Anda di halaman 1dari 7

SOSIOLOGI

KEKERASAN STRUKTURAL

2019
Anggota :
1. Amelia Dwi Zaharani
2. Anida Putri K
3. Dita Indah Cahya
4. Tias Handayani

KELOMPOK 7
Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo Tak Bisa Dipidana
Utami Diah Kusumawati, CNN Indonesia
Jumat, 29/05/2015 18:32

Pusat semburan lumpur Lapindo dan daerah terdampaknya. (Dok. BPLS)

Jakarta, CNN Indonesia -- Sembilan tahun berlalu sejak semburan lumpur pertama kali
muncul di posisi 200 meter barat daya sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc. pada
29 Mei 2006. Semburan lumpur terus meluas dan menenggelamkan puluhan ribu rumah,
sekolah, kantor pemerintahan, masjid, pabrik, serta sawah penduduk.

Namun tak ada satu pun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang
terkena jeratan hukum. Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai
dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Putusan bahwa kasus Lapindo terjadi akibat bencana alam itu, menurut Deputi
Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian Kehutanan dan Lingkungan
Hidup Karliansyah, membuat tindak pindana tak bisa dijeratkan atasnya.

"Kami punya UU yang mengatur tentang kejahatan korporasi di bidang lingkungan, baik
sengaja atau tidak sengaja. Namun jika sebuah kasus sudah ditetapkan pemerintah sebagai
bencana alam, aturan pidana menjadi gugur," kata Karliansyah kepada CNN Indonesia,
Jumat (29/5).

Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo, Kepolisian Daerah Jawa Timur pernah menetapkan 13
tersangka, yakni dari pihak PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medici Citra Nusa, PT Tiga
Musim Mas Jaya, dan Lapindo Brantas. Namun penyidikan tersebut dihentikan pada
Agustus 2009.

Sebulan kemudian, September 2009, Sidang Paripurna DPR mengukuhkan penyebab


semburan Lapindo ialah faktor bencana alam. Dengan demikian, tak ada satupun individu
atau institusi dalam Lapindo yang bisa dipidanakan.
Muhammad Yunus, Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana Kementerian Kehutanan dan
LH, menyatakan jika sebuah kasus sudah ditetapkan sebagai bencana alam, maka tugas
institusinya ada pada sektor pembinaan. "Kami mencari tahu harus diapakan agar dampak
lingkungannya tidak makin besar. Misalnya dengan dipasang tanggul atau upaya perbaikan
lingkungan lainnya," kata dia.

Jika sebuah kasus tidak diputuskan sebagai bencana alam, barulah institusinya bisa
memidanakan korporasi dan individu yang terlibat dalam kasus pencemaran lingkungan,
baik sengaja maupun tak disengaja. "Aturan itu tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116 ayat 1," ujar Yunus.

Yunus mengutip bunyi UU tersebut, yakni "Apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk,
atau, atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada a.
badan usaha dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut."

"Misalnya kasus kebakaran hutan. Tidak ada pernyataan itu bencana alam, maka bisa
dijatuhkan pidana dengan UU ini," ujar Yunus.

Menurut Yunus, setiap perusahaan pertambangan sebenarnya sudah mendapat informasi


mengenai dampak risiko dan langkah pengeboran setiap hendak memulai kegiatan
pertambangan. "Maka kejadian seperti lumpur Lapindo ini sebenarnya bisa diminimalisasi
dampaknya jika perusahaan tidak mengabaikan klausul dalam izin tersebut," kata dia.

Misalnya mengenai kapasitas pipa penyaluran yang memuat maksimal 100 meter kubik per
jam, Kementerian akan memberikan izin hanya pada angka 75 atau 80 meter kubik per jam.
"Itu untuk menjaga dari risiko. Tapi apakah perusahaan menaati klausul itu? Makanya bisa
terjadi gesekan di pipa yang menyebabkan kebocoran berlanjut-lanjut," kata dia.
Penyebab Lumpur Lapindo
Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadinya luapan lumpur lapindo, seperti kaitannya
dengan gempa Yogyakarta yang berlangsungpada hari yang sama, aspek politik yaitu eksplorasi
migas oleh pemerintah,dan aspek ekonomis yaitu untuk menghemat dana pengeluaran, maka PT
Lapindo sengaja tidak memasang casing pada sumur BPJ-1.

