Anda di halaman 1dari 145

URGENSI PENETAPAN KAWASAN TEMPAT SUCI PURA

DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN JEMBRANA
HALAMAN JUDUL

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sebutan


Sarjana Terapan di Bidang Pertanahan
Pada Program Studi Diploma IV Pertanahan

Oleh:
I Made Alit Swardiana
NIM.13222771/P

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/


BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI

URGENSI PENETAPAN KAWASAN TEMPAT SUCI PURA


DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN JEMBRANA

Disusun Oleh:
I Made Alit Swardiana
NIM. 13222771/P

Telah dipertahankan di hadapan Kelompok Penguji


Pada tanggal 27 Juli 2017 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

SUSUNAN KELOMPOK PENGUJI

Ketua Sekretaris Anggota

I G N Guntur, A.Ptnh., M.Si. Priyo Katon Prasetyo, S.Si.T., M.Si. Dr. Sutaryono, M.Si.
NIP.19621231 198603 1 062 NIP. 19680910 199303 1 008 NIP.19710121 199703 1 004

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sutaryono, M.Si. Dr. Valentina Arminah, M.Si.


NIP.19710121 199703 1 004 NIP. 19530219 198303 2 004

Yogyakarta, Agustus 2016


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
Ketua,

Dr. Oloan Sitorus, S.H.,M.S.


NIP. 19650805 199203 1 003

ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : I Made Alit Swardiana
NIM : 13222771
Konsentrasi : Perpetaan
Program Studi : Diploma IV Pertanahan
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi:
Judul : Urgensi Penetapan Kawasan Tempat Suci Pura
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Jembrana
Pembimbing : 1. Dr. Sutaryono, M.Si.
2. Dr. Valentina Arminah, M.Si.
Yang telah diujikan pada tanggal 27 Juli 2017
Tim Penguji Skripsi : 1. I Gusti Nyoman Guntur, A.Ptnh., M.Si.
2. Priyo Katon Prasetyo, S.Si.T., M.Si.
3. Dr. Sutaryono, M.Si.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan
orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya
sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau
meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk pembatalan nilai.

Yogyakarta, Agustus 2017


Yang memberikan pernyataan

I Made Alit Swardiana


NIM. 13222771

iii
MOTTO

Amicus Plato, sed magis amica veritas


-Aristoteles-

If a person has no dreams, they no longer have any reason to live.


Dreaming is necessary, although in the dream reality should be
glimpsed. For me this is a principle of life.
-Ayrton Senna-

Man is made by his belief.


As he believes, so he is.
-Bhagavad Gita-

Deru kui wa utareru ga, desugita kui wa utarenai


-Peribahasa Jepang-

iv
HALAMAN PERSEMBAHAN

Om Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa karena berkat Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida, karya
ini dapat selesai pada waktunya.
Skripsi sederhana ini penulis persembahkan kepada:

Kedua Orangtua:
I Nyoman Latera, SIP dan Ni Made Kerti
Atas doa, kerja keras, dan pengorbanan yang diberikan

Saudara dan kakak ipar:


Atas dukungan dan semangat yang diberikan

Rekan-rekan
Angkatan XXII Diploma IV STPN

Rekan-rekan
Ikatan Keluarga Mahasiswa Bali STPN

Om Shanti Shanti Shanti Om.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya, skripsi yang berjudul
“Urgensi Penetapan Kawasan Tempat Suci Pura Dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Jembrana” ini dapat penulis selesaikan. Skripsi ini dapat
diselesaikan berkat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S., selaku Ketua Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional yang telah memberi teladan yang baik kepada penulis
selama menempuh pendidikan pada Program Diploma IV di Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional;
2. Bapak Dr. Sutaryono, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I dan Anggota
Kelompok Penguji yang telah meluangkan waktu guna memberikan
bimbingan, saran, petunjuk dan pikirannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
3. Ibu Dr. Valentina Arminah, M.Si., selaku dosen pembimbing II atas
kesabaran dan segenap motivasi yang telah diberikan untuk terus
menyemangati hingga selesainya skripsi ini;
4. Bapak Priyo Katon Prasetyo, S.SiT., M.Si., selaku Sekretaris Kelompok
Penguji dan Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan
semangat dalam menempuh studi di STPN;
5. Bapak I Gusti Nyoman Guntur, A.Ptnh., M.Si selaku Dosen Pembahas dan
Ketua Kelompok Penguji yang telah memberikan saran dan masukan
sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi;
6. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dan teladan yang baik kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik;
7. Bapak Kepala UPT Perpustakaan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
beserta staf yang membantu dalam penyediaan buku-buku referensi;

vi
8. Bapak dan Ibu pejabat beserta staf di lingkungan Kantor Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/BPN Kabupaten Jembrana yang telah memberikan
arahan, bimbingan, saran dan data yang diperlukan penulis dalam
penyusunan skripsi ini;
9. Bapak Kepala Bidang Penataan Ruang beserta staf pada Dinas Pekerjaan
Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten
Jembrana yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran sekaligus data
yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini;
10. Bapak Camat Kecamatan Jembrana beserta staf yang telah memberikan
data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini;
11. Bendesa Adat di wilayah Kecamatan Jembrana yang telah memberikan data
yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini;
12. Orang tua dan saudara tercinta yang senantiasa memberikan semangat,
dorongan, doa untuk kelancaran dan keberhasilan penulis dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini;
13. Rekan-rekan Taruna Diploma IV angkatan XXII yang telah memberikan
motivasi, semangat, dan inspirasi dalam penulisan skripsi ini; serta
14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu, penulis mengharapkan masukan, saran, dan kritik dari berbagai pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, Agustus 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................ iii
HALAMAN MOTTO ........................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xii
INTISARI........................................................................................................... xiv
ABSTRACT ......................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
D. Kebaruan Penelitian (Novelty) ............................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kawasan Suci dan Kawasan Tempat Suci ............................................. 21
B. Penataan Ruang Kawasan Tempat Suci ................................................. 23
C. Penataan Ruang Kawasan Tempat Suci Pura Tri Kahyangan oleh Desa
Adat ........................................................................................................ 32
D. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 39
E. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 41
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode dan Pendekatan ......................................................................... 42
B. Lokasi Penelitian .................................................................................... 43
C. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 43

viii
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 45
E. Teknik Analisis Data .............................................................................. 46
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. Kondisi Fisik Wilayah ........................................................................... 48
1. Letak dan Batas Wilayah ................................................................. 48
2. Luas Wilayah ................................................................................... 54
3. Penguasaan dan Pemilikan Tanah .................................................... 55
4. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah ............................................... 57
B. Kondisi Sosial Wilayah .......................................................................... 58
1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk .................................................... 58
2. Mata Pencaharian ............................................................................. 60
3. Kondisi Desa Adat ........................................................................... 63
BAB V URGENSI PENETAPAN KAWASAN TEMPAT SUCI PURA
A. Penetapan Kawasan Tempat Suci Pura Tri Kahyangan ......................... 69
B. Penetapan Kawasan Tempat Suci Pura Dang Kahyangan ..................... 88
C. Penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan untuk Izin Perubahan
Penggunaan Tanah di Sekitar Kawasan Tempat Suci ............................ 102
D. Pemberian Izin Pemanfaatan Tanah/Permohonan Informasi Tata
Ruang Di Sekitar Kawasan Tempat Suci ............................................... 109
BAB VI PENETAPAN KAWASAN SUCI DALAM RENCANA TATA
RUANG WILAYAH KABUPATEN
A. Penyusunan Materi Teknis Rencana Teknis Ruang Kawasan Strategis
(RTR KS) Tempat Suci dan Peraturan Zonasi Kawasan Strategis
Tempat Suci ........................................................................................... 112
B. Pemberian Persetujuan Substansi RTR KS Tempat Suci ...................... 116
C. Legalisasi Raperda RTR KS Tempat Suci ............................................. 118
BAB VII PENUTUP
A. KESIMPULAN ...................................................................................... 120
B. SARAN .................................................................................................. 123
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 124
LAMPIRAN ....................................................................................................... 128

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Jumlah Rumah Per Tahun di Kabupaten Jembrana ........................... 2
Tabel 2. Penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan ........................................ 11
Tabel 3. Perbedaan Konsep Penataan Ruang .................................................. 24
Tabel 4. Ketentuan Pemanfaatan Kawasan Tempat Suci Pura ........................ 31
Tabel 5. Jenis Desa/Kelurahan di Kecamatan Jembrana ................................. 53
Tabel 6. Luas Wilayah Administrasi Tiap Desa/Kelurahan Kecamatan
Jembrana ............................................................................................ 54
Tabel 7. Jumlah Hak Atas Tanah Yang Terdaftar Di Kecamatan Jembrana
Tahun 2017 ........................................................................................ 56
Tabel 8. Penggunaan Tanah di Kecamatan Jembrana di Rinci Per
Desa/Kelurahan Tahun 2015 ............................................................. 57
Tabel 9. Jumlah Penduduk Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Jembrana .... 59
Tabel 10. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Jembrana Tahun 2017 ............. 59
Tabel 11. Sumber Mata Pencaharian Utama Penduduk di Kecamatan
Jembrana ............................................................................................ 62
Tabel 12. Persebaran Tempat-Tempat Ibadah Di Kecamatan Jembrana ........... 64
Tabel 13. Ketentuan Pemanfaatan Tanah Di Kawasan Tempat Suci Pura ........ 91
Tabel 14. Pengertian Kode Zonasi Pura Mertasari ............................................ 98

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Konsep Arah Orientasi dan Ruang di Bali .................................... 37
Gambar 2. Konsep Sanga Mandala ................................................................ 38
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran .......................................................... 40
Gambar 4. Peta Administrasi Kecamatan Jembrana ....................................... 50
Gambar 5. Struktur Organisasi Desa Pakraman ............................................. 65
Gambar 6. Persebaran Pura Di Kecamatan Jembrana..................................... 68
Gambar 7. Pura Puseh dan Pura Desa Desa Pakraman Batuagung................ 71
Gambar 8. Pura Dalem Desa Pakraman Dauhwaru dan Batuagung .............. 73
Gambar 9. Pura Puseh dan Pura Desa Desa Pakraman Budeng .................... 75
Gambar 10. Pura Dalem Desa Pakraman Budeng ........................................... 76
Gambar 11. Pura Puseh dan Pura Desa Desa Pakraman Perancak .................. 81
Gambar 12. Pura Dalem Desa Pakraman Perancak ......................................... 82
Gambar 13. Tumpangsusun Peta RTRW dengan Peta Kawasan Tempat Suci
Pura Dalem Desa Pakraman Perancak ......................................... 86
Gambar 14. Struktur Pengurus Pura Mertasari ................................................. 91
Gambar 15. Zonasi Kawasan Tempat Suci Pura Dang Kahyangan Tipe III .... 94
Gambar 16. Zonasi Pura Mertasari ................................................................... 97
Gambar 17. Bagan Alir Permohonan PTP untuk IPPT ..................................... 102
Gambar 18. Peta RTRW Kabupaten Jembrana Tahun 2012-2032 ................... 107
Gambar 19. Bagan Alir Permohonan Informasi Tata Ruang ............................ 109
Gambar 20. Sistem Perencanaan Tata Ruang Kabupaten Jembrana ................ 112
Gambar 21. Proses Pemberian Persetujuan Substansi RTR KS Tempat Suci .. 117

xi
DAFTAR ISTILAH

Awig-awig : peraturan tertulis yang dimiliki oleh organisasi-organisasi


sosial di Bali seperti banjar, desa pekraman, dan subak.
Dang Kahyangan : bangunan pura di Bali yang didasarkan atas statusnya sebagai
pura yang dipuja oleh seluruh umat Hindu di Bali. Pura yang
dikategorikan Dang Kahyangan di Bali berjumlah 252 pura.
Dharma githa : nyanyian suci yang dilantunkan pada saat pelaksanaan upacara
Agama Hindu
Dharma sedana : pemberian sedekah/persembahan yang didasari niat yang
tulus.
Dharma wacana : ceramah keagamaan dalam Agama Hindu.
Dharmasala : bangunan tempat umat yang berasal dari tempat yang jauh
menginap dalam rangka mengikuti berbagai kegiatan yang
akan dilaksanakan di pura tersebut.
Kahyangan Jagat : pura yang dapat dipuja oleh seluruh umat Hindu di Bali, tetapi
tidak termasuk Sad Kahyangan atau Dang Kahyangan.
Kahyangan Tiga : kelompok pura yang terdiri dari Pura Puseh, Pura
Desa/Baleagung, dan Pura Dalem
Kasinoman : pengurus desa adat/banjar adat yang bertugas menyebarkan
informasi yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan desa
adat/banjar adat.
Melasti : upacara keagamaan yang fungsinya mensucikan Ida Betara
(manifestasi Tuhan) dan segala perangkatnya. Biasanya
dilakukan pada sumber-sumber mata air/laut.
Pasraman : tempat mendalami hal-hal yang berhubungan dengan ajaran
Agama Hindu yang lokasinya di tempat yang sepi, ataupun di
sekitar pura.
Perarem : peraturan/kesepakatan yang tertulis maupun tidak tertulis yang
merupakan penjabaran awig-awig.

xii
Sad Kahyangan : pura yang statusnya sebagai pura yang dipuja oleh seluruh
umat Hindu di Bali yang tersebar di semua penjuru mata angin
di Bali. Pura yang dikategorikan Sad Kahyangan berjumlah 10
pura.
Tirta Yatra : kegiatan mengunjungi tempat-tempat suci/tempat-tempat yang
disakralkan menurut Agama Hindu.
Pengempon : masyarakat yang bertanggung jawab dalam mengelola suatu
pura, menjaga, merawat, melaksanakan upacara (piodalan)
dan lainnya.
Pemedek : sebutan bagi orang/umat Hindu yang datang ke pura untuk
kepentingan/tujuan melakukan kegiatan persembahyangan.

xiii
INTISARI

Pesatnya pembangunan perumahan di sekitar kawasan tempat suci


menimbulkan kekhawatiran masyarakat pengelola pura. Mereka khawatir
pembangunan tersebut mengganggu fungsi kawasan tempat suci. Oleh sebab itu
perlu dilakukan penetapan kawasan tempat suci dalam RTRW untuk melindungi
kawasan tempat suci pura. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1)
urgensi penetapan kriteria-kriteria kawasan tempat suci pura; (2) proses penetapan
kawasan tempat suci pura tersebut dalam RTRW Kabupaten Jembrana.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Jembrana Kabupaten Jembrana. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Pemilihan sampel
menggunakan teknik purposive. Pura yang diteliti adalah Pura Tri Kahyangan dan
Pura Sad Kahyangan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi,
dan studi dokumen. Teknik analisis data berupa analisis data kualitatif dan analisis
keruangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pentingnya penetapan kawasan
tempat suci ditinjau dari: (a) aspek politik: desa pakraman memiliki peran penting
dalam penyusunan kawasan tempat suci karena kekuasaan yang dimilikinya,
penetapan kawasan suci berfungsi untuk: (1) bahan penyusunan materi teknis dalam
Pembuatan RDTR maupun RTR KS; (2) bahan pertimbangan pemberian izin
pemanfaatan tanah; (3) memberikan batasan pemanfaatan tanah dan memberikan
perlindungan terhadap kawasan tempat suci; (b) aspek sosial-budaya: desa
pakraman berperan mempertahankan nilai-nilai konsep tradisional secara fisik
seperti konsep sanga mandala maupun non fisik untuk menjaga kawasan tempat
suci; (c) aspek ekonomi: Penetapan kawasan tempat suci secara ekonomi
bermanfaat untuk pengembangan kawasan pariwisata budaya/spiritual serta
mendorong investasi; 2) Proses penetapan Kawasan Tempat Suci Pura dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah yang dilakukan oleh Bidang Penataan Ruang
Kabupaten Jembrana terdiri dari 3 (tiga) proses utama yaitu: (a) penyusunan Materi
Teknis yang menghasilkan buku data analisis yang dilengkapi peta-peta, buku
rencana dan album peta; (b) persetujuan Substansi Materi Teknis; (c) pengesahan
Materi Teknis menjadi Peraturan Daerah

Kata Kunci: Penetapan, Kawasan Tempat Suci Pura, RTRW

xiv
ABSTRACT

The increased housing development was marked by the increasing request of


land use changing permission. The development nearly the temple’s sacred area
causes the temple’s sacred area is urged to set out in a detail spatial planning (RDTR)
to protect that area. The purpose of this research is to know: (1) the importance to set
out criteria the area of the sacred temple; (2) the process of determination of the
temple’s sacred area in spatial planning regulation.
Research was located in subdistrict of Jembrana at Jembrana Regency. The
research method used is descriptive qualitative methods. The selection of the sample
used a purposive technique. The sample was Tri Kahyangan and Dang Kahyangan
temple’s sacred area in Jembrana Subdistrict. Data collection was conducted by
interview, observation, and documentary study. The analysis technique used was the
qualitative analysis techniques and spatial analysis technique.
The results showed that: 1) the importance of the determination of the temple’s
sacred area in terms of: (a) political aspect: desa pakraman has an important role in
the preparation of the temple’s sacred area because its own authority, the
determination of the sacred area is useful for: (1) technical material preparation to
compose detail spatial planning (RDTR) nor strategic area spatial planning (RTR KS);
(2) as consideration for government gives land use permission; (3) as restrictions on
the utilization of land and provide protection against the temple’s sacred area; (b) the
socio-cultural aspects: desa pakraman role defending the values of the traditional
concept of physical concepts such as sanga mandala or non physical to keep the
region's holy places; (c) the economic aspect: the determination of the area of the
sanctuary is economically beneficial to the development of spiritual culture tourism
and encourage investment; 2) the process of determination of the area of sacred
temple in the spatial planning consists of three main processes
namely: (a) preparation of technical material; (b) the approval of the substance of the
technical Material; (c) endorsement of the technical material into local regulations.

Keywords: determination, temple’s sacred area, spatial planning

xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lemahnya ekonomi global pada tahun 2014 mengakibatkan turut

menurunnya bisnis properti terutama perumahan di Bali. Menurut Ketua DPD

Real Estate Indonesia (REI) Bali, I Gusti Made Aryawan, permintaan

perumahan menengah ke atas, mengalami penurunannya sampai 70 %. Pada

Bulan September 2016 terdapat peningkatan permintaan, walaupun baru

mencapai 10 % dari penurunan 70 % tersebut (http://radarbali.jawapos.com).

Penurunan permintaan diakibatkan karena daya beli konsumen yang rendah.

Oleh sebab itu, beberapa pengembang memperkecil tipe dan luas tanah

sehingga harganya lebih terjangkau. Namun solusi tersebut belum mampu

meningkatkan permintaaan. Pengembang yang lain memilih beralih pada

perumahan menengah ke bawah dengan menyasar wilayah di luar Kawasan

Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) seperti Negara, Singaraja,

Bangli, Klungkung dan Karangasem. Daya beli masyarakat yang cenderung

mengarah ke rumah sederhana menyebabkan permintaan cukup tinggi terhadap

perumahan sederhana. Disamping itu adanya Fasilitas Likuiditas Pembiayaan

Perumahan (FLPP) dari pemerintah yang memberikan sejumlah keringanan

kepada konsumen.

Kabupaten Jembrana merupakan salah satu wilayah sasaran

pembangunan perumahan sederhana oleh pengembang. Hal tersebut setidaknya

1
dipengaruhi oleh faktor: (1) pertambahan penduduk, pada tahun 2016 jumlah

penduduk Kabupaten Jembrana mencapai 273.300 jiwa meningkat dari tahun

2010 yang hanya 262.600 jiwa (BPS Kabupaten Jembrana); (2) harga tanah

yang relatif lebih rendah dari kabupaten lainnya di Bali; dan (3) kemudahan

birokrasi dalam perizinan pembangunan perumahan. Menurut Wayan Budiana

(Presiden Direktur PT Budi Sedana Propertindo), Kabupaten Jembrana layak

dijadikan proyek percontohan rumah bersubsidi karena harga tanah relatif lebih

murah jika dibandingkan dengan Kabupaten Badung, Denpasar, Tabanan,

Gianyar dan Klungkung. Disamping itu, didukung pula pengajuan izin prinsip,

izin gangguan termasuk izin mendirikan bangunan dan pemecahan sertipikat

yang relatif cepat (http://bali.bisnis.com). Beberapa faktor tersebut mendorong

meningkatnya pembangunan perumahan di Kabupaten Jembrana dari tahun ke

tahun sebagaimana tabel dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah Rumah Per Tahun di Kabupaten Jembrana

Jumlah Rumah Per Tahun


2013 2014 2015
No Kecamatan
Rumah Seluruh Rumah Seluruh Rumah Seluruh
Ber-IMB Rumah Ber-IMB Rumah Ber-IMB Rumah
1 Pekutatan 201 10414 232 10472 245 10567
2 Mendoyo 517 11872 536 11998 546 12134
3 Jembrana 781 15982 857 16013 876 16098
4 Negara 926 19495 982 19987 1094 20165
5 Melaya 302 15613 311 15742 324 15998
Total 2727 73376 2918 74212 3085 74962
Sumber: LPPD Kabupaten Jembrana Tahun 2015

Peningkatan pembangunan perumahan tersebut juga dapat dilihat dari

permohonan Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT) yang terdaftar di Kantor

2
Pertanahan Kabupaten Jembrana. Pada tahun 2013 permohonan IPPT yang

masuk sejumlah 236 permohonan, setahun kemudian meningkat menjadi 504

permohonan. Tahun 2015 sedikit menurun menjadi 469 permohonan, tahun

2016 kembali turun ke angka 333 namun masih lebih tinggi dari permohonan

pada tahun 2013 (Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana:2017).

Pembangunan perumahan tentunya membutuhkan tanah yang terkait

dengan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang khususnya di Bali disusun

berdasarkan asas Tri Hita Karana dan Sad Kertih disamping asas-asas lainnya.

Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur

yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia

dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya

yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi

kehidupan manusia. Sad Kertih adalah enam sumber kesejahteraan yang harus

dilestarikan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin yang terdiri dari: (1)

atma kertih (penataan ketertiban hidup beragama untuk mencapai kondisi jiwa

dan rohani yang baik); (2) wana kertih (pelestarian hutan); (3) danu kertih

(menjaga kelestarian sumber-sumber air dan mencegah pencemarannya); (4)

segara kertih (menjaga kesucian dan kelestarian laut atau samudera); (5) jana

kertih (pembangunan sumberdaya manusia yang handal, memiliki daya saing

agar mampu menjaga keberlanjutan dan keajegan Bali); dan (6) jagat kertih (

keharmonisan hubungan sosial budaya masyarakat Bali yang dinamis).

Pola pemanfaatan ruang di Provinsi Bali dalam tataran formal

dituangkan dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang

3
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Sejalan dengan

itu Pemerintah Kabupaten Jembrana juga menerbitkan Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten Jembrana Tahun 2012-2032. Disamping dalam wujud

tataran formal, kebijakan penataan ruang di wilayah Provinsi Bali juga

berpedoman pada sukerta tata palemahan (konsep penataan ruang tradisional)

masing-masing desa pakraman/desa adat yang tertuang dalam awig-awig

(peraturan tertulis) desa adat bersangkutan. Demikian pula untuk wilayah

Kabupaten Jembrana yang terdiri dari 65 desa adat yang tersebar di 5

kecamatan dengan rincian: (1) Kecamatan Melaya sejumlah 13 desa adat; (2)

Kecamatan Negara sejumlah 10 desa adat; (3) Kecamatan Jembrana sejumlah

9 desa adat; (4) Kecamatan Mendoyo sejumlah 19 desa adat; dan (5)

Kecamatan Pekutatan sejumlah 14 desa adat (BPS Kabupaten Jembrana).

Banyaknya jumlah desa adat di Kabupaten Jembrana menyebabkan

kompleksitas pengaturan penataan ruang apabila mengakomodasi awig-awig

yang ada. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana

memposisikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jembrana

sebagai acuan sukerta tata palemahan desa adat/pakraman, yang selanjutnya

menjadi bagian dari awig-awig desa adat/pakraman di seluruh wilayah

Kabupaten Jembrana. Dengan demikian diharapkan terwujud keserasian,

keselarasan, dan keseimbangan dalam penataan ruang.

Salah satu bentuk sinergitas antara RTRW Kabupaten dengan kebijakan

(awig-awig) desa adat adalah penetapan radius kawasan tempat suci. Kawasan

4
tempat suci adalah kawasan di sekitar tempat suci/bangunan suci yang ada di

Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang berwujud bangunan yang

disakralkan sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang

Maha Esa), terdiri dari Kahyangan Tiga, Dhang Kahyangan, Kahyangan Jagat,

Sad Kahyangan dan pura lainnya. Ukuran radius kawasan tempat suci disusun

berdasarkan Keputusan Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai Bhisama

Kesucian Pura Nomor 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994 yang

dituangkan dalam RTRW Kabupaten Jembrana. Adapun rinciannya sebagai

berikut: Pura Sad Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Agung (minimal 5 km

dari Pura), untuk Dang Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2

km dari Pura), dan untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran

Apenimpug atau Apenyengker.

Khusus untuk Pura Kahyangan Tiga/Tri Kahyangan (Pura Puseh, Pura

Desa/Baleagung, dan Pura Dalem) dipakai ukuran Apenimpug atau

Apenyengker tidak ditentukan secara rinci berapa meter jaraknya. Apenimpug

jika diterjemahkan adalah radius/jarak seseorang dewasa untuk melempar

sesuatu (dari pura), sedangkan Apenyengker adalah sebatas tembok terluar pura.

RTRW Provinsi Bali Penjelasan Pasal 50 Ayat (2) Huruf c menyatakan

Apenimpug dapat diperkirakan minimal 25 (dua puluh lima) meter berlaku

untuk pura yang di luar kawasan permukiman, sedangkan apenyengker minimal

5 (lima) meter, diberlakukan untuk pura yang ada di dalam lingkungan

perumahan. Sedangkan dalam RTRW Kabupaten Jembrana Pasal 74

5
menyatakan ukuran Apenimpug dan Apenyengker akan disesuaikan dengan

kondisi dan situasi setempat.

Perkembangan wilayah yang makin pesat menyebabkan kawasan

tempat suci pura mendesak untuk ditetapkan dalam dokumen rinci tata ruang.

Pembangunan perumahan di sekitar kawasan tempat suci menimbulkan

kekhawatiran masyarakat pengelola pura. Mereka khawatir pembangunan

tersebut mengganggu fungsi kawasan tempat suci. Salah satu bentuk

kekhawatiran tersebut misalnya penolakan pembangunan perumahan oleh

warga Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana pada tahun

2013. Hal tersebut disebabkan karena lokasi pembangunan bersebelahan

dengan Pura Puseh (http://www.penataanruang.com), sehingga perlu dilakukan

sosialisasi kriteria-kriteria kawasan tempat suci. Berdasarkan hal tersebut

penulis tertarik meneliti “Urgensi Penetapan Kawasan Tempat Suci Pura Dalam

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jembrana”.

B. Rumusan Masalah

Pada saat ini pemahaman mengenai kawasan tempat suci mengalami

perkembangan sejalan dengan fungsi serta kepentingan yang semakin beragam

atas tanah. Perbedaan pemahaman mengenai kawasan tempat suci

mengakibatkan perbedaan interpretasi. Oleh sebab itu, diperlukan penetapan

kawasan tempat suci pura. Hal ini dilakukan agar diketahui batasan kegiatan

dan peruntukan ruang yang tegas di wilayah sekitar pura maupun wilayah

penyangga yang ada di sekitar wilayah pura. Ukuran kesucian pura yang

6
ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Jembrana diadopsi dari Bhisama Kesucian

Pura. Aturan ini masih bersifat umum sehingga belum operasional untuk

memberikan batasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan tempat suci, karena

tidak ada ukuran yang pasti maupun batas-batas yang jelas. Masalah yang dapat

timbul adalah pemberian izin pemanfaatan tanah yang merambah kawasan

tempat suci sehingga dapat mengganggu fungsi kawasan tempat suci itu.

Pada kawasan tempat suci hanya diperbolehkan bangunan yang terkait

dengan kehidupan Agama Hindu misalnya didirikan dharmasala, pasraman

dan lain-lain, yang dapat memudahan umat Hindu melakukan kegiatan

keagamaan (misalnya tirta yatra, dharma wacana, dharma githa, dharma

sedana dan lain-lain). Penetapan kawasan suci tersebut berfungsi sebagai

pedoman dalam rangka mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan

melaksanakan program pemanfaatan ruang antar pengampu kepentingan

(pemerintah, swasta dan masyarakat) agar lebih operasional dan pasti.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan

yaitu:

1. Perkembangan wilayah mendesak kawasan tempat suci sehingga

mengkhawatirkan masyarakat.

2. Adanya berbagai penolakan terhadap pembangunan perumahan karena

tidak jelasnya kriteria-kriteria kawasan tempat suci.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

7
a. Mengetahui urgensi penetapan kriteria-kriteria kawasan tempat suci

pura dalam RTRW Kabupaten Jembrana.

b. Mengetahui proses penetapan kawasan tempat suci pura tersebut dalam

RTRW Kabupaten Jembrana.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana adalah untuk bahan

masukan dalam penyusunan Rencana Teknik Ruang Kawasan, Rencana

Tata Bangunan dan Lingkungan, pembuatan Peraturan Zonasi;

b. Bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang

(khususnya Penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan terhadap

tanah-tanah yang berada di kawasan tempat suci pura);

c. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan yaitu untuk menambah

pengetahuan di bidang penataan ruang terutama yang terkait dengan

kearifan lokal yang mempengaruhi pemanfaatan ruang di daerah Bali

khususnya di Kabupaten Jembrana.

D. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Kebaruan Penelitian menunjukkan perbedaan penelitian yang akan

dilakukan terhadap penelitian-penelitian sejenis (bidang kajian terkait) yang telah

ada. Menurut Yunus (2010:223), penelitian terdahulu memberikan dua sumbangan

berharga yaitu aplikasi metode penelitian dan konfirmasi temuan. Aspek

metodologis memberikan pembelajaran kepada peneliti mengenai proses penelitian

8
yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Pembelajaran tersebut berupa

menemukenali kelemahan/kekurangan penelitian terdahulu sehingga dapat

disempurnakan pada penelitian yang akan dilakukan atau menemukan ide-ide baru

yang berbeda dengan penelitian terdahulu. Konfirmasi temuan penting sebagai

acuan bahwa penelitian yang baru diharapkan memiliki kualifikasi akademis yang

lebih baik dari penelitian sebelumnya. Beberapa telaah yang dilakukan terhadap

jurnal, skripsi, dan tesis yang terkait dengan topik yang akan diteliti disajikan dalam

Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat penelitian yang dilakukan oleh

A.A.I.A. Gangga Devi (2002) berfokus pada kriteria-kriteria pemanfaatan

ruang kota di kawasan warisan budaya berdasarkan tata nilai tradisional Bali.

Lokasi penelitiannya di Kota Denpasar. Pada lokasi yang sama, I Nengah

Sudata (2002) meneliti persepsi masyarakat terhadap sistem nilai ruang terbuka

tradisional Bali. I.G.M Konsukarta, dkk (2003) meneliti persepsi masyarakat

adat terhadap implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Nusa

Ceningan. Dwi Wahjoeni Soesilo Wati (2011) memfokuskan pada perubahan

pola tata ruang pada karang Desa Adat Jatiluwih. Violina Zuhelsa (2012)

meneliti mengenai fungsi Pura Besakih dan pura disekitarnya sebagai tempat ibadah

dikaitkan dengan fungsi pariwisata. Ni Made Dwi Sulistia Budhiari, dkk (2015)

meneliti eksistensi konsep pembagian ruang tradisional Bali (hulu-teben) di

Wilayah Selatan Kabupaten Badung. Ida Ayu Komang Arniati (2015) mengkaji

perbedaan interpretasi kawasan suci Pura Uluwatu. Anak Agung Gde Sutrisna

Wijaya Putra (2016) meneliti pelanggaran kesucian di sekitar Pura Dang

9
Kahyangan Di Kecamatan Kuta Selatan. Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh

Partigor Daud Pangeran Sihombing (2016) berfokus pada peran agama dalam

penolakan reklamasi kawasan suci Teluk Benoa.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah fokus dan

lokasi penelitian. Fokus penelitian adalah Pura Tri Kahyangan dan Pura Dang

Kahyangan, sedangkan lokasi penelitian di Kecamatan Jembrana, Kabupaten

Jembrana. Persamaannya adalah metode penelitian menggunakan metode kualitatif.

Perbedaan fokus dan lokasi wilayah penelitian diharapkan memberikan

perbedaan hasil dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

10
Tabel 2. Penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan
No Nama Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Penelitian Metode Analisis Hasil Penelitian
1 A.A.I.A. Gangga Devi Mayun, Mencari kriteria-kriteria yang Metode deskriptif Perkembangan jaman dan kebutuhan manusia,
Tesis:2002, Kriteria-Kriteria digunakan untuk kualitatif dan Metode mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi tradisional ke
Pemanfaatan Ruang Kota Berlandaskan memanfaatkan ruang kota di Delphi fungsi modern. Tetapi ada pula fungsi tradisional yang harus
Tata Nilai Tradisional Bali Di Kawasan kawasan warisan budaya tetap dipertahankan (dikonservasi) karena keberadaan
Warisan Budaya Di Pusat Kota berdasarkan tata nilai fungsi-fungsi tersebut sangat berpengaruh terhadap
Denpasar tradisional Bali di pusat Kota keberadaan lingkungan atau kawasan sekitarnya.
Denpasar. Fungsi-fungsi tradisional yang harus tetap bertahan, yaitu
Puri (tempat tinggal kaum bangsawan), yang merupakan
salah satu elemen dari pempatan agung serta pura dalam satu
kawasan desa adat, karena keberadaan pura tersebut
mengikat masyarakat yang menjadi anggota dalam desa adat
tersebut.
Sedangkan fungsi-fungsi tradisional yang sudah berubah
menjadi fungsi modern (sudah mengalami konversi), seperti
misalnya: wantilan, pasar dan alun-alun.

2 I Nengah Sudata, Tesis: 2002, Persepsi Mengetahui persepsi Analisis deskriptif 1. Sistem nilai ruang terbuka tradisional di Kota Denpasar
Masyarakat Bali Terhadap Sistem Nilai masyarakat terhadap sistem normative, dimana data tidak mengalami perubahan; kondisi faktual dan
Ruang Terbuka Tradisional Di Kota nilai ruang terbuka tradisional kualitatif didukung keinginan masyarakat Bali terhadap sistem nilai ruang
Denpasar Bali di Kota Denpasar. dengan pengolahan terbuka tradisional masih bertahan.
Penelitian ini dilandasi oleh kuantitatif 2. Nilai-nilai natah juga tidak mengalami perubahan;
adanya perubahan-perubahan kondisi faktual dan keinginan masyarakat Bali terhadap
ruang terbuka tradisional, nilai-nilai natah masih bertahan. Kondisi ini disebabkan
namun belum diketahui nilai- karena natah memiliki enam nilai tradisional yang
nilai ruang terbuka tradisional menjadi acuan.
yang mana masih 3. Kondisi faktual nilai-nilai telajakan telah mengalami
dipertahankan dan yang mana perubahan yang cukup besar; namun keinginan
telah diabaikan oleh masyarakat Bali untuk mempertahankan nilai-nilai
masyarakat Bali. Persepsi telajakan masih tetap ada.

