Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KUNJUNGAN PERUSAHAAN

“KESEHATAN KERJA DAN ERGONOMI “

PT. ADI SATRIA ABADI (ASA)


YOGYAKARTA

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

dr. Maria Melita Lake dr. Nurul Halimah

dr. M. Imam Mahdi Nurbuat dr. Putri Maya Sary

dr. Nadia Iriana Dewi dr. Putri Rezki

dr. Nora Vuspita dr. Riadhus Machfud Alfian

dr. Nurazizah dr. Rini Puspitasari

dr. Nurhayati H.

PELATIHAN HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA

BAGI DOKTER PERUSAHAAN/INSTANSI

BALAI HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

AGUSTUS 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga kami telah berhasil menyelesaikan laporan

kunjungan Perusahaan PT. Adi Satria Abadi (PT. ASA) dengan topik pembahasan Kesehatan

Kerja dan Ergonomi.

Makalah ini merupakan tugas akhir dalam pelaksanaan pelatihan Hiperkes dan

Keselamatan Kerja bagi dokter perusahaan yang berlangsung selama 6 hari di Yogyakarta (27

Agustus – 1 September 2018). Makalah ini berisikan tentang hasil observasi, analisa dan

diskusi kami pada saat berkunjung ke PT. Adi Satria Abadi (PT. ASA). Kami berharap

makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada kita semua mengenai

penerapan ilmu kesehatan kerja dan ergonomi dalam profesi kita sebagai dokter perusahaan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga kami sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun semata-mata demi kesempurnaan

makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan

serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk

menjamin keutuhan dan kesempumaan baik jasmani maupun rohani. Dengan keselamatan

dan kesehatan kerja, maka para pihak diharapkan dapat melakukan pekerjaan dengan aman

dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang dilakukan oleh pekerja tersebut

risiko yang akan muncul dapat dihindari.

Lingkungan kerja atau tempat kerja dikatakan baik apabila dalam kondisi tertentu

manusia dapat melakukan kegiatannya dengan optimal. Ketidaksesuaian lingkungan kerja

dengan manusia yang bekerja pada lingkungan tersebut dapat terlihat akibatnya dalam jangka

waktu tertentu, seperti turunya produktivitas kerja, efisiensi dan ketelitian. Keselamatan dan

kesehatan kerja serta lingkungan fisik tempat kerja sangat berpengaruh terhadap produktivitas

kerja. Seorang pekerja akan mampu bekerja dengan baik apabila ditunjang oleh lingkungan

yang baik pula sehingga dicapai hasil yang optimal.

Setiap karyawan yang bekerja sangat membutuhkan perhatian salah satu contohnya

adalah perhatian tentang kesehatan dan keselamatan kerja sehingga dengan terjaminnya rasa

aman tersebut maka karyawan dapat bekerja lebih baik sehingga produktivitas dari karyawan

dapat meningkat. Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja pada suatu perusahaan

menentukan baik tidaknya suatu performansi kerja dalam perusahaan tersebut. Kemampuan

seseorang sangat bergantung pada gabungan dari karakteristik pribadi, kapasitas fisiologis,

psikologis serta biomekanika yang dimilikinya sedangkan aktivitas yang dilakukan

tergantung kepada tugas, organisasi dan Iingkungan yang dapat dihadapi.


Untuk menunjang terbentuknya sumber daya yang sehat dan produktif, kesehatan dan

keselamatan pekerja juga harus mendapat perhatian. Pada kenyataannya, ratusan tenaga kerja

di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi yang tidak aman dan dapat menyebabkan

gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization (ILO), setiap tahun terjadi

1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan akibat hubungan kerja.

Sekitar 300 ribu kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan, sedangkan sisanya adalah

kematian karena penyakit akibat hubungan kerja, dimana diperkirakan terjadi 160 juta

penyakit akibat hubungan kerja baru setiap tahun. Namun besamya angka diatas tidak

ditunjang oleh pelayanan kesehatan yang memadai dari sektor industri. Menurut WHO

diperkirakan hanya 5-10% pekerja di negara berkembang dan 20-50 % pekerja di negara

industri yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kerja yang memadai.

Potensi bahaya yang muncul dapat berupa cara kerja dari tenaga kerja, peralatan kerja

yang canggih, beban kerja yang berat yang akan mengakibatkan penyakit akibat kerja,

kecacatan bahkan kematian. Antisipasi terhadap potensi bahaya tersebut harus dilaksanakan

sedini mungkin.

Sebagai salah satu aspek perlindungan tenaga kerja yang sarat dengan muatan hak azasi

manusia termnasuk salah satu syarat untuk memenuhi tuntutan globalisasi sehingga K3 perlu

mendapat perhatian kita untuk lebih dimasyarakatkan kepada seluruh dunia usaha.

Pengembangan dan peningkatan K3 di sektor kesehatan perlu dilakukan dalam rangka

menekan serendah mungkin resiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan

kerja untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja.

Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur sedemikian

rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Begitu banyak faktor di lapangan

yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja seperti faktor manusia, lingkungan dan

psikologis. Masih banyak perusahaan yang tidak memenuhi standar kesehatan dan
keselamatan kerja sehingga kasus kecelakaan kerja masih sering didapatkan. Oleh karena itu

di samping perhatian perusahaan pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau

aturan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

1.2 Dasar Hukum

Dengan alasan untuk melindungi para tenaga kerja dan pengembangan usaha demi

tercapainya tidak adanya kecelakaan dan penyakit akibat kerja maka ada beberapa landasan

yang digunakan oleh perusahaan sebagai berikut:

1. UU No. 1 tahun 1970 tentang kesehatan dan keselamatan kerja

2. UU No. 13 tahun 2003 pasal 86 tentang ketenagakerjaan.

3. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan

4. UU No. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja.

5. Permenakertrans No.03/Men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja

6. Kepres RI No.22 tahun 1993 tentang penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau

lingkungan kerja.

