Anda di halaman 1dari 4

PELET

Acara pernikahan Hendra dan Mardiyani begitu meriah. Bagaimana tidak? Mardiyani adalah
putri semata wayang dari juragan sawit terkaya di kampung. Segala permintaan gadis itu selalu
dituruti oleh kedua orang tua, bahkan termasuk meminta acara resepsi pernikahan yang megah
ini.

Tenda indah membentang sepanjang jalan kampung, suara sound system’ menggelegar bak
panggung kampanye. Para biduan menari dan bernyanyi menghibur tamu undangan.

Ijab telah terlaksana, Mardiyani kini resmi menjadi nyonya Hendra. Pemuda miskin yang entah
bagaimana bisa mendapatkan Mardiyani, kembang desa yang menjadi incaran tiap pemuda.

Hendra tersenyum simpul, bahagia rasanya mendapatkan gadis impian. Cita-cita yang selama
ini ia damba, tak perlu bekerja keras untuk mendapatkan harta, hanya butuh sedikit kegilaan,
dan berani bersekutu dengan makhluk lain dari golongan Jin.

Pelet, guna-guna mujarab yang kini sudah sukses memikat Mardiyani dan harta Bapaknya tentu
saja. Ia akan jadi pewaris kerajaan sawit Bapak mertua.

Tamu undangan berdecak kagum. Duduk bersanding di atas panggung, pasangan ganteng dan
ayu. Sementara beberapa barisan para mantan hanya bisa menggigit jari, melihat Mardiyani
telah dipersunting pemuda yang luput dari perhitungan.

“Mas Hendra, aku lapar Mas,” ucap Mardiyani pada Hendra.

Mereka terlihat duduk bahagia di atas kursi pengantin yang megah bak ratu dan raja.
“Sabar dek Yan, tunggu acara selesai dulu.”

“Tapi aku laper banget, Mas.”

“Yasudah, tunggu sebentar, Dek.”

Hendra memanggil satu orang pelandang, meminta padanya untuk mengambilkan satu piring
nasi dan lauk pauk. Pelandang itupun bergegas turun panggung dan menuju ke meja katering
yang berjejer.

Pelandang wanita itu kembali dengan satu piring makanan. Lalu menyerahkannya pada Hendra.

“Ini, Dek. Makanlah, biar nggak laper lagi.”

Mardiyani menerima nasi di atas piring tersebut. Sejenak gadis itu menatap lauk pauk yang
sudah tercampur, mengambil sendok lalu membolak-balikan daging gulai. Keningnya berkerut
sejenak, seakan ia mendapati sesuatu di atas makananya.

“Apa ini?” Mardiyani masih bermain dengan sendok, melihat lebih jelas tumpukan irisan daging
gulai itu. Seketika ia berteriak histeris, manakala mendapati hewan menyerupai cacing
bergerak-gerak diantara daging gulai tersebut.

“Mas! Ada cacingnya!”

Mardiyani tak kuasa menahan mual yang tiba-tiba menyeruak dari perut. Ia pun memuntahkan
isi perutnya di atas panggung.
“Dek, kamu kenapa?”

“Ada cacing makananya, Mas. Ueek!”

“Hah! Cacing? Mana?”

Hendra memilah daging gulai yang ada di piring itu, namun tak ia jumpai cacing yang di maksud
Mardiyani.

Sementara teriakan Mardiyani membuat biduan menghentikan nyanyianya, lalu disusul riuh
gemuruh para tamu undangan. Lekas tanpa menunggu komando, mereka melihat ke arah piring
masing-masing yang tengah mereka santap.

Penjaga kateringpun tak ayal menjadi sibuk. Mereka memeriksa semua hidangan yang tertata di
atas meja.

“Mana cacing, Dek? Nggak ada kok! Nih Mas makan nih..” Hendra mengambil satu daging gulai
kambing, lalu memasukannya ke dalam mulut. Sesaat ia mengunyah, namun ia tersentak saat
Mardiyani berteriak lebih histeris ketika gadis itu melihat ke arah dirinya.

“Aaaaa!”

Wanita itu pingsan seketika, entah apa yang di lihatnya.

Belum tuntas rasa heran dari raut wajah Hendra, ia di kejutkan oleh bunyi piring berjatuhan.
Benar, piring itu berasal dari tangan para tamu undangan, yang seketika membuang makanan
mereka, begitu tahu dalam makanan itu, hewan-hewan kecil menggeliat diantara kuah dan
makanan. Belatung dan cacing, menari diantara tumpukan nasi dan daging.

Hendra berhenti mengunyah daging gulai kambing yang tak lagi lezat, dengan raut wajah
ketakutan, ia teringat akan satu hal. Wejangan dari seseorang yang ia sebut Eyang.

Daging kambing adalah pantangan untuk ia makan. Jika ia langgar, pengaruh Peletnya akan
hilang, dan yang akan terjadi adalah peristiwa yang mengerikan.

Anda mungkin juga menyukai