Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Lumpur Lapindo dan Urusan Ganti Rugi yang Belum Tuntas

Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas yang terjadi sejak 29
Mei 2006 membuat sejumlah desa di Sidoarjo, Jawa Timur, terpaksa menutup sejarah dengan
kisah pilu. Puluhan ribu warga harus mengungsi dan merintis kehidupan baru di tempat lain.
Bahkan, hingga 13 tahun berselang, urusan ganti-rugi tak kunjung selesai. Pusat lumpur panas
menyembur berlokasi di Kecamatan Porong, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo.
Kawasan ini merupakan permukiman padat penduduk serta salah satu area industri utama di
Jawa Timur. Beberapa ruas jalan raya, jalan tol, dan jalur kereta api juga turut terdampak.
Kerugian yang teramat besar pun tak terelakkan. Penyebab terjadinya semburan lumpur panas
masih menjadi perdebatan dan belum diperoleh kepastiannya. Ada dua teori yang dikemukakan
oleh pihak Lapindo terkait hal ini. Pertama, semburan lumpur terjadi lantaran kesalahan
prosedur saat pengeboran. Kedua, lumpur panas menyembur secara kebetulan saat
pengeboran, tapi penyebabnya belum diketahui. Di luar dua teori itu, muncul hipotesis lainnya
ihwal dugaan penyebab semburan lumpur ini, yaitu terkait dengan proses panas bumi, bisa pula
dipicu gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter yang mengguncang Yogyakarta dan
sekitarnya pada 27 Mei 2006, hanya berselang dua hari sebelum Sidoarjo tersembur lumpur.
Baca juga: Yogyakarta (Bukan) Kota Malapetaka Faktor Kesalahan Manusia? Fenomena
semburan lumpur panas di Sidoarjo pun menjadi perhatian dunia karena kejadian ini terbilang
amat langka dan menarik untuk diteliti lebih lanjut. Mengenai penyebabnya, banyak pihak yang
cenderung meyakini bahwa bencana itu terjadi karena kesalahan pengeboran. Di Cape Town,
Afrika Selatan, sebagaimana diwartakan Liputan6 (31 Oktober 2008), digelar forum yang
melibatkan 90 ahli geologi dari seluruh dunia. Sebagian besar peserta pertemuan ini
menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan karena faktor kesalahan
prosedur pengeboran. Kesimpulan yang lebih mengejutkan terungkap dari hasil penelitian
Drilling Engineers Club. Salah satu penelitinya, Kersam Sumanta, dilansir Kompas (7 Agustus
2012), menyatakan: “Semburan lumpur di Desa Siring [salah satu desa di Porong] yang
bersumber dari pengeboran PT Lapindo Brantas tidak disebabkan oleh bencana alam.
Semburan lumpur Lapindo itu karena kesalahan operasi pemboran yang disengaja." Ali Azhar
Akbar melalui buku Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo (2007), menuliskan, Kersam -yang
pernah cukup lama bekerja di Pertamina juga mantan anggota Tim Nasional Penanggulangan
Lumpur Lapindo- menegaskan ada unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar
teknik pengeboran dan menyebabkan munculnya semburan lumpur tersebut. Kersam
merekomendasikan cara alternatif sebagai upaya menanggulangi banjir lumpur, yaitu dengan
memompakan cairan berat melalui dua relief well (sumur bantuan untuk mengendalikan banjir).
Sayangnya, tulis Akbar, seruan Kersam tidak didengar oleh pihak-pihak berwenang terkait
masalah ini. Sama sekali tidak ada respons untuk menanggapi kesimpulan dan usulan Kersam.
Urusan lumpur Lapindo pun seakan terbengkalai. Sejumlah tindakan yang telah dilakukan untuk
mengurangi volume lumpur tampaknya belum efektif. Setidaknya hingga akhir 2008, lumpur
yang dimuntahkan sebanyak 100.000 meter kubik tiap harinya. Baca juga: Sejarah Hidup Yusuf
Martak: dari Isu Lapindo ke Ijtima Ulama III Dampak & Proses Ganti Rugi Dampak semburan
lumpur Lapindo sangat besar dan meluas. Sebanyak 16 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo
tergenang lumpur panas yang terus bertambah. Lebih dari 25 ribu warga Sidoarjo harus
mengungsi, 8.200 orang di antaranya terpaksa dievakuasi karena kampung halamannya tidak
bisa ditempati lagi. Tidak kurang dari 10.426 unit rumah warga dan 77 unit rumah ibadah
terendam lumpur. Itu belum termasuk kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, dan
fasilitas publik lainnya, termasuk jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Begitu pula dengan
ratusan hektare lahan pertanian serta persawahan milik warga, serta ribuan ekor hewan ternak.
Sebanyak 30 pabrik yang berada di sekitar area semburan lumpur, dikutip dari buku Antropologi
Ekologi (2016) karya Adri Febrianto, terpaksa berhenti beroperasi. Ini berakibat terhadap 1.873
orang yang harus kehilangan pekerjaan mereka di pabrik-pabrik itu. Hingga rezim berganti, dari
era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat 2004-2014, kemudian masa
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 dan kemungkinan besar bakal berlanjut sampai
2024, urusan ganti rugi belum tuntas sepenuhnya. Lapindo -yang dimiliki Bakrie Group-
sebenarnya sepakat membayar ganti rugi sebesar Rp3,8 triliun berdasarkan peta area sebaran
lumpur. Hingga saat ini, Lapindo telah menggelontorkan Rp3,03 triliun. Sisanya sebesar Rp827
miliar menggunakan dana talangan dari pemerintah. Setelah 13 tahun berlalu, sebagaimana
dilaporkan JPNN (28 Mei 2019), masih banyak warga yang belum mendapatkan ganti rugi
meskipun sudah berkali-kali mengadu ke pemerintah. Terlebih, ganti-rugi yang dibayarkan
hanya untuk materi saja, tidak memperhitungkan kerugian non-materi yang diderita para
korban. Baca juga: Menebak Arah Penanganan Lumpur Lapindo Meskipun begitu, Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono memastikan bahwa ganti rugi
untuk warga sudah terpenuhi, yang belum adalah ganti rugi untuk para pengusaha di Sidoarjo
yang asetnya turut terdampak bencana lumpur. Dalam rapat dengan Komisi V DPR RI pada
Rabu (12/6/2019) lalu, diusulkan agar pemerintah memberikan dana talangan untuk
pembangunan tanggul hingga penyedotan lumpur di Sidoarjo. Basuki menyebut angka Rp380
miliar yang mungkin akan digelontorkan tahun depan. “Masih ada usulan dari DPR di Komisi V
untuk bisa memikirkan yang pengusaha. Kalau yang rakyat ‘kan sudah. Yang pengusaha ini
sekarang tinggal tanahnya saja yang ingin diganti," beber Basuki. Hingga Maret 2019, Basuki
menyebut bahwa cicilan yang dibayarkan Lapindo belum mencapai 10 persen dari dana
talangan yang telah diberikan pemerintah. Padahal, utang tersebut akan jatuh tempo pada akhir
Juni 2019 ini. Baca juga artikel terkait LUMPUR LAPINDO atau tulisan menarik lainnya Iswara
N Raditya (tirto.id - Sosial Budaya)

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Lumpur Lapindo dan Urusan Ganti Rugi yang Belum
Tuntas", https://tirto.id/ecn4

Anda mungkin juga menyukai