7. Kepmenakertrans no 66 tahun 2004 tentang pencegahan dan penanggulangan

HIV/AIDS di tempat kerja.

8. Perrmenakertrans No. 1 / Men /1 /2005 tentang pencegahan penyalahgunaan narkoba,

psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja.

9. Permenakertrans No.01/Men/1976 tentang kewajiban pelatihan hiperkes bagi dokter

perusahaan.

10. Permenakertrans No. 01 / Men / 1979 tentang kewajiban pelatihan hiperkes bagi

paramedik perusahaan.

11. Permenakertrans No.02/ Men / 1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam

penyelenggara keselamatan kerja.

12. Permenakertrans No.03/Men/1983 tentang pelayanan kesehatan kerja.


13. SE Menakertrans No.SE.01/Men/1979 tentang pengadaan kantin dan ruang makan.

14. SE Dirjen Binawas No.SE.86/BW/1989 tentang perusahaan katering yang mengelola

makan bagi tenaga kerja.

15. Permenakertrans No. Per05/Men/8/2008 tentang pertolongan pertama pada kecelakaan

di tempat kerja

Berdasar observasi oleh peneliti secara detil pada unit – unit kerja di PT Mega Andalan

Kalasan, hal-hal yang merupakan problema tersebut di atas, disebabkan oleh cara kerja

pekerja yang tidak ergonomis. Penyebab negatif tersebut di antaranya adalah:

1) Operator bekerja dengan posisi kerja duduk dan berdiri dengan sudut tertentu pada

tubuh secara tidak tepat dikombinasikan dengan gerakan tubuh yang salah.

2) Operator bekerja dengan ritme gerakan yang tidak teratur secara berulang - ulang.

3) Operator bekerja dengan menggunakan peralatan kerja dan bahan bahan yang

dimensinya berat, keras, runcing dan sebagainya.

4) Operator bekerja pada tempat yang faktor fisiknya buruk misalnya terlalu panas, bising.

5) Getaran mekanis yang cukup tinggi dan tumpahan minyak yang berlebihan.

Hal-hal tersebut secara visual dapat dilihat sebagai jenis – jenis penyebab negatif.

Berbagai persoalan yang menjadi penyebab tersebut akhirnya menghasilkan akibat. Penyebab

yang terjadi pada aktivitas kerja para pekerja pada unit-unit kerja di PT Mega Andalan

Kalasan telah menghasilkan akibat yang dikeluhkan dan ditemui oleh para pekerja. Sistem

industri tidak pula dapat eksis tanpa peran signifikan para manajernya. Perangkat manajemen

yang handal dengan pengetahuan dan keahlian manajernya yang paham, kredibel, tangguh

atau dengan kata lain profesional, sangat menentukan keberlangsungan dan daya tahan

industri dari berbagai goncangan organisasional maupun ekonomi.

Dalam konteks 'Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada segi manajerial atau skala

''makro'' telah ada regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu pada
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Nomor: Per.05/Men/1996, tanggal 12 Desember 1996,

tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Problema serius yang

menjadi masalah skala ''mikro'' (lingkup pembahasan kerja teknis), terdapat pada sistem kerja

yaitu gerakan dan posisi kerja pekerja. Terdapat pula masalah durasi waktu proses produksi

yang belum ditentukan secara pasti. Hal lain yang juga berpengaruh adalah belum

diterapkannya SMK3 yang menjadi bagian utuh sistem manajemen industri.

Berdasarkan hasil inventarisasi problema tersebut, masalah penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana gambaran pelaksanaan program kesehatan kerja di PT Mega Andalan

Kalasan?

2) Bagaimanakah bentuk sistem kerja yang ergonomis ditinjau dari segi gerakan dan posisi

kerja para pegawai di PT Mega Andaan Kalasan?


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya

untuk menjamin keutuhan dan keempunaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada

khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat

makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan

dan penerapan nya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit

akibat kerja.

Terdapat beragam definisi kesehatan dan keselamatan kerja, definisi kesehatan kerja

menurut beberapa ahli diantaranya menurut Suma'mur (1981), keselamatan kerja merupakan

rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para

karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Kesehatan kerja menurut

Suma'mur adalah ilmu spesialisasi dalam ilmu kesehatan yang bertujuan agar para pekerja

dan masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik atau

mental maupun sosial dengan usaha-usaha prevensif dan kuratif terhadap penyakit atau

gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta penyakit

umum.

Menurut Simanjuntak, Payaman J (1994), keselamatan kerja adalah kondisi

keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang

mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi

pekerja.
Status kesehatan seseorang, menurut Blum ditentukan oleh empat faktor yakni:

a. Lingkungan, berupa lingkungan fisik (alami, buatan), kimia (organik, atau anorganik,

logam berat atau debu), biologis (virus, bakteri, mikroorganisme lain) dan sosial

budaya (ekonomi, pendidikan dan pekerjaan).

b. Perilaku, yang meliputi: sikap, kebiasaan, dan tingkah laku.

c. Pelayanan kesehatan yang meliputi: promotif, perawatan, pengobatan, pencegahan

kecacatan, dan rehabilitasi.

d. Genetik yang merupakan faktor bawaan setiap manusia.

