Anda di halaman 1dari 3

NAMA : DITA PUTRI PURWANINGSIH

NIM : H75219022

MATA KULIAH : ETIKA PROFESI

PRODI : TEKNIK LINGKUNGAN

Contok Kasus Pelanggaran Kode Etik Insinyur : Kasus Lumpur Lapindo

a. Kronologi Terjadinya Semburan Lumpur Lapindo

Lumpur Lapindo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas wilayah pengeboran Lapindo
Brantas di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur
sejak 29 Mei 2006. Peristiwa lumpur lapindo ini menjadi tragedi ketika lumpur panas mulai menggenangi
areal pemukiman penduduk, persawahan serta kawasan industri. Peristiwa ini terjadi disebabkan oleh
beberapa aspek. Aspek pertama yaitu aspek ekonomis PT Lapindo ini melakukan pengeboran sumur
banjar panji pada awal maret 2006.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8.500 kaki atau 2.590 meter
untuk mencapai batu gamping. Namun pada saat mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3.580 kaki
sampai ke 9.297 kaki ternyata adanya kekurangan dalam pemasangan casing 9 5/8 inci dimana
pemasangan casing ini akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi kalibeng bawah dengan
formasi kujung. Akibatnya menyebabkan kebocoran lumpur panas dengan volume yang diperkirakan
sekitar 5.000 hingga 50.000 meter 3/hari. Aspek kedua yaitu aspek teknis dimana pemicu dari semburan
diduga adanya pengaruh gempa tektonik yang mengakibatkan kerusakan sedimen. Serta aspek ketiga
yaitu aspek politik dimana pemerintah menggunakan otoritasnya sebagai penguasa kedaulatan atas
sumber daya alam memberikan kontrak izin sebagai legalitas usaha kepada Lapindo. Sehingga dampak
dari kebocoran ini membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat sekitar maupun bagi sektor
perekonomian. Lumpur Lapindo juga memberikan genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman
sehingga menyebabkan dievakuasinya orang lebih dari 8.200 jiwa, 1.683 rumah masyarakat sekitar juga
rusak, area pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha serta terhambatnya ruas jalan tol
Malang-Surabaya.

Berdasarkan sejumlah kerugian yang dialami masyarakat PT Lapindo menjanjikan ganti rugi.
Namun menurut surat putusan Nomor 83/PUU-X1/2013 menyatakan “perusahaan PT Lapindo Brantas
memang tidak mampu membayar, dikarenakan kemampuan perusahaan hanya Rp 100.000.000.000,-.
Selain itu Mahakamah Tinggi sudah memutuskan bahwa semburan lumpur itu merupakan bencana
alam.

b. Pelanggaran Kode Etik Insinyur PT Lapindo Brantas


Menurut saya dari kasus yang saya tuliskan diatas mengenai dampak yang terjadi akibat lumpur
lapindo sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat yang tinggal didaerah dekat dengan
terdampaknya lumpur yakni masyarakat Sidoarjo. Misalnya saja dampak yang terjadi akibat lumpur
lapindo ialah banyak rumah-rumah warga yang tergenang lumpur, kantor kator ditutup, rusaknya
lingkungan dan sekolah diliburkan. Hal ini membuat masyarakat kesusahan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari sehingga segala aktivitas yang harusnya berjalan sesuai dengan rencana dan kebiasaannya
maka harus terhambat dikarenakan kasus semburan lumpur ini.

Dari kasus semburan lumpur ini menurut saya ada beberapa pelanggaran kode etik yang dilakukan
dari engineer.

1. Undang-Undang Tentang Keinsinyuran Pada Bab I Pasal 1


yang berbunyi “ Keinsinyuran adalah kegiatan teknik denggan menggunakan kepakaran dan
keahlian berdasarkan pengguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meninggkatkan nilai
tambah dan daya guna secara berkelanjutan dengan memperhatikan keselamatan, kesehatan,
kemaslahatan, serta kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.”
2. Catur Karsa
“ Menggunakan pengetahuan dan kemampuanya untuk kepentingan kesejahteraan umat
manusia “
3. Sapta Dharma
“ Insinyur Indonesia senantiasa menggutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat”

Hal ini dapat dibuktikan pada penggalan kalimat “Sehingga dampak dari kebocoran ini
membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat sekitar maupun bagi sektor perekonomian.
Lumpur Lapindo juga memberikan genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman sehingga
menyebabkan dievakuasinya orang lebih dari 8.200 jiwa, 1.683 rumah masyarakat sekitar juga rusak,
area pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha serta terhambatnya ruas jalan tol
Malang-Surabaya”

Dimana sudah dijelaskan pada UU tentang keinsinyuran, Catur Karsa, Sapta Dharma bahwa
seorang insinyur harus mementingkan kepentingan kesejahteraan manusia serta keselamatan kesehatan
manusia. Namun dalam hal ini malah berkebalikan dengan UU, Catur Karsa dan Sapta Dharma yang
sudah ditetapkan.

4. Undang-Undang Tentang Keinsinyuran Pada Bab II Pasal 2

Pengaturan keinsinyuran berdasarkan pancasila dan berasaskan :

a. profesionalitas;

b. integritas;

c. etika;
d. keadilan;

e. keselarasan;

f. kemanfaatan;

g. keamanan dan keselamatan;

h. kelestarian lingkungan hidup; dan

i. keberlanjutan

Dimana hal ini dibuktikan dalam kalimat “Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga
kedalaman 8.500 kaki atau 2.590 meter untuk mencapai batu gamping. Namun pada saat mengebor
lapisan bumi dari kedalaman 3.580 kaki sampai ke 9.297 kaki ternyata adanya kekurangan dalam
pemasangan casing 9 5/8 inci dimana pemasangan casing ini akan dipasang tepat di kedalaman batas
antara formasi kalibeng bawah dengan formasi kujung. Akibatnya menyebabkan kebocoran lumpur
panas dengan volume yang diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50.000 meter 3/hari” dan “Berdasarkan
sejumlah kerugian yang dialami masyarakat PT Lapindo menjanjikan ganti rugi. Namun menurut surat
putusan Nomor 83/PUU-X1/2013 menyatakan “perusahaan PT Lapindo Brantas memang tidak mampu
membayar, dikarenakan kemampuan perusahaan hanya Rp 100.000.000.000,-. Selain itu Mahakamah
Tinggi sudah memutuskan bahwa semburan lumpur itu merupakan bencana alam”

Menurut saya kalimat tersebut melanggar pasal 2(a) karena perusahaan tersebut tidak professional
dalam bekerja karena PT Lapindo dalam membuat perencanaa pengeboran tersebut salah sehingga
mengalami kegagalan karena tidak sesuai dengan standar keinsinyuran yang benar, dan akibatnya
kelestarian lingkungan hidup menjadi tercemar. Selain itu PT Lapindo juga melanggar pasal 2(d) tentang
keadilan, bagaimana pun juga seharusnya PT Lapindo bisa bersikap adil dikarenakan masih banyak
masyarakat yang belum menerima ganti rugi dari dampak pengeboran ini. Setidaknya walaupun
memang hanya mampu ganti rugi sejumlah Rp 100.000.000.000,- dana ganti rugi tersebut bisa dibagi
rata tidak bisa langsung diputuskan bahwasanya semburan lumpur lapindo ini merupakan bencana alam
saja.

Anda mungkin juga menyukai