Anda di halaman 1dari 196

2

Ini bukan bicara soal jarak,


Bukan juga waktu,
Entahlah,
Tapi coba perhatikan bersitan cahaya di ufuk timur itu,
Belajarlah bagaimana keteguhan dibangunkan,
Dengan taruhannya titah abadi,
Apa dia mengeluh,
Menangis,
Tidak,
Yang dia tahu kalau dirinya harus hidup,
Bukan cuma hidup untuknya,
Tapi juga untuk semua.

Prayogo Geseit Bagasworo

3
4
MERAYAKAN CITA-CITA
Catatan Para Pembelajar

Pengantar: Prof. Dr. Meutia Farida Hatta-Swasono


Editor: Arief Wicaksono
Pemeriksa Aksara: Amalia, dkk.

5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Ketentuan Pidana
Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

6
MERAYAKAN CITA-CITA
Catatan Para Pembelajar

7
Merayakan Cita-cita: Catatan Para Pembelajar
Kumpulan narasi-refleksi panitia dan pengajar
Gerakan UI Mengajar Angkatan 5
© Penulis, 2016

Pengantar | Prof. Dr. Meutia F. Hatta-Swasono


Editor | Arief Wicaksono
Foto dan Desain Sampul | Randy Febri Nanda dan Arief Wicaksono

Penulis | Prayogo Geseit, Arief Wicaksono, Kiki Ikromatul, Alberta Prabarini,


Dini Puspitaningrum, Aditya Fahmi Nurwahid, M. Luthfi Fauruzua, Tirta
Pangestu Putri, Clara Citra Ariani, Ryza Maulana, Siti Awaliyatul, Melati Suma
Paramita, Fadlin Ananta, Ni Putu Putri Puspitaningrum, Aprila Suprihendina,
Aisyah Mauludia, Latifa Ayu Lestari, Ananda Zhafira, Rizka Fitriana, Reyzando
Nawara, Darneliana Septiani, Nur Alifia Nabila, Sutan Akbar, Safira Karunia
Rahma, Mutiara Aisha Maghfira, Anggun Frida, Oscar M. Ramadhan, Khafsah
Sangadah, Yohana Yose Gunawan, Zeinia Maulida, Hana Erlida, Annisa Ainina
Novara, Hudzaifah, M. Syamsul Muarif.

Pengambil gambar | Nadia, Nuurul F., Randy F, Arief W, Ines D, Hanung, Malik.

Pemeriksa Aksara | Amalia Husna, Aida Q. Haikal, Dea A, Dinda Fitria, Khaulah
N. Farhana, Menik Lestari, Nadia Izzatunnisa, Nanda Aulia, Shinta Ifana, Siti
Nurrachmawati.

Cetakan 2016

Gerakan UI Mengajar Angkatan 5


Departemen Sosial Masyarakat
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia

Arief Wicaksono (editor)


Merayakan Cita-cita: Catatan Para Pembelajar
Cetakan I, Gerakan UI Mengajar Angkatan 5, Depok, Jawa Barat
196 hlm.

8
DAFTAR ISI
Membaca Kegigigan Guru Muda: Sebuah Pengantar
Prof. Dr. Meutia F. Hatta 11
Membangun Kapal dan Menggerakkannya
M. Julnis Firmansyah 13
Menuju Pendidikan Kita yang Prosesual
Arief Wicaksono 15
25 Hari itu Berharga
Kiki Ikromatul 20
Bermimpilah Setinggi Langit
Alberta Prabarini 25
Belajar dengan Cara Mengajar
Dini Puspitaningrum 30
Beraksi lalu Menginspirasi
Aditya Fahmi Nurwahid 35
Dia
M. Luthfi Fauruzua 39
Egoisme Pribadi
Tirta Pangestu Putri 47
Filosofi Jendela
Clara Citra Ariani 53
Gaya Anak Traju
Ryza Maulana 58
Hujan di Sore Hari
Siti Awaliyatul F. 63
Jangan Tenggelamkan Mimpi-mimpimu
Melati Suma Paramita 68
Janji Mentari
Fadlin Ananta 73
Jika Aku Menjadi Guru Wiyata Bhakti
Ni Putu Putri Puspitaningrum 78
Kenangan yang Memberi Banyak Pelajaran
Aprila Suprihendina 83
Keramaian dalam Kesunyian
Aisyah Mauludia 88
Ketika Sebuah Desa dan Seorang Anak Ditinggal Merantau ke Kota
Ni Putu Putri Puspitaningrum 93
Laskar Pemimpi dan Pemimpin dari Kaki Gunung Slamet
Latifa Ayu Lestari 98
Menantang Kilau Bintang
Ananda Zhafira 104

9
Menemukan Jawaban atas “Zona Nyaman”
Rizka Fitriana 109
Mentega dan Roti
Reyzando Nawara 114
Mutiara yang Terpendam
Darneliana Septiani 119
“Outer Space!” Dengan Ilmu, Luar Angkasa dapat Kau Taklukkan
Nur Alifia Nabila 124
Para Pejuang Mimpi
Sutan Akbar 128
Pelangi di Sayap Tegal
Safira Karunia Rahma 133
Rutinitas dalam Realitas
Mutiara Aisha 139
Sang Pemilik Kebaikan
Anggun Frida 144
Seharusnya Kami yang Mengabdi
Oscar M. Ramadhan 151
Sekolah itu Mustahil, Mitos atau Fakta?
Clara Citra Ariani 156
Semut-semut Desa
Khafsah Sangadah 161
Senang Bisa Mengenal Dirimu
Yohana Yose Gunawan 166
Siapa yang Berhak Memiliki Impian
Zeinia Maulida 171
Sosok Luar Biasa
Hana Erlida 176
Belajar untuk Berbaur
Annisa Ainina Novara 182
Ini Hanya Soal Perpisahan: Catatan Penutup
Hudzaifah 187
Pembelajar Sejati
M. Syamsul Muarif 190
Profil Penulis 191

10
Membaca Kegigihan Guru Muda: Sebuah Pengantar
Prof. Dr. Meutia F. Hatta

Buku Gerakan UI Mengajar 5 ini diterbitkan untuk mengisahkan tentang


pengalaman sejumlah mahasiswa UI yang mendapat tugas untuk mengajar di
Kabupaten Tegal selama satu bulan di awal tahun 2016 ini. Isi buku ini kemudian
menjadi kaya akan variasi, bukan saja berisi pengalaman mengajar yang diperoleh para
anak muda ini, yang di sini selanjutnya saya sebut sebagai para guru muda, melainkan
sebagian juga mengungkapkan isi hati dan pemantauan mereka tentang kondisi dan
lingkungan sosial budaya yang dihadapi para anak didik mereka di Kabupaten Tegal itu.
Khususnya para guru muda ini dapat melihat, bagaimana profesi seorang guru di mata
para siswa sekolah di Kabupaten Tegal pada umumnya. Mereka cukup takjub bahwa
anak-anak didik itu mengidolakan profesi guru sebagai profesi masa depan mereka.
Akan tetapi para guru muda ini juga cukup heran dan kecewa ketika mengetahui bahwa
tidak semua orang tua anak didik mampu memberikan dorongan moril kepada putra-
putri mereka agar dapat melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, karena
sulitnya putra-putri mereka memperoleh pekerjaan yang layak atau memberikan
penghasilan yang memadai, berdasarkan ijazah yang telah diperoleh dari sekolah.
Para guru muda ini sekaligus juga dapat merasakan, betapa berharganya
peranan guru bagi masyarakat desa, namun betapa tidak memadainya penghargaan dan
fasilitas yang diterima guru dari birokrasi maupun dari masyarakat, termasuk gaji yang
tidak cukup untuk hidup, sehingga dalam kondisi seperti itu, profesi guru tidak dapat
menjadi satu-satunya profesi yang ditekuni, karena diperlukan matapencaharian lain
baginya untuk menopang hidupnya sehari-hari bersama keluarganya. Meskipun telah
terjadi, tentu hal ini tidak diharapkan dialami oleh para guru di negara kita, NKRI, yang
berpenduduk terbesar keempat di dunia, yang harus dilihat bukan sekadar sebagai
“kumpulan orang banyak” melainkan sebagai subyek pembangunan yang merupakan
aset dari pembangunan di NKRI.
***
Para guru muda yang penuh inisiatif, terinspirasi dan bertanggungjawab itu juga
tidak hanya sadar akan pentingnya untuk mengajarkan berbagai materi ilmu
pengetahuan, namun mereka juga mengarahkan para anak didiknya untuk membuka

11
wawasannya, intinya adalah bahwa bukan hanya otak yang harus cerdas, melainkan
juga kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu para guru muda itu juga ingin agar melalui
sekolah, para anak didik itu juga memperoleh peningkatan harkat dan martabat
mereka sebagai manusia Indonesia.
Dalam kaitan ini, seorang guru muda mengumpamakan keberadaan jendela di
masa lalu sebagai cara untuk melihat hal-hal baru di luar rumah. Namun kini dengan
terjadinya kemajuan teknologi, televisi bukan lagi semata-mata menjadi sarana hiburan,
melainkan juga sebagai tempat di saat orang menerima perkembangan sosial budaya
dan menyaksikan berbagai aktivitas “dunia dan isinya”. Para guru muda itu juga
menyadari pentingnya peran mereka untuk membuat pada anak-didiknya memahami
perbedaan antara “sahabat dan penjahat”, karena televisi (serta kemudian berbagai
macam gadget yang menandai kemajuan zaman yang sangat pesat), berisi hal-hal yang
baik maupun yang buruk. Pendidikan mengenai kearifan memilah-milah, mana yang
harus diikuti dan mana yang harus dihindari, merupakan tugas penting para guru muda
di era masa kini.
***
Dari hal-hal yang ditemukan pada guru muda ini di tempat mereka mengajar di
Kabupaten Tegal, dari tulisan-tulisan dan isi hati mereka menghadapi pengalaman
mengajar mereka itu, kita dapat melihat, tantangan apa saja yang dihadapi para guru
muda dalam melaksanalah tugas mengajarnya. Mereka juga memperoleh pemahaman
tentang hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan akan mereka hadapi dalam
tugas mereka itu.
Namun membaca tentang kegigihan mereka, kita dapat memperoleh keyakinan
bahwa perasaan kedekatan antara mereka dengan anak didiknya mulai berkembang
dan bertambah erat dari waktu ke waktu. Bertugas mengajar di Kabupaten, dalam
suasana yang diwarnai oleh nuansa kehidupan pedesaan, mudah-mudahan dapat
menumbuhkan semangat mereka untuk mendorong tercapainya kehidupan yang cerdas
bagi pada anak didik mereka, yang tidak saja sebatas mendapatkan otak yang cerdas,
melainkan juga mendapatkan kehidupan yang cerdas, sehingga mampu mandiri,
tangguh, dan berpikir ke depan, sadar dan bersedia untuk berjuang bagi kepentingan
tanah air dan bangsa Indonesia.

12
Membangun Kapal dan Menggerakkannya
M. Julnis Firmansyah
Project Officer Gerakan UI Mengajar Angkatan 5

Jika ditanya, apakah saya dan teman-teman Gerakan UI Mengajar Angkatan 5


(GUIM 5) benar-benar mengerti apa itu gerakan sosial? Saya akan tegas menjawab,
tidak. Lalu jika ditanyakan kembali, apakah yang kami lakukan selama satu bulan
mengajar di Tegal membuat murid yang tidak tahu menjadi pintar? Saya akan kembali
menjawab, tidak. Jika kembali ditanya, apakah pengabdian yang kami lakukan tulus
didasari keikhlasan hati? Maka tanpa ragu saya akan menjawab, iya.
Satu tahun lamanya waktu yang saya dan teman-teman butuhkan untuk
membangun sebuah kapal bernama GUIM 5. Semua kepingan yang kiranya dibutuhkan
kami kumpulkan, lalu perlahan disatukan. Saya dan yang lainnya berusaha menghias
kapal ini selayak mungkin agar bias berlayar, bias sampai di tujuan. Tidak mudah
menghadapi dinamika di kepanitiaan ini. Mulai dari rasa tidak percaya, melempemnya
etos kerja, dan naik turunya semangat menjadi hal yang beberapa kali membuat kami
tersandung. Namun, semua tetap berjalan karena niat yang sedari awal ditanamkan
masih kuat tertanam. Kami tahu ada hal besar yang menunggu untuk diselesaikan di
lokasi aksi nanti.
Selama di Tegal, saya dan teman-teman GUIM 5 tidak tahu caranya membuat
seorang anak yang tinggal di pelosok desa menjadi pintar dalam kurun waktu satu
bulan. Kami sadar waktu menjadi pembatas kontribusi langsung kami selama aksi. Oleh
sebab itu, memotivasi anak-anak, guru, orangtua, dan masyarakat menjadi focus utama
kami, sesuatu yang dapat kami lakukan secara maksimal dalam waktu satu bulan selain
mengajar. Melalui berbagai macam penyuluhan, pemberdayaan, serta pelatihan yang
berkaitan dengan pendidikan kami lakukan, berharap dapat mengobarkan kembali api-
api semangat melanjutkan pendidikan di sana.
Semua usaha untuk mengembangkan masyarakat sudah kami lakukan, tapi
permasalahan masih menggunung tinggi. Kami sadar perlu ada agent of change lain
yang harus berkontribusi dalam pengabdian ini. Jika tidak, aksi yang kami lakukan
ibarat menebar air di gurun pasir, kebermanfaatan yang hanya terasa sebentar lalu
menguap hilang. Saya dan teman-teman harus menginspirasi Indonesia, menebar

13
semangat kebermanfaatan ke seluruh pelosok negeri ini. Dengan harapan, akan banyak
yang juga bergerak turun dan mulai memberikan solusi bagi masalah di daerahnya, pun
denganTegal, lokasi aksi mengajar kami.
Semangat menginspirasi lalu kami realisasikan salah satunya melalui buku ini.
Cerita-cerita selama aksi terlalu banyak untuk kami simpan sendiri, kisah pengabdian
ini bukan hanya milik kami sendiri. Orang yang saat ini hidupnya penuh dengan
kenyamanan perlu tahu, jika di Tegal sana ada anak berkebutuhan khusus yang hingga
usianya 20 tahun masih di kelas 6 SD dan dideskriminasi oleh lingkungannya. Orang
yang saat ini memiliki berbagai macam fasilitas penunjang pendidikannya harus tahu,
jika di sana ada anak yang harus berjalan sejauh 4 kilometer setiap pagi dengan
bertelanjang kaki menuju sekolahnya. Semuanya terjadi bukan karena factor mereka
tinggal di pelosok dan ketidak mampuan orangtuanya, tapi karena kita lebih memilih
diam, menyalahkan, dan tidak peduli untuk tergerak membantu secara konkrit. Orang-
orang di luar sana harus tahu agar kita bisa bergerak bersama, mulai mengubah dengan
aksi bukan lagi saling menyalahkan dan mencaci

14
MENUJU PENDIDIKAN
KITA YANG PROSESUAL
Arief Wicaksono

15
Menuju Pendidikan Kita yang Prosesual
Arief Wicaksono

TRANSMISI pengetahuan pada suatu masyarakat seringkali dipandang dalam


perspektif sistem. Secara tidak langsung, peristiwa-peristiwa dalam kesatuan sistem
tetap berkelindan satu sama lain karena setiap peristiwa adalah bagian dari konteks
sosial budaya lainnya. Banyak pengetahuan yang ditransmisikan dalam setiap kelompok
bersifat tersirat dalam struktur hubungan tersebut. Sebab kebudayaan juga dapat
diartikan sebagai proses belajar, maka kebudayaan dapat dilihat dianggap sebagai
proses transmisi pengetahuan dari, oleh, dan untuk masyarakat yang bersangkutan.
Itulah mengapa kehidupan orang kaya di desa akan tetap berbeda dengan kehidupan
orang kaya di kota, meskipun mendapatkan kurikulum pendidikan yang sama.
Saat ini, peristiwa pendidikan yang dikonkretkan dalam kegiatan belajar
mengajar dibuat dan dikondisikan sedemikian rupa sebagai suatu sistem yang
cenderung statis. Statis dalam artian patuh pada kurikulum yang dibuat secara terpusat
serta belum banyak membuminya kreativitas dalam mengajar (dan mendidik) di alam
otonomi pendidikan sekarang ini. Esai ini setidaknya akan mengungkapkan dua hal:
pertama, kritik terhadap cara pandang struktur-fungsi yang disematkan pada identitas
sistem pendidikan nasional kita, dan kedua, penguatan gagasan agar guru lebih proaktif
sebagai agen inspirasi untuk para anak didiknya.

Keseragaman dalam Pendidikan


Penyelenggaraan pendidikan selama ini masih berteguh pada anggapan bahwa
pendidikan hanya merupakan bagian dari keseluruhan komponen yang membangun
masyarakat. Pendidikan dianggap sebagai salah satu komponen saja. Antarkomponen
dianggap tidak memiliki pertalian. Pendidikan terpisah dari struktur organisasi
masyarakat, struktur keagamaan, struktur ekonomi, struktur politik, dan struktur-
struktur lainnya. Pendidikan hanya dianggap sebagai kegiatan belajar mengajar pada
tempat dan rentang waktu tertentu. Pendidikan yang diterjemahkan sebagai kegiatan
belajar mengajar tersebut selanjutnya berkepentingan untuk diatur: negara mengatur
sekelompok orang (guru, pegawai, dan anak-anak) pada waktu dan tempat tertentu. Hal
ini berimbas pada pendidikan yang seragam di seluruh wilayah tanah air. Perhatikan
saja, bangunan sekolah dasar di seluruh Indonesia: seragam! Berbentuk leter U dan di

16
tengahnya terdapat bendera. Negara memandang masyarakat sebagai suatu unit sosial
yang seragam, mengabaikan latar belakang sosial budaya yang ada. Hal ini jelas
menaifkan keberagaman isu dan konteks sosial budaya yang beraneka ragam yang ada
pada masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Sistem pendidikan kita memang mengacu pada tujuan dan cita-cita nasional. Jadi,
terdapat rencana strategis dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Namun, jika
kita berpikir dengan begin with the end in mind, sesuai dengan kebiasaan kedua dalam 7
Habits to be Effective People, buah pemikiran Stephen Covey, maka saya rasa tidak salah
apabila kita menilik dahulu tujuan nasional kita dalam berpendidikan. Saya rasa sudah
jelas bahwa UUD 1945, sebagai konstitusi tertinggi negara ini, menyebutkan bahwa
berpendidikan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara memang
berkewajiban menyediakan sarana prasarana, baik secara materiil maupun nonmateriil
untuk menunjang kegiatan berpendidikan sehingga dapat berjalan dengan baik. Namun
demikian, apakah ini berarti bahwa ruang dialog dalam merumuskan bagaimana jalanya
pendidikan itu benar-benar tidak dapat dibuka? Jelas ini mengabaikan pendidikan
sebagai proses.
Cara pandang seperti itu akan menimbulkan dampak negatif: menghasilkan
anak-anak yang seragam pula pemikirannya, sehingga melahirkan generasi yang
monoton, kurang kreatif, bermental menunggu, dan kurang menyukai perubahan. Guru
hanya berfungsi sebagai pengajar, bahkan sekadar penyampai apa yang ada dalam
buku, yang diperintahkan oleh pemerintah lewat kurikulum. Bukan sebagai pendidik
yang seharusnya dengan cara dan gayanya sendiri, yang notabene itulah alasan dia
menjadi guru, karena kreativitas dan kecerdasannya mampu mendidik anak-anaknya
untuk menjadi generasi yang proaktif, kreatif, dan penuh inovasi.

Prosesualisme Pendidikan
Melihat kepelikan pendidikan kita yang seperti itu, setidaknya kita harus mulai
mengalihkan perhatian dan pandangan ke prosesualisme. Di alam prosesual, yang
ditekankan adalah pengakuan atas keberagaman, baik dalam materi maupun dalam
proses serta menitikberatkan interaksi sebagai faktor penting dalam sistem pendidikan.
Artinya, konteks sosial budaya dalam perspektif lokal juga harus diakomodasi tanpa
mengesampingkan konteks budaya nasional. Di sini, yang perlu sepenuhnya disadari
adalah peran guru sebagai agen inspirasi. Di Jepang dan Korea, yang menjadi guru

17
adalah lulusan-lulusan terbaik dari setiap universitas di negeri itu. Tidak semua orang
bisa dengan mudah menjadi guru. Guru merupakan profesi yang tidak boleh
sembarangan dibuka peluangnya kepada banyak orang, namun, yang justru terjadi di
Indonesia adalah para guru berlomba-lomba dalam hal sertifikasi dan hal-hal yang
berbau materialis tanpa mengindahkan peran dan fungsinya yang sesungguhnya:
mendidik dan menginspirasi.
Guru merupakan agen penting dalam menciptakan generasi dengan kriteria
berikut, pertama yaitu generasi yang antimenunggu. Generasi antimenunggu adalah
generasi yang suka dengan inisiatif dan mereka adalah orang-orang kreatif. Kreatif itu
bisa muncul karena dua faktor. Faktor pertama adalah lingkungan sosial budaya alam
seorang anak didik yang merangsang dirinya untuk kreatif. Anak-anak yang sudah
kreatif “dari sananya” perlu dirangsang lagi untuk memperkaya kreativitasnya.
Disinilah peran guru dimainkan. Guru bertanggung jawab atas berkembangnya
pemikiran anak-anak, sekali lagi, tanpa mematahkan kreativitas anak-anak yang
dimiliki sebelumnya.
Kriteria kedua yaitu generasi yang mampu mengidentifikasi kebutuhan-
kebutuhan, hambatan-hambatan, serta potensi yang dimilikinya. Sekali lagi, dengan
tidak menaifkan konteks sosial budaya yang ada. Istilah kekiniannya analisis Strength
‘kekuatan’, Weakness ‘kelemahan, Opportunity ‘kesempatan’, Threat ‘ancaman’ (SWOT)).
Generasi termaksud adalah generasi yang mampu menggunakan kekuatan atau
kelebihan yang dimiliki untuk menutupi dan meminimalkan ancaman dan
mengoptimalkan kesempatan yang dimiliki untuk menutupi kekurangan.
Selain dari sisi pandang untuk murid, guru juga menjadi sasaran prosesualisme
pendidikan dalam cita-citanya untuk menjadikan guru sebagai agen inspirasi.
Diharapkan, guru mulai memikirkan cara-cara atau metodologi baru dalam menilai dan
menggolong-golongkan murid/siswa. Misalkan, dengan tidak lagi membuat runtutan
hierarki yang vertikal dalam menilai siswa, yang memandang siswa berdasar nilai
angka dan tingkat kepandaian, tetapi menggolong-golongkannya lebih berdasarkan
potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak didik. Oh, murid ini mahir menulis, yang
ini mahir menggambar, yang itu mahir berhitung, dan sebagainya. Saya pribadi yakin
bahwa setiap orang, yang terlahir di dunia ini, memiliki bakat dan minatnya masing-
masing. Setiap anak didik memang diwajibkan untuk menerima semua jenis pelajaran

18
di dua belas tahun pendidikan wajib, tetapi itu bukan berarti mereka harus benar-benar
dituntut untuk menguasainya.
Selanjutnya, mampu menciptakan situasi komunitas sekolah yang kondusif dan
menyenangkan dengan kemauan belajar bersama. Di sini, diperlukan upaya
menyatukan visi berpendidikan bersama antara guru, tenaga administrator, anak didik,
dan orang tua anak didik. Visi ini bukan sekadar visi yang ditetapkan oleh otoritas di
atas, pemerintah misalnya, tetapi visi yang dimaksud adalah visi yang lebih jauh, yang
memandang anak didik sebagai agen perubahan bagi desanya, bagi kotanya, dan bagi
bangsa negaranya kelak. Guru sebagai agen inspirasi bukan merupakan isu yang baru,
tetapi perlu untuk terus diperbaharui. Mengingat, sistem pendidikan kita pada saat ini,
melalui kurikulum 2013, menunjukkan bahwa pendidikan kita mulai bergerak ke alam
prosesual.

19
BERHARGA, 25 HARI ITU
Kiki Ikromatul

20
Berharga, 25 Hari Itu
Kiki Ikromatul

Pagi itu saya terbangun tak sedini biasanya. Hangatnya udara pagi membuat saya
tersadar bahwa saya kini tak lagi berada di sana. Ya, di sana. Di sebuah desa yang
bahkan jika tidak mandi pun badan tak akan mengeluarkan bau tak sedap. Di sebuah
desa yang menuliskan banyak cerita dalam hidup saya. Di sebuah desa yang
memberikan saya banyak keluarga baru. Di sebuah desa dan sebuah sekolah kecil yang
banyak memberikan pengalaman dan pengajaran bagi saya. Desa itu, Sigedong
namanya, terletak di Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. Jarak ke sana cukup
ditempuh dalam waktu tujuh jam dari Depok, Jawa Barat. Alamnya yang indah selalu
memanggil saya untuk kembali ke sana. Lebih tepatnya, alam dan pengajaran di sanalah
yang selalu memanggil saya untuk ingin kembali.
Pagi-pagi, suguhan udara dingin yang menusuk tulang, cucuran air es setiap
mandi, tangisan bayi enam bulan, candaan dengan bocah lelaki delapan tahun, anak dari
host family1, serta puluhan anak yang menanti saya di gerbang sekolah sudah biasa saya
rasakan. Namun demikian, sekarang semuanya berbeda. Sekarang saya kembali ke
kehidupan biasanya. Bersiap kembali ke rutinitas yang sekiranya membosankan bagi
saya: menjadi “budak” akademis. Sekiranya, kemarin adalah mimpi. Itu adalah mimpi
indah yang saya miliki. Namun demikian, itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah potongan
hidup saya yang indah.

Jumat, 8 Januari 2016


Kami disambut. Entah kenapa kami harus disambut. Seharusnya, kamilah yang
menyambut mereka karena kami yang datang ke sana adalah orang baru yang bersiap
menerima pelajaran dari mereka. Seharusnya, kami menyambut mereka karena telah
mau menerima kami menjadi bagian dari mereka. Di satu sisi, sebagian dari kami adalah
pengajar yang akan ditempatkan di sekolah ini, SDN Sigedong 02. Namun, kami tetap
bukan seorang guru karena kami hanyalah mahasiswa yang masih terus mencari
pelajaran dan pengajaran untuk hidup kami tentang arti pengabdian masyarakat.
Senyum, tawa, dan kebahagiaan jelas tergambar dari wajah mereka. Mereka
adalah calon anak-anak kami. Salam perkenalan pun kami sampaikan kepada mereka,

1
Sebutan untuk keluarga yang rumahnya ditempati pengajar

21
orang-orang yang dalam 25 hari ke depan akan selalu bersama kami, berbagi
pengalaman dan pelajaran bersama para guru, murid, dan perangkat sekolah lainnya.
Selesai perkenalan, kami memasuki kelas masing-masing untuk lebih dekat mengenal
calon anak didik kami.
Saat langkah kaki ini masuk ke dalam kelas, kelas yang terlihat luas dari luar,
tetapi saat memasukinya kalian akan melihat bedeng2 dan pencahayaan yang bisa
dikatakan cukup gelap. Mereka menyambut saya dengan penuh semangat. Saya
berkenalan dengan mereka dan tentunya meminta bantuan untuk dapat bekerja sama
dengan saya. Secara jujur saya akui bahwa perbedaan bahasa merupakan salah satu
kesulitan yang saya alami, bahkan sering. Awalnya, saya berpikir mereka akan menolak
saya karena saya adalah orang asing bagi mereka yang tiba-tiba hadir dan hidup
bersama mereka. Ternyata saya salah. Senyum yang mereka berikan begitu tulus,
meskipun ada beberapa anak yang malu ketika saya tanyakan namanya.
Hari pertama di Sigedong, saya tidak langsung mengajar. Hal yang saya lakukan
adalah melakukan observasi kemampuan calistung3 anak-anak di kelas. Saat itu, saya
diberikan kesempatan untuk menjadi pengajar4 kelas dua. Mungkin, saya lebih
beruntung dibandingkan teman-teman saya yang lain karena kami--saya dan guru kelas
dua--melakukan pengajaran yang seharusnya dilakukan, yakni team teaching5. Kaget
merupakan satu kata yang mengekspresikan perasaan saya saat itu. Saya kaget karena
menemukan fakta bahwa ada sekitar 10 anak yang belum bisa membaca dan 4 anak
belum mengenal huruf. Sampai di situ sajakah kekagetan saya? Ternyata tidak. Saya
masih harus menemukan kenyataan bahwa guru kelas dua, dalam menangani siswanya
yang sangat aktif, harus menggunakan penggaris untuk memukul. Sedih dan pilu, itulah
yang saya rasakan. Rasanya saat itu juga saya ingin berteriak untuk melerai tingkah
sang guru. Namun, saya sadar, saya hanyalah orang baru. Tentunya, saya harus mencari
tahu alasan kenapa guru tersebut melakukan itu kepada siswanya.

2
Bangunan yang terbuat dari seng. Bedeng tsb merupakan perpustakaan sekolah
3
Kemampuan baca, tulis, dan hitung. Merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki anak kelas kecil
(1,2,dan 3)
4
Mahasiswa yang lolos menjadi 36 pengajar GUIM ; (pengajar = mahasiswa ; guru= guru asli SDN tsb)
5
Sekelompok guru yang bekerja sama, merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, aktivitas belajar untuk
sekelompok siswa ; metode yang dianjurkan oleh gerakan UI mengajar.

22
Senin, 11 Januari 2016
Kalau kata Band Gigi, “11 januari bertemu menjalani kisah cinta ini.” Mungkin itu
juga yang saya rasakan. Pada 11 Januari, saya jatuh cinta kepada 28 anak saya. Mereka
masuk seluruhnya untuk pertama kali. Saya jatuh cinta kepada mereka karena mau
mendengarkan pesan saya pada sabtu lalu untuk mengajak seluruh temannya pergi
sekolah. Karena salah satu kebiasaan buruk di sekolah ini adalah tidak adanya
peringatan bagi anak yang sering membolos, sehingga membolos adalah hal biasa bagi
mereka. Hari pertama mengajar adalah hal yang amat menegangkan bagi saya. Untuk
pertama kalinya, saya akan mengajari mereka langsung dan hari ini adalah bagian saya
mengajar setelah sebelumnya saya melakukan kesepakatan dengan guru kelas dua
untuk selalu bertukar posisi sebagai shadow dan center teacher6 setiap harinya.
Peraturan kelas kami sepakati bersama. Sistem baru tentunya menjadi sesuatu
yang menarik bagi mereka, misalnya penggunaan kartu toilet ternyata menjadi daya
tarik sendiri. Setidaknya, tiga menit sekali mereka izin kepada saya untuk ke toilet.
Frekuensi tersebut lebih tinggi dibandingkan hari sebelumnya. Udara dingin
merupakan hal wajar yang menyebabkan seseorang seringkali ke toilet, namun jika
frekuensinya tiga menit sekali rasanya itu bukan hal yang wajar. Selidik punya selidik,
ternyata mereka hanya penasaran dengan kartu toilet yang saya buat berdasarkan
pengakuan beberapa anak. Meski awalnya sedikit terganggu, tapi saya bahagia karena
mereka menyukai apa yang saya buat.

Hari-hari selanjutnya di Sigedong


Hari demi hari sudah terlewati bersama mereka. Salam, cium tangan hangat
selalu mereka lakukan setiap saya tiba di sekolah. Meskipun tempat tinggal mereka
lebih jauh daripada tempat tinggal kami, namun itu tidak memupuskan semangat
mereka untuk datang ke sekolah. Bahkan mereka datang lebih pagi daripada kami
dengan penuh semangat dan keceriaan. Saat itu, saya malu kepada diri saya sendiri
yang terkadang sering merasa malas untuk pergi ke kampus.
Anak-anak semakin terbuka kepada saya. Entah cerita tentang mama yang baru
saja pulang dari Jakarta, cerita tentang pengalaman di sekolah, atau cerita tentang
mama yang melahirkan bayi perempuan. Saya senang karena mereka tidak merasa

6
Shadow teacher : guru yang membimbing anak secara personal ; center teacher : guru yang menjelaskan
materi

23
asing dengan saya. Bukan hanya kepada mereka--anak-anak saya--saya merasakan
bahagia, namun juga terhadap guru-guru di Sigedong. Mungkin, banyak catatan kurang
baik yang saya dan teman-teman temukan tentang mereka. Namun, sewajarnya kami
lah yang belajar dari mereka tentang arti keikhlasan. Tak pernah terbayangkan oleh
saya tentang mereka--para guru--yang datang ke sekolah dengan jarak perjalanan
rumah ke sekolah yang sangat jauh hanya dihargai 175--225 ribu rupiah per bulan.
Mungkin kata ‘dihargai’ sangat tidak cocok disematkan kepada mereka karena biaya
bensin saja lebih dari nominal yang mereka terima Belum lagi untuk menghidupi
anggota keluarga mereka, tentu amat sangat kurang. Namun demikian, mereka tetap ke
sekolah setiap hari untuk mengajarkan anak-anak di sana. Mungkin wajar jika kami
memiliki catatan-catatan kecil terhadap mereka. Mungkin wajar jika mereka terkadang
harus bersikap kurang sabar terhadap anak didiknya, atau bahkan terkadang datang
tidak tepat waktu ke sekolah karena pengorbanan mereka kurang dihormati. Mungkin
hidup tidak selalu tentang nominal atau pengabdian memang bukan tentang banyaknya
nominal, tapi tetap mereka masih memiliki keluarga yang harus dinafkahi.
Dalam tulisan ini, mungkin ada beberapa catatan yang kurang baik tentang guru
di sana, khususnya guru kelas dua, Namun, saya amat bersyukur kami saling belajar dan
mau belajar. Perlakuan-perlakuan kekerasan terhadap murid pun semakin jarang
dilakukan bahkan tidak pernah lagi saya temui selama kegiatan belajar mengajar
berlangsung. Sharing pengalaman mengajar pun sering kami lakukan. Namun demikian,
ada satu kalimat menohok bagi saya yang dikatakan sang guru, “Senang, ya, Bu belajar
sama anak-anak. Sebulan sampai tiga bulan memang membuat bahagia.” Kalimat
tersebut menjadi perenungan untuk saya. Saya sangat bahagia mengajar di sana, tapi
kami hanya sebulan. Entah jika lebih dari itu. Masih bahagiakah saya? Saya harap saat
pertanyaan itu muncul jawabannya adalah “IYA”.

24
BERMIMPILAH SETINGGI
LANGIT
Alberta Prabarini

25
Bermimpilah Setinggi Langit
Alberta Prabarini

“One of the correctness of educational procedure is the happiness of the child”

Maria Montessori

Perkenalkan, nama saya Alberta Prabarini dan biasa dipanggil Ibu Berta. Saya
mengajar kelas lima di SDN Rangimulya, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal. Sampai
saat ini, banyak sekali pengalaman yang saya dapat dari aksi GUIM kemarin. Mulai dari
minggu pertama, kedua, hingga ketiga berada di desa orang yang jarang sinyal selular
tersebut. Dua puluh satu hari mengisi waktu di dalam bangunan yang dikelilingi sawah,
saya bersama 22 manusia pengejar mimpi melaksanakan kegiatan belajar mengajar
dalam penuh kegembiraan.
Banyak sekali persiapan untuk mengisi pengajaran dan pembelajaran di kelas.
Saya dan pengajar yang lain sibuk menggunting-gunting, melipat, menempel, dan
lainnya. Produk hasil tangan yang sering kami sebut sebagai media pembelajaran mulai
dari kartu pecahan, pohon cita-cita, buku harian, soal breakfast, bank soal, dan lain
sebagainya. Mempersiapkan itu untuk satu minggu ke depan, yaitu minggu pertama
kami mengajar. Seperti baru pertama kali sekolah, perasaan deg-degan lumayan terasa
saat akan masuk sekolah. Dengan sepatu pantofel, tas jinjing di tangan kanan, dan
tangan kiri saya membawa bola sepak yang saya beli di Pasar Asemka Jakarta, saya
menuju sekolah disambut dengan wajah-wajah penasaran. Setelah senam rutin hari
Jumat, saya diperbolehkan Pak Sutarto masuk kelas untuk berkenalan singkat dengan
anak-anak. Bola warna kuning saya putarkan diiringi lagu-lagu daerah dan nasional,
saat saya bilang stop! anak tersebut harus maju dan menyebutkan nama, alamat, cita-
cita, dan makanan favorit. Mulai dari guru, bidan, dokter, atlet, polisi, dan tentara
mereka ungkapkan dengan tersipu. Tak ada yang mengatakan ingin menjadi petani
padahal orang tua mereka kebanyakan adalah buruh tani.
Hari selanjutnya saya habiskan untuk melakukan observasi dan mendongeng
singkat bersama Pak Bondhan dan Ibu Afifah tentang Moli, si monyet yang sedih
mendapat nilai 1, sedangkan Goni mendapat nilai 10. Karena mereka saling mengerti,
Goni dan Moli akhirnya belajar bersama agar tidak mendapat nilai jelek di ujian
selanjutnya. Anak-anak terlihat sangat antusias mendengarkan dongeng dengan

26
bantuan alat peraga--boneka. Karena waktu tersisa banyak, maka kami memutuskan
untuk mengasah kreativitas mereka dengan menampilkan pertunjukan spontan.
Dengan mata berbinar, mereka minta izin untuk mengambil perangkat rebana yang ada
di ruang perpustakaan, lalu mereka menyanyikan lagu “Keramat” dari Rhoma Irama.
Suara merdu Susilo bercampur rebana khas kasidah memenuhi seisi ruangan hingga
menjadi kelas paling gaduh di antara kelas lainnya. Awalnya, saya khawatir karena
lagunya tidak kunjung selesai, namun saya pikir, jangan menahan hal baik yang sedang
dilakukan anak. Sebab ketika anak-anak sedang asyik berkreasi bersama, sesungguhnya
mereka juga berlatih diskusi dan tenggang rasa.
Bersama Ibu Kartika, wali kelas lima, saya melakukan team teaching. Media
pembelajaran yang kami buat di hari lalu, akhirnya berguna juga. Pada pelajaran IPA
tentang gaya gesek dan magnet, saya membuat dapur percobaan kecil di tengah kelas
yang sebelumnya sudah saya ubah berbentuk huruf “U” sehingga anak-anak dapat
berkumpul di tengah untuk melihat percobaan. Klip, kertas, gunting, penghapus, dan
silet saya taruh di meja, lalu dua magnet sudah ada di tangan anak-anak. Mereka
mencoba gaya magnet satu per satu, lalu menyebutkan ciri-ciri magnet dan sifat-
sifatnya. Di pelajaran lain, seperti IPS, dengan materi perjuangan pahlawan untuk
mencapai kemerdekaan, saya mencetak gambar-gambar pahlawan dan menyisakan
tempat untuk anak-anak menulis riwayat singkat pahlawan tersebut. Setelah mereka
menulis, saya menyampaikan riwayat pahwalan tersebut dengan cara mendongeng.
Metode yang biasa dinamakan role play ini berhasil membawa anak-anak ke atmosfer
perjuangan. Mereka saya libatkan menjadi pelaku. Contohnya, mereka memilih
pahlawan Imam Bonjol, lalu terjadi perang antara kaum Paderi dan kaum Adat atau
tentang pasukan Diponegoro yang melakukan perang gerilya serta keadaan role play
lainnya. Jika sudah tiba waktunya mendongeng, mereka pasti akan spontan menyapu
kelas, melepas sepatu, dan duduk melingkar di tengah kelas. Saya juga memberikan
review dan tantangan trivia tentang pelajaran yang baru dibahas. Regu yang menang
akan mendapat stempel di papan skor yang terpajang di depan kelas. Dalam pelajaran
Bahasa Indonesia yang bertemakan puisi, saya meminta anak-anak untuk membuat
pantun larik empat. Setelah itu, saya ajak mereka keluar kelas dan membentuk
lingkaran di lapangan. Saya ambil bola sepak warna kuning dan mulai memutarkannya
sambil menyanyikan lagu daerah “Rasa Sayange”. Mereka harus siap menyanyikan
pantun masing-masing jika lagu selesai dan bola berada di tangan mereka. Ada juga

27
tradisi breakfast. dimana setiap pagi saya membuatkan satu soal matematika di kertas
lalu saya tempelkan di papan kelas. Mereka yang sudah memegang kertas kecil untuk
menjawab pertanyaan selalu siap di depan kelas. Mereka selalu terlihat antusias.
Keaktifan mereka dalam menjawab dan menyampaikan pendapat juga
meningkat. Dari awal saya bertemu dan observasi secara langsung hingga di minggu ke-
3, saya merasa bahwa mereka lebih berani dan aktif. Kepedulian juga saya tanamkan,
sehingga bila ada temannya yang tidak mengerti, harus saling membantu. Sebaliknya,
bila ada yang tidak dimengerti, mereka tidak malu untuk bertanya dan meminta tolong.
Terkadang, memang ada beberapa anak yang tidak memperhatikan bahkan
cenderung mengacau di kelas. Namun, selama itu tidak lebih dari 10% dari jumlah anak,
tidak lebih dari 2 anak, menurut saya, itu keadaan yang masih wajar. Kegelisahan
lainnya juga saya rasakan ketika mendekati jam pulang sekolah, sekitar pukul 12.30.
Mereka ingin cepat-cepat pulang, sehingga antusiasme belajar berkurang. Rasa kantuk
dan lapar mulai menyerang. Untungnya, GUIM mengajarkan banyak ice breaking dan
tepuk-tepuk, sehingga saya dan Bu Kartika bisa membangkitkan kembali semangat
mereka. Walaupun kenyataan tidak seindah yang diceritakan dan kadang ada saja
gangguan, namun saya melihat anak-anak dapat lebih semangat dan aktif jika
menggunakan metode dan media pembelajaran yang beragam. Menurut saya, guru juga
harus kreatif mencari ide-ide baru dan membuat media pembelajaran. Dengan begitu,
anak-anak menjadi semangat belajar dan sekolah akan menjadi tempat yang indah.
Menurut saya sebagai guru muda, tak ada lagi yang lebih membahagiakan selain melihat
anak-anak datang ke sekolah dengan mata berbinar dan penuh harapan. Memiliki rasa
penasaran pada pelajaran baru yang akan mereka terima. Meskipun bermain, mereka
tahu bahwa ada hal yang dapat dipelajari dari permainan tersebut.
Di hari terakhir saya mengajar, breakfast saya berikan dalam bentuk lain. Saya
mencetak foto mereka satu per satu, lalu saya tempel di atas karton. Dengan jarak yang
tidak beraturan tetapi apik, mereka saya minta untuk menuliskan cita-cita dan alasan
mengapa mereka memiliki mimpi itu. Pejuang-pejuang mimpi itu, sekarang mereka
mungkin sedang belajar tentang bab baru atau masalah-masalah kelas yang baru.
Teringat pidato saya yang mewakili pengajar di Titik 1. Saya mengungkapkan, jika saya
boleh kembali lagi ke Desa Rangimulya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan,
saya berharap dapat menjabat tangan anak-anak ini dengan gelar lain, seperti Ibu Guru
I’a, Ibu Dokter Ike, Pak Polisi Apan, atau pejuang mimpi lainnya. Di awal, saya mengutip

28
pernyataan dari Maria Montessori dan terakhir, saya ingin mengutip kata-kata Bung
Karno, “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara
bintang-bintang.”

29
BELAJAR DENGAN CARA
MENGAJAR
Dini Puspitaningrum

30
Belajar Dengan Cara Mengajar
Dini Puspitaningrum

Kami duduk berdua membicarakan duka dan luka, menangis seperlunya, lalu tertawa sampai
perih tidak lagi terasa. Mencoba berdamai dengan diri sendiri, bahwa keadaan memang kadang
memilukan.
"Mus, kamu belajar yang rajin, ya," "Iya, bu," Mus mengangguk sambil tersenyum.

***
Biar saya ceritakan sedikit tentang salah satu murid kesayangan saya, Musrihati.
Namanya begitu singkat. Berbeda dengan murid lain yang memiliki nama lengkap
panjang dan kekinian. Mus mempunyai tubuh yang kecil. Ia lebih terlihat seperti murid
kelas 1 daripada kelas 3. Ia duduk di kursi paling belakang dan terlihat begitu pemalu
saat pertama kali saya masuk ke kelas tiga. Tidak ada yang istimewa dari Mus. Tidak ada
yang berbeda antara Mus dengan murid lainnya. Tidak, sampai saya memahami
hidupnya.
Berdasarkan hasil observasi dan penuturan Ibu Eka, wali kelas tiga, terdapat
tiga orang siswa yang belum lancar membaca. Salah satunya adalah Mus. Saya berusaha
memberikan treatment khusus untuk ketiga anak tersebut, baik di dalam kelas maupun
saat pulang sekolah. Saat saya minta untuk menyanyikan lagu ABC, Mus mampu
menyanyikannya dengan cukup lancar, tetapi ketika saya menunjuk beberapa huruf
secara acak, barulah saya tau bahwa ternyata ia belum hafal beberapa huruf. Ada
beberapa huruf yang belum Mus hafal, yaitu F, J, Q, V, W, dan Y. Artinya, selama ini ia
hanya menghafal lagu tapi belum memahami semua jenis hurufnya. Hal tersebut cukup
membuat saya sedih. Kemampuannya yang di bawah rata-rata membuat Mus menjadi
murid yang selalu tertinggal saat pelajaran di kelas.
Setelah kelas berakhir, saya selalu mengajak Mus untuk belajar membaca.
“Mus, kita belajar di kelas aja, ya,” Mus terdiam, lalu melihat keadaan sekitar.
“Jangan di sini,” kata Mus,
“Loh, kenapa, Mus?”
“Malu..” jawab Mus sambil menunduk.
Kemudian beberapa murid yang lain ikut masuk ke dalam kelas karena
penasaran.

