alam yang Maha Rahim dan Maha Rahman yang telah memberikan nikmat dan
Karunia-Nya kepada Seluruh Makhluk-Nya. Semoga kita selalu ada dalam lindungan
kemampuan kepada hamba-Nya sehingga dengan izin-Nyalah akhirnya karya tulis ini
menyadari bahawa karya tulis ini jauh dari kata sempurna banyak sekali kekurangan
yang harus diperbaiki lagi. Mekipun begitu penulis berharap apa yang penulis dan
Selama penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak sedikit hambatan yang penulis
rasakan. Akan tetapi berkat bantuan dan dorongan moril maupun materil dari berbagai
pihak akhirnya karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis ingin
1. Mudirul’Am Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge Koko Kadier B.A yang selalu
menyayangi dan tidak pernah menyerah mengayomi santriwan dan santriwati yang
i
2. Mudirul Mu’alimien Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge Dadang Sulaeman,
4. Yang terhormat wali kelas XII IPA MAGNIFICIENT Angkatan 17 Yeni Herlina,
S.Pd yang selalu memberikan dukungan, dorongan dan bantuan yang tiada henti demi
kebaikan bagi kami sendiri dan juga sebagai guru di bidang Karya Tulis Ilmiah yang
telah memberikan arahan, bimbingan dan bantuan dalam mengerjakan Karya Tulis
Ilmiah ini.
bantuan baik berupa tenaga dan pikiran, serta selalu memberikan arahan, ilmu dan
6. Pembimbing II Yeni Herlina, S.Pd. yang telah banyak meluangkan waktu, bantuan
baik berupa tenaga dan pikiran, serta selalu memberikan arahan, ilmu dan motivasi
7. Penguji I Teten Rosyadi, S.Th.I, M.Pd.I dan Penguji II Ulfah Latifah, S.Hum
Yang telah meluangkan waktu serta memberikan bantuan dan arahan dalam
8. Seluruh Asatidz dan Asatidzah di Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge yang selalu
mengaliri kami dngan kasih sayangnya, yang tiada henti memberikan kami ilmu-ilmu
yang sangat bermanfaat, yang selalu pantang menyerah menuntun kami dalam
ii
9. Kepada keluarga besar Magnificient : Aghni Dzul Fikri, Agni Aulia, Ahmad Rizal
Fauzi, Ajmal Fahmi Al-Fikri, Alya Evita Putri, Alya Hafizy, Ardi Riyadussalam, Bala
Putra Dewa, Dea Ramadhanti Solihin, Dhiaulhaq, Dina Aghnia Firdaus, Fajri Maula
Akbar, Hagya, Hilman Firmansyah, Ihsan Abdul Hafidz, Ilmaiza Nurlatifa, Imam
Nasrullah, Ridwan Nurfadilah, Riska Laela Sari, Rizki Candra, Sisca Aura Safitri,
Wafiyati Ahdi Rahmani, Zaenal Abidin. Keluaga pertama ketika berada di sekolah
yang setiap hari selalu memberikan semangat serta dukungan dalam berbagai keadaan.
10. Kepada keluarga tercinta terima kasih selalu memberikan semangat serta dukungan
11. Kepada adik-adik kelas yang ada di Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge
Untuk semua yang menjadi bagian dari kisah perjalanan hidup penulis selama ini,
Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat sehingga menjadi kebaikan bagi para
pembaca.
iii
Sumedang, januari 2023
Penulis
iv
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 36
B. Saran........................................................................................................................... 36
v
BAB I
PENDAHULUAN
bernyawa, tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana ia akan menemui ajal, dalam
keadaan baik atau buruk. Bila ajal telah tiba maka maka tidak ada yang bisa
datangnya kematian, bukan hanya karena kematian itu merupakan perpisahan dengan
pertanggung jawaban atas amal yang dikerjakan selama orang tersebut hidup di dunia.
Tiap manusia sudah ditentukan ajalnya sendiri-sendiri oleh Allah swt, hanya
saja manusia tidak mengetahui kapan ajal itu akan datang, dan dimana tempatnya ia
meninggal dunia, atau masih bayi atau sudah tua dan ada pula yang sudah sangat tua
baru meninggal, semua itu Allah swt yang menentukan. Kematian adalah umum
untuk semua orang dan budaya yang bervariasi memiliki cara mereka sendiri untuk
Shalat ghaib adalah pengganti shalat jenazah yang dilakukan kepada seorang
1
meliputi guru dan pegawai bersama warga yang berada disekitar masjid madrasah
melakukan shalat Ghaib usai melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah. Hal ini
dilakukan untuk mendoakan musibah yang menimpa keluarga besar dari MTsN 1
Kota, dimana salah satu Warga Madrasah yang bekerja sebagai penjual makanan di
َ ا َ ْينَ َما ت َ ُك ْونُ ْوا يُ ْد ِر ْك ُّك ُم ْال َم ْوتُ َولَ ْو ُك ْنت ُ ْم ِف ْي بُ ُر ْوج ُّم
شيَّدَة
Artinya; “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatimu sekalipun kamu
Dalam ajaran Islam, kehormatan manusia sebagai khalifah Allah swt dan
sebagai ciptaan termulia, tidak hanya terjadi dan ada ketika masih hidup di dunia saja.
Akan tetapi kemuliaannya sebagai makhluk Allah swt tetap ada walaupun fisik sudah
meninggal. Pengurusan jenazah muslim sangatlah penting karena jika ada seorang
muslim meninggal di suatu tempat dan tidak ada yang bisa merawatnya dengan benar
(sesuai dengan ajaran agama Islam), maka seluruh masyarakat yang tinggal di tempat
Oleh sebab itu harus ada orang muslim yang mampu untuk mengurusi jenazah
dengan benar berdasarkan ajaran agama Islam. Adapun salah satu dari bagian
pengurusan jenazah yaitu shalat jenazah dalam melaksanakan shalat jenazah tentunya
2
mesti dengan kaifiyat yang benar menurut ajaran agama islam.Shalat jenazah bisa
dilakuka tanpa adanya jenazah atau shalat ghaib. Apa itu shalat ghaib?shalat ghaib
adalah shalat yang tidak terlihat jenazah atau jenazahnya tidak ada di hadapan kita.
mengenai syariat shalat ghaib.oleh karena itu,penulis ingin memperdalam dan ingin
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Penulis karya tulis ini dinilai sangat bermanfaat, secara teoritis maupun
secara praktis. Secara teoritis, karya tulis ini diharapkan dapat menambah sumber
kepustakaan dan wawasan bagi pembaca. Secara praktis, penulis karya tulis ini
3
diharapkan dapat berguna dan menjadi petunjuk bagi masyarakat dalam
E. Metode Penelitian
murni yaitu mencari keterangan yang sesuai dengan masalah yang akan dibahas dari
sumber yang berupa buku, naskah-naskah, majalah, artikel, jejaring internet dan
lainnya.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penelitian
4
BAB II: LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian syariat
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Syariat
ditunjukkan Allah kepada umat manusia. Jalan ini berupa hukum dan ketentuan
dalam agama Islam, yang bersumber dari al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW,
ijma, dan qiyas. Tujuan dari syariah tidak lain dan tidak bukan adalah agar umat
manusia tidak tersesat dalam hidup, baik di dunia atau di akhirat. Karena Allah
Tidak banyak yang tahu bahkan dari umat Islam sendiri, bahwa istilah
syariah sudah digunakan sejak dulu, yakni pada zaman Nabi Muhammad. Akan
tetapi, istilah yang dipakai bukan yang dalam bentuk tunggal, namun bentuk jamak
yakni syara’i. Sedangkan, syariah sendiri adalah kata berbentuk tunggal dalam
bahasa Arab. Bahkan penggunaannya tidak hanya di Arab Saudi tempat kelahiran
)شريعةberasal dari kata syara'a ( )شرعyang berarti jalan menuju mata air. Dalam
istilah Islam, syari'ah berarti jalan besar untuk kehidupan yang baik, yakni nilai-
nilai agama yang dapat memberi petunjuk bagi setiap umat manusia.Syariah
menurut etimologi berarti sumber air yang dituju (didatangi) untuk minum.
6
Kemudian kata syariah itu digunakan oleh orang-orang Arab dalam arti jalan yang
lurus.
dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum
Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata
Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah berarti “Segala sesuatu yang
Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat”. Abdul Wahab
Khallaf memberikan pengertian syari’ah itu sebagai : Dari beberapa pengertian yang
diungkapkan oleh para ahli dapat dirumuskan bahwa “Syari’ah adalah aturan-
aturan yang berkenaan dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan dengan
hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi
saw.”
Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun syari’at Islam itu tidak
berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi, sebab petunjuk-
abadi.
7
Sementara menurut para ulama, definisi syariah mencakup hukum dasar
dengan sesama manusia, dan juga kepada alam. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nisa
terlalu umum. Hal ini dapat tergambar pada poin-poin hukum yang terdapat dalam
al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW.Namun, hukum dasar yang masih sangat
umum tersebut tentu perlu dikaji lebih dalam agar dapat diaplikasikan dalam
manusia.
Oleh karena itu, dibentuklah satu bidang ilmu pengetahuan yang khusus
spesifik yang dibutuhkan oleh manusia. Bidang ilmu tersebut bernama ilmi fiqih
dan orang yang memiliki keilmuan dalam bidang itu disebut faqih. Oleh sebab itu,
8
banyak salah paham yang menyamakan pengertian syariah dengan pengertian fiqih.
Padahal, ada dua hal dasar yang sangat membedakan fiqih dengan syariah.
manusia. Oleh karena itu, syariah bersifat pasti atau niscaya. Sementara dalam fiqih,
lingkup yang dibahas kepada cara atau amaliah tingkah laku manusia dan tidak ada
satu kepastian dalam fiqih karena sifatnya yang merupakan hasil buah pemikiran
adalah jalan yang jelas yang ditunjukan Allah kepada umat manusia. Jalan ini
berupa hukum dan ketentuan dalam agama islam, yang bersumber dari Al-Quran,
hadits Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas. dan fungsi syariah adalah
dan hablum minannas atau hubungan kepada sesamanya, dengan sebaik mungkin.
Shalat secara Bahasa berarti doa. Secara istilah shalat adalah yang terdiri
dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri
dengan salam (Kemenag, 2014: 19). Sementara dalam KBBI shalat dideskripsikan
sebagai ibadah kepada Allah SWT dan wajib dilakukan setiap Muslim mukalaf
dengan syarat, rukun, dan bacaan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam (Kemenag, 2008: 1208) Shalat ghaib adalah shalat yang tak terlihat.
Maksud tak terlihat yaitu jenazahnya yang tidak ada dihadapan kita. Shalat ghaib
9
ini diperuntukan kepada saudara kita yang meninggal dunia ditempaat jauh, di
kepada Allah sedangkan ghaib tidak kelihatan atau tersembunyi. Shalat ghaib
adalah shalat jenazah yang dilakukan umat islam terhadap saudaranya sesama
muslim yang wafat, tetapi jenazahnya tidak berada dihadapan orang yang
Tata cara shalat ghaib sama hal nya dengan shalat jenazah namun shalat
ghaib sedikit berbda dimana shalat jenazah ada mayit dihadapannya namun shalat
ghaib tidak ada mayit di hadapannya. Artinya si mayit meninggal diluaran sana
shalat ghaib.
a. Takbir Pertama
10
Dari hadits di atas di wajibkan membaca surat al-Fatihah karena
merupakan syarat sah melaksanakan shalat karena jika seseorang lupa membaca
al-Fatihah ketika shalatnya maka shalatnya di anggap gugur dan harus diulangi
lagi.
b. Takbir kedua
الﻤا ِء
َ ﺴْلﮫُ ِﺑ ِ ْﻒ َعْنﮫُ َواَْكِر ْم ُنُﺰَلﮫُ َوَوِسْع َمْدَخَلﮫُ َواﻏُ اََٰللﮭُمَٰ اْﻏفِْرلَهُ َوْرَحْﻤﮫُ َوَعِافﮫِ َواْع
ﺲ َواَْﺑِد ْلﮫُ َدار ْ لدَن
ٰ ﺾ ِمَن ا ُ َب اَْْلْﺑي ِ
ُ َواَٰلﺜْلِﺞ َواْلَﺒَرد َوَنٰﻘﮫِ ِمَن اْلﺨََطايَ َكَﻤا يَُنﻘَٰى اَٰلﺜْو
اْلَنﺔَ َواَ ِع ْدهُ ِم ْن
ْ ُاخيْرا ِمْن َزْوِجﮫِ َواَ ْد ِخ ْلهَ َخيْرا ِمْن َداِرهِ َواَھلِِه َخيْرا ِمْن اَ ْھِلﮫِ َوَزْوج
ِ
َ اب الْ َﻘ ِْْباَْو م ْن َع َذ
اب النا ِر َ َع َذ
11
Artinya:”Ya Allah, ampunilah ia, berilah rahmat kepadanya, selamatkan ia (dari
beberapa hal yang tidak disukai), ampunilah dan tempatkanlah di tempat yang
mulia (di Surga), luaskan kuburnya, mandikan ia dengan air, salju, dan air es.
Bersihkan dia dari beberapa kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju
yang putih dari kotoran. Berilah ganti rumah yang lebih baik daripada rumahnya
(di dunia). Berilah keluarga yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia).
Berilah ia pasangan yang lebih baik dari pasangannya (di dunia). Masukkanlah
ia ke Surga dan lindungilah ia dari siksa kubur dan siksa Neraka.”( HR. Muslim
Juz 2 : 963)
c. Takbir Ketiga
Pada takbir ketiga membaca doa untuk si mayit agar si mayit di ampuni
d. Takbir Keempat
Dalam takbir keempat kita membaca do’a untuk memohon ampun bagi
orang yang telah meninggal dan juga bagi orang-orang yang masih hidup.
12
ِِ
ت اَ ْعلَ ُم
َ ْت ُرْو َح َها َواَن
َض َ ْت َه َديْتَ َها ل ْل ْس َلِم َواَن
ْ َت قَﺒ َ ْت َخلَ ْﻘتَ َها َواَن َ ْت َرُّّبَ َاواَن
َ ْاَلل ُهم اَن
ِس ْ َيَها َو َع َلنِيَ تَ َها ِجْئ نَا ُش َف َعاءَ فَا ْﻏ ِف ْرَلَا
Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah Rabbnya, Engkau telah menciptakannya,
Engkau beri dia hidayah Islam. Lalu Engkau ambil ruhnya. Engkau Mahatahu
segala sesuatu yang tersembunyi dan yang tampak dari dirinya. Kami dating
e. Salam
perkara yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. tetapi ditinggalkan oleh manusia: di
13
antaranya salam pada salat jenazah sebagaimana salam pada salat-salat lainnya.”
(HR Baihaqi dalam As-Sunanul Kubro, 4:43 dan dalam Ma’rifah As-Sunan wal
Atsar, 5: 305).
ghaib merupakan shalat jenazah yang dilakukan umat islam terhadap saudaranya
seislam yang wafat di negeri lain atau dalam daerahnya tidak ada yang menshalatkan
jenazah tersebut.
14
BAB III
PEMBAHASAN
Salat gaib adalah salat yang dikerjakan ketika jenazah tidak ada di tempat
sebagaimana salat jenazah, baik berkaitan dengan empat kali takbir atau tatacara
yang lainnya. Berkaitan dengan salat gaib ini, terdapat sebuah hadis yang
(Raja) An-Najasyi pada hari kematiannya. Beliau pun keluar menuju tempat salat,
lalu membariskan saf, kemudian takbir empat kali.” (HR. Bukhari no. 1245 dan
Etiopia). Nama aslinya adalah Ashamah. Asalnya, dia beragama Nasrani. Beliau
adalah seorang raja yang adil, yang tidak pernah menzalimi rakyatnya sedikit pun.
15
Ketika orang kafir Quraisy di kota Mekah semakin menindas kaum
sahabat. Raja Najasyi mendengar Al-Qur’an dari mereka dan didakwahi untuk
masuk Islam. Raja Najasyi pun masuk Islam dan keislaman beliau pun bagus.
