Anda di halaman 1dari 10

Dewasa ini kebutuhan akan dunia kerja hampir terjadi di segala bidang.

Banyak
hal baru membutuhkan sumber daya manusia untuk dipekerjakan. Lapangan-Iapangan
kerja bermunculan dan memicu ketertarikan yang semakin besar terhadap pekerjaan itu
sendiri. Pada kenyataan selanjutnya dapat dilihat bahwa ketidakseimbangan antara
jumlah sumber daya manusia dan lapangan kerja tenyata menciptakan ketergantungan
pada faktor pekerja terhadap perusahaan atau organisasi di mana mereka dipekerjakan.
Ketergantungan dan kompetisi yang tinggi dalam memperebutkan pekerjaan seringkali
menutup mata dan menimbulkan kekurangpedulian pekerja terhadap apa yang
seharusnya ia dapatkan dalam pekerjaan, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan
kerja. Di sisi lain, tidak banyak pula perusahaan atau organisasi yang memperhatikan
keadaan Iingkungan kerja karyawannya secara adil, teratur dan penuh pertimbangan
kemanusiaan. Banyak perusahaan lupa bahwa manusia memiliki suatu ciri khas tertentu
yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan faktor-faktor produksi yang lain seperti
material, mesin, metode, uang dan informasi. Pekerja atau karyawan pada akhinya
menjadi pihak yang paling dirugikan atas kekurang perhatian perusahaan terhadap hal
ini (Sitaniapessy, 2000).
Menurut Johannson, (1993) dalam Winarsunu, (2008) salah satu hal yang tidak
diperhatikan secara cukup menonjol oleh pihak perusahaan adalah faktor psikososial
dalam lingkungan kerja. Indonesia seperti biasa selalu terlambat dalam memperhatikan
dan memberi perhatian dalam banyak hal, termasuk faktor psikosial dalam lingkungan
kaja. Pada prakteknya masih banyak hal yang harus diketahui oleh banyak perusahaan
di Indonesia. Beberapa hal yang harus diperhatilam adalah faktor psikososial dalam
lingkungan kerja dan baru kemudian mengimplementasikan hal-hal yang terkait dan
perlu dilakukan. Di dunia sendiri, terutama di negara-negara maju dalam satu dekade
terakhir studi tentang peran faktor-faktor psikosial dalam lingkungan kerja dan berbagai
efeknya telah dilakukan dan menjadi pertimbangan yang penting dan luas dalam banyak
perusahaan. Banyak a1asan mengapa faktor-faktor psikososial dalam lingkungan kerja
harus menjadi pertimbangan penting bagi perusahaan dalam mempekerjakan
karyawannya. Salah satu hal sederhana yang menjadi jawabannya adalah bahwa faktor
psikososial seringkali berhubungan dengan kesejahteraan serta keselamatan kerja dari
pekerja yang bersangkutan.
Faktor psikososial dalam keselamatan kerja menurut Winarsunu, (2008) antara
lain :
A. Tuntutan Kerja (Jobs Demands)
Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan kerja sehari-hari banyak
karyawan yang mengalami kelelahan dan mempunyai kecenderungan untuk
melakukan kesalahan pada pekerjaan yang dilakukannya pada waktu yang lama
tanpa ada istirahat karena banyaknya tuntutan kerja. Hal inilah yang seringkali
menjadi penyebab munculnya beban kerja (work load) baik fisik maupun mental
yang akan mempengaruhi performa kerja.

Menurut Waluyo, (1984) dalam Winarsunu, (2008) tuntutan kerja dibagi


menjadi dua kategori yaitu tuntutan kerja fisik (physical job demands) dan
tuntutan kerja mental (mental job demands).
1. Tuntutan Kerja Fisik (Physical Job Demands)
Tuntutan kerja fisik suatu kondisi secara langsung berasal dari
beban kerja fisik (physical work load) dan mempengaruhi tubuh.
Oleh karena tubuh manusia memiliki keterbatasan kapasitas maka,
akan ditemui adanya ketidaksesuaian antara kondisi tubuh dengan
beban kerja fisik. Orang-orang yang bekerja secara monoton akan
memiliki kecenderungan sakit pada leher dan bahu, dan berhubungan
dengan penyakit mosculo-skeletal.
Tuntutan kerja fisik dapat meliputi gerakan-gerakan fisik sebagai
berikut : membungkuk dan memutar, mengangkat benda berat,
membungkuk ke depan tanpa penopang tangan atau lengan, gerakangerakan yang tidak nyaman, postur tubuh yang tidak nyaman, bekerja
keras, jumlah tugas, dan banyaknya tenaga yang dibutuhkan.
2. Tuntutan Kerja Mental (Mental Job Demands)
Tuntukan kerja mental adalah suatu kondisi yang secara langsung
berhubungan dengan proses-proses mental yang terlibat dan
dibutuhkan dalam bekerja. Hal ini bisa meliputi keadaaan-keadaan
seperti : selalu memikirkan pekerjaan, mengerjakan beberapa hal
dalam waktu yang bersamaan, kesulitan-kesulitan mengerjakan tugas
yang dihadapi oleh karyawan baik harus dibantu ataupun tidak
dibaantu denngan orang lain.
B. Symtom
Symtom adalah keluhan yang merupakan indikasi dari adanya suatu keadaan
dalam diri pekerja yang sedang sakit yang berhubungan dengan kondisi-kondisi
tempat kerja. Perasaan tertekan seperti nervous, tertekan dan kesulitan tidur
dihubungkan dengan keluhan-keluhan pada punggung. Dalam penelitian
symtom psikosomatis juga menunjukkan korelasi yang kuat dengan keluhan
pada punggung. Symtom yang berhubungan dengan kerja bisa merupakan
manifestasi dari stres pada tubuh maupun pikiran pekerja. Sass (1988), dalam
Winarsunu, (2008) tidak hanya mendukung bahwa ada kondisi kerja yang
menyebabkan symtom, tetapi juga menyebutkan bahwa manifestasi stres pada
kerja berbeda, karena hal ini bisa dipengaruhi oleh karakteristik pekerja.
Misalnya, umur pekerja sangat mempengaruhi persepsi pada stresor kerja yang
ada, dimana antara orangtua dengan yang masih muda akan berbeda. Juga antara
laki-laki dan perempuan akan memiliki implikasi yang berbeda-beda pula.
Menurut Waluyo, (1984) dalam Winarsunu, (2008) symtom ini bisa dibagi
menjadi dua kategori, yaitu symtom fisik (physical symptoms) dan symtom
mental (mental symptoms).