Bersambung ...
11
Tabel 2. (sambungan)
masyarakat Bali terhadap nilai- 4. Sebagian besar masyarakat Bali tidak sependapat
nilai ruang terbuka tradisional dengan radius kesucian pura. Masyarakat Bali tidak
di Kota Denpasar diharapkan sependapat dengan radius kesucian Pura Dang
dapat digunakan sebagai salah Kahyangan karena dinilai terlalu luas cakupannya.
satu pertimbangan dalam Sedangkan pendapat masyarakat terhadap radius
penataan ruang terbuka kesucian Pura Kahyangan Desa cenderung sependapat
khususnya dan penataan ruang karena didukung oleh aparat desa adat.
kota umumnya. 5. Nilai-nilai setra tidak mengalami perubahan, semua
nilai-nilai setra tetap dipertahankan
6. Sebagian besar masyarakat sependapat
mempertahankan keberadaan nilai-nilai alun-alun.
7. Nilai-nilai non tradisional dari ruang terbuka yang
dibahas menurut persepsi orang Bali ada yang
mendukung dan ada pula yang kurang mendukung nilai-
nilai tradisional.
8. Kebijaksanaan yang tertuang dalam rencana tata ruang
kota mengenai radius kesucian pura kurang mendapat
dukungan dari kelompok sasaran dimana kelompok
sasaran jumlahnya cukup banyak, cenderung
mengalami kesulitan dalam proses implementasi. Hal
ini disebabkan karena radius kesucian pura belum
dipahami oleh masyarakat karena sosialisasi yang
dilakukan hanya pada tingkat aparat desa. Aparat
pelaksana dari pemerintah kota juga menginginkan
ketentuan yang lebih rinci.
3 IGM Konsukartha, T. Gunawan dan 1. Mengetahui persepsi Metode Kualitatif 1. Tata Ruang gagasan pemerintah, menurut pandangan
I.B. Mantra,Jurnal:2003,Persepsi masyarakat khususnya masyarakat adat lebih mengedepankan kepentingan
Masyarakat Adat Terhadap masyarakat adat terhadap ekonomi, sehingga fungsi ruang budaya dan ruang
Implementasi Rencana Tata Ruang implementasi tata ruang sakral semakin terdesak. Dari aspek kewenangan
Wilayah (RTRW) di Nusa Ceningan, wilayah di Nusa Ceningan; masyarakat adat berada pada posisi subordinat dan
Klungkung, Bali 2. Mengetahui sejauh mana pemerintah berada pada posisi dominan yang memiliki
tata ruang wilayah kewenangan dalam pembuatan tata ruang. Kondisi ini
memberikan keuntungan yang menyebabkan kepentingan masyarakat adat tidak
dan berpihak kepada terakomodasi dalam pengelolaan ruang.

Bersambung ...
12
Tabel 2. (sambungan)
kepentingan masyarakat 2. Kepentingan masyarakat adat yang termarginalisasi
dan bentuk perlawanan menimbulkan respon masyarakat berupa perlawanan
masyarakat apabila terhadap kebijakan pemerintah. Bentuk perlawanan
masyarakat adat dirugikan; terbuka (agresif) terjadi pada dimensi perubahan fungsi
3. Mengetahui sejauh mana ruang sakral (parhyangan), pemukiman, dan pembagian
rencana tata ruang wilayah hasil sumber daya alam yang tidak memenuhi rasa
itu telah disosialisasikan keadilan. Respon apatis hanya terjadi antar warga dalam
kepada masyarakat, dan perebutan lahan rumput laut. Tetapi dapat diselesaikan
sejauh mana wakil-wakil di tingkat desa adat.
masyarakat lokal terlibat 3. Penataan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah
dalam proses penyusuan tidak pernah melibatkan masyarakat lokal termasuk
tata ruang tersebut wakil-wakilnya baik secara perseorangan maupun
4. Mengetahui sejauh mana secara lembaga. Masyarakat hanya menerima hasil yang
masyarakat ingin ikut serta menjadi kebijakan pemerintah, karena tidak melalui
dalam pengelolaan tata proses sosialisasi pada masyarakat adat. Sehingga
ruang yang telah masyarakat merasa dikesampingkan dan menimbulkan
direncanakan, dan dalam berbagai pandangan termasuk ketidakpuasan.
bentuk apa saja 4. Penerapan hukum secara adat melalui perarem desa,
keikutsertaan masyarakat. bagi para pihak yang melanggar ketentuan pemanfaatan
ruang, sudah selayaknya dipertimbangkan. Tindakan ini
dilaksanakan untuk memperkuat penerapan hukum
positif yang semakin tidak dipercaya oleh masyarakat.
Pengenaan sanksi secara adat harus disertai dengan
pembentukan lembaga pengawas yang terdiri dari unsur
pemerintah, masyarakat adat, dan pihak independen
lainnya, agar tidak terjadi tarik ulur kepentingan.
4 Dwi Wahjoeni Soesilo Wati, Jurnal: Mengkaji perubahan pola tata Metode deskriptif- 1. Bangunan asli dalam Karang Desa Adat Jatiluwih
2011, Perubahan Pola Tata Ruang ruang pada karang di desa adat komparatif terdiri dari sanggah, meten, bale, dan lumbung.
Pada Karang Desa Adat Jatiluwih Di Jatiluwih. Dokumen hasil 2. Jumlah bangunan dalam karang dipengaruhi oleh
Bali penelitian akan digunakan banyaknya kepala keluarga
sebagai bahan masukan untuk 3. Pola tata ruang pada karang desa adat Jatiluwih diatur
pembuatan kebijakan panduan berdasarkan konsep Nawa Sanga dan Sanga Mandala,
pengembangan bagi institusi khususnya aturan sumbu hirarki diagonal dan sumbu
hirarki kaja-kelod
Bersambung ...
13
Tabel 2. (sambungan)
pemerintah dan masyarakat 4. Hasil analisis menunjukkan ada perubahan pola tata
setempat. ruang pada karang desa adat Jatiluwih.
5 Violina Zuhelsa, Skripsi: 2012, Fungsi Mengetahui fungsi Pura Metode Analisis Spasial Fungsi tempat suci pada radius suci Pura Besakih digunakan
Tempat Suci Penduduk Bali Di Sekitar Besakih sebagai Pura Sad sebagai fasilitas ibadah dan fasilitas pariwisata. Fasilitas
Pura Besakih Di Kabupaten Khayangan apabila dikaitkan ibadah terbagi menjadi pura sebagai tempat menyembah
Karangasem Provinsi Bali dengan fungsi pura yang sudah Sang Hyang Widi Wasa (Pura Sad Kahyangan) dan pura
menjadi objek wisata di untuk memuja para leluhur (Pura Kahyangan Tiga), dan
Kabupaten Karangasem. fasilitas pariwisata terbagi menjadi rumah makan,
penginapan, tempat parkir, toilet, tourist information center
dan art shop.
Fungsi pura berdasarkan jarak pada radius suci dapat dilihat
semakin dekat dari pura utama (Pura Penataran Agung),
fungsi pariwisata semakin bervariasi, sebaliknya semakin
jauh dari Pura Penataran Agung variasi fungsi pariwisatanya
semakin berkurang.
6 Ni Made Dwi Sulistia Budhiari dan Mengetahui eksistensi konsep Metode Kuantitatif Eksistensi dari kearifan lokal (local genius) konsep nilai
Imam nilai pembagian ruang Deskriptif pembagian ruang pada level makro telah mengalami pergeseran
Buchori,Jurnal:2015,Eksistensi berdasarkan konsep Luan dan dan eksistensi dari nilai tersebut telah berkurang. Pergeseran
Konsep Nilai “Luan(hulu) dan Teben Teben yang merupakan konsep yang terjadi adalah tidak dipenuhinya lagi peruntukkan untuk
(hilir)” sebagai Pembagian Ruang nilai pembagian ruang makro. jenis kegiatan pada masing-masing zona /kawasan, pada setiap
pada Level Makro Berdasarkan Nilai kawasan dan zona berdasarkan hasil overlay peta pemanfaan
Tradisional Bali di Wilayah Selatan ruang terdapat beragam jenis aktivitas, baik itu yang bersifat suci
Kabupaten Badung atau sakral maupun aktivitas pariwisata ataupun perdagangan
dan jasa, dan pergeseran yang kedua adalah terjadi perubahan
pada luasan zona atau kawasan terutama kawasan hulu
(luan/kaja), atau utama mandala dan juga hilir (teben/kelod),
atau nista mandala, namun pada hakekatnya esensi secara jiwa
dari konsep nilai local genius tersebut tidak terdapat perubahan,
tetap tumbuh dan dipertahankan oleh masyarakat.
7 Ida Ayu Komang 1. mengetahui penyebab Analisis Hermeneutik 1. Terjadinya pergulatan interpretasi Bhisama Parisada
Arniati,Jurnal:2015, Bhisama terjadi pergulatan atas Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu disebabkan
Parisada Tentang Kesucian Pura interpretasi Bhisama oleh beberapa faktor yaitu faktor ideologi, faktor
Pergulatan Interpretasi Atas Parisada atas Kawasan hukum, dan faktor ekonomi.
Kawasan Suci Pura Uluwatu Tempat Suci Pura Uluwatu

Bersambung ...
14
Tabel 2. (sambungan)
2. mengetahui proses 2. Proses pergulatan interpretasi atas Kawasan empat Suci
terjadinya pergulatan Pura Uluwatu mencakup tahapan sebagai berikut:
interpretasi Bhisama a. Resistensi krama desa adat Pecatu terhadap Perda
Parisada atas Kawasan RTRW Provinsi Bali Nomor Nomor 16 Tahun 2009
Tempat Suci Pura Uluwatu karena merasa dirugikan secara ekonomi.
3. mengetahui implikasi b. Unjuk rasa dan penyampaian pendapat ke DPRD
pergulatan interpretasi Provinsi Bali oleh krama desa adat Pecatu
Bhisama Parisada terhadap kemudian mendapat reaksi berupa unjuk rasa
kehidupan agama, sosial tandingan dari pendukung Perda RTRW Provinsi
budaya Desa Adat Pecatu Bali.
c. Krama desa adat Pecatu mengajukan gugatan Perda
RTRW Provinsi Bali Nomor Nomor 16 Tahun 2009
ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak
gugatan tersebut, dengan putusan Mahkamah
Agung Nomor 32P/HUM/2010.
3. Pergulatan interpretasi Bhisama Kesucian Pura
berimplikasi terhadap kehidupan agama dan kehidupan
sosial budaya Desa Adat Pecatu.
8 Anak Agung Gde Sutrisna Wijaya Tujuan umum dari penelitian Metode deskriptif Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa, terjadi
Putra, Tesis:2016, Pelanggaran ini adalah untuk dapat kualitatif pelanggaran terhadap bhisama kesucian pura dalam bentuk
Bhisama Kesucian Pura Di Sekitar Pura mengidentifikasi kegiatan wisata dan akomodasi wisata seperti hotel, villa, bar
Dang Kahyangan Di Kecamatan Kuta permasalahan yang terjadi di dan restauran yang tidak terkait langsung dengan kegiatan
Selatan, Kabupaten Badung sekitar Pura Dang Kahyangan. keagamaan dan bertentangan dengan nilai kesucian pura.
Dengan adanya gambaran Pelanggaran ini disebabkan oleh adanya kebijakan
permasalahan yang telah pengembangan kawasan pariwisata yang melingkupi
diidentifikasi tersebut kawasan radius kesucian pura, kurangnya sosialisasi dan
selanjutnya diharapkan dapat pemahaman akan pentingnya radius kesucian pura dan
digunakan sebagai acuan tuntutan kebutuhan ekonomi.
dalam pembuatan rencana atau
strategi pengelolaan kawasan
radius kesucian pura sehingga
dapat meminimalisir ataupun
mencegah terjadinya
permasalahan lebih lanjut.
Bersambung ...
15
Tabel 2. (sambungan)
9 Partigor Daud Pangeran Sihombing, 1. mengetahui potensi Metode deskriptif 1. Argumentasi kesucian kawasan Teluk Benoa ini sendiri
Tesis:2016, Elemen Agama Di Ruang elemen agama berupa kualitatif memiliki signifikansi dalam penolakan reklamasi,
Publik Dalam Studi Kasus Reklamasi wacana kawasan suci yaitu: (a) definisi dan perlakukan terhadap kawasan
Teluk Benoa yang dilegitimasi ajaran suci termuat dalam peraturan di tingkat daerah maupun
Hindu untuk muncul dan pusat, (b) dibuktikan secara empiris melalui kajian dari
berperan dalam ruang 2 sumber, yaitu ForBALI dan Parisada, dan (c) istilah
publik, yaitu perdebatan kawasan suci diakui oleh konsensus internasional,
tentang reklamasi Teluk termasuk hak masyarakat lokal untuk menjaga dan
Benoa mengaksesnya, seperti yang tertuang di dalam United
2. menunjukkan bahwa Nations Declaration on the Rights of Indigenous
kemunculan elemen Peoples dan Universal Code of Conduct on Holy Sites.
agama di ruang publik 2. Studi kasus ini menunjukkan bahwa legitimasi yang
mendukung adanya bersifat eksklusif tetap digunakan di ruang publik,
fenomena kebangkitan dalam hal ini perdebatan reklamasi Teluk Benoa.
agama Dengan kata lain elemen agama punya ruang untuk
3. melihat peran organisasi tampil di muka publik.
agama di dalam aspek 3. Apa yang ditunjukkan pada studi kasus ini juga sejalan
politik yang dilihat dari dengan karakteristik kebangkitan agama dimana salah
upaya organisasi agama, satunya ada upaya dari organisasi agama, dalam hal ini
dalam hal ini Parisada, Parisada, dalam memberikan pengaruh pada kebijakan
dalam memberikan pemerintah. Selain itu, keputusan dan sepak terjang
pengaruh kepada Parisada dalam merespon reklamasi Teluk Benoa juga
pemerintah. menunjukkan peran dan kemampuan organisasi
keagamaan dalam berpolitik. Di dalam konsep
kebangkitan agama, Parisada dapat dikategorikan
sebagai aktor religius sedangkan keputusannya dalam
merespon reklamasi Teluk Benoa dapat dikatakan
sebagai politik teologi.
10 I Made Alit Swardiana,2017, Urgensi 1. Penelitian ini Metode Kualitatif 1. Urgensi Penetapan Kawasan Tempat Suci dalam
Penetapan Kawasan Tempat Suci dilaksanakan dengan Deskriptif Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jembrana
Pura dalam Rencana Tata Ruang tujuan untuk mengetahui dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
Wilayah Kabupaten Jembrana Urgensi Penetapan a. Aspek Politik
Kawasan Tempat suci Aspek politik sangat terkait dengan kekuasaan
pura. yang dimiliki oleh desa pakraman.

Bersambung ...
16
Tabel 2. (sambungan)
2. Mengetahui proses Perwujudan kekuasaan dalam otonomi desa
penetapan Kawasan pakraman dimiliki oleh pemuka desa
Tempat suci pura dalam (merupakan orang yang dituakan dan memiliki
Rencana Tata Ruang wibawa dalam desa adat), sangkepan desa, dan
Wilayah. awig-awig desa adat. Kekuasaan ini berperan
dalam proses penyusunan batas kawasan
tempat suci. Kekuasaan tersebut berguna
untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal
dalam penyusunan kawasan tempat suci dalam
rencana tata ruang. Adapun pentingnya
penetapan kawasan tempat suci yang
dilakukan oleh desa pakraman adalah:
1) Bahan penyusunan materi teknis dalam
Pembuatan RDTR maupun RTR KS.
2) Bahan pertimbangan pemberian izin
pemanfaatan tanah.
3) Memberikan batasan pemanfaatan tanah
dan memberikan perlindungan terhadap
kawasan tempat suci.

b. Aspek Sosial-Budaya
Pada dasarnya desa pakraman
mempertahankan nilai-nilai konsep tradisional
secara fisik seperti konsep sanga mandala,
namun dalam pelaksanaanya lebih luwes
disesuaikan dengan situasi dan kondisi
setempat. Sebagai contoh adanya gang, jalan
atau jarak tertentu yang digunakan sebagai
pemisah antara pemukiman dengan pura. Hal
ini mencegah pemukiman tersebut ngeluanin
pura. Selain unsur fisik, kesucian pura juga
diatur dari segi non-fisik misalnya pada zona
inti tidak diperkenankan pemukiman non
penyungsung karena dikhawatirkan ada
Bersambung ...
17
Tabel 2. (sambungan)
perbedaan budaya yang bisa mengganggu nilai
kesucian pura. Pada zona inti juga dilarang
kegiatan yang menimbulkan keramaian seperti
pasar, fasilitas hiburan malam tujuannya untuk
memberikan ketenangan kepada umat untuk
melaksanakan persembahyangan. Dalam
budaya Bali diatur pula seseorang yang
dilarang memasuki pura, sebagaimana
disebutkan dalam Keputusan Seminar
Kesatuan Tafsir tentang Tata Cara Masuk Pura
meliputi:
1) Dilarang masuk Pura bagi orang-orang
yang:
a) Wanita dalam keadaan datang bulan,
habis melahirkan dan habis abortus.
b) Dalam keadaan sedang tertimpa
halangan kematian (sebel).
c) Tidak menaati Tata Krama Masuk
Pura.
d) Menderita noda-noda lain yang
karena sifatnya dapat dianggap
menodai kesucian Pura.
e) Menodai kesucian Pura (berpakaian
tidak sopan, berhajat besar/kecil,
bercumbu, berkelahi, mencorat-coret
bangunan/Pelinggih).
2) Hanya orang yang terkait langsung dalam
suatu upacara/persembahyangan/piodalan
dan atau kegiatan pengayoman Pura
bersangkutan, diperkenankan masuk Pura
sesuai dengan kedudukan dan fungsinya
masing-masing, dengan tetap
mengindahkan ketentuan-ketentuan
larangan.
Bersambung ...
18
Tabel 2. (sambungan)
3) Orang yang tidak berhubungan langsung
dalam kegiatan pura tersebut, dilarang
masuk Pura.
c. Aspek Ekonomi
Penetapan kawasan suci Pura Dang
Kahyangan secara ekonomi memberikan
beberapa manfaat antara lain:
1) Penetapan kawasan tempat suci akan
memperindah kawasan pura,
sehingga berpotensi untuk
dikembangkan sebagai pariwisata
budaya dan pariwisata spiritual yang
dapat memberikan manfaat ekonomis
bagi wilayah di sekitar kawasan
tempat suci tersebut.
2) Kawasan tempat suci yang telah jelas
batas-batasnya mempermudah
Pemerintah Daerah untuk
memberikan izin terkait
pembangunan terutama pada zona
penyangga dan zona pemanfaatan.
Dengan demikian akan mengundang
investor untuk membangun pada
lokasi-lokasi tersebut. Masuknya
investor pada wilayah tersebut akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi
di wilayah tersebut. Contohnya
masuknya proyek perumahan akan
menyerap tenaga kerja yang bisa
didatangkan dari daerah sekitarnya.
2. Proses penetapan Kawasan Tempat Suci Pura
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang
dilakukan oleh Bidang Penataan Ruang Kabupaten
Jembrana terdiri dari 3 (tiga) proses utama yaitu:

Bersambung ...
19
a. Penyusunan Materi Teknis yang menghasilkan
Buku data analisis yang dilengkapi peta-peta,
Buku rencana dan Album peta.
b. Persetujuan Substansi Materi Teknis
c. Pengesahan Materi Teknis Menjadi Peraturan
Daerah

Sumber: Berbagai jurnal, skripsi, dan tesis

20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kawasan Suci dan Kawasan Tempat Suci

Suci adalah suatu keadaan yang diyakini dan dipercaya oleh umat Hindu

baik terhadap tempat, wilayah, benda, ruang, waktu yang memberikan rasa

aman, tentram, rasa tenang, rasa hening dan telah mendapat upacara secara

Agama Hindu sehingga tercapainya keseimbangan, keselarasan dan

ketentraman hidup (Dalem:2007, dalam Putra:2016). Makna suci menurut

pengertian tersebut terdiri dari unsur fisik (tempat, wilayah, benda, ruang, dan

waktu) dan unsur rohani (rasa aman, tentram, rasa tenang serta rasa hening).

Unsur fisik menjadi syarat terciptanya unsur rohani. Untuk mewujudkan unsur

fisik yang memberikan nilai kesucian maka diatur kawasan suci yang ditetapkan

dalam RTRW Kabupaten Jembrana. Pengaturan tersebut meliputi lokasi, tinggi

bangunan, jarak atau radius suci, dan jenis pemanfaatan.

Terkait dengan lokasi, terdapat tempat yang dikategorikan suci menurut

RTRW Kabupaten Jembrana yakni kawasan suci dan kawasan tempat suci.

Kawasan itu termasuk dalam kawasan lindung khususnya kawasan

perlindungan setempat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Jembrana. Kawasan suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu yang

terdiri dari:

1. Kawasan suci gunung yaitu seluruh kawasan yang memiliki kemiringan

sekurang-kurangnya 45 derajat, yang dilihat dari kaki lereng gunung

21
menuju puncak gunung. Kawasan suci gunung di Kabupaten Jembrana

meliputi Gunung Merbuk, Gunung Bangol dan Gunung Masehe.

2. Kawasan suci campuhan yaitu kawasan pertemuan aliran dua buah

sungai yang tersebar di seluruh Kabupaten Jembrana.

3. Kawasan suci pantai yaitu tempat-tempat tertentu di kawasan pantai

yang dimanfaatkan untuk upacara melasti di seluruh pantai Kabupaten

Jembrana.

4. Kawasan suci laut yaitu kawasan perairan laut yang difungsikan untuk

tempat melangsungkan upacara keagamaan bagi umat Hindu.

5. Kawasan suci mata air yaitu kawasan di sekitar sumber mata air yang

difungsikan untuk tempat upacara keagamaan bagi umat Hindu.

6. Kawasan suci cathus patha adalah titik sakral yang dipakai sebagai

pusat orientasi spiritual sebagai pusat pertemuan arah kangin-kauh

(timur-barat) dan kaja-kelod (utara-selatan) yang dianggap memliki

nilai kesucian/kosong pada suatu wilayah, kawasan, Desa Pakraman

atau Kawasan Perkotaan.

Kawasan tempat suci adalah kawasan di sekitar tempat suci/bangunan

suci yang ada di Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang berwujud

bangunan yang disakralkan sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi

Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), terdiri dari Kahyangan Tiga, Dang Kahyangan,

Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan, dan pura lainnya.

Kawasan suci dan kawasan tempat suci di Kabupaten Jembrana hanya

diatur dalam RTRW Kabupaten. Kabupaten Jembrana belum memiliki Rencana

22
Rinci Tata Ruang dan Peraturan Daerah mengenai Ketentuan Umum Peraturan

Zonasi Kabupaten. Rencana Rinci Tata Ruang dan Peraturan Daerah mengenai

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kabupaten merupakan perangkat

pengendalian pemanfaatan ruang. Adanya perkembangan wilayah yang pesat di

Kabupaten Jembrana memerlukan instrumen pengendali pemanfaatan ruang.

Menurut Sutaryono (2007) dalam Kistiyah dkk (2016), perkembangan

wilayah disebabkan karena adanya ketergantungan antar wilayah

(interdependency of places) akibat perbedaan karakteristik dan potensi wilayah.

Kabupaten Jembrana dipilih oleh pengembang untuk pembangunan perumahan

sederhana karena nilai tanahnya lebih rendah dibanding kawasan Sarbagita.

Demikian pula perizinannya relatif lebih mudah karena masih banyak kawasan

budidaya yang bisa dikembangkan. Berbeda dengan kawasan Sarbagita yang

sudah lebih dahulu berkembang, maka kawasan yang bisa dikembangkan

menjadi lebih sempit sehingga perizinannya lebih ketat.

B. Penataan Ruang Kawasan Tempat Suci

Penataan ruang di Indonesia semakin dinamis sejak adanya perubahan

paradigma mengenai pemerintahan daerah. Hal tersebut ditandai dengan

digantinya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Penggantian tersebut berpengaruh pula pada sistem penataan ruang yang pada

mulanya memiliki konsep top-down planning menjadi bottom-up planning.

23
Perbedaan kedua konsep penataan ruang ini dapat dilihat pada Tabel 3. Di

bawah.

Tabel 3.Perbedaan Konsep Penataan Ruang


No. Aspek Top-Down Bottom-Up
1 Kewenangan dan Tanggung Pemerintah Pemerintah dan
Jawab menyiapkan, masyarakat
melaksanakan, menyiapkan,
mengendalikan melaksanakan,
dan
mengendalikan
2 Publikasi dan Tranparansi Kebijakan tata Masyarakat
ruang tertutup, mempunyai hak
diketahui yang sama untuk
sekelompok mengetahui
orang, pemda RTRW,
pasif dipublikasikan,
pemda aktif
3 Keterlibatan Masyarakat Konsep RTRW Konsep RTRW
disiapkan disiapkan pemda
pemda, dengan
kemudian mengikutsertakan
masyarakat masyarakat
menanggapi (public
(publik participation).
involment). Partisipasi nyata
Partisipasi semu
4 Proses Pendidikan Pemda Pemda aktif
menyiapkan melakukan
RTRW dan sosialisasi dan
masyarakat pemberdayaan
menerima masyarakat
Sumber: Ibrahim dalam Muta’ali 2013

Perubahan konsep tersebut pada intinya lebih meningkatkan pastisipasi

masyarakat dalam penataan ruang. Demikian pula untuk penataan ruang pada

kawasan tempat suci. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 terdapat beberapa permasalahan dalam penataan ruang khususnya dalam

penataan ruang kawasan tempat suci. Permasalahan tersebut muncul karena

24
kurangnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan penataan ruang kawasan

tempat suci.

Hal tersebut dapat dilihat dari penelitian Konsukartha, dkk (2002) yang

dilakukan di Nusa Ceningan Kabupaten Klungkung. Hasil penelitiannya

menunjukkan:

1. Tata Ruang gagasan pemerintah, menurut pandangan masyarakat adat lebih


mengedepankan kepentingan ekonomi, sehingga fungsi ruang budaya dan
ruang sakral semakin terdesak. Dari aspek kewenangan masyarakat adat
berada pada posisi subordinat dan pemerintah berada pada posisi dominan
yang memiliki kewenangan dalam pembuatan tata ruang. Kondisi ini yang
menyebabkan kepentingan masyarakat adat tidak terakomodasi dalam
pengelolaan ruang.
2. Kepentingan masyarakat adat yang termarginalisasi menimbulkan respon
masyarakat berupa perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Bentuk
perlawanan terbuka (agresif) terjadi pada dimensi perubahan fungsi ruang
sakral (parhyangan), pemukiman, dan pembagian hasil sumber daya alam
yang tidak memenuhi rasa keadilan. Respon apatis hanya terjadi antar warga
dalam perebutan lahan rumput laut. Tetapi dapat diselesaikan di tingkat desa
adat.
3. Penataan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak pernah melibatkan
masyarakat lokal termasuk wakil-wakilnya baik secara perseorangan
maupun secara lembaga. Masyarakat hanya menerima hasil yang menjadi
kebijakan pemerintah, karena tidak melalui proses sosialisasi pada
masyarakat adat. Sehingga masyarakat merasa dikesampingkan dan
menimbulkan berbagai pandangan termasuk ketidakpuasan

Penelitian Sudata (2002) di Kota Denpasar juga menggambarkan hal

yang senada. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar

masyarakat tidak sependapat dengan radius kesucian pura. Masyarakat tidak

sependapat dengan radius kesucian Pura Dang Kahyangan karena dinilai terlalu

luas cakupannya. Sedangkan pendapat masyarakat terhadap radius kesucian

Pura Kahyangan Desa cenderung sependapat karena didukung oleh aparat desa

adat.

25
Berdasarkan kedua penelitian tersebut menunjukkan penataan ruang

yang cenderung memiliki konsep top-down planning kurang mendapat

dukungan dari masyarakat. Oleh sebab itu dengan berubahnya paradigma

konsep penataan ruang menjadi bottom-up planning diharapkan menghasilkan

produk penataan ruang yang diterima oleh masyarakat. Undang-Undang Nomor

26 Tahun 2007 menguatkan posisi masyarakat dalam penataan ruang.

Penataan ruang menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah

suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan penyelenggaraan penataan ruang

adalah mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan

berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.

Lingkup kegiatan penataan ruang meliputi 3 (tiga) proses utama yaitu (Muta’ali,

2013:25):

1. proses perencanaan tata ruang wilayah yang menghasilkan rencana umum

tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun

dengan pendekatan wilayah administratif yang memuat rencana struktur

ruang dan rencana pola ruang. Penyusunan rencana rinci tata ruang

menggunakan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan

kawasan yang memuat secara detail penetapan blok dan subblok

peruntukan. Produk perencanaan penataan ruang menjadi landasan hukum

dalam mencapai tujuan pemanfaatan ruang.

2. proses pemanfaatan ruang yaitu perwujudan operasionalisasi rencana tata

ruang dalam pelaksanaan pembangunan.

26
3. proses pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan

dan penertiban. Mekanisme perizinan berfungsi untuk mengarahkan

pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang. Penertiban

dilaksanakan berupa pemberian insentif, disinsentif dan pengenaan sanksi.

Berdasarkan lingkup kegiatan diatas, inti dari penataan ruang adalah

kegiatan perencanaan. Saul M. Katz dalam Ridwan dan Sodik (2013)

menyatakan pentingnya dilakukan perencanaan, antara lain:

1. Sebagai arahan/pedoman pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan

tertentu.

2. Mengurangi ketidakpastian dengan memperkirakan potensi-potensi

perkembangan termasuk hambatan serta risiko yang mungkin dihadapi.

3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih alternatif terbaik

dalam mencapai tujuan.

4. Mempermudah penyusunan skala prioritas, memilih kegiatan dan diurutkan

dari yang terpenting.

5. Sebagai alat pengukur dalam melakukan pengawasan atau evaluasi.

Penataan ruang kawasan tempat suci berpedoman pada Keputusan

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor 11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang

Bhisama Kesucian Pura. Bhisama merupakan sebuah rekomendasi yang

ditetapkan oleh para sulinggih (pengantar doa dalam Agama Hindu) dalam rapat

yang diselenggarakan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat.

Bhisama ini muncul karena adanya rencana pembangunan hotel dan lapangan

27
golf di sekitar Pura Tanah Lot, Tabanan. Tujuan Bhisama ini adalah melindungi

pura dari pembangunan yang dapat mengakibatkan terganggunya fungsi pura.

Lebih lanjut substansi Bhisama ini diadopsi ke dalam Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi Bali kemudian secara hirarkis juga diturunkan pada

Rencana Tata Ruang Kabupaten Jembrana. Oleh sebab itu, Bhisama ini menjadi

landasan hukum dalam mengatur pemanfaatan ruang khususnya yang berada di

kawasan tempat suci. Berdasarkan Bhisama tersebut, kawasan tempat suci

ditetapkan sesuai dengan pengelompokan pura. Menurut Mirsha (1986) dalam

Zuhelsa (2012) pengelompokan pura di Bali dapat dibedakan menjadi empat

yaitu:

1. Pura Keluarga, didirikan oleh sekelompok keluarga tertentu yang memiliki

hubungan darah sama (genealogis). Setiap keluarga memiliki pura keluarga

yang disebut Sanggah atau Pemerajan. Jika keluarga itu bertambah luas dan

besar mereka akan mendirikan pura yang lebih besar yaitu Dadya, Paibon

atau panti, dan selanjutnya Kawitan atau Pedharman untuk memuja Dewa

Pitara (ancestor/leluhur).

2. Pura Tri Kahyangan, masing-masing desa adat/pakraman di Bali memiliki

Pura Puseh, Pura Desa/Bale Agung dan Pura Dalem. Ketiga pura tersebut

disebut Kahyangan Tiga/ Tri Kahyangan untuk memuja Tuhan dalam

wujud Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Siwa).

3. Pura Umum, pura pemujaan untuk umum dan merupakan tempat

persembahyangan inti bagi umat Hindu. Pura ini terdiri atas pura

Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan.

28
4. Pura Fungsional, didirikan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai

kepentingan atau profesi yang sama. Sebagai contoh untuk bidang pertanian

ada Pura Subak/Ulun Carik/Ulun Danu. Bidang Perdagangan memiliki Pura

Melanting/Ratu Subandar. Bidang Pertukangan memiliki Pura Ratu

Tukang/Ratu Pande.

Kawasan tempat suci untuk Pura Sad Kahyangan ditetapkan ukuran

Apeneleng Agung (minimal 5 kilometer dari pura). Pura Dang Kahyangan

dengan ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 kilometer dari pura), sedangkan Pura

Kahyangan Tiga ditetapkan ukuran Apenimpug dan Apenyengker.

Kawasan yang berada dalam radius ukuran tersebut disebut dengan

daerah kekeran. Arahan pemanfaatan ruang di daerah kekeran yaitu: (1)

bangunan yang berfungsi untuk mendukung kegiatan keagamaan Agama

Hindu, contohnya dharmasala, pasraman dan sebagainya; (2) bangunan yang

memberikan kemudahan umat Hindu untuk melakukan kegiatan keagamaan

misalnya kegiatan tirta yatra, dharma wacana, dharma githa, dharma sadana

dan lain-lain; (3) ruang terbuka berupa ruang terbuka hijau maupun kawasan

budidaya pertanian.

Pemanfaatan daerah kekeran diatur lebih lanjut dalam Peraturan Zonasi

melalui penerapan tiga strata zonasi (utama/inti, madya/penyangga,

nista/pemanfaatan terbatas) yang termuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi

terutama pasal 42 sampai dengan pasal 47. Adapun perlindungan kesucian

kawasan tempat suci/pura, terhadap kawasan di sekitarnya, meliputi:

29
1. Kawasan tempat suci Pura Sad Kahyangan;

2. Kawasan tempat suci Pura Dang Kahyangan;

3. Kawasan tempat suci Pura Kahyangan Jagat lainnya; dan

4. Kawasan tempat suci Pura Kahyangan Desa/Tri Kahyangan.

Pengaturan kawasan tempat suci untuk jenis pura yang berbeda tersebut

berbeda-beda. Karakteristik kawasan tempat suci pura dapat dibedakan menjadi

3 (tiga) yaitu: (a) kawasan suci tipe I, kawasan tempat suci yang berada pada

kawasan yang dominan belum terbangun atau belum berkembang; (b) kawasan

suci tipe II, kawasan tempat suci yang berada pada kawasan semi terbangun

atau sedang berkembang; (c) kawasan tempat suci tipe III, yaitu kawasan tempat

suci yang berada pada kawasan telah terbangun, sudah berkembang atau berada

di tengah kawasan permukiman. Setiap tipe kawasan suci ditentukan prosentase

penggunaan untuk zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan.

Pengaturan kawasan tempat suci secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.

30
Tabel 4. Ketentuan Pemanfaatan Kawasan Tempat Suci Pura
Radius
No. Jenis Pura Karakteristik Ketentuan Pemanfaatan
Suci
Tipe I 40% untuk Zona Inti, 30% Zona Penyangga, dan 30% Zona Pemanfaatan
Sad
1 5 km Tipe II 20% untuk Zona Inti, 30% Zona Penyangga, dan 50% Zona Pemanfaatan
Kahyangan
Tipe III 10% untuk Zona Inti, 20% Zona Penyangga, dan 70% Zona Pemanfaatan
Tipe I 40% untuk Zona Inti, 30% Zona Penyangga, dan 30% Zona Pemanfaatan
Dang Tipe II 20% untuk Zona Inti, 30% Zona Penyangga, dan 50% Zona Pemanfaatan
2 2 km
Kahyangan Tipe III 10% untuk Zona Inti, 20% Zona Penyangga, dan 70% Zona Pemanfaatan
Ketentuan lebih lanjut diatur oleh pemerintah kabupaten/kota.
Tipe I 40% untuk Zona Inti, 30% Zona Penyangga, dan 30% Zona Pemanfaatan
Kahyangan Tipe II 20% untuk Zona Inti, 30% Zona Penyangga, dan 50% Zona Pemanfaatan
3 50m-2 km
Jagat Tipe III 10% untuk Zona Inti, 20% Zona Penyangga, dan 70% Zona Pemanfaatan
Ketentuan lebih lanjut diatur oleh pemerintah kabupaten/kota.
Tipe I ≥ 50m dari tembok penyengker pura
5m-50m
dari Tipe II ≥ 25m dari tembok penyengker pura
Tri
4 tembok Tipe III ≥ 5m dari tembok penyengker pura
Kahyangan
penyengker Ketentuan lebih lanjut diatur oleh pemerintah kabupaten/kota, dengan
pura
melibatkan desa pakraman setempat
Sumber: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015

31
C. Penataan Ruang Kawasan Tempat Suci Pura Tri Kahyangan oleh Desa

Adat

Pandangan masyarakat Bali mengenai konsep teritori memiliki dua

pengertian (Dwijendra,2008:20), yaitu pertama berupa kesatuan wilayah tempat

warganya (krama adat) bersama-sama melaksanakan upacara dan kegiatan

sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya yang dinamakan desa adat. Kedua,

desa sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau

perbekelan. Dalam sub unit yang lebih kecil dikenal dengan banjar adat untuk

desa adat dan banjar dinas untuk desa dinas. Dalam suatu wilayah tidak

ditentukan satu desa dinas terdiri dari beberapa desa adat atau sebaliknya. Ada

beberapa variasi antara lain: (1) satu desa dinas terdiri dari satu desa adat; (2)

satu desa dinas mencakup beberapa desa adat; (3) satu desa adat mencakup

beberapa desa dinas; (4) Kombinasi (2) dan (3).

Adanya dua pandangan tersebut tidak bisa dipisahkan dari pengaruh

kolonial Belanda (Parimartha,2013:30). Pada awal masa kolonial, Belanda

ingin menggantikan kedudukan dan kekuasaan kerajaan atas desa-desa di Bali.

Di satu sisi desa-desa tersebut memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan

dan bersifat otonom. Tanpa mengganggu status desa yang otonom, pemerintah

Belanda kemudian membuat satu konsep desa yang berbeda untuk memenuhi

kepentingan-kepentingan pemerintah kolonial. Konsep desa yang dibentuk oleh

pemerintah Belanda dikenal dengan desa dinas (berasal dari bahasa Belanda:

diens) yang bertugas melaksanakan tugas-tugas administratif pemerintah

Belanda, berdampingan dengan desa adat yang merupakan desa asli. Hingga

32
saat ini dua konsep desa tersebut masih berjalan beriringan, walaupun pada

dasarnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 100 memungkinkan

untuk melebur desa dinas dengan desa adat menjadi satu.

Eksistensi desa adat diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah

Tingkat I Bali Nomor 6 tahun 1986 tentang Kedudukan Fungsi dan Peranan

Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah

Tingkat I Bali. Perda tersebut menyatakan desa adat adalah kesatuan

masyarakat hukum adat di Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu

kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara

turun menurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang

mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus

rumah tangganya sendiri.

Semangat reformasi akhirnya melahirkan Peraturan Daerah Provinsi

Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagai pengganti Perda

Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 tahun 1986. Dalam Perda ini istilah

desa adat diganti dengan desa pakraman. Desa pakraman adalah kesatuan

masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi

dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun

dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah

tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya

sendiri. Dari pengertian tersebut menyatakan bahwa desa adat dan desa

pakraman identik.

33
Berdasarkan sistem dan struktur organisasinya, desa adat di Bali dapat

dibedakan menjadi dua jenis (Surpha, 2012:57), yaitu:

1. Desa Apanaga yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan

mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Desa-desa ini pada

umumnya tersebar di daerah Bali dataran, meliputi sebagian kabupaten

Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, Buleleng dan

Jembrana.

2. Desa Bali Aga (Bali Mula) yaitu desa-desa tua yang masih kuat memegang

sistem serta adat-istiadatnya dan tidak atau sedikit terkena pengaruh

Majapahit. Desa-desa ini terdapat di Bali wilayah pegunungan, mencakup

sebagian dari Kabupaten Buleleng, Jembrana, Gianyar, Bangli dan

Karangasem.

Menurut Surpha (2012:58), umumnya perangkat desa adat di Bali

terdiri dari bendesa (sebagai kepala desa adat), petajuh bendesa (wakil

bendesa), penyarikan (sekretaris), kasinoman (juru arah/penyebar informasi)

dan pamangku (untuk urusan agama di pura). Desa adat yang terdiri dari

beberapa banjar terdapat pula perangkat banjar yaitu kelihan banjar (kepala

banjar), petajuh kelihan (wakil kelihan banjar), penyarikan (sekretaris),

kasinoman banjar. Keanggotaan desa adat di Bali ada dua yaitu berdasarkan

menempati karang ayahan desa dan atas dasar ingin mengorganisir diri dalam

suatu desa adat. Demikian pula banjar adat keanggotaannya dibedakan

menjadi dua yaitu sistem karang ayahan (menempati karang ayahan desa) dan

sistem mapakuren (orang yang sudah menikah wajib menjadi krama banjar).

34
Adapun tugas desa pekraman menurut pasal 5 Perda Nomor 3 Tahun

2001 meliputi; (1) membuat awig-awig; (2) mengatur krama desa; (3)mengatur

pengelolaan harta kekayaan desa; (4) bersama-sama pemerintah melaksanakan

pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan

kemasyarakatan; (5) membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali

dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan

mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah

pada khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-

sabayantaka" (musyawarah-mufakat); (6) mengayomi krama desa.

Desa adat jika dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana, memiliki tiga

unsur utama yaitu (Dwijendra,2008:22):

1. Unsur Parhyangan, yaitu Pura Puseh, Pura Baleagung, dan Pura Dalem

yang dikenal dengan Pura Tri Kahyangan.

2. Unsur Pawongan, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan.

3. Unsur Palemahan, yaitu wilayah desa dengan batas-batas tertentu.

Ketiga unsur-unsur tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik

maka diperlukan penataan ruang. Hal ini sangat bersesuaian dengan tujuan

penataan ruang menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 yaitu: (1) terwujudnya

keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (2) terwujudnya

keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan

dengan memperhatikan sumberdaya manusia; (3) terwujudnya perlindungan

fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat

pemanfaatan ruang.

35
Konsep penataan ruang tradisional Bali dipengaruhi aspek politik, sosial

budaya, dan ekonomi. Aspek politik terkait erat dengan kebijakan pemerintah

Kabupaten Jembrana yang menetapkan pengaturan kawasan tempat suci pura

Tri Kahyangan disesuaikan dengan keadaan dan situasi desa adat setempat. Hal

ini memberikan keleluasaan kepada desa adat untuk mengatur kawasan tempat

suci khususnya pura Tri Kahyangan.

Aspek sosial budaya sangat dipengaruhi oleh adat istiadat dan ajaran

Agama Hindu. Orientasi arah dan ruang yang memiliki nilai utama (kesucian

religius) di Bali adalah arah kaja dan kangin sedangkan nilai yang berlawanan

terletak pada arah kelod dan kauh (Wesnawa,2015:15). Arah kangin dan kauh

bersifat universal karena kangin selalu menunjukkan arah timur dan kauh

menunjukkan arah barat. Berbeda halnya dengan arah kaja, karena tidak selalu

berarti arah utara, demikian pula untuk arah kelod tidak selalu berarti arah

selatan. Hal ini karena di Bali menggunakan patokan gunung sebagai arah kaja

dan laut sebagai arah kelod. Arah kaja untuk wilayah Tabanan sama dengan

arah utara. Namun untuk wilayah Buleleng arah kaja adalah arah selatan secara

geografis, sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 1.

36
Gambar 1. Konsep Arah Orientasi dan Ruang di Bali
Sumber: Dwijendra (2008:6)

Arah kaja memiliki nilai utama karena gunung berfungsi sebagai

pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian diteruskan ke dalam tanah

sehingga membentuk mata air-mata air sebagai sumber kehidupan. Arah kangin

memiliki nilai utama karena matahari terbit dari timur. Sinar matahari adalah

sumber energi yang menghidupi semua mahluk hidup (Dwijendra (2008:14).

Perpaduan orientasi kaja-kelod dan kangin-kauh melahirkan konsep

Sanga Mandala. Pada wilayah desa, konsep Sanga Mandala menempatkan

kegiatan yang bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama, letak

Pura Dalem dan kuburan pada daerah nisthaning nista dan pemukiman pada

daerah madya (Paturusi, 1988:91 dalam Dwijendra, 2008:9). Penjelasan

mengenai konsep Sanga Mandala dapat dilihat dalam Gambar 2.

37
Matahari

Terbenam Terbit

Nista Madya Utama

Sanga Mandala

Gunung Utamaning Utamaning Utamaning


Utama Nista Madya Utama

Dataran Madya Madyaning Madyaning Utamaning


Nista Madya Madya
Nista
Laut Nistaning Nistaning Utamaning
Nista Madya Nista

Gambar 2. Konsep Sanga Mandala


Sumber: Budiharjo (1986) dalam Dwijendra (2008:8)

Terkait dengan nilai suci arah kaja dan kangin, masyarakat Bali

memiliki kepercayaan bahwa pekarangan yang terletak disebelah kaja atau

kangin (karang ngeluanin) tidak baik dijadikan perumahan. Apabila digunakan

sebagai perumahan harus dibuat jarak pemisah berupa tanah kosong berupa

gang atau jalan. Cara yang lainnya pekarangan tersebut tidak dimanfaatkan

untuk perumahan melainkan tegalan atau kebun (Dwijendra,2008:56). Kearifan

lokal ini secara tidak langsung merupakan upaya untuk menjaga kesucian pura.

Pada desa adat tertentu, seperti Desa Adat Pecatu mengatur kawasan

suci dalam awig-awig desa adat-nya. Pada kawasan suci tersebut hanya

38
diperbolehkan menanam kayu penghijauan untuk kepentingan masyarakat

banyak (Adhika,2012:40). Hal ini sesuai dengan tugas desa adat, yaitu

membina serta mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka

memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan daerah. Desa

adat melalui perangkatnya, memiliki kewajiban memelihara dan menjaga

fungsi Pura Tri Kahyangan sebagai salah satu unsur utama desa adat, sesuai

dengan tugas dimaksud. Keberadaan Desa Adat sangat tergantung dari

hubungan harmonis ketiga unsur-unsurnya yaitu unsur Parhyangan,

Pawongan, dan Palemahan.

Faktor ekonomi yang mempengaruhi penataan ruang terkait dengan

proses komersialisasi. Komersialisasi yang diakibatkan oleh pariwisata maupun

perubahan penggunaan tanah. Komersialisasi oleh kegiatan pariwisata

menyebabkan ruang sakral bercampur dengan kegiatan komersil untuk

memenuhi akomodasi pariwisata. Adanya perubahan penggunaan tanah dari

pertanian menjadi non pertanian adalah bentuk rasionalitas petani karena

pandangan bahwa penggunaan non pertanian lebih menguntungkan secara

ekonomi dibandingkan dengan penggunaan pertanian.

D. Kerangka Pemikiran

Pertambahan jumlah penduduk, nilai tanah yang relatif lebih rendah dari

kabupaten lain di Bali, dan kemudahan birokrasi perizinan mendorong

pembangunan perumahan bersubsidi di Kabupaten Jembrana. Penataan ruang

wilayah diperlukan agar kawasan tempat suci tidak terdesak oleh pesatnya

39
pembangunan tersebut. Urgensi penetapan kawasan tempat suci Pura Tri

Kahyangan dapat dilihat dari aspek politik, aspek sosial budaya, dan aspek

ekonomi. Skema kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran

40
E. Pertanyaan Penelitian

1. Apa urgensi penetapan kriteria-kriteria kawasan tempat suci Pura Tri

Kahyangan dalam RTRW Kabupaten Jembrana?

2. Bagaimana proses penetapan kawasan tempat suci Pura Tri Kahyangan

tersebut dalam RTRW Kabupaten Jembrana?

41
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode dan Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif pendekatan deskriptif. Denim (2002:41) dalam Dana (2015)

memberikan beberapa ciri dominan dari penelitian deskriptif adalah:

1. Bersifat mendiskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual.

2. Dilakukan secara survei.

3. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara mendetail.

4. Mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi

keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung.

5. Mendiskripsikan subyek yang sedang dikelola oleh kelompok orang

tertentu dalam waktu yang bersamaan.

Yunus (2010: 257) menyatakan setiap penelitian mencakup tiga aspek

utama. Tiga aspek tersebut antara lain eksistensi populasi, karakteristik obyek,

dan cara analisis. Jenis penelitian berdasarkan eksistensi populasi dibedakan

menjadi penelitian sensus, penelitian studi kasus atau penelitian sampling.

Sedangkan ditinjau dari karakteristik obyek, penelitian dibedakan menjadi

penelitian survei, penelitian historis, dan penelitian eksperimental. Dilihat dari

cara analisis penelitian dapat dibagi menjadi penelitian kualitatif, penelitian

kuantitatif, maupun gabungan kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan hal

tersebut penelitian ini termasuk: (a) penelitian sampling jika ditinjau dari

42
eksistensi populasinya; (b) penelitian survei jika dikaitkan dengan karakteristik

objeknya; dan (c) penelitian kualitatif jika dilihat dari teknik analisisnya.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih berada di Kecamatan Jembrana.

Kecamatan Jembrana dipilih karena dekat dengan pusat kota Negara dan sedang

mengalami perkembangan yang pesat dari segi pembangunan. Pemilihan

sampel dilakukan dengan teknik purposive. Sampelnya yaitu: (1) Pura Tri

Kahyangan yang terletak di tiga desa adat berbeda. Tiga desa adat dipilih

berdasarkan perbedaan lokasi yaitu di hulu (dekat dengan gunung), tengah, dan

hilir; (2) Pura Dang Kahyangan Mertasari yang terletak di Kelurahan Loloan

Timur.

C. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu:

1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan

dan observasi lapangan. Data primer hasil wawancara berupa: (a) Data

mengenai mekanisme perizinan di kawasan tempat suci Pura Tri

Kahyangan dan Pura Dang Kahyangan, pentingnya penetapan kawasan

tempat suci, dan mekanisme penetapan kawasan suci dalam RTRW

kabupaten yang diperoleh dari Kepala Bidang Penataan Ruang Kantor

Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan

43
Permukiman Kabupaten Jembrana jajarannya; (b) Data mekanisme

pemberian IPPT disekitar kawasan suci pura Tri Kahyangan dari Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana dan jajarannya; (c) Data mengenai

kriteria-kriteria penetapan batas kawasan tempat suci Pura Tri Kahyangan

dan Pura Dang Kahyangan, data jenis sanksi, data jumlah penyungsung

pura, data jenis upacara, data struktur organisasi desa adat yang diperoleh

dari Bendesa Adat di wilayah Kecamatan Jembrana; (d) Data mengenai

pembatasan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang diperoleh dari

Bendesa Adat di wilayah Kecamatan Jembrana.

2. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Data jumlah penduduk, jumlah banjar adat/dinas, jumlah desa adat

yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Jembrana.

b. Sebaran lokasi Pura Tri Kahyangan dan Pura Dang Kahyangan di

Kecamatan Jembrana yang diperoleh dari Bendesa Adat.

c. Data batas administrasi kecamatan yang diperoleh dari Peta

Administrasi Kabupaten Jembrana;

d. Data penggunaan tanah di Kecamatan Jembrana diperoleh dari Peta

Penggunaan tanah Kabupaten Jembrana yang didapatkan melalui

Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana.

44
D. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara

Informasi didapat melalui teknik wawancara terhadap para

informan. Adapun informan yang akan diwawancarai yaitu:

a. Pejabat dan staf di lingkungan Bidang Penataan Ruang Kantor Dinas

Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan

Permukiman Kabupaten Jembrana untuk mengetahui mekanisme

pengaturan kawasan tempat suci pada dokumen tata ruang.

b. Pejabat dan staf Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana untuk

mengetahui mekanisme pemberian pertimbangan teknis pertanahan

yang berada di kawasan tempat suci.

c. Bendesa Adat untuk mengetahui cara penentuan kawasan suci pada

wilayahnya masing-masing.

2. Studi Dokumen

Kegiatan studi dokumen meliputi tinjauan terhadap dokumen yang

didapat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana (dokumen

pertimbangan teknis), Bidang Penataan Ruang Kantor Dinas Pekerjaan

Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten

Jembrana (dokumen tata ruang), serta Bendesa Adat (awig-awig maupun

perarem).

3. Observasi lapangan

Observasi lapangan dilakukan untuk melihat penggunaan tanah,

pemanfaatan tanah, dan kondisi aktual (aktifitas masyarakat) di sekitar

45
kawasan tempat suci termasuk jarak berbagai pemanfaatan tersebut dengan

pura. Hasil observasi lapangan akan ditelaah dengan data hasil wawancara.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Analisis Kualitatif

Urgensi penetapan kawasan tempat suci dalam RTRW Kabupaten

Jembrana dianalisis dengan analisis kualitatif. Teknik analisis data kualitatif

ini digunakan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan urgensi

penetapan kawasan tempat suci dalam RTRW Kabupaten Jembrana.

Tahapan teknik analisis data kualitatif menurut Moleong (2008:247) yaitu:

a. Telaah data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, studi

dokumen, dan observasi lapangan.

b. Pemilihan data yang akan digunakan untuk menyusun rangkuman inti

yang terkait dengan pertanyaan penelitian.

c. Pengelompokan rangkuman-rangkuman berdasarkan keterkaitan

informasi yang termuat didalamnya.

d. Koding, menyusun data yang sudah dikelompokkan ke dalam kategori-

kategori tertentu.

e. Penafsiran data dengan cari menemukan pola dan hubungan kategori

data tersebut untuk menjawab pertanyaan penelitian.

46
2. Analisis Spasial/Keruangan

Analisis spasial/keruangan dilakukan untuk mengelompokkan

pemanfaatan di sekitar kawasan tempat suci yang dibagi menjadi zona-zona

dengan jarak tertentu dari batas tembok pura. Zona utama berada paling

dekat dengan tembok batas pura, selanjutnya zona madya yang berada

ditengah, dan zona nista yang berada paling jauh dari tembok pura.

47
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

A. Kondisi Fisik Wilayah

1. Letak dan Batas Wilayah


Posisi geografis Kecamatan Jembrana terletak pada titik koordinat

8013’21”-8024’27” LS dan 114036’11”-114041’19” BT. Kecamatan Jembrana

merupakan pemekaran dari Kecamatan Negara. Pada awalnya Kecamatan

Negara terdiri dari 22 desa/kelurahan. Sebagai upaya peningkatan pelayanan di

bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, maka dibentuklah

Kecamatan Jembrana. Pembentukan Kecamatan Jembrana dilakukan menurut

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 19 Tahun 2006 tentang

Pembentukan Kecamatan Jembrana. Berdasarkan Perda tersebut wilayah

Kecamatan Negara terdiri dari 12 desa/kelurahan dan wilayah Kecamatan

Jembrana terdiri dari 10 desa/kelurahan.

Kecamatan Jembrana secara administrasi terdiri atas 4 kelurahan dan 6

desa. Kelurahan yang berada dalam wilayah Kecamatan Jembrana yaitu

Kelurahan Pendem, Kelurahan Dauhwaru, Kelurahan Sangkaragung, dan

Kelurahan Loloan Timur. Desa yang termasuk wilayah Kecamatan Jembrana

antara lain Desa Batuagung, Desa Dangin Tukadaya, Desa Budeng, Desa

Perancak, Desa Airkuning, dan Desa Yehkuning. Berdasarkan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 19 Tahun 2006 batas-batas wilayah

Kecamatan Jembrana yaitu:

48
a. Sebelah utara : Kabupaten Buleleng

b. Sebelah timur : Kecamatan Mendoyo

c. Sebelah selatan : Samudera Indonesia

d. Sebelah barat : Kecamatan Negara

Batas-batas wilayah Kecamatan Jembrana dapat dilihat dalam Peta

Administrasi Kecamatan Jembrana pada Gambar 4.

49
5
50
Gambar 4.Peta Administrasi Kecamatan Jembrana
Wilayah Kecamatan Jembrana membujur dari utara ke selatan dengan

topografi yang bervariasi. Daerah bagian selatan sampai ke tengah merupakan

perpaduan lereng datar dan landai. Lereng datar (kemiringan 0-2%) seluas 9%

sedangkan lereng landai (kemiringan 2-15%) mencapai 45% dari luas wilayah

Kecamatan Jembrana. Daerah bagian tengah ke utara didominasi lereng

bergelombang, miring hingga terjal. Lereng bergelombang (kemiringan 15-25%)

seluas 20%, lereng miring (kemiringan 25-40%) seluas 19%, dan lereng terjal

(kemiringan >40%) seluas 7% dari keseluruhan wilayah Kecamatan Jembrana

(hasil pengolahan citra ASTER GDEM version 2). Titik terendah Kecamatan

Jembrana yaitu 1 mdpl yang tersebar di Desa Perancak, Desa Airkuning, Desa

Yehkuning, dan Kelurahan Loloan Timur. Sedangkan titik tertinggi mencapai 483

mdpl yang terletak di Desa Dangin Tukadaya (Kabupaten Jembrana dalam Angka

2016).

Desa dan kelurahan yang berada di Kecamatan Jembrana dapat

dikelompokkan berdasarkan letak, daerah, dan klasifikasinya. Apabila ditinjau

dari letaknya, suatu desa/kelurahan dibedakan menjadi wilayah pantai atau bukan

pantai. Jika dilihat dari daerahnya, dapat dibedakan menjadi wilayah perkotaan

atau pedesaaan. Penentuan suatu desa/kelurahan termasuk wilayah perkotaan atau

perdesaan didasarkan pada Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37

Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia. Kriteria-

kriteria yang digunakan yaitu: (1) kepadatan penduduk; (2) persentase rumah

tangga pertanian; (3) keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan meliputi; (a)

Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK); (b) Sekolah Menengah Pertama; (c) Sekolah

51
Menengah Umum; (d) pasar; (e) pertokoan; (f) bioskop; (g) rumah sakit; (h)

hotel/bilyar/diskotek/panti pijat/salon; (i) persentase rumah tangga yang

menggunakan telepon; dan (j) persentase rumah tangga yang menggunakan listrik.

Masing-masing kriteria tersebut diberikan nilai (skoring). Suatu wilayah

dikategorikan perkotaan apabila nilai total kategori-kategori tersebut 10 (sepuluh)

atau lebih, sedangkan dikategorikan perdesaan apabila nilai totalnya kurang dari

10 (sepuluh).

Klasifikasi desa/kelurahan swadaya, swakarya, atau swasembada

didasarkan pada pengelompokan yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Bina

Pemerintahan Desa Departemen Dalam Negeri. Pengelompokan dibuat menurut

beberapa aspek yaitu: (1) kemampuan dalam menyelenggarakan urusan

rumahtangga desa/kelurahan; (2) tingkat berfungsinya/kemajuan administrasi; (3)

tingkat berfungsinya Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa/Kelurahan

(LKMD/K) dalam mengorganisasikan pembangunan desa/kelurahan.

Desa/kelurahan swadaya adalah desa/kelurahan yang belum mampu

mandiri secara terpadu. Administrasi desa/kelurahan belum terselenggara dengan

baik. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) juga belum berfungsi

dengan baik dalam mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat

dalam pembangunan desa/kelurahan. Desa/kelurahan swakarya yaitu

desa/kelurahan yang mulai mampu mandiri untuk meyelenggarakan urusan

rumahtangga sendiri. Administrasi desa/kelurahan sudah terselenggara dengan

cukup baik dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) cukup berfungsi

dalam mengorganisasikan peran serta masyarakat dalam pembangunan.

52
Desa/kelurahan Swasembada adalah desa/kelurahan yang telah mampu

menyelenggarakan urusan rumahtangga sendiri, administrasi desa/kelurahan telah

terselenggara dengan baik dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)

telah berfungsi dalam mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta

masyarakat dalam pembangunan. Pengelompokkan desa/kelurahan berdasarkan

letak, daerah, dan klasifikasinya di Kecamatan Jembrana dapat dilihat pada Tabel

5.

Tabel 5. Jenis Desa/Kelurahan di Kecamatan Jembrana


Menurut Letak, Daerah, dan Klasifikasi
Letak Daerah Klasifikasi
No Desa/Kelurahan Pantai Bukan Swa- Swa- Swa-
Perkotaan Perdesaan
Pantai daya karya sembada
1 Perancak √ - - √ - - √
2 Airkuning √ - - √ - - √
3 Yehkuning √ - - √ - - √
4 Budeng - √ - √ - - √
5 Sangkaragung - √ - √ - - √
6 Dauhwaru - √ √ - - - √
7 Loloan Timur - √ √ - - - √
8 Pendem - √ √ - - - √
9 Batuagung - √ √ - - - √
10 Dangin Tukadaya - √ √ - - - √
Sumber: Kecamatan Jembrana dalam Angka 2016 (BPS Kabupaten Jembrana)
Berdasarkan Tabel 5. Kecamatan Jembrana memiliki 3 (tiga) desa yang

terletak di daerah pantai, sedangkan 7 desa/kelurahan yang terletak di daerah

bukan pantai. Ditinjau dari daerahnya Kecamatan Jembrana memiliki 5 (lima)

desa/kelurahan yang termasuk daerah perkotaan, sisanya merupakan daerah

perdesaan. Apabila diklasifikasikan seluruh desa/kelurahan di Kecamatan

Jembrana tergolong desa/kelurahan swasembada.

53
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Kecamatan Jembrana paling kecil jika dibandingkan

dengan wilayah kecamatan lain di Kabupaten Jembrana. Luas Kecamatan

Jembrana hanya 11,16 % dari luas Kabupaten Jembrana (Kabupaten Jembrana

dalam Angka 2016). Luas masing-masing desa/kelurahan di Kecamatan

Jembrana dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas Wilayah Administrasi Tiap Desa/Kelurahan


Kecamatan Jembrana
No Desa/Kelurahan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Dangin Tukadaya 639 6,4
2 Yehkuning 231 2,3
3 Airkuning 173 1,7
4 Batuagung 2781 28,0
5 Perancak 389 3,9
6 Loloan Timur 281 2,8
7 Budeng 348 3,5
8 Sangkaragung 466 4,7
9 Dauhwaru 1668 16,8
10 Pendem 2968 29,9
Jumlah 9944 100
Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten

Jembrana sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 6, Kelurahan Pendem

adalah wilayah yang terluas di Kecamatan Jembrana. Luasnya mencapai

29,8% luas Kecamatan Jembrana. Adapun desa yang paling kecil adalah Desa

Airkuning yang luasnya hanya 1,7% luas Kecamatan Jembrana.

54
3. Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Harsono (2008:23) memberikan pengertian mengenai penguasaan dan

pemilikan tanah yaitu:

“Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan


umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang, biarpun
memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada
kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah
yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasai secara
fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam
hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk
menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik
kepadanya.
Dalam hukum tanah nasional dikenal pula penguasaan yuridis yang tidak
memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara
fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan
yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap
ada pada yang empunya tanah.”

Penguasaan tanah dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) penguasaaan oleh

pemilik; (b) penguasaan oleh bukan pemilik secara legal; (c) penguasaan oleh

bukan pemilik secara ilegal. Umumnya penguasaan tanah bukan oleh pemilik di

Kecamatan Jembrana dilakukan dengan legal melalui perjanjian sewa maupun

perjanjian bagi hasil.

Pemilikan tanah di Kecamatan Jembrana dapat berupa sertipikat hak atas

tanah untuk tanah-tanah yang sudah didaftarakan, ataupun surat bukti

kepemilikan lain untuk tanah yang belum didaftarkan. Surat bukti tersebut dapat

berupa jual-beli di bawah tangan, surat pernyataan penguasaan fisik bidang

tanah (sporadik), surat keterangan waris, maupun pipil (bukti pembayaran pajak

yang dikeluarkan Ipeda). Pemilikan tanah yang sudah didaftarkan di Kantor

Pertanahan Kabupaten Jembrana dapat dilihat pada Tabel 7.

55
Tabel 7. Jumlah Hak Atas Tanah Yang Terdaftar Di Kecamatan Jembrana
Tahun 2017
Status Hak Atas Tanah
HM HGB HP Hak Wakaf
No. Desa/Kelurahan
Luas Luas Luas Luas
Bidang Bidang Bidang Bidang
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
1 Pendem 3587 572.1 708 9.0 15 5.6 1 0.0
2 Perancak 1241 255.2 1 0.0 5 2.4 0 0
3 Loloan Timur 2217 180.8 4 0.5 17 2.3 2 0.1
4 Batuagung 3096 1026.5 386 4.8 9 2.2 0 0
5 Dauhwaru 5478 553.4 919 13.7 45 15.2 2 0.2
6 Budeng 798 147.3 0 0 8 28.9 0 0
7 Airkuning 1153 126.1 1 0.0 3 0.4 5 0.2
8 Yehkuning 907 192.9 0 0 1 0.1 0 0
9 Sangkaragung 1892 325.4 0 0 2 0.1 0 0
10 Dangin Tukadaya 2324 400.1 11 1.4 7 3.8 0 0
Jumlah 22693 3779.9 2030 29.4 112 60.8 10 0.5
Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana Bulan Mei 2017

Berdasarkan Tabel 7. jumlah luas hak atas tanah yang telah terdaftar

sebesar 3.870, 6 Ha atau mencapai 38,9 % dari luaas total Kecamatan Jembrana.

Tanah yang belum terdaftar seluas 6.073,4 atau sebesar 61,1 %. Jenis hak yang

paling banyak terdaftar adalah Hak Milik. Jumlah Hak Milik yang terdaftar di

Kecamatan Jembrana mencapai 22.693 sertifikat. Pemerintah terus mendorong

peningkatan sertifikasi hak atas tanah melalui program percepatan legalisasi

aset. Program percepatan tersebut berupa pelaksanaan sertifikasi tanah nelayan,

sertifikasi UMKM, Prona, dan Larasita. Saat ini, percepatan pendaftaran tanah

dilaksanakan pula melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL).

PTSL diatur dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Agraria dan

56
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2017. Tujuan

PTSL adalah memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum

hak atas tanah rakyat secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan

ekonomi negara pada umumnya dan ekonomi rakyat pada khususnya.

4. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah Pasal 1 angka 3 menyatakan penggunaan tanah adalah

wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun

buatan manusia. Lebih lanjut pada angka 4 menyatakan pemanfaatan tanah

adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik

penggunaan tanahnya. Penggunaan dan pemanfaatan tanah wajib dilakukan

secara efektif dan efisien dengan memperhatikan daya dukung lingkungan,

keberlanjutan, serta kesesuaian dengan peraturan yang berlaku. Bentuk

penggunaan tanah di Kecamatan Jembrana dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8.Penggunaan Tanah di Kecamatan Jembrana di Rinci Per


Desa/Kelurahan Tahun 2015
Penggunaan Tanah (Ha)
No. Desa/Kelurahan Tegal/ Per- Pe-
Sawah Hutan Tambak Lainnya
Huma kebunan karangan
1 Perancak 50 89 103 - 94 - 17
2 Airkuning - 66 75 - 77 10 18
3 Yehkuning 40 126 109 - 56 - 66
4 Budeng 105 107 14 - 128 61 152
5 Sangkaragung 154 119 101 - 120 9 12
6 Dauhwaru 284 210 144 200 180 - 35
7 Loloan Timur 90 97 108 - 83 - 7
8 Pendem 71 421 329 750 362 - 23
9 Batuagung 41 183 332 1000 297 - 20
10 Dangin Tukadaya 108 188 584 754 167 - 25
Jumlah 943 1606 1899 2704 1564 80 375
Sumber: Kecamatan Jembrana dalam Angka 2016 (BPS Kabupaten Jembrana)

57
Berdasarkan Tabel 8. penggunaan tanah yang paling dominan adalah

Hutan Negara yang tersebar di Desa/Kelurahan Dauhwaru, Pendem, Batuagung,

dan Dangin Tukadaya, sedangkan penggunaan yang paling sedikit berupa

tambak yang tersebar di Desa/Kelurahan Airkuning, Budeng, dan

Sangkaragung. Usaha tambak yang dikembangkan di Desa Budeng dan

Kelurahan Sangkaragung adalah tambak air payau dengan komoditas perikanan

utama berupa udang dan kepiting bakau. Khusus untuk penggunaan pertanian

pangan, Pemerintah Kabupaten Jembrana mengeluarkan Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan. Perda ini bertujuan untuk menekan alih fungsi

tanah pertanian menjadi non pertanian sehingga diharapkan mampu

mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan di daerah dalam

rangka mendukung kebutuhan pangan nasional. Luas Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan di Kecamatan Jembrana kurang lebih 1.304,14 Ha.

B. Kondisi Sosial Wilayah

1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Jumlah penduduk merupakan potensi yang dimiliki oleh desa/kelurahan

dalam melaksanakan pembangunan. Jumlah penduduk Kecamatan Jembrana

tahun 2017 tercatat sebanyak 58.173 jiwa yang terdiri dari 28.871 laki-laki 29.302

perempuan dengan sex ratio mencapai 99%. Jumlah penduduk tiap desa/kelurahan

dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini:

58
Tabel 9.Jumlah Penduduk Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Jembrana
Laki-
No. Desa/Kelurahan laki Perempuan Jumlah Persentase
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (%)
1 Perancak 2088 2061 4149 7
2 Airkuning 2386 2508 4894 8
3 Yehkuning 1629 1661 3290 6
4 Sangkaragung 1690 1623 3313 6
5 Dangin Tukadaya 2508 2587 5095 9
6 Dauhwaru 4909 4902 9811 17
7 Batuagung 4160 4319 8479 15
8 Budeng 899 921 1820 3
9 Pendem 5095 5117 10212 18
10 Loloan Timur 3507 3603 7110 12
Jumlah 28871 29302 58173 100
Sumber: Kantor Kecamatan Jembrana Bulan April 2017

Berdasarkan Tabel 9, Kelurahan Pendem memiliki penduduk paling

banyak yaitu mencapai 10.212 jiwa atau 18% dari jumlah penduduk Kecamatan

Jembrana, sedangkan Desa Budeng memiliki penduduk paling sedikit. Penduduk

Desa Budeng berjumlah 1.820 jiwa atau hanya 3 % penduduk Kecamatan

Jembrana.

Kepadatan penduduk adalah rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah

suatu tempat. Kepadatan rata-rata di Kecamatan Jembrana mencapai 585

Jiwa/Km2. Kepadatan penduduk tiap desa/kelurahan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10.Kepadatan Penduduk di Kecamatan Jembrana Tahun 2017


Kepadatan
No. Desa/Kelurahan Jumlah Luas Penduduk
(Jiwa) Km2 (Jiwa/Km2)
1 Perancak 4149 3.89 1067
2 Airkuning 4894 1.73 2829
3 Yehkuning 3290 2.31 1424
4 Sangkaragung 3313 4.66 711
Bersambung ...

59
Tabel 10. (sambungan)
5 Dangin Tukadaya 5095 6.39 797
6 Dauhwaru 9811 16.68 588
7 Batuagung 8479 27.81 305
8 Budeng 1820 3.48 523
9 Pendem 10212 29.68 344
10 Loloan Timur 7110 2.81 2530
Jumlah 58173 99.44
Rata-rata 585
Sumber: Pengolahan Data Sekunder Kantor Kecamatan Jembrana,
Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana

Tabel 10. menunjukkan wilayah yang paling padat penduduknya adalah

Desa Airkuning dengan kepadatan penduduk 2.829 Jiwa/Km2, sedangkan wilayah

yang paling jarang penduduknya adalah Desa Batuagung dengan kepadatan hanya

305 Jiwa/Km2.

2. Mata Pencaharian

Sektor pertanian masih menjadi sektor yang diminati oleh penduduk

sebagai sumber mata pencaharian utama. Sektor pertanian menyerap total 10.727

orang pekerja yang terdiri dari 2.059 orang yang bekerja di bidang pertanian

tanaman pangan, 2.216 orang di bidang peternakan, 2.944 pada bidang perikanan,

dan sisanya sebanyak 3.508 orang di bidang perkebunan. Kuatnya sektor

pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan, tidak dapat dilepaskan dari

eksistensi organisasi pengairan (subak). Kecamatan Jembrana memiliki 16

organisasi pengairan yang tersebar di sembilan desa/kelurahan yang didukung

dengan sistem irigasi semi teknis yang mencakup luasan 902 Ha sawah

(Kecamatan Jembrana dalam Angka 2016). Hal ini sangat mendorong usaha

pertanian terutama tanaman pangan. Selain sektor pertanian, sektor perdagangan

60
juga diminati oleh penduduk. Hal ini ditandai dengan tingginya jumlah penduduk

yang bekerja di sektor ini mencapai 7.696 orang. Sumber mata pencaharian

penduduk di sektor lain dapat dilihat pada Tabel 11.

61
Tabel 11. Sumber Mata Pencaharian Utama Penduduk di Kecamatan Jembrana
Desa/ Pertanian Pertambangan Listrik Angkutan Perbankan/ Pemerintahan
No Kelurahan Tanaman Perdagangan Industri dan dan dan Lembaga dan Jasa
Peternakan PerikananPerkebunan
Pangan Penggalian Air Minum Komunikasi Keuangan
1 Perancak 106 30 1115 169 287 101 0 0 33 20 402
2 Airkuning 75 375 1261 106 198 276 0 0 20 27 80
3 Yehkuning 107 249 48 223 142 114 0 0 51 26 397
4 Budeng 217 47 195 6 36 53 0 0 9 28 197
5 Sangkaragung 254 42 0 113 75 367 0 0 39 48 478
6 Dauhwaru 533 141 27 676 899 718 3 22 254 169 1507
7 Loloan Timur 188 39 298 173 2826 230 0 6 40 65 377
8 Pendem 191 871 0 612 2806 175 0 18 62 103 1247
9 Batuagung 167 131 0 773 268 166 0 0 41 68 546
10 Dangin Tukadaya 221 291 0 657 159 184 0 0 66 64 553
2059 2216 2944 3508
Jumlah 10727 7696 2384 3 46 615 618 5784
Sumber: Kecamatan Jembrana dalam Angka 2016 (BPS Kabupaten Jembrana)

62
3. Kondisi Desa Adat

Wilayah Kecamatan Jembrana, sebagaimana wilayah di Bali pada

umumnya, memiliki dua jenis desa yaitu desa dinas dan desa adat/pakraman. Desa

dinas merupakan kesatuan wilayah administrasi terkecil dalam susunan wilayah

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepala desa dinas disebut

dengan Perbekel. Menurut Windia dalam Wesnawa (2015) desa adat/desa

pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan

kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling

mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali.

