NIM : 20220130211
Solusi jika terjadinya minyak yang tumpah dilaut yang berdampak besar khususnya bagi
biota laut adalah:
1. Mengambil minyak dari permukaan. Menjadi salah salah satu metode untuk
mengendalikan tumpahan minyak dilaut. Hanya saja metode ini berfungsi hika
tumpahan minyak pada satu area dan kondisi yang tepat.
2. Membakar minyak di air. Metode ini digunakan untuk mengatasi kebocoran
minyak yang tidak terkendali. Metode pembakaran minyak di air terbukti efektif
untuk kasus tumpahan minyak di laut. Namun, metode ini tentu menghasilkan asap
beracun dan berdampak bagi udara.
3. Penyerapan minyak. Metode ini dapat dilakukan untuk skala tumpahan minyak
dalam skala kecil. Hanya saja penggunaan bahan-bahan untuk menyerap minyak
diatas air dapat menciptakan polusi lain
4. Penggunaan bahan kimia dispersan, yang merupakan zat seperti detergen yang
disemprotkan ke atas minyak yang tumpah dan akan diambil Kembali dari
permukaan laut. Kemudian diurai ke dalam kolam air dengan konsentrasi rendah
5. Teknik bioremediasi. Dilansir dari situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, bioremediasi merupakan segala proses yang menggunakan
mikroorganisme seperti bakteri, fungsi, algam dan enzim yang dihasilkan mikroba.
Terdapat sekitar 16 desa di 3 kecamatan tergenang lumpur akibat semburan Lapindo. Selain
itu, 30 pabrik yang terkena dampak genangan lumpur Lapindo ini terpaksa menghentikan
aktivitas produksinya sehingga ribuan tenaga kerja juga harus kehilangan sumber mata
pencahariannya.
Dampak lainnya dari genangan lumpur Lapindo, tidak lain adalah rumah dari permukiman
warga yang mengalami kerusakan. Dalam rincian yang lebih jelas, sekitar 1.810 (Siring
142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170) tempat tinggal warga
mengalami kerusakan, 18 bangunan sekolah (7 sekolah negeri), 2 bangunan kantor (Kantor
Koramil dan Kelurahan Jatirejo), 15 pabrik, serta 15 masjid dan musala juga terkena
dampak dari semburan lumpur Lapindo ini.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa semburan lumpur Lapindo cukup
memberikan banyak bagi warga sekitar. Bukan hanya tempat tinggal yang rusak dan lenyap
akibat genangan lumpur, tetapi juga beberapa bangunan pabrik yang menjadi pusat
aktivitas ekonomi masyarakat serta fasilitas umum lainnya juga harus terdampak.
Upaya penanggulangan untuk lumpur Lapindo yaitu Kementrian Lingkungan Hidup
mengatakan, untuk menampung lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150
hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342 hektare lagi yang sanggung memenuhi
kebutuhan hingga juni 2007. Akhir oktober, diperkirakan lumpur sudah mencapai 7juta
m3. Namun rencana itu batal tanpa sebab yang jelas.
Sampai tahun 2021 ancaman lumpur Lapindo masih menghantui dari kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi antara lain, pencemaran logam berat dari darat, air dan udara
sampai ancaman penurunan tanah. Penurunan kualiltas lingkungan bukan hanya pada lahan
pertanian. Sumur-sumur rumah yang sebelumnya untuk keperluan sehari-hari kini tidak
layak pakai lagi. Untuk minum dan memasak, warga terpaksa membeli air bersih dalam
kemasan jeriken Rp2.500 per 25 liter. Lumpur-lumpur mengalir ke Kali Porong, waktu
awal juga ke sungai-sungai kecil di pedalaman. Kebijakan membuang lumpur ke Kali
Porong itu menimbulkan dampak turunan. Logam-logam berat yang terkandung dalam
lumpur ikut terbawa arus dan menyebar ke muara sungai di sisi timur yang terhubung
dengan Selat Madura. Dampaknya, bukan hanya kawasan pertanian. Ekosistem perairan
laut juga tak luput dari cemaran. Indikasi itu terungkap dari kandungan logam berat pada
ikan air tawar dan di perairan Selat Madura yang melebihi ambang batas. Hasil perikanan
pun tak layak konsumsi karena kandungan logam cukup tinggi, seperti kadmium, timbal
dan selenium.
Kalau mengkonsumsi ikan-ikan ini, kandungan senyawa itu akan terakumulasi dan
berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
Kadmium yang melimpah pada tubuh manusia berpotensi merusak fungsi hati dan ginjal.
Bahkan, meski pada konsentrasi rendah sekalipun, tetap berpengaruh pada gangguan paru,
emfisema dan penyakit tubularditis ginjal kronik. Dia bilang, kadar normal kadmium dalam
tubuh di bawah satu ppm.
Hasil pertanian yang mengandung logam berat itu, kalau dikonsumsi manusia sangat
berisiko bagi kesehatan karena toksisitas dapat menghambat kerja enzim, proses
metabolisme, alergen, mutagen, teratogen atau karsinogen.
Keracunan timbal ini dalam jumlah besar, bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal, sistem
reproduksi, hati, otak, sistem saraf pusat, bahkan kematian. Dalam jangka panjang, situasi
ini akan mempengaruhi sistem kedaulatan pangan di wilayah setempat. Dengan daya
dukung pertanian dan perikanan menurun, katanya, memicu petani beralih pada pekerjaan
lain.
Kemudian, ada penelitian terbaru menyimpulkan, kalau lumpur Lapindo sebagai situs
geologi yang menyumbang emisi terbesar di muka bumi lantaran. Hasil pengukuran emisi
gas yang terlepas mencapai 100.000 ton per tahun. Temuan itu sekaligus memperpanjang
daftar dampak buruk dari lumpur Lapindo. Data Walhi Jawa Timur menyebutkan, sejak
tragedi kemanusiaan dan lingkungan hidup ini tren warga sakit mengalami peningkatan
signifikan terutama ISPA. Fakta ini, terpantau di dua puskesmas di sektiar semburan
lumpur.