(Bab3) Nadhira Faza Putri - 10050018125 - Proposal
(Bab3) Nadhira Faza Putri - 10050018125 - Proposal
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan Untuk Menempuh Ujian Metodologi Penelitian
Pada Fakultas Psikologi
Universitas Islam Bandung
Tahun Akademik 2021/2022
Feedback dan kisi alat ukur kesabaran sudah, dan definisi operasional
tentang kesabaran
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORITIK
2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Kesabaran
Menurut Yusuf, U (2020) menyatakan bahwa sabar memiliki pengertian
secara umum yaitu suatu sikap untuk menahan emosi dan keinginan, serta
bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Selain itu sabar juga
merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri yang dipandang sebagai sikap
yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekukuhan jiwa individu yang
memilikinya.
Sementara Ibn Qayyim al-Jauziyyah (2009) berpendapat bahwa sabar
merupakan suatu kekuatan dalam bentuk motivasi yang dapat menggerakkan pada
hal yang bermanfaat bagi dirinya sekaligus sebagai pencegahan diri dari hal yang
merugikan dirinya. Perwujudan sabar dalam psikologis yaitu dengan
menghentikan diri dari putus asa dan panik, mengeluh, dan dari aktivitas yang
merusak diri sendiri ketika mengalami kesedihan maupun stres (al-Jauziyyah,
1997).
Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan bahwa sabar berkaitan dengan
pengetahuan serta keyakinan seseorang yang dihasilkan dari hasil pemikirannya
yang kritis dan logis terhadap masalah yang dihadapi dalam melaksanakan
aktivitasnya (Qurdhowi, 2012).
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat dikatakan bahwa
kesabaran adalah suatu sikap bertahan dengan mengatur perasaan, pemikiran, dan
tingkah laku dalam menghadapi cobaan maupun dalam menjalankan kegiatan
sehari-hari.
2.1.2 Definisi Kecemasan Bertanding
Kecemasan secara umum menurut Spielberger (2004) merupakan suatu
emosi yang terdiri dari pikiran dyphoric, sensasi yang tidak nyaman, dan
perubahan fisik akibat dari repons terhadap situasi atau stimulus yang dianggap
mengancam atau berbahaya. Menurut Spielberger (1966) kecemasan dapat dilihat
sebagai trait atau state, dimana kecemasan trait adalah faktor yang lebih stabil
dan dapat menilai kecenderungan umum individu untuk mengalami peningkatan
kecemasan state ketika terpapar stressor. Sedangkan kecemasan state adalah
intensitas kecemasan yang dialami pada saat tertentu dapat berfluktuasi secara
luas dalam intensitas selama rentang waktu yang singkat.
Dalam dekade terakhir, penelitian mengenai kecemasan yang berfokus
dalam bidang olahraga mulai dikembangkan. Sebagian besar disebabkan oleh
pengembangan alat ukut kecemasan khusus untuk olahraga serta meningkatnya
minat diantara psikolog olahraga dalam mengembangkan program intervensi
penurunan kecemasan untuk atlet (Apitzsch, 1983; Hackfort & Spielberger, 1989;
Smith, 1989; Suinn, 1989).
Menurut Smith & Smoll (1990) kecemasan bertanding adalah
kecenderungan yang dipelajari untuk merespons dengan kecemasan kognitif
dan/atau somatik terhadap situasi olahraga yang kompetitif dimana performa atlet
dapat dievaluasi. Kecemasan sendiri merupakan respons emosional yang tidak
menyenangkan terhadap situasi yang membuat atlet tertekan yang ditandai dengan
kekhawatiran dan ketakutan tentang kemungkinan bahaya baik terhadap fisik atau
psikologis serta peningkatan gairah fisiologis yang dihasilkan dari penilaian
ancaman (Smith & Smoll dalam Leitenberg, 1990).
Selanjutnya menurut Martens, Vealey, & Burton (1990) menyatakan
bahwa kecemasan bertanding merupakan perasaan khawatir, gelisah, dan tidak
tenang yang dirasakan para atlet sebagai akibat dari anggapan bahwa pertandingan
sebagai sesuatu yang membahayakan. Aspek yang paling dominan dalam
menyebabkan kecemasan merupakan aspek kognitif berupa kekhawatiran dan
pemikiran yang negatif bahwa proses serta hasil dari pertandingan akan
mengancam atlet (Smith & Sarason, 1993).
Kemudian Anshel (1997) berpendapat bahwa kecemasan bertanding
merupakan suatu gambaran dari perasaan atlet bahwa sesuatu yang tidak
dikehendaki akan terjadi. Hal yang tidak dikehendaki tersebut antara lain seperti
atlet tampil dengan performa yang buruk, menghadapi lawan yang lebih
berpengalaman, atlet mengalami kekalahan kemudian akan dicemooh oleh teman-
teman atau para penggemarnya (Hajidin & Amir, 2014).
Berdasarkan definisi kecemasan bertanding menurut para ahli di atas,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan bertanding adalah suatu
respons atlet terhadap situasi yang mengancam dalam pertandingan dalam bentuk
kognitif dan somatik.
2.2 Teori
2.2.1 Teori Kesabaran
2.2.1.1 Aspek-Aspek Kesabaran
Menurut Yusuf, U (2020) di dalam kesabaran terdapat beberapa aspek
sebagai penentu dalam meraih kesuksesan. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1. Teguh pada pendirian
Teguh merupakan suatu sikap serta keyakinan seseorang dalam
menjalani kehidupannya dan berusaha dengan keras untuk mencapai
segala sesuatu yang diinginkannya. Gambaran mengenai keteguhan
dijelaskan pada Q.S. Al-Ahqaf ayat 35 yaitu memberi nasihat kepada Nabi
Muhammad SAW untuk bersabar dalam menghadapi orang-orang kafir
seperti ulul azm, yaitu orang yang memiliki keteguhan dan ketabahan
dalam menghadapi kesulitan.
Makna sabar dalam aspek keteguhan pendirian ini tidak lepas dari
tekad yang kuat untuk melaksanakan perintahnya. Keteguhan merupakan
syarat dalam mewujudkan kesabaran. Dengan keteguhan akan membawa
seseorang menjadi berani dalam menghadapi cobaan dan tidak akan
muncul suatu upaya untuk menghindari cobaan tersebut. Keteguhan
mencerminkan aspek kognitif, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-
Ghazali bahwa sabar memiliki makna berupa keyakinan atau keteguhan
pendirian yang didasari oleh pemikiran kritis dan logis. Dimana aspek
kognitif dalam keteguhan pendirian antara lain:
(a) Optimisme, merupakan karakteristik individu yang memiliki
keyakinan dengan baik tentang apa yang akan dilakukannya
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991). Seligman (2006)
menyatakan bahwa optimisme adalah suatu keyakinan diri serta
pikiran untuk berusaha menyelesaikan atau memikirkan cara yang
baik untuk memecahkan permasalahan yang terjadi tanpa berpikir
untuk menghindar dari kenyataan. Dengan optimisme maka
individu akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya. Meskipun menhgadapi kesulitan, dia akan tetap
berpikir positif dan memiliki keyakinan bahwa permasalahan
tersebut dapat terselesaikan dengan sebaik mungkin. Sehingga
optimisme akan mempengaruhi gairah seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan, dan nantinya berpengaruh pada
produktivitas. Selain itu pribadi yang optimis akan berani
mengambil resiko atas tindakannya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Shane, Locke, & Collin (2003) mengenai ciri pribadi
optimis adalah individu yang berani mengambil resiko.
(b) Keberanian mengambil risiko, yaitu seseorang yang mau
menerima tantangan dalam menjalankan kehidupan dengan segala
kemungkinan yang baik maupun buruk. Sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah ketika dalam situasi peperangan,
ketika orang-orang berlari ketakutan, beliau tetap berdiri tegak
seorang diri melawan musuh-musuhnya. Dalam HR. Ahmad dan
Tirmidzi disebutkan bahwa Rasulullah hanya takut kepada Allah
dan tidak takut kepada siapa pun selain Dia.
(c) Taat pada aturan atau dapat dikatakan sebagai pribadi yang
disiplin. Orang yang sukses identik dengan sikap disiplin yang
dimilikinya, karena dengan disiplin mampu mengubah perilaku
menuju hal yang lebih baik dan positif. Pentingnya disiplin dalam
kehidupan sehari-hari telah tercantum dalam Q.S. An-Nisa ayat 59
yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(d) Tertib dalam menjalankan aturan adalah bagaimana individu
menjalankan aturan yang berlaku secara terus-menerus. Dalam Al-
Qur’an telah dijelaskan mengenai ajakan untuk menjalankan
ketertiban serta menjalankan aturan sebagai bagian penting dari
ciri-ciri orang yang sabar, kemudian dijanjikan bahwa mereka akan
mendapatkan kesuksesan.