Salah satu dari ketiga perkiraan yang sudah umum diketahui banyak orang tentang penyebab
meluapnya lumpur lapindo di Porong Sidoarjo 29 Mei 2006 lalu adalah PT Lapindo Brantas yang
waktu itu sedang melakukan kegiatan di dekat lokasi semburan.

Kegiatan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas waktu iu adalah pengeboran sumur Banjar Panji-1
(BPJ-1) pada awal maret 2006, kegiatan tersebut bekerjasama dengan perusahaan kontraktor
pengeboran yaitu PT Medici Citran Nusantara.

Dugaan atas meluapnya lumpur tersebut kepada PT Lapindo Brantas adalah kurang telitinya PT
Lapindo dalam melakukan pengeboran sumur dan terlalu menyepelekan. Dua hal tersebut sudah
tampak ketika rancangan pengeboran akhirnya tidak sesuai dengan yang ada dilapangan. Rancangan
pengeboran adalah sumur akan dibor dengan kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk bisa mencapai
batu gamping. Lalu sumur tersebut dipasang casing yang bervariasi sesuai dengan kedalaman
sebelum mencapai batu gamping.

Awalnya, PT Lapindo sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, 20 inchi pada
1195 kaki, 16 inchi pada 2385 kaki dan 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Namun setelah PT Lapindo
mengebor lebih dalam lagi, mereka lupa memasang casing. Mereka berencana akan memasang casing
lagi setelah mencapai/menyentuh titik batu gamping. Selama pengeboran tersebut, lumpur yang
bertekanan tinggi sudah mulai menerobos, akan tetapi PT Lapindo masih bisa mengatasi dengan
pompa lumpur dari PT Medici.

Dan setelah kedalam 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. PT Lapindo mengira
target sudah tercapai, namun sebenarnya mereka hanya menyentuh titik batu gamping saja. Titik batu
gamping itu banyak lubang sehingga mengakibatkan lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur
dari bawah sudah habis, lalu PT Lapindo berusaha menarik bor, tetapi gagal, akhirnya bor dipotong
dan operasi pengeboran dihentikan serta perangkap BOP (Blow Out Proventer) ditutup. Namun fluida
yang bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sehingga fluida tersebut harus mencari jalan lain
untuk bisa keluar. Itu lah yang menyebabkan penyemburan tidak hanya terjadi di sekitar sumur
melainkan di beberapa tempat. Oleh karena itu terjadilah semburan lumpur lapindo.
Dampak Lumpur Lapindo
Akibat/dampak yang ditimbulkan dari semburan lumpur lapindo sangatlah banyak, terutama bagi
warga sekitar. Dampak yang ditimbulkan menyangkut beberapa aspek, seperti dampak sosial dan
pencemaran lingkungan.

Ada beberapa dampak sosial yang terjadi akibat luapan lumpur lapindo, misal dampak terhadap
perekonomian di Jawa Timur, dampak kesehatan, dan dampak pendidikan.

Dampak pada perekonomian mengakibatkan PT Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya


mengeluarkan dana untuk mengganti tanah masyarakat dan membuat tanggul sebesar 6 Triliun
Rupiah. Tinggi genangan lumpur yang mencapai 6 meter di pemukiman warga sudah membuat warga
rugi atas rumah/tempat tinggal, lahan pertaniannya dan perkebunan yang rusak. Pabrik-pabrik pun
rusak tidak bisa difungsikan untuk proses produksi, sarana dan prasarana (jaringan telepon dan listrik)
juga tidak dapat berfungsi, serat terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang mengakibatkan
aktivitas produksi dari Mojokerto dan Pasuruan yang selama ini menjadi salah satu kawasan industri
utama di Jawa Timur.

Gas Metana yang beracun tersebut banyak menyebabkan penyakit bagi warga yang menghirupnya.
Tercatat dampak kesehatan di Puskesmas Porong menunjukkan banyaknya penderita infeksi saluran
pernafasan yang semakin meningkat sejak 2006 lalu hingga mencapai 52.543 orang di 2009. Dan juga
penderita gastritis melonjak hingga 22.189 orang di 2009 yang sebelumnya tercatat 7.416 di 2005.

Untuk masalah pendidikan, ada 33 sekolah tenggelam dalam lumpur dan sampai Juni 2012 belum ada
sekolah yang dibangun sebagi pengganti. Akhirnya pendidikan yang harusnya dirasakan oleh pelajar
harus terbengkelai.

Dampak berikutnya adalah pencemaran lingkungan, dampak ini sebenarnya sudah berhubungan
dengan dampak-dampak yang lain, dampak kesehatan misalnya. Dari lingkungan yang lama setelah
semburan lumpur tak tertanggulangi akan menimbulkan pencemaran yang luar biasa. Pencemaran ini
sungguh merugikan sekali, karena lingkungan yang sangat berdampak dengan aktivitas manusia harus
punah dan tidak bisa digunakan lagi.

Dampak-dampak yang timbul telah lama dimintai pertanggungjawaban oleh warga. Namun warga
belum merasakan ganti rugi oleh PT Lapindo serta tindakan pemerintah atas meluapnya lumpur panas
tersebut. Akhirnya perpecahan mulai muncul antara pemerintah, PT Lapindo Brantas dan warga
korban lumpur lapindo.
Solusi
Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur lapindo adalah dengan membangun
tanggul desekitar luapan lumpur panas itu. Namun tanggul yang dibangun bisa sewaktu-waktu jebol
karena lumpur setiap hari terus meluap naik. Hingga akhirnya direncanakan akan membangun
beberapa waduk untuk membendung lumpur tersebut. Namun rencana tersebut batal tanpa sebab yang
jelas.

Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa luapan lumpur bisa diatasi dengan melakukan beberapa
skenario, namun hingga 2009 luapan tidak bisa dihentikan yang artinya luapan ini adalah fenomena
alam yang akan susah ditanggulangi tanpa ijin Tuhan.

Beberapa skenario yang dikatakan diatas antara lain :

1. Menggunakan suatu sistem yang disebut Snubbing Unit yaitu sistem peralatan bertenaga
hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan di dalam sumur yang sudah ada.
Rencananya Snubbing Unit digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor yang tertinggal
didalam sumur, jika mata bor ditemukan maka bor tersebut akan didorong masuk kedalam
sumur lalu dasar sumur akan dututp dengan semen dan lumpur berat. Tetapi rencana ini gagal
karena bor gagal didorong masuk kedalam sumur.
2. Rencana pengeboran miring menghindari mata bor yang tertinggal.Namun rencana ini juga
gagal hingga akhirnya sumur BPJ-1 ditutup secara permanen.
3. Pembuatan sumur-sumur baru di sekitar sumur BPJ-1. Ada tiga sumur yang dibangun, yaitu
sumur
pertama dibangun sekitar 500 meter barat daya sumur BPJ-1, sumur kedua dibangun sekitar
500 meter barat laut sumur BPJ-1, dan sumur ketiga dibangun sekitar utara timur laut dari
sumur BPJ-1. Sumur-sumur tersebut digunakan untuk mengepung retakan-retakan tempat
keluarnya lumpur. Rencana ini gagal karena bermasalah dengan biaya yang begitu mahal dan
memakan waktu.
Kesimpulan
Kasus lumpur lapindo ini termasuk kekerasan strutural. Karena kejadian tersebut disebabkan oleh
suatu badan yang mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat sekitar.

Artikel di atas menyebutkan bahwa ‘’Semburan lumpur terus meluas dan menenggelamkan puluhan
ribu rumah, sekolah, kantor pemerintahan, masjid, pabrik, serta sawah penduduk.’’, dari kutipan
tersebut dapat diketahui bahwa kasus lumpur lapindo merugikan masyarakat.

Pada maksud kekerasan struktural itu sendiri adalah kekerasan yang melembaga. Maksudnya
kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya: diskriminasi dalam
pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggungjawab
negara, dimana tanggung jawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya
merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan.administrasi, melakukan pengaturan,
melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada pada sistem hukum pidana yang
berlaku.

Oleh karena itu, ketika suatu badan dan/atau individu melanggar peraturan dan menyebabkan bencana
yang merugikan masyarakat sekitar, maka hal tersebut termasuk kekerasan struktural.

Saran
Sebaiknya pemerintah lebih memperketat aturan agar pihak individu dan/atau suatu lembaga tidak
sewenang-wenang melakukan tindakan yang dapat merugikan masyarakat sekitar. Serta, kepada
setiap individu dan/atau suatu lembaga untuk sadar akan kepedulian terhadap orang lain dan alam
untuk tidak mementingkan keuntungan sendiri.

Anda mungkin juga menyukai