Anda di halaman 1dari 5

Nama : Revial Hanif

NIM : 20220130211

Contoh Kasus di Luar Negeri


Tragedi Tanker Exxon Valdez: 40 Juta Liter Minyak Tumpah Mencemari Laut
Tahun 1989
Pada 4 Maret 1989, Laut Alaska seketika berubah menjadi hitam pekat setelah sebuah kapal
tanker raksasa pengangkut minyak, Exxon Valdez, menumpahkan isi "perutnya"
disebabkan karena menabrak terumbu karang di perairan Prince William Sound, Alaska
selatan. Sebanyak 42 juta liter minyak mentah tumpah dan harus mencemari pantai
sepanjang 1.990 kilometer. Konon, insiden tersebut menjadi salah satu bencana terbesar
yang pernah membunuh jutaan makhluk hidup.
Minyak berceceran diseluruh geladak kapal dan terlihat meluber kemana-mana di air laut.
Tentu saja, tumpahnya jutaan liter minyak mentah tersebut menimbulkan kerusakan besar
ekosistem lingkungan sekitar. Ratusan ribu binatang yang tinggal di habitat sekitar harus
mati. Menurut catatan, akibat kejadian tersebut, sekitar 2 ribu berang-berang laut, 302
anjing laut, dan 250 ribu burung laut harus mati dalam beberapa hari setelah kejadian.
Bahkan, dalam sebuah laporan tertulis analisis dari sejumlah peneliti, bahwa dampak dari
pencemaran lingkungan tersebut akan terasa hingga 30 tahun kemudian. Charles H.
Peterson, peneliti dari Universitas of North Carolina yang memimpin kajian itu sempat
memaparkan perkembangan di tahun 2003, minyak telah bertahan dalam jumlah yang
sangat besar selama bertahun-tahun pascaperistiwa 1989.
Menurut Peterson, paparan minyak yang tumpah dapat menyebabkan lebih banyak
kematian hewan. Salmon, misalnya di mana telurnya mengalami peningkatan tingkat
kematian karena telur yang diinkubasi bersentuhan langsung tumpahan minyak tersebut.
Selain itu, pihak yang juga akan terdampak dari tumpahan minyak ini adalah mamalia laut
dan bebek karena mangsanya juga terkontaminasi minyak tersebut. Laporan National
Geographic pada 22 Maret 2019 mengungkap matinya miliaran telur ikan salmon dan
hewan mamalia. Paus pembunuh, misalnya yang mencatatkan kematian sebanyak 22 ekor.
Belakangan, terungkap penyebab olengnya kapal besar tersebut hingga menubruk terumbu
karang adalah karena sang Kapten Kapal, Joseph Hazelwood mabuk. Dengan gilanya,
Joseph mengizinkan seorang petugas tak berwenang untuk mengarahkan kapal besar
tersebut.
Pada Maret 1990, Joseph pun dihukum dengan dakwaan kelalaian. Ia didenda sebesar 50
ribu dolar AS dan diperintahkan untuk melakukan pelayanan masyarakat selama seribu
jam. Sementara itu, pada awal 1991, Exxon, perusahaan pengangkut minyak tersebut
mendapat kecaman dari Dewan Keselamatan Transportasi Nasional.
Bersamaan dengan itu, di bawah tekanan para kelompok pemerhati lingkungan, Exxon
menyepakati tuntutan mereka untuk membayar denda sebesar 1 miliar dolar AS dalam
kurun waktu sepuluh tahun untuk biaya pembersihan.
Namun, tiba-tiba Exxon menolak perjanjian tersebut. Kemudian, pada Oktober tahun 1991,
raksasa minyak itu menyelesaikan masalahnya dengan membayar 25 juta dolar AS saja.
Jauh dari yang sudah disepakati di awal perjanjian.

Solusi jika terjadinya minyak yang tumpah dilaut yang berdampak besar khususnya bagi
biota laut adalah:
1. Mengambil minyak dari permukaan. Menjadi salah salah satu metode untuk
mengendalikan tumpahan minyak dilaut. Hanya saja metode ini berfungsi hika
tumpahan minyak pada satu area dan kondisi yang tepat.
2. Membakar minyak di air. Metode ini digunakan untuk mengatasi kebocoran
minyak yang tidak terkendali. Metode pembakaran minyak di air terbukti efektif
untuk kasus tumpahan minyak di laut. Namun, metode ini tentu menghasilkan asap
beracun dan berdampak bagi udara.
3. Penyerapan minyak. Metode ini dapat dilakukan untuk skala tumpahan minyak
dalam skala kecil. Hanya saja penggunaan bahan-bahan untuk menyerap minyak
diatas air dapat menciptakan polusi lain
4. Penggunaan bahan kimia dispersan, yang merupakan zat seperti detergen yang
disemprotkan ke atas minyak yang tumpah dan akan diambil Kembali dari
permukaan laut. Kemudian diurai ke dalam kolam air dengan konsentrasi rendah
5. Teknik bioremediasi. Dilansir dari situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, bioremediasi merupakan segala proses yang menggunakan
mikroorganisme seperti bakteri, fungsi, algam dan enzim yang dihasilkan mikroba.

Dampak bagi biota laut adalah :


1. Kematian organisme. Sebagian besar tumpahan minyak yang terjadi di pantai atau
laut dalam memiliki risiko kematian lebih besar bagi ikan-ikan. Baik yang berada
di tambak maupun keramba. Selain itu juga berdampak pada kerang-kerangan yang
kemampuan berpindah untuk menghindari tumpahan minyak sangat rendah
2. Dampak bagi plankton. Limbah minyak ini berdampak langsung pada plankton,
terlebih saat masih fase telur atau larva. Akan lebih parah lagi jika lokasi tumpahan
minyak terjadi di daerah yang tertutup seperti teluk.
3. Bau lantung. Terjadi pada jenis ikan keramba dan tambang yang tidak dapat
bergerak menjauhi lokasi pencemaran minyak bumi. Sehingga mengakibatkan bau
dan rasa tidak enak.
4. Kerusakan ekosistem. Ekosistem pesisir dan laut seperti mangrove, delta sungai,
estuary, dan terumbu karang berfungsi penting bagi kelangsungan hidup makhluk
disekitarnya. Wilayah pesisir yang terkena tumpahan minyak dapat terganggu,
karena wilayah tersebut mebjadi tempoat berkembangbiak dan habitat serta makan
untuk organismes dewasa di sekitarnya.
Contoh Kasus di Dalam Negeri
Bencana Lumpur Lapindo di Indonesia Tahun 2006
Bencana lumpur Lapindo merupakan buah dari eksplorasi gas yang dilakukan oleh PT.
Lapindo Brantas. Semburan awal lumpur panas ini terjadi pada tanggal 29 Mei 2006.
Akibatnya, kawasan, pemukiman, pertanian dan perindustrian di wilayah Porong Sidoarjo
lumpuh total. Pusat semburan lumpur panas berjarak 150 meter dari pusat pengeboran gas
PT Lapindo Brantas. Peristiwa ini terjadi karena kesalahan PT. Lapindo Brantas yang tidak
menjalankan prosedur dalam melakukan pengeboran gas yang terletak di Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akibat dari kesalahan yang dilakukan PT
Lapindo, menimbulkan meluapnya lumpur panas dari dalam perut bumi. Banyak sekali
pendapat dari para peneliti dan para ahli yang berbeda, mulai dari penyebab utama
terjadinya peristiwa banjir lumpur panas ini karena bencana alam, kesalahan perhitungan
dari PT Lapindo Brantas sendiri, bahkan sampai ada yang menyebutkan bahwa
penyebabnya tidak diketahui dengan pasti. Peristiwa banjir lumpur ini menenggelamkan
16 desa di tiga kecamatan, 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah
terendam lumpur. Sekitar 30 pabrik lumpuh total karena terendam banjir lumpur panas
sehingga tidak dapat beroperasi. Akibat ini sebanyak 1.873 tenaga kerja mengalami PHK
dari perusahaan tersebut. Dan masih banyak lagi dampak yang terjadi pada beberapa sektor
yang lain.
Semburan lumpur Lapindo ini muncul dengan volume semburan mencapai 100.000 –
120.000 m3/hari dengan kepadatan kandungan sekitar 35 persen. Semburan ini memiliki
suhu sekitar 100 derajat Celcius, dengan sifat fisik non newtonian material yang memiliki
kandungan kimia semen di dalamnya. Dalam pemantauan, sifat semburan lumpur lapindo
ini fluktuatif. Pada tahun 2017 hanya mengeluarkan volume semburan 86.270 m3/hari.
Dalam hal ini, ahli mengaitkan debit semburan yang masih besar, suhu serta kandungan
gas yang keluar dari lumpur Lapindo Sidoarjo dengan aktivitas vulkanik yang berada di
bagian selatan. Ini terlihat dari komposisi isotop helium cairan Lusi mud volcano yang
sangat mirip dengan cairan Volkanik Welirang. Bukan hanya itu, fenomena lumpur
Lapindo yang hingga kini masih berlangsung, juga menjadi perhatian tersendiri bagi hali
geologi karena termasuk bencana alam yang bertahan dalam waktu lama.
Penyebab semburan lumpur dalam beberapa aspek:
1. Aspek Teknis. Pada awal tragedy, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik
Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang
menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden
cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.
2. Aspek Ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses
pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating
interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur. Dalam kasus semburan lumpur
panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak
memasang casing.
3. Aspek Politik. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah
mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari
Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumber daya alam.
Pemerintah Indonesia telah lama menganut system ekonomi neoliberal dalam
berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potenti tambang migas dan sumberdaya
alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate bases).

Dampak dari terjadinya lumpur Lapindo adalah :

Terdapat sekitar 16 desa di 3 kecamatan tergenang lumpur akibat semburan Lapindo. Selain
itu, 30 pabrik yang terkena dampak genangan lumpur Lapindo ini terpaksa menghentikan
aktivitas produksinya sehingga ribuan tenaga kerja juga harus kehilangan sumber mata
pencahariannya.
Dampak lainnya dari genangan lumpur Lapindo, tidak lain adalah rumah dari permukiman
warga yang mengalami kerusakan. Dalam rincian yang lebih jelas, sekitar 1.810 (Siring
142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170) tempat tinggal warga
mengalami kerusakan, 18 bangunan sekolah (7 sekolah negeri), 2 bangunan kantor (Kantor
Koramil dan Kelurahan Jatirejo), 15 pabrik, serta 15 masjid dan musala juga terkena
dampak dari semburan lumpur Lapindo ini.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa semburan lumpur Lapindo cukup
memberikan banyak bagi warga sekitar. Bukan hanya tempat tinggal yang rusak dan lenyap
akibat genangan lumpur, tetapi juga beberapa bangunan pabrik yang menjadi pusat
aktivitas ekonomi masyarakat serta fasilitas umum lainnya juga harus terdampak.
Upaya penanggulangan untuk lumpur Lapindo yaitu Kementrian Lingkungan Hidup
mengatakan, untuk menampung lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150
hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342 hektare lagi yang sanggung memenuhi
kebutuhan hingga juni 2007. Akhir oktober, diperkirakan lumpur sudah mencapai 7juta
m3. Namun rencana itu batal tanpa sebab yang jelas.
Sampai tahun 2021 ancaman lumpur Lapindo masih menghantui dari kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi antara lain, pencemaran logam berat dari darat, air dan udara
sampai ancaman penurunan tanah. Penurunan kualiltas lingkungan bukan hanya pada lahan
pertanian. Sumur-sumur rumah yang sebelumnya untuk keperluan sehari-hari kini tidak
layak pakai lagi. Untuk minum dan memasak, warga terpaksa membeli air bersih dalam
kemasan jeriken Rp2.500 per 25 liter. Lumpur-lumpur mengalir ke Kali Porong, waktu
awal juga ke sungai-sungai kecil di pedalaman. Kebijakan membuang lumpur ke Kali
Porong itu menimbulkan dampak turunan. Logam-logam berat yang terkandung dalam
lumpur ikut terbawa arus dan menyebar ke muara sungai di sisi timur yang terhubung
dengan Selat Madura. Dampaknya, bukan hanya kawasan pertanian. Ekosistem perairan
laut juga tak luput dari cemaran. Indikasi itu terungkap dari kandungan logam berat pada
ikan air tawar dan di perairan Selat Madura yang melebihi ambang batas. Hasil perikanan
pun tak layak konsumsi karena kandungan logam cukup tinggi, seperti kadmium, timbal
dan selenium.
Kalau mengkonsumsi ikan-ikan ini, kandungan senyawa itu akan terakumulasi dan
berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
Kadmium yang melimpah pada tubuh manusia berpotensi merusak fungsi hati dan ginjal.
Bahkan, meski pada konsentrasi rendah sekalipun, tetap berpengaruh pada gangguan paru,
emfisema dan penyakit tubularditis ginjal kronik. Dia bilang, kadar normal kadmium dalam
tubuh di bawah satu ppm.
Hasil pertanian yang mengandung logam berat itu, kalau dikonsumsi manusia sangat
berisiko bagi kesehatan karena toksisitas dapat menghambat kerja enzim, proses
metabolisme, alergen, mutagen, teratogen atau karsinogen.
Keracunan timbal ini dalam jumlah besar, bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal, sistem
reproduksi, hati, otak, sistem saraf pusat, bahkan kematian. Dalam jangka panjang, situasi
ini akan mempengaruhi sistem kedaulatan pangan di wilayah setempat. Dengan daya
dukung pertanian dan perikanan menurun, katanya, memicu petani beralih pada pekerjaan
lain.
Kemudian, ada penelitian terbaru menyimpulkan, kalau lumpur Lapindo sebagai situs
geologi yang menyumbang emisi terbesar di muka bumi lantaran. Hasil pengukuran emisi
gas yang terlepas mencapai 100.000 ton per tahun. Temuan itu sekaligus memperpanjang
daftar dampak buruk dari lumpur Lapindo. Data Walhi Jawa Timur menyebutkan, sejak
tragedi kemanusiaan dan lingkungan hidup ini tren warga sakit mengalami peningkatan
signifikan terutama ISPA. Fakta ini, terpantau di dua puskesmas di sektiar semburan
lumpur.

Anda mungkin juga menyukai