SKRIPSI
Disusun Oleh :
ILMADIANTI
NIT. 16252949 / MANAJEMEN PERTANAHAN
i
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
ILMADIANTI
NIT. 16252949/MANAJEMEN PERTANAHAN
Pembimbing I Pembimbing II
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Nama : Ilmadianti
NIT : 16252949
Konsentrasi : Manajemen Pertanahan
Program Studi : Diploma IV Pertanahan STPN Yogyakarta
Yang telah diujikan pada tanggal 14 Agustus 2020 dengan Kelompok Penguji:
1. M. Nazir Salim, S.S., M.A.
2. Sarjita, S.H., M.Hum., Cert. MP.
3. Dian Aries Mujiburohman. S.PdI., M.H.
Pada skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang
lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian
kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa
memberikan pengakuan pada penulis aslinya.
Apabila kemudian hari terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin
atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku, termasuk pencabutan
gelar akademik.
Ilmadianti
NIT. 16252949
iii
MOTO
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Jalan Tol pada Kawasan Hutan Konservasi”. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi persyaratan dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada
Program Diploma IV di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan bukan semata-mata
karena kemampuan penulis sendiri, tetapi juga berkat kemurahan hati, bimbingan,
dan bantuan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Ir. Senthot Sudhirman, M.S. selaku Ketua Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional Yogyakarta;
2. Bapak Sarjita, S.H., M.Hum., Cert. MP. selaku Dosen Pembimbing I dan
Sekretaris Kelompok Penguji yang telah bersedia memberikan waktu, ilmu,
petunjuk dan arahan serta senantiasa sabar dalam membimbing, sehingga
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
3. Ibu Dr. Setiowati, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan
waktu guna memberikan bimbingan dan saran sehingga skripsi ini menjadi
lebih baik;
4. Bapak Dian Aries Mujiburohman. S.PdI., M.H selaku Dosen Pembahas dan
Anggota Kelompok Penguji yang telah memberikan saran, kritik dan arahan
dan juga bimbingan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik;
5. Bapak M. Nazir Salim, S.S., M.A.selaku Ketua Kelompok Penguji sekaligus
Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran, kritik, arahan
dan juga bimbingan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik;
6. Bapak Drs. Herman Hidayat, M.Si. selaku Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Kutai Kartanegara beserta seluruh jajaran Seksi Pengadaan Tanah,
atas data, informasi, dan izin penelitian yang diberikan kepada penulis;
vi
7. Bapak Drs. Tarticius Kustanto selaku Kepala Balai Pemantapan Kawasan
Hutan Wilayah IV Samarinda beserta seluruh jajaran atas data, informasi, dan
izin penelitian yang diberikan kepada penulis;
8. Bapak Ir. H. M. Taufiq Fauzi selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Kalimantan Timur beserta seluruh jajaran atas data, informasi, dan izin
penelitian yang diberikan kepada penulis;
9. Bapak H. Rusmadi. S.Hut., M.Si. selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto beserta seluruh jajaran atas data, informasi,
dan izin penelitian yang diberikan kepada penulis;
10. Bapak Yoseph Nai Helly, S.Si.T., M.A. selaku Kepala UPA Perpustakaan
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional yang membantu dalam penyediaan buku-
buku referensi;
11. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional yang telah
memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan studi dengan baik;
12. Saudara #jabaterat25 Angkatan XXV Program Diploma IV Pertanahan
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional yang telah memberikan motivasi dan
selalu mendukung penyelesaian skripsi ini;
13. Kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian maupun
penyusunan skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu;
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
keterbatasan pengetahuan penulis, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan,
memberikan kontribusi serta bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .............................................................iii
MOTO .................................................................................................................iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................viii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xiii
INTISARI............................................................................................................xv
ABSTRACT ..........................................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
A. Latar Belakang ............................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................5
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………..5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................6
A. Kajian Terdahulu ........................................................................6
B. Kajian Teori .................................................................................10
1. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum........................10
2. Hutan dan Kawasan Hutan ....................................................14
3. Taman Hutan Raya ................................................................16
4. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Jalan Tol di
Kawasan Hutan ......................................................................18
5. Perubahan Kawasan Hutan untuk Wilayah Provinsi .. ..........25
6. Areal Penggunaan Lain .. .......................................................30
7. Ganti Kerugian .......................................................................30
C. Kerangka Pemikiran ....................................................................35
viii
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................38
A. Format Penelitian ........................................................................38
B. Lokasi Penelitian.........................................................................39
C. Informan dan Teknik Pemilihan Informan .................................39
D. Definisi Operasional ...................................................................40
E. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ..........................41
a. Data Primer ...........................................................................41
b. Data Sekunder …………………………………………….. 42
F. Analisis Data ...............................................................................46
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ..........................48
A. Sejarah Kawasan Tahura Bukit Soeharto ....................................48
B. Kondisi Geografis Kawasan Tahura Bukit Soeharto...................51
C. Potensi Flora dan Fauna Kawasan Tahura Bukit Soeharto .........52
BAB V. SEKILAS TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK
PEMBANGUNAN JALAN TOL BALIKPAPAN SAMARINDA ...53
BAB VI. PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL
PADA KAWASAN HUTAN KONSERVASI...................................58
A. Mekanisme Perubahan Peruntukan Sebagian Kawasan Tahura
Bukit Soeharto .............................................................................58
1. Alasan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan pada
Sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto ........................58
2. Tahapan Perubahan Peruntukan Sebagian Kawasan Tahura
Bukit Soeharto .......................................................................63
B. Konsekuensi Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Terhadap
Status Tanah Areal Penggunaan Lain Bekas Kawasan Tahura
Bukit Soeharto ............................................................................70
C. Pemberian Ganti Kerugian bagi Masyarakat yang Menguasai
Areal Penggunaan Lain Bekas Kawasan Tahura Bukit
Soeharto ......................................................................................81
ix
BAB VII. PENUTUP ..........................................................................................91
A. Kesimpulan ..................................................................................91
B. Saran ...........................................................................................92
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................93
RIWAYAT HIDUP PENULIS
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
Lampiran 8. Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur No. B-082/
Q.4/Gs.1/03/2017II/2009 Tanggal 29 September 2009 ......... 131
Lampiran 9. Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Nomor:
B-65/Q.4.6/Gs.2/08/2017 Tanggal 16 Agustus 2017 .............. 140
Lampiran 10. Surat Lurah Sungai Merdeka Nomor: 593/72/1006/VII/2017
Tanggal 10 Juli 2017 ............................................................... 147
Lampiran 11. Berita Acara Kesepakatan Nomor: 425/64.02/500.1/X/2017
Tanggal 2 Oktober 2017 .......................................................... 154
Lampiran 12. Berita Acara Kesepakatan Nomor: 426/64.02/500.1/X/2017
Tanggal 5 Oktober 2017 .......................................................... 155
xiv
INTISARI
xv
ABSTRACT
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infrastruktur memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi
maupun peningkatan kualitas hidup. Gie dalam (Haris 2005, 1) menyatakan
bahwa secara ekonomi makro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur
mempengaruhi produktivitas marjinal dari modal swasta (marginal
productivity of private capital). Pada level ekonomi mikro, ketersediaan jasa
pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.
Sementara itu Haris (2005, 1) menyatakan bahwa infrastruktur berpengaruh
penting terhadap: (a) peningkatan nilai konsumsi; (b) peningkatan
produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja; dan
(c) peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro
ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan
pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.
Begitu pentingnya manfaat infrastruktur maka Pemerintah baik
pusat maupun derah terus menggalakkan pembangunan infrastruktur. Setiap
pembangunan selalu memerlukan tanah sebagai wadahnya. Faktanya,
pembangunan sering terhalang oleh ketersediaan tanah. Sitorus dan
Limbong (2004, 1) menyebutkan bahwa ketersediaan Tanah Negara yang
“bebas” yaitu yang sama sekali tidak dihaki atau diduduki orang atau pihak-
pihak berkepentingan sangat terbatas. Tanah di Indonesia umumnya sudah
dipunyai atau setidaknya sudah ada yang menduduki. Akibatnya, apabila
ada kegiatan pembangunan yang membutuhkan tanah maka tanah diperoleh
melalui kegiatan pengadaan tanah.
Salah satu pembangunan infrastruktur yang penyediaan tanahnya
dilakukan melalui kegiatan pengadaan tanah adalah pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda. Jalan Tol Balikpapan-Samarinda merupakan jalan
tol pertama di Pulau Kalimantan (Indonesia.go.id, 2019). Pembangunan
jalan tol tersebut pertama kali diinisiasi oleh Gubernur Provinsi Kalimantan
1
Timur Awang Faroek Ishak pada periode jabatan 2008-2013 (Priambodo,
2019).
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda dimulai pada tahun 2009 yang ditandai dengan
terbitnya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 590/K.384/2009
Tanggal 9 Juli 2009 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Tanah dan
Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Jalan Bebas Hambatan (Free Way)
Balikpapan–Samarinda-Bontang (lihat Lampiran 1). Lokasi pembangunan
terletak di 4 (empat) kabupaten/kota yaitu: Kota Balikpapan, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kota Samarinda dan Kota Bontang dengan luas
25.654.500 m². Dari lokasi yang ditetapkan, trase pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda sepanjang 24 kilometer berada pada Kawasan
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 (UU Nomor 5
Tahun 1990) tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Tahura adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau
bukan asli. Pemanfaatan taman hutan raya terbatas bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi. Pada Pasal 29 UU Nomor 5 Tahun 1990 tercantum
bahwa taman hutan raya merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam
sehingga dapat disimpulkan bahwa taman hutan raya merupakan bagian dari
kawasan hutan konservasi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
maupun regulasi pengadaan tanah yang sebelumnya berlaku tidak mengatur
mengenai perolehan atau pelepasan tanah yang berada pada kawasan hutan.
Akibatnya, apabila ada obyek pengadaan tanah berada pada kawasan hutan
maka perolehan atau pelepasannya dilaksanakan sesuai dengan tata cara
yang ditentukan dalam peraturan perundangan di bidang kehutanan.
Ditinjau dari perspektif hukum kehutanan, penggunaan kawasan hutan
untuk pembangunan jalan tol dikategorikan sebagai penggunaan kawasan
2
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Pasal 38
ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 menentukan bahwa “penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan
lindung”.
Prihatno (2017) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) mekanisme
penggunaan tanah kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan yaitu: (a) tukar menukar kawasan hutan; (b) pelepasan
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi; dan (c) pinjam pakai
kawasan hutan. Saat lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda ditetapkan pada tahun 2009, tukar menukar kawasan
hutan dapat diterapkan pada hutan produksi dan atau hutan produksi terbatas
(Pasal 1 butir 12 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-
II/2010). Sementara itu, pelepasan kawasan hutan dapat diterapkan pada
hutan produksi yang dapat dikonversi (Pasal 1 butir 8 Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010). Adapun pinjam pakai kawasan
hutan dapat diterapkan pada hutan produksi dan kawasan hutan lindung
(Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-
II/2008)). Ketiga mekanisme tersebut tidak dapat diterapkan pada kawasan
hutan konservasi.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda sempat terkendala status Kawasan Tahura Bukit
Soeharto (kaltim.antaranews.com, 2011). Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan dalam
(finance.detik.com, 2011) menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan
menolak rencana proyek Jalan Tol Balikpapan-Samarinda karena trase
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 24 kilometer membelah
Kawasan Tahura Bukit Soeharto. Sementara itu, Timor (2015, 5)
menyatakan bahwa penggunaan kawasan konservasi untuk penggunaan di
luar kepentingan kehutanan sangat tidak mungkin kecuali ada kebijakan dari
3
Menteri Kehutanan yang mengeluarkan izin terhadap penggunaan kawasan
hutan konservasi.
Meski sempat terhambat izin penggunaan Kawasan Tahura Bukit
Soeharto, faktanya pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dapat
diselesaikan. Jalan Tol Balikpapan-Samarinda telah diresmikan oleh
Presiden Joko Widodo pada Tanggal 17 Desember 2019 (Egeham, 2019)
dan resmi beroperasi sejak Tanggal 19 Desember 2019 (Amanda, 2019).
Dalam rangka mengakomodir kebutuhan pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda, sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto dirubah
peruntukannya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL).
Keberadaan Kawasan Tahura Bukit Soeharto yang merupakan
bagian dari kawasan hutan konservasi pada lokasi pengadaan tanah untuk
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda merupakan hal yang
menarik untuk diteliti. Terlebih pada kawasan tersebut terdapat penguasaan
masyarakat yang ditandai dengan keberadaan tanam tumbuh, bangunan dan
kolam. Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian berjudul “Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol pada
Kawasan Hutan Konservasi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan 3 (tiga) rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan yang
diterapkan pada sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam
rangka pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda?
2. Bagaimana konsekuensi perubahan peruntukan kawasan hutan
terhadap status tanah APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto?
3. Bagaimana pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang
menguasai APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto?
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan yang diterapkan
pada sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam rangka
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda;
2. konsekuensi perubahan peruntukan sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto terhadap status tanah APL bekas Kawasan Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto;
3. pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang menguasai APL
bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi calon peneliti, penelitian ini diharapkan memperkaya ilmu
pengetahuan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada
kawasan hutan konservasi.
2. Bagi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya keilmuan dan penelitian di bidang
pertanahan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada
kawasan hutan konservasi;
3. Bagi Kementerian ATR/BPN, penelitian ini diharapkan dapat
memberi gambaran mengenai rumitnya pelaksanaan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum di lapangan khususnya pada kawasan hutan
karena masih didasarkan pada aturan sektoral. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat mendorong penyederhanaan aturan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum khususnya pada kawasan hutan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Terduhulu
Kajian terdahulu dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan fokus penelitian sekaligus sebagai pembeda dari penelitian
sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian
dengan tema pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
telah banyak dilakukan dengan berbagai variasi pembahasan. Meski
demikian, penelitian tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum pada kawasan hutan, khususnya hutan konservasi, masih
sangat minim. Uraian di bawah ini adalah empat penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan pengadaan tanah bagi pembanguan untuk kepentingan
umum yang berada pada kawasan hutan.
Bambang Sudjatmiko dan Andi Suriadi (2010) melakukan penelitian
berjudul “Faktor – Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol:
Status Kasus pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran –
Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah”. Tujuan penelitian tersebut
adalah menguraikan faktor-faktor yang menghambat perolehan tanah
pengganti kawasan hutan dan merumuskan solusi dari hambatan yang ada.
Hasil penelitian mengungkap tiga faktor yang menghambat perolehan tanah
pengganti kawasan hutan yaitu: (a) eksistensi makelar, (b) senjangnya nilai
ganti rugi, dan (c) proses pembayaran yang bermasalah. Sementara solusi
yang ditawarkan yaitu: (a) pihak yang membutuhkan tanah perlu bergerak
lebih cepat daripada makelar tanah, (b) diperlukan mekanisme yang dapat
mencegah atau setidaknya meminimalisasi eksistensi makelar tanah, dan (c)
diperlukan keterlibatan Panitia Pengadaan Tanah dalam penyediaan tanah
pengganti kawasan hutan.
Deni Graha Purwandhani (2015) melakukan penelitian berjudul
“Implementasi Pengadaan Tanah untuk Jalan Lintas Selatan yang Melewati
Kawasan Hutan”. Fokus penelitian adalah menguraikan faktor-faktor
6
penghambat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Lintas Selatan
yang melewati kawasan hutan beserta strategi penyelesaian yang dilakukan
oleh pihak terkait. Hasil penelitian mengungkap dua faktor penghambat yaitu:
(a) sulitnya mencari lahan kompensasi kawasan hutan karena terkendala
persyaratan dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.18/Menhut-II/2011, dan
(b) adanya nilai magis religius yang masih diyakini oleh masyarakat sehingga
menganggap punden dan tanah warisan sebagai tempat yang sakral dan tidak
boleh dijual. Sementara strategi penyelesaian yang ditempuh yaitu: (a)
Pemerintah Kabupaten Malang terus melakukan perpanjangan persetujuan
prinsip penggunaan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan selama lahan
kompensasi belum didapatkan, (b) Pemerintah Kabupaten Malang berusaha
mencari calon lahan pengganti di luar wilayah Kabupaten Malang, dan (c)
dalam proses pencarian calon lahan kompensasi, Pemerintah Kabupaten
Malang melakukan pendekatan secara persuasif maupun personal (orang per
orang) dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat beserta warga di
sekitar lokasi lahan pengganti.
Asis Pitria Timor (2015) dengan tesis berjudul “Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Atas Tanah Berstatus Hutan
Konservasi” melakukan penelitian dengan studi kasus pembangunan fasilitas
umum berupa akses jalan dan pemukimam warga di dalam Taman Nasional
Kutai. Tujuan penelitian tersebut adalah menganalisis mekanisme pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di atas tanah berstatus
hutan konservasi, serta menganalisis penentuan ganti rugi pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum di atas tanah berstatus hutan
konservasi. Hasil penelitan mengungkap bahwa untuk dapat menggunakan
tanah yang berada pada hutan konservasi maka dapat dilakukan pelepasan
hak atas tanah yang dikuasai pemerintah sesuai ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Pelepasan dilakukan dengan cara pemindatanganan melalui
tukar-menukar atau tukar guling (ruilslag). Untuk ganti rugi terhadap
kawasan hutan konservasi kewajiban lain apabila tukar guling telah disetujui
7
yaitu: (a) melaksanakan reboisasi atau penghutanan atas tanah pengganti, dan
(b) melaksanakan tata batas atas tanah pengganti dan kawasan hutan yang
dimohon.
Boby Kurniawan (2017) dengan skripsi berjudul “Pengadaan Tanah
pada Kawasan Hutan untuk Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera di
Kabupaten Lampung Selatan” melakukan penelitian terkait adanya klaim
penguasaan antara masyarakat dan BPKH XX pada obyek pengadaan tanah.
Fokus penelitian adalah menguraikan penguasaan tanah oleh masyarakat dan
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XX dan memberikan solusi atas
permasalahan klaim penguasaan tanah antara kedua belah pihak. Hasil
penelitian mengungkap bahwa penguasaan tanah oleh masyarakat dibuktikan
dengan sertipikat tanah, surat keterangan tanah, surat keterangan penguasaan
fisik bidang tanah (sporadik), dan surat pernyataan tanah garapan. Sementara
penguasaan tanah oleh BPKH XX didasarkan pada pengukuhan kawasan
hutan yang telah ditetapkan dari zaman Belanda dengan Besluit Residen
Lampung Districk, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
416/Kpts-II/1991, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
416/Kpts-II/1999, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
256/Kpts-11/2000, dan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor: SK.71/MenLHKPKTL/KUH/PLA.2/1/2017. Upaya yang telah
ditempuh untuk menyelesaikan klaim penguasaan tanah kawasan hutan
adalah dengan melakukan mediasi. Adapun solusi yang ditawarkan peneliti
apabila mediasi tidak menemukan jalan damai yaitu: (a) menempuh jalur
pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara; dan
(b) melakukan pemberdayaan masyarakat melalui hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan uraian dari empat penelitian terdahulu, penelitian yang
dilakukan oleh peneliti sekilas memiliki persamaan dengan penelitian tesis
yang dilakukan oleh Asis Pitria Timor karena sama-sama menyinggung
mekanisme pengadaan tanah pada hutan konservasi dan pemberian ganti
kerugiannya. Meski demikian, pada dasarnya terdapat perbedaan antara
8
penelitian yang dilakukan oleh Asis Pitria Timor dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti, antara lain:
a. Hasil analisis Asis Pitria Timor mengungkap bahwa pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum di atas tanah berstatus
hutan konservasi dapat dilakukan dengan mekanisme pelepasan hak
atas tanah yang dikuasai pemerintah sesuai ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Pelepasan dilakukan dengan cara tukar-menukar atau
tukar guling (ruilslag).
Sementara itu, pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda pada Kawasan Tahura Bukit Soeharto
dilakukan dengan mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan.
Fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah: (a) menguraikan
mekanisme perubahan peruntukan sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto menjadi APL dalam rangka pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda; dan (b) menganalisis status tanah APL bekas
Kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam rangka pemberian ganti
kerugian bagi masyarakat;
b. Terkait dengan pemberian ganti kerugian, hasil analisis Asis Pitria
Timor mengungkap bahwa nilai tanah pengganti sekurang-kurangnya
sama dengan nilai yang ditukarkan. Kemudian terdapat kewajiban lain
yaitu melaksanakan reboisasi atau penghutanan atas lahan pengganti
dan melaksanakan tata batas atas lahan pengganti dan kawasan hutan
yang dimohon.
Sementara itu, fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
menguraikan pelaksanaan dan menganalisis pemberian ganti kerugian
bagi masyarakat yang menguasai APL bekas Kawasan Tahura Bukit
Soeharto.
9
B. Kajian Teori
1. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Berbicara mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum
maka terdapat 2 (dua) jenis konstruksi yaitu “pengadaan tanah” dan
“kepentingan umum”. Menurut Harsono (1995, 7) pengadaan tanah
merupakan perbuatan hukum yang berupa melepaskan hubungan
hukum yang semula ada antara pemegang hak dan tanahnya yang
diperlukan, dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang, fasilitas atau
lainnya, melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat antara
empunya tanah dan pihak yang memerlukan. Sementara Koeswahyono
(2008, 1) berpendapat bahwa pengadaan tanah adalah suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi
kepentingan tertentu dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si
empunya tanah menurut tata cara dan besaran nominal tertentu.
Istilah pengadaan tanah pertama kali digunakan dalam Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993 (Keppres Nomor 55 Tahun 1993)
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Sebelum dikenal istilah pengadaan tanah, istilah
yang digunakan adalah pembebasan tanah. Sejak tahun 1993, istilah
pengadaan tanah terus digunakan dalam Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 (Perpres Nomor 36 Tahun 2005) tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 (Perpres Nomor 65 Tahun 2006)
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan
yang terakhir dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Definisi pengadaan tanah menurut Pasal 1 butir 3 Perpres Nomor
36 Tahun 2005 adalah sebagai berikut:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.”
10
Berdasarkan pengertian tersebut, pengadaan tanah dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara yaitu melalui pelepasan atau penyerahan hak dan
pencabutan hak atas tanah. Sudjito, dkk (2012, 34) menyebut pelepasan
atau penyerahan hak sebagai cara sukarela, sementara pencabutan hak
merupakan cara yang ditempuh apabila pemilik, pemegang atau yang
menguasai tanah tidak bersedia melepaskan atau menyerahkan
tanahnya secara sukarela. Menurut Sitorus dan Limbong (2004, 6)
pencabutan hak hanya dilakukan dalam keadaaan memaksa yaitu
apabila cara pelepasan atau penyerahan hak benar-benar gagal
sementara lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan. Landasan dari
lembaga pencabutan hak adalah Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 yang menyebutkan bahwa:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak, menurut cara
yang diatur dalam undang-undang”.
11
Salindeho (dalam Siterus, Sitepu dan Sauni 1995, 14) merumuskan
kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, dengan mempertimbangkan segi-segi
sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas
pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta
wawasan nasional. Sutedi (2006, 76) berpendapat bahwa prinsip-prisip
kriteria kepentingan umum dapat diuraikan lebih rinci, yakni meliputi
sifat kepentingan umum, bentuk kepentingan umum, dan ciri-ciri
kepentingan umum. Lebih lanjut Sutedi menyatakan bahwa agar
kriteria kepentingan umum beserta prosedur penerapannya dapat
berjalan dengan baik maka diperlukan sumber daya ma nusia pelaksana
yang memenuhi kualifikasi moral dan profesional.
Sementara itu dalam peraturan perundang-undangan, frasa
“kepentingan umum” sebenarnya telah banyak digunakan. Istilah
kepentingan umum awalnya dijumpai pada Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961, Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1973, Keppres Nomor
55 Tahun 1993, Perpres Nomor 36 Tahun 2005, Perpres Nomor 65
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 (Sumardjono
2015, 15-19). Demikian pula definisi dan pembatasan mengenai
kepentingan umum turut mengalami perubahan seiring dengan
dinamika peraturan perundang-undangan pengadaan tanah.
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 mendefinisikan kepentingan
umum sebagai “kepentingan seluruh lapisan masyarakat”. Batasan
kriteria kepentingan umum dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu
“kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh
pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan”, yang
kemudian diikuti dengan 14 (empat belas) jenis kegiatan pembangunan.
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan kepentingan umum
sebagai “kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”. Batasan
kriteria kepentingan umum tercantum dalam Pasal 5 yaitu: (a)
12
dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dan (b)
termasuk dalam 7 (tujuh) jenis pembangunan yang telah ditentukan.
Soemardjono (2015, 114) menyatakan bahwa Perpres Nomor 36 Tahun
2005 meniadakan aspek “tidak digunakan untuk mencari keuntungan”
dan “dimiliki Pemerintah” yang sebelumnya dirumuskan oleh Keppres
Nomor 55 Tahun 1993.
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 kemudian dirubah dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Salah satu muatan yang dirubah oleh
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 adalah batasan kriteria kepentingan
umum. Pasal 5 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menentukan bahwa
pembangunan untuk kepentingan umum harus memenuhi kriteria
berikut: (a) dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, (b)
dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
dan (c) termasuk dalam 22 (dua puluh dua) jenis pembangunan yang
telah ditentukan.
UU Nomor 2 Tahun 2012 mendefinisikan kepentingan umum
sebagai “kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan untuk sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”. Batasan mengenai kepentingan umum
dimuat dalam Pasal 12 ayat (1) yang menentukan bahwa pembangunan
untuk kepentingan umum harus memenuhi kriteria berikut: (a)
diselenggarakan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk selanjutnya
dimiliki oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan (b) Pemerintah dapat
bekerja sama dengan BUMN, BUMD atau Badan Usaha Swasta.
Adapun jenis-jenis pembangunan yang dikategorikan sebagai
kepentingan umum dijabarkan secara eksplisit dalam Pasal 10 UU
Nomor 2 Tahun 2012 yang meliputi 18 (delapan belas) kegiatan-
kegiatan antara lain: (a) pertanahan dan keamanan nasional, (b) jalan
umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, statsiun, kereta api,
stasiun kereta api, dan fasilita operasi kereta api, (c) waduk, bendungan,
13
irigasi, saluran pembuangan air dan sanitasim dan bangunan pengairan
lainnya, dan seterusnya.
14
perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penggunaan hutan sesuai
dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan.
Berdasarkan statusnya, hutan dapat diklasifikasikan menjadi
hutan negara dan hutan hak (Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun
1999). Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak-hak atas tanah. Awalnya, hutan-hutan yang dikuasai
masyarakat hukum adat turut digolongkan sebagai hutan negara
Setelah dilakukan judicial review pada tahun 2012, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 35/PUU-
X/2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi termasuk hutan
negara. Adapun hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang
telah dibebani hak atas tanah, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha dan
Hak Pakai.
Berdasarkan fungsinya pokoknya, hutan terbagi menjadi 3 (tiga)
yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Pasal 6 ayat
(2) UU Nomor 41 Tahun 1999). Terkait dengan konservasi, Wiyono
(2013, 1) berpendapat bahwa peraturan-peraturan tentang konservasi di
Indonesia mempunyai kelemahan terutama pada definisi konservasi
yang kurang jelas dan perbedaan antar definisi pada berbagai peraturan.
Sebagai contoh, UU Nomor 41 Tahun 1999 menggunakan istilah
“hutan konservasi” yang terdiri dari hutan suaka alam, hutan pelestarian
alam dan taman buru. Sementara UU Nomor 5 Tahun 1990 tidak
menggunakan istilah “hutan konservasi” atau “kawasan konservasi”
namun menggunakan istilah “kawasan pelestarian alam (KPA)” yang
terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam,
dan “kawasan suaka alam (KSA)” yang terdiri dari cagar alam dan
suaka margasatwa.
UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak merincikan kawasan apa saja
yang termasuk hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam. Perincian
mengenai sub kawasan hutan suaka alam dan hutan pelestarian dapat
ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang
15
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yang merupakan ketentuan
pelaksanaan dari UU Nomor 41 Tahun 1999. Menurut PP Nomor 34
Tahun 2002 kawasan hutan pelestarian alam terdiri dari (a) taman
nasional, (b) taman hutan raya, dan (c) taman wisata alam, sementara
kawasan hutan suaka alam terdiri dari (a) cagar alam dan (b) sutan suaka
margasatwa.
16
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 30 UU Nomor
5 Tahun 1999).
Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak ditemukan istilah taman
hutan raya. Namun apabila memperhatikan definisi, tujuan dan fungsi
Tahura dalam UU Nomor 5 Tahun 1990, maka Tahura dapat
diklasifikasikan sebagai hutan dengan fungsi konservasi karena
memenuhi aspek-apek hutan konservasi pada Pasal 1 butir 9 UU Nomor
41 Tahun 1999 yaitu:
“Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya”.
17
4. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Jalan Tol di Kawasan Hutan
Ketentuan mengenai jalan dimuat dalam UU Nomor 38 Tahun
2004. Menurut UU Nomor 38 Tahun 2004, jalan dikategorikan menjadi
2 (dua) jenis yaitu jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum adalah
jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Sementara jalan
khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
Jalan tol termasuk jalan umum yang merupakan bagian sistem
jaringan jalan dan jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar tol. Jalan tol diatur secara lebih rinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2015 (PP Nomor 15 Tahun 2005) tentang
Jalan Tol. Menurut Pasal 2 PP Nomor 15 Tahun 2005, penyelenggaraan
jalan tol dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah.
Sementara tujuan dari penyelenggaraan jalan tol adalah meningkatkan
efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan
pertumbuhan ekonomi.
Ditinjau dari perspektif hukum pengadaan tanah, jalan tol
merupakan salah satu jenis kepentingan umum dan merupakan jenis
kepentingan umum yang konsisten disebutkan dalam Perpres Nomor 36
Tahun 2005, Perpres Nomor 65 Tahun 2006 hingga UU Nomor 2 Tahun
2012. Konsekuensinya, pembangunan jalan tol digolongkan sebagai
pembangunan untuk kepentingan umum sehingga perolehan tanahnya
harus ditempuh melalui mekanisme pengadaan tanah.
Sudirman (2014, 526) menyatakan bahwa jalan tol memiliki
karakteristik yang memanjang dan dapat meliputi beberapa bagian
wilayah administrasi yang berbeda, dengan variasi kondisi fisik
wilayah, sosial dan budayanya. Tak jarang, lokasi yang ditetapkan
untuk pembangunan jalan tol berada pada kawasan hutan. Beberapa
proyek pembangunan jalan tol yang melintas pada kawasan hutan
antara lain Jalan Tol Cikopo-Palimanan di Jawa Barat, Jalan Tol
18
Batang-Semarang di Jawa Tengah, Jalan Tol Mantingan-Kertosono di
Jawa Timur, Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar di Lampung, Jalan
Tol Balikpapan-Samarinda di Kalimantan Timur (Prihatno, 2017).
Perolehan obyek pengadaan tanah yang berstatus kawasan
hutan belum diatur dalam regulasi pengadaan tanah sehingga
pelaksanaannya masih didasarkan pada peraturan sektoral. Penggunaan
tanah kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan harus mendapat persetujuan atau izin dari Menteri
Kehutanan. Prihatno (2017) menyatakan bahwa mekanisme
penggunaan tanah kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di
luar kegiatan kehutanan dapat dilaksanakan dengan:
(a) penggunaan kawasan hutan tanpa merubah status dan fungsi
kawasan hutan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan
hutan; dan
(b) perubahan peruntukan kawasan hutan melalui mekanisme tukar
menukar kawasan hutan dan mekanisme pelepasan kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi.
Berikut ini adalah penjelasan singkat dari masing-masing
mekanisme menurut peraturan perundangan yang berlaku pada saat
lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda ditetapkan dan saat penelitian ini dilaksanakan:
1) Tukar Menukar Kawasan Hutan
Pasal 1 butir 12 Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan
Hutan mendefinisikan tukar menukar kawasan hutan sebagai
perubahan kawasan hutan produksi dan atau hutan produksi
terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan
memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi
kawasan hutan. Berdasarkan definisi tersebut maka tukar
menukar kawasan hutan hanya dapat dilaksanakan pada kawasan
hutan produksi dan hutan produksi terbatas.
19
Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2010 dalam
perjalanannya mengalami 2 (dua) kali perubahan. Perubahan
pertama melalui Permenhut Nomor P.41/Menhut-II/2012 dan
perubahan kedua melalui Permenhut Nomor P.27/Menhut-
II/2014. Menurut Pasal 4 Permenhut Nomor P.32/Menhut-
II/2010 yang diubah dengan Permenhut Nomor P.41/Menhut-
II/2012 tukar menukar kawasan hutan dilakukan untuk:
20
Berdasarkan definisi tersebut, terdapat perbedaan status lahan
yang dapat dijadikan lahan pengganti tukar menukar kawasan
hutan antara Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2010 dan Permen
LHK Nomor P.97/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018.
Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2010 menentukan bahwa
lahan pengganti hanya berasal dari bukan kawasan hutan.
Sementara Permen LHK Nomor
P.97/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018 menyebutkan bahwa
lahan pengganti tidak hanya berasal dari bukan kawasan hutan
saja namun dapat pula berasal dari HPK yang produktif.
Selanjutnya dalam Pasal 3 Ayat (2) Permen LHK Nomor
P.97/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018 disebutkan bahwa
tukar menukar kawasan hutan dapat dilakukan pada 26 (dua puluh
enam) jenis pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang
bersifat permanen meliputi: (a) penempatan korban bencana
alam; (b) fasilitas pemakaman; (c) fasilitas pendidikan; dan
seterusnya. Jalan tol tidak termasuk salah satu di antaranya.
21
Permen LHK Nomor P.33/Menhut-II/2010 selanjutnya
mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Secara berurutan, ketiga
perubahan tersebut dilakukan melalui Permenhut Nomor
P.17/Menhut-II/2011, Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2011
dan Permenhut Nomor P.28/Menhut-II/2014. Tahun 2016,
Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2010 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku serta digantikan oleh Permen LHK Nomor
P.51/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016.
Saat penelitian ini dilaksanakan, Permen LHK Nomor
P.51/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 telah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku serta digantikan oleh Permen LHK Nomor
P.96/MENLHK/SETJEN/Kum.1/11/2018 jo. Permen LHK
Nomor P.50/MENLHK/SETJEN/Kum.1/9/2019. Menurut
Permen LHK Nomor P.96/MENLHK/SETJEN/Kum.1/11/2018,
HPK yang dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan meliputi
kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan produktif yang
secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar
kegiatan kehutanan atau dapat dijadikan lahan pengganti tukar
menukar kawasan hutan. Selanjutnya Pasal 3 Permen LHK
Nomor P.96/MENLHK/SETJEN/Kum.1/11/2018 menentukan
bahwa pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan untuk kegiatan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang meliputi 22 (dua
puluh dua) jenis kegiatan. Jalan tol tidak termasuk salah satu di
antaranya.
22
“Pinjam pakai kawasan hutan alah penggunaan atas sebagian
kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status,
peruntukan dan fungsi kawasan tersebut.”
23
diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan. Jalan umum
(termasuk jalan tol) juga konsisten disebutkan sebagai salah satu
jenis kepentingan umum yang yang dapat diberikan pinjam pakai
kawasan hutan.
Saat penelitian ini dilaksanakan, peraturan menteri tentang
pinjam pakai kawasan hutan yang berlaku adalah tentang Permen
LHK Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 jo. Permen
LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/Kum.1/2/2019. Permen
LHK Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 menyebutkan
pinjam pakai kawasan hutan dengan istilah penggunaan kawasan
hutan. Penggunaan kawasan hutan dapat diberikan di dalam
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan. Berdasarkan Permen LHK Nomor
P.7/MENLHK/SETJEN/Kum.1/2/2019, penggunaan kawasan
hutan dapat dilakukan untuk 17 (tujuh belas) jenis kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan yaitu: (a)
religi, meliputi tempat ibadah, tempat pemakaman non komersial
dan wisata rohani, (b) pertambangan meliputi pertambangan
mineral, batubara, minyak dan gas bumi termasuk sarana,
prasarana, dan smelter, (c) ketenagalistrikan meliputi instalasi
pembangkit, transmisi, distribusi listrik dan gardu induk serta
teknologi energi baru dan terbarukan, dan seterusnya. Jalan tol
termasuk salah satu jenis kepentingan umum yang dapat
menggunakan kawasan hutan dengan pinjam pakai kawasan
hutan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan
kawasan hutan untuk pembangunan jalan tol tidak dapat dilakukan
dengan cara tukar menukar kawasan hutan maupun pelepasan kawasan
hutan. Pembangunan jalan tol yang melintas pada kawasan hutan hanya
24
dapat dilakukan dengan cara pinjam pakai kawasan hutan. Namun,
pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diterapkan pada kawasan
hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Penggunaan kawasan hutan konservasi untuk pembangunan jalan
strategis baru dimungkinkan setelah Pemerintah menetapkan Permen
LHK Nomor P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019 tentang Jalan
Strategis di Kawasan Hutan. Pasal 4 Ayat (1) Permen LHK Nomor
P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019 menyebutkan kawasan hutan
konservasi sebagai salah satu kawasan hutan yang dapat dibangun jalan
strategis. Lebih lanjut dalam Pasal 4 Ayat (2) Permen LHK Nomor
P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019 disebutkan bahwa
pembangunan jalan strategis di kawasan hutan konservasi merupakan
pembangunan jalan pengelolaan yang dibangun berdasarkan perjanjian
kerja sama. Termasuk jalan pengelolaan yaitu: (a) jalan akses hutan; (b)
jalan utama hutan; dan (c) jalan cabang hutan (Pasal 4 Ayat (1) Permen
LHK Nomor P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019). Jalan akses
hutan merupakan jalan pengelolaan di kawasan hutan yang berfungsi
menghubungkan antara kawasan hutan dengan jalan umum yang
merupakan jalan strategis nasional. Jalan utama hutan merupakan jalan
pengelolaan di kawasan hutan yang berfungsi menghubungkan bagian
hutan dan daerah yang terisolasi. Sementara jalan cabang hutan
merupakan jalan pengelolaan di kawasan hutan yang berfungsi
membuka bagian hutan untuk melayani kegiatan pengelolaan dalam
bagian hutan dan menghubungkan daerah yang terisolasi.
25
hal, salah satunya tetap menjaga kualitas lingkungan dengan sedapat
mungkin menghindari konversi hutan alam yang masih produktif.
Meski konversi hutan sebaik mungkin dihindari namun secara
normatif konversi atau perubahan kawasan hutan tidak dilarang oleh
Undang-Undang (Iskandar, dkk 2011). Landasan untuk melakukan
konversi atau perubahan kawasan hutan tercantum dalam Pasal 19 UU
Nomor 41 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 (PP Nomor 10 Tahun 2010) tentang
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Saat ini
PP Nomor 10 Tahun 2010 telah dicabut dan diganti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Menurut PP Nomor 10 Tahun 2010, perubahan kawasan hutan
dapat dimaknai sebagai: (a) perubahan peruntukan kawasan hutan, dan
atau (b) perubahan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan
kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan. Sementara perubahan fungsi kawasan hutan adalah
perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa
kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain.
Perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara
parsial atau untuk wilayah provinsi. Perubahan peruntukan kawasan
hutan secara parsial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan
atau pelepasan kawasan hutan. Sedangkan perubahan peruntukan
kawasan hutan untuk wilayah provinsi dilakukan sebagai akibat dari
evaluasi dan revisi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP). Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah
provinsi dapat dilakukan pada hutan konservasi, hutan lindung maupun
hutan produksi.
Secara garis besar, tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan
untuk wilayah provinsi menurut PP Nomor 10 Tahun 2010 sebagaimana
telah diubah dengan PP Nomor 60 Tahun 2012, Permenhut Nomor
26
P.34/Menhut-II/2010 tentang tentang Tim Terpadu Dalam Rangka
Penelitian Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan
Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/2010 adalah sebagai berikut:
1) Bupati/walikota menyampaikan usulan perubahan peruntukan
kawasan hutan di wilayah kabupaten/kota kepada gubernur;
2) Gubernur membuat usulan perubahan peruntukan kawasan hutan
untuk wilayah provinsi berdasarkan usulan yang disampaikan oleh
bupati/walikota. Usulan perubahan peruntukan kawasan hutan
untuk wilayah provinsi dilengkapi dengan dokumen terkait;
3) Gubernur menyampaikan usulan tersebut kepada Menteri
Kehutanan;
4) Setelah menerima usulan dari gubernur, Menteri Kehutanan
melakukan telaahan teknis;
5) Berdasarkan hasil telaahan teknis, Menteri Kehutanan membentuk
Tim Terpadu;
6) Tim Terpadu melakukan penelitian terpadu. Dalam hal hasil
penelitian menunjukkan bahwa usulan perubahan peruntukan
kawasan hutan berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko
lingkungan, wajib melaksanakan kajian lingkungan hidup
strategis;
7) Tim Terpadu menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri
Kehutanan;
8) Menteri Kehutanan menyampaikan hasil penelitian Tim Terpadu
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
untuk mendapatkan persetujuan terhadap perubahan peruntukan
kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas
serta bernilai strategis;
9) Dalam hal DPR RI menyetujui hasil penelitian Tim Terpadu,
Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan tentang perubahan
peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi. Apabila DPR
RI menolak hasil penelitian Tim Terpadu, Menteri menerbitkan
27
surat penolakan usulan perubahan peruntukan kawasan hutan
wilayah provinsi;
10) Gubernur mengintegrasikan Keputusan Menteri tentang
perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi
dalam revisi RTRWP yang dilakukan untuk ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi.
Untuk lebih jelasnya, tata cara perubahan peruntukan kawasan
hutan untuk wilayah provinsi dapat dilihat pada bagan alir berikut ini:
28
Bupati/Walikota Gubernur Menteri Kehutanan Tim Terpadu DPR RI
Gambar 1. Bagan Alir Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Untuk Wilayah Provinsi menurut PP. 10 Tahun 2010 yang diubah dengan
PP Nomor 60 Tahun 2012, Permenhut Nomor P.34/Menhut-II/2010 dan Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/2010.
Sumber : Hasil Olahan Data Sekunder Peneliti, 2020.
29
6. Areal Penggunaan Lain
Istilah “Areal Penggunaan Lain” dapat dijumpai pada Peraturan
Menteri Kehutanan RI Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan
Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Menurut Pasal 1 butir 8, APL adalah
areal bukan kawasan hutan. Frasa lain dari APL adalah “areal pelepasan
kawasan hutan” yang dapat ditemukan dalam beberapa peraturan
perundangan misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015
tentang Tata Cara Perubahan dan Fungsi Kawasan Hutan. Istilah APL
banyak digunakan pada peta lampiran Keputusan Menteri Kehutanan
tentang pelepasan kawasan hutan.
Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi APL
mengakibatkan kawasan hutan berubah status menjadi bukan kawasan
hutan sehingga pengelolaannya bukan lagi menjadi wewenang Menteri
Kehutanan. Pedoman Investor Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
yang diterbitkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
RI (tanpa tahun) menyebutkan bahwa APL berada dalam kewenangan
yurisdiksi Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. APL dapat dimanfaatkan bagi sektor non kehutanan
seperti permukiman, lahan pertanian, dan sebagainya.
7. Ganti Kerugian
Sitorus dan Sitepu (dalam Sitorus dan Limbong 2004, 30)
menyatakan bahwa ganti kerugian adalah imbalan yang diterima oleh
pemegang hak atas tanah sebagai pengganti atas pelepasan atau
penyerahan tanah beserta benda-benda yang ada di atasnya. Lebih lanjut
Sitorus dan Limbong (2004, 30) menjelaskan bahwa sebagai imbalan
maka ganti kerugian harus seimbang dengan nilai tanah beserta benda-
benda di atasnya sehingga jumlah ganti kerugian minimal sama dengan
nilai tanah termasuk benda-benda yang ada di atasnya. Pemberian ganti
kerugian merupakan wujud penghormatan terhadap hak atas tanah yang
30
merupakan hak asasi manusia di bidang ekonomi (Sitorus dan Limbong
2004, 31).
Menurut Pasal 1 butir 10 UU Nomor 2 Tahun 2012 pemberian
ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam pengadaan tanah. Mengenai “layak” dan “adil” UU
Nomor 2 Tahun 2012 tidak memberikan penjelasan mengenai apa tolak
ukur dari “layak” dan “adil”. Sutedi (2008, 265) berpendapat bahwa
ganti kerugian yang wajar dan layak adalah ganti kerugian yang
memadai untuk memperoleh tanah dan/atau bangunan dan tanaman di
tempat lain.
Objek yang dinilai ganti kerugiannya menurut Pasal 33 UU
Nomor 2012 meliputi: (a) tanah, (b) ruang atas tanah dan bawah tanah,
(c) tanaman, (d) bangunan, (e) benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, (f) kerugian lain yang dapat dinilai. Berdasarkan ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek yang dinilai untuk menentukan
besaran ganti kerugian tidak hanya fisik tanahnya saja namun juga
benda-benda lain yang melekat di atas maupun di bawah tanah. Bahkan,
kerugian nonfisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang, seperti
kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, biaya pemindahan
tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa juga diberikan
ganti kerugian. Menurut Pasal 36 UU Nomor 20 Tahun 2012, bantuk
ganti kerugian yang diberikan dapat berupa (a) uang, (b) tanah
pengganti, (c) pemukiman kembali, (d) kepemilikan saham, (e) bentuk
lain yang disetujui kedua belah pihak.
Terkait dengan pihak yang berhak, penjelasan Pasal 40 UU
Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pihak yang berhak adalah
pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah, yang
meliputi 8 (delapan) kategori yaitu:
“a. pemegang hak atas tanah;
b. pemegang hak pengelolaan;
c. nadzir untuk tanah wakaf;
d. pemilik tanah bekas milik adat;
e. masyarakat hukum adat;
31
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan atau
h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah.”
Sudjito, dkk (2012, 60) menyatakan bahwa cara pengadaan tanah
sangat tergantung pada status hukum tanah yang diperlukan, apakah
statusnya merupakan tanah negara, tanah masyarakat hukum adat, tanah
instansi pemerintah atau badan hukum swasta. Merujuk pada ketentuan
UU Nomor 2 Tahun 2012, status tanah dan pihak yang berhak akan
berpengaruh terhadap obyek yang dapat diganti rugi, cara pelepasan
atau penyerahan hak serta bentuk ganti kerugian. Secara rinci pemberian
ganti kerugian menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 dapat dilihat pada
Tabel 1.
Terkait dengan pemberian santunan terhadap masyarakat yang
menguasai Tanah Negara atau tanah yang dimiliki
Pemerintah/Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD Pemerintah telah
menetapkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 (Perpres Nomor
62 Tahun 2018) tentang Penanganan Dampak Sosial. Menurut Perpres
Nomor 62 Tahun 2018, masyarakat yang menguasai Tanah Negara atau
tanah yang dimiliki Pemerintah/Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD
yang diperlukan untuk pembangunan nasional dapat diberikan santunan
berupa uang atau relokasi. Kriteria masyarakat yang dapat diberikan
santunan tercantum dalam Pasal 4 Perpres Nomor 62 Tahun 2018 yaitu:
“a. memiliki identitas atau keterangan kependudukan yang disahkan
oleh kecamatan setempat; dan
b. tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya.”
32
Tabel 1. Pemberian Ganti Kerugian Berdasarkan Pihak yang Berhak dan Status Tanahnya
No. Pihak yang Berhak Status Tanah Obyek yang Bentuk Ganti Cara Perolehan Tanah
Diganti Rugi Kerugian
1 Pemegang HAT (perorangan) HM, HGB, HP Tanah, bangunan, Uang, tanah pengganti, pelepasan atau penyerahan hak
tanaman dan benda- pemukiman kembali,
2 Pemegang Hak Milik Adat Hak Milik Adat benda yang berkaitan kepemilikan saham atau
3 Badan Hukum Swasta HGB, HGU, HP dengan tanah bentuk lain yang disetujui
kedua belah pihak
4 Pemegang HAT (perorangan maupun HGB di atas HM, Bangunan, tanaman Uang, pemukiman pelepasan atau penyerahan
badan hukum) HP di atas HM, dan benda-benda yang kembali, kepemilikan bangunan, tanaman dan benda-
HGB di atas HPL, berkaitan dengan tanah saham atau bentuk lain benda yang berkaitan dengan
HP di atas HPL yang disetujui kedua tanah
belah pihak
5 BUMN/BUMD HPL, HGU, HGB, HP:
Digunakan secara optimal Tanah, bangunan, Uang, tanah pengganti, pelepasan atau penyerahan hak
untuk penyelenggaraan tanaman dan benda- pemukiman kembali,
usahanya benda yang berkaitan kepemilikan saham di
dengan tanah BUMN/BUMD yang lain.
Tidak digunakan secara Tidak diberikan ganti Tidak diberikan ganti
optimal untuk kerugian kerugian
penyelenggaraan usahanya
6 Nadzir Tanah Wakaf Tanah, bangunan, Uang, tanah pengganti, pelepasan atau penyerahan hak
tanaman dan benda- pemukiman kembali, (mekanismenya diatur dalam UU
benda yang berkaitan kepemilikan saham atau Nomor 41 Tahun 2004 tentang
dengan tanah bentuk lain yang disetujui Wakaf beserta PP Nomor 42
kedua belah pihak Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
UU Nomor 41 Tahun 2004 dan
perubahannya PP Nomor 25
Tahun 2018)
7 Masyarakat Hukum Adat Tanah Ulayat Tanah ulayat, Tanah pengganti, pelepasan atau penyerahan hak
bangunan, tanaman dan pemukiman kembali atau
benda-benda yang bentuk lain yang
berkaitan dengan tanah disepakati
33
Lanjutan Tabel 1
No. Pihak yang Berhak Status Tanah Obyek yang Bentuk Ganti Cara Perolehan Tanah
Diganti Rugi Kerugian
8 Kementerian, Tanah Aset Pemerintah :
LPND, Telah berdiri bangunan Diberikan ganti Tanah dan atau bangunan pelepasan atau penyerahan hak
Pemda Provinsi, yang dipergunakan secara kerugian atau relokasi (mekanismenya diatur dalam UU
Pemda Kabupaten/Kota aktif untuk Nomor 1 Tahun 2004 tentang
penyelenggaraan tugas Perbendaharaan Negara, PP
pemerintahan Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Belum berdiri Tidak diberikan ganti Tidak diberikan ganti Pengelolaan BMN dan PMDN
dipergunakan secara aktif kerugian kerugian Nomor 19 Tahun 2016 tentang
untuk penyelenggaraan Pedoman Pengelolaan BMD)
tugas pemerintahan (misal:
tanah kosong)
9 Pemerintah Desa Tanah Kas Desa Diberikan ganti Tanah dan atau bangunan pelepasan atau penyerahan
kerugian atau relokasi (mekanisme pemindahtanganan
aset diatur dalam Pasal 34 ayat (1)
PMDN Nomor 1 Tahun 2016
tentang Pengelolaan Aset Desa)
10 a. Bekas pemegang HAT yang telah Tanah Negara Tanah, bangunan, Uang, tanah pengganti, pelepasan atau penyerahan hak
habis jangka waktunya yang masih tanaman dan benda- pemukiman kembali,
menggunakan atau memanfaatkan benda yang berkaitan kepemilikan saham atau
tanah, dengan tanah bentuk lain yang disetujui
b. Pihak yang menguasai Tanah kedua belah pihak
Negara dengan sewa-menyewa,
c. Pihak lain yang menggunakan atau
memanfaatkan tanah negara bebas
dengan tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sumber : Olahan Data Sekunder Peneliti, 2020.
34
C. Kerangka Pemikiran
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda dimulai pada tahun 2009 yang ditandai dengan
terbitnya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 590/K.384/2009
Tanggal 9 Juli 2009 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Tanah dan
Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Jalan Bebas Hambatan (Free Way)
Balikpapan–Samarinda-Bontang. Dari lokasi yang ditetapkan, trase
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 24 kilometer
berada pada Kawasan Tahura Bukit Soeharto.
Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol setidaknya
bersinggungan dengan 3 (tiga) jenis peraturan perundang-undangan yaitu UU
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Ditinjau
dari perspektif hukum kehutanan, penggunaan kawasan hutan untuk
pembangunan jalan tol dikategorikan sebagai penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Pasal 38 Ayat
(1) UU Nomor 41 Tahun 1999 menentukan bahwa penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Prihatno (2017) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) mekanisme
penggunaan tanah kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan yaitu: (a) tukar menukar kawasan hutan; (b) pelepasan
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi; dan (c) pinjam pakai kawasan
hutan. Dari ketiga mekanisme tersebut, mekanisme yang dapat diterapkan
untuk pembangunan jalan tol hanyalah pinjam pakai kawasan hutan. Namun
mekanisme pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat dilaksanakan pada
kawasan hutan produksi dan hutan lindung (Permen LHK Nomor
P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018).
Menurut Pasal 29 UU Nomor 5 Tahun 1990, taman hutan raya
merupakan kawasan pelestarian alam sehingga dapat disimpulkan bahwa
taman hutan raya merupakan bagian dari kawasan hutan konservasi. Merujuk
35
pada ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 maka
penggunaan Kawasan Tahura Bukit Soeharto untuk pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda tidak dimungkinkan. Langkah yang ditempuh untuk
menyelesaikan hambatan tersebut adalah dengan merubahan peruntukan
sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto menjadi APL. Pasca ditetapkan
sebagai APL, pekerjaan konstruksi tidak dapat segera dilaksanakan karena
adanya tuntutan pemberian ganti kerugian dari masyarakat yang menguasai
APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua hal menarik dalam
pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda yaitu: (a) trase pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
sepanjang 24 kilometer berada pada Kawasan Tahura Bukit Soeharto, dan (b)
adanya penguasaan masyarakat pada sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto yang telah ditetapkan sebagai lokasi pengadaan tanah. Melihat fakta
bahwa pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda telah diselesaikan
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah
sebagaimana tercantum pada Bab I. Tahapan penelitian yang dilakukan untuk
menjawab rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Penelitian diawali untuk mengetahui mekanisme perubahan peruntukan
kawasan hutan yang diterapkan pada sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto dalam rangka pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda;
2. Selanjutnya penelitian bergeser untuk mengetahui konsekuensi
perubahan peruntukan kawasan hutan, utamanya terhadap status tanah
APL bekas kawasan Tahura Bukit Soeharto. Analisis mengenai status
tanah diperlukan mengingat status tanah berpengatuh terhadap
pemberian ganti kerugian. Fokus penelitian pada tahap ini adalah
memperjelas status APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto apakah
merupakan Tanah Instansi Pemerintah atau Tanah Negara;
3. Selanjutnya penelitian dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis
pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang
menguasai APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto.
36
Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran peneliti dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut ini:
Mekanisme Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan
untuk Kepentingan Pembangunan
di Luar Kegiatan Kehutanan
Sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto berubah menjadi APL
Mekanisme Pinjam
Pakai Kawasan Hutan
Konsekuensi
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Format Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode socio-legal research yang bersifat
kualitatif. Dalam penelitian socio-legal, metode ini merupakan kombinasi
antara metode penelitian hukum doctrinal (normatif) dengan metode penelitian
non-doctrinal (berdasarkan fenomena/prilaku yang ada dimasyarakat) yang
berdasarkan pada metode ilmu sosial (Irianto 2011, 308). Metode socio-legal
research tidak hanya sekedar mengkaji dari kaidah hukum saja tetapi juga
menimbang bagaimana pelaksanaan hukum di lapangan bahkan mencoba
memahami apa yang ada di balik pelaksanaan hukum tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
studi dokumen dan studi lapangan. Pendekatan studi dokumen dilakukan
terhadap:
1. peraturan perundang-undangan untuk: (a) mengetahui mekanisme
perubahan peruntukan kawasan untuk wilayah provinsi dan menganalisis
pelaksanaan perubahan peruntukan sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto dalam rangka pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda;
(b) mengetahui konsekuensi perubahan peruntukan kawasan hutan
terhadap status tanah APL bekas kawasan hutan; dan (c) mengetahui
ketentuan pemberian ganti kerugian berdasarkan status tanah obyek
pengadaan tanah.
2. dokumen pelaksanaan perubahan peruntukan sebagian kawasan Tahura
Bukit Soeharto untuk: (a) mengkonfirmasi data primer hasil wawancara;
dan (b) melengkapi informasi terkait pelaksanaan perubahan peruntukan
sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam rangka pembangunan
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda.
3. dokumen pelaksanaan pemberian ganti kerugian untuk mengetahui
pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang menguasai
APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto.
38
Sementara itu, pendekatan studi lapangan bertujuan untuk mengetahui:
a) mekanisme perubahan peruntukan sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto menjadi APL yang diterapkan dalam rangka pembangunan Jalan
Tol Balikpapan-Samarinda;
b) pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang menguasai
APL bekas kawasan Tahura Bukit Soeharto yang diterapkan dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto yang
berubah menjadi APL dalam rangka pembangunan Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda. Secara administratif, lokasi tersebut berada di 3 (tiga) kelurahan
yaitu: (a) Kelurahan Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara; (b) Kelurahan Bukit Merdeka, Kelurahan Samboja, Kabupaten
Kutai Kartanegara; dan (c) Kelurahan Teluk Dalam, Kecamatan Muara Jawa,
Kabupaten Kutai Kartanegara. Sementara itu, pengumpulan data primer dan
data sekunder dilaksanakan di:
a. Kantor Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV Samarinda.
b. Kantor UPTD Tahura Bukit Soeharto, dan
c. Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara;
d. Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur;
Secara umum, lokasi penelitian berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Kota Samarinda.
39
pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang menguasai APL
bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto, meliputi:
1. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Kalimantan Timur;
2. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV Samarinda;
3. Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Tahura Bukit Soeharto;
4. Staf Seksi Pengadaan Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai
Kartanegara.
D. Definisi Operasional
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengadaan Tanah adalah pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah;
2. Jalan Tol dalam penelitian ini adalah Jalan Tol Balikpapan-Samarinda;
3. Pengadaan Tanah untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
diteliti berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor
590/K.384/2009 Tanggal 9 Juli 2009 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi
Tanah dan Pembebasan Tanah terletak di Kota Balikpapan, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kota Samarinda dan Kota Bontang seluas ± 25.654.500
M² untuk Pembangunan Jalan Bebas Hambatan (Free Way) Balikpapan-
Samarinda-Bontang kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
4. Kawasan konservasi dalam penelitian ini adalah sebagian Kawasan Tahura
Bukit Soeharto yang masuk dalam lokasi pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda.
5. APL dalam penelitian ini adalah APL bekas Kawasan Tahura Bukit
Soeharto yang ditetapkan dalam rangka pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda;
40
6. Pemberian ganti kerugian dalam penelitian ini adalah pemberian ganti
kerugian bagi masyarakat yang menguasai APL bekas Kawasan Tahura
Bukit Soeharto dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan
Tol Balikpapan-Samarinda.
41
b. Data Sekunder
Data sekunder menurut Sugiyono (2013, 376) merupakan data yang
diperoleh peneliti dari sumber data secara tidak langsung. Data sekunder
dalam penelitian ini meliputi:
1) Sejarah Kawasan Tahura Bukit Soeharto, kondisi geografis Kawasan
Tahura Bukit Soeharto dan potensi Kawasan Tahura Bukit Soeharto
2) Perencanaan pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda;
3) Kawasan hutan yang masuk dalam lokasi pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda;
4) Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.554/Menhut-
II/2013 Tanggal 2 Agustus 2013 beserta peta lampiran;
5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.718/Menhut-II/2014
Tanggal 29 Agustus 2014 beserta peta lampiran;
6) Peta Tata Batas Perubahan Sebagian Kawasan Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto;
7) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1231/MENLHK-PKTL/
KUH/PLA-2/3/2017 Tanggal 16 Maret 2017 beserta peta lampiran;
8) Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Nomor: B-
082/Q.4/Gs.1/03/2017II/2009 Tanggal 29 September 2009;
9) Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Nomor: B-
65/Q.4.6/Gs.2/08/2017 Tanggal 16 Agustus 2017;
10) Surat Lurah Sungai Merdeka Nomor: 593/72/1006/VII/2017
Tanggal 10 Juli 2017 beserta lampiran;
11) Berita Acara Kesepakatan Nomor: 425/64.02/500.1/X/2017 Tanggal
2 Oktober 2017, Nomor: 426/64.02/500.1/X/2017 Tanggal 5
Oktober 2017 dan Nomor: 427/64.02/500.1/X/2017 Tanggal 3
Oktober 2017.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel
berikut:
42
Tabel 2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
No Informan/Sumber Informasi Informasi yang Diperoleh
Pengumpulan Data
(1) (2) (3) (4)
1 Wawancara a) Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Bidang Bina a)
Mengetahui gambaran umum perencanaan pembangunan Jalan Tol
Marga Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Balikpapan-Samarinda;
Timur; b) Mengetahui pendapat pihak Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Kalimantan Timur selaku instansi yang memerlukan tanah
terhadap pelaksanaan perubahan peruntukan sebagian Kawasan
Tahura Bukit Soeharto rangka pembangunan jalan Tol Balikpapan-
Samarinda;
b) Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan a) Mengetahui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan
Wilayah IV Samarinda; yang diterapkan pada sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto
dalam rangka pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda;
b) Mengetahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan
dilaksanakannya perubahan peruntukan sebagian Kawasan Tahura
Bukit Soeharto;
c) Mengetahui garis besar tahapan perubahan peruntukan sebagian
Kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam rangka pembangunan jalan
Tol Balikpapan-Samarinda;
c) Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Tahura Mengetahui sejarah Kawasan Tahura Bukit Soaharto dan sejarah
Bukit Soeharto; pengelolaan Kawasan Tahura Bukit Soeharto;
d) Staf Seksi Pengadaan Tanah pada Kantor a) Mengetahui pertimbangan Panitia Pengadaan Tanah dalam
Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara. memberikan ganti kerugian bagi masyarakat pada bekas kawasan
Tahura Bukit Soeharto;
b) Mengetahui pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi
masyarakat yang menguasai APL bekas Kawasan Tahura Bukit
Soeharto;
Mengetahui apakah terdapat keberatan atau penolakan pemberian
ganti kerugian oleh masyarakat pada bekas Tahura Bukit Soeharto.
43
Lanjutan Tabel 2
Teknik
No Informan/Sumber Informasi Informasi yang Diperoleh
Pengumpulan Data
(1) (2) (3) (4)
2 Studi Dokumen a) UU Nomor 5 Tahun 1960; a) Mengetahui jenis-jenis mekanime penggunaan
b) UU Nomor 5 Tahun 1967; kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
c) UU Nomor 5 Tahun 1990; kepentingan kehutanan;
d) UU Nomor 41 Tahun 1999; b) Mengetahui prosedur perubahan peruntukan kawasan
e) UU Nomor 38 Tahun 2004; hutan untuk wilayah provinsi;
f) UU Nomor 2 Tahun 2012; c) Mengetahui wewenang penguasaan kawasan hutan;
g) PP Nomor 10 Tahun 2010; d) Mengetahui wewenang pengelolaan kawasan taman
h) PP Nomor 60 Tahun 2012; hutan raya;
i) PP Nomor 104 Tahun 2015; e) Mengetahui konsekuensi perubahan peruntukan
j) PP Nomor 15 Tahun 2005; kawasan hutan terhadap kewenangan pengelolaan,
k) Perpres Nomor 71 Tahun 2012; status tanah APL bekas kawasan hutan;
l) Perpres Nomor 40 Tahun 2012; f) Mengetahui prosedur pemberian ganti kerugian bagi
m) Perpres Nomor 30 Tahun 2015; masyarakat yang menguasai APL bekas kawasan hutan.
n) Perpres Nomor 148 Tahun 2015;
o) Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2010;
p) Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/2010
q) Permenhut Nomor P.41/Menhut-II/2012;
r) Permenhut Nomor P.27/Menhut-II/2014;
s) Permen LHK Nomor P.51/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016;
t) Permen LHK Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018;
u) Permen LHK Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/Kum.1/2/2019.
3 Studi dokumen a) Profil Tahura Bukit Soeharto a) Mengetahui sejarah Kawasan Tahura Bukit Soeharto dan
b) Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.554/Menhut- sejarah pengelolaan Kawasan Tahura Bukit Soeharto;
II/2013 Tanggal 2 Agustus 2013; b) Mengetahui pelaksanaan perubahan peruntukan sebagian
Kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam rangka
Pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda;
44
Lanjutan Tabel 2
Teknik
No Informan/Sumber Informasi Informasi yang Diperoleh
Pengumpulan Data
(1) (2) (3) (4)
c) Peta Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan c) Mengetahui pertimbangan Panitia Pengadaan Tanah
Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan dalam memberikan ganti kerugian bagi masyarakat pada
Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di bekas kawasan Tahura Bukit Soeharto;
Provinsi Kalimantan Timur (lampiran Surat Keputusan Menteri d) Mengetahui pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi
Kehutanan Nomor SK.554/Menhut-II/2013 Tanggal 2 Agustus masyarakat yang menguasai APL bekas Kawasan Tahura
2013) Bukit Soeharto;
d) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.718/Menhut-II/2014 e) Mengetahui apakah terdapat keberatan atau penolakan
Tanggal 29 Agustus 2014; pemberian ganti kerugian oleh masyarakat pada bekas
e) Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Tahura Bukit Soeharto.
Kalimantan Utara (lampiran Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.718/Menhut-II/2014 Tanggal 29 Agustus 2014);
f) Peta Tata Batas Perubahan Sebagian Kawasan Taman Hutan
Raya Bukit Soeharto;
g) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1231/MENLHK-PKTL/
KUH/PLA-2/3/2017 Tanggal 16 Maret 2017;
h) Peta Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
577/Menhut-II/2009 Tanggal 29 September 2009;
i) Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Nomor: B-
082/Q.4/Gs.1/03/2017II/2009 Tanggal 29 September 2009;
j) Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Nomor: B-
65/Q.4.6/Gs.2/08/2017 Tanggal 16 Agustus 2017;
k) Surat Lurah Sungai Merdeka Nomor: 593/72/1006/VII/2017
Tanggal 10 Juli 2017;
l) Berita Acara Kesepakatan Nomor: 425/64.02/500.1/X/2017
Tanggal 2 Oktober 2017, Nomor: 426/64.02/500.1/X/2017
Tanggal 5 Oktober 2017 dan Nomor: 427/64.02/500.1/X/2017
Tanggal 3 Oktober 2017.
Sumber : Dibuat oleh Peneliti, 2020.
45
F. Analisis Data
Menurut Bogdan dalam Sugiyono (2014, 244) analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara,
catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan
temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Sementara Irianto
menyatakan bahwa analisis data terdiri dari dua kegiatan yaitu: (a)
klasifikasi/ketegorisasi data berdasarkan tema-tema yang muncul dari catatan
lapangan dan temuan-temuan penelitian, dan (b) konfirmasi antara teori dan
data. Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini meliputi:
1. Pertama, seluruh hasil wawancara dikumpulkan dan kemudian ditulis
ulang dengan mengambil hal-hal yang berkaitan dengan penelitian;
2. Kedua, peneliti melakukan reduksi data. Pada tahapan ini, peneliti
memilih data yang terkait dengan penelitian dan diperlukan, serta
menghapus data yang terkait dengan penelitian namun tidak diperlukan;
3. Ketiga, peneliti melakukan klasifikasi data. Pada tahap ini, informasi dari
masing-masing informan dikelompokkan menjadi tiga kelompok data
berdasarkan rumusan masalah yang ada.
4. Keempat, peneliti menyusun dan menggabungkan data pada masing-
masing kelompok data kemudian mencocokkannya dengan dokumen
pelaksanaan sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh dan runtut;
5. Kelima, peneliti melakakukan konfirmasi antara peraturan perundang-
undangan yang berlaku dengan fakta mengenai pelaksanaan pengadaan
tanah untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda pada
Kawasan Tahura Bukit Soeharto;
6. Keenam, peneliti melakukan analisis terhadap pelaksanaan pengadaan
tanah untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda pada
kawasan Tahura Bukit Soeharto dengan memperhatikan hal-hal yang
mempengaruhi pelaksanaan tersebut.
Analisis data untuk menjawab rumusan masalah dapat dilihat pada
Tabel 3.
46
Tabel 3. Analisis Data
47
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
48
status zona pelestarian pada Komplek Hutan Bukit Soeharto kepada
Pemerintah Pusat.
Usulan Gubernur Kalimantan Timur mendapat respon positif dari
Presiden Soeharto yang menghendaki Komplek Hutan Bukit Soeharto
sebagai simbol keberhasilan Indonesia dalam konservasi hutan
(kaltim.prokal.co, 2019). Tahun 1982 Menteri Pertanian melalui Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 818/Kpts/Um/11/1982 menunjuk
Kompleks Hutan Bukit Soeharto sebagai Kawasan Hutan Lindung Bukit
Soeharto seluas 27.000 hektar.
Tahun 1984, Balai Invetarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT)
Wilayah IV Samarinda melakukan penataan batas Kawasan Hutan Lindung
Bukit Soeharto. Berdasarkan Berita Acara Tata Batas (BATB) tanggal 16
Februari 1984, realisasi luas kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto adalah
seluas 27.600 hektar, diantaranya seluas ± 3.800 hektar dikeluarkan karena
telah digunakan untuk resettlement penduduk sehingga luas Kawasan Hutan
Lindung Bukit Soeharto menjadi ± 23.800 hektar.
Tahun 1987, terjadi perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung Bukit
Soeharto menjadi Hutan Wisata Alam Bukit Soeharto seluas ± 23.800 hektar
sekaligus penunjukan perluasannya dengan kawasan hutan di sekitarnya
kurang lebih ± 41.050 hektar sehingga Kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto
menjadi seluas 64.850 hektar. Perubahan dan penunjukan tersebut
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 245/Kpts-II/1987
tanggal 18 Agustus 1987 tentang Perubahan Fungsi Hutan Lindung Bukit
Soeharto seluas ± 23.800 hektar menjadi Hutan Wisata Bukit Soeharto dan
Penunjukan Perluasan dengan Kawasan Hutan Sekitarnya Seluas ± 41.050
hektar yang terletak di Dati II Kutai dan Kota Madya Dati II Samarinda dan
Balikpapan Propinsi Dati I Kalimantan Timur.
Tahun 1990, BIPHUT Wilayah IV Samarinda melaksanakan tata batas
Kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto seluas 61.850 hektar sebagaimana
tertuang dalam BATB tanggal 10 Maret 1990. Tahun 1991, Menteri
49
Kehutanan menetapkan Kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto seluas 61.850
hektar melalui Keputusan Nomor 270/Kpts-II/1991 tanggal 20 Mei 1991.
Tahun 2004, terjadi perubahan fungsi Hutan Wisata Alam Bukit
Soeharto menjadi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto seluas 61.850 hektar
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.419/Menhut-II/2004
tanggal 19 Oktober 2004.
Tahun 2009, terjadi penambahan luas Tahura Bukit Soeharto menjadi
67.766 hektar berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.
577/Menhut-II/2009 tanggal 29 September 2009 tentang Penetapan Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto yang Terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara
dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur Seluas
67.766 hektar.
Tahun 2013, Menteri Kehutanan menetapkan Keputusan Nomor
SK.554/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Menjadi Bukan Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan
Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Timur. Keputusan tersebut
mengubah peruntukan sebagian kawasan Tahura Bukit Soeharto seluas 763,3
hektar, diantaranya seluas 150,49 hektar untuk kepentingan pembangunan
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dan sisanya seluas 612,81 hektar untuk
kepentingan pengembalian areal HPL transmigrasi Sepaku Semoi.
Tahun 2014, Menteri Kehutanan melalui Keputusan Nomor
SK.718/Menhut-II/2014 menetapkan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan
Timur dan Kalimantan Utara, diantaranya mengakomodir perubahan
peruntukan sebagian kawasan Tahura Bukit Soeharto untuk kepentingan
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dan kepentingan
pengembalian areal HPL transmigrasi Sepaku Semoi.
Tahun 2016, BPKH Wilayah IV Samarinda melaksanakan penataan
batas pengembalian lahan transmigrasi Sepaku Semoi yang overlap dengan
Kawasan Tahura Bukit Soeharto sebagaimana tertuang dalam BATB tanggal
15 Juli 2016 dan tata batas atas perubahan peruntukan sebagian kawasan
50
Tahura Bukit Soeharto untuk Jalan Tol Balikpapan-Samarinda sebagaimana
tertuang dalan BATB tanggal 28 Juli 2016.
Tahun 2017, hasil tata batas untuk Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dan
tata batas areal transmigrasi Sepaku Semoi ditindaklanjuti dengan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehututanan Nomor SK.1231/MENLHK-
PKTL/KUH/PLA-2/3/2017 tanggal 16 Maret 2017 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 577/Menhut-II/2009 tanggal 29
September 2009. Melalui keputusan tersebut kawasan Tahura Bukit Soeharto
ditetapkan menjadi seluas 64.814,98 hektar.
51
C. Potensi Flora dan Fauna Kawasan Tahura Bukit Soeharto
Tahura Bukit Soeharto memiliki keragaman formasi lingkungan hutan
sehingga jenis vegetasinya sangat bervariasi. Setidaknya terdapat 5 jenis
formasi lingkungan hutan pada Tahura Bukit Soeharto meliputi:
a) lingkungan hutan pantai, yang didominasi oleh vegetasi jenis cemara
pantai (casuarina junghuniana) dan waru (hibiscus tiliaceus);
b) lingkungan hutan mangrove, yang didominasi oleh vegetasi jenis nipah;
c) lingkungan hutan rawa, yang yang didominasi tumbuhan berdiameter
besar jenis mangifera sp., dan jenis yang berukuran sedang dan kecil
yaitu dari jenis-jenis gluta sp, dactyloclados sp.;
d) lingkungan hutan kerangas, yang didominasi vegetasi berupa pohon kecil
khususnya jenis keramunting dan kantong semar (nephentes sp.); dan
e) lingkungan hutan dataran rendah dengan komposisi vegetasi terdiri dari:
alang-alang (imperata cylindrica), perdu dan semak belukar (terdiri dari
karamunting, nauclea sp, piper), hutan sekunder muda dan sekunder tua
(didominasi jenis macaranga sp, anthocephalus chinensis, melastoma
sp.) dan sedikit hutan primer yang terdiri dari famili dipterocarpaceae,
dan yang lainnya adalah arthocarpus sp. dan khususnya jenis kayu ulin
(eusideroxylon zwageri).
Kekayaan fauna yang terdapat di Kawasan Tahura Bukit Soeharto
antara lain beruang madu (helarctos malayanus), banteng (bos javanicus),
macan dahan (neofelis nebulosa), landak (hystrix brachyura), owa-owa
(hylobates), burung enggang (barenicarnus comatus), kera (macaca
fascicularis), trenggiling (manis javanica), rusa sambar (cervus unicolor),
kuau besar (lophura spp), biawak (varanus salvator), tupai (gallasciurus
notatus), musang (cynogale sp), babi hutan (sus barbatus) , burung cucak
rawa (pynonotus zeylanicus), dan lainnya.
52
BAB V
SEKILAS TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK
PEMBANGUNAN JALAN TOL BALIKPAPAN – SAMARINDA
53
f) Tahun 2009 dilaksanakan revisi Desain Teknis/Detail Engineering Desain
(DED) Pembangunan Jalan Balikpapan Samarinda oleh Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Kalimantan Timur.
Kesimpulan dari berbagai studi di atas adalah ruas jalan di Provinsi Kalimantan
Timur yang sangat prioritas dibangun jalan bebas hambatan dengan pengoperasian
sistem jalan tol adalah ruas Jalan Balikpapan-Samarinda.
Pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda direncanakan untuk
dilaksanakan dalam jangka waktu 32 (tiga puluh) dua bulan dengan sistem tahun
jamak/multi years contract dengan sumber dana APBD Provinsi Kalimantan Timur
tahun anggaran 2010-2013 yang dibagi menjadi 5 (lima) paket pekerjaan yaitu:
a) Paket I : Ruas jalan KM.13 Balikpapan-Samboja sepanjang 25,14 KM (Sta
0+000-Sta 25+140) yang terletak di wilayah Kota Balikpapan sepanjang 9
KM dan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sepanjang 16,14 KM;
b) Paket II : Ruas jalan Samboja-Palaran I sepanjang 23,26 KM (Sta+140-Sta
48+400) terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara;
c) Paket III : Ruas jalan Samboja-Palaran II sepanjang 22,60 KM (Sta 48+400-
Sta 71+000) terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara;
d) Paket IV : Ruas jalan Palaran-Jembatan Mahkota II sepanjang 16,90 KM (Sta
0+000/68+300-Sta 16+900) terletak di wilayah Kota Samarinda;
e) Paket V : Ruas jalan KM.13-Sepinggan sepanjang 11,12 KM (Sta 0+380/dari
KM.13-Sta 11+500) terletak di wilayah Kota Balikpapan.
Secara jelas, pembagian paket pekerjaan pembangunan Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda dapat dilihat pada Gambar 3.
54
Gambar 3. Lokasi Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
Sumber : Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, 2015.
55
Nomor 590/K.384/2009 Tanggal 9 Juli 2009. Tercatat ada 3 (tiga) kali
perpanjangan dan 2 (dua) kali pembaharuan penetapan lokasi yang ditetapkan
untuk mengakomodir penyelesaian pekerjaan pengadaan tanah, meliputi: (a)
Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 590/K.681/2010 Tanggal 30
Desember 2010; (b) Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor
590/K.144/2012 Tanggal 23 Februari 2012; (c) Keputusan Gubernur
Kalimantan Timur Nomor 590/K.507/2015 Tanggal 5 Agustus 2015; (d)
Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 590/K.345/2017 Tanggal 4
Agustus 2017; dan (e) Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor
590/K.413/2019 Tanggal 24 Juli 2019.
Kendala utama pengadaan tanah untuk Pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda adalah adanya obyek pengadaan tanah yang berstatus
kawasan hutan. Berdasarkan Informasi Program Pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur,
2014) trase Jalan Tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 33,27 km melintas
pada 2 (dua) kawasan hutan yaitu Kawasan Hutan Lindung Sungai Manggar
yang berada di wilayah administrasi Kota Balikpapan dan Kawasan Taman
Hutan Raya Bukit Soeharto yang berada di wilayah administrasi Kabupaten
Kutai Kartanegara. Selain rinci, data kawasan hutan yang dilintasi oleh trase
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 4
berikut:
56
Gambar 4. Kawasan Hutan yang Dilintasi oleh Trase Pembangunan
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur, 2014.
57
BAB VI
PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL
PADA KAWASAN HUTAN KONSERVASI
58
pengadaan tanah untuk kepentingan umum berada pada kawasan hutan
maka perolehannya harus dilaksanakan dengan tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundangan di bidang kehutanan.
Penerapan ketentuan peraturan perundangan di bidang kehutanan
dalam penyediaan tanah kawasan hutan untuk pembangunan bagi
kepentingan umum juga tidak terlepas dari latar belakang terbitnya regulasi
pengadaan tanah. Pada bagian “Mengingat” dari Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tercantum
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA). Artinya, UUPA menjadi salah satu dasar hukum
yang memerintahkan pembentukan kedua regulasi tersebut. Secara lebih
spesifik, ketentuan dalam UUPA yang mendasari terbitnya regulasi
pengadaan tanah adalah ketentuan Pasal 6 dan Pasal 18.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 meskipun bernama Undang-
Undang Pokok Agraria namun muatannya belum mengatur seluruh bidang
sumber daya alam. Pasal-pasal dari UUPA didominasi oleh pengaturan
bidang pertanahan. Naskah akademik Rancangan Undang-Undang
Pertanahan menyebutkan bahwa UUPA memang telah menggariskan dasar
dan ketentuan pokok yang berlaku untuk semua bidang sumber daya alam
dalam 10 (sepuluh) pasalnya. Namun, hanya ada 1 (satu) pasal dalam UUPA
yang secara eksplisit mengatur tentang SDA selain tanah yaitu Pasal 8
UUPA.
Akibat kekosongan dalam UUPA maka pengaturan bidang sumber
daya alam yang belum diatur UUPA diambil alih oleh undang-undang
sektoral. Bidang kehutanan diambil alih oleh Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Kehutanan yang saat ini telah diganti dengan UU
Nomor 41 Tahun 1999. Undang-Undang Kehutanan tidak merujuk UUPA
melainkan langsung merujuk Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945. Sektorisasi tersebut menimbulkan pembagian kewenangan
pengelolaan dan atau penguasaan pada kawasan hutan dan bukan kawasan
hutan. Kawasan hutan yang berlandaskan pada Undang-Undang Kehutanan
59
saat ini menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Sementara kawasan bukan hutan yang berlandaskan UUPA saat
ini menjadi kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Akibat
sektorisasi tersebut maka regulasi pengadaan tanah yang berdasarkan pada
UUPA tidak dapat diterapkan pada kawasan hutan yang berdasarkan pada
Undang-Undang Kehutanan.
Bab V telah menjelaskan bahwa Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
melintas pada 2 (dua) kawasan hutan yaitu Kawasan Hutan Lindung Sungai
Manggar yang berada di wilayah Kota Balikpapan dan Kawasan Tahura
Bukit Soeharto yang berada di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IV Samarinda,
Tarticius Kustanto (hasil wawancara, 30 Juni 2020) menyatakan bahwa
penggunaan Kawasan Hutan Lindung Sungai Manggar untuk pembangunan
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dilaksanakan dengan mekanisme Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Menteri Kehutanan melalui
Keputusan Nomor: SK.603/Menhut-II/2013 tanggal 6 September 2013
memberikan IPPKH untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
pada Kawasan Hutan Lindung Sungai Manggar atas nama Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur seluas 57,40 hektar. Pemberian IPPKH disertai
dengan kewajiban membayar dana Penerimaan Negara Bukan Pajak namun
tidak disertai dengan kewajiban mengganti kawasan hutan karena
persentase hutan di Provinsi Kalimantan Timur di atas 30 persen.
Sementara itu, penggunaan kawasan Tahura Bukit Soeharto untuk
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda tidak dilaksanakan dengan
mekanisme IPPKH. Dalam perspektif hukum kehutanan, penggunaan
kawasan hutan untuk pembangunan jalan tol disebut dengan penggunaan
kawasan hutan di luar kepentingan kehutanan. Merujuk pada ketentuan
Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999, penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilaksanakan pada
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Tahura Bukit Soeharto
60
merupakan kawasan pelestarian alam yang merupakan bagian dari kawasan
hutan konservasi.
Kepala BPKH WIV Samarinda, Tarticius Kustanto (hasil
wawancara, 30 Juni 2020) menyatakan bahwa Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda memiliki nilai strategis sehingga Pemerintah memandang
pembangunannya harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali
yang berada pada Kawasan Tahura Bukit Soeharto. Mengakomodir
kebutuhan tersebut maka dilaksanakan mekanisme perubahan peruntukan
kawasan hutan dengan dasar Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999. Secara lebih spesifik, mekanisme perubahan peruntukan kawasan
hutan yang ditempuh adalah mekanisme perubahan peruntukan kawasan
hutan untuk wilayah provinsi yaitu perubahan peruntukan kawasan hutan
yang dilakukan sebagai akibat dari evaluasi dan revisi terhadap Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada
2 (dua) alasan mengapa ditempuh mekanisme perubahan peruntukan
kawasan hutan pada sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto meskipun
fungsinya merupakan kawasan hutan konservasi, yaitu:
a) Pertama, Jalan Tol Balikpapan-Samarinda memiliki nilai strategis.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menetapkan
beberapa kawasan industri sebagai upaya untuk mengingkatkan
pertumbuhan ekonomi. Upaya tersebut dilakukan selaras dengan
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI). Ada 8 (delapan) kawasan industri di Kalimantan Timur.
Tiga diantaranya yaitu: (a) Kawasan Industri Kariangau di Kota
Balikpapan; (b) Kawasan Industri Jasa dan Perdagangan Kota
Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara; dan (c) Kawasan
Industri Berbasis Migas dan Kondensat di Kota Bontang (Badan
Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan
Timur, 2014).
61
Rachim (2015, 86) menyebutkan bahwa Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda merupakan salah satu infrastruktur yang diperlukan untuk
mendukung keberadaan kawasan industri di Provinsi Kalimantan
Timur, utamanya kawasan industri yang ada di Kota Balikpapan, Kota
Samarinda dan Kota Bontang. Sejalan dengan Rachim, Komite
Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (2019) menyebutkan
bahwa pembangunan jalan tol akan mendorong pengembangan
kawasan-kawasan industri berbasis kelapa sawit, batubara, migas dan
pertanian di kedua kota juga di sepanjang jalan tol. Selain itu, Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda juga akan meningkatkan konektivitas serta
mengurangi biaya logistik dan waktu tempuh antara Kota Samarinda
dan Kota Balikpapan.
b) Kedua, penggunaan Kawasan Tahura Bukit Soeharto untuk
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda tidak mungkin
dilaksanakan dengan dasar ketentuan Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun
1999. Sementara itu dalam Pasal 19 UU Nomor 41 Tahun 1999 terdapat
suatu mekanisme yang memungkinkan untuk ditempuh yaitu
mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan. Lebih lanjut dalam
ketentuan pelaksanaan dari Pasal 19 UU Nomor 41 Tahun 1999 yaitu
PP Nomor 10 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor
60 Tahun 2012 (saat ini sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015) ditentukan
bahwa mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan dapat
diterapkan pada semua fungsi kawasan hutan, tak terkecuali kawasan
hutan konservasi.
Meski perubahan peruntukan pada sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto telah selesai dilaksanakan, namun dalam prosesnya rencana
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda sempat mendapat
penolakan dari Menteri Kehutanan. Trase Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda yang membelah Kawasan Tahura Bukit Soeharto dinilai
berpotensi menyebabkan kawasan hutan terfragmentasi. Menteri
62
Kehutanan justru merekomendasikan agar jalur lintasan bergeser ke
pinggir Tahura dan mengarah ke pesisir (finance.detik.com, 2011). Sejalan
dengan pernyataan tersebut, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Bidang
Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur, Gusti
Noorrudy Himawan (hasil wawancara, 24 Juni 2020) menyatakan bahwa
pernah ada rencana jalur lintasan alternatif di pinggir Kawasan Tahura
(lihat Lampiran 3) namun akhirnya jalur lintasan tetap pada rencana awal.
Terkait jalur lintasan alternatif, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
dalam (Subiyanto, 2011) menyatakan keberatan apabila pembangunan
jalan tol harus menyusuri pinggir Tahura. Selain karena pertambahan
panjang jalan, banyak pipa gas yang tertanam di dalam tanah juga harus
dipindahkan yang tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit. Pejabat
Pelaksana Teknis Kegiatan Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Kalimantan Timur, Gusti Noorrudy Himawan (hasil wawancara,
24 Juni 2020) menambahkan bahwa karena jalur lintasan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda tetap membelah Kawasan Tahura maka dilakukan
penyesuaian pada Detail Engineering Desain (DED) salah satunya dengan
menyediakan terowongan untuk jalur lintasan satwa.
63
dengan jumlah 5 (lima) usulan yaitu Surat Nomor
650/436/BAPP/2006 tanggal 16 Januari 2006, Nomor
050/7825/BAPP tanggal 17 Juli 2009, Nomor
611/110339/BAPP/2010 tanggal 11 Nopember 2010, Nomor
050/11001/Bppw-Bapp/2010 tanggal 10 Desember 2010, Nomor
522/11657/BAPP/2010 tanggal 31 Desember 2010;
2. Menteri Kehutanan membentuk Tim Terpadu dalam rangka
pengkajian perubahan peruntukan kawasan hutan dalam usulan revisi
RTRW Provinsi Kalimantan Timur melalui SK.274/Menhut-VII/2009
tanggal 12 Mei 2009 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.520/Menhut-
VII/2011 tanggal 8 September 2011.
3. Tim Terpadu melaksanakan penelitian terpadu terhadap aspek
biofisik, sosial, ekonomi dan budaya serta hukum dan kelembagaan;
4. Hasil penelitian Tim Terpadu dituangkan dalam Laporan Tim
Terpadu untuk selanjutnya diserahkan kepada Menteri Kehutanan.
Berdasarkan Laporan Tim Terpadu direkomendasikan:
a. Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan seluas ± 470.285 hektar;
b. Perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan seluas ± 377.000
hektar;
c. Penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas
± 11.732 hektar;
5. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan menindaklanjuti Laporan Tim
Terpadu dengan memberikan masukan dan tanggapan untuk
penyempurnaan hasil penelitian Tim Terpadu. Melalui Surat Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan Nomor S.909/VIII-REN/2013 tanggal
9 Juli 2013 disetujui:
a. Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan seluas ± 469.352 hektar, diantaranya seluas ± 395.621
hektar tidak berdampak penting dan cakupan yang luas serta
64
bernilai strategis dan sisanya seluas ± 73.731 hektar berdampak
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis (DPCLS);
b. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas ± 276.240 hektar;
c. Penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas
± 11.732 hektar.
Termasuk dalam kategori DPCLS adalah sebagian kawasan Tahura
Bukit Soeharto yang diperuntukkan bagi pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda.
6. Menteri Kehutanan menetapkan Keputusan Nomor SK.554/Menhut-
II/2013 Tanggal 2 Agustus 2013 tentang Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 395.621
Hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 276.240 Hektar
dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan
Seluas ± 11.732 Hektar di Provinsi Kalimantan Timur (lihat Lampiran
4a). Keputusan tersebut menjadi dasar hukum direvisinya RTRW
Provinsi Kalimantan Timur.
Adapun perubahan peruntukan kawasan hutan yang dikategorikan
sebagai DPCLS tidak ditetapkan melalui keputusan tersebut karena
masih membutuhkan persetujuan dari DPR RI sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999. Peta
lampiran Keputusan Nomor SK.554/Menhut-II/2013 Tanggal 2
Agustus 2013 Nomor Lembar 1815 dan 1915 menggambarkan lokasi
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda sebagai “Lokasi
Perubahan Peruntukan yang berdampak penting dan cakupan yang
luas serta bernilai strategis yang memerlukan persetujuan DPR” (lihat
Lampiran 4b dan Lampiran 4c).
7. Menteri Kehutanan menyampaikan permohonan persetujuan
perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting
dengan cakupan yang luas serta bernilai strategis di Provinsi
Kalimantan Timur seluas ± 73.731 hektar kepada DPR RI melalui
65
Surat Nomor S.469/Menhut-II-2013 tanggal 2 Agustus 2013 (Humas
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2013).
8. DPR RI melakukan pembahasan permohonan yang disampaikan oleh
Meteri Kehutanan. Terkait dengan perubahan peruntukan sebagian
Kawasan Tahura Bukit Soeharto untuk Pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda, Anggota Komisi IV DPR RI, Dusin (dalam
Humas Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2013) menyatakan
siap mendukung Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur secara
maksimal dan sangat setuju dengan pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda karena jelas untuk kepentingan rakyat. Lebih
lanjut Dusin menyatakan bahwa lebih baik mendukung pembangunan
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda dibanding melegalkan
pertambangan batu bara di kawasan Tahura Bukit Soeharto. Saat itu
tercatat ada 15 (lima belas) konsensi pertambangan di dalam Kawasan
Tahura Bukit Soeharto dan 32 (tiga puluh dua) konsensi
pertambangan di sekitar Kawasan Tahura Bukit Soeharto;
9. DPR RI memberikan persetujuan perubahan peruntukan kawasan
hutan menjadi bukan kawasan hutan yang berdampak penting dan
cakupan yang luas (DPCLS) seluas ± 73.731 hektar melalui Surat
Wakil Ketua DPR RI/Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan
Nomor PW/05433/DPR RI/VI/2014 tanggal 19 Juni 2014. Luasan
yang disetujui tersebut diperuntukkan untuk pemukiman dan ladang
kebun masyarakat setempat dan areal transmigrasi, lapangan udara
untuk kawasan pertahanan keamanan TNI, penggunaan kawasan
untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial yang sudah eksisting, serta
untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda (Komisi IV
DPR RI, 2014).
10. Menteri Kehutanan menetapkan Keputusan Nomor SK.718/Menhut-
II/2014 Tanggal 29 Agustus 2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi
Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara (lihat Lampiran
5a). Keputusan tersebut merupakan tindak lanjut atas persetujuan
66
DPR RI terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan yang
dikategorikan sebagai DPCLS seluas ± 73.731 hektar. Melalui
keputusan tersebut ditetapkan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan
Timur dan Provinsi Kalimantan Utara seluas ± 13.855.833 hektar.
Berdasarkan peta lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
SK.718/Menhut-II/2014 tanggal 29 Agustus 2014 Nomor Lembar
1815 dan 1915, tampak bahwa lokasi yang mendapat persetujuan
perubahan peruntukan kawasan hutan dari DPR RI telah berubah
warna menjadi warna putih yang berarti merupakan Areal
Penggunaan Lain/APL (lihat Lampiran 5b dan Lampiran 5c).
Termasuk dalam kawasan yang berubah menjadi APL adalah
sebagian kawasan Tahura Bukit Soeharto seluas ± 763,30 hektar, di
antaranya seluas ± 150,49 hektar untuk pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda dan selebihnya untuk pengembalian areal
transmigrasi Sepaku Semoi;
11. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengintegrasikan hasil
perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi dalam
revisi RTRW yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Tahun
2016-2036;
12. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan melalui
Surat Nomor S.218/PKTL/KUH/PKTL.1/3/2016 tanggal 16 Maret
2016 memberikan perintah kepada BPKH Kawasan IV Samarinda
untuk melaksanakan tata batas di sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto.
13. BPKH Kawasan IV Samarinda melaksanakan tata batas kawasan
hutan. Menurut Kepala BPKH Wilayah IV Samarinda, Tarticius
Kustanto, pada kegiatan tata batas dilaksanakan pemasangan tugu
batas sehingga apa yang ditetapkan dalam Keputusan Meteri
67
Kehutanan memiliki wujud nyata di lapangan. Hasil tata batas
sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto untuk pembangunan Jalan
Tol Balikpapan-Samarinda dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas
tanggal 28 Juli 2016. Adapun peta tata batasnya telah mendapat
pengesahan dari Direktur Jenderal Planologi Keutanan dan Tata
Lingkungan atas nama Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup
pada tanggal 18 November 2016 (lihat Lampiran 6a, Lampiran 6b dan
Lampiran 6c).
14. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan Keputusan
Nomor 1231/MENLHK-PKTL/KUH/PLA-2/3/2017 Tanggal 16
Maret 2017 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.577/MENHUT-II/2009 Tanggal 29 September 2009
tentang Penetapan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang terletak di
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara,
Provinsi Kalimantan Timur seluas 67.766 hektar (lihat Lampiran 7a).
Penetapan tersebut mengakomodir hasil tata batas untuk
pengembalian areal transmigrasi Sepaku Semoi dan pembangunan
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda. Berdasarkan lampiran Keputusan
Nomor 1231/MENLHK-PKTL/KUH/PLA-2/3/2017 Tanggal 16
Maret 2017 tampak bahwa lokasi pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda sudah bukan lagi berada dalam Kawasan
Tahura Bukit Soeharto (lihat Lampiran 7b). Kepala BPKH Wilayah
IV Samarinda, Tarticius Kustanto (hasil wawancara, 30 Juni 2020)
menyatakan bahwa Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor: 1231/MENLHK-PKTL/KUH/PLA-2/3/2017
tanggal 16 Maret 2017 menjadi bukti yuridis bahwa sebagian lokasi
pembangunan Jalan Tol-Balikpapan sudah bukan lagi merupakan
kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.
Secara singkat, tahapan diatas dapat dilihat pada diagram berikut:
68
Gubernur Kaltim Menteri Kehutanan Dirjen Planologi Kehutanan Tim Terpadu DPR RI BPKH Wilayah IV
Usulan PPKH
Pembentukan Penelitian Terpadu
dalam rangka
Tim Terpadu
revisi RTRWP
Persetujuan: Laporan Tim Terpadu:
- PPKH menjadi bukan - PPKH menjadi bukan
KH = ± 469.352 ha KH = ± 470.285 ha
- PFKH = ± 276.240 ha - PFKH = ± 377.000 ha
- PBKH menjadi KH = - PBKH menjadi KH =
± 11.732 ha ± 11.732 ha
Permohonan Persetujuan
PPKH menjadi bukan KH, Pembahasan
DPCLS= ± 73.731 ha
Perda Prov. Keputusan Menhut Persetujuan:
Kalimantan No. SK.718/ Surat No PW/05433/
Timur No. 1 Menhut-II/2014 DPR RI/VI/2014
Tahun 2016 Tgl. 29-08-2014 Perintah Tata Batas Tgl. 19-06-2014
Agustus 2013 sebagian Kawasan Tata Batas
Keputusan Tahura Bukit Soeharto
Menhut
No.1231/MENLH Pengesahan Peta Tata BA Tata Batas
K-PKTL/KUH/ Batas Tgl. 18-11-2016 Tgl. 28-07-2016
PLA-2/3/2017
Tgl.16-03-2017
Gambar 5. Bagan Tahapan Perubahan Peruntukan Sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto
69
Sumber : Hasil Olahan Data Primer dan Data Sekunder Peneliti, 2020
B. Konsekuensi Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Terhadap Status
Tanah Areal Penggunaan Lain Bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto
Identifikasi status tanah merupakan hal penting dalam pelaksanaan
pengadaan tanah. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah obyek
pengadaan tanah berstatus tanah negara, tanah hak perorangan, tanah
masyarakat hukum adat, tanah instansi pemerintah atau tanah badan hukum
swasta. Hal ini mengingat status tanah akan berpengaruh terhadap obyek yang
dapat diberikan ganti kerugian, bentuk ganti kerugian bahkan cara pelepasan
atau penyerahan haknya.
Sub bab sebelumnya telah menguraikan bahwa penggunaan sebagian
Kawasan Tahura Bukit Soeharto untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-
Samarida dilakukan dengan mengubah peruntukan sebagian Kawasan Tahura
Bukit Soeharto menjadi APL. Sebelum perubahan tersebut terjadi telah ada
tuntutan pemberian ganti kerugian oleh masyarakat yang menguasai sebagian
Kawasan Tahura Bukit Soeharto. Kepala BPKH Wilayah IV Samarinda,
Tarticius Kustanto (hasil wawancara, 30 Juni 2020) menyatakan bahwa
peraturan perundangan di bidang kehutanan tidak mengenal istilah ganti
kerugian sehingga pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang
menduduki kawasan hutan dalam rangka pembebasan lahan tidak dapat
dibenarkan. Bahkan, pemberian ganti kerugian dapat dikenakan hukuman
pidana.
Kondisi menjadi berbeda ketika sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto telah berubah menjadi APL. Kepala BPKH Wilayah IV Samarinda
Tarticius Kustanto (hasil wawancara, 30 Juni 2020) menyatakan bahwa
setelah sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto berubah menjadi APL,
maka statusnya sudah bukan lagi kawasan hutan sehingga apabila hendak
diberikan ganti kerugian kepada masyarakat tidak lagi bertentangan dengan
peraturan perundangan di bidang kehutanan.
Fokus pembahasan dalam sub bab ini adalah memperjelas status tanah
APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto dalam rangka pemberian ganti
kerugian bagi masyarakat. Pembahasan difokuskan untuk menjawab
70
pertanyaan apakah status APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto
merupakan Tanah Negara atau Tanah Instansi Pemerintah. Alasan
difokuskannya pembahasan pada dua status tanah tersebut mengingat Tanah
Negara sering disalahartikan dan disalahtafsirkan sebagai Tanah Instansi
Pemerintah. Sementara itu, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
telah menyatakan secara tegas bahwa Tanah Instansi Pemerintah tidak
diberikan ganti kerugian kecuali telah berdiri bangunan yang dipergunakan
secara aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau obyek
pengadaan tanah merupakan tanah kas desa.
Sebelum menjawab status tanah APL bekas Kawasan Tahura Bukit
Soeharto, peneliti akan membawa pembahasan mundur ke belakang sebelum
Kawasan Tahura Bukit Soeharto berubah menjadi APL. Kawasan Tahura
Bukit Soeharto ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004. Penetapan tersebut selain
mengukuhkan status hukum Kawasan Tahura Bukit Soeharto, juga
menimbulkan konsekuensi terhadap penguasaan dan pengelolaannya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 yang
menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
71
Hak Menguasai Negara atas hutan merupakan hak yang bersifat publik
dan bukan bersifat keperdataan. Supriyadi (2012, 75) menyatakan bahwa
hutan “dikuasai” oleh Negara, bukan bermakna “dimiliki” oleh Negara.
Penguasaan hutan oleh Negara merupakan suatu pengertian yang
mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 yang
menyatakan:
72
kehutanan kepada Pemerintah Daerah bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
Kawasan Hutan Wisata Alam Bukit Soeharto sebelum berstatus
sebagai Taman Hutan Raya Bukit Soeharto dikelola oleh Pemerintah Pusat
melalui Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA), yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Kalimantan Timur. Setelah terjadi perubahan fungsi menjadi
Taman Hutan Raya dan pasca berlakunya kebijakan otonomi daerah maka
kewenangan pengelolaan Tahura Bukit Soeharto beralih pada Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Timur berdasarkan:
a. Ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun
1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang
Kehutanan Kepada Daerah yang menyatakan:
73
d. Surat Gubernur Kalimantan Timur Nomor 521.2905/Ek/2007 Tanggal
25 April 2007 yang memuat penugasan kepada Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur untuk menjaga, mengamankan dan
melindungi kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto serta
mengkoordinasikan pihak-pihak terkait dalam rangka mempercepat
pembentukan lembaga Pengelola Tahura Bukit Soeharto;
e. Surat Dirjen Direktorat Jendral Perlindungan Alam dan Konservasi
Alam No. S.466/IV- KK/2007 Tanggal 11 Mei 2007 yang memuat
penugasan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan
Timur untuk melaksanakan serah terima pengelolaan Tahura Bukit
Soeharto kepada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur; dan
f. Memori Serah Terima Nomor 2512/IV-K.24/KK/2007 Tanggal 24
Agustus 2007 yang memuat serah terima pengelolaan Tahura Bukit
Soeharto dari BKSDA Kalimantan Timur kepada Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur.
Saat penelitian ini dilaksanakan, pengelolaan Tahura Bukit Soeharto telah
beralih pada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Hutan Raya Bukit
Soeharto berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur Nomor
101 Tahun 2016.
Berdasarkan uraian di atas telah jelas bahwa meskipun penguasaan
Kawasan Tahura Bukit Soeharto ada pada Kementerian Kehutanan, Dinas
Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur maupun UPTD Tahura Bukit
Soeharto, namun tidak dapat dikatakan bahwa Kawasan Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto merupakan tanah milik pemerintah dengan bentuk hubungan
hukum keperdataan. Hubungan penguasaan dan atau pengelolaan ketiga
lembaga tersebut atas Kawasan Tahura Bukit Soeharto merupakan hubungan
hukum yang bersifat publik. Hal ini mengingat penguasaan dan atau
pengelolaan Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Timur maupun UPTD Taman Hutan Raya Bukit Soeharto atas Kawasan
Tahura Bukit Soeharto bersumber dari Hak Menguasai Negara yang sebagian
wewenang pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketiga lembaga tersebut.
74
Pertanyaan selanjutnya, pasca sebagian Kawasan Tahura Bukit
Soeharto berubah menjadi APL apakah APL bekas Kawasan Tahura Bukit
Soeharto dapat dikategorikan sebagai Tanah Instansi Pemerintah mengingat
perubahan peruntukan kawasan hutan dimohon oleh Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur? Menjawab pertanyaan tersebut, peneliti terlebih dahulu
menguraikan kriteria dari Tanah Instansi Pemerintah.
Soesangobeng (dalam Sembiring, 2017) menyatakan bahwa
pemerintah dapat mempunyai hak milik keperdataan untuk melaksanakan
kedaulatan hukum negara dalam pelayanan publik kepada warga negara.
Lebih lanjut Soesangobeng (dalam Sembiring, 2017) menyebutkan bahwa
pemerintah berhak memiliki tanah yang tidak terlalu luas, sekedar cukup
untuk melaksanakan tugas kewajiban pemerintah dalam melakukan
pelayanan publik (public service).
Tanah yang dimiliki pemerintah merupakan bagian dari aset
pemerintah yang juga dikenal dengan istilah Barang Milik Negara/Daerah.
Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa:
“Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah”.
75
merupakan tanah pemerintah (bukan tanah negara) adalah dengan melihat
pada subyek hak yang tertera dalam sertifikat. Pendapat tersebut didasarkan
pada ketentuan Pasal 49 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004
yang menyebutkan:
“Tanah-tanah bukan pihak lain dan yang telah dikuasai secara fisik oleh
instansi pemerintah;
a) Tanah-tanah bukan pihak lain yang dikelola dan dipelihara/dirawat
dengan dana dari instansi pemerintah;
b) Tanah-tanah bukan pihak lain yang telah terdaftar dalam Daftar
Inventaris Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
c) Tanah-tanah sebagaimana tersebut pada huruf a sampai dengan c baik
yang sudah ada sertipikatnya maupun belum ada sertipikat tanahnya;
d) Tanah yang secara fisik dikuasai atau digunakan/dimanfaatkan oleh
pihak lain berdasarkan hubungan hukum yang dibuat antara pihak lain
berdasarkan hubungan hukum yang dibuat antara pihak lain dan instansi
pemerintah dimaksud.”
76
Tabel 5. Analisis Status Tanah APL Bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto
terhadap Kriteria Tanah Aset Pemerintah
2 Disertipikatkan atas Pasal 49 Ayat Belum ada sertipikat atas Tidak Sesuai
nama Pemerintah (1) UU Nomor nama Pemerintah Provinsi
Republik 1 Tahun 2004 Kalimantan Timur maupun
Indonesia/Pemerintah Pemerintah Pusat
Daerah yang
bersangkutan
3 Telah dikuasai secara Surat Edaran Secara fisik dikuasai oleh Tidak Sesuai
fisik oleh instansi Nomor 500- masyarakat sejak masih
pemerintah 468 tanggal 12 berstatus sebagai Kawasan
Februari 1996 Taman Hutan Raya Bukit
Soeharto yang ditandai
dengan keberadaan tanam
tumbuh, bangunan dan
kolam
4 Telah terdaftar dalam Surat Edaran Tidak terdaftar dalam Daftar Tidak Sesuai
Daftar Inventaris Instansi Nomor 500- Inventaris Pemerintah
Pemerintah yang 468 tanggal 12 Provinsi Kalimantan Timur
bersangkutan Februari 1996 maupun Pemerintah Pusat
5 Sudah ada sertipikatnya Surat Edaran Belum ada sertipikat hak atas -
maupun belum ada Nomor 500- tanah
sertipikat tanahnya 468 tanggal 12
Februari 1996
6 Secara fisik dikuasai atau Surat Edaran Dikuasai secara fisik Tidak Sesuai
digunakan/dimanfaatkan Nomor 500- dikuasai oleh masyarakat
oleh pihak lain 468 tanggal 12 tanpa didasari hubungan
berdasarkan hubungan Februari 1996 hukum antara masyarakat
hukum yang dibuat antara dengan Pemerintah Provinsi
pihak lain berdasarkan Kalimantan Timur
hubungan hukum yang
dibuat antara pihak lain
dan instansi pemerintah
dimaksud
Sumber: Olahan Data Peneliti, 2020.
77
Tabel 5 menunjukkan bahwa APL bekas Kawasan Tahura Bukit
Soeharto tidak memenuhi 5 (lima) kriteria tanah aset pemerintah dan 1 (satu)
kriteria tidak dapat disimpulkan kesesuaiannya. Menurut pendapat peneliti,
APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto tidak dapat dikategorikan
sebagai tanah aset pemerintah. Meski demikian sangat dimungkinkan apabila
di kemudian hari setelah pekerjaan pengadaan tanah dan konstruksi Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda selesai, APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto
(bersama-sama dengan tanah obyek pengadaan tanah untuk pembangunan
Jalan Tol Balikpapan-Samarinda lainnya) disertipikatkan atas nama
pemerintah dan didaftar dalam daftar inventaris instansi pemerintah sehingga
statusnya berubah menjadi tanah aset pemerintah.
Tanah APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto lebih mendekati
kriteria Tanah Negara. Kriteria Tanah Negara yang dimaksud oleh peneliti
merujuk pada pendapat praktisi hukum agraria yaitu Boedi Harsono dan
Maria S.W. Soemardjono. Digunakannya pendapat tersebut karena Undang-
Undang Pokok Agraria tidak mengatur Tanah Negara secara tegas, melainkan
hanya menjabarkan konsepsi penguasaan Negara terhadap tanah di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Soemardjono (2010, 25) berpendapat bahwa:
“Tanah Negara adalah tanah yang tidak diberikan dengan sesuatu hak
kepada pihak lain, atau tidak dilekati dengan sesuatu hak, yakni hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah
ulayat dan tanah wakaf.”
78
(d) Tanah-tanah kaum, yaitu tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum
adat genealogis;
(e) Tanah-tanah kawasan hutan, yang dikuasai oleh Departemen
Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan yang pada
hakekatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan hak
menguasai Negara.”
79
Kehutanan bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Meski sama-sama dapat dikategorikan sebagai Tanah yang dikuasai oleh
Negara, namun pada dasarnya terdapat perbedaan dari segi kewenangan
penguasaan/pengelolaan dan peruntukan antara sebelum dan sesudah
dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan. Secara jelas, perbedaan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
80
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
Setelah berubah menjadi APL maka status hukum pada kawasan
tersebut bukan lagi kawasan hutan sehingga wewenang penguasaannya bukan
lagi pada otoritas Kehutanan. Peneliti berpendapat bahwa wewenang
pengelolaan ada pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur selaku instansi
yang memerlukan tanah dan mengusulkan perubahan peruntukan kawasan
hutan. Namun karena pada saat itu instansi yang memerlukan tanah telah
beralih pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat maka
wewenang pengelolaan APL ada pada Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Bina Marga. Sementara itu,
peruntukan APL terbatas untuk kegiatan atau aktivitas yang berkaitan dengan
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda mengingat perubahan
peruntukan kawasan hutan dilaksanakan dalam rangka mengakomodir
pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda.
81
kerugian atas bangunan, tanam tumbuh dan kolam yang dikuasai oleh
masyarakat.
Menanggapi tuntutan dari masyarakat maka Direktorat Jenderal Bina
Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengajukan
permohonan pendapat hukum (legal opinion) dan pendampingan kepada
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur selaku Jaksa Pengacara Negara.
Permohonan tersebut disampaikan melalui Surat Nomor:
HK.0202/Bb12/86/II/2017 Tanggal 01 Februari 2017 Perihal Permohonan
Legal Opini Hukum serta Pendampingan terkait Tanam Tumbuh Masyarakat
di Area APL Tahura Bukit Soeharto untuk Pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda. Inti dari permasalahan atau pertanyaan yang
disampaikan yaitu “apakah dapat dilakukan ganti kerugian terhadap
bangunan rumah dan tanam tumbuh serta kerugian lain yang dapat dinilai
milik masyarakat yang berada dalam APL kawasan Tahura Bukit Soeharto
yang dilalui trase pembangunan jalan Tol Balikpapan-Samarinda?”
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur kemudian memberikan jawaban
melalui Surat Nomor: B-082/Q.4/Gs.1/03/2017 Tanggal 29 Maret 2017 (lihat
Lampiran 8). Beberapa poin penting yang disampaikan antara lain:
a. Trase pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda adalah sebagian
dari Kawasan Tahura Bukit Soeharto yang telah dikeluarkan dari
kawasan hutan dan telah ditetapkan sebagai APL berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: 554/Menhut-II/2013 Tanggal 2 Agustus
2013;
b. Trase pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda tergambar secara
jelas tidak lagi berada pada kawasan hutan melainkan berada pada
kawasan bukan hutan yang telah ditetapkan menjadi APL berdasarkan
peta lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.718/Menhut-
II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur dan
Kalimantan Utara;
c. Bahwa oleh karena lokasi trase pembangunan Jalan Tol Balikpapan-
Samarinda telah berada pada kawasan bukan hutan dan ditetapkan
82
sebagai APL maka pemberian ganti kerugian terhadap bangunan, tanam
tumbuh tanaman masyarakat serta kerugian lain yang dapat dinilai di atas
lahan yang dikuasai masyarakat tidak lagi bertentangan dengan ketentuan
Pasal 1 Ayat (15) dan Pasal 5 huruf (b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi sehingga dapat dilakukan ganti kerugian;
d. Pemberian ganti kerugian tanam tumbuh, bangunan dan benda-benda
lain yang dapat dinilai dapat mengacu pada Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 mengingat
belum ada aturan/regulasi yang secara khusus mengatur tentang ganti
kerugian tanam tumbuh dan benda-benda di atas tanah.
Pendapat hukum (legal opinion) tersebut kemudian
diimplementasikan dalam pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi
masyarakat yang menguasai APL bekas kawasan Tahura Bukit Soeharto. Dua
hal yang dipedomani yaitu: (a) obyek yang diberikan ganti kerugian, hanya
meliputi tanam tumbuh, bangunan serta kerugian lain yang dapat dinilai; dan
(b) dasar hukum pemberian ganti kerugian tanam tumbuh, bangunan serta
kerugian lain yang dapat dinilai mengacu pada ketentuan UU Nomor 2 Tahun
2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
Selain itu, pemberian ganti kerugian bagi masyarakat juga mengacu
pada pendapat hukum (legal opinion) Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur
Nomor: B-65/Q.4.6/Gs.2/08/2017 Tanggal 16 Agustus 2017 (lihat Lampiran
9). Legal opinion tersebut merupakan jawaban atas temuan pada tahap
inventarisasi dan identifikasi. Hasil inventarisasi dan identifikasi
mengungkap adanya indikasi tanaman yang baru ditanam, yang diduga
dilakukan oleh masyarakat karena mengetahui bahwa ganti kerugian atas
tanam tumbuh dapat diberikan. Masyarakat diduga melakukan hal tersebut
karena ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Menyikapi
temuan tanam tumbuh baru maka Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai
Kartanegara mengajukan permohonan pendapat hukum (legal opinion) serta
pendampingan kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur melalui Surat
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor:
83
266/64.02/BPN/VI/2017 Tanggal 12 Juni 2017. Inti dari permasalahan atau
pertanyaan yang disampaikan yaitu “apakah dapat diberikan ganti kerugian
terhadap tanaman yang baru ditanam oleh masyarakat?” dan “bagaimana
kriteria tanaman yang dapat diberikan ganti kerugian?”.
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur kemudian memberikan jawaban
melalui Surat Nomor: B-65/Q.4.6/Gs.2/08/2017 Tanggal 16 Agustus 2017.
Beberapa poin penting yang disampaikan antara lain:
a. Kewenangan pengelolaan APL berada pada Kementerian Pekerjaan
Umum dan dilaksanakan dalam rangka pembangunan Jalan Tol
Balikpapan-Samarinda, oleh karena itu semua kegiatan atau aktivitas
dalam lokasi APL selain daripada kegiatan pekerjaan pembangunan Jalan
Tol Balikpapan-Samarinda tidak diperkenankan lagi;
b. Masyarakat tidak dibenarkan untuk melakukan segala bentuk kegiatan
atau aktivitas di dalam lokasi APL termasuk untuk melakukan kegiatan
perkebunan, dengan demikian terhadap tanaman yang baru di tanam
setelah ditetapkannya lokasi menjadi APL tidak dapat diberikan ganti
kerugian;
c. Tanaman yang dapat diberikan ganti kerugian adalah tanaman yang
ditanam (telah ada) sebelum lokasi ditetapkan sebagai Area Penggunaan
Lain (APL).
Pendapat hukum (legal opinion) tersebut kemudian menjadi dasar kriteria
tanaman yang dapat diberikan ganti kerugian.
Pemberian ganti kerugian yang berpedoman pada pendapat hukum
(legal opinion) merupakan suatu kebijakan yang disebut dengan diskresi.
Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan mendefinisikan diskresi sebagai berikut:
84
Kebijakan diskresi ditempuh sebagai solusi atas ketiadaan hukum yang
mengatur pemberian ganti kerugian tanam tumbuh dan benda-benda di atas
Tanah Negara bekas kawasan hutan yang secara fisik telah dikuasai oleh
masyarakat. Berbeda dengan saat ini dimana pemberian santunan bagi
masyarakat yang menguasai Tanah Negara atau tanah yang dimiliki oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD telah diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak
Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk
Pembangunan Nasional.
Secara umum tahapan pemberian ganti kerugian bagi masyarakat
yang menguasai APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012
beserta peraturan turunannya, yaitu melalui tahapan: (a) inventarisasi dan
identifikasi; (b) penilaian ganti kerugian; (c) musyawarah pemberian ganti
kerugian; (d) pemberian ganti kerugian; dan (e) pelepasan tanah.
Mencermati pelaksanaan pemberian ganti kerugian bagi masyarakat
yang menguasai APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto, dapat
disimpulkan bahwa persepsi pelaksana pengadaan tanah terhadap penguasaan
masyarakat adalah berbentuk penggarapan di atas tanah yang bukan miliknya
sehingga tidak diberikan ganti kerugian atas tanah. Terkait hal tersebut,
ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 pada dasarnya mengakui
kepemilikan benda-benda di atas tanah yang bukan miliknya. Hal ini
tercermin dalam penjelasan Pasal 40 UU Nomor 2 Tahun 2012 yang
menyatakan:
“Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang
bukan miliknya, ganti kerugian diberikan kepada pemegang hak guna
bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan ganti
kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak
pengelolaan.”
85
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa UU Nomor 2 Tahun 2012
tidak hanya mengakui kepemilikan atas tanah saja namun juga kepemilikan
benda-benda di atas tanah yang bukan miliknya. Namun penjelasan Pasal 40
UU Nomor 2 Tahun 2012 hanya menyinggung pemilikan benda-benda di atas
tanah yang dilandasi dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai di atas Hak
Milik atau Hak Pengelolaan. Sementara itu, berdasarkan studi dokumen
pelaksanaan pemberian ganti kerugian diketahui bahwa penguasaan
masyarakat pada APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto tidak dilandasi
dengan bukti yuridis melainkan dibuktikan dengan keberadaan tanam tumbuh
dan benda-benda yang ada di atas tanah.
Selanjutnya terkait dengan pemberian ganti kerugian atas Tanah
Negara, penjelasan Pasal 40 UU Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa
salah satu pihak yang berhak mendapatkan ganti kerugian adalah pihak yang
menguasai Tanah Negara dengan itikad baik. Pertanyaannya, “apakah
penguasaan masyarakat atas APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto
dapat dikategorikan sebagai penguasaan yang beritikad baik?”. Jawaban dari
pertanyaan tersebut dapat bervariasi tergantung pada perspektif yang
digunakan.
Ditinjau dari perspektif hukum normatif maka kriteria penguasaan
Tanah Negara dengan itikad baik yang dapat diberikan ganti kerugian
tercantum pada penjelasan Pasal 40 UU Nomor 2 Tahun 2012 yaitu:
“Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan ganti kerugian
adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak
yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau
memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara
berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau
memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
86
Tabel 7. Analisis Penguasaan Masyarakat terhadap Kriteria Penguasaan yang
Beritikad Baik Menurut Penjelasan Pasal 40 UU Nomor 2 Tahun 2012.
87
khususnya mengenai sejarah penguasaan masyarakat. Kajian mengenai
sejarah penguasaan masyarakat perlu dilakukan mengingat beberapa hal
berikut:
a. Komplek Hutan Bukit Soeharto pertama kali ditetapkan sebagai
Kawasan Hutan Lindung pada tahun 1982 melalui penunjukan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
818/Kpts/Um/II/1982 Tanggal 10 November 1982. Kebijakan yang
berlaku pada saat itu adalah suatu kawasan dapat dikatakan sebagai
kawasan hutan hanya dengan penunjukan tanpa terlebih dahulu
dilakukan tata batas;
b. Komplek Hutan Bukit Soeharto dalam perjalananya mengalami
beberapa kali perubahan fungsi hutan dan luas. Contohnya, pada tahun
1982 dilakukan penunjukan Kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto
seluas 27.000 hektar. Selanjutnya pada tahun 1987 terjadi perubahan
fungsi Kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto menjadi Hutan Wisata
Alam Bukit Soeharto seluas ± 23.800 hektar sekaligus penunjukan
perluasannya dengan kawasan hutan di sekitarnya kurang lebih ±
41.050 hektar sehingga Kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto menjadi
seluas 64.850 hektar. Penambahan luas kawasan yang signifikan
melalui penunjukan membuka kemungkinan adanya hak penguasaan
masyarakat dalam lokasi yang ditunjuk sebagai kawasan hutan;
c. Informasi mengenai penguasaan masyarakat merupakan kunci untuk
melihat itikad penguasaan masyarakat. Apabila ternyata masyarakat
terlebih dahulu menguasai Kawasan Hutan Bukit Soeharto (yang kini
menjadi APL) daripada penunjukan dan atau penetapan kawasan hutan
maka kurang tepat apabila penguasaan masyarakat dikatakan ilegal
hanya karena tidak dilandasi izin dari pejabat yang berwenang. Bahkan
pemberian ganti kerugian yang hanya meliputi tanaman, bangunan dan
kolam dapat dikatakan tidak memenuhi rasa keadilan.
Untuk mengkonfirmasi hal-hal di atas tentunya diperlukan penelitian yang
dilakukan secara cermat dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal
88
tersebut menjadi salah satu kekurangan dari penelitian ini karena peneliti
belum dapat melaksanakannya. Keterbatasan waktu penelitian dan akses
menuju kelurahan karena pandemi Covid-19 menjadi kendala untuk
melaksanakan kajian tersebut.
Sementara itu, untuk melihat respon masyarakat terhadap pemberian
ganti kerugian yang hanya meliputi benda-benda di atas tanah dapat dilihat
pada dokumen pelaksanaan pemberian ganti kerugian. Beberapa dokumen
yang dapat dijadikan indikator untuk melihat respon masyarakat antara lain:
(a) pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi; (b) berita acara
kesepakatan; dan (c) surat keberatan hasil musyawarah penetapan bentuk
ganti kerugian yang disampaikan kepada Pengadilan Negeri. Berdasarkan
hasil studi dokumen Surat Lurah Sungai Merdeka Nomor:
593/72/1006/VII/2017 Tanggal 10 Juli 2017 Perihal Pengumuman Hasil
Inventarisasi (lihat Lampiran 10), diperoleh informasi bahwa terdapat
keberatan masyarakat atas hasil inventarisasi dan identifikasi. Selanjutnya
pada tahap musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian terdapat keberatan
dengan rincian sebagai berikut :
89
Mencermati lampiran Surat Lurah Sungai Merdeka Nomor:
593/72/1006/VII/2017 Tanggal 10 Juli 2017 diketahui bahwa keberatan
masyarakat disebabkan karena jumlah tanaman, bangunan, kolam dan ikan
pada daftar nominatif tidak sesuai dengan jumlah yang diakui oleh
masyarakat. Tabel berikut menyajikan beberapa contoh perbedaan jumlah
tanaman, bangunan, kolam dan ikan yang menjadi keberatan masyarakat.
90
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perubahan peruntukan sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto
dilaksanakan melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan untuk
wilayah provinsi, yaitu mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan
yang dilakukan sebagai akibat dari evaluasi dan revisi terhadap RTRW
Provinsi. Pada prinsipnya perubahan peruntukan kawasan hutan harus
mendapat izin dari Menteri yang menangani bidang Kehutanan. Namun
karena perubahan peruntukan sebagian Kawasan Tahura Bukit Soeharto
untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda masuk dalam kategori
DPCLS maka selain izin dari Menteri Kehutanan juga diperlukan persetujuan
dari DPR RI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 40
Tahun 1999.
Status Tanah APL bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto yang
dipergunakan untuk pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda adalah
Tanah Negara. Tanah Negara yang dimaksud bukanlah Tanah Negara bebas.
Pada lokasi APL tersebut terdapat wewenang pengelolaan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat selaku instansi yang memerlukan
tanah. Peruntukan pada lokasi tersebut juga terbatas untuk aktivitas atu
kegiatan dalam rangka pembangunan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda.
Pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang menguasai APL
bekas Kawasan Tahura Bukit Soeharto berpedoman pada pendapat hukum
(legal opinion) dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur. Obyek yang
diberikan ganti kerugian adalah benda-benda di atas tanah yang meliputi
tanam tumbuh, bangunan dan kolam. Kriteria tanam tumbuh yang diberikan
ganti kerugian adalah tanam tumbuh yang telah ada sebelum sebagian
Kawasan Tahura Bukit Soeharto berubah menjadi APL. Regulasi yang
digunakan dalam pemberian ganti kerugian adalah UU Nomor 2 Tahun 2012
dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 mengingat pada saat itu belum ada
91
regulasi yang secara khusus mengatur tentang ganti kerugian tanam tumbuh
dan benda-benda di atas tanah.
B. Saran
Perolehan atau penggunaan tanah kawasan hutan bagi pembangunan
untuk kepentingan umum dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundangan di bidang kehutanan melalui mekanisme dan birokrasi yang
panjang. Pemerintah hendaknya melakukan penyederhanaan aturan
pengadaan tanah pada kawasan hutan sehingga keberadaan kawasan hutan
tidak menghambat pekerjaan pengadaan tanah.
92
DAFTAR PUSTAKA
Sitorus, O dan Limbong, D 2004, Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
93
Soemardjono, MSW 2015, Dinamika pengaturan pengadaan tanah di indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Supriyadi, BE, 2008, Hukum Agraria Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Depok.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
94
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
95
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/ Menhut-II/2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/ Menhut-II/2011 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset
Desa.
96
Permen LHK Nomor P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019 tentang Jalan
Strategis di Kawasan Hutan.
Publikasi Pemerintah:
Badan Perijinan dan Penanaman Modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur,
2014, Laporan Akhir Kajian Keunggulan Kalimantan timur dalam Menarik
Investasi, dilihat pada 24 Juli 2020, https://dpmptsp.kaltimprov.go.id/
_____, 2011, ‘Menhut: tol terhambat tahura’, Antara Kaltim, 19 Juni, dilihat pada
7 Juli 2020, https://kaltim.antaranews.com/
_____, 2011, ‘Menhut tetap tolak proyek tol balikpapan-samarinda’, Detik Finance,
13 Oktober, dilihat pada 7 Juli 2020, https://finance.detik.com/
_____, 2015, ‘Peta lokasi jalan tol kaltim’, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi Kalimantan Timur, 17 Agustus, dilihat pada 30 Juni 2020,
https://bappeda.kaltimprov.go.id/
Humas Provinsi Kalimantan Timur, 2013, ‘Dusin: kami akan mati-matian dukung
pemprov’, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 8 Oktober, dilihat pada
5 Juli 2020, https://kaltimprov.go.id/
97
Humas Provinsi Kalimantan Timur, 2013, ‘Pembangunan jalan tol dilanjutkan’,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 16 Agustus, dilihat pada 5 Juli
2020, https://kaltimprov.go.id/
Komisi IV, 2013, ‘DPR setuju perubahan kawasan hutan DPCLS provinsi sulawesi
utara dan kalimantan timur’, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
11 Juni, dilihat pada 7 Juli 2020, http://www.dpr.go.id/
Priambodo, N 2019, ‘Ketika awang faroek yang menggagas tol hanya kebagian foto
bersama saat peresmian’, Kaltim Kece, 19 Desember, dilihat pada 18 Januari
2020, http://kaltimkece.id/
98
Lampiran 1
K
e
p
u
t
u
s
a
n
G
u
b
e
r
n
u
r
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
T
i
m
u
r
N
o
m
o
r
5
9
0
/
K.384/2009
Tanggal 9 99
Juli 2009
Lanjutan Lampiran 1
100
Lanjutan Lampiran 1
101
Lanjutan Lampiran 1
102
Lampiran 2
103
103
Lampiran 3
104
Lampiran 4a
105
Lanjutan Lampiran 4a
106
Lanjutan Lampiran 4a
107
Lanjutan Lampiran 4a
108
Lanjutan Lampiran 4a
109
Lanjutan Lampiran 4a
110
Lanjutan Lampiran 4a
111
Lampiran 4b
112
Lampiran 4c
113
Lampiran 5a
114
Lanjutan Lampiran 5a
115
Lanjutan Lampiran 5a
116
Lanjutan Lampiran 5a
117
Lanjutan Lampiran 5a
118
Lampiran 5b
119
Lampiran 5c
120
Lampiran 6a
121
Lampiran 6b
122
Lampiran 6c
123
Lampiran 7a
124
Lanjutan Lampiran 7a
125
Lanjutan Lampiran 7a
126
Lanjutan Lampiran 7a
127
Lanjutan Lampiran 7a
128
Lanjutan Lampiran 7a
129
Lampiran 7b
130
Lampiran 8
131
Lanjutan Lampiran 8
132
Lanjutan Lampiran 8
133
Lanjutan Lampiran 8
134
Lanjutan Lampiran 8
135
Lanjutan Lampiran 8
136
Lanjutan Lampiran 8
137
Lanjutan Lampiran 8
138
Lanjutan Lampiran 8
139
Lampiran 9
140
Lanjutan Lampiran 9
141
Lanjutan Lampiran 9
142
Lanjutan Lampiran 9
143
Lanjutan Lampiran 9
144
Lanjutan Lampiran 9
145
Lanjutan Lampiran 9
146
Lampiran 10
147
Lanjutan Lampiran 10
148
Lanjutan Lampiran 10
149
Lanjutan Lampiran 10
150
Lanjutan Lampiran 10
151
Lanjutan Lampiran 10
152
Lanjutan Lampiran 10
153
Lampiran 11
154
Lampiran 12
155
Lampiran 13
156
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Ilmadianti
NIT/Konsentrasi : 16252949/Manajemen Pertanahan
NIP : 19920905 201402 2 003
Tempat/Tanggal Lahir : Sleman/05 September 1992
Alamat : Jalan Gunung Menyapa Gang Purnama,
RT 034, Kelurahan Timbau, Kecamatan
Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartane-
gara, Provinsi Kalimantan Timur
Email : ilmadianti@gmail.com
No. HP : 0812 2823 6656
Status : Menikah
Nama Instansi : Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara
Alamat Kantor : Jalan Jenderal Ahmad Yani No.22, Kelurahan Melayu,
Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara
Provinsi Kalimantan Timur
Jabatan : Petugas Ukur
Pangkat/Golongan : Pengatur Muda Tk. I (II/b)
Riwayat Pendidikan : SD Negeri 028 Samarinda Lulus Tahun 2004
SMP Negeri 1 Samarinda Lulus Tahun 2007
SMK Negeri 2 Samarinda Lulus Tahun 2010
Diploma I PPK STPN Lulus Tahun 2011
Riwayat Pekerjaan : CPNS Tahun 2014
PNS Golongan II/a Tahun 2015
PNS Golongan II/b Tahun 2018
Tugas Belajar DIV STPN Tahun Masuk 2016