Anda di halaman 1dari 19

Aspek aspek Psikososial

dalam Keselamatan Kerja


Faijin
Akbar
(J4101300
24)

Tetiek Catur
Chomariah
(J41013009
5)

Ulima
Fadhilah
Larasati
(J41013006
0)

Waskitha
Giri
Sulistya
(J41013009
4)

Latar Belakang

Saat ini, kebutuhan akan dunia kerja hampir terjadi di segala bidang.
Banyak hal baru membutuhkan sumber daya manusia untuk
dipekerjakan. Lapangan-Iapangan kerja bermunculan dan memicu
ketertarikan yang semakin besar terhadap pekerjaan itu sendiri.
Namun pada kenyataan selanjutnya, dapat dilihat bahwa
ketidakseimbangan antara jumlah sumber daya manusia dan
lapangan kerja tenyata menciptakan ketergantungan pada faktor
pekerja terhadap perusahaan atau organisasi di mana mereka
dipekerjakan. Ketergantungan dan kompetisi yang tinggi
menimbulkan kekurangpedulian pekerja terhadap apa yang
seharusnya ia dapatkan dalam pekerjaannya. Di sisi lain, tidak
banyak pula perusahaan atau organisasi yang memperhatikan
keadaan Iingkungan kerja karyawannya secara adil, teratur dan
penuh pertimbangan kemanusiaan. Banyak perusahaan lupa bahwa
manusia tidak dapat disamakan begitu saja dengan faktor-faktor
produksi yang lain seperti material, mesin, metode, uang dan
informasi. Salah satu hal yang tidak diperhatikan oleh pihak
perusahaan adalah faktor psikososial dalam lingkungan kerja.

Faktor psikososial dalam keselamatan kerja menurut Winarsunu,


(2008) antara lain :

Tuntutan
Kerja (Jobs
Demands)
Pelecehan
Seksual di
Tempat Kerja

Shift Kerja

Symtom

Kebisingan

1. Tuntutan Kerja (Jobs Demands)


Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan
kerja sehari-hari banyak karyawan yang
mengalami kelelahan dan mempunyai
kecenderungan
untuk
melakukan
kesalahan karena banyaknya tuntutan
kerja. Hal inilah yang seringkali menjadi
penyebab munculnya beban kerja (work
load) baik fisik maupun mental yang akan
mempengaruhi performa kerja.

Tuntutan
Kerja
Fisik
(Physical
Job
Demands
)
Tuntutan
Kerja
Mental
(Mental
Job
Demands

Tuntutan kerja fisik suatu kondisi


secara langsung berasal dari beban
kerja fisik (physical work load) dan
mempengaruhi tubuh. Oleh karena
tubuh manusia memiliki keterbatasan
kapasitas maka, akan ditemui adanya
ketidaksesuaian antara kondisi tubuh
dengan beban kerja fisik. Orang-orang
yang bekerja secara monoton akan
memiliki kecenderungan sakit pada
leher dan bahu, dan berhubungan
dengan penyakit mosculo-skeletal.

Tuntutan kerja mental adalah suatu


kondisi
yang
secara
langsung
berhubungan dengan proses-proses
mental yang terlibat dan dibutuhkan
dalam bekerja. Hal ini bisa meliputi
keadaaan-keadaan seperti : selalu
memikirkan pekerjaan, mengerjakan
beberapa hal dalam waktu yang
bersamaan,
kesulitan-kesulitan
mengerjakan tugas yang dihadapi oleh
karyawan baik harus dibantu ataupun
tidak dibaantu denngan orang lain.

2. Symtom
Symtom
adalah
keluhan
yang
merupakan indikasi dari adanya suatu
keadaan dalam diri pekerja yang sedang
sakit yang berhubungan dengan kondisikondisi tempat kerja. Symtom ini bisa
dibagi menjadi dua kategori, yaitu symtom
fisik (physical symptoms) dan symtom
mental (mental symptoms).

Telinga manusia idealnya hanya dapat


mendengar dengan frekuensi antara 16-20.000
Hz dan amplitudo antara 0-140 dB.
Idealnya tingkat kebisingan dapat diatur pada
tingkat 55-60 dB. Tetapi jika hal ini tidak mungkin
dilakukan, maka telinga pekerja harus di proteksi.
Ada 2 bentuk alat proteksi pendengaran, yaitu
earplugs dan earmuffs.

D. SHIFT KERJA
Kroemer, (1994) dalam Winarsunu, (2008)
menerangkan lebih lanjut bahwa dengan semakin
berkembangnya industrialisasi, model bekerja
sepanjang hari yaitu selama 24 jam menjadi
sangat umum, yang dibagi menjadi 2 shift masingmasing siang dan malam 12 jam atau dibagi
menajdi 3 shift, pagi, siang, dan malam masingmasing 8 jam.

Pada saat sekarang ini hampir semua industri menerapkan sistem


produksi yang kontinyu, selain untuk mengoptimalkan daya kerja
mesin-mesin industri, juga untuk meningkatkan keuntungan
perusahaan. Akibatnya para karyawan juga bekerja pada malam hari.
Menurut Grandjean (1988) manusia mempunyai circardian rhythem,
yaitu fluktuasi dari berbagai macam fungsi tubuh selama 24 jam.
Fungsi terpenting bagi berjalannya ritme circadian adalah tidur.
Tidur, tanpa terganggu merupakan prasyarat bagi kesehatan,
kenyamanan dan efisiensi. Orang dewasa normal umumnya
membutuhkan tidur pada malam hari selama 8 jam/hari. Bagi pekerja
shift malam, jam tidur malam biasanya diubah menjadi tidur siang.

E. PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA


Secara umum pelaku pelecehan seksual adalah lakilaki dan korbannya adalah perempuan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual 88.1%
dilakukan oleh supervisor dan 30% oleh coworker atau
teman sekerjanya. Sedangkan korban 70% adalah
perempuan
dan
sedikit
sekali
korban
laki-laki
(Winarsunu,2008).
Jadi kondisinya semakin jelas bahwa disamping harus
melakukan pekerjaannya sebagaimana yang harus
dilakukan laki-laki, pekerja perempuan masih dituntut
untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan
seksual di tempat kerjanya sendiri.

JENIS-JENIS PELECEHAN SEKSUAL

Menurut Winarsunu, (2008) jenis-jenis pelecehan


seksual ada 2 macam, yaitu :
a. Quid Pro Que
Quid pro que, berasal dari bahasa latin, yang artinya
ini untuk itu. Pelaku menerapkan prinsip trading, Ini
ditukar itu, maksudnya pekerjaan ditukar dengan sex.
Jika korban meyetujui (karena terpaksa) untuk memenuhi
transaksi itu maka ia akan mendapatkan pekerjaannya.

b. Hostile Environment
Hostile environment berkaitan dengan suasana atau
lingkungan organisasi yang dicirikan oleh keadaan yang
penuh dengan simbul, ucapan, tulisan, tindakan
berkonotasi seksual yang mengakibatkan perasaan tidak
meyenangkan kepada para korban. Berbeda dengan quid
pro quo, dalam hostile environment ini tidak ada unsur
pertukaran atau persyaratan sexual yang harus dipenuhi
korban.

EFEK TERHADAP KORBAN


Pelecehan seksual menimbulkan konsekuensi negative
secara fisik, emosi dan mempengaruhi performance kerja
korban. Efek langsung yang dialami korban adalah depresi
dan stress pasca trauma. Pengalaman traumatic karena
pelecehan seksual bisa berlangsung sangat lama.
Sebenarnya bukan yang menjadi korban secara langsung
saja yang menderita akibat pelecehan seksual, tetapi juga
mengenai para pekerja perempuan lain yang menyaksikan
atau menjadi saksi ketika pelecehan seksual itu terjadi. Para
saksi tersebut juga mengalami stress meskipun tarafnya
tidak seberat korban utama. Hal inilah yang disebut sebagai
by stander stress (Winarsunu,2008).

UPAYA MEREDUKSI PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA


Menurut Winarsunu, (2008) upaya meredukasi pelecehan seksual di
tempat kerja antara lain :
a. Intervensi Berdasar Model Tradisional
Model ini merupakan paling lemah karena cara pandangnya yang sangat
pesimistik, dimana pelecehan seksual dianggap terjadi karena perbuatan
orang yang mengalami gangguan psikologis.
b. Intervensi Berdasarkan Model Alamiah/Biologi
Model alamiah tidak memberikan implikasi terhadap usaha-usaha
pemecah masalah, sebab pelecehan seksual dianggap kejadian alamiah
sebagai konsekuensi logis dari dorongan seksual dan agresi. Namun
intervensi masih bisa dilakukan terutama ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran bagaimana laki-laki bisa menjalin relasi sosial dan berperilaku
seksual terhadap perempuan dengan cara yang baik.
c. Intervensi Berdasarkan Model Sosikultural
Berdasarkan model ini pelecehan seksual disebabkan oleh sistem
patriarki yang berkembang di masyarakat, yang menempatkan laki-laki di
atas perempuan. Konsep ini telah melekat di tengah-tengah masyarakat.
Upaya untuk merubah pandangan masyarakat yang seperti ini tidak mudah,
perubahannya harus melibatkan unsur yang sangat luas, yaitu keluarga,
pendidikan disekolah formal dan pendidikan yang ada di masyarakat.

d. Intervensi Berdasarkan Model Feminist


Terjadinya pelecehan seksual model ini lebih disebabkan oleh adanya
steriotype gender terhadap perempuan. Merubah steriotype berarti merubah
tataran sosial dan budaya masyarakat. Diperlukan waktu yang tidak sedikit
untuk merubahnya. Intervensi dilakukan melalui pendidikan di rumah melalui
ajaran-ajaran dan model orang tua, sistem pendidikan melalui kurikulum
formal dan aktifitas-aktifitas lain yang dapat mengembangkan persepsi siswa
terhadap gender.
e. Intervensi Berdasar Model Organisasi
Model organisasional mengasumsikan bahwa pelecehan seksual terjadi
karena adanya power dan situasi dan kondisi atau iklim organisasi yang
kurang baik. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain
menciptakan iklim organisasi yang menjamin kondisi bebas pelecehan
seksual. Untuk menghindari penyalahgunaan power organisasi harus
mendefinisikan secara eksplisit tentang batasan, otoritas dan batasan
kewajiban pekerja, komunikasi lintas power harus dibuka, managemen
bertanggung jawab dan menindaklanjuti pelecehan seksual, harus
menyediakan prosedur pengaduan dan membuat larangan melakukan
pelecehan seksual di tempat kerja.

f. Intervensi Berdasar Model Empat Faktor


Intervensi yang bisa dilakukan antara lain ditujukan kepada
pelaku, lingkungan ekternal dan korban. Prakondisi yang perlu
diintervensi sehubungan dengan pelaku adalah peningkatan
kesadaran dalam menyalurkan motif dan kebutuhan pada cara yang
sesuai dengan norma, pelaku harus mendapat penjelasan mengenai
kesalahan-kesalahan moral yang sudah dilakukan, dan mendapat
training ketrampilan berempati.
Intervensi yang berkaitan dengan kondisi eksternal misalnya
organisasi menyediakan prosedur dan peraturan yang tegas
mengenai pelecehan seksual, sanksi bagi pelaku, menciptakan
lingkungan kerja yang profesional, dan memperkuat lingkungan kerja.
Sedangkan intervensi yang dapat dilakukan bagi korban adalah
dengan mengharapkan perempuan mengambil bagian dalam
memperkecil terjadinya pelecehan seksual.

Anda mungkin juga menyukai