Akan tetapi, beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.
mengabarkan tentang kematiannya di hari yang sama melalui berita wahyu. Nabi
‘anhum untuk menyalatkan gaib untuk Raja Najasyi. (Tashiilul Ilmaam, 3: 43)
Hal ini karena Raja Najasyi itu hidup di negeri Nasrani, tidak ada yang
seorang berdiri di Madinah maka ia berada di belakang Ka’bah dan Ka’bah terletak
diantara orang tersebut dengan negeri Habasyah. Apabila mayit meninggal dan
16
2. Perbedaan pendapat para ulama terkait hukum salat gaib
Adapun berkaitan dengan hukum salat gaib, para ulama berbeda pendapat
menjadi empat.
tersebut tidak berada di tempat kita? Sehingga menurut pendapat pertama ini, salat
gaib disyariatkan untuk siapa saja dari kaum muslimin yang meninggal dunia. (Al-
Pendapat kedua, adalah pendapat yang menyatakan bahwa salat gaib itu
tidak disyariatkan secara mutlak. Adapun salat gaib yang dikerjakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Raja Najasyi adalah perkara yang khusus
disyariatkan untuk Raja Najasyi saja, bukan kepada umatnya shallallahu ‘alaihi
wasallam. Hal ini karena banyak sekali para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang meninggal dunia di luar kota Madinah, di antaranya adalah para
adanya salat gaib untuk mereka ketika mereka meninggal dunia. Ini adalah
pendapat dalam mazhab Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Imam
17
Ahmad. (Syarh Fathul Qadir, 2: 117; Syarh Az-Zarqani, 2: 112; Al-Inshaf, 2: 533;
gaib itu tidak disyariatkan, kecuali jika di tempat jenazah tersebut berada, jenazah
tersebut tidak disalatkan (oleh penduduk setempat). Ini adalah salah satu pendapat
dalam mazhab Imam Ahmad, juga dipilih oleh Al-Khaththabi, serta dikuatkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah. (Ma’alim As-
Pendapat keempat, adalah pendapat yang menyatakan bahwa salat gaib itu
disyariatkan jika jenazah tersebut telah memberikan manfaat (jasa) yang luas
kepada kaum muslimin, baik dengan ilmunya (misalnya, ulama besar kaum
muslimin), kedudukannya, hartanya, atau dia dikenal membela Islam dan kaum
disalatkan oleh penduduk yang ada di sana. Hal ini untuk lebih menampakkan
kemuliaan orang tersebut dan juga sebagai balasan atas jasa yang telah diperbuat
untuk Islam dan kaum muslimin. Persyaratan semacam ini diambil dari kisah Raja
Ahmad rahimahullah, bahwa beliau berkata, “Jika seorang yang saleh itu
18
Pendapat keempat ini dikuatkan oleh beberapa ulama belakangan, di
antaranya adalah Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah. (Al-Fataawa, 13:
159)
perkataan bahwa Raja Najasyi itu tidak disalatkan oleh satu orang pun (di negeri
asalnya), adalah perkataan yang sangat jauh sekali.” (Masaail Imam Ibnu Baaz,
3. Pendapat terkuat
pendapat yang ketiga. Yaitu pendapat yang merinci apakah jenazah tersebut sudah
disalatkan di negeri asalnya (di negeri di mana jenazah tersebut meninggal dunia)
ataukah tidak. Jika di tempat meninggal si jenazah itu tidak ada kaum muslimin
yang menyalatinya, maka disyariatkan salat gaib. Akan tetapi, jika di tempat
meninggal si jenazah itu sudah ada kaum muslimin yang menyalatinya, maka salat
gaib tidak disyariatkan. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat dari
sisi pengambilan dalil atau argumentasinya. Salat gaib kepada Raja Najasyi
bukanlah syariat yang bersifat umum, akan tetapi hal itu hanyalah sebagai timbal
meninggal di negeri asalnya telah dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
19
rahimahullah. Di antara alasannya adalah karena Raja Najasyi itu hidup di tengah-
tengah orang kafir (yaitu Nasrani). Jika ada satu saja yang beriman, orang mukmin
tersebut tidak akan mengetahui bagaimanakah tata cara salat jenazah sedikit pun.
Pendapat ketiga ini juga dikuatkan dengan fakta bahwa para pembesar
bahwa kaum muslimin di negeri-negeri kaum muslimin yang jauh itu mendirikan
salat gaib ketika para pembesar sahabat tersebut meninggal dunia. Jika kaum
muslimin di negeri yang lain mendirikan salat gaib untuk mereka ketika meninggal
ini adalah pendapat yang paling dekat dengan dalil.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 44)
seseorang telah meninggal dunia, baik jasadnya diketahui maupun tidak, baik
sudah ada yang mensalatkan ataupun tidak. Tatacara pelaksanaan shalat jenazah
dapat dilakukan setelah meyakini seseorang telah meninggal dunia dan sudah siap
untuk dilaksanakan shalat atasnya. Shalat jenazah juga dapat dilakukan di kubur
20
Hal ini sebagaimana dijelaskan beberapa hadits Nabi Muhammad SAW
shalat atas suatu kubur setelah dikubur, lalu beliau takbir empat kali (HR. Muslim).
Rasulullah pernah shalat atas suatu kubur setelah satu bulan” (HR. al-Baihaqi).
Ada pula hadis: Dari Said bin Musayyab diriwaytkan, bahwa Ummu Sa’d
meninggal sementara Rasulullah tidak ada di Madinah, maka ketika telah kembali
datang beliau menshalatkan atasnya, padahal sudah berlalu satu bulan dari
melakukan shalat jenazah untuk orang yang meninggal, dengan jarak beberapa
waktu setelah hari kematiannya, seperti tiga hari atau satu bulan. Penyebutan
untuk menshalatkan jenazah karena suatu hal setelah jenazah dikubur hingga
21
Mereka berdalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah melakukan shalat ghaib kecuali atas Raja Najasyi. Ini menunjukkan
kekhususan baginya.
beliau.“
khusus untuk orang Muslim yang meninggal dan ternyata belum dishalatkan oleh
kaum Muslimin, atau karena dia berada di lingkungan non-Muslim, sehingga tidak
Ini pendapat Al-Khattabi dan ar-Ruyyani dari Syafi’iyah dan Abu Daud
serta Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dan dipilih oleh Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim (Zadu al-Ma’ad:1/145), Syekh al-Albani (Ahkam al-
صلِٰي ِ ض لَي
َ ُﺲ ف َيها َم ْن ي ٍ ِ ِِ
َ ْ صلى َعلَى الْغَائب إْل إذَا َوقَ َع َم ْوتُهُ ِب َْر
َ ُْل ي
22
“Tidak disyariatkan shalat ghaib kecuali atas orang Muslim yang meninggal dunia
untuk orang Muslim yang meninggal dan mempunyai jasa besar terhadap Islam,
Ini pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dipilih oleh Syekh
Abdurrahman as-Sa’di, Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Dewan Tetap untuk Riset
Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia yang dalam salah satu fatwanya (8/418)
menyebutkan :
“Dibolehkan shalat jenazah atas mayit yang ghaib, karena hal itu dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan termasuk kekhususan
beliau, karena para sahabat ikut shalat bersamanya, dan karena pada dasarnya
tidak terdapat kekhususan, tetapi hendaknya ini dikhususkan untuk mayit yang
mempunyai jasa dalam Islam, tidak untuk semua orang.“
Pendapat Keempat, Shalat ghaib disyariatkan di dalam Islam atas setiap
23
Berkata Ibnu Qudamah pada al-Mughni (2/195 ) :“Dibolehkan shalat atas
mayit yang meninggal di luar kota, dengan menyertai niat dan menghadap kiblat,
sebagaimana shalat atas jenazah yang hadir.“
secara mutlak dengan niat, inilah Madzhab Ahmad, dibolehkan secara mutlak,
baik mayit tersebut sudah dishalatkan atau belum, mempunyai manfaat umum bagi
umat Islam atau tidak. Inilah pendapat mayorits ulama Hanabilah. Kebanyakan
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pendapat yang lebih
kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat ghaib disyariatkan khusus
atas orang Muslim yang meninggal dan ternyata belum dishalatkan oleh kaum
Muslimin, atau karena dia berada di lingkungan non-Muslim, sehingga tidak ada
1). Rasulullah ﷺtidak pernah melakukan shalat ghaib kecuali atas Raja Najasyi.
tidak ada satupun orang Islam yang menshalatkannya, maka Rasulullah ﷺdan para
2). Pada zaman Rasulullah ﷺtidak sedikit kaum Muslimin yang meninggal dunia,
baik yang berjasa kepada Islam maupun yang lainnya, tetapi tidak ada satu
24
riwayatpun yang menyebutkan bahwa beliau melaksanakan shalat ghaib kecuali
3).Ketika para pemimpin Islam yang sangat berjasa kepada Islam, seperti Khulafa’
Rasyidin dan yang lainnya meninggal dunia, kita tidak mendengar bahwa kaum
Berkata Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim di dalam Zaad al-
Maa’d (1/145) :
Beliau berkata: “Pendapat yang benar bahwa mayit ghaib, jika meninggal
dunia di tempat yang tidak ada orang yang menshalatkannya, maka dilaksanakan
shalat ghaib untuknya, sebagaimana Rasulullah ﷺatas Najasyi, karena beliau
meninggal dalam lingkungan orang-orang kafir. Jika si mayit tersebut sudah
dishalatkan maka tidak perlu dishalatkan ghaib kembali, karena kewajibannya telah
gugur dengan adanya pelaksanaan shalat jenazah terhadapnya dari kaum Muslimin.
Dalam hal ini Nabi ﷺpernah melakukan shalat ghaib dan telah meninggalkan pula,
perbuatannya dan tidak melakukannya dari beliau kedua-duanya merupakan sunnah.
Yang ini ada tempatnya dan yang itu juga ada tempatnya sendiri.”
Ketiga pendapat ini terdapat dalam Madzhab Ahmad, tetapi yang paling benar
adalah yang diperinci seperti ini. Walaupun demikian, kita tetap menghormati pendapat
ulama-ulama lain dalam masalah ini. Jika kita dalam shalat jama’ah sebagai makmum,
sedangkan Imam meminta para jamaa’ah untuk melaksanakan shalat ghaib atas
seorang tokoh, maka boleh mengikutinya, sebagai bentuk penghormatan dan persatuan.
25
b. Pensyariatan Shalat Ghaib
Para Ulama fikih berbeda pendapat tentang pensyariatan shalat ghâib dalam
beberapa pendapat:
1). Shalat ghâib disyariatkan dan boleh dilakukan pada Muslim yang wafat di negara
lain. Ini adalah pendapat asy-Syâfi’iyah dan riwayat yang masyhur dari Ahmad
rahimahullah dan menjadi pendapat mu’tamad dalam madzhab Hanâbilah. (lihat al-
Umm 1/308, Kasyâf al-Qinâ’ 2/121, al-Majmû’ 5/252 dan Kifayatul Akhyâr 1/163).
Juga pendapat Ibnu Hazm azh-Zhâhiri rahimahullah dan mayoritas Salaf [lihat al-
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap an-Najâsyi, seperti dalam hadits
ب َ )ﺻاح
ِ (اشي )أَﺻﺤﻤه
َ ََْ ْ
ِ اس )وهو بملدينﺔ( النج
َ ِ ﺻلى اّللُ َعلَْي ِه َو َسل َم نَ َعى لِلن ِ َ أَن رس
َ ول اّلل َُ
ِ مات الْي وم عﺒد هلل: إِن أَخا قَ ْد مات (وِف روايﺔ:الﺒش ِﺔ( ِِف الْي وم ال ِذي مات فِ ِيه ) قَ َال ِ
َْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َْ َ ََْ
استَ ْغ ِف ُرْوا ِ ِ
َ ( َم ْن ُه َو؟ قَ َال الن َجاش ُّي: )قَالُْوا، (صلُّ ْوا َعلَْيه
ْ :)وقَ َال
ِ ِ
َ َﺻالح) )ﺑِغَ ِْي أ َْرض ُﻜ ْم( )فَ ُﻘ ْوُم ْوا ف َ
(ي ِ ْ )ﺻف َ (ُصف ُّْوا َخ ْل َفه ُ ) الﺒَ ِﻘْي ِع:صلى (وِف روايﺔ
َ َ)ُث تَ َﻘد َم ف
ِِ ِ
َ فَ َﺨَر َج ّب ْم إِ ََل الْ ُﻤ: قَ َال، (ألَخْي ُﻜ ْم
ِِ ِ ِ
)وَماَ (صلى َعلَى الْ َﻤيٰت َ ﻒ َعلَى الْ َﻤيِٰت َو
َ ُﺻلْي نَا َعلَْيه َك َﻤا ي ُّ صَ ُص َف ْفنَا َخ ْل َفهُ َك َﻤا ي
َ َ ف: )قَ َال،
اتٍ وَكْب(علَي ِه) أَرﺑع تَ ْﻜﺒِي، ( فَأَمنَا وﺻلى علَي ِه:اْلنَازةُ إِْل موضوعﺔ ﺑي ي َدي ِه( )قَ َال
َ َ َْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َْ َ ْ ُ ْ َ َ َْ ب ُ ُْت َﺴ
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ketika itu sedang berada di
Madinah) pernah mengumumkan berita kematian an-Najâsyi (Ash-hamah) (raja
Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya. (Beliau Shallallahu ‘alaihi
26
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia –dan
dalam sebuah riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah
meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian
menshalatinya)”, (Mereka berkata : “Siapakah dia itu?” Beliau menjawab : “an-
Najâsyi”) (Beliau juga bersabda : “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian
ini”). Perawi hadits ini pun bercerita : Maka Beliau berangkat ke tempat shalat (dan
dalam sebuah riwayat disebutkan : Ke kuburan Baqi). (Setelah itu, Beliau maju dan
mereka pun berbaris di belakang Beliau (dua barisan) (dia bercerita : “Maka kami
pun membentuk shaff di belakang Beliau sebagaimana shaff untuk shalat jenazah dan
kami pun menshalatkannya sebagaimana shalat yang dikerjakan atas seorang
jenazah). (Dan tidaklah jenazah itu melainkan diletakkan di hadapan Beliau)” (Dia
bercerita : “Maka kami bermakmum dan Beliau menshalatkannya). Seraya bertakbir
atasnya sebanyak empat kali”.
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (III/90,145,155 dan 157), Muslim (III/54), dan
lafazh di atas miliknya. Juga Abu Dawud (II/68-69), an Nasâ`i (I/265 dan 280), Ibnu
Mâjah (I/467), al-Baihâqi (IV/49), ath-Thayâlisi (2300), Ahmad (II/241, 280, 289, 348,
438, 439, 479,539) melalui beberapa jalan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
kuburan mayit apabila belum sempat menyhalatkannya sebelum itu. Padahal jelas
mayit yang dalam kuburan adalah ghâib. Kalau demikian maka diperbolehkan juga
apabila ketinggalan Shalat atas jenazah, maka Beliau Shalat diatas kubur, pernah
setelah semalam, pernah setelah tiga hari dan pernah setelah sebulan (dari
kematiannya) dan tidak menentukan batasan waktu dalam hal ini. [Zâd al-Ma’âd
1/512].
27
2). Shalat ghâib tidak disyariatkan. Inilah pendapat madzhab Hanafiyah dan Mâlikiyah
(Hâsyiyah Ibnu Abidin 2/309, Syarhul Khirasyi 3/142 dan adz-Dzakhîrah 2/467) serta
a). Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat ghâib
sallam saja.
b). Banyak Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat namun Nabi
baginya” (HR.An-Nasa’I dan Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani dalam Ahkam
al-jana’iz,halaman.88)
c). Tidak ada berita shalat ghaib dilakukan setelah Rasulullah SAW.wafat dan juga
kaum muslimin tidak melakukan shalat ghaib terhadap Rasulullah SAW, padahal
tidak semua kaum muslimin menghadiri shalat jenazah Rasulullah SAW dimanah.
d). Diantaranya syarat sah shalat jenazah adalah adanya jenazah, seperti
28
adalah ada mayit dan diletakannya dihadapan orang yang menshalatkannya dan
berada diarah kiblat sehingga tidak sah untuk yang ghaib. [ad-Durul Mukhtar yang
3). Shalat ghaib tidak disyariatkan kecuali pada orang yang mati dan belum
dishalatkan.Ini sebuah pendapat dalam madzhab Ahmad bin Hambal dan dirajihkan
oleh Abu Dawud, al-khathabi, syaikhul islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaikh al-
Albani dan syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumullah. [‘Aunul Ma’bud 9/5;
a). Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang Shalat ghaib terhadap an-
Najasyi yang sudah ada dalam dalil pendapat pertama. Imam Abu Dawud
rahimahullah membuat Bab Shalat Jenazah Atas Orang Muslim Yang Meninggal di
ini dengan menyatakan, ‘an-Najasyi adalah seorang muslim yang telah beriman
orang-orang kafir dan tidak ada orang yang mampu menunaikan haknya dalam
shalat jenazah yang ada disana. Sehingga Nabi SAW mengharuskan untuk
melakukan shalat ghaib, sebab Beliau SAW adalah nabinya dan walinya serta orang
29
yang paling berhak atasnya. Wallahu a’lam ini adalah sebab yang mendorong Nabi
Berdasarkan hal ini, apabila seorang Muslim mati di sebuah negeri dan
sudah ditunaikan haknya untuk dishatkan, maka orang yang ada di negeri lain tidak
melakukan lagi shalat ghaib. Apabila diketahui ia belum dishalatkan karena ada
rintangan atau penghalang atau udzur, maka sunnahnya adalah dishalatkan shalat
ghaib dan tidak dibiarkan hanya karena jauhnya jarak. Mereka shalat dan
menghadap kiblat dan tidak menghadap ke negeri mayit apabila berada tidak di arah
secara baik menyampaikan pendapat yang sama seperti pendapat al-Khathabi, yang
ini merupakan pendapat Abu Dawud, dimana dia menerjemahkan hadits tersebut di
dalam kitab sunannya melalui bab tersendiri yang dibuatnya, yaitu ‘Bab fi ash-
Shalah ‘alal Muslimi Yamutu fi Biladi asy-Syirk (Bab Shalat Jenazah Atas Orang
adalah orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal dunia di suatu negara yang
tidak ada seorang pun yang menyhalatkan di negara tersebut, maka dia perlu
dishalatkan dengan shalat ghâib, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi
30
tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak ada yang menyhalatkannya.Seandainya
dia sudah dishalatkan di tempat dia meninggal dunia, maka dia tidak dishalatkan
dengan shalat ghâib atas jenazahnya. Sebab, kewajiban itu telah gugur dengan
shalatnya kaum Muslimin atas dirinya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakan shalat ghâib dan meninggalkannya. Sedang apa yang dikerjakan dan
apa yang beliau tinggalkan merupakan sunnah. Dan ini menempati porsinya masing-
bagi setiap orang yang meninggal dunia. Sebab, cukup banyak kaum Muslimin yang
meninggal dunia sedangkan mereka jauh dari Rasûlullâh, namun Beliau tidak
ِ
ِۗ علَْيه
َ َ َات ﺑِغَ ِْي أ َْرض ُﻜ ْم فَ ُﻘ ْوُم ْوا ف
صلُّ ْوا َ إِن أَخا قَ ْد َم
“Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia di luar daerah kalian.
31
c). Dan di antara yang memperkuat tidak disyariatkannya shalat ghâib bagi setiap
orang yang meninggal di tempat yang jauh adalah riwayat yang menyebutkan,
ketika para Khulafa-ur Rasyidin dan juga yang lainnya meninggal dunia, tidak ada
seorangpun dari kaum Muslimin yang mengerjakan shalat ghâib atas mereka.
Seandainya mereka mengerjakan hal tersebut, sudah barang tentu nukilan dari
mereka mengenai hal tersebut benar-benar mutawatir. [Ahkâm al-Janâ`iz hlm 93].
4). Shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada orang yang belum dishalatkan dan pada
orang yang terkenal sebagai orang shaleh dan perintis kebaikan. Ini adalah satu riwayat
mati orang yang shalih maka dishalatkan. Pendapat ini dirajihkan Syaikh Abdurrahmân
merajihkan perincian ini. Inilah yang diamalkan di Najd. Mereka melakukan Shalat
ghâib untuk orang yang memiliki jasa besar terhadap kaum Muslimin dan tidak
melakukannya pada selain mereka dan hukum Shalat ini adalah Sunnah [Nailul
Ma’ârib 1/324].
Dalil pendapat ini adalah kisah an-Najâsyi, dimana an-Najâsyi adalah seorang
tokoh yang sangat berjasa kepada kaum Muslimin dengan mendukung dan melindungi
32
5). Shalat ghâib hanya boleh dilakukan pada hari kematiannya atau dekat-dekat dengan
hari itu dan tidak boleh bila sudah lama. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbarr
rahimahullah dari sebagian ulama. [Fathul Bâri 3/431-432 dan Nailul Authâr 4/560]
Dalil pendapat ini adalah riwayat dari kisah Shalat ghâib untuk an-Najâsyi,
إِن أَخا قَ ْد:ات فِ ِيه [قَ َال ِ ِ ِ ﺻلى اّللُ َعلَْي ِه َو َسل َم نَ َعى لِلن ِ َ أَن رس
َ اس ِِف الْيَ ْوم الذي َم َ ول اّلل َُ
صلُّ ْوا َعلَْي ِه ِ ِ ِ مات الْي وم عﺒد هلل: ]مات (وِف روايﺔ،
َ َﺻالح) [ﺑِغَ ِْي أ َْرض ُﻜ ْم] [فَ ُﻘ ْوُم ْوا ف
َ َْ َ ْ َ َ َ َ َ
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumumkan berita
kematian an-Najâsyi (Ash-hamah) (Raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari
kematiannya. (Beliau bersabda: “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal
dunia –dan dalam sebuah riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih
telah meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian
menshalatinya)”.
Riwayat ini menunjukkan Shalat ghâib disyariatkan pada hari kematiannya atau
6). Diperbolehkan shalat ghâib apabila mayit meninggal di negeri yang ada di arah
kiblat saja dan bila tidak di arah kiblat maka tidak diperbolehkan. Ini adalah pendapat
Ibnu Hibbân (Shahih Ibnu Hibbân 7/366). Al-Muhib ath-Thabari menyatakan: Aku
Dalil pendapat ini disampaikan langsung oleh Ibnu Hibbân rahimahullah dalam
pernyataan beliau: “ Sebab Shalat ghâib terhadap an-Najâsi dalam keadaan Beliau
di arah kiblat. Hal itu karena negara Habasyah apabila seorang berdiri di Madinah maka
33
ia berada di belakang Ka’bah dan Ka’bah terletak diantara orang tersebut dengan negeri
di negara lain. Sedangkan negara tempat dikuburkannya dan negaranya berada diantara
Ka’bah, maka boleh melakukan Shalat ghâib. [Shahih Ibnu Hibân 7/366-367].
Pendapat yang rajih adalah pendapat ketiga yang menyatakan shalat ghâib tidak
disyariatkan kecuali pada mayit yang belum dishalatkan, karena kuatnya dalil dan
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak benar dan lemah, karena pada asalnya hal itu bukan
kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa dalil dan dasar yang kuat. Imam
sallam dikhususkan dalam perbuatannya tersebut. Ini adalah lemah karena meneladani
selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak boleh menetapkan
pengkhususan disini karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Shalat
ghâib sendirian dan melakukannya bersama para Sahabatnya. [Syarhus Sunnah 5/341-
342].
Oleh karena itu Komite tetap untuk Fatwa kerajaan Saudi Arabia (Lajnah
Da`imah) ketika ditanya tentang bolehkah Shalat ghâib seperti yang dilakukan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada an-Najâsyi atau itu khusus untuk
34
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja ?. Mereka menjawab: Diperbolehkan Shalat
ghâib berdasarkan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak khusus
untuk Beliau saja, karena para Shahabat juga melakukan Shalat ghâib bersama Beliau
untuk an-Najâsyi dan disebabkan asalnya adalah tidak dikhususkan (untuk Beliau saja).
mensyariatkan Shalat ghâib hujjahnya lebih kuat karena kesesuaian dengan dalil tanpa
Dengan demikian shalat ghâib disyariatkan pada Muslim yang mati di negeri
kafir dan belum dishalatkan. Juga disyariatkan pada orang yang mati tenggelam atau
mati terbakar atau mati dalam tawanan dan sejenisnya yang belum dishalatkan
jenazahnya.
dishalatkan seorang shalat ghâib kecuali belum dishalatkan jenazahnya. Pada zaman
Khulafâ’ur Rasyîdîn banyak orang yang punya jasa atas kaum Muslimin yang mati dan
tidak ada seorangpun dari mereka dishalatkan dengan Shalat ghâib. Pada asalnya dalam
ibadah adalah tidak dilakukan hingga ada dalil yang mensyariatkannya. [Fatâwa
Islâmiyah 2/18].
35
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
1.Yang dimaksud dengan syariat adalah hokum dan ketentuan dalam agama islam
yang bersumber dari Al-Quran, hadits Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas.
2.Yang dimaksud dengan shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan umat islam
terhadap saudaranya sesama muslim yang wafat, tetapi jenazahnya tidak berada di
hadapan orang yang melakukan shalat jenazah itu, melainkan di tempat lain.
3. Pendapat yang rajih adalah yang menyatakan shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali
pada mayit yang belum dishalatkan. Shalat ghaib juga di syariatkan pada muslim yang
meninggal di negeri kafir dan belum di shalatkan, juga di syariatkan pada orang yang
meninggal karena tenggelam, terbakar dalam status tawanan, orang hilang dan
B. Saran
berikut:
1. Bagi seluruh umat islam, hendaklah melaksanakan shalat ghaib sesuai dengan
syariatnya.
36
3.Bagi para penulis yang selanjutnya agar lebih teliti dan pintar dalam mengerjakan
suatu karya tulis. Supaya karya tulis yang selanjutnya lebih baik dari yang sebelumnya
37
DAFTAR PUSTAKA
3. Bacaan shalat jenazah takbir ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4 lengkap
mulai dari niat sampai salam.
https://bangka.tribunnews.com/amp/2021/09/13/bacaan-sholat-
jenazah-takbir-ke-1-ke-2-ke-3-dan ke-4-lengkap-mulai-dari-niat-
sampai-salam?page=4(diakses tanggal 2 januari 2023)
38
6. Kemenag. 2014. Buku siswa fikih pendekatan saintifik kurikulum
2013 kelas VII. Jakarta. Kemenag
39