their vulnerability is also due to Bali as a
Denpasar and school levels (junior high school, senior
well-known tourism place which contributes to the
high school, and vocational high school) as well as
acculturation process of overseas-cultures in terms of
grouped into private and public school, resulting in an
interpersonal relationship pattern among adolescents [8].
equal number of students obtained with different school
Not surprisingly then, there is an increasing acceptance
levels and types of school. Second, two classes were
among Balinese adolescents of premarital sex, even the
picked using a simple random sampling from the selected
pregnancy among unmarried couples can be accepted as
schools in Denpasar, and then, systematic random
long they commit to get married soon [9].
sampling was used to recruit 25 students from each class.
Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA) of Data were collected through a self-administered
Bali Chapter reported that 29.3% of 1,225 unwanted questionnaire and set to be anonymous to ensure
pregnancy cases in 2015 came from young people (10- confidentiality and reduce bias. Prior the data collection,
24 years) whereas adolescents (15-19 year) contributed we have explained the study’s purpose to the students, and
to 7.7% of 1,162 STI sufferers [10]. A previous study written informed consent from students has been
conducted among senior high school students at 10th and obtained. In addition, teachers supervised the data
11th grade in Denpasar found that 29 students (4.26%) collection process and they approved the study as
have performed premarital sexual intercourse (1.44% of students’ guardian.
females and 3.19% of males) [11]. In order to provide
more insights related to SRH among adolescents in Variables and data analysis
Denpasar, Bali, this study aimed to assess knowledge, Variables in this study consisted of four main groups, such
attitude, and behavior about SRH among adolescents in as socio-demographic characteristics, knowledge,
Denpasar, Bali, Indonesia. attitude, and behavior related to SRH. More than one
questions were used to measure knowledge, attitude, and
METHODS behavior. Moreover, data were analyzed descriptively to
present distribution of variables in this study. Chi-square
Population and sample test was employed to identify the proportion differences
by sociodemographic characteristics with significance
A cross-sectional school-based study was conducted by level (α) at 0.05.
Kisara (Kita Sayang Remaja =We Love Youth), IPPA of
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
33 Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1

Table 1. Sociodemographic characteristics of adolescent only one out of ten students had good enough knowledge
students in Denpasar, Bali (N=1,200) on reproductive process (10.1%) and reproductive risk
(11.4%). Meanwhile, only a half of the students had
Variables N %
sufficient knowledge on STIs and HIV&AIDS (55.6%).
Age
≤ 15 years old 369 30.8 Based on cross-tabulation of each aspect of knowledge
> 15 years old 831 69.2 with sociodemographic characteristics, it showed that
Sex students aged > 15 years old and female students had
Female 724 60.3 significantly higher knowledge on puberty and STI and
Male 476 39.7 HIV&AIDS. While junior high school students had the
Current educational level lowest proportion of sufficient knowledge on puberty and
Junior high school 400 33.3 STIs, including HIV&AIDS, vocational high school
Senior high school 400 33.3 students appeared with the lowest sufficient knowledge
Vocational high school 400 33.3
on reproductive process. Meanwhile, those in public
Types of school
schools had higher proportion of sufficient knowledge on
Public/state school 600 50.0
Private school 600 50.0
puberty, but the smaller proportion on reproductive risk.
Table 3 presents the attitude of adolescents regarding
preferred time for sexual behavior. Most of the students
RESULTS
argued that sexual behavior should be performed after
getting married. Meanwhile, others argued that the
Table 1 shows that the average age of students in this
following sexual behaviours can be performed before
study was nearly 16 years and more than half aged 16
getting married such as kissing and hugging (48.9%),
years and more (69.2%) with the majority were female
petting and oral sex (18.7%) and sexual intercourse
students (60.3%). Meanwhile, the same number of
(vaginal sex) (13.8%). Based on age, adolescents aged >
students were obtained from three different school levels
15 years old were consistent to approve all premarital
and two types of school.
sexual behaviors at higher proportion compared to those
The knowledge on SRH was measured by 63 questions, aged 15 years and less. Moreover, male students were
grouped into four main sections of knowledge: puberty (8 more permissive to agree that petting, oral sex, and sexual
questions), reproductive process (9 questions), intercourse could be performed before getting married.
reproductive risk (4 questions), and STIs and HIV&AIDS Junior high schools students were observed with the
(42 questions). Those who could answer correctly at least lowest percentage of the acceptance of premarital sexual
a half of total questions were classified into sufficient behaviors. In addition, adolescents’ approval of some
knowledge. Table 2 clearly presents that more than 90% premarital sexual behaviors was found higher among
of students had sufficient knowledge on puberty whereas private-schooling adolescents.
Table 2. Sexual and reproductive health knowledge among adolescent students in Denpasar, Bali (N=1,200)
Sufficient knowledge on
Sociodemographic
characteristics Puberty Reproductive process Reproductive risk STIs and HIV&AIDS
N (%) N (%) N (%) N (%)
Total 1,088 (90.7) 121 (10.1) 137 (11.4) 667 (55.6)
Age (χ2) 9.81*** 0.99 0.32 43.04***
≤ 15 years old 320 (86.7) 42 (11.38) 45 (12.20) 153 (41.46)
> 15 years old 768 (92.4) 79 (9.51) 92 (11.07) 514 (61.85)
Sex (χ2) 14.20*** 0.00 0.24 11.52***
Female 675 (93.2) 73 (10.1) 80 (11.1) 431 (59.5)
Male 413 (86.7) 48 (10.1) 57 (12.00) 236 (49.6)
Current educational level (χ2) 17.51*** 8.62* 5.06 62.18***
Junior high school 343 (85.8) 49 (12.3) 52 (13.0) 160 (40.0)
Senior high school 370 (92.5) 46 (11.5) 51 (12.8) 266 (66.5)
Vocational high school 375 (93.8) 26 (6.5) 34 (8.5) 241 (60.3)
Types of school (χ2) 20.84*** 2.07 10.09*** 0.76
Public/state school 567 (94.50) 53 (8.83) 51 (8.50) 326 (54.33)
Private school 521 (86.83) 68 (11.33) 86 (14.33) 341 (56.83)
*p<0.5; **p<0.01; ***p<0.001

Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39


Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1 34

Table 3. Adolescent students’ attitude toward sexual behavior in Denpasar, Bali (N=1,200)
Adolescents’ approval of premarital sexual behaviors
Sociodemographic
characteristics Kissing, hugging, touching Petting and oral sex Sexual intercourse
N (%) N (%) N (%)
Total 587 (48.9) 224 (18.7) 166 (13.8)
Age (χ2) 48.25*** 20.04*** 5.59*
≤ 15 years old 125 (33.9) 41 (11.1) 38 (10.3)
> 15 years old 462 (55.6) 183 (22.0) 128 (15.4)
Sex (χ2) 2.41 38.83*** 26.56***
Female 341 (47.1) 94 (13.0) 70 (9.7)
Male 246 (51.7) 130 (27.3) 96 (20.2)
Current educational level (χ2) 61.64*** 25.37*** 13.82**
Junior high school 140 (35.0) 45 (11.3) 42 (10.5)
Senior high school 251 (62.8) 100 (25.0) 76 (19.0)
Vocational high school 196 (49.0) 79 (19.8) 48 (12.0)
Types of school (χ2) 0.003 4.30* 13.54***
Public/state school 294 (49.0) 98 (16.3) 61 (10.2)
Private school 293 (48.8) 126 (21.0) 105 (17.5)
*p<0.5; **p<0.01; ***p<0.001

88.1%
68.0%
58.3%
35.6%
20.9%
Adolescents Dating
17.6%
14.3%
9.8%
6.5%
2.6%

Hand in hand Hugging Kissing on the cheeck Kissing on the mouth


Touching on body Touching on genital Petting Oral Sex
Vaginal Sex Anal Sex

Figure 1. Sexual behaviors among adolescent students in Denpasar, Bali

Out of 1,200 students in this study, 880 respondents adolescents aged >15 years old, males, senior high school
(73.3%) have been reported for have ever been in dating students, and private-schooling adolescents. Based on
with someone. Figure 1 describes the sexual activities Figure 3, condom use among adolescent students who
among the adolescents dating. It shows that among were sexually active in Denpasar was low. Only one out
adolescent dating in this study, hand in hand, hugging, and of five sexually active students reported for “always”
kissing on the check was the common behaviour among using condom for vaginal sex (19.3%) from 57 students,
couples. Meanwhile, few students reported for an and anal sex (21.7%) from 23 students. In addition, shown
experience of petting (14.3%), oral sex (9.8%), vaginal at Figure 4, it informs age at first sex among adolescent
sex (6.5%), and anal sex (2.6%). students who have performed oral, vaginal or anal sex.
Out of 98 students, 1% reported for sexual debut at 11
Figure 2 presents the proportion differences of sexual
years old whilst the majority had their first sex at age 15
behaviors by sociodemographic characteristics. It showed
years (43.9%) and 16 years (34.7%).
that sexual behaviours were more common among
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
35 Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1

Figure 2. Sexual behaviors by sociodemographic characteristics among adolescent students in Denpasar, Bali

DISCUSSION older students, females, senior high school students,


public-schooling students had higher knowledge of
This study found that SRH knowledge varied by domain. puberty. Older age of students is directly proportional to
Adolescents in this study were more knowledgeable a higher educational level that might contribute to the
related to puberty rather than other aspects. Puberty is an exposure of puberty information. Meanwhile, due to the
inevitable process and first sign of their adolescence life. earlier onset of puberty symptoms among females, they
It is understandable then, they are more likely to look for want to be informed on SRH matters for menstruation
or receive more information related puberty at first-stage preparedness [14]. In addition, the different internal
of the adolescent period before other SRH information is culture and social environment between public and
equipped [12]. Adolescents can obtain puberty-related private schools might influence the adolescents’
information from their parents and they might be taught knowledge.
about puberty at schools. It is supported by findings from The low level of knowledge’s aspect on reproductive
a previous study that 75.2% students had sufficient process reflects a lack of understanding of adolescents
knowledge level about puberty, while 84.2% stated that related to the process of how pregnancy occurs. It also
they received first information from parents whereas indicates that many adolescents might assume that having
teachers contributed to 18.1% as a source of information sexual intercourse once will not cause pregnancy. As a
[13]. In Indonesia, puberty information is formally finding among their counterparts that 50.9% girls believed
delivered by teachers at school in some sections of that they would not get pregnant in her first sexual
biology subject. However, it does not rule out the encounter [15]. Similarly, information about reproductive
possibility that students also can receive information from risk/consequences was poorly known by adolescents in
various media and also the results from information Denpasar. It also denotes that adolescents were less
sharing with peers that contributed to their knowledge on knowledgeable related to unintended pregnancy and
puberty. Based on sociodemographic characteristics, abortion-related information.
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1 36

Figure 3. Condom use among sexually active adolescent students in Denpasar, Bali

A previous study also confirmed that 46% of respondents Awang’s study in 2014 confirmed that male adolescents
were aware of the fact that the natural herbs and 45.5% did not know other types of STIs, except for HIV&AIDS
considered herbs as a better option for abortion [16]. Even and syphilis [18]. In another setting, a survey conducted
though school curricula provides several subjects where among school-going adolescents found that 60.2% had
students can rely on information related to SRH, such as good knowledge on HIV&AIDS whereas 34.1% and
biology, religion, sport science, and budi pekerti 5.7% students were in moderate and poor knowledge-
(character science), in fact, those subjects commonly only level categories, respectively [19]. Moreover, this study
cover general information of SRH and its topic in each found that females, students aged > 15 years old, senior or
subject is limited in some sections. vocational high school students were more
knowledgeable on STIs and HIV&AIDS. Similar to
Meanwhile, moderate-level of HIV&AIDS and STI
previous explanation that older students or with higher
knowledge among students might be due to HIV&AIDS
educational level tend to receive more information,
information has been delivered by teachers at schools or
supported by findings from a previous study that older
through students’ participation in extracurricular
adolescents aged 15–19 years were more likely to know
activities, such as Kelompok Siswa Peduli AIDS dan
about AIDS than their younger counterparts [20].
Narkoba/KSPAN (Students’ Group with Awareness of
AIDS and Drugs) and Pusat Informasi dan Konseling Regarding the attitude, few students argued that kissing
Remaja/PIK-R (Adolescent Center for Information and and hugging; petting and oral sex; and sexual intercourse
Counselling) [17]. Both of KSPAN and PIK-R are can be performed before getting married. It may be due to
organized by appointed teachers in schools where the the acculturation process between foreigners’ and natives’
materials or activities not only can be led by teachers, but cultures occurred in Bali that play important roles to the
also health personnel from public health centers, regional adolescents’ acceptance of premarital sex [8]. Moreover,
health office, or NGOs who are concerns on this issue can during the puberty period, the level of curiosity and sexual
take part as speakers. However, during the intention reach a peak, followed by any misconception
implementation, teachers commonly collaborate with two related to reproductive process and consequences, in
main organizations as the initiators for those which, turns to permissive attitude towards sexual
extracurricular activities, such as Bali AIDS Commission behavior. With these kinds of responses, it is logical to
for KSPAN and National Family Planning Board of Bali assume that students in Denpasar might potentially
for PIK-R. Students who have interest in activities offered perform premarital sex, as well as, risky sexual behavior.
by those extracurricular can participate. Moreover, the
A study in Nepal conducted by Bhatta found that high
core activities are intended to develop peer educators who
proportion of students (32.4%) who agreed for premarital
help non-members of those activities to receive
sex was in line with high prevalence of premarital sex
appropriate information.
(25%) [21]. Moreover, older, male, or senior high school
It is important to note, however, both extracurricular students, as well as, those in private schools were in a
activities place a lot attention on HIV&AIDS information, higher acceptance of premarital sexual behaviors.
but limited information related to other types of STIs is Focusing on sex, this study is similar to a previous study
provided. Therefore, adolescents in Denpasar might not which found that males were more likely to have a
be exposed with sufficient STI-related information. permissive attitude toward sex. It may be due to gender
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
37 Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1

43.9%

34.7%

8.2%
6.1%
4.1%
1.0% 2.0%
0.0%

11 12 13 14 15 16 17 18

Age (years old)

Figure 4. Age at sexual debut among sexually active adolescent students in Denpasar, Bali

norms in the Indonesian context where females are The findings of this study suggested to clarify any
expected to maintain their virginity, but it is not strongly misconceptions related to SRH among adolescent
applied for males [22]. students in Denpasar, Bali such as false beliefs in
reproductive process and consequences. Even though
This study also highlighted the sexual activities among
schools seem supporting the delivery of SRH information
adolescents who have been dating with someone with a
through the presence of some subjects and extracurricular
few of them reported for having sexual intercourse.
activities, the coverage of given information was not
Similar to a previous study in Denpasar which found that
satisfactory. For school subjects formally taught by
4.26% of the school adolescents have performed
teachers, the lessons related SRH are limited in terms of
premarital sexual intercourse [11]. Moreover,
duration and frequency and those depend on teachers’
characteristics of adolescents who had higher proportion
willingness to what extent the SRH-related information
of engagement in premarital sexual behavior were in line
should be provided. In most situations, SRH information
with those who more approved premarital sex, indicating
provided by teachers mostly covers physical-anatomy of
key prioritize for intervention.
reproductive organs and it counts less than 10 percent of
In addition, risky sexual behaviour e.g., low condom use total meetings [25]. Meanwhile, for extracurricular
among adolescent students was also well-documented in activities, KSPAN focus on providing materials related to
Denpasar, Bali. Surprisingly, only one out of five HIV&AIDS, drugs, and STIs whereas information related
sexually-active students reported for "always" using to age maturation of marriage, drugs, HIV&AIDS, and
condom for vaginal sex (19%), and anal sex (22%). These sexuality is strongly attached in PIK-R’s activities. Both
percentages are slightly lower than the national figure of of those extracurricular activities are commonly arranged
condom use prevalence which was about 25% among once a week depending on schools’ situation and policy.
male adolescents aged 15-24 years old [3]. With low Obviously, we note some weaknesses, such as low
consistency for protected sex, it indicates that adolescent coverage of other aspects of information such as
students in Denpasar carry high risk of being infected with reproductive process and consequences/risk and also the
STIs, HIV&AIDS, and unintended pregnancy. Low duration for providing SRH information is quite lacking.
condom use might be related to the socio-cultural context More importantly, necessary skills and efficacy to make
of Indonesia where contraceptive tools are not acceptable informed decisions are not prioritized in both
for unmarried people. As a consequence, the restricted extracurricular activities.
access to both SRH information and services especially
Providing comprehensive sexuality education (CSE) is
condoms transforms to barriers as underlying reasons for
worth considering among adolescents to equip them with
unprotected sex. In addition, condom use in fact, seems to
reproductive and sexual health and rights, gender
be highly linked with trust and more intimate relationship
equality, and knowledge and skills for HIV prevention in
and hence, its negotiation can become extremely difficult
order to be able in making informed decisions [26].
[23, 24].
Nowadays, the Kisara IPPA of Bali Chapter as one of the
pioneers of SRH program among adolescents in Denpasar
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1 38

has started implementing CSE in some schools in CONCLUSIONS


Denpasar in collaboration with related stakeholders such
as Education Regional Office and Health Regional Office School-going adolescents in Denpasar, Bali had low level
of Denpasar City. To date, even though there is no formal of knowledge on some SRH aspects, particularly related
evaluation of this implementation, CSE in many settings to reproductive process and risk. In addition, some of the
is promising to delay sexual debut and prevent risky adolescents had the permissive attitude for premarital sex,
sexual behavior among adolescents [27, 28]. as well as, a few of them reported for having sexual debut
In Denpasar, CSE implementation is integrated to the and unprotected sex. Hence, providing CSE is the
school curricula. Appointed teachers in some subjects promising solution so far to enhance their knowledge and
have been trained about the use of CSE module developed skills in making informed decisions, including preventing
by Rutgers WPF prior to providing CSE materials risky sexual behavior. CSE implementation should target
routinely as part of the discourse in some subjects (natural adolescents of which had lower SRH knowledge,
science/biology, religion, sports science, and guidance permissive attitude of sexual behavior and had premarital
and counseling). With this implemented program, it sex experiences.
obviously increases the coverage of SRH information, as
well as, the frequency and duration of information CONFLICT OF INTERESTS
delivery. Furthermore, CSE implementation is not limited
to the school settings, but it is supported by public health Authors declared that there is no conflict of interest.
centers which align with their existing adolescent health
program. There is a collaboration between teachers and
ACKNOWLEDGMENTS
health providers to refer adolescents with SRH problems
to seek for help in public health centers and also to create
private space for adolescents in discussing SRH matters. Authors thank to Kisara of IPPA Bali Chapter who
Therefore, expanding the number of schools that adopt provided funding support for this study. In addition,
CSE is substantial to increase the access to SRH authors gratefully acknowledge National Unity and
information and services among adolescents in Denpasar. Politics Board of Denpasar, Education Regional Office of
More importantly, according to findings of this study, Denpasar and also Head Master in all selected schools
CSE implementation should target adolescent students who gave permission for this study.
with low SRH knowledge, higher acceptance of
premarital sexual behaviors, and have engaged in sexual REFERENCES
behaviors. Younger adolescents or junior high school
students in particular, should be equipped with sufficient
knowledge and appropriate skills as soon as possible in 1. Statistics Indonesia (Badan Pusat Statistik-BPS),
order to be able in making informed decisions and prevent National Population and Family Planning Board
themselves from adverse SRH outcomes. Moreover, (BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes-MoH),
compared to public schools, students in private schools ICF International. Indonesia demographic and health
survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN,
should be prioritized for intervention.
Kemenkes, ICF International; 2013.
There are several limitations noted for this study. First, the 2. MoH Indonesia. Riset kesehatan dasar [Basic health
findings relied on descriptive statistics so that information research] 2013. Jakarta: MoH Indonesia; 2013.
related factors associated with SRH knowledge, attitude, 3. Putra IGNE, Astuti D, Widyastari DA. Prevalence and
and behavior were not deeply discussed. Second, the self- determinants of condom use among male adolescents in
reported of SRH behavior might be prone to bias due to Indonesia. Int J Adolesc Med Health. 2018.
social desirability. However, that potential bias can be doi:10.1515/ijamh-2018-0141
reduced by the anonymous and self-administered 4. De Castro F, Rojas MR, Villalobos HA, Allen LB,
questionnaires. Moreover, other variables were not Breverman BA, Billings DL, Uribe ZP. Sexual and
collected in this study, such as sources of SRH reproductive health outcomes are positively associated
with comprehensive sexual education exposure in
information since previous study found that peers at
Mexican high-school students. Plos One. 2018; 13(3):1-
school and mass media were perceived to the main
15.
sources among adolescents [29]. In addition, the socio- 5. MoH Indonesia. Health Law No. 36/2009.
cultural and religious factors are not identified in this 6. Susanto T, Rahmawati I, Wuryaningsih EW, Saito R,
study that can help explain the nature of adolescents in Syahrul, Kimura R, Tsuda A, Tabuchi N, Sugama J.
Balinese context. Therefore, future studies need to take Prevalence of factors related to active reproductive health
the limitations of this study into consideration. behavior: A cross-sectional study Indonesian adolescent.
Epidemiol Health. 2016;38.

Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39


39 Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1

7. Azinar M. Perilaku seksual pranikah berisiko terhadap 20. Rahman M, Mizanur M, Kabir, Shahidullah. Adolescent
kehamilan tidak diinginkan [Primary sexual behaviors knowledge and awareness about AIDS/HIV and factors
risk on unwanted pregnancy]. Jurnal Kesehatan affecting them in Bangladesh. Journal of Ayub Medical
Masyarakat. 2013;8(2):153-160. College.2009;21(3):3-6
8. Faturochman. Sikap dan perilaku seksual remaja di Bali 21. Bhatta DN. Adolescent students' attitude towards
[Adolescents’ attitude and sexual behaviors in Bali]. premarital sex and unwanted pregnancy. Health
Jurnal Psikologi. 1992;(1):12-17. Renaissance. 2013; 11(2): 145-9.
9. Suka IG , Muninjaya AAG, Wiasti NM, Kartika DAAS, 22. Widyastuti ESA. Personal dan sosial yang
Aryastami K. Pemberdayaan perarem untuk menurunkan mempengaruhi sikap remaja terhadap hubungan seks
angka hamil di luar nikah dan kawin usia muda di Desa pranikah [Personal and social factors influencing
Pengotan Kabupaten Bangli [Empowerment of perarem adolescent attitudes toward premarital sex]. Jurnal
to reduce premarital pregnancy and early married in Promosi Kesehatan Indonesia.2009;4(2):75-85.
Pengotan Village, Bangli District]. Buletin Penelitian 23. Siramaneerat I, Agushybana F, Nugraha A,
Sistem Kesehatan. 2013;16(3):275-281. Mungkhamanee S. Knowledge, attitude, and behavior
10. IPPA of Bali Chapter. Data kehamilan yang tidak toward premarital sex among adolescents in Indonesia.
diinginkan dan infeksi menular seksual [Unwanted Journal of Health Research. 2017;31(6):447–53.
pregnancy and sexually transmitted infections data]. 24. Rondini S, Krugu JK. Knowledge, attitude and practices
Denpasar: IPPA of Bali Chapter; 2015. study on reproductive health among secondary schools in
11. Rahyani KY, Utarini A, Wilopo SA, Hakimi M. Perilaku Bolgatanga, upper east region, Ghana. Afr J Reprod
seks pranikah remaja [Premarital sexual behavior of Health. 2009; 13(4): 51-66.
adolescents]. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 25. Widyastari DA, Pimonpan I, Zahroh S. “Women won’t
2012; 7(4): 180-185. get pregnant with one sexual intercourse”
12. Nurdjannah S. Knowledge and behaviour about misconceptions in reproductive health knowledge among
adolescent reproductive health in Yogyakarta, Indonesia. Indonesian young men. Journal of Health
International Journal of Public Health Science. Research.2015;29(1):63-69.
2015;4(4): 326–331. doi: 10.11591/.v4i4.4754. 26. UNESCO, UNFPA. Youth and comprehensive sexuality
13. İşgüven P, Yörük G, Çizmeciğlu FM. Educational needs education. New York: UNESCO, UNFPA; 2011
of adolescents regarding normal puberty and menstrual 27. Chi X, Hawk ST, Winter S, Meeus W. The effect of
patterns. JCRPE J Clin Res Pediatr Endocrinol. 2015; comprehensive sexual education program on sexual
7(4): 312-22. health knowledge and sexual attitude among college
14. Yazıcı S, Gulumser D, Yıldız O, Fatma Y. The level of students in Southwest China. Asia Pac J Public Health.
knowledge and behavior of adolescent male and female 2015; 27(2): 2049–66. doi: 10.1177/1010539513475655.
students in Turkey on the matter of reproductive health. 28. Kirby D, Ecker N. International technical guidance on
Sex Disabil. 2011; 29:217–227 sexuality education: an evidence-informed approach for
15. Nwaorgu OC, Onyeneho NG, Okolo M, Obadike E, schools, teachers and health educators. Paris, France:
Enibe G. Reproductive health knowledge and practices United Nations Educational, Scientific and Cultural
among junior secondary school grade one students in Organization; 2009.
Enugu State: Threat to achieving millennium 29. Muhwezi WW, Anne RK, Cecily B, Herbert M, Doris K,
development goals in Nigeria. East Afr J Public Health. Sheri B, Knut IK. Perceptions and experiences of
2008; 5(2): 5-11. adolescents, parents and school administrators regarding
16. Gul S, Rubab B, Ahmad N, Iqbal U. Herbal drugs for adolescent-parent communication on sexual and
abortion may prove as better options in terms of safety, reproductive health issues in urban and rural Uganda.
cost & privacy. A Sci Innov Res. 2015; 4(2): 105-8. Reproductive Health.2015;12(110):1-16.
17. Wiriyana IGNA, Hanim D, Lestari A. Pengetahuan,
sikap dan tindakan HIV/AIDS anggota dan bukan
anggota kelompok siswa peduli AIDS dan narkoba
[Knowledge, attitudes and practices of HIV/AIDS
between members and non-members of students’ group
with awareness of AIDS and drugs]. Nexus Kedokteran
Komunitas. 2017; 6(2): 45-53.
18. Awang H, Wong LP, Jani R, Low WY. Knowledge of
sexually transmitted diseases and sexual behavior among
Malaysian male youths. A Biosoc Sci. 2014; 46(2): 214-
24.
19. Abdeyazdan Z, Sadeghi N. Knowledge and attitude
toward AIDS/HIV among senior school students in
Isfahan. Iran J Clin Infect Dis. 2008; 3(2): 93-8.

Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39


Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi
dan Seksualitas pada Remaja

Miswanto

ABSTRAK
Berdasarkan data yang dilansir dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia
tahun 2010, pengetahuaan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan
remaja masih terbilang rendah. Sebanyak 13% perempuan tidak mengetahui perubahan
fisik yang terjadi pada diri mereka dan hampir separuh dari mereka (49,9%) tidak
mengetahui masa suburnya. Masa remaja adalah masa transisi dan sangat problematis
dalam aspek psikologis. Hal ini membuat mereka berada dalam kondisi anomi (sebuah
situasi tanpa norma dan hukum) karena kontradiksi antara norma dan fase orientasi. Ada
perubahan signifikan yang terjadi pada fase remaja: aspek fisik, biologis, psikologis,
emosional dan psikososial. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan
kehidupan personal, keluarga serta masyarakat. Ketika mereka tidak siap terhadap
terhadap perubahan yang terjadi, perilaku negatif akan terjadi, diantaranya kenakalan
remaja, penyalahgunaan narkoba, penyakit menular seksual dan penularan HIV/AIDS,
kehamilan tidak di inginkan, aborsi dan lain-lain. Pendidikan seksualitas yang efektif
harus sesuai dengan usia, budaya, konteks kehidupan remaja dan memberikan informasi
yang akurat. Hal itu dapat memberikan kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi
nilai dan akhirnya mereka dapat membuat keputusan penting mengenai kehidupan seksual
mereka sehingga dapat mencegah risiko-risiko yang mungkin terjadi. Akan tetapi, masih
ada yang beranggapan bahwa pendidikan seksualitas tabu bagi remaja.
Kata kunci: kesehatan reproduksi, seksualitas, remaja

AB S T RACT
Based on data reported by the Adolescent Reproductive Health Survey in Indonesia in
2010, knowledge about reproductive health and sexuality among young people is still
low. As many as 13% of women do not know the physical changes that happen to them
and almost half of them (49.9%) did not know the fertile period. Adolescence is a period
of transition and very problematic, significant changes happens in the physical, biological,
psychological, emotional and, psychosocial aspects. A number of deviant behavior can
occur such as drug abuse, risk of sexual behavior, sexually transmitted diseases and
HIV and AIDS, unwanted pregnancy, abortion, etc. This study used literature study;
analysis on Adolescent Reproductive Health Survey 2007 by BPS, BKKBN and the
Ministry of Health as well as other comprehensive studies on reproductive health. The
needing an effective way to deliver reproduction and sexuality education that gives an
accurate information according the age, culture and, context of young people adolescent
life. It can provide opportunities for young people to explore themselves so that they
can make important decisions related to their sexual life, and prevent the risks that may
occur.
Keywords: reproduction and sexuality health, youth

111
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

PENDAHULUAN Menurut Mukhlish Muchad F (2007),


Masa remaja merupakan peralihan masa di dalam masyarakat, pemuda merupa-
kanak-kanak menjadi dewasa yang meli- kan harapan untuk keberlangsungan me-
batkan perubahan berbagai aspek seperti neruskan nilai-nilai yang luhur dan po-
biologis dan psikologis. Dalam keadaan de- tensial. Kedudukannya yang strategis seba-
mikian, seringkali kecenderungan melaku- gai penerus cita-cita perjuangan bangsa
kan pelanggaran norma. Remaja meng- dan sumber inspirasi bagi pembangunan
alami proses ketidakmampuan dalam me- bangsanya, begitu juga halnya seperti yang
nyesuaikan diri dengan lingkungannya, diungkapkan Calon (dalam Monks, dkk,
khususnya menyangkut pergaulan. Perasaan 1994) bahwa masa remaja menunjukkan
bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan jelas sifat transisi atau peralihan
dengan kondsi lingkungan oleh individu karena remaja belum memperoleh status
secara kualitatif bergantung pada sikap dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.
pribadinya terhadap diri sendiri, yaitu ber- Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004:
gantung pada proses penamaan diri atau 53) masa remaja adalah peralihan dari masa
(zelfdenaming). anak dengan masa dewasa yang mengalami
Remaja yang puas dalam usaha mem- perkembangan semua aspek/fungsi untuk
benarkan diri dan mendefinisikan diri sen- memasuki masa dewasa. Masa remaja ber-
diri, akan merasa bahagia dan mudah me- langsung antara umur 12 sampai 21 tahun
nyesuaikan diri dengan lingkungannya. bagi perempuan dan 13 sampai 22 tahun
Sebaliknya, dia akan menjadi sangat tidak bagi laki-laki.
bahagia atau sengsara, apabila semua ke- Hal senada diungkapkan oleh Santrock
inginannya pada masa remajanya tidak ter- (2003:26) bahwa remaja (adolescene) di-
penuhi sesuai dengan apa yang di inginkan, artikan sebagai masa perkembangan transisi
Akibatnya remaja tersebut akan sulit untuk antara masa anak dan masa dewasa yang
mengontrol dirinya dan berimplikasi besar mencakup perubahan biologis, kognitif,
pada penyimpangan sosial yang disebabkan dan sosial-emosional. Batasan usia remaja
oleh perubahan secara biologis maupun yang umum digunakan oleh para ahli adalah
secara psikologis. antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu
Pada masa remaja terjadi berbagai ma- usia remaja ini biasanya dibedakan menjadi
cam perubahan yang cukup signifikan baik tiga, yaitu 12-15 tahun adalah masa remaja
secara fisik, biologis, mental dan emo- awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja
sional serta psikososial. Hal tersebut dapat pertengahan, dan 18-21 tahun sebagai masa
mempengaruhi kehidupan dan perilaku remaja akhir. Akan tetapi, Monks, Knoers,
pribadi, lingkungan keluarga maupun ma- dan Haditono membedakan masa remaja
syarakat. Ketidaksiapan remaja dalam menjadi empat bagian, yaitu masa pra-
menghadapi perubahan tersebut dapat me- remaja 10-12 tahun, masa remaja awal 12-
nimbulkan berbagai perilaku seperti: ke- 15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18
nakalan remaja, penyalahgunaan obat ter- tahun, dan masa remaja akhir 18-21 tahun
larang, Penyakit Menular Seksual (PMS) (Deswita, 2006: 192).
dan HIV dan AIDS, kehamilan yang Proses tumbuh kembang remaja harus
tidak diinginkan, aborsi dan sebagainya. mendapat perhatian yang khusus agar fase
Untuk mencegah semua itu perlu adanya tersebut dapat terkontrol. Kontrol dan
peran orang tua, pendidikan formal dan regulasi perlu di lakukan terhadap dorongan-
lingkungan tempat bersosialisasi yang di- dorongan seks dan implus-implus seks, agar
harapkan dapat berpengaruh bagi remaja. tidak terlampau eksesif dan meledak-ledak,

112
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

sehingga bisa melemahkan jasmani dan lawan jenis pada lingkungan bebas norma
rohani. Dunia pergaulan bebas kini mulai dan rendahnya kontrol sosial, cenderung
menghantui kalangan remaja. Remaja ha- mengundang hasrat dan kebutuhan seks
rus dapat menghindari pergaulan bebas seraya menerapkannya secara bebas.
dan bisa mengontrol dirinya agar memiliki Ada anggapan di kalangan remaja,
masa depan yang cerah. Sebaliknya mereka bahwa seks merupakan indikasi kedewasaan
yang tak dapat bertahan akan terjerumus yang normal—suatu kesalahpahaman ter-
pada dunia pergaulan bebas yang kelak hadap seks. Akan tetapi, karena mereka
akan merusak masa depannya, harapan dan tidak cukup mengetahui secara utuh tentang
tujuan sebagai genarasi muda akan hancur rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau
akibat dari pergaulan bebas yang tidak mereka menafsirkan seks semata-mata
terkontrol. Perilaku seks berisiko sangat sebagai tempat pelampiasan birahi tanpa
berkaitan erat dengan pergaulan bebas. mempedulikan risiko. Kendatipun secara
Namun demikian, tentunya ada beberapa sembunyi-sembunyi mereka merespon
faktor yang menyebabkan remaja bergelut gosip tentang seks diantara kelompoknya,
dalam pergaulan bebas, antara lain: mereka menganggap seks sebagai bagian
penting yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan remaja. Kelakar pornografi me-
Faktor Umum
rupakan kepuasan tersendiri, sehinga me-
Ada beberapa faktor yang melatarbe- reka semakin terdorong untuk lebih dekat
lakangi remaja terjerumus ke dalam per- mengenal lika-liku seks sesungguhnya. Jika
gaulan bebas, seperti gagalnya sosialisasi imajinasi seks ini memperoleh tanggapan
norma-norma dalam keluarga, terutama yang sama dari pasangannya, maka tidak
keyakinan agama dan moralitas dan se- mustahil kalau harapan-harapan indah yang
makin terbukanya peluang pergaulan bebas termuat dalam konsep seks ini benar-benar
setara dengan kuantitas pengetahuan sosial dilakukan.
dan kelompok pertemanan. Kekosongan
aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam
kehidupan sehari-hari akan terjadinya pe- Faktor Internal dan Eksternal
nyerapan dan penghayatan terhadap struktur Berdasarkan sumber dari beberapa pe-
pergaulan dan perilaku seks berisiko relatif nelitian terdahulu mencatat terdapat dua
tinggi serta rendahnya pengetahuan tentang faktor penyebab perilaku seks berisiko
kesehatan dan resiko penyakit berbahaya. di kalangan remaja yakni internal (dari
Kebutuhan hidup menuntut seseorang dalam diri) maupun eksternal (lingkungan).
untuk membentuk sistem pergaulan dalam Pertama adalah faktor internal yang me-
modernitas yang cenderung meminimalisasi rupakan perubahan secara biologis dan
ikatan moral dan kepedulian terhadap sosiologis pada remaja memungkinkan
hukum-hukum agama. Sementara di pihak terjadinya dua bentuk integrasi, pertama,
lain, jajaran pemegang status terhormat terbentuknya perasaan akan konsistensi
sebagai sumber pewarisan norma, seperti dalam kehidupannya, dan kedua, tercapai-
penegak hukum, para pemimpin formal, nya identitas peran. Kenakalan remaja ter-
tokoh masyarakat dan agama, ternyata tidak jadi karena remaja gagal mencapai masa
mampu berefek dengan contoh-contoh integritas kedua (krisis identitas). Apa-
perilaku yang sesuai dengan statusnya. kah masa remaja merupakan masa ke-
Sebagai konsekuensinya adalah membuka guncangan (sorm and stress) dimana me-
peluang untuk mencari kebebasan di reka mengalami krisis identitas? Maka
luar rumah. Khususnya dalam pergaulan jawabannya tidak selalu demikian. Me-

113
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

nurut John W Santrock dalam bukunya ngah-tengah keluarga, anak mendapat


Adolescence (2001) dapat kita lihat bahwa cinta kasih, bimbingan dan perlindungan.
ada remaja yang mengalami krisis identitas Melalui pemahaman inilah seorang anak
dan banyak jumlahnya, sehingga tidak mulai mengenal simpati, kasih sayang, soli-
sedikit yang berperilaku aneh, tetapi ada daritas, loyalitas keluarga yang murni dan
pula yang tidak mengalami krisis identitas. tumbuhlah sosialitas sejati pada diri anak.
Mereka memasuki masa remaja dengan Apabila keluarga mengalami ketidak-
identitas yang sangat kokoh, inilah yang aturan yang disebabkan oleh perceraian
disebut sebagai identity foreclosure. atau salah satu orang tua meninggalkannya
Tentu bukan kebetulan kalau mereka (kabur), ataupun bercerai dan kawin lagi,
tidak mengalami krisis identitas, pertanya- maka muncullah sebuah istilah yang penulis
annya adalah apa yang menyebabkan sebut sebagai runtunan kesulitan bagi anak-
mereka mampu memasuki masa remaja anak. Pertikaian antara kedua orang tua
dengan identitas diri yang jelas dan ke- akan mengacaukan perasaan dan mental
pribadaian yang mantap? Jawabanya bisa anak-anak, bahkan sering membuat mereka
kita runut pada masa sebelum mereka me- sangat sedih dan panik. Timbullah rasa
masuki usia remaja. Anak-anak yang tidak tidak aman secara emosional (emotional
mengalami krisis identitas itu adalah mereka insecurity). Batin mereka sangat menderita
yang sebelum memasuki masa remaja telah dan tertekan oleh segala ulah orang tuanya
memiliki orientasi hidup yang benar, tujuan yang dianggap tidak mampu dan tidak de-
hidup yang jelas dan nilai-nilai yang kuat. wasa dalam menyelesaikan permasalahan
Sementara itu, remaja yang tidak bisa keluarga. Kemudian timbullah rasa malu
mempelajari dan membedakan tingkah laku terhadap lingkungan atas perbuatan orang
yang dapat diterima dengan yang tidak tuanya hingga terjadilah konflik batin yang
dapat diterima akan terseret pada perilaku serius.Mereka umumnya mengalami depresi
“nakal” begitupun bagi mereka yang me- atau tekanan mental dan berimplikasi pada
ngetahui perbedaan dua tingkah laku ter- sikap mereka di masyarakat, seperti tidak
sebut, namun tidak bisa mengembangkan percaya diri/minder, menutup pergaulan dan
kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai tidak mudah percaya terhadap orang baru.
dengan pengetahuannya. Artinya, remaja Perceraian orang tua, tidak adanya
dalam mengontrol dirinya sangat lemah dan komunikasi antar anggota keluarga, atau
pada akhirnya remaja yang tidak memiliki perselisihan antara anggota keluarga bisa
orientasi dalam hidupnya akan lebih mudah memicu perilaku negatif pada remaja.
untuk melakukan perilaku seks berisiko dan Pendidikan yang salah di keluarga se-
bertindak tidak sesuai dengan norma-norma perti terlalu memanjakan anak, bisa men-
yang sudah diisyaratkan dalam masyarakat. jadi penyebab terjadinya kenakalan re-
Kemudian yang kedua adalah faktor maja. Yang kedua adalah pergaulan
eksternal yang menyebabkan munculnya dengan teman sepermainan (peer group).
perilaku seks berisiko di kalangan remaja. Remaja akan mencoba menyesuaikan diri
Pertama adalah faktor keluarga. Keluarga dengan berinteraksi dan bersosialisasi
yang merupakan lembaga pertama dan dengan masyarakat dimana peran teman
yang paling utama untuk mensosialisasikan sebaya menjadi penentu atas perilaku
nilai pada anak-anak. Di sinilah anak me- remaja. Apabila bergaul dengan teman
lakukan adaptasi terhadap lingkungan so- sebaya yang baik dan terarah akhlak dan
sialnya, mengenali aturan-aturan hidup keperibadiannya, maka akan menjadi orang
dan norma-norma susila tertentu. Di te- yang baik akhlak dan keperibadiannya,

114
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

begitu pula sebaliknya, apabila berteman duksi remaja yang terjadi di seluruh dunia,
dengan anak-anak yang bermasalah, maka yang dapat menjadi bahan pembanding
akan ikut bermasalah pula. Begitu penting- untuk masalah yang sama di Indonesia,
nya seorang remaja dalam mencari teman atau asumsi kejadian di Indonesia bila be-
yang sebaya, agara terhindar dengan hal- lum tersedia datanya. Apapun yang men-
hal yang menjadikannya melakukan pe- jadi indikator untuk masalah kesehatan re-
nyimpangan sosial. produksi dipresentasikan pada bagian ini.
Ketiga adalah lingkungan tempat ting- Informasi mengenai masalah kesehatan re-
gal yang kurang baik. Semakin aktif remaja produksi, selain penting diketahui oleh para
berinteraksi dan bersosialisasi dengan ma- pemberi pelayanan kesehatan, pembuat ke-
syarakat juga akan membawa dampak bagi putusan, juga penting untuk para pendidik
perilaku remaja, apabila remaja bergaul dan penyelenggara program bagi remaja,
dalam lingkungan yang baik, maka akan agar dapat membantu menurunkan masalah
menjadi remaja yang terarah, dan ini berlaku kesehatan reproduksi remaja.
untuk kebalikannya. Maka untuk itu, ideal- Sekitar 50 juta orang (20%) populasi
nya orang tua membantu memfasilitasi Indonesia adalah remaja (usia 10-19 ta-
anak-anaknya dalam bergaul. hun). Dari jumlah tersebut diperkirakan
akan banyak permasalahan yang dihadapi.
Beberapa masalah remaja antara lain ke-
hamilan yang tidak diinginkan. Berdasar-
DAMPAK PERILAKU SEKS kan data yang dilansir oleh PKBI tahun
BERISIKO DI KALANGAN REMAJA 2005, sebanyak (33,79%) remaja siap untuk
Terdapat indikasi pada remaja baik di melakukan aborsi. Pada penelitian lain di-
perkotaan maupun perdesaan yang menun- dapatkan, dari 2,4 juta kasus aborsi atau
jukkan meningkatnya perilaku seks pra- 21% (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja
nikah. Padahal kelompok usia remaja meru- (BBKBN-LDFEUI, 2000).
pakan usia yang paling rentan terinfeksi Masa remaja merupakan masa peralih-
HIV dan AIDS dan Penyakit Menular Sek- an (transisi) dari anak-anak ke masa de-
sual (PMS) lainnya. Bahkan, dalam jangka wasa. Pada masa transisi, remaja sering
waktu tertentu, ketika perempuan remaja menghadapi permasalahan yang sangat
mengandung, maka kehamilannya dapat kompleks dan sulit ditanggulangi sendiri.
mengancam kelangsungan hidup janin/ Tiga risiko yang sering dihadapi oleh
bayinya. remaja (TRIAD KRR, 2000) yaitu risiko-
Pada dasarnya, kerentanan perempuan, risiko yang berkaitan dengan seksualitas
bukan hanya karena faktor biologisnya, (kehamilan tidak diinginkan, aborsi dan
namun juga secara sosial dan kultural ku- terinfeksi penyakit menular seksual), pe-
rang berdaya untuk menyuarakan kepen- nyalahgunaan NAPZA, dan HIV dan AIDS.
tingan/haknya pada pasangan seksualnya Masa transisi kehidupan remaja dibagi
demi keamanan, kenyamanan, dan kese- menjadi lima tahapan (youth five life tran-
hatan dirinya. Kepasifan dan ketergan- sitions), yaitu melanjutkan sekolah (con-
tungan sebagai karakter feminim yang di- tinue learning), mencari pekerjaan (start
lekatkan pada perempuan juga melatari working), memulai kehidupan berkeluarga
kerentanan tersebut. Faktor ekonomi juga (form families), menjadi anggota masyarakat
mengkondisikan kerentanan perempuan. (exercise citizenship), dan mempraktikkan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah hidup sehat (practice healthy life). (Dr. Siti
mengkompilasi, masalah kesehatan repro- Hannifah dan Titeu Herawati, 2008).

115
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

Dalam rangka menumbuhkembangkan dan metode pencegahannya, kegagalan alat


perilaku hidup sehat bagi remaja, maka kontrasepsi, serta dapat juga terjadi akibat
perlu kepedulian dalam bentuk pelayanan terjadi tindak perkosaan. KTD berdampak
dan penyediaan informasi yang benar bukan hanya secara fisik, psikis namun juga
serta kesepahaman bersama akan penting- sosial (Pertiwi, 2010).
nya kesehatan reproduksi remaja sehing- Siswi yang mengalami kehamilan bia-
ga dapat membantu mereka dalam me- sanya mendapatkan respon dari dua pihak.
nentukan pilihan masa depannya. Kese- Pertama yaitu dari pihak sekolah, biasanya
hatan Reproduksi Remaja (KRR), menurut jika terjadi kehamilan pada siswi, maka
DITREM-BKKBN adalah suatu kondisi yang sampai saat ini terjadi adalah sekolah
sehat yang menyangkut sistem reproduksi meresponnya dengan sangat buruk dan
(fungsi, komponen dan proses) yang di- berujung dengan dikeluarkannya siswi
miliki oleh remaja baik secara fisik, mental tersebut dari sekolah. Remaja menjadi
dan emosional. putus sekolah, kehilangan kesempatan
Salah satu masalah yang sering timbul bekerja dan berkarya dengan menjadi orang
pada remaja terkait dengan masa awal ke- tua tunggal dan menjalani pernikahan dini
matangan organ reproduksi pada remaja yang tidak terencana.
adalah perilaku seks beresiko hingga Kedua yaitu dari lingkungan tempat
masalah kehamilan yang terjadi pada remaja remaja tinggal, lingkungan akan cenderung
usia sekolah di luar pernikahan. Mengapa mencemooh dan mengucilkan remaja
remaja melakukan hubungan seks? Penye- tersebut. Hal tersebut terjadi karena ma-
babnya antara lain tekanan pasangan, merasa sih kuatnya nilai norma kehidupan ma-
sudah siap melakukan hubungan seks, syarakat kita. Akibatnya remaja akan ke-
keinginan dicintai, keingintahuan tentang sulitan beradaptasi secara psikologis,
seks, keinginan menjadi popular, tidak ingin kesulitan berperan sebagai orang tua (tidak
diejek “masih perawan”, pengaruh media bisa mengurus kehamilan dan bayinya),
massa (tayangan TV dan internet) yang akhirnya berujung pada stress dan konflik,
memperlihatkan bahwa normal bagi remaja aborsi ilegal yang lebih lanjut berisiko
untuk melakukan hubungan seks, serta mengakibatkan kematian pada ibu dan bayi.
paksaan dari orang lain untuk melakukan Penulis mencoba merangkum beberapa
hubungan seks. Perilaku seks berisiko penyebab rentannya remaja terhadap HIV
mengarah pada terjadinya kehamilan tak dan AIDS diantaranya adalah 1) Kurangnya
diinginkan (Pertiwi, 2010). informasi yang benar mengenai perilaku
Kehamilan tidak diinginkan (KTD) seks yang aman dan upaya pencegahan
terjadi karena beberapa faktor seperti fak- yang bisa dilakukan oleh remaja dan kaum
tor sosiodemografik (kemiskinan, seksu- muda, 2) Perubahan fisik dan emosional
alitas aktif dan kegagalan dalam penggu- pada remaja yang mempengaruhi dorongan
naan kontrasepsi, media massa), karak- seksual dan mencoba-coba sesuatu yang
teristik keluarga yang kurang harmonis baru, termasuk melakukan hubungan seks
(hubungan antar keluarga), status per- dan penggunaan narkoba, 3) Adanya infor-
kembangan (kurang pemikiran tentang masi yang menyuguhkan kenikmatan hi-
masa depan, ingin mencoba-coba, kebu- dup yang diperoleh melalui seks, alkohol,
tuhan akan perhatian), penggunaan dan narkoba, dan sebagainya yang disam-
penyalahgunaan obat-obatan. Selain itu paikan melalui berbagai media cetak atau
kurangnya pengetahuan yang lengkap dan elektronik, 4) Adanya tekanan dari teman
benar tentang proses terjadinya kehamilan sebaya untuk melakukan hubungan seks,

116
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

misalnya untuk membuktikan bahwa me- PMS, HIV dan AIDS, KTD dan dampaknya,
reka adalah jantan, 5) Risiko HIV dan serta pengembangan perilaku reproduksi
AIDS sukar dimengerti oleh remaja, sehat untuk menyiapkan diri melaksanakan
karena HIV dan AIDS mempunyai periode fungsi reproduksi yang sehat (fisik, mental,
inkubasi yang panjang, gejala awalnya ekonomi, spiritual). Pendidikan KRR dapat
tidak segera terlihat, 6) Informasi mengenai diwujudkan dalam penyuluhan, bimbingan
penularan dan pencegahan HIV dan AIDS dan konseling, pencegahan, penanganan
rupanya juga belum cukup menyebar di masalah yang berkaitan dengan KRR ter-
kalangan remaja sehingga banyak remaja masuk upaya mencegah masalah perenatal
masih mempunyai pandangan yang salah yang dapat dialami oleh ibu dan anak yang
mengenai HIV dan AIDS, 7) Remaja pada dapat berdampak pada anggota keluarga
umumnya kurang mempunyai akses ke lainnya.
tempat pelayanan kesehatan reproduksi
dibanding orang dewasa sehingga banyak
remaja yang terkena HIV dan AIDS tidak PENTINGNYA PENDIDIKAN
menyadari bahwa mereka terinfeksi, ke- SEKSUALITAS YANG
mudian menyebar ke remaja lain, sehingga
KOMPREHENSIF
sulit dikontrol.
Berbagai fenomena yang terjadi di Indo-
Berbagai permasalahan yang berkaitan
nesia, agaknya masih timbul pro kontra
dengan kesehatan reproduksi remaja di atas
di masyarakat, lantaran adanya anggapan
memerlukan suatu upaya pengembangan
bahwa membicarakan seks adalah hal yang
program pendidikan kesehatan reproduksi
tabu dan pendidikan seks akan mendorong
remaja yang dapat mencakup penyediaan
remaja untuk berhubungan seks. Sebagian
pelayanan klinis, pemberian informasi
besar masyarakat masih beranggapan pen-
akurat, mempertimbangkan kemampuan dan
didikan seks sebagai suatu hal yang vulgar.
sisi kehidupan remaja, menjamin program
yang cocok atau relevan dengan remaja Selama ini, jika kita berbicara mengenai
serta mendapat dukungan masyarakat. seks, maka yang terbersit dalam benak
Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja sebagian besar orang adalah hubungan
(KRR) berbasis sekolah merupakan salah seks. Padahal, seks itu artinya jenis kelamin
satu alternatif strategi yang tepat karena yang membedakan laki-laki dan perempuan
bisa mencakup semua tantangan di atas. secara biologis. Seksualitas menyangkut
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja beberapa hal antara lain dimensi biologis,
(KRR) yang dilakukan oleh sekolah me- yaitu berkaitan dengan organ reproduksi,
rupakan salah satu upaya untuk mem- cara merawat kebersihan dan kesehatan;
bimbing remaja mengatasi konflik sek- dimensi psikologis, seksualitas berkaitan
sualnya. Oleh berbagai pihak, sekolah dan dengan identitas peran jenis, perasaan
guru dianggap sebagai pihak yang layak terhadap seksualitas dan bagaimana men-
memberikan pendidikan Kesehatan Re- jalankan fungsinya sebagai makhluk seksual,
produksi Remaja (KRR) ini. dimensi sosial, berkaitan dengan bagai-
mana seksualitas muncul dalam relasi antar
Pendidikan kesehatan Reproduksi Re-
manusia serta bagaimana lingkungan ber-
maja (KRR) untuk memberikan bekal
pengaruh dalam pembentukan pandangan
pengetahuan kepada remaja mengenai
mengenai seksualitas dan pilihan perilaku
anatomi dan fisiologi reproduksi, proses
seks, dan dimensi kultural, menunjukkan
perkembangan janin, dan berbagai per-
bahwa perilaku seks itu merupakan bagian
masalahan reproduksi seperti kehamilan,
dari budaya yang ada di masyarakat.

