Anda di halaman 1dari 10

Kasus Lumpur Lapindo

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo, merupakan peristiwa


menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006.
Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten
Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan
Kecamatan Gempol (kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi pusat semburan hanya
berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas
milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas.
Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan
terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-
Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan
Surabaya-Banyuwangi, Indonesia. Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya
hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan
kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar
(cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Perusahaan terkesan lebih mengutamakan penyelamatan asset-asetnya daripada
mengatasi masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Namun Lapindo Brantas akhirnya
sepakat untuk membayarkan tuntutan ganti rugi kepada warga korban banjir Lumpur Porong,
Sidoarjo. Lapindo akan membayar Rp2,5 juta per meter persegi untuk tanah pekarangan beserta
bangunan rumah, dan Rp120.000 per meter persegi untuk sawah yang terendam lumpur.
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak
bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik
menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan,
ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai
mengemuka.
Kronologi Terjadinya Luapan Lumpur
Beberapa hal diduga sebagai penyebab terjadinya luapan lumpur lapindo, seperti
kaitannya dengan gempa Yogyakarta yang berlangsung di hari yang sama, aspek politik yaitu
eksplorasi migas oleh pemerintah, dan aspek ekonomis yaitu untuk menghemat dana
pengeluaran, maka PT Lapindo sengaja tidak memasang casing bor pada sumur BPJ-1. Salah
satu dari perkiraan yang sudah umum diketahui banyak orang tentang penyebab meluapnya
lumpur lapindo di Porong Sidoarjo 29 Mei 2006 lalu adalah PT Lapindo Brantas yang waktu itu
sedang melakukan kegiatan di dekat lokasi semburan. Kegiatan yang dilakukan pada waktu itu
adalah pengeboran sumur Banjar Panji-1 (BPJ-1) pada awal maret 2006, kegiatan tersebut
bekerjasama dengan perusahaan kontraktor pengeboran yaitu PT Medici Citra Nusantara.
Dugaan atas meluapnya lumpur tersebut yaitu kurang telitinya PT Lapindo dalam
melakukan pengeboran sumur dan terlalu menyepelekan. Dua hal tersebut sudah tampak ketika
rancangan pengeboran akhirnya tidak sesuai dengan yang ada dilapangan. Rancangan
pengeboran adalah sumur akan dibor dengan kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk bisa
mencapai batu gamping. Lalu sumur tersebut dipasang casing yang bervariasi sesuai dengan
kedalaman sebelum mencapai batu gamping.
Awalnya, PT Lapindo sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, 20
inchi pada 1195 kaki, 16 inchi pada 2385 kaki dan 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Namun setelah
PT Lapindo mengebor lebih dalam lagi, mereka tidak memasang casing. Mereka berencana akan
memasang casing lagi setelah mencapai/menyentuh titik batu gamping. Selama pengeboran
tersebut, lumpur yang bertekanan tinggi sudah mulai menerobos (blow out), akan tetapi PT
Lapindo masih bisa mengatasi dengan pompa lumpur dari PT Medici.
Setelah kedalam 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. PT Lapindo
mengira target sudah tercapai, namun sebenarnya mereka hanya menyentuh titik batu gamping
saja. Titik batu gamping itu banyak lubang sehingga mengakibatkan lumpur yang digunakan
untuk melawan lumpur dari bawah sudah habis, lalu PT Lapindo berusaha menarik bor, tetapi
gagal, akhirnya bor dipotong dan operasi pengeboran dihentikan serta perangkap BOP (Blow Out
Proventer) ditutup. Namun fluida yang bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sehingga
fluida tersebut harus mencari jalan lain untuk bisa keluar. Itu lah yang menyebabkan
penyemburan tidak hanya terjadi di sekitar sumur melainkan di beberapa tempat. Oleh karena itu
terjadilah semburan lumpur lapindo.
Usaha Menghentikan Semburan Lumpur
Mengenai luapan lumpur lapindo beberapa pihak ada yang mengatakan luapan lumpur ini
bisa dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan
sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena
alam. Skenario pertama menghentikan luapan lumpur panas lapindo dengan menggunakan
Snubbing Unit. Snubbing unit adalah usaha untuk menemukan rangkaian mata bor yang dulunya
digunakan untuk mengebor sumur yang sekarang mengeluarkan lumpur panas. Lalu rangkaian
mata bor dapat ditemukan pada kedalaman 2991 kaki, dan sudah dicoba untuk memasukkan
material-material yang kiranya dapat mendorong rangkaian mata bor ke dasar sumur (9297 kaki)
untuk menutup sumur yg mengeluarkan lumpur panas. Namun, cara ini sia-sia saja. Snubbing
Unit gagal mendorong mata bor tersebut sampai ke dasar sumur.
Skenario kedua, menghentikan luapan lumpur panas lapindo dengan cara melakukan
pengeboran miring (sidetracking) untuk menghindari mata bor yang tertinggal di dalam sumur.
Proses pengeboran dilakukan dengan menggunakan Ring milik PT Pertamina (persero). Ternyata
cara ini juga belum bisa mengatasi bencana lumpur panas lapindo. Cara ini juga gagal karena
telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki,
serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit
pelaksanaan sidetracking. Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran
yang dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi
pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan
lagi. Oleh karena itu, PT.Lapindo melaksanakan penutupan secara permanen sumur BIP-1.
Skenario ketiga menghentikan lumpur panas lapindo dengan cara pemadaman lumpur,
dengan membuat 3 sumur baru (relief well). Tiga lokasi yang dijadikan : Pertama, sekitar 500
meter barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar
Panji 1. Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini, cara ini
masih diusahakan, semoga saja cara ini dapat membuahkan hasil.
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat
keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yaitu
Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres itu disebutkan, tim dibentuk untuk
menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan
menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin
Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan
Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh biaya
untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.
Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini ternyata gagal total
walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah. Rapat Kabinet pada 27 September 2006
akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong.
Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari 50,000
meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari, untuk memberikan tambahan waktu
untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan
alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai
Kabupaten Sidoardjo.
Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini, diantaranya Walhi dan ITS.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan
Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan
produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan mengalami kegagalan panen.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada
budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai
Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara
mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin
meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di
sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang
pantai. Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika
masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas
1.600 hektare di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.
Dampak Luapan Lumpur Lapindo
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun
bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Luapan lumpur terjadi pertama kali pada 2006
hingga kini telah memaksa sekitar 60 ribu orang mengungsi. Tidak hanya itu, masih banyak
dampak lain yang timbul akibat bencana ini, diantaranya adalah :
1. Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa
dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk
diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana
pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Ahustus 2006, luapan lumpur ini
telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan
Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak
25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit
rumah ibadah terendam lumpur.
2. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain:
lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi
seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan
Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
3. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan
merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak
lumpur ini.
4. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
5. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya
sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
6. Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit.
Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428,
Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil
dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
7. Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
8. Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku
telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan
lumpur.
9. Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM
Surabaya patah.
10. Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan
sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
11. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan
mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong
dan jalur Waru-tol-Porong. Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya
jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di
bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro
(Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di
Jawa Timur.
12. Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta
satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
13. Berubahnya suhu udara yang semakin panas, yang bercampur bau lumpur.
14. Mayoritas warga sekitar lumpur kini begitu akrab dengan sesak nafas dan batuk. Sekalipun
belum ada korban meninggal akibat ISPA, namun batuk ‘jamaah’ yang diidap warga sulit
untuk disebut wajar.
15. Pencemaran air di kawasan sekitar bencana yang menyebabkan air menjadi tidak layak
lagi dikonsumsi. Akibatnya warga terpaksa membeli air bersih dari sumber mata air Prigen
yang dijual perusahaan pengangkut air dengan harga Rp. 1500 per curigen (25 liter).
16. Pengangguran massal yang mengancam masa depan warga.
17. Sejumlah warga merelakan anaknya tidak sekolah akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan
baru. Tingkat pendidikan rendah menjadi penghalang selanjutnya. Sayangnya disituasi
rumit ini warga tak disiapkan pekerjaan oleh Lapindo Berantas, dan nyaris di campakkan
pemerintahan yang berkuasa.
Melihat dari Sisi Tanggungjawab Sosial Perusahaan
Perusahaan berkewajiban menjalankan tanggungjawab sosial atas dampak yang
ditimbulkan karena aktivitas produksinya sehingga muncul konsep Corporate Social
Responsibility (CSR). Aturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia telah
tertulis melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Pada pasal 15 menyatakan bahwa tanggungjawab yang ada pada perusahaan atas
konsekuensi proses produksi dalam rangka menciptakan hubungan yang harmonis antara
perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, kondisi tersebut
dideskripsikan jika situasi berada dalam situasi normal. Hal ini berbeda dalam kondisi bencana
merupakan situasi di luar keadaan normal pada umumnya sehingga bencana dapat pula dimaknai
sebagai peristiwa di luar rutinitas masyarakat (Kreps & Drabek, 1996).
Sejak pertama kali menyembur pada Mei 2006, respon penanganan telah dilakukan oleh
Lapindo. Bukti dari proses ini adalah dilayangkannya surat tertanggal 4 Desember 2006 dari
pihak Lapindo Brantas Inc. ditujukan kepada Timnas PLS. Surat ini penting karena berisi
pernyataan Lapindo bahwa sebagai bentuk kepedulian sosial dan tanggung jawab moral dengan
membeli tanah dan rumah penyintas yang tenggelam. Nilainya antara lain: tanah pekarangan
sebesar Rp1.000.000,00/m2, sedangkan bangunan sebesar Rp1.500.000,00/m2, dan tanah sawah
sebesar Rp120.000,00/m2 (Surat Lapindo Brantas Inc, 2006). Laporan yang dibuat oleh pihak
Lapindo juga menunjukkan hal yang sama, yaitu tanggung jawab sosial itu diambil oleh Lapindo
dengan cara membeli bangunan dan tanah yang tenggelam (Richards, 2011: 77). Surat 4
Desember 2006 tersebut kemudian mendapatkan legitimasi dari pemerintah empat bulan
kemudian, yaitu melalui terbitnya Perpres 14/2007. Pada akhirnya penyelesaian dengan cara jual
beli menjadi sah sebagai upaya tanggung jawab pihak Lapindo.
Dalam Perpres 14/ 2007 pasal 15, pihak Lapindo berkewajiban membeli bangunan dan
tanah yang tenggelam dengan cara dicicil. Dengan diterbitkannya Perpres 14/ 2007,maka jual
beli diklaim sebagai bentuk tanggungjawab sosial Lapindo dalam menghadapi krisis. Untuk
menghadapi krisis menurut Kriyantoro bahwa sebenarnya pihak Lapindo tidak memiliki
perencanaan dan persiapan public relation yang matang. Maka di titik inilah mereka
menyebutkan bahwa semburan lumpur adalah bencana alam (Kriyantono, 2012: 218). Untuk
memperkuatnya, pihak Lapindo mengundang pakar geologi luar negeri, yaitu Sergey Kadurin,
untuk memberikan legitimasi ilmiah (Karib, 2012: 69).
Sedangkan, putusan Mahkamah Agung 14 Desember 2007 juga memperkuat wacana
bahwa semburan lumpur disebabkan oleh gempa bumi Yogyakarta pada 27 Mei 2006, bukan
karena kesalahan pengeboran (Kriyantono, 2011: 6). Maka dari itu, yang dilakukan oleh pihak
Lapindo tersebut hanya upayanya untuk memperbaiki reputasi perusahaan, bukan menjawab
kebutuhan penyintas (Kriyantono, 2011: 2). Perbaikan reputasi ini kemudian terimplementasi
melalui mekanisme penanganan bencana yaitu jual beli. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam
proses awal mekanisme jual beli, dijalankan dengan cara koersif. Catatan Karib mengatakan
bahwa beberapa penyintas yang rumah dan tanahnya tenggelam di awal semburan dari Desa
Jatirejo karena akan dibangun sebagai tanggul, mereka harus rela menjual rumah dan tanahnya
dengan cara paksaan, dengan melibatkan pihak militer untuk mengintimidasi warga agar mau
menjual tanah dan rumahya (Karib 2012: 66-67).
Setelah peristiwa itu, kemudian dikeluarkanlah Perpres 14/ 2007 yang di dalamnya
mewajibkan pihak Lapindo untuk membeli rumah dan tanah yang tenggelam. Maka dari itu,
logika jual beli ini kemudian menjadi wacana dominan dalam penyelesaian masalah penyintas
lumpur Lapindo. Di saat yang sama, terdapat penggiringan wacana publik tentang penyebab
bencana. Dengan menggunakan argument geolog, seperti temuan Mazzini dan kawankawan
(Triggering and Dynamic Evolution of The Lusi Mud Volcano, Indonesia, 2007) pihak Lapindo
selalu menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur adalah karena gempa Yogyakarta 27 Mei
2007. Di tengah pembayaran jual beli, dilakukan pula upaya perbaikan reputasi melalui media
yang diproduksi oleh Lapindo, salah satunya yaitu Majalah Solusi. Dalam edisi 35, 22-28 Juli
2008 mengantarkan berita bahwa makanisme Lutfi Amiruddin -- Kritik atas Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan dalam Bencana Lumpur Lapindo jual beli aset yang dilakukan merupakan
buah kebaikan hati dari keluarga Bakrie. Keluarga pemilik saham ini dinilai memiliki hati yang
mulia karena memang bencana yang terjadi dianggap bukan karena aktivitas pengeboran, yang
artinya bukan karena kesalahannya. Jual beli aset warga dinilai merupakan cara yang tepat
(Editorial, Bakrie Factors, Majalah Solusi Edisi 35, 22-28 Juli 2008).
Pada edisi lain majalah Solusi juga memaparkan bahwa jual beli aset tenggelam
didefinisikan sebagai di balik musibah ada berkah. Dikarenakan melalui bencana ini, penyintas
dianggap justru mengalami perubahan yang lebih baik (Editorial, Pilihan, Majalah Solusi Edisi
29, 10- 16 Juni 2008). Jadi, logika yang dibangun adalah bahwa pihak perusahaan tetap
bertanggung jawab meskipun luapan lumpur bukan terjadi karena kesalahannya. Akan tetapi,
yang harus dipertanyakan adalah, apakah jual beli itu adalah bentuk kebaikan hati? Bukankah
jual beli itu business as usual? Maka, hal ini sebangun dengan argumen yang dibangun
Kriyantono (2011), bahwa yang dilakukan pihak Lapindo untuk memperbaiki reputasi, tetapi
dengan cara menyebarkan wacana “kebaikan hati, meskipun bukan kesalahannya”.
Kebaikan hati ini diimplementasikan melalui tanggung jawab sosial perusahaan, dengan
cara jual beli tanah dan bangunan yang tenggelam. Upaya ini mirip dengan temuan Welker
(2009:2-3) tentang penyebaran wacana moral berupa kebaikan hati, melalui praktik CSR
Newmont. Menurutnya, agar perusahaan tetap dapat berproduksi, maka program CSR Newmont
harus bisa dijalankan. Salah satu yang menjadi catatan penting Welker adalah bagaimana
kewajiban moral itu dijalankan dengan tindakan kekerasan bagi komunitas yang menentang
keberadaan Newmont.
Mereka yang menjalankan CSR sekaligus tindak kekerasan antara lain elite lokal,
preman, hingga guru sekolah. Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara temuan Welker
dengan artikel ini. Bila Welker menyatakan bahwa tanggung jawab sosial Newmont, dijalankan
agar proses produksi tetap berjalan, maka artikel ini justru menunjukkan bahwa tanggung jawab
sosial justru baru muncul ketika terjadi krisis ekologi berupa bencana semburan lumpur. Setting
bencana menjadi latar menarik, yang dapat membedakan dengan situasi normal. Seandainya saja
tidak ada peristiwa semburan lumpur, dapat jadi mekanisme tanggung jawab sosial berupa jual
beli aset, tidak pernah dijalankan. Pada akhirnya, tanggungjawab sosial berupa proses jual beli
mendapatkan legitimasi untuk dilakukan melalui Perpres 14/2007. Peraturan ini akhirnya
menggiring penyintas lumpur bersedia untuk masuk dalam skema jual beli, yang justru
gagasannya berasal dari pihak Lapindo.

Pertanyaan :
1. Jelaskan Isu-isu etika yang ada pada kasus Lapindo Brantas Inc!
2. Etis atau tidak, mengapa?jelaskan.
3. Stakeholdernya siapa saja?
4. Apakah upaya yang dilakukan pihak Lapindo Brantas Inc merupakan tindakan CSR?
jelaskan.
5. Saran agar insiden yang terjadi di Sidoarjo tidak terulang kembali.

Referensi:

Amiruddin, Lutfi. "Kritik atas Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Bencana Lumpur
Lapindo." Jurnal Kawistara 8.1: 33-45.
Alma, Buchari. 2002. Pengantar Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta.
Editorial. 10-16 Juni 2008. Pilihan. Majalah Solusi Edisi 29. Surabaya: Majalah Solusi.
Editorial. 22-28 Juli 2008. Bakrie Factors. Majalah Solusi Edisi 35. Surabaya: Majalah Solusi.
Karib, F. 2012. Programming Disaster; Switching Network, Village Politics and Exclusion
Beyond Lapindo Mudflow. Passau: Tesis, Southeat Asian Study, Passau University.
Kreps, G. A., & Drabek, T. E. 1996. Disaster Are Nonroutine Social Problems. International
Journal of Mass Emergencies and Disaster.14(2):133.
Kriyantono, R. 2012. Measuring a Company Reputation in a Crisis Situation: An Ethnography
Approach on the Situational Crisis Communication Theory. International Journal of
Business and Social Science. 3(9).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo
Republik-Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Jakarta: Sekretariat Negara.
Richards, J. R. 2011. Report Into The Past, Present and Future Social Impacts of Lumpur
Sidoarjo. Sidoarjo: Humanitus Sidoarjo Fund.
Surat Lapindo Brantas Inc. 4 Desember 2006. kepada Tim Nasional Penanggulangan Semburan
Lumpur Sidoarjo.
Susanti, Ida; Andriana, Nungky (2018-06-08). "Semburan Lumpur Panas Lapindo Sidoarjo".
dx.doi.org. Diakses tanggal 12 November 2019.
Welker, M. 2009. Corporate Security Begins in The Community: Mining, The Corporate Social
Responsibility Industry, and Environmental Advocacy in Indonesia. Cultural
Anthropology.

Anda mungkin juga menyukai