Parimartha (2013:150) menyatakan desa adat terkait dengan tradisi, nilai-

nilai budaya, dan agama yang dianut oleh penduduk. Sedangkan desa dinas

berhubungan dengan administrasi pemerintah, yaitu tempat berdomisili tercatat

sebagai warga bangsa. Berdasarkan pengertian tersebut warga yang beragama

Hindu secara kependudukan akan tercatat pada desa dinas sedangkan dalam

pelaksanaan adat dan agama akan diorganisir oleh desa adat. Sedangkan untuk

penduduk non-Hindu hanya tercatat dalam desa dinas saja, untuk pelaksanaan

ibadahnya disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing. Di wilayah

Kecamatan Jembrana telah dibangun tempat-tempat ibadah untuk mempermudah

penduduk dalam melaksanakan peribadatan sesuai dengan agama dan

kepercayaan masing-masing. Persebaran tempat-tempat ibadah di Kecamatan

Jembrana dapat dilihat pada Tabel 12.

63
Tabel 12. Persebaran Tempat-Tempat Ibadah Di Kecamatan Jembrana
Masjid/ Klentheng/
No. Desa Gereja Pura
Mushola Vihara
1 Perancak 0 0 6 0
2 Airkuning 13 0 0 0
3 Yehkuning 1 0 5 1
4 Budeng 0 0 6 0
5 Sangkaragung 0 0 6 0
6 Dauhwaru 3 1 6 0
7 Loloan Timur 12 0 6 0
8 Pendem 2 1 6 1
9 Batuagung 0 0 16 0
10 Dangin Tukadaya 1 0 7 0
Jumlah 32 2 64 2
Sumber: Kecamatan Jembrana Dalam Angka 2016

Desa adat yang berada di wilayah Kecamatan Jembrana disebut dengan

Desa Pakraman. Ditinjau dari pola hubungan antara desa dinas dengan Desa

Pakraman, satu desa dinas di Kecamatan Jembrana hanya terdiri dari satu Desa

Pakraman. Semua desa dinas di Kecamatan Jembrana memiliki Desa Pakraman

kecuali Desa Airkuning. Wilayah Desa Pakraman relatif luas sehingga dibagi lagi

menjadi unit yang lebih kecil yang disebut banjar adat. Wilayah banjar adat yang

luas dibagi lagi menjadi beberapa tempek. Struktur banjar adat dan tempek serupa

dengan struktur Desa Pakraman. Perbedaannya hanya pada sebutan ketuanya.

Ketua banjar adat disebut dengan Kelihat Adat sedangkan ketua tempek

dinamakan Kelihan Tempek. Struktur Desa Pakraman di Kecamatan Jembrana

adalah sebagai berikut:

64
Bendesa Adat
(Ketua)

Pangliman/Petajuh
(Wakil Ketua)

Penyarikan Petengen
(Sekretaris) (Bendahara)

Pemijilan/Sinoman
(Penyebar Informasi)

Gambar 5. Struktur Organisasi Desa Pakraman


Sumber: Hasil Wawancara tanggal 2 Mei 2017

Masa jabatan pengurus Desa Pakraman tergantung dari awig-awig yang

berlaku di Desa Pakraman tersebut antara 3 tahun atau 5 tahun. Pengurus Desa

Pakraman dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya karena beberapa

hal antara lain: (1) Meninggal dunia; (2) Mengundurkan diri; (3) Sedang

melaksanakan hukuman penjara; (4) Tidak lagi menjadi krama desa atau krama

banjar; (5) Putusan rapat Desa Pakraman/banjar adat karena telah melanggar

awig-awig atau perarem Desa Pakraman/banjar adat. Nama-nama Bendesa Adat

dan Kelihan Adat seluruh Kecamatan Jembrana dapat dilihat pada lampiran 2.

Koordinasi antar Desa Pakraman dilakukan melalui Majelis Desa

Pakraman. Majelis Desa Pakraman merupakan satu kesatuan sistem adat Bali

yang berjenjang. Di tingkat kecamatan disebut dengan Majelis Alit Desa

Pakraman (MADP), Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) pada tingkat

65
kabupaten, dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) di tingkat provinsi Bali.

Ketua MADP Kecamatan Jembrana diemban oleh I Nyoman Suara dan Ketua

MMDP Kabupaten Jembrana adalah I Nyoman Subagia.

Berdasarkan Pasal 16 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001

tentang Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman memiliki tugas dan wewenang

khusus. Tugas Majelis Desa Pakraman yaitu: (1) mengayomi adat istiadat; (2)

memberikan saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan,

kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah-masalah adat; (3)

melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-aturan yang

ditetapkan; (4) membantu penyuratan awig-awig; (5) melaksanakan penyuluhan

adat istiadat secara menyeluruh. Wewenang Majelis Desa Pakraman antara lain:

(1) memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah adat dan agama

untuk kepentingan desa pakraman; (2) sebagai penengah dalam kasus-kasus adat

yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa; (3) membantu penyelenggaraan

upacara keagamaan di kecamatan, di kabupaten, dan di propinsi.

Desa Pakraman di Kecamatan Jembrana selain sebagai Pengempon

(pengelola) Pura Tri Kahyangan di masing-masing wilayahnya juga sebagai

Pengempon Pura Dang Kahyangan. Pura Tri Kahyangan terdiri dari Pura Puseh,

Pura Desa, dan Pura Dalem. Pura Puseh dan Pura Desa berdiri dalam satu komplek

pura, sedangkan Pura Dalem tersendiri. Khusus untuk Pura Dalem Desa

Pakraman Dauhwaru dan Batuagung masih menjadi satu, tetapi Pura Desa dan

Pura Puseh-nya berbeda. Di Kecamatan Jembrana terdapat 2 (dua) Pura Dang

Kahyangan yaitu Pura Mertasari yang terletak di Kelurahan Loloan Timur dan

66
Pura Gede Perancak di Desa Perancak. Pengempon Pura Mertasari adalah Desa

Pakraman Loka Sari, Kertha Jaya, Batuagung, dan Dauhwaru. Pura Perancak

dikelola oleh 5 (lima) Desa Pekraman yaitu Desa Pakraman Sangkaragung,

Budeng, Dangin Tukadaya, Perancak, dan Yeh Kuning. Persebaran Pura Tri

Kahyangan dan Pura Dang Kahyangan dapat dilihat pada Gambar 6.

Pada Gambar 6. dapat dilihat Pura Tri Kahyangan yang merupakan unsur

pengikat desa pakraman terletak di wilayah desa pakraman bersangkutan.

Terkecuali Pura Dalem Desa Pakraman Batuagung yang masih menjadi satu

dengan Desa Pakraman Dauhwaru yang terletak di wilayah Desa Pakraman

Dauhwaru. Nantinya Desa Pakraman Batuagung berencana membangun Pura

Dalem tersendiri.

67
68
68

Gambar 6.Persebaran Pura Di Kecamatan Jembrana


BAB V
URGENSI PENETAPAN KAWASAN TEMPAT SUCI PURA

A. Penetapan Kawasan Tempat Suci Pura Tri Kahyangan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Pakraman Batuagung,

Budeng, dan Perancak, kriteria-kriteria kawasan suci Pura Tri Kahyangan pada

masing-masing Desa Pakraman berbeda-beda. Desa Pakraman Batuagung tidak

mengatur secara tertulis dalam awig-awig mengenai kawasan tempat suci Pura Tri

Kahyangan. Hasil wawancara dengan Bendesa Pakraman Batuagung menyatakan:

“Yening iraga jagi ngewangun pura, anggaplah kawasan suci nika utawi

karang panes punika 30 meter ke utara, 30 meter ke timur, 30 meter ke selatan, dan

30 meter ke barat. Apa sebab acuannya 30 meter? Karena kaitannya dengan Tri

Kahyangan yang jumlahnya tiga. Yen tiang yen dados ben, prade benjang medue jinah

sampunang membangun pemukiman ring karang panes sekadi pebesen anak lingsir

punika siapa tahu berdampak. Indik sanksi, sulit diterapkan yening kegugu durus,

yening nenten ten punapi. Nanging akeh sampun naenin indik kesakitan sawireh

membangun ring karang panes” (wawancara 4 Mei 2017).

Berdasarkan keyakinan jarak membangun yang diperbolehkan untuk

pemukiman adalah diluar kawasan yang jaraknya 30 meter dari tembok pura. Daerah

yang berada di dalam jarak 30 meter tersebut disebut karang panes, yaitu wilayah

yang memberi pengaruh kurang baik bagi penghuninya jika dipakai untuk

pemukiman. Kawasan tersebut hanya boleh didirikan bangunan untuk mendukung

pelaksanaan upacara keagamaan. Meskipun demikian aturan tersebut tidak tertulis

69
dalam awig-awig, sehingga apabila ada yang membangun di wilayah tersebut tidak

dikenai sanksi apapun.

Penggunaan tanah di sekitar Pura Puseh dan Pura Desa Desa Pakraman

Batuagung sangat bervariasi. Sebelah utara pura digunakan untuk puaregan (dapur)

yang berfungsi untuk membuat perlengkapan upacara dan penyediaan konsumsi pada

saat dilaksanakannya upacara di pura tersebut. Di sebelah utara puaregan adalah tanah

milik masyarakat, digunakan untuk menanam pohon jati dan rumah tinggal. Di sebelah

timur pura digunakan untuk tegalan. Pemukiman penduduk yang berada di timur pura

dinilai tidak mengganggu nilai kesucian pura karena telah ada saluran air sebagai

pemisah. Di sebelah selatan digunakan untuk pembangunan Pura Taman dan Wantilan

(gedung serba guna). Demikian pula di sebelah barat digunakan untuk pembangunan

Pura Beji. Penggunaan tanah disekitar kawasan tempat suci Pura Puseh dan Pura Desa

Desa Pakraman Batuagung dapat dilihat pada Gambar 7.

70
Pura Puseh dan Pura Desa
Desa Pakraman Batuagung

7d. Pohon Jati 7e. Puaregan


§
7c. Pura Beji

7b. Wantilan

Keterangan:
Batas Kawasan
Tempat Suci Pura
Tembok Batas Pura
Bangunan Pendukung
Kegiatan Di Pura
7a. Pura Taman

Gambar 7.Pura Puseh dan Pura Desa Desa Pakraman Batuagung


Sumber: Citra Satelit Quickbird Tahun 2007 dan Observasi Lapangan Bulan Mei
2017

Penggunaan tanah di sekitar Pura Dalem Desa Pakraman Batuagung juga

bervariasi. Sebagaimana diketahui Pura Dalem Desa Pakraman Batuagung masih

71
menjadi satu dengan Pura Dalem Desa Pakraman Dauhwaru. Sebelah utara pura

digunakan untuk tegalan. Sisi sebelah timur merupakan tanah milik pura yang

digunakan untuk kuburan (setra). Sisi selatan pura berbatasan dengan jalan.

Penggunaan tanah lainnya pada kawasan suci di sebelah selatan berupa tegalan yang

ditanami tanaman tahunan seperti cokelat, kelapa, dan sukun. Selain itu dimanfaatkan

untuk pemukiman. Sisi barat pura digunakan untuk puaregan. Di sebelah barat

puaregan digunakan untuk pemukiman penduduk. Secara umum penggunaan tanah di

sekitar Pura Dalem sesuai dengan nilai-nilai budaya tradisional. Pembangunan

pemukiman tidak ngeluanin pura (tidak berada di sebelah utara atau timur pura).

Pemukiman yang dibangun di sekitar Pura Dalem berada di sebelah barat dan selatan

pura, dimana dalam konsep tradisional Bali arah orientasi selatan dan barat digunakan

untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sakral. Pemanfaatan tanah di sekitar Pura

Dalem dapat dilihat pada Gambar 8.

72
§
Pura Dalem Desa Pakraman Dauhwaru dan Batuagung

8a. Pemukiman Penduduk 8b. Sisi Barat Pura

8c. Sisi Timur Pura

8d. Pohon Cokelat

Keterangan:

Batas Kawasan
Tempat Suci Pura
Tembok Batas Pura
Bangunan Pendukung
8f. Pemukiman Penduduk 8e. Pohon Sukun dan Kelapa Kegiatan Di Pura

Gambar 8. Pura Dalem Desa Pakraman Dauhwaru dan Batuagung


Sumber: Citra Satelit Quickbird Tahun 2007 dan Observasi Lapangan Bulan Mei
2017

73
Desa Pakraman Budeng juga tidak mengatur kawasan tempat suci Pura Tri

Kahyangan dalam awig-awig-nya. Menurut Bendesa Pakraman Budeng: “kebetulan

dalam awig-awig durung diatur mengenai sikut kawasan tempat suci. Nanging kondisi

ring Pura Tri Kahyangan mangkin sampun kekaryanang sekat pemisah sareng

pemukiman penduduk kirang langkung 1 meter. Ke depan kawasan suci jagi ketata

malih ring awig-awig dengan koordinasi sareng pemilik tanah berbatasan”

(wawancara 9 Mei 2017)

Aturan pembangunan untuk pemukiman di sekitar Pura Tri Kahyangan tidak

ketat. Hal tersebut disebabkan pula karena ada beberapa pemukiman penduduk yang

telah berdiri sebelum pembangunan Pura Tri Kahyangan. Pembangunan di sekitar

pura cukup diberikan jarak pemisah dengan tembok pura. Jaraknya pun tidak diatur

dalam awig-awig. Walaupun demikian, pembangunan pemukiman masih

memperhatikan nilai-nilai tradisional Bali. Hal ini dapat dilihat pada Pura Puseh dan

Pura Desa. Di sebelah utara komplek Pura Puseh dan Pura Desa terdapat gang yang

memisahkan pura dengan pemukiman penduduk, demikian pula disi sebelah timur

terdapat jalan aspal yang memisahkan pemukiman penduduk dengan pura. Di bagian

selatan terdapat pemukiman penduduk yang diberi semacam jarak kurang lebih 70 cm

untuk memisahkan tembok pura dengan pemukiman. Jarak pemisah ini berfungsi

untuk menjaga kesucian kawasan pura. Sebelah barat adalah sawah milik penduduk.

Adanya gang dan jalan merupakan bentuk solusi agar pemukiman penduduk yang

terletak di utara dan timur pura tidak menjadi karang panes. Lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 9.

74
§
Pura Puseh dan Pura Desa
Desa Pakraman Budeng

9a. Persawahan di Sisi Barat Pura 9b. Gang Menuju Sisi Utara Pura

Gang

9c. Jalan Aspal di Sisi Timur Pura

Keterangan:
Tembok Batas Pura
9d. Pemukiman di Sisi Selatan Pura

Gambar 9.Pura Puseh dan Pura Desa Desa Pakraman Budeng


Sumber: Citra Satelit Quickbird Tahun 2007 dan Observasi Lapangan
Bulan Mei 2017

75
Pura Dalem Desa Pakraman Budeng terletak di sebelah selatan Kantor Kepala

Dusun Banjar Dinas Delod Pangkung. Antara Kantor Kepala Dusun dan Pura Dalem

diberikan jarak pemisah kurang lebih 50 cm. Jarak ini dianggap cukup memadai untuk

menjaga nilai kesucian Pura, namun ke depan Bendesa Pakraman Budeng berencana

untuk mengevaluasi kembali hal tersebut pada saat revisi awig-awig Desa Pakraman

Budeng. Batas sebelah timur Pura Dalem yaitu tanah milik Pura Dalem. Batas selatan

adalah setra (kuburan). Batas Barat adalah jalan, barulah di sebelah barat jalan,

pemukiman penduduk. Kondisi di sekitar pura dapat dilihat pada Gambar 10.

§
Pura Dalem
Desa Pakraman Budeng

10b. Batas Sisi


Utara Pura
10a. Kantor Kelian Dusun

10c. Batas Sisi Barat Pura


Keterangan:
Tembok Batas Pura
Gambar 10.Pura Dalem Desa Pakraman Budeng
Sumber: Citra Satelit Quickbird Tahun 2007 dan Observasi Lapangan Bulan
Mei 2017

76
Berbeda dengan dua desa pakraman sebelumnya, Desa Pakraman Perancak

mengatur kawasan tempat suci dalam pesuara/perarem. Pesuara tersebut diterbitkan

melalui Keputusan Bendesa Pakraman Perancak Nomor 1/II/2016 tentang

Pesuara/Perarem. Pesuara ini sudah mengakomodir pengaturan kawasan tempat suci

pura. Hal ini sebagai bentuk perlindungan terhadap desa pakraman karena

pembangunan kawasan pariwisata yang cukup pesat di wilayah Desa Pakraman

Perancak. Dalam Bagian III tentang Sukerta Tata Palemahan Pasal 8 disebutkan

sebagai berikut:

1. Ring wewidangan/palemahan Desa Pakraman Perancak nenten kapatutang para


investor utawi pengusaha makarya wangunan matingkat ten dados kirang ring
doh 25 meter saking genah pura.
ha. Wangunan ten matingkat ten dados kirang ring doh 5 meter ring tembok pura.
2. Krama Desa sane mapikayun, jaga ngewangun sapakibeh parahyangan/pura
prasida kadadosan ring wates kanista 5 (limang) meter saking tembok utawi wates
pura kemawon wewangunan punika mangda nenten matingkadan (matingkat.)

Hal di atas dimaknai bahwa:

1. Para investor atau pengusaha tidak diperbolehkan membuat bangunan bertingkat


dengan jarak kurang dari 25 meter dari pura yang berada di wilayah Desa
pakraman Perancak (untuk bangunan tidak bertingkat diperbolehkan, dengan
jarak tidak boleh kurang dari 5 meter dihitung dari tembok pura).
2. Krama Desa yang ingin membangun pura (pura keluarga) diperbolehkan, asalkan
jarak dengan pura (pura umum) minimal 5 meter serta tidak boleh bertingkat.