31
“Bu, Mus belajar baca, ya?”, “Bu, saya juga mau ikut belajar,” kata murid lain.
“Kalian di luar saja, ya. Kan sudah boleh pulang, kenapa tidak pulang?” saya
mengusir dengan halus.
Akhirnya mereka semua pergi dan hanya tersisa saya bersama Mus.
Saya begitu semangat untuk mengajari Mus membaca. Pulang sekolah menjadi
waktu yang saya tunggu-tunggu untuk dapat mengajari Mus secara intensif. Saya pikir
Mus akan bosan atau malas, tetapi ternyata Mus masih tetap semangat dan terlihat
sangat senang. Suatu pagi, ketika saya baru saja sampai di sekolah, Mus langsung
menghampiri saya. "Bu, nanti pulang sekolah belajar lagi, ya!" ajak Mus seraya
memegang tangan saya dengan senyum di wajahnya. Saya sangat terharu
mendengarnya. Melihat semangatnya yang begitu besar membuat saya semakin
semangat juga untuk mengajarinya. Pada saat itu, saya bertekad pada diri sendiri untuk
mengajarinya sebaik mungkin dengan metode-metode yang saya bisa gunakan.
Namun, kenyataan yang ada membuat saya sedikit khawatir. Dua dari tiga siswa
yang belum lancar membaca, yaitu Ima dan Zeni, sudah semakin lancar membaca,
sehingga hanya perlu beberapa kali treatment saja. Selebihnya, saya berikan mereka PR
khusus setiap hari. Selain itu, saya juga berpesan kepada orang tua Ima dan Zeni saat
home visit untuk terus membimbing mereka belajar calistung. Berbeda dengan Ima dan
Zeni, Mus memiliki progress yang cukup lambat. Hingga pertengahan minggu kedua
saya mengajar, Mus belum menunjukkan kemajuan. Ia masih sulit menghafal beberapa
huruf. Hal itu membuat saya berpikir mungkin ada yang salah dengan cara saya
menyampaikan atau mungkin ada yang salah dengan metode yang saya gunakan. Saya
coba untuk meminta saran dari Ibu Eka, pengajar GUIM lain, dan juga panitia tentang
masalah ini. Kemudian saya coba ikuti saran-saran mereka. Di sisa waktu yang saya
miliki ini, saya ingin sekali dapat membantu Mus. Saya ingin melihat ia mengalami
kemajuan. Saya ingin ia dapat membaca seperti murid kelas tiga yang lain. Saya ingin
Mus tidak terus-menerus dikucilkan teman-temannya karena belum lancar membaca.
Saya anggap Mus sebagai anak saya sendiri. Dengan begitu, semangat saya untuk
mengajari Mus tidak akan menurun. Saya pun merasa memiliki tanggung jawab lebih
besar. Pada minggu ketiga saya mengajar, Mus mulai mengalami kemajuan. Ia sudah
hafal semua abjad, namun terkadang masih sering tertukar antara F dan V. Mus juga
sudah lancar mengeja kata yang terdiri dari empat huruf. Walaupun progressnya cukup
lambat, tetapi saya tetap bersyukur Mus mengalami kemajuan.

32
Dari pengalaman mengajar ini, saya dapat benar-benar memahami bahwa setiap
manusia terlahir dengan kecerdasan yang berbeda. Ada yang hanya dengan sekali
belajar sudah langsung bisa, tapi ada yang sudah berkali-kali belajar masih saja
kesulitan. Saya yakin tidak ada anak yang tidak bisa. Semuanya memang butuh proses.
Semakin panjang dan berat proses itu, maka akan semakin bernilai pencapaian yang
diraih.
Ada satu hal yang saya kagumi dari Mus, yaitu sikapnya yang begitu ramah dan
santun. Setiap pulang sekolah, sebelum kami memulai sesi belajar tambahan, Mus selalu
membantu saya membereskan buku-buku dan peralatan mengajar lain tanpa diminta.
Ia juga selalu terlihat ceria dan begitu terbuka dengan saya. Sikap yang, ketika pulang
sekolah, berbeda dengan sikapnya saat di kelas. Ketika pulang sekolah dan hanya
tinggal kami berdua, Mus bisa menjadi dirinya sendiri. Saya mengerti mengapa Mus
demikian. Mus memiliki kepercayaan diri yang rendah di kelas. Ia malu karena belum
bisa membaca. Saya selalu memotivasi Mus agar terus berusaha dan berdoa.
Ada satu hal lagi yang cukup menarik dari kisah Mus. Pada awal pertemuan, saya
meminta semua murid untuk mengisi biodata diri yang isinya meliputi nama orang tua,
pekerjaan orang tua, tanggal lahir, hobi, cita-cita dan sahabat. Berdasarkan biodata
tersebut, sebagian besar orang tua mereka memiliki pekerjaan sebagai petani dan
pedagang. Namun, ada hal yang cukup membuat saya sedikit lega. Pada biodata
tersebut, tidak ada murid yang menuliskan cita-citanya sebagai petani atau pedagang.
Iya, tidak ada, kecuali Mus. Mus menulis "pedagang" pada bagian cita-cita. Mungkin, Mus
menulis “pedagang” karena ingin seperti ibunya atau mungkin ia bingung ingin menjadi
apa. Tidak ada yang salah sebetulnya dengan profesi pedagang, pun petani. Bagi saya,
petani dan pedagang sudah seperti budaya masyarakat di sana. Berkebun sayur
merupakan keahlian yang diturunkan dari orang tua mereka terdahulu dan tanah desa
yang begitu subur merupakan anugrah yang memang harus dimanfaatkan dengan baik.
Hanya saja, saya ingin murid-murid saya memiliki pekerjaan lain yang bisa mereka
jadikan sumber pendapatan utama. Pekerjaan yang penghasilannya lebih pasti daripada
bekerja sebagai petani. Pekerjaan yang dapat membuat mereka memiliki taraf hidup
yang lebih baik dan nantinya dapat membawa kehidupan di desa itu menjadi lebih baik
juga.
Saat mata pelajaran IPS, saya menjelaskan materi tentang jenis-jenis profesi. Saat
itulah kesempatan saya untuk mengenalkan mereka berbagai macam profesi yang ada,

33
baik yang menghasilkan jasa maupun barang. Tidak hanya ceramah, tapi saya juga
mengadakan games. Selama tiga kali pertemuan, saya terus membahas tentang jenis-
jenis pekerjaan, pentingnya memiliki pekerjaan, dan apa saja yang harus dilakukan
untuk meraih pekerjaan yang mereka inginkan. Di sinilah peran saya yang
sesungguhnya: menginspirasi, mengubah pandangan, dan membangun harapan.
"Mus, nanti kalo sudah besar mau jadi apa?"
"Hmm...mau jadi guru,"
"Kenapa?"
"Mau jadi seperti Ibu Dini."
“. . .”
Di hari-hari terakhir mengajar, saya merasa sedikit lega. Mus sekarang bercita-
cita menjadi seorang guru. Walaupun saya sekarang sudah tidak ada lagi di sampingnya
untuk memberikan motivasi, setidaknya cita-cita itu yang akan membuatnya terus
semangat belajar. Walaupun saya sekarang tidak bisa lagi mengajarinya, setidaknya ada
doa yang akan menjaganya.
***
Biar saya ceritakan lagi sedikit tentang salah satu murid kesayangan saya,
Musrihati. Walaupun namanya singkat, tapi saya yakin Mus memiliki masa depan yang
panjang. Walaupun Mus bertubuh mungil, tapi ia memiliki semangat yang sangat besar.
Semangat hidup dan semangat belajar yang membuat ia terlihat begitu spesial di mata
saya.
Saya mungkin hanya sebagian kecil dari perjalanan hidup Mus dan anak-anak
yang lain, tetapi mereka berperan besar dalam hidup saya. Pengalaman 25 hari di
sebuah desa kecil di kaki Gunung Slamet membuat saya belajar banyak hal. Tentang
kesederhanaan, ketulusan, kebersamaan, dan tentang kebahagiaan yang sesungguhnya.
Hanya sedikit yang dapat saya berikan untuk mereka. Hanya doa yang bisa terus
diberikan dan rindu yang selalu dirasakan.
"Selalu ada harapan bagi mereka yang berdoa. Selalu ada jalan bagi mereka yang
berusaha."

34
BERAKSI LALU
MENGINSPIRASI
Aditya Fahmi Nurwahid

35
Beraksi Lalu Menginspirasi
Aditya Fahmi Nurwahid

“... Masih banyak yang cuma berbicara dan berkomentar...”

Sepenggal kalimat ayah saat menjemputku di depan rumah sepulang dari Tegal. Entahlah, di situ
ada beberapa kata pujian juga kata sinis atas keberangkatanku bersama kawan-kawan UI ke
Kabupaten Tegal selama sembilan belas hari bersama. Ah, apalah, tulisan ini cukup remeh jika
hanya menceritakan pengalaman perjalanan.

Jernihkan Pemikiranmu Soal Pengabdian


Mengenal pengabdian, utamanya pengabdian pendidikan, sejak SMA tidak serta
merta membuatku bosan untuk berbagi. Gerakan UI Mengajar adalah aksi ketigaku
melakukan pengabdian pendidikan (Education Volunteering). etiap aksi pun selalu
melahirkan pengalaman-pengalaman yang tak ternilai. Pengalaman merupakan guru
terbaik, kata pepatah, dan aku selalu belajar banyak hal dari pengalaman yang
kudapatkan.
Kini kata pengabdian memang ‘mengerut’ dan mengerdilkan maknanya sendiri.
Entah apa yang merasuki, reality show kah? pemberitaan jembatan tomb rider, kah?
Sampai–sampai orang kini menganggap bahwa berani mengabdi adalah pilihan untuk
berani menderita. Mengabdi sama dengan menderita.
Kebanyakan dari kita paling banter hanya berani berkomentar. Ini juga yang
kutangkap dari potongan kalimat ayah kepadaku saat pulang. Sebuah kalimat yang
ambigu menurutku, apakah memuji anaknya yang mau beraksi untuk mengabdi atau
memang sinis seakan menyatakan “Kenapa tidak duduk dan berkomentar saja serta
nikmati liburan semestermu?”
Gerakan mahasiswa mengajar, baik GErakan Undip Mengajar (GUM), GErakan UI
MEngajar (GUIM), atau gerakan lainnya, lebih dari sekedar branding pengabdian atau
sarana simulasi yang menyengsarakan mahasiswa. Gerakan mengajar ini mengajak para
mahasiswa di kampus masing-masing untuk mengabdi. Artinya, gerakan ini
mengapresiasi, mengakui, menghargai meraka secara kapasitas, kualitas, dan
pengabdian yang telah atau akan mahasiswa-mahasiswa ini lakukan.
Penghargaan dan pengakuan ini tidak diekspos. Hal inilah yang tidak diketahui
oleh banyak mahasiswa lain. Sehingga menganggap pengabdian so wasting time.

36
Gerakan mengajar oleh mahasiswa seperti ini ingin menjadi jembatan perubahan.
Tanpa berbicara statistik ataupun data lainnya, kita semua tahu bahwa pendidikan di
Indonesia masih belum merata. Mulai dari kesenjangan sarana prasarana hingga masih
sedikitnya penghargaan terhadap pendidik (guru). So, masihkah Anda hanya
berkomentar nanti atau mulai bangun dan beraksi? Itu terserah Anda.

Berbagi Lalu Berbahagia


“Kalau engga bahagia, ya, ga usah jadi relawan” - Imam Subchan (Ketua Akademi
Berbagi). Bahagia itu saat aku menjadi relawan. Ini jelas terdengar perez ketika kalimat
tersebut keluar dari mulut setiap orang. Dan mungkin bagi Anda yang membaca
tulisanku , Anda pasti juga berpikiran hal yang sama. Menjadi relawan adalah peran
yang paling sederhana yang bisa kulakukan. Tidak sulit dan tidak membutuhkan
banyak biaya.
Menjadi relawan itu, ketika kamu menuju ke pinggiran, ke kota-kota kecil,
berbagi ilmumu bersama anak-anak desa. Menjadi relawan itu, ketika kamu berbagi
parenting skill kepada para orangtua anak-anak pedesaan agar tetap dalam didikan
yang benar. Menjadi relawan itu, ketika kamu harus bangun lebih pagi dari biasanya
dan bersiap mengajar di SD pinggiran dengan naik Pick Up disertai perasaan
riangSederhana bukan?
Menjadi relawan itu adalah hal-hal sederhana, Kawan. Hal itu akan selalu
membawamu pada gelak tawa bahagia. Selain itu, menangisnya pun adalah tangis
bahagia karena kamu telah berhasil membuat orang-orang disekitarmu bahagia. Iya,
menjadi relawan itu sangat sederhana. Hanya dengan bersedia melangkahkan kaki
untuk menebar manfaat pada lingkungan sekitar, maka kamu bisa menjadi seorang
relawan. Menjadi relawan itu sederhanadan membahagiakan. Hal itu menjadi
membahagiakan saat kamu bisa saling berpelukan dengan tangis kebahagiaan karena
kamu telah berhasil menjadi relawan.

Terimakasih GUIM
Terimakasih para rekan-rekan di GUM yang telah merestui berangkat dan
melaksanakan pengabdian bersama kawan-kawan UI di GUIM. Terimakasih juga untuk
kawan-kawan GUIM karena telah memberikan banyak pelajaran dan inspirasi. GUIM
jugamemberikanku kesempatan untuk belajar dan memperoleh banyak pengalaman

37
selama aksi. Para kawan-kawan GUIM adalah Rangers hebat yang pernah saya kenal.
Mereka membaktikan dirinya untuk berbagi senyum, keceriaan, pengetahuan, dan
motivasi dalam program pendidikan. Sukses untuk kalian semua, dan tetap sebarkan
semangat pengabdian!

38
DIA
Muhammad Luthfi Fauruza

39
Dia
Muhammad Luthfi Fauruza

“Coba perhatikan!”Saya mengangkat benda di tangan saya itu ke depan tubuh


saya.
“Ada yang tahu, Bapak sedang memegang apa?”
“Bintang!” Mereka menjawab dengan semangat.
“Iya, bintang.” Saya menunjukkan bintang kecil itu lebih dekat ke mereka.
“Setiap hari, Bapak akan berikan bintang-bintang ini untuk kalian yang berani
berpendapat dan berani menjawab soal dari Bapak.”
“Satu bintang yang kalian dapat itu menandakan satu ilmu baru yang kalian
pelajari. Semakin banyak bintang kalian, itu artinya semakin banyak ilmu baru yang
telah kalian dapatkan.”

***
Nama anak itu Nanda Satria. Seorang anak laki-laki bertubuh kecil. Masih
terekam jelas di ingatan saya mengenai kejadian hari pertama. Saat itu saya masuk ke
dalam kelas. Saya duduk di bagian paling belakang barisan ketiga. Anak itu
memperhatikan saya dengan tatapan curiga saat saya mulai memperkenalkan diri
sebagai pengajar kelas lima.
Dibandingkan dengan anak-anak lain yang menyambut kedatangan saya dengan
antusias, Nanda tidak demikian. Ketika anak-anak lain berdiri untuk mulai berdoa, dia
diam di tempatnya. Karena baru hari pertama, saya belum berani untuk menegurnya.
Akhirnya saat itu saya hanya memperhatikan dia dari depan kelas. Bertatapan mata
dengannya.
Memasuki pertemuan selanjutnya, saya sudah mulai mengajar di dalam kelas.
Pagi itu, kelas dibuka dengan mata pelajaran matematika. Pada awal kegiatan belajar
mengajar dimulai, anak laki-laki bernama Nanda itu lebih banyak mengobrol dengan
teman-temannya. Saya sampai harus menegur dia berulang kali untuk memintanya
berhenti mengobrol.
Setelah saya memberikan banyak contoh soal, saya lalu meminta anak-anak
untuk mengerjakan soal baru yang ada di papan tulis. Beberapa anak laki-laki
memanggil saya untuk kembali diajarkan cara mengerjakan soal tersebut. Sambil saya

40
perhatikan, Nanda mengerjakan soal-soal itu sendirian. Tidak terganggu dengan suara
teman-teman yang berada di sekitarnya. Kemudian, saya coba menghampiri dia dan
mengamati hasil pekerjaannya.
Melihat hasilnya, saya menahan diri untuk tidak berdecak kagum saat itu juga.
Dari delapan nomor yang sudah dikerjakan, ia hanya salah satu nomor. Kesalahannya
pun hanya karena salah menulis angka. Sedangkan, dibandingkan dengan dia, teman-
temannya masih butuh penjelasan lebih lanjut bagaimana cara mengerjakan soal-soal
tersebut. Sebelum saya meninggalkan mejanya untuk menuju meja murid yang lain,
saya sempat memberikannya semangat dengan menepuk pelan bahunya.
“Ayo, semangat! Sedikit lagi!”
Dia menoleh ke arah saya, dan berkata, “Iya, Bu Guru.”
Ya, anak laki-laki bernama Nanda itu memanggil saya denganpanggilan Bu Guru.

***
Rasa penasaran yang memenuhi diri saya mengenai Nanda, akhirnya membawa
saya untuk pergi ke rumahnya. Di suatu siang yang tidak begitu terik, ditemani oleh
salah seorang teman, saya berjalan menuju daerah bagian bawah sekolah untuk
melakukan kunjungan rumah murid. Meskipun medan yang kami lalui tidak terlalu sulit,
namun tetap saja anak-anak tangga di jalanan tanah itu terasa licin. Membuat kami
harus berjalan dengan hati-hati sambil menyeimbangkan tubuh agar tidak tergelincir.
“Assalamual’akum,” ucap saya saat kami sampai di depan sebuah rumah. Tampak
sederhana, rumah tersebut berdindingkan anyaman bambu dan beralaskan semen di
bagian depan, namun beralaskan tanah di bagian belakang. Seorang perempuan tua
keluar dari dalam rumah. “Waal’aikumsalam.”
“Mbah, perkenalkan, nama saya Luthfi. Saya mahasiswa yang membantu
mengajar di SDN Traju 03. Kebetulan saya mengajar di kelas 5, kelasnya Nanda.” Saya
memperkenalkan diri setelah sebelumnya mencium tangan Mbah.
Mbah tidak menjawab. Beliau hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan
kepala dan kemudian langsung mempersilakan kami untuk masuk ke dalam. Tak lama,
seorang perempuan berusia 30-an muncul dari arah belakang rumah dengan membawa
air minum dan beberapa piring makanan kecil. Jamuan untuk kami di siang hari itu.
Perempuan itu budhenya Nanda. Kembali saya dan teman saya memperkenalkan diri

41
kami dan menyatakan tujuan kedatangan kami. “Iya, kalau saya sekarang mau belajar
sama Nanda di sini, bu.”
Seperti yang biasa saya lakukan saat belajar dengan murid di rumahnya, saya
akan memberikan soal-soal yang sesuai dengan kemampuan murid tersebut. Sehingga
ketika mereka dapat mengerjakan dan menjawab dengan benar, saya dapat
memberikan pujian langsung di depan orang tuanya. Saat saya belajar bersama Nanda,
saya pun melakukan hal tersebut di depan Mbah dan Budhe. Dari belajar itu juga, saya
mulai dapat melihat kemampuan dia yang sebenarnya.
Berbeda dengan teman-temannya, Nanda dapat dengan cepat menyerap dan
memahami apa yang saya ajarkan. Bahkan dia dapat menjawab dengan benar semua
soal yang saya berikan. Namun, saya belum menemukan jawaban mengapa dia tidak
mau menunjukkan kemampuannya saat di dalam kelas.
Selama saya belajar bersama Nanda, teman saya langsung mengambil alih untuk
mengobrol dengan Mbah dan Budhe. Teman saya itu mencari informasi sebanyak
mungkin mengenai Nanda saat di rumah maupun di sekolah. Sambil mengajari Nanda,
sesekali saya ikut mencuri dengar pembicaraan mereka. Dari hasil pembicaraan
tersebut, terkuak banyak informasi mengejutkan tentang Nanda yang baru saya ketahui.

***
Nama anak itu Nanda Satria. Seorang anak laki-laki bertubuh kecil dengan
suaranya yang nyaring. Dia dilahirkan di tanah Sumatera dari rahim seorang
perempuan asal Desa Traju. Seorang perempuan yang saat itu belum terikat pada ikatan
pernikahan.
Ketika usia Nanda memasuki empat tahun, perempuan itu membawanya pulang
ke desa. Tidak lama setelah kepulangannya ke desa, perempuan itu memutuskan untuk
kembali pergi. Kali ini tak seorang pun mengetahui ke mana ia pergi. Bahkan sejak
kepergiaannya, dia tidak pernah pulang lagi. Meninggalkan anak laki-lakinya beserta
dengan beberapa uang kepada ibunya,Mbah. Seakan menitipkan kehidupan anak laki-
laki tersebut di tangan orang lain.
Nama anak itu Nanda Satria. Sejak usianya empat tahun, ia tidak pernah lagi
merasakan hangat pelukan ibunya ataupun sekadar mendengar kabar mengenai ibunya.
Mbah, yang hanya tinggal seorang diri di rumah, merasa tidak sanggup untuk mengurus
Nanda kecil yang dititipkan kepadanya. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan satu

42
keluarga yang berkeinginan untuk mengasuh Nanda kecil. Namun, tidak cukup lama
mereka mengasuhnya, mereka memutuskan untuk mengembalikannya kepada Mbah
dengan alasan bahwa Nanda anak yang nakal serta sulit diatur dan mereka sudah
kewalahan mengatasinya. Dimulai sejak saat itu, Nanda kecil mendapatkan julukan anak
nakal dari orang-orang sekitarnya.

***
Hal yang biasa saya lakukan di pagi hari sebelum memulai pelajaran ialah
menghitung mundur hari kepulangan saya ke Depok. Hari itu sudah memasuki H-5 hari
kepulangan.
“Nah, sekarang sudah tanggal 26 Januari, berarti Bapak hanya akan tinggal 5 hari
lagi di Traju,” ucap saya pagi itu. Biasanya anak-anak akan membalas dengan seruan
panjang “Yaaah!”, namun tidak dengan pagi ini. Sesaat setelah saya bicara demikian,
beberapa anak saling berpandangan satu sama lain. Suasana kelas mendadak menjadi
sunyi.
“Ada apa?” Tidak ada yang menjawab. Saya tunggu beberapa saat. Masih juga
tidak ada yang bersuara. Saat itu saya belum mengerti apa yang terjadi. Namun, saya
tahu ada yang berbeda dari anak-anak. Akhirnya, saya tetap melanjutkan pelajaran
seperti biasanya.
Sepanjang kegiatan belajar mengajar di pagi hari itu, beberapa anak mulai
menunjukkan keengganannya untuk belajar. Mereka mulai mengobrol satu sama lain.
Bahkan ada pula yang mengeluarkan mainan dan memainkannya di atas meja. Sampai
pada saat di tengah-tengah saya mengajar, seorang anak laki-laki membuat keributan
dengan berteriak dan tertawa keras-keras dengan teman di sebelahnya. Anak itu
bernama Nanda Satria.

“Nanda, ayo duduk di tempatnya,” Kembali saya tegur Nanda.


“Enggakmau,” jawabnya pendek. Tanpa melihat ke arah saya.

Jujur, saat itu saya terkejut mendengar jawabannya. Setelah dia menjadi lebih
dekat dengan saya selama beberapa hari ini, sedikit pun dia tidak pernah bicara dengan
nada ketus dan ‘kurang sopan’ kepada saya. Saya terdiam sejenak. Bingung bagaimana

43
menanggapinya. Saya tidak pernah menyangka bahwa dia berani untuk melakukan hal
tersebut kepada saya.

“Menurut Nanda, perilaku Nanda barusan sopan atau tidak?”Dia tidak menjawab.
Bahkan dia tidak melihat ke arah saya sedikit pun.
“Sekarang Bapak minta Nanda untuk mengeluarkan bintang milik Nanda. Bapak
mau ambil. Semuanya.” Ucapan saya ternyata berhasil membuat dia menolehkan
kepalanya. Jelas terlihat bahwa dia terkejut dengan ucapan saya barusan. Namun, reaksi
yang ditunjukkan oleh Nanda kemudian sama sekali di luar dugaan saya.
Dia mengambil botol berisi bintang-bintang miliknya dari dalam tas, lalu
menyodorkannya kepada saya sambil berkata, “Nih.”

***
Sejak saya meminta dia untuk memberikan bintang-bintang miliknya kepada
saya, sikap Nanda langsung berubah total. Dia tidak mau bicara pada saya, bahkan
cenderung menghindari saya. Seperti pada saat saya bertemu dengannya di hari
pertama mengajar.
Cara yang saya gunakan memang berlebihan. Mengambil bintang miliknya.
Bahkan semua dari yang dia miliki. Bintang yang setiap hari selalu teman-temannya
bandingkan dengan miliknya yang sedikit itu. Namun, cara inilah yang mampu untuk
menegurnya.
Pagi itu saat jam istirahat, saya memanggil Nanda untuk menghadap saya. Saya
merasa ada beberapa hal yang harus saya katakan secara tatap muka dengannya.

“Nanda kenapa?” Saya membuka percakapan. Dia diam.Dia hanya melihat ke


arah luar kelas. Menghindari untuk bertatapan mata dengan saya.
“Bapak ada salah ya sama Nanda?”
“Nggak tau,” jawabnya dengan nada ketus.
Ganti saya yang diam.
“Nanda masih kesal ya karena kemarin Bapak marah?” Dia kembali diam. Sampai
beberapa kali pertanyaan saya ajukan padanya, dia masih tetap diam tidak menjawab.
Akhirnya, satu pertanyaan saya berhasil membuatnya menoleh.

44
“Kalau Bapak boleh tahu, Nanda sekolah untuk siapa?”Nanda menoleh ke arah
saya. Saya masih ingat betul tatapan matanya yang tiba-tiba berubah menjadi sendu.
Seolah menyimpan kesedihan yang sudah lama dia pendam. Sama sekali berbeda dari
dia yang sehari-harinya. Dia yang ceria dan selalu tertawa.
Nanda diam beberapa lama, sebelum akhirnya mengucapkan, “Untuk Mbah.”
Dalam hati, saya ikut merasa sedih saat mendengar jawabannya. Anak ini sebenarnya
tahu bahwa dia tidak memiliki orang tua.
“Nanda ingin pintar untuk siapa?”
“Mbah,”
“Kalau Mbah tahu tentang apa yang Nanda lakukan kemarin di kelas, kira-kira
apa yang Mbah rasakan?”
Nanda kembali diam. Tampak jelas kali ini dia menahan air matanya agar tidak
jatuh.
“Sedih,” jawabnya kemudian.
“Nanda mau lihat Mbah jadi sedih?”
“Nggak mau,” jawabnya pelan.
“Berarti apa yang harus Nanda lakukan supaya Mbah tidak sedih?”
“Nanda harus jadi anak yang baik.” Terdengar suaranya mulai bergetar.
Saya sebenarnya tidak mau melanjutkan percakapan ini. Saya terenyuh. Mulai
ikut merasakan sedih dalam setiap jawaban Nanda.
Detik berikutnya, saya meraih tangan kecil milik Nanda. Saya genggam dengan
erat. “Nanda tahu tidak, Bapak tidak punya Ayah. Bapak cuma punya Ibu. Bapak sekolah
untuk Ibu. Bapak ingin jadi anak yang pintar untuk Ibu. Bapak ingin agar Ibu senang dan
bangga dengan Bapak.” Ucap saya pelan. Tidak ingin terdengar sedih.
“Bapak tidak bilang bahwa Nanda anak yang nakal. Tapi, kalau Nanda ingin membuat
Mbah senang, Nanda harus bisa menjadi anak yang pintar. Anak yang perilakunya baik.
Bapak tinggal empat hari lagi ada di sini. Bapak nggak marah sama Nanda. Bapak cuma
ingin Nanda tetap semangat untuk belajar selama Bapak masih ada di sini. Bapak ingin
membantu Nanda untuk membuat Mbah bangga sama Nanda. Bapak ingin Nanda bisa
tunjukkan kepada Mbah kalau Nanda anak yang pintar.”
Nanda tidak menjawab. Dia hanya berdiri tegap dengan kepala yang
menengadah ke atas. Mencoba untuk menahan bendungan air mata di pelupuk matanya.
Pertanda bahwa saya harus mengakhiri percakapan kami cukup sampai di sini.

45
***
Akhirnya, kami sampai pada hari kepulangan. Matahari bersinar dengan teriknya
pada siang hari itu. Beberapa orang anak ikut mengantar kami menuju jalan di ujung
desa. Mereka mengiringi langkah kami menuju mobil tronton yang telah menunggu
untuk membawa kami pulang kembali ke Depok.
Perjalanan itu terasa singkat. Bahkan tidak ada lelah yang saya rasakan. Padahal
kami menempuh jalanan berbatu yang jaraknya lumayan jauh dari desa.
Setelah barang-barang kami berpindah ke dalam tronton, anak-anak mulai naik
ke atas mobil pick up yang tadi mengangkut barang kami. Beberapa teman saya juga
sudah bersiap-siap di dalam tronton. Mulai membalas lambaian-lambaian tangan dari
anak-anak.
Saya sedang memeluk beberapa anak, ketika saya melihat seorang anak yang
sedang menahan tangisnya untuk pecah. Dia berdiri di atas pick-up sambil mengusap
kedua matanya. Anak itu bernama Nanda Satria.
Saya berjalan mendekati Nanda dan berdiri tepat di depannya. Saya lalu menarik
dia ke dalam pelukan. Saya rasakan Nanda memeluk saya makin erat. Dia
menenggelamkan kepalanya di bahu kanan saya. Dia menumpahkan air matanya yang
dia pendam sejak beberapa hari lalu.

“Bapak jangan pulang, nanti Nanda sendirian,” ucapnya sambil menangis terisak.
Saya terdiam. Tidak menjawab sepatah kata pun. Menahan diri untuk tidak ikut
menangis di depannya.
Lama kami berpelukan sampai akhirnya Nanda mengatakan, “Nanda sayang
Bapak.”
“Bapak juga sayang sama Nanda,” Saya membalasnya sambil mengusap pelan
kepalanya. “Udah. Jagoan Bapak gak boleh banyak-banyak nangisnya,”

Perlahan, dia menegakkan kembali kepalanya. Mengusap air matanya yang masih
meluncur deras di pipinya. Saya tersenyum sebentar kepadanya sebelum akhirnya naik
ke atas tronton. Memilih untuk duduk di sudut bagian dalam. Tidak mau melihat lagi
keluar. Meninggalkan anak itu dalam tangisan kecilnya. Anak itu bernama Nanda
Satria.***

46
EGOISME PRIBADI
Tirta Pangestu Putri

47
Egoisme Pribadi
Tirta Pangestu Putri

Dua dari sekian banyak pertanyaan yang disampaikan oleh teman-teman ketika
mengetahui bergabungnya saya di kepanitiaan Gerakan UI Mengajar 5 (GUIM 5) sempat
ada yang cukup mengusik. Mereka bertanya Tirta suka anak-anak? tau Tirta suka
mengajar?. Bila ada yang melakukan ini, bisa saya simpulkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang belum mengenal saya dengan baik. Karena siapapun yang telah
mengenal seorang Tirta cukup lama, mereka akan tahu pasti bahwa jawaban atas kedua
pertanyaan tersebut adalah “Tidak”.
Untuk membahas alasan dari pertanyaan lanjutan yang biasanya berupa mengapa tidak
suka anak-anak? Atau mengapa tidak suka mengajar?Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan itu memerlukan waktu lebih lama. Karena hal tersebut menyangkut histori
hidup dan opini pribadi saya sendiri mengenai bagaimana sosok seorang pengajar
seharusnya. Maka dari itu, yang biasa saya lakukan hanyalah diam sambil tersenyum
dan mengalihkan topik pada pembicaraan lain. Namun, ada satu orang yang
menyampaikan pertanyaan lanjutan yang, dengan segala kejujurannya, mampu
menyentil perasaan, yaitu:
Kalau tidak suka anak-anak dan tidak suka mengajar, (lalu) buat apa ikut
GUIM?Ya. Kenapa saya mau ikut GUIM 5?
Jawaban dangkal dari pertanyaan ini dapat disampaikan dengan menjelaskan
datangnya tawaran dari teman SMA saya. Ia menawarkan saya untuk mengisi posisi
Vice Director Public Relations GUIM 5. Saat pertama tawaran diutarakan, saya pun cukup
ragu. Segala yang saya tahu tentang GUIM 5 saat itu hanyalah bahwa kepanitiaan ini
bergerak di bidang pendidikan dan melakukan aksi di sebuah daerah terpencil selama
sebulan di masa liburan semester ganjil. Pengorbanan yang cukup lama atas waktu
istirahat yang diperlukan setelah enam bulan berkutat dengan kuliah dan kegiatan-
kegiatan lain.
Ternyata setelah mengobrol lebih lanjut, saya jadi tahu bahwa kepanitiaan GUIM
5 ini akan berlangsung kira-kira selama setahun, bahkan lebih. Sekitar tujuh bulan
masa praaksi diisi dengan; rekrutmen panitia, Grand Launching, rekrutmen pengajar,

48
seminar dan pelantikan panitia-pengajar, pelatihan-pelatihan mengenai skill dan materi
yang dibutuhkan ketika aksi, juga team building.
Rangkaian kegiatan itu dilanjutkan dengan sebulan aksi di titik, yang di
kemudian hari diputuskan berlokasi di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Lalu dua bulan
pascaaksi, yakni; Grand Launching serta Konferensi Mahasiswa Mengajar sebagai
penutup rangkaian kegiatan. Tak lupa ada juga Monitoring dan Evaluasi yang biasanya
dilakukan sekitar enam bulan setelah aksi untuk melihat kembali hasil dari usaha-usaha
yang telah dilakukan panitia serta pengajar. Cakupan waktu yang sangat lama untuk
satu kepanitiaan saja.
Tanggung jawab yang dipegang berkaitan dengan tujuan dan maksud gerakan ini
sendiri. Hal ini cukup berat karena menyangkut pihak-pihak eksternal, yakni warga dan
anak-anak SD di sebuah daerah yang luas.
Apakah pengetahuan ini membuat saya keberatan? Sejujurnya, awalnya, ya.
Lumayan ciut nyali ini rasanya ketika mengetahui fakta-fakta tersebut. Tapi kemudian,
ada setitik rasa penasaran yang mengalahkan keraguan yang lebih besar. Saya ingin
tahu, seperti apa rasanya hidup di wilayah yang asing dengan segala keterbatasan
selama satu bulan bersama-sama dengan teman? Apa iya seseru yang teman SMA saya
bilang? Hal ini juga didorong dengan keinginan kecil untuk merasakan sedikit
kebebasan dan kemandirian yang dimiliki teman-teman kuliah saya yang hidup jauh
dari rumah. Hampir dua puluh tahun hidup di dunia, saya belum pernah berjauhan dari
keluarga untuk waktu yang lama. Saya ingin jadi dewasa.
Akhirnya saya mengiyakan tawaran tersebut. “Karena diajak teman,”alasan saya .
Bulan demi bulan berlalu. Saya mengikuti kegiatan demi kegiatan dalam GUIM 5 satu
per satu. Momen-momen berkenalan dengan sebuah ‘keluarga’ baru, menyesuaikan diri
dengan ritme kerja, momen-momen senang, lucu, lelah, silih berganti. Sambil berproses,
sesungguhnya diam-diam pertanyaan Untuk apa ikut GUIM 5? tersebut masih terus
berbayang-bayang dan tidak mau dilupakan. Kadang luar biasa memang, efek dari satu
kalimat yang mungkin diutarakan sambil lewat dan tanpa maksud apa-apa.
Ya, kamu kan tidak suka anak-anak dan tidak suka mengajar, Ta apa yang kamu
lakukan disini?

***

49
Beberapa waktu kemudian saya menemukan suatu kutipan dari seorang filsuf
Romawi Kuno yang bahkan tidak pernah saya dengar namanya sebelum itu, Marcus
Tullius Cicero (106-43 BCE).“Non nobis solum nati sumus,” katanya dalam De Officiis.
Yang bisa diartikan sebagai “Not for ourselves alone we are born.” Hidup kita bukan
hanya untuk diri kita sendiri. Ada bagian dari diri setiap orang yang merupakan milik
keluarganya, milik temannya, milik orang lain, dan milik negaranya, begitu penjelasan
yang saya dapat.
Kalimat yang pendek, namun cukup membuat haru dan meninggalkan jejak yang
sangat kuat. Saya merasa telah menemukan alasan dan jawaban dari pertanyaan Untuk
apa? tadi.
Manusia meraih bahagianya dengan berbagai cara. Berkutat dengan hobi,
berkumpul dengan teman, bertemu orang-orang baru, melakukan hal-hal yang tidak
pernah dilakukan orang lain sebelumnya atau dengan cara-cara yang lebih mudah,
seperti makan makanan enak, tidur di kala lelah, menjalin hubungan dengan orang
tersayang.
Bertahun-tahun saya hidup, semua dilakukan untuk diri sendiri. Saya memenuhi
ambisi, mendapatkan keinginan, memuaskan rasa yang selalu menuntut pembuktian
terhadap orangtua, terhadap teman, terhadap keluarga besar, dan terhadap guru-guru.
Semua untuk diri saya. Semua adalah egoisme pribadi. Kali ini alasan saya pun sama,
kebahagiaan diri sendiri. Namun, kini ada cara lain untuk bahagia yang belum pernah
saya lakukan, yaitudengan mendedikasikan diri untuk orang lain.

***
Rangimulya, titik satu. Sebuah desa kecil di Kecamatan Warureja yang dikelilingi
hektaran sawah di segala sisi. Sawah-sawah inilah sumber penghasilan utama keluarga
di Rangimulya. Sayangnya, sebanyak apapun, hasil yang didapat kadang masih jauh
kurangnya dengan yang dibutuhkan untuk menghidupi banyak anak yang ada.
Selama berada di desa ini, saya pribadi sangat jarang melihat remaja atau
dewasa muda seusia saya dan teman-teman. Dimana-mana kami bisa menemukan bayi,
anak kecil usia awal sekolah, dan bapak-ibu manula. Namun, orang-orang dalam
golongan usia produktif, hampir sangat jarang, kecuali mereka yang sudah berkeluarga
di usia terlalu muda.

50
Umumnya, anak-anak muda di Rangimulya, ketika para orangtuanya tak lagi
mampu menyekolahkan, mereka pergi ke Jakarta untuk merantau. Tak peduli dia belum
menamatkan pendidikan SMP atau bahkan SD. Sebuah fakta yang sering didengar dari
media massa. Namun, ketika dihadapkan langsung dengan kondisi nyatanya tetap saja
membuat kami termenung.
Lebih dari tiga minggu kami berada di sana, cukup banyak kegiatan yang panitia
lakukan untuk mengisi hari-hari. Kami membangun perpustakaan kecil di sudut SDN
Rangimulya yang diberi nama Rumah Pelangi, dengan dekorasi warna-warna cerah
serta hiasan yang dibuat oleh anak-anak dari kelas satu sampai enam.
Penyuluhan mengenai cara mengolah sampah dapur menjadi pupuk kompos
diberikan pada warga, sebagai salah satu cara kami untuk meng-encourage solusi atas
masalah sampah yang cukup pelik di Rangimulya. Atas bantuan keluarga Bapak Kepala
Desa dan perangkat desa, kami juga mengusulkan pembuatan Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) agar masyarakat terbiasa membuang di tempat yang seharusnya daripada
di kali ataupun dibakar seperti yang biasa mereka lakukan.
Setiap hari para pengajar titik satu masuk ke kelas untuk mengajar. Dari home
visit yang dilakukan pengajar setiap pulang sekolah ke rumah orangtua siswa, banyak
cerita-cerita haru yang kami dapat. Dari Inggrita, sesama panitia di titik satu, saya tahu
tentang Tri, anak kelas 4 yang diam-diam pandai. Ia sering berkunjung ke rumah
panitia, untuk sekadar melihat-lihat apa yang kami lakukan di dalam rumah.
Tri sering menemani Intan, pengajar kelas empat GUIM 5, untuk mengunjungi
rumah teman-temannya yang lain. Ia dengan baik senantiasa menyemangati
pengajarnya itu untuk belajar naik sepeda, supaya tidak perlu lelah berjalan kaki selama
di Rangimulya. Tri kebanyakan diam. Namun, keberadaannya selalu terasa. Sayangnya,
ternyata orangtua Tri tidak yakin sampai seberapa jauh mereka bisa menyekolahkan
anak itu. Alasannya, seperti alasan kebanyakan orangtua di Rangimulya, adalah karena
masalah biaya. Belum lagi Tri masih punya adik-adik kecil yang juga butuh dinafkahi.
Karenanya, setiap akhir minggu panitia dan pengajar membuat sebuah aktivitas
menyenangkan yang diisi dengan banyak kegiatan, seperti membuat kerajinan tangan di
Jumat Seni, senam bersama di Sabtu Ceria, berjalan-jalan mengelilingi desa saat
Indahnya Alamku atau mengenalkan mereka pada profesi-profesi dalam Kelas Cita. Hal
ini dilakukan dengan harapan anak-anak SDN Rangimulya termotivasi untuk tetap
semangat dan tidak bosan untuk terus sekolah.

51
Motivasi kepada orangtua juga diberikan. Tujuannya adalah agar mereka tetap
memiliki keinginan dan tekad untuk menyekolahkan anaknya walau terdapat banyak
halangan. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk meyakinkan bahwa membiarkan anak
tetap mendapatkan hak mereka untuk sekolah akan lebih menguntungkan di kemudian
hari daripada meminta mereka untuk bekerja sejak usia sangat dini. Selain itu, rezeki
untuk menyekolahkan anak akan selalu ada dengan diiringi kemauan dan usaha yang
tinggi. Namun, kami masih terus berusaha untuk menanamkan hal tersebut. Agar tidak
hanya Tri, atau orangtua Tri, tapi juga teman-temannya dan orangtua-orangtua lain mau
untuk terus memprioritaskan pendidikan dalam kehidupan mereka.

***
Peran saya mungkin tidak seberapa. Namun, ketika di hari-hari pascaaksi ini,
saya memikirkan mengenai waktu yang telah dihabiskan di sana. Ada perasaan bangga
dan secercah harapan yang tersimpan manis. Perasaan itu muncul karena saya pernah
bergabung bersama puluhan orang-orang hebat lainnya. Kami mempunyai tekad yang
sama untuk melakukan sesuatu yang kami mampu. Tekad itu kami jaga demi hasil yang
nantinya dapat dirasakan dalam dunia pendidikan untuk satu, dua, atau tiga dekade
yang akan datang. Semoga.
Dan, ya, ada rasa senang itu. Rasa puas yang bisa meyakinkan bahwa “Saya
berguna, saya bermanfaat, kehidupan saya bukan tidak ada tujuannya.” Saya
mendedikasikan diri untuk membantu orang lain, membantu kehidupan masyarakat
suatu desa kecil di tempat yang asing, membantu anak-anak SD agar bersemangat
untuk belajar, dan bisa membuat manusia bahagia. Buat apa Tirta ikut GUIM 5 padahal
tidak suka anak-anak, tidak suka mengajar?
Karena saya mau bahagia.
Biar, ini egoisme pribadi saya.