2. Tabah
Tabah merupakan suatu kekuatan dalam menghadapi cobaan,
bahaya, ujian, maupun kesulitan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991).
Selain itu tabah juga diartikan sebagai tetap dan kuat hati dalam
menghadapi bahaya, berani menghadapi cobaan maupun kesulitan. Dalam
Q.S. Al-Baqarah:155-156 dijelaskan bahwa dalam menjalani kehidupan
itu ditandai oleh beragam cobaan. Tetapi Allah SWT telah membekali
manusia dengan potensi-potensi yang jika digunakan maka manusia akan
mampu menghadapi cobaan tersebut. Berdasarkan Tafsir al-Misbah
(2005), dengan kesabaran maka manusia akan mendapatkan kegembiraan.
Dengan kesabaran bukan berarti manusia tidak boleh merasakan kesedihan
ketika menghadapi musibah, karena kesedihan merupakan wujud dari
kelembutan hati serta kasih sayang yang telah menjadi tabiat manusia.
Kemudian dalam Q.S. Al-Qashash:54 menjelaskan mengenai sabar
dalam makna tabah, dimana menurut Sayyid Quthb (2004) ayat tersebut
menjelaskan bahwa kesabaran yang dimaksud ialah kesabaran dalam
menghadapi nafsu, syahwat, dan penyimpangannya. Selanjutnya dalam
Q.S. Ali-Imran:146 mengandung makna sabar sebagai tidak lemah.
Dimana tidak lemah ini berkaitan dengan jasmani dan dapat
mengakibatkan kelesuan, tidak mengendurnya tekad, serta tidak
menyerahkan diri kepada musuh. Sehingga tabah menggambarkan suatu
ketahanan psikologis yang mencerminkan aspek afektif berupa:
(a) Daya tahan, yaitu lamanya waktu seseorang untuk melakukan
sesuatu intensitas kerja. Dalam Q.S. al-An’am ayat 34 menjelaskan
kata sabar yang mengarah pada daya tahan untuk menghadapi
suatu rintangan maupun kesulitan. Selanjutnya Q.S. Al-Isra ayat 30
menjelaskan mengenai kekuasaan Allah SWT yang melapangkan
rezeki kepada umat-Nya yang dihendaki, sementara manusia hanya
perlu untuk berusaha semaksimal mungkin untuk memperolehnya
dan menerimanya dengan perasaan puas disertai keyakinan bahwa
hal tersebut merupakan yang terbaik baginya di masa kini dan
mendatang. Kemudian manusia juga harus bisa menerima
kegagalan ataupun kemelaratan yang diterimanya dan meyakini
bahwa hal yang diperolehnya tersebut setelah melakukan usaha
maksimal merupakan hal yang terbaik baginya.
(b) Daya juang, merupakan karakteristik gigih dalam mencapai
tujuan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi dan para
pengikutnya yang berperang di jalan Allah. Mereka menunjukkan
sikap tidak mau menyerah kepada musuh, tidak tunduk kepada
harta duniawi, tidak lari dari medan perang, dan para pengikutnya
tetap teguh ketika mendapatkan kabar Nabi telah terbunuh. Karena
pada dasarnya orang yang sabar tidak akan getar menghadapi
rintangan karena memiliki keyakinan bahwa mereka dapat
melewatinya.
(c) Toleransi terhadap frustrasi, merupakan suatu kemampuan
menghadapi dan mengatasi masalah. Sebagaimana yang disebutkan
dalam Q.S. Ali-Imran ayat 146 yang berbunyi “Dan berapa
banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi
lemash karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan
tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar.”. Orang yang bersabar makan
akan menunjukkan sikap toleransi yang tinggi terhadap kesulitan
yang dihadapi.
(d) Mampu belajar dari kegagalan, merupakan suatu usaha untuk
memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik dari
sebelumnya. Orang yang sabar akan menganggap suatu kegagalan
sebagai media pembelajaran supaya tidak melakukan kesalahan
yang sama untuk ke depannya. Dengan begini, lama kelamaan
orang yang sabar akan menjadi orang yang sukses karena mereka
terus berusaha untuk belajar dari kegagalan. Sebaliknya, orang
yang tidak sabar akan menganggap kegagalan sebagai musibah,
kemudian nantinya akan mengganggu keadaan psikologis mereka
yang akhirnya membuat mereka putus asa.
(e) Bersedia menerima umpan balik sebagai upaya untuk
memperbaiki diri. Umpan balik sesungguhnya diperlukan bagi
setiap individu untuk dijadikan sebagai bahan untuk lebih
mengenal diri. Akan tetapi memang tidak semua umpan balik bisa
membantu individu, umpan balik bersifat positif dan disampaikan
dengan cara lemah lembut bisa mendorong motivasi seseorang.
3. Tekun
Tekun merupakan bagian dari konsep kesabaran. Artinya manusia
yang bersabar ditandai dengan sifat tidak tergesa-gesa dan tidak cepat
putus asa. Hal ini telah dijelaskan dalam Q.S. Yusuf, U:87 mengenai kisah
Nabi Ya'qub yang memberikan nasihat kepada anak-anaknya untuk tidak
putus asa dalam menjalani tugasnya. Sebab orang yang berputus asa dari
harapan untuk mendapat anugerah Allah hanyalah orang-orang kafir.
Sehingga dari ayat tersebut didapatkan tekun memiliki arti berusaha terus-
menerus sampai tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Tekun ditandai dengan berkeras hati, teguh pada pendirian, rajin,
giat, sungguh-sungguh, dan terus-menerus dalam bekerja meskipun
mengalami kesulitan, hambatan, serta rintangan. Selanjutnya tekun
terwujud dalam semangat yang berkesinambungan dan tidak melemah
meskipun terdapat banyak rintangan yang menghadang. Dalam Q.S. Al-
Isra':84 menegaskan tentang pentingnya ketekunan untuk meraih
keberuntungan atas apa yang diharapkan atau dicita-citakan. Dengan kata
lain, tekun mencerminkan aspek konatif dalam sikap:
(a) Antisipasi, merupakan sikap bersiap siaga. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 65, bahwa kekalahan orang
kafir diakibatkan oleh mereka yang tidak mengerti akan maksud
serta tujuan dari peperangan, karena mereka hanya menginginkan
kekuasaan duniawi (Tafsir Unisba, 2015). Sehingga dapat
dikatakan bahwa strategi penting dalam berusaha ialah mengerti
tentang tujuan yang ingin dicapai serta antisipasi akan
permasalahan yang mungkin muncul.
(b) Perencanaan, merupakan sebuah usaha yang sistematis dan
metodis dalam mencapai apa yang diharapkan. Dalam menyusun
perencanaan ini terdapat 2 kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu
adil dan ikhsan. Seorang yang adil akan berjalan lurus dan
sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama. Sedangkan
ikhsan adalah memberi kenikmatan kepada pihak lain dan
melakukan perbuatan yang baik. Sifat ini tercapai ketika individu
telah memandang dirinya pada diri orang lain atau melihat dirinya
pada posisi kebutuhan orang lain.
(c) Fokus atau terarah pada pencapaian tujuan untuk mencapai
keberhasilan. Dalam Q.S. Al-Insyirah ayat 7 yang berbunyi “Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”. Ayat ini
memberikan penekanan bahwa setiap menjalankan suatu urusan
harus bersungguh-sungguh dan fokus terhadap satu urusan
tersebut.
2.2.1.2 Indikator Kesabaran
Yusuf, U (2020) juga menurunkan dari aspek-aspek di atas menjadi 12
indikator kesabaran, sebagai berikut:
1. Optimis bahwa setiap masalah terdapat solusi
2. Keberanian untuk mengambil risiko
3. Taat terhadap aturan
4. Tertib dalam melaksanakan tugas
5. Daya tahan
6. Daya juang
7. Toleran terhadap frustrasi
8. Mampu belajar dari kegagalan
9. Bersedia menerima umpan balik
10. Perencanaan
11. Terarah
12. Antisipatif
2.2.2 Teori Kecemasan Bertanding
2.2.2.1 Aspek-Aspek Kecemasan Bertanding
Menurut Smith & Smoll (1990) menerangkan bahwa dalam kecemasan
bertanding terdapat 2 aspek atau dimensi sebagai tanda atau indikator bahwa atlet
mengalami kecemasan. Kedua aspek tersebut yaitu:
1. Kognitif
Kecemasan kognitif ini ditandai dengan penilaian negatif terhadap
situasi pertandingan dan diri sendiri, kekhawatiran, serta gambaran mental
yang tidak menyenangkan. Menurut Morris dkk (1981) kecemasan
kognitif lebih merusak performa atlet. Hal ini dikarenakan kecemasan
kognitif menjadi mediator yang paling besar ketika atlet sedang dalam
pertandingan, karena pemikiran tentang kegagalan dapat muncul setiap
saat selama pertandingan. Selain itu kecemasan kognitif sangat
mempengaruhi kinerja tugas-tugas kognitif.
Kecemasan kognitif ditandai oleh 2 komponen yaitu (1)
kekhawatiran yang dihubungkan dengan kegelisahan tentang potensi
konsekuensi negatif terkait dengan kinerja yang buruk; dan (2)
dekonsentrasi yang dihubungkan dengan kesulitan atlet untuk fokus pada
aspek-aspek kunci dari tugas yang harus dilakukan yang pada akhirnya
menghambat kejernihan pikiran selama situasi kompetitif (Grossbard dkk,
2009).
2. Somatik
Dalam kecemasan somatik tercermin dalam peningkatan gairah
fisiologis yang ditandai dengan detak jantung yang cepat, sesak napas, dan
peningkatan ketegangan otot. Menurut Morris dkk (1981) kecemasan
somatik mempengaruhi performa atlet di awal, ketika mereka merasa
paling gugup. Selain itu kecemasan somatik juga dapat mempengaruhi
motorik atlet. Peningkatan gairah fisiologis dapat berupa ketegangan otot
yang mampu mengganggu aktivitas motorik dengan mempengaruhi fungsi
otot dan sendi. Semakin kompleks tuntutan motorik dari tugas atletik,
maka semakin mudah proforma dapat dipengaruhi secara negatif oleh
respons kecemasan somatik.
2.2.2.2 Dampak Kecemasan Bertanding
Smith & Smoll (1990) juga menjelaskan mengenai dampak-dampak
kecemasan bertanding pada para atlet, antara lain:
a. Membuat para individu yang tertarik akan olahraga namun mereka
merasa takut bahwa mereka akan menampilkan performa yang buruk
ketika bertanding.
b. Membuat para atlet merasa terganggu akibat perasaan khawatir yang
dirasakannya, sehingga memungkinkan mereka untuk tidak bertanding di
masa depan.
c. Mengurangi perasaan menikmati olahraga.
d. Membuat atlet mundur dari pertandingan.
e. Dapat menimbulkan reflex sympathetic dystrophy pada atlet. Yaitu
keadaan dimana atlet merasa sakit kepala, sakit perut, dan masalah
dermatologis.
f. Pola tidur yang terganggu baik pada malam sebelum bertanding dan
sesudah.
2.2.2.3 Alur Kecemasan Bertanding
Smith & Smoll (1990) mengembangkan model konseptual mengenai
kecemasan bertanding pada atlet, sebagaimana yang tercantum dalam gambar 1.
Gambar 1
Alur Kecemasan Bertanding
Model ini berasal dari konsepsi emosionalitas dan kecemasan yang telah
dikemukakan oleh para ahli kecemasan sebelumnya, dengan memasukkan
perbedaan trait-state dari kecemasan dan perbedaan antara komponen situasional,
kognitif, fisiologis, dan perilaku dari proses kecemasan. Komponen kognitif dan
somatik dalam keadaan kompetitif ditunjukkan dalam panel penilaian dan respon
fisiologis. Intensitas dan durasi dari respons kecemasan state diasumsikan
dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Faktor pertama yaitu berasal dari sifat situasi
olahraga kompetitif dimana atlet terlibat. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti
kekuatan lawan, pentingnya pertandingan, kehadiran orang lain yang signifikan,
dan tingkat dukungan sosial yang diterima dari pelatih dan rekan tim, dimana
pada akhirnya akan mempengaruhi ancaman yang mungkin ditimbulkan oleh
situasi tersebut bagi atlet.
Faktor selanjutnya adalah interpersonal, faktor ini merupakan penentu
penting dari tingkat kecemasan state yang dialami oleh atlet. Salah satunya adalah
tingkat kecemasan kognitif dan sifat somatik khusus olahraga. Variabel perbedaan
individu melibatkan kecenderungan individu untuk mengalami reaksi kecemasan
state kognitif dan somatik dalam situasi kompetitif. Selanjutnya yaitu faktor
pertahanan psikologis yang mungkin telah dikembangkan atlet untuk mengatasi
situasi persaingan yang menimbulkan kecemasan. Seperti yang telah dikemukakan
oleh Speilberger (1966) bahwa proses defensif dapat dimobilisasi untuk
menghindari atau mengurangi kecemasan. Proses defensif ini beroperasi pada
tingkat penilaian dan dalam beberapa cara memodifikasi atau mendistorsi persepsi
akan suatu situasi. Ketika operasi defensif berhasil, maka situasi olahraga
kompetitif akan dilihat kurang mengancam, kemudian terjadi penurunan terhadap
kecemasan state.
Situasi objektif, tingkat trait kecemasan, dan pertahanan individu
mempengaruhi proses penilaian atlet. Terdapat empat kelas penilaian yang sangat
penting yaitu penilaian tuntutan yang situasional; penilaian sumber daya yang
tersedia untuk menanganinya; penilaian sifat dan kemungkinan konsekuensi jika
tuntutan tidak terpenuhi; dan pemaknaan secara pribadi mengenai konsekuensi
tersebut. Makna yang melekat pada konsekuensi berasal dari sistem kepercayaan
individu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika seorang atlet yang
mendefinisikan tuntutan situasional sebagai sesuatu yang berlebihan, kemudian
menilai sumber daya dan keterampilannya tidak cukup untuk menangani tuntutan,
serta harga dirinya terkait keberhasilan, maka akan dengan jelas atlet tersebut
melihat situasi pertandingan sebagai ancaman atau bahaya. Penilaian tersebut
nantinya menghasilkan tingkat gairah fisiologis yang tinggi, kemudian memberi
umpan balik ke dalam proses penilaian. Tingkat gairah yang tinggi dapat
meyakinkan atlet bahwa dia "gagal" dan akan menghasilkan penilaian yang lebih
negatif lagi.
METODE PENELITIAN
Tabel 1
Kisi-Kisi Alat Ukur Kesabaran
Kisi-Kisi dan Angket kesabaran 2021
variabel aspek sub aspek indikator Item
Taat 4, 5, 6, 37
menjalanka
n aturan
Tertib 3, 36, 38, 39
dalam
bekerja
Tabah yaitu Daya juang 9, 20, 22, 33
menggambar
kan
bagaimana
derajat usaha
seseorang
untuk dalam
menghadapi
berbagai
rintangan
dan
permasalaha
n yang
dihadapi.
Daya tahan 9, 23, ,35, 41
Tabel 2
Kisi-Kisi Alat Ukur Kecemasan Bertanding
Faktor Indikator Item
Motorik Raut muka dan dahi berkerut 2,5,6,13,16,17,18,19,22
Gemetar
Kaki terasa berat
Sering menggaruk-garuk kepala
Otot-otot sakit
Sering jalan mondar-mandir
Badan lesu
Tubuh terasa kaku
Mengalami ketegangan otot
(krem)
Afektif Cepat putus asa 8,11,14
Sembrono
Memiliki keraguan diri
Somatik Jantung berdebar-debar keras 1,4,9,10,12,15,20
Selalu ingin buang air kecil
Mengalami ketegangan
Pernafasan tidak teratur
Sering minum air
Berkeringat dingin
Sukar tidur
Kognitif Tidak bisa berkonsentrasi 3,7,21
Berpikir tentang hal tidak
berhubungan
Pikiran negatif mengganggu
konsentrasi
Alat ukur SAS telah diuji untuk reliabilitas dan validitasnya. Hasil uji
validitas menunjukkan skor yang baik yaitu antara 0,3 dan 0,9 sedangkan hasil uji
reliabilitas menunjukkan sebesar 0,823.
Keterangan:
n = jumlah sampel yang dicari
N = jumlah populasi
e = margin eror yang ditoleransi
Sehingga:
33
n = 1+ 33(0.052 ) = 30,4 atlet