Pre Planning ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Klinik Stase Keperawatan
Oleh :
A. LATAR BELAKANG
Keperawatan Komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional yang
ditujukan kepada masyarakat dengan pendekatan pada kelompok resiko tinggi
dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui pencegahan
penyakit dan peningkatan kesehatan dengan menjamin keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai mitra dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan keperawatan. Pelayanan
Keperawatan Komunitas adalah seluruh masyarakat termasuk individu, keluarga
dan kelompok yang beresiko tinggi seperti keluarga penduduk didaerah kumuh,
daerah terisolasi dan daerah yang tidak terjangkau termasuk kelompok bayi,
balita, lansia dan ibu hamil (Veronica, Nuraeni, & Supriyono, 2017).
Komunitas berarti sekelompok individu yang tinggal pada wilayah
tertentu, memiliki nilai-nilai keyakinan dan minat yang relative sama, serta
berinteraki satu sama lain untuk mencapai tujuan. (Ratih Dwi Ariani, 2015)
Berbagai definisi dari keperawatan kesehatan komunitas telah dikeluarkan
oleh organisasi-organisasi profesional. Berdasarkan pernyataan dari American
Nurses Association (2014) yang mendefinisikan keperawatan kesehatan
komunitas sebagai tindakan untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan
dari populasi dengan mengintegrasikan ketrampilan dan pengetahuan yang sesuai
dengan keperawatan dan kesehatan masyarakat. Praktik yang dilakukan
komprehensif dan umum serta tidak terbatas pada kelompok tertentu,
berkelanjutan dan tidak terbatas pada perawatan yang bersifat episodik. (Effendi
& Makhfudli, 2010).
Remaja adalah periode perkembangan dimana individu mengalami
perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Potter & Perry, 2015).
Masa remaja terbagi atas tiga tahap yaitu masa remaja awal: usia sebelas tahun
sampai empat belas tahun, masa remaja pertengahan, usia lima belas tahun
sampai tujuh belas tahun dan masa remaja akhir, usia delapan belas tahun sampai
dua puluh tahun (Wong, 2018). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa yaitu antara usia sebelas tahun sampai empat belas
tahun hingga dua puluh tahun (Wong, 2018).
Penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja merupakan tindakan yang
tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat
dinamakan perilaku menyimpang. Penyimpangan terjadi apabila seseorang atau
sekelompok orang tidak mematuhi norma atau patokan dan nilai yang sudah baku
di masyarakat. Penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat
disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan
penyimpangan ini disebut dengan devian (deviant). Dalam kehidupan keseharian
fenomena tersebut hadir bersamaan dengan fenomena sosial yang lain, oleh sebab
itu untuk dapat memahaminya sebagai masalah sosial, dan membedakannya
dengan fenomena yang lain dibutuhkan suatu identifikasi (Soetomo, 2013 : 28).
Tingkat penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja Indonesia terus
mengalami peningkatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2018, setidaknya ada 2,2 juta remaja dari
13 provinsi di Indonesia yang menggunakan narkoba.
Kesehatan reproduksi pada remaja perlu diperhatikan, karena remaja
merupakan generasi penerus bangsa. Masa remaja ditandai dengan percepatan
perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional. Perubahan paling awal yang
terjadi pada remaja yaitu perkembangan secara fisik atau biologis, salah satunya
remaja mulai menstruasi. Menstruasi yang dialami para remaja wanita dapat
menimbulkan masalah, salah satunya adalah dismenore. Dismenore merupakan
masalah ginekologis yang paling umum dialami wanita usia remaja. Dismenore
yang dialami remaja berkaitan dengan terjadi ovulasi sebelumnya serta ada
hubungan dengan kontraksi otot uterus dan sekresi prostaglandin (dismenore
primer).
Pada sebagian kaum remaja, dismenore primer merupakan siksaan
tersendiri yang harus dialami setiap bulannya, sehingga remaja harus dapat
mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Banyak cara untuk
menghilangkan/menurunkan nyeri haid, baik secara farmakologis maupun
nonfarmakologis. Manajemen non-farmakologis lebih aman digunakan karena
tidak menimbulkan efek samping seperti obat-obatan. Cara nonfarmakologis
untuk meredakan dismenore, antara lain dengan abdominal stretching exercise
dan terapi minum air putih. Pada penelitian ini kombinasi terapi tersebut
Remaja putri rentan terkena infeksi organ reproduksi. Hal ini terjadi
karena kurangnya perilaku dalam merawat kebersihan diri terutama saat
mengalami menstruasi. Remaja putri memiliki tingkat perhatian yang rendah
terkait kesehatan reproduksi. Menurut hasil dari penelitian yang telah dilakukan
oleh Wulandari tahun 2012, didapatkan bahwa pengetahuan yang diterima oleh
remaja putri berusia 13 hingga 16 tahun tentang perawatan alat reproduksi
eksternal ketika menstruasi sebagian besar adalah cukup, yaitu 63 persen. Selain
itu, perilaku dalam melakukan perawatan terhadap organ reproduksi eksternal
yang mayoritas dalam frekuensi cukup sejumlah 48 persen.
Dikutip dari Netralnews.Com 2017. Psikolog dari Himpunan Psikologi
Indonesia (Himpsi), Sinaga mengungkapkan suatu studi di Kota Surabaya
menunjukkan 68% orang yang depresi di kota Pahlawan tersebut dialami oleh
remaja. Remaja yang tidak bisa mengikuti perkembangan ataupun gaya hidup
pada lingkungan sosialnya bisa berpengaruh pad atingkat stress dan
menjerumuskan pada depresi. Data Riskesdas 3013 menunjukkan prevalensi
gejala-gejala depresi dan kecemasan yang emnunjukkan gangguan mental
emosional uantuk usia 15 tahun. Keatas amencapai sekitar 14 juta orang atau 6%
dari jumlah penduduk Indonesia. Stress perlu diteliti karena berdampak buruk
bila terjadi berkepanjangan. Stress berkepanjangan berkaitan dengan peningkatan
merokok, penggunaan narkoba, kecelakaan msalah tidur dan gangguan makan
(Barseli, M., & Ifdil, I. (2017).
Penyakit Covid 19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga
menyerang anak-anak dan remaja. Berdasarkan Laporan Pusat Pengendalan
Dan Pencegahan. Penyakit Amerika (CDC) menunjukkan bahwa anak -anak
dan remaja lebih beresiko untuk mengalami komplikasi terkait penyakit
Covid-19. Dari data yang dikumpulkan pada bulan Februari sampai dengan Juli
2020 didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak dan remaja yang meninggal
karena penyakit yang terkait penyakit Covid-19 berusia 10-20 tahun
(Kompas.com, 2020) Cara terbaik untuk penanggulangan dan pencegah
penyakit ini adalah dengan memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Pemutusan rantai penularan bisa dilaksanakan dengan menerapkan
protokol kesehatan secara disiplin. Yaitu dengan cara sering mencuci tangan
dengan air mengalir dan sabun atau menggunakan hand sanitizer,
menggunakan masker dan tidak menyentuh area muka sebelum mencuci
tangan, serta menjaga jarak dalam setiap berkegiatan atau yang dikenal
dengan istilah 3M (Dirjen P2P Kemkes RI, 2020).Remaja merupakan bagian
dari masyarakat yang tidak dapat sepelekan dalam upaya pencegahan
penularan penyakt ini. Penerapan protokol kesehatan guna pemutusan
mata rantai penyebaran Covid-19 terutama pada remaja memerlukan
pemahaman dan pengetahuan yang baik. Oleh karena itu tujuan dari
penelitian ini adalah untuk melihat hubungan pengetahuan remaja
tentang Covid-19 dengan kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan
sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19.
Permasalahan ini disebabkan oleh pendidikan yang tergolong rendah dan
memiliki usia yang relatif muda diasumsikan tidak memiliki faktor pemungkin
untuk terkena suatu penyakit yang dapat menyerang organ reproduksi (Sari,
2012). Sementara itu, Lely tahun 2012 mengungkapkan peningkatan kejadian
infeksi pada organ reproduksi dapat dipengaruhi oleh zaman globalisasi
diwujudkan dengan lebatnya aliran informasi yang deras dan cepat.
Tahap analisa data merupakan tahap kedua dari proses keperawatan yang
didasari dari hasil pengkajian yang telah dilakukan melalui wawancara, kuesioner
dan observasi. Sedangkan perencanaan dalam proses keperawatan merupakan
tahap penentuan dari rencana-rencana tindakan keperawatan yang akan
diimplementasikan berdasarkan hasil pengkajian dan masalah yang ditemukan.
Analisa data mencakup data subjektif dan data objektif yang menyangkut
data tentang kesehatan responden. Analisa data dibuat dalam rangka untuk
menetapkan masalah keperawatan yang muncul di masyarakat (responden)
Setelah itu, masalah yang ada diprioritaskan bersama masyarakat untuk
menentukan perencanaan keperawatan yang tepat.
Berdasarkan hasil pengkajian data melalui kuesioner, observasi dan
wawancara dengan responden ditemukan beberapa permasalahan kesehatan yang
terjadi di masyarakat. Berdasarkan permasalahan tersebut dibuat suatu analisa
kemudian diprioritaskan sehingga dapat dirumuskan suatu perencanaan dan
intervensi keperawatan. Perencanaan dan intervensi keperawatan didasari dari
hasil analisa data yang telah diolah. Intervensi keperawatan yang telah
direncanakan diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ditemukan di
masyarakat.
Setelah dilakukan pengkajian pada tanggal 28 Desember 2020 s/d 15
Januari 2021 , didapatkan data tentang masalah kesehatan, salah satunya adalah
Pemeliharaan kesehatan Remaja cenderung beresiko. Berbagai masalah kesehatan
yang ditemukan akan diberikan intervensi sesuai dengan kesepakatan antara
masyarakat dengan mahasiswa pada saat kegiatan Musyawarah Masyarakat Desa
I.
Musyawarah Masyarakat Desa I dilaksanakan sebagai suatu wadah untuk
mengajak masyarakat bekerjasama dalam hal mengenal masalah kesehatan yang
terjadi serta bersama-sama membantu menentukan perencanaan dan intervensi
keperawatannya. Peran serta masyarakat dalam kegiatan ini diharapkan mampu
menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi oleh responden.
TUJUAN UMUM :
Masyarakat mampu memahami tentang bahaya narkoba, manajemen nyeri dan
merawat kebersihan, organ vital, menerapkan management stress pada remaja dan
melakukan persiapan menghadapi new normal berdasarkan prioritas masalah
yang ada di masyarakat.
B. TUJUAN KHUSUS :
a. Mampu menjelaskan bahaya narkoba
b. Mampu menjelaskan manajemen nyeri dan merawat kebersihan organ vital
(Responden)
c. Mampu menjelaskan stress dan cara melakukan management stress dengan cara
meditasi
d. Mampu menerapkan persiapan new normal
e. Mampu menentukan rencana yang akan di lakukan untuk bahaya
narkoba,manajemen nyeri, merawat kebersihan organ vital (Responden),
management stress dan pesiapan menghadapi new normal pada remaja.
C. PELAKSANAAN
Hari/ tanggal : Hari/Tanggal : Rabu, 14 Januari 2021
Waktu : Pukul : 14.00 WIB – 15.00 wib
Tempat : Via zoom
Metode : Diskusi, musyawarah, presentasi/paparan
Media : Laptop, Link zoom, PPT
Materi : implementasi dari masalah yang ditemukan dan telah
disepakati dengan responden.
D. STRUKTUR PENGORGANISASIAN :
1. Pembawa Acara : Lela Maeirta, S.kep
2. Host Zoominar : Rena Ivana Pinem, S.Kep
3. Time Keeper : kharisma, S.Kep
4. Sambutan : Rena ivana pinem, S.Kep
5. Penyaji : Bernadete Agatha, S.Kep
: Rena Ivana Pinem, S. Kep
: Lela Maeirta Nur Hazlinda, S. Kep
: Kharisma Dewi Oktariana, S. Kep
:Yeni Puspasari, S. Kep
6. Notulen : Yeni, S.Kep
E. STRATEGI PELAKSANAAN
No. Acara Kegiatan
1. Pembukaan - Pembukaan
10 Menit - Membaca Doa
- Memperkenalkan Team
- Menjelaskan Tujuan
- Mengirim Daftar hadir responden ke
ruang chat
- Pengisian soal Pre Test berbentuk
google form
2 Pelaksanaan Nara Sumber :
65
. menit
1. Rena Ivana Pinem, S. Kep
Topik : Edukasi bahaya narkoba
2. Bernadete Agata Palupi, S. Kep
Topik : edukasi management nyeri saat Haid
3. Kharisma Dewi Oktariana, S. Kep
Topik: cara merawat organ vital
4. Lela Maeirta N, S. Kep
Topik : management stress dengan Meditasi
5. Yeni Puspasari, S. Kep
Topik : persiapan new normal
F. KRITERIA EVALUASI
1. Struktur
a. Waktu pelaksanaan musyawarah dengan resonden telah ditetapkan.
b. Tempat dan perlengkapan acara telah disiapkan.
c. Materi dan media atau alat bantu telah disiapkan.
d. Undangan telah dibuat.
e. Panitia penyelenggara telah dibentuk.
2. Proses
a. Masyarakat yang hadir sesuai dengan undangan.
Masyarakat antusias mengikuti penyuluhan tentang bahaya narkoba, manajemen
nyeri, merawat kebersihan organ vital, management stress dan persiapan new
normal
b. Masyarakat bisa menerima masalah kesehatan yang ada
c. Media dapat digunakan.
d. Acara dapat berjalan lancar
3. Hasil
a. Kehadiran warga masyarakat mencapai 80 % dari total undangan yang diberikan
ke Masyarakat /Responden
b. Tersusun perencanaan implementasi kesehatan yang akan dilakukan dengan
tujuan untuk merubah prilaku masyarakat /Responden
c. Teridentifikasi masalah kesehatan di masyarakat /Responden
d. Terbentuk Kelompok Kerja kesehatan (POKJAKES) masyarakat /Responden
*Sertakan lampiran yang diperlukan untuk setiap tahap pertemuan dengan masyarakat
*Lampirkan materi (jika berada di tahap pelaksanaan dan evaluasi) dengan sumber / rujukan
DAFTAR PUSTAKA
Inut A & Putu L.P. (2016). Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Dismenore pada
Mahasiswi D3 Kebidanan Angkatan 2014 Di Whn Malang. Nursing News, 1, 190–199.
Elvika F. (2015). Dismenore Primer dengan Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Keperawatan, III,
55–62.
Ernawati. (2010). Terapi Relaksasi terhadap Nyeri Dismenore pada Mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Keperawatan, (18).
Hayati. (2018). Efektivitas Terapi Kompres Hangat terhadap Penurunan Nyeri Dismenore
pada Remaja di Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, VI(2), 156– 164.
Husna. (2018). Perbedaan Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Sesudah Diberikan
Kompres Hangat pada Remaja Putri di Universitas Dharmas Indonesia. Journal for
Quality in Women’s Health, 1(2), 43–49.
https://doi.org/10.30994/jqwh.v1i2.16
Karimah. (2018). Perbedaan Efektivitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Kompres Hangat
dalam Penurunan Nyeri Dismenore Jurnal Keperawatan Silampari, 2(1).
Sasaran : Remaja
A. Tujuan
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada Remaja diharapkan peserta dapat mengerti dan
mengetahui manfaat dan cara mengkompres hangat yang benar .
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada remaja selama 2x 30 menit diharapkan mampu
menjelaskan tentang :
E. Sasaran
F. Strategi Pelaksanaan
G. Setting
Peserta penyuluhan dengan tempat duduk berhadapan dengan penyaji
H. Evaluasi
1. Evaluasi Struktural
• Membuat SAP
• Kontrak Waktu
• Menyiapkan Peralatan
• Setting
Zoominar
2. Evaluasi Proses
• Peserta
1. Latar Belakang
Kompres hangat adalah tindakan dengan menggunakan kain atau handuk yang telah
dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada bagian tubuh tertentu sehingga dapat
memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh (Maharani dalam Wardiyah 2016)
Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan cairan atau alat
yang dapat menimbulkan hangat atau dingin pada bagian tubuh yang memerlukan.
Kompres meupakan metode untuk menurunkan suhu tubuh (Ayu, 2015).
d. Kekejangan otot
DAFTAR PUSTAKA
Inut A & Putu L.P. (2016). Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Dismenore pada
Mahasiswi D3 Kebidanan Angkatan 2014 Di Whn Malang. Nursing News, 1, 190–199.
Agustina. (2019). Perbedaan Pengaruh Abdominal Streching Exercise dengan Kompres Hangat
terhadap Penurunan Nyeri Haid pada Mahasiswi
Elvika F. (2015). Dismenore Primer dengan Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Keperawatan, III, 55–
62.
Ernawati. (2010). Terapi Relaksasi terhadap Nyeri Dismenore pada Mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Keperawatan, (18).
Hayati. (2018). Efektivitas Terapi Kompres Hangat terhadap Penurunan Nyeri Dismenore pada
Remaja di Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, VI(2), 156– 164.
Husna. (2018). Perbedaan Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Sesudah Diberikan
Kompres Hangat pada Remaja Putri di Universitas Dharmas Indonesia. Journal for Quality
in Women’s Health, 1(2), 43–49.
https://doi.org/10.30994/jqwh.v1i2.16
Karimah. (2018). Perbedaan Efektivitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Kompres Hangat
dalam Penurunan Nyeri Dismenore Jurnal Keperawatan Silampari, 2(1).
Luvita. (2015). Tingkat Pengetahuan Remaja Putri pada Penanganan Dismenore Primer dengan
Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Kebidanan, III, 55–62.
Miftahul & Khairiyatul. (2018). Perbedaan Efektivitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan
Kompres Hangat Dalam Penurunan Nyeri Dismenore. Jurnal Keperawatan Silampari, 2(1).
Murtiningsih. (2015). Penurunan Nyeri Dismenore Primer melalui Kompres Hangat pada
Remaja, 3.
Narsih U, Rohmatin H, & Widayati. (2017). Efektivitas Penanganan Dismenore dengan Kompres
Hangat dan Obat Anti Nyeri pada Remaja Putri. Sain Med, 9, 53.
Susanti & Putri. (2016). Kompres Hangat terhadap Tingkat Nyeri Dismenore. Jurnal
Keperawatan, 2, 1–6.
Herdman & Komitsuru. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi
10. Terjemahan oleh: Budi Anna Keliat. Jakarta: EGC
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
Npm : 195140066
Petugas Perawat
Peralatan
a. Buli- buli atau warm water zack (WWZ)
b. Kain
c. Thermometer air jika ada
d. Air hangat suhu 40-450C
B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan indentitas klien dan menyampaikan kontrak
waktu
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur
4. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
C. Tahap Kerja
1.cucit angan
2. Menyiapkan alat dan bahan
3. Siapkan air hangat yang sudah diukur dengan thermometer
air yang bersuhu
40-45oC
4. Kemudian siapkan buli-buli atau WWZ diisi dengan air hangat
yang bersuhu
40-450C
5. Buli-buli atau WWZ dibalut dengan kain
6. Lalu letakkan dibagian yang nyeri selama 20 menit bergantian
air panas 10 menit untuk mempertahankan suhunya .
D. Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi Tindakan
2. Menganjurkan klien untuk melakukan kompres hangat jika
nyeri menstruasi muncul
3. Mengucapkan salam dan berpamitan dengan klien
Daftar Pustaka
Inut A & Putu L.P. (2016). Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Dismenore pada
Mahasiswi D3 Kebidanan Angkatan 2014 Di Whn Malang. Nursing News, 1, 190–199.
Agustina. (2019). Perbedaan Pengaruh Abdominal Streching Exercise dengan Kompres Hangat
terhadap Penurunan Nyeri Haid pada Mahasiswi
Elvika F. (2015). Dismenore Primer dengan Kompres Hangat. Jurnal Ilmu Keperawatan, III, 55–
62.
Ernawati. (2010). Terapi Relaksasi terhadap Nyeri Dismenore pada Mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Keperawatan, (18).
Hayati. (2018). Efektivitas Terapi Kompres Hangat terhadap Penurunan Nyeri Dismenore pada
Remaja di Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, VI(2), 156– 164.
Husna. (2018). Perbedaan Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Sesudah Diberikan
Kompres Hangat pada Remaja Putri di Universitas Dharmas Indonesia. Journal for Quality
in Women’s Health, 1(2), 43–49.
MENEJEMEN NYERI
KOMPRES AIR HANGAT
NAMA : BERNADETE AGATHA PALUPI
NPM :195140066
PENGERTIAN
1. tindakan kompres hangat diberikan pada klien atau orang yang mengalami ?
a. Pendarahan hebat
b. Muntah –muntah
c. Orang yang mengalami nyeri pada menstruasi,dan dapat menurunkan suhu tubuh
Jawaban : C
2. Apakah yang harus di perhatikan saat mengopres ?
a. mengganti air panas 10 menit untuk mempertahankan suhu airnya
b. air yang bersuhu 40-45oC, Buli-buli atau WWZ dibalut dengan kain
c. semua jawaban di atas benar
jawaban : C
3. berapa suhu yang di butuhkan untuk mengompres?
a. 30-40 ◦C
b. 40-45 ◦C
c. 60-70 ◦C
Jawaban : B
4. maanfaat yang di dapatkan setelah mengompres air hangat ?
a. hati gembira
b. mengurangi sakit kepala
c. mengurangi dan menghilangkan nyeri
Jawaban : C
5. Alat apa yang di gunakan untuk mengopres ?
a. Buli-buli atau warm water zack
b. termometer
c. karpet tebal
Jawaban : A
PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES AIR HANGAT TERHADAP
PENURUNAN INTENSITAS NYERI DYSMENORRHEA PADA
REMAJA PUTRI DI SMA NEGERI 10
KOTA BENGKULU
ABSTRAK
Masa pubertas yaitu bagian dari proses perkembangan dengan adanya kematangan organ
seksual dan kemampuan bereproduksi, yang ditandai dengan terjadinya menstruasi pertama
(menarche). Menstruasi adalah perubahan secara fisiologis pada perempuan.
Dysmenorrhea adalah nyeri perut yang berasal dari kram rahim dan terjadi selama
menstruasi. Beberapa perempuan mengalami sakit dan kram saat haid berlangsung. Rasa
sakit biasanya terjadi di perut bagian bawah. Secara umum penanganan nyeri dismenore
terbagi dalam dua kategori yaitu pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kompres air hangat terhadap
penurunan intensitas nyeri dysmenorrhea pada remaja putri di SMA Negeri 10 Kota
Bengkulu. Rancangan penelitian ini adalah Pra-Eksperiment dengan desain OneGroup Pre-
Post Test Design, menggunakan Accidental sampling dengan jumlah sampel
30 responden. Alat yang digunakan adalah kuesioner lembar karakteristik responden dan
Numeric Rating Scale (NRS) untuk mengetahui intensitas nyeri. Analisis data
menggunakan wilcoxon signed-rank test. Hasil penelitian ini terdapat pengaruh pemberian
kompres air hangat terhadap penurunan intensitas nyeri dysmenorrhea pada remaja putri di
SMA Negeri 10 Kota Bengkulu diperoleh nilai Z = -4.801 dengan pvalue=0,000<0,05 yang
berarti signifikan. Diharapkan bagi sekolah dan siswi melakukan kompres air hangat
sebagai salah satu alternatif terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri
dysmenorrhea.
ABSTRACT
Puberty is part of the development process with the maturation of the sexual organs
and the ability to reproduce, which is marked by the occurrence of the first
menstruation (menarche). Menstruation is a physiological change in women.
Dysmenorrhea is abdominal pain that comes from uterine cramps and occurs during
menstruation. Some women experience pain and cramps during menstruation. Pain
usually occurs in the lower abdomen. In general, dysmenorrhea pain management
is divided into two categories, namely pharmacological and non-pharmacological
approaches. The aims of this study was to determine The Effect of Providing Warm
Water Compress to Decreasing Dysmenorrhea Pain Intensity on Adolescent Girls
at SMA Negeri 10 Bengkulu City. This study uses Pre-Experiment with One-Group
Pre-Post Test Design, sampling technique in this study uses accidental sampling
with total of 30 respondents. Instrumet in this study was questionnaire of respondent
characteristic sheet and Numeric Rating Scale (NRS) to determine the intensity of
pain. Data analysis using Wilcoxon signed-rank test. The results of this study
showed there is effect of Providing Warm Water Compress to Decreasing
Dysmenorrhea Pain Intensity on Adolescent Girls at SMA Negeri 10 Bengkulu City
obtained a value of Z = -4,801 with p-value = 0,000 <0.05, which means significant.
It is expected for school and students to compress warm water as an alternative
nonpharmacological therapy to reduce the pain of dysmenorrhea.
Tabel 3.
Hasil Uji Normalitas Data
Intensitas nyeri
Statistik Df Sign
dysmenorrheal
Dysmenorrhea Sebelum .922 30 .031
Kompres Hangat
Dysmenorrhea Sesudah .835 30 .000
Kompres Hangat
a. P-value=0,031<0,05 untuk
data dysmenorrhea sebelum
Hasil uji normalitas data dengan uji kompres hangat, berarti tidak
Shapiro-Wilk dapat diketahui: normal.
b. P-value=0,000<0,05 untuk data kompres air hangat tidak ada skala
dysmenorrhea sesudah kompres nyeri yang sama atau tidak
hangat, berarti tidak normal. mengalami penurunan. Berdasarkan
Dimana dikatakan berdistribusi hasil uji wilcoxon dengan
normal apabila p value >0,05. menggunakan SPSS diperoleh nilai
Karena dua kelompok data Z = -4.801 dengan p-
tersebut tidak normal value=0,000<0,05 yang berarti
maka digunakan uji Wilcoxon signifikan, maka hasil penelitian ini
Sign Rank. adalah Ho ditolak dan Ha diterima.
3. Analisis Bivariat Sehingga dapat diartikan “Terdapat
Analisis bivariat dilakukan pengaruh pemberian kompres air
untuk mengetahui pengaruh hangat terhadap penurunan
pemberian kompres air intensitas nyeri dysmenorrhea pada
hangat terhadap penurunan remaja putri di SMA Negeri 10 Kota
intensitas nyeri dysmenorrhea pada Bengkulu.
remaja putri di SMA Negeri 10 Pembahasan
Kota Bengkulu menggunakan uji
Wilcoxon Signed Ranks Test.
Penelitian ini membuktikan bahwa
Hasil analisa uji wilcoxon pada
ada perbedaan antara skala nyeri
penelitian ini disajikan
menstruasi (dysmenorrhea) sebelum
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.
