Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH KESABARAN TERHADAP KECEMASAN OLAHRAGA

PADA ATLET GYMNASTICS KOTA BANDUNG


Catatan:
Untuk tinjauan teoritis, khususnya tentang kesabaran sebaiknya ikuti apa yang
ada pada buku saya yang sudah saudara miliki?, sehingga akan tergambar
secara komprehensif tentang sabar, dan juga keterkaitan sabar dengan aspek-
aspeknya, sehingga akan memperjelas dalam bagan kerangka pikirnya.
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan Untuk Menempuh Ujian Metodologi Penelitian
Pada Fakultas Psikologi
Universitas Islam Bandung
Tahun Akademik 2021/2022

NADHIRA FAZA PUTRI KOSASIH


10050018125
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam situasi menjelang pertandingan sering kali para atlet merasa cemas.
Perasaan cemas ini bisa muncul dari berbagai faktor, baik yang berasal dari dalam
diri sendiri maupun luar. Kecemasan pada atlet yang timbul saat menjelang
pertandingan disebabkan oleh respons emosi negatif dari diri atlet akibat perasaan
terancam terhadap harga dirinya (Hajidin & Amir 2014). Secara umum,
kecemasan dalam olahraga muncul ketika atlet merasa tidak yakin bahwa mereka
bisa mengatasi situasi yang membuatnya stres (Hardy, Jones, & Gould, 1996).
Pada akhirnya kecemasan ini akan mempengaruhi prestasi atlet dalam turnamen
(Purnamasari dkk, 2019).
Kecemasan olahraga dapat diartikan sebagai kecenderungan yang
dipelajari untuk merespons dengan kecemasan kognitif dan/atau somatik terhadap
situasi olahraga yang kompetitif dimana performa atlet dapat dievaluasi (Smith &
Smoll, 1990). Kecemasan kognitif tersebut ditandai oleh 2 komponen yaitu (1)
kekhawatiran yang dihubungkan dengan kegelisahan tentang potensi konsekuensi
negatif terkait dengan kinerja yang buruk; dan (2) dekonsentrasi yang
dihubungkan dengan kesulitan atlet untuk fokus pada aspek-aspek kunci dari
tugas yang harus dilakukan yang pada akhirnya menghambat kejernihan pikiran
selama situasi kompetitif (Grossbard dkk, 2009).
Cedera olahraga paling sering dihubungkan dengan kecemasan sebagai
faktor psikologis. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa atlet gymnastics
sangat rentan terhadap kecemasan (Kolt & Kirkby, 1994). Didapatkan bahwa
atlet gymnastics melaporkan lebih tinggi tingkat kecemasan menjelang
pertandingan dibandingkan dengan cabang olahraga lainnya (Simon & Martens,
1979). Sejalan dengan penelitian tersebut, Patricia dkk (2019) menemukan bahwa
atlet gymnastics sebelum melakukan pertandingan memiliki tingkat trait anxiety
yang tinggi, sedangkan tingkat cognitive state anxiety, somatic state anxiety, dan
self-confidence berada di tingkat menengah.
Fenomena cedera pada saat pertandingan pun terjadi pada atlet di
Indonesia. Dilansir dalam (tempo.co, 2015) seorang atlet Indonesia bernama Roni
Saputra mengalami cedera pada saat mengikuti SEA Games di Singapura pada
tahun 2015 dalam cabang olahraga senam artistik. Pada akhirnya membuat atlet
Indonesia tersebut harus dipulangkan untuk segera mendapatkan penanganan.
Penjelasan lebih lanjut dikatakan bahwa atlet tersebut mengalami cedera pada
bagian dengkul dan engkel kakinya yang membuat dia tidak bisa melanjutkan
pertandingan.
Selain membutuhkan kemampuan yang bersifat fisik, atlet gymnastics
memerlukan kemampuan bersifat psikologis atau mental yang digunakan baik
pada saat latihan maupun menghadapi pertandingan, juga mempengaruhi terhadap
kinerja atlet. Dalam (Jemni dkk, 2013) menjelaskan kemampuan mental yang
diperlukan bagi para atlet gymnastics. Kemampuan mental tersebut
memperhatikan bidang konseptual umum dalam psikologi yaitu kognitif, afektif,
dan konatif. Dimana ketiga konseptual tersebut perlu dijabarkan secara spesifik
subkomponennya dan dianggap bahwa semua saling berkaitan atau bersifat
interaktif, dengan kata lain perubahan pada salah satu komponen akan selalu
mempengaruhi dua komponen lainnya. Kemampuan mental tersebut antara lain
adalah (1) Foundation skill, yang merepresentasikan konsep konatif. Dimana
didalamnya terdapat penetapan tujuan, kepercayaan diri, dan komitmen; (2)
Psychosomatic skill, yang merepresentasikan konsep afektif. Didalamnya terdapat
kontrol stres, kontrol ketakutan, relaksasi, dan aktivasi; dan (3) Cognitive skill,
yang merepresentasikan konsep kognitif. Didalamnya terdapat imagery dan
mental practice, focusing, refocusing, dan perencanaan.
Ketiga aspek atau kemampuan mental di atas merupakan suatu
psychological strength yang dibutuhkan atlet gymnastics sebagai prediktor untuk
mencapai kesuksesannya. Dalam perspektif Psikologi Islam, aspek tersebut
terkandung dalam kesabaran yang didalamnya terdapat keteguhan, ketabahan, dan
ketekunan (Yusuf, 2020). Kesabaran juga menganut konseptual umum dalam
bidang psikologi berupa kognitif, afektif, dan konatif. Dimana kognitif ini
direpresentasikan dalam konsep keteguhan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-
Ghazali bahwa sabar memiliki makna berupa keyakinan atau keteguhan pendirian
yang didasari oleh pemikiran kritis dan logis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa di
dalam sabar mengandung nilai-nilai dominan yang melekat, yaitu percaya diri,
optimis, mampu menahan beban dan ujian, serta terus-menerus berusaha.
Demikian pula sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 68 bahwa
orang yang sabar adalah orang yang memiliki pengetahuan mengenai apa yang
dilakukannya secara kritis dan logis.
Pentingnya keteguhan pendirian telah dijelaskan oleh Edward Deci dan
Richard Ryan (1985) dimana mereka berfokus untuk menjelaskan motivasi yang
berasal dari internal atau dikenal sebagai motivasi intrinsik berupa kebutuhan
untuk memperoleh informasi maupun pengetahuan serta kebebasan untuk
mengatur diri sendiri. Dimana kebutuhan tersebut dikenal sebagai kompetensi,
yaitu kebutuhan dasar individu untuk menguasai bidang tertentu dalam
kehidupannya. Kemudian yang kedua adalah otonomi, yaitu kebutuhan untuk
mengatur sendiri pengalaman serta tindakan individu masing-masing, merupakan
bentuk fungsi yang terkait dengan perasaan kehendak, kongruen, dan terintegrasi
(Ryan & Deci, 2017).
Selanjutnya konsep afektif dalam sabar yaitu ketabahan hati dalam
menghadapi kesulitan, rintangan, maupun penderitaan. Dalam ayat-ayat Al-
Qur’an menjelaskan bahwa tabah menggambarkan ketahanan psikologis berupa
daya tahan, daya juang, toleransi terhadap frustrasi, mampu belajar dari
kegagalan, dan bersedia menerima umpan balik untuk memperbaiki diri.
Pentingnya ketabahan hati telah dijelaskan oleh (Kobasa, Maddi, & Puccetti,
1982) yang menjelaskan bahwa ketabahan hati sebagai suatu karakteristik dalam
kepribadian yang dapat membantu individu untuk mengatasi peristiwa hidup yang
dapat memicu stres. Kemudian (Kobasa & Pucceti, 1983) juga menjelaskan
bahwa dengan ketabahan dapat membuat individu dengan mudah berkomitmen
pada apa yang mereka lakukan dan percaya bahwa mereka dapat mengendalikan
sebagian peristiwa kehidupannya. Sehingga dalam peristiwa hidup yang penuh
tekanan, individu lebih bisa mencari peluang atau kesempatan lebih jernih yang
dapat digunakan sebagai latihan dalam upaya pengambilan keputusan.
Terakhir aspek konatif dalam kesabaran ialah ketekunan. Arti tekun
berdasarkan Q.S. Yusuf:87 adalah berusaha terus-menerus sampai tujuan yang
diinginkan tercapai. Sifat tekun pada individu diwujudkan dalam bentuk semangat
yang berkesinambungan dan tidak kendur meskipun banyak rintangan yang
menghadang. Pentingnya ketekunan telah dijelaskan oleh (Duckworth dkk, 2007)
yang disebut sebagai grit. Mereka memberikan definisi grit sebagai ketekunan
dan semangat untuk tujuan jangka panjang. Didapatkan bahwa selain bakat
intelektual untuk pencapaian di semua domain profesional, ketekunan juga
merupakan salah satu prediktor non kognitif dalam memprediksi kesuksesan.
Secara umum mereka menyatakan bahwa pencapaian tujuan yang sulit tidak
hanya memerlukan bakat tetapi juga penerapan bakat yang berkelanjutan dan
terfokus dari waktu ke waktu.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah (2009) berpendapat bahwa sabar
merupakan suatu kekuatan dalam bentuk motivasi yang dapat menggerakkan pada
hal yang bermanfaat bagi dirinya sekaligus sebagai pencegahan diri dari hal yang
merugikan dirinya. Sejalan dengan kesabaran yang didefinisikan oleh Yusuf
(2010) yaitu kemampuan untuk mengatur, mengendalikan, mengarahkan (pikiran,
perasaan, dan tindakan), serta mengatasi berbagai permasalahan dan kesulitan
secara komprehensif dan integratif berlandaskan etika dan moral. Sementara Agte
& Chiplonkar (2007) mengatakan bahwa “Patience is defined as calmness, self-
control and willingness or ability to tolerate delay” atau dengan kata lain
kesabaran didefinisikan sebagai ketenangan, pengendalian diri, dan keinginan atau
kemampuan untuk toleransi terhadap penundaan.
Kajian mengenai sabar dalam keilmuan telah dimulai oleh Agte &
Chiplonkar (2007) yang menghubungkan sabar dalam perspektif psikologi; Al-
Ubaydli, Jones, & Weel (2013) kajian sabar dalam keputusan berharga jangka
panjang; C. Dominik Guss, Doris Hauth, Franziska Wiltsch (2018) dalam
kehidupan sehari-hari; Turkmenoglu (2018) dalam area industri; Porafke (2019)
di area pendidikan; dan Yusuf (2018) di area wirausaha. Berdasarkan masing-
masing kajian penelitian tersebut didapatkan bahwa sabar merupakan hal yang
berkaitan erat dengan kesuksesan dalam melakukan aktivitas dibidangnya masing-
masing.
Sabar juga menjadi prediktor dalam aktivitas profesional dan resilience
pada individu. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh (Putri, 2016)
terhadap profesionalitas konselor; (Schnitker, 2019) dan (Penjakora dkk, 2021)
terhadap profesionalitas atlet; (Madsen & O’Mullan, 2016) dan (Hammad &
Tribe, 2020) mengenai ketahanan batin individu dalam menghadapi kondisi
konflik seperti bencana alam dan peperangan. Hasilnya didapatkan bahwa
kesabaran menjadi indikator atau cara seseorang dapat menghadapi tantangan
maupun kesulitan, baik dalam hal aktivitas yang berkaitan dengan profesionalitas
maupun korban dalam lingkungan terpapar konflik atau bencana.
Menurut Yusuf (2020) kesabaran dalam aktivitas profesional dapat
memberikan dampak positif berupa ketenangan untuk mencari peluang,
menganalisisnya, mempertimbangkan, dan memilih jalan yang benar. Selain itu
dijelaskan juga bahwa kesabaran sering diartikan sebagai kerelaan untuk
menerima cobaan dan penderitaan, sehingga sabar bisa dijadikan sebagai obat
penyembuh bagi seseorang yang merasakan kegelisahan, kemelaratan, dan
kesedihan. Jadi, individu yang memiliki pribadi yang sabar akan menampilkan
karakteristik gigih dan bertahan dalam jangka waktu yang lama, tidak tergesa-
gesa, serta memiliki wawasan yang luas, dan memikirkan kesejahteraan dirinya
maupun orang lain. Sehingga berdasarkan penjabaran ini, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh
kesabaran terhadap kecemasan olahraga yang muncul saat menghadapi
pertandingan atau konteks olahraga kompetitif yang sering dialami oleh atlet
gymnastics.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah di atas, maka identifikasi
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat kesabaran pada atlet gymnastics?
2. Bagaimana tingkat kecemasan olahraga pada atlet gymnastics?
3. Apakah terdapat pengaruh kesabaran terhadap kecemasan olahraga
pada atlet gymnastics?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kesabaran terhadap kecemasan
olahraga pada atlet gymnastics.