117
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

Berdasarkan kesepakatan internasional nilai, serta kemampuan pengambilan kepu-


di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) tusan ataupun keterampilan hidup lain-
tentang kesehatan reproduksi yang ber- nya yang dibutuhkan remaja untuk dapat
hasil ditandatangani oleh 184 negara ter- membuat keputusan terkait dengan ke-
masuk Indonesia, diputuskan tentang hidupan seksualnya.
perlunya pendidikan seks bagi para re- Persoalan di atas masih membayang-
maja. Dalam salah satu butir konsensus bayangi kita (pemerintah dan LSM) karena
tersebut ditekankan tentang upaya untuk target Millenium Developmen Goals
mengusahakan dan merumuskan perawatan (MDGs) 5A dan 6A untuk penurunan
kesehatan seksual dan reproduksi serta me- Angka Kematian Ibu dan penurunan pre-
nyediakan informasi yang komprehensif valensi penyebaran HIV dan AIDS bisa
termasuk bagi para remaja. dikatakan sangat sulit dicapai. Pada intinya,
Ada dua faktor mengapa pendidikan kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan
seks sangat penting bagi remaja. Faktor kedua isu ini tidak menghubungkan dua hal
pertama adalah ketika anak-anak tumbuh penting: remaja dan SRHR (Sexuality and
menjadi remaja, mereka belum paham Reproductive Health and Rights atau Hak
dengan pendidikan seks—sebab orang tua Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas).
masih menganggap bahwa membicarakan Remaja masih dianggap anak kecil yang
mengenai seks adalah hal yang tabu. Sehingga tidak perlu dipenuhi hak-haknya dan SRHR
dari ketidakpahaman tersebut para remaja masih dianggap tabu. Selama SRHR tidak
merasa tidak bertanggungjawab dengan dianggap sebagai hak setiap orang (padahal
seks atau kesehatan anatomi reproduksinya. pemerintah sudah menandatangani Program
Faktor kedua, dari ketidak pahaman of Action ICPD tahun 1994), dan orang
remaja tentang seks dan kesehatan anatomi muda tidak dilibatkan dalam proses peru-
reproduksi, mereka kemudian mencari- musan kebijakan terkait masalah di atas.
cari informasi yang dapat menjawab per- Di samping itu pengetahuan remaja
tanyaan mereka. Di lingkungan sosial ma- tentang kesehatan reproduksi remaja relatif
syarakat konten mengenai seksualitas dan masih rendah sebagaimana ditunjukkan oleh
reproduksi ditawarkan dalam beragam hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
media. Sejumlah sarana seperti VCD, ma- Indonesia tahun 2007. Sebanyak 13% remaja
jalah, internet, bahkan tayangan televisi perempuan tidak tahu tentang perubahan
pun saat ini memuat konten pornografi yang fisiknya dan hampir separuhnya (47,9%)
mengarah kepada hal yang tidak layak untuk tidak mengetahui kapan masa subur seorang
di konsumsi oleh remaja. Dalam mengakses perempuan. Adapun yang memprihatinkan
beragam media tersebut, banyak remaja kita semua adalah, pengetahuan remaja
yang belum mampu memilih apa yang tentang cara paling penting untuk meng-
layak dikonsumsi pada usianya dan apa hindari infeksi HIV masih terbatas. Hanya
yang tidak. Sehingga apa yang diperagakan 14% remaja perempuan dan 95% remaja
dalam media tersebut dianggap sebagai hal laki-laki menyebutkan pantang berhu-
biasa. bungan seks, 18% remaja perempuan
Pendidikan seksualitas yang efektif dan 25% remaja laki-laki menyebutkan
harus disesuaikan dengan umur remaja, menggunakan kondom serta 11% remaja
budaya dalam konteks kehidupan remaja, perempuan dan 8% remaja laki-laki me-
serta memberikan informasi yang akurat. nyebutkan membatasi jumlah pasangan
Hal tersebut mencakup kesempatan bagi (jangan berganti-ganti pasangan seksual)
remaja untuk mengeksplorasi sikap dan sebagai cara menghindar dari HIV/AIDS.

118
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

Sementara itu, data dari Kemenkes tahun nyebutkan pencegahan terhadap seks pra-
2010 menunjukkan bahwa hampir separuh nikah, namun menyebutkan bahwa pe-
(47,8%) kasus AIDS berdasarkan usia juga meliharaan kesehatan remaja ditujukan
diduduki oleh kelompok usia muda (20-29 untuk mempersiapkan menjadi orang
tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku dewasa yang sehat dan produktif, baik
seks berisiko terjadi pada usia remaja. sosial maupun ekonomi (pasal 136 ayat
Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan 1), dan dilakukan agar remaja terbebas
tersebut menjadikan pendidikan kesehatan dari berbagai gangguan kesehatan yang
reproduksi dan seksual penting untuk dapat menghambat kemampuan menjalani
diberikan. kehidupan reproduksi secara sehat (ayat 2).
Berdasarkan suatu penelitian terdahulu Hal ini diinterpretasikan oleh para pemang-
mengenai pendidikan seksualitas di se- ku kebijakan sebagai upaya pencegahan
kolah, Utomo, Donald, & Hull (2012) remaja melakukan seks ‘bebas’.
menunjukkan bahwa pendidikan seksua- Sejalan dengan mandat kebijakan ter-
litas meskipun tidak diberikan dalam sebut, program BKKBN memiliki pro-
mata pelajaran khusus, namun telah di- gram GenRe (Generasi Berencana) di
berikan secara terintegrasi dalam mata pe- sekolah yaitu GenRe Goes to School
lajaran pendidikan jasmani, kesehatan, yang berupa sosialisasi untuk pence-
dan olahraga (Penjaskesor), Biologi, Ilmu gahan remaja melakukan perilaku seks
Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan Agama. berisiko, mengkonsumsi napza (narko-
Meskipun demikian, Holzner dan Oetomo tika, psikotropika, dan zat adiktif), abor-
(2004) menyoroti kelemahan pendidikan si, dan HIV/AIDS. Program ini meng-
seksualitas yang selama ini menggunakan konstruksikan seks bagi kaum muda me-
wacana seks bagi kaum muda tidak sehat rupakan hal yang tidak berbahaya. Pene-
dan berbahaya. Dalam survei yang di- litian ini memandang bahwa discourse of
lakukan oleh Holzner dan Oetomo (2004) prohibition dan mengkonstruksikan sek-
di Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya sualitas remaja sebagai hal yang negatif
juga menunjukkan bahwa 60% responden tidaklah cukup untuk memberdayakan re-
perempuan usia 15–24 tahun telah menerima maja. Akan tetapi, perlu disadari bahwa
pendidikan kesehatan reproduksi, namun pendidikan kesehatanreproduksi dan sek-
mayoritas dari mereka (70%) menyatakan sual merupakan topik sensitif yang mem-
materi yang diberikan adalah bahaya dari butuhkan advokasi pada otoritas terkait dan
seks. Pendidikan seksualitas semacam ini pendidikan publik mengenai pentingnya
tidak memberdayakan kaum muda untuk pendidikan seks pada remaja. Untuk itu,
memahami seksualitasnya dan menghindari penting untuk memahami norma budaya
perilaku seks yang berisiko bagi kesehatan seputar seksualitas agar pendidikan ke-
reproduksi dan seksualnya. sehatan reproduksi dan seksual dapat
Wacana pendidikan seksualitas yang diterima.
ditujukan untuk mencegah ‘seks bebas’ Oleh karena itu, pendidikan seksualitas
ini sejalan dengan temuan Holzner dan dan kesehatan reproduksi perlu memandang
Oetomo (2004), pendidikan seksualitas seksualitas secara komprehensif, yaitu
yang selama ini menggunakan wacana mengakui berbagai dimensi mengenai sek-
larangan (discourse of prohibition). Kons- sualitas yang dihadapi remaja yang dapat
truksi seksualitas remaja dalam kebijakan mempengaruhi keputusan remaja men-
terkait yaitu Undang-Undang Kesehatan jalani seks berisiko atau tidak. Adanya
No. 36 Tahun 2009, meskipun tidak me- dorongan seksual, kenikmatan seksual serta

119
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

di sisi lain relasi gender, ajaran agama dan efektif. Usia menjelang remaja, Pada saat
norma budaya, resiko kesehatan seksual ini, anak semakin berkembang, mulai saat-
dan reproduksi, dan risiko sosial perlu nya diterangkan mengenai menstruasi
didiskusikan pada remaja berdasarkan (haid), mimpi basah, dan juga perubahan-
pengalaman yang mereka jalani. perubahan fisik yang terjadi pada seseorang
Pendidikan kesehatan reproduksi harus remaja. Orang tua bisa menerangkan bahwa
dianggap sebagai bagian dari proses pen- si gadis kecil akan mengalami perubahan
didikan yang mempunyai tujuan untuk bentuk payudara, atau terangkan akan
memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan adanya tumbuh bulu-bulu di sekitar alat
pengembangan kepribadian. Melalui pen- kelaminnya. Pada saat usia remaja, seorang
didikan kesehatan reproduksi merupakan remaja akan mengalami banyak perubahan
upaya bagi remaja untuk meningkatkan pe- secara seksual. Orang tua perlu lebih
mahaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku intensif menanamkan nilai moral yang baik
positif tentang kesehatan reproduksi dan kepadanya. Berikan penjelasan mengenai
seksualnya, serta meningkatkan derajat re- kerugian seks bebas seperti penyakit yang
produksinya. ditularkan dan akibat-akibat secara emosi.
Kapankah pendidikan kesehatan repro- Adanya remaja yang telah aktif secara
duksi diberikan? Sangat dimungkinkan seksual dan faktor gender yang bermain
pendidikan kesehatan reproduksi diberikan dalam perilaku seks pranikah, belum
sejak usia dini, secara tidak langsung. Me- banyak didiskusikan dalam pendidikan sek-
nurut Nurohmah (2013) tahapan usia da- sualitas di sekolah selama ini. Sementara
lam memberikan pendidikan kesehatan itu, berbagai hasil penelitian juga menun-
reproduksi sejak usia dini, yaitu: Balita jukkan bahwa remaja di Indonesia se-
(1-5 tahun). Pada usia ini penanaman pen- makin cenderung untuk aktif secara sek-
didikan kesehatan reprodukjsi cukup mu- sual dibandingkan generasi-generasi sebe-
dah dilakukan yaitu mulai mengenalkan lumnya (lih. Bennett, 2005 atau Smith-
kepada anak tentang organ reproduksi yang Hefner, 2006).
dimilikinya secara singkat. Dapat dilakukan
Hal lain yang perlu dilihat dari data
ketika memandikan si anak dengan mem-
pengalaman remaja dalam penelitian yang
beritahu organ yang dimilikinya, misalnya
rambut, kepala, tangan, kaki, perut, penis di lakukan oleh Higgins dan Hirsch (2007)
dan vagina. Terangkan juga perbedaan alat adalah melihat keterkaitan antara seksualitas
kelamin dari lawan jenisnya. Tandaskan dan kesehatan reproduksi yaitu aspek ke-
juga bahwa alat kelamin tersebut tidak nikmatan seksual (termasuk mencari ke-
boleh dipertontonkan dengan sembarangan. nikmatan seksual) dan keterkaitannya
Pada usia ini juga perlu ditandaskan dengan risiko seksual. Seperti menurut
tentang sikap asertif yaitu berani berkata Higgins dan Hirsch (2007) aspek kenik-
tidak kepada orang lain yang akan berlaku matan seksual (sexual pleasure dan sexual
tidak senonoh. Dengan demikian dapat pleasure-seeking) dan dampaknya ter-
melindungi diri anak terhadap maraknya hadap risiko seksual merupakan hal yang
kasus kekerasan seksual dan pelecehan masih sulit untuk dipahami dalam program
seksual. Usia 3–10 tahun, Pada usia ini, kesehatan reproduksi. Hal ini menunjukkan
anak biasanya mulai aktif bertanya tentang bahwa aspek sexual pleasure-seeking di-
seks. Misalnya anak akan bertanya dari lakukan dan memiliki dampak yang berbeda
mana ia berasal. Atau pertanyaan umum berdasarkan gender, namun masih belum
mengenai asal-usul bayi. Jawaban-jawaban di sadari dalam pemberian pendidikan
yang sederhana dan terus terang biasanya seksualitas dan kesehatan reproduksi.

120
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...

Program pendidikan seksualitas dan maja secara positif sebagai makhluk sek-
kesehatan reproduksi di Indonesia belum sual (sexual being) yang memiliki hak
komprehensif karena cenderung fokus pada kesehatan reproduksi dan agar dapat ber-
aspek biologis dan pencegahan penyakit tanggungjawab terhadap kesehatan seksual
menular (misalnya HIV dan AIDS). Pen- dan reproduksinya.
didikan semacam ini tidak hanya ter-
jadi di Indonesia, berdasarkan penelitian
Allen (2011), pendidikan seksualitas ba- DAFTAR PUSTAKA
nyak dikritik dibeberapa negara karena
Aliansi Remaja Independen. 2010. Fact
gagal menyediakan pemahaman yang Sheet Status Kesehatan Reproduksi
komprehensif, tidak berdasarkan kebu- Remaja Indonesia. Jakarta.
tuhan remaja, dan melupakan aspek ke-
Atkinson. 1999. Pengantar Psikologi. Jakarta:
timpangan gender dan ketidakadilan sosial
Penerbit Erlangga.
yang lebih luas. Pendidikan yang hanya
memfokuskan pada bahaya dan risiko hu- BPS, BKKBN, Depkes. 2008. Survei Kesehatan
bungan seksual sebagaimana yang dike- Reproduksi Remaja Tahun 2007. Ja-
karta.
mukakan oleh Bay-Cheng (2003) tidaklah
realistis dengan kondisi remaja dan akan Badris, Gifari. 2007. Bahaya Narkoba dan Seks
gagal untuk memberikan informasi se- Bebas. Riau: CV. Milaz Grafika.
benarnya mengenai seksualitas dan tidak BKKBN. 2001. Remaja Mengenai Dirinya. Ja-
dapat memberdayakan remaja untuk ber karta: BKKBN
tanggungjawab terhadap kesehatan repro- Dep. Kesehatan RI. 1997. AIDS di Tempat Ker-
duksi dan seksualnya. ja. Jakarta: Depkes RI
Diana Teresia Pakasi. Rani Kartikawati, Antara
Kebutuhan Tabu: Pendidikan Sek-
KESIMPULAN sualitas dan Kesehatan Peproduksi
Pemahaman dan pengetahuan remaja bagi remaja di SMA, Pusat Kajian
terhadap kesehatan reproduksi dan seksu- Gender dan Seksualitas,
alitas selama ini terbilang masih rendah dan Pratiwi, Kartika Ratna. 2010. Kesehatan Repro-
tidak sedikit pula yang mengabaikannya. duksi Remaja dan Permasalahannya.
Hal ini dapat berimplikasi pada risiko sek- Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bio-
sual yang dihadapi oleh remaja. Pemaha- logi FMIPA UNY
man terhadap seksualitas dan kesehatan Muflihati, A. 2010. “Studi Kasus Program
reproduksi yang diberikan di lembaga pen- Penyuluhan dan Konseling Kesehatan
didikan formal maupun informal cenderung Reproduksi Remaja di SMA Muham-
memandang aspek kesehatan reproduksi madiyah 2 Yogyakarta.” Naskah Thesis
dan seksualitas remaja hanya sebatas pada S2, Fakultas Kesehatan Masyarakat.
FISIP UI diakses dari http://www.
fenomena biologis semata–cenderung meng-
digilib.ui. ac.id/ opac/ themes/ libri2/
konstruksikan seksualitas remaja sebagai
detail.jsp? id=108893
hal yang tabu dan berbahaya—dikontrol
melalui wacana moral, dan agama. Selain Tim KRR Perinasia. 2007. Materi Pela-
itu, agar lebih efektif, pemahaman terhadap tihan: KRR. Jakarta: Perinasia
seksualitas dan kesehatan reproduksi perlu Wagner, Lola dan Denny Irawan Yatim.
dikontekstualisasikan berdasarkan realitas 1997. Seksualitas di Pulau Batam.
dan kondisi remaja. Diharapkan hal ini Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
dapat mengkonstruksikan seksualitas re-

121
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
SATUAN ACARA PENYULUHAN
MANAGEMENT STRESS

Topik : Penyuluhan managemen stress dengan meditasi

Sasaran : masyarakat wilayah setempat dan remaja

A. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang management stress remaja dapat melakukan
B. Tujuan Khusus

1. Menjelaskan pengertian stress dan management stress


2. Menjelaskan tujuan management stress
3. Menjelaskan cara pelaksanaan management stress dengan meditasi

C. Materi

Terlampir

1. Pengertian stress dan management stress


2. Tujuan management stress
3. Cara pelaksanaan meditasi

D. Metode
Ceramah, diskusi, tanya jawab, Demonstrasi
E. Media
PPT
F. Waktu
Hari Rabu, tanggal 13 januari 2021
G. Rencana kegiatan

Tahap Kegiatan Penyuluh Respon Peserta Metode Waktu


Kegiatan
Pembukaan
1. Memberi salam 1. Menjawab salam Ceramah 2 Menit
2. Memperkenalkan diri 2. Mendengarkan dan
3. Menggali pengetahuan memperhatikan
remaja tentang stress dan 3. Menjawab pertanyaan
management stress 4. Mendengarkan dan
4. Menjelaskan tujuan memperhatikan
Penyuluhan
5. Membuat kontrak waktu 5. Menyetujui kontrak
waktu

Pelaksanaan
1. Menjelaskan tentang : Mendengarkan dan Ceramah 15 Menit
- Pengertian stress dan memperhatikan penjelasan dan
management stress dengan Penyuluh demonstra
cara meditasi si
- Penyebab stress
anda dan gejala stress
- Dampak stress
2. Mengajarkan Teknik
meditasi untuk mengurangi
stress
3. Memberikan kesempatan
untuk bertanya

1. Menyimpulkan inti Feedback Tanya 5 Menit


Evaluasi penyuluhan. Jawab
2. Memberi kesempatan
kepada klien untuk
menjawab pertanyaan
yang dilontarkan.
Penutup 1. Menyampaikan Menjawab 2 m
terima kasih atas salam e
perhatian dan waktu n
yang telah di berikan i
kepada peserta. t
Mengucapkan salam.
H. Evaluasi (Struktur, Proses, hasil)
1. Evaluasi Struktur
a) Persiapan media yang akan digunakan ( PPT)
b) Persiapan tempat yang akan digunakan
c) Kontrak waktu
d) Persiapan Satuan Acara Penyuluhan
2. Evaluasi Proses
a) Selama penyuluhan peserta memperhatikan penjelasan yang
disampaikan
b) Selama penyuluhan peserta aktif bertanya tentang penjelasan yang
disampaikan
c) Selama penyuluhan peserta aktif menjawab pertanyaan yang diajukan
d) Selama penyuluhan peserta aktif mengikuti Latihan yang dianjurkan
(meditasi)
3. Evaluasi Hasil Akhir
Diharapkan peserta penyuluhan dapat:
a) Mengetahui pengertian stress dan management stress
b) Mengetahui tujuan management stress
c) Mengetahui dampak dari stress yang tudak ditangani
d) Mengetahui cara melakuakan management stress dengan cara
meditasi
MATERI PENYULUHAN

A. PENGERTIAN
Stress merupakan bentuk respon tubuh seseorang yang memiliki beban
pekerjaan berlebihan sehingga jika seseorang tersebut tidak sanggup mengatasinya
maka orang tersebut dapat mengalami gangguan dalam menjalankan pekerjaan
(Hawari 2011). Menurut Dilawati (dalam Syahabuddin, 2010) stres adalah suatu
perasaan yang dialami apabila seseorang menerima tekanan.
Meditasi dalam kamus lengkap psikologi berarti satu upaya yang terus
menerus pada kegiatan berfikir biasanya semacam kontemplasi perenungan dan
pertimbangan Relijius dan meditasi juga berarti refleksi mengenai hubungan antara
orang yang tengah Bersemedi dengan Tuhan dalam agama meditasi berarti
menggunakan pikiran.
Meditasi adalah suatu teknik dalam meningkatkan kesadaran denngan
membatasi kesadaran pada satu obyek situasi yang tidak berubah pada waktu
tertentu untuk membangun mengembangkan dunia internet atau dunia batin
seseorang sehingga menambah kekayaan makna hidup baginya menurut iskandar
meditasi adalah latihan oleh jiwa yang dapat menyeimbangkan fisik emosi mental
dan spiritual seseorang.

B. Sifat stress
1. Stress positif
mendorong pelakunya lebih pro aktif, memacu alam pikiran untuk menghadapi
masalah yang menjadi sumber stress tersebut.
2. Sterss negative
yang menyebabkan hidup tidak bergairah makin lesu menimbulkan
permasalahan: rasa cemas depresi dan gangguan fisik
3. Stress negatif menjadi stress positif
kegagalan kemarin bisa saja menyeret diri ke stress negatif namun bagi mereka
yang berpikiran besar hal tersebut akan diarahkan ke situasi di mana hal- hal
positif dan membangun yang akan menggantikan suasana hati dan pikiran.
C. Penyebab stress
1. Faktor lingkungan
a. Ketidak pastian ekonomi
b. Ketidak pastian politik
c. Gagap teknologi
d. Kemacetan lalu lintas
e. Polusi
f. Birokrasi badan pemerintah
2. Faktor organisasi
a. Gangguan komunikasi
b. Birokrasi berlebihan
c. Pimpinan yang otoriter
d. Perubahan organisasi
3. Faktor diri
a. Salah pengelolaan hidup
b. Problem keluarga
c. Target tidak realistis
d. Problem pertemanan
e. Kebiasaan buruk
f. Perkawinan tidak harmonis
D. Dampak stress
1. Gangguan fisik
a. Berkeringat
b. Jantung berdebar
c. Kadar kolesterol
d. Gangguan saluran pencernaan
e. Gangguan suplai udara
f. Kadar gula dan insulin tidak stabil
g. Peningkatan tekanan darah
2. Gangguan psikologis
a. Lupa
b. Insomnia
c. Mudah marah
d. Kebiasaan makan berubah
3. Gangguan perilaku
a. Super sensitive
b. Efesiensi naik turun
c. Produktifitas naik turun, perilaku berubah kasar/keras

E. Management stress
1) Jaga selalu kondisi tubuh dan perkuatlah dengan cara mengkonsumsi
makanan dan minuman 4 sehat 5 sempurna.
2) Tidur dan istirahat yang cukup, merupakan salah satu cara untuk mengurangi
kemarahan kesedihan karena tidur memberi kesempatan kepada otak untuk
relax
3) Lakukan olahraga teratur karena gerak tubuh akan merangsang keluar zat
endorphine yaitu zat yang membuat tubuh merasa nyaman. Orang yang
senang berolahraga umumnya tampak lebih fit dan Bahagia selalu berpikir
positif karena cerminan dan Bahagia.
4) Selalu berfikir positif, karena cerminan dari Tindakan, Tindakan positif berasal
dari pikiran positif, Tindakan negative berasal dari pikiran negative
5) Lakukan HOBBY yang menyenangkan, karena hobby membuat rilex dan
sejenak melupakan rutinitas masalah yang ada.
6) Jangan terpaku pada rutinitas, harus berani berubah, tidak malu dan ragu.
7) Teknika relaksasi dan nafas dalam
8) Meditasi 15-30 menit dalam sehari.
9) Berkomunikasi secara asertih
10) Murah senyum, tertawa lepas, bernyanyi dan bersosialisasi dengan
teman/lingkungan
11) Beribadah dan berdoa (tidak hanya dalam masa sulit saja, berbuat baik pada
semua oran, bersukur pada setiap usaha kita, baik yang berhasIL atau tidak.
Tetaplah bersyukur.
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR MANAGEMENT
STRESS DENGAN CARA MEDITASI
NO PROSEDUR NILAI
1 PERSIAPAN
A. Persiapan perawat
- Hendaknya memiliki kemampuan membimbing untuk
melakukan imajinasi positif
B. Persiapan peserta
- Anjurkan klien BAK atau BAB terlebih dahulu, sebaiknya
tidak dalam kondisis lapar
C. Persiapan alat
- Kursi denagan sandaran kepala dan lengan atau matras
- Alat audio music
D. Pesiapan Lingkungan
- Ruang tenang dan nyaman tertutup atau stimulus
minimal

2. Pelaksanaan Meditasi
Fase orientasi
1. Sampaikan salam
2. Perkenalan
3. Jelaskan tujuan Tindakan
4. Tanyakan kesiapan klien untuk terapi
5. Beri kesempatan klien untuk bertanya atau menyampaikan
sesuatu
Fase kerja
1. Atur posisi klien senyaman mungkin (duduk atau tiduran)
2. Anjurkan klien menutup mata
3. Anjurkan klien meletakkan tubuhnya senyaman mungkin
4. Pastikan otot-otot klien dalam keadaan rileks
5. Anjurkan klien menarik nafas dari hidung, tahan sebentar
dan keluarkan secara perlahan melalui mulut (sesuai
intruksi
6. Minta klien membayangkan sesuatu yang indah dan
menyenangkan
7. Pastikan klien mampu melakukannya, kalua perlu tanyakan
ketercapaiannya
8. Jika klien belum mamapu melakukannya atau gagal,
bombing Kembali klien untuk berimajinasi sesuai dengan
ilustrasi yang dilakukan perawat
9. Arahkan pernafasan klien, ulangi berkali-kali. Biarkan klien
menikmati imajinasinya (15-30 menit)
10. Jika anda telah siap untuk mengakhiri meditasi , lakukan
dengan perlahan, buka mata anda dan perlahan regangkan
dan pijat tungkai dan lengan anda.

3 Pengakhiran meditasi
1. Jelaskan bahwa kegiatan telah selesai
2. Tanyakan perasaan klien setelah meditasi dilakukan
3. Kembalikan posisi klien ke posisi semula
4. Berikan tindaka lanjut
5. Ucapkan salam

4 Dokumentasi
Dokumentasikan seluruh kegiatan dari awal hingga akhir.
Oleh :
Lela maeirta nur hazlinda
195140070
Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres
adalah suatu konsep yang mengancam dan konsep
tersebut terbentuk dari perspektif lingkungan dan
pendekatan yang ditransaksikan.

Menurut Dilawati (dalam Syahabuddin, 2010) stres adalah


suatu perasaan yang dialami apabila seseorang menerima
tekanan.
▪ Stress positif.
Mendorong pelakunya lebih proaktif, memacu pikiran untuk menghadapi masalah
yang menjadi sumber stress.
▪ Stress negatif
Yang menyebabkan hidup tidak bergairah, semakin lesu, menimbulkan
permasalahan: rasa cemas, depresi dan gangguan fisik.
▪ Stress negatif menjadi stress positif
Kegagalan kemari bisa saja menyeret diri ke stress negatif.
Faktor Lingkungan

Faktor organisasi

Faktor diri
• Berkeringat,
gangguan
Gangguan pencernaan
fisik
• Jantung
berdebar, dll

• Lupa, insomnia/
susah tidur
Gangguan
psikologi • Mudah marah,
pola makan
berubah

• Super sensitif
Gangguan
perilaku • Produktifitas
naik turun.
▪ Jaga selalu kondisi tubuh dan perkuatlah dengan cara mengkonsumsi makanan dan
minuman 4 sehat 5 sempurna
▪ Tidur dan istirahat yang cukup
▪ Selalu berpikir positif
▪ Lakukan kegiatan yang menyenanangkan
▪ Jangan terpaku pada rutinitas
▪ Teknik relaksasi dengan nafas dalam
▪ Meditasi
▪ Lakukan olahraga teratur seperti yoga
▪ Berkomunikasi secara asertif, murah senyum dll
▪ Beribadah dan berdoa
Fase kerja

1. Atur posisi klien senyaman mungkin (duduk atau tiduran)


2. Anjurkan klien menutup mata
3. Anjurkan klien meletakkan tubuhnya senyaman mungkin
4. Pastikan otot-otot klien dalam keadaan rileks
5. Anjurkan klien menarik nafas dari hidung, tahan sebentar dan keluarkan
secara perlahan melalui mulut (sesuai intruksi
6. Minta klien membayangkan sesuatu yang indah dan menyenangkan
7. Pastikan klien mampu melakukannya, kalua perlu tanyakan ketercapaiannya
8. Jika klien belum mamapu melakukannya atau gagal, bombing Kembali klien
untuk berimajinasi sesuai dengan ilustrasi yang dilakukan perawat
9. Arahkan pernafasan klien, ulangi berkali-kali. Biarkan klien menikmati
imajinasinya (15-30 menit)
10. Jika anda telah siap untuk mengakhiri meditasi , lakukan dengan perlahan,
buka mata anda dan perlahan regangkan dan pijat tungkai dan lengan anda.
SOAL PRE DAN POST TEST
1. Bentuk respon tubuh seseorang yang memiliki beban pekerjaan berlebihan sehingga
jika seseorang tersebut tidak sanggup mengatasinya maka orang tersebut dapat
mengalami gangguan dalam menjalankan pekerjaan
A. Stress
B. Management stress
C. Depresi
D. Gangguan jiwa
2. Dibawah ini merupakan sifat-sifat stress, kecuali
A. Stress positif
B. Stress negative
C. Stress negative menjadi stress positif
D. Stress asertif
3. Penyebab stress dikategorikan menjadi 3 yaitu faktor lingkungan, organisasi dan
faktor Diri, yang termasuk stress yang disebabkan oleh faktor diri adalah....
A. Problem pertemanan, problem Keluarga dan target tidak realistis
B. Pimpinan yang otoriter, birokrasi berlebihan, gangguan komunikasi
C. ketidakpastian ekonomi, problem Keluarga, ketidakpastian politik
D. target tidak realistis, Birokrasi berlebihan dan gangguan komunikasi
4. Yang merupakan dampak dari stress dibawah ini, Kecuali,
A. Gangguan fisik
B. Gangguan biologis
C. Gangguan psikologis
D. Gangguan perilaku
5. Suatu teknik dalam meningkatkan kesadaran denngan membatasi kesadaran pada
satu obyek situasi yang tidak berubah pada waktu tertentu adalah salah satu
management stress disebut....
A. Relaksasi
B. Distraksi
C. Meditasi
D. Olahraga (yoga)
1

THE MATERIAL DEVELOPMENT OF STUDENTS MANAGING


STRESS

Dyah Ayu Nurani1, Raja Arlizon2, Elni Yakub3


Email: dyahayu67@rocketmail.com, r.arlizon@yahoo.co.id, elniyakub19@gmail.com
No. Telp 081275953860, 08127653325, 08127621880

Program Studi Bimbingan dan Konseling


Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Riau

Abstract: Many of demands and pressure experiences by satudents make it a


burden caused by the low bility of stress management. In that regard school have an
important role in improving stress management, especially for students in school. But so
far the school has not shown efforts to handle it. Therefore, the researchers felt the need
to develop a material about Stres Management that is expected to be used by guidance
and counseling teacher to be delivered to students. This material is prepared using
methods of research and development (R & D). The purpose of this research is 1)
Establishment of the material in Stress Management in terms of clarity, systematics,
image support, freshness and completeness of the materials and support games / video
2) To determine the quality of material produced. This material is validated by the
supervisor 1 & 2 teachers and 40 students Counseling SMPN 13 Pekanbaru. This
material is tested to the student with the allocation of a 3-hour lessons (3 x 40 '). This
material consists of stress and the mean of stress, stress clasification, symptoms of
stress, factors causing stress, the mean of stressor, the source of stress and nature of
stressor, and a method to managing stress. The results of the development of this
material indicates the quality of the material produced is in the category of " Good",
with the acquisition of a score of 4.02 for the entire aspect of the assessment.

Key Words: Modul Of Guidance and Counseling, Managing Stress


2

PENGEMBANGAN MATERI MANAJEMEN STRES SISWA

Dyah Ayu Nurani1, Raja Arlizon2, Elni Yakub3


Email: dyahayu67@rocketmail.com, r.arlizon@yahoo.co.id, elniyakub19@gmail.com
No. Telp 081275953860, 08127653325, 08127621880

Program Studi Bimbingan dan Konseling


Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Riau

Abstrak : Banyaknya tuntutan dan tekanan yang dialami siswa menjadikan hal
tersebut beban yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan me-manage stres yang
dimiki. Berkaitan dengan hal itu sekolah memegang peranan penting dalam upaya
meningkatkan kemampuan memanajemen stres bagi siswa di sekolah. Namun selama
ini sekolah belum menunjukkan upaya untuk menangani hal tersebut. Oleh sebab itu
peneliti merasa perlu untuk mengembangkan sebuah materi tentang Manajemen Stres
yang diharapkan bisa digunakan oleh guru bimbingan dan konseling untuk disampaikan
kepada siswa. Materi ini disusun menggunakan metode penelitian dan pengembangan
(R&D). Tujuan penelitian ini adalah 1) Tersusunnya materi Peningkatan Kemampuan
manajemen Stres Siswa ditinjau dari kejelasan, sistematika, dukungan gambar,
keterbaruan dan kelengkapan materi serta dukungan games/video 2) Untuk mengetahui
kualitas materi yang dihasilkan. Materi ini divalidasi oleh dosen pembimbing 1 & 2,
guru Bimbingan Konseling serta 40 siswa SMP Negeri 13 Pekanbaru. Materi ini
diujicobakan kepada siswa dengan alokasi waktu 3 jam pelajaran ( 3 x 40’). Materi ini
terdiri dari stres dan pengertian stres, penggolongan stres, gejala stres, faktor penyebab
stres, pengertian stressor, sumber stres dan sifat stressor, cara-cara me-manage stres.
Hasil penelitian dari pengembangan materi ini menunjukkan kualitas materi yang
dihasilkan berada pada kategori “Baik”, dengan perolehan skor 4,02 untuk keseluruhan
aspek penilaian.

Kata kunci: Materi Bimbingan Konseling, Manajemen Stres


3

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, membawa


perubahan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan itu mengakibatkan tuntutan
yang lebih tinggi terhadap setiap individu untuk lebih meningkatkan pestasi dan kinerja
mereka sendiri. Adanya perkembangan tersebut, mengakibatkan siswa harus mengubah
pola dan sistem belajar sesuai dengan tuntutan yang ada sekarang.
Remaja adalah tahap dimana masa kanak-kanak berakhir, hal ini ditandai oleh
terjadinya perubahan fisik dan pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat
terjadi pada tubuh remaja menimbulkan akibat yang tidak sedikit terhadap perubahan
sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja. Banyaknya akibat yang ditimbulkan
akibat masa transisi ini tidak semua remaja bisa mengatasi. Sebagian remaja mampu
mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami
penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial.
Masa remaja adalah masa pubertas. Masa transisi dari masa anak-anak menuju
masa dewasa ini merupakan masa yang sering kali menjadi masa paling heboh dalam
kehidupan seseorang. Banyak hal yang dialami dan terjadi pada masa remaja. Apabila
masa ini tidak ditangani secara bijaksana dan dihadapi dengan baik maka timbul stres
yang berdampak pada kedewasaan seseorang.
Kita hidup dengan jumlah stres tertentu pada kehidupan sehari-hari kita, dan
sepanjang stres itu tidak berubah tingkatannya menjadi “racun” stres dapat membantu
menjaga kita agar senantiasa berfokus dan termotivasi (SiriNam, 2008:201). Stres yang
terjadi pada diri seseorang akan menjadi masalah jika menguasai kehidupan seseorang.
Pada dasarnya besar kecilnya masalah yang menegangkan tersebut adalah relatif,
tergantung dari tinggi rendahnya kedewasaan kepribadian serta bagaimana sudut
pandang seseorang dalam menghadapinya dan sistem kerjanya sesuai dengan tuntutan
yang ada sekarang.
Dalam kehidupan modern yang makin kompleks, manusia akan cenderung
mengalami stres apabila ia kurang mampu mengadaptasikan keinginan dengan
kenyataan yang ada, baik kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Segala
macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurang mengertian manusia akan
keterbatasannya sendiri.
Di kehidupan modern seperti sekarang ini, stres menjadi sangat sulit bahkan
tidak dapat dihindari. Sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu memberikan
pembelajaran kepada siswanya untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi agar
terhindar dari yang namanya stres, karena masa remaja disebut juga dengan storm and
stress dimana banyaknya tuntutan yang mereka dapat yang menyebabkan stres sehingga
dalam proses belajar mengajar siswa tidak dapat berkonsentrasi dalam menerima
pembelajaran yang diberikan oleh guru.
Dari hasil observasi dan wawancara di SMP Negeri 13 Pekanbaru yang penulis
lakukan kepada siswa, stres yang dialami siswa menjadi masalah yang cukup besar
pengaruhnya dalam proses belajar. Selanjutnya berdasarkan hasil observasi di lapangan
yang dilakukan oleh penulis ditemukan fenomena seperti:

1. Siswa tidak berkonsentrasi dalam proses belajar karena baru saja putus dengan
pacarnya dan tidak terima dengan hal tersebut, hal itu dikarenakan masih adanya
perasaan tidak terima dengan keadaan yang sedang ia alami. Perasaan tersebut
4

muncul karena terus menyalahkan diri sindiri dan melihat teman teman yang
memiliki teman dekat(pacar).

2. Banyaknya tugas yang diberikan oleh guru setiap pertemuan. Tugas yang harus
diselesaikan bukan hanya satu tugas itu saja. Hal ini menyebabkan siswa panik dan
tertekan karena mereka tidak dapat membagi waktu dalam pengerjaan tugas setiap
mata pelajaran yang harus dikumpul dalam tempo waktu yang singkat dan
terkadang dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan mereka ada yang tidak
mengerti dengan tugas yang diberikan karena guru tidak menerangkan materi tugas
tersebut. Tuntutan dalam mendapat nilai yang bagus dalam setiap mata pelajaran
juga menjadi beban bagi mereka untuk menjadi yang terbaik.

3. Tuntutan prestasi yang harus terus meningkat dari orang tua juga menjadi tekanan.
Selain itu ketakutan mereka akan menghadapi ujian juga menyebabkan siswa stres.
Ketakutan yang mereka alami seperti “aduh gimana ya ujian nanti, aduh bisa gak ya
jawabnya, yang saya pelajari keluar gak ya, takut nanti nilainya jelek, takut gak bisa
jawab, takut gak bisa naik kelas, bisa gak ya kompromi atau bertanya dengan
teman, pengawasnya killer gak ya” kekhawatiran-kekhawatiran seperti itu
menyebabkan mereka stres.

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan me-manage stress yang dimiliki oleh
sebagian siswa di SMP Negeri 13 Pekanbaru cukup rendah, sementara stres yang
ditimbulkan sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan sehari-hari siswa. Berdasarkan
fenomena tersebut diatas, perlu adanya bahan ajar yang disiapkan oleh guru BK sebagai
pedoman bagi mereka untuk memberikan layanan informasi tentang stres yang dialami
peserta didik. Dalam hal ini pengembangan materi yang dibuat akan membantu siswa
dalam mengelola stres yang mengganggu psikis seorang siswa. Sehingga
pengembangan materi mengenai manajemen stres sangat diperlukan agar dapat
diberikan kepada para siswa. Pada saat ini ketersediaan bahan atau materi untuk
manajemen stres yang dialami oleh siswa belum banyak. Ada beberapa penelitian
Qurrotun Ayu (2013), Nansar (2016) dan Fariyuni (2014) tentang cara mengelola stres,
tetapi tentang materi atau bahan ajar belum tersedia. Dengan adanya materi mengenai
pengelolaan stres ini diharapkan siswa mampu mengelola perasaan ataupun stres yang
sedang ia alami.
Dengan didasarkan fakta yang ada di SMP Negeri 13 Pekanbaru tersebut,
penulis merasa perlu untuk mengkaji dalam sebuah penelitian dengan judul
“Pengembangan Materi Manajemen Stres Siswa”.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana
penyusunan materi tentang manajemen stres yang sesuai untuk siswa ditinjau dari
kejelasan, sistematika, dukungan gambar, keterbaruan dan kelengkapan materi, 2)
Bagaimana kualitas dari materi manajemen stres siswa yang dihasilkan.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah : 1) Tersusunnya materi manajemen
stres yang sesuai untuk siswa ditinjau dari kejelasan, sistematika, dukungan gambar,
keterbaruan dan kelengkapan materi, 2) Untuk mengetahui kualitas materi manajemen
stres siswa yang dihasilkan.
Rasmun (2004) mengatakan bahwa pada dasarnya besar kecilnya masalah yang
menegangkan tersebut adalah relatif, tergantung dari tinggi rendahnya kedewasaan
kepribadian serta bagaimana sudut pandang seseorang dalam menghadapinya. Sebagian
5

besar individu yang mengalami ketegangan mengambil jalan pintas dengan harapan
terhindar dari stres.
Lebih lanjut disebutkan bahwa stres yang berlarut-larut dan dalam intensitas
yang tinggi dapat meneyebabkan penyakit fisik dan mental seseorang, yang akhirnya
dapat menurunkan produktifitas kerja dan buruknya hubungan inerpersonal (Rasmun,
2004). Oleh sebab itu dengan memahami konsep stres, coping adalah penting untuk
dapat membantu mengurangi efek dari stres yang ditimbulkan. Karena pada dasarnya
stres tidak bisa dihilangkan dari proses kehidupan, namun juga diperlukan untuk proses
pertumbuhan dan kematangan pribadi.
Lazarus & Folkman ( dalam Faridah, 2014:274) berpendapat, bahwa stres dapat
terjadi jika individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan
situasi lingkungan fisik dan sosial Artinya, stres akan dialami atau tidak dialami
bergantung pada penilaian subjektif individu terhadap sumber stres yang datang. Jika
individu menganggap kemampuannya cukup untuk memenuhi tuntutan lingkungan,
maka stres tidak akan terjadi.
Stress adalah respons tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh
yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan
tidak dapat dihindari (Rasmun, 2004:9).
Dari berberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan
perasaan tidak nyaman, ketidakssuaian dan perasaan tertekan yang dialami oleh
individu baik secara fisik maupun psikis sebagai respon individu terhadap penyebab
ataupun pemicu stress yang mengganggu kesejahteraan seorang individu.
Pengelolaan stres disebut juga dengan istilah coping. Menurut R. S. Lazarus dan
Folkman (Friandry, 2012), coping adalah proses mengelola tuntutan (internal dan
external) yang ditaksir sebagi beban karena diluar kemampuan diri individu. Coping
dapat membantu murid beradaptasi dengan situasi stres dan kecemasan.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan


(Research and Development/R&D). Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 13
Pekanbaru. Waktu pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama lebih kurang 2 bulan.
Adapun subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII.8 di SMP Negeri 13
Pekanbaru yang berjumlah 40 orang. Menurut Sugiyono (2011) langkah-langkah
penelitian dan pengembangan meliputi : Identifikasi Masalah, Pengumpulan Informasi,
Penyusunan Outlet Materi, Validasi Materi, Perbaikan Desain, Uji Coba Materi, Revisi
Materi, Revisi Materi Tahap Akhir. Validator terdiri dari Dosen, Guru Bimbingan dan
Konseling dan juga Siswa. Adapun prosedur validasi penyusunan materi sebagai
berikut: 1) Peneliti menyusun materi bimbingan berdasarkan literature, jurnal/kliping
dari beberapa sumber yang berbeda, 2) Peneliti mengkonsultasikan materi yang telah
disusun dengan dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II, 3) Materi yang telah
selesai kemudian akan direvisi, ditelaah, dan diberikan penilaian oleh dosen, guru dan
siswa , 4) Memperbaiki materi berdasarkan saran guru pamong dan rekan sejawat, 5)
Mengkonsultasikan materi yang sudah direvisi dengan pembimbing I dan pembimbing
II serta salah satu dosen Bimbingan Konseling sampai materi benar-benar telah siap
untuk diujikan kepada siswa, 6) Uji coba materi kepada siswa, 7) Pada akhir pertemuan
siswa diminta untuk memberikan penilaian sesuai dengan skala yang telah ditentukan.
6

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1)


Dokumentasi, Data-data yang digunakan penulis dalam penyusuna materi berasal dari:
(a.) Buku, (b.) Jurnal, (c.) Laporan penelitian, 2) Skala penilaian. Skala penilaian yang
digunakan adalah skala penilaian yang mirip skala likert, yaitu subjek menilai materi
berdasarkan kesesuaian isi materi dengan aspek penilaian yang telah ditentukan.
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian, karena
dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah : 1) Skala
Likert, 2) Penentuan skor jawaban, terdiri dari 5 kategori yaitu sangat setuju, setuju,
ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju, 3) Skor Ideal, 4) Rating Scale.
Dalam penelitian terhadap materi ini peneliti menggunakan skor positif yang
dibuat dalam bentuk skala penilaian atau rating scale,dengan rumus rata-rata :

Me=
n

Dimana : Me = mean (rata-rata)


Epsilon (baca jumlah)
= Nilai x ke I sampai ke n
n = Jumlah individu
(Sudjana, 2005)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data diperoleh gambaran seperti
Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Hasil analisis validitas Materi Pengembangan Manajemen Stres oleh


keseluruhan validator
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-
Indikator
No Dosen Guru siswa Rata Kategori
yang Dinilai
(n=2) (n=4) (n=40)
1 Kejelasan Materi 4,00 4,00 3,90 3,96 Baik
2 Sistematika Materi 4,00 4,25 3,85 4,03 Baik
3 Dukungan Gambar 3,00 4,00 4,30 3,76 Baik
(
4 Keterbaruan Materi 3,00 4,00 4,30 3,76 Baik
Sangat
5 Kelengkapan Materi 4,00 4,75 4,35 4,36
Baik
Dukungan Sangat
6 4,00 4,75 4,03 4,26
Games/Video Baik
Rata-rata 3,66 4,29 4,12 4,02 Baik
(
Sumber : Data Olahan Penelitian)
7

Dengan interpensi nilai Sangat Bagus =5, Bagus = 4, Cukup Baik = 3, tidak baik
= 2, sangat tidak baik = 1.