Analisa Pengaruh Pemberian Kompres Air Hangat Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri dysmenorrhea pada Remaja Putri di SMA
Negeri 10 Kota Bengkulu
Mean Sum of P-
Variabel Rank N Z
Rank Ranks Value
Dysmenorrhea Negative 30 15.50 465.00
Sesudah Kompres Ranks
Hangat - Positive
0 .00 .00 -4.801 0,000 Dysmenorrhea
Ranks
Sebelum Kompres Ties 0
Hangat Total 30
Primary dysmenorrhea, which is menstrual pain without pelvic pathology, is the most common
gynecologic condition in women. Heat therapy has been used as a treatment. We assessed the
evidence on heat therapy as a treatment for primary dysmenorrhea. We searched 11 databases for
studies published through July 2018. All randomized controlled trials (RCTs) that addressed heat
therapy for patients with primary dysmenorrhea were included. Data extraction and risk-of-bias
assessments were performed by two independent reviewers. Risk of bias was assessed using the
Cochrane risk-of-bias tool. Six RCTs met our inclusion criteria. Two RCTs found favorable effects of
heat therapy on menstrual pain compared with unheated placebo therapy. Three RCTs found
favorable effects of heating pads on menstrual pain compared with analgesic medication (n = 274;
SMD −0.72; 95% confidence interval −0.97 to −0.48; P < 0.001; two studies). One RCT showed beneficial
effects of heat therapy on menstrual pain compared with no treatment (n = 132; MD −4.04 VAS; 95% CI
−4.88 to −3.20; P < 0.001). However, these results are based on relatively few trials with small sample
sizes. Our review provided suggestive evidence of the effectiveness of heat therapy for primary
dysmenorrhea, but rigorous high-quality trials are still needed to provide robust evidence.
Primary dysmenorrhea refers to painful menstrual cramps in the lower abdominal region during menstruation in
the absence of any discernible macroscopic pelvic pathology1. It frequently involves other symptoms, including
sweating, headache, nausea, vomiting, diarrhea, and tremulousness before or during menstration2. Its estimated
prevalence varies between 45% and 95% of all women of reproductive age3. Dysmenorrheic pain is the primary
cause of recurrent short-term school or work absenteeism among young women of childbearing age4. Women
with this condition report that menstruation has an immediate negative impact on their quality of life (QoL),
whereas women who do not suffer from this condition do not report such an experience during menstruation 4.
Pelvic pain may also cause anxiety and depression, which can amplify the severity of pain5–7. Despite its negative
effects and the availability of treatment at minimal cost, few patients with primary dysmenorrhea visit medical
clinics, and members of this population are frequently undertreated8,9.
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) are considered the primary treatment for primary
dysmenorrhea, but they commonly cause adverse effects (AEs), including indigestion, headaches, and
drowsiness10. Typically, hormone contraceptives are used only for women who are not planning to become
pregnant9. Therefore, many women also seek alternative therapies, such as heating pads for cramps, to manage
1Department of Korean Obstetrics & Gynecology, Conmaul Hospital of Korean Medicine, 110 Seochojungang-ro,
Seocho-gu, 06634, Seoul, Republic of Korea. 2Research Institute of Korean Medicine, College of Korean Medicine,
Dongguk University, 123 Dongdae-ro, Gyeongju-si, Gyeongsangbuk-do, 38066, Seoul, Republic of Korea.
3Department of Pediatrics of Korean Medicine, Kyung Hee University Korean Medicine Hospital, Kyung Hee
their menstrual discomfort4,11. A recent systematic review suggested that heat therapy may be related to pain
reduction, although rigorous high-quality trials are still needed before conclusive recommendations can be
made11. However, as the review did not include several important randomized controlled trials (RCTs), another
comprehensive review that focuses on the type and method of various heating modalities is needed.
Superficial heat that ranges from 40–45 °C treats the application site to a depth of about 1 cm. Traditionally,
superficial heat has been used in different forms (e.g., hot water bags, towels, or bottles) to ease menstrual pain.
Although deep heat, such as shortwave diathermy and microwave diathermy, treats deeper structures at depths
of 2–5 cm, deep heat also causes vascular and metabolic changes in deeper tissues and organs 12. Studies have
found that heat is a common (36.5–50%) method for coping with dysmenorrhea13. For women with
dysmenorrhea, the application of local heat can reduce muscle tension and relax abdominal muscles to reduce
pain caused by muscle spasms. Heat can also increase pelvic blood circulation to eliminate local blood and body
fluid retention and diminish congestion and swelling, thereby enabling a reduction in pain caused by nerve
compression14. Therefore, in this review, we investigated current evidence related to the effectiveness of heat
therapy as a treatment for primary dysmenorrhea. All RCTs dealing with heat therapy for patients with primary
dysmenorrhea were analyzed to compare the effects of this treatment with those of control treatments on pain
indicators.
Results
Description of included trials. After removing duplicates, 1052 studies were screened and 15 full-text
articles were assessed for eligibility. Three studies that used moxibustion were excluded because it delivers heat
and excites the nervous system by acupoint stimulation 15. Two observational studies, one summary, and one
trial protocol were also excluded. One study compared infrared heat to hot packs, and the other study was
conducted in a non-randomized setting. Therefore, six RCTs were ultimately included in the analysis (Fig. 1).
The characteristics of the included studies are summarized in Table 1. Two RCTs were conducted in
America16,17, and one RCT each was conducted in Iran18, Korea19, Taiwan14, and Turkey13. All of the studies
were published in peer-reviewed journals. Four studies used a heating device, such as a patch or wrap 13,16–18,
and two studies used a ceramic belt emitting far-infrared radiation (FIR)14,19. Details of the heat treatment are
listed in Table 2. Akin et al. (2001 and 2004) reported only the mean value17 or the mean value and standard
error of the reduction in pain scores16. Furthermore, the exact number of participants in the intervention and
control groups was unclear. Akin et al. (2004) reported that 357 participants finished the trial, and 11 participants
were excluded; however, they finally analyzed 344 participants16. Ke et al. just reported pain scores using figures
with no numerical values14. One of the authors (JJ) contacted the corresponding authors by electronic mail to
request additional information, but the authors replied either that they had no raw data 16,17 or did not respond14.
Therefore, meta-analyses were performed using the other two studies that compared a heat patch with an
analgesic13,18. Another study that compared the FIR belt with a heat pack with a placebo belt with a heat pack
was reported separately19. We used data from the first menstrual cycle after treatment, with the exception of one
study, which reported a baseline difference in pain intensity during the first menstrual cycle 13.
Risk of bias in the included studies. The risk of bias in studies involving random sequence generation and
blinding of outcome assessment was low in 33% of the trials (2/6) and unclear in 66% of the trials (4/6). The
risk of bias for allocation concealment was low in 33% of the trials (2/6), unclear in 50% of the trials (3/6), and
high in 17% of the trials (1/6). The risk of bias in blinding the participants and personnel was high in 33% of
the studies (2/6) and low in 66% of the studies (4/6). There was a low risk of bias of incomplete outcome data,
selective
First Participant Pain assessment Pain outcome
author Year (I/C) Intervention Comparison time measures Results(I/C) Adverse events (I/C)
Heated Unheated Day 1: 0, 1, 2, 3, A. Pain relief A. 3.55/3.07 (mean) B.
20/21 patch + 400 mg/day patch + 400 mg/day 4, 5, 6, 8, 10, and score on 6-point scale 43.8/39.0 (mean)
Ibuprofen Ibuprofen 12 h B. Reduction
Akin 2001 Day 2: 0, 2, 4, 6, in pain intensity during None
Heated patch + Unheated 8, 10, and 12 h days 1–2 on NRS-101 A. 3.27/1.95*** (mean) B.
20/20 Placebo patch + 40.4/21.9** (mean)
Day 3: 0 hour
Placebo
A. Pain relief score Conjunctivitis (1/0)
during day 1 on 6-point Pink skin (1/0)
0.5, 1, 1.5, 2, 3, scale B. Abdominal Headache (0/1)
4000 mg/day muscle tightness and A. 2.48 ± 1.23/2.17 ± 1.22*B.
Akin 2004 151/150 Heat wrap 4, 5, 6, 7, 8, 24, cramping during day Rhinitis (0/1)
Acetaminophen 40.40 ± 20.15/44.50 ± 20.45*
48 h 1 on NRS-101 Upper respiratory
infection (0/1)
Anxiety (0/1)
Menstrual A. 5.89 ± 2.16/6.33 ± 2.16 B.
cycle 3 29/28
Menstrual A. 6.13 ± 2.38/5.72 ± 2.38 B.
1st-degree burns (3/4)
cycle 4 29/28
A. Maximum Skin rash (1/0)
Far-infrared belt + Placebo belt + Hot Menstrual VAS score A. 4.96 ± 2.16/5.69 ± 2.16 B. Itching (4/2)
Lee 2011 52/52 B. Participants 29/19
Hot water bag water bag cycle 5 Abdominal
taking pain medications discomfort (1/0)
Menstrual A. 5.04 ± 2.45/5.97 ± 2.45 B.
cycle 6a Nausea (1/1)
25/25
Menstrual A. 5.08 ± 2.24/6.47 ± 2.24**B.
cycle 7a 26/25
1–3 days of Pain score on VRS-6 General trend towards lower
menstrual cycle and NRS-11 score in far-infrared belt group
Ke 2012 26/25 Far-infrared belt Placebo belt on Not reported
1–3
1–3 days of menstrual cycle**
SF-MPQ
A. Sensual
pain score on 34-point
scale
B. Emotional
2, 4, 8, 12, A. 5.55 ± 6.81/5.55 ± 6.84
pain score on 13-point
400 mg/day and 24 h after scale B. 2.63 ± 2.60/3.13 ± 2.94 C.
Navvabi 2012 72/75 Heated patch Not reported
Ibuprofen the onset of C. Current 26.54 ± 36.41/26.97 ± 32.91 D.
menstruation pain 1.63 ± 1.93/3.57 ± 2.72
score on 101-point
VAS
D. Total pain
score on 6-point VAS
Menstrual cycle T2. 4.76 ± 2.29/6.58 ± 1.66b T3.
1: T1, T2, T3 1.99 ± 2.42/5.78 ± 2.63b
66/66 No treatment T2. Mid-treatment
Menstrual cycle pain intensity on T2. 4.53 ± 2.39/6.90 ± 1.53b T3.
2: T1, T2, T3 10-cm VAS 1.90 ± 2.39/5.94 ± 2.51b
Potur 2014 Heated patch Not reported
Menstrual cycle T3. End of treatment T2. 4.76 ± 2.29/5.21 ± 2.60b T3.
1: T1, T2, T3 pain intensity on 1.99 ± 2.42/4.19 ± 3.03b
66/61 Self-analgesic drugs 10-cm VAS
Menstrual cycle T2. 4.53 ± 2.39/5.79 ± 2.45b T3.
2: T1, T2, T3 1.90 ± 2.39/3.61 ± 3.08b
Table 1. Baseline characteristics of included studies. I/C: Intervention/Comparison; ROB: risk of bias; NRS:
numerical rating scale; VAS: visual analogue scale; VRS: verbal rating scale; SF-MPQ: shortened revision
of the McGill Pain Questionnaire; T1: baseline, T2: after 4 h of intervention (mid-treatment), T3: after 8 h of
intervention (end of treatment). Scores are expressed as mean ± standard deviation. *P < 0.05, **P < 0.01.
aPost-treatment follow-up period. bThere was a significant difference among the three groups at T2 and T3 of
reporting, and other sources in all studies. Figure 2 summarizes the risks of bias and Appendix S2 provides the
authors’ judgments on the risk of bias.
Outcome measures. Self-reported pain severity. Each of the six RCTs measured pain severity to identify the
effects of heat therapy on alleviating menstrual pain13,14,16–19. The meta-analysis of two studies13,18 showed that
the heat patch had a more favorable effect on the severity of menstrual pain compared with analgesic medication
(n = 274; SMD −0.72; 95% confidence interval [CI] −0.97 to −0.48; P < 0.001) and no treatment (n = 132; MD
−4.04 VAS; 95% CI −4.88 to −3.20; P < 0.001) (Fig. 3). In two studies, Akin et al. reported that the heat patch
demonstrated significant menstrual pain relief compared with unheated placebo therapy17 or acetaminophen16.
However, concurrent use of the heat patch and ibuprofen produced similar pain relief as the combined use of
the unheated placebo patch and ibuprofen17. Ke et al. showed a general trend towards a lower pain score in the
FIR-belt group compared with the placebo-belt or blank group14. Lee et al. found that the FIR belt with a heat
pack and the placebo belt with a heat pack had similar effects on pain relief (n = 104; MD −0.73 maximal VAS;
95% CI −1.56 to 0.10; P = 0.08) (Fig. 3)19. However, we found a significantly greater effect on pain relief in the
FIR-belt group (maximal VAS: 5.08 ± 2.24) compared with the placebo-belt group (maximal VAS 6.47 ± 2.24)
in the two menstrual cycles immediately following the end of treatment (P = 0.002).
First Treatment
author Year Method region Treatment duration
Wearing a kidney bean-shaped ultra-thin medical device that supplied Inside the
Akin 2001 heat at a constant temperature of 38.9 °C over a surface area of 180 cm 2 underwear on the 12 h/day for 2 days
for 12 hours lower abdomen
Akin 2004 Wearing a heat wrap at a constant temperature of 40 °C Not reported 8 hours
A. Wearing a sericite ceramic belt that emitted far-infrared ray (FIR) at a While sleeping at night
peak wavelength of 5–20 μm when warmed to 40 °C B. 9 × 7 cm disposable for three consecutive
Lee 2011 Lower abdomen
hot water bag containing iron powder and other chemicals that quickly menstrual cycles
heated up to 50 °C and stayed at that temperature for 10 hours
Wearing a 15 × 70 cm belt with 10 wt% FIR ceramic powders including Entire day during
Ke 2012 aluminum oxide, ferric oxide, magnesium oxide, and calcium carbonate that Abdomen menstruation
emitted 10.16 mW/cm2 FIR at a wavelength of 3–16 μm
Navvabi 2012 Wearing a 7 × 12 cm heated patch In underwear Not reported
Wearing the heat patch containing iron, coal, water, and salt that supplied For 8 hours during two
Potur 2014 heat at a constant temperature of 38.9 °C over a surface area of 180 cm 2 Lower abdomen menstrual cycles
for 8 hours
Table 2. Details of the heat therapies used in the RCTs.
Validated pain questionnaires. One study used a shortened revision of the McGill questionnaire, which has
proven validity and reliability, to measure pain 18. Pain severity was measured using 11 phrases describing
sensory pain (0 to 33 points) and 4 phrases describing emotional pain (0 to 12 points). However, there were no
significant differences between the heat patch and ibuprofen in terms of sensual and emotional pain (sensual
pain MD = −0.04; 95% CI −2.25 to 2.17; P > 0.05; emotional pain MD = −0.50; 95% CI −1.40 to 0.40; P > 0.05).
Validated quality-of-life questionnaires. One study measured menstrual symptom severity (menstrual quality of
life) using a standardized 17-item questionnaire16. The four core symptom clusters (pain, negative affect, water
retention, and food) were derived from a previous study 20. The heat-wrap group reported less severe menstrual
symptoms (0.91 ± 0.49) compared with the acetaminophen group (0.99 ± 0.49); however, the difference was not
statistically significant (MD = −0.08; 95% CI −0.19 to 0.03; P = 0.065). The pain cluster score (lower abdominal
cramping, low backache, and generalized aches/pains) of the heat-wrap group (1.20 ± 0.74) was significantly
lower than that of the acetaminophen group (1.35 ± 0.73; MD = −0.15; 95% CI −0.32 to 0.02; P = 0.040).
Additionally, the heat-wrap group had significantly lower scores regarding mood swings (P = 0.046), fatigue (P
= 0.012), and lower abdominal cramping (P = 0.008).
Adverse effects. Among the six studies, three noted if AEs were associated with treatment. Specifically, two
studies reported AEs16,19, and one study had no reported AEs17. Mild conjunctivitis and moderate application
site reactions occurred in the heat-wrap group, whereas moderate headache, rhinitis, and upper respiratory
infection and severe anxiety occurred in the acetaminophen group 16. The frequency of AEs, including first-
degree burns and itching, in the group that used the FIR belt with the heat pack was equal to that of the group
that used the placebo belt with the heat pack. All AEs disappeared within a few days without treatment. There
were no serious AEs, and no clinically relevant changes in vital signs; no patient discontinued the clinical trial
due to an AE19.
Discussion
This systematic review, which included six studies, found that heat therapy appears to decrease menstrual pain
in women with primary dysmenorrhea. There was a consistent reduction in menstrual pain with heat therapy
compared with unheated placebo therapy. There was also a trend towards a reduction in menstrual pain with
heat therapy compared with analgesic drugs. These results appear promising but should be interpreted cautiously
because they are based on relatively few trials with an unclear risk of selection bias.
We included only RCTs to remove potential bias and did not have any language restrictions. Although our
literature searches included English and Korean databases, and also included searching by hand for relevant
articles, we cannot be absolutely certain that all relevant RCTs were found. The meta-analysis included small
numbers of studies with relatively small sample sizes. This contributed to imprecision in estimates. There were
variations in the duration, type of heat therapy (e.g. patch or wrap or ceramic belt emitting FIR), and duration
of follow up used in these studies, leading to heterogeneity in the findings. Akin et al. reported only the mean
value17 or the mean value and standard error of the reduction in pain outcomes16. Ke et al. reported the outcome
only in figures in the paper14; therefore, meta-analyses were available from only two studies. A recently
published review, which examined the same topic as this article11, included a non-RCT that was excluded from
our review. Additionally, it failed to include several important studies16,17,19 that were included and analyzed in
our review.
NSAIDs appear to be an effective treatment for dysmenorrhea, although women using them need to be aware
of the substantial risk for AEs10. Hormone contraceptives are available only for patients who do not plan to
become pregnant9. Our systematic review showed the clear benefit of heat therapy for menstrual pain in women
with primary dysmenorrhea. Whether this translates into long-term clinical benefits has yet to be demonstrated.
One argument for using heat therapy for the management of dysmenorrhea may be that it causes fewer AEs than
conventional drugs. However, there was no evidence that there is a difference among them with regard to AEs.
If heat therapy were effective and safe for the management of dysmenorrhea in both the short- and long-term,
it could become a first-line non-pharmacologic treatment to decrease menstrual pain in women with primary
dysmenorrhea, particularly those with contraindications for NSAIDs.
This systematic review and meta-analysis suggests that heat therapy was associated with a decrease in
menstrual pain in women with primary dysmenorrhea. These results are consistent with the recommendation of
local heat as a complementary treatment for dysmenorrhea9. We need to compare the effects of various heating
modalities with those of other general interventions in terms of short- and long-term outcomes as well as cost-
effectiveness. A well-designed multicenter trial to address this issue and provide robust evidence of benefit is
warranted to clarify the role of heat therapy in this population.
Methods
Protocol registration. The protocol for this systematic review was registered (CRD42017060127), and the
review was conducted and reported as outlined in the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and
Meta-Analyses (PRISMA) statement21.
Literature search. We searched the following databases for relevant studies published through July 2018:
MEDLINE, EMBASE, the Cochrane Central Register of Controlled Trials, the Allied and Complementary
Medicine Database, and the Cumulative Index to Nursing and Allied Health Literature. We also searched six
Korean medical databases: the Oriental Medicine Advanced Searching Integrated System, the Korean
Traditional
Knowledge Portal, the Korean Studies Information Service System, the Research Information Service System,
Korea Med, and DBpia. Each search term was composed of a disease term (e.g., dysmenorrhea, menstrual pain,
painful menstruation, period pain, painful period, cramps, menstrual disorder, or pelvic pain) and an intervention
term (e.g., heat/warm). No language restrictions were imposed. The search strategies are presented in online
Supplement 1. Similar search strategies were applied to the other databases. Study selection was documented
and summarized in a PRISMA-compliant flow chart (http://www.prisma-statement.org) (Fig. 1)21.
Study selection. Types of research. All prospective RCTs, quasi-RCTs, and cluster RCTs were included.
Observational, cohort, case–control, and case series studies were excluded as were qualitative, uncontrolled
trials, and laboratory studies.
Type of participants. Patients of any age with primary dysmenorrhea were included in the systematic review.
Dysmenorrhea secondary to other pathologies, such as uterine myoma, endometriosis, or infection, was
excluded in this review.
Types of intervention. Randomized studies of superficial or deep heat therapy, either as the sole treatment or as
an adjunct to other treatments applied in both groups (intervention and control groups) in the same manner, were
included.
Types of comparisons. We included any type of control intervention, including no treatment, placebo, and
conventional medication. RCTs that compared different heat treatments were excluded.
Outcome measures. Primary outcomes. The primary outcomes were reduction of menstrual pain only during
the intervention or as a result of the intervention measured using a visual analogue scale (VAS) or numeric
rating scale (NRS).
Secondary outcomes. The secondary outcomes were scores on validated pain questionnaires, QoL, and AEs.
Data extraction. Two authors (JJ and SHL) performed the data extraction and quality assessment
using a predefined data extraction form. The form included information pertaining to the first author, study
design, language of publication, country where the trial was conducted, clinical setting, diagnostic criteria,
number of participants allocated to each group, drop-out number, treatment duration, outcome, outcome
results, and AEs associated with heat therapy. When studies reported outcomes at more than one time point, a
similar measurement point in other studies was used for the analysis, such as at the end of treatment or the first
menstrual cycle after treatment. Any disagreement among the authors was resolved by discussion among all
authors. When the data were insufficient or ambiguous, JJ contacted the corresponding author by electronic
mail or telephone to request additional information or clarification.
Assessment of risk of bias in the included studies. The risk of bias was assessed using the risk-of-bias
assessment tool from the Cochrane Handbook ver. 5.1.0, which includes random sequence generation, allocation
concealment, blinding of participants and personnel, blinding of outcome assessments, incomplete outcome
data, selective reporting, and other sources of bias22. Our review used ‘L’, ‘U’, and ‘H’ to indicate the results of
the assessments: ‘L’ indicated a low risk of bias, ‘U’ indicated that the risk of bias was unclear, and ‘H’ indicated
a high risk of bias. Disagreements were resolved by discussion among the authors.
Data synthesis and analysis. Statistical analyses were performed with the program Review Manager (ver.
5.3 Copenhagen: The Nordic Cochrane Centre, The Cochrane Collaboration, 2014). Trials were combined
according to the type of intervention and type of outcome measure and/or control. Data were pooled and
expressed as the mean difference (MD) or standardized mean difference (SMD) for continuous outcomes using
random-effects models, because high levels of heterogeneity had been anticipated.
Assessment and investigation of heterogeneity. Heterogeneity among studies was assessed using the
chi-square (χ2) test with a significance level of P < 0.1 and the I2 statistic23. The I2 statistic indicates the
proportion of variability among trials that was not explained by chance alone, and an I 2 value > 50% indicates
substantial heterogeneity23,24. When substantial heterogeneity was detected, we explored the sources of
heterogeneity by performing a subgroup analysis according to the type of intervention or control group. If some
factors (e.g., lack of included trials, large methodological or clinical differences among trials) were found, we
did not conduct a subgroup analysis or data synthesis, but instead created a narrative description of the included
studies. We assessed publication bias by using a funnel plot if 10 or more studies were included.
Missing data. We made our best efforts to analyze data on an intention-to-treat basis, and attempts were made
to obtain missing data from the original investigators. When these attempts were unsuccessful, we did not
substitute data for missing data but analyzed only the available data.
References
1. Dawood, M. Y. Primary dysmenorrhea: advances in pathogenesis and management. Obstet Gynecol 108, 428–441, https://doi.
org/10.1097/01.AOG.0000230214.26638.0c (2006).
2. De Sanctis, V. et al. Primary Dysmenorrhea in Adolescents: Prevalence, Impact and Recent Knowledge. Pediatr Endocrinol Rev
13, 512–520 (2015).
3. Proctor, M. & Farquhar, C. Diagnosis and management of dysmenorrhoea. BMJ 332, 1134–1138, https://doi.org/10.1136/
bmj.332.7550.1134 (2006).
4. Iacovides, S., Avidon, I. & Baker, F. C. What we know about primary dysmenorrhea today: a critical review. Hum Reprod Update
21, 762–778, https://doi.org/10.1093/humupd/dmv039 (2015).
5. Sahin, N., Kasap, B., Kirli, U., Yeniceri, N. & Topal, Y. Assessment of anxiety-depression levels and perceptions of quality of life
in adolescents with dysmenorrhea. Reprod Health 15, 13, https://doi.org/10.1186/s12978-018-0453-3 (2018).
6. Vitale, S. G., La Rosa, V. L., Rapisarda, A. M. C. & Lagana, A. S. Impact of endometriosis on quality of life and psychological
wellbeing. J Psychosom Obstet Gynaecol 38, 317–319, https://doi.org/10.1080/0167482X.2016.1244185 (2017).
7. Lagana, A. S. et al. Anxiety and depression in patients with endometriosis: impact and management challenges. Int J Womens
Health 9, 323–330, https://doi.org/10.2147/IJWH.S119729 (2017).
8. De Sanctis, V. et al. Dysmenorrhea in adolescents and young adults: a review in different country. Acta Biomed 87, 233–246 (2017).
9. Burnett, M. & Lemyre, M. No. 345-Primary Dysmenorrhea Consensus Guideline. J Obstet Gynaecol Can 39, 585–595,
https://doi. org/10.1016/j.jogc.2016.12.023 (2017).
10. Marjoribanks, J., Ayeleke, R. O., Farquhar, C., & Proctor, M. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs for dysmenorrhoea. Cochrane
Database Syst Rev, Cd001751, https://doi.org/10.1002/14651858.CD001751.pub3 (2015).
11. Igwea, S. E., Tabansi-Ochuogu, C. S. & Abaraogu, U. O. TENS and heat therapy for pain relief and quality of life improvement
in individuals with primary dysmenorrhea: A systematic review. Complement Ther Clin Pract 24, 86–91, https://doi.org/10.1016/j.
ctcp.2016.05.001 (2016).
12. Perez Machado, A. F. et al. Microwave diathermy and transcutaneous electrical nerve stimulation effects in primary dysmenorrhea:
clinical trial protocol. Pain Manag 7, 359–366, https://doi.org/10.2217/pmt-2017-0021 (2017).
13. Potur, D. C. & Komurcu, N. The effects of local low-dose heat application on dysmenorrhea. J Pediatr Adolesc Gynecol 27, 216–
221, https://doi.org/10.1016/j.jpag.2013.11.003 (2014).
14. Ke, Y. M. et al. Effects of somatothermal far-infrared ray on primary dysmenorrhea: a pilot study. Evid-Based Complement
Alternat Med 2012, 240314, https://doi.org/10.1155/2012/240314 (2012).
15. Xu, T., Hui, L., Juan, Y. L., Min, S. G. & Hua, W. T. Effects of moxibustion or acupoint therapy for the treatment of primary
dysmenorrhea: a meta-analysis. Altern Ther Health Med 20, 33–42 (2014).
16. Akin, M. et al. Continuous, low-level, topical heat wrap therapy as compared to acetaminophen for primary dysmenorrhea. J
Reprod Med 49, 739–745 (2004).
17. Akin, M. D. et al. Continuous low-level topical heat in the treatment of dysmenorrhea. Obstet Gynecol 97, 343–349 (2001).
18. Navvabi Rigi, S. et al. Comparing the analgesic effect of heat patch containing iron chip and ibuprofen for primary dysmenorrhea:
a randomized controlled trial. BMC Womens Health 12, 25, https://doi.org/10.1186/1472-6874-12-25 (2012).
19. Lee, C. H. et al. A multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled trial evaluating the efficacy and safety of a far
infraredemitting sericite belt in patients with primary dysmenorrhea. Complement Ther Med 19, 187–193,
https://doi.org/10.1016/j. ctim.2011.06.004 (2011).
20. Thys-Jacobs, S., Alvir, J. M. & Fratarcangelo, P. Comparative analysis of three PMS assessment instruments—the identification
of premenstrual syndrome with core symptoms. Psychopharmacol Bull 31, 389–396 (1995).
21. Liberati, A. et al. The PRISMA statement for reporting systematic reviews and meta-analyses of studies that evaluate health care
interventions: explanation and elaboration. Ann Intern Med 151, W65–94 (2009).
22. Higgins, J. P. T. & Altman, D. G. Chapter 8: assessing risk of bias in included studies,” in Cochrane Handbook for Systematic
Reviews of Interventions Version 5.1.0, J. Higgins and S. Green, Eds., The Cochrane Collaboration 2011, http://www.cochrane-
handbook.org (2011).
23. Deeks, J. J., Higgins, J. P. T., & Altman, D. G. Chapter 9: analyzing data and undertaking meta-analyses, in Cochrane Handbook
for Systematic Reviews of Interventions Version 5.1.0, J. Higgins and S. Green, Eds., The Cochrane Collaboration 2011,
http://www.
cochrane-handbook.org (2011).
24. Higgins, J. P. & Thompson, S. G. Quantifying heterogeneity in a meta-analysis. Stat Med. 21, 1539–5158 (2002).
Acknowledgements
This research was supported by grants from Korea Institute of Oriental Medicine (K18043).
Author Contributions
J.J.: Conception and design, acquisition of data, analysis plan, interpretation of data, drafting/revising and final
approval of article. S.H.L.: Acquisition of data, analysis, interpretation of data, drafting/revising and final
approval of article.
Additional Information
Supplementary information accompanies this paper at https://doi.org/10.1038/s41598-018-34303-z.
Competing Interests: The authors declare no competing interests.
Publisher’s note: Springer Nature remains neutral with regard to jurisdictional claims in published maps and
institutional affiliations.
Open Access This article is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International
License, which permits use, sharing, adaptation, distribution and reproduction in any medium or
format, as long as you give appropriate credit to the original author(s) and the source, provide a link to the
Creative Commons license, and indicate if changes were made. The images or other third party material in this
article are included in the article’s Creative Commons license, unless indicated otherwise in a credit line to the
material. If material is not included in the article’s Creative Commons license and your intended use is not
permitted by statutory regulation or exceeds the permitted use, you will need to obtain permission directly from
the copyright holder. To view a copy of this license, visit http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/.
A. Latar belakang
Narkoba adalah obat obatan terlarang yang jika dikonsumsi mengakibatkan kecanduan
dan jika terlalu lama dan sudah ketergantungan narkoba maka lambat laun organ dalam
tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi takaran maka pengguna itu akan overdosis dan
akhirnya dapat menyebabkan kematian. Dari hasil evaluasi menunjukan bahwa siswa
siswi memiliki pemahaman yang meningkat dibandingkan sebelum diberikan penyuluhan
tentang Napza dan dampak buruknya, sehingga meningkatkan kesadaran siswa akan
dampak yang bisa ditimbulkan.
Data estimasi berdasarkan pengisiaan questioner dan wawancara jumlah responden yaitu
91. Responden yang mempunyai anak usia remaja sebanyak 34 orang (49%) dan
responden yang tidak mempunyai anak usia remaja ada 33 orang (51%). Dari hasil
pengkajian selama 3 hari melalui pengisian questioner tanggal 22-25 Desember 2020
remaja yang mendapatkan penyimpangan perilaku ada 1 orang (33%). Remaja yang
menjawab ya 1 responden jenisnya yaitu ketergantungan obat. Remaja dengan
penyimpangan perilaku jenis minuman keras 0 orang (0%).
1. Pengertian Narkoba
2. Faktor resiko Narkoba
3. Tanda dan gejala Narkoba
4. Komplikasi Narkoba
5. Pertolongan pertama pada penderita Narkoba
6. Pencegahan Narkoba
7. Terapi komplementer untuk berkomunikasi menolak penggunaan narkoba
No. Uraian Kegiatan Metode Media Waktu
1. Pendahuluan : Ceramah Lisan 5 Menit
a. Memberi salam
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan tujuan
d. Kontrak waktu
8. Evaluasi (Terlampir)
1. Bentuk : Quesioner
2. Jenis pertanyaan : Google form
3. Jumlah pertanyaan : 5 pertanyaan
4. Waktu : 5 menit
MATERI PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG BAHAYA NARKOBA
A. Pengertian Narkoba
Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dapat mengubah perasaan, pikiran, suasana hati atau perilaku seseorang dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Npm : 195140065
Petugas Perawat
Peralatan Video
B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan indentitas klien dan menyampaikan kontrak
waktu
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur
4. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
C. Tahap Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Memberikan contoh dengan berakting untuk berkomunikasi
menolak ajakkan penggunaan Narkoba
D. Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi Tindakan
2. Menganjurkan klien untuk melakukan kembali cara
komunikasi untuk menolak penggunaan narkoba
3. Mengucapkan salam dan berpamitan dengan klien
Daftar Pustaka
Pusat Kesehatan Markas Besar TNI. 2015. Buku Panduan Penyuluhan Narkoba. Hal.
Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Peran Pemuda Dalam Menghadapi Proxy War. Jitet. Hal. 29.
Anonim. Pengertian dan Jenis-Jenis NAPZA. Kabar Pernas & AIDS V. No 1 2015.
➢HENTI NAFAS
➢HIV
➢KANKER HATI
➢TUBERKULOSIS
Pertolongan Pertama Pada Penderita
Penyalahgunaan Narkoba
1. SIAPKAN AIR PANAS DIDALAM BOTOL, CARANYA BOTOL BERISI AIR PANAS ITU BISA DILETAKKAN PADA
BAGIAN PERUT PENGGUNA SEHINGGA KONDISI ORANG INI AKAN MERASA LEBIH BAIK.
2. LETAKKAN DIRUANGAN YANG TENANG
3. COBA BERKOMUNIKASI DENGAN TENANG
4. SEDIAKAN MEDIA HIBURAN
5. HINDARI MEMBERI OBAT
6. TEMANI ATAU JANGAN BIARKAN SENDIRIAN
7. UPAYAKAN PASIEN TETAP TENANG
8. LEPASKAN PAKAIAN AGAR KONDISI TUBUHNYA LEBIH DINGIN
9. HINDARI MEMBERIKAN MINUMAN BERSODA
10.HUBUNGI DOKTER ATAU TENAGA MEDIS
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
1. MENANAMKAN PEMAHAMAN HIDUP SEHAT ANAK USIA DINI
2. PEMAHAMAN AKAN ADANYA RACUN DI SEKELILING KITA
3. MEMBERIKAN INFORMASI YANG AKURAT DAN JELAS
MENGENAI BAHAYA DARI SETIAP JENIS NARKOBA
4. BEKERJASAMA DENGAN TEMPAT PENDIDIKAN (SEKOLAH ATAU
UNIVERSITAS)
5. BEKERJASAMA DENGAN LINGKUNGAN RUMAH SEPERTI KETUA
RT DAN RW
6. HUBUNGAN KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
TERJALIN DENGAN BAIK
TERAPI KOMPLEMENTER CARA BERKOMUNIKASI
MENOLAK PENGGUNAAN NARKOBA
Menolak secara Halus Menolak secara Tegas
Ardylas Y. Putra 1
Abstrak
Pendahuluan
Tidak hanya orang tua dan juga keluarga yang di buat khawatir, melainkan
dari hasil survey Jumlah persentase perkembangan pengguna narkoba itu
sendiri dalam 2 tahun terakhir membuat BNN kota samarinda sedikit
kewalahan dalam melakukan sosialisasi di karenakan hampir setiap
kalangan masyarakat mengenal dan bahkan menggunakan narkoba.
Beberapa strategi sosialisasi kerap di lakukan oleh BNN kota itu sendiri
untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba di kota Samarinda beberapa
strategi itu dari mulai sosialisasi dengan menggunakan media elektronik,
1
Mahasiswa Program studi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Mulawarman.
Samarinda. Email :Ardylas.Yanunda@gmail.com
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )
Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana strategi
komunikasi BNN Kota dalam mensosialisasikan bahaya narkoba
Tujuan Penelitian
Untuk mendiskripsikan dan menganalisa Strategi komunikasi BNN
Kota Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba.
Kegunaan penelitian
1. Segi Teoritis:
Melalui penelitian ini di harapkan dapat memberikan
sumbangan pikiran dan memperkaya perbendaharaan
kepustakaan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan bagi jurusan ilmu komunikasi khususnya yang
berkaitan dengan upaya Majalah Emusikaltim dalam
meningkatkan kepedulian masyarakat di bidang kebudayaan di
kota Samarinda, serta sebagai masukan pada penelitian-
penelitian mendatang.
2. Segi Praktis
Hasil penelitian ini di harapkan juga dapat berguna bagi kedua
belah pihak baik pihak Majalah Emusikaltim maupun
mahasiswa khususnya mahasiswa ilmu komunikasi, dimana
hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan informasi dan
evaluasi serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang
berkaitan dengan kebudayaan yang ada di Indonesia.
79
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88
80
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )
Pengertian Strategi
Menurut Stoner, Freeman, dan Gibert Jr yang di kutip dalam buku
Fandy Tjiptono (2000:3) dalam bukunya yang mengatakan bahwa
pengertian strategi dapat diartikan dalam dua perspektif yang berbeda yaitu
Dari perspektif apa yang suatu organisasi ingin lakukan dan dari perspektif
apa yang organisasi akhirnya lakukan. Berdasarkan perspektif pertama,
pengertian strategi adalah sebuah program.untuk menentukan dan mencapai
tujuan organisasi dan mengimplementasikan misinya.
Komunikasi
Dikemukakan oleh John R. Wenburg dan William W. Wilmot
juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, setidaknya ada tiga
pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu
arah, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai
transaksi.Komunikasi juga proses penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan, jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek,
pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol).
Konkritnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah
bahasa. Pikiran dan perasaan sebagai isi pesan yang disampaikan
komunikator kepada komunikan, selalu menyatu secara terpadu; secara
teoritis tidak mungkin hanya pikiran saja atau perasaan saja, masalahnya
mana di antara pikiran dan perasaan itu, yang dominan; jika perasaan yang
mendominasi pikiran hanyalah dalam situasi tertentu, misalnya suami
sebagai komunikator ketika sedang marah mengucapkan kata – kata
menyakitkan.
81
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88
82
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )
Definisi Konsepsional
Dari konsep yang telah peneliti paparkan di atas maka Strategi
Komunikasi BNN dalam mensosialisasikan bahaya narkoba di kota
Samarinda ialah menggunakan komunikasi bertatap muka dan komunikasi
bermedia. Komunikasi bermedia umumnya di gunakan untuk komunikasi
informative, kekuatannya adalah dalam hal mengubah tingkah laku.
Komunikasi tatap muka atau yang biasa disebut komunikasi
intrapersonal ini sebuah komunikasi secara langsung bertemu antar manusia
atau individu untuk menyampaikan pesan, baik secara verbal maupun non
verbal.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
83
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88
Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam sebuah penelitian dimaksudkan untuk
membatasi studi. Sesuai dengan permasalahan yang di rumuskan, maka
yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Strategi Komunikasi BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dengan
indicator sebagai berikut:
A. Melalui komunikasi tatap muka
- Seminar
- Penyuluhan
B. Melalui komunikasi bermedia
- Brosur
- Leaflet
- Media Elektronik
84
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )
Hasil Penelitian
Pembahasan
Strategi Komunikasi BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dalam
mensosialisankan Bahaya Narkoba adalah sebagai berikut:
b. Komunikasi Bermedia
Salah satu strategi BNN dalam mensosialisasikan bahaya narkoba ini
juga dengan menggunakan komunikasi bermedia,yang di dalam nya
terdapat baliho,spanduk,brosur,leaflet dan juga media elektronik seperti
televisi swasta yang ada di kota samarinda. Sesuai dengan teory S-M-C-R
yang mengatakan Media sebagai saluran primer adalah lambang, misalnya
bahasa, kial (gesture), gambar atau warna, yaitu lambang-lambang yang
digunakan khusus dalam komunikasi tatap muka (face-to-face
communication), sedangkan media sekunder adalah media yang berwujud,
baik media massa, misalnya surat kabar, televisi atau radio, maupun media
nir massa, misalnya surat, telepon, atau poster.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa
selama ini pelaksanaan sosialisasi tentang bahaya narkoba yang dilakukan
oleh Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda sudah berjalan dengan
baik, meskipun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya maksimal ini
dikarenakan kesadaran yang didapat dari masyarakat dirasa kurang.
85
eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 78-88
Saran
1. Kurangnya waktu iklan yang di berikan Pihak TV dan juga Radio
serta tidak terlihatnya titik – titik baliho yang di pasang oleh BNN
sendiri seharusnya BNN menambah titik dalam memasang Baliho
dan juga menambah waktu di iklan yang mereka berikan kepada
TVRI dan juga RRI.
2. Terlalu terfokus kepada sekolah dan juga instansi BNN juga harus
membentuk Tim yang melakukan penyuluhan tidak hanya di
sekolah dan juga Instansi – Instansi swasta maupun negri.
Melainkan ke daerah daerah perumahan dan juga di setiap RT yang
ada di Samarinda, agar target sosialisasi merata.
3. Untuk memaksimalkan sosialisasi BNN kota samarinda seharusnya
sudah dapat memaksimalkan ruangan yang tersedia untuk
melakukan bimbingan konseling dan juga membuka hotline service
untuk menjamin kerahasiaan masyarakat yang ingin melakukan
konsultasi.
86
Strategi Komunikasi BNN Dalam Mensosialisasikan Bahaya Narkoba ( Ardylas )
Daftar Pustaka
Anggoro, Linggar. 2008. Teori & Profesi Kehumasan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Arifin, Anwar, 1983 Strategi Komunikasi, Sebuah Pengantar Ringkas,
Bandung, Amico.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan filsafat Komunikasi.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:
Prenada Media Group.
Kusumastuti, Frida. 2004. Dasar-Dasar Humas. Malang: Ghalia Indonesia.
Miles, Matthew B, 1992 . Analisis data kualitatif , Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Robbins, Stephen P, 1996. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, dan
Aplikasi. Jilid 2, Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit PT. Prenhallindo, Jakarta.
Ruslan, Rosady. 2005. Kiat dan Strategi kampanye public relation dan
komunikasi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Tjiptono, Fandy, 2000 . Strategi Komuikasi, Konsep dan Pengertian,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Wijaja, H. A.W. 1997, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta :
Penerbit Bumi Aksara.
87
International Journal of Public Health Science (IJPHS)
Vol. 7, No. 4, December 2018, pp. 260~267
ISSN: 2252-8806, DOI: 10.11591/ijphs.v7i4.14261 260
Liena Sofiana, Suci Musvita Ayu, Marsiana Wibowo, Erni Gustina, Satriawan Jaohandhy Muhtori
Faculty of Public Health, Universitas Ahmad Dahlan, Indonesia
Corresponding Author:
Liena Sofiana,
Faculty of Public Health,
Universitas Ahmad Dahlan, Indonesia.
Email: liena.sofiana@ikm.uad.ac.id
1. INTRODUCTION
Drug abuse means the use of one or more types of drugs periodically or regularly without medical
indication. It may lead to physical and psychological health problem as well as disturbing social function [1].
Adolescence is the period of rapid physical, psychological, and intellectual growth and development.
Adolescents have special characteristics, in that they are curious, love adventures and challenges, as well as
having the tendency to take risk, or taking action without thinking [2].
In world drug report 2014, it is known that the estimation of drug users in 2012 was between 162
million and 324 million, or 3.5%-7%. The comparison of the prevalence in 2012 (3.5%-7%) and that of 2010
(3.5%-5.7%) show a relatively stable prevalence of drug abuse. The most common types to use were ganja,
opioid, cocaine, or amphetamine and stimulant types [3].
It is estimated that one out of twenty adults, or a quarter million people, ranged from 15 to 64 years
old, have ever used at least one type of drugs in 2014. The estimation of 207.400 drug-related death was in
line with 43.5 death per million, with the age group of 15-64 years old [4].
The prevalence of drug abuse was in the range of 2.20%, or around 4.098.029 people of the total
population of Indonesia (aged 10-59 years old). According to National Narcotics Board, no regency/city in
Indonesia is free from drug problem [5]. The survey conducted by the Research Centre of Data and
Information of National Narcotics Board stated that the prevalence of drug abuse in the city (1.9%) is higher
than that of the regency (1.4%) [2].
As many as 50% users are students, at school and university level. In 2014, drug users in
Yogyakarta City was in the fifth place in national level and in 2015 it went down to the eighth. In the same
year, the users in Yogyakarta City reached 62.082 in number, while in 2015 the number decreased into
60.182 users. The worst case was in the level of senior high (SMA), which was 61.9% of the total case
(189.294 suspects) [6].
Based on the data of Drug Addiction Treatment Centre, the highest number of drug users are in the
level of senior high school. Within 2008-2012, the proportion of the number of drug suspects were in senior
high school [7]. Therefore, the research is aimed to know the correlation between predisposing, enabling, and
reinforcing factors and drug users by adolescents in Yogyakarta City.
2. RESEARCH METHOD
The research was observational type with quantitative approach using cross sectional design. The
population is all students in 80 Senior High School, and the equals, in Yogyakarta City, as many as 36,360
students. The samples were taken using multistage random cluster sampling and were added as much as 10%
based on the calculation of the samples to avoid a missing data. The samples were also taken based on
particular criteria. Inclusion criteria: all students of 15 to 19 years old from the schools selected to be the
location of the research based on sampling techniques and students who are willing to become the
respondents. Exclusion criteria: number of students less than the minimum number required from each school
and sub-district with less than three villages. The samples were 481 in number. The research used
questionnaire as the instruments. The data were analyzed using Chi Square test.
3. RESULTS
The respondent characteristics are illustrated in the Table 1. The biggest number of the respondents
are 16 years old, reaching 231 people (48%), and the smallest number is 19 years old, reaching 6 people
(1.2%) of the samples. Based on gender, there are 245 male respondents. Even so, the results are not
significant compared to the number of female respondents. The highest percentage of the level of education
is Senior High School, as many as 216 respondents (44.9%), and the lowest is elementary school level,
reaching 26 respondents (5.4%) shown in Table 2.
Univariate results of the research is shown in Table 3. The students in the senior high schools and
the equals in Yogyakarta City, as many as 361 respondents (75.1%), have higher level of knowledge. The
univariate analysis on attitude is categorized into two: negative and positive. Two hundred and fifty four
respondents, or 52.8%, have positive attitude. However the results are not significantly different between
negative and positive attitude. It is known that 375 respondents (78%) are confident. From the three
categories of information sources, the greatest number is the one with the lowest information sources, as
many as 240 respondents (49.9%).
Family role is categorized into two: participating and less participating. It is known that 323
respondents (67.2%) states that family is involved in shaping adolescent’s behavior, particularly in
preventing them from using drugs. Similarly, teacher’s role is categorized into two: participating and less
participating. Four hundreds and ten respondents (85.2%) stated that teachers contribute to shape the attitude
of the students. As for peer’s role, it is known that peers influence the youth in using drugs. From all the
respondents, 267 people (55.5%) states that their peers did not influence them in using drugs. Thirty-one
(6.4%) respondents have ever used drugs without medical indication and 450 respondents have never used
drugs. There are 24 male users and 7 female users, while the average age is 17 years old.
Bivariate analysis results are presented in Table 4. Chi Square analysis resulted that four of seven
variables are statistically and biologically significant. They are attitude, self-confidence, family role, and
peer’s role. Based on bivariate analysis, it is known that four variables have p-value < 0.05.
4. DISCUSSION
Most respondents are 16 years old. They are in the highest age group category, which is 231 in
number (48%), while the least is 19 years old, where there were only 6 respondents (1.2%). The average age
of the research subject is 16.28 years old. It is known that 31 respondents (6.4%) have once used drugs
without medical indication and 450 respondents (93.6%) have never used drugs. The average age is 17 years
old. Previous research showed that older adolescents have higher tendency to use drugs, of which they may
double the risks [8]. In early adolescence (14-16 years old) and middle (17-18 years), adolescents are usually
in the process of questioning their identity. At the end of the period of adolescence, which is above 18 years
old, they think they are mature and able to stand on their own. However, they do not have the capability of
taking the responsibility of their actions. The condition allows them to take non-anticipative behaviors upon
the use of drugs [9].
The questionnaires found 24 male users and 7 female users. Based on the pattern of drug abuse in
2006, 2009, and 2011, it is known that the highest number of abuse was by male users and that the higher the
age, the higher the number of drug abuse [6]. The results are in line with a research conducted in Sleman, in
that male adolescent are 20 times more likely to misuse drugs, compared to female [10]. Another research
also found that male are likely to misuse drugs [11]. In social construction, female are demanded to be
obedient, passive, patient, and loyal. Meanwhile, male are dominant, aggressive, and initiative in a
relationship [10].
The highest percentage of parents’ educational level is Senior High, which is as many as 44.9% (216
respondents), while the lowest is elementary, 5.4% or 26 respondents. The higher the level of education, the
higher is the pride [12]. Different from a research conducted in Pekanbaru on the correlation between level of
education and drug abuse, it is known that the OR value=1.51. It means that people with low education level
have 1.51 chances of misusing drugs. Based on the value, it can be concluded that education level is the risk
factor of drug abuse, although the correlation is low. Statistic test using Chi Square of alpha (5%) shows the
value of 0.225. Hence, p value is higher than the alpha. This way, Ha is refused. Then, it concludes that there
is no significant difference between those with low level of education and those with the higher level [13].
4.1. The correlation between knowledge and drug abuse by adolescent in Yogyakarta city
It is known that knowledge is not related to drug abuse in Yogyakarta City. Although it is not
significant statistically, the RP (Ration Prevalence) reached 1.433. In other words, adolescents with low
knowledge have 1.433 chances to misuse drug.
Inadequate learning materials about drugs in schools create a situation where adolescents/students
do not understand about the types, dangers, and effects of drugs. However, it is possible that those in higher
education level to misuse drugs. Individuals’ knowledge on particular ideas has different intensity [14].
The results are in line with previous research, stating that knowledge is not related to drug abuse
(p-value=0.073) because of the existence of other factors, such as environment, family, peers, and the
society [15]. The results are inversely proportional with a research conducted in Jepara. It found that there is
positive correlation between students’ knowledge about drugs and prevention of drug abuse (p-value 0.0001;
r=0.378). The latter shows that the higher the education, the higher the possibility to prevent them from
misusing drugs [16].
Human develop their knowledge because they use the language to communicate the information
they obtained17. Individuals who understand about drug abuse may have the curiosity to try to consume it
because of the environment or because they imitate certain figures. This way, these individuals may develop
attitude and behavior, which are against the knowledge [18].
4.2. The correlation between attitude and drug abuse by adolescent in Yogyakarta city
Chi Square test shows that there is correlation between attitude and drug abuse. Attitude is the risk
factor of drug abuse. It is known from the score of Ratio Prevalence (RP), which is more than one: 3.836.
The prevalence of using drug is 3.836 times higher in adolescent having negative attitude compared to those
with positive attitude. Behavior manifests in knowledge and attitude. Attitude is the results of an individual’s
way of thinking on particular object. It is not always in the form of action/activity. Instead, it is a
predisposition of an action or a behavior [14]. It is in line with previous research, stating that attitude is
correlated with behavior in terms drug abuse (p value 0.03) [19]. The manifestation of attitude in an action
needs supporting factor or a condition, such as facilities or supports from family, school environment, and
peers [17].
Attitude can also depend on gender; in that male adolescents tend to be more rebellious compared to
female. It is supported by a research conducted in Gorontalo, showing that there is different attitude between
female and male respondents. However, it is not only because of gender, but also because of their different
way of thinking [20]. Theoretically, attitude is formed within an individual based on their belief, point of
view, thought, personal experience, emotional needs, information from others, and perception on particular
objects that they see or know.
4.3. The correlation between self-confidence and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Chi Square test show a correlation between self-confidence and drug abuse. Self-confidence is the
risk factor of drug abuse. The RP value was 2.234, meaning that adolescents who feel less confident are more
likely to misuse the drugs. The chance is 2.234 times higher than those who feel confident. Self-confidence is
closely related to motivation. Individuals’ relatively stable assessment on themselves avoid the temptation of
any misconducts. Theoretically, self-assessment is positive. It raises their motivation to respect
themselves [21].
Previous research shows that self-esteem correlates with drugs abuse (p value (0.000), where the
higher the self-esteem, the lower the possibility of drug abuse [22]. Another research shows there is negative
correlation between self-esteem and social anxiety of drug users in Balai Kasih Sayang Parmadi Siwi, East
Jakarta. The negative results of coefficient correlation means that the higher the self-esteem, the lower the
social anxiety. Conversely, the lower the self-confidence, the higher the social anxiety (r -.429) [23].
In fact, experimental use may lead to severe damage. Immature emotion of adolescents carry them
away and lead them to think only about enjoyment and always try something new [24]. Another research
proves that adolescents have great curiosity and are eager to try new things, thereby making them prone to
negative or deviant behavior, one of them is drug abuse.
4.4. The correlation between information sources and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Chi Square test shows that information sources do not correlate with drug abuse. Although it is
statistically insignificant, the RP value reached 2.482. It means that adolescents with little information about
drugs are 2.482 times likely to misuse drugs. Environment greatly influences individuals’ behavior.
Adolescents try to use drugs for experimental reason and because they do not have adequate knowledge on
the substance. The condition is worse since the surroundings ignore the fact and, indeed, they do not
complain about the adolescents using drugs. It is thus potential situation to bring adolescents to drug abuse.
Previous research shows a correlation between affordability and drug abuse. In other words, the easier the
respondents reach the drugs, the more the chance they misuse them. Affordability is not always related to
distance, but areas and also easiness in getting something [25].
Another research also found that the statistics test show significant correlation between the access to
reproduction health information and drug abuse by adolescents (OR 1.28). Proportionally, the research
indicates a positive pattern where adolescents who have the access to reproduction health information have
1.28 chances to misuse drugs [26]. Another research shows that information sources, either printed or
electronic are not correlated with risky behavior (drug abuse) [27].
Easy access to obtain drugs increases the number of drug abuse from year to year. Social media
becomes one of their tools to do the transaction. Indeed, they do not need to meet each other to purchase the
drugs. They use specific code to arrange the meetings. The governments have taken several efforts to
demolish drug syndicates. In fact, Indonesian National Narcotic Board with the cooperation with other parties
have informed the society through several activities, such as insemination to many schools and anti-drug
advertising [2]. These results support the present research, in that information does not influence individuals
to use drugs.
