Banyak
hal baru membutuhkan sumber daya manusia untuk dipekerjakan. Lapangan-Iapangan
kerja bermunculan dan memicu ketertarikan yang semakin besar terhadap pekerjaan itu
sendiri. Pada kenyataan selanjutnya dapat dilihat bahwa ketidakseimbangan antara
jumlah sumber daya manusia dan lapangan kerja tenyata menciptakan ketergantungan
pada faktor pekerja terhadap perusahaan atau organisasi di mana mereka dipekerjakan.
Ketergantungan dan kompetisi yang tinggi dalam memperebutkan pekerjaan seringkali
menutup mata dan menimbulkan kekurangpedulian pekerja terhadap apa yang
seharusnya ia dapatkan dalam pekerjaan, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan
kerja. Di sisi lain, tidak banyak pula perusahaan atau organisasi yang memperhatikan
keadaan Iingkungan kerja karyawannya secara adil, teratur dan penuh pertimbangan
kemanusiaan. Banyak perusahaan lupa bahwa manusia memiliki suatu ciri khas tertentu
yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan faktor-faktor produksi yang lain seperti
material, mesin, metode, uang dan informasi. Pekerja atau karyawan pada akhinya
menjadi pihak yang paling dirugikan atas kekurang perhatian perusahaan terhadap hal
ini (Sitaniapessy, 2000).
Menurut Johannson, (1993) dalam Winarsunu, (2008) salah satu hal yang tidak
diperhatikan secara cukup menonjol oleh pihak perusahaan adalah faktor psikososial
dalam lingkungan kerja. Indonesia seperti biasa selalu terlambat dalam memperhatikan
dan memberi perhatian dalam banyak hal, termasuk faktor psikosial dalam lingkungan
kaja. Pada prakteknya masih banyak hal yang harus diketahui oleh banyak perusahaan
di Indonesia. Beberapa hal yang harus diperhatilam adalah faktor psikososial dalam
lingkungan kerja dan baru kemudian mengimplementasikan hal-hal yang terkait dan
perlu dilakukan. Di dunia sendiri, terutama di negara-negara maju dalam satu dekade
terakhir studi tentang peran faktor-faktor psikosial dalam lingkungan kerja dan berbagai
efeknya telah dilakukan dan menjadi pertimbangan yang penting dan luas dalam banyak
perusahaan. Banyak a1asan mengapa faktor-faktor psikososial dalam lingkungan kerja
harus menjadi pertimbangan penting bagi perusahaan dalam mempekerjakan
karyawannya. Salah satu hal sederhana yang menjadi jawabannya adalah bahwa faktor
psikososial seringkali berhubungan dengan kesejahteraan serta keselamatan kerja dari
pekerja yang bersangkutan.
Faktor psikososial dalam keselamatan kerja menurut Winarsunu, (2008) antara
lain :
A. Tuntutan Kerja (Jobs Demands)
Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan kerja sehari-hari banyak
karyawan yang mengalami kelelahan dan mempunyai kecenderungan untuk
melakukan kesalahan pada pekerjaan yang dilakukannya pada waktu yang lama
tanpa ada istirahat karena banyaknya tuntutan kerja. Hal inilah yang seringkali
menjadi penyebab munculnya beban kerja (work load) baik fisik maupun mental
yang akan mempengaruhi performa kerja.
berada pada suasana bekerja akan tetapi ritme circadiannya berada pada fase
rilek. Selain itu, bekerja pada malam hari juga akan menimbulkan masalah lain
yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dan sosial.
Fungsi terpenting bagi berjalannya ritme circadian adalah tidur. Tidur,
tanpa terganggu merupakan prasyarat bagi kesehatan, kenyamanan dan efisiensi.
Orang dewasa normal umumnya membutuhkan tidur pada malam hari selama 8
jam/hari. Bagi pekerja shift malam, jam tidur malam biasanya diubah menjadi
tidur siang. Namun secara kuantitas dan kualitas, tidur siang banyak terganggu,
antara lain oleh kebisingan lingkungan tempat tinggal sehingga mereka
umumnya tidak bias beristirahat. Ditemukan oleh Lille, bahwa perkerja shift
malam rata-rata tidur selama 6 jam (Grandjean, 1988).
Dalam kaitannya dengan produktivitas dan frekuensi kecelakaan kerja,
dalam hal ini masih menjadi perdebatan. Akan tetapi diasumsikan, bahwa
bekerja pada malam hari akan menurunkan produktivitas dan meningkatkan
kecelakaan kerja. Namun menurut Grandjean (1988) hal ini tidak selalu
demikian. Ini mungkin berkaitan dengan tidak adanya gangguan dari teman
sekerja, mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, atau karena pekerja shift
malam sering membuat pilihan-pilihan positif yang membuat bekerja pada
malam hari menjadi nilai tambah.
Dalam kaitannya dengan kesehatan, Thiis-Evensen dan Aanonsen
(Grandjean, 1988) menemukan bahwa pekerja shift malam umunya memiliki
kesehatan yang kurang baik. Mereka biasanya menderita gangguan pencernaan
dan merasa gelisah atau gugup. Hal ini disebabkan oleh kronik dan kebiasan
makan dan minum yang tidak sehat. Kelelahan kronik tersebut adalah antara lain
kehilangan vitalitas, perasaan depresi, perasaan mudah marah dan keletihan
meskipun mereka sudah tidur. Keadaan ini biasanya disertai dengan gangguan
psikosomatik, antara lain kehilangan nafsu makan, gangguan tidur dan gangguan
pencernaan. Gejala dari penyakit-penyakit di atas pada setiap individu berbeda.
Salah satu factor yang mempengaruhinya adalah usia. Pekerja yang sudah
berumur 40 tahun ke atas, kurang dapat beradaptasi dengan jam kerja malam dan
lebih mudah lelah. Mereka juga kurang dapat menikmati tidurnya karena sangat
mudah terganggu.
Sistem kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode,
masing-masing selama 8 jam, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift
pagi, sore dan malam. Shift kerja yang menggunakan pembagian dari jam 08.00
16.00, 16.00 24.00 dan 24.00 08.00 mempunyai kelebihan baik secara
psikologis maupun sosial. Pada masing-masing shift, pekerja mempunyai satu
kali kesempatan makan bersama-sama dengan keluarganya dan mempunyai
kesempatan untuk tidur dengan baik khusunya bagi shift pagi dan sore
(Grandjean, 1988).
Ada 2 persyaratan yang harus diperhatikan dalam pengatur shift (shift
rotation), yaitu (1) kehilangan tidur sedapat-dapatnya dikurangi dan hal ini akan
meminimalkan kelelahan dan (2) harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan
keluarga dan kontak social (Grandjean, 1988). Perencaan shift yang paling baik
yang sesuai dengan persyaratan di atas adalah shift kerja yang langsung
memberikan waktu istirahat atau libur selama 24 jam penuh setelah bekerja
malam dan menyarankannya untuk diberi libur 2x24 jam penuh (Grandjean,
1988).
E. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Bekerja merupakan mekanisme seseorang untuk dapat
mengaktualisasikan diri memperluas aktifitas, memperteguh status dan
jangkauan sosial, juga untuk mendapatkan penghasilan, demikian juga berlaku
untuk kaum perempuan. Namun permasalahan yang dihadapi perempuan di
tempat kerja jauh lebih kompleks dibanding pekerja laki-laki. Utamanya adalah
masalah-masalah yang berhubungan dengan kekerasan dan pelanggaran terhadap
harga diri dan hak-hak perempuan di tempat kerja yang sudah berlangsung sejak
lama adalah pelecehan seksual. Bagi kaum perempuan pelecehan seksual bukan
lagi merupakan epidemic, yaitu wabah yang setiap saat bisa mengancam dan
siap menyerang kapanpun dan dimanapun. Jika pelecehan seksual telah menjadi
persoalan yang serius, maka perlu dibedakannya dengan perilaku-perilaku jenis
lain (Winarsunu,2008).
Secara umum pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki dan korbannya
adalah perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual
88.1% dilakukan oleh supervisor dan 30% oleh coworker atau teman sekerjanya.
