Anda di halaman 1dari 16

AA II UUKarya : Arifin C Noer

Para pelakon :
Rustam
Mama
Om Bahar
Tante
AA
II
UU

UU sedang membereskan buku-bukunya yang barusan dipakai belajar. Sementara


Ibunya sedang menyiapkan temapat tidurnya. Malam sudah lewat jam dua belas.

01. UU : Mama tahu kapan kira-kira perang dunia ke tiga akan meletus ?
02. Mama : Bagaimana Mama tahu, UU…
03. UU : Dan kira-kira apa penyebab langsungnya menurut mama ?
Mamanya tidak menyahutnya.
04. UU : Mama percaya bahwa perang dunia ke tiga nanti pada dasarnya perang antara dua
kekuatan raksasa yang bernama Amerika dan Rusia ?
Mamanya masih diam. Kayak murid yang bodoh.
05. UU : Atau cobalah sedikit menghayal maa... Apakah mungkin pertempuran pertama akan
meletus di sebuah desa kecil di sebuah negeri kecil di benua Afrika ?
06. Mama : Siapapun tidak akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, UU…
07. UU : UU bisa…
08. Mama : Kamu ?
09. UU : Ya. Suatu hari kalau UU jadi ahli sejarah. Sebab itu besok UU akan ujian baik-baik.
Dan begitu lulus UU akan masuk jurusan sejarah.
Mamanya lalu mendekapnya penuh kasih sayang.
10. Mama : Sekarang tidurlah dulu. Kamu belajar terlalu capek. Kamu sehat, kan ?
11. UU : (merajuk) Mama…
12. Mama : O ya tentu kamu sehat sayang. Mama cuma kuatir. Nah, sekarang tidurlah !
Mama melangkah ke pintu.
13. Mama : Kamu bilang apa tadi ? Ahli sejarah ?
14. UU : Mama tidak suka ?
15. Mama : Kalau kerja nanti di kantor apa ?
16. UU : Yang pasti bukan di kantor dagang seperti, Papa…
17. Mama : Nanti sulit cari kerja, UU… (sambil menutup pintu)
Sementara UU memadamkan lampu kamarnya. Waktu berganti pagi hari. UU berangkat
sekolah, dengan membawa tas dan mendekap buku tebal. Lalu waktu berganti lagi ke
malam. Sementara Papa dan Mamanya habis makan malam diruang lain.
18. Rustam : (menuju ke kamar tamu sambil membawa gelas kopi) Mau jadi ahli sejarah ?
19. Mama : Ya, kan sama-sama doktorandanya kalau selesai kelak.
20. Rustam : Kamu betul-betul kurang memahami jaman sekarang, Mam… Doktoranda apapun
memang sama, tapi nilai komersilnya berbeda-beda. Insinyur juga macam-macam,
dan boleh dikatakan sama tingkatannya satu sama lain, tapi tetap masing-masing
memiliki nilai komersiil yang berbeda-beda.
21. Mama : UU kan perempuan, Paa… Sudah untung dia mau sekolah sampai tinggi. Jadi biarkan
saja dia maunya apa.
22. Rustam : Jaman sekarang tidak membedakan mana perempuan mana laki, apabila dalam soal
pendidikan. Jangan berpikiran kolot dong !
23. Mama : Saya kira saya tidak kolot. Waras ! Coba saja : misalnya UU betul-betul jadi ahli
sejarah, yang kata kamu tidak komersil itu, yang tidak menghasilkan uang itu, apa
akan merubah nasibnya sebagai seorang isteri kelak ?
24. Rustam : Semakin banyak kamu bicara, makin kelihatan kamu bodoh.
Mama melotot, tersinggung.
25. Rustam : Jangan melotot dulu to, sayang… Saya bisa mempertanggung jawabkan kata-
kata saya.
26. Mama : Ngomongnya hati-hati dong !
27. Rustam : Tidak saja ngomong, sayang. Berpikirpun saya sangat hati-hati. Bagaimana
? Boleh saya teruskan ?
Mama cuma menarik napas.
28. Rustam : Baik. Ini bukan futurologi, sekalipun menyangkut ramalan atas masa depan. Sangat
gampang kita raba mulai sekarang, kira-kira bagaiman susunan keluarga dan bentuk
serta sifat hubungan laki perempuan pada jaman yang akan datang.
Saat itu muncul AA dan II adiknya.
29. Rustam : Kebetulan sekali. Benih-benih masa depan muncul pada saatnya.
Mereka tentunya lahak-lohok.
30. Rustam : AA II duduklah ! Kalian boleh menyumbangkan pikiran atau menyatakan sikap kalian
dalam diskusi ini.
31. AA : Diskusi apa ini ? Kok resmi amat bicaranya.
32. Rustam : Sebagai calon seorang ekonom, lebih baik kamu duduk dulu. Prinsip-prinsip ekonomi
kamu barang kali akan memperkuat tesis bapak. Juga kamu II sekalipun tidak
langsung, sebagai seorang calon apoteker kamu pasti akan bisa juga membuat
mamamu melek akan kenyataan-kenyataan sekarang.
Sambil saling berpandangan mereka duduk.
33. Ibu : Mama dan Papa sedang mendiskusikan UU adikmu yang mau jadi ahli
sejarah. Tapi Papamu ngotot.