4.5. The correlation between family role and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Chi Square test show that family role correlates with drug abuse. It is the risk factor of drug abuse as
well. It is known from the value of Ratio Prevalence (RP), which is 2.482. Adolescents whose family do not
concern much about their behavior have 2.482 chances to misuse drugs. This number indicates significant
influence of family role on adolescents’ behavior. However, the number of drug users whose family concern
much about their condition is not significantly different from that whose family are less participating. It is
possible when parents do not pay attention to their children, freeing them from anxiety. The theory suggests
that family is the protective or risk factor of drug abuse [28].
Parents’ busyness triggers the increase of drug abuse by adolescents in Yogyakarta City. It is in line
with a research conducted in Mental Health Hospital of Prof. Hb. Sa’anin, indicating that family role is
correlated with drug abuse (p value 0.009; OR 4.2). The research found that more than a half (70%) of the
respondents stated that drug users come from family who concerned less about preventing drug abuse [29].
In general, adolescents’ deviant behaviors are caused by parents’ carelessness, incomplete family
members, bad examples presented by parents, and bad environment. Besides, other factors, such as economy
and parents’ education, provide the adolescents inadequate insemination and information about drugs [25].
4.6. The correlation between teachers’ role and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
The research finds no correlation between teacher’s role and drug abuse. The RP (Ratio Prevalence)
score was1.386, meaning that 1.386 chances indicate that teacher does not correlate with adolescents who are
likely to misuse drugs. Teachers who involve themselves in shaping adolescents’ behavior cannot guarantee
that they will not use drugs. The results were inversely proportional, where more than half (80.6%)
adolescents use drugs even if their teachers have taken good care of them. It is likely that students only
observe their teachers’ attendance during school hours. Meanwhile, when they are outside the school, peers
have greater influence on their behavior.
Previous research indicates that there are different signs of drug abuse found by homeroom teachers
and counseling and guidance teachers from six students before and after their treatment. P value was 0.000
and the RATER consistency of the teachers show correlation coefficient of 0.995 [30]. Theoretically, teachers
have central roles: planners, caretaker, or learning evaluator. It means that teacher’s capability in creating
quality learning greatly influences the success of education in general. Learning quality relies much on
teachers’ capability, particularly in providing effective and efficient learning activities [31].
4.7. The correlation between peers’ role and drug abuse by adolescents in Yogyakarta city
Peers’ role is correlated with drug abuse, it becomes the risk factor as well. The results is seen from
the Ratio Prevalence value, which was 3.587. It means that peers have 3.587 greater influence on drug abuse
by adolescents. Labile ways of thinking allows adolescents to follow the trends in the society, particularly
their peers.
Peers have greater influence, for adolescents spending more of their time with their peers. Most
people offer drugs to their friends: colleagues, friends inside and outside their neighborhood. The higher the
attitude and supports of their peers to use drugs, the easier individuals to misuse drugs. Minimum school
activities and facilities at school increase students’ boredom during school hours and encourage them to skip
classes. The condition triggers deviant behaviors; one of them is drug abuse.
The result is in accordance with a research conducted in North Semarang sub-district, showing that
peers are correlated with drug abuse (p value=0.000) [25]. Similarly, a research conducted in Prof. Hb.
Sa’anin Mental Hospital [9] found that there is a correlation between peers and drug abuse (p value 0.000,
OR=9). Another research also shows positive and highly significant correlation between peers interaction
within the school and the risk of drug abuse by adolescents (p value=0.005) [32].
Peers greatly influence the occurrence of drug abuse. Individuals feel anxious when they are
rejected by the society. Therefore, they try to get the approval of their groups. Conflict between parents and
adolescents are related to loyalty, whether these adolescents are loyal to their parents or loyal to their peers.
Adolescents are susceptible to the values of their peers, such as appearance, behavior, and attitude. Not all
adolescents has a strong ego and has the willingness to separate themselves from the values/rules/norms of
the peer group [32].
5. CONCLUSION
Based on the findings and discussion, it can be concluded that four out of seven independent
variables significantly correlated with drug abuse by adolescents in Yogyakarta City. They are attitude, self-
confidence, family role, and peers’ role. Knowledge, information sources, and teachers’ role are the risk
factors of drug abuse by adolescents in Yogyakarta City. However, they are not significant statistically.
6. SUGGESTIONS
Knowledge, attitude, self-confidence, information sources, family role, teacher’s role, and peers are
the risk factors of drug abuse in Yogyakarta City. Yogyakarta City Education Board needs to include the
materials of drugs in the curriculum or school subjects as well as promoting P4GN (Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba-Prevention and Eradication of Drug Abuse
and Illegal Distribution). In addition it can provide the advocacy to educational institutions for adolescent
counseling programs.
Every school should have PIK (Information and counseling center for creative youth), life skills, and
counseling services. Besides, schools need to organize counseling and guidance program for drug-related
problems, led by expert, such as doctors, in order to increase the students’ awareness of the dangers of drugs.
They can also establish a counseling program for parents, particularly about how to build effective
communication to their adolescent children.
Building good characters of children can start by maintaining strong personalities, manners,
optimism, capability to communicate and interact with children, and spending more times with children while
discussing their everyday activities. In addition, parents can improve the children’s characters through
several aspects, such as social aspects (caring for other beings, respecting the elders, developing discipline
attitude and habit, and maintaining good friendship).
Adolescents at risk of abusing drugs are those with low self-esteem, negative attitude, low
interaction with the surroundings, less harmonious family, and negative social environment. With these
conditions, adolescents need to consult their teachers or Information and Counseling Center for Creative
Adolescents at schools. Those who are not at risk should take care of themselves by joining positive activities
inside and outside schools to prevent themselves from the dangers of drug abuse.
The next research is expected to expand the risk factors of drug abuse. It may be in terms of social
aspects, economic status, and social status. In addition, the research can be conducted to different age groups
of other cities or regencies in the Special Region of Yogyakarta City as well using different methods, such as
qualitative to obtain in-depth information on drug abuse.
REFERENSI
[1] Azmiyati, S, R., Cahyati, W, H., Handayani, O,W,K. “Overview of Drug Use in Street Children in the City of
Semarang,” Jurnal Kesmas (Journal of Public Health) vol.9 no.2 137-14, 2014.
[2] National Narcotics Agency Data and Information Center. Narcotics Abuse Prevalence Survey in Household Groups
in 20 Provinces in 2015. Jakarta: National Narcotics Agency Data and Information Research Center of the Republic
of Indonesia, 2016.
[3] United Nation Office on Drugs and Crime. World Drug Report 2014. Excerpted from
https://www.unodc.org/documents/wdr2014/World_Drug_Report_2014_web.pdf. Friday 3 March 2017 at 20.53
WIB in Yogyakarta City, 2014.
[4] United Nation Office on Drugs and Crime. World Drug Report 2016. Excerpted from
https://www.unodc.org/doc/wdr2016/WORLD_DRUG_REPORT_2016_web.pdf. Monday 10 April 2017 at 9.33 in
Yogyakarta City, 2016.
[5] National Narcotics Agency. 2015 National Narcotics Agency Performance Report. National Narcotics Agency:
Jakarta, 2015.
[6] National Narcotics Agency. Data on Central Java Provincial Narcotics Crime for 2007-2011. Excerpted from
http://103.3.70.3/portal/index.php/k onten / detail / deputipemberantasan / data-case narcotics / 10247 / data-act-
drug administration-province-Central Java-2007-2011. Thursday 2 March 2017 at 23.08 WIB in Yogyakarta City,
2012.
[7] Ministry of Health of the Republic of Indonesia. General Description of Drug Abuse in Indonesia. Data and
information Center. Ministry of Health of the Republic of Indonesia: Jakarta, 2014.
[8] Kusworo, Tanto., Ritohardoyo, Su., Sutomo, Adi Heru. “Relationship between Accesses to Reproductive Health
Information with Drug Risk Behavior in Adolescents in Indonesia,” Journal of Gadjah Mada University Vol. 28,
No. 2 p. 179-187, 2014.
[9] Siregar, M. “Factors Affecting Narcotics Abuse in Adolescents. Descriptive Study at the "Insyaf" Pamardi Putra
Social Institution in Medan,” Journal of Community Empowerment, Vol.3 No.2 May 2004: 100-105, 2004.
[10] Muslihatun, Wafi Nur., Santi, Mina Yumei. Anticipation of Adolescents against the Dangers of Drug Abuse in the
Adolescent Reproductive Health Triad in Sleman. Journal of Midwifery and Nursing, Vol. 11, No. 1: 41-50, 2015.
[11] Afandi, D., Chandra, F., Novitasari, D., Riyanto, I., Kurniawan, L. “Drug Abuse Rate and Risk Factors among
High School Students,” Indonesian Medical Magazine Vol. 59, Number 6 p.266-271, 2009.
[12] Hidayati, Nurul Aini. The Influence of Parental Education Levels on Adolescent Self Esteem. Psychology &
Humanity Seminar. ISBN: 978-979-796-324-8, 2015.
[13] Matwimiyadi. “Relationship between Levels of Education and Employment with Drug Abuse,” Journal of
Community Health Vol. 2, No. 5, p. 211-214, 2014.
[14] Notoatmodjo, Soekidjo, Health Behavioral Science. Rineka Cipta: Jakarta, 2010.
[15] Dale, Dewinny Septalia. “Relationship between Knowledge of Adolescents with Narcotics Abuse at the Class II B
Correctional Institution in Pekanbaru,” Journal of Scientia Vol. 4 No. 01 pg 391-395, 2016.
[16] Prisaria, N. “Relation of Knowledge and Social Environment to Drug Abuse Prevention Measures in Students of
Jepara 1 High School,” Social Journal in http://e-journal.undip.ac.id/ accessed on August 16, 2017 in Yogyakarta
City, 2013.
[17] Luis L. and Paul S. “The Influence of Information literacy, Internet Addiction and Parenting Styles on Internet
Risks,” Journal New Media and Society 14th Edition: 117-136, 2012.
[18] Anja, C. Huizink., Esko Levälahti., Tellervo Korhonen., Danielle M. Dick., Lea Pulkkinen., Richard J. Rose., and
Jaakko Kaprio. “Tobacoo, Cannabis and Other Illicit Drug Use among Finish Adolescents Twins: Causal
Relationship or Causal Liabilities,” Journal of Studies on Alcohol and Drugs, Vol. 71: 5-14, 2010.
[19] Asti, Yeli. “Relationship between Knowledge and Attitudes towards Drug Abuse in the Pontianak City Middle
School 4 Students in 2013,” PSPD Student Journal FK Tanjung Tempura, Vol. 1 No.1, 2014.
[20] Madania. The Effect of Giving Booklet on Knowledge and Attitudes of Students Regarding Drug Abuse in Public
High School 01 Gorontalo City. Thesis. Gorontalo State University, 2014.
[21] Thursan, Hakim. Overcoming not self confidence. Puspa Swara: Jakarta, 2002.
[22] Pradhana, Readen Bagus Hayu Adhi. “Self-Esteem Relation to Narcotics Abuse and Harmful Drugs in Batu
Malang Senior High School Students 2,” Indonesian Counseling Journal vol. 1 No.1, p. 29-35, 2015.
[23] Nainggolan, Togiaratua. “The Relationship between Self-Confidence and Social Anxiety in Drug Users in the
Parmadi Siwi Love Center,” Journal of Socioconsepsia Vol. 16 No. 02 p. 161-174, 2011.
[24] Lestari, H., et al., “Youth Risk Behavior in Indonesia according to the Adolescent Reproductive Health Survey in
Indonesia (SKRRI) in 2007,” Reproductive Health Journal Vol. 1 No. 3. August 2011: 136- 144, 2011.
[25] Maharti, Vikiat Ika. “Factors Associated with Narcotics Abuse Behavior in Teens Aged 15-19 Years in North
Semarang Subdistrict, Semarang City,” Public health journal vol. 3, No. 3 p. 945-953, 2015.
[26] Kusworo, Tanto, Ritohardoyo, Su, Sutomo, Adi Heru. “Relationship between Accesses to Reproductive Health
Information with Drug Risk Behavior in Adolescents in Indonesia,” Journal of Gadjah Mada University Vol. 28,
No. 2 p. 179-187, 2014.
[27] Maisya, Iram Barida., Susilowati, Andi. “Factors in Young Adolescents and the Availability of Information Media
in Relation to Risk Behavior,” Journal of Reproductive Health Vol. 5, No. 3 p. 1-7, 2013.
[28] Rahmawati S. “Relationship between Family Condition and Behavior Using Koba Nar in Students of SMA 20
Jakarta,” Thesis. Faculty of Public Health, University of Indonesia, 2008.
[29] Rahmadona, Elviza, Agustin, Helfi. “Factors Associated with Drug Abuse in Prof. RSJ Hb Sa’anin,” Andalas
Public Health Journal Vol. 8, No. 2, p. 60-66, 2014.
[30] Afiatin, T. “Influence of the Group Program ‘AJI" in Increasing Self-Esteem, Assertiveness and Knowledge of
Drug for Prevention of Drug Use in Adolescents,” Psychology Journal No.1 p. 28-54, 2004.
[31] Mulyasa, E. Become a Professional Teacher Creating Creative and Fun Learning. PT. Teenager Rosdakarya:
Jakarta, 2007.
[32] Sugiarti. Relationship between Peer-Friend Interactions in School Environments and Risk of Drug Abuse in
Adolescents. Thesis. University of Muhammadiyah Surakarta, 2013.
2. Khusus :
Setelah diberikan penyuluhan ibu- ibu lingkungan akan dapat :
a. Menyebutkan pengertian Kesehatan Reproduksi
b. Menyebutkan tujuan Kesehatan Reproduksi
c. Menyebutkan Fungsi Alat Reproduksi
d. Menyebutkan Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja
e. Menyebutkan manfaat menjaga kebersihan alat reproduksi
f. Menyebutkan cara merawat dan menjaga organ reproduksi
g. Menyebutkan prosedur merawat dan menjaga organ reproduksi
D. Perencanaan Penyuluhan
1. Waktu
a. Hari : Rabu
b. Tanggal : 13 Januari 2021
c. Jam : 14.00-15.00
2. Tampat : Via Zoom
3. Sasaran : Remaja
4. Metode : Ceramah dan Tanya Jawab
5. Media : Link Zoom, Laptop, Michropone, alat tulis
E. Kegiatan Penyuluhan
Kesehatan Reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan social
secara utuh, semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan system reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Yani Widyastuti, 2009:5)
Tujuan dari program kesehatan reproduksi remaja adalah untuk membantu remaja agar
memahami dan menyadari ilmu tersebut, sehingga memiliki sikap dan perilaku sehat dan
tentu saja bertanggungjawab kaitannya dengan masalah kehidupan reproduksi. Upaya yang
dilakukan melalui advokasi, promosi KIE, Konseling, pelayanan kepada remaja yang
memiliki masalah khusus serta memberi dukungan pada kegiatan remaja yang bersifat
positif (Yani Widyastuti, 2009:5).
Rahayu, Atikah. 2017. “Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Remaja dan Lansia”.
Yogyakarta. indd (ulm.ac.id). Airlangga University Press
1. Keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi adalah
pengertian dari……
a. Kesehatan reproduksi
b. Kesehatan mental
c. Kesehatan fisik
1. Apa remaja perlu mengetahui tentang kesehatan reproduksi?...
a. Ya, Penting
b. Tidak penting
c. Tidak tahu
2. Cara menjaga kebersihan organ reproduksi pada wanita …..
a. Pakaian dalam diganti minimal 2 kali dalam sehari, sesudah buang air kecil,
membersihkan alat kelamin sebaiknya dilakukan dari arah depan menuju
belakang agar kuman yang terdapat pada anus tidak masuk ke dalam organ
reproduksi.
b. Mandi 1 kali sehari
c. Jarang mengganti celana dalam
3. Cara menjaga kebersihan organ reproduksi pada laki- laki, dengan cara……
a. Tidak dibasuh setelah buang air kecil
b. Dianjurkan untuk dikhitan atau disunat agar mencegah terjadinya
penularan penyakit menular seksual serta menurunkan risiko kanker penis,
mengganti celana dalam 2 kali sehari
c. Jarang mengganti celana dalam
4. Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja, sebagai berikut kehamilan tak
dikehendaki, pernikahan dini, seks bebas dan …
a. Bergaul denga teman sebaya
b. Masalah penyakit menular seksual, termasuk infeksi HIV/AIDS.
c. Gangguan menstruasi
PUBLISHED BY
Global Health Management Journal
www.publications.inschool.id
Knowledge, attitude, and behavior about sexual and reproductive health among
adolescent students in Denpasar, Bali, Indonesia
Putu Erma Pradnyani 1,3, I Gusti Ngurah Edi Putra 2,3, Ni Luh Eka Purni Astiti 3
1
Faculty of Public Health, Airlangga University, Indonesia.
2
Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand.
3
KISARA (Kita Sayang Remaja) IPPA Bali Chapter, Indonesia.
Article history: Background: Adolescent sexual and reproductive health (SRH) problems remain an important
Received 26 October 2018 public health issue in many developing countries, such as Indonesia. Therefore, assessing SRH
Reviewed 08 January 2019 knowledge, attitude, and behavior among adolescents are worth considering for public health
Received in revised form 25 February 2019 intervention purpose in order to reduce their vulnerability to SRH problems.
Accepted 28 February 2019 Aims: This study aimed to assess SRH knowledge, attitude, and behavior among adolescent
students in Denpasar, Bali, Indonesia.
Methods: This was a cross-sectional school-based study conducted in Denpasar, Bali, Indonesia
Keywords: from July to September 2016. This study applied multi-stage random sampling to recruit 1,200
Sexual and reproductive health (SRH) students out of 24 junior, senior, and vocational high schools. Variables in this study consisted
Adolescents
of socio-demographic characteristics, knowledge, attitude, and behavior related to SRH. Data
Students
were analyzed using descriptive analysis and cross-tabulation to identify proportion differences.
Knowledge
Attitude Results: Regarding knowledge on SRH, students had less knowledge on a reproductive process
Sexual behavior (10.1%) and reproductive risk (11.4%), but half of them knew about the sexually transmitted
infections (STIs) and HIV&AIDS (55.6%) and almost all had sufficient knowledge on puberty
(90.7%). Meanwhile, few students argued that several sexual behaviors can be performed before
getting married, such as kissing and hugging (48.9%), petting and oral sex (18.7%) and sexual
intercourse (vaginal sex) (13.8%). Out of 1,200 adolescent students, 880 (73.3%) reported for
have ever been in dating with someone. Among adolescent dating, few students reported for an
experience of petting (14.3%), oral sex (9.8%), vaginal sex (6.5%), and anal sex (2.6%).
Conclusion: Adolescent students in Denpasar, Bali, had a low level of sufficient knowledge in
some SRH aspects, a few students reported for permissive attitude and performed premarital
sexual behaviors. Therefore, providing comprehensive sexuality education (CSE) is worth
considering to improve knowledge and appropriate skills in order to prevent risky sexual
behavior among adolescents.
Cite this article as Pradnyani PE, Putra IGNE, Astiti NLEP. Knowledge, attitude, and behavior about sexual and
reproductive health among adolescent students in Denpasar, Bali, Indonesia. Global Health
Management Journal. 2019; 3(1):31-39.
Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1 32
adolescents aged 10-24 years old had premarital sexual Bali Chapter from July to September 2016. The
experience [2]. In addition, Indonesian adolescents have population of this study was adolescents from junior,
been documented with carrying a high risk sexual senior, and vocational high school in Denpasar, Bali with
behavior since the protected sex among them was at very an inclusion criterion that students were in schools and
low level [3]. To respond this problem, some previous willing to participate in this study at the time of survey.
study suggested to provide comprehensive sexual and Adolescent students were selected as samples in this study
reproductive health (SRH) education [3, 4]. because they can represent the adolescents in community,
particularly in geographical area of Denpasar. As the most
In many setting in Indonesia, adolescents face
developed area, the rates of school-age adolescents who
difficulties to access the SRH information and services.
did not attend schools due to underprivileged economic
Even though they are supported by Health Law No.
status might be identified at very low level. Therefore,
36/2009, article 72 which stated that everyone has rights
recruiting adolescent students in this study can estimate
to obtain information, education, and counseling about
the SRH situation among school-age adolescents
reproductive health [5], the implementation is far away
properly. The sample size was determined using the
from the expectation. The socio-cultural in Indonesia
formula for a population proportion with assumptions:
places the reproductive health matters as taboo and
95% confidence interval; 50% as the anticipated
sensitive issues and its discussion is viewed as private
population proportion; and 5% of absolute precision,
realm. Not surprisingly then, this condition contributes
making a minimum sample size of 385 students.
to insufficient knowledge regarding SRH and risky
However, to increase generalizability, we decided to
sexual behavior among Indonesian adolescents [6].
collect 400 students from each level of education (junior,
Risky sexual activity among adolescents would certainly senior, and vocational high school), resulting in a total
increase the risk of being infected with STIs and HIV, as sample of 1,200 students, as representative of the
well as, unintended pregnancy [7]. As one of the sampling population.
provinces in Indonesia, adolescents in Bali are also
This study employed a multi-stage cluster random
vulnerable to SRH consequences due to lack of access to
sampling to recruit students from the selected population.
SRH information and services since SRH discussion is
First, 24 schools were selected through cluster
viewed as inappropriate for unmarried people.
probabilistic selection, stratified by four sub-districts of
Moreover, their vulnerability is also due to Bali as a
Denpasar and school levels (junior high school, senior
well-known tourism place which contributes to the
high school, and vocational high school) as well as
acculturation process of overseas-cultures in terms of
grouped into private and public school, resulting in an
interpersonal relationship pattern among adolescents [8].
equal number of students obtained with different school
Not surprisingly then, there is an increasing acceptance
levels and types of school. Second, two classes were
among Balinese adolescents of premarital sex, even the
picked using a simple random sampling from the selected
pregnancy among unmarried couples can be accepted as
schools in Denpasar, and then, systematic random
long they commit to get married soon [9].
sampling was used to recruit 25 students from each class.
Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA) of Data were collected through a self-administered
Bali Chapter reported that 29.3% of 1,225 unwanted questionnaire and set to be anonymous to ensure
pregnancy cases in 2015 came from young people (10- confidentiality and reduce bias. Prior the data collection,
24 years) whereas adolescents (15-19 year) contributed we have explained the study’s purpose to the students, and
to 7.7% of 1,162 STI sufferers [10]. A previous study written informed consent from students has been
conducted among senior high school students at 10th and obtained. In addition, teachers supervised the data
11th grade in Denpasar found that 29 students (4.26%) collection process and they approved the study as
have performed premarital sexual intercourse (1.44% of students’ guardian.
females and 3.19% of males) [11]. In order to provide
more insights related to SRH among adolescents in Variables and data analysis
Denpasar, Bali, this study aimed to assess knowledge, Variables in this study consisted of four main groups, such
attitude, and behavior about SRH among adolescents in as socio-demographic characteristics, knowledge,
Denpasar, Bali, Indonesia. attitude, and behavior related to SRH. More than one
questions were used to measure knowledge, attitude, and
METHODS behavior. Moreover, data were analyzed descriptively to
present distribution of variables in this study. Chi-square
Population and sample test was employed to identify the proportion differences
by sociodemographic characteristics with significance
A cross-sectional school-based study was conducted by level (α) at 0.05.
Kisara (Kita Sayang Remaja =We Love Youth), IPPA of
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
33 Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1
Table 1. Sociodemographic characteristics of adolescent only one out of ten students had good enough knowledge
students in Denpasar, Bali (N=1,200) on reproductive process (10.1%) and reproductive risk
(11.4%). Meanwhile, only a half of the students had
Variables N %
sufficient knowledge on STIs and HIV&AIDS (55.6%).
Age
≤ 15 years old 369 30.8 Based on cross-tabulation of each aspect of knowledge
> 15 years old 831 69.2 with sociodemographic characteristics, it showed that
Sex students aged > 15 years old and female students had
Female 724 60.3 significantly higher knowledge on puberty and STI and
Male 476 39.7 HIV&AIDS. While junior high school students had the
Current educational level lowest proportion of sufficient knowledge on puberty and
Junior high school 400 33.3 STIs, including HIV&AIDS, vocational high school
Senior high school 400 33.3 students appeared with the lowest sufficient knowledge
Vocational high school 400 33.3
on reproductive process. Meanwhile, those in public
Types of school
schools had higher proportion of sufficient knowledge on
Public/state school 600 50.0
Private school 600 50.0
puberty, but the smaller proportion on reproductive risk.
Table 3 presents the attitude of adolescents regarding
preferred time for sexual behavior. Most of the students
RESULTS
argued that sexual behavior should be performed after
getting married. Meanwhile, others argued that the
Table 1 shows that the average age of students in this
following sexual behaviours can be performed before
study was nearly 16 years and more than half aged 16
getting married such as kissing and hugging (48.9%),
years and more (69.2%) with the majority were female
petting and oral sex (18.7%) and sexual intercourse
students (60.3%). Meanwhile, the same number of
(vaginal sex) (13.8%). Based on age, adolescents aged >
students were obtained from three different school levels
15 years old were consistent to approve all premarital
and two types of school.
sexual behaviors at higher proportion compared to those
The knowledge on SRH was measured by 63 questions, aged 15 years and less. Moreover, male students were
grouped into four main sections of knowledge: puberty (8 more permissive to agree that petting, oral sex, and sexual
questions), reproductive process (9 questions), intercourse could be performed before getting married.
reproductive risk (4 questions), and STIs and HIV&AIDS Junior high schools students were observed with the
(42 questions). Those who could answer correctly at least lowest percentage of the acceptance of premarital sexual
a half of total questions were classified into sufficient behaviors. In addition, adolescents’ approval of some
knowledge. Table 2 clearly presents that more than 90% premarital sexual behaviors was found higher among
of students had sufficient knowledge on puberty whereas private-schooling adolescents.
Table 2. Sexual and reproductive health knowledge among adolescent students in Denpasar, Bali (N=1,200)
Sufficient knowledge on
Sociodemographic
characteristics Puberty Reproductive process Reproductive risk STIs and HIV&AIDS
N (%) N (%) N (%) N (%)
Total 1,088 (90.7) 121 (10.1) 137 (11.4) 667 (55.6)
Age (χ2) 9.81*** 0.99 0.32 43.04***
≤ 15 years old 320 (86.7) 42 (11.38) 45 (12.20) 153 (41.46)
> 15 years old 768 (92.4) 79 (9.51) 92 (11.07) 514 (61.85)
Sex (χ2) 14.20*** 0.00 0.24 11.52***
Female 675 (93.2) 73 (10.1) 80 (11.1) 431 (59.5)
Male 413 (86.7) 48 (10.1) 57 (12.00) 236 (49.6)
Current educational level (χ2) 17.51*** 8.62* 5.06 62.18***
Junior high school 343 (85.8) 49 (12.3) 52 (13.0) 160 (40.0)
Senior high school 370 (92.5) 46 (11.5) 51 (12.8) 266 (66.5)
Vocational high school 375 (93.8) 26 (6.5) 34 (8.5) 241 (60.3)
Types of school (χ2) 20.84*** 2.07 10.09*** 0.76
Public/state school 567 (94.50) 53 (8.83) 51 (8.50) 326 (54.33)
Private school 521 (86.83) 68 (11.33) 86 (14.33) 341 (56.83)
*p<0.5; **p<0.01; ***p<0.001
Table 3. Adolescent students’ attitude toward sexual behavior in Denpasar, Bali (N=1,200)
Adolescents’ approval of premarital sexual behaviors
Sociodemographic
characteristics Kissing, hugging, touching Petting and oral sex Sexual intercourse
N (%) N (%) N (%)
Total 587 (48.9) 224 (18.7) 166 (13.8)
Age (χ2) 48.25*** 20.04*** 5.59*
≤ 15 years old 125 (33.9) 41 (11.1) 38 (10.3)
> 15 years old 462 (55.6) 183 (22.0) 128 (15.4)
Sex (χ2) 2.41 38.83*** 26.56***
Female 341 (47.1) 94 (13.0) 70 (9.7)
Male 246 (51.7) 130 (27.3) 96 (20.2)
Current educational level (χ2) 61.64*** 25.37*** 13.82**
Junior high school 140 (35.0) 45 (11.3) 42 (10.5)
Senior high school 251 (62.8) 100 (25.0) 76 (19.0)
Vocational high school 196 (49.0) 79 (19.8) 48 (12.0)
Types of school (χ2) 0.003 4.30* 13.54***
Public/state school 294 (49.0) 98 (16.3) 61 (10.2)
Private school 293 (48.8) 126 (21.0) 105 (17.5)
*p<0.5; **p<0.01; ***p<0.001
88.1%
68.0%
58.3%
35.6%
20.9%
Adolescents Dating
17.6%
14.3%
9.8%
6.5%
2.6%
Out of 1,200 students in this study, 880 respondents adolescents aged >15 years old, males, senior high school
(73.3%) have been reported for have ever been in dating students, and private-schooling adolescents. Based on
with someone. Figure 1 describes the sexual activities Figure 3, condom use among adolescent students who
among the adolescents dating. It shows that among were sexually active in Denpasar was low. Only one out
adolescent dating in this study, hand in hand, hugging, and of five sexually active students reported for “always”
kissing on the check was the common behaviour among using condom for vaginal sex (19.3%) from 57 students,
couples. Meanwhile, few students reported for an and anal sex (21.7%) from 23 students. In addition, shown
experience of petting (14.3%), oral sex (9.8%), vaginal at Figure 4, it informs age at first sex among adolescent
sex (6.5%), and anal sex (2.6%). students who have performed oral, vaginal or anal sex.
Out of 98 students, 1% reported for sexual debut at 11
Figure 2 presents the proportion differences of sexual
years old whilst the majority had their first sex at age 15
behaviors by sociodemographic characteristics. It showed
years (43.9%) and 16 years (34.7%).
that sexual behaviours were more common among
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
35 Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1
Figure 2. Sexual behaviors by sociodemographic characteristics among adolescent students in Denpasar, Bali
Figure 3. Condom use among sexually active adolescent students in Denpasar, Bali
A previous study also confirmed that 46% of respondents Awang’s study in 2014 confirmed that male adolescents
were aware of the fact that the natural herbs and 45.5% did not know other types of STIs, except for HIV&AIDS
considered herbs as a better option for abortion [16]. Even and syphilis [18]. In another setting, a survey conducted
though school curricula provides several subjects where among school-going adolescents found that 60.2% had
students can rely on information related to SRH, such as good knowledge on HIV&AIDS whereas 34.1% and
biology, religion, sport science, and budi pekerti 5.7% students were in moderate and poor knowledge-
(character science), in fact, those subjects commonly only level categories, respectively [19]. Moreover, this study
cover general information of SRH and its topic in each found that females, students aged > 15 years old, senior or
subject is limited in some sections. vocational high school students were more
knowledgeable on STIs and HIV&AIDS. Similar to
Meanwhile, moderate-level of HIV&AIDS and STI
previous explanation that older students or with higher
knowledge among students might be due to HIV&AIDS
educational level tend to receive more information,
information has been delivered by teachers at schools or
supported by findings from a previous study that older
through students’ participation in extracurricular
adolescents aged 15–19 years were more likely to know
activities, such as Kelompok Siswa Peduli AIDS dan
about AIDS than their younger counterparts [20].
Narkoba/KSPAN (Students’ Group with Awareness of
AIDS and Drugs) and Pusat Informasi dan Konseling Regarding the attitude, few students argued that kissing
Remaja/PIK-R (Adolescent Center for Information and and hugging; petting and oral sex; and sexual intercourse
Counselling) [17]. Both of KSPAN and PIK-R are can be performed before getting married. It may be due to
organized by appointed teachers in schools where the the acculturation process between foreigners’ and natives’
materials or activities not only can be led by teachers, but cultures occurred in Bali that play important roles to the
also health personnel from public health centers, regional adolescents’ acceptance of premarital sex [8]. Moreover,
health office, or NGOs who are concerns on this issue can during the puberty period, the level of curiosity and sexual
take part as speakers. However, during the intention reach a peak, followed by any misconception
implementation, teachers commonly collaborate with two related to reproductive process and consequences, in
main organizations as the initiators for those which, turns to permissive attitude towards sexual
extracurricular activities, such as Bali AIDS Commission behavior. With these kinds of responses, it is logical to
for KSPAN and National Family Planning Board of Bali assume that students in Denpasar might potentially
for PIK-R. Students who have interest in activities offered perform premarital sex, as well as, risky sexual behavior.
by those extracurricular can participate. Moreover, the
A study in Nepal conducted by Bhatta found that high
core activities are intended to develop peer educators who
proportion of students (32.4%) who agreed for premarital
help non-members of those activities to receive
sex was in line with high prevalence of premarital sex
appropriate information.
(25%) [21]. Moreover, older, male, or senior high school
It is important to note, however, both extracurricular students, as well as, those in private schools were in a
activities place a lot attention on HIV&AIDS information, higher acceptance of premarital sexual behaviors.
but limited information related to other types of STIs is Focusing on sex, this study is similar to a previous study
provided. Therefore, adolescents in Denpasar might not which found that males were more likely to have a
be exposed with sufficient STI-related information. permissive attitude toward sex. It may be due to gender
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
37 Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1
43.9%
34.7%
8.2%
6.1%
4.1%
1.0% 2.0%
0.0%
11 12 13 14 15 16 17 18
Figure 4. Age at sexual debut among sexually active adolescent students in Denpasar, Bali
norms in the Indonesian context where females are The findings of this study suggested to clarify any
expected to maintain their virginity, but it is not strongly misconceptions related to SRH among adolescent
applied for males [22]. students in Denpasar, Bali such as false beliefs in
reproductive process and consequences. Even though
This study also highlighted the sexual activities among
schools seem supporting the delivery of SRH information
adolescents who have been dating with someone with a
through the presence of some subjects and extracurricular
few of them reported for having sexual intercourse.
activities, the coverage of given information was not
Similar to a previous study in Denpasar which found that
satisfactory. For school subjects formally taught by
4.26% of the school adolescents have performed
teachers, the lessons related SRH are limited in terms of
premarital sexual intercourse [11]. Moreover,
duration and frequency and those depend on teachers’
characteristics of adolescents who had higher proportion
willingness to what extent the SRH-related information
of engagement in premarital sexual behavior were in line
should be provided. In most situations, SRH information
with those who more approved premarital sex, indicating
provided by teachers mostly covers physical-anatomy of
key prioritize for intervention.
reproductive organs and it counts less than 10 percent of
In addition, risky sexual behaviour e.g., low condom use total meetings [25]. Meanwhile, for extracurricular
among adolescent students was also well-documented in activities, KSPAN focus on providing materials related to
Denpasar, Bali. Surprisingly, only one out of five HIV&AIDS, drugs, and STIs whereas information related
sexually-active students reported for "always" using to age maturation of marriage, drugs, HIV&AIDS, and
condom for vaginal sex (19%), and anal sex (22%). These sexuality is strongly attached in PIK-R’s activities. Both
percentages are slightly lower than the national figure of of those extracurricular activities are commonly arranged
condom use prevalence which was about 25% among once a week depending on schools’ situation and policy.
male adolescents aged 15-24 years old [3]. With low Obviously, we note some weaknesses, such as low
consistency for protected sex, it indicates that adolescent coverage of other aspects of information such as
students in Denpasar carry high risk of being infected with reproductive process and consequences/risk and also the
STIs, HIV&AIDS, and unintended pregnancy. Low duration for providing SRH information is quite lacking.
condom use might be related to the socio-cultural context More importantly, necessary skills and efficacy to make
of Indonesia where contraceptive tools are not acceptable informed decisions are not prioritized in both
for unmarried people. As a consequence, the restricted extracurricular activities.
access to both SRH information and services especially
Providing comprehensive sexuality education (CSE) is
condoms transforms to barriers as underlying reasons for
worth considering among adolescents to equip them with
unprotected sex. In addition, condom use in fact, seems to
reproductive and sexual health and rights, gender
be highly linked with trust and more intimate relationship
equality, and knowledge and skills for HIV prevention in
and hence, its negotiation can become extremely difficult
order to be able in making informed decisions [26].
[23, 24].
Nowadays, the Kisara IPPA of Bali Chapter as one of the
pioneers of SRH program among adolescents in Denpasar
Pradnyani et al. Global Health Management Journal. 2019; 3(1):31-39
Global Health Management Journal, 2019, Vol. 3, No. 1 38
7. Azinar M. Perilaku seksual pranikah berisiko terhadap 20. Rahman M, Mizanur M, Kabir, Shahidullah. Adolescent
kehamilan tidak diinginkan [Primary sexual behaviors knowledge and awareness about AIDS/HIV and factors
risk on unwanted pregnancy]. Jurnal Kesehatan affecting them in Bangladesh. Journal of Ayub Medical
Masyarakat. 2013;8(2):153-160. College.2009;21(3):3-6
8. Faturochman. Sikap dan perilaku seksual remaja di Bali 21. Bhatta DN. Adolescent students' attitude towards
[Adolescents’ attitude and sexual behaviors in Bali]. premarital sex and unwanted pregnancy. Health
Jurnal Psikologi. 1992;(1):12-17. Renaissance. 2013; 11(2): 145-9.
9. Suka IG , Muninjaya AAG, Wiasti NM, Kartika DAAS, 22. Widyastuti ESA. Personal dan sosial yang
Aryastami K. Pemberdayaan perarem untuk menurunkan mempengaruhi sikap remaja terhadap hubungan seks
angka hamil di luar nikah dan kawin usia muda di Desa pranikah [Personal and social factors influencing
Pengotan Kabupaten Bangli [Empowerment of perarem adolescent attitudes toward premarital sex]. Jurnal
to reduce premarital pregnancy and early married in Promosi Kesehatan Indonesia.2009;4(2):75-85.
Pengotan Village, Bangli District]. Buletin Penelitian 23. Siramaneerat I, Agushybana F, Nugraha A,
Sistem Kesehatan. 2013;16(3):275-281. Mungkhamanee S. Knowledge, attitude, and behavior
10. IPPA of Bali Chapter. Data kehamilan yang tidak toward premarital sex among adolescents in Indonesia.
diinginkan dan infeksi menular seksual [Unwanted Journal of Health Research. 2017;31(6):447–53.
pregnancy and sexually transmitted infections data]. 24. Rondini S, Krugu JK. Knowledge, attitude and practices
Denpasar: IPPA of Bali Chapter; 2015. study on reproductive health among secondary schools in
11. Rahyani KY, Utarini A, Wilopo SA, Hakimi M. Perilaku Bolgatanga, upper east region, Ghana. Afr J Reprod
seks pranikah remaja [Premarital sexual behavior of Health. 2009; 13(4): 51-66.
adolescents]. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 25. Widyastari DA, Pimonpan I, Zahroh S. “Women won’t
2012; 7(4): 180-185. get pregnant with one sexual intercourse”
12. Nurdjannah S. Knowledge and behaviour about misconceptions in reproductive health knowledge among
adolescent reproductive health in Yogyakarta, Indonesia. Indonesian young men. Journal of Health
International Journal of Public Health Science. Research.2015;29(1):63-69.
2015;4(4): 326–331. doi: 10.11591/.v4i4.4754. 26. UNESCO, UNFPA. Youth and comprehensive sexuality
13. İşgüven P, Yörük G, Çizmeciğlu FM. Educational needs education. New York: UNESCO, UNFPA; 2011
of adolescents regarding normal puberty and menstrual 27. Chi X, Hawk ST, Winter S, Meeus W. The effect of
patterns. JCRPE J Clin Res Pediatr Endocrinol. 2015; comprehensive sexual education program on sexual
7(4): 312-22. health knowledge and sexual attitude among college
14. Yazıcı S, Gulumser D, Yıldız O, Fatma Y. The level of students in Southwest China. Asia Pac J Public Health.
knowledge and behavior of adolescent male and female 2015; 27(2): 2049–66. doi: 10.1177/1010539513475655.
students in Turkey on the matter of reproductive health. 28. Kirby D, Ecker N. International technical guidance on
Sex Disabil. 2011; 29:217–227 sexuality education: an evidence-informed approach for
15. Nwaorgu OC, Onyeneho NG, Okolo M, Obadike E, schools, teachers and health educators. Paris, France:
Enibe G. Reproductive health knowledge and practices United Nations Educational, Scientific and Cultural
among junior secondary school grade one students in Organization; 2009.
Enugu State: Threat to achieving millennium 29. Muhwezi WW, Anne RK, Cecily B, Herbert M, Doris K,
development goals in Nigeria. East Afr J Public Health. Sheri B, Knut IK. Perceptions and experiences of
2008; 5(2): 5-11. adolescents, parents and school administrators regarding
16. Gul S, Rubab B, Ahmad N, Iqbal U. Herbal drugs for adolescent-parent communication on sexual and
abortion may prove as better options in terms of safety, reproductive health issues in urban and rural Uganda.
cost & privacy. A Sci Innov Res. 2015; 4(2): 105-8. Reproductive Health.2015;12(110):1-16.
17. Wiriyana IGNA, Hanim D, Lestari A. Pengetahuan,
sikap dan tindakan HIV/AIDS anggota dan bukan
anggota kelompok siswa peduli AIDS dan narkoba
[Knowledge, attitudes and practices of HIV/AIDS
between members and non-members of students’ group
with awareness of AIDS and drugs]. Nexus Kedokteran
Komunitas. 2017; 6(2): 45-53.
18. Awang H, Wong LP, Jani R, Low WY. Knowledge of
sexually transmitted diseases and sexual behavior among
Malaysian male youths. A Biosoc Sci. 2014; 46(2): 214-
24.
19. Abdeyazdan Z, Sadeghi N. Knowledge and attitude
toward AIDS/HIV among senior school students in
Isfahan. Iran J Clin Infect Dis. 2008; 3(2): 93-8.
Miswanto
ABSTRAK
Berdasarkan data yang dilansir dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia
tahun 2010, pengetahuaan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan
remaja masih terbilang rendah. Sebanyak 13% perempuan tidak mengetahui perubahan
fisik yang terjadi pada diri mereka dan hampir separuh dari mereka (49,9%) tidak
mengetahui masa suburnya. Masa remaja adalah masa transisi dan sangat problematis
dalam aspek psikologis. Hal ini membuat mereka berada dalam kondisi anomi (sebuah
situasi tanpa norma dan hukum) karena kontradiksi antara norma dan fase orientasi. Ada
perubahan signifikan yang terjadi pada fase remaja: aspek fisik, biologis, psikologis,
emosional dan psikososial. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan
kehidupan personal, keluarga serta masyarakat. Ketika mereka tidak siap terhadap
terhadap perubahan yang terjadi, perilaku negatif akan terjadi, diantaranya kenakalan
remaja, penyalahgunaan narkoba, penyakit menular seksual dan penularan HIV/AIDS,
kehamilan tidak di inginkan, aborsi dan lain-lain. Pendidikan seksualitas yang efektif
harus sesuai dengan usia, budaya, konteks kehidupan remaja dan memberikan informasi
yang akurat. Hal itu dapat memberikan kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi
nilai dan akhirnya mereka dapat membuat keputusan penting mengenai kehidupan seksual
mereka sehingga dapat mencegah risiko-risiko yang mungkin terjadi. Akan tetapi, masih
ada yang beranggapan bahwa pendidikan seksualitas tabu bagi remaja.
Kata kunci: kesehatan reproduksi, seksualitas, remaja
AB S T RACT
Based on data reported by the Adolescent Reproductive Health Survey in Indonesia in
2010, knowledge about reproductive health and sexuality among young people is still
low. As many as 13% of women do not know the physical changes that happen to them
and almost half of them (49.9%) did not know the fertile period. Adolescence is a period
of transition and very problematic, significant changes happens in the physical, biological,
psychological, emotional and, psychosocial aspects. A number of deviant behavior can
occur such as drug abuse, risk of sexual behavior, sexually transmitted diseases and
HIV and AIDS, unwanted pregnancy, abortion, etc. This study used literature study;
analysis on Adolescent Reproductive Health Survey 2007 by BPS, BKKBN and the
Ministry of Health as well as other comprehensive studies on reproductive health. The
needing an effective way to deliver reproduction and sexuality education that gives an
accurate information according the age, culture and, context of young people adolescent
life. It can provide opportunities for young people to explore themselves so that they
can make important decisions related to their sexual life, and prevent the risks that may
occur.
Keywords: reproduction and sexuality health, youth
111
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
112
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
sehingga bisa melemahkan jasmani dan lawan jenis pada lingkungan bebas norma
rohani. Dunia pergaulan bebas kini mulai dan rendahnya kontrol sosial, cenderung
menghantui kalangan remaja. Remaja ha- mengundang hasrat dan kebutuhan seks
rus dapat menghindari pergaulan bebas seraya menerapkannya secara bebas.
dan bisa mengontrol dirinya agar memiliki Ada anggapan di kalangan remaja,
masa depan yang cerah. Sebaliknya mereka bahwa seks merupakan indikasi kedewasaan
yang tak dapat bertahan akan terjerumus yang normal—suatu kesalahpahaman ter-
pada dunia pergaulan bebas yang kelak hadap seks. Akan tetapi, karena mereka
akan merusak masa depannya, harapan dan tidak cukup mengetahui secara utuh tentang
tujuan sebagai genarasi muda akan hancur rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau
akibat dari pergaulan bebas yang tidak mereka menafsirkan seks semata-mata
terkontrol. Perilaku seks berisiko sangat sebagai tempat pelampiasan birahi tanpa
berkaitan erat dengan pergaulan bebas. mempedulikan risiko. Kendatipun secara
Namun demikian, tentunya ada beberapa sembunyi-sembunyi mereka merespon
faktor yang menyebabkan remaja bergelut gosip tentang seks diantara kelompoknya,
dalam pergaulan bebas, antara lain: mereka menganggap seks sebagai bagian
penting yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan remaja. Kelakar pornografi me-
Faktor Umum
rupakan kepuasan tersendiri, sehinga me-
Ada beberapa faktor yang melatarbe- reka semakin terdorong untuk lebih dekat
lakangi remaja terjerumus ke dalam per- mengenal lika-liku seks sesungguhnya. Jika
gaulan bebas, seperti gagalnya sosialisasi imajinasi seks ini memperoleh tanggapan
norma-norma dalam keluarga, terutama yang sama dari pasangannya, maka tidak
keyakinan agama dan moralitas dan se- mustahil kalau harapan-harapan indah yang
makin terbukanya peluang pergaulan bebas termuat dalam konsep seks ini benar-benar
setara dengan kuantitas pengetahuan sosial dilakukan.
dan kelompok pertemanan. Kekosongan
aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam
kehidupan sehari-hari akan terjadinya pe- Faktor Internal dan Eksternal
nyerapan dan penghayatan terhadap struktur Berdasarkan sumber dari beberapa pe-
pergaulan dan perilaku seks berisiko relatif nelitian terdahulu mencatat terdapat dua
tinggi serta rendahnya pengetahuan tentang faktor penyebab perilaku seks berisiko
kesehatan dan resiko penyakit berbahaya. di kalangan remaja yakni internal (dari
Kebutuhan hidup menuntut seseorang dalam diri) maupun eksternal (lingkungan).
untuk membentuk sistem pergaulan dalam Pertama adalah faktor internal yang me-
modernitas yang cenderung meminimalisasi rupakan perubahan secara biologis dan
ikatan moral dan kepedulian terhadap sosiologis pada remaja memungkinkan
hukum-hukum agama. Sementara di pihak terjadinya dua bentuk integrasi, pertama,
lain, jajaran pemegang status terhormat terbentuknya perasaan akan konsistensi
sebagai sumber pewarisan norma, seperti dalam kehidupannya, dan kedua, tercapai-
penegak hukum, para pemimpin formal, nya identitas peran. Kenakalan remaja ter-
tokoh masyarakat dan agama, ternyata tidak jadi karena remaja gagal mencapai masa
mampu berefek dengan contoh-contoh integritas kedua (krisis identitas). Apa-
perilaku yang sesuai dengan statusnya. kah masa remaja merupakan masa ke-
Sebagai konsekuensinya adalah membuka guncangan (sorm and stress) dimana me-
peluang untuk mencari kebebasan di reka mengalami krisis identitas? Maka
luar rumah. Khususnya dalam pergaulan jawabannya tidak selalu demikian. Me-
113
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
114
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
begitu pula sebaliknya, apabila berteman duksi remaja yang terjadi di seluruh dunia,
dengan anak-anak yang bermasalah, maka yang dapat menjadi bahan pembanding
akan ikut bermasalah pula. Begitu penting- untuk masalah yang sama di Indonesia,
nya seorang remaja dalam mencari teman atau asumsi kejadian di Indonesia bila be-
yang sebaya, agara terhindar dengan hal- lum tersedia datanya. Apapun yang men-
hal yang menjadikannya melakukan pe- jadi indikator untuk masalah kesehatan re-
nyimpangan sosial. produksi dipresentasikan pada bagian ini.
Ketiga adalah lingkungan tempat ting- Informasi mengenai masalah kesehatan re-
gal yang kurang baik. Semakin aktif remaja produksi, selain penting diketahui oleh para
berinteraksi dan bersosialisasi dengan ma- pemberi pelayanan kesehatan, pembuat ke-
syarakat juga akan membawa dampak bagi putusan, juga penting untuk para pendidik
perilaku remaja, apabila remaja bergaul dan penyelenggara program bagi remaja,
dalam lingkungan yang baik, maka akan agar dapat membantu menurunkan masalah
menjadi remaja yang terarah, dan ini berlaku kesehatan reproduksi remaja.
untuk kebalikannya. Maka untuk itu, ideal- Sekitar 50 juta orang (20%) populasi
nya orang tua membantu memfasilitasi Indonesia adalah remaja (usia 10-19 ta-
anak-anaknya dalam bergaul. hun). Dari jumlah tersebut diperkirakan
akan banyak permasalahan yang dihadapi.
Beberapa masalah remaja antara lain ke-
hamilan yang tidak diinginkan. Berdasar-
DAMPAK PERILAKU SEKS kan data yang dilansir oleh PKBI tahun
BERISIKO DI KALANGAN REMAJA 2005, sebanyak (33,79%) remaja siap untuk
Terdapat indikasi pada remaja baik di melakukan aborsi. Pada penelitian lain di-
perkotaan maupun perdesaan yang menun- dapatkan, dari 2,4 juta kasus aborsi atau
jukkan meningkatnya perilaku seks pra- 21% (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja
nikah. Padahal kelompok usia remaja meru- (BBKBN-LDFEUI, 2000).
pakan usia yang paling rentan terinfeksi Masa remaja merupakan masa peralih-
HIV dan AIDS dan Penyakit Menular Sek- an (transisi) dari anak-anak ke masa de-
sual (PMS) lainnya. Bahkan, dalam jangka wasa. Pada masa transisi, remaja sering
waktu tertentu, ketika perempuan remaja menghadapi permasalahan yang sangat
mengandung, maka kehamilannya dapat kompleks dan sulit ditanggulangi sendiri.
mengancam kelangsungan hidup janin/ Tiga risiko yang sering dihadapi oleh
bayinya. remaja (TRIAD KRR, 2000) yaitu risiko-
Pada dasarnya, kerentanan perempuan, risiko yang berkaitan dengan seksualitas
bukan hanya karena faktor biologisnya, (kehamilan tidak diinginkan, aborsi dan
namun juga secara sosial dan kultural ku- terinfeksi penyakit menular seksual), pe-
rang berdaya untuk menyuarakan kepen- nyalahgunaan NAPZA, dan HIV dan AIDS.
tingan/haknya pada pasangan seksualnya Masa transisi kehidupan remaja dibagi
demi keamanan, kenyamanan, dan kese- menjadi lima tahapan (youth five life tran-
hatan dirinya. Kepasifan dan ketergan- sitions), yaitu melanjutkan sekolah (con-
tungan sebagai karakter feminim yang di- tinue learning), mencari pekerjaan (start
lekatkan pada perempuan juga melatari working), memulai kehidupan berkeluarga
kerentanan tersebut. Faktor ekonomi juga (form families), menjadi anggota masyarakat
mengkondisikan kerentanan perempuan. (exercise citizenship), dan mempraktikkan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah hidup sehat (practice healthy life). (Dr. Siti
mengkompilasi, masalah kesehatan repro- Hannifah dan Titeu Herawati, 2008).
115
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
116
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
misalnya untuk membuktikan bahwa me- PMS, HIV dan AIDS, KTD dan dampaknya,
reka adalah jantan, 5) Risiko HIV dan serta pengembangan perilaku reproduksi
AIDS sukar dimengerti oleh remaja, sehat untuk menyiapkan diri melaksanakan
karena HIV dan AIDS mempunyai periode fungsi reproduksi yang sehat (fisik, mental,
inkubasi yang panjang, gejala awalnya ekonomi, spiritual). Pendidikan KRR dapat
tidak segera terlihat, 6) Informasi mengenai diwujudkan dalam penyuluhan, bimbingan
penularan dan pencegahan HIV dan AIDS dan konseling, pencegahan, penanganan
rupanya juga belum cukup menyebar di masalah yang berkaitan dengan KRR ter-
kalangan remaja sehingga banyak remaja masuk upaya mencegah masalah perenatal
masih mempunyai pandangan yang salah yang dapat dialami oleh ibu dan anak yang
mengenai HIV dan AIDS, 7) Remaja pada dapat berdampak pada anggota keluarga
umumnya kurang mempunyai akses ke lainnya.
tempat pelayanan kesehatan reproduksi
dibanding orang dewasa sehingga banyak
remaja yang terkena HIV dan AIDS tidak PENTINGNYA PENDIDIKAN
menyadari bahwa mereka terinfeksi, ke- SEKSUALITAS YANG
mudian menyebar ke remaja lain, sehingga
KOMPREHENSIF
sulit dikontrol.
Berbagai fenomena yang terjadi di Indo-
Berbagai permasalahan yang berkaitan
nesia, agaknya masih timbul pro kontra
dengan kesehatan reproduksi remaja di atas
di masyarakat, lantaran adanya anggapan
memerlukan suatu upaya pengembangan
bahwa membicarakan seks adalah hal yang
program pendidikan kesehatan reproduksi
tabu dan pendidikan seks akan mendorong
remaja yang dapat mencakup penyediaan
remaja untuk berhubungan seks. Sebagian
pelayanan klinis, pemberian informasi
besar masyarakat masih beranggapan pen-
akurat, mempertimbangkan kemampuan dan
didikan seks sebagai suatu hal yang vulgar.
sisi kehidupan remaja, menjamin program
yang cocok atau relevan dengan remaja Selama ini, jika kita berbicara mengenai
serta mendapat dukungan masyarakat. seks, maka yang terbersit dalam benak
Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja sebagian besar orang adalah hubungan
(KRR) berbasis sekolah merupakan salah seks. Padahal, seks itu artinya jenis kelamin
satu alternatif strategi yang tepat karena yang membedakan laki-laki dan perempuan
bisa mencakup semua tantangan di atas. secara biologis. Seksualitas menyangkut
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja beberapa hal antara lain dimensi biologis,
(KRR) yang dilakukan oleh sekolah me- yaitu berkaitan dengan organ reproduksi,
rupakan salah satu upaya untuk mem- cara merawat kebersihan dan kesehatan;
bimbing remaja mengatasi konflik sek- dimensi psikologis, seksualitas berkaitan
sualnya. Oleh berbagai pihak, sekolah dan dengan identitas peran jenis, perasaan
guru dianggap sebagai pihak yang layak terhadap seksualitas dan bagaimana men-
memberikan pendidikan Kesehatan Re- jalankan fungsinya sebagai makhluk seksual,
produksi Remaja (KRR) ini. dimensi sosial, berkaitan dengan bagai-
mana seksualitas muncul dalam relasi antar
Pendidikan kesehatan Reproduksi Re-
manusia serta bagaimana lingkungan ber-
maja (KRR) untuk memberikan bekal
pengaruh dalam pembentukan pandangan
pengetahuan kepada remaja mengenai
mengenai seksualitas dan pilihan perilaku
anatomi dan fisiologi reproduksi, proses
seks, dan dimensi kultural, menunjukkan
perkembangan janin, dan berbagai per-
bahwa perilaku seks itu merupakan bagian
masalahan reproduksi seperti kehamilan,
dari budaya yang ada di masyarakat.
117
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
118
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
Sementara itu, data dari Kemenkes tahun nyebutkan pencegahan terhadap seks pra-
2010 menunjukkan bahwa hampir separuh nikah, namun menyebutkan bahwa pe-
(47,8%) kasus AIDS berdasarkan usia juga meliharaan kesehatan remaja ditujukan
diduduki oleh kelompok usia muda (20-29 untuk mempersiapkan menjadi orang
tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku dewasa yang sehat dan produktif, baik
seks berisiko terjadi pada usia remaja. sosial maupun ekonomi (pasal 136 ayat
Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan 1), dan dilakukan agar remaja terbebas
tersebut menjadikan pendidikan kesehatan dari berbagai gangguan kesehatan yang
reproduksi dan seksual penting untuk dapat menghambat kemampuan menjalani
diberikan. kehidupan reproduksi secara sehat (ayat 2).
Berdasarkan suatu penelitian terdahulu Hal ini diinterpretasikan oleh para pemang-
mengenai pendidikan seksualitas di se- ku kebijakan sebagai upaya pencegahan
kolah, Utomo, Donald, & Hull (2012) remaja melakukan seks ‘bebas’.
menunjukkan bahwa pendidikan seksua- Sejalan dengan mandat kebijakan ter-
litas meskipun tidak diberikan dalam sebut, program BKKBN memiliki pro-
mata pelajaran khusus, namun telah di- gram GenRe (Generasi Berencana) di
berikan secara terintegrasi dalam mata pe- sekolah yaitu GenRe Goes to School
lajaran pendidikan jasmani, kesehatan, yang berupa sosialisasi untuk pence-
dan olahraga (Penjaskesor), Biologi, Ilmu gahan remaja melakukan perilaku seks
Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan Agama. berisiko, mengkonsumsi napza (narko-
Meskipun demikian, Holzner dan Oetomo tika, psikotropika, dan zat adiktif), abor-
(2004) menyoroti kelemahan pendidikan si, dan HIV/AIDS. Program ini meng-
seksualitas yang selama ini menggunakan konstruksikan seks bagi kaum muda me-
wacana seks bagi kaum muda tidak sehat rupakan hal yang tidak berbahaya. Pene-
dan berbahaya. Dalam survei yang di- litian ini memandang bahwa discourse of
lakukan oleh Holzner dan Oetomo (2004) prohibition dan mengkonstruksikan sek-
di Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya sualitas remaja sebagai hal yang negatif
juga menunjukkan bahwa 60% responden tidaklah cukup untuk memberdayakan re-
perempuan usia 15–24 tahun telah menerima maja. Akan tetapi, perlu disadari bahwa
pendidikan kesehatan reproduksi, namun pendidikan kesehatanreproduksi dan sek-
mayoritas dari mereka (70%) menyatakan sual merupakan topik sensitif yang mem-
materi yang diberikan adalah bahaya dari butuhkan advokasi pada otoritas terkait dan
seks. Pendidikan seksualitas semacam ini pendidikan publik mengenai pentingnya
tidak memberdayakan kaum muda untuk pendidikan seks pada remaja. Untuk itu,
memahami seksualitasnya dan menghindari penting untuk memahami norma budaya
perilaku seks yang berisiko bagi kesehatan seputar seksualitas agar pendidikan ke-
reproduksi dan seksualnya. sehatan reproduksi dan seksual dapat
Wacana pendidikan seksualitas yang diterima.
ditujukan untuk mencegah ‘seks bebas’ Oleh karena itu, pendidikan seksualitas
ini sejalan dengan temuan Holzner dan dan kesehatan reproduksi perlu memandang
Oetomo (2004), pendidikan seksualitas seksualitas secara komprehensif, yaitu
yang selama ini menggunakan wacana mengakui berbagai dimensi mengenai sek-
larangan (discourse of prohibition). Kons- sualitas yang dihadapi remaja yang dapat
truksi seksualitas remaja dalam kebijakan mempengaruhi keputusan remaja men-
terkait yaitu Undang-Undang Kesehatan jalani seks berisiko atau tidak. Adanya
No. 36 Tahun 2009, meskipun tidak me- dorongan seksual, kenikmatan seksual serta
119
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
di sisi lain relasi gender, ajaran agama dan efektif. Usia menjelang remaja, Pada saat
norma budaya, resiko kesehatan seksual ini, anak semakin berkembang, mulai saat-
dan reproduksi, dan risiko sosial perlu nya diterangkan mengenai menstruasi
didiskusikan pada remaja berdasarkan (haid), mimpi basah, dan juga perubahan-
pengalaman yang mereka jalani. perubahan fisik yang terjadi pada seseorang
Pendidikan kesehatan reproduksi harus remaja. Orang tua bisa menerangkan bahwa
dianggap sebagai bagian dari proses pen- si gadis kecil akan mengalami perubahan
didikan yang mempunyai tujuan untuk bentuk payudara, atau terangkan akan
memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan adanya tumbuh bulu-bulu di sekitar alat
pengembangan kepribadian. Melalui pen- kelaminnya. Pada saat usia remaja, seorang
didikan kesehatan reproduksi merupakan remaja akan mengalami banyak perubahan
upaya bagi remaja untuk meningkatkan pe- secara seksual. Orang tua perlu lebih
mahaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku intensif menanamkan nilai moral yang baik
positif tentang kesehatan reproduksi dan kepadanya. Berikan penjelasan mengenai
seksualnya, serta meningkatkan derajat re- kerugian seks bebas seperti penyakit yang
produksinya. ditularkan dan akibat-akibat secara emosi.
Kapankah pendidikan kesehatan repro- Adanya remaja yang telah aktif secara
duksi diberikan? Sangat dimungkinkan seksual dan faktor gender yang bermain
pendidikan kesehatan reproduksi diberikan dalam perilaku seks pranikah, belum
sejak usia dini, secara tidak langsung. Me- banyak didiskusikan dalam pendidikan sek-
nurut Nurohmah (2013) tahapan usia da- sualitas di sekolah selama ini. Sementara
lam memberikan pendidikan kesehatan itu, berbagai hasil penelitian juga menun-
reproduksi sejak usia dini, yaitu: Balita jukkan bahwa remaja di Indonesia se-
(1-5 tahun). Pada usia ini penanaman pen- makin cenderung untuk aktif secara sek-
didikan kesehatan reprodukjsi cukup mu- sual dibandingkan generasi-generasi sebe-
dah dilakukan yaitu mulai mengenalkan lumnya (lih. Bennett, 2005 atau Smith-
kepada anak tentang organ reproduksi yang Hefner, 2006).
dimilikinya secara singkat. Dapat dilakukan
Hal lain yang perlu dilihat dari data
ketika memandikan si anak dengan mem-
pengalaman remaja dalam penelitian yang
beritahu organ yang dimilikinya, misalnya
rambut, kepala, tangan, kaki, perut, penis di lakukan oleh Higgins dan Hirsch (2007)
dan vagina. Terangkan juga perbedaan alat adalah melihat keterkaitan antara seksualitas
kelamin dari lawan jenisnya. Tandaskan dan kesehatan reproduksi yaitu aspek ke-
juga bahwa alat kelamin tersebut tidak nikmatan seksual (termasuk mencari ke-
boleh dipertontonkan dengan sembarangan. nikmatan seksual) dan keterkaitannya
Pada usia ini juga perlu ditandaskan dengan risiko seksual. Seperti menurut
tentang sikap asertif yaitu berani berkata Higgins dan Hirsch (2007) aspek kenik-
tidak kepada orang lain yang akan berlaku matan seksual (sexual pleasure dan sexual
tidak senonoh. Dengan demikian dapat pleasure-seeking) dan dampaknya ter-
melindungi diri anak terhadap maraknya hadap risiko seksual merupakan hal yang
kasus kekerasan seksual dan pelecehan masih sulit untuk dipahami dalam program
seksual. Usia 3–10 tahun, Pada usia ini, kesehatan reproduksi. Hal ini menunjukkan
anak biasanya mulai aktif bertanya tentang bahwa aspek sexual pleasure-seeking di-
seks. Misalnya anak akan bertanya dari lakukan dan memiliki dampak yang berbeda
mana ia berasal. Atau pertanyaan umum berdasarkan gender, namun masih belum
mengenai asal-usul bayi. Jawaban-jawaban di sadari dalam pemberian pendidikan
yang sederhana dan terus terang biasanya seksualitas dan kesehatan reproduksi.
120
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
Miswanto, Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi ...
Program pendidikan seksualitas dan maja secara positif sebagai makhluk sek-
kesehatan reproduksi di Indonesia belum sual (sexual being) yang memiliki hak
komprehensif karena cenderung fokus pada kesehatan reproduksi dan agar dapat ber-
aspek biologis dan pencegahan penyakit tanggungjawab terhadap kesehatan seksual
menular (misalnya HIV dan AIDS). Pen- dan reproduksinya.
didikan semacam ini tidak hanya ter-
jadi di Indonesia, berdasarkan penelitian
Allen (2011), pendidikan seksualitas ba- DAFTAR PUSTAKA
nyak dikritik dibeberapa negara karena
Aliansi Remaja Independen. 2010. Fact
gagal menyediakan pemahaman yang Sheet Status Kesehatan Reproduksi
komprehensif, tidak berdasarkan kebu- Remaja Indonesia. Jakarta.
tuhan remaja, dan melupakan aspek ke-
Atkinson. 1999. Pengantar Psikologi. Jakarta:
timpangan gender dan ketidakadilan sosial
Penerbit Erlangga.
yang lebih luas. Pendidikan yang hanya
memfokuskan pada bahaya dan risiko hu- BPS, BKKBN, Depkes. 2008. Survei Kesehatan
bungan seksual sebagaimana yang dike- Reproduksi Remaja Tahun 2007. Ja-
karta.
mukakan oleh Bay-Cheng (2003) tidaklah
realistis dengan kondisi remaja dan akan Badris, Gifari. 2007. Bahaya Narkoba dan Seks
gagal untuk memberikan informasi se- Bebas. Riau: CV. Milaz Grafika.
benarnya mengenai seksualitas dan tidak BKKBN. 2001. Remaja Mengenai Dirinya. Ja-
dapat memberdayakan remaja untuk ber karta: BKKBN
tanggungjawab terhadap kesehatan repro- Dep. Kesehatan RI. 1997. AIDS di Tempat Ker-
duksi dan seksualnya. ja. Jakarta: Depkes RI
Diana Teresia Pakasi. Rani Kartikawati, Antara
Kebutuhan Tabu: Pendidikan Sek-
KESIMPULAN sualitas dan Kesehatan Peproduksi
Pemahaman dan pengetahuan remaja bagi remaja di SMA, Pusat Kajian
terhadap kesehatan reproduksi dan seksu- Gender dan Seksualitas,
alitas selama ini terbilang masih rendah dan Pratiwi, Kartika Ratna. 2010. Kesehatan Repro-
tidak sedikit pula yang mengabaikannya. duksi Remaja dan Permasalahannya.
Hal ini dapat berimplikasi pada risiko sek- Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bio-
sual yang dihadapi oleh remaja. Pemaha- logi FMIPA UNY
man terhadap seksualitas dan kesehatan Muflihati, A. 2010. “Studi Kasus Program
reproduksi yang diberikan di lembaga pen- Penyuluhan dan Konseling Kesehatan
didikan formal maupun informal cenderung Reproduksi Remaja di SMA Muham-
memandang aspek kesehatan reproduksi madiyah 2 Yogyakarta.” Naskah Thesis
dan seksualitas remaja hanya sebatas pada S2, Fakultas Kesehatan Masyarakat.
FISIP UI diakses dari http://www.
fenomena biologis semata–cenderung meng-
digilib.ui. ac.id/ opac/ themes/ libri2/
konstruksikan seksualitas remaja sebagai
detail.jsp? id=108893
hal yang tabu dan berbahaya—dikontrol
melalui wacana moral, dan agama. Selain Tim KRR Perinasia. 2007. Materi Pela-
itu, agar lebih efektif, pemahaman terhadap tihan: KRR. Jakarta: Perinasia
seksualitas dan kesehatan reproduksi perlu Wagner, Lola dan Denny Irawan Yatim.
dikontekstualisasikan berdasarkan realitas 1997. Seksualitas di Pulau Batam.
dan kondisi remaja. Diharapkan hal ini Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
dapat mengkonstruksikan seksualitas re-
121
JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 3, No. 2, September 2014
SATUAN ACARA PENYULUHAN
MANAGEMENT STRESS
A. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang management stress remaja dapat melakukan
B. Tujuan Khusus
C. Materi
Terlampir
D. Metode
Ceramah, diskusi, tanya jawab, Demonstrasi
E. Media
PPT
F. Waktu
Hari Rabu, tanggal 13 januari 2021
G. Rencana kegiatan
Pelaksanaan
1. Menjelaskan tentang : Mendengarkan dan Ceramah 15 Menit
- Pengertian stress dan memperhatikan penjelasan dan
management stress dengan Penyuluh demonstra
cara meditasi si
- Penyebab stress
anda dan gejala stress
- Dampak stress
2. Mengajarkan Teknik
meditasi untuk mengurangi
stress
3. Memberikan kesempatan
untuk bertanya
A. PENGERTIAN
Stress merupakan bentuk respon tubuh seseorang yang memiliki beban
pekerjaan berlebihan sehingga jika seseorang tersebut tidak sanggup mengatasinya
maka orang tersebut dapat mengalami gangguan dalam menjalankan pekerjaan
(Hawari 2011). Menurut Dilawati (dalam Syahabuddin, 2010) stres adalah suatu
perasaan yang dialami apabila seseorang menerima tekanan.
Meditasi dalam kamus lengkap psikologi berarti satu upaya yang terus
menerus pada kegiatan berfikir biasanya semacam kontemplasi perenungan dan
pertimbangan Relijius dan meditasi juga berarti refleksi mengenai hubungan antara
orang yang tengah Bersemedi dengan Tuhan dalam agama meditasi berarti
menggunakan pikiran.
Meditasi adalah suatu teknik dalam meningkatkan kesadaran denngan
membatasi kesadaran pada satu obyek situasi yang tidak berubah pada waktu
tertentu untuk membangun mengembangkan dunia internet atau dunia batin
seseorang sehingga menambah kekayaan makna hidup baginya menurut iskandar
meditasi adalah latihan oleh jiwa yang dapat menyeimbangkan fisik emosi mental
dan spiritual seseorang.
B. Sifat stress
1. Stress positif
mendorong pelakunya lebih pro aktif, memacu alam pikiran untuk menghadapi
masalah yang menjadi sumber stress tersebut.
2. Sterss negative
yang menyebabkan hidup tidak bergairah makin lesu menimbulkan
permasalahan: rasa cemas depresi dan gangguan fisik
3. Stress negatif menjadi stress positif
kegagalan kemarin bisa saja menyeret diri ke stress negatif namun bagi mereka
yang berpikiran besar hal tersebut akan diarahkan ke situasi di mana hal- hal
positif dan membangun yang akan menggantikan suasana hati dan pikiran.
C. Penyebab stress
1. Faktor lingkungan
a. Ketidak pastian ekonomi
b. Ketidak pastian politik
c. Gagap teknologi
d. Kemacetan lalu lintas
e. Polusi
f. Birokrasi badan pemerintah
2. Faktor organisasi
a. Gangguan komunikasi
b. Birokrasi berlebihan
c. Pimpinan yang otoriter
d. Perubahan organisasi
3. Faktor diri
a. Salah pengelolaan hidup
b. Problem keluarga
c. Target tidak realistis
d. Problem pertemanan
e. Kebiasaan buruk
f. Perkawinan tidak harmonis
D. Dampak stress
1. Gangguan fisik
a. Berkeringat
b. Jantung berdebar
c. Kadar kolesterol
d. Gangguan saluran pencernaan
e. Gangguan suplai udara
f. Kadar gula dan insulin tidak stabil
g. Peningkatan tekanan darah
2. Gangguan psikologis
a. Lupa
b. Insomnia
c. Mudah marah
d. Kebiasaan makan berubah
3. Gangguan perilaku
a. Super sensitive
b. Efesiensi naik turun
c. Produktifitas naik turun, perilaku berubah kasar/keras
E. Management stress
1) Jaga selalu kondisi tubuh dan perkuatlah dengan cara mengkonsumsi
makanan dan minuman 4 sehat 5 sempurna.
2) Tidur dan istirahat yang cukup, merupakan salah satu cara untuk mengurangi
kemarahan kesedihan karena tidur memberi kesempatan kepada otak untuk
relax
3) Lakukan olahraga teratur karena gerak tubuh akan merangsang keluar zat
endorphine yaitu zat yang membuat tubuh merasa nyaman. Orang yang
senang berolahraga umumnya tampak lebih fit dan Bahagia selalu berpikir
positif karena cerminan dan Bahagia.
4) Selalu berfikir positif, karena cerminan dari Tindakan, Tindakan positif berasal
dari pikiran positif, Tindakan negative berasal dari pikiran negative
5) Lakukan HOBBY yang menyenangkan, karena hobby membuat rilex dan
sejenak melupakan rutinitas masalah yang ada.
6) Jangan terpaku pada rutinitas, harus berani berubah, tidak malu dan ragu.
7) Teknika relaksasi dan nafas dalam
8) Meditasi 15-30 menit dalam sehari.
9) Berkomunikasi secara asertih
10) Murah senyum, tertawa lepas, bernyanyi dan bersosialisasi dengan
teman/lingkungan
11) Beribadah dan berdoa (tidak hanya dalam masa sulit saja, berbuat baik pada
semua oran, bersukur pada setiap usaha kita, baik yang berhasIL atau tidak.
Tetaplah bersyukur.
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR MANAGEMENT
STRESS DENGAN CARA MEDITASI
NO PROSEDUR NILAI
1 PERSIAPAN
A. Persiapan perawat
- Hendaknya memiliki kemampuan membimbing untuk
melakukan imajinasi positif
B. Persiapan peserta
- Anjurkan klien BAK atau BAB terlebih dahulu, sebaiknya
tidak dalam kondisis lapar
C. Persiapan alat
- Kursi denagan sandaran kepala dan lengan atau matras
- Alat audio music
D. Pesiapan Lingkungan
- Ruang tenang dan nyaman tertutup atau stimulus
minimal
2. Pelaksanaan Meditasi
Fase orientasi
1. Sampaikan salam
2. Perkenalan
3. Jelaskan tujuan Tindakan
4. Tanyakan kesiapan klien untuk terapi
5. Beri kesempatan klien untuk bertanya atau menyampaikan
sesuatu
Fase kerja
1. Atur posisi klien senyaman mungkin (duduk atau tiduran)
2. Anjurkan klien menutup mata
3. Anjurkan klien meletakkan tubuhnya senyaman mungkin
4. Pastikan otot-otot klien dalam keadaan rileks
5. Anjurkan klien menarik nafas dari hidung, tahan sebentar
dan keluarkan secara perlahan melalui mulut (sesuai
intruksi
6. Minta klien membayangkan sesuatu yang indah dan
menyenangkan
7. Pastikan klien mampu melakukannya, kalua perlu tanyakan
ketercapaiannya
8. Jika klien belum mamapu melakukannya atau gagal,
bombing Kembali klien untuk berimajinasi sesuai dengan
ilustrasi yang dilakukan perawat
9. Arahkan pernafasan klien, ulangi berkali-kali. Biarkan klien
menikmati imajinasinya (15-30 menit)
10. Jika anda telah siap untuk mengakhiri meditasi , lakukan
dengan perlahan, buka mata anda dan perlahan regangkan
dan pijat tungkai dan lengan anda.
3 Pengakhiran meditasi
1. Jelaskan bahwa kegiatan telah selesai
2. Tanyakan perasaan klien setelah meditasi dilakukan
3. Kembalikan posisi klien ke posisi semula
4. Berikan tindaka lanjut
5. Ucapkan salam
4 Dokumentasi
Dokumentasikan seluruh kegiatan dari awal hingga akhir.
Oleh :
Lela maeirta nur hazlinda
195140070
Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres
adalah suatu konsep yang mengancam dan konsep
tersebut terbentuk dari perspektif lingkungan dan
pendekatan yang ditransaksikan.
Faktor organisasi
Faktor diri
• Berkeringat,
gangguan
Gangguan pencernaan
fisik
• Jantung
berdebar, dll
• Lupa, insomnia/
susah tidur
Gangguan
psikologi • Mudah marah,
pola makan
berubah
• Super sensitif
Gangguan
perilaku • Produktifitas
naik turun.
▪ Jaga selalu kondisi tubuh dan perkuatlah dengan cara mengkonsumsi makanan dan
minuman 4 sehat 5 sempurna
▪ Tidur dan istirahat yang cukup
▪ Selalu berpikir positif
▪ Lakukan kegiatan yang menyenanangkan
▪ Jangan terpaku pada rutinitas
▪ Teknik relaksasi dengan nafas dalam
▪ Meditasi
▪ Lakukan olahraga teratur seperti yoga
▪ Berkomunikasi secara asertif, murah senyum dll
▪ Beribadah dan berdoa
Fase kerja
Abstrak : Banyaknya tuntutan dan tekanan yang dialami siswa menjadikan hal
tersebut beban yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan me-manage stres yang
dimiki. Berkaitan dengan hal itu sekolah memegang peranan penting dalam upaya
meningkatkan kemampuan memanajemen stres bagi siswa di sekolah. Namun selama
ini sekolah belum menunjukkan upaya untuk menangani hal tersebut. Oleh sebab itu
peneliti merasa perlu untuk mengembangkan sebuah materi tentang Manajemen Stres
yang diharapkan bisa digunakan oleh guru bimbingan dan konseling untuk disampaikan
kepada siswa. Materi ini disusun menggunakan metode penelitian dan pengembangan
(R&D). Tujuan penelitian ini adalah 1) Tersusunnya materi Peningkatan Kemampuan
manajemen Stres Siswa ditinjau dari kejelasan, sistematika, dukungan gambar,
keterbaruan dan kelengkapan materi serta dukungan games/video 2) Untuk mengetahui
kualitas materi yang dihasilkan. Materi ini divalidasi oleh dosen pembimbing 1 & 2,
guru Bimbingan Konseling serta 40 siswa SMP Negeri 13 Pekanbaru. Materi ini
diujicobakan kepada siswa dengan alokasi waktu 3 jam pelajaran ( 3 x 40’). Materi ini
terdiri dari stres dan pengertian stres, penggolongan stres, gejala stres, faktor penyebab
stres, pengertian stressor, sumber stres dan sifat stressor, cara-cara me-manage stres.
Hasil penelitian dari pengembangan materi ini menunjukkan kualitas materi yang
dihasilkan berada pada kategori “Baik”, dengan perolehan skor 4,02 untuk keseluruhan
aspek penilaian.
PENDAHULUAN
1. Siswa tidak berkonsentrasi dalam proses belajar karena baru saja putus dengan
pacarnya dan tidak terima dengan hal tersebut, hal itu dikarenakan masih adanya
perasaan tidak terima dengan keadaan yang sedang ia alami. Perasaan tersebut
4
muncul karena terus menyalahkan diri sindiri dan melihat teman teman yang
memiliki teman dekat(pacar).
2. Banyaknya tugas yang diberikan oleh guru setiap pertemuan. Tugas yang harus
diselesaikan bukan hanya satu tugas itu saja. Hal ini menyebabkan siswa panik dan
tertekan karena mereka tidak dapat membagi waktu dalam pengerjaan tugas setiap
mata pelajaran yang harus dikumpul dalam tempo waktu yang singkat dan
terkadang dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan mereka ada yang tidak
mengerti dengan tugas yang diberikan karena guru tidak menerangkan materi tugas
tersebut. Tuntutan dalam mendapat nilai yang bagus dalam setiap mata pelajaran
juga menjadi beban bagi mereka untuk menjadi yang terbaik.
3. Tuntutan prestasi yang harus terus meningkat dari orang tua juga menjadi tekanan.
Selain itu ketakutan mereka akan menghadapi ujian juga menyebabkan siswa stres.
Ketakutan yang mereka alami seperti “aduh gimana ya ujian nanti, aduh bisa gak ya
jawabnya, yang saya pelajari keluar gak ya, takut nanti nilainya jelek, takut gak bisa
jawab, takut gak bisa naik kelas, bisa gak ya kompromi atau bertanya dengan
teman, pengawasnya killer gak ya” kekhawatiran-kekhawatiran seperti itu
menyebabkan mereka stres.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan me-manage stress yang dimiliki oleh
sebagian siswa di SMP Negeri 13 Pekanbaru cukup rendah, sementara stres yang
ditimbulkan sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan sehari-hari siswa. Berdasarkan
fenomena tersebut diatas, perlu adanya bahan ajar yang disiapkan oleh guru BK sebagai
pedoman bagi mereka untuk memberikan layanan informasi tentang stres yang dialami
peserta didik. Dalam hal ini pengembangan materi yang dibuat akan membantu siswa
dalam mengelola stres yang mengganggu psikis seorang siswa. Sehingga
pengembangan materi mengenai manajemen stres sangat diperlukan agar dapat
diberikan kepada para siswa. Pada saat ini ketersediaan bahan atau materi untuk
manajemen stres yang dialami oleh siswa belum banyak. Ada beberapa penelitian
Qurrotun Ayu (2013), Nansar (2016) dan Fariyuni (2014) tentang cara mengelola stres,
tetapi tentang materi atau bahan ajar belum tersedia. Dengan adanya materi mengenai
pengelolaan stres ini diharapkan siswa mampu mengelola perasaan ataupun stres yang
sedang ia alami.
Dengan didasarkan fakta yang ada di SMP Negeri 13 Pekanbaru tersebut,
penulis merasa perlu untuk mengkaji dalam sebuah penelitian dengan judul
“Pengembangan Materi Manajemen Stres Siswa”.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana
penyusunan materi tentang manajemen stres yang sesuai untuk siswa ditinjau dari
kejelasan, sistematika, dukungan gambar, keterbaruan dan kelengkapan materi, 2)
Bagaimana kualitas dari materi manajemen stres siswa yang dihasilkan.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah : 1) Tersusunnya materi manajemen
stres yang sesuai untuk siswa ditinjau dari kejelasan, sistematika, dukungan gambar,
keterbaruan dan kelengkapan materi, 2) Untuk mengetahui kualitas materi manajemen
stres siswa yang dihasilkan.
Rasmun (2004) mengatakan bahwa pada dasarnya besar kecilnya masalah yang
menegangkan tersebut adalah relatif, tergantung dari tinggi rendahnya kedewasaan
kepribadian serta bagaimana sudut pandang seseorang dalam menghadapinya. Sebagian
5
besar individu yang mengalami ketegangan mengambil jalan pintas dengan harapan
terhindar dari stres.
Lebih lanjut disebutkan bahwa stres yang berlarut-larut dan dalam intensitas
yang tinggi dapat meneyebabkan penyakit fisik dan mental seseorang, yang akhirnya
dapat menurunkan produktifitas kerja dan buruknya hubungan inerpersonal (Rasmun,
2004). Oleh sebab itu dengan memahami konsep stres, coping adalah penting untuk
dapat membantu mengurangi efek dari stres yang ditimbulkan. Karena pada dasarnya
stres tidak bisa dihilangkan dari proses kehidupan, namun juga diperlukan untuk proses
pertumbuhan dan kematangan pribadi.
Lazarus & Folkman ( dalam Faridah, 2014:274) berpendapat, bahwa stres dapat
terjadi jika individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan
situasi lingkungan fisik dan sosial Artinya, stres akan dialami atau tidak dialami
bergantung pada penilaian subjektif individu terhadap sumber stres yang datang. Jika
individu menganggap kemampuannya cukup untuk memenuhi tuntutan lingkungan,
maka stres tidak akan terjadi.
Stress adalah respons tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh
yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan
tidak dapat dihindari (Rasmun, 2004:9).
Dari berberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan
perasaan tidak nyaman, ketidakssuaian dan perasaan tertekan yang dialami oleh
individu baik secara fisik maupun psikis sebagai respon individu terhadap penyebab
ataupun pemicu stress yang mengganggu kesejahteraan seorang individu.
Pengelolaan stres disebut juga dengan istilah coping. Menurut R. S. Lazarus dan
Folkman (Friandry, 2012), coping adalah proses mengelola tuntutan (internal dan
external) yang ditaksir sebagi beban karena diluar kemampuan diri individu. Coping
dapat membantu murid beradaptasi dengan situasi stres dan kecemasan.
METODE PENELITIAN
Me=
n
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data diperoleh gambaran seperti
Tabel 1 berikut:
Dengan interpensi nilai Sangat Bagus =5, Bagus = 4, Cukup Baik = 3, tidak baik
= 2, sangat tidak baik = 1.
Pembahasan
Sebelum ditarik kesimpulan pada penelitian ini, maka terlebih dahulu peneliti
akan melakukan pembahasan berkenaan dengan hasil penelitian yang dilakukan di SMP
Negeri 13 Pekanbaru tentang pengembangan materi Manajemen Stres bagi siswa SMP.
Berdasarkan hasil analisis data dengan memperhatikan skor ideal dan kriteria kualitas
maka dapat diketahui hasil penelitian ini adalah tersusunnya materi Manajemen Stres
bagi peserta didik yang sesuai untuk siswa SMP sebagaimana terlampir dalam lampiran
8, dengan kualitas materi yang dihasilkan berada pada kategori “Baik”. Hal ini
didapatkan dari penilaian yang dilakukan oleh dosen dalam hal ini adalah pembimbing
I dan pembimbing II, guru Bimbingan dan Konseling dan 40 siswa. Dari hasil kualitas
tersebut maka dapat dikatakan materi Manajemen Stres bagi siswa yang telah disusun
dapat menjadi bahan pertimbangan oleh guru bimbingan dan konseling/konselor
sekolah untuk dijadikan sebagai bahan ajar dalam pemberian layanan informasi
khususnya untuk siswa SLTP/SMP sederajat.
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil analisis data diketahui aspek kelengkapan
materi merupakan aspek yang memiliki rata-rata tertinggi dengan skor 4,36. Hal ini
didukung dengan adanya sub-sub materi yang dibagi-bagi sehingga masing-masing sub
dapat dipahami dengan mudah, menggunakan bahasa yang mudah dan sederhana serta
dilengkapi juga dengan rangkuman agar siswa dapat memahami inti dari materi yang
disampaikan. Hal ini sejalan dengan Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen
Pendidikan Nasional (2008) yang mengatakan bahwa modul yang baik harus memiliki
salah satu karakteristik penulisan modul pembelajaran yaitu berisi materi pembelajaran
yang dikemas ke dalam unit-unit kecil/ spesifik sehingga memudahkan belajar secara
tuntas, menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif serta memiliki
rangkuman materi pembelajaran. Aspek tertinggi kedua secara keseluruhan adalah
dukungan games/video dengan skor rata-rata 4,26. Muhammad Chusnul Al Fasyi
(2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan media video memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar di mana materi yang disaji dengan
dukungan video lebih menarik dan mudah diserap dibandingkan dengan materi yang
disaji tanpa dukungan video. Wahyu (2015) dalam penelitiannya juga menerangkan
bahwa adanya peningkatan hasil belajar pada mata pelajaran teknik pengelasan pada
siswa SMK Negeri 3 Purbalingga melalui metode pembelajaran Kooperatif Teams
Games Tournament(TGT). Artinya ada pengaruh yang signifikan antara metode
pembelajaran sambil bermain dengan prestasi belajar siswa.
Sedangkan aspek dengan rata-rata terendah adalah dukungan gambar dan
keterbaruan materi dengan skor rata-rata 3,76. Hal ini terjadi dikarena kurang
banyaknya gambar yang dilampirkan pada setiap pertemuan sedangkan siswa telah
terbiasa melihat gambar-gambar yang ditampilkan pada media sosial. Sari dan Mardiah
(2015) menyatakan bahwa terdapat pengaruh penggunaan media gambar terhadap
aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi bumi dan cuaca di MI
Palembang. Hal ini disebabkan karena pembelajaran menggunakan media gambar lebih
mampu memberikan semangat dan fokus siswa dalam memperhatikan penjelasan dari
8
Simpulan
Rekomendasi
2. Materi ini dapat disosialisasikan oleh guru Bimbingan dan Konseling dalam acara
pertemuan guru-guru semisal Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK),
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Guru (KKG) dan lain
sebagainya
3. Materi ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti lain dalam lingkup yang
lebih luas sehingga materi ini lebih lengkap dan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Fariyuni Liltiloly dan Nurfitria Swastiningsih. 2014. Manajemen Stres Pada Istri Yang
Mengalami Long Distance Marriage. EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi 2(2),
ISSN : 2303-114X
10
Nansar., Abd. Munir & Nurwahyuni. 2016. Efektivitas Layanan Informasi Manajemen
Stress Dalam Mereduksi Stress Akademik Siswa Kelas VIII B Smp Negeri 3
Pasangkayu. Jurnal Konseling & Psikoedukasi 1(1) ISSN: 2502 – 4000
Nuzulul Rahi. 2013. Hubungan Tingkat Stres dengan Prestasi Belajar Mahasiswa
Tingkat II Prodi D-III Kebidanan Banda Aceh Jurusan Kebidanan Poltekkes
Kemenkes NAD TA 2011/2012. Jurnal Iliah STIKes U’Budiyah 2(1), Maret 2013
(diakses 16 Mei 2017)
Qurrotun Ayu. Sumbodo Prabowo. Dewi Setyorini. 2013. Efektivitas Terapi Relaksasi
Untuk Mengurangi Tingkat Stres Kerja Bagian Penjualan pt. Sinar Sosro
Semarang. Prediksi, Kajian Ilmiah Psikologi 2(1):58-61. Januari - Juni 2013.
Rasmun. 2004. Stres, Koping dan Adaptasi teori dan Pohon Masalah Keperawatan.
Sagung Seto. Jakarta.
Sari Embun dan Mardiah Astuti. Pengaruh Penggunaan Media gambar terhadap
Aktivitas Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA materi Bumi dan Cuaca di
Madrasah Ibtidaiyah Najahiyah Palembang. 1 Januari 2015. (diakses 12 Juni
2016). http://jurnal.radenfatah.ac.id
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Bandung.
Wahyu Nur Musyafa. 2015. Pengaruh Model Pembelajara Kooperatif Teams Games
Touramet (TGT) Tergadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Teknik Pengelasan
di SMK Negeri 3 Purbalingga. Skripsi dipublikasikan Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta http://eprints.uny.ac.id (diakses 16 Mei 2017)
Lampiran Materi
MANAJEMEN STRES
Oleh : Dyah Ayu Nurani
NIM : 1305123123
POKOK PEMBAHASAN
1. Stres
2. Penggolongan Stres
3. Gejala Stres
4. Faktor Penyebab Stres (Stressor)
5. Manajemen Stres
Stres
Stres dapat diartikan sebagai respon (reaksi) fisik dan psikis yang berupa
perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan terhadap tekanan atau tuntutan yang
dihadapi. Diartikan juga reaksi fisik yang dirasakan tidak nyaman sebagai dampak dari
persepsi yang kurang tepat terhadap sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya,
merusak harga dirinya, menggagalkan keinginan atau kebutuhannya.
Lazarus & Folkman (1984) (Faridah, 2014:274) berpendapat, bahwa stres dapat
terjadi jika individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan
situasi lingkungan fisik dan sosial Artinya, stres akan dialami atau tidak dialami
bergantung pada penilaian subjektif individu terhadap sumber stres yang datang. Jika
individu menganggap kemampuannya cukup untuk memenuhi tuntutan lingkungan,
maka stres tidak akan terjadi.
Stress merupakan perasaan tidak nyaman, ketidaksesuaian dan perasaan tertekan
yang dialami oleh individu baik secara fisik maupun psikis sebagai respon individu
terhadap penyebab ataupun pemicu stress yang mengganggu kesejahteraan seorang
individu.
Penggolongan Stres
Schafer (2000) (Mahargyantari, 2009) membagi stres menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Neustress, merupakan jenis stres yang netral dan tidak merugikan.
2. Distress, terjadi pada saat tuntutan terlalu besar atau terlalu kecil. Simtom distres
dapat berupa kurangnya daya konsentrasi, tangan gemetar, sakit punggung, cemas,
gugup, depresi, mudah marah, mempercepat cara bicara.
12
3. Positive stress, adalah jenis stres yang dapat membantu untuk mengerjakan hal‐hal
tertentu, misalnya positive stress membantu mendorong seseorang untuk
mengerjakan suatu tugas dalam waktu yang terbatas.
Gejala Stres
c. Stressor kimia, dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan glukosa sedangkan
dari luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan, pemakaian alkohol, nikoyin, kafein,
polusi udara, gas beracun, insektisida, pencemaran lingkungan, bahan-bahan
kosmetik dan lain lain.
d. Stressor sosial psikologik, yaitu labeling (penamaan) dan prasangka, ketidak puasan
terhadap diri sendiri, kekejaman (aniaya, perkosaan) konflik peran, percaya diri
yang rendah, perubahan ekonomi, emosi yang negatif, dan kehamilan.
e. Stressor spiritual yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-nilai ke-Tuhanan.
Manajemen Stres
Pengelolaan stres disebut juga dengan istilah coping. Menurut R. S. Lazarus dan
Folkman (Friandry, 2012), coping adalah proses mengelola tuntutan (internal dan
external) yang ditaksir sebagi beban karena diluar kemampuan diri individu. Coping
dapat membantu murid beradaptasi dengan situasi stres dan kecemasan. Coping juga
melibatkan murid untuk berubah secara kognitif dan perilaku sebagai upaya untuk
mengelola tuntutan internal dan eksternal.
1. Mengatasi Stres menurut Wallace
Wallace (2007) menyebutkan beberapa cara menghadapi stres, yaitu :
a. Cognitive restructuring,
Cognitive restructuring, yaitu dengan mengubah cara berpikir negative
menjadi positif. Hal ini dapat dilakukan melalui pembiasaan dan pelatihan.
Pikiran-pikiran negatif yang seringkali muncul dapat menyebabkan stres, cemas
maupun depresi obsesif. Berpikir positif merupakan suatu keterampilan kognitif
yang dapat dipelajari melalui pelatihan. Berpikir positif dapat membuat individu
menerima situasi yang tengah dihadapi secara lebih positif dan dapat
menurunkan tekanan yang sedang dialami.
b. Journal writing,
Journal writing, yaitu menuangkan apa yang dirasakan dan dipikirkan
dalam jurnal atau gambar. Jurnal dapat ditulis secara periodik tiga kali
seminggu, dengan durasi waktu 20 menit dalam situasi yang memungkinkan
penuangan secara optimal (suasana tenang, tidak diinterupsi kegiatan lain).
c. Time management
Time management, yaitu mengatur waktu secara efektif untuk
mengurangi stres akibat tekanan waktu. Ada waktu dimana individu melakukan
teknik relaksasi dan sharing secara efektif dengan psikolog dalam membentuk
kepribadianyang kuat.
d. Relaxation technique
Relaxation technique, yaitu mengembalikan kondisi tubuh pada
homeostatis, yaitu kondisi tenang sebelum ada stressor. Ada beberapa teknik
relaksasi, antara lain yaitu yoga, meditasi dan bernapas diphragmatic.
2. Gaya Hidup Sehat
Gaya hidup sehat akan berdampak pada kesehatan psikologis individu,
seperti meningkatkan mood dan perasaan senang yang berdampak pada tubuh.
3. Mendengarkan musik
Terapi musik dapat digunakan dalam lingkup klinis, pendidikan, dan sosial
bagi klien atau pasien yang membutuhkan pengobatan, pendidikan atau intervensi
pada aspek sosial dan psikologis (Mahargyantari, 2009:107).
14
4. Humoris
Orang yang senang humor (humoris) cenderung lebih toleran dalam
menghadapi situasi stress dari pada orang yang tidak senang humor (misalnya saja
orang yang bersikap kaku, dingin, pemurung, atau pemarah). Ketawa dapat
berfungsi sebagai upaya untuk menilai kembali situasi stress dengan cara yang
kurang mengancam dan dapat melepaskan emosi-emosi negatif yang terpendam
(seperti perasaan marah).
5. Sabar, Shalat, Doa dan Dzikir
Sabar dan Shalat. Sabar dalam Islam adalah mampu berpegang teguh dan
mengikuti ajaran agama untuk menghadapi atau menentang dorongan hawa nafsu.
Manusia yang sabar akan mampu menghadapi penyebab stres yang muncul.
Melalui shalat maka individu akan mampu merasakan betul kehadiran Allah SWT.
Segala bentuk kepenatan fisik, masalah, beban pikiran, dan emosi yang tinggi kita
singkirkan ketika shalat secara khusyuk. Dengan demikian, shalat itu sendiri sudah
menjadi obat bagi ketakutan yang muncul dari faktor penyebab stres yan dihadapi.
Melalui dzikir, perasaan menjadi lebih tenang dan khusyuk, yang pada akhirnya
akan mampu meningkatkan konsentrasi, kemampuan berpikir secara jernih, dan
emosi menjadi lebih terkendali.
ISSN : 2460-4917
E-ISSN : 2460-5794
Abstract: depression in daily life can give less flavor / discomfort, but it can also
provide a sense of comfort. As an element that gives a sense of comfort it can be
utilized, can be enjoyed, as well as the taste them, as well as a driving force to get
ahead in life. As a factor that gives disires, it will cause a lot of complaints, in a
state of acute anxiety in the form, in the form of chronic, physical or mental
disorder, boredom, fatigue and eventually death. Management of depression is
certainly pursuant nature. When he weighed on benefits in his life should be
enjoyed. When he raises depression, in a state of acute, there are various
alternatives to resolve it, either to the stress itself or its aftermath. In a state of
chronic disorders that arise must be dealt with treatment. Here the role of the
cooperation of various fields of medicine necessary if the interference is onganik.
Psiklatri important role precisely in the face of such disorders. In the face of
psychiatric disorders mural there are options on how to face up to the
psychotherapy and pharmacotherapy.
A. Pendahuluan
______________
3
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychia try, Behavioral
Sciences, Clinical Psychiatry. seventhed. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004, Hal. 1
4
Horowitz M, Stress response syndromes and their treatment in Handbook of Stress, Theoretical
and Clinical Aspects, GoIdbct Breznltz S (eds). New York: The Free Press, 2002, Hal. 711
5
Kaplan HI,…Hal. 181
B. Pembahasan
1. Defenisi Stres
______________
9
Ibid
______________
10
Sari N, Stres Kerja, Available from: http://damandiri.or.id/file/novitasariadbab2.pdf.diakses
tanggal. 13 november 2010
11
Ibid
______________
12
Horowitz M…, Hal. 732
______________
13
Surbakti EP, Stres dan koping Lansia pada masa pensiun di kelurahan Pardomuan, kec. Siantar
timur kotamadya pematang siantar. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14286/1/09E01612.pdf. diakses pada tanggal 13
November 2010
a) Lingkungan
______________
14
Danial, Apa itu Stres, available from: http://dr.danial.faithweb.com/konseling.htm. diakses
tanggal. 13 November 2010
15
Andreasen. N. C and Black. D. W, 2001, Introductory Textbook Of Psychiatry. 3rd ed. British
Library, USA, Hal. 335-342
c) Pikiran
______________
16
Gabbard GO, Anxiety Disorders: The DSM IV Edition, American Psychiatric Press,
Washington, 1994.
4. Jenis-jenis Stres
______________
17
Ibrahim A.S: Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, Jakarta: PT. Dian Ariesta, 2003
C. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Andreasen. N. C and Black. D. W, 2001, Introductory Textbook Of Psychiatry.
3rd ed. British Library. USA.
Danial. Apa itu Stres. available from:
http://dr.danial.faithweb.com/konseling.htm. diakses tanggal.
13 November 2010
Gabbard GO. 1994. Anxiety Disorders: The DSM IV Edition, American
Psychiatric Press, Washington.
Gunarya A. Manajemen Stres. TOT Basic Study Skill tahun 2008. Afailable
from:
http://www.unhas.ac.id/maba/bss2009/manajemen%20diri/
modul%20MD08-Manajemen %20stres.pdf. diakses pada
tanggal 13 november 2010
Horowitz M. 2002. Stress response syndromes and their treatment in Handbook
of Stress. Theoretical and Clinical Aspects. GoIdbct Breznltz S
(eds). New York: The Free Press.
Kaplan HI. Sadock BJ. Grebb JA. 2004. Kaplan and Sadock's Synopsis of
Psychia try, Behavioral Sciences, Clinical Psychiatry. seventhed.
Baltimore: Williams & Wilkins.
Surbakti EP. Stres dan koping Lansia pada masa pensiun di kelurahan
Pardomuan, kec. Siantar timur kotamadya pematang siantar.
Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14286/1/09
E01612.pdf. diakses pada tanggal 13 November 2010
A. LATAR BELAKANG
Masalah kesehatan yang saat ini menjadi sorotan dan perhatian dunia adalah
penyakit Covid-19.Penyakit ini disebabkan oleh virus yang benama Corona
Virus Disease –19 atau yang lebih populer dengan istilah Covid-19.
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
(SARS-CoV-2). SARSCoV2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis
coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan
gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19
antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak
napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14
hari. Pada kasus Covid-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia,
sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian (Kemenkes RI,
2020).
Namun sebuah survey yang dilakukan oleh UNICEF terhadap 4000 remaja
terkait Covid-19 menunjukkan masih ada remaja (25%) yang tidak tahu
sama sekali tentang Covid-19. Ada yang tahu gejala penyakit ini, namun
belum tahu cara pencegahan. Terjadi peningkatan pengetahuan setelah
difasilitasi dengan informasi kepada remaja. Namun sebagian besar masih
belum melakukan physical distancing (Habibie, 2020).
A. Tujuan Umum
Setelah di lakukan penyuluhan tentang New Normal Remaja dapat mematuhi
protokol-protokol kesehatan . Pengetahuan remaja merupakan hasil “tahu” dan
ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Pengetahuan tentang berbagai cara dalam mencapai pemeliharaan
kesehatan, cara menghindari penyakit, maka akan meningkatkan pengetahuan
masyarakat.
B. Tujuan Khusus
C. Materi
Terlampir
D. Metode
Metode
E. Media
PPT
Ket : = Media
= Penyaji
= Keluarga
G. Penetapan Strategi Pengorganisasian
Materi New Normal Terlampir
H. Kegiatan Pembelajaran
NO WAKTU KEGIATAN MAHASISWA KEGIATAN KLIEN MEDIA
1 5 Menit A. Pembukaan
1. Memberi salam dan memperkenalkan diri Menjawab salam
2. Menyampaikan kontrak waktu Mandengarkan Lisan
3. Menjelaskan tujuan pembelajaran Memperhatikan
4. Menyampaikan subpokok bahasan Menyimak
pembelajaran yaitu New Normal
2 15 menit B. Pelaksanaan
1. Menjelaskan tentang New Normal di masa Menyimak
Pandemi COVID-19 Menyimak
2. Penyebab dan tanda gejala COVID-19
3. Menjelaskan kepatuhan protokol Menyimak PPT
kesehatan di masa New Normal Menyimak
4. Memberikan kesempatan untuk bertanya
3 15 menit C. Evaluasi
1. Memberikan kesempatan untuk Menjawab pertanyaan
menjawab pertanyaan yang di lontarkan. Lisan
2. Menyimpulkan materi Persiapan Remaja Menyimak
menjalankan New Normal di masa Menjawab salam
pandemi COVID-19
3. Memberi salam penutup
I. Evaluasi
1. Prosedur : Setelah proses pembelajaran kesehatan
2. Waktu : 15 menit
3. Bentuksoal : google from
4. Jumlahsoal : 5 soal
DaftarPustaka
American Academy of Pediatric. (2020).
Teens & COVID-19: Challenges and
Opportunities During the Outbreak. HealthyChildren
.https://www.healthychildren.org/English/health
issues/conditions/chestlungs/Pages/TeensandCOVID-19.
Detik.com(2020).Layanan publik terpapar covid-19 mojokerto diminta
tingkatkanpencegahan
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI
(2020),
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalan Corona VirusDisease(Covid-19)
A)Pengertian
Penyakit Covid-19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang
anak-anak dan remaja. Berdasarkan Laporan Pusat Pengendalan Dan
Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) menunjukkan bahwa anak-anak dan
remaja lebih beresiko untuk mengalami komplikasi terkait penyakit Covid-19.
Dari data yang dikumpulkan pada bulan Februari sampai dengan Juli 2020
didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak dan remaja yang meninggal karena
penyakit yang terkait penyakit Covid-19 berusia 10-20 tahun (Kompas.com,
2020) Cara terbaik untuk penanggulangan dan pencegah penyakit ini adalah
dengan memutus mata rantai penyebaran covid-19. Pemutusan rantai
penularan bisa dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara
disiplin. Yaitu dengan cara sering mencuci tangan dengan air mengalir dan
sabun atau menggunakan hand sanitizer, menggunakan masker dan tidak
menyentuh area muka sebelum mencuci tangan, serta menjaga jarak dalam
setiap berkegiatan atau yang dikenal dengan istilah 3M (Dirjen P2P Kemkes
RI, 2020)
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang tidak dapat sepelekan dalam
upaya pencegahan penularan penyakt ini. Penerapan protokol kesehatan
guna pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 terutama pada remaja
memerlukan pemahaman dan pengetahuan yang baik.
1. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan air
mengalir selama 40-60 detik, dan menggunakan hand sainitaizer selama
20-30 detik. menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut dengan
tangan yang tidak bersih,
2. menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan
mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain,
2. Kedua, model pembelajaran. Agar kurikulum dapat tercapai sesuai target yang
diinginkan walau dalam kondisi terbatas. Guru harus menentukan model
pembelajaran yang tepat dalam kondisi saat ini. Blended Learning merupakan
salah satu opsi paling memungkinkan bagi guru untuk tetap dapat menerapkan
kurikulum pembelajaran yang tepat. Kolaborasi antara berbagai metode, dari
daring maupun luring. Kapan guru harus melakukan pembelajaran jarak jauh,
kapan juga guru mengagendakan untuk bertemu tatap muka dengan anak didiknya
3.Halangan berupa jarak tentu tidak menghilangkan cara guru menilai anak
didiknya. Kehadiran tepat waktu saat video conference via zoom, google meet atau
live streaming. Disiplin tepat waktu mengerjakan dan mengumpulkan tugas via
google classroom, serta nilai kejujuran dan tanggung jawab terhadap tugas yang
dikerjakan. Tutur tulisan saat merespon percakapan di grup kelas Online via
WhatsApp. merupakan bentuk penilaian afektif yang bisa guru lakukan melalui
pembelajaran daring
(SOP) untuk New Normal
Kita dapat menggunakan sabun dan air mengalir atau hand sanitizer.
seperti mata, hidung dan mulut saat keadaan tangan belum bersih. Hal ini
dikarenakan tangan bisa menjadi sarang virus yang didapatkan dari aktivitas yang
kita lakukan.
Tutup dengan lengan atas bagian dalam saat kita batuk atau bersin agar virus tidak
tersebar. Lengan atas bagian dalam dinilai aman menutup mulut dan hidung
dengan optimal, selain itu bagian tersebut juga tidak digunakan untuk beraktivitas
menyentuh wajah sehingga relatif aman. Selain itu kita juga bisa melakukan
dengan menutup mulut dan hidung menggunakan kain tisu yang setelahnya harus
segera dibuang ke tempat sampah.