52
FILOSOFI JENDELA
Clara Citra Ariani

53
Filosofi Jendela
Clara Citra Ariani

Jendela adalah sumber inspirasi. Hal yang cukup tabu untuk didengar saat ini.
Jumlah orang yang membuka jendela di rumahnya bisa dihitung jari. Jendela, sebuah
manifestasi dari mata bersisi dua, dapat melihat ke dalam dan ke luar saat terbuka.
Melalui jendela, siapapun bisa melihat sekelilingnya. Dapat melihat
pemandangan alam di luar sana serta melihat hujan dan pelangi. Bisa melihat taburan
bintang di malam hari, yang kadang menjadi sumber inspirasi. Sekarang, tidak ada lagi
jendela yang terbuka, melainkan hanya layar kaca, jendela satu sisi berbentuk kotak,
persegi panjang atau melengkung yang tertata rapi di sudut ruang keluarga setiap
hunian warga desa maupun kota.
Jendela itu adalah jendela dengan berbagai warna ciptaan manusia. Jendela ini
disertai dengan teknologi suara dan gerak di dalamnya. Seolah-olah isinya adalah
panggung sandiwara mahakarya anak bangsa. Jendela yang satu ini memang canggih.
Tetapi, sekali lagi hanya dapat dilihat melalui satu sisi. Dari mata langsung terpantul lagi
kepada yang menyaksikannya. Itulah jendela abad ini, televisi.
Jendela adalah salah satu bagian terpenting yang harus ada di setiap rumah. Hal
itu karena melalui jendela, dapat terjadi pertukaran udara yang berguna bagi kesehatan
penghuninya. Melalui jendela pula, obrolan ringan dengan tetangga dapat tercipta dan
bukan tidak mungkin menumbuhkan cinta. Melalui jendela yang sebening kaca,
siapapun dapat melihat apa yang terjadi di luar sana, mengintip, memeriksa atau
memandangi dan mencari sinar mentari setiap pagi. Kini jendela itu tak pernah lagi
menarik perhatian penghuninya paling hanya jika jendela itu hendak dibersihkan, baru
dibuka atau dipoles sampai kinclong.
Seringkali jendela menjadi simbol keindahan dan keagungan sebuah rumah.
Itulah jendela konvensional yang kita ketahui. Melalui jendela kita dapat melihat
apapun di luar sana, entah jendela rumah, jendela kamar, jendela pesawat, jendela
mobil atau jendela di kelas kita. Bahkan buku dinobatkan sebagai jendela dunia karena
melalui buku siapapun dapat melihat dunia luar dengan membacanya. Lalu bagaimana
dengan televisi?
Televisi juga seperti jendela, jika dilihat dari bentuknya. Fungsinya mungkin bisa
juga menjadi jendela dunia. Lihat saja betapa banyak penduduk Indonesia yang

54
menonton televisi setiap malam dengan berbagai sajian mulai dari sinetron, berita,
edukasi, komedi, religi sampai konser Rhoma Irama. Tua, muda, kecil, besar sekarang
tengah asyik dengan jendela canggih abad ini. Sampai bahkan menjadi sumber ributnya
anak dan orangtua karena berebut menonton sajian favoritnya.
Tidak jarang juga yang mengacuhkan tetangga karena sibuk dengan tontonan
masing-masing. Tidak ada yang salah dengan televisi. Justru bagus karena televisi dapat
menjadi sumber pengetahuan, inspirasi, dan juga sarana hiburan bagi masyarakat.
Satu hal yang disayangkan dan dibuat mengelus- elus dada karenanya adalah
efek televisi yang terkadang bagi sebagian orang melampaui batas. Ada anak usia
sekolah dasar yang enggan bermain di luar bersama teman-teman sebayanya hanya
karena asyik menonton televisi. Sejak pulang sekolah sampai malam hari, terus
menonton televisi, entah kartun, sinetron, atau tayangan berbobot penuh edukasi yang
dilahapnya. Sungguh sedih melihatnya, kecanduan televisi.
Sama halnya dengan yang saya temukan pada saat berkesempatan tinggal
selama kurang lebih satu bulan di Dusun Maribaya, Kabupaten Tegal. Nampaknya
berbagai judul sinetron ‘kekinian’ baik lokal maupun interlokal menjadi santapan warga
sehari- hari, terutama anak- anak SD.
Kebanyakan rumah siswa yang saya datangi dan tanyakan apa hobi anaknya
pasti ibunya menjawab bermain dan menonton televisi. “Kalau hari libur biasanya si A
ngapain aja, Bu?”, “Ya nonton tv, Bu”, tukas ibu sang anak. Hampir semua siswa yang
saya datangi memiliki hobi yang sama, nonton tv.
Sajian yang ditonton pun juga sama, sinetron dengan judul yang semua warga
sepakat akan eksistensinya. Sampai-sampai anak-anak di Maribaya lebih hafal lagu yang
menjadi pengiring suara pada sinetron tersebut ketimbang lagu masa kanak- kanak dan
lagu kebangsaan. Bahkan yang lebih unik lagi, saya metemukan beberapa anak kelas
satu SD yang mengatakan bahwa mereka bercita-cita untuk menjadi salah satu tokoh di
tayangan yang mereka saksikan setiap hari di televisi. Lucu memang kedengarannya,
tetapi sesungguhnya bahaya.
Betapa siaran di televisi begitu mengilhami dan memengaruhi perkembangan
pikiran anak. Temuan saya baru di satu dusun, belum di satu desa, satu kecamatan, satu
kabupaten atau seluruh Indonesia. Jika semua anak di Indonesia menyaksikan televisi
setiap malam tanpa pengawasan dan pengaturan, pikiran-pikiran mereka yang masih

55
polos akan terbentuk. Sungguh suatu keprihatinan. Maka dari itu penggunaan televisi
harus penuh pengawasan orang dewasa.
Tidak ada yang salah dengan televisi jika itu memang sumber hiburan bagi anak-
anak dan sumber melepas penat. Akan tetapi, jangan sampai kecanduan terhadap sajian
di layar kaca membuat anak- anak ketergantungan dan melupakan hakikat manusia
untuk bersosialisasi. Di masa kanak-kanak mereka harusnya bermain dengan teman-
temannya yang lain. Dengan pengaruh negatif televisi, mereka melupakan nilai-nilai
yang ada di dalam keluarga karena lebih ‘mengimani’ hasutan sinetron di televisi, serta
melupakan asyiknya belajar dan mengembangkan potensi diri dengan melakukan
kegiatan yang lain yang positif di luar sana.
Hal itu menunjukkan seolah-olah sumber kebahagiannya adalah televisi.
Terkadang televisi juga digunakan untuk bermain game bernama play station yang
menguras waktu anak- anak di depannya. Televisi, sebuah jendela sederhana nan
memukau setiap mata. Untunglah anak-anak di Dusun Maribaya, tempat saya belajar
masih ingat cara bermain lompat karet dan oglok payung (sejenis permainan ciplak
gunung tetapi berbentuk lingkaran). Mereka masih tahu tentang permainan tradisional
tersebut walaupun setiap malam menyaksikan sinetron kesukaan.
Bupati Tegal juga sudah pernah mengimbau warganya untuk mulai menyetel
televisi setelah solat Isya. Saya bersyukur banyak orangtua di Dusun Maribaya yang
sudah menerapkannya. Setelah anak-anak belajar dan mengaji, mereka baru boleh
menonton televisi.
Televisi dapat menjadi jendela yang bersahabat sekaligus juga berbahaya karena
yang ditampilkannya tidak selalu meneduhkan mata, terlebih lagi untuk anak- anak
yang belum banyak mengerti apa-apa. Terlalu lama menonton televisi dengar-dengar
dapat mengganggu kesehatan mata. Tetapi, semoga saja hal itu tidak terjadi karena
masyarakat sekarang sudah pandai merawat diri dengan tidak lupa berolah raga.
Jendela pada aslinya juga tidak menjamin akan selalu memberikan pemandangan
yang indah. Tetapi, paling tidak, jendela yang asli selalu memberikan ruang untuk
bernafas dan berinteraksi karena memiliki dua sisi, ke luar dan ke dalam.
Jendela oh jendela, terkadang ada kerinduan terhadap segarnya udara dari luar
sana. Kicauan burung, hembusan angin, suara tan tin klakson mobil, sinar matahari
yang menghangatkan serta terangnya bulan dan bintang di malam hari dapat dinikmati
melalui jendela. Kini sudah tersedia jendela lain dalam bentuk datar dan tipis, yang siap

56
memanjakan anak dan orangtua. Tinggal sebaiknya dipilih dan dimanfaatkan dengan
bijak jendela-jendela itu, jendela asli yang memberikan kesegaran atau jendela digital
yang memberikan inspirasi. Itu semua, berada di tangan Anda, para orangtua.

57
GAYA ANAK TRAJU
Ryza Maulana Putra

58
Gaya Anak Traju
Ryza Maulana Putra

Setiap daerah memiliki keunikannya masing-masing. Tidak terkecuali di SDN


Traju 03, salah satu titik dalam Aksi Gerakan UI Mengajar Angkatan 5. Keunikan
tersebut muncul dari siswa-siswanya dengan berbagai tingkah lakunya. Seperti anak-
anak pada umumnya, siswa SDN Traju 03 merupakan anak-anak yang riang dan senang
bermain. Tentunya, permainan anak-anak di sana sangat berbeda dengan permainan
anak-anak di perkotaan. Tidak ada console games atau pun warnet (warung internet)
yang penuh dengan anak-anak bermain sepulang sekolah. Permainan di Desa Traju
tidak membutuhkan banyak peralatan canggih untuk memainkannya. Asalkan bersama
teman-teman, mereka dapat melakukan hal menyenangkan apa pun.
Saya adalah pengajar di Gerakan UI Mengajar Angkatan 5. Saya bertugas untuk
mengajar di kelas 4 selama 25 hari. Saya memiliki kesempatan untuk berkomunikasi
langsung dengan siswa-siswa kelas 4. Hal itu membuat saya berkesempatan untuk
mengenal setiap anak di kelas 4 satu per satu. Selama saya mengajar, selama itu pula
saya menemukan keunikan-keunikan pada anak-anak di Desa Traju. Keunikan tersebut
saya kumpulkan menjadi lima keunikan anak-anak kelas 4 di SDN Traju 03.

1. Jurus jitu membuat anak-anak diam: menulis atau menggambar


Di dalam kelas 4, saya membagi anak-anak menjadi 2 tipe. Tipe yang pertama
adalah kelompok anak-anak yang selalu diam. Ketika diajak berbicara, anak tersebut
hanya diam. Kalaupun berbicara, saya harus mendekatkan telinga saya ke mulut anak
tersebut agar dapat mendengar apa yang dikatakannya. Biasanya anak-anak yang
masuk ke dalam tipe pertama adalah perempuan.
Tipe yang kedua adalah kelompok anak-anak yang tidak bisa diam. Anak di
dalam tipe ini adalah anak-anak yang suka berbicara. Katanya sih itu merupakan ciri-ciri
anak yang sedang mencari perhatian. Ketika disuruh diam, lima detik kemudian anak
tersebut akan berbicara lagi. Biasanya, anak-anak yang masuk ke dalam tipe kedua
adalah laki-laki.
Suasana kelas 4 akan selalu ramai oleh celotehan anak-anak yang masuk ke
dalam tipe kedua. Tentu menjadi hal yang menyenangkan mendengarkan celotehan

59
anak-anak yang kadang juga membuat saya tertawa melihat tingkah laku mereka.
Namun, akan menjadi sulit apabila anak-anak terus berceloteh pada saat jam pelajaran.
Hal tersebut dapat mengganggu konsentrasi belajar baik pada anak itu sendiri maupun
teman-temannya di dalam kelas. Untuk itu saya melakukan upaya untuk menghentikan
celotehan tersebut dengan cara membuat peraturan untuk tidak ribut pada saat jam
pelajaran. Cara ini cukup efektif, namun ternyata anak-anak masih saja ada yang
berceloteh. Suatu ketika saya memberikan tugas menulis sebuah cerita dan
menggambar. Seketika anak-anak menjadi diam fokus mengerjakan tugas tersebut.
Suasana kelas menjadi hening sampai langkah kaki pun terdengar. Entah apa yang
terjadi sejak saat itu, saya menemukan bahwa cara ampuh membuat anak-anak diam
adalah dengan memberinya tugas menulis atau menggambar.

2. Untukmu bangkumu dan untukku bangkuku


Dalam pelajaran di kelas saya sering membagi kelas menjadi empat kelompok.
Kelompok dipilih secara acak dan setiap kelompok harus duduk berkumpul. Di dalam
pikiran saya, untuk mempersingkat waktu dan akan lebih mudah apabila anak hanya
perlu membawa buku dan alat tulis kemudian duduk di kursi terdekat tanpa perlu
memindahkannya jauh-jauh. Namun, ternyata apa yang ada di pikiran saya berbeda
dengan anak-anak. Tanpa perintah anak-anak memindahkan kursinya ke tempat
kelompoknya berkumpul. Meskipun harus memindahkan kursi dari ujung ke ujung
kelas, anak-anak tetap harus membawa kursinya sendiri.
Suatu ketika pernah ada kejadian ketika dua anak saling berselisih. Anak
tersebut bernama Kharom dan Serli. Kharom sudah duduk di kursinya bersama
kelompoknya, namun Serli masih harus memindahkan kursinya melewati Kharom.
Kharom duduk di antara dua meja yang berdekatan sehingga Serli tidak bisa melewati
Kharom karena terlalu sempit. Mereka pun ribut karena Serli tidak bisa lewat
sedangkan Kharom tidak mau memberikan jalan. Akhirnya, saya meminta Kharom dan
Serli bertukar bangku sehingga Serli tidak perlu memindahkan bangku. Reaksi mereka
di luar dugaan saya. Mereka justru menolak untuk bertukar bangku. Bangku Kharom
adalah untuk Kharom dan bangku Serli untuk Serli, tidak bisa ditukar. Entah mengapa
seluruh anak di kelas juga tidak mau bertukar bangku seakan bangku itu adalah milik
pribadi. Bahkan pada beberapa bangku ada yang diberikan nama. Mungkin bangku
sudah menjadi properti pribadi yang tidak bisa dipinjamkan.

60
3. Salim terlama
Ilham menjadi pencetus salim terlama. Waktu pulang sekolah sudah menjadi
kebiasaan anak-anak salim kepada gurunya. Saat itu sudah akhir jam pelajaran menuju
waktu pulang. Namun, Ilham sudah tidak sabar untuk pulang dan sudah meminta untuk
salim duluan. Saya memberinya salim, tetapi salim kali ini berbeda. Ilham menciumkan
tangan saya ke dahi, pipi kanan, pipi kiri, dan dagu berulang-ulang. Ilham terus
melakukannya sampai anak-anak lain tidak sabar menunggu dan berteriak-teriak ke
Ilham. Kurang lebih 1 menit akhirnya Ilham selesai salim. Tak disangka anak-anak yang
lain pun ikut-ikutan salim dengan menciumkan tangan saya ke dahi, pipi, dan dagu
berulang-ulang. Tidak hanya menciumnya, bahkan ada pula anak yang mengusap
tangan saya ke seluruh wajahnya. Sejak saat itu, sesi salim sebelum pulang menjadi
ritual yang cukup lama. Seandainya setiap anak salim selama 1 menit dengan total anak
di kelas 4 sebanyak 23 anak, berarti saya telah menghabiskan waktu 23 menit hanya
untuk salim.

4. Aransemen Tepuk Tangan


Selain mengajar, aksi Gerakan UI Mengajar juga mengadakan kegiatan lain di luar
jam pelajaran. Pada setiap kegiatan akan selalu ramai oleh tepuk tangan untuk
membuat suasana menjadi lebih semangat. Pada umumnya, tepuk tangan mempunyai
tempo yang sama dengan satu ketukan setiap tepukannya menjadi prok… prok... prok...
prok…. Berbeda halnya dengan anak kelas 4. Mereka secara spontan mengaransemen
tepuk tangan menjadi ½ ketukan sehingga berbunyi prok prok prok... prok prok prok….
Gabungan tepuk tangan tersebut dapat menjadi irama yang harmonis. Orang yang tidak
tahu mungkin akan mengira ada penampilan marching band atau marawis. Padahal itu
semua hanyalah kelakuan anak-anak dan tangannya yang secara tidak sadar sedang
melatih kemampuan psikomotoriknya.

5. Foto Tanpa Ekspresi


Anak-anak kelas 4 adalah anak-anak dengan wajah yang selalu riang. Setiap pagi
saat sampai di sekolah saya selalu disapa dengan senyum manis di wajah mereka. Dari
pagi sampai pulang sekolah senyum itu selalu menyapa. Senyum itulah yang selalu
menjadi penghibur disaat saya sedang lelah dengan kegiatan sehari-hari. Senyum itu

61
juga yang menjadi penyemangat di saat jenuh menghampiri waktu pengabdian ini. Saya
dan anak-anak sering menghabiskan waktu tertawa riang bersama. Pengalaman yang
tak terlupakan bisa tertawa riang bersama mereka dan melihat senyum-senyum manis
itu.
Saya tidak pernah melihat wajah yang murung kecuali anak yang sedang
menangis setelah bertengkar dengan temannya, itu pun tidak bertahan lama. Senyum
manis itu akan kembali lagi. Namun, tiba-tiba saya melihat senyum itu hilang. Hilangnya
tidak lama, hanya beberapa saat. Senyum itu sekejap hilang ketika saya ingin
mengabadikan senyum-senyum manis mereka di hadapan kamera. Meskipun saya
sudah mengajak untuk tersenyum ketika difoto, tetap saja senyum itu hilang. Mungkin
memang senyum itu tidak bisa dinikmati di lembar kertas foto atau pun layar
handphone, tapi hanya bisa dinikmati saat saya kembali lagi bertemu dengan mereka.
Memang benar apa yang dikatakan orang kalau anak kecil belajar dari apa yang
dilihatnya. Seperti halnya pada waktu salim, semua anak mengikuti Ilham dengan gaya
salimnya yang unik. Hal tersebut apabila dilakukan berulang-ulang, akan menjadi
kebiasaan bagi anak-anak. Dan apabila kebiasaan itu dibiarkan, dapat menjadi
kebudayaan yang secara tidak sadar dapat diwariskan. Sama halnya dengan
kepemilikan anak-anak terhadap bangkunya, mungkin itu sudah menjadi budaya yang
diwarisi oleh kakek buyut mereka.
Tidak hanya mengikuti apa yang dilihatnya, anak-anak juga senang berekspresi
melalui tingkah lakunya seperti yang dilakukan oleh Ilham ketika salim dan anak-anak
lain yang mengaransemen irama tepuk tangan. Ketika anak-anak dapat
mengekspresikan dirinya, berarti mereka telah berani mengungkapkan perasaannya
kepada orang lain. Saat itu pula mereka sedang melatih daya kreativitas mereka.
Ekspresi tersebut menghasilkan keunikan-keunikan yang saya temukan pada diri
mereka.
Keunikan-keunikan inilah yang tidak akan bisa saya temukan di anak-anak
daerah manapun. Keunikan tersebut yang membuat mereka berbeda dengan anak-anak
lain, membuat rasa rindu selalu datang, serta menjadi motivasi untuk dapat kembali lagi
hanya untuk sekadar tertawa riang bersama lagi. Saya pun memiliki julukan untuk
keunikan yang dilakukan oleh mereka. Saya menyebutnya “Gaya Anak Traju”.

62
HUJAN DI SORE HARI
Siti Awaliyatul Fajriyah

63
Hujan di Sore Hari
Siti Awaliyatul Fajriyah

Suatu sore, hujan turun deras sekali. Saya bersama puluhan orang lainnya
sedang menyiapkan sebuah pesta kecil dengan antusiasme yang besar setelah persiapan
yang berbulan-bulan lamanya‘
Waktu keberangkatan pun tinggal hitungan jam. Tidak hanya hujan yang sibuk
menghitung mundur persiapan kami, kami pun sibuk menyiapkan ini dan itu. Beberapa
teman terlihat bahagia diantar dan dilepas oleh orang-orang terdekatnya. Beberapa jam
menunggu bersama orang yang akan berjuang sebulan ke depan, saya rasa itu waktu
yang cukup untuk menyelami hati mereka lebih dalam. Setidaknya, saya akan merasa
lebih intim dengan mereka.
Jam sudah mendekati waktu keberangkatan. Kesibukan yang mulanya terjadi di
antara manusia dengan manusia, kini beralih menjadi antara manusia dan perasaannya.
Ah, bukan! Maksudnya adalah antara kami, manusia, dengan barang-barang yang harus
kami angkut ke dalam bis. Kami bergotong-royong memindahkan barang-barang,
seperti yang sering diajarkan oleh guru-guru kami saat sekolah dasar dahulu. Saya
sangat merasakan atmosfer kebersamaan yang kuat saat itu. Saya yakin, atmosfer
seperti ini akan berlangsung semakin kuat dalam sebulan kedepan.
Suatu sore, hujan turun deras sekali di tempat berbeda dari hujan yang jatuh
kemarin. Kami sudah berada di titik tugas masing-masing. Sore itu, setelah diantar
menuju rumah hostfam, saya mencoba berkenalan dengan udara dan tumbuhan di sana.
Tak terlewat juga serangga-serangga serta tanah basah yang akan menemani perjalanan
perasaan saya selama ada di sini. Mereka begitu ramah. Tentu saja, saya yakin udara
dan tumbuhan di sini belajar banyak dari penduduk desa tentang tata krama, begitu
pula dengan serangga dan tanah basah. Saya begitu terkesan disambut dengan sebegitu
hangatnya oleh warga sekitar, terutama tuan rumah. Rasanya, status ‘orang asing’
langsung terlucuti dari diri saya. Soal anak-anak, jangan ditanya. Anak-anak selalu
berhasil dalam misinya menyambut orang-orang baru hingga membuat siapa saja yang
disambutnya merasa bahagia. Senyum terlempar di mana-dimana. Di beranda rumah,
persimpangan jalan, atau di hati kami masing-masing saat merenung sendirian.
Setidaknya, senyum-senyum ini memberi isyarat bahwa mereka juga merasakan
kebahagiaan saat kami berada di sekitar mereka.

64
Hari Jumat, hari pertama ke sekolah, saat itu langit sedang cerah. Ya, secerah hati
kami para pengajar yang melihat senyum lugu anak-anak. Saya rasa, matahari sedang
menyaingi kebahagiaan penduduk bumi karena iri dengan hati anak-anak yang jauh
lebih cerah dari sinarnya pagi ini. Suasana riuh di dalam kelas sejenak hening ketika
malaikat-malaikat kecil di dalamnya menyadari ada pengajar baru mendongakkan
kepala ke dalam kelas mereka. Sedikit sapaan yang terlontar membuat mereka kembali
bersuara nyaring. Saya mengajak mereka berkenalan satu per satu, beberapa anak
sudah saya hafal namanya karena sorot matanya yang langsung menerobos masuk ke
dalam hati dan ingatan saya. Namun, mayoritas tidak dapat saya hafal namanya saat itu
juga, butuh beberapa kali pertemuan hingga saya berhasil mengingat nama dan
karakter masing-masing.
Pada hari senin, hari pertama saya menjalankan peran sebagai pengajar, saya
membagikan anak-anak sebuah tanda pengenal yang sudah saya tuliskan nama
panggilannya. Ada ruang kosong di bawah nama yang sengaja saya siapkan untuk
menuliskan cita-cita mereka. Seperti kebanyakan anak di sekolah lainnya, anak-anak ini
menulis berbagai profesi tenar di kalangan anak seusianya seperti dokter, guru, polisi,
tentara, dan beberapa ada yang menuliskan ustadz atau pilot. Apa pun cita-citanya saat
ini, yang penting dapat membuat anak-anak semangat belajar. Semakin merasakan
pendidikan lanjutan, anak-anak akan semakin paham bahwa profesi tidak hanya itu,
bahkan cita-cita dapat berupa hal lain selain profesi. Bagi saya, cita-cita masa depan
menjadi hal penting yang dapat terus menjadi sumber motivasi anak-anak dalam
menimba ilmu.
Pada suatu sore yang lain, dengan hujan yang masih sama. Sudah seminggu saya
menjadi pengajar di sini. Menjelang magrib seperti ini, biasanya anak-anak di sekitar
rumah sudah memanggil dengan nada khasnya dari teras depan rumah. Kebanyakan
dari mereka meminta untuk diajari melipat kertas origami. Ada pula yang meminta
belajar membaca atau hitungan sederhana. Namun, yang memanggil-manggil pada sore
ini adalah hujan dengan suaranya yang saya kenal betul iramanya. Saya mengambil
langkah perlahan menuju musala tempat biasa ibu mengajak sholat berjamaah. Di
tengah hujan, saya memutuskan berdamai dengan mereka tanpa menggunakan payung.
Betapa gembiranya saya melihat anak-anak berlarian dari kulahan atau MCK umum,
menuju musholla. Mungkin sama gembiranya dengan mereka yang melihat saya

65
berjalan perlahan dari dalam rumah. Ternyata mereka menanti saya di sana sepulang
mengaji.
Anak-anak di desa Sumbarang ini memadati kegiatan sehari-harinya dengan
belajar. Sejak pagi hingga siang hari mereka meneguk tetesan ilmu pengetahuan di
Sekolah Dasar, siang hingga menjelang sore mereka menuntut ilmu agama di Taman
Pendidikan Alquran, dan sore harinya mereka mengaji di rumah ustaz. Hal yang
membuat saya terkagum-kagum adalah mereka masih menyimpan tenaga dan
semangat di penghujung hari untuk berkunjung ke rumah tinggal saya agar dapat
meminta pelajaran tambahan. Dari situ saya belajar, jika masyarakat kota menganggap
rendah mereka, orang-orang itu sebaiknya bercermin dengan cermin diri yang bersih.
Bukan salah anak-anak ini jika akhirnya pendidikan mereka tak sebaik di kota. Yang
membedakan bukanlah kemampuan mereka, tetapi kesempatan yang anak-anak ini
dapatkan tak sebesar yang anak-anak “beruntung” dapatkan.
“Mendidik adalah kewajiban orang terdidik”, begitu ungkapan Pak Anies
Baswedan, orang nomor satu dalam pendidikan di Indonesia saat ini. Saya setuju,
bahkan sangat setuju dengan beliau. Ketika kita sudah dimudahkan dengan adanya
kesempatan mengenyam pendidikan dengan baik, maka kita berkewajiban untuk
mempermudah mereka yang belum memiliki akses pendidikan semudah kita karena
kepandaian kita saat ini bukanlah hasil jerih payah kita sendiri. Ada keringat-keringat
petani yang mungkin sekolah dasar saja tidak lulus. Ada keringat penenun kain yang
bahkan tidak dapat melanjutkan sekolah karena begitu lulus sekolah dasar langsung
dinikahkan oleh orang tuanya. Kekayaan Indonesia tidak bisa sampai ke tangan kita
tanpa ada jerih payah mereka. Betapa tidak tahu malunya kita jika masih ingin
merendahkan dan tidak peduli kepada orang-orang sebaik ini di pelosok negeri.
Pada suatu sore, yaitu sore terakhir untuk saya di Sumbarang, hujan turun deras
sekali. Saya mencoba memutar kembali kaset memori pikiran saya. Merenungi tujuan
awal saya dalam memutuskan bergabung bersama Gerakan UI Mengajar Angkatan 5.
Tentu saja untuk mengajar. Namun, di akhir perjalanan ini, justru tujuan itu yang
menunjukkan pada saya bahwa saya salah. Di sini saya bukan sekadar mengajar.
Sayalah yang belajar banyak dari setiap langkah yang tertanam di tanah mereka.
Pelajaran hidup itu terselip dalam hujan-hujan yang turun, senyum-senyum yang
mengembang, bahkan dari keluguan anak-anak dalam mengungkapkan pikiran. Setiap
nama mengukir kenangannya masing-masing dan setiap langkah memberi

66
kehidupannya sendiri-sendiri. Masih bersama doa hujan yang memohon keberkahan,
saya juga berdoa, menyemogakan pertemuan-pertemuan manis yang akan mengganti
tuntas seluruh air mata yang jatuh seperti hujan dalam perpisahan mengharukan ini.

67
JANGAN TENGGELAMKAN
MIMPI-MIMPIMU
Melati Suma Paramita

68
Jangan Tenggelamkam Mimpi-mimpimu
Melati Suma Paramita

Siji loro, telu papat, ayo kanca yok semangat…


Aku bungah, koen bungah. Jadi bocah SD nyenengake!

Jika bertemu langsung dengan Zita, bocah riang satu ini dengan cuma-cuma akan
menyanyikan lagu andalannya dengan lantang. Ditambah pula gaya-gaya yang sangat
menggemaskan. Arti bait lagu ini adalah Satu dua, tiga empat, ayo teman yuk semangat…
Aku senang, kamu senang. Jadi anak SD sangat menyenangkan!
Zita merupakan seorang anak SD Sumbarang 02 yang sangat cerdas. Walaupun
masih kelas satu, ia sudah lancar membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, ia sudah
mulai hafal perkalian. Zita menjadi satu dari tiga perwakilan kelas yang memenangkan
perlombaan cerdas cermat melawan kelas dua. Bocah berbadan mungil ini penuh
semangat. Selalu lucu setiap melihat Zita senyum gigi. Senyum itulah yang ia perlihatkan
ketika melihat juri memberikan skor karena jawabannya tepat.
Dibantu oleh teman saya, Nurul, pernah sekali saya mewawancarai Zita
mengenai cita-citanya. Jika sudah besar nanti, Zita ingin menjadi guru. Jika di kelas satu
ada Zita, di kelas tiga ada Iiq. Menurut Zando selaku pengajar kelas tiga, Iiq sangat
pintar matematika. Ketika mengenal Iiq, ia ternyata juga siswa yang sangat ramah tetapi
cenderung pendiam.
Pada hari kepulangan panitia dan pengajar, Iiq memberikan saya surat untuk
kenang-kenangan. Isinya berupa ucapan terima kasih karena sudah berbagi banyak
lagu-lagu. Iiq ingin menjadi dokter. Ketika saya tanya alasannya, Iiq memberikan
jawaban yang konkret,
“Ingin menyembuhkan orang sakit,” katanya.
Tidak kalah dengan Zita dan Iiq, ada lagi siswa yang saya temukan berbeda dari
anak lainnya.
“Halo, Bu Guru!”, sapanya. Seketika saya pun tahu itu dia.
Sapaan dalam logat Jawa yang kental, diiringi oleh langkah kaki kecil yang berlari
di lorong menghampiri saya untuk memberikan salam cium tangan. Itulah sambutan
hangat dari Rama, saat kebetulan beberapa kali saya melewati ruang kelas 4 pada jam
istirahat.

69
Rama adalah salah satu siswa yang paling antusias yang pernah saya kenal.
Walaupun sudah memperkenalkan diri dengan sebutan kakak karena hanya pengajar
yang wajib disapa dengan sebutan bapak-ibu guru, Rama tetap memanggil saya dengan
sebutan Bu Guru. Lucunya, ia memanggil semua teman-teman panitia di titik dua
dengan sebutan Bu Guru atau Pak Guru.
Saya selalu kagum atas rasa ingin tahu Rama yang besar dan keberaniannya
untuk mencoba. Pernah saat kami sedang dalam proses membenahi ruang
perpustakaan sekolah yang kami namakan Rumah Pelangi, Rama sempat bertanya-
tanya mengenai lukisan-lukisan di dinding.
“Itu apa, Bu Guru?” tanyanya dengan suara lantang, sambil menunjuk-nunjuk
lukisan piring terbang di dinding.
Kebetulan, tema besar yang kami tetapkan untuk rumah pelangi adalah tentang
tata surya. Sehingga dinding perpustakaan yang sudah cukup usang dan penuh dengan
retak, kami lukis agar terlihat lebih menarik.
Atau ketika pesta rakyat, saat saya sedang melukisuntuk dekorasipanggung.
Rama menghampiri saya, lalu duduk mengamati.
Ketika saya sapa, Rama pun bertanya, “Boleh coba kuasnya, Bu Guru?”.
Saya ingat persis senyumnya ketika saya ajarkan Rama memegang kuas dengan
cat warna merah terang, untuk membuat bentuk lingkaran.Ia melukis dengan hati-hati
sembari bertanya apakah lingkaran-lingkaran tersebut sudah tepat menurut saya.
Rama juga anak yang cerdas. Ia menjadi salah satu kontingen sekolah yang akan
mengikuti lomba Pesta Siaga. Saat saya mengajarkan materi negara-negara ASEAN dan
benderanya, Rama sempat berkata bahwa mustahil untuk menghafalkan semuanya.
Ternyata, setelah diajarkan teknik menghafal menggunakan lagu, Rama
merupakan kontingen pertama yang datang ke saya untuk mencoba menyanyikannya
hingga tepat.
“Bu Guru, ternyata gampang, ya,” sahutnya sambil menutup kedua matanya
menggunakan telapak tangan, sembari melanturkan kembali lagu negara-negara
ASEAN.
Rama berkata bahwa ia ingin menjadi polisi. Alasannya sangat unik. Jawaban
yang tidak saya duga, datang dari mulut bocah kelas empat SD.
“Mau menertibkan masyarakat Indonesia,” katanya dengan penuh percaya diri.
Saya pun memberikan tepuk hebat untuk Rama.

70
Peran Orang Tua dan Bara Api Semangat

Setelah mengenal tiga murid ini, saya pun bertanya. Mengapa mereka memiliki
kelebihan-kelebihan dalam bidang akademis dan kepribadian yang menonjol?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pun mulai terjawab saat menemani pengajar
melakukan home visit dan mengadakan program Kelas Inspirasi untuk orangtua murid.
Program ini merupakan salah satu agenda intervensi masyarakat di Desa Sumbarang,
Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal.
Beberapa hari sebelum program ini diadakan, saya sempat berbincang-bincang
dengan istri dari ketua RT 11, yang merupakan tetangga dari keluarga Zita. Rupanya,
ibu Zita berprofesi sebagai guru PAUD di desa ini. Sehingga menurutnya, dari kecil Zita
sudah mulai diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Tak heran kini perkembangan
akademisnya sudah jauh dari teman-teman sekelasnya.
Ketika berkunjung ke rumah Iiq, saya dan Zando sempat berbincang-bincang
dengan ayahnya. Senang melihat ayah Iiq peduli terhadap pendidikan putrinya, dan
aktif menjawab pertanyaan serta tanggapan dari kami. Walaupun sering berpergian
untuk bekerja, ayah Iiq suka mendengarkan cerita-cerita Iiq mengenai sekolah. Beliau
tahu cita-cita Iiq dan ingin Iiq meraihnya.
Sedangkan Rama, ibunya merupakan salah satu partisipan yang aktif menjawab
dan memberi tanggapan dalam Kelas Inspirasi orangtua murid di sekolah. Setelah Kelas
Inspirasi berakhir, ibunya pun sempat menghampiri saya untuk bertanya-tanya lebih
lanjut mengenai teknik belajar yang sesuai bagi anak.
Jadi, apa korelasi dari ketiga anak ini? Tentunya adalah dukungan dan perhatian
dari orang tua. Mereka yang menyempatkan diri hadir di sekolah, yang tahu cita-cita
anaknya, dan yang peduli terhadap pendidikan anaknya, merupakan para orang tua
hebat yang dapat berkontribusi untuk melahirkan generasi yang kelak berpotensi
menjadi hebat pula.
Di Desa Sumbarang, rata-rata orangtua murid telah mengetahui program wajib
belajar sembilan tahun. Namun, banyak orangtua yang belum mengerti urgensi dari
pentingnya merealisasikan program ini. Akibatnya, masih terdapat anak-anak di Desa
Sumbarang yang kemudian putus sekolah. Pendidikan formal pun belum menjadi
prioritas, sebab pendidikan agama sangat kental di desa ini.

71
Kondisi finansial orang tua menjadi salah satu faktor yang menghambat
program wajib belajar terealisasi. Tentu saat ditanya, semua orang tua ingin anaknya
sukses dan berhasil menempuh jenjang kuliah. Namun, tampak masih pesimis ketika
ditanya rencana untuk kedepannya. Hal ini pun yang saya dapatkan, salah satunya
ketika berbincang-bincang dengan ayah Iiq.
Pentingnya pendidikan memang membuat para orangtua merasa hanya sekolah
yang berperan sebagai institusi yang bertanggung jawab atas perkembangan akademis
anak. Namun, sekolah sebenarnya hanya merupakan institusi pendidikan dan agen
sosialisasi sampingan bagi perkembangan anak. Keluargalah, khususnya orang tua, yang
sebenarnya memegang andil sangat besar sebagai agen sosialisasi utama bagi anak. Hal
ini sesuai dengan konsep yang dicetuskan Macionis (1997), dalam bukunya mengenai
ilmu Sosiologi. Bagaimana orangtua memperlakukan anaknya, sangat mempengaruhi
pembentukan konsep diri dari anak tersebut. Menurut Macionis, anak-anak belajar dari
lingkungan yang diciptakan orangtuanya. Hal ini mempengaruhi bagaimana mereka
menganggap dirinya pintar maupun bodoh.
Itulah yang saya dan teman-teman panitia serta pengajar temukan selama satu
bulan tinggal dengan masyarakat di Desa Sumbarang. Tentunya harus saya katakan
bahwa perlu perhatian lebih lanjut dari pemerintah untuk memajukan pendidikan di
desa ini. Mulai dari pendidikan orangtua, guru, penyuluhan-penyuluhan untuk warga,
dan program-program untuk anak-anak.
Temuan yang mengkhawatirkan datang dari hasil survei Unicef Indonesia tahun
ini. Survei tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 6,8 juta anak usia 7--18 tahun tidak
bersekolah. Anak-anak dari keluarga termiskin memiliki kemungkinan empat kali lebih
besar untuk tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar dibandingkan anak-anak dari
keluarga yang paling sejahtera. Padahal, setiap anak Indonesia memiliki hak yang sama
untuk menempuh pendidikan dan bercita-cita menjadi dokter, guru, presiden, hingga
polisi. Orangtua sebagai agen sosialisasi utama dapat mendukung anak untuk terus
bermimpi dan bercita-cita. Kemudian membimbing dan mendidiknya agar dapat
meraihnya.

Teruntuk Zita, Iiq, dan Rama,


Jangan tenggelamkan mimpi-mimpimu.

72
JANJI MENTARI
M. Fadlin Ananta

73
Janji Mentari
M. Fadlin Ananta

Sudah seminggu saya meninggalkan Desa Rangimulya, namun, memori tentang


semua yang ada di desa ini belum pergi dari pikiran dan hati. Ya, biarlah tetap di situ.
Saya rindu akan suasana serta keindahan alamnya, para penduduknya terutama murid-
murid kelas 6 SD Negeri Rangimulya. Menjadi guru selama 25 hari bagi murid kelas
enam adalah pengalaman yang begitu berharga dalam hidup saya. Dengan slogan
Mengabdi Sepenuh Hati, Menginspirasi Setulus Hati, saya dan para pengajar lainnya
diharapkan mampu menginspirasi anak murid sehingga termotivasi untuk meraih cita-
citanya setinggi mungkin. Sebagai yang diamanahkan untuk menjadi pengajar dari 20
murid kelas 6, saya mendapatkan tugas tambahan yaitu memberikan suntikan
semangat kepada mereka agar siap menghadapi ujian akhir dan mendorong mereka
agar melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
Di pagi hari ini, ada pesan singkat yang masuk ke ponsel saya.
Murid Mentari - +62877640*****
“Pak fadlin aku kangen banget sama bapak fadlin, aku janji akan masuk smp, aku
akan belajar rajin, agar nilai ujian ku bagus, walau aku selalu menangis, aku akan selalu
doakan pak fadlin agar bapak mendapat nilai bagus dan juga lulus kuliah amin...!!!”
Seulas senyum muncul di bibir. Rasanya senang bercampur haru melihat pesan
singkat tersebut. Mentari namanya. Dia adalah salah seorang dari dua puluh murid
kesayangan saya di kelas enam. Dia adalah murid perempuan yang menurut saya cukup
modis karena suka menggunakan bedak tipis ke sekolah dan menggunakan aksesoris
seperti bando dan jepit rambut yang berwarna-warni. Di sisi lain, dia mendapatkan
peringkat kelas yang rendah.
Sebenarnya Mentari bukanlah anak yang tidak pintar, tetapi hanya perlu
diberikan motivasi dan arahan yang lebih banyak dibandingkan murid-murid lain. Hal
tersebut terbukti ketika dia maju di depan kelas dan diberikan arahan, dia mampu
mengerjakan soal dengan baik. Ketika mengadakan sesi tanya jawab yang rutin saya
lakukan, dia pun termasuk anak yang aktif. Teringat suatu kejadian di minggu kedua
aksi, saya mendengar dari pengajar GUIM yang lain bahwa setelah lulus SD dia
berencana merantau ke Jakarta untuk menjadi pelayan restoran. Hal tersebut terlontar
dari mulut Mentari sendiri saat ditanyakan oleh pengajar GUIM yang lain.

74
Sebagai seorang pengajar GUIM, saya dituntut untuk menanamkan nilai kepada
anak-anak bahwa pendidikan adalah salah satu cara untuk menggapai cita-cita dan oleh
sebab itu akan lebih baik jika menuntut ilmu setinggi mungkin. Faktor ekonomi menjadi
salah satu halangan bagi kebanyakan warga Desa Rangimulya dalam mengakses
pendidikan. Faktor tersebut tentulah di luar dari kendali saya sebagai pengajar. Paling
tidak, yang bisa saya lakukan kepada para orang tua murid adalah pemberian edukasi
tentang program-program pemerintah seperti Wajib Belajar Sembilan Tahun, Bantuan
Operasional Sekolah, dan Bidik Misi. Saya menginginkan hal ideal untuk seluruh murid
saya agar mereka dapat meneruskan sekolahnya, tidak terkecuali Mentari.
Saya menginginkan yang terbaik untuk mereka semua. Setidaknya, jika ingin
merantau ke kota besar, terutama Jakarta, mereka membekali diri dengan pengetahuan
yang memadai, yang salah satu bentuk konkretnya adalah ijazah pendidikan formal,
walaupun ijazah bukanlah benda yang menggambarkan kemampuan seorang individu
secara mutlak dan tidak selalu menjamin kemudahan dalam mencari pekerjaan. Belum
lagi muncul pikiran-pikiran negatif mengenai hal terburuk yang akan terjadi kepada
Mentari yang “hanya” lulusan SD dalam menghadapi persaingan kehidupan di Ibukota.
Saya memutuskan untuk menanyakan langsung kepada Mentari mengenai
keinginannya untuk merantau ke Jakarta. Dia menjawab bahwa dia tidak akan merantau
ke luar daerah, melainkan melanjutkan pendidikan ke SMP terdekat dari desa ini. Aneh,
kepada teman-teman pengajar yang lain Mentari bilang kalau dia ingin merantau ke
Jakarta. Namun, kepada saya, dia menyanggah hal tersebut. Merasa kurang puas, saya
mencari tahu lebih lanjut lewat dengan melakukan home visit. Di GUIM sendiri, para
pengajar diwajibkan untuk melakukan home visit, yaitu kunjungan ke rumah murid.
Tujuan dari home visit adalah untuk membangun komunikasi dengan orangtua murid
dan mengetahui hal-hal seputar murid yang tidak dapat terobservasi di sekolah,
misalnya pola belajar di rumah dan pola interaksi antara orangtua dan anak.
Rumah Mentari cukup sederhana, bertembok papan dan beralas tanah. Ibunya
menyambut saya dengan ramah. Saya memperkenalkan diri dan percakapan pun
mengalir, mulai dari pekerjaan kedua orang tuanya sebagai buruh tani, hingga ke hal
yang paling ingin saya ketahui. Ya, tentang rencana untuk merantau ke Jakarta itu.
“Bu, setelah tamat SD, apa yang Bapak dan Ibu rencanakan untuk Mentari?”

75
“Ya saya sih maunya dia lanjut sekolah lagi Mas, ke SMP. Kalau Bapaknya mau dia
nerus ke pesantren biar ngajinya pinter. Ya kalau ada rejeki pengennya ya sampe tinggi,
Mas, supaya jangan kaya orang tuanya.”
“Oh, gitu ya, Bu. Terus kalau Mentari sendiri maunya gimana, Bu?”
“Ya, waktu itu sempat dibawa ke calon pesantren untuk lihat-lihat, katanya gak
kerasan. Mungkin ya dimasukin ke SMP aja, Mas. Terus anaknya sempet bilang katanya
mau ke Jakarta aja, Mas. Mau cari kerja kayak saudaranya.”
“Memang saudaranya kerja apa, Bu?
“Ya, bantu-bantu di restoran gitu, Mas, jadi pelayan.”
“Terus tanggapan Ibu dan Bapak soal ini gimana?”
“Ya, saya maunya anak saya bisa lebihlah, enak, Mas, hidupnya, jangan kayak
orang tuanya. Cuma gimana ya tergantung rejekinya nanti.”
Seperti yang sudah-sudah saya lakukan ketika home visit. Apabila sudah
menyinggung masalah ekonomi, saya akan memberikan informasi mengenai Wajib
Belajar Sembilan Tahun.
“Bu, seperti yang udah saya bilang sebelumnya kalau Mentari itu anak yang baik
di sekolah dan mau belajar. Sayang kalau gak dilanjutin ke SMP. Ibu pernah dengar
program pemerintah Wajib Belajar Sembilan Tahun, gak?”
“Enggak tau, Mas. Emang itu apa?”
“Jadi, Bu Itu adalah program dari pemerintah ketika anak bisa bersekolah gratis
selama 9 tahun, dari SD sampai SMP. Nah, itu sekolah bisa gratis asal masuk SD atau
SMP negeri, Bu. Saya yakin Bu, insya Allah Mentari bisa lulus SD dengan nilai yang baik
terus diterima di SMP negeri. Jadi, Ibu dan Bapak nanti bisa terbantu dengan program
Wajib Belajar Sembilan Tahun ini. Nah, untuk itu, saya sangat berharap agar Ibu dan
Bapak bisa memberikan dorongan lagi supaya Mentari bisa semakin semangat dan rajin
belajar, ya.”
Selain memberikan intervensi kepada para orang tua murid, yang salah satu
caranya dengan edukasi seputar program Wajib Belajar Sembilan Tahun, hal yang saya
lakukan adalah pemberian intervensi ke para murid itu sendiri. Saya mencoba untuk
menekankan kepada mereka bahwa pendidikan adalah salah satu modal untuk
mencapai kesuksesan sehingga untuk jangka pendek, mereka termotivasi untuk
melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Saya juga memberikan pemahaman kepada
mereka bahwa merantau ke kota besar bisa menjadi pilihan yang baik karena fasilitas

76
dan kesempatan kerja yang lebih baik asalkan memiliki modal penting berupa
kemampuan dan pengetahuan.
Menjelang kepulangan saya ke Depok, saya menuntut janji kepada keduapuluh
murid saya bahwa mereka akan belajar lebih rajin untuk belajar agar siap menghadapi
ujian akhir dan melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Mereka semua bersedia
untuk berjanji kepada saya, termasuk Mentari yang dibuktikan dari pesan singkat yang
dikirimkan olehnya pagi ini.
Janji Mentari ini hanyalah satu dari dua puluh janji yang saya genggam dan saya
harapkan mampu diwujudkan oleh para pembuat janjinya. Setiap janji tersebut
dilatarbelakangi kisah-kisah yang berbeda pula. Mungkin sesuatu yang menurut kita
simpel bisa menjadi sesuatu yang berarti besar di kemudian hari. Di saat saya mampu
mengubah cara pandang murid-murid terhadap kehidupan dan cita-citanya menjadi
lebih baik, saat itu saya merasa berhasil menjadi guru mereka. Bapak pegang janji
kalian semua ya, Nak, terutama kamu, Mentari.
“Aku janji akan masuk smp, aku akan belajar rajin, agar nilai ujian ku bagus,”
katanya.

77
JIKA AKU MENJADI GURU
WIYATA BHAKTI
Ni Putu Putri Puspitaningrum

78
Jika Aku Menjadi Guru Wiyata Bakti
Ni Putu Putri Puspitaningrum

Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak Guru...


Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu...

Penggalan lagu Hymne Guru ini memang patut dipersembahkan untuk para guru.
Apalagi saat saya tersadar bahwa masih ada guru yang jauh dari kata sejahtera secara
pendapatan tetapi tetap memilih untuk mengajar.
Wajah saya mungkin jadi lucu jika difoto saat terkaget mendengar bahwa gaji
guru honorer di SDN Sumbarang 02 adalah maksimal Rp 200.000 setiap bulannya. Saya
masih tak percaya apalagi di Depok sendiri, saya pernah mengajar privat dan dibayar
Rp 80.000 per pertemuan yang tidak lebih dari dua jam. Ditambah lagi ketika saya
bertanya pada guru disana yang sudah PNS bahwa gaji mereka di atas dua juta rupiah.
Dimana keadilannya?
“Begitulah, memang aturan dari pusat bahwa gaji guru honorer hanya sekian
persen dari biaya BOS yang diterima,”kata Pak Kepala Sekolah. “Bahkan, ada isu bahwa
guru Wiyata Bakti itu tidak boleh ada lagi, semuanya harus PNS. Nah, masalahnya
adalah siapa yang akan mengajar di sekolah ini jika semuanya harus PNS?” tambahnya
lagi.

Siapa yang mau mengajar?


Saya rasa kebijakan untuk meniadakan guru honorer memang patut ditinjau
kembali. Kebijakan tersebut baru bisa berlaku ketika jumlah guru yang berstatus PNS
dapat memenuhi kebutuhan seluruh sekolah. Selain itu, kebijakan mengenai gaji guru
honorer juga harus menjadi perhatian. Tenaga fisik maupun mental yang mereka
keluarkan sama saja dengan PNS, tetapi memang kesempatan menjadi PNS itu belum
bisa diperolehnya. Meskipundemikian, bukan berarti kemudian mereka mendapat
bayaran jauh lebih rendah, hanya sepuluh persen dari gaji guru yang berstatus PNS.
Lagi pula, honorer maupun PNS, tugas guru ya mengajar. Menurut saya, tak apa jika ada
perbedaan gaji, tetapi seharusnya tak sampai sebesar itu perbedaannya.

79
Guru memang punya sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, seharusnya tak
ada bangsa yang menilai jasa guru begitu rendah dengan secara tak langsung
mengabaikan kesejahteraannya. Tak ada guru, maka tak ada bangsa.
Saya belajar banyak dari seorang wali kelas satu yang berstatus guru honorer. Ia
mengatakan,“Saya kasihan, nanti kalau saya tidak mengajar, siapa yang akan mengajar
anak-anak disini.” Dari jawabannya tersirat bahwa ia masih sabar untuk menerima gaji
yang sekadarnya itu. Bahkan tugasnya di sekolah, bukan hanya sebagai wali kelas, tetapi
juga sebagai tenaga operator dan administrasi. Mungkin bisa dibilang tugas yang ia
kerjakan jauh lebih banyak dari guru berstatus PNS di sekolah itu.
Permasalahan gaji ini ternyata berujung panjang. Bukan hanya masalah
sedikitnya tenaga guru, tetapi performa guru dalam mengajar di kelas. Rata-rata guru
honorer yang mengajar di sekolah ini juga mengajar di sekolah lain atau memiliki
pekerjaan lain. Bayangkan saja, bagaimana bisa hidup dengan pendapatan sedemikian
kecil di zaman ini. Mereka juga perlu mengusahakan lagi pekerjaan lain, padahal profesi
sebagai wali kelas sudah menuntut mereka untuk menghabiskan waktu banyak. Alhasil,
proses mengajar di kelasuntuk beberapa guru pun belum dapat dilaksanakan dengan
maksimal. Namun, dapatkah kita menuntut mereka?
Dari hal-hal yang saya amati, sebagian besar guru memilih untuk mengajar di
sekolah lain juga. Tak heran jika beberapa kali jadwal berbenturan dan akhirnya
menuntut guru untuk memilih salah satu. Tentu tak adil. Bisa saja kita mengatakan
bahwa seharusnya guru dapat mengajar dengan baik dan bertanggung jawab dengan
anak-anak mereka di sekolah, namun bagaimana mungkintanggung jawab itu bisa
berjalan jika hidup dan makan saja susah.
Ketika kita ubah sudut pandang menjadi setting perkotaan dengan banyaknya
sekolah dan banyaknya tenaga pendidik, mungkin kebijakan mengenai status
kepegawaian ini masih bisa untuk diterapkan. Kebijakan ini memang dapat membangun
iklim kompetitif diantara pendidik untuk meningkatkan kapasitas diri lagi agar dapat
menjadi PNS dan lulus sertifikasi. Namun, hal ini menjadi masalah ketika di suatu
daerah tenaga pendidiknya masih sedikit, seperti di Sumbarang. Ketika sudah ada guru
yang mau mengajar, itu saja sudah bersyukur. Sayangnya, apresiasi yang mereka terima
masih sangat kecil, maka semakin sulitlah proses belajar mengajar itu menjadi optimal.
Saya pun menyadari memang tak semua guru dapat memenuhi tanggung
jawabnya secara profesional. Masih ada beberapa yang lalai dan mungkin bisa dibilang

80
memilih untuk memenuhi kebutuhan pribadinya terlebih dahulu daripada kepentingan
siswa. Namun, ketika saya ingin menegur dan menuntut mereka memenuhi tanggung
jawab itu, saya memilih berkaca pada diri sendiri dan meletakkan diri di posisi mereka.
Apakah ketika saya ada di posisi tersebut, saya masih dapat profesional? Atau jangan-
jangan, saya malah minta selesai menjadi guru? Jika pikiran pendek itu yang dipilih,
maka tamatlah riwayat pendidikan di daerah terpencil.
Mari kita buka mata bersama-sama bahwa guru adalah pengantar kita ke
berbagai profesi, dari yang paling biasa saja hingga yang luar biasa, bahkan sampai
membuat kita bisa berpetualang keluar angkasa. Jasa mereka membuat seorang anak
yang awalnya merengek tak dapat membaca menjadi seorang miliuner, anak yang malu-
malu di sudut kelas menjadi orang terkenal, bahkan presiden.
Mungkin ada banyak profesi yang menawarkan pendapatan yang lebih tinggi
kepada mereka. Namun, hati mereka lebih tergerak untuk membantu para siswanya
menuju profesi-profesi itudanbukan mencecapnya secara langsung. Saya merasa ini
adalah bentuk pengorbanan yang luar biasa.
Bisakah ketika lulus pendidikan tinggi kitamemikirkan generasi selanjutnya
seperti para guru? Atau hanya memikirkan bagaimana membayar lelahnya belajar
dengan bekerja di tempat yang kita sukai?
Disinilah sisi mengagumkan seorang guru menurut saya. Apalagi ketika ia,
seperti wali kelas satu, yang rela datang lebih pagi dan pulang paling akhir untuk
mengurusi kepentingan sekolah. Saya rasa ketika ia melihat ke arah apresiasi dalam
bentuk gaji yang diterima, ia akan mudah menyerah. Namun, sudut pandang
materialistis ini sepertinya sudah ia buang jauh-jauh. Ia hanya memikirkan
kepentingan siswanya. Hal ini membuat saya sendiri merasa tak pantas untuk banyak
menuntut pekerjaan yang profesional pada guru wiyata bakti.
Sekali lagi, masalah minimnya gaji guru berstatus wiyata bakti ini bukan sekadar
masalah uang. Hal ini terkait dengan bagaimana kita mengapresiasi dan menghargai
jasa mereka yang mengantar anak-anak negeri dari yang tak tahu apa-apa agar dapat
diharapkan untuk memajukan bangsa ini. Tak pantas sepertinya kita tak memiikirkan
kesejahteraan mereka. Mau apapun statusnya, guru tetaplah guru. Tak dapatdipungkiri,
ada guru berstatus PNS yang tak menjalankan tugas dengan baik, begitu pula guru
berstatus wiyata bakti. Namun, lihatlah pada mereka yang begitu tulus menjalankan
tugas dengan baik tetapi penghargaan pada mereka masih rendah. Bayangkan

81
bagaimana caranya mengajar dengan baik di depan kelas ketika suatu hari perut lapar
tak terisi.
Mau apapun statusnya, guru tetaplah guru dan sebagai seseorang yang sekarang
sedang membuat kebijakan disana, yang dulu juga pernah belajar dari seorang guru,
tidakkah miris menyerahkan amplop gaji setiap bulan yang begitu tipis padahal buku
tulis tebal selalu terisi penuh oleh ilmu yang mereka bagikan?

82
KESENANGAN YANG
MEMBERI BANYAK
PELAJARAN
Aprila Suprihendina

83
Kenangan yang Memberi Banyak Pelajaran
Aprila Suprihendina

Menjadi pengajar di Gerakan UI Mengajar merupakan hal yang indah, berkesan,


dan menyenangkan. Sedih, senang, haru, tangis, dan tawa semuanya ada disini. Ada
banyak sekali pengalaman berharga yang didapat dari sini. Kisah lucu, mengesankan,
menyedihkan, dan menjengkelkan pun ada. Disini, saya akan menceritakan tentang tiga
murid saya yang paling berkesan. Saya biasa menyebut mereka “trio ambis” yaitu Dani,
Aep, dan Shefa. Mengapa mereka saya sebut sebagai “trio ambis”? Karena tiga murid
saya ini merupakan tiga murid yang paling pintar dan paling aktif di kelas. Mereka
selalu duduk di depan, selalu berlomba dalam menjawab pertanyaan, dan maju ke
depan kelas. Mereka mempunyai ambisi yang besar untuk bisa dan belajar. Dani
peringkat 1 di kelas, sementara Aep dan Shefa adalah peringkat 2 dan 3.Mereka selalu
bersama dalam bermain, belajar, dan mengaji. Mereka juga selalu mengantar saya saat
saya melakukan home visit ke rumah murid-murid.
Pada malam ketiga saya tinggal di Desa Kedungwungu, Tegal. Saya diajak Dani,
Aep, dan Shefa belajar di rumah Bu Dewi yang merupakan guru kelas 3 SD Negeri
Kedungwungu 1. Bu Dewi adalahpartner team teaching saya dikelas 3. Ternyata mereka
memang setiap malam belajar di rumah Bu Dewi. Semacam les tapi gratis. Terharu deh
dengan semangat mereka dalam belajar. Disaat teman-teman yang lain memilih untuk
menonton sinetron, mereka justru belajar dan mau mendatangi rumah gurunya. Di
rumah Bu Dewi kita belajar bersama. Bu Dewi memberikan latihan soal matematika dan
saya membantu menjelaskan cara mengerjakannya jika mereka tidak bisa.
Sehabis belajar, saya diantar pulang oleh mereka. Di tengah jalan mereka berhenti
di parit-parit pinggir jalan. Mereka mencari belut disitu. Di desa ini belut memang masih
banyak. Jadi setiap hari pemandangan anak-anak dan orang dewasa mencari belut di
sawah adalah hal yang biasa terlihat. Dengan menggunakan senter sebagai
penerangannya mereka mencari belut. Seru banget deh, mereka sampai basah-basahan
buat mendapat belut. Namun, sayangnya kami tidak mendapatkan belut satupun.
Akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Disaat saya sampai
di depan rumah. Shefa berteriak dengan riangnya. Saya langsung berlari ke tempatnya.
Ternyata Shefa mendapat belut yang terdampar di tengah jalan. Mungkin hujan yang

84
membuat belut itu terdampar di tengah jalan. Lucu banget deh, disaat kita bersusah
payah mencari belut tapi tidak dapat, eh malah dapat belut dengan tidak sengaja. Dari
kejadian ini, saya mengambil hikmah bahwa jangan menyerah ketika kita bekerja keras
meskipun belum bisa membuahkan hasil yang diharapkan, karena mungkin, Tuhan
akan membalas usaha keras kita tersebut dilain waktu ataupun dilain kesempatan.
***
Pengalaman mengajar team teaching dengan Bu Dewi di kelas 3 juga merupakan
hal yang berkesan selama jadi pengajar GUIM 5. Setiap pagi pukul 07.15 kita masuk ke
kelas dan murid-murid akan berdoa. Kebiasaan yang kelas 3 lakukan adalah setiap
selesai berdoa mereka akan bersama-sama menghafalkan perkalian 1 sampai 10.
Setelah itu, mereka membacakan sumpah pemuda bersama-sama. Mereka juga
menghafalkan nama-nama provinsi di Indonesia. Setelah selesai menghafal bersama,
kita baru mulai pelajaran.
Team teaching merupakan metode yang cukup efektif diterapkan untuk mengajar
murid-murid agar mereka lebih paham. Ketika Bu Dewi yang menjelaskan di depan
kelas. Maka saya yang akan berkeliling satu per satu ke meja murid untuk melihat
apakah semuanya sudah paham atau mungkin ada yang belum mengerti. Ketika saya
yang membuat dan menulis soal di papan tulis, nanti Bu Dewi yang menjawab dan
membahas bersama-sama dengan murid-murid ketika mereka sudah selesai. Ketika
mereka nampak bosan dengan pelajaran, kita memberikan ice breaking berupa
tepukan-tepukan dan gerakan yang dapat membuat mereka menjadi bersemangat lagi.
Setiap ada siswa yang dapat nilai 100 maka kita akan memberikan bintang (terbuat dari
kertas emas) yang nantinya akan mereka tempel di kertas manila warna-warni yang
sudah kita tempel di tembok. Tujuannya, agar mereka semakin semangat untuk
berlomba-lomba mendapatkan nilai 100. Ternyata cara ini sangat efektif diterapkan di
kelas 3. Mereka menjadi tambah semangat belajar dan saling berkompetisi.
Salah satu pengalaman team teaching yang berkesan adalah saat pelajaran Bahasa
Indonesia. Waktu itu materipelajaran Bahasa Indonesia adalah tentang memberikan
dan menerima perintah. Metode yang kita pilih adalah permainan. Jadi, mereka dibagi
menjadi 4 kelompok. Kita membebaskan mereka memberi nama kelompok mereka
masing-masing. Terbentuklah 4 kelompok yang terinspirasi dari kartun yaitu Sonic
Boom, Frozen, Upin Ipin, dan Doraemon. Permainannya cukup sederhana, yaitu 1
kelompok berbaris lurus dari belakang ke depan kelas. Semua anak berbaris

85
menghadap ke depan. Anak yang berdiri paling belakang akan mendapatkan 1 kertas
yang berisi perintah untuk meletakkan berbagai macam bentuk kertas yang terletak di
depan kelas agar ditempel di kertas masing-masing kelompok yang ditempel dipapan
tulis. Anak yang paling belakang akan membisikkan perintah tersebut ke orang di
depannya, kemudian akan membisikkan ke orang di depannya lagi sampai pesan
tersebut diterima oleh anak yang paling depan. Anak yang paling depan akan
menempelkan bentuk kertas sesuai yang ada di pesan yang sudah diterima.
Saat perlombaan dimulai, kelas menjadi sangat ramai. Semua anak berlomba-
lomba untuk cepat menyelesaikan misinya agar bisa menjadi juara. Sesi pertama adalah
kelompok Sonic Boom melawan Upin-Ipin. Ternyata yang menang adalah kelomok Upin-
Ipin. Kemudian, sesi kedua adalah pertandingan antara Frozen dengan Doraemon.
Ternyata yang menang adalah kelompok Frozen. Saat final, kelompok yang kalah
menonton dan ada beberapa anak yang berteriak kalau kelompok Upin-Ipin dan Frozen
curang karena tidak saling bisik-bisik tapi langsung ngomong dengan keras sehingga
teman paling depan dengar dan langsung menempelkan petunjukknya. Mendengar itu,
saya dan Bu Dewi sengaja diam dan membiarkan saja. Kita akan memberikan feed back
dan hikmah permainan tersebut sekalian diakhir setelah perlombaan selesai.
Setelah berlangsung final yang persaingannya sangat ketat dan menegangkan.
Kelompok Frozen-lah yang akhirnya menjadi juara. Disitu saya dan Bu Dewi
menjelaskan hikmah dari permainan tersebut. Kita menjelaskan kepada mereka bahwa
tadi sebenarnya mereka tidak ada yang tidak curang. Mereka semua melakukan
kecurangan yaitu melanggar peraturan permainan yang sudah disepakati. Namun, kita
sengaja membiarkan agar nantinya bisa menjadi pelajaran bagi mereka. Seperti Dani
dari kelompok Upin-Ipin merasa sebal dengan kelompok Frozen yang melakukan
curang. Padahal kelompoknya juga melakukan kecurangan. Nah, disitu kita
menjelaskan bahwa kalau kita sebal dengan teman yang curang maka kita juga jangan
curang seperti mereka. Kita harus jujur karena kemenangan yang didapatkan dengan
kecurangan tidak akan berbuah manis dan justru akan menyakiti orang lain maupun
diri sendiri. Setelah mendapat penjelasan tersebut mereka berjanji untuk tidak curang
lagi dan akan berusaha jujur dalam kehidupan sehari-hari. Selain nilai kejujuran, saya
dan Bu Dewi secara bergantian menjelaskan bahwa hikmah dari permainan tersebut
adalah kita harus saling bekerjasama, kompak, dan saling percaya dengan teman yang
lain. Mereka semua mendengarkan dan menyimak dengan baik nasehat dari saya dan

86
Bu Dewi. Terima kasih Bu Dewi,team teaching bersamamu telah mengajariku banyak
hal dan memberibanyak pengalaman berharga.

87
KERAMAIAN DALAM
KESUNYIAN
Aisyah Mauludia

88
Keramaian dalam Kesunyian
Aisyah Mauludia

“Saat tua nanti setelah semua anak saya sukses, saya ingin tinggal di London yang
sibuk, ramai, dan dapat berkeliling daratan Eropa dengan mudah kapanpun bersama dia
yang dipilihkan Allah SWT. menemani perjalanan saya hingga akhir hayat.”
Kutipan tersebut merupakan bagian dari “my 20 wish lists” yang saya buat akhir
tahun lalu. Keinginan hidup di London sudah muncul sejak SMA, sejak saya sering
melihat cuplikan kota London di film ataupun video clip. London terlihat menarik
dengan kesibukannya dan keindahan arsitekturnya.
Namun tak disangka, rupanya di negeri merah putih iniada sebuah desa kecil—
denganakses yang cukup sulit ditempuh—yang sepi, namun memiliki keramaian lain
yang mengubah segala sudut pandang saya tentang hidup dan tempat tinggal yang
nyaman.

Gelaran tikar dan segelas teh manis hangat


Sore itu, saya beserta 16 teman-teman dari Gerakan UI Mengajar tiba di Desa
Kedungwungu, Tegal. Kami turun tepat di teras rumah Mbah yang akan dijadikan salah
satu tempat tinggal selama kami berada disana. Sesaat setelahturun dari tronton, kami
merasadesa ini sangat sepi. Kami bahkan bisa mendengar suara napas satu sama lain.
Sesunyi itu.
“Yuk masuk yuk.”
Suara Bu Luth, anak Mbah yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Mbah
hanya dipisah oleh tempat penggilingan padi, memecah kesunyian yang sedang kami
nikmati.
Bu Luth langsung menggelar gulungan tikar dan menyuguhi kami teh manis
hangat. Kami memulai obrolan dan saling berkenalan. Tak lama, Pak Kades pun datang
dan menyambut kedatangan kami. Kami senang karena merasa sangat diterima
disini.Setelah makan, kami mulai berkeliling mengantar pengajar ke rumah yang akan
ditempati selama berada di desa ini. Satu pengajar akan tinggal di satu rumah warga.
Sedangkan, panitia laki-laki akan tinggal di rumah Mbah dan panitia perempuan tinggal
di rumah Bu Luth. Rumah pertama yang kami datangi adalah rumah yang akan menjadi

89
tempat tinggal saya, rumah Bu Isti. Begitu pintu dibuka dan melihat rombongan kami
datang, keluarga Bu Istilangsung mengambil gulungan tikar dan menawarkan kami
minum. Rumah kedua hingga ke enam yang kami kunjungi, semuanya langsung
mengeluarkan gulungan tikar dan menawarkan teh manis sesaat setelah melihat kami
dari balik pintu. Sungguh, kami merasa semakin diterima dan semakin terasa hangat
meskipun hari semakin dingin.
Ada keunikan dari kebiasaan menggelar tikar dan suguhan teh manis saat ada
tamu di desa ini. Wajah mereka sangat memperlihatkan keinginan untuk memberikan
yang terbaik bagi tamunya. Sebuah pelajaran yang langsung saya petik di hari pertama,
untuk selalu memberikan sambutan terbaik dan membuka tangan untuk siapapun.

Einstein masa depan


Habibi. Begitu saja namanya. Tidak ada nama yang mendahului maupun
menyudahi. Hmm.. Enak sekali Habibi ini kalau ujian! Tak perlu pegal membulatkan
lembar jawaban! Meskipun namanya hanya 6 huruf, namun kemampuannya tak
sesederhana namanya.
Habibi merupakan murid kelas 2 yang saya catat namanya sebagai anak yang
perlu perhatian lebih. Habibi belum bisa membaca dengan lancar. Dari total 27 anak di
kelas, mungkin Habibi adalah anak yang paling lemah dalam kemampuan mambaca.
Namun, saya takjub dengan kemampuan matematikanya. Hari pertama saya mengajar
pelajaran matematika di kelas, saat saya beri soal, tak sampai lima menit Habibidapat
menjawab soal-soal tersebut dan meminta soal tambahan. Habibi
mempunyainalarmatematika yang jarang dapat dilakukan anak kelas 2 yang baru
mempelajari konsep dasarberhitung.Bahkan, saat teman saya mencoba tebak-tebakan
soal matematika dengan Habibi, teman saya bertanya : “Bu, ini benar anak kelas 2? Luar
biasa, saya enggak percaya”.
Saya pun sering menjadikan Habibi ‘agen matematika’ di kelas untuk mengajarkan
temannya yang belum mengerti. Kemampuan matematika luar biasaHabibi, si Einstein
masa depan ini, bukan satu-satunya di kelas. Masing-masing anak memiliki kemampuan
unik yang berbeda-beda. Misalnya Apip, yang sangat kreatif dan tak bisa diam. Dia
sering mendesain hiasan di kelas dan mengatur posisi-posisi yang bagus. Sampah bekas
makanan pun sering dia ubah menjadi mainan. Sungguh bakat yang luar biasa.Mereka

90
adalah anak-anak calon pengharum bangsa. Sungguh beruntung saya dapat menjadi
bagian dari perjalanan mereka.

Keramaian yang tak terlihat


Siang itu, saya bersama teman-teman diajak anak-anak bermain ke sawah di
belakang Balai Desa. Anak-anak menuntun kami menyusuri sawah sambil bercanda dan
berlari-lari kecil. Di salah satu semak, ada tembusan menuju sungai, sungai Kedungsari
namanya. Anak-anak langsung melepas baju dan loncat ke sungai. Kami pun ikut turun
pelan-pelan. Saya, April, Rizka, Nanda,danNana menuntun anak-anak perempuan untuk
berjalan pelan-pelan melewati sungai. Anak-anak laki-laki sudah berenang-renang
diantara kami. Randy, Sigit, dan Sutan juga berjalan-jalan melewati sungai sambil
bercanda bersama.
Saat saya berusaha melewati air yang lumayan dalam, saya tersandung dan
tercebur. Anak-anak langsung menyambut saya dengan menyipratkan air dan
mendorong saya agar semakin tercebur. Akhirnya saya pun ikut berenang-renang. Saya
merasa beban hidup saya lepas dan terbawa bersama aliran sungai. Kami bermain
seperti waktu tak akan pernah berhenti dan dunia tak akan berhenti berputar. Mereka
sangat tertarik dengan alam. Setiap hal mereka tanyakan pada saya. Tentang bunga,
tentang air mengalir, tentang batu, tentang segala hal yang mereka lihat. Mereka terlihat
sangat bahagia seperti pahit tak pernah menghampiri hidup mereka, seperti semua
baik-baik saja. Padahal saat home visit, saya mendapatkan berbagai cerita kelam
mereka. Namun mereka terlihat tetap bahagia.
Anak-anak ini mengajarkan saya 3 hal; untuk selalu bersemangat terhadap apapun
yang kita lakukan, untuk selalu tertawa sesulit apapun hidup yang dijalani, dan untuk
selalu ingin tahu akan hal yang baru.
Setelah kuyup bermain di sungai, kami pulang karena sudah masuk waktu Ashar.
Saya dan Randy tertinggal dari rombongan paling belakang dan kami memutuskan
pulang melewati hamparan sawah karena di ujung sawah terdapat jalan tembus menuju
rumah.Di sebelah timur sawah ini terdapat gambaran Gunung Slamet dan pohon-pohon
pinus berjejer indah. Saya menutup mata, menarik napas, merentangkan tangan,
berjalan perlahan tanpa alas kaki di atas tanah yang lembap. Saya dapat mendengar
riuh angin menghempas tubuh saya membantu mengeringkan baju yang kuyup. Saya

91
pun mendengar jangkrik-jangkrik yang berseru bergantian. Sungguh indah suasana
ramai di kesunyian, yang akan selalu saya rindukan ini. Keramaian yang tak terlihat.

Keluarga
Kenyamanan di desa ini, bukan hanya saya rasakan dari sejuknya alam dan
hangatnya keramahan penduduk, namun juga datang dari keluarga berisikan 16 orang-
orang hebat. Nana, April, Rizka, Nanda, Deyang, Dea, Awe, Grin, Jihan, Clara, Nesya,
Sutan, Randy, Himam, dan Noor. Mereka adalah orang-orang yang sering bikin otot
perut tertarik karena leluconnya yang renyah. Meskipun baru 25 hari kami hidup
bersama, kami sudah saling mengenal dan mengetahui sisi lain masing-masing.
Hangatnya anugerah bernama keluarga pun dapat saya rasakan dari rumah yang
saya tempati disana. Bu Isti, Pak Agung, Mutia, Afa, dan Raras, adalah orang-orang yang
pertama kali muncul ketika saya menutup mata dan membayangkan lagi desa ini.
Mereka benar-benar seperti keluarga saya di rumah. Tempat kembali pulang, tempat
berkeluh kesah, tempat bermain, tempat berlindung, dan tempat bersyukur.

Berubah, dan tak akan berubah lagi.


Setelah hidup 25 hari di desa Kedungwungu, saya merasa sangat bersyukur dan
mengerti arti kenyamanan sesungguhnya. Nyaman bukanlah tentang seberapa menarik
tempat kita hidup, tetapi tentang bagaimana lingkungan tersebut memberi makna
kepada kita. Meskipun desa ini sangat sepi, namun ada keramaian tersendiri yang
tercipta. Sepulang aksi GUIM di Tegal, saya membuka buku catatan dan mengubah
sedikit wish list yang pernah saya buat.
“Saat tua nanti setelah semua anak saya sukses, saya ingin tinggal di sebuah Desa
di Indonesia yang sibuk, ramai, dan dapat berkeliling sawah dan bermain di sungai
dengan mudah kapanpun bersama dia yang dipilihkan Allah SWT. menemani perjalanan
saya hingga akhir hayat.”

92
SEBUAH DESA DAN ANAK-
ANAK YANG DITINGGAL
MERANTAU KE KOTA
Ni Putu Putri Puspitaningrum

93
Sebuah Desa dan Anak-Anak yang Ditinggal Merantau ke Kota
Ni Putu Putri Puspitaningrum

-Setelah selesai melakukan kunjungan ke rumah-rumah,saya menyadari bahwa ada


sebuah kerinduan dan kebutuhan yang memanggil-manggil agaryang pergi segera
kembali. Namun, panggilan itu seakan masih malu-malu menunjukkan diri, seperti kalah
dengan “kebiasaan” dan lagi-lagi “rupiah”-

Salah satu kegiatan di Sumbarang yang masuk urutan teratas dalam daftar
favorit saya adalah home visit atau kegiatan berkunjung ke rumah-rumah siswa untuk
mengetahui kondisinya di rumah dan menjawab setiap pertanyaan “kenapa?” yang
sayapertanyakanselama di sekolah. Dari home visit perlahan saya merasa diajak masuk
ke kehidupan pribadi mereka agar dapat benar-benar merasakan seperti apa menjadi
anak kelas satu, seperti apa menjadi warga Sumbarang, dan seperti apa rasanya jarang
makan lengkap di rumah.
Saya mengingat lagi pengalaman saat kelas satu SD, saat itu saya selalu ingin ikut
kemanapun orang tua pergi. Sampai-sampai mungkin saya merengek manja agar diajak.
Lalu, saya juga masih harus digiring untuk belajar setiap malam. Kami juga sering
makan bersama-sama, menghabiskan waktu malam sambil menonton dan bercerita. Di
Sumbarang, momen-momen seperti itu mungkin jadi hal yang jarang ditemui dan
rasakan bagi beberapa anak. Mungkin juga hanya ada saat libur Lebaran.
Ketika saya berkunjung ke rumah-rumah siswa, hampir semua siswa tinggal
bersama salah satu orang tuanya saja, mungkin Ayah atau Ibu. Kemudian salah satu dari
orang tua itu sedang merantau ke kota. Namun, sepintas saya tidak lihat ada raut wajah
sedih dalam mata para perakit mimpi di kelas satu itu. Mereka dengan ringan
mengatakan dimana orang tuanya merantau bahkan mereka dapat menjelaskan untuk
apa orang tuanya harus pergi jauh.
Saya terharu melihat ketegaran mereka menerima kenyataan bahwa perhatian
orang tua tak bisa sepenuhnya dirasakan. Mereka dapat menggantikannya dengan
nenek, bibi, atau mungkin tetangga. Canda riang tetap ada walaupun dalam suasana tak
lengkap. Hal ini mungkin terjadi karena mereka tak sendiri merasakan ini. Hampir
sebagian besar keluarga (anak-anaknya juga) akan makan malam tak lengkap di rumah.

94
Di desa ini,seorangayah adalah figur yang bisa dibilang paling sering merantau.
Kalaupun sudah tinggal di desa, setidaknya hampir semua pernah merasakan masa-
masa merantau. Disinilah Ibu harus bisa menggantikan sosok Ayah selama di
perantauan. Ia harus menjadi figur Ayah yang dapat membuat keputusan, membetulkan
genteng rumah yang rusak, atau mengajarkan anak bermain bola.
Bagaimana bila pihak Ibu yang merantau?
Walaupun di desa ini “merantau” menjadi suatu hal yang biasa, tetapi sepertinya
ada batas-batas tertentu di dalam kebiasaan itu. Hal ini terlihat pada pandangan ketika
istri yang merantau dan suami yang tinggal di desa.
Disinilah saya ingin banyak bercerita tentang dua orang anak, sebut saja Raja dan Ratu.

Di rumah Raja
Saya melewati jalanan setapak yang dihias tembok hutan untuk mencapai rumah
itu. Lingkungan disana tidak terlalu ramai tetapi teduh rasanya ramah menyapa. Saya
bertemu dengan Ayah dan kakak pertama Raja. Percakapan kami mulai seputar
kebiasaan Raja di rumah, bagaimana ia belajar, dan siapa yang ia ajak bermain.
Percakapan mengalir ke arah pembahasan tentang Ibu Raja. Saya menangkap
raut wajah yang berbeda dari Ayah dan kakaknya saat pertanyaan itu terlontar. Ayah
mulai bercerita bahwa beberapa bulan yang lalu, Ibu baru saja berangkat ke Jakarta
untuk bekerja. Selama bercerita, ia berkali-kali menghela nafas dan matanya
menerawang kemana-mana.
“Seharusnya, Ibu menjaga anak di rumah kan ya Mba? Bukan malah
meninggalkan keluarga. Hm... tapi harus bagaimana ya? Uang juga dibutuhkan untuk
hidup. Padahal saya sudah berkali-kali bilang bahwa saya saja yang merantau, lagipula
saya juga sudah pernah merantau,” kata Ayah Raja. Ada raut wajah kecewa disana.
Kakak pertama Raja tak bicara apa-apa. Namun, matanya yang berkaca-
kacasepertinya takmampulagimembendung air mata.
“Saya sih inginnya kita sekeluarga berkumpul. Bersama-sama merawat anak-
anak. Namun, mau bagaimana lagi, kalau istri sudah memaksa, ya mau bilang apa”, kata
Ayah sambil pergi berlalu meninggalkan kakak pertama sendiri.
Percakapan berlanjut tentang bagaimana hubungan Raja dan kakak
perempuannya itu. Saya melihat ada sosok Ibu saat kakaknya bercerita. Saat bercerita

95
pun, matanya masih berkaca-kaca sampai-sampai saya tak ingin banyak membahas
Ibunya.
“Kangen sama Ibu?” tanya saya padanya. Ia jawab dengan anggukan. Kakak itu
pergi, laludigantikan dengan Ayahnya lagi.

Di rumah Ratu
Dari perjalanan ke rumahnya, saya sudah menyimpan banyak pertanyaan. Ratu
terlihat membutuhkan cukup banyak pertolongan saat belajar di kelas. Jadi, motivasi
saya saat itu juga ingin mengetahui apakah bala bantuan itu diterimanya di rumah.
Berbeda dengan rumah Raja yang tenang, rumah Ratu saat itu ramai oleh bapak-
bapak. Saya sempat bingung yang mana Ayah Ratu sampai akhirya seorang laki-laki
menjulurkan tangan dan memperkenalkan diri sebagai Ayah Ratu. Ia tak bangun dari
tempat duduk.
Percakapan saya mulai dengan menanyakan kabar hingga kebiasaan-kebiasaan
Ratu di rumah. Katanya Ratu rajin belajar, biasanya dengan kakak perempuannya. Lalu,
percakapan pun berlanjut hingga Ayah menceritakan kondisi fisiknya yang sudah tak
bisa berjalan lagi karena jatuh dari pohon. Kejadiannya sudah berlangsung beberapa
tahun yang lalu, tetapi efeknya tidak hilang sampai sekarang. Hal ini pun membuatnya
tidak dapat bekerja seperti dulu lagi. Hingga Ibu Ratu yang harus mencari
nafkah.Desakan kebutuhan ini membuat Ibu Ratu memilih untuk merantau ke kota dan
meninggalkan dulu anak-anak dan suaminya di Sumbarang.
“Saya sih maunya istri disini, kerja disini saja sambil rawat anak. Yah, memang
saya tidak bisa kerja lagi seperti dulu, tetapi memangnya harus ya merantau jauh-jauh.
Tega ya Mbak, ninggalin suami dan anak”, kata Ayah Ratu. Wajahnya mencoba untuk
tersenyum, tetapi rasa pahit ditinggal istri tak dapat ia tutupi.
***
Sampailah kita pada kesimpulan.
Dua puluh lima hari berada di Jlatong dan berkunjung ke rumah-rumah siswa
kelas satu membuat saya berpikir bahwa merantau memang sudah menjadi budaya di
desa ini. Laki-laki memang terlihat lebih leluasa dan lumrah ketika memutuskan untuk
merantau, tetapi tidak begitu dengan para Ibu. Keputusan untuk merantau ternyata
masih banyak dipertanyakan, bahkan oleh keluarga kecilnya. Selain itu, banyak juga
yang berpikir bahwa “jika saja ada pekerjaan disini yang penghasilannya memadai, buat

96
apa harus merantau?” Sayangnya, mereka seperti belum yakin dan percaya akan
kehidupan di desa. Hal ini menyiratkan bahwa mereka memerlukan banyak informasi
tentang pekerjaan yang dapat dilakukan di desa.
Kesamaan dari Raja dan Ratu adalah ditinggal sosok Ibu yang merantau untuk
bekerja dan ditemani Ayah. Lalu, ada sosok kakak perempuan yang menggantikan posisi
Ibu selama ia pergi. Perbedaannya terletak pada dampak dari ketiadaan Ibu itu. Raja
masih bisa memiliki kemampuan akademik yang baik, sedangkan Ratu memang sering
bingung dalam belajar.
Lalu, satu hal lagi yang sama antara keduanya adalah “ada rasa rindu pada Ibu
yang hanya bisa hilang ketika Ibu pulang”.
Hal ini menjadi pelajaran untuk kita semua bahwa dibalik ketegaran dalam
canda anak-anak untuk tegar menerima perginya orang tua, ada rasa rindu yang
terkungkung dan bisa jadi penghambat perkembangan mereka, baik sebagai pribadi
maupun di sekolah.

97
LASKAR PEMIMPI DAN
PEMIMPIN DARI KAKI
GUNUNG SLAMET
Latifa Ayu Lestari

98
Laskar Pemimpi dan Pemimpin dari Kaki Gunung Slamet
Latifa Ayu Lestari

"Semua mimpimu akan terwujud asalkan kamu punya keberanian untuk mengejarnya".
(Walt Disney)

“Assalamualaikum wr. wb, Salam semangat untuk kita semua! kalian adalah bintang-
bintang yang paling bersinar di angkasa yang pernah Ibu jumpai, kalian memiliki
karakteristik masing-masing yang membuat Ibu berdecak kagum. Kalian adalah
cahaya yang menerangi bangsa dengan beragam karakter warna yang suatu hari
nanti akan memimpin negeri indah yang kaya dan subur ini, Indonesia Raya, Tanah
Air kita tercinta. Terangilah seluruh penjuru angkasa nusantara melalui mimpi-
mimpi kalian. Tunjukkan pada dunia bahwa kalian mampu menggapai mimpi kalian!
Bintang-bintang Ibu tersayang, bermimpilah tentang apa yang ingin kalian impikan,
pergilah ke tempat-tempat yang ingin kalian datangi dan jadilah seperti apa yang
kalian inginkan! Raihlah cita-cita kalian setinggi mungkin! mulailah dengan
bermimpi ‘‘saya ingin menjadi Polisi, dokter, guru dan lain-lain’’ Sembari bermimpi
wujudkanlah cita-cita itu menjadi nyata dengan cara belajar yang tekun tanpa
mengeluh, tanpa putus asa, karena Allah SWT tidak suka pada umatnya yang selalu
berkeluh kesah dan mudah menyerah serta jangan lupa untuk terus berdoa. Di masa
depan, kalian adalah kumpulan cahaya berbeda yang akan bersama merangkai satu
gugusan bintang yang indah. Yang akan selalu menyala dan menerangi langit
Indonesia”

Hal ini mungkin terdengar begitu klise, saya sangat menyukai tetralogi novel
Laskar pelangi seperti banyak orang lainnya. Hati saya sungguh luluh dan tergugah
sejak pertama kali saya membaca novel berseri itu, tepatnya pada masa saya SMP. Saat
itu ketika membicarakan tentang pendidikan, yang dibahas pasti adalah kualitas sistem
pendidikan Indonesia yang kurang baik jika dibandingkan dengan negara-negara maju
serta embel-embel lainnya yang hampir semuanya berisi pesimisme.
Tetralogi Laskar Pelangi menyampaikan pesan dengan menerangi cara berpikir
kita mengenai sebuah sistem pendidikan. Saya begitu terhanyut dengan ide seorang
guru yang mengabdi dengan setulus hati mengajar murid-muridnya hingga murid-

99
muridnya memiliki mimpi dan motivasi kuat untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka,
yaitu Ibu Muslimah yang sangat menginspirasi saya, kisah Lintang sang jenius yang
bagaikan berlian ditengah bongkahan debu, Kisah Mahar dengan kejeniusan
musikalitasnya, kisah perjuangan anak-anak dengan tekad yang kuat mengejar mimpi
mereka ditengah berbagai keterbatasan dan cerita aktivitas anak-anak di pedesaan
yang tidak bisa saya bayangkan sebelumnya. Saya selalu terniang kepada penggalan
kalimat dari soundtrack Laskar Pelangi yaitu “mimpi adalah kunci untuk kita
menaklukan dunia” serta sebuah kata bijak yaitu “mendidik adalah kewajiban kaum
terdidik” ketika mengingat cerita dari novel ini.
Kita semua menyadari bahwa pendidikan merupakan pondasi dan kunci utama
untuk memajukan suatu bangsa karena pendidikan adalah unsur penting dalam
meningkatkan kualitas manusia. Potensi besar di negara kita tercinta Republik
Indonesia ini akan dapat berkembang, jika manusianya memiliki mimpi serta
terkembangkan dan terbangunkan untuk merealisasikan mimpinya dengan idealisme
dan integritas yang mengalir dalam dirinya. Kualitas sumber daya manusia adalah
hulunya kemajuan suatu bangsa. Pengalaman mengajar di GUIM 5 membuat saya dapat
mencicipi sendiri sebuah kehidupan yang sedikit banyak seperti yang saya selalu
bayangkan ketika saya membaca Novel Laskar Pelangi.
Di sore yang cerah itu pertama kali saya menginjakkan kedua kaki saya di
sebuah desa nan asri yang berada di kaki gunung slamet, Jawa Tengah. Desa ini
bernama Traju. Angin yang sejuk terasa menyapa saya dengan begitu ramah. Desa ini
memiliki pemandangan yang sangat indah, hamparan terasering sawah yang bagaikan
permadani di kaki langit. Keramahan penduduk desa Traju membuat suasana yang
sejuk terasa hangat. Suasana religi yang kental di desa ini membuat suasana desa ini
terasa tenteram dan damai. Untuk sampai ke desa ini tidaklah mudah dan memerlukan
perjuangan ekstra karena akses jalan yang buruk, berbatu, curam, terdapat jurang di
kanan-kiri jalan, pohon bambu mengiringi sepanjang jalan, sedikitnya penerangan
ketika matahari terbenam, dan tidak adanya transportasi umum menuju desa.
Melihat jalan yang dilalui untuk sampai ke desa ini, sebuah penghormatan luar
biasa bagi guru-guru yang sedia hadir tiap hari mengajar anak-anak di desa ini.
Keesokan paginya anak-anak telah ramai datang ke sekolah yang baru saja memiliki
benteng baru ini. Mereka dengan antusias menyapa kami dari setiap sudut sekolah
karena melihat orang-orang baru yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Dari

100
mata mereka terbersit rasa ingin tahu yang besar akan hal-hal baru. Pada hari itu saya
berkenalan dengan guru-guru di SDN Traju 03. Setelah itu saya berniat untuk
melakukan manajemen kelas dan mulai mengenal 38 murid saya di kelas 3.
Ketika saya pertama masuk ke kelas saya mencairkan suasana agar terasa lebih
akrab dengan mengajarkan anak-anak kelas 3 tepuk hebat dan teput salut. Setelah itu
saya melanjutkan dengan membuat kesepakatan kelas yang disepakati siswa-siswi agar
kondisi selama pelajaran untuk ke depannya berjalan seperti yang diingankan siswa-
siswi (saling menghormati dan menyayangi teman, selalu berkata “Bisa” dalam
mengerjakan tugas, piket setiap hari, membuang sampah pada tempatnya, dll). Salah
satu kesepakatan yang membuat mereka diam dari aktivitas yang tidak perlu di dalam
kelas adalah dengan mengajarkan mereka tepuk ikan kembung dan adapun reward
yang saya berikan untuk siswa-siswi yang berpartisipasi aktif adalah memberikan
“Bintang Bersinar” (bintang berwarna kuning) dan konsekuensi dari kesepakatan
tersebut adalah “Bintang redup” (bintang berwarna abu-abu). Hal ini saya jelaskan
kepada siswa-siswi kelas 3 dengan analogi bahwa mimpi itu bagaikan bintang di langit
yang harus kita gapai dengan usaha keras serta doa, jika bintang itu semakin terang
maka semakin mudah bagi kita untuk melihatnya dan menggapainya.
Pembuatan kesepakatan kelas pun selesai hingga akhir bel pulang pun berbunyi.
Semua bergegas merapikan diri, dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh
ketua kelas, kegiatan sekolah hari itu pun selesai. Dengan dimulai dari hal kecil,
pembiasaan sejak kecil, semoga bisa menjadi kebiasaan bahkan mengubah karakter
mereka di saat mereka tumbuh dewasa kelak, karena mereka adalah calon pemimpin
yang akan memikul mimpi rakyatnya di masa yang akan datang.
Saya selalu terkesan dengan semangat untuk pergi ke sekolah yang mengalir
dalam diri siswa-siswi SDN Traju 03. Dengan kondisi jalan yang rusak dan rute jalan
yang berupa tanjakan dan turunan tajam ditambah sangat licin ketika hujan tiba, jarak
yang jauh, dan air yang sangat dingin hingga menusuk sampai ke tulang saat mandi di
pagi hari tidak menghalangi siswa-siswi SDN Traju 03 untuk selalu datang tepat waktu
ke sekolah dengan semangat yang membara untuk mencari ilmu guna menggapai
mimpi mereka. Melihat semangat yang berkobar tersebut, pada KBM efektif hari
pertama setelah mengajarkan ice breaking tepuk semangat kepada mereka, hal inilah
yang saya sampaikan untuk menjaga kobaran semangat dan rasa percaya diri akan
terus berada dalam diri murid-murid saya

101
Setelah itu kami belajar PKN dengan materih arga diri. Dalam materi ini kami
belajar untuk mengelompokkan harga diri rendah dan harga diri tinggi berdasarkan
perilaku keseharian kami. Setelah merefleksikan diri bersama-sama dengan memiliki
harga diri yang baik kita dapat mengenali potensi dalam diri kita dan memposisikan diri
dengan baik di masyarakat. Manusia yang memiliki harga diri yang baik hendaknya
memiliki cita-cita dan kemauan yang keras untuk mewujudkan cita-citanya. Kemauan
saja tidak cukup, perlu didukung oleh kemampuan yang mendekatkan kita pada cita-
cita dan salah satu caranya adalah belajar dengan tanpa putus asa dan terus
bersemangat untuk bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi. Kemauan keras yang
didukung oleh kemampuan yang mumpuni merupakan upaya agar cita-cita terwujud
seperti yang kita impikan. Janganlah lupa untuk menabung dan terus berdoa. Jika kita
menemui kegagalan anggaplah hal itu sebagai sebuah pelajaran agar kita tidak
mengulanginya. Ada banyak hal di luar dugaan yang mestinya tak perlu kita sesali.
Sederhananya, hiduplah terus dengan usaha maksimal untuk menggapai puncak cita-
cita yang kita harapkan.
Motivasi dan semangat itulah yang senantiasa saya pupuk dan tularkan kepada
siswa-siswi kelas 3 di SDN Traju 03. Karena setiap dari kita, manusia yang hidup adalah
seorang pemimpin bagi kalangannya, atau paling tidak, pemimpin bagi dirinya sendiri.
Yang tiada lain dan tiada bukan, terdapat benang merah antara Sang Pemimpin dan
Sang Pemimpi. Sejak saat itu banyak sekali perubahan yang terjadi dalam diri murid-
murid saya. Ketika mereka melakukan kesalahan mereka langsung merefleksikan diri
apakah yang mereka lakukan adalah tindakan yang mencerminkan harga diri rendah
atau tinggi. Saya juga begitu terkesan dengan rasa ingin tahu dan tekad murid-murid
saya untuk mewujudkan cita-cita mereka
“Bu guru, saya mau jadi sarjana listrik ada kan ya bu guru?”
“Bu guru, Siha mau jadi pilot, Siha harus belajar apa saja bu guru?”
“Bu guru, saya mau jadi anak solehah dan guru, bisa kan bu guru?”
“Bu guru, Sisus kalau sudah besar mau jadi pilot, nanti Sisus boleh cari Bu guru di
Jakarta?
“Bu guru, saya suka tidak bosan kalo duduk saja di kelas saya suka jalan-jalan di
kelas, Saya mau jadi TNI yang banyak bergerak”
Sebuah kehormatan bagi saya untuk dapat hadir dan mencicipi masa depan yang
sesungguhnya, menjumpai wajah masa depan Indonesia. Sang Pemimpin memiliki

102
mimpi-mimpi hebat untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Sang Pemimpi,
mereka siap sedia bertanggung jawab untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka
layaknya seorang pemimpin.
Tidak ada batasan dalam bermimpi. Bermimpilah dan dan pimpin dirimu untuk
mewujudkannya!

103
MENANTANG KILAU
BINTANG
Ananda Zhafira

104
Menantang Kilau Bintang

Ananda Zhafira

Malam semakin pekat


Menatap langit lekat-lekat
Rasanya bintang itu semakin dekat

Sebentar lagi akan kutemui


Lebih banyak bintang
Lebih bersinar
Lebih dekat
dari jarak antara
goresan kapur dan papan tulis

(Perjalanan menuju Tegal, 7 Januari 2016)

Negara yang kita tinggali saat ini dikenal sebagai bangsa yang agamis. Agamis adalah
kata sifat yang dilekatkan pada orang-orang yang secara sadar meyakini agama tertentu. Tak
heran kalau agama menjadi atribut yang penting untuk dimiliki oleh tiap manusia yang tinggal
di suatu wilayah. Kelompok masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia memiliki
kecenderungan untuk memeluk satu agama yang kemudian menjadi kepercayaan mayoritas.
Desa Kedungwungu, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah yang menjadi salah
satu lokasi aksi Gerakan UI Mengajar (GUIM) angkatan 5 merupakan salah satunya.
Sebelum keberangkatan menuju Desa Kedungwungu, tiap pengajar maupun panitia
Gerakan UI Mengajar yang ditempatkan di lokasi tersebut telah diberitahu untuk menyesuaikan
penampilan dengan budaya warga setempat. Ini juga berlaku terhadap pengajar dan panitia di
lokasi GUIM lainnya. Setiap perempuan harus mengenakan jilbab dan dianjurkan memakai rok
serta laki-laki mengenakan celana panjang. Sebelum keberangkatan muncul berbagai pikiran di
benak kami bahwa di lokasi aksi kami akan sering mengikuti kegiatan pengajian serta berbagai
ritual agama lainnya hingga larut malam. Rupanya, berbagai dugaan yang mengisi benak kami
meleset dari realita yang kami temui.
Kedatangan kami ke Desa Kedungwungu mendapat sambutan hangat dari warga.
Berbagai hidangan lezat menyambut kami ketika tiba di rumah tinggal panitia titik 3 Gerakan UI
Mengajar. Sebagai individu yang menghabiskan lebih dari separuh usia saat ini di kota, saya
mengakui bahwa masyarakat di desa ini memperlakukan tamu sebagai raja. Mereka pandai
mengapresasi hal-hal sederhana, salah satunya mungkin kedatangan kami 17 pelajar yang ingin
mengajar dan belajar dari mereka.

105
Aksi Gerakan UI Mengajar hanya akan berlangsung selama 25 hari. Selama aksi, saya
sebagai pengajar akan tinggal di rumah salah satu warga Desa Kedungwungu, Jatinegara, Tegal.
Rumah yang akan menaungi saya selama aksi dihuni oleh sepasang suami istri dengan tiga
orang putrinya. Keluarga asuh atau host family saya memiliki pembagian peran yang cukup
berbeda dari yang lain. Awalnya saya berpikir karena desa ini terkenal dengan kulturnya yang
sangat agamis sehingga peran ayah atau laki-laki tentunya akan mendominasi dalam
pengambilan keputusan, sedangkan perempuan akan terpaku dengan tugas-tugas rumah tangga
seperti memasak dan mengurus anak. Dugaan saya lagi-lagi meleset. Di keluarga ini ibu justru
menjadi sosok yang dominan dalam menentukan berbagai hal, sedangkan ayah lebih banyak
andil dalam urusan rumah tangga seperti memasak dan mengurus anak.
Fenomena yang cukup menarik ketika saya menemukan bahwa peranan laki-laki dan
perempuan dalam keluarga menjadi sangat fleksibel di keluarga asuh saya. Pembagian peran di
keluarga asuh saya tidak lagi terikat dengan keyakinan sosial yang bilang kalau hanya
perempuan yang bisa mengurus anak dan laki-laki adalah kepala keluarga yang selalu
mengambil keputusan. Keluarga ini membuktikan kalau religius tidak hanya melulu soal ibadah,
tetapi juga kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi setiap orang terlepas dari gender.
Menjadi umat beragama juga tidak melulu soal ritual ibadah, tetapi mencakup keseluruhan
aspek kehidupan termasuk berbagi.
Tujuan saya untuk berbagi pengetahuan dengan siswa kelas 5 SDN Kedungwungu 01
rupanya menemui berbagai tantangan yang sempat membuat saya bertanya mengapa saya bisa
terpilih sebagai pengajar GUIM. Di awal aksi, saya memaksakan diri untuk menutup telinga
terhadap apa yang dikatakan guru-guru tentang siswa kelas 5. Mereka bilang kemampuan
akademik mereka jauh di bawah rata-rata, bahkan tidak sedikit yang memberi label bodoh dan
sikap yang nakal. Dibutuhkan kepekaan penglihatan untuk tidak membenarkan apa yang
dikatakan oleh guru-guru sekolah ini untuk menemukan emas yang terpendam dalam setiap
diri anak.
Awalnya saya harus terpaksa percaya perkataan guru-guru bahwa kemampuan
akademik siswa kelas 5 di bawah rata-rata agar saya bisa menyiapkan materi maupun metode
pembelajaran yang sesuai. Menahan tiap keluhan adalah pilihan satu-satunya karena memang
gerakan ini menuntut setiap orang yang terlibat di dalamnya untuk memprioritaskan
kebutuhan orang lain di atas kenyamanannya sendiri.
Untuk mulai percaya dengan orang yang baru dikenal tidak hanya butuh membuka
mata, tetapi juga butuh kedekatan fisik maupun perasaan. Kunjungan ke rumah siswa-siswa
membantu saya untuk mendekati 29 siswa di kelas 5 dengan mengenali keluarga, latar belakang
sosial dan ekonomi, dan juga lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka. Setiap manusia
memang menjalani berbagai peran berbeda. Melalui hari-hari kunjungan, saya mendapati

106
bahwa setiap anak punya sikap yang berbeda dalam menjalani perannya sebagai anak, kakak,
adik, hingga santri. Kultur merantau di desa Kedungwungu membuat beberapa anak harus
tinggal sendiri di pondok pesantren di usia 10 tahun. Ada juga yang sudah harus merawat
adiknya sejak kelas 1 SD karena kedua orang tua mencari nafkah di ibukota. Mendapat
kunjungan guru ke rumah mungkin membantu anak-anak ini percaya bahwa guru yang akan
belajar bersama mereka selama 25 hari tidak hanya akan menyampaikan materi pelajaran,
tetapi juga bisa mereka jadikan teman untuk berbagi.
Setiap pengalaman dengan anak-anak di luar kelas menjadi bahan untuk memfasilitasi
kebutuhan belajar anak di dalam kelas. Untuk mengakomodasi kebutuhan mereka dalam unjuk
diri, saya menyediakan kesempatan bagi setiap anak untuk menjadi kapten kelas secara
bergantian selama aksi mengajar. Pemilihan kapten kelas setiap hari Senin ini menjadi momen
yang menantang karena tidak satu pun anak yang ingin menjadi kapten kelas. Di hari Senin
pekan kedua aksi mengajar, kapten kelas belum terpilih. Anak-anak ini setiap hari menantang
saya untuk terus berkreasi menciptakan metode pemilihan ketua kelas. Kemudian, pada
keesokan harinya saya yang balik menantang dan menyentuh ego anak-anak ini.
“Siapa yang mau naik kelas? Silakan angkat tangannya.”.
Seluruh siswa mengangkat tangan dengan yakin.
“Siapa yang berani mengikuti ujian nasional? Ayo angkat tangan kalian.”. Lagi-lagi
seluruh siswa mengangkat tangan.
“Sekarang Ibu tanya, siapa yang berani jadi kapten kelas untuk minggu ini?”.
Hening. Tidak satu pun siswa mengangkat tangan mereka.
“Kalian mau naik kelas dan berani ikut ujian nasional tapi kenapa tidak ada satu pun
yang berani memimpin 28 orang teman kalian padahal hanya 1 minggu?”.
Setelah itu, saya meminta siapa pun yang ingin menjadi kapten kelas untuk maju ke depan kelas.
Sepuluh siswa maju ke depan kelas siap dipilih sebagai kapten kelas. Proses itu menunjukkan
kepada saya bahwa sesungguhnya tiap anak punya keberanian yang sayangnya semakin terkikis
seiring bertambahnya usia. Namun, hari itu anak-anak ini membuktikan bahwa keberanian itu
masih mereka pelihara di dalam diri masing-masing. Apresiasi atas keberanian itu adalah rasa
puas yang hadir dalam diri tiap anak dan kepercayaan 28 siswa yang akan dipimpin oleh kapten
kelas terpilih. Manusia memang suka mendapat hadiah. Prinsip ini juga berlaku pada anak-anak.
Tiap usaha yang dilakukan siswa perlu diapresiasi, tetapi tidak harus dengan nilai atau bintang.
Apabila mendekat butuh usaha, menjauh butuh usaha yang lebih besar pula. Usaha kami
untuk menghargai setiap kenyamanan dan kedekatan dengan anak-anak, masyarakat, hingga
alam desa Kedungwungu mungkin hanya sebatas mengisi setiap momen dengan kebahagiaan
lalu mengabadikannya sebagai potret kenangan. Untuk mengapresasi keberanian tiap individu
di Kedungwungu untuk menjadi lebih baik, ada jarak yang perlu diulur antara zona nyaman dan

107
proses belajar. Pada akhirnya, Kedungwungu tidak hanya mengapresiasi orang-orang di
dalamnya untuk berbagi manfaat. Kedungwungu juga membuat saya percaya bahwa tidak harus
menunggu malam untuk melihat bintang karena di antara kabut pagi yang pekat ada 29 bintang
yang bersinar dengan kilaunya masing-masing. Dalam dua puluh lima hari, Kedungwungu telah
menjadi ruang yang hangat, memikat dan membantu kami mengingat bahwa untuk bahagia itu
dekat.

108
MENEMUKAN JAWABAN
ATAS “ZONA NYAMAN”
DI KEDUNGWUNGU
Rizka Fitriana

109
Menemukan Jawaban atas “Zona Nyaman” di Desa Kedungwungu

Rizka Fitriana

Banyak orang bijak berkata, “Cobalah keluar dari zona nyamanmu dan kau akan
melihat betapa dunia sangat mengagumkan”. Kamis, 07 Januari 2016 merupakan hari
pertama saya mencoba keluar dari “zona nyaman” kehidupan saya selama ini. SDN
Kedungwungu 01 merupakan tempat saya akan ditempa dengan zona baru ini. Pada
saatnya nanti akan terbukti, apakah benar kata orang bijak tersebut, jika kita keluar dari
zona nyaman maka kita akan menemukan bahwa dunia sangat mengagumkan.
“Halo, Assalamu’alaikum. Perkenalkan nama Ibu, Ibu Rizka”.
Kalimat pertama yang keluar dari mulut saya saat pertama kali berdiri di kelas 4 itu.
Tanggapan anak-anak terlihat dari mimik wajah mereka yang berbeda-beda; ada yang
bingung, antusias, dan tertawa.
“Jadi, Ibu dari Jakarta yang akan mengajar kalian selama 25 hari kedepan”, lanjut
saya dan tanggapan mereka pun tetap beragam.
Di hari pertama saya datang ke SD tersebut, ada satu anak yang sangat menarik
perhatian saya. Dia duduk di kelompok meja pertama baris ketiga. Hari itu diisi dengan
perkenalan dan bermain untuk mengobservasi setiap anak. Saat perkenalan, saya pun
menghampiri dia, dia hanya menunduk dan sama sekali tidak mau melihat wajah saya.
“Namanya siapa?” tanya saya sambil memiringkan kepala untuk melihat
wajahnya yang menunduk.
Anak itu masih terdiam hingga saya ulang kembali, “Nama kamu siapa?” dengan nada
yang lebih lambat dari sebelumnya. Lama dia menjawab dan akhirnya keluar lah dari
mulut anak tersebut, “Zaki” dengan suaranya yang khas.
“Oh…. namanya Zaki ya. Zaki hobinya apa? Kalau main, sukanya main apa?” tanya
saya lagi.
Lama dia menjawab dan akhirnya dia bilang, “Nonton tv” masih dengan suaranya yang
khas. Dari 27 anak yang ada dalam kelas tersebut, hanya Zaki yang memiliki hobi
menonton tv di saat anak-anak lain sibuk dengan bermain bola, bermain karet,
memancing, bersepeda, dsbnya.

110
Melihat kondisi Zaki yang seperti itu, maka target hari pertama saya adalah
mengunjungi rumah Zaki. Saya bertemu dengan ibunya dan ternyata ibu Zaki
merupakan ibu yang sangat perhatian terhadap anaknya. Ibunya selalu menanyakan PR
dan mengajari Zaki setiap malam untuk belajar. Maklum, dia anak satu-satunya. Dan
ternyata memang, di lingkungan rumah pun, Zaki lebih senang di dalam rumah
ketimbang bermain di luar seperti anak-anak lainnya. Selain itu, rasa percaya dirinya
juga sangat minim. Ibunya bisa dikatakan sangat peduli. Namun, kurang ditunjang
dengan sosok ayah dalam perkembangan Zaki karena ayah Zaki pergi bekerja ke Jakarta
dan pulang sekitar 3 bulan sekali. Di desa Kedungwungu ini, saat saya mengunjungi
rumah murid, hampir di setiap rumah, orang tuanya pergi bekerja ke daerah lain.
Biasanya anak-anak hanya tinggal dengan ibunya saja atau mbahnya saja. Tak heran,
figur orang tua khususnya bapak sangat dibutuhkan oleh anak-anak tersebut.
Sebelum pulang, saya berbicara dengan Zaki.
“Zaki besok jadi kapten kelas ya?” pinta saya dan dia masih saja menunduk. “Mau
ya?” tanya saya lagi.
Zaki menggeleng.
“Kok gak mau? Kan Zaki cita-citanya mau jadi polisi, masa gak berani jadi kapten
kelas?”
Lama dia terdiam dan akhirnya dia mengangguk perlahan. Esoknya Zaki menjadi
kapten kelas dan dia mampu memimpin teman-teman yang lain dengan semangat. Hari-
hari berikutnya, Zaki yang tadinya hanya menunduk jika berbicara dengan saya dan
tidak mau menatap mata saya, setiap jam istirahat, dia selalu mendatangi saya di meja
guru walaupun hanya terdiam. Dia juga sudah berani menatap saya. Kami mulai bisa
bercakap-cakap walaupun hanya percakapan singkat. Rasanya senang! Bahkan di hari
terakhir saya mengajar, di jam istirahat dia menghampiri saya di meja guru dan hanya
terdiam.
“Zaki, sedih gak ibu mau pulang ke Jakarta?” tanya saya.
“Sedih” jawabnya singkat.
“Sedih kenapa?” saya masih mengajaknya mengobrol.
“Nanti... kalo ibu gak ada… gurunya galak” katanya terbata-bata.
Di kelas 4 ini–selain Zaki–saya menemukan sosok-sosok kecil yang menarik
perhatian. Zidal, anak dari Jingkang Lor–Dukuh terjauh dari sekolah–yang hobinya
angon kebo dan bercita-cita menjadi pilot dengan penuh semangat selalu datang ke

111
sekolah dan duduk di bangku paling depan. Pernah saat acara Jumat Cerdas, dia menjadi
perwakilan kelas 4 di Lomba Cerdas Cermat dan ada satu soal berbunyi “Siapa Presiden
Indonesia yang mampu membuat pesawat?” dengan penuh semangat ia mengangkat
tangan dan menjawab “Habibie!!!” Namun, cara menjawabnya melanggar peraturan
sehingga soal dianulir dan ia pun menangis karena 1 soal itu yang bisa ia jawab di saat
poin kelas 4 masih 0 sedangkan kelas 5 dan 6 sudah banyak. Seusai lomba, saya dan
seluruh murid kelas 4 kembali ke kelas, ia masih menangis dan saya memotivasinya dan
semua murid bahwa dalam permainan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Itu
hal yang biasa. Akhirnya mereka mengerti.
Kherul, anak pondok asal Bumi Ayu, Brebes yang setiap pulang sekolah harus
saya latih membaca karena membacanya belum lancar. Dia juga anak dengan motivasi
belajar yang rendah. Cukup nakal juga. Namun di hari saya pulang, dia mendatangi
rumah panitia dan menunggu hingga kami berangkat. Saat tronton datang, saya
berpamitan ke Kherul, dia memeluk saya dan berkata “Kherul kangen Ibu” dengan air
mata yang mengalir deras dan cengkraman pelukan tangannya yang kencang.
Kherul bukan satu-satunya anak pondok yang ada di kelas 4. Bahkan, ada 8 anak
pondok yang saya ajari. Mereka adalah Kherul, Hindun, Fadillah, Intan, Aan, Husen,
Abdillah, dan Miftah. Jumlah terbanyak dibandingkan kelas lainnya. Anak-anak pondok
ini–di usia mereka yang masih sangat kecil–harus tinggal berjauhan dengan orang tua
dan bertahan untuk hidup mandiri. Waktu belajar untuk sekolah umum yang minim
disebabkan kegiatan di pondok yang cukup banyak. Selain itu, waktu bermain pun
minim.
Maka, jangan heran jika mereka selalu terlambat datang ke sekolah karena
mereka meluangkan waktu bermain (ke kebon) di pagi hari sebelum berangkat
sekolah. Pada dasarnya anak-anak pondok ini memiliki motivasi yang tinggi dalam
belajar, tetapibkurangnya perhatian orang tua dan juga fasilitas yang kurang memadai
membuat mereka berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Cukup menyedihkan saat
anak-anak pondok ini tersingkirkan dari pergaulan teman-teman lainnya. Oleh karena
itu, saya selalu memotivasi anak-anak pondok ini untuk belajar lebih rajin, walaupun
kegiatan di pondok memang sangat padat. Salah satu anak pondok yang mengesankan
bernama Miftah, menulis dalam suratnya untuk saya seperti ini: “Kata bu Rizka saya
harus rajin belajar supaya pintar dan tidak bisa dibohongin orang”. Miftah menunjukkan

112
kemajuan yag besar. Pada awalnya ia belum hafal perkalian, hingga saya pulang, Miftah
dapat menghafal perkalian hingga perkalian 10!
Selama 25 hari aksi, saya belajar banyak hal. Kebersamaan dengan anak-anak di
kelas yang tak akan pernah terlupakan. Kebersamaan bersama pengajar lainnya dan
panitia dalam suka dan duka. Rasa bersyukur dengan hidup yang saya miliki sekarang.
Ternyata, hidup saya lebih beruntung dibandingkan beberapa anak di Desa ini. Anak-
anak mengajarkan banyak hal sederhana yang terkadang sering terlupakan oleh saya
bahwa hidup ini indah dan sederhana jika dijalani dengan penuh rasa bersyukur dan
semangat yang tinggi.
Terima kasih untuk Desa Kedungwungu atas pengalaman hidup ini dan
khususnya kepada anak-anak kelas 4 untuk semua kenangan bersama selama 25 hari.
Semoga kalian selalu ingat pesan Ibu (quote dari Malala) yang ditempel di pojok papan
tulis :
“one child, one teacher, one book, and one pen can change the world”
Pada akhirnya, saat saya menulis cerita ini saya setuju dengan kata-kata banyak
orang bijak: “Coba lah keluar dari zona nyamanmu dan kau akan melihat betapa dunia
sangat mengagumkan” dan saya benar-benar melihat betapa hidup ini menakjubkan
dan dunia sangat mengagumkan!
“Take your chance. See the amazing world”

113
MENTEGA DAN ROTI
Reyzando Nawara

114
Mentega dan Roti

Reyzando Nawara

Selama ini kita selalu mengira bahwa kitalah yang mengajari dan mendidik anak-
anak tentang semua hal yang kita ketahui mengenai kehidupan, tetapi sebenarnya
justru merekalah yang menunjukkan dan mengajarkan kepada kita seperti apa
kehidupan yang sesungguhnya. Sesederhana tertawa bersama teman ketika pulang
sekolah, ataupun berlari-lari sambil bersenda gurau melewati hutan belakang sekolah.
Namun, di balik kesederhanaan itu banyak sekali kebahagiaan yang tercipta. Bukankah
hidup itu mengenai kebahagiaan, teman? Kadang kita lupa bagaimana cara untuk
bahagia dengan cara yang sederhana, mengapa? Karena kita sendiri tidak pernah
berpikir bahwa kebahagiaan dapat diraih dari cara yang sederhana, bahkan untuk
berpikir sederhana pun kita sudah lupa bagaimana caranya.
Namun pada Januari 2016, saya seperti ditampar untuk disadarkan kembali
mengenai arti hidup—yang pada dasarnya adalah kesederhanaan itu sendiri. Sedikit
demi sedikit saya mulai menghidupkan ingatan saya tentang kebahagiaan dengan cara
yang sederhana, seperti dapat makan nasi hangat dan tempe goreng bersama-sama
dengan keluarga baru atau sesederhana duduk di tepi sawah dan melihat seekor kerbau
sambil menikmati semilir angin pedesaan. Namun lebih dari itu, saya banyak belajar
tentang arti hidup yang sesungguhnya dari mereka, ya mereka adalah 20 anak hebat
yang pernah menemani saya selama 25 hari.
Tidak pernah terduga sebelumnya 25 hari itu akan menjadi salah satu bagian
favorit dalam hidup saya, atau bahkan akan selalu menjadi yang paling favorit. Mulanya
saya ingin berbagi banyak hal dengan mereka, tetapi kembali lagi justru sayalah yang
menerima banyak arti hidup dari mereka. Januari itu merupakan hari-hari dimana saya
bermetamorfosis menjadi sosok yang baru, seseorang yang lebih menghargai hidup,
seseorang yang lebih berkeinginan untuk terus belajar dan berkembang, serta yang
jelas seseorang yang lebih bahagia.
Masih jelas tercetak di ingatan saya, ketika saya, untuk pertama kalinya,
menginjakkan kaki di tempat yang telah membuat sejarah dalam hidup saya, tempat
saya bertemu anak-anak luar biasa itu, ya tempat itu bernama SDN 02 Sumbarang.

115
Mungkin tempat ini secara fisik tidak akan terlihat spesial, disembunyikan oleh
pepohonan bambu, banyak debu dan sampah berserakan, pun banyak sekali bekas
bangunan yang diletakkan dengan berantakan di dalam kelas. Namun, cerita dan
pembelajaran yang saya dapat dari tempat ini sangatlah luar biasa dan mampu
membuat sekolah ini terlihat begitu spesial dari sudut pandang saya. Saya juga masih
ingat bagaimana tawa dan senyum malu-malu itu tersungging dari mulut mungil
mereka, ketika pertama kalinya saya duduk di dalam kelas dan mungkin kehadiran saya
waktu itu sedikit mengganggu konsentrasi mereka.
Jelas terlihat bagaimana mereka memproyeksikan kehadiran saya waktu itu. Ada
yang saling bertanya dengan temannya, ada pula yang bertanya kepada wali kelasnya.
Begitulah anak-anak ini mulai dari awal saya bertemu dan bahkan belum mengenal
mereka sudah dapat saya simpulkan bahwa mereka adalah anak-anak yang punya rasa
ingin tahu yang besar dan mungkin ini akan sangat membantu saya ketika nantinya saya
memberikan materi baru, mereka akan dengan semangat menangkap materi tersebut.
Ah! Hanya perasaan saya saja mungkin untuk membuat saya merasa lebih baik karena
jujur saya pun merasa was-was dan sedikit takut apakah saya mampu membagikan ilmu
kepada mereka layaknya seorang ‘guru’, tapi saya selalu berusaha menepis bayangan-
bayangan buruk itu sehingga saya dapat memberikan apa yang saya punya dengan
maksimal dan tanpa beban.
Hari demi hari terus saya jalani dengan semangat yang setiap harinya semakin
bertambah besar, yang awalnya hanya ada rasa malu kini telah berubah menjadi rasa
sayang. Mungkin mereka merasa bahwa saya dan wali kelas mereka adalah kombinasi
guru yang terbaik yang pernah mereka tahu, atau mungkin lebih dari itu, memang rasa
sayang itu telah tumbuh di antara kami. Seseorang pernah berkata kepada saya bahwa
anak-anak adalah energi terbesar saya dan bingo! Saya pun baru menyadarinya setelah
ada orang lain yang memberitahukannya kepada saya.
Seketika itu saya mulai yakin bahwa ini adalah alasan mengapa selama 3 minggu
itu saya bangun pagi dengan semangat yang baru setiap harinya, datang ke sekolah,
berdiri di depan kelas, menatap 20 wajah mungil itu, serta dengan berapi-api
membagikan sedikit ilmu dan menitipkan sebuah harapan kepada mereka untuk
nantinya harapan-harapan itu akan mereka kejar dengan usaha mereka sendiri. Kadang,
karena terlalu bersemangat membuat saya tidak ingat bahwa tubuh saya ini juga
memiliki limit, ditambah gerimis yang menghujani kepala saya kala itu hingga akhirnya

116
membuat saya jatuh sakit sehingga saya tidak diperkenankan untuk mengajar dan
bertemu dengan murid-murid saya pada hari itu.
Namun, karena saya adalah ‘‘guru yang bandel’’, tidak diizinkan datang ke
sekolah pun tetap tidak mengurungkan niat saya untuk bertemu murid-murid saya.
Saya masih ingat betul. Hari itu diadakan pertandingan olahraga di sekolah dan
membuat saya merasa bahwa saya harus hadir di sana untuk memberikan semangat
kepada mereka. Akhirnya saya putuskan untuk tetap berangkat ke sekolah, meskipun
saya mendapat celotehan dari teman-teman ketika mengetahui keberadaan saya di
sekolah waktu itu. Sesampainya di sekolah, saya menyadari bahwa ada satu murid saya
yang tidak datang waktu itu. Saya pun langsung menanyakan kepada teman-temannya
dan ternyata murid saya yang tidak hadir waktu itu juga sedang sakit, sama seperti
saya. Terbesitlah dalam pikiran saya untuk menjenguk murid saya tersebut.
Hingga akhirnya, sore hari itu saya dan beberapa teman yang lain harusnya
melakukan silaturahmi ke rumah warga, tetapi saya berhasil mengarahkan mereka
menuju rumah murid saya yang sakit tersebut karena saya tahu apabila saya pergi
sendirian maka tidak akan diijinkan oleh yang lain. Cukup lucu memang orang sakit
menjenguk orang sakit juga, tetapi tidak pernah ada pikiran menyesal sedikit pun dalam
benak saya hingga saat ini, ketika saya putuskan untuk datang menemui murid saya
tersebut walaupun saya tahu badan saya pun juga sedang tidak dalam kondisi yang
cukup baik waktu itu. Mengapa? Hubungan saya dengan anak ini, sebut saja Yayan,
setelah saya menjenguknya menjadi sangat berbeda, saya merasa kita begitu dekat. Ada
saja hal yang dilakukannya untuk mencari perhatian saya seperti menyembunyikan
pulpen saya, minta saya untuk memangkunya, ataupun mencubit pipi saya. Masih
teringat betul, waktu itu dia pernah meminta untuk diantar sampai ke rumah dan dia
mengajak saya melewati hutan belakang sekolah, pun saya masih ingat perkataan dia
ketika dalam perjalanan pulang itu
“Pak Zando disini tinggal 7 hari ya? Pak Zando nginep rumah saya saja sampai
nanti pulang, jadi saya bisa diajarin Pak Zando kalau malam. Oiya pak itu kartu
nama yang ada foto Pak Zando buat saya saja ya… biar bisa saya pakai terus jadi
saya bisa ingat Pak Zando terus”
Mendengar itu pun sontak membuat saya diam dan hampir meneteskan air mata.
Bahkan saya tak sanggup menjawab satu pun pertanyaan dari Yayan. Saya pun berpikir
apabila waktu itu saya tidak memaksakan diri untuk menjenguknya mungkin kita tidak

117
akan pernah sedekat ini. Ikatan yang terbentuk di antara saya dan Yayan sungguh
terkadang membuat saya masih meneteskan air mata. Bahkan, hingga saat ini, saya
masih sangat sering menerima pesan singkat ataupun telepon dari Yayan hanya untuk
mengatakan bahwa dia begitu merindukan saya dan menanyakan bagaimana kabar
saya di sini. Ketika saya sakit sepulang dari Sumbarang, dia tak pernah absen
mengingatkan saya untuk minum obat. Hal ini membuat saya sangat mensyukuri
keputusan yang saya ambil dan membuat saya berpikir bahwa kurikulum dari Tuhan itu
benar-benar indah
“Kau temanku, ku temanmu, kita selalu bersama…..
Seperti mentega dengan roti
Kuakan selalu mendukungmu mendorongmu terus maju
Dan bila kau sedih kuakan menghiburmu”
Saya menamai ikatan saya dengan Yayan seperti mentega dengan roti yang tidak dapat
dipisahkan. Terima kasih Yayan.

118
MUTIARA YANG
TERPENDAM
Darneliana Septiani

119
Mutiara yang Terpendam

Darneliana Septiani

Matahari bersinar ramah menyambut pagi di desa itu. Desa yang baru sehari
saya tinggali. Beberapa bapak-bapak memanggul cangkul di bahu. Sementara kaum ibu
memikul gembolan kain berisi bekal makan siang para petani. Di sisi lain, ada pula
beberapa orang yang terlihat berpakaian rapi, mengenakan batik, celana hitam, dan
bersepatu. Saya menebak mereka adalah para guru atau pegawai. Mungkin pagi ini
adalah pagi biasa bagi mereka, namun tidak bagi saya.
Hari ini adalah hari yang sudah sejak lama saya nantikan. Hari pertama saya
mengajar. Selama 25 hari saya akan mengajar di SD 01 Desa Kedungwungu, Kecamatan
Jatinegara, Kabupaten Tegal. Saya akan mengajar kelas 1. Kegiatan ini merupakan
bagian dari Gerakan Universitas Indonesia Mengajar (GUIM) angkatan 5 yang
diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Saya
merupakan salah satu dari 36 pengajar di kegiatan ini. Saya bersama 5 orang rekan
pengajar lainnya dan 11 orang panitia di tempatkan di titik 3 yakni di Desa
Kedungwungu. Selama aksi mengajar, kami tinggal di rumah-rumah warga secara
terpencar.
Ketika bapak ibu petani berangkat ke sawah, ketika itu pula saya berangkat ke
sekolah yang jaraknya tak jauh dari rumah. Sekolah tak berhalaman. Hanya beberapa
ruang kelas, sebuah kantor, gudang, dan toilet yang tak terlalu terawat. Serba
seadaanya, sempit sekali.
Ketika pertamakali datang, saya melihat anak-anak begitu senang dan tersenyum
malu-malu menyambut kedatangan kami. Saya masuk ke kelas 1. Saya perhatikan satu
persatu wajah mereka. Ada 24 orang anak yang datang hari ini, artinya ada 4 orang
anak yang belum hadir.
Ada seorang anak yang menarik perhatian di hari kedua. Anak perempuan
dengan rambut lurus terikat rapi, duduk di pojok kelas paling belakang seorang diri.
Kemarin ia tak datang. Saya letakkan tas di meja guru, kemudian saya menghampiri
anak perempuan tersebut.
“ Hallo, namanya siapa, Nak?” saya mengawali pembicaraan.

120
Ia tak menjawab, hanya menatap seperti kebingungan.
“Namanya siapa?” saya mengulangi pertanyaan dengan suara lebih jelas dan
duduk di sampingnya.
“Mutiara...” jawabnya dengan nada khas anak-anak.
“Wah, Mutiara. Mutiara kenapa duduk sendiri?”
Agak lama ia terdiam.
“Nggak ada yang mau duduk sama aku.”
Detik itu saya mengerti, ada tugas yang harus saya lakukan. Sejak awal saya
melihat Mutiara sedikit berbeda dengan anak lain. Secara fisik, ia terlihat lebih kurus.
Perbedaannya juga terlihat ketika pertama kali saya ajak bicara. Seringkali saya harus
mengulang perkataan saya agar ia dapat mengerti. Dia memang berbeda dan
diperlakukan ‘berbeda’. Sejak hari itu, saya ingin memperlakukannya secara tepat.
Saya putuskan memindahkan Mutiara duduk di barisan paling depan bersama
dua orang anak lain. Meski tak ada protes dari keduanya, namun sangat jelas tatapan
mereka kepada Mutiara. Seperti jijik dan merendahkan. Darimana anak-anak ini belajar
tatapan seperti itu kepada teman mereka?
Jam pelajaran kelas kecil berakhir pada pukul 11.00 WIB. Sepulang sekolah, saya
harus mengunjungi rumah-rumah siswa. Rumah pertama yang saya kunjungi adalah
rumah Mutiara. Jaraknya sekitar 10 menit perjalanan dari sekolah. Saya disambut oleh
seorang ibu yang semula saya kira ibu kandung Mutiara. Sekitar satu jam saya di rumah
tersebut. Cukup banyak informasi tentang Mutiara. Sejak ia bayi, ayahnya telah pergi
entah kemana. Mutiara saat ini diasuh tantenya, biasa dipanggil Nini. Ibu kandungnya
bekerja di Jakarta, pulang setahun sekali. Untunglah ia memiliki seorang sepupu yang
sangat mengerti keadaannya. Tika namanya. Usia Tika satu tahun lebih muda dari
Mutiara, namun saat ini Tika telah duduk di kelas 3. Tikalah yang selalu membantu
Mutiara, bermain bersama, berangkat, dan pulang sekolah bersama.
Saya berpikir lebih banyak tentang Mutiara. Memperhatikan setiap
perkembangan yang ditunjukkannya, membaca lebih banyak untuk memahami
kondisinya, bertanya pada guru yang biasa mengajarinya, mengamati setiap perlakuan
temannya kepadanya, mendengarkan celotehannya, dan mendampinginya ketika
mengerjakan tugas. Kemudian saya sadar bahwa saya tak selamanya ada di sana. Hanya
tiga pekan. Hal ini membuat saya berpikir Apakah yang saya lakukan akan berguna bagi
Mutiara?

121
Pada awal pekan kedua, saya mulai melibatkan banyak orang untuk membantu
Mutiara. Pagi itu, saya minta anak-anak membuat sebuah lingkaran di depan kelas
dengan berpegangan tangan satu sama lain, namun lingkaran itu tak menyatu. Ada satu
anak yang tak mau memegang tangan Mutiara. Kali ini saya tak diam. Saya genggam
tangan Mutiara di kanan dan tangan anak itu di kiri. Saya genapkan lingkaran tersebut.
Kami mulai bernyanyi bersama. Ketika mereka tengah asyik bernyanyi, perlahan saya
satukan tangan Mutiara dan anak tersebut. Lalu saya berpindah ke tengah lingkaran.
Hari itu Mutiara sama seperti anak lainnya dan diterima oleh teman-temannya.
Suatu hari, masih di pekan kedua, saya meminta anak-anak menuliskan nama
dan cita-citanya, kemudian ditempel di depan kelas. Belum semua anak bisa membaca
dan menulis. Saya meminta anak-anak yang sudah selesai menulis cita-citanya untuk
mengajarkan temannya yang belum bisa. Seorang anak perempuan mendekati Mutiara.
Ia memegang tangan Mutiara sambil menanyakan cita-citanya. “Cita-cita Mutiara:
Dokter” ikut terpajang di depan kelas di antara tulisan lainnya.
Sedikit demi sedikit Mutiara sudah tak berbeda lagi dari teman-temannya. Ia
sudah mau menulis meskipun hanya coretan-coretan. Ia juga sudah berani tampil ke
depan kelas, menari, dan menyanyi. Ia pun mulai diterima oleh teman-temannya.
Keadaan ini membuat saya merasa sedikit lega. Setidaknya ketika nanti saya pulang,
mereka sudah saling memahami bahwa mereka semua berteman.
Tibalah hari terakhir saya mengajar. Seperti hari pertama dan kedua mengajar,
hari ini saya habiskan dengan bermain dan bercerita. Saya hanya ingin melihat wajah
dan tawa mereka. Saya tak ingin melewatkan sedikit pun keceriaan mereka. Tiga jam
lebih berlalu. Saatnya saya harus menjelaskan sesuatu kepada mereka.
“Ibu akan membagikan undangan untuk kalian berikan kepada orang tua, kakak,
atau mbah di rumah,“ sejenak saya terhenti dan memperhatikan mereka semua
“Tolong sampaikan bahwa besok, kalian akan menerima rapot,” saya
melanjutkan. Anak-anak serius mendengarkan.
“Besok kalian tidak belajar, tapi orang tua kalian harus datang. Sementara kalian
ikut lomba dengan kakak-kakak yang lain ya.”
Kalimat saya belum selesai, tiba-tiba Mutiara bangkit dari tempat duduk, maju ke
depan kelas, lantas memeluk sambil menangis. Saya terkejut.
“Mutiara kenapa?” tanya saya memastikan.
“ Bu Nana jangan pergi... aku mau belajar sama Bu Nana.”

122
Hampir-hampir saya tak dapat menahan air mata.
“Eh, kok gitu? Bu Nana kan juga harus sekolah kayak Mutiara.“ Ia masih dalam
tangisnya, semakin kencang.
“Kan Mutiara pernah bilang, jangan sedih, jangan nangis, nanti jadi jelek…” saya
berusaha menenangkan Mutiara, namun gagal.
Dua puluh sembilan pasang mata yang tadinya hanya menatap ikut berkaca-kaca.
Saya semakin bingung. Ingin rasanya saya keluar dari kelas, mata saya mulai terasa
panas. Keadaan semakin sulit saya kendalikan ketika semua anak tiba-tiba berlarian ke
depan sambil memeluk. Saya tak dapat menahan keseimbangan. Akhirnya kami
terjatuh. Tangis mereka pecah. Saya coba mengendalikan suasana. Saya minta mereka
semua berdiri dan kembali duduk di kursi masing-masing. Mutiara masih tak lepas dari
saya.
“Siapa yang masih nangis? Ibu gambar ah…“
Saya ambil kapur bewarna dan kemudian mulai menggambar satu persatu wajah
mereka.
“ Roni Bu!” mulai ada suara pengaduan dari arah belakang.
“ Itu, Bu, Arman!” suasana mulai pulih kembali.
Hari itu kami akhiri kelas dengan memandangi bersama gambar yang ada di
papan tulis. Kelas ditutup dengan berdoa seperti biasa. Suasana belum sepenuhnya
pulih, tapi segera saya tinggalkan kelas menuju ruang guru. Saya melihat Mutiara masih
menangis meski sudah tak bersuara. Ia mendekati salah satu guru dan mulai mengadu.
Saya hanya memandangi dari jauh. Kini Mutiara sudah bisa mengadu kepada guru.
Entah kenapa ada rasa sedikit lega.

123
“OUTER SPACE!”: DENGAN
ILMU, LUAR ANGKASA
DAPAT KAU TAKLUKKAN
Nur Alifia Nabila

124
“Outter Space!”: Dengan Ilmu, Luar Angkasa Dapat Kau Taklukkan
Nur Alifia Nabila

“Assalamualaikum, Ibu apa kabar? Bagaimana keadaan sekolah dan


perpustakaan? Masih ramai dikunjungikah?”
Ruangan itu dingin, hampa, dan penuh debu. Sepintas mungkin jika tidak
diberitahu bahwa itu adalah sebuah perpustakaan, maka akan banyak orang yang
mengira bahwa ruangan tersebut merupakan suatu gudang. Bayangkan saja dia berada
diantara kamar mandi guru dan ruang UKS yang sudah tidak terawat. Pintunya
merupakan kayu tua yang tidak memiliki slot kunci, hanya sebuah pengait gembok yang
bentuknya sudah sedikit berubah dari bentuk aslinya. Jendelanya pun juga
menggambarkan betapa usangnya ruangan tersebut dengan tralis besi yang sudah
mulai karatan, kaca yang memiliki motif tidak beraturan yang dihasilkan oleh bercak cat
tembok yang entah dari mana asalnya, serta ditambah setiap harinya ia tertutup oleh
motor para guru yang terparkir di depannya.
Di dalamnya hanya ada sebuah rak kayu jati yang berada di sudut dinding. Dua
rak kayu biasa berwarna putih yang berada di tengah ruangan yang di mana dibalik
ruangan tersebut sering digunakan para guru untuk melakukan ibadah. Sebuah papan
tulis yang terletak dibawah jendela, sepasang replika gapura sederhana, dan beberapa
alat peraga pembelajaran yang sudah berdebu dan terpaku di beberapa sudut dinding,
yang diletakkan diatas rak putih atau yang diselipkan di dalam rak. Diantara para buku,
serta yang terpenting adalah buku itu sendiri--yang terdapat di ruangan ini--tersusun
rapih memang, tetapi tidak ada yang mau menyentuh. Mereka bilang buku tersebut
merupakan buku pemerintah dengan kurikulum baru, namun ketika baru sampai di
sekolah ternyata peraturan mengembalikan lagi kepada kurikulum yang lama. Kini para
buku-buku hanya berdiri mematung di dalam rak buku hingga debu atau mungkin
rayap mulai menyantap lahap lembar demi lembar buku yang ada.
“Ruangan ini dipakai terakhir beberapa bulan yang lalu, saat digunakan kelas 1
untuk belajar dan sekarang memang sudah jarang di kunjungi para siswa,” ujar Pak
Syaekhul saat ia menemani saya mengunjungi ruangan tersebut untuk pertama kali.
Betapa terenyuh ketika menyadari bahwa ruangan yang seharusnya menjadi ruangan

125
para siswa untuk mendapatkan ilmu tambahan menjadi begitu dingin dan mati tanpa
adanya aktivitas di dalamnya dan terutama buku yang menunjang.
Seusai berkunjung serta melihat keadaan ruangan tersebut, hal yang pertama
terlintas dalam benak saya adalah bagaimana caranya membuat ruangan tersebut
menjadi hidup dan penuh warna agar para siswa merasa tertarik dan tidak bosan saat
berada di dalamnya. Namun, saat berkumpul dengan panitia dan pengajar untuk
berdiskusi, masalah pertama pun mulai dijumpai. Dimulai dari tema yang sudah
dipikirkan sebelum berangkat menemui kemungkinan kendala pada saat eksekusinya,
sehingga harus membuat saya memutar pikiran kembali untuk menemukan tema yang
akan di terapkan pada ruangan ini dan entah bagaimana ide ini muncul secara spontan,
“Outter Space”. Luar angkasa yang begitu tak terbatas dan menyimpan sejuta misteri ini
membuat saya dengan nekat mengajukan ide tersebut dihadapan para pengajar dan
panitia. Memang bukan suatu perkara yang mudah ketika ditunjuk sebagai penanggung
jawab untuk membenahi suatu ruangan yang kelak akan mereka sebut “Rumah Pelangi”
ini. Mulai dari saya yang bukanlah seorang eksekutor yang baik, waktu yang cukup
singkat, teknis perombakan ruangan, bahan yang terbatas, buku yang harus kami pilih,
dan seleksi serta tanggung jawab lain selama berada di titik. Namun saya bersyukur
memiliki para panitia dan pengajar yang dapat mendukung tema dan eksekusi ruangan
ini. Merekalah yang pertama kali menjadi semangat saya untuk merasa optimis.
Hari pertama, lantai yang dahulu berdebu kini sudah mulai bersih, lalu buku-
buku kami keluarkan dari rak buku untuk di pilih dan kami susun ulang. Papan tulis
kami pindahkan agar tidak menutupi cahaya. Dinding serta langit langit sudah mulai
penuh sketsa gambar, dan mengeluarkan barang-barang yang sekiranya tidak dapat
dipakai. Hari demi hari terus berjalan. Beberapa hari setelah hari pertama kami
memulai pekerjaan ini, perubahan signifikan sudah mulai terasa di dalam ruangan ini. Ia
sudah mulai memiliki warna dan tidak lagi berdebu. Buku-buku baik yang berada di
rumah panitia atau yang ada di sekolah sudah tersusun rapih sesuai dengan kategori,
namun belum kami pindahkan kedalam rak. Terkadang saat kami sedang bekerja,
beberapa siswa mengintip dan bertanya kepada kami. Betapa gembiranya saat
menyadari sudah mulai terlihat rasa antusias mereka terhadap ruangan ini. Hingga
tidak terasa kini ruangan hampa tersebut telah berubah menjadi ruangan yang ceria.
Bagaimana tidak? Ruangan ini hampir penuh warna khas luar angkasa dengan replika
susunan planet yang menarik pehatian siapa pun yang memandangnya, serta penataan

126
ulang posisi rak buku membuat ruangan ini sungguh berbeda dengan sebelumnya.
Ditambah dengan buku-buku baru yang sudah berjajar rapih di dalam rak menambah
ramai isi ruangan ini. Kini ruangan tersebut siap untuk meluncur untuk membawa
imajinasi dan rasa ingin tahu para siswa terhadap dunia dan semesta untuk
mengangkasa.
Rasa haru terus menyelimuti benak ketika setiap kelas mendapatkan gilirannya
untuk mengunjungi “Rumah Pelangi” ini. Bagaimana tidak? Wajah mereka takjub saat
menginjakkan kaki di dalamnya, begitu bersemangat, dan tidak sabar untuk memilih
buku-buku yang sudah berbaris rapih di rak buku untuk mereka baca. Bahkan
terkadang para panitia dan pengajar sedikit kewalahan dalam mengahadapi mereka
yang sangat antusias bertanya tentang apa yang mereka baca. Waktu bergulir, semakin
hari semakin ramai para siswa mengunjungi ruangan ini dan semakin menandakan pula
bahwa tidak akan lama lagi kami berada disini, hingga tidak terasa tibalah hari dimana
saya harus memberikan kembali kunci kepada sekolah. Tepat dua hari menjelang
kepulangan saya menuju Depok, entah mengapa rasanya begitu sedih harus berpisah
dengan ruangan ini, seperti di setiap sudut, di setiap warna yang ada telah saya selipkan
sebagian hati di dalamnya. Mungkin nanti tiada lagi kami dengar canda tawa kami
bersama para siswa di dalamnya--atau sekadar beristirahat sembari menatap ruang
angkasa bersama-sama--tetapi yang pasti cinta dan semangat kami akan selalu hidup
dalam ruangan ini, ruangan yang kami sebut “Rumah Pelangi”.
Saya sangat bersyukur dan berterima kasih telah mendapatkan amanah ini.
Sangat disadari memang bahwa mungkin saya bukanlah seseorang yang bisa
memberikan yang terbaik untuk kalian para panitia, pengajar, terutama para siswa SDN
02 Sumbarang. Saya dan ruangan ini mungkin tidak akan menjadi apa-apa tanpa kalian
yang merupakan para eksekutor dan penyemangat terbaik yang pernah ada di dalam
hidup saya,--yang membatu ruangan ini menjadi ruangan yang sungguh luar biasa--
yang tergambar jelas dari ekspresi wajah para siswa yang berdecak kagum saat
memasuki “Rumah Pelangi” ini. Terima kasih kalian, panita, pengajar, serta SDN 02
Sumbarang untuk waktu-waktu indah yang telah tercipta. Semoga kelak dari ruangan
ini akan terlahir satu, dua, atau mungkin sepuluh orang kebanggan bangsa yang kelak
akan menaklukkan luar angkasa!

127
PARA PEJUANG MIMPI
Sutan Akbar

128
Para Pejuang Mimpi
Sutan Akbar

Begitulah saya menyebut 25 anak kelas enam SDN Kedungwungu 01. Terdengar
sedikit berlebihan, tapi percaya atau tidak sebutan itu adalah doa saya bagi mereka.
Mereka adalah anak-anak yang secara tidak sengaja memberi warna baru dalam hidup
saya. Saya ingat betul bagaimana pertama kali saya masuk ke kelas enam. Kelasnya
terletak di sebelah gudang, sedikit gelap karena cahaya terhalang pohon bambu
belakang sekolah, ada sekitar tiga bagian langit-langit yang bolong, dan sarang laba-laba
di pojok kelas pun tak luput dari penglihatan saya. Ingat betul bagaimana tingkah
pemalu mereka saat pertama kali saya di dalam kelas, ingat pula pesan pertama saya
pada mereka.
Meskipun orang lain menyerah pada dirimu, maka pastikan kamu tidak pernah
menyerah pada dirimu sendiri. Pesan itulah yang pertama kali saya sampaikan pada
mereka. Saya menginginkan mereka untuk menjadi manusia yang tahu bahwa masa
depan ada pada usaha mereka sendiri. Setiap hal yang akan terjadi di masa depan
tergantung pada seberapa keras mereka berusaha saat ini.
Dua puluh lima hari bukanlah hari yang panjang untuk mengejar materi ujian
nasional mereka dan memang materi ujian bukanlah target saya dalam mengajar. Saya
yakin materi-materi ujian dapat dibahas oleh Bu Uli selaku wali kelasnya. Namun, target
saya adalah untuk menanamkan pemikiran bahwa pendidikan adalah suatu yang
penting dan menanamkan keberanian memiliki mimpi. Dua hal tersebut yang menjadi
target saya selama 25 hari mengajar di sana.
Lantas mengapa dua hal tersebut?
Pernahkah kita berpikir mengapa anak harus menyadari pentingnya pendidikan?
Pernahkah kita berpikir untuk mengubah seluruh generasi selanjutnya? Yap! Hal itu
yang menjadi target saya. Saat seorang anak mengetahui pentingnya pendidikan, maka
ketika dewasa ia akan menanamkan pentingnya pendidikan pada anaknya. Ketika
anaknya sudah dewasa, maka ia akan menanamkan kembali pentingnya pendidikan
pada anaknya pula dan seterusnya. Itu hanya perumpamaan untuk satu anak,
bagaimana jika satu kelas? Bagaimana jika satu sekolah? Bagaimana jika seluruh
Indonesia? Kita akan dapat membuat generasi yang lebih hebat lagi.

129
Membahas target kedua saya, yaitu memotivasi anak untuk berani bermimpi dan
mewujudkannya. Mereka adalah anak-anak yang belum merasakan sulitnya menggapai
mimpi ataupun mereka belum tahu sulitnya hidup di masa depan. Lalu, mengapa
mereka harus takut untuk membayangkannya? Mengapa mereka harus ragu untuk
memimpikannya?
Saya teringat suatu pagi. Hari itu seperti biasa saya melangkahkan kaki,
membangunkan daun-daun berhias embun, menanjak jalan berbatu, sambil menikmati
pemandangan gunung Slamet yang puncaknya dihiasi awan. Hari itu adalah hari ke
enam belas saya mengajar. Pelajaran pertama adalah agama islam, sehingga saya hanya
mengawasi anak-anak untuk mengikuti pelajaran dengan baik. Namun, dipertengahan
pelajaran ada seorang anak yang tidak mengerjakan tugas menuliskan ayat Al-Qur’an
kemudian ditegur oleh Bapak Akil (guru agama). Anak itu bernama Satrio, ia tampak
sangat muram dan seketika menjadi pendiam.
Saya mengakui Satrio memang anak yang memiliki daya tangkap yang kurang
dalam belajar khususnya matematika dan IPA, sehingga saya sering menghampiri
mejanya. Satu fakta yang saya baru ketahui saat itu adalah ternyata ia belum hafal
perkalian. Oleh karena itu, ia sulit untuk menyelesaikan tugas matematika.
Mengetahui kondisi Satrio yang seperti itu, saya memberitahukan ke Bu Uli
selaku walikelasnya.
“Bu Uli, tadi saya ke tempat duduknya Satrio. Ternyata dia belum hafal perkalian,
Bu.”
“Iya betul itu, ya mau gimana lagi ya, Pak. Gak mungkin kan saya fokus ke anak
itu aja. Nanti anak-anak yang lain ketinggalan dong. Saya udah angkat tangan ngajarin
Satrio,”jawab beliau.
Sebenarnya Bu Uli adalah guru yang sangat baik, ia tegas dan mengerti kondisi
anak-anaknya. Namun, beliau seringkali menggantikan guru di kelas 2 dan kelas 4,
sehingga ia tidak dapat maksimal mengajar di kelas enam.
Saya terdiam dan memikirkan perasaan Satrio apabila gurunya saja sudah
menyerah pada dirinya. Ia mungkin akan berhenti untuk belajar dan yang terburuk
adalah MENYERAH.
Siang itu langit berawan, mewakili hati saya yang sedih mendengar perkataan
dari Bu Uli. Di kelas, saya tak ingin Satrio atau siapapun terjebak dalam kesalahan dan
kegagalannya. Saya memulai kelas dengan motivasi ini.

130
“Sekarang tuliskan semua mimpi kalian di sebuah kertas setidaknya untuk
delapan hari sebelum Bapak pulang ke Jakarta,” Perintah saya untuk mereka.
“Tulis sebanyak-banyaknya, dan sejelas-jelasnya.”
Ini adalah metode yang saya pakai untuk memotivasi diri saya sendiri untuk
mencapai mimpi-mimpi saya. Saya menulis impian saya sebanyak-banyaknya dan
sejelas-jelasnya, contoh: Saya ingin punya mobil sendiri di umur 20 tahun, saya ingin
lulus kuliah dengan predikat cumlaude, dan masih banyak lagi. Tulisan semua mimpi-
mimpi saya ini akan menjadi motivasi saya untuk terus berusaha dan tidak menyerah
bagaimana halangannya.
Sepuluh menit mereka menuliskan mimpi-mimpi mereka. Ada yang terlihat
semangat menuliskannya, namun ada juga yang terlihat kebingungan.
“Sudah?” tanya saya pada para pejuang mimpi.
“Sudah, Pak!” jawab mereka.
“Baiklah, sekarang Bapak ingin kalian menyadari pentingnya mimpi. Mimpi ini
adalah tujuan hidup kalian. Ini adalah suatu yang penting untuk menjalani hidup ke
depannya. Semua mimpi yang sudah kalian tulis akan menggambarkan kalian nantinya.
Orang yang sukses adalah orang yang memiliki banyak mimpi dan usaha yang besar.
Satu hal yang harus kalian tahu juga, gagal bukanlah suatu hal yang buruk.”.

Apabila kalian gagal, maka bangkitlah! Apabila kalian gagal lagi, maka bangkitlah!
Bangkitlah sampai gagal lelah menghampiri kalian!

Setelah motivasi tersebut saya meminta untuk setiap anak menempel mimpi-
mimpi yang mereka sudah tulis di tembok kelas. Saya melihat Satrio mulai bersemangat
kembali. Saat pembelajaran berlangsung ia sering menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang saya lontarkan, walau mayoritas jawabannya salah. Tapi, saya merasa sangat
bahagia, ia mengerti bahwa gagal adalah hal yang biasa dalam setiap pembelajaran.
Hari terus berlalu, mereka semua 25 anak pejuang mimpi sudah menjadi anak
saya sendiri. Mereka menjadi bagian yang tidak akan terpisahkan dalam hidup saya.
Cerita di atas adalah sebagian kecil dari cerita luar biasa selama saya berada di kelas
enam SDN Kedungwungu 01. Selama 25 hari berada bersama mereka, saya sendiri
mendapat banyak pembelajaran tentang kedewasaan, mandiri, mimpi, dan arti dari
mensyukuri nikmat.

131
Mereka semua adalah anak-anak penuh bakat yang tidak akan pernah saya
lupakan selamanya. Bukanlah perpisahan yang membuat saya sedih, namun yang akan
membuat saya sedih apabila perpisahan ini tidak membuat sebuah perbedaan, baik
pada mereka maupun diri saya. Pada awalnya, saya tidak pernah mengira sekuat ini
ikatan yang ternyata terbentuk antara saya dengan mereka. Saya teringat sebuah
perkataan alumni GUIM Angkatan ke 3, Kak Ayu, bahwa yang akan tersisa setelah
pulang hanyalah rasa rindu dan penyesalan.
Lalu perkataan itu akhirnya terbukti, penyesalan terbesar saya adalah ketika
saya tidak sempat mengucapkan terima kasih pada semuanya. Terima kasih atas segala
memori yang indah yang telah kita lalui bersama. Terima kasih telah membuat cerita
hidup saya ini menjadi lebih sempurna. Terima kasih telah menyadarkan saya pada rasa
syukur pada pemilik semesta. Terima kasih pada semua keluarga tercinta titik tiga.
Terima kasih karena tanpa 25 hari itu saya tidak akan menjadi manusia yang lebih
dewasa.
Akhirnya, hidup harus terus berlanjut. Kalian semua adalah keluarga saya.
Walaupun kita mulai melangkah kaki saling menjauh untuk mengejar impian masing-
masing. Namun, ingatlah kawan, ingatlah anak-anakku, kita semua punya rumah yang
sama untuk kembali. Keluarga titik tiga Kedungwungu.

132
PELANGI DI SAYAP TEGAL
Safira Karunia

133
Pelangi di Sayap Tegal
Safira Karunia Rahma

Pagi itu terasa berbeda; yang biasanya saya harus dibangunkan oleh alarm jam
dengan volume paling kencang atau harus diteriaki oleh ibu, tidak terjadi pada hari itu.
Ya, kali ini yang membangunkan saya bukan alarm bukan pula ibu, tapi udara pagi yang
begitu dingin hingga membuat saya terbangun. Saya sadar ketika itu saya bukan lagi di
kamar kost ataupun di rumah, tapi saya berada di Desa Traju, Tegal. Desa yang letaknya
sekitar tujuh kilometer dari kota dengan jalan naik turun dan berbatu, dikelilingi pohon
bambu yang tinggi, jurang yang cukup curam, namun memiliki suhu dan pemandangan
yang menyejukkan hati. Saya pun sadar bahwa waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba.
Hari itu adalah awal pertama saya menaruh benih aksi di Desa Traju khususnya di SDN
Traju 03. Bukan hanya saya, tapi kami, para pengajar dan juga panitia.
Saya bersiap untuk berangkat ke sekolah dasar yang letaknya tidak jauh dari
rumah. Hari itu awal perkenalan saya dengan anak-anak, guru-guru, dan juga warga
sekitar. Ketika saya dan pengajar lain datang ke sekolah, sebagian anak menghampiri,
namun sebagian lagi masih asyik bermain karet, bermain engklek atau mereka
menyebutnya dengan jangkaran, ada juga anak yang terlihat masih malu-malu ketika
kami hampiri. Waktu menunjukkan pukul setengah 8, namun bel belum juga berbunyi
dan guru-guru pun belum ada yang tiba disekolah. Hingga pukul setengah 8 lebih, baru
ada satu guru yang datang. Beliau menggunakan motor dan parkir di dalam sekolah.
Ya, memang seperti itu budaya di SDN Traju 3. Jadwal pelajaran tidak sesuai
dengan yang sudah ada. Jadwal istirahat juga berbeda antara kelas 3, 4, 5, dan 6. Ruang
kelas 1 dan kelas 2 digunakan secara bergantian. Bukan hanya ruang kelasnya, namun
guru mereka juga bergantian karena selain kekurangan ruangan, SD ini juga kekurangan
guru. Bahkan, guru yang sudah PNS hanya 3 orang, 2 wali kelas, dan 1 kepala sekolah.
Sungguh miris. Entah apa yang membuatnya begitu berbeda dengan SDN 01 atau SDN
02 Traju. Sempat suatu hari, guru wali kelas 1 dan wali kelas 6 bercerita kepada saya,
beliau mengatakan bahwa pemerintah kurang memperhatikan Traju 03 ini dan guru-
guru yang sudah PNS di sini selalu dipindahkan ke sekolah lain dan tidak diberi guru
pengganti, sehingga untuk tenaga pengajar di sekolah ini sangatlah kurang sedangkan
jumlah siswa-siswinya lumayan banyak, yaitu sekitar 154 orang. Bayangkan, bagaimana
jika anak-anak sebanyak itu tidak bisa sekolah hanya karena tenaga pengajar yang tidak

134
ada. Sungguh sangat disayangkan. Padahal melihat semangat anak-anak yang sangat
tinggi hingga selalu datang pagi setiap hari bahkan lebih pagi dari guru dan juga kami
para pengajar.
***
Saya menjalani rutinitas selama 3 minggu disana dengan senang hati. Mengajar
hingga jam 10, bermain dengan anak-anak, melakukan kunjungan ke rumah murid,
bercengkrama dengan keluarga dan malamnya rapat dengan panitia. Ya, rutinitas yang
sederhana namun sangat bermakna dan memiliki cerita tersendiri setiap harinya. Salah
satu hal yang membuat saya bangga kepada anak-anak disana. Mereka tidak
menghiraukan seberapa sulit jalan yang harus mereka lalui untuk ke sekolah. Jalan licin
menanjak, bertanah, berbatu, belum lagi jarak yang harus mereka tempuh cukup jauh.
Saya mendapat amanah untuk mengajar kelas 1 di SDN Traju 03, yang didaftar
absen berjumlah 25 orang. Namun, ternyata ada 2 orang yang sudah tidak sekolah di
sana lagi. Alhasil murid saya berjumlah 23 orang. Seperti anak kelas 1 pada umumnya,
mereka sangat aktif dan bersemangat. Mereka mudah bosan dan selalu ingin bermain.
Hampir semua anak mengacungkan tangannya ketika diminta untuk menjawab atau
hanya sekedar memimpin ice breaking di depan kelas. Tidak jarang mereka sampai naik
ke atas meja agar ditunjuk oleh saya. Mereka memiliki keinginan untuk belajar yang
tinggi, namun terkadang mereka kurang percaya diri. Sebagian besar dari mereka
belum bisa membaca, bahkan masih ada yang belum lancar mengenal huruf dan angka.
Ketika diminta untuk mengerjakan soal, beberapa dari mereka seringmengatakan:
“aku ora pinter, Bu” (saya tidak pandai, Bu) atau
“aku ora isa, Bu” (saya tidak bisa, Bu)
Maka dari itu, saya memberikan jargon untuk Kelas 1 “Aku…… Pasti…. Bisa…..”. Hanya
dengan jargon yang sederhana tersebut mampu membangun kepercayaan diri mereka.
Terbukti ketika memasuki minggu kedua mereka sudah lebih berani, mereka berani
mengerjakan latihan yang saya berikan tanpa mengeluh aku ora pinter atau aku ora isa.
Salah satu rutinitas yang saya lakukan selanjutnya adalah kunjungan rumah atau
home visit. Melalui home visit ini saya mendapat banyak sekali pelajaran. Bukan hanya
pelajaran untuk memahami anak tapi juga pelajaran bagi saya pribadi. Saya membuat
daftar nama anak yang akan dikunjungi selama dua minggu setiap harinya. Terlebih
karena kelas 1 pulang lebih cepat dari kelas lain sehingga saya memiliki lebih banyak
waktu untuk bermain dengan anak-anak diluar kelas dan melakukan home visit lebih

135
awal. Ketika melakukan home visit pun anak-anak sering mengantarkan saya dan
panitia. Biasanya kami belajar bersama disana. Di perjalanan kami bercengkrama
sembari bernyanyi-nyanyi. Ya, begitulah mereka tidak pernah lelah dan selalu
bersemangat. Bahkan tidak jarang saya harus meminta mereka untuk pulang dan
melanjutkan belajarnya esok hari karena mereka masih ingin belajar bersama.
Ketika home visit kebanggaan saya kepada anak-anak, khususnya anak kelas 1,
semakin bertambah. Rasanya saya malu untuk mengeluh lelah kuliah, mau beli ini itu,
pilih-pilih makanan atau kesal sama orangtua karena hal sepele. Mereka di sana tidak
pernah mengeluh karena belum memiliki LKS, uang jajan seadanya, tinggal tidak
dengan orangtua, bahkan banyak anak yang untuk makan saja susah. Ketika saya tanya
kenapa belum sarapan kebanyakan dari mereka menjawab
“ora eneng sega, Bu” (tidak ada nasi, Bu) atau
“ora eneng lauk, Bu” (tidak ada lauk, Bu)
Ketika itu saya hanya terdiam dan sedih mendengarnya. Untuk makan saja
mereka susah apalagi untuk kebutuhan lainnya. Tidak jarang juga ada anak yang sakit
perut disekolah karena belum sarapan.
Ada juga beberapa anak yang tinggal tidak dengan orang tuanya. Mereka hanya
tinggal bersama neneknya yang sudah tua bahkan sakit-sakitan. Ketika ditanya orang
tuanya di mana, kebanyakan dari mereka menjawab ibunya sedang bekerja diluar kota
dan bapaknya entah kemana. Bahkan ada anak yang belum pernah bertemu dengan
bapaknya sama sekali. Ada juga orangtua yang memberikan label kepada anaknya
secara langsung sebagai anak yang lamban, bodoh, nakal dan sebagainya, bahkan
dengan kata-kata kasar.
Ada satu anak bernama Zaenal. Ia tinggal di rumah yang sangat sederhana
dengan lantai yang masih beralaskan tanah. Ia adalah anak yang sangat aktif di kelas
dan juga sering diberikan label sebagai anak yang nakal. Bahkan, setiap ibunya bertemu
dengan saya yang ditanya pertama kali adalah: “anak saya nakal nggak, Mbak, di
sekolah?”
Suatu hari, saya sedang bermain Donald bebek versi Traju bersama beberapa
anak kelas 1 di depan sekolah, salah satunya adalah Zaenal. Tiba-tiba hujan turun
dengan deras, kemudian saya dan anak-anak berlari ke depan rumah panitia untuk
meneduh. Namun, tidak dengan Zaenal, ia lari keluar menerjang hujan yang cukup
deras itu.

136
“Zaenal, mau apa? Jangan hujan-hujanan” tanya saya dengan suara yang cukup
kencang.
Apa yang ia lakukan? Ternyata di seberang ada ibu-ibu yang sedang membawa
kayu bakar dan terlihat keberatan hingga tidak mampu mengangkat ikatan kayu
tersebut. Zaenal lari membantu ibu tersebut mengangkat kayu. Saya pun bergegas ikut
berlari membantu ibu tersebut. Ternyata bukan hanya saya dan Zaenal tapi semua anak
kelas 1 yang sedang meneduh keluar dan ikut membantu ibu itu bersama-sama
mengangkat kayu sambil bernyanyi lagu “tolong-menolong”. Lagu yang saya ciptakan
bersama Bu Anggun, pengajar kelas 2. Baju kami basah karena terkena cipratan hujan
yang turun. Sungguh, hari itu membuat saya semakin bangga kepada mereka terlebih
kepada Zaenal. Anak yang disebut sebagai anak yang nakal ternyata hatinya begitu
mulia.
Mereka selalu membuat hari-hari saya berwarna. Sehari sebelum saya kembali
ke Jakarta, mereka mengumpulkan uang masing-masing sebesar 5000 untuk diberikan
kepada saya.
“Ini uang untuk apa?” tanya saya.
“Ini uang untuk Ibu. Ibu kan besok mau pulang ke Jakarta. Terima kasih, Bu,
karena Ibu sudah mengajari kami di sini,” jawab Nisa ,salah satu siswi kelas 1.
“Tidak usah. Uangnya buat kalian saja buat jajan atau ditabung.”
“Nggak, Bu. Ini buat Ibu. Aku sayang sama Ibu. Ibu jangan pulang.”
Berkali-kali saya dipaksa untuk menerima uang tersebut sampai sampai mereka
menyelipkan uang tersebut di kantong yang ada dibaju saya
“Tidak usah. Ibu hanya ingin kalian rajin belajar supaya pintar. Nanti kalau kalian
sudah besar sudah jadi guru, polisi, tentara, dokter, TNI, pilot, petani sukses terus Ibu
kesini lagi baru boleh nraktir Ibu, ya,” sambil mengembalikan uang yang mereka kasih
dan saya peluk mereka semua.
Tanpa sadar mata saya berkaca-kaca. Terharu karena mereka dengan sukarela
menyisihkan uang jajannya untuk memberikan sesuatu kepada saya padahal untuk beli
LKS atau sekedar untuk jajan saja belum tentu ada uang.
Tawa, canda, dan tangisan sederhana dari mereka sungguh mengukir cerita baru
dalam hidup saya. Mereka tidak perlu barang mewah, kendaraan mewah, atau apapun
yang serba mewah. Mereka hanya perlu kasih sayang, dengan mengajak mereka
bermain dan belajar bersama itu sudah membuat mereka bahagia. Tawa mereka itu

137
tulus dan jujur. Tidak terlihat sama sekali kesedihan yang mereka rasakan. Setiap
pertemuan pasti akan ada perpisahan, tidak terasa 25 hari itu sudah berlalu. Terima
kasih para pejuang cilik Bu Fira. Semoga kita dapat bertemu lagi.

138
RUTINITAS DALAM
REALITAS
Mutiara Aisha

139
Rutinitas dalam Realitas
Mutiara Aisha Maghfira

Masih lekat dalam ingatan tentang teriknya matahari siang dan malam berawan
menemani ritme kehidupan saya selama tiga minggu di Desa Rangimulya, Kecamatan
Warureja, Kabupaten Tegal. Sulit bagi saya untuk tidak merindukan agenda rutin yang
biasa saya lalui setiap harinya, bahkan hingga ke hal-hal yang terkadang saya keluhkan
ternyata mengisi ruang cukup besar dalam hati saya. Segalanya terasa hangat, sehangat
penerimaan warga desa terhadap saya dan teman-teman. Sehangat segelas susu kental
manis yang biasa saya nikmati sebagai pembuka pagi.
Saya biasa memulai hari dengan makan bersama ibu asuh dan kedua adik asuh
saya, sebelum sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hidangan yang tersaji pun
sederhana, tetapi saya menikmatinya. Saya selalu sukses menghabiskan porsi makan
cukup besar selama di sana. Nasi yang berasal dari beras langsung dipanen dari sawah
jauh lebih membuat lahap karena tanpa harus melewati proses pendistribusian.
Ibu asuh saya sehari-hari tandur (menanam padi), sehingga saat matahari belum
sampai ke peraduannya pun beliau sudah bersiap meninggalkan rumah. Di Desa
Rangimulya, kebanyakan warganya bekerja di sawah, termasuk para ibu-ibu yang turut
serta membantu perekonomian keluarga dengan penghasilan seadanya. Ada satu hal
yang menggelitik bagi saya, ibu-ibu tersebut diberikan sejumlah uang terlebih dahulu
pada bulan sebelumnya, kemudian mereka mengganti uang tersebut dengan menanam
padi di hari-hari tertentu pada bulan berikutnya, sesuai jadwal yang sudah ditentukan
sebelumnya. Ibu-ibu yang menanam padi diberi upah oleh pemilik sawah, sebesar
Rp40.000−Rp50.000 dikalikan dengan jumlah hari. Dengan sistem semacam itu, bila ada
seorang ibu yang berhalangan ke sawah untuk tandur pada jadwalnya, beliau harus
mengganti uang yang telah diberikan sejumlah hari yang beliau tinggalkan. Hal tersebut
membuat saya teringat dengan puisi Perempuan-Perempuan Perkasa karya Hartoyo
Andangdjaja, yang menjadi puisi wajib dalam buku Bahasa Indonesia semasa saya masih
sekolah. Mereka memang benar ada.
Sementara induk semang saya ke sawah, saya pun tak kalah dan bersiap ke
sekolah. Jarak dari tempat saya tinggal sementara dengan sekolah cukup jauh, sekitar
15−20 menit berjalan kaki. Saya harus membiasakan diri untuk berjalan kaki, ditemani

140
berbagai kotoran hewan ternak di sepanjang jalan yang berbatu. Sudah menjadi
pemandangan umum pula bagi saya ketika melihat salah seorang warga sedang asyik
buang air besar di kali dekat sawah atau di got depan halaman rumah. Masalah sanitasi
menjadi salah satu masalah yang belum menemukan titik terang di desa ini.
Kebanyakan warga belum memiliki wc yang layak di rumah masing-masing karena
belum muncul kesadaran dalam diri setiap warganya mengenai perilaku hidup bersih
dan sehat.
Sambutan anak-anak yang langsung menggandeng tangan saya begitu saya
menampakkan diri di gerbang sekolah menjadi hal wajib yang selalu saya dapatkan.
Saya bergegas mengganti sandal jepit dengan sepatu pantofel untuk mengajar,
kemudian menghampiri murid-murid saya yang bersedia menanti di depan kantor guru,
diikuti dengan nada khas mereka yang mengajak saya untuk masuk ke kelas. Anak-anak
didik saya itu yang menjadi penyemangat saya untuk mempersiapkan diri, materi, dan
media pembelajaran sebaik mungkin. Mereka yang menjadi alasan saya untuk memutar
otak setiap harinya. Mereka membuat saya memikirkan cara yang menyenangkan agar
materi tersampaikan, juga menemukan pendekatan yang sesuai untuk masing-masing
anak. Mereka juga yang menjadi sebab di balik berbagai nyanyian dan tepukan yang
saya ciptakan, agar mereka tidak lagi menganggap bahwa kegiatan belajar-mengajar
sebagai sebuah beban dan tidak membosankan.
Mengajar dari pagi hingga tengah hari saya lewati tanpa terasa. Memerhatikan
setiap pola tingkah laku anak-anak didik saya yang berulah setiap harinya. Selalu ada
hal unik yang saya temukan dari mereka, yang tak jarang membuat saya menggelengkan
kepala, menangis kesal atau malah tertawa terbahak-bahak. Kegiatan rutin mengajar
dilanjutkan dengan kunjungan ke rumah anak didik. Awalnya, saya merasa bahwa
kunjungan rumah hanya sebagai kewajiban normatif, tetapi lambat laun saya merasa
bahwa hal tersebut menjadi kebutuhan bagi saya untuk mengenal murid-murid saya
lebih dekat. Saya belajar bahwa setiap anak adalah individu yang unik dan utuh dengan
segala potensi yang bisa mereka wujudkan. Selalu ada alasan yang harus ditemukan
sebelum mengambil kesimpulan tentang seseorang atau sesuatu. Saya memelajari hal
tersebut dari kisah yang saya dapatkan saat kunjungan rumah murid dan mencari
benang merah pada pola perilaku mereka saat di sekolah.
Dari kunjungan rumah tersebut, lebih banyak lagi yang saya ketahui tentang
anak-anak didik saya, yang tidak bisa saya dapatkan hanya dari observasi selama di

141
kelas. Saya mengenal murid-murid saya satu persatu dengan mengenal latar belakang
keluarganya, kondisi sosial-ekonomi, dan cerita-cerita lain yang mendasari
kemampuan, minat, dan perilaku yang mereka tampilkan dalam kelas. Saya masih ingat
wajah mereka yang berseri ketika saya berkata, “hari ini Ibu ke rumah kamu, ya!” Kulit
yang terasa panas terbakar matahari pun tidak lantas meredupkan semangat saya
untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap anak di kelas, dengan
mengunjungi rumah mereka satu persatu.
Sore hingga malam hari biasa saya lalui di forum pengajar sebagai tempat
berbagi, evaluasi, dan diskusi. Senang rasanya memiliki teman-teman seperjuangan
yang memiliki tujuan yang kurang lebih sama. Teman berbagi mimpi tanpa jemu,
walaupun terkadang semu. Saya menutup hari dengan berbincang sebentar dengan
keluarga asuh, mempersiapkan media pembelajaran, kemudian beristirahat. Tidur
menjadi salah satu aktivitas menyenangkan untuk memulihkan energi setelah menjalani
hari yang panjang dan melelahkan.
Rutinitas semacam itu yang selama ini saya lakukan ketika berada di Desa
Rangimulya. Kebiasaan yang cenderung monoton, tetapi saya selalu melewatinya
dengan suka cita hingga berakhir periode aksi mengajar di sana. Hal lain yang juga
mengejutkan bahwa dua hari terakhir saya berada di sana. Saya menangis, merasa berat
hati untuk meninggalkan atmosfer sosial di desa dengan segala keterbatasan dan
tuntutan yang ada. Tidak benar bila dikatakan bahwa tidak terbersit keluh selama saya
berada di sana. Saya pernah mengalami dua hari terburuk saya selama mengajar di
minggu kedua. Demotivasi dan homesick menjadi faktor utama.
Namun, 23 hari sisanya saya jalani dengan senang hati. Saya merasa bahwa tidak
memiliki waktu yang banyak, tetapi masih banyak yang harus saya berikan untuk anak-
anak didik saya. Membantu mereka mewujudkan versi terbaik dari diri mereka.
Memberi inspirasi bahwa tidak pernah ada mimpi yang terlalu tinggi. Hal-hal yang saya
lakukan setiap harinya, saya persembahkan dengan cantik untuk anak-anak didik kelas
satu SDN Rangimulya, untuk mencapai tujuan saya selama berada di sana. Hal tersebut
yang selalu saya tanamkan dalam diri saya berulang-ulang kali dan berhasil
mengantarkan saya untuk memetik hasil dari segala bentuk proses yang menguatkan.
Di sisi lain, ada hal yang mengganggu pikiran saya tentang kegiatan yang biasa
saya jalani setiap hari, di luar dari ketika mengikuti kegiatan Gerakan UI Mengajar.
Rutinitas terkadang dimaknai sebagai bentuk aktivitas monoton yang harus dihadapi

142
setiap harinya dalam hidup, yang tak jarang dikaitkan dengan munculnya kebosanan,
bahkan stagnasi. Rutinitas sering disalahartikan dengan sesuatu yang memberatkan dan
tak ayal memunculkan keluh bagi yang memikulnya. Rutinitas dalam kenyataannya
dikenal sebagai beban yang diulangi setiap hari dan sebagai pelipurnya, disediakanlah
liburan semester atau masa cuti yang boleh diambil para pekerja. Mengapa terkadang
kita bisa sampai pada titik jenuh pada aktivitas yang biasa kita temui sehari-hari atau
bahkan yang terparah bisa mencapai depresi? Padahal, bukankah hal-hal yang saya lalui
selama 25 hari menjadi pengajar juga merupakan bentuk lain dari rutinitas, tetapi
mengapa saya menyikapinya dengan berbeda?
Saya mengulang kembali ingatan saya selama menjadi warga Desa Rangimulya
dalam satu kesatuan, seperti sebuah cerita. Lalu, saya tersadar untuk memikirkan
rutinitas dalam hidup seperti sebuah cerita. Dalam kata lain, cerita adalah yang kita
gunakan untuk memaknai hidup kita secara sederhana. Sesederhana saya memberi
makna pada cerita tentang pengalaman saya mengajar di desa selama 25 hari sebagai
sebuah kisah yang dapat saya bagikan. Rutinitas akan lebih berarti ketika kita
memaknainya dengan sederhana, tentang melihat rutinitas sebagai bentuk manifestasi
akan tujuan hidup. Hal yang bermakna dimulai dari kesadaran diri untuk selalu
bersyukur, mengingat alasan di balik apa yang sedang kita perjuangkan saat ini, proses
seperti apa yang bisa kita lalui, dan pencapaian apa yang bisa kita realisasikan. Saya
meyakini bahwa kita selalu mampu untuk menjadikan elemen dalam rutinitas kita
sebagai suatu hal yang berharga agar kita tidak lagi menganggap bahwa rutinitas dalam
realitas sebagai momok yang menakutkan, melainkan sebagai jembatan untuk hidup
atas Yang Maha Hidup dan memaknai hidup penuh cinta, seperti rutinitas 25 hari penuh
cinta yang saya kemas untuk anak-anak didik saya di SDN Rangimulya.

143
SANG PEMILIK KEBAIKAN
Anggun Frida

144
Sang Pemilik Kebaikan
Anggun Frida

Apa yang akan kamu lakukan ketika ditanya, siapakah kamu? Mungkin sebagian
akan dengan sederhana menyebutkan namanya, ada yang hanya tersenyum, ada yang
mati-matian menjelaskan, dan ada juga yang bingung menjawab hingga balik bertanya,
kamu siapa?
Persis seperti saya.
Sore itu, ekor mata saya menangkap senyum malu-malu mereka. Pelan-pelan
mereka mendekat. Memperkenalkan wajah baru, seakan bersiap untuk menggoreskan
warna di 24 hari saya berikutnya. Di tengah-tengah bisik ramai, seorang anak memutus
saya dari lamunan. Tiba-tiba ia berkata, “Mbak, arane rika sapa?” Hey, saya perlu
berterima kasih padanya telah menyelamatkan saya dari kekikukan tak berujung.
Meskipun begitu, jawaban saya tetap, “kamu siapa?”
Selanjutnya ia berkata, “Mbak, bisa main jangkar?” Saya terselamatkan lagi.
Ada yang bilang tiga menit pertama sebuah pertemuan merupakan menit yang
kritis karena di sana masing-masing orang akan menilai siapa lawan bicaranya dan
membuat kesan. Dan kesan saya untuknya, Penyelamat.
Tiga menit berikutnya? Saya sudah berada di tengah lapangan, berbaur bermain
jangkar. Hey! Saya pernah memainkan permainan ini. Kamu juga pasti pernah
memainkan permainan dengan petak-petak yang kamu gambar di sebuah tanah lapang
dan batu yang dilempar sebagai medianya, kan? Seakan diingatkan kembali dengan
sesuatu yang telah lama hilang, saya tiba-tiba merasa iri. Bila kamu berada di tempat
saya berdiri saat itu, kamu akan menyadari betapa cepatnya masa kecilmu berakhir,
tanpa sempat kamu nikmati lebih lama lagi.
Hari-hari berikutnya, ia sering berada setidaknya lima langkah dari tempat saya
berdiri. Selalu menyenangkan berbincang dengannya. Dalam sudut pandangnya, hal-hal
sederhana berubah menjadi keajaiban. Benar adanya, jika orang dewasa hanya tahu
tujuh keajaiban dunia, maka anak-anak tahu hingga tujuh miliar. Mulai dari sarang
burung di pohon, kali yang kering, jalan yang baru saja diaspal, hingga kebiasaan potong
kuku di hari Jumat, semua menjadi topik yang menyenangkan bila dibincangkan

145
dengannya. Berbicara dengannya membuat saya teringat bahwa selalu ada alasan untuk
bersyukur. Selalu ada alasan untuk menghargai apa yang ada di sekitarmu.
Suatu hari ia menceritakan mimpinya sebagai dokter hewan. Ketika ditanya
mengenai cita-cita, anak laki-laki di kelas dua pada umumnya bercita-cita menjadi polisi
atau tentara, hanya ia yang membuat perbedaan itu. Mendengar mimpinya,
celotehannya tentang codot, kambing, bajing, tonggeret, dan serangga-serangga lainnya
yang saya sendiri lupa namanya, tiba-tiba terputar kembali di ingatan. Tertegun, bahkan
di usianya yang baru 10 tahun, ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Dulu, di usia 10
tahun, saya bahkan bercita-cita menjadi arsitek tanpa pernah tahu apa itu arsitek.
Mulai saat itu, saya kerap kali menyebutnya Bapak Dokter Hewan.
Usianya 10 tahun, di kelas dua ini.
Ya, dia pernah tinggal kelas.
Ketika saya bertemu dengan ibunya, beliau bertanya, “anak saya sering bandel
ya, Mbak, di kelas?”
Tentu saja saya jawab tidak, terlebih lagi ia sering membantu saya. Menemani
saya ke rumah-rumah murid contohnya.
Bukan hanya ibunya, bahkan para ibu lainnya pun ikut bertanya mengenai
dirinya, “Mbak, dia sering dihukum gak, Mbak, kalau di kelas?”.
Beberapa ibu lebih suka berdiskusi mengenai si Calon Dokter Hewan dibanding
mendiskusikan perkembangan anak kandungnya.
Teman-temannya?
Hampir setiap hari saya mendapat laporan, “Bu! Dia nakal!” Sambil menunjuk si
Calon Dokter Hewan.
Dia nakal.
Dia Bandel.
Dia sering dihukum.
Bila kamu bertanya pada seseorang mengenai dirinya, hampir pasti jawabannya
adalah tiga hal diatas. Hal ini sudah pernah saya coba, hingga ke dua desa lainnya.

Suatu sore, saya melihatnya dengan seekor kucing yang bersimpuh tak berdaya.
“Kucingnya kenapa?” Tanya seorang teman yang berjalan bersama saya.
“Lumpuh.” Jawabnya

146
Celaka, teman saya tersebut pecinta kucing, sontak ia langsung mengamankan
kucing tersebut dengan sedikit memekik mengasihani si kucing.
Alhasil?
Warga ikut-ikutan mengasihani si kucing, ramai bertanya apa yang terjadi.
Mereka mulai mencari siapa pelakunya. Dengan pekik jengkel, mereka mulai
menyalahkan si Calon Dokter Hewan.
si Calon Dokter Hewan?
Entah kemana, saya baru sadar wajahnya menghilang di balik keramaian.
saya bersyukur ia pergi, setidaknya ia tidak perlu mendengar semuanya.
Malam harinya, dengan sayup-sayup suara pengajian sebagai latar, saya
bertemu lagi dengan si Calon Dokter Hewan di musala.
“Hey, tadi kucingnya diapakan? Kasian loh kucingnya sudah mati sekarang, besok
tidak boleh begitu lagi sama hewan, ya.” kata saya berusaha memberi nasehat layaknya
seorang pengajar.
“Kucingnya sudah mati?” Tanyanya dengan mimik yang sulit ditebak.
“Iya, sudah mati.”
“Tadi kucingnya di jalan tiduran, terus saya angkat, dia lumpuh. Sepertinya
terlindas.” Begitu jawabnya.
Hey.
Ternyata saya sama saja dengan mereka.
Manusia, betapapun baiknya ia, bila sedikit saja berbuat salah, entah kemana
kebaikannya terlupa.
Dan saya, sama saja dengan mereka.
Lupa.
Rupanya, dia masih penyelamat.
Adalah benar, bahwa kebaikan tidak selalu berbentuk sesuatu yang terlihat.
Banyak sesuatu yang terlihat, tetapi sejatinya bukan demikian kelihatannya.
Dan yang kamu dengar? Belum tentu benar.
Ada baiknya, kita sama-sama mengingat nasehat lama.
Bahwa jangan menilai sebuah buku sebelum membacanya sampai habis, jangan
bilang tidak suka pada makanan sebelum merasakannya. Jangan. Bisa jadi kamu
menyesal telah melewatkan hal hebat.

147
Begitu pula dengan menilai orang lain. Jangan pernah menilainya sebelum kamu
mengenal dekat dengannya. Atau minimal, mendengarkan ceritanya.
Karena hidup dalam kesalahpahaman itu tidak pernah menyenangkan. Lihatlah
awan hitam, ia kerap kali disalahkan. Disangka akan menurunkan hujan. Padahal tidak!
Dia hanya lewat sebentar, menjagamu dari teriknya matahari. Ia menyelamatkanmu.
Mendengar apa yang diceritakan si Calon Dokter Hewan, saya tak ingin diam.
Seperti langit yang bergemuruh ketika menyaksikan awan hitam disalahkan.
Tapi apa yang bisa dilakukan langit, jika ia terus bergemuruh? Awan hitam akan
semakin disalahkan jika langit memanggil petir? Ah! Bisa dipastikan manusia akan
semakin mengutuk awan hitam sambil berlarian mengangkat jemuran.
Jadi, yang dilakukan langit, hanyalah meyakinkan awan hitam, bahwa ia tak
salah. Sebab, bila awan hitam percaya bahwa ia salah, ia akan bersedih. Hingga turun
hujan.

H-3 kepulangan.
Saya memberanikan diri untuk bertanya. Kala itu, kami berbincang layaknya
awan hitam dan langit ditemani pelangi. Kenapa ada pelangi? Karena kebetulan kami
duduk di bawah lukisan pelangi.
“Menurut kamu, kamu nakal, nggak?” itu pertanyaan pembuka.
“Nggak tau.”
“Menurut Ibu, enggak”
Dan dia mulai menunduk sembari mengendikkan bahu.
“Sedih gak kalau dibilang nakal?”
“Sedih.”
Mulai mendung.
“Dirumah kalau nakal diapain?”
“Dimarahi.” Ia masih bisa menjawab.
“Dipukul gak?”
“Dijewer”
“Sakit?”
“Sakit.”
“Memangnya salah apa sampai dijewer?”
“Disuruh beli rokok, tapi baliknya kelamaan, jadinya dijewer sama Bapak.”

148
“Kenapa baliknya kelamaan?”
“Karena nungguin yang jualan rokok pergi. Kalau pulang gakbawa rokok takut
dimarahi.”
“Kalau sama ibu pernah dijewer juga?”
“Pernah, waktu itu saya jatuh dari pohon melinjo tinggiiiii sekali pohonnya.”
“Ngapain naik pohon melinjo?”
“Ngambilin daun melinjo buat ibu”
“Kalau di sekolah pernah dimarahi?”
“Baru saja tadi dimarahi, katanya enak-enakan gak olahraga.”
“Memangnya kenapa gak olahraga?”
“Pinggangnya sakit, habis dipukul anak kelas empat”
“Terus kalau dimarahi, diam saja?”
“Nangis.”
Oh, ternyata awan hitam ini sudah menurunkan hujan. Maka sebisa mungkin saya
meyakinkannya bahwa ia tidak salah. Berkali-kali ia ditanya “Jadi sekarang kalau Ibu
guru tanya, kamu nakal atau tidak jawabnya apa?”
“Gaktau.”
Tiga kali saya tanya, jawabnya pun demikian.
Pertanyaan keempat, masih pertanyaan yang sama. Tapi jawabannya kali ini
adalah sebuah pertanyaan juga. “Bu Anggun, pulangnya kapan?” Saya tertegun. Padahal
ia sudah tahu jawabannya. Ada yang pernah bilang, bahwa pertanyaan kapan pulang
adalah isyarat kekhawatiran.
“Bu Anggun, jangan pulang.” Ia menangis.
Tapi saya harus pulang.
“Jadi, sekarang kalau ditanya kamu nakal atau tidak jawabnya apa?”
“Tidak nakal. Tapi Bu Anggun jangan pulang.” Katanya sambil menatap ke atas.
Kini, saya yang mendung.

Di hari kepulangan, ketika saya menumpang sholat di sebuah kamar, saya


melihat potret diri bersanding dengan tulisan tangan saya. Tertempel di dinding. Dari
mana seseorang dapat foto itu?
Kemudian saya melihat sebuah boneka kertas yang pernah saya berikan pada
seorang anak, di belakangnya terdapat tulisan penuh coretan.

149
Kurang lebih seperti ini tulisannya. “Terimakasih Bu Anggun, ini yang buat surat
Fadil.”
Rupanya ini adalah kamarnya si Calon Dokter Hewan, di rumah kakeknya.
Suratnya? Tak pernah ia berikan. Ia bilang, ia malu tulisannya berantakan.
Mari sayaperkenalkan, namanya Sohibul Fadhilah. Dia tidak nakal.
Kamu mau tahu arti namanya?
Dalam bahasa arab itu berarti sang pemilik kebaikan. Setidaknya, itu yang google
translate katakan.
Dia anak yang baik.
Senang bisa mengenalnya.

150
HARUSNYA KAMI YANG
MENGABDI
Oscar M. Ramadhan

151
Harusnya, Kami yang Mengabdi

Oscar M. Ramadhan

“Ada, Mas. Dulu mahasiswa suka ngajar ibu-ibu di sini baca sama tulis.”
“Dulu, sih, kegiatannya ngasih penyuluhan ke petani-petani.”
“Kalau yang ngajar anak SD juga ada.”
Begitu ucapan warga ketika saya bertanya mengenai mahasiswa yang pernah
datang ke Desa Traju. Pikiranku selalu penuh setiap mendengar celotehan tersebut.
Kedatangan rombongan orang asing seperti kami memang bukanlah hal baru bagi
mereka. Desa Traju kerap beberapa kali mendapatkan tamu mahasiswa yang sedang
melaksanakan KKN. Tak heran, istilah KKN pun kerap disematkan oleh warga kepada
kami. Namun, pertanyaannya, apakah kami bisa berbuat sesuatu untuk warga seperti
layaknya mahasiswa KKN?
Kusadari memang sedari awal Gerakan UI Mengajar ini hanya berorientasi pada
pendidikan di daerah terpencil. Di Desa Traju, fokus kami terpusat pada siswa-siswi SD
Negeri Traju 03. Mengupas persoalan mengenai para siswa, guru, dan sekolah saja
sudah menghabiskan waktu. Bahkan, untuk berjalan kaki pun, kami kerap kali sudah
kehabisan stamina. Bagaimana tidak? Tak akan kau temui jalanan yang datar serta
beraspal mulus di Desa Traju. Tapi harus saya akui, semangat anak-anak SDN Traju 03
yang tak pernah kenal lelah menular kepada kami. Mereka harus bangun pagi setiap
hari, kemudian bersekolah hingga siang hari dan dilanjutkan dengan madrasah di sore
hingga malam hari. Hal itu belum ditambah dengan cuaca buruk dan jalanan yang terjal
layaknya di wilayah pegunungan. Lalu, adakah alasan bagi kami untuk berdiam diri?
Perasaan takut karena khawatir akan tingginya ekspektasi warga akan coba kuhadapi
bersama panitia pengajar GUIM dalam 25 hari kedepan.
Minggu pertama di Desa Traju, kami mendapat kesempatan untuk berpartisipasi
bersama warga melalui acara pemilihan RT yang kebetulan sedang dilaksanakan di hari
itu. Padahal, pemilihan RT di Desa Traju ini hanya berlangsung selama enam tahun
sekali. Sungguh suatu kebetulan, bukan? Selama tiga hari berturut-turut kami diundang
oleh Bapak Kholil, salah satu tokoh masyarakat Desa Traju, menjadi panitia pemilihan
RT tersebut di tiga lokasi RT yang berbeda. Namun demikian, hal tersebut di luar

152
dugaan. Setiap kali rombongan kami hadir, kami hanya bertugas sebagai pencatat
jumlah suara yang sebetulnya hal tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siapa pun.
Meskipun begitu, nama kami sebagai mahasiswa selalu disebut-sebut melalui pengeras
suara di hadapan seluruh warga pemilih, seakan-akan kami telah melakukan hal yang
besar dalam acara pemilihan RT tersebut. Seusai acara, kami diundang masuk ke rumah
warga, kemudian disuguhkan makan siang, berbagai gorengan dan makanan ringan,
serta teh manis hangat. Begitu pun di hari-hari berikutnya.
Minggu kedua kami membuat perpustakaan serta ikut melakukan kegiatan kerja
bakti bersama warga. Perpustakaan yang kami sebut “Rumah Pelangi” itu kami buat
dengan mengalihfungsikan sebuah ruangan di sekolah yang sebelumnya merupakan
dapur sekolah. Lagi-lagi dalam dua kegiatan tersebut, porsi kerja kami tergolong kecil
dibanding warga sekitar. Berbeda dengan acara pemilihan RT, kali ini kami yang
mengajukan diri untuk ikut serta dalam kegiatan kerja bakti kepada Pak Yanto, ketua
RT 05, tempat kami singgah. Dalam benak kami, kerja bakti dilakukan dengan cara
membersihkan sampah. Oleh karena itu, kami hanya berbekal trashbag sebagai wadah
sampah-sampah plastik yang berhamburan di sekitar desa. Namun, hal itu berbeda
dengan warga. Hampir seluruh warga berangkat dari rumah menggunakan perabot
kerja bakti masing-masing lengkap dengan sepatu boots. Ternyata, tidak ada satupun
dari mereka yang memungut sampah plastik seperti kami. Mereka sibuk memangkas
rumput, batang, dan daun pohon yang lebat di seluruh lokasi. Melihat perbedaan itu, tak
mengurungkan niat kami. Namun, pada akhirnya yang kami lakukan nyaris tidak begitu
terasa hasilnya karena tidak semua sampah dapat kami jangkau. Berbeda dengan yang
telah dilakukan oleh warga. Mereka benar-benar membuat desa tampak lebih asri dan
sejuk. Begitu pun dengan proses pembuatan Rumah Pelangi. Kami mengecat ulang dan
mendekorasi ruangan agar terlihat indah dan nyaman. Namun, lain halnya dengan yang
Pak Yono lakukan. Pak Yono merupakan seorang penjaga sekolah yang memiliki
loyalitas tinggi kepada SDN Traju 03. Bagaimana tidak, ruangan dapur yang tadinya
penuh sesak akan barang-barang sekolah, ia sulap menjadi ruangan yang bersih. Tidak
hanya itu, ia juga membuat sebuah rak buku dengan bahan meja kayu bekas yang ada di
sekolah dan juga mengecatnya. Selain itu, ia juga membuat sebuah bangku taman di luar
Rumah Pelangi dengan batu bata dan semen. Macam-macam dekorasi berupa tulisan
tangan pun ia sumbangkan ke Rumah Pelangi ini. Saya tidak tahu mengapa ia
melakukannya sejauh itu selain karena rasa cintanya. Yang aku tahu hanyalah bahwa

153
sebelumnya ruangan dapur itu biasa ia gunakan untuk duduk beristirahat sambil
melakukan hobinya, yaitu berkaraoke lagu dangdut dengan radio kesayangannya.
“Ayo, main ke rumah saya”
Untaian kata yang terus menerus kudengar bersama panitia lain. Sayangnya,
kami juga tak kunjung mengiyakannya karena selain lokasinya yang cukup jauh, kami
juga disibukkan dengan berbagai agenda GUIM. Namun, yang pasti, saya mulai terharu.
Dengan segala hal yang telah ia lakukan seorang diri tersebut, ia malah mengundang
kami mendatangi rumahnya untuk bermain dan makan bersama. Sebegitu istimewanya
kah kami di matanya?
Minggu terakhir kami di Desa Traju, kami ingin mengoptimalkan kegiatan
parents meeting. Kegiatan tersebut merupakan pertemuan terakhir kami dengan
orangtua murid dalam bentuk penyerahan laporan kegiatan anak selama aksi GUIM
berlangsung. Kami mencoba merancang sebuah kegiatan yang bertujuan agar anak dan
orangtua dapat membuat sebuah kreatifitas secara bersama-sama. Muncul sebuah ide
untuk membuat sebuah celengan dari botol bekas. Ide ini tidak akan muncul jika saya
tidak mengetahui bahwa di Desa Traju terdapat seorang bapak yang berprofesi
mengumpulkan barang-barang bekas. Sambutan hangat yang kudapati ketika saya
datang kerumahnya. Selama minggu terakhir itu, memang belum ada panitia ataupun
pengajar GUIM yang datang ke sana karena letak rumahnya yang cukup jauh dan ia pun
tidak memiliki anak yang duduk di SDN Traju 03. Akhirnya, kudapatkan botol-botol
bekas tersebut meski jumlahnya tidak sesuai yang panitia harapkan.
“Botol ini biasanya dijual berapa, Pak?”
“Biasanya, kalau yang Aqua Rp70 , tapi kalau yang botol-botol bagus bisa Rp100.”
“Kalau yang punya saya ini kira-kira berapa, Pak?” Tanya saya hati-hati.
“Sudah ambil saja untuk Mas Oscar. Ikhlas saya.”
Berkali-kali dia yakinkan saya untuk mengambil botol tersebut tanpa
membelinya. Padahal, saya sudah mempersiapkan sejumlah uang untuk membelinya.
Tak sampai hati saya menerima semua hasil kerja siang malamnya secara cuma-cuma.
saya-pun pulang dengan perasaan yang sebetulnya tidak tenang.
Hingga akhirnya tibalah saat-saat pesta rakyat. Sebuah ajang perpisahan yang
tidak pernah kunantikan. Begitu ingat di benakku ketika Bapak Kepala Desa serta para
RT di Desa Traju, khususnya Dusun Dukuh Palem, berkumpul di suatu malam untuk
membahas persiapan pesta rakyat bersama kami.

154
“Kalau begitu lomba panjat pinangnya dialihkan ke yang lain saja, bagaimana?”
Kejujuran kami dalam menceritakan keadaan kami dalam mempersiapkan pesta
rakyat ini terutama masalah finansial justru ditanggapi secara bijak oleh mereka. Tak
hanya itu, seakan mendapat durian runtuh, bermacam bantuan pun hadir. Mulai dari
sound system, jasa pengangkutan mobil pick-up, bahkan hingga perabotan lomba pun
mereka siap meminjamkannya secara cuma-cuma. Selain berupa bantuan, kami pun
mendapatkan banyak wejangan dalam teknis pelaksanaan acara. Sungguh, pesta ini
seperti dari rakyat untuk rakyat.
Tak ingin mengecewakan, selama acara pesta rakyat berlangsung, kami
berupaya untuk mengisi hari tersebut dengan penuh keceriaan. Kami ingin mengajak
warga seluruhnya tersenyum di hari itu. Biar kami yang merasakan pahitnya
perpisahan. Biar kami yang merasakan sedihnya ketidakmampuan kami untuk berbuat
banyak terhadap desa. Masih banyak kehangatan warga Desa Traju lainnya yang masih
kukenang karena belum terbalaskan. Keikhlasan kalian merupakan pelajaran berharga
untuk kami. Semoga waktu dan rindu membawa kami kembali ke kampung kami, Desa
Traju.

155
SEKOLAH ITU MUSTAHIL,
MITOS ATAU FAKTA?
Clara Citra Ariani

156
Sekolah itu Mustahil, Mitos atau Fakta?

Clara Citra Ariani

Masih teringat berita tentang seorang anak buruh cuci yang berhasil menjadi
lulusan terbaik di salah satu universitas negeri di Pulau Jawa. Tidak tanggung-tanggung,
bahkan ia berhasil meraih beasiswa S2 di Jepang. Di kota lainnya terdapat berita
tentang anak seorang pengayuh becak yang lagi-lagi menjadi lulusan terbaik di
kampusnya. Bukan hanya itu, ia berhasil meraih beasiswa Presiden RI untuk
melanjutkan kuliahnya di Amerika.
Tinggal selama satu bulan di sebuah pedukuhan sederhana di Kabupaten Tegal
membuat saya banyak belajar tentang realita. Cita-cita begitu tinggi tetapi mungkinkah
diraih? Banyak pikiran pesimis di benak para orang tua akan cita-cita anak-anak
mereka. “Cita-cita si A ingin menjadi dokter, Bu, si B ingin menjadi guru, Pak, si C ingin
menjadi TNI, Bu” dan mereka para orang tua yang hadir di acara parent’s day SDN
Rembul 02 hanya dapat tertawa dan mengamini cita-cita anaknya tersebut. Saya pun
sesungguhnya tidak tahu bagaimana nasib anak-anak itu di masa depan, ditanya setelah
SMP mau lanjut ke SMA mana saja masih banyak yang bingung dan tidak tahu. Ada juga
yang menjawab, “Insyaallah lanjut kalau ada biayanya.”
Sedikit punya cerita, anak kecil di rumah, di mana saya tinggal, bercita-cita
menjadi dokter. Lantas, sang ibu hanya tertawa dan bertanya, mungkinkah hal itu
terwujud? Sekolah untuk menjadi dokter biayanya sangatlah besar sampai puluhan juta,
sepertinya mustahil. Pandangan sang ibu saat itu yang saya tangkap adalah sekolah itu
mustahil baginya. Sekolah tinggi untuk meraih cita-cita adalah hal yang jauh di atas
angan-angan. Padahal, dilihat secara ekonomi, keluarga anak itu terbilang sejahtera dan
berada di kelas menengah di desa itu. Tidak mengerti dengan hitung-hitungan ekonomi
dan tingkatan keluarga mampu atau tidak mampu, yang saya tahu, intinya biaya untuk
pendidikan memang pasti ada dan bisa saja besar. Namun, bukan berarti mustahil untuk
dipenuhi. Cerita saya di awal terdengar seperti kebetulan, tetapi hal itu memang bukti
kalau sekolah tinggi itu bukan mustahil apa pun latar belakang keluarga seseorang.
Banyak kasus anak-anak putus sekolah yang saya temukan di sini. Ada yang
karena biaya, keluarga, dan ada juga yang karena keinginan anak itu sendiri untuk

157
mengakhiri masa pendidikannya. Banyak di antara mereka para orang tua yang belum
menyadari pentingnya pendidikan bagi anak mereka, yang menjadi pikiran utama
hanyalah bagaimana menyambung hidup. Hal itu sudah cukup ketimbang memikirkan
sekolah yang walaupun sudah digratiskan tetapi masih banyak mengeluarkan biaya
untuk ongkos, jajan, buku, sepatu, dan seragam. Tetapi tidak semua. Untungnya, masih
banyak juga orang tua yang sudah paham akan pentingnya pendidikan bagi sang buah
hati bahkan sampai ke perguruan tinggi. Seringkali masalah biaya untuk melanjutkan
sekolah ke tingkatan yang lebih tinggi juga mereka pikirkan dalam-dalam. Alih-alih
tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah bahkan berkuliah, anak-anak yang haus
akan pengetahuan akhirnya berhenti sekolah dan bekerja. Sayang, padahal mereka
punya potensi. Terdapat beberapa anak yang saya temukan berhenti sekolah dan
akhirnya memutuskan untuk bekerja karena tidak tega melihat orang tuanya bekerja
dan kesulitan.
Sepertinya, masalah di tempat saya mengabdi ini adalah mental yang takut,
pesimis, dan tidak percaya diri. Kebanyakan orang tua ragu. Ragu untuk dapat
menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin sampai mampu meraih cita-citanya.
Ragu bahwa mereka akan mampu membiayai pendidikan anak-anaknya,
menghantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan. Keraguan tersebut membawa
mereka pada keniscayaan akan pentingnya sekolah, pentingnya bercita-cita, dan
pentingnya meraih cita-cita. Kebanyakan orang tua tidak percaya akan kemampuan
anaknya, pada cita-cita sang anak. Tidak heran, banyak di antara mereka yang
mengatakan bahwa sekolah itu mustahil apalagi kuliah sampai menjadi dokter, rasanya
sulit sekali. Sejauh ini yang saya tahu, setiap kesuksesan itu memang harus dibayar
dengan perjuangan. Tidak ada kesuksesan yang diraih secara gratis dan instan. Siapa
pun yang mau sukses harus berusaha. Itu sudah hukum alam. Mau jadi apa pun, belajar
dengan sungguh-sungguh. Kalau tidak punya uang, belajar lebih giat supaya dapat
beasiswa. Tetapi pikiran masyarakat Maribaya belum seideal itu. Pikiran mereka
sebagai orang tua yang lebih banyak merasakan asam garam kehidupan seakan lebih
tahu dan benar-benar meyakini bahwa nasib anak-anak mereka akan sama atau tidak
jauh berbeda dari mereka. Sekali lagi, tidak semua, banyak juga orang tua yang
meyakini bahwa anak-anaknya mampu meraih cita-cita, menghargai mimpi, dan
mendukung perjuangan anak-anak mereka.

158
Benarkah sekolah itu mustahil? Saya hampir terbius dengan kata-kata itu.
Melihat realitanya, memang sekolah itu membutuhkan biaya, tidak dapat dipungkiri
lagi. Saya dapat mengatakan sekolah itu bukan mustahil mungkin karena saya
beruntung berada di tengah keluarga berkemampuan terbilang cukup untuk membiayai
kuliah saya. Saya tidak pernah merasakan berada di posisi mereka yang orang tuanya
bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tiga puluh ribu per hari, yang kadang
untuk makan saja sulit, bagaimana mikirin kuliah yang berjuta-juta. Sekalipun sekolah
gratis sampai tingkat menengah pertama, tetap saja seorang siswa membutuhkan biaya
untuk sekadar ongkos, jajan, beli buku, sepatu, dan seragam. Tidak mungkin ada siswa
yang mau puasa setiap hari atau jalan kaki untuk menuju ke sekolah yang jaraknya jauh.
Sekarang saya juga menjadi berpikir, apakah sekolah itu mustahil? Apakah anak-anak di
Maribaya akan betul-betul menghadapi kesulitan untuk meraih cita-cita mereka? Lantas
untuk apa bercita-cita kalau ragu menggapainya?
Ternyata jawabannya adalah tidak, sekolah itu bukan mustahil. Sekolah atau
kuliah hanyalah sarana untuk seseorang mengenyam pendidikan, yang menjadi pokok
utamanya adalah pendidikan. Pendidikan adalah proses yang harus didapat oleh semua
anak, proses berpikir, memperoleh pengetahuan, dan mengasah pikiran serta nalar agar
otak dan akal sebagai manusia dapat digunakan semaksimal mungkin. Dengan
demikian, proses pendidikan optimal akan mampu menjawab berbagai permasalahan
dalam kehidupan setiap orang. Sebagaimana tercantum dalam konstitusi RI bahwa
setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak, tentu cita-cita juga bukan
sesuatu yang mustahil bagi siapa pun. Cita-cita ada memang untuk diwujudkan dan
diperjuangkan. Jika tidak mau diperjuangkan, lebih baik ganti saja cita-citanya dengan
apa yang benar-benar diinginkan karena sepanjang saya hidup tidak ada cita-cita yang
buruk. Semua cita-cita pasti baik dan benar-benar ingin diwujudkan oleh yang bercita-
cita jika ia sudah mengerti.
Sekolah itu bukan mustahil, idealnya siapa pun yang berpikir bahwa pendidikan
itu penting. Namun, bagi warga Maribaya yang pandangannya harus konkret secara
matematika, sekolah atau pendidikan memang bukan mustahil karena tentu saja ada
beasiswa banyak tersebar di mana-mana tetapi banyak juga saingannya. Beasiswa ada
hanya untuk anak yang pintar dan cerdas? Memang benar karena anak yang pintar dan
cerdas lah yang sadar bahwa mereka butuh pertolongan, makanya anak-anak itu
berusaha lebih keras untuk mendapatkannya. Pemberi beasiswa mungkin akan ragu

159
memberikan bantuan kepada siswa yang malas-malasan. Kalau orang tua masih takut
untuk memajukan pendidikan anaknya, di sinilah pemerintah harus bertindak dan
dituntut untuk memecahkan masalah biaya. Masa iya, siswa kurang beruntung
dipersulit dalam mengenyam pendidikan, padahal konstitusi sudah menjamin hal
tersebut. Sekarang saya baru sadar bahwa yang mustahil itu bukanlah sekolah atau
pendidikan, melainkan keinginan yang kuat yang akan menghantarkan seseorang
menuju cita-cita dan keberhasilan. Semangat berjuang, itu yang nihil, mungkin mustahil.
Sekolah atau pendidikan bukan mustahil bagi siapa pun yang mau berjuang dan benar-
benar sadar bahwa itu adalah kebutuhan. Sekalipun harus menggugat pemerintah atau
menteri pendidikan untuk memenuhi amanat konstitusi, pasti akan dilakukan oleh
siapa pun mengingat pendidikan adalah hak seluruh warga negara yang tercantum
dengan tegas sejak tahun 1945. Namun, mata warga Maribaya belum terbuka selebar
itu. Bagaimana menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu sangat penting hanya
dalam waktu 25 hari? Tidak ada kata lain, solusi yang dapat diberikan adalah pertama,
peranan pemerintah dan masyarakat terdidik lah untuk membantu memberantas
paradigma bahwa sekolah itu adalah mustahil. Kedua, bantuan konkret pendidikan yang
tepat sasaran dan selektif bagi siswa yang benar-benar membutuhkan. Ketiga, tentu saja
sistem pendidikan dan tenaga pengajar yang berkualitas menjadikan kegiatan
pendidikan menjadi sebuah kebutuhan mendasar sekaligus mampu memberikan
inspirasi bagi setiap peserta didik juga mengubah paradigma tentang pendidikan itu
sendiri. Dimulai dengan 25 yang terlalu singkat ini, perjuangan mengubah paradigma
itu dimulai. Sekolah itu BUKAN mustahil!

160
SEMUT-SEMUT DESA
Khafsah Sangadah

161
Semut-semut Desa
Khafsah Sangadah

Bak tetes embun yang menetes dan mengalir ke lubang telinga, begitu sejuk
rasanya mendengar kumandang adzan di pagi hari. Ketenteraman batin menemani saya
selama 25 hari di Dukuh Jlatong, Desa sumbaran, kabupaten tegal, Jawa Tengah.
Suasana yang begitu nyaman dan rukun menjadi kelegaan tersendiri ketika pertama kali
terbangun di pagi hari. Namun, sayangnya bukan di rumah sendiri, melainkan di rumah
salah satu keluarga yang masih terasa begitu asing. Manis rasanya melihat hilir mudik
santri yang menghiasi pagi dan sore hari sehingga semakin menambah kental nuansa
islami. Semakin menambah optimisme saya untuk menjalankan misi mengajar dan
bersosialisasi dengan masyarakat kurang lebih hampir satu bulan kedepan.
Ciri khas sangat terlihat di desa ini, dimana semua aktivitas warga hingga anak-
anak di masjid dan madrasah menjadi rutinitas setiap hari. Memang biasanya penduduk
di suatu daerah tertentu membawa nilai yang menjadikan tempat yang ditinggali
memiliki identitas. Identitas tersebut bisa muncul karena kebiasaan dan suatu nilai
yang di junjung tinggi dan rutin dilakukan. Entah itu muncul dari kualitas sumber daya
manusia, tingkat perekonomian, hingga kualitas pendidikan. Sumbarang di mata saya
adalah desa yang menjunjung tinggi nilai agama. Dimana aktivitas keseharian warga
tidak lepas dari kegiatan rutin keagamaan. Suatu nilai tambah bagi desa tersebut
dimana agama yang dianut menjadi perekat kerukunan. Mulai dari aktivitas anak-anak
di Madrasah, pengajian orang tua, hingga adat istiadat yang tidak lepas dari aturan
agama. Bahkan, aspek-aspek lain seperti kebudayaan, pergaulan , dan pendidikan juga
dipengaruhi nilai tersebut.
Sebagai pendatang baru yang sedang belajar bersosisaliasi, tentu sudah menjadi
kewajiban bagi saya dan teman-teman untuk mengenal masyarakat disamping belajar
bersama anak-anak di sekolah. Justru hal itulah yang seharusnya kami lakukan agar
dapat diterima dengan baik di tengah masyarakat yang sebelumnya belum kami kenal.
Tapi selama masih di Indonesia, bukan suatu hal yang sulit untuk bergaul dengan
masyarakat disana karena mayoritas masih satu keyakinan, satu suku dan satu bahasa
persatuan , dan Bahasa Indonesia. Akan tetapi kali ini, bahasa menjadi tantangan
tersendiri karena Sumbarang yang merupakan bagian dari Kabupeten Tegal, yaitu suatu
daerah dengan ciri khasnya bahasa “ngapak”. Menjadi kebanggaan tersendiri bisa

162
belajar bahasa daerah untuk dapat berkomunikasi lebih akrab dengan warga. Walaupun
terkadang ditertawakan karena salah dalam pengucapan sehingga barangkali bisa
mempunyai makna yang berbeda. Dan akhirnya warga yang mengalah menggunakan
bahasa Indonesia kerena ingin sekali agar kami saling mengenal lebih akrab.
Bahasa boleh saja salah satu atau dua kali,namun yang paling penting disini
adalah belajar memahami dan mengikuti bagaimana cara mereka bergaul. Satu hal yang
saya suka di desa ini adalah kesopanan mereka dari cara berpakaian hingga dalam
bertegur sapa. Saya merasakan kekerabatan yang sangat dekat antara tetangga yang
satu dengan yang lainnya. Istilahnya seperti suka duka dirasakan bersama. Kebahagian
dirayakan bersama sengsara juga ditanggung bersama. Walaupun juga terdapat istilah
semakin dekat semakin sering bergesekan. Toh, tak sedap rasanya apabila memasak mi
instan tanpa bumbu. Namun, tetap saja rasa persaudaraan yang dilandasi pedoman
agama yang kuat menjadi identitas tersendiri bagi warga Sumbarang. Sekali lagi saya
katakan bahwa mereka berhasil menjadikan agama yang mereka anut sebagai perekat
kerukunan. Menjadi hal menarik bagi kami untuk memperhatikan dinamika pergaulan
dalam lingkup warga masyarakat.
Seringkali kami membaur dengan cara mengikuti kegiatan keagamaan bersama
warga. Mulai dari mengikuti pengajian di masjid hingga ke rumah-rumah warga. Hal
yang menarik disini adalah bagaimana kami beradaptasi, mulai dari cara berpakaian
dan menjaga tutur kata. Tak boleh mengenal rasa gengsi untuk saling menyapa. Apabila
sudah saling bertatapan muka dengan warga, pada saat itulah kita harus menyapa dan
pantang untuk memalingkan muka. Santai tapi tak menyalahi aturan, begitulah cara
kami berusaha bergaul. Bukan merupakan suatu paksaan untuk melakukan dan tak
boleh melakukan hal ini dan itu. Justru canda dan tawa ikut serta mewarnai niat kami
yang senantiasa berusaha tulus dalam mengabdi.
Sangat menarik apabila membahas kelucuan anak-anak sekolah dasar yang
sudah mempunyai jadwal yang padat dalam kesehariannya. Selain sekolah formal dari
pagi hingga tengah hari, mereka juga disibukkan dengan kegiatan mengaji setelahnya.
Warga disana menyebut mengaji sebagai sekolah. Seperti sekolah formal, sekolah
mengaji juga mempunyai tingkatan-tingkatan kelas.Setelah pulang sekolah diteruskan
dengan mengaji dari jam satu siang hingga sore, kemudian dilanjutkan lagi hingga
malam dan tidak lupa setiap pagi hari, hampir tak pernah absen selalu terdengar suara
anak-anak melantunkan ayat-ayat kitab suci.

163
Selayaknya anak-anak, mereka tetap terlihat ceria dan ikhlas dalam menjalankan
rutinitas tersebut. Padahal apabila saya sebagai mahasiswa yang diibaratkan dengan
tugas-tugas yang menumpuk di luar kelas,pastilah sudah menjudge diri sebagai orang
yang sibuk. Lucu rasanya apabila saya menjudge mereka sebagai anak-anak yang
sibukkarena tak sedikitpun saya melihat mereka terbebani dengan rutinitas tersebut.
Dengan senang hati mereka menjalankan kewajibannya sebagai siswa sekaligus murid
di madrasah. Bahkan sangat didukung oleh orangtua yang ketika saya Tanya“ bu,
memang si A ngga capek abis sekolah langsung berangkat lagi ? jawaban mereka seperti
ini, “ ilmu agama sama ilmu umum itu harus seimbang mbak, buat apa pinter sekolah tapi
ngga bisa ngaji ”. Ya memang tidak berbeda dengan orangtua saya yang mewajibkan
saya untuk mengaji, jadi harus seimbang antara pengetahuan agama dan pengetahuan
umum. Menuntut ilmu seharusnya bukan paksaan dan harus didasari rasa ikhlas. Selain
dari dorongan orangtua, rasa senang untuk mengaji bersama teman-teman sebaya
menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak di Sumbarang. Walaupun
terkadang mereka menempuh jarak yang jauh dari rumah hingga ke madrasah.
Namun, dibalik keceriaan mereka menjalankan rutinitas dari pagi siang hingga
malam, muncul pertanyaan di benak saya apakah mereka mempunyai prioritas waktu
untuk belajar ataupun mengerjakan PR dirumah. Saya melihat banyak di antara murid
yang kami ajar disekolah memakai waktu mereka maksimal hingga pukul 9 malam
untuk mengaji. Apakah setelah itu mereka pulang ke rumah menyempatkan waktu
untuk belajar. Menurut saya waktu dari pukul 9 malam ke atas bukan waktu yang tepat
untuk belajar untuk anak seusia sekolah dasar. Belum lagi apabila rumahnya jauh.
Apakah orangtua di rumah mempunyai management waktu yang baik untuk anaknya
antara bermain, belajar dan mengaji?. Ketika saya menanyakan kepada wali murid,
mereka menjawab, “ ya bu, jadwal si A memang padat, setelah sekolah ngaji, sore ngaji,
malam ngaji, pagi juga ngaji. Tapi ngga tau itu si A ya seneng-seneng aja kaya ngga
pernah capek “saya tanya lagi“ terus bu emang si A ngga main sama temen-temennya
terus belajarnya kapan ?” ibu si A menjawab “ yak kan di madrasah juga main mbak, nah
itu kalo belajar dia ya semaunya kalo malemnya capek ya tidur kalo mau ya satu dua
kali buka buku”.
Setelah mendengar jawaban dari salah satu wali murid, seketika itu langsung
berfikir. Si A di sekolah jarang terlihat lelah atau tidak bersemangat, selain itu dia juga
tidak buruk dalam memahami materi di kelas, namun memang kurang bertanggung

164
jawab dalam mengerjakan tugas.” Yang namanya nuntut ilmu kalo ikhlas ya ngga akan
ngerasain capek mbak, ya namanya anak kecil kalo udah disekolah atau madrasah sama
temen-temennya ya seneng-seneng aja. Sebagai orangtua cuma bisa dukung dan nurut
sama kemauan anak”lanjut Ibu si A yang cukup menjawab pertanyaan saya. Anak-anak
selama melakukan hal tanpa paksaan dan ia senang walaupun berat, tidak akan mudah
mengeluh dan senang-senang saja dalam melakukannya.
Satu pelajaran berharga yang saya dapat dari kegiatan 25 hari di Sumbarang.
Selain banyak ilmu yang didapat dari proses kegiatan mengajar di sekolah, memahami
dan mengerti dinamika sosial di lingkungan masyarakat juga tak kalah penting. Seekor
semut mempunyai strategi dalam bergotong-royong mengangkat serpihan roti ke suatu
tempat yang aman. Walaupun melewati medan yang berbeda-beda serta sulit untuk
dilewati, selama masih menjunjung suatu peraturan maka serpihan roti akan sampai
juga ke tempat yang aman. Selayaknya warga yang menjalankan dinamika kehidupan
sebagai makhluk sosial dengan berpegang teguh pada aturan dan norma agama yang
dianut sehingga terciptalah kerukunan di Sumbarang yang sangat berkesan di hati saya
hingga saat ini.

165
SENANG BISA MENGENAL
DIRIMU
Yohana Yose Gunawan

166
Senang Bisa Mengenal Dirimu
Yohana Yose Gunawan

“I love kids a lot. Because they teach me how to appreciate all the little things. They show
me how to be happy with just a sweet candy”

Saya suka berada di dekat anak-anak. Saya juga suka mengajar. Sebelum
memutuskan untuk mengikuti Gerakan UI Mengajar, saya kebetulan mengisi waktu
luang untuk mengajar privat anak SD sampai SMA di Jakarta dan sekitarnya. Setelah
selesai mengikuti Gerakan UI Mengajar, banyak sekali hal baru dan menarik yang saya
temukan. Perbedaan.
Jumat, 7 Januari 2015. Hari itu, hari pertama saya berada di titik aksi, tepatnya
di SDN Traju 03, Dukuh Pelem, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. Kebetulan saya
dipercaya menjadi pengajar untuk kelas 6 yang tentu saja sebuah tanggung jawab yang
cukup besar. Hal ini karena angka putus sekolah di desa ini sangatlah tinggi, sebagian
besar hanya lulusan sekolah dasar dan tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Sebelumnya saya juga merupakan pengajar kelas 6 di salah satu SD swasta
di daerah Jakarta Selatan, dan saya menemukan banyak hal menarik dan tentu saja
perbedaan ketika di titik aksi.Hari pertama berada di sana, saya sudah mendapati
banyak hal baru.
Hal pertama yang sangat menarik hati saya adalah ketika guru datang ke sekolah
yang mana bahkan beliau belum sempat turun dari motornya, anak-anak sudah
menghampiri untuk mencium tangan beliau. Hal yang sudah cukup jarang ditemukan di
kota, atau mungkin tepatnya hanya pendapat saya saja karena berdasarkan pengalaman
dulu masa sekolah ketika guru datang, yang saya dan teman-teman saya lakukan adalah
langsung berlari ke kelas masing-masing sembari berteriak “Pak Guru datang, Pak Guru
datang !” dan duduk rapih.
Setelah dua hari diberikan waktu untuk melakukan observasi, tepat hari Senin,
10 Januari 2015 sayamemulaimenjadi pengajar kelas 6 dan akan menemani enam belas
murid SDN Traju 03 selama tiga minggu kedepan. Sungguh kalau boleh dibilang mereka
belajar ditengah serba keterbatasan, namun semangat belajar mereka sangatlah tinggi.
Satu hal yang menjadi tantangan tersendiri bagi saya, murid di kelas 6 berbeda dengan

167
murid di kelas lainnya. Mereka terlihat tidak bisa dikatakan sepenuhnya masih anak-
anak, mereka sudah mulai malu-malu, tidak lagi aktif seperti anak-anak di kelas lainnya
sehingga pendekatan yang harus saya terapkan pun tidak bisa seperti mengajarkan
kepada anak sekolah dasar pada umumnya.
Hari pertama mengajar saya memutuskan untuk memberikan masing-masing
dari mereka sebuah catatan kecil dimana setiap harinya mereka bisa menuliskan apa
yang mereka rasakan hari itu. Hari itu juga saya coba untuk menanyakan satu persatu
cita-cita mereka. Hal yang membuat saya terharu adalah cita-cita mereka yang
sederhana tetapi penuh makna. Saya pernah menanyakan hal yang sama kepada anak-
anak didik saya di Jakarta, dan salah satu dari mereka menjawab, “Aku lulus SD mau
lanjutin SMP di Labschool abis itu kuliah di UI terus jadi arsitek hebat”. Sangat berbeda
dengan jawaban murid di SDN Traju, “Cita-cita saya menjadi ustad, dan membahagiakan
orang tua”.
Di hari yang sama juga saya meminta mereka untuk menulis di sebuah kertas
kecil tentang kesedihan mereka yang mendalam, namun di kertas itu saya meminta
mereka untuk tidak menuliskan nama. Hal ini karena saya yakin mereka tidak akan
menuliskan kesedihan mereka yang paling mendalam apabila kertas tersebut dituliskan
nama mereka. Ketika saya membaca kertas-kertas tersebut, hati saya tersentuh. Hampir
semua yang mereka tuliskan adalah kesedihan karena keterbatasan biaya orangtua
sehingga mereka takut tidak bisa melanjutkan sekolah dan menggapai cita-cita.
Kalau saja mereka bisa mengutarakan isi hati mereka lebih banyak dalam kertas
kecil tersebut, mungkin ini yang akan mereka curahkan:
“Wajib belajar 12 tahun. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Globalisasi.
Rasanya semua hal tersebut bukan untuk kami, murid kelas 6 SDN Traju 03. Jangankan
12 tahun, bisa lulus ujian nasional setelah kami menghabiskan waktu belajar 6 tahun di
sekolah inipun sudah menjadi suatu kebahagian tersendiri untuk kami. Jangankan siap
bersaing dengan warga negara tetangga dalam rangka MEA atau apalah itu, bahkan
ASEAN itu singkatan dari apa pun kami tidak paham”.
Jangankan bermimpi mengunjungi belahan dunia lain, bahasa Inggris dari kata
cita-cita pun kami tidak tahu. Sungguh kalau boleh jujur kami tidak tahu apa-apa. Kami
tidak tahu apa-apa selain jalanan naik turun dan licin yang jauh yang harus kami
tempuh setiap hari untuk sekadar mendapat informasi dari Pak Guru bahwa 2 x 3 itu
hasilnya 6. Kami tidak tahu apa-apa selain ruangan kelas tanpa lampu tempat kami

168
singgah untuk mendapat ilmu bahwa ternyata bumi itu adalah sebuah planet yang
mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya.
Kami tidak tahu apa-apa selain buku berstampel “Bantuan Operasional Sekolah”
yang kami baca setiap hari dengan cara berbagi untuk empat orang dari kami karena
buku tersebut bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Kami tidak tahu apa-apa selain
pelajaran seni budaya dan keterampilan yang sebenarnya, yang kami tahu hanyalah
pelajaran menggambar karena yang kami punya hanyalah buku gambar dan crayon.
Kami tidak tahu apa-apa tentang basket atau bahkan lempar peluru karena yang kami
lakukan setiap pelajaran olahraga hanyalah berlari mengelilingi desa.
Tapi ada satu hal yang kami tahu. Kami tahu bahwa setidaknya cita-cita kami
untuk bisa membahagiakan orang tua kami bisa tercapai kalau kami tetap bangun pagi
setiap hari tanpa mengeluh lalu pergi sekolah untuk bertemu guru dan mendengarkan
apapun yang beliau jelaskan.”
Tiga minggu menemani mereka belajar di sekolah membuka mata saya bahwa
ternyata benar terkadang dunia itu tidak adil. Mereka, enam belas anak dengan
kemauan dan semangat belajar yang tinggi harus dibayang-bayangi kenyataan bahwa
ada kemungkinan terburuk baju dan celana berwarna putih dan merah yang mereka
pakai setiap harinya selama 6 tahun terakhir merupakan seragam sekolah terakhir yang
bisa mereka pakai. Tapi ternyata bayang-bayang ketakutan tersebut tidak sepenuhnya
mereka tunjukkan. Setiap harinya mereka selalu tertawa dan bahagia belajar,
mendengarkan segala ilmu pengetahuan baru yang saya berikan kepada mereka. Setiap
harinya ketika saya membaca catatan harian kecil mereka selalu saja membuat saya
tertawa.
“Aku hari ini senang sekali karena bisa berangkat sekolah bertemu Ibu Yohana
dan teman-teman”
“Aku hari ini bahagia karena aku bangun pagi dan sarapan sebelum sekolah”
“Aku senang sekali hari ini gatau kenapa pokoknya senang sekali”
“Aku bahagia tadi pagi ibuku masak makanan kesukaanku”
Mereka selalu menuliskan cerita tentang hal yang membuat mereka bahagia,
hingga tiba waktunya hari terakhir saya menemani mereka di sekolah. Hingga tiba
waktunya ketika saya harus meninggalkan mereka. Hari terakhir itu masih teringat jelas
di kepala saya, hari itu saya meminta mereka untuk menuliskan pesan dan kesan

169
terakhir untuk saya di kertas kecil. Namun, belum selesai saya bagikan kertas-kertas
kecil itu, mereka semua menangis.
Mereka semua menghampiri saya dan meminta untuk jangan pergi.Bahkan
dihari terakhir tersebut waktu mereka tampil di pesta perpisahaan ketika mereka
bernyanyi lagu Sahabat Kecil, soundtrack film Laskar Pelangi, mereka bernyanyi
sembari menangis. Berat rasanya harus meninggalkan keenam belas anak yang saya
sayangi hari itu. Suatu saat ini entah esok, lusa, satu bulan, satu tahun lagi bahkan 10
tahun lagi saya ingin kembali kesana. Semoga ketika waktu itu tiba mereka tetap enam
belas murid kelas 6 SDN Traju 03 yang saya kenal. Anak-anak luar biasa yang bercita-
cita membahagiakan orang tua.
Sungguh, senang bisa mengenal dirimu, Nak.

170
SIAPA YANG BERHAK
MEMILIKI IMPIAN?
Zeinia Maulida

171
Siapa yang berhak memiliki impian?

Zeinia Maulida

Impian, cita-cita, masa depan, apakah hal tersebut hanya dimiliki oleh orang-
orang tertentu? Ataukah hal tersebut bebas dimiliki oleh siapapun? Saya ingin
menuturkan kisah seorang anak desa yang membuktikan bahwa hal tersebut bebas
dimiliki oleh siapapun.
Jumat pagi di sebuah sekolah di Desa Sumbarang, Kabupaten Tegal, terlihat
seorang anak laki-laki dengan senyum merekah menghampiri dan mengucapkan salam
sembari mencium tangan saya.
“Selamat pagi Bu Guru..”
Setelah saya menyambutnya, ia pun berlalu menuju ruang guru bersama seorang
temannya. Saya terus memperhatikan tiap langkahnya hingga ia keluar dari ruang guru
membawa tumpukan gelas dan piring kotor.
“mau dibawa kemana piring-pirinngnya?”
“mau saya cuci bu guru di kamar mandi”
Setelah saya tanya-tanya, ternyata itu merupakan salah satu kegiatan rutin yang
ia lakukan setiap pagi, mengumpulkan gelas dan piring kotor bekas guru-guru, lalu
mencucinya. Kegiatan itu ia lakukan tanpa paksaan dari pihak sekolah, itu hanya
inisiatif dari dirinya sendiri.
“kok kamu mau mencuci piring dan semua gelas ini?”
“iya bu guru, saya senang kok nyuci, kan bantu orang”
saya berdiri tertegun dibelakangnya....
Bel masuk pun berbunyi saya bergegas memasuki ruang kelas 4.Ini merupakan
hari pertama saya bergabung bersama siswa kelas 4. Anak-anak tampak antusias
kedatangan guru baru yang akan mengajar di kelas mereka. Saya perhatikan satu
persatu anakdan ternyata dideretan para siswa terdapat anak tadi yang pertama kali
menyambut kedatangan saya dan membuat kagum akan dirinya.
A. Ramdhani, nama anak tersebut. Saya memanggil dia Rama. Seorang anak
periang dan selalu mengumbar senyuman kepada setiap orang. Ia anak yang rajin dan
sangat senang membantu orang disekitarnya.Setiap hari ia selalu mencuci piring,

172
mengunci pintu-pintu kelas sepulang sekolah, dan menyapu halaman sekolah. Secara
akademik ia bukanlah anak yang memiliki peringkat dikelas, tetapi ia anak cerdas yang
memiliki pengetahuan umum diatas rata-rata anak seumurannya.
Pada hari ketiga, setiap siswa kelas 4 saya berikan buku kecil yang setiap harinya
harus mereka isi dengan cerita, puisi, curhatan, gambar, atau apapun yang ingin mereka
ungkapkan. Jika anak-anak lain menuliskan curhatan tentang kegiatan yang mereka
lakukan sepulang sekolah, kejadian yang mereka alami dirumah, kegembiraan hati
mereka disekolah. Lain halnya dengan Rama setiap hari ia menuliskan hal apa saja yang
ia ingin capai saat dewasa nanti, harapan untuk orang-orang terdekatnya, dan juga ia
pernah menuliskan dan membahas kejadian pemboman yang terjadi di wilayah Jakarta.
Suatu hari dia pernah menuliskan harapan yang ia impikan saat sudah besar.
Harapan tersebut berisikan keinginannya untuk membahagiakan dan membuat bangga
orangtua, guru, keluarga, dan teman-temannya dengan prestasi yang ia raih. Ia juga
ingin menjadi polisi yang bisa mengamankan negara dan memberi hukuman kepada
orang-orang jahat yang melanggar peraturan. Ia juga menuliskan pesan dibuku tersebut
kepada saya bahwa ia ingin sekali kuliah di Universitas Indonesia dan ingin ke Depok
bertemu dengan saya lagi. Ia menyampaikan bahwa jika suatu hari nanti akan menyusul
kuliah di Universitas Indonesia ia akan menemui saya.
Hari itu satu hari setelah pemboman di daerah Jakarta, Rama menuliskan
harapan dia untuk Indonesia. Di awal tulisan dia menceritakan detail kejadian
pemboman. Jujur saja, saat itu saya tidak tahu kalau ada pemboman di Jakarta karena
selama di Desa ini saya tidak menonton TV dan kebetulan ponsel saya rusak. Saya tahu
kejadian itu dari tulisan anak kelas 4 SD, walaupun tulisan itu ditulis dengan gaya
bahasanya sendiri. Disaat anak-anak seumurannya menonton sinetron, Rama
meluangkan waktu untuk menonton berita dan ia dapat mengambil nilai dari kejadian
tersebut yang kebetulan bersangkutan dengan impiannya. Di dalam tulisannya juga ia
berharap,saat dewasa ketika ia sudah menjadi seorang polisi, ia akan menertibkan
warga Indonesia agar menjadi bangsa yang aman tidak seperti saat ini.
Suatu sore yang diiringi oleh hujan rintik, Rama datang ke rumah tempat saya
tinggal selama di Desa itu, awalnya maksud kedatangannya adalah untuk belajar, tetapi
hari itu malah menjadi hari dimana ia mengungkapkan seluruh perasaan dan
keinginannnya.

