Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS TENTANG KORPORASI PADA KASUS PENCEMARAN TELUK BUYAT PT.

LAPINDO
BRANTAS BERDASARKAN UUPPLH DAN UULH

Sania Salsabila

S20191036

Pengertian lingkungan hidup dalam pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 32 tahun


2009, disebutkan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan serta makhluk hidup lainnya. Bahaya yang
senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari waktu ke waktu ialah “Pencemaran” dan
“Perusakan Lingkungan”. Orang sering mencapur adukkan antara pengertian pencemaran
dan perusakan lingkungan, padahal antara keduanya terdapat perbedaan, undang-undang
pun juga memperbedakan antara keduanya.

Pengertian dari pencemaran lingkungan sendiri adalah masuk atau dimasuknya


makhluk hidup, zat, energi, dan komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1 ayat 14).
Sedangkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat
fisik, kimia, dan hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk
dapat tetap melestarikan fungsinya (Pasal 1 ayat 15). 1 Perbedaan itu memang tidak prinsipil
karena setiap orang melakukan perusakan lingkungan otomatis juga melakukan pencemaran
dan sebaliknya. Bedanya hanya terletak pada intensitas perbuatan yang dilakukan terhadap
lingkungan dan kadar akibatnya yang diterima oleh lingkungan akibat perbuatan tersebut.

Kejahatan korporasi dalam pengertian gramatikal merupakan pelanggaran atau


tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Pengertian lain mengenai kejahatan
korporasi juga dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, Any criminal offense committed
by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees
(e.g., price fixing, toxic waste dumping),often referred to as “white collar crime”. Bahwa
kejahatan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi dan
karenanya dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau
karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), dan kejahatan ini sering juga
disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Korporasi sering kali digunakan para ahli hukum
pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata disebut
sebagai badan hukum. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar
suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan, dimana
terhadap badan ini diberi status sebagai subyek hukum, oleh karena itu subyek hukum
manusia (natuurlijk persoon). “Namun lembaga badan ini dianggap bisa menjalankan segala
tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus
1
Sri Hartati, Penegakan Hukum Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup Di Indonesia, Hukum dan Dinamika
Masyarakat Vol. 16 No. 1 Oktober 2018, hlm. 33
dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia
yang terhimpun di dalamnya”. Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih
berganti. Salah satunya pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo merupakan
beberapa kasus pencemaran atau perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi.

Tragedi Lumpur Lapindo terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi
suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman
penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan
sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti
kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar
biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. genangan
hingga setinggi 6 meter pada pemukiman, total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa,
rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit, area pertanian dan perkebunan
rusak hingga lebih dari 200 ha, lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas
produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang, tidak berfungsinya sarana pendidikan,
kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi, rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur
(jaringan listrik dan telepon), terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat
pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama
ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 27 Mei 2006 ini telah
mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara
dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan
terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain
mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius
juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar
semburan lumpur. Lingkungan fisik yang dimaksud diatas adalah untuk membedakan
lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini
mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap bahwa kerusakan lingkungan tersebut
sebagai awal krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg),
misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal
ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa
menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan
gangguan ginjal. Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir
lumpur tidak bisa dipandang sederhana. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan
perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan
sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi,
krisis sosial mulai mengemuka. Konflik sosial antar warga mulai muncul menyangkut biaya
ganti rugi, berbagai keresahan mulai muncul dengan adanya konspirasi penyuapan oleh
Lapindo, Rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi
pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran (menggunakan
snubbing unit) dan (pembuatan relief well) mengalami kegagalan horisontal. Berdasarkan
hal tersebut, timbulnya kerugian masyarakat, menimbulkan pertanyaan, “Apakah dalam
kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini telah terjadi tindak pidana kejahatan
korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya maka dilakukan sebuah studi penelitian
hukum normatif-kualitatif dan hasilnya menunjukkan bahwa dilihat dari aturan-aturan
hukum yang berlaku, Lapindo Brantas Inc. telah melakukan pelanggaran hukum tindak
pidana kejahatan korporasi.

Ada juga yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT
Lapindo di dekat lokasi itu. Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1
pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici
Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia,
Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta. Pada
awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk
mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor
(casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi
circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi
tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung. Sesuai dengan
desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki,
casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi
pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor
apisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang
casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi
Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki). Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak
awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang
salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona
Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di
zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang
casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak
ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih
berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi
Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa
lumpurnya Lapindo (Medici). Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh
batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka
hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous(bolong-bolong).
Akibatnya lumpur yang digunakan untuk

melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi
Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos
ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai
prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di
rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam
sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan
tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di
permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi
geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures)
yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke
atas melalui lubang sumur disebabkan.

Jika diamatii masalah lingkungan dengan mengaitkannya kepada 2 hal yang dapat
menggoncangkan keseimbangan lingkungan hidup, pertama adalah perkembangan
teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia. Revolusi industri adalah
awal dari keberlanjutan penemuan teknologi berupa mesin uap, dan hingga akhirnya
manusia dapat mendaratkan kakinya di bulan hingga masa kini. Kedua adalah ledakan
populasi penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran, maka
pertambahan ini tidak mengganggu terlalu banyak keseimbangan lingkungan, tetapi seperti
yang diketahui saat ini, perkembangan teknologi pula yang menjadikan ledakan penduduk.
Pertambahan ini tentu saja akan menambah unsur kehidupan yang lain, seperti misalnya
permintaan akan air minum, bahan makanan, lahan tempat tinggal, bahan bakar serta pada
akhirnya adalah penciptaan limbah rumah tangga dalam jumlah yang sangat besar pula.

Melihat fakta-fakta dilapangan serta bila dihubungkan dengan unsur-unsur


terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini korporasi tersebut
adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa pertambangan ekplorasi dan eksplotasi
migas di Blok Brantas Kec. Porong Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah
kesimpulan bahwa unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan
atau pun kelalaian. Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi
kedalam pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila dilakukan
karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam kejahatan lingkungan
hidup.

Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa pertanggungjawaban korporasi dalam


tindak pidana lingkungan hidup, diatur di dalam lima Pasal yakni Pasal 116 sampai dengan
Pasal 120 UU PPLH, yang selengkapnya menggariskan bahwa :

Pasal 116 :

1. tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha,
tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. usaha atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
2. tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak
dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Pasal 117 :

Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan
berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 118 :

Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi
pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
selaku pelaku fungsional.

Pasal 119 :

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha
dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana


b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha atau kegiatan
c. perbaikan akibat tindak pidana
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 120

1. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.

2. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e,


Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di
bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.

Mengenai tanggungjawab korporasi diatur dalam pasal 45 dan 46 UU PPLH yang


berbunyi sebagai berikut2 :

Pasal 45 :

2
Yudelmi, M. Chairul Idrah, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan
Hidup, Legalitas edisi Juni 2010 Vol. 1 Nomor 2, hlm. 182
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana
denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 46 :

1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas
nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan dan organisasi lain, tuntutan
pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum perserikatan, yayasan dan
organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk
melakukan tindakan pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas
nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan dan organisasi lain, dan
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum perseroan,
perserikatan, yayasan dan organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi
pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak
sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara
sendiri atau bersama-sama.
3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
dan organisasi lain, pengadilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat
panggilan itu ditujukan kepada pengurus ditempat tinggal mereka, atau ditempat
pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
dan organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakilioleh bukan pengurus, hakim
dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri ke pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai