Anda di halaman 1dari 44

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta

alam yang Maha Rahim dan Maha Rahman yang telah memberikan nikmat dan

Karunia-Nya kepada Seluruh Makhluk-Nya. Semoga kita selalu ada dalam lindungan

dan hidayah-Nya aamiin.

Maha suci Allah yang memberikan kenikmatan, kekuatan, kesabaran, dan

kemampuan kepada hamba-Nya sehingga dengan izin-Nyalah akhirnya karya tulis ini

dapat terselesaikan dengan judul “SYARIAT SHALAT GHAIB” yang merupakan

syarat kelulusan tingkat Mu’alimien di pesantren PPI 40 Sarongge Sumedang. Penulis

menyadari bahawa karya tulis ini jauh dari kata sempurna banyak sekali kekurangan

yang harus diperbaiki lagi. Mekipun begitu penulis berharap apa yang penulis dan

tentunya memberikan ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.

Selama penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak sedikit hambatan yang penulis

rasakan. Akan tetapi berkat bantuan dan dorongan moril maupun materil dari berbagai

pihak akhirnya karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis ingin

mengucapkan jazakumullahu khairan katsiera kepada :

1. Mudirul’Am Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge Koko Kadier B.A yang selalu

menyayangi dan tidak pernah menyerah mengayomi santriwan dan santriwati yang

selalu menjadi panutan bagi penulis.

i
2. Mudirul Mu’alimien Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge Dadang Sulaeman,

S.Pd. yang pantang menyerah membenahi santriwan dan santriwati.

3. Mudirul Tsanawiyyah Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge Lina Nurfalah, S.Pd

yang tidak pernah lelah dalam mengembangkan pesantren,.

4. Yang terhormat wali kelas XII IPA MAGNIFICIENT Angkatan 17 Yeni Herlina,

S.Pd yang selalu memberikan dukungan, dorongan dan bantuan yang tiada henti demi

kebaikan bagi kami sendiri dan juga sebagai guru di bidang Karya Tulis Ilmiah yang

telah memberikan arahan, bimbingan dan bantuan dalam mengerjakan Karya Tulis

Ilmiah ini.

5. Pembimbing I Wawan Nasrudin, S.Pd.I yang telah banyak meluangkan waktu,

bantuan baik berupa tenaga dan pikiran, serta selalu memberikan arahan, ilmu dan

motivasi yang sangat berharga.

6. Pembimbing II Yeni Herlina, S.Pd. yang telah banyak meluangkan waktu, bantuan

baik berupa tenaga dan pikiran, serta selalu memberikan arahan, ilmu dan motivasi

yang sangat berharga.

7. Penguji I Teten Rosyadi, S.Th.I, M.Pd.I dan Penguji II Ulfah Latifah, S.Hum

Yang telah meluangkan waktu serta memberikan bantuan dan arahan dalam

menyelesaikan karya tulis ini.

8. Seluruh Asatidz dan Asatidzah di Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge yang selalu

mengaliri kami dngan kasih sayangnya, yang tiada henti memberikan kami ilmu-ilmu

yang sangat bermanfaat, yang selalu pantang menyerah menuntun kami dalam

kebaikan dan selalu menjadi panutan khususnya bagi penulis.

ii
9. Kepada keluarga besar Magnificient : Aghni Dzul Fikri, Agni Aulia, Ahmad Rizal

Fauzi, Ajmal Fahmi Al-Fikri, Alya Evita Putri, Alya Hafizy, Ardi Riyadussalam, Bala

Putra Dewa, Dea Ramadhanti Solihin, Dhiaulhaq, Dina Aghnia Firdaus, Fajri Maula

Akbar, Hagya, Hilman Firmansyah, Ihsan Abdul Hafidz, Ilmaiza Nurlatifa, Imam

Lubiansyah Firdaus, Indra Heryana, Insan Robbani Rosikhan Sholih, Insiroh

Istiqomah, Jidan Fakih Muslim, Mohamad Fikri Nugraha, Muhammad Azizan

NurRabbani, Muhammad Haekal, Muhammad Ramdani, Muhammad Dinil Abdilah,

Muttmainnah Nursholihat, Priyanti Rahmi Syahira, Purnama Arip Mujahid, Razka

Nasrullah, Ridwan Nurfadilah, Riska Laela Sari, Rizki Candra, Sisca Aura Safitri,

Wafiyati Ahdi Rahmani, Zaenal Abidin. Keluaga pertama ketika berada di sekolah

yang setiap hari selalu memberikan semangat serta dukungan dalam berbagai keadaan.

Mari terus menjadi keluarga sampai di surga-Nya nanti.

10. Kepada keluarga tercinta terima kasih selalu memberikan semangat serta dukungan

dalam menyelesaikan karya tulis ini.

11. Kepada adik-adik kelas yang ada di Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge

teruskan perjuangan kalian dan jangan pantang menyerah.

Untuk semua yang menjadi bagian dari kisah perjalanan hidup penulis selama ini,

penulis mengucapkan Jazakumullah Khairan katsiera.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat sehingga menjadi kebaikan bagi para

pembaca.

iii
Sumedang, januari 2023

Penulis

Purnama Arip Mujahid

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 5

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................................... 3
E. Metode Penelitian ........................................................................................................ 4
F. Sistematika Penulisan.................................................................................................. 4
BAB II LANDASAN TEORITIS................................................................................. 6

A. Pengertian Syariat ...................................................................................................... 6


B. Pengertian Shalat Ghaib ............................................................................................ 9
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................ 15

A. Syariat Shalat Ghaib ................................................................................................ 15


BAB IV PENUTUP ....................................................................................................... 36

A. Kesimpulan ............................................................................................................... 36
B. Saran........................................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 38

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kematian (ajal) adalah hal yang pasti terjadi pada setiap makhluk yang

bernyawa, tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana ia akan menemui ajal, dalam

keadaan baik atau buruk. Bila ajal telah tiba maka maka tidak ada yang bisa

memajukan ataupun mengundurkannya. Setiap Muslim wajib mengingat akan

datangnya kematian, bukan hanya karena kematian itu merupakan perpisahan dengan

keluarga atau orang-orang yang dicintai, melainkan karena kematian merupakan

pertanggung jawaban atas amal yang dikerjakan selama orang tersebut hidup di dunia.

Tiap manusia sudah ditentukan ajalnya sendiri-sendiri oleh Allah swt, hanya

saja manusia tidak mengetahui kapan ajal itu akan datang, dan dimana tempatnya ia

menghembuskan nafas penghabisan. Ada manusia yang masih sangat muda

meninggal dunia, atau masih bayi atau sudah tua dan ada pula yang sudah sangat tua

baru meninggal, semua itu Allah swt yang menentukan. Kematian adalah umum

untuk semua orang dan budaya yang bervariasi memiliki cara mereka sendiri untuk

memahami kehidupan, kematian, dan keadaan setelah kematian).

Shalat ghaib adalah pengganti shalat jenazah yang dilakukan kepada seorang

muslim yang meninggal. Selasa (14/9/2021) kemarin bertempat di masjid Madrasah

Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Gorontalo, sejumlah warga madrasah yang

1
meliputi guru dan pegawai bersama warga yang berada disekitar masjid madrasah

melakukan shalat Ghaib usai melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah. Hal ini

dilakukan untuk mendoakan musibah yang menimpa keluarga besar dari MTsN 1

Kota, dimana salah satu Warga Madrasah yang bekerja sebagai penjual makanan di

salah satu kantin madrasah telah meninggal dunia.

Dalam A-Qur’an disebutkan;

َ ‫ا َ ْينَ َما ت َ ُك ْونُ ْوا يُ ْد ِر ْك ُّك ُم ْال َم ْوتُ َولَ ْو ُك ْنت ُ ْم ِف ْي بُ ُر ْوج ُّم‬
‫شيَّدَة‬

Artinya; “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatimu sekalipun kamu

berada dalam benteng yang kuat …. (Q.S. An Nisa’ : 78).

Dalam ajaran Islam, kehormatan manusia sebagai khalifah Allah swt dan

sebagai ciptaan termulia, tidak hanya terjadi dan ada ketika masih hidup di dunia saja.

Akan tetapi kemuliaannya sebagai makhluk Allah swt tetap ada walaupun fisik sudah

meninggal. Pengurusan jenazah muslim sangatlah penting karena jika ada seorang

muslim meninggal di suatu tempat dan tidak ada yang bisa merawatnya dengan benar

(sesuai dengan ajaran agama Islam), maka seluruh masyarakat yang tinggal di tempat

tersebut akan mendapatkan dosa karena pengurusan jenazah merupakan wajib

kifayah bagi umat Islam.

Oleh sebab itu harus ada orang muslim yang mampu untuk mengurusi jenazah

dengan benar berdasarkan ajaran agama Islam. Adapun salah satu dari bagian

pengurusan jenazah yaitu shalat jenazah dalam melaksanakan shalat jenazah tentunya

2
mesti dengan kaifiyat yang benar menurut ajaran agama islam.Shalat jenazah bisa

dilakuka tanpa adanya jenazah atau shalat ghaib. Apa itu shalat ghaib?shalat ghaib

adalah shalat yang tidak terlihat jenazah atau jenazahnya tidak ada di hadapan kita.

Bagaimana syariat shalat ghaib?masih banyak perdebatan di antara para ulama

mengenai syariat shalat ghaib.oleh karena itu,penulis ingin memperdalam dan ingin

mengaji Karya Tulis Ilmiah dengan judul SYARI’AT SHALAT GHAIB.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Syariat?

2. Apa yang di maksud dengan shalat ghaib?

3. Bagaimana Syariat shalat ghaib?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui Pengertian Syariat

2. Mengetahui Pengertian Shalat Ghaib

3. Mengetahui Syariat Shalat Ghaib

D. Manfaat Penelitian

Penulis karya tulis ini dinilai sangat bermanfaat, secara teoritis maupun

secara praktis. Secara teoritis, karya tulis ini diharapkan dapat menambah sumber

kepustakaan dan wawasan bagi pembaca. Secara praktis, penulis karya tulis ini

3
diharapkan dapat berguna dan menjadi petunjuk bagi masyarakat dalam

melaksanakan ibadah shalat ghaib.

E. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan penulis yaitu metode penelitian kepustakaan

murni yaitu mencari keterangan yang sesuai dengan masalah yang akan dibahas dari

sumber yang berupa buku, naskah-naskah, majalah, artikel, jejaring internet dan

lainnya.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan karya tulis ilmiah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Penelitian

4
BAB II: LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian syariat

B. Pengertian shalat ghaib

BAB III : PEMBAHASAN

A. Bagaimana syariat shalat ghaib

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

5
BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Syariat

Pengertian syariah secara sederhana ialah jalan yang jelas yang

ditunjukkan Allah kepada umat manusia. Jalan ini berupa hukum dan ketentuan

dalam agama Islam, yang bersumber dari al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW,

ijma, dan qiyas. Tujuan dari syariah tidak lain dan tidak bukan adalah agar umat

manusia tidak tersesat dalam hidup, baik di dunia atau di akhirat. Karena Allah

telah memberitahukan jalan mana yang harus dilalui itu tadi.

Tidak banyak yang tahu bahkan dari umat Islam sendiri, bahwa istilah

syariah sudah digunakan sejak dulu, yakni pada zaman Nabi Muhammad. Akan

tetapi, istilah yang dipakai bukan yang dalam bentuk tunggal, namun bentuk jamak

yakni syara’i. Sedangkan, syariah sendiri adalah kata berbentuk tunggal dalam

bahasa Arab. Bahkan penggunaannya tidak hanya di Arab Saudi tempat kelahiran

Nabi Muhammad, akan tetapi menyebar ke seluruh daratan Arab.

Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî'ah/

‫ )شريعة‬berasal dari kata syara'a ( ‫ )شرع‬yang berarti jalan menuju mata air. Dalam

istilah Islam, syari'ah berarti jalan besar untuk kehidupan yang baik, yakni nilai-

nilai agama yang dapat memberi petunjuk bagi setiap umat manusia.Syariah

menurut etimologi berarti sumber air yang dituju (didatangi) untuk minum.

6
Kemudian kata syariah itu digunakan oleh orang-orang Arab dalam arti jalan yang

lurus.

Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah

dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum

Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”.

Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata

aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti

Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah berarti “Segala sesuatu yang

disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan menurut Manna al-

Qaththan, syari’ah berarti segala ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hamba-

Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat”. Abdul Wahab

Khallaf memberikan pengertian syari’ah itu sebagai : Dari beberapa pengertian yang

diungkapkan oleh para ahli dapat dirumuskan bahwa “Syari’ah adalah aturan-

aturan yang berkenaan dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan dengan

hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi

saw.”

Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun syari’at Islam itu tidak

berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi, sebab petunjuk-

petunjuk yang dibawakannya dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang

abadi.

7
Sementara menurut para ulama, definisi syariah mencakup hukum dasar

yang ditetapkan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya,

dengan sesama manusia, dan juga kepada alam. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nisa

ayat tiga belas.

‫ت ََْت ِر ْي ِم ْن َْتتِ َها ْاْلَ ْْنهُر هخلِ ِديْ َن فِْي َها‬


ٍ ٰ‫ك ح ُدود هاّللِ ۗ ومن يُّ ِط ِع هاّلل ورسولَهۗ ي ْد ِخ ْله ج هن‬
َ ُ ُ ْ ُ َ َ َٰ ْ َ َ ٰ ُ ْ ُ َ ‫ت ْل‬
ِ
‫ك الْ َف ْوُز الْ َع ِظْي ُم‬ ِ
َ ‫ۗ َو هذل‬
Itulah batas-batas (hukum) Allah. “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,

Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya

sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung.”

Karena syariah adalah hukum dasar, maknanya menjadi masih bersifat

terlalu umum. Hal ini dapat tergambar pada poin-poin hukum yang terdapat dalam

al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW.Namun, hukum dasar yang masih sangat

umum tersebut tentu perlu dikaji lebih dalam agar dapat diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari dan disesuaikan dengan perkembangan zaman kehidupan

manusia.

Oleh karena itu, dibentuklah satu bidang ilmu pengetahuan yang khusus

untuk mempelajari hukum dasar dan menyesuaikannya dengan hukum-hukum

spesifik yang dibutuhkan oleh manusia. Bidang ilmu tersebut bernama ilmi fiqih

dan orang yang memiliki keilmuan dalam bidang itu disebut faqih. Oleh sebab itu,

8
banyak salah paham yang menyamakan pengertian syariah dengan pengertian fiqih.

Padahal, ada dua hal dasar yang sangat membedakan fiqih dengan syariah.

Bahasan dalam syariah bersifat umum, mencakup akidah dan akhlak

manusia. Oleh karena itu, syariah bersifat pasti atau niscaya. Sementara dalam fiqih,

lingkup yang dibahas kepada cara atau amaliah tingkah laku manusia dan tidak ada

satu kepastian dalam fiqih karena sifatnya yang merupakan hasil buah pemikiran

para ulama mujtahid.

Dari penjelasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa syariat

adalah jalan yang jelas yang ditunjukan Allah kepada umat manusia. Jalan ini

berupa hukum dan ketentuan dalam agama islam, yang bersumber dari Al-Quran,

hadits Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas. dan fungsi syariah adalah

membantu manusia memiliki hablum minAllah atau hubungan kepada Pencipta

dan hablum minannas atau hubungan kepada sesamanya, dengan sebaik mungkin.

B. Pengertian Shalat Ghaib

Shalat secara Bahasa berarti doa. Secara istilah shalat adalah yang terdiri

dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri

dengan salam (Kemenag, 2014: 19). Sementara dalam KBBI shalat dideskripsikan

sebagai ibadah kepada Allah SWT dan wajib dilakukan setiap Muslim mukalaf

dengan syarat, rukun, dan bacaan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri

dengan salam (Kemenag, 2008: 1208) Shalat ghaib adalah shalat yang tak terlihat.

Maksud tak terlihat yaitu jenazahnya yang tidak ada dihadapan kita. Shalat ghaib

9
ini diperuntukan kepada saudara kita yang meninggal dunia ditempaat jauh, di

negeri orang lain, dan lain-lain.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) shalat berarti berdo’a

kepada Allah sedangkan ghaib tidak kelihatan atau tersembunyi. Shalat ghaib

adalah shalat jenazah yang dilakukan umat islam terhadap saudaranya sesama

muslim yang wafat, tetapi jenazahnya tidak berada dihadapan orang yang

melakukan shalat jenazah itu, melainkan di tempat lain.