Pembahasan

Sebelum ditarik kesimpulan pada penelitian ini, maka terlebih dahulu peneliti
akan melakukan pembahasan berkenaan dengan hasil penelitian yang dilakukan di SMP
Negeri 13 Pekanbaru tentang pengembangan materi Manajemen Stres bagi siswa SMP.
Berdasarkan hasil analisis data dengan memperhatikan skor ideal dan kriteria kualitas
maka dapat diketahui hasil penelitian ini adalah tersusunnya materi Manajemen Stres
bagi peserta didik yang sesuai untuk siswa SMP sebagaimana terlampir dalam lampiran
8, dengan kualitas materi yang dihasilkan berada pada kategori “Baik”. Hal ini
didapatkan dari penilaian yang dilakukan oleh dosen dalam hal ini adalah pembimbing
I dan pembimbing II, guru Bimbingan dan Konseling dan 40 siswa. Dari hasil kualitas
tersebut maka dapat dikatakan materi Manajemen Stres bagi siswa yang telah disusun
dapat menjadi bahan pertimbangan oleh guru bimbingan dan konseling/konselor
sekolah untuk dijadikan sebagai bahan ajar dalam pemberian layanan informasi
khususnya untuk siswa SLTP/SMP sederajat.
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil analisis data diketahui aspek kelengkapan
materi merupakan aspek yang memiliki rata-rata tertinggi dengan skor 4,36. Hal ini
didukung dengan adanya sub-sub materi yang dibagi-bagi sehingga masing-masing sub
dapat dipahami dengan mudah, menggunakan bahasa yang mudah dan sederhana serta
dilengkapi juga dengan rangkuman agar siswa dapat memahami inti dari materi yang
disampaikan. Hal ini sejalan dengan Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen
Pendidikan Nasional (2008) yang mengatakan bahwa modul yang baik harus memiliki
salah satu karakteristik penulisan modul pembelajaran yaitu berisi materi pembelajaran
yang dikemas ke dalam unit-unit kecil/ spesifik sehingga memudahkan belajar secara
tuntas, menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif serta memiliki
rangkuman materi pembelajaran. Aspek tertinggi kedua secara keseluruhan adalah
dukungan games/video dengan skor rata-rata 4,26. Muhammad Chusnul Al Fasyi
(2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan media video memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar di mana materi yang disaji dengan
dukungan video lebih menarik dan mudah diserap dibandingkan dengan materi yang
disaji tanpa dukungan video. Wahyu (2015) dalam penelitiannya juga menerangkan
bahwa adanya peningkatan hasil belajar pada mata pelajaran teknik pengelasan pada
siswa SMK Negeri 3 Purbalingga melalui metode pembelajaran Kooperatif Teams
Games Tournament(TGT). Artinya ada pengaruh yang signifikan antara metode
pembelajaran sambil bermain dengan prestasi belajar siswa.
Sedangkan aspek dengan rata-rata terendah adalah dukungan gambar dan
keterbaruan materi dengan skor rata-rata 3,76. Hal ini terjadi dikarena kurang
banyaknya gambar yang dilampirkan pada setiap pertemuan sedangkan siswa telah
terbiasa melihat gambar-gambar yang ditampilkan pada media sosial. Sari dan Mardiah
(2015) menyatakan bahwa terdapat pengaruh penggunaan media gambar terhadap
aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi bumi dan cuaca di MI
Palembang. Hal ini disebabkan karena pembelajaran menggunakan media gambar lebih
mampu memberikan semangat dan fokus siswa dalam memperhatikan penjelasan dari
8

guru. Sedangkan keterbaruan materi mendapatkan skor rata-rata terendah dikarenakan


kurang banyak rujukan jurnal. Meskipun telah ada rujukan dari jurnal internasional,
namun masih perlu ditambah lagi rujukan jurnal lain untuk mendapatkankan ide-ide
segar ataupun pengetahuan yang baru mengenai cara mengatasi stres yang belum
banyak diketahui khalayak umum. Kendati demikian kedua aspek tersebut berada pada
kategori baik.
Pada materi yang dikembangkan, juga harus terdapat beberapa aspek yang
mendukung proses pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif serta aspek
psikomotorik/konatif. Hal ini sejalan dengan penelitian Hindatulatifah (2008) yang
mengatakan bahwa keberhasilan proses pembelajaran bisa diukur dari seberapa jauh
kompetensi yang bisa dicapai oleh siswa. Salah satu dasar ditentukannya strategi
pembelajaran dan lebih lanjut dipilihnya suatu metode pembelajaran adalah tujuan
pembelajaran itu sendiri. Dimana tujuan pembelajaran itu adalah meliputi domain
kognisi/kecakapan intelektual, afeksi/sikap dan psikomotor/motorik.
Siswa yang mendapatkan materi tentang Manajemen Stres akan memiliki
motivasi yang secara langsung akan mendorong siswa untuk segera melakukan upaya-
upaya untuk melatih mengelola stres dan dapat mengaplikasikan agar berkonsentrasi
dalam belajar sehingga memiliki prestasi belajar yang baik pula. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nuzulul (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa peneliti keadaan
psikologis seseorang berpengaruh pada tingkah laku, hubungan antar individu dan
pencapaian yang dicapai seseorang seperi pencapaian prestasi belajar pada
mahasiswa. Hal ini disebabkan karena terganggunya kesehatan fisik akibat stres yang
dialami seorang mahasiswa sehingga menyebabkan ia mudah lelah, gangguan
pernafasan, sakit kepala, sulit berkonsentrasi sehingga mengganggu mahasiswa tersebut
pada saat proses belajar atau ujian sehingga menyebabkan prestasi belajar mahasiswa
tersebut tidak maksimal. Mahasiswa dengan perolehan prestasi belajar yang baik maka
stres yang dialami juga pada tingkat yang lebih rendah.
Namun demikian, pada pelaksanaan dalam ruang lingkup bimbingan dan
konseling masih terdapat hambatan dalam menyampaikan materi Manajemen Stres
yang telah dikembangkan. Hal ini didasarkan bahwa pada setiap materi yang telah
disusun, terdapat beberapa video yang harus ditampilkan dengan menggunakan media
seperti laptop dan proyektor. Namun, tidak semua guru bimbingan konseling dan
sekolah memiliki sarana yang cukup sehingga ini akan menjadi kesulitan bagi guru
bimbingan dan konseling di sekolah. Padahal pembelajaran yang berbasis multimedia
dengan menggunakan laptop atau proyektor serta media lainnya akan mempengaruhi
hasil belajar siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian Mualimul (2016) yang mengatakan
bahwa siswa lebih termotivasi dan lebih baik prestasi belajarnya jika pebelajaran
menggunakan multimedia komputer dari pada metode konvensional.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa materi Manajemen Stres bagi siswa yang
telah disusun dapat digunakan sebagai materi oleh guru Bimbingan dan Konseling
untuk dijadikan sebagai bahan ajar dalam pemberian layanan informasi untuk siswa
SLTP/SMP sederajat.
9

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Simpulan

Berdasarkan pengumpulan data validasi yang telah dilakukan mengenai


pengembangan materi manajemen stres siswa didapatkan bahwa : (1) Materi yang
dihasilkan adalah materi manajemen stres yang sesuai untuk siswa SMP, (2) Kualitas
materi yang dihasilkan berada pada kategori “Baik” dengan aspek penilaian tertinggi
adalah aspek kelengkapan materi dengan kategori sangat baik dan aspek dengan
penilaian terendah adalah aspek dukungan gambar dan aspek keterbaruan materi dengan
kategori baik.

Rekomendasi

Adapun Rekomendasi dari penulis adalah:


1. Materi ini dapat dikembangkan lagi oleh guru Bimbingan dan Konseling sehingga
bisa digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa kelas VIII SMP.

2. Materi ini dapat disosialisasikan oleh guru Bimbingan dan Konseling dalam acara
pertemuan guru-guru semisal Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK),
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Guru (KKG) dan lain
sebagainya

3. Materi ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti lain dalam lingkup yang
lebih luas sehingga materi ini lebih lengkap dan lebih baik.

4. Pada peneliti selanjutnya diharapkan menambahkan teori yang lebih berkaitan


dengan layanan dalam bimbingan dan konseling karena pada penelitian ini materi
masih sangat umum.

5. Pada peneliti selanjutnya diharapkan lebih memperinci validator yang memvalidasi


materi yang disusun.

DAFTAR PUSTAKA

Faridah Nurmaliah. 2014. Menurunkan Stres Akademik Siswa dengan Menggunakan


Teknik Self-Instruction. Jurnal Pendidikan Humaniora 2(3): 273-282. Konselor
SMA Laboratorium UM.

Fariyuni Liltiloly dan Nurfitria Swastiningsih. 2014. Manajemen Stres Pada Istri Yang
Mengalami Long Distance Marriage. EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi 2(2),
ISSN : 2303-114X
10

Friandry W Thoomaszen dan Murtini. 2012. Manajemen stres untuk Menurunkan


Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional Siswa Sekolah Menengah Pertama.
HUMANITAS 11(2):79-92 ISSN: 1693-7236. Sekolah Tinggi Agama Kristen
Negeri (STAKN)SiriNam S.Khalsa. 2008. Pengajaran & Disiplin Harga Diri.
PT Indeks. Jakarta.

Hindatulatifah.2008. Ranah-ranah pembelajaran dan implikasinya dalam pendidikan


agama islam. Jurnal Pendidikan agama lslam.V(1).Yogyakarta.digilib.uin-
suka.ac.id (diakses 15 Mei 2017)

Mualimul Huda. 2016. Pebelajaran Berbasis Multimedia dan Pembelajaran


Konvensional: (Studi Komparasi di MTs Al-Muttaqin Plemahan Kediri). Jurnal
Penelitian, 10(1), Februari 2016 (diakses 16 Mei 2017)

Muhammad Chusnul Al Fasyi.2015. Pengaruh Penggunaan Media Video Terhadap


Hasil Belajar Ipa Siswa Kelas Iv Sd Negeri Ngoto Bantul Yogyakarta. Jurnal
Pendidikan Guru Sekolah Dasar.16(4). FIP UNY.Yogyakarta.
journal.student.uny.ac.id (diakses 14 Mei 2017)

Nansar., Abd. Munir & Nurwahyuni. 2016. Efektivitas Layanan Informasi Manajemen
Stress Dalam Mereduksi Stress Akademik Siswa Kelas VIII B Smp Negeri 3
Pasangkayu. Jurnal Konseling & Psikoedukasi 1(1) ISSN: 2502 – 4000

Nuzulul Rahi. 2013. Hubungan Tingkat Stres dengan Prestasi Belajar Mahasiswa
Tingkat II Prodi D-III Kebidanan Banda Aceh Jurusan Kebidanan Poltekkes
Kemenkes NAD TA 2011/2012. Jurnal Iliah STIKes U’Budiyah 2(1), Maret 2013
(diakses 16 Mei 2017)

Qurrotun Ayu. Sumbodo Prabowo. Dewi Setyorini. 2013. Efektivitas Terapi Relaksasi
Untuk Mengurangi Tingkat Stres Kerja Bagian Penjualan pt. Sinar Sosro
Semarang. Prediksi, Kajian Ilmiah Psikologi 2(1):58-61. Januari - Juni 2013.

Rasmun. 2004. Stres, Koping dan Adaptasi teori dan Pohon Masalah Keperawatan.
Sagung Seto. Jakarta.

Sari Embun dan Mardiah Astuti. Pengaruh Penggunaan Media gambar terhadap
Aktivitas Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA materi Bumi dan Cuaca di
Madrasah Ibtidaiyah Najahiyah Palembang. 1 Januari 2015. (diakses 12 Juni
2016). http://jurnal.radenfatah.ac.id

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.


11

Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Bandung.

Wahyu Nur Musyafa. 2015. Pengaruh Model Pembelajara Kooperatif Teams Games
Touramet (TGT) Tergadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Teknik Pengelasan
di SMK Negeri 3 Purbalingga. Skripsi dipublikasikan Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta http://eprints.uny.ac.id (diakses 16 Mei 2017)

Lampiran Materi
MANAJEMEN STRES
Oleh : Dyah Ayu Nurani
NIM : 1305123123
POKOK PEMBAHASAN
1. Stres
2. Penggolongan Stres
3. Gejala Stres
4. Faktor Penyebab Stres (Stressor)
5. Manajemen Stres

Stres

Stres dapat diartikan sebagai respon (reaksi) fisik dan psikis yang berupa
perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan terhadap tekanan atau tuntutan yang
dihadapi. Diartikan juga reaksi fisik yang dirasakan tidak nyaman sebagai dampak dari
persepsi yang kurang tepat terhadap sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya,
merusak harga dirinya, menggagalkan keinginan atau kebutuhannya.
Lazarus & Folkman (1984) (Faridah, 2014:274) berpendapat, bahwa stres dapat
terjadi jika individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan
situasi lingkungan fisik dan sosial Artinya, stres akan dialami atau tidak dialami
bergantung pada penilaian subjektif individu terhadap sumber stres yang datang. Jika
individu menganggap kemampuannya cukup untuk memenuhi tuntutan lingkungan,
maka stres tidak akan terjadi.
Stress merupakan perasaan tidak nyaman, ketidaksesuaian dan perasaan tertekan
yang dialami oleh individu baik secara fisik maupun psikis sebagai respon individu
terhadap penyebab ataupun pemicu stress yang mengganggu kesejahteraan seorang
individu.

Penggolongan Stres

Schafer (2000) (Mahargyantari, 2009) membagi stres menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Neustress, merupakan jenis stres yang netral dan tidak merugikan.
2. Distress, terjadi pada saat tuntutan terlalu besar atau terlalu kecil. Simtom distres
dapat berupa kurangnya daya konsentrasi, tangan gemetar, sakit punggung, cemas,
gugup, depresi, mudah marah, mempercepat cara bicara.
12

3. Positive stress, adalah jenis stres yang dapat membantu untuk mengerjakan hal‐hal
tertentu, misalnya positive stress membantu mendorong seseorang untuk
mengerjakan suatu tugas dalam waktu yang terbatas.

Gejala Stres

Gejala‐gejala stres yang biasanya timbul menurut Robbins (2001)


(Mahargyantari, 2009) dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Gejala fisiologis, stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme,
meningkatkan laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah,
menimbulkan sakit kepala, serta menyebabkan serangan jantung.
2. Gejala psikologis, stres dapat menyebabkan ketidakpuasan. Stres muncul dalam
keadaan psikologis lain, misalnya: ketegangan, kecemasan, mudah marah,
kebosanan, dan suka menunda‐nunda; dan,
3. Gejala perilaku, Gejala stres yang dikaitkan dengan perilaku mencakup perubahan
dalam produktivitas, absensi, dan tingkat keluarnya karyawan, perubahan dalam
kebiasaan makan, meningkatnya merokok dan konsumsi alkohol, bicara cepat,
gelisah dan gangguan tidur.
Sementara Kozier, at all (1989)(Rasmun, 2004) mengemukakan bahwa gejala
atau gambaran psikologis individu yang mengalami stres antara lain:
a. Kecemasan
b. Marah

Faktor Penyebab Stres (Stressor)

Stressor adalah variabel yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya


stres, datangnya stressor dapat sendiri sendiri atau dapat pula bersamaan. Selye
mengembangkan konsep yang lebih spesifik tentang reaksi manusia terhadap stressor,
yang dinamakan GAS (General Adaptation Syndrome), yaitu mekanisme respon tipikal
tubuh dalam merespon rasa sakit, ancaman dan stressor lainnya. Terdapat tiga fase
dalam model GAS (Gerald, 2006:274). (1) pada fase pertama, yaitu reaksi alarm (alarm
reaction), yang terjadi ketika organisme merasakan adanya ancaman, (2) pada fase
kedua, resistensi (resistance), yang terjadi apabila stress itu berkelanjutan, (3) fase
ketiga, yaitu suatu tahap kelelahan (exhaustion) yang amat sangat, dan organisme mati
atau menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (Gerald, 2006:274).
Sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan diluar tubuh, sumber stres dapat
berupa biologik/fisiologik, kimia, psikologik, sosial dan spiritual (Rasmun, 2004).
Terjadinya stres karena stressor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu
sebagai suatu ancaman sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda
umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis, contohnya:
a. Stressor biologik dapat berupa mikroba, bakteri, virus dan jasad renik lainnya,
hewan, binatang, bermacam tumbuhan dan makhluk hidup lainnya yang dapat
mempengaruhi kesehatan, misalnya: tumbuhnya jerawat (acne), demam, digigit
binatang, dll, yang dipersepsikan dapat mengancam konsep diri individu.
b. Stressor fisik dapat berupa perubahan iklim, alam, suhu, cuaca, geografi yang
meliputi letak tempat tinggal, domisili, demografi berupa jumlah anggota dalam
keluarga, nutrisi, radiasi kepadatan penduduk, imigrasi, kebisingan, dll.
13

c. Stressor kimia, dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan glukosa sedangkan
dari luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan, pemakaian alkohol, nikoyin, kafein,
polusi udara, gas beracun, insektisida, pencemaran lingkungan, bahan-bahan
kosmetik dan lain lain.
d. Stressor sosial psikologik, yaitu labeling (penamaan) dan prasangka, ketidak puasan
terhadap diri sendiri, kekejaman (aniaya, perkosaan) konflik peran, percaya diri
yang rendah, perubahan ekonomi, emosi yang negatif, dan kehamilan.
e. Stressor spiritual yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-nilai ke-Tuhanan.

Manajemen Stres

Pengelolaan stres disebut juga dengan istilah coping. Menurut R. S. Lazarus dan
Folkman (Friandry, 2012), coping adalah proses mengelola tuntutan (internal dan
external) yang ditaksir sebagi beban karena diluar kemampuan diri individu. Coping
dapat membantu murid beradaptasi dengan situasi stres dan kecemasan. Coping juga
melibatkan murid untuk berubah secara kognitif dan perilaku sebagai upaya untuk
mengelola tuntutan internal dan eksternal.
1. Mengatasi Stres menurut Wallace
Wallace (2007) menyebutkan beberapa cara menghadapi stres, yaitu :
a. Cognitive restructuring,
Cognitive restructuring, yaitu dengan mengubah cara berpikir negative
menjadi positif. Hal ini dapat dilakukan melalui pembiasaan dan pelatihan.
Pikiran-pikiran negatif yang seringkali muncul dapat menyebabkan stres, cemas
maupun depresi obsesif. Berpikir positif merupakan suatu keterampilan kognitif
yang dapat dipelajari melalui pelatihan. Berpikir positif dapat membuat individu
menerima situasi yang tengah dihadapi secara lebih positif dan dapat
menurunkan tekanan yang sedang dialami.
b. Journal writing,
Journal writing, yaitu menuangkan apa yang dirasakan dan dipikirkan
dalam jurnal atau gambar. Jurnal dapat ditulis secara periodik tiga kali
seminggu, dengan durasi waktu 20 menit dalam situasi yang memungkinkan
penuangan secara optimal (suasana tenang, tidak diinterupsi kegiatan lain).
c. Time management
Time management, yaitu mengatur waktu secara efektif untuk
mengurangi stres akibat tekanan waktu. Ada waktu dimana individu melakukan
teknik relaksasi dan sharing secara efektif dengan psikolog dalam membentuk
kepribadianyang kuat.
d. Relaxation technique
Relaxation technique, yaitu mengembalikan kondisi tubuh pada
homeostatis, yaitu kondisi tenang sebelum ada stressor. Ada beberapa teknik
relaksasi, antara lain yaitu yoga, meditasi dan bernapas diphragmatic.
2. Gaya Hidup Sehat
Gaya hidup sehat akan berdampak pada kesehatan psikologis individu,
seperti meningkatkan mood dan perasaan senang yang berdampak pada tubuh.
3. Mendengarkan musik
Terapi musik dapat digunakan dalam lingkup klinis, pendidikan, dan sosial
bagi klien atau pasien yang membutuhkan pengobatan, pendidikan atau intervensi
pada aspek sosial dan psikologis (Mahargyantari, 2009:107).
14

4. Humoris
Orang yang senang humor (humoris) cenderung lebih toleran dalam
menghadapi situasi stress dari pada orang yang tidak senang humor (misalnya saja
orang yang bersikap kaku, dingin, pemurung, atau pemarah). Ketawa dapat
berfungsi sebagai upaya untuk menilai kembali situasi stress dengan cara yang
kurang mengancam dan dapat melepaskan emosi-emosi negatif yang terpendam
(seperti perasaan marah).
5. Sabar, Shalat, Doa dan Dzikir
Sabar dan Shalat. Sabar dalam Islam adalah mampu berpegang teguh dan
mengikuti ajaran agama untuk menghadapi atau menentang dorongan hawa nafsu.
Manusia yang sabar akan mampu menghadapi penyebab stres yang muncul.
Melalui shalat maka individu akan mampu merasakan betul kehadiran Allah SWT.
Segala bentuk kepenatan fisik, masalah, beban pikiran, dan emosi yang tinggi kita
singkirkan ketika shalat secara khusyuk. Dengan demikian, shalat itu sendiri sudah
menjadi obat bagi ketakutan yang muncul dari faktor penyebab stres yan dihadapi.
Melalui dzikir, perasaan menjadi lebih tenang dan khusyuk, yang pada akhirnya
akan mampu meningkatkan konsentrasi, kemampuan berpikir secara jernih, dan
emosi menjadi lebih terkendali.
ISSN : 2460-4917
E-ISSN : 2460-5794

STRES DAN CARA MENGATASINYA DALAM PERSPEKTIF


PSIKOLOGI
MUSRADINUR1
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
e-mail: musradinur49@gmail.com

Abstract: depression in daily life can give less flavor / discomfort, but it can also
provide a sense of comfort. As an element that gives a sense of comfort it can be
utilized, can be enjoyed, as well as the taste them, as well as a driving force to get
ahead in life. As a factor that gives disires, it will cause a lot of complaints, in a
state of acute anxiety in the form, in the form of chronic, physical or mental
disorder, boredom, fatigue and eventually death. Management of depression is
certainly pursuant nature. When he weighed on benefits in his life should be
enjoyed. When he raises depression, in a state of acute, there are various
alternatives to resolve it, either to the stress itself or its aftermath. In a state of
chronic disorders that arise must be dealt with treatment. Here the role of the
cooperation of various fields of medicine necessary if the interference is onganik.
Psiklatri important role precisely in the face of such disorders. In the face of
psychiatric disorders mural there are options on how to face up to the
psychotherapy and pharmacotherapy.

Keywords: Stress, depression, Psychology, Perspective, impact

Abstrak: Stres dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa kurang/tidak


nyaman, tetapi dapat pula justru memberikan rasa nyaman. Sebagai elemen yang
memberikan rasa nyaman ia dapat dimanfaatkan, dapat dinikmati, selain sebagai
pemberi rasa tersebut, juga sebagai pendorong untuk maju dalam kehidupan.
Sebagai faktor yang memberi disires, ia akan menimbulkan banyak keluhan, dalam
keadaan akut dalam bentuk kegelisahan, dalam bentuk khronis, gangguan fisik
maupun mental, kebosanan, kelelahan dan akhirnya kematian. Penatalaksanaan
stres tentunya sesual sifatnya. Bila ia membebani manfaat dalam hidup ia
selayaknya dinikmati. Bila ia menimbulkan distres, dalam keadaan akut, tersedia
berbagai alternatif untuk mengatasinya, baik terhadap stresnya sendiri maupun
dampak yang ditimbulkannya. Dalam keadaan kronis, gangguan yang timbul
tentunya harus dihadapi dengan pengobatan. Di sini peran kerja sama dari
berbagai bidang kedokteran perlu bila gangguan bersifat onganik. Penting justru
______________
1
Pemerhati Pendidikan di Aceh

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 183

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


peran psiklatri dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut. Dalam
menghadapi gangguan psikiatrik mural terdapat pilihan cara menghadapi dan
farmakoterapi hingga kepada psikoterapi.

Kata Kunci: Stres, Psikologi, Perspektif, dampak

A. Pendahuluan

Dewasa ini perubahan tata nilai kehidupan berjalan begitu cepat


karena pengaruh globalisasi. Masyarakat menghadapi masalah yang
semakin beragam sebagai akibat modernisasi dan perkembangan dunia.
Masalah hubungan sosial dan tuntutan lingkungan seiring harapan untuk
meningkatkan pencapaian diri ketidaksanggupan pribadi untuk
memenuhi tuntutan tersebut bisa menimbulkan stres dalam diri
seseorang. Beberapa faktor penyebab umum dari stres antara lain:
masalah pekerjaan, ujian, problem rumah tangga, sakit, kurang tidur dan
banyak lainnya.