Cara ini bukan hanya untuk melindungi diri kita dari infeksi virus, tetapi juga
menghindari orang di sekitar kita agar tidak tertular virus. Seseorang yang
terinfeksi Covid-19 belum tentu menunjukkan gejala, tapi ia sudah pasti dapat
menularkan kepada orang lain jika kita tidak mematuhi protokol kesehatan.
5. Sosial distancing Jaga jarak antar satu dengan yang lainnya setidaknya 1 meter
untuk menghindari terjadinya penyebaran virus. Selain itu, kita dianjurkan untuk
tidak mendatangi kerumunan, meminimalisir kontak fisik dengan orang lain dan
tidak mengadakan acara yang mengundang banyak orang.
6. Lakukan isolasi mandiri kapan pun merasa tidak sehat, khususnya jika
mengalami demam, batuk/ pilek/ nyeri tenggorokan/ sesak napas. Tetap berada di
dalam rumah dan tidak mendatangi tempat kerja, sekolah atau tempat umum
lainnya karena memiliki resiko infeksi Covid-19 dan menularkannya ke orang lain.
3. JIKA MENGALAMI GEJALA INDRA PENCIUMAN HILANG DAN INDRA PERASA HILANG DAN
DEMAM APA YANG HARUS DI LAKUKAN?
a. DI SARANKAN KE PASAR HEWAN TERDEKAT
b. DI SARANKAN KERUMAH SAKIT DAN MELAKUKAN PMERIKSAAN PCR
c. DI AJURKAN MENCUCI TANGAN
d. DI ANJURKAN MEROKOK
3. JIKA MENGALAMI GEJALA INDRA PENCIUMAN HILANG DAN INDRA PERASA HILANG DAN
DEMAM APA YANG HARUS DI LAKUKAN?
a. DI SARANKAN KE PASAR HEWAN TERDEKAT
b. DI SARANKAN KERUMAH SAKIT DAN MELAKUKAN PMERIKSAAN PCR
c. DI AJURKAN MENCUCI TANGAN
d. DI ANJURKAN MEROKOK
4. BERAPA LAMA CARA MENCUCI TANGAN DEGAN MENGGUNAKAN HAND
SANITAIZER ?
a. 60 detik – 70 detik
b. 20 detik- 30 detik
c. 10 detik -40 detik
d. 50detik – 60 detik
NPM : 195140068
LATAR BELAKANG
keperawatan komunitas ini sebagai
pengalaman belajar lapangan yang akan
berguna dalam memberikan pelayanan
dan asuhan keperawatan komunitas serta
pengalaman belajar lapangan ini
diharapkan mampu meningkatkan
keterampilan perawat di komunitas dan
melibatkan masyarakat sebagai suatu
komunitas untuk meningkatkan status
kesehatan.
New Normal merupakan kehidupan baru di
mana masyarakat tetap melakukan
berbagai aktivitas seperti biasa namun
tetap menerapkan protokol kesehatan
yang telah ditetapkan pemerintah agar
mengurangi penyebaran Virus Covid 19
dan dapat teratasi.
TUJUAN UMUM :
Setelah di lakukan penyuluhan tentang New Normal
Remaja dapat mematuhi protokol-protokol kesehatan .
Pengetahuan remaja merupakan hasil “tahu” dan ini
terjadi setelah orang mengadakan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan tentang
berbagai cara dalam mencapai pemeliharaan
kesehatan, cara menghindari penyakit, maka akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat dan remaja.
TUJUAN KHUSUS:
Menjelaskan pengertian New Normal
pada masyarakat Remaja
Menjelaskan tujuan New Normal pada
masyarakat remaja
Menjelaskan persiapan remaja dalam
menghadapi new normal.
Menjelaskann psikomoter persiapan
remaja menghadapi new normal
Pengertian new normal
pada remaja
Penyakit Covid-19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi
juga menyerang anak-anak dan remaja. Berdasarkan
Laporan Pusat Pengendalan Dan Pencegahan Penyakit
Amerika menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja lebih
beresiko untuk mengalami komplikasi terkait penyakit Covid-
19. Dari data yang dikumpulkan pada bulan Februari sampai
dengan Juli 2020 didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak dan
remaja yang meninggal karena penyakit yang terkait
penyakit Covid-19 berusia 10-20 tahun Cara terbaik untuk
penanggulangan dan pencegah penyakit ini adalah dengan
memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Tujuan new normal pada
masyarakat remaja
Di era New Normal berdampak pada dunia
pendidikan yang mana sekarang ini peserta
didik , belajar di rumah dengan pelaksanaan
proses pembelajaran secara daring.
ABSTRACT
Covid-19 is currently a serious world problem with the number of cases which are always
increasing every day. Attacking everyone regardless of age or gender and has been
categorized as a global pandemic. Even adolescents are not immune to covid infection 19.
In Indonesia alone, the number of positive cases in September 2020 was 240,687 people
with 9,448 deaths. The purpose of this study was to examine the relationship between
adolescent knowledge about covid-19 and adherence to implementing health protocols in
the new normal period. This type of research is an analytical study with a cross-sectional
design. The independent variable of this study is adolescent knowledge. While the
independent variable is compliance in implementing health protocols. The sample in this
study were 111 people. The data were analyzed using the Sperman test statistical test. The
results showed that there was no relationship between adolescent knowledge about Covid-
19 and adherence to implementing health protocols. Many factors influence the degree of
disobedience among adolescents, one of which is motivation or support from family
members and themselves. It is hoped that the family can provide an example and motivation
for adolescents to want to apply health protocols wherever they are
Keyword: covid-19, adolescent knowledge, adherence to implementing health protocols.
A. PENDAHULUAN
Masalah kesehatan yang saat ini menjadi sorotan dan perhatian dunia adalah
penyakit Covid-19. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang benama Corona Virus
Disease – 19 atau yang lebih populer dengan istilah Covid-19. Coronavirus Disease
2019 (Covid-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan
coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada
setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19
antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas.
Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus
Covid-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal
ginjal, dan bahkan kematian (Kemenkes RI, 2020).
Angka kejadian Covid-19 di dunia setiap harinya selalu bertambah. Berdasarkan
data yang didapat pada tanggal 20 September 2020, total kasus Covid-19 didunia
sebanyak 30,9 juta kasus dengan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 960.830
orang. Amerika merupakan negara tertinggi yang menderita Covid-19 dengan jumlah
kasus positif sebesar 6.966.356 orang dan 203.822 orang meninggal. Di Indonesia
134
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
sendiri, jumlah kasus positif pertanggal 20 September 2020 sebesar 240.687 orang
dengan kasus meninggal sebesar 9.448 orang (Kompas.com, 2020 )
Di Provinsi Jawa Timur, penderita Covid-19 juga selalu mengalami
peningkatan setiap harinya. Dari data yang didapat pada tanggal 19 September 2020,
jumlah penderita Covid-19 di provinsi Jawa Timur sebesar 40.372 kasus dengan jumlah
kematian sebanyak 2942 orang. Dan khusus untuk Kabupaten Mojokerto sendiri
jumlah penderita Covid-19 sebesar 758 orang dengan angka kematian sebanyak 27
orang (Detik. com, 2020)
Penyakit Covid-19 tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang
anak-anak dan remaja. Berdasarkan Laporan Pusat Pengendalan Dan Pencegahan
Penyakit Amerika (CDC) menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja lebih beresiko
untuk mengalami komplikasi terkait penyakit Covid-19. Dari data yang dikumpulkan
pada bulan Februari sampai dengan Juli 2020 didapat bahwa 70% dari 121 kasus anak
dan remaja yang meninggal karena penyakit yang terkait penyakit Covid-19 berusia
10-20 tahun (Kompas.com, 2020)
Cara terbaik untuk penanggulangan dan pencegah penyakit ini adalah dengan
memutus mata rantai penyebaran covid-19. Pemutusan rantai penularan bisa
dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin. Yaitu dengan
cara sering mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau menggunakan hand
sanitizer, menggunakan masker dan tidak menyentuh area muka sebelum mencuci
tangan, serta menjaga jarak dalam setiap berkegiatan atau yang dikenal dengan istilah
3M (Dirjen P2P Kemkes RI, 2020).
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang tidak dapat sepelekan dalam
upaya pencegahan penularan penyakt ini. Penerapan protokol kesehatan guna
pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 terutama pada remaja memerlukan
pemahaman dan pengetahuan yang baik. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melihat hubungan pengetahuan remaja tentang Covid-19 dengan
kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan penularan
Covid-19
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan tentang berbagai cara
dalam mencapai pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, maka akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat (Notoadmodjo, 2010)
2. Konsep Covid-19
a) Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family
coronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk
dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah
SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International
Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab
Covid-19 sebagai SARS-CoV-2. Penelitian (Doremalen et al, 2020)
135
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
136
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan rancang
bangun cross sectional. Variabel independent dari penelitian ini adalah pengetahuan
remaja tentang Covid-19. Variabel dependent dari penelitian ini adalah kejadian
kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan. Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Mojokerto. Populasi dari penelitian ini adalah remaja yang berusia 15
sampai dengan 21 tahun sebanyak 153orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik probability sampling secara simple random sampling. Setelah
dihitung dengan menggunakan rumus, maka besar sampel yang diperoleh yaitu
sebanyak 111 orang. Analisa data dengan uji statistik Uji Spearman
D. HASILPENELITIAN
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Usia Remaja
Usia remaja Jumlah Persentase
Remaja awal (12-15) 0 0
Remaja madya (16-18) 77 69,4
Remaja akhir (19-22) 34 30,6
Jumlah 111 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitan
137
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
termasuk kepada kategori remaja madya (16-18 tahun) yaitu sebanyak 69,4 %
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Covid-19
Tingkat Pengetahuan Jumlah Persentase
Tinggi 72 64,9
Sedang 38 34,2
Rendah 1 0.9
Jumlah 111 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden penelitan
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang Covid -19, yaitu sebanyak
64,9 %
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Remaja dalam Menerapkan
Protokol Kesehatan di Masa New Normal
Tingkat Kepatuhan Jumlah Persentase
Remaja
Patuh 17 15,3
Tidak patuh 94 84,7
Jumlah 111 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak patuh
terhadap protokol kesehatan di masa new normal yaitu sebanyak 94%
Tabel 4 Hubungan antara Pengetahuan Remaja Tentang Covid-19 dengan
Kepatuhan Remaja dalam Menerapkan Protokol Kesehatan di Masa
New Normal
H
aTingkat Kepatuhan Remaja dalam Menerapkan Total
Pengetahuan
s Protokol Kesehatan
remaja
i Tentang
Tidak Patuh Patuh
Covid-19
l
Frekue Presentase Frekuensi Presentase
u nsi (f) (%) (f) (%)
j
Kurang
i 1 100% 0 1
Sedang 32 84,2% 6 15.8% 38
b
Tinggi 61 84.7% 11 15.3% 72
i
v
Jumlah 94 84.7% 17 15.3% 111
a
p value 0.988
r
iat, didapat bahwa nilai p value Spearman-rank 0,988 > 0,050. Jadi berarti
tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan remaja tentang
covid-19 dengan kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan.
138
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
E. PEMBAHASAN
Corona virus atau yang dikenal dengan Covid-19 merupakan kasus pneumonia
baru yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Dalam waktu satu bulan,
penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan
Korea Selatan. Dan dalam waktu beberapa bulan, sudah menyebar ke seluruh dunia.
Upaya pencegahan penularan dalam adaptasi kebiasaan baru perlu dilakukan dengan
pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat dalam setiap aktifitas masyarakat.
Masyarakat termasuk didalamnya remaja dan anak-anak memiliki peran penting dalam
memutus mata rantai penularan Covid-19 ( Kemenkes RI, 2020).
Penularan Covid-19 dapat terjadi dimana saja. Di rumah, di perjalanan, tempat
kerja, tempat ibadah, tempat wisata maupun tempat lain dimana terdapat orang
berinteaksi sosial. Partikel berukuran kecil ini sangat mudah menyebar, seperti dalam
satu ruangan, ataupun dalam radius puluhan meter dari orang positif Covid-19 yang
sedang bersin ataupun batuk (Morawska & Cao, 2020). Potensi penumpukan partikel
yang diduga mengandung virus SARS-CoV-2 (Covid-19) sangat tinggi pada fasilitas
umum yang memiliki kepadatan orang relatif besar. Di ruangan dengan banyak orang
dinilai memiliki stabilitas virus SARS-CoV-2 yang tinggi, sehingga proses penularan
virus kepada orang yang sehat dapat terjadi dengan sangat mudah (Qian & Zheng,
2018).
Penerapan protokol kesehatan sangat diperlukan guna memutuskan mata rantai
Covid-19 ini. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan
air mengalir selama 40-60 detik, menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut
dengan tangan yang tidak bersih, menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang
menutupi hidung dan mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain,
menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari terkena droplet
sangat perlu dilakukan. Selain itu pola hidup yang sehat dan makan makanan bergizi
juga sangat berguna meningkatkan imunitas diri guna pencegahan penularan penyakit
ini (Kemenkes RI, 2020).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia
yakni, indera pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan. Sebagian
pengetahuan manusia didapat melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2012). Banyak
faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, diantaranya adalah tingkat
pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, lingkungan dan informasi yang
didapat (Mubarak, 2011).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja yang tinggi
tentang Covid-19. Tingkat pengetahuan yang tinggi bisa dikarenakan oleh tingkat
pendidikan mereka yang tinggi, sehingga lebih gampang untuk menerima berbagai
informasi terkait covid-19. Selain itu usia yang muda, membuat daya tangkap akan
informasi juga semakin baik. Banyaknya informasi yang beredar di media elektonik dan
internet, serta kemampuan untuk mengakses internet yang dimiliki membuat mereka
lebih gampang untuk mengakses berbagai informasi mengenai Covid-19.
Namun sebuah survey yang dilakukan oleh UNICEF terhadap 4000 remaja
terkait Covid-19 menunjukkan masih ada remaja (25%) yang tidak tahu sama sekali
tentang Covid-19. Ada yang tahu gejala penyakit ini, namun belum tahu cara
pencegahan. Terjadi peningkatan pengetahuan setelah difasilitasi dengan informasi
139
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
kepada remaja. Namun sebagian besar masih belum melakukan physical distancing
(Habibie, 2020).
Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak
mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan (Notoatmodjo,2003).
Kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau
melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat
kepatuhan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga
mematuhi rencana (Kozier, 2010)
Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan yang tinggi tentang Covid-19 pada
remaja tidak dikuti dengan tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang tinggi
juga. Tingkat kepatuhan juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya adalah
pengetahuan, motivasi serta dukungan dari keluarga(Kamidah, 2015). Mengingat
remaja mengalami perkembangan fisik, mental dan cognitive yang pesat, dukungan
keluarga sangat dibutuhkan untuk kesiapan diusia ini (U.S. Department of Health and
human Services, 2018; Youth.Gov, n.d.). Orang tua dan orang terdekat perlu
memberikan contoh dalam mematuhi peraturan pemerintah, dan mendorong remaja
untuk mengikuti ketentuan yang ada (American Academy of Pediatric, 2020; Volkin,
2020).Walaupun remaja sudah memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai Covid- 19,
tapi jika motivasi serta dukungan keluarga dan teman dekat masih kurang, pada
akhirnya membuat remaja tidak mematuhi protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-
hari pada saat ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara tingkat pengetahuan remaja tentang Covid-19 dengan kepatuhan dalam
menerapkan protokol kesehatan dimasa new normal. Penelitian ini tidak sejalan dengan
yang dilakukan oleh Devi Pramita Sari, dkk (2020) dimana adanya hubungan antara
pengetahuan masyarakat terhadap kepatuhan dalam menggunakan masker sebagai
pencegah penularan Covid-19. Perilaku penerapan protokol kesehatan pada masa
sekarang ini memang seharusnya didasarkan atas kesadaran masyakat sendiri, karena
banyak masyarakat yang sebenarnya telah mengetahui berbagai pengetahuan terkait
protokol kesehatan ataupun pandemi COVID-19 namun tidak dapat melaksanakannya
secara baik di dalam kehidupannya sehari-hari (Tentama, 2018).
F. PENUTUP
1. Kesimpulan
a) Sebagian besar usia remaja merupakan adalah remaja madya (16-18 tahun)
sebanyak 69,4 %.
b) Sebagian besar tingkat pengetahuan responden yang tinggi tentang Covid -19,
yaitu sebanyak 64,9 %.
c) Sebagian besar responden tidak patuh terhadap protokol kesehatan di masa new
normal yaitu sebanyak 94%.
d) Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan remaja tentang
Covid-19 dengan kepatuhan dalam menerapkan protokol kesehatan.
2. Saran
Pengetahuan tentang Covid-19 dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan
140
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
dipengaruhi oleh banyak faktor. Remaja harus diberikan informasi dan pengetahuan
yang akurat mengenai Covid-19 serta diberikan dukungan dan motivasi untuk lebih
meningkatkan dalam mematuhi protokol kesehatan
G. DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatric. (2020). Teens & COVID-19: Challenges and
Opportunities During the Outbreak. Healthy Children.
https://www.healthychildren.org/English/health-
issues/conditions/chestlungs/Pages/Teens-and-COVID-19.aspx
Detik.com (2020). Layanan publik terpapar covid-19 mojokerto diminta
tingkatkanpencegahan Diakses tanggal 20 September 2020 jam 20.30
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI
(2020),Pedoman Pencegahan Dan Pengendalan Corona Virus Disease
(Covid-19) Revisi ke-4. Kemenkes Ri. Jakarta
Habibie, N. (2020). UNICEF Survei 4.000 Remaja Terkait Covid-19, 70 Persen
Percaya Langkah Pemerintah.Merdeka.Com.
https://www.merdeka.com/peristiwa/unicef-survei-4000-remaja-terkait-
covid-19-70-persenpercaya-langkah-pemerintah.html
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5178938/layanan-publik-terpapar-covid-19-
mojokerto-diminta-tingkatkan-pencegahan
https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-23755272/update-corona-jawa-timur-
19-september-2020-yes-429-sembuh
Kamidah. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet besi di Puskesmas Simo Boyolali. Gaster XII (1)
Kementerian Kesehatan RI (2020),Pedoman Pencegahan Dan Pengendalan Corona
Virus Disease (Covid-19) Revisi Ke-5. Kemenkes RI. Jakarta
Kompas.com. (2020). Update Covid-19 di Dunia 20 September: 30,9 Juta Infeksi | 10
Negara dengan Kasus Terbanyak. Diakses tanggal 20 September 2020 jam
20.00 https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/20/071500565/update-
covid-19-di-dunia-20-september--30-9-juta-infeksi-10-negara-
dengan?page=all
Kozier. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC
Morawska, L., & Cao, J. (2020). Air borne transmission of SARS-CoV-2: The world
should face the reality. Environment International, 139(1), 1–
3.https://doi.org/10.1016/j.envint.2020.105730
Mubarak, W. 2011. Promosi Kesehatan Masyarakat untuk Kebidanan. Jakarta. Salemba
Notoatmojo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta : Jakarta.
Notoatmojo, 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta : Jakarta.
Qian, H., & Zheng, X. (2018). Ventilation control for air borne transmission of human
exhaled bio-aerosols inbuildings. Journal of Thoracic Disease,10(Suppl 19),
S2295–S2304.https://doi.org/10.21037/jtd.2018.01.24
141
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 12 No. 2 November 2020
142
UNDANGAN ELEKTRONIK
DAFATAR HADIR
Stress 33;85%
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan pertama ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban stres ada 33 orang (85%), menjawab salah 6 orang (15%)
Dibawah ini merupakan sift-sifat stress,
kecuali....
0 5 10 15 20 25
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kedua ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban stres asertif ada 22 orang (56%), menjawab salah 17 orang (44%)
Suatu teknik dalam meningkatkan
kesadaran denngan membatasi kesadaran
pada satu obyek situasi yang tidak
berubah pada waktu tertentu adalah
salah satu management stress disebut....
Meditasi 17;44%
Relaksasi 15;38%
Distraksi 7;18%
0 5 10 15 20
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ketiga ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Relaksasi ada 17 orang (44%), 22 orang(62%) menjawab salah
berapa lama cara mencuci tangan degan
menggunakan hand sanitaizer ?
20 - 30 detik 32;82%
10 - 40 detik 3;8%
50 - 60 detik 3;8%
60 - 70 detik 1;2%
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan keempaat ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 20-30 detik ada 32 orang (82%), 7 orang (18% )menjawab salah
apa yang harus dilakukan saat new
normal?
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kelima ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sainitazer ada
38 orang (97%), yang menjawab salah 1 orang (3%)
jika mengalami gejala indra penciuman
hilang dan indra perasa hilang dan
demam apa yang harus di lakukan?
di sarankan kerumah sakit
dan melakukan pmeriksaan 38;97%
pcr
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan keenam ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban disarankan ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan pcr ada 38
orang (97%), yang menjawab salah ada 1 orang (3 %)
apasajakah tanda dan gejala dari
penyalahgunaaan Narkoba?
Cepat tersinggung dan… 30;77%
sering tidur, Cepat… 4;10%
sering tidur 2;4%
sering bergaul dengan… 1;3%
sering bergaul dengan… 1;3%
prestasi sekolah maupun… 1;3%
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan tujuh ada 39 responden yang menjawab
benar dengan jawaban cepat tersinggung dan mudah marah ada 30 orang (77%), 9 orang (23%
)menjawab salah
apasajakah komplikasi dari
penyalahgunaan narkoba?
HIV 35;90%
Diare 1;2%
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ke delapan ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban HIV ada 35 orang (90%) dan yang menjawab salah 4 orang (10%)
Bagaimanakah cara berkomunikasi yang
baik untuk menolak menggunakan
narkóba? ?
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan sembilan ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban terimakasih, tapi saya tidak mau melakukannya ada 38 orang (97%),
yang menjawab salah 1 orang (3%)
keadaan sehat secara fisik, mental dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi dan
proses reproduksi adalah pengertian
dari?
Kesehatan Mental 6;15%
Kesehatan Fisik 7;18%
Kesehatan Reproduksi 26;67%
0 5 10 15 20 25 30
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kesepuluh ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban kesehatan reproduksi ada 26 orang (67%), yang menjawab salah ada
13 (33%)
cara menjaga kebersihan organ vital pada
wanita adalah...
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan kesebelas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban pakaian dalam diganti 2 kali dalam sehari ada 37 orang (94%),
menjawab salah 2 orang (6%)
alat apa yang digunakan untuk
mengompres ketika nyeri?
39;100%
0 10 20 30 40 50
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ke dua belas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban buli-buli atau WWZ ada 39 orang (100%), tidak ada yang menjawab
salah
Berapa suhu yang digunakan untuk
mengompress?
40 - 45 C 25;64%
30 - 40 C 12;31%
60 - 70 C 2;5%
0 5 10 15 20 25 30
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan ke tigabelas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 40-45 C ada 25 orang (64%), yang menjawab salah 14 orang (36%)
apa yang perlu diperhatikan saat
mengompres?
0 5 10 15 20 25
Series 1
Total responden yang mengisi google form pre test pertanyaan empat belas ada 39 responden yang
menjawab benar dengan jawaban semua benar ada 21 orang (54%), yang menjawab salah 18 orang
(47%)
Bentuk respon tubuh seseorang yang
memiliki beban pekerjaan berlebihan
sehingga jika seseorang tersebut tidak
sanggup mengatasinya maka orang
tersebut dapat mengalami gangguan…
27;
Stress
77%
Managemen Stress 8;23%
0 5 10 15 20 25 30
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan pertama ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Stres ada 27 orang (77%), 8 orang (23%) menjawab salah
Dibawah ini merupakan sift-sifat stress,
kecuali....
0 5 10 15 20
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kedua ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Stres asertif ada 19 orang (54%), 16 orang menjawab salah
Suatu teknik dalam meningkatkan
kesadaran denngan membatasi kesadaran
pada satu obyek situasi yang tidak
berubah pada waktu tertentu adalah
salah satu management stress disebut....
Meditasi 14;40%
Relaksasi 16;46%
Distraksi 5;14%
0 5 10 15 20
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ketiga ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Relaksasi ada 16 orang (46%), 19 orang menjawab salah
berapa lama cara mencuci tangan degan
menggunakan hand sanitaizer ?
20 - 30 detik 30;86%
10 - 40 detik 2;6%
50 - 60 detik 2;6%
60 - 70 detik 1;2%
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan keempaat ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 20-30 detik ada 30 orang (86%), 5 orang (14% )menjawab salah
apa yang harus dilakukan saat new
normal?
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kelima ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban Sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sainitazer ada
35 orang (100%), tidak ada yang menjawab salah
jika mengalami gejala indra penciuman
hilang dan indra perasa hilang dan
demam apa yang harus di lakukan?
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan keenam ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 20-30 detik ada 30 orang (86%), 5 orang (14% )menjawab salah
apasajakah tanda dan gejala dari
penyalahgunaaan Narkoba?
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan tujuh ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban cepat tersinggung dan mudah marah ada 30 orang (86%), 5 orang
(14% )menjawab salah
apasajakah komplikasi dari
penyalahgunaan narkoba?
HIV 35;100%
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ke delapan ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban HIV ada 35 orang (100%) dan tidak ada yang menjawab salah
Bagaimanakah cara berkomunikasi yang
baik untuk menolak menggunakan
narkóba? ?
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan sembilan ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban terimakasih, tapi saya tidak mau melakukannya ada 35 orang (100%),
tidak ada yang menjawab salah
keadaan sehat secara fisik, mental dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi dan
proses reproduksi adalah pengertian
dari?
Kesehatan Mental 6;6%
Kesehatan Fisik 7;20%
Kesehatan Reproduksi 26;74%
0 5 10 15 20 25 30
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kesepuluh ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban kesehatan reproduksi ada 26 orang (74%), yang menjawab salah ada
13 (26%)
cara menjaga kebersihan organ vital pada
wanita adalah...
0 10 20 30 40
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan kesebelas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban pakaian dalam diganti 2 kali dalam sehari ada 33 orang (94%),
menjawab salah 2 orang (6%)
alat apa yang digunakan untuk
mengompres ketika nyeri?
0 10 20 30 40 50
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ke dua belas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban buli-buli atau WWZ ada 35 orang (100%), tidak ada yang menjawab
salah
Berapa suhu yang digunakan untuk
mengompress?
40 - 45 C 28;80%
30 - 40 C 3;9%
60 - 70 C 4;11%
0 5 10 15 20 25 30
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan ke tigabelas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban 40-45 C ada 28 orang (80%), yang menjawab salah 7 orang (20 %)
apa yang perlu diperhatikan saat
mengompres?
0 5 10 15 20 25
Series 1
Total responden yang mengisi google form post test pertanyaan empat belas ada 35 responden yang
menjawab benar dengan jawaban semua benar ada 23 orang (66%), yang menjawab salah 12 orang
(34%)