1. Gejala Fisik ( Physical Symptom)


Gejala fisik berhubungan dengan keadaan sakit pada bagian-bagian
tubuh tertentu yang meliputi : leher, bahu, siku, tangan, punggung atas,
punggung bawah, pinggul, lutut, kaki atau pergelangan kaki.
2. Gejala Mental (Mentally Symptom)
Gejala mental berhubungan dengan suatu keadaan keluhan yang terasa
dalam psikis seseorang. Misalnya terasa lelah atau tidak ada gairah, sangat
lelah setelah bekerja , tertekan oleh persyaratan dan waktu kerja, merasa
marah, atau selalu memikirkan pekerjaan.
C. Kebisingan
Galer (1987) menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa kebisingan
bisa dianggap sebagai suatu masalah yang harus diperhatikan oleh organisasi
industri. Pertama, kebisingan tidak disukai orang, kedua kebisingan bisa
merusak pendengaran dan yang ketiga bisa berpengaruh buruk pada efisiensi
kerja. Diterangkan oleh Bridger (1995) bahwa kebisingan adalah salah satu
pencemaran yang berasal dari penerapan teknologi. Sumber kebisingan
bermacam-macam, misalnya seperti mesin pabrik, pesawat terbang, lalu lintas,
peralatan kantor, dan lain-lain.
Lebih lanjut Bridger (1995) mengatakan bahwa kebisingan dalah bunyi
pada amplitudo tertentu yang menyebabkan gangguan atau mempengaruhi
komunikasi. Sedangkan bunyi adalah sensasi auditory yang dihasilkan oleh
gelombang energi yang merambat melalui media sampai ke telinga. Bunyi
memiliki amplitudo dan frekuensi. Frekuensi akan menentukan tinggi
rendahhnya nada, sedangkan amplitudo akan menentukan intensitas atau kadar
suara. Bunyi dapat diukur secara obyektif sedangkan kebisingan adalah
fenomena subyektif. Oleh karena itu kebisingan sering disebut bunyi yang tidak
disukai, suara yang mengganggu, atau bunyi yang menjengkelkan. Satuan
ukuran frekuensi adalah Hertz (Hz), sedangkan ukuran amplitudo adalah Decible
(dB).
Telinga manusia hanya dapat mendengar dengan frekuensi antara 1620.000 Hz dan amplitudo antara 0-140 dB. Menurut Bridger (1995) pada tingkat
140 dB, telinga manusia akan rusak. Sebenarnya rusaknya pendengaran manusia
tidak hanya karena intensitas bunyi yang tinggi tetapi juga tergantung pada
kepekaan pendengaran yang bersangkutan, lamanya menghadapi kebisingan dan
kontinyu tidaknya kebisingan tersebut. Jika kebisingan itu berlangsung kadangkadang, maka hal ini hanya mengganggu saja dan tidak sampai mengganggu
pendengaran.
Tingkat maksimal yang diperbolehkan untuk menghadapi kebisingan
selama 8 jam kerja secara kontinyu adalah 85 dB (Silalahi, 1995). Tingkat
kebisingan dibawah 85 dB, walaupun bukan merupakan ancaman yang serius
terhadap kerusakan pendengaran akan tetapi pada tingkat-tingkat tertentu dapat

mempengaruhi dan menurunkan prestasi kerja. Menurut Woodson (1992) tingkat


50-60 dB merupakan tingkat yang paling layak untuk kehidupan sehari-hari.
Idealnya tingkat kebisingan dapat diatur pada tingkat 55-60 dB. Tetapi
jika hal ini tidak mungkin dilakukan, maka telinga pekerja harus di proteksi. Ada
2 bentuk alat proteksi pendengaran, yaitu earplugs dan earmuffs. Earplugs
memiliki bentuk yang lebih kecil, mudah dibawa, nyaman, dan lebih murah dari
pada earmuffs. Akan tetapi membutuhkan waktu yag lama untuk
penyesuaiannya. Sedangkan, earmuffs memberi daya proteksi yang lebih baik.
Para pekerja sering tidak menggunakan alat proteksi ini dengan alasan tidak
nyaman dan mengganggu komunikasi. Padahal dalam jangka tertentu kebisingan
akan dapat menyebabkan kehilangan pendengaran seseorang. (Bridger, 1995)
D. Shift Kerja
Secara individual, shift kerja berarti hadir pada suatu tempat kerja yang sama
secara regular pada waktu yang sama (yang disebut shift kerja kontinyu) atau
dengan waktu yang berbeda-beda (yang disebut rotasi). Kroemer, (1994) dalam
Winarsunu, (2008) menerangkan lebih lanjut bahwa dengan semakin
berkembangnya industrialisasi, model bekerja sepanjang hari yaitu selama 24
jam menjadi sangat umum, yang dibagi menjadi 2 shift masing-masing siang dan
malam 12 jam atau dibagi menajdi 3 shift, pagi, siang, dan malam masingmasing 8 jam. Pada awal abad 20 sistem kerja yang menggunakan 6 hari kerja
dengan 10 jam per hari menjadi semakin berkurang. Sekarang beberapa sistem
kerja menggunakan 8 jam per hari selama 5 hari per minggu. Dengan
kecenderungan ini, maka jumlah hari dan jam kerja semakin berkurang,
menjadikan karyawan memperoleh weekend 2 hari untuk bebas kerja sehingga
bisa mengurangi kelelahan kecelakaan kerja dan memperoleh kapsitas kerja
baru.
Pada saat sekarang ini hampir semua industri menerapkan sistem
produksi yang kontinyu, selain untuk mengoptimalkan daya kerja mesin-mesin
industri yang umumnya mahal, juga untuk meningkatkan keuntungan
perusahaan. Akibatnya para karyawan juga bekerja pada malam hari. Menurut
Grandjean (1988) manusia mempunyai circardian rhythem, yaitu fluktuasi dari
berbagai macam fungsi tubuh selama 24 jam. Pada malam hari manusia berada
pada fase trophotropic yaitu fase dimana tubuh melakukan pembaharuan
cadangan energi atau penguatan kembali. Sedangkan pada siang hari manusia
berada pada fase ergotrophic yaitu fase dimana semua organ dan fungsi tubuh
siap untuk melakukan suatu tindakan.
Beberapa fungsi tubuh yang meningkat pada siang hari dan menurun
pada malam hari antara lain adalah suhu badan, denyut jantung, tekanan darah,
kapasitas fisik, kemampuan mental dan produksi adrenalin (Bridger, 1995). Dari
uraian ini dapat dikatakan bahwa karyawan yang bekerja pada malam hari akan
4