34. Rustam : Ayo jangan emosionil mam. Dalam diskusi sehat tidak boleh emosi- emosian. Lebih
baik kita lanjutkan perdebatan kita dengan cara bertanya langsung kepada yang
bersangkutan. AA. Coba jawab secara jujur, ukuran- ukuran apa yang menyebabkan
kamu memilih Lidia sebagai calon isteri kamu.
AA sejenak berpikir.
35. AA : Pertama karena Lidia cantik.
36. Rustam : Ok. Bagus, jawaban jujur.
36. AA : Kedua karena dia pinter.
37. Rustam : Kamu mencintainya ?
38. AA : Sangat mencintai.
39. Rustam : Kenapa ?
40. AA : Karena ukuran-ukuran tadi.
41. Rustam : Karena ukuran-ukuran yang menguntungkan. Tepat ! Karena kepintaran Lidia secara
ekonomis menguntungkan, atau diharapkan menguntungkan untuk rumah tangga
kalian kelak. Begitu, kan ?
42. AA : Saya kira begitu, Pa.
43. Rustam : Kamu betul-betul seorang realis yang mengagumkan. Tidak sia-sia kamu jadi anak
saya. Sekarang II.
44. II : Saya kan belum punya calon suami, Pa.
45. Rustam : Semut pun tahu itu II dan Papa tidak akan menanyakan soal itu. Pertanyaan Papa
sederhana saja. Kenapa kamu memilih lapangan farmasi ?
46. II : Karena II suka.
47. Rustam : Kenapa suka ?
48. II : Karena II piker II punya bakat.
49. Rustam : Jawablah lebih mendasar dan lebih jujur, II. Tahu kamu bahwa lapangan
farmasi akan memberikan penghasilan yang bagus ?
50. II : Tentu saja II tahu, Pa.
51. Rustam : Luar biasa. Kalian betul-betul benih masa depan yang siap. Nah ma, kamu sudah
dengar sendiri pernyataan mereka tentang jaman mereka nanti. Kalau diusut secara
logis, dasar dan cara berpikir mereka, jelas-jelas mencerminkan bentuk dan sifat
hubungan kita di masa depan, yaitu : hubungan yang dingin yang selalu dilandasi
ukuran komersial.
52. Ibu : Pokoknya dagang seperti kamu.
53. Rustam : Yak ! Jaman sekarang memang jamannya pedagang. Dan jaman yang akan datang…
54. Ibu : … Jamannya robot-robot dan angka-angka. Menjijikan sekali.
55. Rustam : Kau boleh bilang menjijikan, tapi yang pasti bukan jamannya penghayal- penghayal
konyol.
56. Ibu : Mulai ngaco. Bagaimana bisa kamu menyebut ahli sejarah sebagai penghayal ?
57. Rustam : Karena buat saya orang yang bekerja sia-sia, yang tidak menghasilkan uang berarti
penghayal konyol. Boleh saja orang semacam itu hidup, kalau mereka bisa hidup
tanpa usu dan perut besar.
58. Ibu : Terserah kamu mau ngomong apa, tapi saya tetap berpihak kepada UU !
59. Rustam : Artinya, mama membiarkan UU jatuh kepada pilihan yang keliru ? Semua orang
mengejar uang dan kamu biarkan UU mengejar angin yang bernama lamunan
sejarah. Sebagai Ibu seharusnya kamu menyadarkan UU yang baru tahu aiueo itu,
bahwa sejarah tidak akan pernah menyelesaikan hidup ini. Hanya uang yang punya
kemampuan tidak terbatas untuk menyelesaikan apa saja.
60. Ibu : UU berhak memilih dan saya juga punya hak untuk berpihak.
61. Rustam : Mulai keras kepala.
62. Ibu : Sejak tadi kita sudah keras kepala. Sejak tadi kita plotot-plototan dan tidak
diskusi.
63. AA : Kalau sudah pada plotot-plototan, saya kira tidak perlu saya dan II duduk disini.
64. Rustam : Jangan. Kalian harus ikut dalam pembicaraan ini !
65. II : Duduk disini juga kita ndak ada gunanya.
66. Rustam : II ! Ini bukan diskusi kosong. Ini menyangkut adikmu UU, menyangkut masa depan !
Coba kita bicara kering-keringan saja. AA II, mana lebih menguntungkan buat UU :
Jurusan Sejarah atau jurusan Ekonomi misalnya, ini harus dipandang dari segi
keuntungan dagang.
67. AA : Tentu saja jurusan Ekonomi.
68. Rustam : Tapi Mamamu akan membiarkan UU memilih jurusan sejarah.
69. II : UU memang emosionil. Saya kira dia tidak tahu betul apa yang dipilihnya.
70. Rustam : Persis. Karena kita sadar bahwa UU keliru dan kita berkewajiban menyadarkannya.
Tapi Mamamu bersikap lain.
71. Ibu : Tetapi UU menyukai jurusan itu dan kenapa kita mesti keberatan ?
72. Rustam : Kita keberatan karena pilihannya itu, tidak akan membuahkan keuntungan buat
dirinya.
Pintu terbuka dan muncul UU yang kecapaian. Dan seketika suasana jadi hening.
Masing-masing diam. UU merasa heran tentunya.
73. UU : Kok tiba-tiba jadi diam semua. Kaya ada setan lewat.
74. Ibu : (basa-basi guna memecahkan suasana) Bagaimana pestanya UU ?
75. UU : Brengsek.
76. Ibu : Kok brengsek ?
77. UU : Semua sudah jadi pedagang.
Rustam melihat pada kedua anaknya yang lain.
78. UU : Masak mereka ngetawain UU.
79. Ibu : Kenapa memangnya ?
80. UU : UU kan ditanya sama si Candra. UU mau ndaftar kemana setelah lulus ? Lalu UU
bilang ke jurusan sejarah. E semua kawan-kawan ketawa. UU sama sekali tidak
ngerti. Apanya yang lucu.
Flashback. Murid-murid SMA kawan UU sedang pesta perpisahan. Antara mereka saja.
Suasana sangat meriah sekali, penuh dengan gelak tawa.
81. Berlin : Yang lucu tidak ada ! Yang ada yang tragis !
Kawan-kawannya ketawa lagi. UU betul-betul tidak ngerti apa yang ditertawakan
kawan-kawannya.
82. Si Tegal : memilih kok jurusan sejarah. Kok ndak jurusan silat saja.
Kembali kawan-kawannya ngetawain UU.
83. UU : Kalau saya mau, saya pilih jurusan silat ! Memangnya kenapa ? Yang penting kan
mau.
84. Ber;lin : Mau sih boleh saja mau. Saya juga banyak maunya. (ketawa)
Kawan-kawannya kembali ngetawain
85. Ketua : Sebentar. UU bagaimanapun saya tetap dan akan selalu menjadi bekas ketua kelas
kita. Jadi sedikit banyak saya punya saran pasti akan berharga. Begini…
86. Orang 1 : Mudah-mudahan dia insap. (ketawa)
87. Yang lain : Milih kok daerah gundul. (ketawa)
88. Lain lagi : Tenang ! Tenang ! Ketua kita sedang bicara.
89. Ketua : Betul kamu mau masuk jurusan sejarah ?
90. UU : Ya.
91. Ketua : Kamu tahu kenapa kita ketawa ?
92. UU : Nggak.
93. Ketua : Karena kita tidak setuju. Kita semua tidak rela kamu sebagai kawan akan meningkatkan
jumlah orang-orang miskin di negeri ini.
94. UU : Kok !
95. Ketua : Memasuki jurusan sejarah atau fakultas-fakultas lainnya yang sejenis adalah sia-sia,
karena ditinjau dari segi lapangan kerja sangat sempit. Di Republik ini tidak perlu
banyak-banyak ahli sejarah. Cukup seorang saja untuk mengepalai satu departemen
dengan seorang pelayan sebagai pembantunya. Nah, jelas sekarang ? Yang
dibutuhkan Republik ini sekarang adalah tenaga-tenaga yang terampil laksana
mesin computer untuk perputaran roda ekonomi.
96. Berlin : Sebagai penutup marilah kita berdoa agar malam ini tuhan memberi petunjuk bagi
domba kecil yang sesat ini.
97. Semua : Amin….
Adegan kembali di rumah Rustam.
98. Rustam : Tuhan , selamatkan masa depan anak saya. Amin…
99. UU : Gila-gilaan semua.
100. Ibu : Biar saja mereka. Orang kan lain-lain. Yang penting kamu harus teguh dan tabah.
101. Rustam : (memotong) Ma berhenti bicara dulu. UU dekat kesini !
Lalu UU mendekati Papanya.
102. Rustam : UU umurnya berapa ?
103. UU : (heran) Jalan delapanbelas tahun, Pap kan tahu.
104. Rustam : UU suka dongeng-dongeng ?
105. UU : Suka. Papa juga tahu kan UU suka sekali baca buku-buku cerita sejak dulu.
106. Rustam : Itulah sebabnya kenapa UU pengin masuk jurusan sejarah. Kamu sangat dipengaruhi
dongeng-dongeng. Otakmu bagaikan diliputi kabut yang menggelapi istana-istana
jaman dahulu.
107. Ibu : Pa.
108. Rustam : Ma, lama-lama UU juga akan insyaf. Dengar UU…
109. UU : Pokoknya Papa tidak setuju. Begitu kan ?
110. Rustam : Prinsip Papa setuju, tapi Papa tidak mengijinkan.
111. UU : Kalau semua tidak setuju UU akan mengunci diri dalam kamar dan mogok makan.
UU lari masuk ke kamar dan Ibu mengejarnya.
112. Rustam : (mengetuk pintu kamar) UU ! UU ! UU ! (kesel sendiri, lalu pada AA dan
II ) kalian jangan seperti ondel-ondel. Apa saran kalian ?
113. AA : Kita mesti lembut, Pa !
114. II : Kita tidak boleh menekan dan apa lagi bersikap keras.
115. AA : Ini semata-mata masalah epproud.
116. II : Kita semua tahu UU sangat manja dan sakit-sakitan sejak kecil.
117. AA : Jadi satu-satunya cara yang paling effektif adalah cara persuasi.
118. II : Saya akan mencoba membujuknya pertama kali. Sebagai kakaknya langsung,
barangkalia saya akan mendapat tempat yang istimewa di hatinya.
