Anda di halaman 1dari 4

1.

Sejarah Kelam Lumpur Lapindo Sidoarjo Yang


Menyembur 17 Tahun Silam

Pada akhir Mei ini, tepatnya pada 29 Mei 2006 berarti sudah 16 tahun berlalu sejak
pertama kali Lumpur Lapindo dari tanah wilayah Timur Jawa menyembur. Semburan lumpur
itu berasal dari Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur di lokasi pengeboran gas
milik PT Lapindo Brantas, di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Penyebab terjadinya
semburan gas disertai lumpur panas hingga kini masih misterius.

Muncul sejak subuh Dari arsip pemberitaan Harian Kompas (30/5/2006), warga Desa
Siring, kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang tinggal 150 meter dari
lokasi, mengaku gas mulai muncul sejak pukul 06.00 WIB. Namun, sesungguhnya lumpur
bersuhu 60 derajat celcius dan gas itu mulai menyembur sejak subuh, pukul 04.30 WIB di
tengah areal persawahan desa. Dua warga dilaporkan keracunan akibat mengirup gas yang
diketahui mengandung hidrogen sulfida itu. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang ada
desa itu pun diliburkan selama 2 hari akibat kejadian ini.

A. Penyebab Masih Misterius


Penyebab terjadinya semburan gas disertai lumpur panas hingga kini masih misterius.
Informasi yang didapat simpang siur, bahkan bertolak belakang. Dikutip dari Kompas.id
(29/5/2021), seorang mekanik PT Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor pengeboran,
mengatakan, semburan gas disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Saat di
kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dan akan diangkat untuk ganti rangkaian, bor
tiba-tiba macet. Gas tak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, dan
menekan ke samping, akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa.

B. Pipa selubung
Dari dokumen yang diterima Kompas, yang ditujukan kepada Lapindo Brantas Inc,
pada 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, PT Lapindo Brantas sudah diingatkan
soal pemasangan casing atau pipa selubung oleh rekanan proyek. Pipa sudah harus dipasang
sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas
atau minyak) di kedalaman 2.804 meter.

Lapindo sebagai operator proyek belum memasang casing berdiameter 9 5/8 inci pada
kedalaman 2.590 meter. Pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan.
Menanggapi hal itu, Wakil Presiden PT Lapindo Brantas Bidang General Affairs Yuniwati
Teryana membuat pernyataan tertulis. Isinya, sesuai dengan program pengeboran yang
disetujui, pipa 9 5/8 inci akan dipasang 15-20 kaki (4,5-6 meter) di dalam formasi Kujung,
sekitar 8.500 kaki. Dengan pengalaman pengeboran sumur terdekat, sumur Porong-1,
menurut Yuniwati, casing 50 kaki di atas formasi Kujung menimbulkan masalah loss and kick
yang sulit diatasi. ”Kedalaman lapisan batuan tidak bisa diprediksi tepat. Karena itu,
penentuan kedalaman pipa sangat ditentukan oleh tekanan aktual formasi dan kondisi lubang
saat itu,” kata Yuniwati. Dia menjelaskan, beberapa kali mengecek dan belum juga sampai ke
formasi Kujung, pengeboran diteruskan ke 2.667 meter. Formasi Kujung tetap belum ketemu.
Survei kedalaman dengan check shot dilakukan di 2.667 meter. Hasilnya tak jelas.Dari
interpretasi seismik, diduga formasi Kujung ada di 2.682 meter, 2.865 meter, bahkan paling
mungkin 2.926 meter. Hingga 2.804 meter tetap belum ketemu. Mempertimbangkan kondisi
lubang saat itu, diputuskan terus mengebor hingga menembus formasi Kujung, hingga 2.865
meter—mempertimbangkan kick tolerance pengeboran maksimum. ”Namun, pada 2.833
meter telah terjadi loss,” ujar Yuniwat.

C. Upaya Menghentikan Semburan


Perusahaan berupaya untuk menghentikan kebocoran gas yang diduga akibat runtuhnya
dinding sumur bagian dalam ini dengan cara menginjeksi lumpur berat ke dalam sumur.
Namun, upaya itu tak mnendatangkan hasil yang optimal. Sumur pengeboran terus
menyemburkan material panas dari dalam Bumi. Lumpur terus dimuntahkan, hingga meluas
ke area di sekitarnya. Mencegah semburan lumpur membanjiri pemukiman warga,
dibangunlah tanggul-tanggul penahan dari material tanah yang dikerjakan menggunakan
eskavator dan alat-alat berat lainnya. Lumpur yang tak kunjung berhenti menyembur
menyebabkan beberapa kali tanggul mengalami jebol di sana-sini, karena tak kuat menahan
tekanan yang ada. Tak pelak, lumpur yang tertampung pun tumpah menerjang pemukiman
warga. Tidak hanya membanjirinya, namun menenggelamkannya. Salah satu kejadian tanggul
jebol terjadi pada 10 Agustus 2006.

D. 5.680 jiwa mengungsi


Tanggul penahan lumpur setinggi 3 meter di Desa Siring jebol sepanjang 15 meter.
Akibatnya, 750 rumah warga tergenang, 5.680 jiwa diungsikan, dan jalur kereta api
Surabaya-Malang juga Surabaya-Banyuwangi tertutup. Hingga saat ini, tidak ada yang bisa
memastikan kapan lumpur yang berasal dari kedalaman 2.734 meter itu akan berhenti
menyembur. Mengutip arsip Harian Kompas (19/6/2006), dalam 21 hari kejadian saja sudah
90 hektar lahan yang terdiri dari sawah, tambak, juga permukiman, sudah rerendam lumpur
sedalam 1-6 meter. Ketika itu, General Manager PT Lapindo Brantas, Imam Agustino
menyebut setiap harinya, sekitar 5.000 meter kubik lumpur dimuntahkan. Bagaimana dengan
hari ini, ketika lumpur sudah menyembur selama 15 tahun hingga membentuk bagian
menyerupai kawah yang aktif mengeluarkan asap, di antara hamparan luapan lumpur yang
telah mengering.

Tangkapan layar dari citra Google Maps di atas dapat membantu kita mengetahui
seberapa luas area yang telah ditelan oleh lumpur panas ini. Untuk menangani bencana ini,
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terus
menggelontorkan anggaran dalam jumlah yang tidak sedikit. Dikutip dari Kompas.com
(8/6/2020), dianggarkan dana sebesar Rp 239,7 miliar untuk penanganan lumpur ini. Dana
itu, di antaranya digunakan untuk optimalisasin lumpur ke Kali Porong juga menjaga
keandalan tanggul dan infrastruktur penopang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai