Anda di halaman 1dari 9

Review Ulasan Artikel Mata Pelajaran Sejarah Minat

Ulasan Artikel Perkembangan Regionalisme di Asia Tenggara: Tinjauan Historis dan


Teoritis Tulisan A.R. SUTOPO

Tulisan ini akan membahas regionalisme di Asia Tenggara dalam perspektif historis dan
teoritisnya. Dimana fokus perhatiannya ada pada kerjasama ASEAN sebagai upaya regional
terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan dan perkembangan di Asia Tenggara.
Kerjasama regional sendiri merupakan kerja sama antar negara negara di kawasan yang sama,
guna mengatasi persoalan-persoalan baik di dalam negeri sendiri maupun dalam hubungan
antar-negara, dan diharapkan dapat membantu mendorong laju perkembangan serta
pembangunan dalam berbagai bidang.

Bagi kawasan Asia Tenggara, pembentukan yang mengarah ke kerjasama regional bukanlah
sesuatu yang baru. Tetapi pada saat ini kerjasama regional Asia Tenggara yang paling
menonjol adalah ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). Asia Tenggara juga
ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya regional yang pernah ada mencakup wilayah-wilayah
yang lebih luas daripada Asia Tenggara, seperti dalam SEATO dan ASPAC, atau lebih
sempit daripada wilayah Asia Tenggara secara keseluruhan, seperti ASA dan ASEAN.

Secara garis besar pembagian waktu itu dapat disebutkan sebagai berikut. Pada periode
1950-1960, keterlibatan negara-negara Asia Tenggara dalam kerjasama regional belum dapat
dispesifikasikan pada wilayah Asia Tenggara, kecuali seperti dalam kasus SEATO Dalam
periode 1961-1966, usaha untuk melakukan kerjasama dalam tingkat kawasan atau sekurang-
kurangnya dalam sub-kawasan Asia Tenggara mulai muncul, seperti misalnya ASA dan
Maphilindo. Tetapi upaya-upaya kerjasama regional yang dibentuk dalam periode ini pada
umumnya tidak dapat bertahan hidup atau tidak mampu berfungsi seperti yang diharapkan.
Periode selanjutnya adalah periode sejak 1967 hingga kini yang ditandai oleh berdirinya
ASEAN dan untuk jangka waktu yang relatif panjang telah mampu mempertahankan diri dan
melakukan pembaruan-pembaruan dalam organisasi.

Dalam periode 1950-1960, Setelah berakhirnya Perang Dunia II dan munculnya negara-
negara baru di Asia, kerjasama regional merupakan salah satu tema yang tidak jarang muncul
dalam pidato para pemimpin dan bahkan merupakan usaha antar negara untuk menggalang
upaya bersama menghadapi persoalan yang ada atau untuk mencapai tujuan bersama di masa
depan. Usaha paling awal yang dilakukan oleh negara-negara Asia setelah Perang Dunia II
adalah konferensi antar-negara yang diselenggarakan di New Delhi yang disebut sebagai The
Asian Relations Conference, pada bulan Maret hingga awal April 1947. Maksud utama
konferensi ini adalah untuk mendorong berkembangnya pengkajian-pengkajian mengenai
Asia dan kerjasama yang lebih besar di antara negara-negara Asia serta antara mereka dengan
negara-negara lainnya di dunia. Tetapi rencana untuk mengadakan konferensi kedua pada
tahun 1949 di Cina tidak pernah terwujud, dan bersamaan itu gagal pula inisiatif ke arah
pembentukan regionalisme di Asia.

Sementara itu negara-negara Asia lainnya yang baru merdeka, atau dalam proses
mendapatkan kemerdekaannya, merasa khawatir akan kemungkinan dominasi Cina dan India,
atau salah satu darinya, yang akan merugikan kemerdekaan yang baru saja mereka peroleh.
Ditambah dengan Cina yang sudah di kuasa oleh rezim komunis, usaha ke arah regionalisme
Asia itu makin tidak menentu. Selain itu ada pula usaha Usaha Usaha pendekatan regional
pada masalah negara-negara Asia lainnya adalah diselenggarakannya Pertemuan New Delhi
bulan Januari 1949; atas undangan Pemerintah India untuk membahas intervensi militer
Belanda di Indonesia bulan Desember 1948. Atas pertemuan ini membuat Carlos Romulo
yang mewakili Filipina untuk menyelenggarakan Pertemuan the Asia Union di Baguio,
Filipina bulan Mei 1950. Konperensi ini pada akhirnya hanya menghasilkan suatu resolusi
bagi ditempuhnya konsultasi bersama agar suara Asia lebih didengarkan dalam forum PBB,
dan mendorong langkah bersama untuk menggalang kerjasama sosial dan ekonomi yang
lebih erat di antara negara-negara Asia.

Kurang lebih dalam waktu yang bersamaan, pengaruh Perang Dingin makin dirasakan di
kawasan Asia Tenggara. Membuat meningkatnya perhatian amerika serikat pada kawasan
asia tenggara dari munculnya RRC pada tahun 1949 dan kekalahan Perancis dalam Perang
Vietnam tahun 1953 (Perang Indocina I) sementara stabilitas negara- negara Asia Tenggara
yang baru merdeka pada umumnya masih rawan. Untuk menghadapi perkembangan itu
negara-negara Barat kemudian membentuk SEATO (Southeast Asian Treaty Organization)
pada tahun 1954. SEATO merupakan organisasi paling awal yang mengatasnamakan asia
tenggara Tetapi dari delapan anggotanya (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia,
Selandia Baru, Pakistan, Filipina dan Muangthai), hanya dua negara saja yang benar-benar
negara Asia Tenggara. SEATO sendiri tidak jelas dalam merumuskan terhadap ancaman dari
siapa kerjasama pertahanan itu ditujukan, kecuali Amerika Serikat yang secara spesifik
menyebut ancaman komunis. Hingga akhirnya Kegiatan-kegiatan SEATO secara resmi
dibekukan sejak tahun 1977. Amerika Serikat yang semakin terlibat dalam Asia Tenggara
membuat beberapa negara Asia untuk mencari jalan pemecahan atas masalah-masalah yang
dihadapi baik dalam tingkatan regional maupun global. Setelah melalui pendekatan-
pendekatan oleh lima negara Asia (Indonesia, myanmar, India, Pakistan dan Sri Lanka) sejak
bulan April 1954, suatu kerjasama regional yang bersifat makro dan substansial dilahirkan
melalui penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.Ternyata
Konferensi Asia-Afrika kemudian terhenti pada konferensi di Bandung itu saja. Bersamaan
dengan itu, Konferensi Asia-Afrika juga menjadi arena penegasan adanya garis pemisah di
antara negara-negara Asia Tenggara sendiri antara yang non-blok di satu pihak, yang
dipimpin oleh Indonesia dan Myanmar dengan pendukung-pendukungnya Kamboja, Laos
dan Vietnam Utara, dan di lain pihak negara-negara yang memihak Amerika Serikat, yaitu
Filipina dan Thailand yang didukung oleh Vietnam Selatan.

Selain itu, komunikasi antar-negara Asia Tenggara mungkin saja terselenggara melalui
organisasi-organisasi lain seperti Colombo Plan, yang dibentuk pada tahun 1950, dan melalui
ECAFE, suatu badan khusus PBB yang dibentuk pada tahun 1947 untuk pembangunan
ekonomi Asia dan Timur Jauh, tetapi ada sangkut pautnya dengan organisasi atau himpunan
lain. Tetapi usaha-usaha untuk menginstitusionalkan kerjasama politik dan keamanan tampak
tidak mendapatkan sambutan seperti terlihat dalam Pertemuan the Asia Union dan
pembentukan SEATO. Di balik itu memang terdapat pertanda tentang keinginan mereka
untuk menginstitusionalisasikan usaha bersama dalam menghadapi masalah-masalah mereka
khususnya dalam bidang sosial dan ekonomi, walaupun dalam periode ini hal itu tidak
terselenggara.

Dalam periode 1961-1966, Asia Tenggara memulai usaha untuk melembagakan komunikasi
mereka dalam tingkat regional, atau sekurang-kurangnya sub-regional Asia Tenggara,
ditandai oleh pembentukan ASA (The Association of Southeast Asia) pada tahun 1961, dan
Maphilindo (Malaysia, Filipina dan Indonesia) pada tahun 1963. Keduanya dimaksudkan
untuk menampung kepentingan-kepentingan negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara
dan melibatkan hanya negara-negara yang berada dalam kawasan Asia Tenggara saja.
ASA dibentuk pada tahun 1961 dan anggotanya pada awalnya hanya terdiri dari 3 negara,
yaitu Malaya, Filipina, dan Thailand. Pembentukan ASA ditandai dengan penandatanganan
Deklarasi Bangkok pada tanggal 31 Juli 1961. Dalam deklarasi ini dicantumkan maksud dan
tujuan pembentukan ASA yang meliputi kerjasama ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, dan administrasi. Struktur organisasi ASA terdiri dari Pertemuan Tahunan
Menteri Luar Negeri ASA sebagai badan tertinggi, Komite Tetap, Kelompok Kerja Bersama,
dan Komite Khusus. Bidang kerjasama yang diusahakan ASA meliputi ekonomi, sosial dan
budaya, ilmu pengetahuan, dan administrasi. Namun, ASA mengalami kesulitan dalam
mengembangkan kerjasama lebih lanjut akibat terjadinya konflik antara anggotanya,
khususnya antara Filipina dan Malaysia mengenai status Sabah. Konflik ini berakibat
terhentinya komunikasi intra-organisasi ASA terutama pada masa konfrontasi Indonesia-
Malaysia 1963-1966. Namun pada akhirnya, ASA mengalami kemacetan dalam
mengembangkan kerjasama lebih lanjut, terutama karena terjadinya konflik politik antara
anggotanya. Konflik politik yang paling berpengaruh adalah antara Filipina dan Malaya
(kemudian membentuk Malaysia) mengenai status Sabah. Konflik ini berdampak besar
terhadap terhentinya komunikasi intra-organisasi ASA, terutama selama masa konfrontasi
Indonesia-Malaysia dan sengketa Filipina atas Sabah hingga memutus hubungan diplomatik.
Munculnya konflik sekitar pembentukan Malaysia juga membawa "hikmah" dalam
komunikasi antar negara terkait, yaitu Indonesia, Filipina dan Malaysia melakukan
komunikasi aktif untuk menyelesaikan perbedaan mereka, salah satunya melalui Maphilindo.

Maphilindo adalah forum kerjasama antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang dibentuk
melalui Deklarasi Manila tahun 1963. Berdasarkan kesepakatan dalam Deklarasi Manila,
konsultasi-konsultasi secara teratur akan diselenggarakan dalam forum bernama Musyawarah
Maphilindo guna membahas tujuan-tujuan Maphilindo. Deklarasi Manila 1963 menyebutkan
empat pokok pengaturan/sikap yang diambil oleh ketiga negara dalam Maphilindo, yaitu:
memegang teguh Piagam PBB dan Deklarasi Bandung, memelihara hubungan bersahabat,
bekerja sama melawan kolonialisme dan imperialisme, serta membangun dunia baru yang
lebih baik. Tujuan Maphilindo adalah empat pokok sikap tersebut. Berdasarkan kesepakatan
itu, ketiga negara menyelenggarakan beberapa kali pertemuan antar-menteri luar negeri dan
tingkat kepala negara, meskipun akhirnya hanya terjadi antara Indonesia dan Filipina.
Maphilindo tetap berlaku setelah Malaysia menarik diri dari kesepakatan, meskipun tidak
berhasil menyelesaikan konflik antar-anggotanya.
Dalam periode 1967-1975, Terjadinya konflik antara Malaysia, Indonesia dan Filipina, yang
kemudian disusul ketegangan baru pada 1965 saat Singapura memisahkan diri dari Malaysia.
Upaya Indonesia pada 1966 untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan menjalin
hubungan yang lebih bersahabat dengan negara tetangga. Keengganan Indonesia bergabung
dengan ASA meskipun negara-negara ASA berusaha memperhidupkannya kembali. Melalui
pendekatan diplomatik intensif sejak 1966, diadakanlah pertemuan menteri luar negeri di
Bangkok pada 1967 yang menghasilkan pendirian ASEAN melalui Deklarasi Bangkok oleh
kelima negara yang dapat hadir, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan
Muangthai.

Sama seperti ASA, Deklarasi Bangkok ASEAN menyatakan bahwa keanggotaan ASEAN
terbuka bagi negara-negara Asia Tenggara lain yang menerima prinsip dan tujuan ASEAN.
Namun hingga tahun 1975, ASEAN belum memperluas anggotanya untuk mencakup seluruh
negara Asia Tenggara. Hanya pada 1984 setelah 15 tahun berdiri, ASEAN menerima anggota
baru yaitu Brunei. Negara-negara Indocina yang sedang terlibat konflik seperti Myanmar dan
Kamboja tidak diajak bergabung. Birma dan Kamboja juga menolak bergabung. Berkuasanya
pemerintahan komunis di Indocina menambah kesulitan memperluas keanggotaan ASEAN
ke negara-negara tersebut karena perbedaan sistem politik. Pada masa itu ASEAN juga belum
berkembang menjadi organisasi yang kuat.

Deklarasi Bangkok menyatakan bahwa negara-negara ASEAN sendiri yang bertanggung


jawab utama untuk menjamin stabilitas ekonomi dan sosial di kawasan serta menjamin
pembangunan nasional mereka. Hal ini berbeda dari ASA yang lebih fokus pada kerjasama
regional. ASEAN menyatakan komitmen untuk menjamin stabilitas dan keamanan mereka
dari campur tangan luar sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Prinsip terkait status
pangkalan asing yang sementara diambil dari Maphilindo. Awalnya tidak begitu jelas apa
yang ingin dilakukan ASEAN, tapi tampaknya ada fokus pada kerjasama ekonomi dan sosial
budaya. Namun tetap mempertimbangkan aspek politik dan keamanan. ASEAN dapat disebut
sebagai penggabungan dari ASA dan Maphilindo, mengingat anggotanya sama dan
organisasi sebelumnya belum dibubarkan. Diperlukan iklim politik dan keamanan yang
mendukung agar ASEAN dapat mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan melalui
kerjasama.
Pada pertemuan tahunan ketiga ASEAN disepakati pembentukan ASEAN Fund dan
Persetujuan mengenai Promosi Kerjasama dalam Bidang Media Massa dan Aktivitas-
aktivitas Budaya. Setelah Sidang Para Menteri Luar Negeri ASEAN kelima tahun 1972,
ASEAN mulai membuka dialog dengan mitra luar pertamanya, yaitu Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE). Hingga tahun 1975 beberapa komite lainnya dibentuk dan ratusan proyek dan
rekomendasi telah diajukan sebagai bidang kerjasama yang mungkin dilakukan ASEAN, baik
pada tingkat intra maupun ekstra regional. Meskipun beberapa proyek dan kegiatan ASEAN
telah diidentifikasi selama delapan tahun pertama, ASEAN menunjukkan kelambanan dalam
mencapai kemajuan di bidang kerjasama ekonomi. Kelima negara anggota ASEAN
tampaknya masih dalam taraf saling menjajaki dan berusaha lebih mengenal melalui
pendekatan bertahap, sehingga kemajuan yang dicapai dalam kerjasama dilakukan secara
hati-hati. Perbedaan kepentingan, kondisi ekonomi, dan pola perdagangan masing-masing
dengan negara lain merupakan kendala bagi kerjasama ekonomi ASEAN. Keterlibatan elite
politik dalam berbagai komite dan pertemuan telah membantu tumbuhnya iklim saling
mengenal antar negara anggota ASEAN. Selain ekonomi dan sosial budaya, aspek politik dan
keamanan juga menjadi bagian penting kerjasama ASEAN meskipun tidak disebutkan secara
eksplisit.

Para Menteri Luar Negeri ASEAN mengadakan pertemuan-pertemuan informal selain


pertemuan resmi untuk membahas berbagai persoalan terkait keamanan dan stabilitas
kawasan. Dalam Pertemuan Manila Juli 1972, mereka membahas beberapa masalah seperti
berlangsungnya konflik di Indocina, bahaya uji coba nuklir, konsep ZOPFAN, konsep
Wawasan Nusantara yang diajukan Indonesia dan Filipina, serta masalah terkait Konferensi
Hukum Laut Internasional. Dalam Pertemuan Kuala Lumpur Februari 1973, mereka
membahas implikasi Persetujuan Pengakhiran Perang dan Pemulihan Perdamaian di Vietnam
bagi Asia Tenggara. Mereka juga mengusulkan diselenggarakannya konferensi semua negara
Asia Tenggara sebagai forum kerjasama, mengusahakan perluasan keanggotaan ASEAN,
serta membantu rekonstruksi Vietnam dan Indocina.

PERIODE 1976 DAN SELANJUTNYA, Dalam sidangnya di Singapura tahun 1972, para
Menteri Luar Negeri ASEAN menyadari perlunya meninjau kembali kerangka prosedural dan
organisasi ASEAN agar ASEAN dapat berfungsi lebih efektif sebagai wadah kerjasama.
Sejak tahun 1974, masyarakat mulai menyadari perlunya sosialisasi ASEAN, memperkuat
kemauan politik untuk menegaskan prestasi ASEAN, serta adanya struktur yang mendukung
pelaksanaan tujuan ASEAN seperti kesepakatan membentuk Sekretariat Pusat pada tahun
1973. Lingkungan eksternal yang dihadapi ASEAN sangat dinamis sejak berdirinya hingga
1975, antara lain kebijakan Inggris menarik pasukan dari Timur Laut Suez, Doktrin Nixon,
konflik Cina-Soviet, Perjanjian Paris untuk mengakhiri perang Vietnam, hingga berkuasanya
pemerintahan komunis di negara-negara Indochina. Berkuasanya pemerintahan komunis di
Indochina tahun 1975 ditanggapi dengan hati-hati oleh ASEAN karena Vietnam curiga
ASEAN sebagai tangan Barat.

Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pertama kali diselenggarakan di Bali bulan Februari
1976. Ini merupakan pertemuan antara kepala pemerintahan semua negara anggota ASEAN.
Pertemuan ini memiliki arti penting bagi perkembangan kerjasama regional di Asia Tenggara
yang telah berjalan selama lebih dari 8 tahun sejak pembentukan ASEAN. Dalam pertemuan
ini, negara-negara ASEAN menegaskan kembali komitmen mereka untuk bekerjasama di
tingkat regional sesuai deklarasi sebelumnya. Dua dokumen penting ditandatangani, yaitu
Deklarasi ASEAN Concord dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara.
ASEAN juga sepakat membentuk Sekretariat Pusat ASEAN yang berkedudukan di Jakarta.
Berbeda dengan Deklarasi Bangkok sebelumnya, Deklarasi ASEAN Concord secara tegas
memasukkan bidang politik sebagai bidang kerjasama ASEAN. Setelah KTT Bali, ASEAN
secara resmi memperluas cakupan dan bidang kerjasamanya serta melakukan perubahan
struktur dan kelembagaan. Deklarasi ASEAN Concord menggambarkan program aksi
ASEAN di enam bidang kerjasama utama.

Dari apa yang telah dilakukan ASEAN selama dua puluh tahun ini, kini dapat dilihat arti
penting dari organisasi ini sekurang-kurangnya dalam dua segi. Pertama, dari segi hubungan
antar-negara di Asia Tenggara sendiri, Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ASEAN
dalam mengembangkan saling hubungan di antara para anggotanya pada dasarnya telah
membawa ASEAN ke dalam apa yang sering disebut sebagai suatu masyarakat pluralistik
yang berkeamanan (pluralistic security community). Kedua, ASEAN hingga tingkat tertentu
telah mampu mengembangkan suatu identitas regional dalam hubungannya dengan negara-
negara di luar ASEAN, baik negara-negara yang di Asia Tenggara sendiri maupun di luar
kawasan Asia Tenggara.

Usaha-usaha penting dalam regionalisme Asia Tenggara, dan yang hingga tingkat
tertentu mampu memberikan ciri terbentuknya suatu kerjasama kawasan yang berfungsi
dalam mengatasi baik persoalan-persoalan di dalam negeri sendiri maupun masalah-masalah
regional telah dicoba melalui berbagai forum tetapi tampaknya baru ASEAN yang dapat
melaksanakannya. Ini berarti bahwa regionalisme Asia Tenggara yang mampu bertahan dan
berfungsi untuk kurun waktu yang relatif lama baru mencakup sub-kawasan Asia Tenggara
saja, yaitu dalam lingkup ASEAN.

ULASAN
Ulasan Perkembangan Regionalisme di Asia Tenggara: Tinjauan Historis dan Teoritis
Tulisan A.R. SUTOPO membahas mengenai pembentukan kerjasama regionalisme di
kawasan asia tenggara mengenai manfaat, tantangan dan peran-peran negara di kawasan asia
tenggara. Yang pada awalnya merupakan negara negara yang baru memperoleh
kemerdekaannya, dan harus menghadapi pengaruh pengaruh dari barat ditambah dengan
perang dingin yang mulai menyebar di kawasan Asia Tenggara.

Usaha pendekatan Regionalisme di Asia Tenggara semakin sering diperbincangkan. Hal ini
merupakan upaya antar negara untuk saling membantu dalam menghadapi persoalan yang
ada untuk mencapai tujuan bersama di masa depan. Upaya yang dilakukan Asia Tenggara
pada Persoalan yang ada dengan membentuk ASEAN (Association of Southeast Asian
Nations), ASA (Association of Southeast Asia), Colombo Plan, ECAFE (Economic
Commission for Asia and the Far East)

ASEAN menjadi fokus utama dalam pembahasan mengenai kerjasama regional di Asia
Tenggara. Proses pembentukan ASEAN bukan sesuatu yang mudah. Sebelum berdirinya
ASEAN, negara bagian ASEAN harus menghadapi konflik konflik yang terjadi. baik negara
di kawasan Asia Tenggara dengan negara barat atau negara Asia Tenggara dengan Asia
Tenggara.

Inti dari penulis menulis artikel ini adalah ASEAN berdiri dengan proses yang sulit. ASEAN
dibentuk bukan hanya semata mata ingin menghadapi pengaruh negara barat tetapi juga ingin
mencapai tujuan di masa mendatang dalam jangka waktu yang panjang serta menstabilkan
negaranya dalam bidang ekonomi, sosial-budaya dan politik.
Referensi
Kementerian Luar Negri Republik Indonesia (2015) Sejarah dan Latar Pembentukan ASEAN

Daftar Pustaka
https://kemlu.go.id/portal/id/read/980/halaman_list_lainnya/sejarah-dan-latar-pembentukan-
asean

Nama : Sri Devi Wulandari


Kelas : XII IPS 2
Absen : 33

Anda mungkin juga menyukai