119. AA : Saya juga akan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan masa depan UU, karena UU
adalah adik yang lemah.
120. Rustam : Papa bangga karena kalian penuh tanggung jawab akan keluarga. Tapi Papa kira
ada baiknya juga Oom dan Tante kalian dihubungi, karena mereka juga sangat
mencintai UU.
121. II : Ya. Tante pasti akan mampu melunakan hatinya.
Imaginer. Papa lalu memutar nomor telepon. Adegan ke kamar UU
122. Ibu : Kamu tidak sendirian, UU. Mama akan sekuat tenaga juga meyakinkan mereka
bahwa kamu berhak mewujudkan impian kamu.
123. UU : Pokoknya UU akan mengunci diri dalam kamar dan mogok makan.
124. Ibu : Mama juga tidak boleh masuk ?
UU menggelengkan kepalanya.
125. Ibu : Kamu tidak boleh tidak makan. Kamu gampang sakit.
126. UU : Mama mau masuk kamar tidak ?
Mamanya menarik nafas dalam-dalam.
127. UU : Kalau mama mau masuk kesini,Mama tidak boleh bawa makanan.
128. Ibu : Sekalipun cuma sekerat coklat ?
129. UU : Sekalipun cuma sebutir gula.
130. Ibu : Tapi itu kalori.
131. UU : Boleh. Mama boleh bawa coklat satu karung dan apa saja tapi UU tidak akan
menyentuhnya. Sekarang Mama keluar sebelum pedagang-pedagang itu masuk.
132. Ibu : (beranjak pergi) Sedikit lagi, UU.
133. UU : Sedikit boleh dan hanya untuk cium.
Lalu setelah cium, UU membawa Ibunta keluar kamar dan cepat-cepat UU mengunci
kamarnya lagi. Dan setelah itu ia cuma mondar-mandir saja. Mikir-mikir apa yang
sebaiknya ia perbuat.
134. UU : (berdoa) Tuhan, tabahkan saya, lemahkan mereka. Amin…
Lalu UU menuju mejanya memainkan tape recodernya keras-keras. Dan dia sendiri lalu
duduk ditempat tidurnya.
135. UU : (memainkan tapenya) Hidup kok mau dihilangkan romantikanya.
UU memejamkan mata dan menikmati lagu “mengapa kau menangis” tiba-tiba
terdengar ketukan pada pintu kamarnya. Kedengarannya suara II.
136. II : (dimensi) UU… UU sayang… ayo kita main petak umpet.
137. AA : (dimensi) UU… UU… ayo kita jalan-jalan ke mall.
Ibu Cuma memperhatikan saja ulah kedua anaknya AA dan II yang terus ketuk-ketuk
pintu kamar.
138. Ibu : Dia tidak akan membuka pintu kamarnya. Dia sudah nekat.
139. AA : Tapi dia mesti mendengarkan pendapat kita, Ma.
140. Ibu : Dia mau mendengarkan pendapat siapapun tapi dia tidak melihat kesalahan apapun
dalam pilihannya.
141. II : Mama tau dia akan mendapat kesukaran kelak dalam cari kerja.
142. Ibu : Tapi dia telah menyiapkan dirinya untuk segala resiko atas pilihannya. Dengarkan
Mama. Kalian berdua terbalik. Yang seharusnya kalian lakukan bukan membujuk
UU tapi meyakinkan Papamu bahwa UU tidak salah pilih.
143. AA : Tapi Papa benar Ma. Yang kita perlukan sekarang adalah lapangan yang sebanyak
mungkin memberikan keuntungan materiil.
144. Ibu : Pikiran mama sederhana saja. UU berhak menentukan sendiri apa-apa yang terbaik
buat dirinya. Dan kalau kalian sependapat dengan Papamu selamat tidur dan selamat
mempengaruhi adik kalian.
Lalu Ibu pergi ke kamarnya. Kembali AA dan II mengetuk pintu kamar UU. Lalu muncul
Papanya.
145. AA : Gawat Pa. UU benar-benar mengunci diri.
146. Rustam : Keras kepala seperti Mamanya.
Lalu Papanya mengetuk pintu kamar UU.
147. Rustam : UU. Ini Papa UU. Papa yang ngetok.
Tidak ada suara sahutan kecuali suara tape recordernya yang makin keras.
148. Rustam : UU ini suara Papa sayang. Dengar tidak…
149. UU : (dari dalam dengan dimensi ruang) Dengar…
150. Rustam : (dimensi) Kalau begitu buka pintunya dulu dooong…
151. UU : (dimensi) Tidak mau. Kecuali kalau Papa setuju UU masuk jurusan sejarah.
152. Rustam : Kita berunding dulu, sayang…
153. UU : Tidak ada perundingan. Soalnya kita sama-sama keras kepala.
154. Rustam : Betul-betul kartu mati dia ! Penyakit keras kepala itu betul-betul gampang
menular.
155. II : Bagaimana kalau kita tangkap tikus dulu ?
156. Rustam : Buat apa ?
157. II : Kita takut-takuti.
158. AA : Ah, taktik kuno, taktik kuno itu.
159. Rustam : Kalau betul-betul dia mengunci diri sampai satu minggu saja bisa celaka.
160. II : Satu minggu ? Dua hari saja barangkali dia sudah terkapar sakit. Dia kan sakit-
sakitan.
161. AA : (panik) Kita bongkar saja.
162. Rustam : Kamu yang mengusulkan tadi supaya kita bersikap lembut. Kuno juga. Mana
Mama ?
163. II : Di Kamar.
164. Rustam : Mogok juga ?
165. II : Tahu.
166. Rustam : Kira-kira sudah makan belum dia ?
167. AA : Di pesta kan pasti dia makan.
168. Rustam : Jadi untuk satu malam ini nggak apa-apa kan ?
169. AA : Alah, dia cuma manja saja, Pa.
170. UU : (dari dalam) Di pesta saya cuma minum. Saya belum makan malam. Tadi siang
juga saya nggak sempat makan.
171. Rustam : Cilaka.
172. UU : (mendramatisir) Perut sudah mulai sakit sedikit. Asam sudah naik ke
tenggorokan. Perut… perut sudah terasa agak kembung.
173. AA : Pura-pura. Serangan mental.
174. II : Tapi jangan lupa lho UU punya gejala penyakit maag.
175. Rustam : Cilaka. Kita mesti mendapat akal segera. Saya kira kamu betul. Kita bongkar saja
pintu ini.
176. UU : (dari dalam kamar) Di sini ada gunting. Kalau pintu dibongkar saya akan
bunuh diri.
Tiba-tiba terdengar bel rumah bunyi. Ada tamu.
177. Rustam : Itu pasti Oom dan Tantemu
178. AA : Biar saya yang jemput (keluar)
179. Rustam : Antar Oom dan Tantemu langsung kesini !
180. II : UU kita setuju kamu.
181. Rustam : (membentak) Apa-apaan kamu ?
182. II : Kita tipu dia, Pa.
183. UU : (mengancam) Jangan main tipu. UU bisa lebih nekat.
184. Rustam : Jangan gegabah II.
185. UU : Papa…
186. Rustam : Ya sayang…
187. UU : UU hauus…
188. Rustam : Segera Papa bawa minuman untukmu sayang. Tapi buka dulu pintunya dong…
189. UU : Nggak mau.
190. Rustam : Nanti kamu mati kehausan sayang.
191. UU : Biar.
Langsung Oom dan Tante masuk menuju pintu kamar UU, lalu mengetuknya dengan
cemas.
192. Tante : UU… UU… Sayang…
193. Oom : UU… Sayang… UU…
194. Tante : Permataku… bungaku… jangan mogok dong…
195. Rustam : Panggil Mama, II !
II lalu pergi ke kamar ibunya.
196. AA : UU manja itu ada batasnya.
197. Rustam : UU ini Tante dan Oom datang sayang.
198. Tante : Sebaiknya kita siapkan satu tabung besar zat asam murni. Udara dalam
kamarnya lama-lama pasti kotor dan UU pasti bisa kepayahan. Wuuaaa…
199. Oom : Ambulan… Ambulan…
Semua pada panik, hiruk pikuk.
200. Rustam : Stop ! Kalian jangan menambah gugup. Kalian kuminta datang supaya mengendorkan
ketegangan dan bukan menambah kepanikan. Pikir. Pikir. Cari akal. Buat sesuatu.
Dia selamat kita senang.
201. Tante : (meratapi) Sama sekali dia tidak menyahut. Jangan-jangan dia sudah pingsan.
202. Oom : Tenang. Tenang sebentar. Kita dengarkan. Setidak-tidaknya kita dapat mendengar
nafasnya.
Berjalan Slow motion menuju pintu kamar UU. Lalu menempelkan telinganya masing-
masing ke daun pintu. Ibu dan II muncul lalu ikut mendekat.
203. Rustam : Ssssst…
Ibu gag jadi ngomong lalu ikut nimbrung mendrngarkan didepan pintu. II juga.
204. Rustam : Dengar ?
Tante geleng kepala, semua geleng kepala.
205. Ibu : Dengar apa ?
206. Rustam : Suara nafasnya.
207. Ibu : Nggak.
208. Tante : (menjerit) Wa….pasti dia pingasan.
209. Rustam : Kamu yang harus bertanggung jawab kalau ada apa-apa (kepada ibu)
210. Ibu : Kok saya ?
211. Rustam : Lalu siapa ? Saya ? Atau AA, II ? Kamu sebagai Mamanya yang seharusnya
bertindak bijaksana.
Kedengaran bunyi pintu diketuk dari dalam kamar, oleh UU.
212. UU : Maa…
213. Tante : Yaa….itu dia. Selamat. Selamat. Selamat… Selamat…
214. UU : Kuncinya hilang.
215. Rustam : Cilaka. Cilaka.
216. Ibu : Betul UU ?
217. UU : Ya sudah pasti bohong dong. Masak kunci bisa tiba-tiba hilang.
218. Tante : UU sayang.
219. UU : Ya Tante.
220. Tante : Keluar dong sayang.
221. UU : Setuju dulu dong UU masuk jurusan sejarah.
222. Tante : Dilema. Dilema. Itu tidak mungkin sayang. Itu akan mencelakakan masa
depanmu.
223. UU : Kalau begitu kita tidak mungkin jumpa untuk selama-lamanya.
224. Rustam : Dia sudah mulai mempermainkan kita. Kita tidak punya waktu banyak, ini masalah
nyawa dan masa depan.
225. UU : Ini maslah hak asasi.
226. Rustam : Kamu harus tanggung jawab, Ma. Kita harus diskusi lagi. Kita ke ruang
tengah.
227. Oom : Saya kira iya.
228. Tante : Betul-betul buah simalakama.
Lalu bapak, ibu, oom dan tante ke ruang tengah. Sedang AA dan II masih menunggu di
depan pintu
229. Rustam : AA, II jaga dan lanjutkan usaha-usaha persuasi.
230. AA II : Siap, Pa.
Kembali II mengetuk pintu. Dan UU membalas mengetuk pintu. Lalu AA ikutan
mengetuk pintu. Maka terjadilah suatu komposisi musik ketuk-ketukan. Adegan
berganti ke ruang tengah.
231. OOM : Kalau usaha pertama gagal harus dilanjutkan usaha kedua. Kalau usaha kedua
gagal harus dilanjutkan usaha ketiga. Begitu seterusnya. Kalau
usaha pertama gagal dan sama sekali usaha berhenti maka usaha sama sekali
kehilangan makna nilainya sebagai usaha dan kita tak patut lagi sebagai kita.
232. Rustam : Bahar, kita dalam keadaan terdesak. Kita hanya punya detik saja. Kata- kata, huruf-
huruf harus terbatas. Kalau perlu tidak usah pakai titik koma. Singkat saja apa,
bagaimana dan seterusnya.
233. Tante : (ketuk-ketuk meja) UU….UU sayang….
234. Rustam : Apa pula itu ?
235. Oom : Usaha tak boleh berhenti.
236. Tante : Ini usaha dengan cara telepati.
237. Rustam : Terserah kalian. Pokoknya saya mau beres.
238. Oom : Bagus. Itu baru namanya memberi ruang pada saya dan….
239. Tante : Dilema…Dilema…
240. Oom : Untuk secara penuh membantu usaha-usaha rumah ini dalam memecahkan problem-
problem serta hambatan-hambatan yang merong-rong program yang telah dipatrikan
atau dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
241. Tante : Kamu juga rela tulus pasrah kami ikut campur dalam persoalan.
242. Oom : Koreksi ! Bukan dalam persoalan tetapi dalam memecahkan persoalan.
243. Tante : Dalam memecahkan persoalan gawat yang melibatkan nyawa dan masa depan ?
Ibu hanya bisa mengangguk.
244. Tante : Kalau begitu intervensi boleh di mulai.
245. Oom : Dasar filsafatnya adalah “kebenaran rupanya lebih betah di rumah tetangga, karena kita
sendiri pada dasarnya lebih betah di rumah tetangga”. (menghela nafas) Lalu
adalah pertanyaan. Dasar apakah yang akan kita gunakan sebagai landasan usaha
kita dalam pemecahan : Perasaankah, Pikirankah ?
246. Tante : Dilema..Dilema…
247. Rustam : Pikiran tentu saja !
248. Ibu : Tapi perasaan juga tidak boleh ditinggalkan !
249. Tante : Dilema…Dilema…
250. Oom : Menarik sekali. Dua jaman sedang berbenturan. Kita harap saja ini komedi, bukan
tragedy bukan juga farce alias banyolan. Juga kita harapkan bukan perang
solusinya melainkan
shanty…shanty…peace…peace…damai…damai…
Baris-baris terakhir diucapkan tante lebih baik. Dan mendengar itu bapak dan ibu
sama-sama tersenyum tanpa sadar mereka berdua saling berpelukan.
251. Oom : Jangan dulu. Pelukan mendadak selalu penuh ranjau dan bukan tidak mungkin
pelukan akan berubah tiba-tiba menjadi tikaman karena perdamaian kalian masih
bersifat semu kekanak-kanakan.
252. Tante : Untuk sementara forum resmi di tutup. Sekarang forum tidak resmi.
Tiba-tiba Oom membawa Rustam kesudut ruangan.
253. Oom : Langkah kita sudah betul. Siapapun akan sia-sia mendekati UU kecuali Ibunya. Jadi
persoalan kita sekarang adalah menggarap Ibunya.
254. Rustam : Tapi UU dan Ibunya satu nyawa.
255. Oom : Untuk sementara kita anggap saja cuma Ibunya yang punya nyawa. Dan untuk
sementara juga dalam forum nanti kita coba saja mengikuti kemauan Ibunya.
(Rustam mencoba bereaksi). Tenang…tenang…!
Sementara itu tante sedang melunakkan hati Ibu.
256. Tante : Jelaskan ? Siapapun akan sependapat bahwa adalah benar sekali ini masalah perasaan.
257. Ibu : Tapi Papanya memang keras kepala.
258. Tante : Tapi jangan lupa bahwa manusia itu adalah patung tanah liat yang tidak pernah
rampung. Menyadari ini berarti kita harus bersikap optimis bahwa kita akan berhasil
merubah bentuk kepalanya sesuai dengan kemauan kita.
259. Oom : (tiba-tiba memecahkan suasana) Demi masa depan dan perdamaian
Mereka minum bersama. Selanjutnya Papa mendekati Mama dengan wajah minta maaf.
260. Rustam : Maafkan saya karena sifat kasar saya, tapi percayalah kekerasan saya hanya topeng
seorang lelaki kikuk yang selalu gagal menyatakan cintanya.
261. Ibu : (pada tante) Dia lunak !
262. Tante : Apa kata saya ? Kita semua adalah pematung-pematung dan sekaligus juga patung-
patung.
263. Oom : Waktu terbatas. Forum resmi kita lanjutkan.
Seperti sebelumnya tante mengetukkan tangannya keatas meja sebagai tanda rapat
dimulai.
264. Tante : Dilema…Dilema…
265. Oom : Tak ada lagi itu.
266. Tante : Alhamdulilah…alhamdulilah…
267. Oom : Siapapun akan sependapat bahwa dua landasan itu sama-sama dapat digunakan. Tapi
sesuai dengan sikap “selalu menghormati kaum wanita”. Maka landasan yang
pertama-tama akan akan kita coba gunakan adalah landasan perasaan dalam
mendekati serta memecahkan persoalan kita. Setuju ?
Rustam akan bicara tapi dipotong oleh Oom.
268. Oom : Terimakasih. Sekalipun huruf-huruf baru sampai di tenggorokan tapi jelas huruf-
huruf itu akan membentuk kata setuju.
269. Tante : UU sayang… (menangis)
270. Oom : Kita sudah mulai. Perasaan sudah bicara.
Rustam lalu ikut terharu
271. Rustam : Nasibmu sayang sedang diolah di meja perundingan.
Ibu ikut menangis, Oom juga. Selanjutnya ia terus berkomentar sebagai seorang
reporter televisi.
272. Oom : Dengan perasaan kita lepaskan UU keluar rumah dan memasuki jurusan sejarah.
273. Ibu : UU…
274. Oom : Seperti juga AA dan II pasti UU juga akan kuliah baik-baik. Dengan perasaan
kita perhatikan perkembangan kuliahnya.
275. Ibu : UU…
276. Oom : Susah payah namun tetap tabah UU menempuh badai tentamen demi tentamen. Dia
memang srikandinya kampus.
277. Ibu : UU…UU…UU…benih waktuku….
278. Oom : Pada suatu hari matahari bersinar dengan warna ungu pucat.
279. Ibu : Lha kok ?
280. Oom : Siapa tahu ? Hari itu adalah hari dalam lima enam tahun yang akan datang.
281. Ibu : Ooh…UU…
282. Oom : Pada suatu hari.
283. Tante : Matahari bersinar dalam warna ungu pucat.
284. Oom : Dan UU bertambah cantik parasnya. Ia baru saja di wisuda sebagai sarjana sejarah.
285. Ibu : UU sayang kebangganku !
286. Oom : Dengan perasaan kita kagumi dia kita bangga-banggakan dia. Dan UU pun tiba-tiba naik
ke puncak gedung paling tinggi dan secara tiba-tiba pula ia menerjunkan dirinya.
287. Ibu : Tidak pakai payungkah dia ?
288. Oom : Tidak.
289. Ibu : Kenapa dia lakukan perbuatan bodoh itu ?
290. Oom : Dia Putus asa.
Kalimat itu dulangi oleh tante dan Rustam secara bergantian, secara mengiba.
291. Ibu : Kenapa ?
292. Oom : Karena dia salah menafsirkan jamannya.
293. Ibu : Ooh..
294. Oom : Lima tahun atau tepatnya seribu delapan ratus dua puluh lima hari UU berkeliling
memasuki kantor demi kantor namun tidak satupun kantor yang sudi membuka
pintunya.
295. Rustam : Bahkan jendelanyapun tidak.
296. Tante : Bahkan pintu pagarnya sekalipun, pintu belakangnya, pintu WC nya.
297. Oom : Semua pintu ! Ahli sejarah dan sejenisnya telah dianggap penderita sampar dan dijauhi
masyarakat.
298. Ibu : UU nasibmu !
Semua pada nangis
299. Ibu : Tapi tidak adakah kesatria yang mendekati jendelanya dan melemparkan bunga
kepadanya ?
300. Oom : Pada hari itu semua kesatria dengan kuda-kudanya telah berubah menjadi pedagan keliling
semua.
301. Ibu : Begitu ?
302. Rustam : Iya sayang.
303. Ibu : Lalu bagaimana solusinya ?
304. Oom : Bunuh diri. Dan mayatnya yang terkapar di jalan Thamrin itu sama sekali tidak
disentuh orang dan dalam satu jam sudah rata dengan aspal jalan itu dilindas oleh
kendaraan-kendaraan yang tak putus-putus.
305. Ibu : Bahkan mayatnya tidak berharga ?
306. Oom : Sama sekali.
Pelan-pelan terdengar lagu gugur bunga.
307. Ibu : Tidak ! Tidak boleh jadi itu ! kita harus mencegah sebelum peristiwa naas itu betul-
betul terjadi. Kita tidak boleh diam.
308. Oom : Tenang jangan grusa-grusu. Kita semua akan melakukan sesuatu. Kita semua akan
bersama-sama mencegahnya.
309. Ibu : Saya akan meyakinkannya bahwa jalannya keliru
310. Oom : Tentu saja. Tentu saja. Hanya kamu yang mampu membujuk UU.
311. Rustam : UU suka dengan dongeng-dongeng. Pengaruhilah dia dengan dongeng- dongeng.
312. Ibu : Saya akan lakukan. Saya mesti melakukannya demi masa depan. (pergi ke kamar
UU).
313. Tante : Untung belum terlambat !
314. Oom : Kita harus bersyukur karena ternyata sandiwara ini sandiwara komedi.
315. Semua : Alhamdulillah.
316. Oom : (mencegah Rustam yang mau ke kamar UU). Ah, jangan ikut. Tidak perlu ikut.
Mereka hanya memerlukan diri mereka sendiri.
Rustam kembali duduk dan Oom kembali menikmati secangkir tehnya, sementara AA
dan II tertidur bersandar pada pintu. Ibu lalu memindahkannya ke dinding. Lalu dengan
lembut mengetuk pintu kamar UU.
317. Ibu : UU…UU sayang…
Rupanya UU tertidur di pintu juga. Ketukan pintu terdengar lembut juga suara Ibu.
318. Ibu : UU…UU sayang…
UU terbangun.
319. UU : Ya…?
320. Ibu : Ini Mama sayang.
321. UU : Betul Mama ?
322. Ibu : Iya sayang. Buka segera pintunya.
Lalu UU membuka pintu kamarnya dan begitu Ibu masuk UU segera membuka
pintunya dan dikunci kembali. Dan segera keduanya menuju tempat tidur dan UU tidur
sambil menggenggam kuncinya. Ibu mendekatinya dengan lembutnya.
323. Ibu : UU sayang.
324. UU : (setengah tidur) Iya Ma.
325. Ibu : Mau Mama mendongeng ?
326. UU : Mau.
327. Ibu : Pada suatu hari ada seorang gadis kecil yang manis yang sangat patuh pada
Mamanya. Gadis kecil selalu bertambah manis setiap kali mengatakan “iya Ma”
kepada Mamanya. Dan ia bahkan sangat berbahagia hidupnya kerana selalu berkata
“iya” dan Mamanyapun demikian juga.
328. UU : Betul gadis itu bahagia karena selalu berkata “iya Ma”?
329. Ibu : Iya sayang.
330. UU : Pengin benar saya seperti gadis itu.
331. Ibu : Kamu seperti gadis itu, sayang. Kamulah dia.
332. UU : Iya Ma.
333. Ibu : Kamu manis seperti gadis itu.
334. UU : Iya Ma.
335. Ibu : Kamu akan bahagia seperti gadis itu.
336. UU : Iya Ma.
337. Ibu : Kamu akan selalu patuh kepada Mama.
338. UU : Iya Ma.
339. Ibu : Kamu tidak akan masuk jurusan sejarah.
340. UU : Iya Ma.
341. Ibu : Kamu akan lupakan jurusan sejarah.
342. UU : Iya Ma.
343. Ibu : Pintu kamar tidak usah dikunci.
344. UU : Iya Ma.
345. Ibu : Berikan kunci itu !
346. UU : Iya Ma.
347. Ibu : Sekarang tidur dan mimpilah bersama kata “Iya”.
348. UU : Iya Ma.
349. Ibu : Tidurlah UU !
350. UU : Iya Ma.
Terdengar nyanyian “Tidurlah Intan”. Lalu perlahan-lahan Ibu meninggalkan anaknya
yang sudah tidur pulas dan ia membuka pintu kamar itu perlahan. Dan perlahan juga ia
keluar dan menutupnya kembali perlahan.
351. UU : (mengigau) Iya Ma….iya Ma…Iya Ma…
Begitu Mama keluar Rustam, Oom dan Tante segera merubungnya. AA dan II tetap
tidur.
352. Rustam : (pada Mama) Bagaimana ?
353. Ibu : (tersenyum sambil lari)
354. Semua : Bagaimana ?
355. Ibu : Beres. Dia sudah dengan rela melupakan jurusan sejarah.
356. Semua : Alhamdulillah.
357. Tante : Permataku…bungaku… (mau kekamarnya UU)
358. Ibu : (mencegah) Jangan masuk. Jangan ganggu dia. Dia sedang tidur dan mimpi enak.
359. Tante : Shanti…Shanti…Shanti…
360. Rustam : (mendekati AA dan II) AA…AA…AA…
361. AA : (setengah bagun) Iya Pa.
362. Rustam : Tidurlah di kamar !
363. AA : (bangun) Iya Pa.
AA kekamarnya sambil berjalan mengucapkan “iya Pa…iya Pa…Iya Pa”.
364. Ibu : II bangun.
365. II : (II setengah bangun) Iya Ma
366. Ibu : Tidurlah di kamar.
367. II : Iya Ma.
II kekamarnya sambil berjalan mengucapkan “iya Ma…iya Ma…Iya Ma”.
368. Tante : Masa depanku…masa depanku…
369. Oom : Sekarang marilah kita tidur dan bermimpi merancang masa depan.
370. Semua : Iya…
371. Rustam : Kalian berdua menginaplah disini.
372. Oom : Boleh.
Mereka semua pada meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya masing-masing.

SELESAI.

Anda mungkin juga menyukai