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian mengenai kesabaran terhadap kecemasan olahraga pada atlet
gymnastics ini diharapkan dapat berguna untuk mengisi kesenjangan dalam kajian
pengaruh kesabaran dalam konteks olahraga. Kemudian diharapkan dapat
memperkaya kajian dalam Psikologi Islam untuk melihat bagaimana peranan
kesabaran dalam memengaruhi kecemasan olahraga yang sering dialami oleh atlet
dalam menghadapi pertandingan.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Dengan mengetahui seberapa besar pengaruh kesabaran terhadap
kecemasan olahraga pada atlet gymnastics, maka hasil penelitian dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan para pelatih atlet maupun pada diri atlet gymnastics
itu sendiri untuk mengatasi kecemasan olahraga yang timbul ketika menghadapi
pertandingan.
BAB II

TINJAUAN TEORITIK

2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Kesabaran
Menurut Yusuf (2020) menyatakan bahwa sabar memiliki pengertian
secara umum yaitu suatu sikap untuk menahan emosi dan keinginan, serta
bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Selain itu sabar juga
merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri yang dipandang sebagai sikap
yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekukuhan jiwa individu yang
memilikinya.
Sementara Ibn Qayyim al-Jauziyyah (2009) berpendapat bahwa sabar
merupakan suatu kekuatan dalam bentuk motivasi yang dapat menggerakkan pada
hal yang bermanfaat bagi dirinya sekaligus sebagai pencegahan diri dari hal yang
merugikan dirinya. Perwujudan sabar dalam psikologis yaitu dengan
menghentikan diri dari putus asa dan panik, mengeluh, dan dari aktivitas yang
merusak diri sendiri ketika mengalami kesedihan maupun stres (al-Jauziyyah,
1997).
Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan bahwa sabar berkaitan dengan
pengetahuan serta keyakinan seseorang yang dihasilkan dari hasil pemikirannya
yang kritis dan logis terhadap masalah yang dihadapi dalam melaksanakan
aktivitasnya (Qurdhowi, 2012).
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat dikatakan bahwa
kesabaran adalah suatu sikap bertahan dengan mengatur perasaan, pemikiran, dan
tingkah laku dalam menghadapi cobaan maupun dalam menjalankan kegiatan
sehari-hari.
2.1.2 Definisi Kecemasan Olahraga
Menurut Smith & Smoll (1990) kecemasan olahraga adalah
kecenderungan yang dipelajari untuk merespons dengan kecemasan kognitif
dan/atau somatik terhadap situasi olahraga yang kompetitif dimana performa atlet
dapat dievaluasi. Kecemasan sendiri merupakan respons emosional yang tidak
menyenangkan terhadap situasi yang membuat atlet tertekan yang ditandai dengan
kekhawatiran dan ketakutan tentang kemungkinan bahaya baik terhadap fisik atau
psikologis serta peningkatan gairah fisiologis yang dihasilkan dari penilaian
ancaman (Smith & Smoll dalam Leitenberg, 1990).
Selanjutnya menurut Martens, Vealey, & Burton (1990) menyatakan
bahwa kecemasan olahraga merupakan perasaan khawatir, gelisah, dan tidak
tenang yang dirasakan para atlet sebagai akibat dari anggapan bahwa pertandingan
sebagai sesuatu yang membahayakan. Aspek yang paling dominan dalam
menyebabkan kecemasan merupakan aspek kognitif berupa kekhawatiran dan
pemikiran yang negatif bahwa proses serta hasil dari pertandingan akan
mengancam atlet (Smith & Sarason, 1993).
Kemudian Anshel (1997) berpendapat bahwa kecemasan olahraga
merupakan suatu gambaran dari perasaan atlet bahwa sesuatu yang tidak
dikehendaki akan terjadi. Hal yang tidak dikehendaki tersebut antara lain seperti
atlet tampil dengan performa yang buruk, menghadapi lawan yang lebih
berpengalaman, atlet mengalami kekalahan kemudian akan dicemooh oleh teman-
teman atau para penggemarnya (Hajidin & Amir, 2014).
Berdasarkan definisi kecemasan olahraga menurut para ahli di atas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan olahraga adalah suatu respons atlet
terhadap situasi yang mengancam dalam pertandingan dalam bentuk kognitif dan
somatik.