Sedangkan korban 70% adalah perempuan dan sedikit sekali korban laki-laki.
Besarnya korban pada perempuan ada kaitannya dengan kondisi umum dimana
perempuan memiliki kerentanan terutama apabila ia lemah secara ekonomi.
Namun, ditemukan bahwa pelecehan seksual mudah dan sering terjadi pada
perempuan yang memiliki karakteristik sebagai berikut : usia lebih muda,
peekrja baru, perempuan yang masih single, tingkat pendidikannya rendah, dan
pekerja magang atau parttimer (Winarsunu,2008).
Jadi kondisinya semakin jelas bahwa disamping harus melakukan
pekerjaannya sebagaimana yang harus dilakukan laki-laki, pekerja perempuan
masih dituntut untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual
di tempat kerjanya sendiri. Sebagaimana kaum perempuan lainnya ia juga
merasa takut mengalami perkosaan. Mungkin perlu difikirkan model pemberian
insentif yang lebih besar bagi perempuan daripada pekerja laki-laki, karena ia
telah menggunakan semua harinya untuk bekerja dibawah ancaman dan tekanan.
1. Jenis-jenis Pelecehan Seksual.
Menurut Winarsunu, (2008) jenis-jenis pelecehan seksual ada 2 macam,
yaitu :
a. Quid Pro Que
Quid pro que, berasal dari bahasa latin, yang artinya ini untuk itu.
Pelaku menerapkan prinsip trading, Ini ditukar itu, maksudnya pekerjaan
ditukar dengan sex. Jika korban meyetujui (karena terpaksa) untuk
memenuhi transaksi itu maka ia akan mendapatkan pekerjaannya. Jika
tidak, ia tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan itu. Peristiwa ini juga
sering disebut sebagai penyuapan seksual (sexual bribery). Atau juga
dimaksudkan untuk mengancam. Jika korban tidak mau menuruti
transaksi itu maka ia akan kehilangan sesuatu. Misalnya, pemberhentian,
dipindah, ditolak, atau dihambat perjalanan karirnya. Untuk
mempertahankan pekerjaanya, mungkin karena alasan ketidak berdayaan
ekonomi atau karena lebih memilih mempertahankan hidup maka ia
terpaksa memenuhinya. Dalam hal ini pelaku memaksa korban untuk
menyetujui transaksi yang berat sebelah. Menyetujui atau tidak
menyetujui, bagi korban sama saja yaitu tetap mengalami penderitaan,
sedangkan keuntungan tetap hanya pada pihak pelaku.
Jenis ini sering dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, misalnya
untuk promosi, penilaian performance, atau berupa janji-janji
mendapatkan sesuatu, atau bahkan sekedar untuk menakut-nakuti dan
mengancam korban. Pada intiya, pelaku menggunakan seks sebagai
persyaratan untuk memperoleh sesuatu. Namun apabila dalam memenuhi
transaksi itu korban merasa senang atau menikmatinya karena ia juga
membutuhkannya, maka kejadian itu tidak masuk dalam kategori
pelecehan seksual. Hal itu mungkin merupakan jenis hubungan
pencintaan yang lainnya.
b. Hostile Environment
Hostile environment berkaitan dengan suasana atau lingkungan
organisasi yang dicirikan oleh keadaan yang penuh dengan simbul,
ucapan, tulisan, tindakan berkonotasi seksual yang mengakibatkan
perasaan tidak meyenangkan kepada para korban. Berbeda dengan quid
pro quo, dalam hostile environment ini tidak ada unsur pertukaran atau
persyaratan sexual yang harus dipenuhi korban.
Bentuknya bisa berupa tindakan fisik misalnya; penyerangan
seksual yang dilakukan secara agresif dan memaksa, sentuhan atau
rabaan pada bagian tubuh tertentu, berusaha menempel sangat dekat
ketubuh korban, mempertontonkan bahan-bahan pornografi. Juga bisa
f.
DAFTAR PUSTAKA
Bridger. 1995.Introduction to Ergonomics. New York:McGraw-Hill,Inc.
9
10