Pekerjaan yang mungkin berdampak negative bagi kesehatan akan tetapi sebaliknya

pekerjaan juga dapat memperbaiki tingkat kesehatan dan kesejahteraan pekerja bila dikelola

dengan baik. Demikian juga status kesehatan pekerja yang sangat mempengaruhi

produktivitas kerjanya, pekerja yang sehat memungkinkan tercapainya hasil kerja baik bila

dibandingkan dengan pekerja yang terganggu kesehatannya (Suma’mur, 1967)

Pada tahun 1950 satu komisi bersama ILO dan WHO menyusun definisi kesehatan

kerja. Menurut komisi tersebut kesehatan kerja adalah merupakan promosi dan pemeliharaan

kesejahteraan fisik, mental dan sosial pekerja pada jabatan apapun dengan sebaik-baiknya

dan layanan tersebut memerlukan peran serta para manajer dan serikat kerja. Sejumlah kaum

profesional terlibat dalam bidang ini seperti Dokter, Ahli Higene Kerja, Ahli Toksiologi, Ahli

Mikrobiologi, Ahli Ergonomi, Perawat, Sarjana Hukum, Ahli Labotari Ahli Epidemiologi,

dan Insinyur Keselamatan (Suma'mur, 1967).

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia,

kesehatan kerja bertujuan untuk:

1. Memberi bantuan kepada tenaga kerja.

2. Melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan dan

lingkungan kerja.
3. Meningkatkan kesehatan.

4. Memberi pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi

Sedangkan tujuan kesehatan kerja menurut Suma'mur adalah sebagai berikut:

a. Menciptakan tenaga kerja yang hebat dan produktif.

b. Pencegahan dan pemberantasan penyakit-penyakit dan kecelakaan akibat kerja.

c. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi tenaga kerja.

d. Pemberantasan kelelahan kerja dan penglipatgandaan kegairahan kerja

e. Perawatan dan mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas tenaga manusia.

f. Perlindungan bagi masyarakat sekitar perusahaan yang bersangkutan.

g. Dan perlindungan masyarakat luas dari bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh

produk-produk industri.

Dalam pasal 86 UU no. 13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh

mempunyai hak untuk memperoleh perlindunga atas keselematan dan kesehatan kerja,

moral, dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai- nilai

agama. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan kesehatan kerja tersebut, menurut V. Rivai

(2003) pemantauan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Mengurangi timbulnya penyakit.

Pada umumnya perusahaan sulit mengembangkan strategi untuk mengurangi

timbulnya penyakit-penyakit, karena hubungan sebab-akibat antara lingkungan fisik

dengan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan sering kabur. Padahal,

penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan jauh lebih merugikan, baik bagi

perusahaan maupun pekerja.

2. Penyimpanan catatan tentang lingkungan kerja.

Mewajibkan perusahaan untuk setidak-tidaknya melakukan pemeriksaan terhadap

kadar bahan kimia yang terdapat dalam lingkungan pekerjaan dan menyimpan catatan
mengenai informasi yang terinci tersebut. Catatan ini juga harus mencantumkan informasi

tentang penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dan jarak yang aman dan pengaruh

berbahaya bahan-bahan tersebut.

3. Memantau kontak langsung.

Pendekatan yang pertama dalam mengendalikan penyakit-penyakit yang berhubungan

dengan pekerjaan adalah dengan membebaskan tempat kerja dan bahanbahan kimia atau

racun. Satu pendekatan altematifnya adalah dengan memantau dan membatasi kontak

langsung terhadap zat-zat berbahaya.

4. Penyaringan genetik.

Penyaringan genetik adalah pendekatan untuk mengendalikan penyakitpenyakit yang

paling ekstrem, sehingga sangat kontroversial. Dengan menggunakan uji genetik untuk

menyaring individu-individu yang rentan terbadap penyakit penyakit tertentu, perusahaan

dapat mengurangi kemungkinan untuk menghadapi klaim kompensasi dan masalah-

masalah yang terkait dengan hal itu.

Selain usaha pemantuan, perlu adanya usaha untuk mengantisipasi permasalahan

keselamatan dan kesehatan kerja tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan

perundangundangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti

peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBI No.406 tahun 1910 yang dinilai

sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.

2.2. Dasar Hukum Pengaturan K3 di Indonesia

2.2.1. Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Kerja

Di dalam UU No.1 tahun 1951 tentang Kerja, mengatur tentang jam kerja, cuti

tahunan cuti hamil, cuti haid bagi pekerja wanita, peraturan tentang kerja anak - anak, orang

muda dan wanita, persyaratan tempat kerja, dan lain lain. Dalam Pasial 16 ayat 1 UU No. 1
tahun 1951 yang menetapkan, bahwa ''Majikan harus mengadakan tempat kerja dan

perumahan yang memenuhi syarat-syarat kebersihan dan kesehatan''.

Undang-undang No. 2 tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja, UndangUndang

Kompensasi Pekerja (Workmen Compensation Law) Undang-undang ini menentukan

penggantian kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

2.2.2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-

Undang Keselamatan Kerja diundangkan pada tahun 1970 dan menggantikan

Veilligbeids Reglement pada Tahun 1910 (Stb No. 406)

Mengatur tentang syarat-syarat keselamatan kerja, kewajiban dari pengurus, sanksi

terhadap pelanggaran terhadap undang-undang ini dan juga mengatur tentang Panitia

Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Selain Undang-undang tentang Keselamatan

Kerja, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi guna mendukung Pelaksanaan Keselamatan

dan Kesehatan Kerja.

2.2.3. Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jamsostek

Peraturan ini mengandung empat pokok program, yakni:

a. Jaminan Kecelakaan kerja

b. Jaminan Kematian

c. Jaminan Hari Tua

d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

2.3 Ergonomi

2.3.1. Definisi Ergonomi

Istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum

alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek aspek manusia dalam lingkungan

kerjanya yang ditinjau secara anatomi fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan

desain perancangan. Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan,


keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah dan tempat rekreasi. Di

dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem di mana manusia, fasilitas kerja dan

lingkungannya saling berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja

dengan manusianya (Nurmianto, 2004).

Apabila ingin meningkatkan kemampuan manusia untuk melakukan tugas, maka

beberapa hal di sekitar lingkungan alam manusia seperti peralatan, lingkungan fisik, posisi

gerak (kerja) perlu direvisi atau dimodifikasi atau redesain atau didesain disesuaikan dengan

kemampuan dan keterbatasan manusia. Dengan kemampuan tubuh yang meningkat secara

optimal, maka tugas kerja yang dapat diselesaikan juga akan meningkat. Sebaliknya, apabila

lingkungan alam sekitar termasuk peralatan yang tidak sesuai dengan kemampuan alamiah

tubuh manusia, maka akan boros penggunaan energi dalam tubuh cepat lelah, hasil tidak

optimal bahkan mencelakakan.

2.3.2. Tujuan dan Manfaat Ergonomi

Tujuan dari ergonomi ini adalah untuk menciptakan suatu kombinasi yang paling

serasi antara sub sistem peralatan kerja dengan manusia sebagai tenaga kerja. Tujuan utama

ergonomi ada empat (Santoso, 2004; Notoatmodjo, 2003), yaitu:

a. Memaksimalkan efisiensi karyawan.

b. Memperbaiki kesehatan dan keselamatan kerja.

c. Menganjurkan agar bekerja dengan aman, nyaman dan bersemangat.

d. Memaksimalkan bentuk kerja

Menurut Nurmianto (2004), peranan penerapan ergonomi antara lain:

a. Aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Hal ini dapat

meliputi perangkat keras sepetti misalnya perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches),

platform, kursi, pegangan alat kerja, (workholders), sistem pengendali (controls), alat
peraga(displays), jalan/lorong (access ways), pintu (doors), jendela (windows) dan lain-

lain.

b. Desain pekerjaan pada suatu organisasi.

Misalnya: penentuan jumlah jam istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja (shift

kerja), meningkatkan variasi pekerjaan dan lain lain.

c. Meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja.

Misalnya: desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada

sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat peraga visual (visual

display unit station). Hal itu adalah untuk mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur

kerja, desain suatu perkakas kerja (hand tools) untuk mengurangi kelelahan kerja, desain

suatu peletakan instrumen dan sistem pengendalian agar didapat optimasi dalam proses

transfer informasi dan lain lain.

2.3.3. Aspek Ergonomi

A. Faktor Manusia

Manusia dalam suatu sistem kerja menjadi pelaku atau pengguna sebagai titik sentral,

sehingga perancangan berpusat pada manusia. Sebagai titik sentral maka unsur keterbatasan

manusia menjadi patokan dalam penataan produk yang ergonomi. Ada beberapa faktor yang

berlaku sebagai faktor pembatas yang tidak boleh dilampaui agar dapat bekerja dengan aman,

nyaman, dan sehat:

1. Faktor dari dalam

Yang termasuk faktor dalam berasal dari manusia seperti: umur, jenis kelamin, kekuatan

otot, bentuk dan ukuran tubuh dan lainnya.

2. Faktor dari luar

Faktor luar berasal dari luar manusia, seperti: penyakit, gizi, lingkungan kerja, sosial

ekonomi, adat istiadat dan lain sebagainya.


B. Sarana Kerja

Sarana kerja dibuat sesuai dengan penggunanya sehingga pekerja atau pengguna

menjadi nyaman, sehingga tercapai efektivitas dan efisiensi kerja yang optimal, sehingga

menghindari kelelahan kerja dan kecelakaan kerja.

Antropometri berasal dari kata antropos dan metricos. Antropos berarti manusia dan

metricos berarti ukuran. Antropometri adalah ukuran- ukuran tubuh manusia secara alamiah

baik dalam melakukan aktivitas statis (ukuran sebenamya) maupun dinamis (disesuaikan

dengan pekerjaan) (Wignjosoebroto, 2003). Antropometri adalah ilmu yang berhubungan

dengan pengukuran dimensi dan karakteristik tubuh manusia lainnya seperti volume, pusat

gravitasi dan massa segmen tubuh manusia. Ukuran-ukuran tubuh manusia sangat bervariasi,

bergantung pada umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan dan periode dari masa ke masa.

Pengukuran dimensi - dimensi tubuh manusia merupakan bagian yang terpenting dari

antropometri karena akan menjadi data dasar untuk mempersiapkan desain berbagai

peralatan, mesin, proses dan tempat kerja (Harrianto, 2008).

Ukuran tubuh yang penting untuk penerapan ergonomi, yaitu:

a. Pada sikap berdiri: tinggi badan berdiri, tinggi mata, tinggi bahu, tinggi siku, tinggi

pinggul, tinggi pangkal jari tangan, tinggi ujung, ujung jari.

b. Pada sikap duduk: tinggi duduk, tinggi posisi mata, tinggi bahu, tinggi siku, tebal paha,

jarak bokong lutut, jarak bokong lekuk lutut, tinggi lutut, lebar bahu, lebar pinggul

(Harrianto, 2008).

Penerapan data antropometri dapat dilakukan jika tersedia nilai rata rata dan standar

deviasi (SD) dari suatu distribusi normal. Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang

menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang ukurannya sama atau

lebih rendah dari nilai tersebut (setelah perhitungan persentil). Misalnya 95th persentil akan

menunjukkan 95% populasi akan berada pada atau berada di bawah ukuran tersebut;
sedangkan 5th persentil akan menunjukkan 5% populasi akan berada pada atau di bawah

ukuran itu (Wignjosoebroto, 2003).

Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan antropometri

dapat dilihat pada tabel 2.1. di bawah ini:

Tabel 2.1. Macam Persentil dan Cara Perhitungan Dalam Distribusi Persentil dan Cara

Perhitungan Dalam Distribusi Persentil

Persentil Perhitungan

1st x̅ - 2.325 σ X

2.5th x̅ - 1,96 σ X

5th x̅ - 1,645 σ X

10th x̅ - 1,28 σ X

50th x̅

90th x̅ - 1,28 σ X

95th x̅ - 1,645 σ X

97.5th x̅ - 1,96 σ X

99th x̅ - 2.325 σ X

Alat antropometer dapat digunakan untuk mengetahui ukuran tubuh. Selain itu,

pengukuran tubuh dapat dilakukan dengan metode ukur tukang jahit menurut Suma'mur

(antropometry by Suma'mur' s tailor method) (Suma'mur, 1989).

2.3.4. Sikap Kerja

Ada beberapa hal yang dapat diperhatikan berkaitan dengan sikap tubuh dalam melakukan

pekerjaan, yaitu:

a. Semua pekerjaan hendaknya dilakukan dalam sikap duduk atau sikap berdiri secara

bergantian.
b. Semua sikap tubuh yang tidak alami harus dihindarkan. Seandainya hal ini tidak

memungkinkan, hendaknya diusahakan agar beban statis diperkecil.

c. Tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak membebani melainkan

dapat memberikan relaksasi pada otot -otot yang sedang tidak dipakai untuk bekerja

dan tidak. menimbulkan penekanan pada bagian tubuh (paha). Hal ini dimaksudkan

untuk mencegah terjadinya gangguan sirkulasi darah dan juga untuk mencegah keluhan

kesemutan yang dapat mengganggu aktivitas (Tarwaka, 2004).

Sikap tubuh dalam bekerja terdiri dari :

I. Sikap Duduk

Gambar 2.1 Contoh Antropometri di Meja Kerja

Sikap kerja duduk merupakan sikap kerja yang kaki tidak terbebani dengan berat

tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada

berdiri karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Kegiatan

bekerja sambil duduk harus dilakukan secara ergonomi sehingga dapat memberikan

kenyamanan dalam bekerja. Sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah -

masalah punggung. Hal ini dapat terjadi karena tekanan pada bagian tulang belakang akan

meningkat pada saat duduk dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika

diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100 %, maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect

posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang
dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%

(Nurmianto, 2004).

Sikap duduk paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan

tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lardosa pada pinggang dan sedikit

mungkin kifosis pada punggung (Suma'mur, 1989). Sikap duduk yang benar yaitu sebaiknya

duduk dengan punggung lurus dan bahu berada dibelakang serta bokong menyentuh belakang

kursi. Selain itu, duduklah dengan lutut tetap setinggi atau sedikit lebih tinggi panggul

(gunakan penyangga kaki) dan sebaiknya kedua tungkai tidak saling menyilang. Jaga agar

kedua kaki tidak menggantung dan hindari duduk dengan posisi yang sama lebih dari 20-30

menit. Selama duduk, istirahatkan siku dan lengan pada kursi jaga bahu tetap rileks (Wasisto,

2005).

Gambar 2.2 Sikap kerja pada Visual Display Terminal WDT yang direkomendasikan

oleh Cakir et al. (1980) (kiri) dan Grandjean et al. (1982, 1984) (kanan). (Sumber :

Pheasant, S, 1986).
Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut :

a. Kurangnya kelelahan pada kaki.

b. Terhindanya sikap - sikap yang tidak alamiah.

c. Berkurangnya pemakaian energi dalam bekerja.

d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah.

Namun, kegiatan bekerja sambil duduk juga dapat menimbulkan kerugian / masalah

bila dilakukan secara tidak ergonomis. Kerugian tersebut antara lain:

1) Melembeknya otot otot perut.

2) Melengkungnya punggung.

3) Tidak baik bagi organ dalam tubuh, khususnya pada organ pada system pencernaan

jika posisi dilakukan secara membungkuk.

Gambar 2.3 Posisi ergonomis didepan komputer

Hubungan tenaga kerja dalam sikap dan interaksinya terhadap sarana kerja, akan

menentukan efisiensi, efektifitas dan produktifitas kerja, selain SOP (standard operating

procedures) yang terdapat pada setiap jenis pekerjaan. Semua sikap tubuh yang tidak alamiah

dalam bekerja, misalnya sikap menjangkau barang yang melebihi jangkauan tangan, harus
dihindari. Apabila hal ini tidak memungkinkan maka harus diupayakan agar beban statiknya

diperkecil. Penggunaan meja dan kursi kerja ukuran baku oleh orang yang mempunyai

ukuran tubuh yang lebih tinggi atau sikap duduk yang terlalu tinggi sedikit banyak akan

berpengaruh terhadap hasil kerjanya.

Tanpa disadari, tenaga kerja tersebut akan sedikit membungkuk saat melakukan

pekerjaannya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kelelahan local di daerah pinggang dan

bahu, yang pada akhirnya akan menimbulkan nyeri pinggang dan nyeri bahu, namun karena

penderitanya tidak mencolok maka biasanya keluhan tersebut dianggap “ bukan masalah”,

tetapi kerugian yang ditimbulkannya bisa berwujud hilangnya jam kerja, terhambatnya

produksi dan lainnya. Pada waktu bekerja diusahakan agar bersikap secara alamiah dan

bergerak optimal.

2. Sikap kerja berdiri.

Selain sikap kerja duduk sikap kerja berdiri juga banyak ditemukan di perusahaan.

Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang belakang vertikal dan berat

badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus

sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki dan hal

ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Sikap kerja

berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila sikap kerja ini tidak

dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk (Rizki, 2007).


Gambar 2.4 Sikap kerja berdiri yang ergonomis

Dalam sistcm kerja angkat dan angkut, sering dijumpai nyeri pinggang sebagai akibat

kesalahan dalam mengangkat maupun mengangkut, baik itu mengenai teknik maupun berat

ukuran beban. Nyeri pinggang dapat pula terjadi sebagai sikap paksa yang disebabkan karena

penggunaan sarana kerja yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Kondisi demikian

menggambarkan tidak adanya keserasian antara ukuran tubuh pekerja dengan bentuk dan

ukuran sarana kerja sehingga terjadi pembebanan setempat yang berlebihan di daerah

pinggang dan inilah yang menyebabkan nyeri pinggang akibat kerja.

Gambar 2.5 Pekerjaan Angkat dan Angkut

Untuk jenis pekerjaan angkat dan angkut, maka beban maksimum yang

diperkenankan, agar tidak menimbulkan kecelakaan kerja, sesuai dengan peraturan Menteri
tenaga kerja transmigasi dan koperasi No Per 01/MEN/1978 tentang keselamatan dan

kesehatan kerja dalam penebangan dan pengangkutan kayu.

Sikap tubuh dalam bekerja yang dikatakan secara ergonomis adalah yang memberikan

rasa nyaman, aman, sehat dan selamat dalam bekerja yang dapat dilakukan antara lain dengan

cara:

a. Menghindarkan sikap yang tidak alamiah dalam bekerja.

b. Diusahakan beban statis menja di sekecil-kecilnya.

c. Perlu dibuat dan ditentukan kriteria ukuran baku tentang peralatan kerja yang sesuai

dengan ukuran antopometri tenaga kerja penggunanya.

d. Agar diupayakan bekerja dengan sikap duduk dan berdiri secara bergantian.
BAB III
HASIL OBSERVASI DAN PEMBAHASAN

Identitas Perusahaan

Nama perusahaan : PT. Adi Satria Abadi (ASA)

Jenis Perusahaan : Industri Penyamakan Kulit

Alamat Perusahaan : Ds. Banyakan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul

Tanggal Kunjungan : 31 Agustus 2018

Bahan dan Alat Produksi

1. Bahan yang diperlukan:

 Bahan baku : Kulit domba dan Kulit kambing


 Bahan tambahan : bahan kimia berupa zat pewarna, asam formiat, sodium
chloride, amoniak dan soda kue

2. Mesin/Peralatan kerja yang digunakan : drum kayu, mesin shaving, double setter,
mesin stacking, togling, mesin ukur, drum zat kimia dan penyedot debu.

Proses produksi : Sortasi pickle, tanning, shaving, dying dan fat liquoring, setter, hunging,
stacking, togling, measuring, sortasi finish dan packing.

Barang yang dihasilkan :

 Produk utama : Kulit


 Produk sampingan : Tidak ada

Limbah : logam (chrome) dan non-logam (campuran).


3.1. Penyelenggaraan Kesehatan Tenaga Kerja

3.1.1. Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja

a. Pemeriksaan Kesehatan Awal

Pemeriksaan kesehatan awal pada PT. MAK dilakukan setelah para calon pegawai

lolos seleksi tes psikologi. Jika pada tahap seleksi akhir tenaga kerja dinyatakan lolos,

maka pemeriksaan kesehatan akan dilakukan di gedung utama PT MAK oleh dokter

dari Hiperkes. Pemeriksaan tersebut meliputi : pemeriksaan fisik, darah lengkap,

visus, audiometric, spirometri, cek urine dan narkoba.

b. Pemeriksaan Kesehatan Berkala

Pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kerja PT MAK dilakukan di gedung

utama PT MAK oleh dokter yang ditunjuk oleh Hiperkes dengan frekuensi satu kali

dalam setahun. Pemeriksaan Kesehatan Berkala yang rutin dilakukan tersebut sama

seperti pemeriksaan kesehatan pada pemeriksaan kesehatan awal.

c. Pemeriksaan Kesehatan Khusus

Pemeriksaan khusus bagi tenaga kerja belum dilakukan secara rutin, namun dari pihak

PT MAK menyarankan untuk melakukan pemeriksaan khusus. Jika terjadi kecelakaan

akibat kerja maka karyawan akan mendapatkan perawatan sampai sembuh sesuai

dengan PPK yang telah ditunjuk oleh perusahaan (RSUD Prambanan).

d. Pemeriksaan Kesehatan Purna Kerja

Untuk pemeriksaan kesehatan purna kerja dengan kriteria usia karyawan 50 tahun

rutin dilakukan oleh PT MAK bersamaan dengan jadwal pemeriksaan kesehatan

berkala.

3.1.2 Penyelenggaraan Kesehatan Kerja

1. Poliklinik perusahaan
Dari berdirinya PT. MAK tidak disediakan poliklinik kesehatan dilingkungan kerja

sampai sekarang. PT. MAK tidak membuat poliklinik karena letak perusahaan

berdekatan dengan RSUD Prambanan, sehingga jika terjadi PAK karyawan langsung

mendapatkan perawatan dari RSUD Prambanan.

2. Petugas kesehatan

Petugas kesehatan PT. MAK juga belum tersedia.

3. Tidak ada kunjungan ke poliklinik dikarenakan tidak adanya sarana poliklinik dan

petugas kesehatan di PT.MAK

4. Biaya pemeriksaan/ Obat

Seluruh karyawan (karyawan tetap maupun kontrak) PT.MAK mendapat jaminan

kesehatan dari BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan

3.1.3 Laporan Kunjungan Poliklinik

Laporan kunjungan poliklinik tidak ada dikarenakan PT MAK tidak memiliki

poliklinik seperti yang telah dijelaskan di bagian atas.

3.1.4 Kemungkinan PAK di Perusahaan

Berikut ini beberapa penyakit akibat kerja yang kemungkinan terjadi di PT Mega

Andalan Kalasan.

Potensi Kemungkinan PAK Gejala/keluhan

bahaya

Debu, Uap Infeksi saluran pernapasan Batuk, sesak, bersin

Plastik akut

Bising Gangguan pendengaran Telinga berdenging, kurang

pendengaran

Percikan api Luka bakar Kulit terbakar dan nyeri


Bahan kimia

Dermatitis kontak iritan Gatal, kulit merah dan perih

Suhu panas

Dehidrasi, miliaria Badan lemas, keringat

berlebih, badan gatal dan

kemerahan

Cutter Teriris Luka lecet, luka robek

Bakar Sampah Terbakar Kebakaran, luka bakar

Katrol Hidrolik Tertimpa katrol hidrolik atau Trauma tumpul


benda yang di angkut

Gambar Potensi kemungkinan PAK

3.1.5 Promosi Kesehatan


PT MAK telah melaksanakan promosi kesehatan berupa penyuluhan kesehatan

tentang narkoba setahun dua kali dan pemasangan pamflet di beberapa tempat.

Kegiatan olahraga untuk tenaga kerja di PT MAK berupa sepak bola seminggu sekali

setiap hari jumat sore, voli dan bulu tangkis yang belum rutin. Selain itu, PT.MAK

juga melakukan simulasi KTD, penggunaan APAR, dan mendatangkan tenaga

kesehatan dari luar untuk melakukan penyuluhan tentang PAK setiap setahun sekali.

Gambar Poster Promosi Kesehatan

3.2 Penilaian Ergonomi Pekerja Pabrik MAK

3.2.1. Sikap Kerja

Sebagian besar tenaga kerja di PT. ASA bekerja dalam posisi berdiri, terutama pada

proses produksi. Tenaga kerja yang bekerja dalam posisi duduk banyak terlihat pada

unit packing.

a. Sikap Duduk

Hampir secara keseluruhan tenaga kerja PT. ASA yang bekerja dengan posisi duduk

tidak sesuai dengan kaidah ergonomi. Hal ini bisa dilihat dari pengamatan dalam

beberapa faktor, mulai dari fasilitas kursi ataupun bangku yang tidak memenuhi

standar kursi yang baik dimana harus memiliki arm rest, back rest, dan foot rest. Kursi

yang digunakan kebanyakan adalah kursi seadanya dengan beragam variasi ukuran
dengan model yang tidak memenuhi standar kursi kerja yang baik. Sehingga membuat

para pekerja harus duduk sesuai dengan kondisi dan sesuai dengan fasilitas yang

seadanya. Objek berupa kardus diletakkan di lantai, sehingga tenaga kerja bekerja

dengan posisi duduk membungkuk. Setiap pekerja memiliki waktu kerja efektif 8,5

jam, dimana 4,5 jam kerja diselingi 30 menit istirahat lalu dilanjutkan 4 jam kerja

berikutnya hingga pulang. Setiap pekerja sebelumnya telah dididik dalam

mempraktikkan posisi duduk yang baik dalam berkerja namun pada saat di lapangan

para pekerja harus menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi.

Gambar. Sikap Duduk yang sesuai dengan kaidah Ergonomi

b. Sikap Berdiri

Para tenaga kerja di PT. ASA kebanyakan juga melakukan pekerjaannya tidak

sesuai dengan kaidah ergonomi, karena objek kerjanya terletak terlalu di bawah,

sehingga sebagian pekerja harus melakukan pekerjaannya hingga menundukkan

kepala. Tenaga kerja mengaku posisi tersebut cukup nyaman karena sudah terbiasa,

namun beberapa pekerja mengaku kadang-kadang pegal pada leher dan bahunya.

Untuk durasinya, para tenaga kerja berdiri selama kurang lebih 7 jam sehari dengan

waktu istirahat yang fleksibel, asal target kerjanya terpenuhi. Tersedia ruang istirahat

untuk pekerja pada beberapa unit, antara lain di bagian gudang penyimpanan bahan

baku dan pada unit staking, sehingga tenaga kerja dapat duduk di sela-sela
pekerjaannya. Pada unit-unit lain seperti milling dan cutting, tersedia kursi pada area

kerja sehingga tenaga kerja bisa duduk saat ingin istirahat.

Selain itu, ada beberapa pekerja di bagian gudang bahan baku yang berdiri

sambil membungkuk untuk mengambil kulit untuk diletakkan di gerobak dorong.

Gambar. Sikap Berdiri saat kerja yang tidak sesuai kaidah Ergonomi

Gambar. Sikap Berdiri saat kerja yang sesuai dengan kaidah Ergonomi

3.2.2. Cara Kerja

a. Angkat Angkut

Mayoritas angkat angkut barang di PT. ASA menggunakan alat bantu seperti forklift,

gerobak, dan klethek. Hanya beberapa barang yang masih diangkut secara manual,

seperti pada unit packaging. Saat kunjungan, proses angkat angkut dengan forklift

tidak terlihat, hanya terlihat angkat angkut di gudang bahan baku yang caranya tidak

sesuai dengan kaidah ergonomi.

Pada perusahaan ini, tidak didapatkan tenaga kerja angkat angkut di unit

manapun yang menggunakan korset. Tenaga kerja sudah diberi pelatihan cara angkat

angkut barang yang ergonomis oleh pihak perusahaan, namun belum diterapkan

secara maksimal oleh pekerja.


b. Non angkat angkut

Pekerja yang mengoperasikan mesin otomatis maupun manual sebagian besar dalam

posisi berdiri. Contohnya adalah pekerja yang berada di bagian shaving, milling, dsb.

3.2.3. Kesesuaian Mesin / Peralatan Kerja

a. Mesin/alat: beberapa alat sesuai dengan tinggi pekerja

b. Work Station / Ruang Kerja

Work station kebanyakan sudah sesuai syarat, di mana setiap pekerja memiliki tempat

yang cukup untuk bergerak secara bebas. Namun pada unit enzyn-setter dan toggling,

jarang antar pekerja terlalu dekat, kurang dari 2 meter. Pada unit-unit lain, pekerja

memiliki ruang gerak yang cukup luas sehingga geraknya leluasa dan tidak

menghambat proses kerja.

c. Cubic Space

Berdasarkan pengamatan kami pada bagian pengelasan dan perakitan roda di PT

ASA, volume ruang kerja sudah sesuai standar yaitu 10 - 15m3. Cubic space yang

kami amati beragam, beberapa antara lain unit tanning dengan ukuran ruangan 12 x 25

meter dengan tinggi ruangan lebih dari 4 meter, dengan jumlah pekerja pada ruangan

tersebut 15 orang, sehingga cubic space terhitung 80 m3.

d. Jalur

Dari hasil pengamatan kami, jalur kerja pada semua cukup lebar dan sesuai dengan

jenis kerja pada ruangan masing-masing. Lebar jalan yang digunakan oleh pekerja

untuk berpindah dari suatu mesin ke mesin lain sudah sesuai yaitu dapat digunakan

untuk berpapasan dua orang. Lantai pabrik pada unit dyeing dan tanning, yang

melibatkan cairan, cukup licin, sehingga pekerja risiko terpeleset. Pekerja sudah

diberikan sepatu boots namun kebanyakan tidak memakai karena tidak nyaman.
e. Tangga

Terdapat tangga yang terbuat dari kayu dengan yang memiliki ukuran pijakan 1 meter

x 25 cm dan kemiringan sekitar 45o. Kemiringan tangga yang ideal 25-30o,

maksimum kemiringan tidak boleh melebihi 45o.

f. Lingkungan Kerja

Berdasarkan pengamatan kami, PT. ASA belum memiliki lingkungan yang kondusif

bagi para pekerja. Tersedia ruangan yang dapat digunakan para pekerja untuk

menyimpan barang (loker), beristirahat, dan makan siang hanya pada satu ruangan.

Namun ruang istirahatnya belum Terdapat pula tempat ibadah (mushola) yang dapat

menampung sekitar lima belas orang. Terdapat satu toilet pada setiap ruangan, kecuali

pada unit packaging terdapat 2 toilet. Jumlah pekerja pada tiap ruangan antara 4-15

pekerja, sehingga jumlah toilet sudah memenuhi standar, yaitu minimal 1 toilet untuk

15 orang tenaga kerja. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pekerja, dari segi

sosial, para pekerja menikmati pekerjaannya dan interaksi antarpekerja berjalan

dengan baik. Dinding pabrik dicat putih sehingga memberi kesan luas dan

melegakan. Lingkungan di luar gedung pabrik terlihat panas, tidak ditanami

pepohonan di sekeliling bangunan pabrik.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Harrianto, R. 2008. Buku Ajar Kesehatan Kerja. EGC. Jakarta.

Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Guna Widya Jakarta.

Santoso, G. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. PT. Prestasi Pustaka Publisher.
Jakarta.

Suma’mur, PK. 1989. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Haji Masagung. Jakarta.

Wignjosoebroto, Sritomo. 2008. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Guna Widya. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai