Disorder Over Order: Randomness & Asymmetry in Mathematical Beauty
Disorder Over Order: Randomness & Asymmetry in Mathematical Beauty
Sepanjang masa, kita mendasari seni dan arsitektur berdasarkan teori-teori yang mengedepankan
order, yaitu simetri dan proporsi seimbang, seperti dalam teori the golden ratio, dynamic
rectangle, dan sistem grid. Mengapa kita tidak mengedepankan disorder dan randomness?
Mengapa kita ingin terjebak dalam peraturan-peraturan kaku, seperti golden ratio serta
keseimbangan dalam simetri kanan, kiri, atas, bawah? Mengapa kita tidak membuat seni dan
arsitektur yang lebih dinamis dan menarik dengan memberangkatkan desain dari disorder,
randomness, dan asimetri? Dalam esai ini saya akan menelusuri lebih lanjut mengapa desain seni
dan arsitektur lebih baik untuk dikembangkan dengan disorder, randomness, dan asimetri.
Simetri menjadi suatu hal yang sangat mempengaruhi penilaian seseorang terhadap daya tarik
estetika sebuah karya seni (Huang et al., 2018). Huang et al. (2018) menjelaskan lebih lanjut
dengan menyatakan,
“Anak-anak berusia empat tahun peka terhadap simetri dalam pola yang ada, tetapi kepekaan ini tidak
memandu penilaian estetika mereka, seperti yang terjadi pada orang dewasa. Sepengetahuan kami, temuan
kami memberikan bukti langsung pertama untuk pemisahan antara perhatian terhadap simetri dan
preferensi estetika terhadap simetri pada usia muda ini. Secara lebih umum, hasil ini menunjukkan bahwa
"fitur inti" estetika dari simetri, yang sering dianggap sebagai dasar, aturan kecantikan yang mendasar,
muncul belakangan dalam perkembangan manusia.”
Hal ini membuktikan bahwa preferensi akan simetri terjadi secara natural sejak kecil walaupun
tidak sejalan dengan penilaian estetika. Preferensi estetika yang simetris muncul karena seiring
tumbuhnya manusia, mereka akan lebih sering berinteraksi pada benda-benda simetris sehingga
memunculkan sebuah kebiasaan akan penampilan simetris tersebut (Huang et al., 2018).
Walaupun menjadi aturan dasar estetika dan berpenampilan menarik, adapun sifat kekakuan
simetri yang membuatnya monoton (McManus, 2005).
Desain simetris seringkali lebih mudah untuk diproses otak sehingga dapat dideteksi lebih cepat
dan mudah daripada desain asimetris. Selain itu, pola visual simetris menimbulkan lebih banyak
aktivasi pada korteks visual pada otak (Huang et al., 2018). Hal itu juga berkontribusi dalam
pemilihan desain simetris dibandingkan desain asimetri. Dalam seni dan arsitektur teknik
mengkomposisi elemen desain seringkali mengikuti beberapa prinsip dasar seperti, balance,
unity, rhythm, proportion, color interaction, dan figure/ground relationship (Daley & Bryant,
2015). Terdapat pula prinsip contrast, emphasis, hierarchy, repetition, pattern, white space, dan
variety sebagai pembentuk nilai estetika sebuah karya (Chapman, 2019). Prinsip-prinsip tersebut
menciptakan sebuah framework pada nilai estetika sebuah karya seni. Namun, prinsip
keseimbangan dan proporsi menjadi salah satu prinsip utama yang dapat dihitung secara
matematis. Hal tersebut tercerminkan dalam teori golden ratio yang akhirnya menjadi salah satu
referensi utama dalam membuat karya seni.
Golden ratio merupakan salah satu teori matematika yang sangat berperan dalam dunia desain
dan arsitektur. Hal itu terjadi karena kemampuannya untuk mencerminkan keindahan alam, serta
kemampuannya untuk menciptakan keseimbangan dalam komposisi karya seni (Golden Section
in Art & Architecture | What Is the Golden Section?, 2022). Proporsi dari golden ratio
memberikan proporsi sisi persegi panjang yang paling estetik (Carlson, 2017). Teori inilah yang
menjadi titik mula beberapa teori lainnya, seperti the vitruvian man dan menjadi basis beberapa
karya seni ternama, seperti Mona Lisa, salah satu karya seni Leonardo Da Vinci (Golden Section
in Art & Architecture | What Is the Golden Section?, 2022).
Gambar 1. Golden Ratio pada pembagian sebuah garis. Sumber: (Golden Section in Art & Architecture | What Is the
Golden Section?, 2022)
Golden ratio atau the divine proportion adalah bilangan irasional (1 + √5)/2), seringkali
dilambangkan dengan huruf yunani ϕ atau τ yang kira-kira sama dengan 1,618. Bilangan tersebut
pertama kali dikemukakan oleh Euclid dalam buku Elements (Carlson, 2017). Rumus
Sehingga variasi dari rumus ini adalah . Golden ratio merupakan salah satu
penemuan matematis yang mengedepankan proporsi dan rasio yang seimbang sehingga menjadi
basis akan komposisi seni dan arsitektur yang “indah”. Proporsi dan simetri tidak hanya hadir
dalam komposisi secara visual ataupun spasial, tetapi dalam musikpun ada preferensi tinggi
terhadap komposisi seimbang. Contohnya, sebuah komposisi sonata yang memiliki struktur
A-B-A ataupun sebuah drama dengan struktur awal, tengah, akhir.
Penerapan golden ratio dalam arsitektur kerap ditemukan pada struktur-struktur pada bangunan
Yunani Kuno, salah satunya Parthenon. Parthenon menggunakan golden ratio dalam menentukan
proporsi tinggi bangunannya terhadap panjang alasnya. Selain itu, golden ratio juga
tercerminkan dalam struktur kolom-kolom yang tersebar pada bangunan ini, baik secara dimensi
antar kolom maupun dimensi detail pada kolom tersebut. Dengan demikian, golden ratio menjadi
basis ekspresi struktur pada Parthenon dalam menciptakan visual yang seimbang dan konsisten
melalui teknik repetisi kolom. Hal itulah menjadi poin estetika dari bangunan Parthenon.
Gambar 2. Golden Ratio pada fasad Parthenon. Sumber: (Zen & Vanderdonckt, 2014)
Penerapan matematika dalam seni dan arsitektur berperan dalam mencapai keteraturan dan
keseimbangan yang dinilai “estetik”. Namun, penerapan matematika tersebut dapat dialihkan
untuk menciptakan sesuatu yang lebih menarik, yaitu disorder. Daripada menggunakan
prinsip-prinsip desain untuk mencapai keteraturan, mengapa kita tidak menggunakannya untuk
mencapai ketidakteraturan? Ketidakteraturan atau disorder menimbulkan faktor ketidakpastian
dalam sebuah desain (Verbeeck, 2006). Hal tersebut dapat menimbulkan elemen yang tidak
disengaja dan dapat berkontribusi dalam hasil akhir desain tersebut dan membuatnya lebih
menarik. Ketidakaturan yang dimaksud disini bukan serta merta randomness yang benar-benar
random. Namun, ketidakaturan yang sebenarnya didasari dan dimunculkan dari aturan-aturan
sederhana (Belmonte et al., 2014).
Chatin dalam Belmonte et al. (2014) menjelaskan bahwa, dari sudut pandang matematis,
keacakan atau randomness dapat terbentuk dengan properti dari algoritmanya. Chaitin dalam
Belmonte et al. (2014) mengatakan “sesuatu itu acak jika secara algoritma tidak dapat
dimampatkan atau tidak dapat direduksi,”. Oleh karena itu, “keacakan secara visual” bukan suatu
hal yang asal atau tanpa makna, tetapi suatu hal yang mengandung pola yang berasal dari logika
serta dapat dicapai dengan proses yang teratur dan terhitung (Verbeeck, 2006). Verbeeck
mengatakan bahwa ketidakaturan dan keacakan seharusnya bukan dianggap sebagai suatu hal
yang kehilangan kontrol, tetapi sebagai elastisitas dalam sebuah proses desain. Keadaan acak dan
tidak teratur memaksa perancang untuk menginterpretasi ulang tiap asumsi dalam tahapan
desainnya sehingga dapat memunculkan inovasi baru dalam bentuk visual dan solusi yang
mungkin belum terpikirkan sebelumnya (Verbeeck, 2006).
Ketidakaturan dalam sebuah desain menjadi penting dalam meningkatkan nilai estetika sebab
dapat menambah kompleksitas karya tersebut. Tilburg & Krpan (2022) menyatakan bahwa
penilaian kecantikan ditentukan oleh interaksi randomness dengan kompleksitas sebab
memperlihatkan sebuah kualitas estetika pada yang melihat. Kualitas estetika tersebut dapat
meningkat karena kompleksitas yang hadir dari keacakan elemen desain sehingga dapat
memperkaya penerapan prinsip-prinsip desain yang disebutkan sebelumnya. Dengan keacakan
dan frekuensi keacakan (kompleksitas) pada desain tersebut akan meningkatkan keragaman dan
menekankan keunikan gaya dan komposisi desain (Tilburg & Krpan, 2022).
Bentuk ketidakteraturan lainnya adalah asimetri. Asimetri menjadi hal esensial dalam dunia
sains, terutama bidang fisika, biologis, dan biokimia (McManus, 2005). Namun, dalam dunia
seni dan desain, asimetri yang berlebihan bisa tampak seperti kekacauan. Agar asimetri desain
yang diharapkan memiliki nilai estetika tinggi, harus didasari oleh simetri yang jelas. McManus
(2005) berargumen bahwa asimetri bila digunakan dalam seni digunakan untuk “membumbui”
simetri agar menciptakan hasil yang lebih dinamis. Hal ini memperlihatkan kembali bahwa
asimetri atau keacakan desain pada intinya harus mempunyai dasar aturan yang mengontrol agar
desain tidak berujung chaotic. Salah satu metode yang memunculkan asimetri dari simetri adalah
dengan menguraikan elemen-elemen simetri yang sudah ada. Hal itu akan meningkatkan
persepsi kompleksitas dan kualitas sehingga dapat menjadi nilai plus dalam estetika (Gartus &
Leder, 2013). Elemen-elemen baru yang muncul setelah penguraian pada simetri dapat
menghidupkan kembali desain yang terlalu monoton dan menciptakan keseimbangan yang lebih
dinamis.
Jika ditinjau dari aspek interior, pengelompokan struktur secara asimetris membuat
pengelompokan yang tidak terlalu kaku sehingga menciptakan interior yang lebih terbuka dan
luas (Shapiro, 2006). Asimetri dalam kehadiran furnitur juga menghadirkan pemikiran yang
lebih terbuka, yaitu tidak mengharuskan adanya set furnitur lengkap pada tiap ruangan, tetapi
menyesuaikan sesuai kebutuhan (Shapiro, 2006). Oleh karena itu, asimetri berperan penting
dalam membentuk pemikiran dan proses inovatif dalam dunia seni, desain, dan arsitektur.
Dengan demikian, saya simpulkan bahwa disorder, randomness, dan asimetri dalam seni, desain,
dan arsitektur memiliki dapat berkontribusi untuk meningkatkan nilai estetika, kualitas yang
lebih baik, dan juga bersifat lebih inovatif baik secara visual pada hasil akhir maupun pemikiran
pada proses yang dilalui. Itu tidak berarti simetri tidak estetik atau harus ditinggalkan, tetapi
perlu dikembangkan agar tidak menghasilkan desain yang terlalu kaku dan monoton. Simetri
dapat menjadi basis fundamental untuk mengontrol keacakan desain tersebut. Teknik-teknik
seperti golden ratio, dynamic rectangle, dapat menjadi aturan sederhana yang mengembangkan
randomness dan asimetri dari sebuah desain.
References
Belmonte, M.-V., Millan, E., Ruiz-Montiel, M., & Badillo, R. (2014). Randomness and control in
design processes: An empirical study with architecture students. Design Studies, (35),
392-411. 1 http://dx.doi.org/10.1016/j.destud.2014.01.002
Carlson, S. C. (2023, March 23). Golden Ratio. Britannica. Retrieved April 5, 2023, from
https://www.britannica.com/facts/golden-ratio
Chapman, C. (2019). Breaking Down the Principles of Design (with Infographic). Toptal.
https://www.toptal.com/designers/gui/principles-of-design-infographic
Daley, K., & Bryant, H. (2015, January 21). A Brief History of the Elements and Principles of
http://westoshaart.blogspot.com/2015/01/a-brief-history-of-elements-and.html
Gartus, A., & Leder, H. (2013, July 19). The small step toward asymmetry: Aesthetic judgment
Golden Section in Art & Architecture | What Is the Golden Section? (2022, June 1). Study.com.
https://study.com/learn/lesson/golden-section-art-architecture.html
Huang, Y., Xue, X., Spelke, E., Huang, L., Zheng, W., & Peng, K. (2018, April 19). The aesthetic
Reports. 10.1038/s41598-018-24558-x
McManus, I. C. (2005). Symmetry and asymmetry in aesthetics and the arts. European Review,,
https://www.chicagotribune.com/news/ct-xpm-2006-09-10-0609100168-story.html
Tilburg, W. A. P., & Krpan, D. (2022, June). The aesthetic quality model: Complexity and
Zen, M., & Vanderdonckt, J. (2014, May). Towards an Evaluation of Graphical User Interfaces