Anda di halaman 1dari 7

1

Akhudiat

KERETAPI-10-BATU

Naskah Edit oleh Harwi

Peran-peran
+
=

+ 10 menit yang lalu kereta terakir sudah berangkat.

= Wah, terlambat kita.

+ Belum.

= Kok Belum?

+ Tunggu saja.

= Nunggu apa? Angin?!

+ Nunggu peron.

= Jangkrik!

+ Aha benar, kan? Jangkrik. Dengar.

Keduanya mendengarkan jengkerik krik-krik-krik-krik-krik— dst.dst.

= Kereta sudah habis, harapan telah kabur, hanya jangkrik penghibur.

+ Untung masih jangkrik, coba kalau ular-naga-boaboa-anakon da—atau dinosaurus-komodo-


godzila—atau kingkong ber gajakan—

= Kita nikmati jangkriknya, yang lain-lain kita tonton filmnya.

+ Dan kita terpuruk di stasiun gelap, di peta buta.

= Kita mundur ke sepuluh menit yang lalu, kita telusuri asal-muasalnya.

+ Tiba-tiba kita sudah muncul begini di sini.

= Ah, itu sindrom Mr. Bean. Film, fiksi, dibikin.

+ 10-menit-yang-lalu-
2

= 1-0-me-nit-ya-ng-la-lu-

+ 3 menit yang lalu kita andok di warung yang hanya buka malam, di sudut jalan depan sekolahan
taman siswa.

= Aku minum wedang panas saridele.

+ Aku makan nasi kucing & kopi hitam dengan geprakan jahe- jahe pahe-pahe.

= Aku gigit lempog, lempeng, lemper, bemper, ketot, gatot, roti sumbu, bantalan rel, balok, cemplon,
cipluk, cipret, ciwil, wil-wo,

+ Itu bahasa planet mana, bro—

= Itu lho, dari ketan dideplok rasanya kenyal-kenyal gurih.

+ Uli, ketemu tape, tape-uli, kalau dibakar si uli ditaburi serbuk koya, tapi bukan koya soto, asin, ini
koya uli, manis, dan roti bakar pakai selai, pilih stroberi, kacang, srikaya, mente- ga, atau—

= Ngawur, itu warung sarapan roti bakar sebelah kantorpos Cikini, setelah semalaman
nginap/begadang/debatkusir/ pentas di Taman Ismail Marzuki. Ngawur, nelusur kesasar-
-kesusur—tanda-tanda zaman!

+ Apa?

= Tanda-tanda pikun!
+ Jangkrik! Kir—

= Kirik! Tanda-tanda latah!

+ Banyak, mase!

= Wedang saridele, wedang kopi jahe geprak, bukan uli bakar dan koya manis tapi tetel anyep
berkeringat lengket ke bungkus daun pisang, nasi kucing, angkring, Solo atawa Yogya.
Warungnya jurusan jalan ke pasar….

+ 3 menit yang lalu….

= 1 menit yang lalu, kita lewati pasar, dari pasar lurus ke stasiun keretapi. Jadi—

Keduanya: Lempuyangan!!

+ Di Pasar Lempuyangan, minum kopi + santan alias bajigur, malam-malam, sepulang nonton
film Amerika-Italia, Lovers Must Learn, dengan lagunya yang tophit yang seluruh ma-
hasiswa/pelajar, singkatnya m/p, se Yogya menyanyikannya nya di kamar
mandi….Aldilla….cengkok Jawi dengan bahasa Itali nan belepotan, dari bioskop Rahayu, di
3

pertigaan Jalan Solo, ke selatan melintasi rel & jomplangan sepur (pra-“fly- over”alias jalan
layang atas rel era 2000-an).

= Bioskop yang di pertigaan dekat tembok Pakualaman yang lempeng dari Lempuyangan: bioskop?

+ Gampang, sebut saja bioskop dekat es + jamu beras kencur


Mbah Genggong.

= Ingat. Bioskop Permata. Aku bolehnya nyontek dari SMS Mas Roichan tiyang Ngayojakarto jadi
orang Denpasar kini.

+ “Itu mbah masih trah Pakualaman,” kata istriku, dan disam bung “mamiku orang Yogya, mbah putri
kesa-keso dari Ku- lonprogo, mbah kakung setengah Londo.” Mudeng?

= Enggak.

+ Dari Mbah Genggong / Pakualaman lurus ke barat sampai Pasar Bringharjo, seberang pasar, di
trotoar akan masuk bioskop Indra: berputar berulang-ulang, sedari pukul 6 pagi sampai 6 petang,
sebuah “jingle rap era 60-an” yang berbunyi

“Paring-paring den-den….”

Oleh “penyanyi/pengemis” umur 15-an tahun. Dia mendahului jamannya.

Keduanya mengulangi menyanyi/mengemis: Paring-paring den-den


Paring-paring den-den Paring-paring den-den

= Kata istriku, aku sudah mimpi jadi “pengudara RRI” karena kerasan jadi anggota remaja Masjid
Syuhada, milih grup drum-band di masjid terkenal itu dekat RRI stasiun Yogya di Kota Baru, di
bawahnya mengalir Kali Code.
+ Aku mandi di Kali Code di bawah desa/kuburan Blimbingsa- ri, dengan cara batang bambu
ditusukkan ke tebing kali, ma- ka mancurlah air mineral murni non-kimiawi. Setiap hari
diberi Allah rezeki air murni, dan setiap malam nonton film Amerika di Jefferson Library,
depan Pasar Kranggan, sebe- lah kulon toko buku Gunung Agung di perempatan Tugu Ki-
dul. Di Yogya tercinta ini aku lebih suka ke perpustakaan Amerika, Yayasan Hatta, dan
Pustaka Islam, tetangga koran Kedaulatan Rakyat, serta blusukan kios-kios buku loak, lalu
setiap malam latihan drama di Alun-alun Lor, terus-terang, ketimbang masuk sekolah di
Sekip dekat Kampus Gama yang tempatnya masih jaman ndesit di jalur Kaliurang. Kala itu
Kaliurang terkenal dengan sebutan rumah sakit jiwa.

Maka jujur saja kenapa nilai raporku biasa-biasa saja, tidak seperti di Pendidikan Guru Agama
Negeri 4 tahun Jember saya ranking ke-2, maka melengganglah ke Yogya untuk 3 tahun, tidak
ke Malang PGAA Negeri 2 tahun jadi guru aga- ma. Lulus dari Pendidikam Hakim Islam Negeri
saya tidak jadi guru agama juga tidak panitera pengadilan agama. Tapi keluyuran main drama
keliling Jawa, karena kerasukan “roh drama Alun-alun Lor”—baik tempat latihan di salah satu
4

bangunan joglo depan Masjid Agung maupun pentas di Ge- dung Batik belakang bioskop
Senisono, dan terkena virus “mimpi Amerika” di Jefferson Library. Hati-hati, bro—ja- ngan suka
dekat-dekat Yogya terjangkit virus seni.

= Dari Jefferson Library jalan ke timur, di perempatan belok ngidul, Jalan Tugu Kidul, lewati
Kedaulatan Rakyat dan Perpustakaan Islam.
+ Lewat bioskop Ratih, tapi film matinee & ini malem “Kenne- dy di Perang Pasifik” tidak diputar
karena ikut belasungkawa untuk Presiden Kennedy ditembak di Texas.

Masuk gang ke barat ada gudang beras.Pergudangan kawas- an stasiun keretapi. Anak-anak
kos, m/p pendatang, minta rekomendasi dari fakultas/sekolah, lalu diketahui oleh kan- tor
kemantren di tempat kosnya, antre di gudang itu, untuk setiap m/p dikasih jatah beras 10 kg
dengan tebusan separo harga pasaran bebas. Ini subsidi pemerintah Daerah Istime- wa
Yogyakarta khusus m dan p.

Eit! Ada tetangga sebelahku bocah asli Yogya, dapat jatah juga, dia nggembol keterangan dari
pamannya Lurah Banyu- wangi Selatan ngaku pendatang dari pesisir timur. Hopo, hora haibat to
kuwi bocah?!

= Jawabannya khas Yogya: kucluk!

PAUSE.

+ Nah, kita sampai di Stasiun Tugu.

SUARA INTERMEZZO —didahului dengan bunyi bel/jingle se- belum halo-halo atawa pengumuman
di pengeras suara stasiun Tugu

+ Lihat baik-baik dan titi-teliti jadwal yang baru. Biar nggak kepancal lagi.

= Yogya-Solo, Yogya-Surabaya, Yogya-Jember, Yogya-Banyu wangi-terusan-Denpasar. Aku


Surabaya pukul 24.00 pas.

+ Kamu ke timur, aku pilih kebarat, Jakarta, ada perlu pen- ting. Ambil barang-barangku,
terutama kopor pinjaman dan buku-buku. Salah satu pemberian teman yang drop-out AT NI,
My Life in Art—Konstantin Stanislavski, edisi asli Mos- kow. Barang-barang kutitipkan pada
Nur di Asrama AURI Kramat Raya, belakang toko buku Gunung Agung Kwitang.

= Surabaya Kota. Stasiunnya Semut. Kampungnya Semutkali. Panas sekali, maklum pesisir
utara. Di sepanjang peron sepur datang dan siap berangkat, berjalan hilir-mudik penjual es li-
lin dalam termos seng luarnya karatan, dengan teriakan khasnya: “Ais, ais, ais….”

+ Kita buru-buru pindah gerbong karena “halo-halo” di penge- ras suara mengumumkan gerbong
paling belakang, gerbong kita, harus dikosongkan entah rusak entah apa tak jelas.
Kita terpaksa pindah, berhasil merebut bangku baru untuk dua orang, lega, tapi gagal makan
5

siang. Terpaksa menahan lapar, menundanya sampai makan malam gudeg di stasiun Tugu.
Rantang berisi makanan enak dari rumah ente di Jem ber, ketinggalan di bawah bangku gerbong
lama ketika eva- kuasi, dan ketika saya cari di gerbong itu rantang & makan- an sudah dilarikan
kawanan gelandangan “penduduk” Semut.

= Grup drumband dan teater kita diundang pentas dan pawai di Bojonegoro. Berkereta riang
gembira, Yogya-Solo-Semut-
-pindah-Pasarturi-Lamongan (pra-sebutan “L.A.” diucapkan “el-ei”)-Bojonegoro.

+ Pulangnya Bojonegoro-Cepu, di Cepu mulai duduk di atas gerbong tangki minyak, Cepu-
Gambringan-Solo-Yogya, ka- yak berkendara kuda besi, memandangi alam pedesaan mirip dari
anjungan rumah panggung.

PAUSE

+ Gambringan, aku selalu ingat stasiun dusun itu, karena naik di atas gerbong minyak, lewat tangga
naik, duduk selonjor pegangan tangga datar dekat tutup tangki, melayang antara Cepu-Yogya,
pukul 5 sore sampai 12 siang. Sepertihalnya aku selalu ingat kota dusun Rock Island sebelum
masuk Great Salt Lake (Daun Garam Besar), Utah Utara, Amerika Serikat, dalam perjalanan-
petualangan 3 hari 3 malam, New York-LA (bukan Lamongan tapi Los Angeles), naik bis
Greyhound cap anjing balap.

= Yogya-Surabaya-Jember sering kupandangi dari atas loko- motif, dengan bayar separo ke
tangan masinis. Bukan masi- nis tidak ambil bagian, teringat kalimat Chairil Anwar, “bu- kan
penyair tidak ambil bagian”.

+ Kata si empunya kisah bisa gratis asal si penumpang perem puan manis.

= Dan numpangnya dipangku masinis hehehe…

+ Seorang preman antre di stasiun Pasarturi beli karcis Pasar- senen dengan bayar 10 batu.
Naik kereta 10 batu pukul 4 so- re akan taklukkan Jakartaraya, ambisinya, paling tidak,
“planet Senen” jadi “planet Arek”.

Cikal bakal Proyek Senen, Pasar Modern dan Segitiga Mas Senen-Kalilio, planet Senen
diabadikan pada Gelanggang Remaja Planet Senen, dulunya “depo gerbong-gerbong tua
Pasarsenen tempat keliaran cabo-cabo”. Pernah terjadi pe- ristiwa nahas, tragis, memelas:
pasangan asyik ngentot di- betot kedua nyawanya sekaligus di bawah gerbong dilindas
gandengan yang ditarik loko langsir pagi-pagi sekali.

Musik dukacita, bercampur semprat-semprit peluit petugas langsiran, klakson & mesin lok-
diesel, kreotan gerbong-ger- bong langsir, gumam talqin & tahlil, dlsb.….
Berganti hiruk-pikuk Terminal Joyoboyo tepi Kali Wonokro mo….

= Di Terminal Joyoboyo, Suroboyo, bahasa prokem banyak berseliweran antarpreman dan pemerhati-
6

preman, antara lain, yang sering terdengar:


“spokat= sepatu, kepang = sepeda, prayis = polisi, lebon = pe- masukan, sebatu = seribu, 10 batu
= 10 ribu.
“doro kepaling = merpati bingung = perempuan turun dari bis dan kebingungan tak tahu tujuan mau
ke mana, maka, biasanya, jadi sasaran, dihampiri, disapa manis, diajak ma- kan & minum & kue
legit lapis, lantas si merpati bingung diantarkan oleh “si murah hati-cucul duit-bibir lamis” ke wis- ma
sang GM (bukan general manager) = germo.”

Suara & bunyi kesibukan stasiun Surabaya Pasarturi

+ Naik kereta 10 batu

= keretapi 10 batu berangkat pasarturi esok tiba


pasarsenen
jangan bilang tak nyaman dengan 10 batu
dapat bonus mandi basah kuyup keringat sendiri

+ penumpang berebut tempat pantat & kaki gempor di bangku, pegangan bangku,
sela dua bangku
sepanjang gang, bordes, kakus, kamar makan, kamar mesin bilik kondektur, dapur, gerbong
barang

= kereta menjelma kapsul waktu melesat selama 800 km


menyusuri pantai utara
wc terpanjang se dunia
(belum tercantum di guiness world records) ketika pagi-pagi
mereka berjajar jongkok dari anyer ke panarukan
berpegangan pinggiran pulau jawa membelakangi laut jawa
saling berceloteh di upacara berak

+ dalam kapsul waktu


mereka berhimpitan bagai ikan sarden kalengan
bau amis ketiak & bacin mulut & parfum fanbo & pak pung oil
dalam tidur mimpi jalan mundur ketemu trem uap, trem listrik berkeloneng
sepanjang jalan raya
loko-batubara, gerbong kayu reot berkarat tanpa lampu, lilin, kipas angin
kereta gelap menembus lubang hitam penumpang tak bisa lihat tangan
sendiri tapi asyik saling raba siapasaja & apasaja

= lelaki & perempuan

+ lelaki& lelaki

= perempuan & perempuan


7

+ tua& tua

= tua & muda

+ muda& muda

= di kakus pesing tanpa air


pasangan yang senggama saling mengaduh
+ “salah lubang!”

= “eksperimen, sayang”

+ “suka-sukakkk….”

= kapsul waktu tak lagi melesat tapi melata ulat jawa


mendesis & berhenti mendesis & berhenti
di tiap stasiun, lalu setiap halte
di belakang kampung sengaja dimogokkan para pedagang berloncatan
memindah barang-barang ke atas truk

+ kondektur ngopi di warung janda kembang


masinis kencing & kencing & kencing di kamar lonte kereta ulat jawa mendesis lagi
berangkat tertatih-tatih

= antara krawang-bekasi tanpa perang atawa revolusi mereka minum sepuasnya


sarapan nasi pecel
bumbu kemerahan pedas sekali kerupuk karak asin sekali
lalapan kembang kecombrang segarnya bukan main

+ masuk pasarsenen mereka berhamburan turun

= keretapi 10 batu
dari pasarturi 4 sore
diantar lagu “surabaya o surabaya” tiba pasar senen 12 siang
disambut “ke jakarta aku kan kembali”

+ segala penumpang berakhir di antrean panjang sekali

= depan pintu kakus setengah-batu bayar tunai

Suara & bunyi hiruk-pikuk stasiun Pasarsenen


Suara & bunyi maikin menghilang bersama lampu surut ke padam

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai