Anda di halaman 1dari 17

SOAL UJIAN DIKLAT PEMBENTUKAN JAKSA

Mata Kuliah : Lingkungan Hidup


Hari/Tanggal : Kamis, 26 Agustus 2021
Kelas : XII
Angkatan : LXXVIII
Dosen: : Ade Adhari, S.H., M.H.
Sifat Ujian : Terbuka
Ruang : Zooms

Petunjuk Ujian:
1. Perhatikan berita dalam link dibawah ini:
https://regional.kompas.com/read/2019/12/20/20054921/2-orang-jaditersangka-
kasus-pembuangan-limbah-b3-di-karawang?page=all
2. Buatlah Legal Opinion terhadap isu hukum dalam berita diatas, dengan
ketentuan:
a. Minimal 3 halaman;
b. Jenis huruf Tahoma, 12;
c. Menggunakan referensi berupa peraturan perundang-undangan, putusan,
buku atau jurnal;
d. Tidak boleh copy paste karya orang lain; dan
e. Kumpulkan kepada ketua kelas, dan ketua kelas yang akan mengirimkan
seluruh email mahasiswa secara bersamaan ke email adea@fh.untar.ac.id

JAWABAN:
Jawaban ada di halaman selanjutnya.
PENDAPAT HUKUM
(LEGAL OPINION)

TENTANG

IMPLEMENTASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBUANGAN LIMBAH


BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) DI DESA DARAWOLONG
KECAMATAN PURWASARI KABUPATEN KARAWANG

Oleh:
DEWANGGA PUTRA SUNARTEDJO, S.H.
DIKLAT PPPJ (PENDIDIKAN PELATIHAN DAN PEMBENTUKAN JAKSA)
ANGKATAN 78
KELAS XII
NOMOR ABSEN 12

2021
A. PENDAHULUAN
1. Dalam kehidupan, lingkungan merupakan tempat tinggal bagi seluruh umat
manusia yang ada di muka bumi. Oleh karenanya, manusia diciptakan di muka
bumi ini untuk dijadikan sebagai khalifah, yakni tugasnya adalah untuk
mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi, mulai dari air, tanah,
tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Namun, perubahan zaman terus
berkembang, teknologi yang maju justru menjadi halangan untuk tetap
menjaga keasrian lingkungan. Adanya kemajuan teknologi ini menimbulkan
dampak pada lingkungan kita, salah satunya pada bidang industri yang banyak
memberikan kontribusi dalam pencemaran lingkungan hidup di Indonesia.
2. Bahwa antara manusia dan lingkungan hidupnya terdapat hubungan yang
dinamis. Perubahan dalam lingkungan hidup akan menyebabkan perubahan
dalam kondisi fisik maupun psikis manusia untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi yang baru. Perubahan dalam kondisi manusia ini selanjutnya akan
menyebabkan pula perubahan dalam lingkungan hidup. 1 Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa tidak hanya lingkungan yang dapat mempengaruhi
manusia, melainkan manusia pun menjadi faktor utama yang mempengaruhi
lingkungan, sehingga dibutuhkan kepedulian dari manusia terhadap
lingkungannya sendiri. Hal ini dilakukan demi memperoleh lingkungan yang
baik dan sesuai dengan kebutuhan manusia, sehingga hubungan yang dinamis
antara manusia dengan lingkungannya akan tetap terjaga dengan baik.
3. Hukum Lingkungan mencakup penataan dan penegakan hukum (compliance
and enforcement), yang meliputi bidang hukum pidana, hukum perdata dan
hukum administrasi negara. Secara terminologi istilah penataan mempunyai
arti tindakan preemtif, preventif dan proaktif. Penegakan mempunyai arti
tindakan represif. Apalagi diformulasikan antara preventif dengan represif
maka akan berwujud berupa sanksi. Pada hakekatnya hukum lingkungan lebih
menekankan pada nilai-nilai penataan hukum terhadap pelestarian fungsi
lingkungan hidup, dibandingkan pada nilai nilai penegakkan hukumnya. Nilai

1
A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal. 6-7.
nilai penataan hukum harus diberi bobot yang kuat dan harus dapat
diformalkan ke dalam peraturan perundang-undangan.2
4. Pemerintah melakukan tugasnya dalam bidang hukum lingkungan dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga manusia atau dalam hal ini
disebut sebagai masyarakat, diwajibkan untuk terus mengingat tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi. Munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tersebut tentunya dimaksudkan agar seluruh masyarakat menaati aturan
yang ada, sehingga muncul suatu penegakan hukum dalam bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dapat dimaknai bahwa
seluruh masyarakat wajib mengikuti perintah yang ada dalam undang-undang
dan akan memperoleh sanksi apabila melakukan pelanggaran terhadap
Undang-Undang tersebut.
5. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai substansi atau
isi dari Pasal 60 yang berbunyi “setiap orang dilarang melakukan dumping
limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin”, maka hal ini
berlaku bagi “setiap orang”, yakni baik individu maupun badan hukum yang
melakukan dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin. Menurut
Pasal 61 ayat (1), izin tersebut dapat diperoleh dengan mengajukan
permohonan izin kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota berdasarkan
kewenangannya.
6. Kegiatan dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan,
dan / atau memasukkan limbah dan / atau bahan dalam jumlah, konsentrasi,
waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan
hidup tertentu.
7. Untuk mengkaji lebih lanjut terkait pembuangan limbah bahan berbahaya dan
beracun (b3) di Desa Darawolong Kecamatan Purwasari Kabupaten Karawang,
perlu dikaitkan juga pada peraturan pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

2
Amirudin A. Dajaan Imami, dkk, Asas Subsidaritas: Kedudukan dan Implementasi dalam Penegakan Hukum
Lingkungan (PP-PSL FH UNPAD dan Bestar 2009).
8. Dalam kasus pembuangan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) yang
terjadi di Desa Darawolong Kecamatan Purwasari Kabupaten Karawang,
terdapat 2 (dua) orang tersangka yaitu SI sebagai Koordinator Lapangan
Pembuangan Limbah dan NH sebagai Direktur Perusahaan tersebut yang telah
membuang limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) jenis lumpur beracun
(sludge) ke media lingkungan.

B. URAIAN FAKTA
1. Pada tanggal 24 bulan Oktober Tahun 2019 Unit Tipiter (Tindak Pidana
Tertentu) Sat Reskrim Polres Karawang yang dipimpin oleh Kepala Satuan
Reskrim Polres Karawang AKP Bimantoro Kurniawan telah melakukan tangkap
tangan terhadap 5 (lima) sopir yang mengendarai Truck Cloth Diesel
pengangkut limbah yang hendak membuang limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun (B3) di lokasi perumahan di Desa Darawolong Kecamatan Purwasari
Kabupaten Karawang.
2. Peristiwa tertangkap tangan tersebut berawal dari pengintaian Unit Tipiter
(Tindak Pidana Tertentu) Sat Reskrim Polres Karawang atas dasar laporan
warga setempat yang mencium bau menyengat dari karung tanah di Desa
Darawolong. Selain itu beberapa warga juga kerap melihat mobil dump truck
membuang seperti lumpur di atas lahan proyek perumahan pada tengah
malam. Cairan sejenis lumpur berwarna kehitaman itu pada siang hari
menimbulkan bau yang menyengat.
3. Menurut keterangan warga, diduga lumpur tersebut sengaja dibuang lalu
ditutup dengan tanah. Warga sempat protes adanya pembuangan lumpur yang
mengeluarkan bau tak sedap itu, namun warga malah diteror agar tidak
menyebarkan info adanya pembuangan lumpur hitam tersebut.
4. Lumpur beracun (sludge) yang dibuang di Desa Darawolong Kecamatan
Purwasari Kabupaten Karawang termasuk dalam limbah B3 dengan kode
limbah B351-4 berasal dari industri Pulp dan kertas yang bersumber dari IPAL
yang mengolah efluen dari proses pembuatan produk kertas deinking.
5. Bahwa kemudian setelah Unit Tipiter (Tindak Pidana Tertentu) Sat Reskrim
Polres Karawang menangkap 5 (lima) supir tersebut dan melakukan
penyelidikan awal, diketahui bahwa 5 (lima) supir tersebut sudah membuang
limbah B3 lumpur beracun di perumahan Desa Darowolong sebanyak 2 (dua)
kali atas perintah SI yang merupakan Koordinator Lapangan Pembuangan
Limbah dan diketahui langsung oleh Direktur perusahaan yaitu NH yang berasal
dari PT RPW dan PT LSA.
6. Bahwa limbah tersebut diambil dari PT FJ, PT BCP, PT TB, yaitu perusahaan
tekstil yang ada di Bandung seharusnya diantar ke PT WI di Tangerang untuk
dimusnahkan, namun demi meraup keuntungan, PT RPW dan PT LSA selaku
pihak ketiga yang mengantar limbah malah menyelundupkan limbah itu. PT
RWP dan PT LSA adalah perusahaan transporter yang menjalin kesepakatan
dengan tiga pabrik tekstil penghasil limbah. Namun NH selaku direktur PT RPW
dan PT LSA malah bersekongkol dengan koordinator lapangan yang berinisial
SI untuk tidak memproses limbah tersebut.
7. Bahwa berdasarkan alat bukti yang cukup Kepolisian Resort Karawang
menetapkan dua orang sebagai tersangka yaitu SI dan NH yang dijerat Pasal
104 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
8. Selain hal tersebut Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten
Karawang akan segera melakukan clean up lingkungan yang menjadi tempat
penimbunan limbah B3 karena dalam jangka lama air di lokasi pembuangan
akan berdampak pada warga.

C. PENDAPAT HUKUM
 Penegakan Hukum Perdata
1. Bahwa perbuatan membuang limbah B3 ke media lingkungan yang
dilakukan oleh SI dan NH telah melanggar Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Limbah adalah
sisa suatu usaha dan/atau kegiatan”.
3. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Bahan
berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi,
dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain”.
4. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Limbah bahan
berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa
suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3”.
5. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Pengelolaan
limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau
penimbunan”.
6. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Dumping
(pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau
memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu,
dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup
tertentu”.
7. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Dampak
lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan”.
8. Bahwa dalam perkara a quo SI dan NH dari PT RWP dan PT LSA telah
melakukan dumping / pembuangan limbah B3 tanpa ijin ke media
lingkungan yang mengakibatkan perubahan dampak lingkungan. Hal
tersebut menimbulkan kerugian pada masyarakat di sekitar Desa
Darawolong Kecamatan Purwasari Kabupaten Karawang.
9. Kerugian yang dialami masayarakat atau warga sekitar atas perbuatan SI
dan NH adalah tercemarnya udara di sekitar Desa Darawolong yang
menimbulkan bau tidak sedap, selain itu terdapat pula pencemaran air yang
diakibatkan limbah B3 lumpur beracun (sludge) yang ditimbun di dalam
tanah.
10. Bahwa atas hal tersebut masyarakat atau warga sekitar yang terdampak
dapat mengajukan ganti rugi yang diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang menjelaskan:
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
11. Bahwa dalam mengajukan kesepakatan dengan PT RWP dan PT LSA selaku
pelaku pencemaran lingkungan di Desa Darawolong, masyarakat yang
dirugikan dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak yang
pembentukannya difasilitasi oleh Kabupaten Karawang atau masyarakat
dapat menggunakan jasa mediator atau arbiter.
12. Bahwa berdasarkan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menjelaskan “Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku
terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam
UndangUndang ini”.
13. Bahwa menurut hemat penulis pasal 85 ayat (2) UU PPLH tidak sesuai
dengan asas Restorative Justice atau Keadilan Restoratif yang pada
prinsipnya merupakan instrumen atau dalam bahasa teknis sebagai alat
memperoleh keadilan. Keadilan restoratif merupakan keadilan yang sifatnya
pemulihan melalui jalan kekeluargaan yang bertujuan menyelesaikan
konflik para pihak. Sebagaimana yang disampaikan oleh Natangsa Surbakti 3
mengenai cerminan penyelesaian perkara pidana yang bertujuan restoratif,
yang meliputi: (1) penganalisaan dan pengambilan langkah guna perbaikan
kerusakan; (2) mengikutsertakan seluruh pihak yang berperan
(stakeholders); dan (3) memberdayakan hubungan masyarakat dan
pemerintah yang bersifat tradisional sebagai upaya penanggulangan
kejahatan.
14. Bahwa dengan adanya Pasal 85 ayat (2) UU PPLH mengakibatkan
terhalangnya upaya-upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk
terpenuhinya hak-hak dari masyarakat yang terdampak kerugian yang
diakibatkan oleh PT RWP dan PT LSA. Hal ini tentunya bertentangan dengan
asas kemanfaatan demi kepentingan masyarakat karena pemidanaan para
pelaku tidak serta merta memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang
dirugikan, pelaku tidak boleh hanya menjalani pidana sesuai ketentuan UU
PPLH yang ancaman pidananya terdapat dalam Pasal 10 KUHP, pelaku
harus bertanggungjawab atas kerugian yang dirasakan oleh masyarakat.
15. Bahwa apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa,
masyarakat dapat mengajukan gugatan melalui peradilan.
16. Bahwa dalam gugatan secara perdata di UU PPLH berlaku asas strict liability
yang diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjelaskan “ Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan”. Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict
liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada

3
Natangsa Surbakti. (2011). Mediasi Penal Sebagai Terobosan Alternatif Perlindungan Hak Korban Tindak
Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, (14) 1, 90-106 doi: http://hdl.handle.net/11617/4188 h. 98.
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu, yaitu jika menurut penetapan peraturan
perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
17. Bahwa penerapan asas strict liability dalam perkara a quo masyarakat
sebagai penggugat tak dibebani rumitnya pembuktian unsur kesalahan.
Adanya kausalitas antara kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan
tergugat yaitu PT RWP dan PT LSA cukup menjadi modal untuk menghukum
tergugat. Berbeda dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pada
umumnya, penggugat harus membuktikan cara-cara perusahaan pencemar
lingkungan dalam hal ini tergugat atau tindakan-tindakan yang melanggar
hukum dalam menjalankan perusahaannya yang menimbulkan pencemaran
lingkungan.
18. Bahwa penentuan besaran kerugian negara dalam Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau dalam putusan pengadilan yang
telah inkracht lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian
Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup.

 Penegakan Hukum Pidana


1. Bahwa penjelasan umum atas UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa
penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai
upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif dianggap
tidak berhasil. Namun, asas ultimum remedium tersebut hanya berlaku bagi
tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku
mutu air limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100
UU PPLH. Dengan demikian, untuk tindak pidana lainnya (selain dalam Pasal
100) tidak berlaku asas ultimum remedium. Artinya, penegakan hukum
terhadap tindak pidana selain dalam Pasal 100 berlaku asas premium
remedium (mendahulukan penegakan hukum melalui sarana hukum
pidana).4
2. Bahwa dalam perkara a quo pihak-pihak yang dapat dijadikan tersangka
antara lain 5 (lima) orang supir truk yang mengangkut limbah, SI sebagai
Koordinator Lapangan Pembuangan Limbah, NH sebagai Direktur
Perusahaan, serta PT RWP dan PT LSA selaku korporasi memenuhi rumusan
Pasal 104 Jo Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Bahwa perbuatan tersangka dalam perkara a quo bukan memenuhi Pasal
100 UU PPLH melainkan Pasal 104 Jo Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
artinya asas ultimum remedium tidak berlaku, melainkan asas primum
remedium yang mendahulukan penegakan hukum melalui sarana hukum
pidana, sehingga perkara a quo dapat langsung masuk ke ranah pidana.
4. Bahwa terhadap para tersangka selain memenuhi rumusan Pasal 104 Jo
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah memenuhi syarat pemidanaan.
5. Bahwa syarat pemidanaan menurut Prof. Sudarto, SH. Adalah seseorang
dapat dipidana apabila terpenuhinya syarat obyektif yaitu perbuatan dan
syarat subyektif yaitu orang atau kesalahan (mensrea).5
6. Syarat obyektif (perbuatan) terdiri dari:
a. Memenuhi rumusan Undang-Undang
Pada perkara a quo para tersangka yang terdiri dari 5 (lima) orang supir,
SI, dan NH telah memenuhi rumusan Pasal Pasal 104 Jo Pasal 60
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi:

4
Lidya Suryani Widyawati, “Ultimum Remedium dalam Bidang Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum Vol. 22 No. 1, 2015 hlm. 2
5
Prof. Sudarto, SH., Hukum Pidana I, Penerbit Yayasan Sudarto FH UNDIP, Maret 2013, hal. 84.
Pasal 104 ayat (1):
“Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke
media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 60:
“Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke
media lingkungan hidup tanpa izin”.
b. Bersifat Melawan Hukum
Menurut Prof. Sudarto, SH. sifat melawan hukum materiil yaitu
bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis.6 Pada perkara a quo
para tersangka telah masuk dalam sifat melawan hukum materiil
dikarenakan melanggar hukum tertulis di Pasal 104 Jo Pasal 60 UU PPLH
dan juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dikarenakan
banyak warga Desa Darawolong yang dirugiakan atas perbuatan pelaku.
c. Tidak adanya alasan pembenar
Perbuatan para tersangka tidak termasuk dalam Pasal 49 (1) KUHP dan
Pasal 50 KUHP sehingga tidak adanya alasan pembenar yang
menghapuskan unsur perbuatan dari pelaku.
7. Syarat subyektif orang atau kesalahan (mensrea) terdiri dari:
a. Mampu Bertanggungjawab
Para tersangka dalam perkara a quo sehat secara jasmani dan rohani,
tidak ada yang mengalami gangguan jiwa, sehingga termasuk mampu
bertanggungjawab.
b. Dolus atau Culpa
Dalam perkara a quo para tersangka telah memenuhi unsur dengan
sengaja sesuai dengan teori kehendak (wilstheorie) dan teori
pengetahuan.7
c. Tidak adanya alasan pemaaf

6
Ibid, Hal.133
7
Ibid, Hal.173
Para tersangka tidak ada yang memenuhi unsur Pasal 44 KUHP, dan
Pasal 49 ayat 2 KUHP, sehingga tidak adanya alasan pemaaf yang
menghapuskan unsur kesalahan dari pelaku.
8. Bahwa menurut penulis struktur dakwaan yang akan digunakan adalah
Dakwaan Alternatif yaitu Pasal 103 Jo. Pasal 59 UU PPLH Jo. Pasal 55 KUHP
atau Pasal 104 Jo. Pasal 60 UU PPLH Jo. Pasal 55 KUHP. Pada pembacaan
tuntutan yang akan dibuktikan adalah Pasal 104 UU PPLH, dikarenakan
Pasal 103 UU PPLH sifatnya hanya melapis saja.
9. Bahwa Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dapat di juncto kan dikarenakan
berdasarkan Pasal 97 UU PPLH menyebutkan “Tindak pidana dalam
undang-undang ini merupakan kejahatan”, sehingga pasal ini merupakan
jembatan untuk pemberlakukan aturan yang terdapat dalam Buku I KUHP.

 Pertanggungjawaban Korporasi
1. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur
bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Dalam hal ini
subyek dari UU PPLH sudah mengalami perluasan, tidak hanya pada orang
namun juga badan hukum atau tidak berbadan hukum.
2. Bahwa menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana, khususnya
tindak pidana bidang lingkungan hidup, untuk saat ini dan di masa
mendatang sudah tepat, mengingat bahwa jenis dan modus operandi
kejahatan semakin lama semakin serius dan itu memberikan
dampak/korban yang luas, khususnya adalah masyarakat bahkan negara
Indonesia.
3. Walaupun menempatkan korporasi sebagai salah satu pihak yang dapat
dikenakan pertanggungjawaban secara pidana merupakan kemajuan dan
hal yang positif, tetapi dalam hal memidana korporasi harus lah secara
bijaksana dengan memperhatikan tujuan pemidanaan yang searah dengan
cita-cita pembaruan hukum pidana Indonesia, sebab mengingat adanya
peran penting korporasi terhadap perkembangan ekonomi negara dan
masyarakat luas. Sehingga biasanya kepada korporasi diberlakukan sanksi
administrasi terlebih dahulu sebelum sanksi pidana.
4. Bahwa penegakan hukum administrasi yang memiliki sanksi berupa
pencabutan izin, pembekuan izin, dan paksaan pemerintah
(bestuursdwang). Penegakan hukum administrasi dalam isu lingkungan
hidup melibatkan peran serta masyarakat dalam hal melakukan gugatan
atas keputusan tata usaha negara (bisa berbentuk izin lingkungan).
Gugatan masyarakat atas keputusan tata usaha negara merupakan upaya
masyarakat mempengaruhi kebijakan pemerintah apabila menimbulkan
kerugian bagi masyarakat.8
5. Bahwa apabila sanksi administrasi tidak efektif dalam penyelesaian perkara
a quo, maka sanksi pidana terhadap korporasi dalam hal ini PT RWP dan PT
LSA dapat dilakukan sesuai Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menjelaskan:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.
6. Maka dalam hal ini PT RWP dan PT LSA dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi.

D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1. Bahwa terdapat 3 (tiga) instrumen penegakan hukum tersebut memiliki isu
hukum yang sama yaitu pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup,
namun dengan objek yang berbeda yaitu:

8
Sodikin. (2010). (2010) Penegakan Hukum Lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 12(3), 543–563. h 551
a. Penegakan hukum administrasi berhubungan dengan objek
penyalahgunaan izin;
b. Penegakan hukum perdata terkait objek perbuatan melawan hukum;
c. Penegakan hukum pidana menyangkut objek kejahatan yang berdampak
luas.
2. Bahwa beranjak dari pendapat Muhammad Akib9 mengenai paradigma holistik
dalam penegakan hukum lingkungan, yang mana paradigma tersebut memiliki
prinsip: Pertama, penggunaan semua bagian hukum (hukum administrasi,
pidana dan perdata) secara komprehensif. Ketiganya tidak termasuk alternatif,
tetapi bisa diaplikasikan secara bersamaan secara sinergis, sehingga sanksinya
pun bersifat kumulasi. Sehingga prinsip dasar holistik tersebut menghendaki
adanya penegakan hukum secara utuh dengan memakai ketiga sarana hukum
tersebut secara komprehensif, serta adanya kerjasama sinergis diantara
penegak hukum. Kedua, paradigma holistik ini tidak hanya menegakkan nilai-
nilai kebenaran dan kepastian hukum semata, tetapi yang lebih utama adalah
mencapai nilai-nilai keadilan melalui pendekatan restorative justice atau
keadilan restorative.
3. Bahwa menurut hemat penulis dalam perkara a quo pendekatan-pendekatan
penyelesaian sengketa di luar peradilan, gugatan perdata, serta perkara pidana
dapat berjalan bersamaan sepanjang hal itu dapat memenuhi rasa keadilan di
masyarakat. Demikian pula halnya terhadap korporasi yaitu PT RWP dan PT
LSA yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dapat dipikirkan
penggunaan pendekatan restorative justice agar tercipta keseimbangan antara
pelaku (korporasi), korban dan masyarakat. Mewujudkan restorative justice
dilakukan melalui konsep dual-mediasi yang menggabungkan antara mediasi
penal dan mediasi dalam hukum perdata.

E. DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal:

9
Muhammad Akib. (2014). Pergeseran Paradigma Penegakan Hukum Lingkungan: Dari Mekanistik-Reduksionis
Ke Holistik-Ekologi. Masalah-Masalah Hukum, 43(1), 125–131. https://doi.org/10.14710/mmh.43.1.2014.125-
131, h. 129.
Amirudin A. Dajaan Imami, dkk, Asas Subsidaritas: Kedudukan dan Implementasi
dalam Penegakan Hukum Lingkungan (PP-PSL FH UNPAD dan Bestar 2009).
Lidya Suryani Widyawati, “Ultimum Remedium dalam Bidang Lingkungan Hidup”,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 22 No. 1, 2015 hlm. 2
Muhammad Akib. (2014). Pergeseran Paradigma Penegakan Hukum Lingkungan:
Dari Mekanistik-Reduksionis Ke Holistik-Ekologi. Masalah-Masalah Hukum,
43(1), 125–131. https://doi.org/10.14710/mmh.43.1.2014.125-131, h. 129
Natangsa Surbakti. (2011). Mediasi Penal Sebagai Terobosan Alternatif
Perlindungan Hak Korban Tindak Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, (14) 1, 90-106
doi: http://hdl.handle.net/11617/4188 h. 98.
Sodikin. (2010). (2010) Penegakan Hukum Lingkungan menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 12(3), 543–563. h 551
Prof. Sudarto, SH., Hukum Pidana I, Penerbit Yayasan Sudarto FH UNDIP, Maret
2013, Hal. 84. Hal. 133 Hal. 173
Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal.
6-7.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014
tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup.

Anda mungkin juga menyukai