berada pada suasana bekerja akan tetapi ritme circadiannya berada pada fase
rilek. Selain itu, bekerja pada malam hari juga akan menimbulkan masalah lain
yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dan sosial.
Fungsi terpenting bagi berjalannya ritme circadian adalah tidur. Tidur,
tanpa terganggu merupakan prasyarat bagi kesehatan, kenyamanan dan efisiensi.
Orang dewasa normal umumnya membutuhkan tidur pada malam hari selama 8
jam/hari. Bagi pekerja shift malam, jam tidur malam biasanya diubah menjadi
tidur siang. Namun secara kuantitas dan kualitas, tidur siang banyak terganggu,
antara lain oleh kebisingan lingkungan tempat tinggal sehingga mereka
umumnya tidak bias beristirahat. Ditemukan oleh Lille, bahwa perkerja shift
malam rata-rata tidur selama 6 jam (Grandjean, 1988).
Dalam kaitannya dengan produktivitas dan frekuensi kecelakaan kerja,
dalam hal ini masih menjadi perdebatan. Akan tetapi diasumsikan, bahwa
bekerja pada malam hari akan menurunkan produktivitas dan meningkatkan
kecelakaan kerja. Namun menurut Grandjean (1988) hal ini tidak selalu
demikian. Ini mungkin berkaitan dengan tidak adanya gangguan dari teman
sekerja, mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, atau karena pekerja shift
malam sering membuat pilihan-pilihan positif yang membuat bekerja pada
malam hari menjadi nilai tambah.
Dalam kaitannya dengan kesehatan, Thiis-Evensen dan Aanonsen
(Grandjean, 1988) menemukan bahwa pekerja shift malam umunya memiliki
kesehatan yang kurang baik. Mereka biasanya menderita gangguan pencernaan
dan merasa gelisah atau gugup. Hal ini disebabkan oleh kronik dan kebiasan
makan dan minum yang tidak sehat. Kelelahan kronik tersebut adalah antara lain
kehilangan vitalitas, perasaan depresi, perasaan mudah marah dan keletihan
meskipun mereka sudah tidur. Keadaan ini biasanya disertai dengan gangguan
psikosomatik, antara lain kehilangan nafsu makan, gangguan tidur dan gangguan
pencernaan. Gejala dari penyakit-penyakit di atas pada setiap individu berbeda.
Salah satu factor yang mempengaruhinya adalah usia. Pekerja yang sudah
berumur 40 tahun ke atas, kurang dapat beradaptasi dengan jam kerja malam dan
lebih mudah lelah. Mereka juga kurang dapat menikmati tidurnya karena sangat
mudah terganggu.
Sistem kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode,
masing-masing selama 8 jam, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift
pagi, sore dan malam. Shift kerja yang menggunakan pembagian dari jam 08.00
16.00, 16.00 24.00 dan 24.00 08.00 mempunyai kelebihan baik secara
psikologis maupun sosial. Pada masing-masing shift, pekerja mempunyai satu
kali kesempatan makan bersama-sama dengan keluarganya dan mempunyai

kesempatan untuk tidur dengan baik khusunya bagi shift pagi dan sore
(Grandjean, 1988).
Ada 2 persyaratan yang harus diperhatikan dalam pengatur shift (shift
rotation), yaitu (1) kehilangan tidur sedapat-dapatnya dikurangi dan hal ini akan
meminimalkan kelelahan dan (2) harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan
keluarga dan kontak social (Grandjean, 1988). Perencaan shift yang paling baik
yang sesuai dengan persyaratan di atas adalah shift kerja yang langsung
memberikan waktu istirahat atau libur selama 24 jam penuh setelah bekerja
malam dan menyarankannya untuk diberi libur 2x24 jam penuh (Grandjean,
1988).
E. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Bekerja merupakan mekanisme seseorang untuk dapat
mengaktualisasikan diri memperluas aktifitas, memperteguh status dan
jangkauan sosial, juga untuk mendapatkan penghasilan, demikian juga berlaku
untuk kaum perempuan. Namun permasalahan yang dihadapi perempuan di
tempat kerja jauh lebih kompleks dibanding pekerja laki-laki. Utamanya adalah
masalah-masalah yang berhubungan dengan kekerasan dan pelanggaran terhadap
harga diri dan hak-hak perempuan di tempat kerja yang sudah berlangsung sejak
lama adalah pelecehan seksual. Bagi kaum perempuan pelecehan seksual bukan
lagi merupakan epidemic, yaitu wabah yang setiap saat bisa mengancam dan
siap menyerang kapanpun dan dimanapun. Jika pelecehan seksual telah menjadi
persoalan yang serius, maka perlu dibedakannya dengan perilaku-perilaku jenis
lain (Winarsunu,2008).
Secara umum pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki dan korbannya
adalah perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual
88.1% dilakukan oleh supervisor dan 30% oleh coworker atau teman sekerjanya.
Sedangkan korban 70% adalah perempuan dan sedikit sekali korban laki-laki.
Besarnya korban pada perempuan ada kaitannya dengan kondisi umum dimana
perempuan memiliki kerentanan terutama apabila ia lemah secara ekonomi.
Namun, ditemukan bahwa pelecehan seksual mudah dan sering terjadi pada
perempuan yang memiliki karakteristik sebagai berikut : usia lebih muda,
peekrja baru, perempuan yang masih single, tingkat pendidikannya rendah, dan
pekerja magang atau parttimer (Winarsunu,2008).
Jadi kondisinya semakin jelas bahwa disamping harus melakukan
pekerjaannya sebagaimana yang harus dilakukan laki-laki, pekerja perempuan
masih dituntut untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual
di tempat kerjanya sendiri. Sebagaimana kaum perempuan lainnya ia juga
merasa takut mengalami perkosaan. Mungkin perlu difikirkan model pemberian

insentif yang lebih besar bagi perempuan daripada pekerja laki-laki, karena ia
telah menggunakan semua harinya untuk bekerja dibawah ancaman dan tekanan.
1. Jenis-jenis Pelecehan Seksual.
Menurut Winarsunu, (2008) jenis-jenis pelecehan seksual ada 2 macam,
yaitu :
a. Quid Pro Que
Quid pro que, berasal dari bahasa latin, yang artinya ini untuk itu.
Pelaku menerapkan prinsip trading, Ini ditukar itu, maksudnya pekerjaan
ditukar dengan sex. Jika korban meyetujui (karena terpaksa) untuk
memenuhi transaksi itu maka ia akan mendapatkan pekerjaannya. Jika
tidak, ia tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan itu. Peristiwa ini juga
sering disebut sebagai penyuapan seksual (sexual bribery). Atau juga
dimaksudkan untuk mengancam. Jika korban tidak mau menuruti
transaksi itu maka ia akan kehilangan sesuatu. Misalnya, pemberhentian,
dipindah, ditolak, atau dihambat perjalanan karirnya. Untuk
mempertahankan pekerjaanya, mungkin karena alasan ketidak berdayaan
ekonomi atau karena lebih memilih mempertahankan hidup maka ia
terpaksa memenuhinya. Dalam hal ini pelaku memaksa korban untuk
menyetujui transaksi yang berat sebelah. Menyetujui atau tidak
menyetujui, bagi korban sama saja yaitu tetap mengalami penderitaan,
sedangkan keuntungan tetap hanya pada pihak pelaku.
Jenis ini sering dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, misalnya
untuk promosi, penilaian performance, atau berupa janji-janji
mendapatkan sesuatu, atau bahkan sekedar untuk menakut-nakuti dan
mengancam korban. Pada intiya, pelaku menggunakan seks sebagai
persyaratan untuk memperoleh sesuatu. Namun apabila dalam memenuhi
transaksi itu korban merasa senang atau menikmatinya karena ia juga
membutuhkannya, maka kejadian itu tidak masuk dalam kategori
pelecehan seksual. Hal itu mungkin merupakan jenis hubungan
pencintaan yang lainnya.
b. Hostile Environment
Hostile environment berkaitan dengan suasana atau lingkungan
organisasi yang dicirikan oleh keadaan yang penuh dengan simbul,
ucapan, tulisan, tindakan berkonotasi seksual yang mengakibatkan
perasaan tidak meyenangkan kepada para korban. Berbeda dengan quid
pro quo, dalam hostile environment ini tidak ada unsur pertukaran atau
persyaratan sexual yang harus dipenuhi korban.
Bentuknya bisa berupa tindakan fisik misalnya; penyerangan
seksual yang dilakukan secara agresif dan memaksa, sentuhan atau
rabaan pada bagian tubuh tertentu, berusaha menempel sangat dekat
ketubuh korban, mempertontonkan bahan-bahan pornografi. Juga bisa

berbentuk non fisik misalnya merayu, ajakan kencan, membuat lelucon


porno, mengucapkan kata-kata miring tentang wanita dan sebagainya.
2.

Efek Terhadap Korban


Pelecehan seksual menimbulkan konsekuensi negative secara fisik,
emosi dan mempengaruhi performance kerja korban. Efek langsung yang
dialami korban adalah depresi dan stress pasca trauma. Pengalaman traumatic
karena pelecehan seksual bisa berlangsung sangat lama. Sebenarnya bukan yang
menjadi korban secara langsung saja yang menderita akibat pelecehan seksual,
tetapi juga mengenai para pekerja perempuan lain yang menyaksikan atau
menjadi saksi ketika pelecehan seksual itu terjadi. Para saksi tersebut juga
mengalami stress meskipun tarafnya tidak seberat korban utama. Hal inilah yang
disebut sebagai by stander stress (Winarsunu,2008).

3. Upaya Meredukasi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja


Pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja menjadi permasalahan
tersendiri bagi organisasi. Disamping mengakibatkan efek negatif bagi korban,
pelecehan seksual juga mempengaruhi proses dan iklim organisasi secara umum.
Menurut Winarsunu, (2008) upaya meredukasi pelecehan seksual di tempat kerja
antara lain :
a. Intervensi Berdasar Model Tradisional
Model ini merupakan paling lemah karena cara pandangnya yang
sangat pesimistik, dimana pelecehan seksual dianggap terjadi karena
perbuatan orang yang mengalami gangguan psikologis.
b. Intervensi Berdasarkan Model Alamiah/Biologi
Model alamiah tidak memberikan implikasi terhadap usaha-usaha
pemecah masalah, sebab pelecehan seksual dianggap kejadian alamiah
sebagai konsekuensi logis dari dorongan seksual dan agresi. Namun
intervensi masih bisa dilakukan terutama ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran bagaimana laki-laki bisa menjalin relasi sosial dan berperilaku
seksual terhadap perempuan dengan cara yang baik.
c.

Intervensi Berdasarkan Model Sosikultural


Berdasarkan model ini pelecehan seksual disebabkan oleh sistem
patriarki yang berkembang di masyarakat, yang menempatkan laki-laki di
atas perempuan. Konsep ini telah melekat di tengah-tengah masyarakat.
Upaya untuk merubah pandangan masyarakat yang seperti ini tidak mudah,
perubahannya harus melibatkan unsur yang sangat luas, yaitu keluarga,
pendidikan disekolah formal dan pendidikan yang ada di masyarakat.

d. Intervensi Berdasarkan Model Feminist


Terjadinya pelecehan seksual model ini lebih disebabkan oleh adanya
steriotype gender terhadap perempuan. Merubah steriotype berarti merubah
tataran sosial dan budaya masyarakat. Diperlukan waktu yang tidak sedikit
untuk merubahnya. Intervensi dilakukan melalui pendidikan di rumah
melalui ajaran-ajaran dan model orang tua, sistem pendidikan melalui
kurikulum formal dan aktifitas-aktifitas lain yang dapat mengembangkan
persepsi siswa terhadap gender.
e.

Intervensi Berdasar Model Organisasi


Model organisasional mengasumsikan bahwa pelecehan seksual
terjadi karena adanya power dan situasi dan kondisi atau iklim organisasi
yang kurang baik. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain
menciptakan iklim organisasi yang menjamin kondisi bebas pelecehan
seksual. Untuk menghindari penyalahgunaan power organisasi harus
mendefinisikan secara eksplisit tentang batasan, otoritas dan batasan
kewajiban pekerja, komunikasi lintas power harus dibuka, managemen
bertanggung jawab dan menindaklanjuti pelecehan seksual, harus
menyediakan prosedur pengaduan dan membuat larangan melakukan
pelecehan seksual di tempat kerja.

f.

Intervensi Berdasar Model Empat Faktor


Intervensi yang bisa dilakukan antara lain ditujukan kepada pelaku,
lingkungan ekternal dan korban. Prakondisi yang perlu diintervensi
sehubungan dengan pelaku adalah peningkatan kesadaran dalam
menyalurkan motif dan kebutuhan pada cara yang sesuai dengan norma,
pelaku harus mendapat penjelasan mengenai kesalahan-kesalahan moral
yang sudah dilakukan, dan mendapat training ketrampilan berempati.
Intervensi yang berkaitan dengan kondisi eksternal misalnya
organisasi menyediakan prosedur dan peraturan yang tegas mengenai
pelecehan seksual, sanksi bagi pelaku, menciptakan lingkungan kerja yang
profesional, dan memperkuat lingkungan kerja. Sedangkan intervensi yang
dapat dilakukan bagi korban adalah dengan mengharapkan perempuan
mengambil bagian dalam memperkecil terjadinya pelecehan seksual.

DAFTAR PUSTAKA
Bridger. 1995.Introduction to Ergonomics. New York:McGraw-Hill,Inc.
9

Galer. 1987.Applied Ergonomics Handbook.London:Butterworth & Co. Publishers


LTD.
Grandjean,Etienne. 1988. Fitting the Task to the Man. London. Taylor and Francis.
Silalahi, Bennet. 1995. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT.
Pustaka Binaman Pressindo.
Sitaniapessy.2000.Sumber Daya Manusia Sebagai Kekuatan dalam Menata Bisnis.
Yogyakarta: Universitas Wangsa Manggala.
Winarsunu, Tulus.2008.Psikologi Keselamatan Kerja.Malang.UMM Press.
Woodson,W.E. et al. 1992.Human Factor Design Handbook. New York: McGraw-Hill
Publishing Company.

10

Anda mungkin juga menyukai