Tata cara shalat ghaib

Tata cara shalat ghaib sama hal nya dengan shalat jenazah namun shalat

ghaib sedikit berbda dimana shalat jenazah ada mayit dihadapannya namun shalat

ghaib tidak ada mayit di hadapannya. Artinya si mayit meninggal diluaran sana

atau di Negara luar. Bagi keluarganya di anjurkan menshalatkannya dengan cara

shalat ghaib.

a. Takbir Pertama

Pada takbir pertama dianjurkan untuk membaca Al-fatihah sebagaimana

dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa:

ِ‫ﺻلَاﺓَ لِ َﻤنْ َلمْ َي ْﻘ َرﺃْ ِﺑفَاِتﺤَﺔِ ﺍلْﻜِتَاﺏ‬


َ ‫لَا‬
“Tidak sah salatnya oranug yang tak membaca Surah Al Fatihah," (HR Muslim).

10
Dari hadits di atas di wajibkan membaca surat al-Fatihah karena

merupakan syarat sah melaksanakan shalat karena jika seseorang lupa membaca

al-Fatihah ketika shalatnya maka shalatnya di anggap gugur dan harus diulangi

lagi.

Kemudian setelah membaca Fatihah dilanjutkan dengan membaca

sholawat Nabi SAW yaitu sebagai berikut:

ْ ‫ت َعلَى آ ِل اِﺑْ َر ِاهْي َم َوَب‬


‫رك َعلَى ُمَﻤ ٍد‬ َ ‫ﺻلَْي‬
ٍ ِ
َ ‫ﺻلٰى َعلَى ُمﻤد َو َعلَى آل ُمَﻤد َك َﻤا‬
ِ ‫اَللهم‬
َ ُ
‫حْيد ِّمْيد‬ َِ ‫ك‬ ِ ‫وعلَى آ ِل مﻤ ٍد َكﻤا برْكتا علَى آ ِل اِﺑ ر ِاهيم ِف الْعالَ ِﻤ‬
َ ‫ي ان‬
َ ْ َ َ ْ َْ َ َ َ َ َُ ََ
Artinya:”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat kepada
Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha
Mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia”.
(Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 5 : 5996 dan Muslim Juz 1 : 406, lafazh ini
miliknya)

b. Takbir kedua

Pada takbir kedua membaca doa untuk si mayit

‫الﻤا ِء‬
َ ‫ﺴْلﮫُ ِﺑ‬ ِ ْ‫ﻒ َعْنﮫُ َواَْكِر ْم ُنُﺰَلﮫُ َوَوِسْع َمْدَخَلﮫُ َواﻏ‬ُ ‫اََٰللﮭُمَٰ اْﻏفِْرلَهُ َوْرَحْﻤﮫُ َوَعِافﮫِ َواْع‬
‫ﺲ َواَْﺑِد ْلﮫُ َدار‬ ْ ‫لدَن‬
ٰ ‫ﺾ ِمَن ا‬ ُ َ‫ب اَْْلْﺑي‬ ِ
ُ ‫َواَٰلﺜْلِﺞ َواْلَﺒَرد َوَنٰﻘﮫِ ِمَن اْلﺨََطايَ َكَﻤا يَُنﻘَٰى اَٰلﺜْو‬
‫اْلَنﺔَ َواَ ِع ْدهُ ِم ْن‬
ْ ُ‫اخيْرا ِمْن َزْوِجﮫِ َواَ ْد ِخ ْله‬َ ‫َخيْرا ِمْن َداِرهِ َواَھلِِه َخيْرا ِمْن اَ ْھِلﮫِ َوَزْوج‬
ِ
َ ‫اب الْ َﻘ ِْْباَْو م ْن َع َذ‬
‫اب النا ِر‬ َ ‫َع َذ‬

11
Artinya:”Ya Allah, ampunilah ia, berilah rahmat kepadanya, selamatkan ia (dari
beberapa hal yang tidak disukai), ampunilah dan tempatkanlah di tempat yang
mulia (di Surga), luaskan kuburnya, mandikan ia dengan air, salju, dan air es.
Bersihkan dia dari beberapa kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju
yang putih dari kotoran. Berilah ganti rumah yang lebih baik daripada rumahnya
(di dunia). Berilah keluarga yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia).
Berilah ia pasangan yang lebih baik dari pasangannya (di dunia). Masukkanlah
ia ke Surga dan lindungilah ia dari siksa kubur dan siksa Neraka.”( HR. Muslim
Juz 2 : 963)

c. Takbir Ketiga

Pada takbir ketiga membaca doa untuk si mayit agar si mayit di ampuni

dosa-dosanya oleh Allah SWT.

ِ َ َ‫ﺻغِ ِريْنَا وَكِْبيِنْاَ َوذَ َك ِريْنَا َواُنْﺜ‬ ِ ِِ ِ ِِ


ُ‫ان اَلل ُهم م ْن اَ ْحيَ ْي تَه‬ َ ‫اَلل ُهم ا ْﻏف ْرلَيِٰنَا َوَميِٰتنَا َو َشاهد َن َو َﻏائﺒِنَا َو‬
ِ ‫ان اَللهم َْل ْت ِرمنَااَجره وَْل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫تضلنَا‬ َ َُ ْ ْ ُ َ‫منا فَاَ ْحيِه َعلَى اْْلسلَم َوَم ْن تَ َوف ْي تَهُ منا فَتَ َوفٰهُ َعلَى اْْلي‬
ُ‫ﺑَ ْع َده‬
Artinya:”Ya Allah, ampunilah orang yang hidup, orang yang telah meninggal,
orang yang hadir, orang yang tidak hadir, orang yang kecil, orang yang besar,
laki-laki maupun perempuan di antara kami. Ya Allah, orang yang Engkau
hidupkan di antara kami, hidupkanlah dengan memegang ajaran Islam dan orang
yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkan dengan memegang
keimanan. Ya Allah, jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya
dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya”.( HR. Abu Dawud : 3201, Shahih
Sunan Abu Dawud : 2741 dan Ibnu Majah : 1498, lafazh ini miliknya, Shahih
Sunan Ibnu Majah : 1217)

d. Takbir Keempat

Dalam takbir keempat kita membaca do’a untuk memohon ampun bagi

orang yang telah meninggal dan juga bagi orang-orang yang masih hidup.

12
ِِ
‫ت اَ ْعلَ ُم‬
َ ْ‫ت ُرْو َح َها َواَن‬
َ‫ض‬ َ ْ‫ت َه َديْتَ َها ل ْل ْس َلِم َواَن‬
ْ َ‫ت قَﺒ‬ َ ْ‫ت َخلَ ْﻘتَ َها َواَن‬ َ ْ‫ت َرُّّبَ َاواَن‬
َ ْ‫اَلل ُهم اَن‬
‫ِس ْ َيَها َو َع َلنِيَ تَ َها ِجْئ نَا ُش َف َعاءَ فَا ْﻏ ِف ْرَلَا‬
Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah Rabbnya, Engkau telah menciptakannya,

Engkau beri dia hidayah Islam. Lalu Engkau ambil ruhnya. Engkau Mahatahu

segala sesuatu yang tersembunyi dan yang tampak dari dirinya. Kami dating

untuk memberi syafaat baginya, oleh karena itu ampunilah dia”.

e. Salam

Dalil tentang salam di dalam shalat ghaib atau shalat jenazah

‫الَنَ ِفي ِﺔ َع ْن‬


ْ ‫َحدثَنَا عُﺜْ َﻤا ُن ﺑْ ُن أَِِب َشْي ﺒَﺔَ َحدثَنَا َوكِيع َع ْن ُس ْفيَا َن َع ْن اﺑْ ِن َع ِﻘ ٍيل َع ْن ُمَﻤ ِد اﺑْ ِن‬
‫ور َوَْت ِريَُها‬ ِ ِ ِ ِ ُ ‫علِ ٍي ر ِضي اّلل عْنه قَ َال قَ َال رس‬
ُ ‫اح الص َلة الطُّ ُه‬ُ َ‫ﺻلى اّللُ َعلَْيه َو َسل َم م ْفت‬ َ ‫ول اّلل‬ َُ َُُ َ َٰ َ
ُۗ‫تلِيلُها التﺴلِيم‬ ِ
ْ َ َْ‫الت ْﻜﺒيُ َو‬
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan
kepada kami Waki' dari Sufyan, dari Ibnu 'Aqil dari Muhammad bin Al Hanafiyyah,
dari Ali radliallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Kunci salat adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan
dan gerakan di laur salat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya kembali adalah
salam." (HR Abu Dawud, 56; Baihaqi, As-Sunanul Kubro, 2: 15).

-‫ﺻلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ول اّلل‬ ِ


ُ ‫ث ِخلٍَل َكا َن َر ُس‬ ُ َ‫ ثَل‬: ‫َس َوِد َع ْن َعْﺒد اّللِ قَ َال‬
ْ ‫َع ْن َع ْل َﻘ َﻤﺔَ َواأل‬
ِۗ ‫اْلنَا َزةِ ِمﺜْل التﺴلِي ِم ِف الصلَة‬ ِ ِ
ْ َ َْ ‫يَ ْف َعلُ ُهن تَ َرَك ُهن الناس إ ْح َد ُاهن الت ْﺴل ُيم َعلَى‬.
“Dari AlqAmah dan Al Aswad, dari Abdullah (Ibn Mas’ud), Ia berkata, “Tiga

perkara yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. tetapi ditinggalkan oleh manusia: di

13
antaranya salam pada salat jenazah sebagaimana salam pada salat-salat lainnya.”

(HR Baihaqi dalam As-Sunanul Kubro, 4:43 dan dalam Ma’rifah As-Sunan wal

Atsar, 5: 305).

Dari penjelasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa shalat

ghaib merupakan shalat jenazah yang dilakukan umat islam terhadap saudaranya

seislam yang wafat di negeri lain atau dalam daerahnya tidak ada yang menshalatkan

jenazah tersebut.

14
BAB III

PEMBAHASAN

A. Syariat Shalat Ghaib

Salat gaib adalah salat yang dikerjakan ketika jenazah tidak ada di tempat

yang sama dengan orang-orang yang menyalatkan . Tata caranya adalah

sebagaimana salat jenazah, baik berkaitan dengan empat kali takbir atau tatacara

yang lainnya. Berkaitan dengan salat gaib ini, terdapat sebuah hadis yang

diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ِ ِ ‫اشي ِِف الْي وِم ال ِذي م‬


ِ ‫ول هللاِ ﺻلى هللا علَي ِه وسلم نَعى النج‬
َ ‫ َخَر َج إِ ََل الْ ُﻤ‬،‫ات فيه‬
‫صلى‬ َ َ َْ َ َ َ ََ َْ ُ َ َ ‫أَن َر ُس‬
‫صﻒ ّبِِ ْم َوَك َْب أ َْرﺑَعا‬ َ َ‫ف‬
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian

(Raja) An-Najasyi pada hari kematiannya. Beliau pun keluar menuju tempat salat,

lalu membariskan saf, kemudian takbir empat kali.” (HR. Bukhari no. 1245 dan

Muslim no. 951)

1. Sekilas tentang kisah Raja Najasyi

Najasyi adalah julukan (gelar) untuk raja di negeri Habasyah (sekarang

Etiopia). Nama aslinya adalah Ashamah. Asalnya, dia beragama Nasrani. Beliau

adalah seorang raja yang adil, yang tidak pernah menzalimi rakyatnya sedikit pun.

15
Ketika orang kafir Quraisy di kota Mekah semakin menindas kaum

muslimin, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk hijrah

ke negeri Habasyah. Akhirnya, Raja Najasyi pun menyambut kedatangan para

sahabat. Raja Najasyi mendengar Al-Qur’an dari mereka dan didakwahi untuk

masuk Islam. Raja Najasyi pun masuk Islam dan keislaman beliau pun bagus.

Akan tetapi, beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi

wasallam.

Ketika Raja Najasyi meninggal dunia, malaikat Jibril ‘alaihis salaam

mengabarkan tentang kematiannya di hari yang sama melalui berita wahyu. Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memerintahkan para sahabat radhiyallahu

‘anhum untuk menyalatkan gaib untuk Raja Najasyi. (Tashiilul Ilmaam, 3: 43)

Hal ini karena Raja Najasyi itu hidup di negeri Nasrani, tidak ada yang

menyalatinya di Habasyah. Sehingga para ulama tersebut mengatakan, jika

jenazah tersebut sudah disalatkan oleh penduduk setempat, maka gugurlah

kewajiban kaum muslimin yang lain untuk menyalatkannya. Habasyah apabila

seorang berdiri di Madinah maka ia berada di belakang Ka’bah dan Ka’bah terletak

diantara orang tersebut dengan negeri Habasyah. Apabila mayit meninggal dan

dikuburkan kemudian diketahui kematiannya di negara lain. Sedangkan negara

tempat dikuburkannya dan negaranya berada diantara Ka’bah, maka boleh

melakukan Shalat ghâib. [Shahih Ibnu Hibân 7/366-367].

16
2. Perbedaan pendapat para ulama terkait hukum salat gaib

Adapun berkaitan dengan hukum salat gaib, para ulama berbeda pendapat

menjadi empat.

Pendapat pertama, adalah pendapat yang menyatakan bolehnya salat gaib

secara mutlak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyalatkan Raja

Najasyi. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad

rahimahumallah. Mereka mengatakan bahwa salat gaib itu untuk mendoakan

jenazah. Bagaimana mungkin kita kemudian tidak mendoakan ketika jenazah

tersebut tidak berada di tempat kita? Sehingga menurut pendapat pertama ini, salat

gaib disyariatkan untuk siapa saja dari kaum muslimin yang meninggal dunia. (Al-

Majmu’, 5: 250; Al-Inshaf, 2: 533)

Pendapat kedua, adalah pendapat yang menyatakan bahwa salat gaib itu

tidak disyariatkan secara mutlak. Adapun salat gaib yang dikerjakan oleh Nabi

shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Raja Najasyi adalah perkara yang khusus

disyariatkan untuk Raja Najasyi saja, bukan kepada umatnya shallallahu ‘alaihi

wasallam. Hal ini karena banyak sekali para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi

wasallam yang meninggal dunia di luar kota Madinah, di antaranya adalah para

sahabat penghafal Al-Qur’an. Namun, tidak terdapat riwayat yang menunjukkan

adanya salat gaib untuk mereka ketika mereka meninggal dunia. Ini adalah

pendapat dalam mazhab Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Imam

17
Ahmad. (Syarh Fathul Qadir, 2: 117; Syarh Az-Zarqani, 2: 112; Al-Inshaf, 2: 533;

dan Ahkamul Janaiz lil Albani, hal. 93)

Pendapat ketiga, adalah pendapat yang memberikan rincian. Bahwa salat

gaib itu tidak disyariatkan, kecuali jika di tempat jenazah tersebut berada, jenazah

tersebut tidak disalatkan (oleh penduduk setempat). Ini adalah salah satu pendapat

dalam mazhab Imam Ahmad, juga dipilih oleh Al-Khaththabi, serta dikuatkan oleh

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah. (Ma’alim As-

Sunan, 4: 322; Zaadul Ma’ad, 1: 520; dan Al-Inshaf, 2: 533)

Pendapat keempat, adalah pendapat yang menyatakan bahwa salat gaib itu

disyariatkan jika jenazah tersebut telah memberikan manfaat (jasa) yang luas

kepada kaum muslimin, baik dengan ilmunya (misalnya, ulama besar kaum

muslimin), kedudukannya, hartanya, atau dia dikenal membela Islam dan kaum

muslimin. Meskipun di negeri orang tersebut meninggal, jenazah tersebut sudah

disalatkan oleh penduduk yang ada di sana. Hal ini untuk lebih menampakkan

kemuliaan orang tersebut dan juga sebagai balasan atas jasa yang telah diperbuat

untuk Islam dan kaum muslimin. Persyaratan semacam ini diambil dari kisah Raja

Najasyi. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Ahmad rahimahullah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengutip perkataan Imam

Ahmad rahimahullah, bahwa beliau berkata, “Jika seorang yang saleh itu

meninggal dunia, maka disalatkan.” (Al-Ikhtiyaraat, hal. 87)

18
Pendapat keempat ini dikuatkan oleh beberapa ulama belakangan, di

antaranya adalah Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah. (Al-Fataawa, 13:

159)

Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya

perkataan bahwa Raja Najasyi itu tidak disalatkan oleh satu orang pun (di negeri

asalnya), adalah perkataan yang sangat jauh sekali.” (Masaail Imam Ibnu Baaz,

Al-Majmu’atul Ula, hal. 109)

3. Pendapat terkuat

Dari keempat pendapat di atas, insyaAllah pendapat yang terkuat adalah

pendapat yang ketiga. Yaitu pendapat yang merinci apakah jenazah tersebut sudah

disalatkan di negeri asalnya (di negeri di mana jenazah tersebut meninggal dunia)

ataukah tidak. Jika di tempat meninggal si jenazah itu tidak ada kaum muslimin

yang menyalatinya, maka disyariatkan salat gaib. Akan tetapi, jika di tempat

meninggal si jenazah itu sudah ada kaum muslimin yang menyalatinya, maka salat

gaib tidak disyariatkan. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat dari

sisi pengambilan dalil atau argumentasinya. Salat gaib kepada Raja Najasyi

bukanlah syariat yang bersifat umum, akan tetapi hal itu hanyalah sebagai timbal

balik atas jasa-jasa Raja Najasyi kepada kaum muslimin.

Pendapat yang menyatakan bahwa Raja Najasyi tidak disalatkan ketika

meninggal di negeri asalnya telah dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

19
rahimahullah. Di antara alasannya adalah karena Raja Najasyi itu hidup di tengah-

tengah orang kafir (yaitu Nasrani). Jika ada satu saja yang beriman, orang mukmin

tersebut tidak akan mengetahui bagaimanakah tata cara salat jenazah sedikit pun.

(Majmu’ Al-Fataawa, 19: 217-219 dan Syarhul Mumti’, 5: 348)

Pendapat ketiga ini juga dikuatkan dengan fakta bahwa para pembesar

sahabat, di antaranya adalah khulafaur rasyidin yang empat, tidaklah dikutip

bahwa kaum muslimin di negeri-negeri kaum muslimin yang jauh itu mendirikan

salat gaib ketika para pembesar sahabat tersebut meninggal dunia. Jika kaum

muslimin di negeri yang lain mendirikan salat gaib untuk mereka ketika meninggal

dunia, tentu riwayatnya akan sampai kepada kita.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah mengatakan, “Pendapat ketiga

ini adalah pendapat yang paling dekat dengan dalil.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 44)

Salat jenazah secara ghaib dapat dilakukan ketika mendapat kabar

seseorang telah meninggal dunia, baik jasadnya diketahui maupun tidak, baik

sudah ada yang mensalatkan ataupun tidak. Tatacara pelaksanaan shalat jenazah

dapat dilakukan setelah meyakini seseorang telah meninggal dunia dan sudah siap

untuk dilaksanakan shalat atasnya. Shalat jenazah juga dapat dilakukan di kubur

beberapa hari setelah kematiannya.

20
Hal ini sebagaimana dijelaskan beberapa hadits Nabi Muhammad SAW

sebagai berikut: Dari asy-Sya’bi diriwayatkan, sesungguhnya Rasulullah pernah

shalat atas suatu kubur setelah dikubur, lalu beliau takbir empat kali (HR. Muslim).

Dalam hadis lainnya: Dari Ibnu Abbas diriwayatkan, sesungguhnya

Rasulullah pernah shalat atas suatu kubur setelah satu bulan” (HR. al-Baihaqi).

Ada pula hadis: Dari Said bin Musayyab diriwaytkan, bahwa Ummu Sa’d

meninggal sementara Rasulullah tidak ada di Madinah, maka ketika telah kembali

datang beliau menshalatkan atasnya, padahal sudah berlalu satu bulan dari

kematiannya” (HR. at-Tirmdizi).

Berdasarkan hadis-hadis di atas, dapat dipahami bahwa seseorang boleh

melakukan shalat jenazah untuk orang yang meninggal, dengan jarak beberapa

waktu setelah hari kematiannya, seperti tiga hari atau satu bulan. Penyebutan

waktu dalam hadis tersebut bukan berarti membatasi waktu dibolehkannya

seseorang untuk menshalatkan jenazah, sehingga boleh hukumnya bagi seseorang

untuk menshalatkan jenazah karena suatu hal setelah jenazah dikubur hingga

beberapa hari atau bulan.

a. Para Ulama berbeda pendapat di dalam menghukumi shalat ghaib :

Pendapat Pertama, Shalat ghaib tidak disyariatkan di dalam Islam. Ini

pendapat Hanafiyah (al-Kasani, Badai’ ash-Shonai’:1/312, az-Zaila’i, Nashbu ar-

Royah : 2/183), dan Malikiyah serta riwayat dari Imam Ahmad.

21
Mereka berdalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak

pernah melakukan shalat ghaib kecuali atas Raja Najasyi. Ini menunjukkan

kekhususan baginya.

Berkata al-Khurasyi di dalam Syarh Mukhtashor Khalil (2/142) :“

Shalatnya Rasulullah ‫ ﷺ‬kepada Najasyi masuk dalam katagori kekhususan

beliau.“

Pendapat kedua, Shalat ghaib disyariatkan di dalam Islam. Tetapi

khusus untuk orang Muslim yang meninggal dan ternyata belum dishalatkan oleh

kaum Muslimin, atau karena dia berada di lingkungan non-Muslim, sehingga tidak

ada yang menshalatkannya.

Ini pendapat Al-Khattabi dan ar-Ruyyani dari Syafi’iyah dan Abu Daud

serta Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dan dipilih oleh Ibnu

Taimiyah dan Ibnu Qayyim (Zadu al-Ma’ad:1/145), Syekh al-Albani (Ahkam al-

Janaiz: 93), serta Syekh Ibnu Utsaimin (asy-Syarhu al-Mumti’:5/438-440, dan

Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin: 14/17).

Berkata al-Khattabi di dalam Ma’alim as-Sunan (3/542) :

‫صلِٰي‬ ِ ‫ض لَي‬
َ ُ‫ﺲ ف َيها َم ْن ي‬ ٍ ِ ِِ
َ ْ ‫صلى َعلَى الْغَائب إْل إذَا َوقَ َع َم ْوتُهُ ِب َْر‬
َ ُ‫ْل ي‬

22
“Tidak disyariatkan shalat ghaib kecuali atas orang Muslim yang meninggal dunia

di tempat dimana tidak ada yang menshalatkannya.” Disebutkan asy-Syaukani di

dalam Nailu al-Author : 4/87).

Pendapat Ketiga, Shalat ghaib disyariatkan di dalam Islam, tetapi khusus

untuk orang Muslim yang meninggal dan mempunyai jasa besar terhadap Islam,

sebagaimana Raja Najasyi yang telah melindungi para Muhajirin.

Ini pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dipilih oleh Syekh

Abdurrahman as-Sa’di, Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Dewan Tetap untuk Riset

Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia yang dalam salah satu fatwanya (8/418)

menyebutkan :

“Dibolehkan shalat jenazah atas mayit yang ghaib, karena hal itu dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan termasuk kekhususan
beliau, karena para sahabat ikut shalat bersamanya, dan karena pada dasarnya
tidak terdapat kekhususan, tetapi hendaknya ini dikhususkan untuk mayit yang
mempunyai jasa dalam Islam, tidak untuk semua orang.“
Pendapat Keempat, Shalat ghaib disyariatkan di dalam Islam atas setiap

Muslim yang meninggal, walaupun sudah dishalatkan di tempatnya. Ini pendapat

asy-Syafi’yah dan Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur.

Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (5/211) :“Madzhab kami, bahwa

dibolehkan shalat ghaib, bagi yang meninggal dunia di luar kota.”

23
Berkata Ibnu Qudamah pada al-Mughni (2/195 ) :“Dibolehkan shalat atas
mayit yang meninggal di luar kota, dengan menyertai niat dan menghadap kiblat,
sebagaimana shalat atas jenazah yang hadir.“

Berkata al-Mardawai di dalam al-Inshof (2/533) :“Boleh shalat ghaib

secara mutlak dengan niat, inilah Madzhab Ahmad, dibolehkan secara mutlak,

baik mayit tersebut sudah dishalatkan atau belum, mempunyai manfaat umum bagi

umat Islam atau tidak. Inilah pendapat mayorits ulama Hanabilah. Kebanyakan

mereka menyakini hal tersebut.”

Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pendapat yang lebih

kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat ghaib disyariatkan khusus

atas orang Muslim yang meninggal dan ternyata belum dishalatkan oleh kaum

Muslimin, atau karena dia berada di lingkungan non-Muslim, sehingga tidak ada

yang menshalatkannya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil di bawah ini :

1). Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak pernah melakukan shalat ghaib kecuali atas Raja Najasyi.

Sebagaimana kita ketahui beliau menyembunyikan keislamannya, bahkan sampai

akhir hayatnya tidak diketahui oleh orang-orang yang disekelilingnya, sehingga

tidak ada satupun orang Islam yang menshalatkannya, maka Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para

sahabatnya melaksanakan shalat ghaib atas jenazahnya.

2). Pada zaman Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak sedikit kaum Muslimin yang meninggal dunia,

baik yang berjasa kepada Islam maupun yang lainnya, tetapi tidak ada satu

24
riwayatpun yang menyebutkan bahwa beliau melaksanakan shalat ghaib kecuali

yang disebutkan di atas.

3).Ketika para pemimpin Islam yang sangat berjasa kepada Islam, seperti Khulafa’

Rasyidin dan yang lainnya meninggal dunia, kita tidak mendengar bahwa kaum

Muslimin yang berada di daerah-daerah luar kota Madinah melaksanakan shalat

ghaib atas mereka.

Berkata Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim di dalam Zaad al-

Maa’d (1/145) :

Beliau berkata: “Pendapat yang benar bahwa mayit ghaib, jika meninggal
dunia di tempat yang tidak ada orang yang menshalatkannya, maka dilaksanakan
shalat ghaib untuknya, sebagaimana Rasulullah ‫ ﷺ‬atas Najasyi, karena beliau
meninggal dalam lingkungan orang-orang kafir. Jika si mayit tersebut sudah
dishalatkan maka tidak perlu dishalatkan ghaib kembali, karena kewajibannya telah
gugur dengan adanya pelaksanaan shalat jenazah terhadapnya dari kaum Muslimin.
Dalam hal ini Nabi ‫ ﷺ‬pernah melakukan shalat ghaib dan telah meninggalkan pula,
perbuatannya dan tidak melakukannya dari beliau kedua-duanya merupakan sunnah.
Yang ini ada tempatnya dan yang itu juga ada tempatnya sendiri.”
Ketiga pendapat ini terdapat dalam Madzhab Ahmad, tetapi yang paling benar

adalah yang diperinci seperti ini. Walaupun demikian, kita tetap menghormati pendapat

ulama-ulama lain dalam masalah ini. Jika kita dalam shalat jama’ah sebagai makmum,

sedangkan Imam meminta para jamaa’ah untuk melaksanakan shalat ghaib atas

seorang tokoh, maka boleh mengikutinya, sebagai bentuk penghormatan dan persatuan.

25
b. Pensyariatan Shalat Ghaib

Para Ulama fikih berbeda pendapat tentang pensyariatan shalat ghâib dalam

beberapa pendapat:

1). Shalat ghâib disyariatkan dan boleh dilakukan pada Muslim yang wafat di negara

lain. Ini adalah pendapat asy-Syâfi’iyah dan riwayat yang masyhur dari Ahmad

rahimahullah dan menjadi pendapat mu’tamad dalam madzhab Hanâbilah. (lihat al-

Umm 1/308, Kasyâf al-Qinâ’ 2/121, al-Majmû’ 5/252 dan Kifayatul Akhyâr 1/163).

Juga pendapat Ibnu Hazm azh-Zhâhiri rahimahullah dan mayoritas Salaf [lihat al-

Muhalla 3/399 dan Nailul Authâr 4/560].

Dalil pendapat ini:

Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap an-Najâsyi, seperti dalam hadits

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

‫ب‬ َ ‫)ﺻاح‬
ِ (‫اشي )أَﺻﺤﻤه‬
َ ََْ ْ
ِ ‫اس )وهو بملدينﺔ( النج‬
َ ِ ‫ﺻلى اّللُ َعلَْي ِه َو َسل َم نَ َعى لِلن‬ ِ َ ‫أَن رس‬
َ ‫ول اّلل‬ َُ
ِ‫ مات الْي وم عﺒد هلل‬:‫ إِن أَخا قَ ْد مات (وِف روايﺔ‬:‫الﺒش ِﺔ( ِِف الْي وم ال ِذي مات فِ ِيه ) قَ َال‬ ِ
َْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َْ َ ََْ
‫استَ ْغ ِف ُرْوا‬ ِ ِ
َ (‫ َم ْن ُه َو؟ قَ َال الن َجاش ُّي‬:‫ )قَالُْوا‬، (‫صلُّ ْوا َعلَْيه‬
ْ :‫)وقَ َال‬
ِ ِ
َ َ‫ﺻالح) )ﺑِغَ ِْي أ َْرض ُﻜ ْم( )فَ ُﻘ ْوُم ْوا ف‬ َ
(‫ي‬ ِ ْ ‫)ﺻف‬ َ (ُ‫صف ُّْوا َخ ْل َفه‬ ُ )‫ الﺒَ ِﻘْي ِع‬:‫صلى (وِف روايﺔ‬
َ َ‫)ُث تَ َﻘد َم ف‬
ِِ ِ
َ ‫ فَ َﺨَر َج ّب ْم إِ ََل الْ ُﻤ‬:‫ قَ َال‬، (‫ألَخْي ُﻜ ْم‬
ِِ ِ ِ
‫)وَما‬َ (‫صلى َعلَى الْ َﻤيٰت‬ َ ‫ﻒ َعلَى الْ َﻤيِٰت َو‬
َ ُ‫ﺻلْي نَا َعلَْيه َك َﻤا ي‬ ُّ ‫ص‬َ ُ‫ص َف ْفنَا َخ ْل َفهُ َك َﻤا ي‬
َ َ‫ ف‬:‫ )قَ َال‬،
‫ات‬ٍ ‫ وَكْب(علَي ِه) أَرﺑع تَ ْﻜﺒِي‬، (‫ فَأَمنَا وﺻلى علَي ِه‬:‫اْلنَازةُ إِْل موضوعﺔ ﺑي ي َدي ِه( )قَ َال‬
َ َ َْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َْ َ ْ ُ ْ َ َ َْ ‫ب‬ ُ ‫ُْت َﺴ‬
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ketika itu sedang berada di
Madinah) pernah mengumumkan berita kematian an-Najâsyi (Ash-hamah) (raja
Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya. (Beliau Shallallahu ‘alaihi

26
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia –dan
dalam sebuah riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah
meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian
menshalatinya)”, (Mereka berkata : “Siapakah dia itu?” Beliau menjawab : “an-
Najâsyi”) (Beliau juga bersabda : “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian
ini”). Perawi hadits ini pun bercerita : Maka Beliau berangkat ke tempat shalat (dan
dalam sebuah riwayat disebutkan : Ke kuburan Baqi). (Setelah itu, Beliau maju dan
mereka pun berbaris di belakang Beliau (dua barisan) (dia bercerita : “Maka kami
pun membentuk shaff di belakang Beliau sebagaimana shaff untuk shalat jenazah dan
kami pun menshalatkannya sebagaimana shalat yang dikerjakan atas seorang
jenazah). (Dan tidaklah jenazah itu melainkan diletakkan di hadapan Beliau)” (Dia
bercerita : “Maka kami bermakmum dan Beliau menshalatkannya). Seraya bertakbir
atasnya sebanyak empat kali”.
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (III/90,145,155 dan 157), Muslim (III/54), dan

lafazh di atas miliknya. Juga Abu Dawud (II/68-69), an Nasâ`i (I/265 dan 280), Ibnu

Mâjah (I/467), al-Baihâqi (IV/49), ath-Thayâlisi (2300), Ahmad (II/241, 280, 289, 348,

438, 439, 479,539) melalui beberapa jalan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .

[Diambil dari Ahkâm al-Janâ`iz, hlm. 89]

Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyhalat jenazah di atas

kuburan mayit apabila belum sempat menyhalatkannya sebelum itu. Padahal jelas

mayit yang dalam kuburan adalah ghâib. Kalau demikian maka diperbolehkan juga

shalat ghâib sesuai dengan hukum asalnya. [al-Majmû’ 5/247-249]

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: Diantara Sunnah Beliau adalah

apabila ketinggalan Shalat atas jenazah, maka Beliau Shalat diatas kubur, pernah

setelah semalam, pernah setelah tiga hari dan pernah setelah sebulan (dari

kematiannya) dan tidak menentukan batasan waktu dalam hal ini. [Zâd al-Ma’âd

1/512].

27
2). Shalat ghâib tidak disyariatkan. Inilah pendapat madzhab Hanafiyah dan Mâlikiyah

(Hâsyiyah Ibnu Abidin 2/309, Syarhul Khirasyi 3/142 dan adz-Dzakhîrah 2/467) serta

satu riwayat dari Ahmad [al-Mughni 2/382]

Dalil pendapat ini:

a). Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat ghâib

terhadap mayit an-Najâsyi adalah kekhususan untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa

sallam saja.

b). Banyak Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat namun Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyhalatkannya. Padahal Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam sangat semangat untuk menyhalatkan mereka hingga menyatakan:

‫لِت َعلَْي ِه َر ْحَﺔ‬


ِ ‫ﺻ‬َ ‫ي أَظْ ُه ِرُك ْم إِْل آ َذنْتُ ُﻤ ِوِن؛ فَِإن‬
َ َْ‫ت ﺑ‬
ُ ‫َحد َما ُد ْم‬
َ ‫فَل يَُوتَن ﺑَْي نَ ُﻜ ْم أ‬
“Janrgan sampai ada salah seorang yang wafat diantara kalian selama aku ada

diantara kalian kecuali harus memberitahukan aku,karena shalatku adalah rahmat

baginya” (HR.An-Nasa’I dan Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani dalam Ahkam

al-jana’iz,halaman.88)

c). Tidak ada berita shalat ghaib dilakukan setelah Rasulullah SAW.wafat dan juga

kaum muslimin tidak melakukan shalat ghaib terhadap Rasulullah SAW, padahal

tidak semua kaum muslimin menghadiri shalat jenazah Rasulullah SAW dimanah.

d). Diantaranya syarat sah shalat jenazah adalah adanya jenazah, seperti

disampaikan dalam kitab ad-Durul Mukhtar, ‘Diantaranya syarat shalat jenazah

28
adalah ada mayit dan diletakannya dihadapan orang yang menshalatkannya dan

berada diarah kiblat sehingga tidak sah untuk yang ghaib. [ad-Durul Mukhtar yang

ada bersama Hasyiyah ibnu ‘Abidin,2/208].

3). Shalat ghaib tidak disyariatkan kecuali pada orang yang mati dan belum

dishalatkan.Ini sebuah pendapat dalam madzhab Ahmad bin Hambal dan dirajihkan

oleh Abu Dawud, al-khathabi, syaikhul islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaikh al-

Albani dan syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumullah. [‘Aunul Ma’bud 9/5;

Ma’alim as-Sunan, 1/270; Zad al-Ma’ad, 1/520; al-Ikhtiyarat al-Ilmiyah,halaman. 51;

Nailul Authar, 4/57; Ahkam al-Jana’iz,halaman. 89-91]

Dalil pendapat ini:

a). Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang Shalat ghaib terhadap an-

Najasyi yang sudah ada dalam dalil pendapat pertama. Imam Abu Dawud

rahimahullah membuat Bab Shalat Jenazah Atas Orang Muslim Yang Meninggal di

Negara Orang Musyrik. Lalu Imam al-Khathabi rahimahullah menjelaskan hadits

ini dengan menyatakan, ‘an-Najasyi adalah seorang muslim yang telah beriman

kepada Rasulullah SAW dan membenarkan kenabiannya, namun masih

menyembunyikan keimanannya. Tentunya seorang muslim bila mati maka wajib

bagi kaum muslimin untuk menshalatkannya. An-Najasyi berada di tengah-tengah

orang-orang kafir dan tidak ada orang yang mampu menunaikan haknya dalam

shalat jenazah yang ada disana. Sehingga Nabi SAW mengharuskan untuk

melakukan shalat ghaib, sebab Beliau SAW adalah nabinya dan walinya serta orang

29
yang paling berhak atasnya. Wallahu a’lam ini adalah sebab yang mendorong Nabi

SAW melakukan shalat ghaib atasnya.

Berdasarkan hal ini, apabila seorang Muslim mati di sebuah negeri dan

sudah ditunaikan haknya untuk dishatkan, maka orang yang ada di negeri lain tidak

melakukan lagi shalat ghaib. Apabila diketahui ia belum dishalatkan karena ada

rintangan atau penghalang atau udzur, maka sunnahnya adalah dishalatkan shalat

ghaib dan tidak dibiarkan hanya karena jauhnya jarak. Mereka shalat dan

menghadap kiblat dan tidak menghadap ke negeri mayit apabila berada tidak di arah

kiblat. (Ma’alim as-sunan 1/270). Ar-Ruyani – yang bermadzhab asy-Syafi’I – juga

secara baik menyampaikan pendapat yang sama seperti pendapat al-Khathabi, yang

ini merupakan pendapat Abu Dawud, dimana dia menerjemahkan hadits tersebut di

dalam kitab sunannya melalui bab tersendiri yang dibuatnya, yaitu ‘Bab fi ash-

Shalah ‘alal Muslimi Yamutu fi Biladi asy-Syirk (Bab Shalat Jenazah Atas Orang

Muslim Yang Meninggal di Negara Orang Musyrik)’ . Dan pendapat tersebut

menjadi pilihan Syaikh Shalih al-Maqbuli rahimahullah, sebagaimana yang

disebutkan di dalam kitab Nailul Authar (4/45).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Yang benar

adalah orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal dunia di suatu negara yang

tidak ada seorang pun yang menyhalatkan di negara tersebut, maka dia perlu

dishalatkan dengan shalat ghâib, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap jenasah an-Najâsyi. Karena dia meninggal di

30
tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak ada yang menyhalatkannya.Seandainya

dia sudah dishalatkan di tempat dia meninggal dunia, maka dia tidak dishalatkan

dengan shalat ghâib atas jenazahnya. Sebab, kewajiban itu telah gugur dengan

shalatnya kaum Muslimin atas dirinya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

mengerjakan shalat ghâib dan meninggalkannya. Sedang apa yang dikerjakan dan

apa yang beliau tinggalkan merupakan sunnah. Dan ini menempati porsinya masing-

masing. Wallahu a’lam [Zâd al-Ma’âd 1/520-521].

Sedangkan ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bukan petunjuk dan

sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan Shalat ghâib

bagi setiap orang yang meninggal dunia. Sebab, cukup banyak kaum Muslimin yang

meninggal dunia sedangkan mereka jauh dari Rasûlullâh, namun Beliau tidak

menshalatkan mereka dengan Shalat ghâib. [Zâdul Ma’âd (I/205-206)].

b). Berargumen dengan sebagian riwayat yang berbunyi:

ِ
ِۗ ‫علَْيه‬
َ َ َ‫ات ﺑِغَ ِْي أ َْرض ُﻜ ْم فَ ُﻘ ْوُم ْوا ف‬
‫صلُّ ْوا‬ َ ‫إِن أَخا قَ ْد َم‬
“Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia di luar daerah kalian.

karenanya, hendaklah kalian menshalatinya.”

Riwayat ini menunjukkan bahwa shalat ghâib disyariatkan apabila

mayit meninggal di daerah yang tidak ada seorangpun yang menshalatkannya.

31
c). Dan di antara yang memperkuat tidak disyariatkannya shalat ghâib bagi setiap

orang yang meninggal di tempat yang jauh adalah riwayat yang menyebutkan,

ketika para Khulafa-ur Rasyidin dan juga yang lainnya meninggal dunia, tidak ada

seorangpun dari kaum Muslimin yang mengerjakan shalat ghâib atas mereka.

Seandainya mereka mengerjakan hal tersebut, sudah barang tentu nukilan dari

mereka mengenai hal tersebut benar-benar mutawatir. [Ahkâm al-Janâ`iz hlm 93].

4). Shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada orang yang belum dishalatkan dan pada

orang yang terkenal sebagai orang shaleh dan perintis kebaikan. Ini adalah satu riwayat

dari Imam Ahmad rahimahullah sebagaimana dinukilkan Ibnu Taimiyah rahimahullah

dalam al-fatawa al-Kubra (4/444). Imam Ahmad rahimahullah menyatakan: Apabila

mati orang yang shalih maka dishalatkan. Pendapat ini dirajihkan Syaikh Abdurrahmân

As-Sa’di rahimahullah dan Syaikh Bin Bâz rahimahullah. Syaikh al-Basâm

rahimahullah berkata: Guru kami Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah

merajihkan perincian ini. Inilah yang diamalkan di Najd. Mereka melakukan Shalat

ghâib untuk orang yang memiliki jasa besar terhadap kaum Muslimin dan tidak

melakukannya pada selain mereka dan hukum Shalat ini adalah Sunnah [Nailul

Ma’ârib 1/324].

Dalil pendapat ini adalah kisah an-Najâsyi, dimana an-Najâsyi adalah seorang

tokoh yang sangat berjasa kepada kaum Muslimin dengan mendukung dan melindungi

para Sahabat yang berhijrah ke Habasyah.

32
5). Shalat ghâib hanya boleh dilakukan pada hari kematiannya atau dekat-dekat dengan

hari itu dan tidak boleh bila sudah lama. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbarr

rahimahullah dari sebagian ulama. [Fathul Bâri 3/431-432 dan Nailul Authâr 4/560]

Dalil pendapat ini adalah riwayat dari kisah Shalat ghâib untuk an-Najâsyi,

dimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ إِن أَخا قَ ْد‬:‫ات فِ ِيه [قَ َال‬ ِ ِ ِ ‫ﺻلى اّللُ َعلَْي ِه َو َسل َم نَ َعى لِلن‬ ِ َ ‫أَن رس‬
َ ‫اس ِِف الْيَ ْوم الذي َم‬ َ ‫ول اّلل‬ َُ
‫صلُّ ْوا َعلَْي ِه‬ ِ ِ ِ‫ مات الْي وم عﺒد هلل‬:‫ ]مات (وِف روايﺔ‬،
َ َ‫ﺻالح) [ﺑِغَ ِْي أ َْرض ُﻜ ْم] [فَ ُﻘ ْوُم ْوا ف‬
َ َْ َ ْ َ َ َ َ َ
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumumkan berita
kematian an-Najâsyi (Ash-hamah) (Raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari
kematiannya. (Beliau bersabda: “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal
dunia –dan dalam sebuah riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih
telah meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian
menshalatinya)”.
Riwayat ini menunjukkan Shalat ghâib disyariatkan pada hari kematiannya atau

dekat-dekat dengan hari tersebut.

6). Diperbolehkan shalat ghâib apabila mayit meninggal di negeri yang ada di arah

kiblat saja dan bila tidak di arah kiblat maka tidak diperbolehkan. Ini adalah pendapat

Ibnu Hibbân (Shahih Ibnu Hibbân 7/366). Al-Muhib ath-Thabari menyatakan: Aku

tidak mendapatkannya pada selain beliau [lihat Fathul Bâri 3/432].

Dalil pendapat ini disampaikan langsung oleh Ibnu Hibbân rahimahullah dalam

pernyataan beliau: “ Sebab Shalat ghâib terhadap an-Najâsi dalam keadaan Beliau

Shallallahu ‘alaihi wa sallam di negerinya (Madinah), karena negeri an-Najâsyi terletak

di arah kiblat. Hal itu karena negara Habasyah apabila seorang berdiri di Madinah maka

33
ia berada di belakang Ka’bah dan Ka’bah terletak diantara orang tersebut dengan negeri

Habasyah. Apabila mayit meninggal dan dikuburkan kemudian diketahui kematiannya

di negara lain. Sedangkan negara tempat dikuburkannya dan negaranya berada diantara

Ka’bah, maka boleh melakukan Shalat ghâib. [Shahih Ibnu Hibân 7/366-367].

c. Pendapat Yang Rajih.

Pendapat yang rajih adalah pendapat ketiga yang menyatakan shalat ghâib tidak

disyariatkan kecuali pada mayit yang belum dishalatkan, karena kuatnya dalil dan

argumentasinya. Sedangkan alasan kisah an-Najâsyi adalah kekhususan untuk Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak benar dan lemah, karena pada asalnya hal itu bukan

kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa dalil dan dasar yang kuat. Imam

al-Baghâwi t menyatakan: “Mereka menganggap bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam dikhususkan dalam perbuatannya tersebut. Ini adalah lemah karena meneladani

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya adalah wajib kifayah

selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak boleh menetapkan

pengkhususan disini karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Shalat

ghâib sendirian dan melakukannya bersama para Sahabatnya. [Syarhus Sunnah 5/341-

342].

Oleh karena itu Komite tetap untuk Fatwa kerajaan Saudi Arabia (Lajnah

Da`imah) ketika ditanya tentang bolehkah Shalat ghâib seperti yang dilakukan

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada an-Najâsyi atau itu khusus untuk

34
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja ?. Mereka menjawab: Diperbolehkan Shalat

ghâib berdasarkan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak khusus

untuk Beliau saja, karena para Shahabat juga melakukan Shalat ghâib bersama Beliau

untuk an-Najâsyi dan disebabkan asalnya adalah tidak dikhususkan (untuk Beliau saja).

[Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah 8/418].

Syaikh as-Sâ’ati berkata, “Kesimpulannya adalah pendapat yang

mensyariatkan Shalat ghâib hujjahnya lebih kuat karena kesesuaian dengan dalil tanpa

dipaksakan dan ta’wil. [al-Fathu ar-Rabbâni 7/2230].

Dengan demikian shalat ghâib disyariatkan pada Muslim yang mati di negeri

kafir dan belum dishalatkan. Juga disyariatkan pada orang yang mati tenggelam atau

mati terbakar atau mati dalam tawanan dan sejenisnya yang belum dishalatkan

jenazahnya.

Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: Yang rajih adalah tidak

dishalatkan seorang shalat ghâib kecuali belum dishalatkan jenazahnya. Pada zaman

Khulafâ’ur Rasyîdîn banyak orang yang punya jasa atas kaum Muslimin yang mati dan

tidak ada seorangpun dari mereka dishalatkan dengan Shalat ghâib. Pada asalnya dalam

ibadah adalah tidak dilakukan hingga ada dalil yang mensyariatkannya. [Fatâwa

Islâmiyah 2/18].

35
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menganalisis permasalahan pada bab sebelumnya, maka penulis

dapat menyimpulkan penelitian karya tulis ini sebagai berikut:

1.Yang dimaksud dengan syariat adalah hokum dan ketentuan dalam agama islam

yang bersumber dari Al-Quran, hadits Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas.

2.Yang dimaksud dengan shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan umat islam

terhadap saudaranya sesama muslim yang wafat, tetapi jenazahnya tidak berada di

hadapan orang yang melakukan shalat jenazah itu, melainkan di tempat lain.

3. Pendapat yang rajih adalah yang menyatakan shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali

pada mayit yang belum dishalatkan. Shalat ghaib juga di syariatkan pada muslim yang

meninggal di negeri kafir dan belum di shalatkan, juga di syariatkan pada orang yang

meninggal karena tenggelam, terbakar dalam status tawanan, orang hilang dan

sejenisnya yang belum di shalatkan jenazahnya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis ingin mengemukakan saran sebagai

berikut:

1. Bagi seluruh umat islam, hendaklah melaksanakan shalat ghaib sesuai dengan

syariatnya.

36
3.Bagi para penulis yang selanjutnya agar lebih teliti dan pintar dalam mengerjakan

suatu karya tulis. Supaya karya tulis yang selanjutnya lebih baik dari yang sebelumnya

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamhudi kholid. 2017. Shalat ghaib dalam fikih islam.


https://almanhaj.or.id/9612-shalat-ghaib-dalam-fikih-
islam.html(diakses tanggal 7 januari 2023)

2. Hukum membaca surat al-fatihah dalam shalat .


https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/edu/detikpedia/d-
5810908/hukum-membaca-surat-al-fatihah-dalam-
sholat/amp(diakses tanggal 5 januari 2023)

3. Bacaan shalat jenazah takbir ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4 lengkap
mulai dari niat sampai salam.
https://bangka.tribunnews.com/amp/2021/09/13/bacaan-sholat-
jenazah-takbir-ke-1-ke-2-ke-3-dan ke-4-lengkap-mulai-dari-niat-
sampai-salam?page=4(diakses tanggal 2 januari 2023)

4. Inilah pengertian syariah yang wajib diketahui .


https://wakalahmu.com/artikel/literasi-
asuransisyariah/inilahpengertian-syariah-yang-wajib-
diketahui(diakses tanggal 2 januari 2023)

5. Mushlihin. 2012. Pengertian syariah ; etimoogi dan terminologi.


https://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertiansyariahetimol
ogi-dan.html?m=1(diakses tangga 1 januari 2023)

38
6. Kemenag. 2014. Buku siswa fikih pendekatan saintifik kurikulum
2013 kelas VII. Jakarta. Kemenag

7. Depniknas. 2008. (KBBI Pusat Bahasa) edisi keempat. Jakarta.


Gramedia pustaka utama

39

Anda mungkin juga menyukai