Perubahan psikososial dapat merupakan tekanan mental (stressor


psikosial) sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan
perubahan dalam kehidupan dan berusaha beradaptasi untuk
menanggulanginya. Stresor psikososial, seperti perceraian dalam rumah
tangga, masalah orang tua dengan banyaknya kenakalan remaja,
hubungan interpersonal yang tidak baik dengan teman dan sebagainya.
Namun, tidak semua orang dapat beradaptasi dan mengatasi stressor
akibat perubahan tersebut sehingga sehingga ada yang mengalami stres,
gangguan penyesuaian diri, maupun sakit.2

Penelitian menunjukkan bahwa stres memberi kontribusi 50


sampai 70 persen terhadap timbulnya sebagian besar penyakit seperti
______________
2
Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya: Airlangga University Press, Hal. 24

184 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
penyakit kardiovaskuler, hipertensi, kanker, penyakit kulit, infeksi,
penyakit metabolik dan hormon, serta lain sebagainya. Ketika seseorang
mengalami stres yang berat, akan memperlihatkan tanda-tanda mudah
lelah, sakit kepala, hilang nafsu, mudah lupa, bingung, gugup, kehilangan
gairah seksual, kelainan pencernaan dan tekanan darah tinggi. Orang
hidup tidak mungkin terhindar dari stres untuk itu kita harus dapat
menyikapi dan mengelola stres dengan baik sehingga kualitas hidup kita
menjadi lebih baik.

Stres merupakan istilah yang membingungkan karena adanya


pendapat-pendapat yang sangat beranekaragam. Dalam arti umum stres
merupakan pola reaksi serta adaptasi umum, dalam arti pola reaksi
menghadapi stresor, yang dapat berasal dari dalam maupun luar individu
yang bersangkutan, dapat nyata maupun tidak nyata sifatnya. Stres
sendiri dapat berbentuk bermacam-macam tergantung dan ciri-ciri
individu yang bersangkutan, kemampuan untuk menghadapi (coping
skills) dan sifat stresor yang dihadapinya (Cameron dan Meichenbaum).
ini semua menurut Kaplan dan Sadock ditinjau dari segi dinamik,
merupakan fungsi dan ego. Mereka menekankan pula adanya sumber-
sumber pribadi serta mekanisme pertahanan sebagai ciri yang khusus
individu tersebut. Bila ego berfungsi baik maka semuanya berada dalam
keseimbangan. Apabila stresor yang dihadapi dapat diatasi secara
memadai tidak akan timbul stres. Bila terjadi ketidakmampuan, baru akan
timbul stres. Tidak selamanya seseorang yang punya kemampuan
mengatasi berhasil dengan pengatasan stresor. Sesudah stresor dapat
diatasi individu akan cenderung kembali kepada keseimbangan semula.

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 185

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


Bila gangguan keseimbangan ini terjadi cukup lama akan timbul ansietas
kronik.3

Menghadapi stresor berarti memberi individu bersangkutan


pelajaran agar lebih trampil di kemudian hari dengan kemungkinan
memperkembangkan berbagai kemampuan dan strategi pengatasan
stresor yang serupa. Ia dapat pula justru memberikan ide-ide yang
menakutkan yang bertalian dengan berbagai emosi tertentu dan
berkenaan dengan keharusan menghadapi stresor serupa.4

Dalam hidup sehari-hari stres dapat kita temui dalam berbagai


bentuk. Stres yang akut dapat menimbulkan berbagai manifestasi ansietas
yang menimbulkan ketidak-nyamanan (discomfort). Keadaan ini akan
bertahan tergantung dari lamanya stresor itu berada. Kemudian bila
stresor itu ada untuk waktu yang cukup lama kita akan jumpai keadaan
kelelahan dan adanya stres yang sudah berwujud patologi, seperti
patologi fisik serta kejiwaan.5

Namun perlu ditekankan disini, stress tidak selamanya membuat


orang menjadi tidak waras sehingga terpaksa harus berada di rumah sakit
jiwa. karena stress mempunyai beberapa tingkatan. Jadi selama individu
tersebut masih mengalami stress yang ringan, maka individu tersebut
hanya akan sering memikirkannya dan berusaha untuk memecahkan
masalah yang menjadi penyebab stress. Tapi tidak juga menutup

______________
3
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychia try, Behavioral
Sciences, Clinical Psychiatry. seventhed. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004, Hal. 1

4
Horowitz M, Stress response syndromes and their treatment in Handbook of Stress, Theoretical
and Clinical Aspects, GoIdbct Breznltz S (eds). New York: The Free Press, 2002, Hal. 711
5
Kaplan HI,…Hal. 181

186 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
kemungkinan bahwa semua orang mungkin saja sekarang dalam keadaan
stress.6

B. Pembahasan
1. Defenisi Stres

Secara garis besar ada empat pandangan mengenai stres, yaitu:


stres merupakan stimulus, stres merupakan respon, stres merupakan
interaksi antara individu dengan lingkungan, dan stress sebagai
hubungan antara individu dengan stressor.7

a) Stres Sebagai Stimulus

Menurut konsepsi ini stres merupakan stimulus yang ada


dalam lingkungan (environment). Individu mengalami stres bila dirinya
menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Dalam konsep ini stres
merupakan variable bebas sedangkan individu merupakan variabel
terikat. Secara visual konsepsi ini dapat digambarkan sebagai berikut.8

Gambar 1. Stress sebagai stimulus

Stress sebagai stimulus dapat dicontohkan: lingkungan sekitar


yang penuh persaingan, misalnya di terminal dan stasiun kereta api
menjelang lebaran. Mereka yang ada di lingkungan tersebut, baik itu
______________
6
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock's,…Hal. 182
7
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock's …, Hal. 200
8
Horowitz M, Stress response syndromes and …, Hal. 732

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 187

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


calon penumpang, awak bus atau kereta api, para petugas, dst., sulit
untuk menghindar dari situasi yang menegangkan (stressor) tersebut. Hal
serupa juga dapat diamati pada lingkungan di mana terjadi bencana alam
atau musibah lainnya, misalnya banjir, gunung meletus, ledakan bom di
tengah keramaian, dst.

b) Stres Sebagai Respon

Konsepsi kedua mengenai stres menyatakan bahwa stress


merupakan respon atau reaksi individu terhadap stressor. Dalam konteks
ini stress merupakan variable tergantung (dependen variable) sedangkan
stressor merupakan variable bebas atau independent variable.
Berdasarkan pandangan dari Sutherland dan Cooper, Bart Smet
menyajikan konsepsi stres sebagai respon sebagai berikut.9

Gambar 2. Stres Sebagai Respon

Respon individu terhadap stressor memiliki dua komponen,


yaitu: komponen psikologis, misalnya terkejut, cemas, malu, panik,
nerveus, dst. dan komponen fisiologis, misalnya denyut nadi menjadi
lebih cepat, perut mual, mulut kering, banyak keluar keringat dst. respon-

______________
9
Ibid

188 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
repons psikologis dan fisiologis terhadap stressor disebut strain atau
ketegangan.10

c) Stres Sebagai Interaksi antara Individu dengan Lingkungan

Menurut pandangan ketiga, stress sebagai suatu proses yang


meliputi stressor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan
antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dan
lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan
transaksional. Dalam konteks stres sebagai interaksi antara individu
dengan lingkungan, stres tidak dipandang sebagai stimulus maupun
sebagai respon saja, tetapi juga suatu proses di mana individu juga
merupakan pengantara (agent) yang aktif, yang dapat mempengaruhi
stressor melalui strategi perilaku kognitif dan emosional.

Konsepsi di atas dapat diperjelas berdasarkan kenyataan yang


ada. Misalnya saja stressor yang sama ditanggapi berbeda-beda oleh
beberapa individu. Individu yang satu mungkin mengalami stres berat,
yang lainnya mengalami stres ringan, dan yang lain lagi mungkin tidak
mengalami stres. Bisa juga terjadi individu memberikan reaksi yang
berbeda pada stressor yang sama.

Menurut Bart Smet, reaksi terhadap stres bervariasi antara


orang satudengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang
sama, karena pengaruh variabel-varibel sebagai berikut.11

______________
10
Sari N, Stres Kerja, Available from: http://damandiri.or.id/file/novitasariadbab2.pdf.diakses
tanggal. 13 november 2010
11
Ibid

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 189

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


1) Kondisi individu, seperti: umur, tahap perkembangan, jenis
kelamin, temperamen, inteligensi, tingkat pendidikan,
kondisi fisik, dst.
2) Karakteristik kepribadian, seperti: introvert atau ekstrovert,
stabilitas emosi secara umum, ketabahan, locus of control, dst.
3) Variabel sosial-kognitif, seperti; dukungan sosial yang
dirasakan, jaringan sosial, dst.
4) Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang
diterima, integrasi dalam jaringan sosial, dst.
5) Strategi coping.

Konsep stres sebagai interaksi antara individu dengan


lingkungan dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 3
menggambarkan reaksi individu terhadap stressor yang sama, ternyata
bisa berbeda, dan gambar 4 menggambarkan reaksi beberapa individu
terhadap stressor yang sama, ternyata juga bisa berbeda-beda.12

Gambar 3. Reaksi individu terhadap stresor yang sama


pada waktu yang berbeda

______________
12
Horowitz M…, Hal. 732

190 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
Gambar 4. Reaksi beberapa individu terhadap stresor yang sama
pada waktu yang sama

d) Stres Sebagai Hubungan antara Individu dengan Stressor

Stres bukan hanya dapat terjadi karena faktor-faktor yang ada


di lingkungan. Bahwa stressor juga bisa berupa faktor-faktor yang ada
dalam diri individu, misalnya penyakit jasmani yang dideritanya, konflik
internal, dst. Oleh sebab itu lebih tepat bila stres dipandang sebagai
hubungan antara individu dengan stressor, baik stressor internal maupun
eksternal. Menurut Maramis, stress dapat terjadi karena frustrasi, konflik,
tekanan, dan krisis.13

1) Frustrasi merupakan terganngunya keseimbangan psikis


karena tujuan gagal dicapai.
2) Konflik adalah terganggunya keseimbangan karena individu
bingung menghadapi beberapa kebutuhan atau tujuan yang
harus dipilih salah satu.

______________
13
Surbakti EP, Stres dan koping Lansia pada masa pensiun di kelurahan Pardomuan, kec. Siantar
timur kotamadya pematang siantar. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14286/1/09E01612.pdf. diakses pada tanggal 13
November 2010

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 191

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


3) Tekanan merupakan sesuatu yang mendesak untuk
dilakukan oleh individu. Tekanan bisa datang dari diri
sendiri, misalnya keinginan yang sangat kuat untuk meraih
sesuatu. Tekanan juga bisa datang dari lingkungan.
4) Krisis merupakan situasi yang terjadi secara tiba-tiba dan
yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan.

Konsep yang menyatakan bahwa stress merupakan hubungan


antara individu dengan stressor dapat diperjelas dengan visualisasi
dengan bagan berikut ini.

Gambar 5. Stres sebagai hubungan antara individu dengan stressor


2. Mekanisme Terjadinya Stres

Stress baru nyata dirasakan apabila keseimbangan diri


terganggu. Artinya kita baru bisa mengalami stress manakala kita
mempersepsi tekanan dari stressor melebihi daya tahan yang kita punya
untuk menghadapi tekanan tersebut. Jadi selama kita memandangkan diri
kita masih bisa menahankan tekanan tersebut (yang kita persepsi lebih
ringan dari kemampuan kita menahannya) maka cekaman stress belum
nyata. Akan tetapi apabila tekanan tersebut bertambah besar (baik dari

192 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
stressor yang sama atau dari stressor yang lain secara bersaman) maka
cekaman menjadi nyata, kita kewalahan dan merasakan stress.14

Gambar 6. Persepsi daya tahan dan tekanan


3. Faktor yang mempengaruhi Stres

Sesuatu yang merupakan akibat pasti memiliki penyebab atau


yang disebut stressor, begitupula dengan stress, seseorang bisa terkena
stress karena menemui banyak masalah dalam kehidupannya. Seperti
yang telah diungkapkan di atas, stress dipicu oleh stressor. Tentunya
stressor tersebut berasal dari berbagai sumber, yaitu:15

a) Lingkungan

Yang termasuk dalam stressor lingkungan di sini yaitu:


1) Sikap lingkungan, seperti yang kita ketahui bahwa
lingkungan itu memiliki nilai negatif dan positif
terhadap prilaku masing-masing individu sesuai
pemahaman kelompok dalam masyarakat tersebut.
Tuntutan inilah yang dapat membuat individu

______________
14
Danial, Apa itu Stres, available from: http://dr.danial.faithweb.com/konseling.htm. diakses
tanggal. 13 November 2010
15
Andreasen. N. C and Black. D. W, 2001, Introductory Textbook Of Psychiatry. 3rd ed. British
Library, USA, Hal. 335-342

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 193

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


tersebut harus selalu berlaku positif sesuai dengan
pandangan masyarakat di lingkungan tersebut.

2) Tuntutan dan sikap keluarga, contohnya seperti


tuntutan yang sesuai dengan keinginan orang tua
untuk memilih jurusan saat akan kuliah, perjodohan
dan lain-lain yang bertolak belakang dengan
keinginannya dan menimbulkan tekanan pada
individu tersebut.

3) Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


(IPTEK), tuntutan untuk selalu update terhadap
perkembangan zaman membuat sebagian individu
berlomba untuk menjadi yang pertama tahu tentang
hal-hal yang baru, tuntutan tersebut juga terjadi
karena rasa malu yang tinggi jika disebut gaptek.

b) Diri sendiri, terdiri dari

1) Kebutuhan psikologis yaitu tuntutan terhadap


keinginan yang ingin dicapai

2) Proses internalisasi diri adalah tuntutan individu


untuk terus-menerus menyerap sesuatu yang
diinginkan sesuai dengan perkembangan.

c) Pikiran

1) Berkaitan dengan penilaian individu terhadap


lingkungan dan pengaruhnya pada diri dan
persepsinya terhadap lingkungan.

194 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
2) Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara
penyesuaian yang biasa dilakukan oleh individu
yang bersangkutan.

Penyebab-penyebab stress di atas tentu tidak akan langsung


membuat sesorang menjadi stress. Hal tersebut dikarenakan setiap orang
berbeda dalam menyikapi setiap masalah yang dihadapi, selain itu
stressor yang menjadi penyebab juga dapat mempengaruhi stress.
Menurut Kozier & Erb, dikutip Keliat B.A dampak stressor dipengaruhi
oleh berbagai faktor yaitu:16

1) Sifat stressor. Pengetahuan individu tentang


bagaimana cara mengatasi dan darimana sumber
stressor tersebut serta besarnya pengaruh stressor
pada individu tersebut, membuat dampak stress yang
terjadi pada setiap individu berbeda-beda.

2) Jumlah stressor yaitu banyaknya stressor yang


diterima individu dalam waktu bersamaan. Jika
individu tersebut tidak siap menerima akan
menimbulkan perilaku yang tidak baik. Misalnya
marah pada hal-hal yang kecil.

3) Lama stressor, maksudnya seberapa sering individu


menerima stressor yang sama. Semakin sering
individu mengalami hal yang sama maka akan timbul
kelelahan dalam mengatasi masalah tersebut.

______________
16
Gabbard GO, Anxiety Disorders: The DSM IV Edition, American Psychiatric Press,
Washington, 1994.

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 195

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


4) Pengalaman masa lalu, yaitu pengalaman individu
yang terdahulu mempengaruhi cara individu
menghadapi masalahnya.

5) Tingkat perkembangan, artinya tiap individu


memiliki tingkat perkembangan yang berbeda.

4. Jenis-jenis Stres

Seperti yang sudah disebutkan bahwa stressor dan sumbernya


memiliki banyak keragaman, sehingga dapat disimpulkan stress yang
dihasilkan beragam pula. Menurut Sri Kusmiati dan Desminiarti,
berdasarkan penyebabnya stress dapat digolongkan menjadi: 17

a) Stres fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang


terlalu tinggi atau rendah, suara amat bising, sinar yang
terlalu terang, atau tersengat arus listrik.

b) Stres kimiawi, disebabkan oleh asam-basa kuat, obat-


obatan, zat beracun, hormone, atau gas. Stres
mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri, atau
parasit yang menimbulkan penyakit.

c) Stres fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur,


fungsi jaringan, organ, atau sistemik sehingga
menimbulkan fungsi tubuh tidak normal.Stres proses
pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa
bayi hingga tua.

______________
17
Ibrahim A.S: Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, Jakarta: PT. Dian Ariesta, 2003

196 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
5. Usaha-usaha mengatasi stress
a) Prinsip Homeostatis.

Stres merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan


cenderung bersifat merugikan. Oleh karena itu setiap individu yang
mengalaminya pasti berusaha mengatasi masalah ini. Hal demikian sesuai
dengan prinsip yang berlaku pada organisme, khususnya manusia, yaitu
prinsip homeostatis. Menurut prinsip ini organisme selalu berusaha
mempertahankan keadaan seimbang pada dirinya. Sehingga bila suatu
saat terjadi keadaan tidak seimbang maka akan ada usaha
mengembalikannya pada keadaan seimbang.

Prinsip homeostatis berlaku selama individu hidup. Sebab


keberadaan prinsip pada dasarnya untuk mempertahankan hidup
organisme. Lapar, haus, lelah, dll. merupakan contoh keadaan tidak
seimbang. Keadaan ini kemudian menyebabkan timbulnya dorongan
untuk mendapatkan makanan, minuman, dan untuk beristirahat. Begitu
juga halnya dengan terjadinya ketegangan, kecemasan, rasa sakit, dst.
mendorong individu yang bersangkutan untuk berusaha mengatasi
ketidak seimbangan ini. 18

b) Proses Coping terhadap Stres

Upaya mengatasi atau mengelola stress dewasa ini dikenal


dengan proses coping terhadap stress. Menurut Bart Smet, coping
mempunyai dua macam fungsi, yaitu : (1) Emotional-focused coping dan
(2) Problem-focused coping. Emotionalfocused coping dipergunakan
untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini
dilakukan melalui perilaku individu seperti penggunaan minuman keras,
______________
18
Soewadi, Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 1990

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 197

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, dst.
Sedangkan problem-focused coping dilakukan dengan mempelajari
keterampilan-keterampilan atau cara-cara baru mengatsi stres. Menurut
Bart Smet, individu akan cenderung menggunakan cara ini bila dirinya
yakin dapat merubah situasi, dan metoda ini sering dipergunakan oleh
orang dewasa. Berbicara mengenai uapaya mengatasi Stres, Maramis
berpendapat bahwa ada bermacam-macam tindakan yangdapat dilakukan
untuk itu, yang secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu (1) cara
yang berorientasi pada tugas atau task oriented dan (2) cara yang
berorientasi pada pembelaan ego atau ego defence mechanism.

Mengatasi stres dengan cara berorientasi pada tugas berarti


upaya mengatasi masalah tersebut secara sadar, realistis, dan rasional.
Menurut Maramis cara ini dapat dilakukan dengan “serangan”, penarikan
diri, dan kompromi. Sedangkan cara yang berorientasi pada pembelaan
ego dilakuakn secara tidak sadar (bahwa itu keliru), tidak realistis, dan
tidak rasional. Cara kedua ini dapat dilakukan dengan : fantasi,
rasionalisasi, identifikasi, represi, regresi, proyeksi, penyusunan reaksi
(reaction formation), sublimasi, kompensasi, salah pindah (displacement).

C. Penutup

Stres dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa


kurang/tidak nyaman, tetapi dapat pula justru memberikan rasa nyaman.
Sebagai elemen yang memberikan rasa nyaman ia dapat dimanfaatkan,
dapat dinikmati, selain sebagai pemberi rasa tersebut, juga sebagai
pendorong untuk maju dalam kehidupan.

Sebagai faktor yang memberi disires, ia akan menimbulkan banyak


keluhan, dalam keadaan akut dalam bentuk kegelisahan, dalam bentuk

198 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
khronis, gangguan fisik maupun mental, kebosanan, kelelahan dan
akhirnya kematian. Penatalaksanaan stres tentunya sesual sifatnya. Bila ia
membebani manfaat dalam hidup ia selayaknya dinikmati. Bila ia
menimbulkan distres, dalam keadaan akut, tersedia berbagai alternatif
untuk mengatasinya, baik terhadap stresnya sendiri maupun dampak
yang ditimbulkannya.

Dalam keadaan kronis, gangguan yang timbul tentunya harus


dihadapi dengan pengobatan. Di sini peran kerja sama dari berbagai
bidang kedokteran perlu bila gangguan bersifat onganik. Penting justru
peran psiklatri dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut. Dalam
menghadapi gangguan psikiatrik mural terdapat pilihan cara menghadapi
dan farmakoterapi hingga kepada psikoterapi.

DAFTAR PUSTAKA
Andreasen. N. C and Black. D. W, 2001, Introductory Textbook Of Psychiatry.
3rd ed. British Library. USA.
Danial. Apa itu Stres. available from:
http://dr.danial.faithweb.com/konseling.htm. diakses tanggal.
13 November 2010
Gabbard GO. 1994. Anxiety Disorders: The DSM IV Edition, American
Psychiatric Press, Washington.
Gunarya A. Manajemen Stres. TOT Basic Study Skill tahun 2008. Afailable
from:
http://www.unhas.ac.id/maba/bss2009/manajemen%20diri/
modul%20MD08-Manajemen %20stres.pdf. diakses pada
tanggal 13 november 2010
Horowitz M. 2002. Stress response syndromes and their treatment in Handbook
of Stress. Theoretical and Clinical Aspects. GoIdbct Breznltz S
(eds). New York: The Free Press.
Kaplan HI. Sadock BJ. Grebb JA. 2004. Kaplan and Sadock's Synopsis of
Psychia try, Behavioral Sciences, Clinical Psychiatry. seventhed.
Baltimore: Williams & Wilkins.

Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya… | 199

Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016 


Maramis. W.F. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
.
Sari N. Stres Kerja. Available from:
http://damandiri.or.id/file/novitasariadbab2.pdf.diakses
tanggal. 13 november 2010
Soewadi. 1990. Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa. Fakultas Kedokteran
UGM. Yogyakarta.

Surbakti EP. Stres dan koping Lansia pada masa pensiun di kelurahan
Pardomuan, kec. Siantar timur kotamadya pematang siantar.
Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14286/1/09
E01612.pdf. diakses pada tanggal 13 November 2010

200 | Musradinur: Stres dan Cara Mengatasinya…


 Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 2, July 2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN
PERSIAPAN PADA REMAJA DALAM MENGHADAPI NEW NORMAL

TOPIK : persiapan pada remaja menghadapi new Normal


Sasaran : Masyarakat dan wilayah stempat dan Remaja
Hari/Tgl : Rabu, 13 JANUARI 2021
Waktu : 40 menit

A. LATAR BELAKANG
Masalah kesehatan yang saat ini menjadi sorotan dan perhatian dunia adalah
penyakit Covid-19.Penyakit ini disebabkan oleh virus yang benama Corona
Virus Disease –19 atau yang lebih populer dengan istilah Covid-19.
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
(SARS-CoV-2). SARSCoV2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis
coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan
gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19
antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak
napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14
hari. Pada kasus Covid-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia,
sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian (Kemenkes RI,
2020).

Penyakit Covid-anak-anak dan remaja. Berdasarkan Laporan Pusat Pengendalan


Dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) menunjukkan bahwa anak-anak
dan remaja lebih beresiko untuk mengalami komplikasi terkait penyakit
Covid-dan remaja yang meninggal karena penyakit yang terkait penyakit
Covid-19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang Dari data
yang dikumpulkan berusia pada bulan Februari sampai dengan Juli 2020 didapat
bahwa 70% dari 121 kasus anak dan remaja meniggal karena penyakit yang terkait
penyakit covid-19 berusia 10- 20 tahun (Kompas.com, 2020)
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang
terduga terinfeksi Covid-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT PCR.

Namun sebuah survey yang dilakukan oleh UNICEF terhadap 4000 remaja
terkait Covid-19 menunjukkan masih ada remaja (25%) yang tidak tahu
sama sekali tentang Covid-19. Ada yang tahu gejala penyakit ini, namun
belum tahu cara pencegahan. Terjadi peningkatan pengetahuan setelah
difasilitasi dengan informasi kepada remaja. Namun sebagian besar masih
belum melakukan physical distancing (Habibie, 2020).

A. Tujuan Umum
Setelah di lakukan penyuluhan tentang New Normal Remaja dapat mematuhi
protokol-protokol kesehatan . Pengetahuan remaja merupakan hasil “tahu” dan
ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Pengetahuan tentang berbagai cara dalam mencapai pemeliharaan
kesehatan, cara menghindari penyakit, maka akan meningkatkan pengetahuan
masyarakat.
B. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan pengertian New Normal pada masyarakat Remaja

b. Menjelaskan tujuan New Normal pada masyarakat remaja

c. Menjelaskan protokol keseahatan dalam menghadapi new normal pada


remaja.

d. Menjelaskann psikomoter persiapan New Normal pada Remaja

C. Materi

Terlampir
D. Metode

Metode

Metode yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan kesehatan dengan


pokok bahasan new normal di era pandemi COVID-19 antara lain :
a) Ceramah
Metode ini digunakan sebagai pengantar untuk memberikan penekanan
dalam penyampaian pengertian, penyebab, tanda gejala, dan
pencegahan covid-19
b) Tanya Jawab
Metode ini digunakan baik pada saat dilangsungkannya pembelajaran
atau pada saat diakhirinya pembelajaran yang memungkinkan klien
mengemukakan hal-hal yang belum dimengerti.
c) Mendemostrasikan

E. Media

PPT

F. Penataan Strategi Pengorganisasian

Ket : = Media

= Penyaji

= Keluarga
G. Penetapan Strategi Pengorganisasian
Materi New Normal Terlampir

H. Kegiatan Pembelajaran
NO WAKTU KEGIATAN MAHASISWA KEGIATAN KLIEN MEDIA
1 5 Menit A. Pembukaan
1. Memberi salam dan memperkenalkan diri Menjawab salam
2. Menyampaikan kontrak waktu Mandengarkan Lisan
3. Menjelaskan tujuan pembelajaran Memperhatikan
4. Menyampaikan subpokok bahasan Menyimak
pembelajaran yaitu New Normal
2 15 menit B. Pelaksanaan
1. Menjelaskan tentang New Normal di masa Menyimak
Pandemi COVID-19 Menyimak
2. Penyebab dan tanda gejala COVID-19
3. Menjelaskan kepatuhan protokol Menyimak PPT
kesehatan di masa New Normal Menyimak
4. Memberikan kesempatan untuk bertanya

3 15 menit C. Evaluasi
1. Memberikan kesempatan untuk Menjawab pertanyaan
menjawab pertanyaan yang di lontarkan. Lisan
2. Menyimpulkan materi Persiapan Remaja Menyimak
menjalankan New Normal di masa Menjawab salam
pandemi COVID-19
3. Memberi salam penutup
I. Evaluasi
1. Prosedur : Setelah proses pembelajaran kesehatan
2. Waktu : 15 menit
3. Bentuksoal : google from
4. Jumlahsoal : 5 soal

DaftarPustaka
American Academy of Pediatric. (2020).
Teens & COVID-19: Challenges and
Opportunities During the Outbreak. HealthyChildren
.https://www.healthychildren.org/English/health
issues/conditions/chestlungs/Pages/TeensandCOVID-19.
Detik.com(2020).Layanan publik terpapar covid-19 mojokerto diminta
tingkatkanpencegahan
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI
(2020),
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalan Corona VirusDisease(Covid-19)

Kemenkes Ri. Jakarta


Habibie, N. (2020)UNICEF Survei 4.000 Remaja Terkait Covid-19
https://www.merdeka.com/peristiwa/unicef-development/explained/
Zona Banten.com(2020).
MATERI PENYULUHAN TENTANG
PERSIAPAN REMAJA DALAM MENGHADAPI NEW NORMAL
DI ERA COVID-19

A)Pengertian

Penyakit Covid-19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang
anak-anak dan remaja. Berdasarkan Laporan Pusat Pengendalan Dan
Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) menunjukkan bahwa anak-anak dan
remaja lebih beresiko untuk mengalami komplikasi terkait penyakit Covid-19.
Dari data yang dikumpulkan pada bulan Februari sampai dengan Juli 2020
didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak dan remaja yang meninggal karena
penyakit yang terkait penyakit Covid-19 berusia 10-20 tahun (Kompas.com,
2020) Cara terbaik untuk penanggulangan dan pencegah penyakit ini adalah
dengan memutus mata rantai penyebaran covid-19. Pemutusan rantai
penularan bisa dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara
disiplin. Yaitu dengan cara sering mencuci tangan dengan air mengalir dan
sabun atau menggunakan hand sanitizer, menggunakan masker dan tidak
menyentuh area muka sebelum mencuci tangan, serta menjaga jarak dalam
setiap berkegiatan atau yang dikenal dengan istilah 3M (Dirjen P2P Kemkes
RI, 2020)

B)Faktor-faktor yang mempengaruhi new normal dalam menerapkan


protokol kesehatan pada remaja.

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan seseorang


diantaranya adalah pengetahuan, motivasi serta dukungan dari keluarga.

c)Menjelaskan pengertian New Normal pada masyarakat Remaja

Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang tidak dapat sepelekan dalam
upaya pencegahan penularan penyakt ini. Penerapan protokol kesehatan
guna pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 terutama pada remaja
memerlukan pemahaman dan pengetahuan yang baik.

D.Menjelaskan protokol keseahatan dalam menghadapi new normal pada


remaja.
Penerapan protokol kesehatan sangat diperlukan guna memutuskan mata
rantai Covid-19 ini.

1. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan air
mengalir selama 40-60 detik, dan menggunakan hand sainitaizer selama
20-30 detik. menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut dengan
tangan yang tidak bersih,

2. menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan
mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain,

3. menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari


terkena droplet sangat perlu dilakukan. Selain itu pola hidup yang
sehat dan

4. makan makanan bergizi juga sangat berguna meningkatkan imunitas diri


guna pencegahan penularan penyakit ini.

E.PSIKOMOTOR PERSIAPAN NEW NORMAL PADA REMAJA DI SEKOLAH

1.Pertama, persiapan pembelajaran. Tentu target ketercapaian kurikulum secara


tatap muka akan jauh berbeda dengan pembelajaran daring. Kebermaknaan dan
proses belajar dituntut dalam pembelajaran jarak jauh ini. Berjuta permasalahan
terkait polemik pembelajaran jarak jauh tentu harus dijauhkan dari pikiran bapak
ibu guru. Sibuk mengurusi masalah pro kontra, malah akan menyurutkan semangat
untuk terus mengajar.

2. Kedua, model pembelajaran. Agar kurikulum dapat tercapai sesuai target yang
diinginkan walau dalam kondisi terbatas. Guru harus menentukan model
pembelajaran yang tepat dalam kondisi saat ini. Blended Learning merupakan
salah satu opsi paling memungkinkan bagi guru untuk tetap dapat menerapkan
kurikulum pembelajaran yang tepat. Kolaborasi antara berbagai metode, dari
daring maupun luring. Kapan guru harus melakukan pembelajaran jarak jauh,
kapan juga guru mengagendakan untuk bertemu tatap muka dengan anak didiknya

3.Halangan berupa jarak tentu tidak menghilangkan cara guru menilai anak
didiknya. Kehadiran tepat waktu saat video conference via zoom, google meet atau
live streaming. Disiplin tepat waktu mengerjakan dan mengumpulkan tugas via
google classroom, serta nilai kejujuran dan tanggung jawab terhadap tugas yang
dikerjakan. Tutur tulisan saat merespon percakapan di grup kelas Online via
WhatsApp. merupakan bentuk penilaian afektif yang bisa guru lakukan melalui
pembelajaran daring
(SOP) untuk New Normal

panduan pencegahan dan pengendalian Covid-19

1. menjaga kebersihan tangan.

Kita dapat menggunakan sabun dan air mengalir atau hand sanitizer.

2. Hindari menyentuh bagian wajah

seperti mata, hidung dan mulut saat keadaan tangan belum bersih. Hal ini
dikarenakan tangan bisa menjadi sarang virus yang didapatkan dari aktivitas yang
kita lakukan.

3. Menerapkan etika ketika batuk dan bersin.

Tutup dengan lengan atas bagian dalam saat kita batuk atau bersin agar virus tidak
tersebar. Lengan atas bagian dalam dinilai aman menutup mulut dan hidung
dengan optimal, selain itu bagian tersebut juga tidak digunakan untuk beraktivitas
menyentuh wajah sehingga relatif aman. Selain itu kita juga bisa melakukan
dengan menutup mulut dan hidung menggunakan kain tisu yang setelahnya harus
segera dibuang ke tempat sampah.

4. Selalu menggunakan masker.

Cara ini bukan hanya untuk melindungi diri kita dari infeksi virus, tetapi juga
menghindari orang di sekitar kita agar tidak tertular virus. Seseorang yang
terinfeksi Covid-19 belum tentu menunjukkan gejala, tapi ia sudah pasti dapat
menularkan kepada orang lain jika kita tidak mematuhi protokol kesehatan.

5. Sosial distancing Jaga jarak antar satu dengan yang lainnya setidaknya 1 meter
untuk menghindari terjadinya penyebaran virus. Selain itu, kita dianjurkan untuk
tidak mendatangi kerumunan, meminimalisir kontak fisik dengan orang lain dan
tidak mengadakan acara yang mengundang banyak orang.
6. Lakukan isolasi mandiri kapan pun merasa tidak sehat, khususnya jika
mengalami demam, batuk/ pilek/ nyeri tenggorokan/ sesak napas. Tetap berada di
dalam rumah dan tidak mendatangi tempat kerja, sekolah atau tempat umum
lainnya karena memiliki resiko infeksi Covid-19 dan menularkannya ke orang lain.

7. Menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan seimbang,


berjemur di bawah sinar matahari pagi, istirahat cukup dan berolahraga.

8. Ketika kembali ke rumah setelah kita melakukan aktivitas di luar, jangan


bersentuhan dengan anggota keluarga sebelum kita mandi dan mengganti pakaian.
Cuci pakaian dan masker dengan deterjen. Terakhir, bersihkan telepon selular atau
ponsel, kacamata, dan tas dengan disinfektan.
SOAL PRE TEST DAN POST TEST
PERSIAPAN NEW NORMAL
1. APA PENGERTIAN NEW NORMAL?
a. New Normal merupakan kehidupan baru di mana masyarakat tetap
melakukan berbagai aktivitas seperti biasa namun tetap menerapkan
protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah agar mengurangi
penyebaran Virus Covid 19 dan dapat teratasi.
b. masyarakat untuk terus mempertahankan pola hidup sehat sesuai
dengan protokol untuk menjadi tatanan normal.
c. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) virus corona COVID-19 yang telah
menjadi pandemi global tidak akan bisa hilang dalam waktu singkat.
d. mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengarantina
pasien.

2. APAKAH YANG HARUS DI LAKUKAN SAAT NEW NORMAL ?


a. SERING MENCUCI TANGAN MENGGUNAKAN SABUN ATAU HAND SAINITAIZER
b. MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN
c. TIDAK MENGGUNAKAN MASKER
d. BERJABAT TANGAN DENGAN SIAPA PUN

3. JIKA MENGALAMI GEJALA INDRA PENCIUMAN HILANG DAN INDRA PERASA HILANG DAN
DEMAM APA YANG HARUS DI LAKUKAN?
a. DI SARANKAN KE PASAR HEWAN TERDEKAT
b. DI SARANKAN KERUMAH SAKIT DAN MELAKUKAN PMERIKSAAN PCR
c. DI AJURKAN MENCUCI TANGAN
d. DI ANJURKAN MEROKOK

4. BERAPA LAMA CARA MENCUCI TANGAN DEGAN MENGGUNAKAN HAND


SANITAIZER ?
a. 60 detik – 70 detik
b. 20 detik- 30 detik
c. 10 detik -40 detik
d. 50detik – 60 detik

5. BAGAIMANA CARA PENERAPAN NEW NORMAL ?


a. SATGAS COVID-19 ATAU LEMBAGA LAIN NYA AKAN IKUT ANDIL DAN
MEMBERIKAN INFORMASI DALAM PENERAPAN PROTOKOL DI BIDANG
PENDIDIKAN DLL
b. MELAKUKAN KERUMAN KE WARGA
c. TIDAK MENGGUNAKAN MASKER
d. MENGAJAK MASYARAKAT UNTUK TIDAK MEMATUHI PROTOKOL
KESEHATAN
SOAL PRE TEST DAN POST TEST
PERSIAPAN NEW NORMAL
1. APA PENGERTIAN NEW NORMAL?
a. New Normal merupakan kehidupan baru di mana masyarakat tetap
melakukan berbagai aktivitas seperti biasa namun tetap menerapkan
protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah agar mengurangi
penyebaran Virus Covid 19 dan dapat teratasi.
b. masyarakat untuk terus mempertahankan pola hidup sehat sesuai
dengan protokol untuk menjadi tatanan normal.
c. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) virus corona COVID-19 yang telah
menjadi pandemi global tidak akan bisa hilang dalam waktu singkat.
d. mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengarantina
pasien.

2. APAKAH YANG HARUS DI LAKUKAN SAAT NEW NORMAL ?


a. SERING MENCUCI TANGAN MENGGUNAKAN SABUN ATAU HAND SAINITAIZER
b. MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN
c. TIDAK MENGGUNAKAN MASKER
d. BERJABAT TANGAN DENGAN SIAPA PUN

3. JIKA MENGALAMI GEJALA INDRA PENCIUMAN HILANG DAN INDRA PERASA HILANG DAN
DEMAM APA YANG HARUS DI LAKUKAN?
a. DI SARANKAN KE PASAR HEWAN TERDEKAT
b. DI SARANKAN KERUMAH SAKIT DAN MELAKUKAN PMERIKSAAN PCR
c. DI AJURKAN MENCUCI TANGAN
d. DI ANJURKAN MEROKOK
4. BERAPA LAMA CARA MENCUCI TANGAN DEGAN MENGGUNAKAN HAND
SANITAIZER ?
a. 60 detik – 70 detik
b. 20 detik- 30 detik
c. 10 detik -40 detik
d. 50detik – 60 detik

5. BAGAIMANA CARA PENERAPAN NEW NORMAL ?


a. SATGAS COVID-19 ATAU LEMBAGA LAIN NYA AKAN IKUT ANDIL DAN
MEMBERIKAN INFORMASI DALAM PENERAPAN PROTOKOL DI BIDANG
PENDIDIKAN DLL
b. MELAKUKAN KERUMAN KE WARGA
c. TIDAK MENGGUNAKAN MASKER
d. MENGAJAK MASYARAKAT UNTUK TIDAK MEMATUHI PROTOKOL
KESEHATAN
PERSIAPAN
NEW NORMAL
PADA REMAJA
YENI PUSPASARI

NPM : 195140068
LATAR BELAKANG
keperawatan komunitas ini sebagai
pengalaman belajar lapangan yang akan
berguna dalam memberikan pelayanan
dan asuhan keperawatan komunitas serta
pengalaman belajar lapangan ini
diharapkan mampu meningkatkan
keterampilan perawat di komunitas dan
melibatkan masyarakat sebagai suatu
komunitas untuk meningkatkan status
kesehatan.
New Normal merupakan kehidupan baru di
mana masyarakat tetap melakukan
berbagai aktivitas seperti biasa namun
tetap menerapkan protokol kesehatan
yang telah ditetapkan pemerintah agar
mengurangi penyebaran Virus Covid 19
dan dapat teratasi.
TUJUAN UMUM :
Setelah di lakukan penyuluhan tentang New Normal
Remaja dapat mematuhi protokol-protokol kesehatan .
Pengetahuan remaja merupakan hasil “tahu” dan ini
terjadi setelah orang mengadakan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan tentang
berbagai cara dalam mencapai pemeliharaan
kesehatan, cara menghindari penyakit, maka akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat dan remaja.
TUJUAN KHUSUS:
 Menjelaskan pengertian New Normal
pada masyarakat Remaja
 Menjelaskan tujuan New Normal pada
masyarakat remaja
 Menjelaskan persiapan remaja dalam
menghadapi new normal.
 Menjelaskann psikomoter persiapan
remaja menghadapi new normal
Pengertian new normal
pada remaja
Penyakit Covid-19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi
juga menyerang anak-anak dan remaja. Berdasarkan
Laporan Pusat Pengendalan Dan Pencegahan Penyakit
Amerika menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja lebih
beresiko untuk mengalami komplikasi terkait penyakit Covid-
19. Dari data yang dikumpulkan pada bulan Februari sampai
dengan Juli 2020 didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak dan
remaja yang meninggal karena penyakit yang terkait
penyakit Covid-19 berusia 10-20 tahun Cara terbaik untuk
penanggulangan dan pencegah penyakit ini adalah dengan
memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Tujuan new normal pada
masyarakat remaja
Di era New Normal berdampak pada dunia
pendidikan yang mana sekarang ini peserta
didik , belajar di rumah dengan pelaksanaan
proses pembelajaran secara daring.

pendidikan dan pembelajaran tetap terlaksana


walaupun saat ini terkendala dengan
adanya Virus Covid 19.
Protokol kesehatan
new normal
 Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan
pakai sabun dengan air mengalir selama 40-60 detik,
menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut
dengan tangan yang tidak bersih.
 Membersihkan tangan menggunakan handsainitaizer
selama 20-30 detik.
 menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang
menutupi hidung dan mulut jika harus keluar rumah atau
berinteraksi dengan orang lain,
 menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain
untuk menghindari terkena droplet sangat perlu
dilakukan.
 Selain itu pola hidup yang sehat dan makan makanan
bergizi juga sangat berguna meningkatkan imunitas.
PSIKOMOTOR
NEW NORMAL PADA REMAJA
Pertama, persiapan pembelajaran. Tentu target
ketercapaian kurikulum secara tatap muka akan jauh
berbeda dengan pembelajaran daring. Kebermaknaan
dan proses belajar dituntut dalam pembelajaran jarak
jauh ini. Berjuta permasalahan terkait polemik
pembelajaran jarak jauh tentu harus dijauhkan dari
pikiran bapak ibu guru. Sibuk mengurusi masalah pro
kontra, malah akan menyurutkan semangat untuk
terus mengajar.
Kedua, model pembelajaran. Agar kurikulum dapat
tercapai sesuai target yang diinginkan walau dalam
kondisi terbatas. Guru harus menentukan model
pembelajaran yang tepat dalam kondisi saat ini.
Blended Learning merupakan salah satu opsi paling
memungkinkan bagi guru untuk tetap dapat
menerapkan kurikulum pembelajaran yang tepat.
Kolaborasi antara berbagai metode, dari daring
maupun luring. Kapan guru harus melakukan
pembelajaran jarak jauh, kapan juga guru
mengagendakan untuk bertemu tatap muka dengan
anak didiknya
Halangan berupa jarak tentu tidak menghilangkan
cara guru menilai anak didiknya. Kehadiran tepat
waktu saat video conference via zoom, google
meet atau live streaming. Disiplin tepat waktu
mengerjakan dan mengumpulkan tugas via google
classroom, serta nilai kejujuran dan tanggung
jawab terhadap tugas yang dikerjakan. Tutur
tulisan saat merespon percakapan di grup kelas
Online via WhatsApp. merupakan bentuk penilaian
afektif yang bisa guru lakukan melalui
pembelajaran daring.
TERIMA KASIH
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG COVID-19


DENGAN KEPATUHAN DALAM MENERAPKAN PROTOKOL KESEHATAN
DI MASA NEW NORMAL

Dhonna Anggreni1, Citra Adityarini Safitri2


120
Prodi D3 Kebidanan, Prodi S1 Kebidanan STIKes Majapahit Mojokerto

ABSTRACT
Covid-19 is currently a serious world problem with the number of cases which are always
increasing every day. Attacking everyone regardless of age or gender and has been
categorized as a global pandemic. Even adolescents are not immune to covid infection 19.
In Indonesia alone, the number of positive cases in September 2020 was 240,687 people
with 9,448 deaths. The purpose of this study was to examine the relationship between
adolescent knowledge about covid-19 and adherence to implementing health protocols in
the new normal period. This type of research is an analytical study with a cross-sectional
design. The independent variable of this study is adolescent knowledge. While the
independent variable is compliance in implementing health protocols. The sample in this
study were 111 people. The data were analyzed using the Sperman test statistical test. The
results showed that there was no relationship between adolescent knowledge about Covid-
19 and adherence to implementing health protocols. Many factors influence the degree of
disobedience among adolescents, one of which is motivation or support from family
members and themselves. It is hoped that the family can provide an example and motivation
for adolescents to want to apply health protocols wherever they are
Keyword: covid-19, adolescent knowledge, adherence to implementing health protocols.

A. PENDAHULUAN
Masalah kesehatan yang saat ini menjadi sorotan dan perhatian dunia adalah
penyakit Covid-19. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang benama Corona Virus
Disease – 19 atau yang lebih populer dengan istilah Covid-19. Coronavirus Disease
2019 (Covid-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan
coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada
setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19
antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas.
Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus
Covid-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal
ginjal, dan bahkan kematian (Kemenkes RI, 2020).
Angka kejadian Covid-19 di dunia setiap harinya selalu bertambah. Berdasarkan
data yang didapat pada tanggal 20 September 2020, total kasus Covid-19 didunia
sebanyak 30,9 juta kasus dengan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 960.830
orang. Amerika merupakan negara tertinggi yang menderita Covid-19 dengan jumlah
kasus positif sebesar 6.966.356 orang dan 203.822 orang meninggal. Di Indonesia

134
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

sendiri, jumlah kasus positif pertanggal 20 September 2020 sebesar 240.687 orang
dengan kasus meninggal sebesar 9.448 orang (Kompas.com, 2020 )
Di Provinsi Jawa Timur, penderita Covid-19 juga selalu mengalami
peningkatan setiap harinya. Dari data yang didapat pada tanggal 19 September 2020,
jumlah penderita Covid-19 di provinsi Jawa Timur sebesar 40.372 kasus dengan jumlah
kematian sebanyak 2942 orang. Dan khusus untuk Kabupaten Mojokerto sendiri
jumlah penderita Covid-19 sebesar 758 orang dengan angka kematian sebanyak 27
orang (Detik. com, 2020)
Penyakit Covid-19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang
anak-anak dan remaja. Berdasarkan Laporan Pusat Pengendalan Dan Pencegahan
Penyakit Amerika (CDC) menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja lebih beresiko
untuk mengalami komplikasi terkait penyakit Covid-19. Dari data yang dikumpulkan
pada bulan Februari sampai dengan Juli 2020 didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak
dan remaja yang meninggal karena penyakit yang terkait penyakit Covid-19 berusia
10-20 tahun (Kompas.com, 2020)
Cara terbaik untuk penanggulangan dan pencegah penyakit ini adalah dengan
memutus mata rantai penyebaran covid-19. Pemutusan rantai penularan bisa
dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin. Yaitu dengan
cara sering mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau menggunakan hand
sanitizer, menggunakan masker dan tidak menyentuh area muka sebelum mencuci
tangan, serta menjaga jarak dalam setiap berkegiatan atau yang dikenal dengan istilah
3M (Dirjen P2P Kemkes RI, 2020).
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang tidak dapat sepelekan dalam
upaya pencegahan penularan penyakt ini. Penerapan protokol kesehatan guna
pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 terutama pada remaja memerlukan
pemahaman dan pengetahuan yang baik. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melihat hubungan pengetahuan remaja tentang Covid-19 dengan
kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan penularan
Covid-19

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan tentang berbagai cara
dalam mencapai pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, maka akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat (Notoadmodjo, 2010)
2. Konsep Covid-19
a) Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family
coronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk
dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah
SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International
Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab
Covid-19 sebagai SARS-CoV-2. Penelitian (Doremalen et al, 2020)

135
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada


permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan
kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-COV-2
sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas ( Kemenkes RI, 2020)
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan
manusia). Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini
masih belum diketahui. Masa inkubasi Covid-19 rata-rata 5-6 hari, dengan
range antara 1 dan 14 hari namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan
tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi
virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat
menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) dan
sampai dengan 14 hari setelah onset gejala.
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan
bahwa Covid-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik)
ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan
partikel berisi air dengan diameter >5-10 μm. Penularan droplet terjadi ketika
seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang
memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet
berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata).
Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang
terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu,
penularan virus Covid-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang
yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang
digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer).
Dalam konteks Covid-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam
keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan
aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian
pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke
posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif
noninvasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. Masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai transmisi melalui udara
b) Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara
bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun
dan tetap merasa sehat. Gejala Covid-19 yang paling umum adalah demam,
rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri
dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit
tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Menurut
data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan
mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk
pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan
mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh
setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multiorgan,
termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian.
Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada
sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes

136
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

dan kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan.


c) Diagnosis
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien
yang terduga terinfeksi Covid-19. Metode yang dianjurkan adalah metode
deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti
pemeriksaan RT PCR.
d) Tata Laksana
Hingga saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk
mencegah atau mengobati Covid-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi
simptomatis dan suportif. Ada beberapa kandidat vaksin dan obat tertentu yang
masih diteliti melalui uji klinis (Kemenkes RI, 2020)
3. Konsep Kepatuhan Penerapan Protokol Kesehatan
a) Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2003) kepatuhan adalah salah satu perilaku
pemeliharaan kesehatan yaitu usaha seseorang untuk memelihara kesehatan
atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha penyembuhan apabila sakit.
Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak
mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan
b) Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam menerapkan
protokol kesehatan
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan seseorang
diantaranya adalah pengetahuan, motivasi serta dukungan dari keluarga

C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan rancang
bangun cross sectional. Variabel independent dari penelitian ini adalah pengetahuan
remaja tentang Covid-19. Variabel dependent dari penelitian ini adalah kejadian
kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan. Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Mojokerto. Populasi dari penelitian ini adalah remaja yang berusia 15
sampai dengan 21 tahun sebanyak 153orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik probability sampling secara simple random sampling. Setelah
dihitung dengan menggunakan rumus, maka besar sampel yang diperoleh yaitu
sebanyak 111 orang. Analisa data dengan uji statistik Uji Spearman

D. HASILPENELITIAN
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Usia Remaja
Usia remaja Jumlah Persentase
Remaja awal (12-15) 0 0
Remaja madya (16-18) 77 69,4
Remaja akhir (19-22) 34 30,6
Jumlah 111 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitan
137
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

termasuk kepada kategori remaja madya (16-18 tahun) yaitu sebanyak 69,4 %
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Covid-19
Tingkat Pengetahuan Jumlah Persentase
Tinggi 72 64,9
Sedang 38 34,2
Rendah 1 0.9
Jumlah 111 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitan
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang Covid -19, yaitu sebanyak
64,9 %
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Remaja dalam Menerapkan
Protokol Kesehatan di Masa New Normal
Tingkat Kepatuhan Jumlah Persentase
Remaja
Patuh 17 15,3
Tidak patuh 94 84,7
Jumlah 111 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak patuh
terhadap protokol kesehatan di masa new normal yaitu sebanyak 94%
Tabel 4 Hubungan antara Pengetahuan Remaja Tentang Covid-19 dengan
Kepatuhan Remaja dalam Menerapkan Protokol Kesehatan di Masa
New Normal
H
aTingkat Kepatuhan Remaja dalam Menerapkan Total
Pengetahuan
s Protokol Kesehatan
remaja
i Tentang
Tidak Patuh Patuh
Covid-19
l
Frekue Presentase Frekuensi Presentase
u nsi (f) (%) (f) (%)
j
Kurang
i 1 100% 0 1
Sedang 32 84,2% 6 15.8% 38
b
Tinggi 61 84.7% 11 15.3% 72
i
v
Jumlah 94 84.7% 17 15.3% 111
a
p value 0.988
r
iat, didapat bahwa nilai p value Spearman-rank 0,988 > 0,050. Jadi berarti
tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan remaja tentang
covid-19 dengan kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan.

138
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

E. PEMBAHASAN
Corona virus atau yang dikenal dengan Covid-19 merupakan kasus pneumonia
baru yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Dalam waktu satu bulan,
penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan
Korea Selatan. Dan dalam waktu beberapa bulan, sudah menyebar ke seluruh dunia.
Upaya pencegahan penularan dalam adaptasi kebiasaan baru perlu dilakukan dengan
pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat dalam setiap aktifitas masyarakat.
Masyarakat termasuk didalamnya remaja dan anak-anak memiliki peran penting dalam
memutus mata rantai penularan Covid-19 ( Kemenkes RI, 2020).
Penularan Covid-19 dapat terjadi dimana saja. Di rumah, di perjalanan, tempat
kerja, tempat ibadah, tempat wisata maupun tempat lain dimana terdapat orang
berinteaksi sosial. Partikel berukuran kecil ini sangat mudah menyebar, seperti dalam
satu ruangan, ataupun dalam radius puluhan meter dari orang positif Covid-19 yang
sedang bersin ataupun batuk (Morawska & Cao, 2020). Potensi penumpukan partikel
yang diduga mengandung virus SARS-CoV-2 (Covid-19) sangat tinggi pada fasilitas
umum yang memiliki kepadatan orang relatif besar. Di ruangan dengan banyak orang
dinilai memiliki stabilitas virus SARS-CoV-2 yang tinggi, sehingga proses penularan
virus kepada orang yang sehat dapat terjadi dengan sangat mudah (Qian & Zheng,
2018).
Penerapan protokol kesehatan sangat diperlukan guna memutuskan mata rantai
Covid-19 ini. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan
air mengalir selama 40-60 detik, menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut
dengan tangan yang tidak bersih, menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang
menutupi hidung dan mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain,
menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari terkena droplet
sangat perlu dilakukan. Selain itu pola hidup yang sehat dan makan makanan bergizi
juga sangat berguna meningkatkan imunitas diri guna pencegahan penularan penyakit
ini (Kemenkes RI, 2020).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia
yakni, indera pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan. Sebagian
pengetahuan manusia didapat melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2012). Banyak
faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, diantaranya adalah tingkat
pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, lingkungan dan informasi yang
didapat (Mubarak, 2011).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja yang tinggi
tentang Covid-19. Tingkat pengetahuan yang tinggi bisa dikarenakan oleh tingkat
pendidikan mereka yang tinggi, sehingga lebih gampang untuk menerima berbagai
informasi terkait covid-19. Selain itu usia yang muda, membuat daya tangkap akan
informasi juga semakin baik. Banyaknya informasi yang beredar di media elektonik dan
internet, serta kemampuan untuk mengakses internet yang dimiliki membuat mereka
lebih gampang untuk mengakses berbagai informasi mengenai Covid-19.
Namun sebuah survey yang dilakukan oleh UNICEF terhadap 4000 remaja
terkait Covid-19 menunjukkan masih ada remaja (25%) yang tidak tahu sama sekali
tentang Covid-19. Ada yang tahu gejala penyakit ini, namun belum tahu cara
pencegahan. Terjadi peningkatan pengetahuan setelah difasilitasi dengan informasi

139
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

kepada remaja. Namun sebagian besar masih belum melakukan physical distancing
(Habibie, 2020).
Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak
mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan (Notoatmodjo,2003).
Kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau
melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat
kepatuhan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga
mematuhi rencana (Kozier, 2010)
Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan yang tinggi tentang Covid-19 pada
remaja tidak dikuti dengan tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang tinggi
juga. Tingkat kepatuhan juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya adalah
pengetahuan, motivasi serta dukungan dari keluarga(Kamidah, 2015). Mengingat
remaja mengalami perkembangan fisik, mental dan cognitive yang pesat, dukungan
keluarga sangat dibutuhkan untuk kesiapan diusia ini (U.S. Department of Health and
human Services, 2018; Youth.Gov, n.d.). Orang tua dan orang terdekat perlu
memberikan contoh dalam mematuhi peraturan pemerintah, dan mendorong remaja
untuk mengikuti ketentuan yang ada (American Academy of Pediatric, 2020; Volkin,
2020).Walaupun remaja sudah memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai Covid- 19,
tapi jika motivasi serta dukungan keluarga dan teman dekat masih kurang, pada
akhirnya membuat remaja tidak mematuhi protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-
hari pada saat ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara tingkat pengetahuan remaja tentang Covid-19 dengan kepatuhan dalam
menerapkan protokol kesehatan dimasa new normal. Penelitian ini tidak sejalan dengan
yang dilakukan oleh Devi Pramita Sari, dkk (2020) dimana adanya hubungan antara
pengetahuan masyarakat terhadap kepatuhan dalam menggunakan masker sebagai
pencegah penularan Covid-19. Perilaku penerapan protokol kesehatan pada masa
sekarang ini memang seharusnya didasarkan atas kesadaran masyakat sendiri, karena
banyak masyarakat yang sebenarnya telah mengetahui berbagai pengetahuan terkait
protokol kesehatan ataupun pandemi COVID-19 namun tidak dapat melaksanakannya
secara baik di dalam kehidupannya sehari-hari (Tentama, 2018).

F. PENUTUP
1. Kesimpulan
a) Sebagian besar usia remaja merupakan adalah remaja madya (16-18 tahun)
sebanyak 69,4 %.
b) Sebagian besar tingkat pengetahuan responden yang tinggi tentang Covid -19,
yaitu sebanyak 64,9 %.
c) Sebagian besar responden tidak patuh terhadap protokol kesehatan di masa new
normal yaitu sebanyak 94%.
d) Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan remaja tentang
Covid-19 dengan kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan.
2. Saran
Pengetahuan tentang Covid-19 dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan

140
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

dipengaruhi oleh banyak faktor. Remaja harus diberikan informasi dan pengetahuan
yang akurat mengenai Covid-19 serta diberikan dukungan dan motivasi untuk lebih
meningkatkan dalam mematuhi protokol kesehatan

G. DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatric. (2020). Teens & COVID-19: Challenges and
Opportunities During the Outbreak. Healthy Children.
https://www.healthychildren.org/English/health-
issues/conditions/chestlungs/Pages/Teens-and-COVID-19.aspx
Detik.com (2020). Layanan publik terpapar covid-19 mojokerto diminta
tingkatkanpencegahan Diakses tanggal 20 September 2020 jam 20.30
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI
(2020),Pedoman Pencegahan Dan Pengendalan Corona Virus Disease
(Covid-19) Revisi ke-4. Kemenkes Ri. Jakarta
Habibie, N. (2020). UNICEF Survei 4.000 Remaja Terkait Covid-19, 70 Persen
Percaya Langkah Pemerintah.Merdeka.Com.
https://www.merdeka.com/peristiwa/unicef-survei-4000-remaja-terkait-
covid-19-70-persenpercaya-langkah-pemerintah.html
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5178938/layanan-publik-terpapar-covid-19-
mojokerto-diminta-tingkatkan-pencegahan
https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-23755272/update-corona-jawa-timur-
19-september-2020-yes-429-sembuh
Kamidah. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet besi di Puskesmas Simo Boyolali. Gaster XII (1)
Kementerian Kesehatan RI (2020),Pedoman Pencegahan Dan Pengendalan Corona
Virus Disease (Covid-19) Revisi Ke-5. Kemenkes RI. Jakarta
Kompas.com. (2020). Update Covid-19 di Dunia 20 September: 30,9 Juta Infeksi | 10
Negara dengan Kasus Terbanyak. Diakses tanggal 20 September 2020 jam
20.00 https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/20/071500565/update-
covid-19-di-dunia-20-september--30-9-juta-infeksi-10-negara-
dengan?page=all
Kozier. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC
Morawska, L., & Cao, J. (2020). Air borne transmission of SARS-CoV-2: The world
should face the reality. Environment International, 139(1), 1–
3.https://doi.org/10.1016/j.envint.2020.105730
Mubarak, W. 2011. Promosi Kesehatan Masyarakat untuk Kebidanan. Jakarta. Salemba
Notoatmojo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta : Jakarta.
Notoatmojo, 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta : Jakarta.
Qian, H., & Zheng, X. (2018). Ventilation control for air borne transmission of human
exhaled bio-aerosols inbuildings. Journal of Thoracic Disease,10(Suppl 19),
S2295–S2304.https://doi.org/10.21037/jtd.2018.01.24

141
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020

Sari, DP. (2020). Hubungan Antara Pengetahuan Masyarakat Dengan Kepatuhan


Penggunaan Masker Sebagai Upaya Pencegahan Penyakit Covid-19 Di
Ngronggah 2020. Jurnal Infokes Vol 10 No 1, Fakultas Kesehatan,
Universitas Duta Bangsa
Tentama, F. (2018). Penerapan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs) Demi
Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Jawa
Tengah. Jurnal Pemberdayaan: Publikasi Hasil Pengabdian Kepada
Masyarakat, 1(1), 13. https://doi.org/10.12928/jp.v1i1.309
U.S. Department of Health and human Services, O. of A. H. (2018). Adolescent
development explained. U.S. Government Printing Office.
https://www.hhs.gov/ash/oah/adolescent-development/explained/
U.S. Government Printing Office. www.hhs.gov/ash/oah/adolescent-
development/explained/
Zona Banten.com(2020). Update Corona Jawa Timur 19 September 2020, Yes! 429
Sembuh. Diakses tanggal 20 September 2020 jam 20.45

142
UNDANGAN ELEKTRONIK
DAFATAR HADIR

Time stamp NAMA ALAMAT


13/01/2021
10:20:25 Dwi Riyanti Batu Ampar 3/2 kramat jati
16/01/2021 Kp. Jakimun Rt 01/08 Desa Sukamaju
6:55:40 Zodi Nugroho Kecamatan Cibungbulang Kab. Bogor
16/01/2021 Shinta Aulia Hantoro,
7:20:23 A.Md.AK, S.Si Pondok melati, kota bekasi
16/01/2021
8:13:17 Indah Dwi Haryanti Jl. Celepuk 1 Pondok Gede
16/01/2021 Jl. Palmerah Utara IV, Rt 06/Rw 07 no. 16.
8:57:46 Indri Alief Sukamto Jakarta Barat
16/01/2021
9:03:23 Linastarni Tambun selatan
16/01/2021
9:03:53 Kiki Zakiah Jl. Rs. Polri
16/01/2021 Jl.waru gg.masjid nurul iman bambu apus
9:05:03 Niku Maymilu Tampi cipayung jaktim
16/01/2021
9:07:53 Suri Depok
16/01/2021 Jl. Pahlawan revolusi. Perum pondok bambu
9:09:42 Merry Siboro permai blok Aj No 8
16/01/2021
9:11:50 Asmayati Cilebut
16/01/2021 Indira responden yeni Jln. Damai 1 rt 004 rw 03 jati sari jatiasih
9:12:09 puspasari bekasi
16/01/2021
9:17:16 Nani rachmawati Jl nusa IV rt 12 rw 03 no 29 kramat jati
16/01/2021
9:17:53 Refky alkarim Batu ampar 1 condet
16/01/2021
9:17:56 Zafarani Ciracas Jakarta timur DKI Jakarta
16/01/2021
9:18:32 Patmiyanti puji lestari Graha prima baru
16/01/2021 Jalan karya utama 2 no 48b. Gandaria utara
9:18:41 Syifa nurul f. keb baru, jaksel
16/01/2021
9:18:56 Fictor Jl Nusa 1 Rt 4 Rw 3,kramat jati,jakarta timur
16/01/2021
9:19:17 Syaifudin Nur hidayat Kpad Bulak rantai
16/01/2021 Jln. Damai 1 rt 004 rw 03 jati sari jatiasih
9:19:38 Indira Ramadhanti Bekasi
16/01/2021
9:19:48 Putri Mekarsari
16/01/2021
9:47:43 Eka apriyani Komplek polri blok c rt 006/04 no 22
16/01/2021 Jl.swakarsa 1B no 12a Rt/RW 006/003 ,
9:54:42 Chici Khana Liya pondok kelapa Jakarta timur
16/01/2021
9:54:53 Syafa Pondok melati
16/01/2021
9:55:30 Anton Jl Mega, Halim, Jakarta Timur
16/01/2021
10:01:54 Susi Kramat jati
16/01/2021
10:02:25 Yeti sariyanti Dusun krajaan RT 01 RW 01 desa kaotan
16/01/2021
10:04:16 Lisna Cikarang
16/01/2021
10:08:11 Isnani Jln purimas 1 no 14
16/01/2021
10:41:14 Wendy winata Jaktim. Kramatjati. Kampung tengah.
16/01/2021
10:42:09 Wendy winata Jaktim, Kramatjati. Kampung tengah
16/01/2021
10:43:52 Lisna Adiarti Cikarang
16/01/2021
10:57:45 Suherman Cibinong
16/01/2021
11:05:36 Dian ND Cibinong Bogor
16/01/2021
11:21:22 Putri riyanti Mekarsari
16/01/2021
11:41:58 Erren dhini Kramat jati
16/01/2021
11:42:09 asliani jl rambutan rt 001/ rw 011 No 11 bekasi
16/01/2021
12:00:54 Echon Bekasi
16/01/2021
12:29:53 Sonia Jalan Rambutan Indah
16/01/2021
12:33:05 Woro puspaningrum Asr den ang mor
16/01/2021
15:02:32 Poppy wulandari Jl. Swadaya XIV No. 55 pulogebang cakung
DOKUMENTASI KEGIATAN

LINK GOOGLE FORM

A. Link daftar Hadir : https://forms.gle/SFPpyWpzbHzsN4SJ8


B. Link pre test : https://forms.gle/7X8HDYbHAtnxkp5N7
C. Ling post test : https://forms.gle/5D4ku9wxpGvgBG7y9
HASIL PRE TEST

Bentuk respon tubuh seseorang yang


memiliki beban pekerjaan berlebihan
sehingga jika seseorang tersebut tidak
sanggup mengatasinya maka orang
tersebut dapat mengalami gangguan…

Stress 33;85%

Managemen Stress 6;15%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan pertama ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban stres ada 33 orang (85%), menjawab salah 6 orang (15%)
Dibawah ini merupakan sift-sifat stress,
kecuali....

Stress Positif 6;15%

Stress Asertif 22;56%

Stress negatif 1;3%

Stress negatif menjadi… 10;26%

0 5 10 15 20 25
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kedua ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban stres asertif ada 22 orang (56%), menjawab salah 17 orang (44%)
Suatu teknik dalam meningkatkan
kesadaran denngan membatasi kesadaran
pada satu obyek situasi yang tidak
berubah pada waktu tertentu adalah
salah satu management stress disebut....
Meditasi 17;44%
Relaksasi 15;38%
Distraksi 7;18%

0 5 10 15 20
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ketiga ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Relaksasi ada 17 orang (44%), 22 orang(62%) menjawab salah
berapa lama cara mencuci tangan degan
menggunakan hand sanitaizer ?

20 - 30 detik 32;82%

10 - 40 detik 3;8%

50 - 60 detik 3;8%

60 - 70 detik 1;2%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan keempaat ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 20-30 detik ada 32 orang (82%), 7 orang (18% )menjawab salah
apa yang harus dilakukan saat new
normal?

sering mencuci tangan


menggunakan sabun atau 38;97%
hand sainitaizer

Tidak menggunakan masker 1;3%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kelima ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sainitazer ada
38 orang (97%), yang menjawab salah 1 orang (3%)
jika mengalami gejala indra penciuman
hilang dan indra perasa hilang dan
demam apa yang harus di lakukan?
di sarankan kerumah sakit
dan melakukan pmeriksaan 38;97%
pcr

di ajurkan mencuci tangan 1;3%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan keenam ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban disarankan ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan pcr ada 38
orang (97%), yang menjawab salah ada 1 orang (3 %)
apasajakah tanda dan gejala dari
penyalahgunaaan Narkoba?
Cepat tersinggung dan… 30;77%
sering tidur, Cepat… 4;10%
sering tidur 2;4%
sering bergaul dengan… 1;3%
sering bergaul dengan… 1;3%
prestasi sekolah maupun… 1;3%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan tujuh ada 39 responden yang menjawab
benar dengan jawaban cepat tersinggung dan mudah marah ada 30 orang (77%), 9 orang (23%
)menjawab salah
apasajakah komplikasi dari
penyalahgunaan narkoba?

HIV 35;90%

Gagal Ginjal 3;8%

Diare 1;2%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ke delapan ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban HIV ada 35 orang (90%) dan yang menjawab salah 4 orang (10%)
Bagaimanakah cara berkomunikasi yang
baik untuk menolak menggunakan
narkóba? ?

"terimakasih, tapi sya tidak


38;97%
mau melakukannya"

"anda saja yang memakai


narkoba, saya ogah menjadi 1;3%
kamu"

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan sembilan ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban terimakasih, tapi saya tidak mau melakukannya ada 38 orang (97%),
yang menjawab salah 1 orang (3%)
keadaan sehat secara fisik, mental dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi dan
proses reproduksi adalah pengertian
dari?
Kesehatan Mental 6;15%
Kesehatan Fisik 7;18%
Kesehatan Reproduksi 26;67%
0 5 10 15 20 25 30
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kesepuluh ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban kesehatan reproduksi ada 26 orang (67%), yang menjawab salah ada
13 (33%)
cara menjaga kebersihan organ vital pada
wanita adalah...

Pakaian dalam diganti


37;94%
minimal 2 kali dalam…

mandi 1 kali sehari 1;3%

jarang mengganti selana


1;3%
dalam

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kesebelas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban pakaian dalam diganti 2 kali dalam sehari ada 37 orang (94%),
menjawab salah 2 orang (6%)
alat apa yang digunakan untuk
mengompres ketika nyeri?

39;100%

buli-buli atau Warm Water


Zack

0 10 20 30 40 50
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ke dua belas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban buli-buli atau WWZ ada 39 orang (100%), tidak ada yang menjawab
salah
Berapa suhu yang digunakan untuk
mengompress?

40 - 45 C 25;64%

30 - 40 C 12;31%

60 - 70 C 2;5%

0 5 10 15 20 25 30
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ke tigabelas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 40-45 C ada 25 orang (64%), yang menjawab salah 14 orang (36%)
apa yang perlu diperhatikan saat
mengompres?

air yang bersuhu 40-45 c,


13;33%
buli-buli atau WWZ dibalut…

Mengganti air panas 10


5;13%
menit untuk…

semua jawaban benar 21;54%

0 5 10 15 20 25
Series 1

Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan empat belas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban semua benar ada 21 orang (54%), yang menjawab salah 18 orang
(47%)
Bentuk respon tubuh seseorang yang
memiliki beban pekerjaan berlebihan
sehingga jika seseorang tersebut tidak
sanggup mengatasinya maka orang
tersebut dapat mengalami gangguan…
27;
Stress
77%
Managemen Stress 8;23%

0 5 10 15 20 25 30
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan pertama ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Stres ada 27 orang (77%), 8 orang (23%) menjawab salah
Dibawah ini merupakan sift-sifat stress,
kecuali....

Stress Positif 4;12%

Stress Asertif 19;54%

Stress negatif menjadi stress


12;34%
positif

0 5 10 15 20
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kedua ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Stres asertif ada 19 orang (54%), 16 orang menjawab salah
Suatu teknik dalam meningkatkan
kesadaran denngan membatasi kesadaran
pada satu obyek situasi yang tidak
berubah pada waktu tertentu adalah
salah satu management stress disebut....
Meditasi 14;40%
Relaksasi 16;46%
Distraksi 5;14%

0 5 10 15 20
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ketiga ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Relaksasi ada 16 orang (46%), 19 orang menjawab salah
berapa lama cara mencuci tangan degan
menggunakan hand sanitaizer ?

20 - 30 detik 30;86%

10 - 40 detik 2;6%

50 - 60 detik 2;6%

60 - 70 detik 1;2%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan keempaat ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 20-30 detik ada 30 orang (86%), 5 orang (14% )menjawab salah
apa yang harus dilakukan saat new
normal?

sering mencuci tangan


menggunakan sabun atau 35;100%
hand sainitaizer

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kelima ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sainitazer ada
35 orang (100%), tidak ada yang menjawab salah
jika mengalami gejala indra penciuman
hilang dan indra perasa hilang dan
demam apa yang harus di lakukan?

di sarankan kerumah sakit


dan melakukan pmeriksaan 35;100%
pcr

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan keenam ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 20-30 detik ada 30 orang (86%), 5 orang (14% )menjawab salah
apasajakah tanda dan gejala dari
penyalahgunaaan Narkoba?

Cepat tersinggung dan… 30;86%

sering tidur, Cepat… 2;6%

sering tidur 1;4%

sering bergaul dengan… 1;4%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan tujuh ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban cepat tersinggung dan mudah marah ada 30 orang (86%), 5 orang
(14% )menjawab salah
apasajakah komplikasi dari
penyalahgunaan narkoba?

HIV 35;100%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ke delapan ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban HIV ada 35 orang (100%) dan tidak ada yang menjawab salah
Bagaimanakah cara berkomunikasi yang
baik untuk menolak menggunakan
narkóba? ?

"terimakasih, tapi sya tidak


mau melakukannya" 35;100%

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan sembilan ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban terimakasih, tapi saya tidak mau melakukannya ada 35 orang (100%),
tidak ada yang menjawab salah
keadaan sehat secara fisik, mental dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi dan
proses reproduksi adalah pengertian
dari?
Kesehatan Mental 6;6%
Kesehatan Fisik 7;20%
Kesehatan Reproduksi 26;74%
0 5 10 15 20 25 30
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kesepuluh ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban kesehatan reproduksi ada 26 orang (74%), yang menjawab salah ada
13 (26%)
cara menjaga kebersihan organ vital pada
wanita adalah...

Pakaian dalam diganti


33;94%
minimal 2 kali dalam…

mandi 1 kali sehari 1;3%

jarang mengganti selana


1;3%
dalam

0 10 20 30 40
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kesebelas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban pakaian dalam diganti 2 kali dalam sehari ada 33 orang (94%),
menjawab salah 2 orang (6%)
alat apa yang digunakan untuk
mengompres ketika nyeri?

buli-buli atau Warm Water


35;100%
Zack

0 10 20 30 40 50
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ke dua belas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban buli-buli atau WWZ ada 35 orang (100%), tidak ada yang menjawab
salah
Berapa suhu yang digunakan untuk
mengompress?

40 - 45 C 28;80%

30 - 40 C 3;9%

60 - 70 C 4;11%

0 5 10 15 20 25 30
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ke tigabelas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 40-45 C ada 28 orang (80%), yang menjawab salah 7 orang (20 %)
apa yang perlu diperhatikan saat
mengompres?

air yang bersuhu 40-45 c,


9;25%
buli-buli atau WWZ dibalut…

Mengganti air panas 10


3;9%
menit untuk…

semua jawaban benar 23;66%

0 5 10 15 20 25
Series 1

Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan empat belas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban semua benar ada 23 orang (66%), yang menjawab salah 12 orang
(34%)

Anda mungkin juga menyukai