2.2 Teori
2.2.1 Teori Kesabaran
2.2.1.1 Aspek-Aspek Kesabaran
Menurut Yusuf (2020) di dalam kesabaran terdapat beberapa aspek
sebagai penentu dalam meraih kesuksesan. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1. Teguh pada pendirian
Teguh merupakan suatu sikap serta keyakinan seseorang dalam
menjalani kehidupannya dan berusaha dengan keras untuk mencapai
segala sesuatu yang diinginkannya. Gambaran mengenai keteguhan
dijelaskan pada Q.S. Al-Ahqaf ayat 35 yaitu memberi nasihat kepada Nabi
Muhammad SAW untuk bersabar dalam menghadapi orang-orang kafir
seperti ulul azm, yaitu orang yang memiliki keteguhan dan ketabahan
dalam menghadapi kesulitan.
Makna sabar dalam aspek keteguhan pendirian ini tidak lepas dari
tekad yang kuat untuk melaksanakan perintahnya. Keteguhan merupakan
syarat dalam mewujudkan kesabaran. Dengan keteguhan akan membawa
seseorang menjadi berani dalam menghadapi cobaan dan tidak akan
muncul suatu upaya untuk menghindari cobaan tersebut. Di dalam
keteguhan pendirian terdapat prinsip-prinsip: (1) optimisme; (2)
keberanian mengambil risiko; (3) taat pada aturan; dan (4) tertib dalam
menjalankan aturan.
2. Tabah
Tabah merupakan suatu kekuatan dalam menghadapi cobaan,
bahaya, ujian, maupun kesulitan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991).
Selain itu tabah juga diartikan sebagai tetap dan kuat hati dalam
menghadapi bahaya, berani menghadapi cobaan maupun kesulitan. Dalam
Q.S. Al-Baqarah:155-156 dijelaskan bahwa dalam menjalani kehidupan
itu ditandai oleh beragam cobaan. Tetapi Allah SWT telah membekali
manusia dengan potensi-potensi yang jika digunakan maka manusia akan
mampu menghadapi cobaan tersebut. Berdasarkan Tafsir al-Misbah
(2005), dengan kesabaran maka manusia akan mendapatkan kegembiraan.
Dengan kesabaran bukan berarti manusia tidak boleh merasakan kesedihan
ketika menghadapi musibah, karena kesedihan merupakan wujud dari
kelembutan hati serta kasih sayang yang telah menjadi tabiat manusia.
Kemudian dalam Q.S. Al-Qashash:54 menjelaskan mengenai sabar
dalam makna tabah, dimana menurut Sayyid Quthb (2004) ayat tersebut
menjelaskan bahwa kesabaran yang dimaksud ialah kesabaran dalam
menghadapi nafsu, syahwat, dan penyimpangannya. Selanjutnya dalam
Q.S. Ali-Imran:146 mengandung makna sabar sebagai tidak lemah.
Dimana tidak lemah ini berkaitan dengan jasmani dan dapat
mengakibatkan kelesuan, tidak mengendurnya tekad, serta tidak
menyerahkan diri kepada musuh.
Sehingga tabah menggambarkan suatu ketahanan psikologis berupa
daya tahan, daya juang, toleransi terhadap frustrasi, mampu belajar dari
kegagalan, dan bersedia menerima umpan balik sebagai upaya untuk
memperbaiki diri.
3. Tekun
Tekun merupakan bagian dari konsep kesabaran. Artinya manusia
yang bersabar ditandai dengan sifat tidak tergesa-gesa dan tidak cepat
putus asa. Hal ini telah dijelaskan dalam Q.S. Yusuf:87 mengenai kisah
Nabi Ya'qub yang memberikan nasihat kepada anak-anaknya untuk tidak
putus asa dalam menjalani tugasnya. Sebab orang yang berputus asa dari
harapan untuk mendapat anugerah Allah hanyalah orang-orang kafir.
Sehingga dari ayat tersebut didapatkan tekun memiliki arti berusaha terus-
menerus sampai tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Tekun ditandai dengan berkeras hati, teguh pada pendirian, rajin,
giat, sungguh-sungguh, dan terus-menerus dalam bekerja meskipun
mengalami kesulitan, hambatan, serta rintangan. Selanjutnya tekun
terwujud dalam semangat yang berkesinambungan dan tidak melemah
meskipun terdapat banyak rintangan yang menghadang. Dalam Q.S. Al-
Isra':84 menegaskan tentang pentingnya ketekunan untuk meraih
keberuntungan atas apa yang diharapkan atau dicita-citakan.
2.2.1.2 Indikator Kesabaran
Yusuf (2020) juga menurunkan dari aspek-aspek di atas menjadi 12
indikator kesabaran, sebagai berikut:
1. Optimis bahwa setiap masalah terdapat solusi
2. Keberanian untuk mengambil risiko
3. Taat terhadap aturan
4. Tertib dalam melaksanakan tugas
5. Daya tahan
6. Daya juang
7. Toleran terhadap frustrasi
8. Mampu belajar dari kegagalan
9. Bersedia menerima umpan balik
10. Perencanaan
11. Terarah
12. Antisipatif
2.2.2 Teori Kecemasan Olahraga
2.2.2.1 Aspek-Aspek Kecemasan Olahraga
Menurut Smith & Smoll (1990) menerangkan bahwa dalam kecemasan
olahraga terdapat 2 aspek atau dimensi sebagai tanda atau indikator bahwa atlet
mengalami kecemasan. Kedua aspek tersebut yaitu:
1. Kognitif
Kecemasan kognitif ini ditandai dengan penilaian negatif terhadap
situasi pertandingan dan diri sendiri, kekhawatiran, serta gambaran mental
yang tidak menyenangkan. Menurut Morris dkk (1981) kecemasan
kognitif lebih merusak performa atlet. Hal ini dikarenakan kecemasan
kognitif menjadi mediator yang paling besar ketika atlet sedang dalam
pertandingan, karena pemikiran tentang kegagalan dapat muncul setiap
saat selama pertandingan. Selain itu kecemasan kognitif sangat
mempengaruhi kinerja tugas-tugas kognitif.
Kecemasan kognitif ditandai oleh 2 komponen yaitu (1)
kekhawatiran yang dihubungkan dengan kegelisahan tentang potensi
konsekuensi negatif terkait dengan kinerja yang buruk; dan (2)
dekonsentrasi yang dihubungkan dengan kesulitan atlet untuk fokus pada
aspek-aspek kunci dari tugas yang harus dilakukan yang pada akhirnya
menghambat kejernihan pikiran selama situasi kompetitif (Grossbard dkk,
2009).
2. Somatik
Dalam kecemasan somatik tercermin dalam peningkatan gairah
fisiologis yang ditandai dengan detak jantung yang cepat, sesak napas, dan
peningkatan ketegangan otot. Menurut Morris dkk (1981) kecemasan
somatik mempengaruhi performa atlet di awal, ketika mereka merasa
paling gugup. Selain itu kecemasan somatik juga dapat mempengaruhi
motorik atlet. Peningkatan gairah fisiologis dapat berupa ketegangan otot
yang mampu mengganggu aktivitas motorik dengan mempengaruhi fungsi
otot dan sendi. Semakin kompleks tuntutan motorik dari tugas atletik,
maka semakin mudah proforma dapat dipengaruhi secara negatif oleh
respons kecemasan somatik.
2.2.2.2 Dampak Kecemasan Olahraga
Smith & Smoll (1990) juga menjelaskan mengenai dampak-dampak
kecemasan olahraga pada para atlet, antara lain:
a. Membuat para individu yang tertarik akan olahraga namun mereka
merasa takut bahwa mereka akan menampilkan performa yang buruk
ketika bertanding.
b. Membuat para atlet merasa terganggu akibat perasaan khawatir yang
dirasakannya, sehingga memungkinkan mereka untuk tidak bertanding di
masa depan.
c. Mengurangi perasaan menikmati olahraga.
d. Membuat atlet mundur dari pertandingan.
e. Dapat menimbulkan reflex sympathetic dystrophy pada atlet. Yaitu
keadaan dimana atlet merasa sakit kepala, sakit perut, dan masalah
dermatologis.
f. Pola tidur yang terganggu baik pada malam sebelum bertanding dan
sesudah.
2.2.2.3 Alur Kecemasan Olahraga
Smith & Smoll (1990) mengembangkan model konseptual mengenai
kecemasan olahraga pada atlet, sebagaimana yang tercantum dalam gambar 1.
Gambar 1
Model Konseptual Kecemasan Olahraga
Model ini berasal dari konsepsi emosionalitas dan kecemasan yang telah
dikemukakan oleh para ahli kecemasan sebelumnya, dengan memasukkan
perbedaan trait-state dari kecemasan dan perbedaan antara komponen situasional,
kognitif, fisiologis, dan perilaku dari proses kecemasan. Komponen kognitif dan
somatik dalam keadaan kompetitif ditunjukkan dalam panel penilaian dan respon
fisiologis. Intensitas dan durasi dari respons kecemasan state diasumsikan
dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Faktor pertama yaitu berasal dari sifat situasi
olahraga kompetitif dimana atlet terlibat. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti
kekuatan lawan, pentingnya pertandingan, kehadiran orang lain yang signifikan,
dan tingkat dukungan sosial yang diterima dari pelatih dan rekan tim, dimana
pada akhirnya akan mempengaruhi ancaman yang mungkin ditimbulkan oleh
situasi tersebut bagi atlet.
Faktor selanjutnya adalah interpersonal, faktor ini merupakan penentu
penting dari tingkat kecemasan state yang dialami oleh atlet. Salah satunya adalah
tingkat kecemasan kognitif dan sifat somatik khusus olahraga. Variabel perbedaan
individu melibatkan kecenderungan individu untuk mengalami reaksi kecemasan
state kognitif dan somatik dalam situasi kompetitif. Selanjutnya yaitu faktor
pertahanan psikologis yang mungkin telah dikembangkan atlet untuk mengatasi
situasi persaingan yang menimbulkan kecemasan. Seperti yang telah dikemukakan
oleh Speilberger (1966) bahwa proses defensif dapat dimobilisasi untuk
menghindari atau mengurangi kecemasan. Proses defensif ini beroperasi pada
tingkat penilaian dan dalam beberapa cara memodifikasi atau mendistorsi persepsi
akan suatu situasi. Ketika operasi defensif berhasil, maka situasi olahraga
kompetitif akan dilihat kurang mengancam, kemudian terjadi penurunan terhadap
kecemasan state.
Situasi objektif, tingkat trait kecemasan, dan pertahanan individu
mempengaruhi proses penilaian atlet. Terdapat empat kelas penilaian yang sangat
penting yaitu penilaian tuntutan yang situasional; penilaian sumber daya yang
tersedia untuk menanganinya; penilaian sifat dan kemungkinan konsekuensi jika
tuntutan tidak terpenuhi; dan pemaknaan secara pribadi mengenai konsekuensi
tersebut. Makna yang melekat pada konsekuensi berasal dari sistem kepercayaan
individu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika seorang atlet yang
mendefinisikan tuntutan situasional sebagai sesuatu yang berlebihan, kemudian
menilai sumber daya dan keterampilannya tidak cukup untuk menangani tuntutan,
serta harga dirinya terkait keberhasilan, maka akan dengan jelas atlet tersebut
melihat situasi pertandingan sebagai ancaman atau bahaya. Penilaian tersebut
nantinya menghasilkan tingkat gairah fisiologis yang tinggi, kemudian memberi
umpan balik ke dalam proses penilaian. Tingkat gairah yang tinggi dapat
meyakinkan atlet bahwa dia "gagal" dan akan menghasilkan penilaian yang lebih
negatif lagi.

2.3 Alasan Pemilihan Teori


Peneliti menggunakan teori kecemasan olahraga yang dikemukakan oleh
Smith & Smoll (1990) dikarenakan teori ini memandang kecemasan pada
performa atlet secara situasional, yaitu ketika menghadapi pertandingan.
Kemudian teori ini menekankan aspek kognitif dan somatik sebagai aspek yang
memunculkan kecemasan olahraga pada atlet. Sesuai temuan yang dikemukakan
oleh Patricia dkk (2019) bahwa para atlet gymnastics mengalami kecemasan yang
berasal dari kognitif serta somatik.
Selanjutnya peneliti menggunakan teori kesabaran yang dikemukakan oleh
Yusuf (2020) dikarenakan teori ini memandang sabar sebagai psychological
strength yang mampu membantu individu dalam aktivitas profesionalnya.
Kesabaran memiliki 3 aspek yang memperhatikan konseptual umum dalam
keilmuan Psikologi yaitu konatif, afektif, dan kognitif, ketiga aspek tersebut
antara lain teguh sebagai kognitif, tabah sebagai afektif, dan tekun sebagai
konatif. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa atlet gymnastics dalam
melakukan latihan atau menghadapi pertandingan memerlukan kemampuan
mental yang akan mempengaruhi kinerja para atlet. Dimana kemampuan mental
tersebut juga memperhatikan konseptual umum dalam ilmu Psikologi.

2.4 Hasil-Hasil Penelitian


Sebagaimana kajian yang telah dilakukan mengenai sabar dalam keilmuan
oleh Agte & Chiplonkar (2007) yang menghubungkan sabar dalam perspektif
psikologi; Al-Ubaydli, Jones, & Weel (2013) kajian sabar dalam keputusan
berharga jangka panjang; C. Dominik Guss, Doris Hauth, Franziska Wiltsch
(2018) dalam kehidupan sehari-hari; Turkmenoglu (2018) dalam area industri;
Porafke (2019) di area pendidikan; dan Yusuf (2018) di area wirausaha.
Berdasarkan masing-masing kajian penelitian tersebut didapatkan bahwa sabar
merupakan hal yang berkaitan erat dengan kesuksesan dalam melakukan aktivitas
dibidangnya masing-masing.
Selain itu sabar juga menjadi prediktor dalam aktivitas profesional dan
resilience pada individu. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh (Putri,
2016) terhadap profesionalitas konselor; (Schnitker, 2019) dan (Penjakora dkk,
2021) terhadap profesionalitas atlet; (Madsen & O’Mullan, 2016) dan (Hammad
& Tribe, 2020) mengenai ketahanan batin individu dalam menghadapi kondisi
konflik seperti bencana alam dan peperangan. Hasilnya didapatkan bahwa
kesabaran menjadi indikator atau cara seseorang dapat menghadapi tantangan
maupun kesulitan, baik dalam hal aktivitas yang berkaitan dengan profesionalitas
maupun korban dalam lingkungan terpapar konflik atau bencana.

2.5 Kerangka Pikir


Dalam menghadapi pertandingan olahraga, para atlet dapat mengalami
kecemasan yang timbul akibat dari penilaian mereka terhadap situasi tersebut.
Dimana kecemasan ini ditandai oleh kecemasan kognitif kemudian kecemasan
somatik. Ditemukan bahwa atlet gymnastics lebih banyak melaporkan mengalami
tingkat kecemasan yang tinggi dibandingkan dengan cabang olahraga lainnya
(Simon & Martens, 1979). Hal ini dikarenakan atlet gymnastics lebih
memungkinkan untuk mengalami cedera lebih besar, dimana cedera dalam
olahraga ini sering dihubungkan dengan kecemasan olahraga pada atlet.
Kecemasan olahraga menurut Smith & Smoll (1990) adalah
kecenderungan yang dipelajari untuk merespons dengan kecemasan kognitif
dan/atau somatik terhadap situasi olahraga yang kompetitif dimana performa atlet
dapat dievaluasi. Kecemasan sendiri merupakan respons emosional yang tidak
menyenangkan terhadap situasi yang membuat atlet tertekan yang ditandai dengan
kekhawatiran dan ketakutan tentang kemungkinan bahaya baik terhadap fisik atau
psikologis serta peningkatan gairah fisiologis yang dihasilkan dari penilaian
ancaman (Smith & Smoll dalam Leitenberg, 1990).
Atlet gymnastics memerlukan kemampuan mental yang dapat
mempengaruhi performa olahraga mereka baik pada saat latihan maupun
menghadapi pertandingan. Kemampuan mental tersebut antara lain foundation
skill, psychosomatic skill, dan cognitive skill dimana masing-masing kemampuan
tersebut merepresentasikan konsep umum Psikologi (konatif, afektif, dan
kognitif). Kemampuan mental tersebut menjadi suatu psychological strength yang
dibutuhkan atlet gymnastics sebagai prediktor untuk mencapai kesuksesannya.
Smith & Smoll (1990) juga menjelaskan bahwa terdapat faktor yang
mempengaruhi kecemasan olahraga pada atlet, yaitu proses defensif. Dimana
proses defensif dapat dimobilisasi untuk menghindari atau mengurangi
kecemasan. Proses defensif ini beroperasi pada tingkat penilaian dan dalam
beberapa cara memodifikasi atau mendistorsi persepsi akan suatu situasi. Ketika
operasi defensif berhasil, maka situasi olahraga kompetitif akan dilihat kurang
mengancam, kemudian terjadi penurunan terhadap kecemasan.
Sabar menurut Yusuf (2020) yaitu suatu sikap untuk menahan emosi dan
keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Selain itu
sabar juga merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri yang dipandang
sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekukuhan jiwa
individu yang memilikinya. Di dalam kesabaran tercantum aspek keteguhan,
ketabahan, dan ketekunan yang menjadi prediktor kesuksesan seseorang. Dalam
fenomena pada atlet gymnastics ini bahwa mereka melakukan penilaian terhadap
situasi pertandingan tersebut, dimana mereka merasa tidak mampu untuk
menanganinya, sehingga muncul respons somatik yang nantinya akan kembali
lagi mempengaruhi kognitif atlet.

Figur 1
Bagan Kerangka Pikir

Situasi pertandingan
olahraga Tuntutan kemampuan
mental atlet gymnastics:
Dipengaruhi 1. Foundation skill
Penilaian terhadap situasi
2. Psychosomatic skill
tersebut
3. Cognitive skill

Kecemasan olahraga

1. Respon kognitif
2. Respon somatik
Psychological strength
untuk meraih kesuksesan
Dipengaruhi proses
defensif

Kesabaran
1. Aspek teguh pada
pendirian
2. Aspek tabah
3. Aspek tekun

Terdapat pengaruh antara kesabaran


yang dimiliki oleh atlet gymnastics
terhadap kecemasan olahraga dalam
2.6 Hipotesis
pertandingan.
Terdapat pengaruh kesabaran yang dimiliki oleh atlet gymnastics terhadap
kecemasan olahraga dalam pertandingan kompetitif.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Prosedur Penelitian

3.2 Desain Penelitian

3.3 Variabel Penelitian


3.3.1 Identifikasi Variabel

3.3.2 Definisi Operasional Kesabaran

3.3.3 Definisi Operasional Kecemasan Olahraga

3.4 Alat Ukur


3.4.1 Alat Ukur Kesabaran

3.4.2 Alat Ukur Kecemasan Olahraga

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian


3.5.1 Populasi Penelitian

3.5.2 Sampel Penelitian

3.6 Teknik Sampling


3.7 Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA
Agte, V. V., & Chiplonkar, S. A. (2007). Linkage of concepts of good nutrition in
yoga and modern science. Current Science, 92(7), 956–961.
http://www.jstor.org/stable/24097676
Anshel, M. H. (1997). Sport psychology: From theory to practice. Scottsdale, AZ:
Gorsuch Scarisbrick.
Al-Jauziyah, I.Q. (1997). Patience dan gratitude. Ta-Ha Publishers.
Al-Ubaydli, O., Jones, G., & Weel, J. (2013). Patience, cognitive skill, and
coordination in the repeated stag hunt. Journal of Neuroscience,
Psychology, and Economics, 6(2), 71–96. doi:10.1037/npe0000005
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in
Human Behavior. Springer US.
Duckworth, A. L., Peterson, C., Matthews, M. D., & Kelly, D. R. (2007). Grit:
Perseverance and passion for long-term goals. Journal of Personality and
Social Psychology, 92(6), 1087–1101. https://doi.org/10.1037/0022-
3514.92.6.1087
Grossbard, J. R., Smith, R. E., Smoll, F. L., and Cumming, S. P. (2009).
Competitive anxiety in young athletes: differentiating somatic anxiety,
worry, and concentration disruption. Anxiety Stress Coping 22, 153–166.
doi: 10.1080/10615800802020643
Güss, C. & Hauth, Doris & Wiltsch, Franziska & Carbon, Claus-Christian &
Schuetz, Astrid & Wanninger, Katrin. (2018). Patience in Everyday Life:
Three Field Studies in France, Germany, and Romania. Journal of Cross-
Cultural Psychology.
Hajidin, & Amir, N. (2014). Pengembangan Alat Ukur Kecemasan Olahraga.
Jurnal Sport Pedagogy, 4(2), 25-33.
Hammad, J., & Tribe, R. (2020). Adaptive coping during protracted political
conflict, war and military blockade in Gaza. International Review of
Psychiatry, 1–8. doi:10.1080/09540261.2020.174
Hardy, L., Jones, J. G., & Gould, D. (1996). Understanding psychological
preparation for sport: Theory and practice of elite performers. John Wiley
& Sons, Inc..
Jemni, M., Sands, W. A., Salmela, J. H., Holvoet, P., & Gateva, M. (2013). The
science of gymnastics. https://doi.org/10.4324/9780203874639
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991). Balai Pustaka Jakarta.
Kobasa, S. C., Maddi, S. R., & Puccetti, M. C. (1982). Personality and exercise
as buffers in the stress-illness relationship. Journal of Behavioral Medicine,
5(4), 391–404. doi:10.1007/bf00845369
Kobasa, S. C., & Puccetti, M. C. (1983). Personality and social resources in stress
resistance. Journal of Personality and Social Psychology, 45(4), 839–850.
https://doi.org/10.1037/0022-3514.45.4.839
Kolt, G. S., & Kirkby, R. J. (1994). Injury, Anxiety, And Mood In Competitive
Gymnasts. Perceptual and Motor Skills, 78(3), 955–962.
doi:10.2466/pms.1994.78.3.955
Madsen, W., & O’Mullan, C. (2016). PERCEPTIONS OF COMMUNITY
RESILIENCE AFTER NATURAL DISASTER IN A RURAL
AUSTRALIAN TOWN. Journal of Community Psychology, 44(3), 277–
292. doi:10.1002/jcop.21764
Martens, R., Vealey, R. S., & Burton, D. (1990). Competitive Anxiety in Sport.
Champaign, Illinois: Human Kinetics.
Morris, L. W., Davis, D., & Hutchings, C. (1981). Cognitive and emotional
components of anxiety: Literature review and revised worry-emotionality
scale. Journal o[ Educational Psychology, 73, 541-555.
Penjakora, J., Teofa, B., Wibafiet, P., Yachsie, B., & Suhasto, S. (2021).
PANAHAN. 8, 141–150.
Potrafke, N. (2019). Risk aversion, patience, and intelligence: Evidence based on
macro data. Economic Letters.
Purnamasari, A. D., Kusnandar, K., & Febriani, A. R. (2019). Bentuk Pemicu
Kecemasan Atlet Pencak Silat. Jurnal Pendidikan Olahraga, 8(2), 62.
https://doi.org/10.31571/jpo.v8i2.1109
Putri, A. (2016). Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling Untuk
Membangun Hubungan Antar Konselor Dan Konseli. JBKI (Jurnal
Bimbingan Konseling Indonesia), 1(1), 10.
https://doi.org/10.26737/jbki.v1i1.99
Qoyyim, Ibnu al-Jauziyah. (2009). Nikmatnya Sabar. Jakarta: Senayan Publishing
Cerdas dan Berkualitas.
Qordhowi, Y. (2012). Merasakan kehadiran Tuhan. [The feeling of the existence
of Allah]. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Ryan, R., & Deci, E. L. (2017). Self-Determination Theory: Basic Psychological
Needs in Motivation, Development, and Wellness. The Guilford Press.
Schnitker, S. A., Houltberg, B. J., Ratchford, J. L., & Wang, K. T. (2020). Dual
pathways from religiousness to the virtue of patience versus anxiety among
elite athletes. Psychology of Religion and Spirituality, 12(3), 294–303.
https://doi.org/10.1037/rel0000289
Simon, J. A., & Martens, R. (1979). Children's anxiety in sport and nonsport
evaluative activities. Journal of Sport Psychology, 1(2), 160–169.
Smith, R. E., & Sarason, I. G. (1993). Psychology the frontiers of behavior. New
York: Harper & Row Publisher.
Smith, R. E., Smoll, F. L., & Schutz, R. W. (1990). Measurement and correlates
of sport-specific cognitive and somatic trait anxiety: The sport anxiety scale.
Anxiety Research, 2(4), 263–280.
https://doi.org/10.1080/08917779008248733
Smith, R.E., & Smoll, F.L. (1990). Sport performance anxiety. In H. Leitenberg
(Ed.), Handbook of social anxiety. New York: Plenum.
Spielberger, C. D. (1966). Theory and research on anxiety. In C. D. Spielberger
(Ed.), Anxiety and behavior (pp. 3-20). New York: Academic Press.
Tempo.co. (2015). Cedera Saat Bertanding, Atlet Senam Dilarikan ke Rumah
Sakit. Diakses 28 November 2021,
https://sport.tempo.co/read/673590/cedera-saat-bertanding-atlet-senam-
dilarikan-ke-rumah-sakit/full&view=ok
Turkmenoglu, M. A. (2018). Hope and patience as coping mechanisms of food
managers in the face of challenges: the Turkish case. International Journal
of Work Organisation and Emotion, 9(3), 209-223.
Yusuf, U. (2010). Psikologi dan Islam. Bandung: Fakultas Psikologi UNISBA.
Yusuf, U. (2013). Studi tentang derajat kesabaran pada pengusaha etnis Tionghoa
beragama Islam di Bandung. [Study of patience degree of mualaf Chinese
entreprenuersin Bandung]. Proceeding of Annual Report of Research and
Public Service Department, V 4 (1). Bandung Islamic University.
Yusuf, U. (2020). Sabar sebagai Psychological Strength untuk Mencapai
Kesuksesan. Bandung: Prenadamedia Group.

Anda mungkin juga menyukai