173
“Bu guru, kalau saya jadi polisi yang mau ngamanin Indonesia gak apa-apa kan
bu guru? Bisa kan bu?” begitu ungkapannya, ya dia selalu memanggil saya dengan
sebutan bu guru dengan gaya bicara khas orang Tegal.
“Pasti bisa, jangan pernah takut untuk bermimipi, karena kalau kita punya mimpi
berarti kita punya harapan untuk menjalani hidup. Kalau pun gagal ya bangkit lagi,
bermimpi lagi karna gagal itu proses kita untuk sukses”. Itu yang saya ucapkan kepada
Rama disore itu. Setelah itu ia mengeluarkan senyum khas andalannya.
Beberapa hari saya mengajar, tibalah giliran untuk home visit ke rumah Rama,
dirumahnya saya bertemu dengan Ibu Rama. Rama merupakan anak ke 4 dari 5
bersaudara. Dua kakak dan bapaknya bekerja di Jakarta. Bapaknya bekerja sebagai
penjual pempek di Jakarta. Ia hanya tinggal bersama Ibu, satu orang kakak yang masih
MTs dan adik yang masih balita. Setiap sepulang sekolah Rama mengaji di madrasah
hingga pukul 4 sore, dilanjutkan dengan mengaji quran sesudah magrib. Setelah
berbincang dengan Ibunya, sangat disayangkan karena Ibunya belum mengetahui
potensi dan impian yang Rama miliki,tetapi untungnya keluarga tersebut memiliki
pengalaman pendidikan yang cukup baik dibandingkan dengan warga disekitarnya. Hal
tersebut dibuktikan dengan kakak Rama yang bersekolah hingga SMA/SMK.
Hari demi hari telah saya lalui di SD 02 Sumbarang dengan berbagai kisah yang
anak-anak tuaikan setiap harinya. Salah satu hal yang membuat saya senang adalah
impian Rama yang sudah mulai dapat dibuktikan dengan terpilihnya ia sebagai salah
satu kontingen sekolah untuk mengikuti kegiatan pesta siaga di tingkat kecamatan. Ia
sangat semangat dan senang setiap latihan.Itulah yang membuat ibunya bangga
mengetahui hal tersebut. Setiap anak berhak memiliki impian yang ingin diraihnya,
tetapi impian tersebut tidaklah mudah untuk diraih, dibutuhkan semangat, usaha, dan
doa. Semua perasaan positif dan negatif menjadi satu, menjadi asa dan kekuatan yang
menjadikan impian menjadi kenyataan yang indah.
Sebuah pepatah mengatakan “Bermimpilah setinggi mungkin dan wujudkan,
mimpi akan membuat seseorang memiliki semangat hidup”.Bermula dari sebuah desa
kecil di Kabupaten Tegal, segumpal keberanian tumbuh. Keberanian untuk memiliki
angan masa depan. Yak, orang menyebutnya sebuah impian. Impian tersebut bukanlah
impian yang besar. Intinya hanya untuk menjadi insan yang lebih baik, lebih baik
pendidikannya, lebih baik kondisi ekonominya, lebih baik sikap, dan perilakunya.

174
Impian itu tidak dapat tiba-tiba terwujud harus ada semangat, usaha, dan doa dalam
mewujudkannya.

175
SOSOK YANG LUAR BIASA
Hana Erlida

176
Sosok Luar Biasa
Hana Erlida

Tinggal di kota orang selalu menjadi kekhawatiran saya. Pikiran-


pikiranburukdan perasaan tidak tenang selalu hadir mendekati hari keberangkatan.
Mungkin karena saya tidak biasa dilepas jauh oleh orang tua seperti teman-teman saya
kebanyakan yang notabenenya perantau ataupun yang sekedar tinggal di kos dan tidak
bersama orang tua. Meskipun begitu, nyatanya di sini saya mampu menjalani hari-hari
layaknya di rumah. Kehangatan keluarga tetap mendampingi selama tiga minggu di
Desa Sumbarang, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, Jawa tengah. Mungkin ini
semua karena saya menjalaninya bersama banyak sosok luar biasa yang selalu
mengejutkan dan memunculkan rasa kagum pada diri saya.Ya, merekalah warga SDN
Sumbarang 02.

Tugas saya sehari-hari di sekolah adalah menemani para pengajar GUIM dan
membantu mereka dalam urusan pengajaran di kelas, sertamenjadi penghubung antara
mereka dan pihak sekolah, khususnya kepala sekolah dan para wali kelas. Selain itu,
saya juga harus memastikan para pengajar GUIM tidak mengajar di kelas sendirian
tanpa pendampingan wali kelas karena konsep mengajar GUIM adalah team
teaching1.Mungkin bisa dibilang, saya ini ibarat setrika yang mondar-mandir keluar-
masuk kelas dan keluar-masuk ruang guru. Teriakan anak-anak dan obrolan bersama
kepala sekolah dan paraguru pun menjadi rutinitas saya selama di sekolah.
Mengingat-ingat kembali masa ketika h-7 keberangkatan, saya merasa sangat
cemas karena harus berhadapan dengan kepala sekolah dan guru-guru setiap hari.
Bingung dengan apa yang kira-kira dapat saya bahas dengan beliau-beliau. Takut
akhirnya hanya duduk sendiri dan tidak bisa berbaur dengan para guru. Ah, pada
akhirnya perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran negatif itu hilang sudah ketika saya
berada di sana.
Sosok bapak kepala sekolah yang bijak dan tulus membuat saya mampu
menghadapi berbagai tantangan di sekolah dengan tenang. Beliau, yang selalu hadir
setengah jam sebelum jam sekolah dimulai dan bahkan tidak pernah sekalipun absen
selama kami di sini, sangat percaya bahwa kehadiran GUIM di sekolah ini adalah untuk

177
memberikan manfaat, sehingga segala acara kami didukungnya tanpa ragu. Bahkan
terkadang saya sendiri berpikir, “Ini bapak, kok, percaya aja, ya, sama kita? Bebas
banget acara ini dan itu juga dibolehin aja.”
Hingga pada minggu kedua,ketika diadakan acara jalan-jalan bersama para siswa
dan panitia yang dinamaiIndahnya Alamku, saya sedikit banyak dapat memahami
kepercayaan yang Pak Syeikhul berikan kepada kami. Saat itu, seluruh acara menjadi
tanggung jawab saya. Acara dirancang dalam bentuk penjelajahan ke pos-pos
permainan yang berujung di sawah dekat rumah Pak Syeikhul. Dari sawah itu, nampak
gunung tertinggi di Jawa Tengah, yaitu Gunung Slamet. Bukan main indahnya. Dari jauh
pun gunung itu nampak cantik di mata saya. “Beruntung sekali anak-anak ini,” pikir
saya. Setiap hari bisa memandang gunung yang menjulang indah, sedangkan saya di
kota hanya bisa memandang gedung menjulang yang menutupi indahnya momen
matahari terbit dan terbenam.
Tentunya acara ini membuat saya bersemangat, apalagi anak-anak ternyata
terlihat antusias. Awalnya saya khawatir anak-anak tidak akan hadir karena acara
diadakan pada hari Minggu pagi, setelah anak-anak selesai mengaji.Kekhawatiran saya
semakin berkurang ketika mengetahui bahwa Pak Syeikhul telah meminta dua orang
perwakilan guru untuk mendampingi kami di acara Indahnya Alamku.Beliau juga yang
membantu kami untuk meminjamkan lapangan sekolah dekat sawah untuk dijadikan
lokasi pos terakhir. Rasanya luar biasa senang, apalagi yang saya ketahui dari cerita
teman-teman GUIM terdahulu, acara Indahnya Alamku biasanya memang hanya dihadiri
oleh anak-anak. Keterlibatan guru dalam acara ini sungguh membuat mood saya pada
hari itu menjadi sangat baik,bahkan Pak Syeikhul ternyata menyiapkan minumanyang
diletakkan di rumahnya untuk anak-anak. Kebetulan pada saat itu, beliau sedang ada
agenda yang harus dihadiri.Kata Pak Syeikhul, “Saya juga kecewa sekali, Mbak, tidak
dapat hadir. Padahal jarang-jarang ada acara semacam ini di sekolah.“
Kalimat itulah yang membuat saya merasa ikut sedih dan mulai memahami
bahwa kepercayaan Pak Syeikhul bukanlah tanpa alasan. Bukanlah semata karena ada
persepsi bahwa acara dari mahasiswa UI sudah pasti baik. Selain karena
kebermanfaatan, beliau mendukung acara kami karena acara-acara yang kami adakan
ternyata memang belum pernah diadakan di sekolah. Mungkin hal itu juga yang
menjawab pertanyaan tentang antusiasme anak-anak. Sebenarnya, kebanyakan acara
yang kami rancang merupakan acara sederhana, seperti lomba lukis, lomba cerdas

178
cermat, lomba olahraga, dan jalan-jalan ke sawah.Hanya saja, acara itudikemas dengan
menarik. Misalnya pada Indahnya Alamku, acara utamanya adalah jalan-jalan ke sawah
dan penanaman nilai kebersihan lingkungan, tetapi permainan-permainan dalam tiap
pos digunakan sebagai media penyampai pesannya.
Hal ini membuat saya merasa bahwa pihak sekolah juga ingin terlibat dalam
acara kami. Mereka ingin agar anak-anak dapat merasakan acara-acara yang telah kami
rancang. Semoga saja setelah adanya contoh acara dari GUIM, pihak sekolah dapat
melanjutkannya. Karena pada dasarnya, acara yang dirancang bertujuan untuk
menggali minat dan bakat anak-anak di sekolah. Acara tidak perlu mewah. Dengan
modal niat dan kreativitas, kita dapat menembus segala keterbatasan dan menyulap hal
sederhana menjadi luar biasa.

Kekaguman saya kepada sosok luar biasa di sekolah tidak berhenti sampai di
sini. Selain Pak Syeikhul, saya punya cerita sendiri tentang guru-guru lain di sekolah.
Mungkin saya tidak mengenal secara mendalam para guru satu per satu layaknya
pengajar GUIM yang mengenal baik rekan mengajarnya selama tiga minggu di kelas.
Satu hal yang saya tahu, beliau-beliau yang duduk di ruang guru adalah sosok luar biasa.
Sosok yang rela melelahkan diri demi mengentaskan buta aksara. Sosok yang sabar dan
rela menghabiskan waktu demi mengajarkan cara berhitung. Sosok yanggigih
menempuh perjalanan jauh demi menuntun anak-anaknya untuk menulis. Sebelum
mengenal mereka dengan jarak yang sangat dekat ini, tidak terbayang seberapa lelah
yang dirasakan oleh sosok-sosok luar biasa seperti mereka di luar sana.
Bu Nela, sapaan yang biasa diberikan kepada beliau selaku wali kelas I, adalah
seorang guru yang masih sangat muda (21 tahun), tetapiserba bisa. Selain mengajar di
sekolah, beliau juga mengajar di madrasah sepulangnya dari sekolah. Tidak hanya itu, di
sekolah, Bu Nela juga berperan sebagai operator sekolah sekaligus pengganti guru-guru
lain yang berhalangan hadir. Hebat, bukan?
Pak Agus, wali kelas II yang sebenarnya lulusan pendidikan olahraga, tetap
mampu melaksanakan tanggung jawabnya sebagai guru kelas di SDN Sumbarang 02.
Setiap hariSelasa dan Jumat, beliau absen untuk mengajar olahraga di sekolah lain.
Selain mengajar di kelas II, beliau juga memiliki tugas sebagai koordinator sarana dan
prasarana di sekolah. Setiap ada genting bocor atau pintu rusak akibat kebobolan

179
maling, beliaulah yang memperbaiki agar anak-anak di kelas tetap belajar dengan
nyaman.
Pak Anton juga merupakan sosok guru yang luar biasa. Beliau sengaja menyebar
setiap siswa yang pandai untuk digabung dalam kelompok-kelompok di kelas agar tiap
kelompok memiliki seorang jagoan yang akan membantu teman-temannya yang
kesulitan dalam memahami pelajaran. Beliau juga selalu melontarkan pertanyaan di
sela-sela pelajaran untuk memastikan pemahaman siswa-siswanya. Siswa kelas III
beruntung memiliki sosok guru seperti beliau.
Bu Puji, seorang guru lulusan pendidikan Bahasa Inggris. Sama seperti Pak Agus,
beliau harus absen meninggalkan siswa-siswa kelas IV untuk mengajar Bahasa Inggris
di sekolah lain. Kesabarannya di kelas dalam menghadapi siswa-siswanya membuat
saya kagum kepada beliau.
Pak Joko, wali kelas V, adalah sosok guru luar biasa yang membuat saya kagum
tiada hentinya. Salah satu wali kelas yang sangat kooperatif dalam melakukan team
teaching. Beliau sangat terbuka dengan kehadiran kami di sekolah. Keingintahuan
beliau terhadap acara yang dibuat GUIM, yang dilontarkan melalui pertanyaan, selalu
saya jawab dengan riang. Pak Joko dan kelas V, luar biasa!
Pak Budi, yang setiap hari menempuh perjalanan dari Slawi ke Sumbarang,
memilikipembawaan yang tenang dan cukup cuek atau biasa saya sebut cool. Beliau
menunjukkan ketertarikan terhadap metode pemberian reward yang diterapkan di
kelas VI oleh pengajar GUIM. Berita ini saya ketahui seminggu setelah kepulangan GUIM
dari Sumbarang. Tentunya, saya merasa senang luar biasa. Di balik gayacool Pak Budi,
beliau ternyata tidak segan untuk mengusahakan yang terbaik bagi siswa-siswanya.

Mengajar bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi bukan juga hal yang tidak dapat
dilakukan. Saya melihat bahwa para guru telah mengupayakan untuk memberikan yang
terbaik dari dirinya. Fakta mengenai kesejahteraan guru yang belum terpenuhi bukan
hal asing lagi di telinga. Meskipun begitu, mereka tetap hadir di sekolah. Memasuki
kelas dan menjumpai siswanya. Mengajar hingga jam pulang berakhir dan mengakhiri
hari dengan perjalanan pulang yang jauh dari sekolah. Kemudian terulang lagi
besoknya. Dan besoknya. Dan seterusnya.

180
Merekalah sosok-sosok luar biasa yang saya temukan di SDN Sumbarang 02,
yang membuat saya berdecak kagum. Semoga hal-hal baik selalu membersamai jalan
kehidupan mereka. Tiada kata lain yang dapat saya ucapkan selain terima kasih. Terima
kasih Pak Syeikhul, telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami.
Terima kasih bapak dan ibu guru, yang tak hentinya menginspirasi tiap insan yang
mengagumimu. Dan terima kasih Tuhan, telah mempertemukan saya dengan mereka
semua.

181
BELAJAR UNTUK BERBAUR
Annisa Ainina Novara

182
Belajar Untuk Berbaur
Annisa Ainina Novara

Pernah lihat bagaimana air dan minyak ketika dicampur? Secara alami mereka
tidak akan menyatu. Begitu pula murid-murid di kelas 5 SDN Sigedong 02. Murid
perempuan dan murid lelaki sulit sekali untuk disatukan. Sangat sulit bagai menyatukan
air dan minyak.
Pagi pertama di desa Sigedong, saya dan rekan pengajar lain diperkenalkan
kepada pihak sekolah dan seluruh murid SDN Sigedong 02. Saya menatap murid-murid
kelas 5, kelasdimana saya akan banyak belajar untuk kurang lebih 20 hari ke depan.
Alhamdulillah,saat itu murid kelas 5 yang hadir lengkap. Delapan belas murid yang siap
untuk belajar dan bermain bersama.
Sebelum saya terjun ke dalam lingkungan kelas 5 lebih jauh, saya berkenalan dan
berbincang dengan wali kelas 5. Wali kelas 5 merupakan sosok yang asik untuk diajak
ngobrol dan bercanda. Beliau juga seseorang yang sangat terbuka. “Kalau boleh jujur
mbak, saya sering meninggalkan murid-murid di kelas untuk keperluan sekolah” begitu
kata wali kelas 5. Selain menjadi guru, beliau juga menjabat sebagai operator sekolah.
Murid biasanya akan diajarkan oleh guru kelas lain atau diminta untuk membaca dan
menggarisi LKS ketika wali kelas mendapatkan tugas sebagai operator sekolah. “Kelas 5
sudah bisa mandiri mbak, mereka bisa tenang ketika saya pergi” tambahnya.
Berdasarkan perbincangan saya dengan wali kelas, saya mengasumsikan bahwa
murid di kelas 5 cenderung diam,tenang, pasif, dan pemalu. Ketika saya pertama
bertemu dengan murid didampingi oleh wali kelas 5, asumsi saya terlihat benar. Mereka
nampak duduk tenang, pasif, dan cenderung pemalu. Beberapa saat ketika wali kelas
pergi meninggalkan kelas, murid-murid mulai menunjukan perilaku yang berbeda.
Mereka mulai terlihat aktif berbicara satu sama lain. Saking aktifnya, mereka sering
lupa ada saya yang mengamati di depan.Ternyata mereka menunjukan sikap tenang di
depan wali kelasnya. Setelah itu, mereka kembali ke perilaku aslinya masing-masing.
Yah namanya juga anak-anak, pikir saya saat itu.
Setelah beberapa saat saya mengamati, saya melihat terdapat hal yang sedikit
mengganjal namun mungkin menjadi wajar bagi murid-murid di kelas 5. Hal tersebut
yakni hubungan antara murid perempuan dan murid laki-laki. Saya melihat seperti

183
adanya pemisah antar murid. Murid laki-laki cenderung enggan dekat dengan murid
perempuan, begitu pun sebaliknya. Mereka tidak mau berbaur satu sama lain, bahkan
terlihat cenderung bermusuhan.
Saya menyadari adanyasekat antara murid laki-laki dan perempuan ketika saya
meminta mereka bergabung dalam satu kelompok. Secara lantang salah satu murid laki-
laki, Rendi, berkata “ga bisa bu, cah lanang karo cah lanang, cah wadon karo cah wadon.
Harusnya begitu bu”. Waduh, keras sekali penentangannya, pikir saya waktu itu.
Akhirnya saat itu saya mengalah dan menuruti keinginan murid-murid sambil
memikirkan langkah selanjutnya mengenai sekat pemisah ini.
Sebenarnya pengelompokan teman sesuai dengan gender bukanlah hal yang
aneh untuk kalangan anak-anak, terutama anak usia sekolah dasar. Mereka merasa
lebih nyaman untuk bermain dengan teman dengan gender yang sama. Selain itu,
lingkungan di desa Sigedong yang cenderungagamais membuat hubungan antara laki-
laki dan perempuan cenderung berjarak. Meskipun begitu, murid sebaiknya bisa
berbaur satu sama lain ketika berada di dalam kelas.
Hari pertama saya resmi memegang kelas 5. Saya sudah memikirkan beberapa
rencana untuk membuat murid—murid bisa lebih berbaur. Salah satu strategi saya
yakni ketua kelas bergilir. Setiap hari kelas akan dipimpin oleh ketua kelas yang
berbeda, bisa saja murid laki-laki atau murid perempuan. Ketika saya menyampaikan
rencana mengenai ketua kelas bergilir, ternyata rencana tersebut menuai diskusi yang
cukup alot antar murid.
“Bu, jadi ketua kelasnya digilir bu? Jadi cah lanang kan ada enem, tiap hari
bergiliran ya?” tanya salah satu murid laki-laki yang cukup vokal, Umam.“Bukan begitu
Umam, jadi digilir setiap hari dan setiap murid mendapatkan kesempatan untuk
menjadi ketua kelas. Kalau hari ini ketua kelasnya laki-laki, besok ketua kelasnya
perempuan. Begitu nak.” Jelasku pada Umam dan seluruh murid di kelas 5.“Waduh bu,
tidak bisa seperti itu. Ketua kelas harus laki-laki. Cah wadon mah tidak bisa jadi ketua
kelas.” Sergah Rendi cepat.“iya bu guru, mereka suaranya kecil, ga bisa jadi ketua kelas”
murid lain menambahkan.
Saat itu, saya mengarahkan pandangan saya ke arah barisan perempuan. Salah
seorang murid perempuan spontan menjawab “saya berani bu, tapi ga dibolehin sama
yang laki-laki bu.” Wah, berarti mereka mau menjadi ketua kelas. Sekarang tinggal
bagaimana murid laki-laki mau menerima kesepakatan ini.

184
“Bagaimana yang laki-laki? Anak perempuan sudah mau ketua kelas gantian.
Kalian setuju ga?” saya mencoba untuk meyakinkan mereka kembali. “Sebentar bu guru,
kami akan berdiskusi” keenam laki-laki muda kelas 5 melingkar dan berdiskusi. Saya
tersenyum melihat tingkah mereka. Sebegitu kuatkah keengganan mereka untuk
dipimpin oleh perempuan?
Akhirnya, setelah diskusi (dan debat) yang cukup panjang, para lelaki mau
menerima keputusan tersebut. “Yo wes lah bu, terserah ibu saja”, kalimat penutup
diskusi panjang kami. Saya tau bahwa benar mereka sebenarnya masih belum bisa
menerima. Oleh karena itu, ketua kelas hari itu berasal dari murid laki-laki.
Urusan antara murid perempuan dan laki-laki tidak hanya berhenti di ketua
kelas. Masalah lain muncul ketika saya meminta mereka mengerjakan tugas kelompok
yang anggotanya berbaur. Heboh, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan
situasi saat itu. Pekik penolakan untuk satu kelompok dengan teman lawan jenis,
teriakan karena diganggu, dan keluhan karena anggota yang tidak bekerja terdengar
sepanjang pengerjaan tugas. Satu dua kali saya berkeliling dan ‘memaksa’ mereka untuk
mencoba bekerja sama. Di akhir tugas, ternyata saya malah menemukan satu murid
perempuan yang menangis karena dijahili oleh murid laki-laki. Duh Gusti..
Hari-hari berlalu dengan cepat. Tawa, canda, tangis, marah, iseng, jahil murid
kelas lima terlewati begitu saja. Selama itu pula saya tetap berusaha untuk membaurkan
murid laki-laki dan perempuan. Agar mereka bisa duduk bersama untuk mengerjakan
tugas, tidak ada yang berteriak, dan tidak ada yang menangis.
Memang, lambat laun penolakan mengenai penggabungan murid dalam satu
kelompok mulai berkurang. Sentimen murid laki-laki terhadap ketua kelas perempuan
juga mulai mengecil. Murid laki-laki mulai menghargai apabila ketua kelas perempuan
sedang memimpin. Murid perempuan juga mulai menunjukan keberaniannya. Mereka
tak segan lagi untuk mengungkapkan keinginan dan pendapatnya. Meskipun begitu,
gesekan antarmurid masih sering terjadi. Isengnya murid laki-laki dan teriakan murid
perempuan masih terdengar di kelas lima ini. Namanya juga anak-anak, sepertinya
memang butuh waktu lebih lama untuk membuat mereka lebih akur.
-
“Bu, nanti pesta rakyat kita akan tampil apa?” tanya Neina, salah seorang murid
perempuan
“Hmm.. bagaimana kalau kita buat kelompok lalu kita pertunjukan origami?” jawab saya

185
“Kelompoknya bebas bu?” tanya Neina
“bebas nak..”
“saya sekelompok sama Rendi, Umam, Noto ya bu..”
“boleh nak”

Dalam hati saya mengucap syukur, ternyata mereka bisa (mau)bersama dan
berbaur di hari-hari terakhir saya di sana.

186
INI HANYA SOAL
PERPISAHAN:
Catatan Penutup
Hudzaifah

187
Ini Hanya Soal Perpisahan
Hudzaifah

Ini hanya soal perpisahan, tidak lebih. Semua orang pernah mengalami
perpisahan, tetapi tidak semua pula benar-benar merasakan perpisahan. Semua juga
tahu perpisahan itu, tetapi hanya sebagian yang mampu menemukan apa itu
perpisahan. Padahal sebagian orang menyadari perpisahan, namun di saat yang sama
sebagian lain tidak benar-benar menyadari jika itu adalah perpisahan. Meskipun pada
akhirnya semua orang tahu bahwa ia akan menemui perpisahan, namun belum pernah
ada satu orang pun yang benar-benar siap menemui perpisahan itu. Sebab perpisahan
sudah hadir saat semua orang dihadapkan pada pertemuan. Entitasnya menjadi satu-
satunya yang logis dalam kehidupan semua orang.
Sekarang mari tanyakan. Bukankah setiap hari orang-orang saling bertemu dan
setiap hari pula orang-orang harus berpisah? Bukankah itu juga perpisahan? Jika iya,
dapatkah semua orang menemukan apa perpisahan itu, menyadari kehadiran
perpisahan itu, bahkan mempersiapkan diri untuk perpisahan itu? Ironis, sebab
perpisahan selalu jadi hal yang ditungggu-tunggu, tetapi semua orang tidak pernah
ingin meyelesaikan saat-saat perpisahan. Bahkan semua orang ingin jika saat-saat
perpisahan itu tidak akan pernah berakhir. Dan lagi-lagi ini hanya sekadar perpisahan,
realitas yang harus dihadapi semua orang karena dia sudah berani mengambil resiko
akan suatu pertemuan.
Dan seperti apa perpisahan yang benar-benar menjadi perpisahan itu? Rasanya
kita perlu membahas ini lebih serius. Sebab tidak semua hal tampak seperti perpisahan.
Sebab perpisahan adalah satu hal yang rumit, yang semua orang menginginkan, tetapi
takut pada kehadirannya. Sebab perpisahan itu harus tetap ada, sekalipun orang
menolak keberadaannya. Sebab itulah perpisahan, reaksi paling nyata dari pertemuan.
Lalu seperti apa yang disebut benar-benar perpisahan. Bukankah hal ini belum
terjawab. Atau memang tidak perlu dijawab. Tapi ini harus terjawab. Mungkinkah ia
adalah saat-saat khawatir kita menghadapi segala hal dalam kepala yang belum pasti
keberadaannya. Kemudian segala itu sirna karena ia tidak benar-benar ada
keberadaannya. Dan rasa nyaman perlahan mulai merayapi dinding perasaan kita.
Hingga akhirnya ia sampai pada titik kesadaran yang membuat kita lupa siapa diri kita,

188
dari mana diri kita, untuk apa keberadaan kita, bahkan sampai kapan diri kita. Yang
membuat diri kita merasa bagian dari sesuatu yang sebenarnya bukan untuk kita. Lalu
esok hari, saat kenyamanan itu sedang berada di puncaknya, tiba-tiba kenyataan bahwa
kita telah sampai pada waktunya dengan angkuh memaksa kenyamanan turun dari
peraduannya. Membiarkan air mata memainkan perannya. Untuk hal yang entah
mengapa baru kita sadari bahwa itu terasa begitu berharga. Dan tiba-tiba tangan-tangan
kecil menggenggam tubuh kita, menarik-narik lengan kita, memeluk tubuh kita.
Kemudian waktu memaksa kita menyingkir kantangan-tangan kecil itu, meskipun kita
tahu kita tak pernah ingin menyingkirkannya. Dan saat tatapan basah tangan-tangan
kecil itu berada satu garis lurus dengan tatapan basah kita. Kemudian garis lurus itu
semakin lama semakin terasa bertambah jauh. Hingga ia benar-benar hilang dari
kenyataan kita.
Yang kemudian suatu perasaan aneh mengguncang jiwa kita. Akhirnya kita
hanya bisa membenamkan wajah kita. Dalam keheningan. Seperti itukah? Padahal yang
menyayat bukanlah perpisahan itu. Tetapi kenangan-kenangan yang mengiringi
perpisahan itu. Dan yang harus dilakukan hanyalah membuka pintu keridaan untuk
menerima segala tiba. Akhirnya kita tahu, ternyata ini bukan hanya soal perpisahan.
Terima kasih kepada 11 kawan untuk dua puluh lima harinya. Kalian telah
memberikan sebuah kenangan berharga tentang keceriaan, kehangatan, dan
kekeluargaan. Yakinlah bahwa perpisahan kita adalah jalan untuk pertemuan kita
kembali. Jaga diri baik-baik di sana. Sebab kita harus bertemu lagi.

189
Pembelajar Sejati

Alkisah ada segerombolan mahasiswa di sebuah Universitas di Indonesia,


mencoba mengaktualisasikan diri dan menjadi pembelajar sejati

Pembelajaran, Pengembangan, dan Pengabdian sudah selayaknya dilakukan,


tak hanya direncanakan saja apalagi cuma jadi angan belaka

Ada satu nasihat pembelajar terdahulu, “Jadi mahasiswa jangan cuma kupu-
kupu”. Jika hayati adalah pembelajar sejati, maka abdikanlah diri dengan Tri
Dharma Perguruan Tinggi

Tak perlu menggunakan cara yang mewah untuk mengabdi, karena yang
sederhana saja bisa memberi arti ketika dilakukan dengan hati

Turun ke desa berbagi asa dan mengajar anak-anak sekolah dasar, berbagi
kesempatan dengan anak negeri, generasi konkret pejuang mimpi

Mulai dari berangan-angan, bercengkrama, bercerita, hingga hidup


bersama. Anak-anak itulah generasi nyata titisan sang Garuda

Mereka punya mimpi, bebaskan Ibu Pertiwi dari korupsi. Berseragam merah
putih, berdiri tegap, dan melantangkan janji, “Bagimu Negeri Jiwa Raga
Kami”

Mari merayakan cita-cita, mengabdi dengan sukarela memperjuangkan


mimpi mereka.

Karena perubahan takkan ada tanpa aksi nyata. Inilah sebuah karya
Gerakan UI Mengajar Angkatan 5

“Mengabdi Sepenuh Hati, Menginspirasi Setulus Hati”

M. Syamsul Muarif

190
PROFIL PENULIS

Prof. Dr. Meutia F. Hatta-Swasono adalah Mantan Anggota Dewan


Pertimbangan Presiden bidang Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 2009-
2014. Sebelumnya, beliau adalah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
pada Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009. Putri sulung Wakil Presiden RI
Pertama ini sekarang beraktivitas sebagai Guru Besar Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

M. Julnis Firmansyah lahir di Jakarta, 20 Juni 1991. Saat ini dia adalah
mahasiswa di Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia.Julni adalah project officer Gerakan UI Mengajar
Angkatan 5. Julnis memiliki ketertarikan dengan dunia sosial dan pendidikan.

Prayogo Geseit adalah mahasiswa sarjana di Program Studi Indonesia,


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Lahir di Jakarta, 14
Juli 1994. Saat ini aktif di komunitas teater di jurusannya dan di Gerakan UI
Mengajar Angkatan 5 dia adalah Director dari Divisi Akomodasi.

M. Arief Wicaksono adalah mahasiswa sarjana di Program Studi Antropologi,


Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia. Lahir di Malang, 2 Februari 1996. Memiliki hobi membaca dan
menulis. Dia menjadi staf Publikasi dan Dokumentasi di Gerakan UI Mengajar
Angkatan 5.

M. Luthfi Fauruzua adalah mahasiswa di Fakultas Psikologi, Universitas


Indonesia. Lahir di Bandar Lampung, 25 Mei 1995. Memiliki hobi membaca
buku dan jalan-jalan. Luthfi pernah menjadi Kepala Biro PSDM BEM Fakultas
Psikologi UI pada tahun 2016. Motto hidupnya adalah knowing is better than
wondering, waking is better than sleeping, and even the biggest failure, even the
worst mistake, beats the hell out of never trying.

Tirta Pangestu Putri adalah mahasiswa di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu


Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Lahir di Jakarta, 15 Agustus
1995. Memiliki hobi membaca dan bercita-cita untuk menjadi editor atau
bekerja di bagian public relation di industri perbukuan dan media.

Siti Awaliyatul lahir di Kebumen, 11 Agustus 1994. Saat ini dia adalah
mahasiswa Arsitektur, Fakultas Tkenik, Universitas Indonesia. Memiliki hobi
membaca dan jalan-jalan serta bercita-cita menjadi seorang perancang kota.
Siti menjadi kontributor dalam buku, “Islam, Kpeemimpinan, dna
Keindonesiaan” serta menjadi peserta dalam ajang Youth Involvement Forum.

191
Melati Suma Paramita lahir di Jakarta, 14 Agustus 1995. Saat ini ia
menempuh studinya di Departemen Ilmu Komunikasi dengan peminatan
kajian media. Memiliki hobi membaca dan jalan-jalan. Melati bercita-cita
menjadi seorang jurnalis. Dia juga pernah meraih Juara 1 dalam ajang
Indonesia Data Driven Journalism 2016 yang diselenggarakan oleh Kantor
Staf Kepresidenan RI.

Aprila Suprihendina lahir di Pekalongan, 19 April 1995. Memiliki hobi


memasak dan berkebun serta bercita-cita menjadi kepala Badan Pemeriksa
Obat dan Makanan Indonesia. Motto hidupnya adalah kerja keras, kerja
cerdas, dan kerja ikhlas. Di Gerakan UI Mengajar Angkatan 5 ini dia sebagai
pengajar kelas 3.

Aisyah Mauludia lahir di Bogor, 10 Agustus 1994. Dia adalah mahasiswa di


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Aisyah memiliki hobi
berenang, bersepeda, dan bulutangkis. Dia juga bercita-cita sebagai dokter
gigi spesialis bedah mulut. Aisyah pernah menjadi penyuluh dalma kegiatan
Dentistry Social Project di sebuah sekolah luar biasa di Jakarta pada 2013.
Motto hidupnya adalah hidup sekali, berarti, lalu mati.

Reyzando Nawara lahir di Surabaya, 30 Juli 1996. Saat ini dia adalah
mahasiswa di jurusan Tkenik Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia. Memiliki hobi menonton film dan memasak serta bercita-cita
sebagai lubricants engineer. Reyzando banyak memiliki pengalaman kegiatan
sosial, salah satunya adalah dalam ajang Kstaria Pengajar TIS FTUI 2015.
Motto hidupnya adalah do it or die.

Darneliana Septiani adalah mahasiswa sarjana di Fakultas Psikologi,


Universitas Indonesia. Sejak dulu memang menggemari dunia anak-anak dan
bercita-cita menjadi seorang psikolog anak. Dia cukup concern di dunia
pendidikan, khususnya pendidikan anak.

Nur Alifia Nabila lahir di Jakarta, 11 Maret 1996. Saat ini dia merupakan
mahasiswa di Program Studi Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia. Memiliki hobi jalan-jalan dan menulis. Dia juga pernah
menjadi pembicara dalam seminar “Stop Child and Human Traficking for
Sexual Purposes” yang diselenggarakanb oleh Rumah Faye dalam rangka
MOS SMP/SMA se-DKI Jakarta.

Safira Karunia Rahma lahir di Jakarta, 22 Juni 1996. Saat ini Safira adalah
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Memiliki hobi jalan-
jalan dan membaca dan bercita-cita menjadi seorang psikolog anak. Motto
hidupnya adalah selalu menghargai dan bersyukur atas apa yang kamu miliki
saat ini dan lakukan segala sesuatunya dnegan setulus hati.

192
Mutiara Aisha Maghfira lahir di Jakarta, 17 Agustus 1996. Dia adalah
mahasiswa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Memiliki hobi
membaca dan jalan-jalan dan bercita-cita sebagai psikolog pendidikan.
Mutiara banyak memiliki pengalaman dalam kegiatan sosial. Slaah satunya
adalah menjadi sukarelawan di acara “Walk for Autism” pada tahun 2015.

Anggun Frida adalah mahasiswa sarjana di Fakultas Ilmu Keperawatan,


Universitas Indonesia. Lahir di Jakarta, 14 September 1996. Anjun, sapaan
akrabnya, sangat menggemari anak-anak, langit, dan buku. Dia bercita-cita
sebagai perawat spesialis anak. Came from nothing to be something adalah
motto hidupnya.

Oscar M. Ramadhan lahir di Jakarta, 28 Februari 1995. Saat ini dia adalah
mahasiswa di Fakultas Matematik dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia. Memiliki hobi membaca dan bercita-cita menjadi seorangs
utradara atau bekerja di UNICEF. Motto hiduonya adalah talk more and do
many more.

Khafsah Sangadah lahir di Kebumen, 29 Desember 1995. Pendidikan dasar


hingga menengahnya ditempuh di kota kelahiran. Saat ini dia menempuh
studinya di Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Penegtahuan Alam, Universitas Indonesia. Memiliki hobi memasak dan
menonton film India. Khafsah memiliki cita-cita menjadi dokter. Dia juga
pernah menjadi sukarelawan pada Kimia Tanggap Lingkungan Sekitar 2014.

Zeinia Maulida lahir di Depok, 22 Juli 1996. Dia memiliki hobi menonton
film dan membaca serta bercita-cita menjadi seorang dosen. Pernah
berpartisipasi dalam Festival Dongeng Indonesia pada tahun 2014. Salah
satu karyanya adalah mengenai penggunaan produk multimedia untuk
memenuhi kebutuhan informasi studi kasus keluarga kecil (2015).

Annisa Ainina Novara lahir di Jakarta, 21 November 1994. Saat ini dia
adalah mahasiswa sarjana di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Annisa memiliki hobi membaca dan bercita-cita menjadi praktisi
pendidikan. Dia juga memiliki pengalaman menjadi sukarelawan di Rumah
Belajar Psikologi CoH dan pengajar di Rumah Belajar BEM UI, serta menjadi
kakak asuh jalan jalin Sadewa.

Clara Citra Ariani lahir di Jakarta, 14 Januari 1995. Saat ini dia merupakan
mahasiswa di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Memiliki hobi
membaca, jalan-jalan, menari, dan menonton film. Serta bercita-cita menjadi
seorang pengacara, hakim, guru, atau dosen. Clara pernah menjadi delegasi
UI untuk KKN Kebangsaan 2015 dengan tema lingkungan hidup (isu
kebakaran hutan) di Provinsi Riau.

193
Fadlin Ananta lahir di Bandar Lampung, 29 Mei 1994. Saat ini dia adalah
mahasiswa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Memiliki hobi
makan dan membaca serta bercita-cita menjadi seorang praktisi di bidang
SDM dan pendidikan. Salah satu karya tulisnya pernah dimuaty dalam
publikasi research paper dalam Kongres Himpunan Psikologi Indonesia ke-
XII tahun 2014.

Aditya Fahmi Nurwahid adalah Duta Gerakan UI Mengajar Angkatan 5 yang


berasal dari Universitas Diponegoro (Gerakan Undip Mengajar). Dia adalah
relawan di beberapa gerakan mengajar. Menempuh studinya di Departemen
Ilmu Komunikasi, FISIP, Undip.

M. Syamsul Muarif lahir di Malang, 12 September 1996. Saat ini dia adalah
mahasiswa di Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Cita-
citanya adalah Mendirikan tempat belajar gratis untuk anak-anak yatim
piatu, anak-anak miskin, anak-anak berkebutuhan khusus, dan anak-anak
bermasalah dengan hukum. Syamsul memiliki hobi membaca dan menonton
film. Motto hidupnya adalah never forget where you came from.

Dini Puspitaningrum lahir di Tangerang, 3 Mei 1995. Dini adalah


mahasiswa di jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengrtahuan
Alam, Universitas Indonesia. Dia memiliki ketertarikan di dunia konservasi
tumbuhan, kehiatan sosial dan pendidikan, serta dunia fotografi. Pernah
menjadi juara pertama dalam ajang Photography Competition pada Hari
Cinta Puspa Satwa Nasional, UIN Jakarta.

Ananda Zhafira lahir di Banjarmasin, 4 Oktober 1995. Saat ini dia


merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang
memiliki minat pada kegiatan sosial masyarakat dan pendidikan. Minat
tersebut membawanya terlibat pada berbagai aktivitas sosial seperti
Departemen Pengabdian Masyarakat BEM Psikologi 2014 dan volunteer
pada kegiatan Psikososial Pascabanjir UI Peduli yang diselenggarakan
Departemen Riset dan Pengabdian Masyarakat UI, Pengajar Paket B Rumah
Belajar BEM UI 2013.

Ni Putu Putri Puspitaningrum lahir di Denpasar, 17 Februari 1995. Saat ini


dia merupakna mahasiswa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Memiliki hobi menulis dan mendengarkan cerita. Putri memiliki cita-cita
memiliki sebuah ayyasan yang fokus pada perkembangan anak dan remaja.
Berbagai pengalaman kegiatan sosialnya adalah di Komunitas HFHL
(Healthy Food Healthy Living): kampanye pangan lokal, dan Komunitas Baca
Gdebook: perpustakaan dan kegiatan creative class untuk meningkatkan
minat baca (saat ini menjadi program manager).

194
Hana Erlida lahir di Jakarta, 13 Agustus 1994. Dia adalah mahasiswa di
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Hana adalah staf divisi Research
and Educational Development pada Gerakan UI Mengajar Angkatan 5. Hana
sangat aktif di berbagai kegiatan di fakultasnya, salah satunya menjadi head
of seminar-talkshow division di Psychology Festival 20134.

Reza Sugiarto lahir di Jakarta, 16 Juni 1995. Saat ini dia merupakan
mahasiswa di jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.

Nuurul Fajari lahir di Jakarta, 30 Januari 1995. Saat ini dia adalah mahasiswa
di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia. Nuurul adalah director of publication and documentation pada
Gerakan UI Mengajar Angkatan 5. Dia memiliki ketertarikan dengan buku dan
fotografi.

Alberta Prabarini lahir di Malang, 23 Februari 1997. Saat ini Alberta


menempuh studinya di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Perempuan yang menggemari
petualangan ini juga hobi menulis puisi. Motto hidupnya adalah The sky tells
me there are no limits and curiosity tells me to explore.

Hudzaifah lahir di Jakarta, 27 Maret 1993. Dia adalah mahasiswa di Program


Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Hobinya adalah menulis dan olah raga, khususnya bermain tenis meja dan
futsal. “Jangan pernah berpikir mundur saat kita tengah melangkah, karena
kita tidak akan pernah tahu sudah seberapa dekat kita dengan kesuksesan”
adalah motto hidupnya.

Sutan Akbar lahir di Tebing Tinggi, 28 Oktober 1997. Sutan merupakan


mahasiswa di jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Membaca dan berorganisasi adalah kegemarannya. Motto hidupnya adalah
hidup adalah tugas.

Kiki Ikromatul lahir di Tangerang, 13 Juni 1994. Kiki adalah mahasiswa di


Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Hobinya adalah
membuat kue dan mendongeng. \

195
Rizka Fitriana lahir di Bekasi, 16 Maret 1995. Rizka adalah mahasiswa di
jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia. Perempuan yang memiliki motto hidup Loving God, Blessing
Others, and Improving Self Joyfully ini memiliki hobi menulis dan membaca.

Ryza Maulana lahir di Yogyakarta, 31 Agustus 1994. Saat ini dia merupakan
mahasiswa Ilmu Gizi di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia. Ryza gemar bermain musik dan berolah raga serta memiliki motto
hidup untuk selalu bermanfaat bagi orang lain.

Yohana Yose Gunawan lahir di Tangerang, 22 Oktober 1994. Yohana


merupakan mahasiswa jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Indonesia. Memiliki hobi karate dan jalan-jalan serta motto
hidupnya adalah Whatever happens the show must go on!

Latifa Ayu Lestari lahir di Jakarta, 7 Oktober 1995. Latifa adalah mahasiswa
di Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Memiliki hobi
menulis, membaca, dan travelling, dan memiliki motto hidup khairunnas
anfa'uhum linnas (sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk
orang lain).

196

Anda mungkin juga menyukai