Pengaturan lebih lanjut mengenai pembuatan bangunan dapat dilihat pada

Pasal 16. Pasal 16 mengatur mengenai pembuatan rumah untuk disewakan, yang

berbunyi sebagai berikut:

Asing-asing krama desa lan krama banjar makamiwah krama dura desa sane
jaga ngwangun paumahan: kaanggen umah pamondokan, umah kos-kosan, utawi
umah kontrakan (pasewaan) patut ngwentenang pisadok saha raris kauningin olih
prajuru desa/prajuru banjar tur polih panugrahan/kalugra saking desa pakraman.

Hal di atas dimaknai bahwa:

77
Masing-masing krama desa, krama banjar dan krama di luar desa yang akan
membuat perumahan berupa pondok wisata, tempat kos, dan rumah kontrakan harus
diketahui oleh prajuru desa/prajuru banjar dan harus mendapat persetujuan atau ijin
dari desa pakraman.

Terkait dengan Pasal 16, pemilik rumah juga wajib memeriksa orang yang

menyewa, agar tidak melanggar awig-awig. Kewajiban tersebut dituangkan dalam

Pasal 17 yang berbunyi:

Sang sane madruwe paumahan manut kadi kasurat ring pawos 16 patut
ngwentenang panureksa majeng ring sang sane jenek irika mangda nenten ngwetuang
pamiwal ring awig-awig desa sekadi:
1. Maparilaksana ngulurin Panca Ma.
2. Maparilaksana sane ngaletehin kesucian Desa Pakraman Perancak.

Hal di atas dimaknai bahwa:

Pemilik kos-kosan, rumah kontrakan maupun pondok wisata wajib memeriksa


orang yang menyewa kontrakannya agar tidak melakukan kegiatan yang melanggar
awig-awig misalnya:
1. Melakukan Panca Ma (Madat, Mabuk, Main Judi, Madon, Maling).
2. Melakukan kegiatan yang dapat mencemari kesucian Desa Pakraman Perancak.

Apabila melanggar akan dikenakan sanksi. Sanksi yang dikenakan apabila

melanggar Pasal 17 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 berikut ini:

Prade wenten sang sane jenek ring paumahan manut kadi kasurat ring pawos
17, katangehan tur mabukti miwalin daging awig-awig, desa pakraman jaga
niwakang pidanda sekadi ring sor:
1. Nyuciang desa pakraman manut perarem.
2. Kausir saking desa pakraman.
3. Ijin paumahane punika kabancut.

Hal di atas dimaknai bahwa:

Apabila ada seseorang yang tinggal dalam perumahan sebagaimana


disebutkan dalam Pasal 17, dituduh dan terbukti melanggar isi awig-awig, maka akan
dikenakan sanksi sebagai berikut:
1. Menyucikan desa pakraman dengan upacara tertentu sesuai dengan perarem.
2. Diusir dari Desa Pakraman Perancak.
3. Ijin Perumahannya dicabut.

78
Selain mengatur jenis bangunan yang boleh dibangun dan jarak bangunan di

sekitar tempat suci, perarem juga mengatur mengenai jenis tanaman dan jarak tanaman

yang diperbolehkan di sekitar tempat suci. Hal tersebut diatur dalam Bagian III tentang

Sukerta Tata Palemahan Pasal 11 yang menyatakan:

Pepayonan tanem tuwuh sane mrasidayang ageng, tegeh tur ngrembun ka


samping saking wates pagehan sumangdane mawates 3 meter, antuk tetengernyane
sekadi ring sor:
1. Pepayonan tanem tuwuh sane mategeh 5 (limang) meter saha kawentenannyane
nampek ring paumahan, merajan, prayangan/pura utawi wewangunan sane
tiosan sane kadruwe olih penyanding mangda nenten ngarubuhin, papayonan
tanem tuwuh punika patut kapunggel, karenteb, utawi kebah.
2. Pepayonan tanem tuwuh sekadi ring ajeng manut aksara ha, yening carangnyane
nglintang wates utawi tembok penyengker tur ngalangin saha mayanin
kawentenan wewangunan utawi abian para panyanding, sane nruwenang patut
ngenteb pepayonan punika
3. Maka pidanda yening nenten nginutin manut sekadi pidabdab ring ajeng (aksara
ha lan na) pantarania inggih punika:
Ha. Kawehin tuntunan manut pidabdab, akehnyane ping 3 (tiga);
Na. Kawendeyang (katunda) ri sejeroning molihang paladenan adat lan dines;
Ca. Yening pepayonan punika antos ngrubuhin wewangunan panyanding, sang
sane nruwenang pepayonan punika patut nawur kerugian ring sang sane keni
karubuhan akehnyane manut sekadi karugian punika”.

Hal di atas dimaknai bahwa:

Tanaman tahunan yang bisa tumbuh tinggi dan cabangnya rimbun ke samping
harus ditanam paling tidak 3 meter dari batas pemilikan, pengaturan lebih lanjut
sebagai berikut:
1. Tanaman tahunan yang tingginya mencapai 5 meter yang tumbuh di sekitar
permukiman, pura keluarga, pura Tri Kahyangan atau bangunan lainnya yang
dimiliki oleh penyanding, wajib dipotong, dipangkas, atau ditebang agar tidak
membahayakan lingkungan sekitarnya.
2. Tanaman tahunan sebagaimana disebutkan diatas pada poin 1, apabila cabangnya
melewati pagar batas pemilikan atau tembok pembatas dan
menghambat/menghalangi sehingga membahayakan bangunan atau tanaman
milik penyanding, tanaman tahunan tersebut wajib dipotong atau dipangkas oleh
pemilik.
3. Dikenakan sanksi jika tidak mematuhi aturan tersebut di atas (angka 1 dan 2)
antara lain:
a. Diberikan peringatan lisan sebanyak 3 kali;
b. Penundaan mendapat pelayanan di desa pakraman maupun desa dinas

79
c. Membayar ganti rugi apabila tanaman tersebut roboh dan menimpa bangunan
penyanding. Pemilik yang mempunyai tanaman yang roboh tersebut harus
membayar ganti rugi kepada pemilik bangunan yang besarnya sesuai dengan
besarnya kerugian yang diderita oleh pemilik bangunan akibat robohnya
tanaman tersebut.

Berdasarkan perarem tersebut pemanfaatan tanah di sekitar Pura Puseh, Pura

Desa, dan Pura Dalem Desa Pakraman Perancak dapat digambarkan sesuai dengan

Gambar11. dan Gambar 12.

80
Pura Puseh dan Pura Desa

§
Desa Pakraman Perancak

11c. Batas Utara Pura

11b. Batas Barat Pura

Keterangan:
Jarak 0-3 m dari Tembok Batas Pura

Jarak 3-5 m dari Tembok Batas Pura

Jarak 5-25 m dari Tembok Batas Pura

Tembok Batas Pura

11a. Batas Selatan Pura

Gambar 11.Pura Puseh dan Pura Desa Desa Pakraman Perancak


Sumber: Citra Satelit Quickbird Tahun 2007 dan Perarem Desa Pakraman Perancak

81
§
Pura Dalem
Desa Pakraman Perancak

12d. Penggunaan Tegalan

12c. Wantilan

12b. Batas Barat Pura


Keterangan:
Jarak 0-3 m dari Tembok Batas Pura
Jarak 3-5 m dari Tembok Batas Pura

Jarak 5-25 m dari Tembok Batas Pura

Tembok Batas Pura 12a. Tegalan di Selatan Pura

Gambar 12.Pura Dalem Desa Pakraman Perancak


Sumber: Citra Satelit Quickbird Tahun 2007 dan Perarem Desa Pakraman Perancak

Zona yang berwarna hijau pada Gambar 11. dan Gambar 12. diatas memiliki

jarak 0-3 meter dari tembok penyengker (batas) pura, penggunaan tanah yang

diperbolehkan yaitu penanaman tanaman semusim saja. Zona yang berwarna kuning

82
memiliki jarak 3-5 meter dari tembok penyengker, penggunaan tanah untuk tanaman

semusim dan tanaman tahunan yang tingginya mencapai 5 meter. Zona yang berwarna

merah berjarak 5-25 meter dari tembok penyengker, penggunaannya tanaman

semusim, tanaman tahunan, pura dan bangunan yang tidak bertingkat. Wilayah yang

berada di luar zona merah penggunaannya lebih luwes termasuk untuk bangunan

bertingkat.

Kawasan tempat suci Pura Tri Kahyangan tidak diatur tersendiri dalam

rencana tata ruang, sebagaimana kawasan tempat suci Pura Dang Kahyangan, tetapi

akan diatur dalam RDTR kecamatan. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang

Penataan Ruang Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan

Kawasan Pemukiman Kabupaten Jembrana menyatakan:

“Secara khusus Pura Tri Kahyangan tidak diatur tersendiri dalam rencana tata
ruang, biasanya dimasukkan ke dalam RDTR kota atau RDTR Kecamatan yang
digunakan sebagai RTH. Luasan kawasan tempat suci Pura Tri Kahyangan kecil,
sehingga tidak nampak pada rencana rinci yang memiliki skala 1:5000. Disamping itu
Kahyangan Tiga hanya memiliki pengempon dan penyungsung yang tinggal pada desa
bersangkutan berbeda dengan Dang Kahyangan yang penyungsung-nya berasal dari
luar kabupaten sehingga perlu disiapkan bangunan dan sarana untuk mengakomodasi
penyungsung tersebut” (wawancara 10 Mei 2017).

Meskipun demikian penetapan kawasan tempat suci Pura Tri Kahyangan tetap

penting untuk dilakukan. Pentingnya penetapan kawasan tempat suci Pura Tri

Kahyangan oleh desa pakraman dapat ditinjau dari aspek:

1. Aspek Politik

Aspek politik sangat terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh desa

pakraman. Perwujudan kekuasaan dalam otonomi desa adat menurut Griadhi

(1985) dalam Surpa (2012):

83
a) Pemuka Desa; merupakan orang yang dituakan sehingga memiliki wibawa

dalam masyarakat.

b) Sangkepan (rapat) desa: ini merupakan forum perwujudan demokrasi

dalam desa. Dalam forum ini dibahas masalah-masalah tertentu yang

dihadapi oleh desa secara musyawarah.

c) Awig-awig desa: awig-awig ini juga merupakan suatu perwujudan dari

otonomi desa yang merupakan faktor pendukung utama dari kedudukan

desa adat sebagai persekutuan hukum, yaitu yang membentuk aturan

hukumnya sendiri dan tunduk pada aturan hukum yang dibuatnya itu.

Kekuasaan dalam desa pakraman tersebut yang antara lain berwujud

proses pembuatan keputusan penetapan kawasan tempat suci yang berfungsi

sebagai:

a) Bahan penyusunan materi teknis dalam Pembuatan RDTR Kecamatan

yang di dalamnya memuat kawasan tempat suci pura Tri Kahyangan. Hal

ini sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam penataan ruang. Pastisipasi

masyarakat dalam penataan ruang diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat

Dalam Penataan Ruang. Berdasarkan Pasal 12 Ayat (1) huruf a

menyatakan:

“Tata cara peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang dilaksanakan

dengan menyampaikan masukan mengenai arah pengembangan, potensi

dan masalah, rumusan konsepsi/rancangan rencana tata ruang melalui

media komunikasi dan/atau forum pertemuan”

84
Kawasan tempat suci yang sudah ditetapkan akan membantu pengumpulan

data untuk penyusunan materi teknis dan menjamin terselenggaranya

konsultasi publik yang cepat dan lancar.

b) Bahan pertimbangan pemberian izin pemanfaatan tanah. Pemberian izin

pemanfaatan tanah di sekitar kawasan tempat suci memperhatikan

masukan dari Bendesa Desa Pakraman/ Pengempon. Apabila kawasan

suci telah ditetapkan sebelumnya, maka penerbitan izin pemanfaatan tanah

cukup mengacu pada penetapan tersebut, sehingga tidak perlu menunggu

hasil rapat desa pakraman/pengempon. Dengan demikian akan

mempercepat proses penerbitan izin pemanfaatan tanah.

c) Perlindungan dan batasan pemanfaatan tanah pada kawasan tempat suci

terutama pada wilayah yang belum terbangun. Sebagai contoh dalam Peta

RTRW, kawasan di sekitar Pura Dalem Perancak adalah kawasan

Pariwisata. Setelah ditumpangsusunkan dengan Peta Kawasan Tempat

Suci maka kawasan pariwisata akan di-enclave oleh kawasan tempat suci

seperti yang ditampilkan pada gambar dibawah ini (warna ungu adalah

kawasan pariwisata pada Peta RTRW). Hasil tumpang susun tersebut juga

memberikan batasan-batasan penggunaan akomodasi pariwisata

disesuaikan dengan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam kawasan

tempat suci sebagaimana ditampilkan Gambar 13.

85
§
Tumpangsusun RTRW dengan Kawasan Suci
Pura Dalem Desa Pakraman Perancak

Keterangan:
Jarak 0-3 m dari Tembok Batas Pura
Jarak 3-5 m dari Tembok Batas Pura
Jarak 5-25 m dari Tembok Batas Pura
Kawasan Pariwisata
Tembok Batas Pura

Gambar 13.Tumpangsusun Peta RTRW dengan Peta Kawasan Tempat Suci Pura Dalem
Desa Pakraman Perancak
Sumber: Pengolahan Data Sekunder

2. Aspek Sosial Budaya

Pada dasarnya desa pakraman mempertahankan nilai-nilai konsep

tradisional seperti konsep sanga mandala, namun dalam pelaksanaanya lebih

fleksibel disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Sebagai contoh

adanya gang, jalan atau jarak tertentu yang digunakan sebagai pemisah antara

pemukiman dengan pura. Hal ini mencegah pemukiman tersebut ngeluanin

pura.

86
Selain unsur fisik, kesucian pura juga harus diatur dari segi non-fisik

sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir tentang

Tata Cara Masuk Pura meliputi:

a) Dilarang masuk Pura bagi orang-orang yang:

f) Wanita dalam keadaan datang bulan, habis melahirkan dan habis

abortus.

g) Dalam keadaan sedang tertimpa halangan kematian (sebel).

h) Tidak mentaati Tata Krama Masuk Pura.

i) Menderita noda-noda lain yang karena sifatnya dapat dianggap

menodai kesucian Pura.

j) Menodai kesucian Pura (berpakaian tidak sopan, berhajat besar/kecil,

bercumbu, berkelahi, mencorat-coret bangunan/Pelinggih).

b) Hanya orang yang terkait langsung dalam suatu

upacara/persembahyangan/piodalan dan atau kegiatan pengayoman Pura

bersangkutan, diperkenankan masuk Pura sesuai dengan kedudukan dan

fungsinya masing-masing, dengan tetap mengindahkan ketentuan-

ketentuan larangan.

c) Orang yang tidak berhubungan langsung dalam kegiatan pura tersebut,

dilarang masuk Pura.

Adapun beberapa kategori Cuntaka (suatu keadaan tidak suci menurut

pandangan Agama Hindu) sehingga seseorang dilarang untuk memasuki pura

antara lain:

a) Cuntaka karena kematian

87
b) Cuntaka karena haid.

c) Cuntaka karena wanita bersalin.

d) Cuntaka karena wanita keguguran kandungan.

e) Cuntaka karena sakit (sakit kelainan).

f) Cuntaka karena perkawinan.

g) Cuntaka karena gamia gamana (kawin dengan orang tua kandung

termasuk kawin dengan saudara kandung).

h) Cuntaka karena salah timpal (bersetubuh dengan binatang).

i) Cuntaka karena wanita hamil tanpa biakaon (upacara).

j) Cuntaka karena mitra ngalang (perkawinan tanpa upacara yang sah)

k) Cuntaka karena orang lahir dari kehamilan tanpa upacara.

l) Orang yang melakukan Sad Tatayi (enam perbuatan jahat yang tidak boleh

dilakukan).

3. Aspek Ekonomi

Penetapan kawasan tempat suci Pura Tri Kahyangan berfungsi sebagai

instrumen untuk melindungi tempat suci dari kegiatan ekonomi komersil yang

mengabaikan prinsip dasar pembangunan berbudaya. Pembangunan ekonomi

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun jika aspek

sosial-budaya diabaikan akan menimbulkan penolakan dari masyarakat.

B. Penetapan Kawasan Tempat Suci Pura Dang Kahyangan

Bhisama mengatur kawasan tempat suci Pura Dang Kahyangan dengan radius

Apeneleng Alit (minimal 2 km dari pura). Wilayah di dalam radius tersebut dinamakan

88
daerah kekeran. Pada daerah kekeran hanya diperbolehkan membuat bangunan yang

terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu (sebagai contoh dharmasala, pasraman,

dan sebagainya) dan bangunan yang memberi kemudahan umat Hindu untuk

melakukan kegiatan keagamaan (misalnya tirta yatra, dharma wacana, dharma githa,

dharma sedana dan lain-lain). Pengaturan tersebut masih bersifat umum yang

mengarahkan pemanfaatan ruang sebatas untuk pembangunan fasilitas keagamaan dan

ruang terbuka baik berupa ruang terbuka hijau ataupun budidaya pertanian.

Apabila seluruh luas daerah kekeran yang mencakup 10 Pura Sad Kahyangan

dan 252 Pura Dang Kahyangan dijumlahkan maka akan meliputi lebih dari 35% dari

luas Pulau Bali. Oleh sebab itu diperlukan pengaturan lebih fleksibel mengenai

pemanfaatan ruang di daerah kekeran, karena untuk perkembangan pembangunan

akan dibutuhkan ruang untuk kawasan budidaya. Berdasarkan hal tersebut maka Perda

No 16 tahun 2009 Pasal 108 ayat (2) dan Perda No 11 Tahun 2012 Pasal 74 huruf c

mengatur arahan peraturan zonasi radius kawasan tempat dengan penerapan tiga

zonasi di daerah kekeran yaitu:

a. Zona inti adalah zona utama karang kekeran sesuai dengan konsep maha wana

yang diperuntukkan sebagai hutan lindung, ruang terbuka hijau, kawasan pertanian

dan bangunan penunjang kegiatan keagamaan;

b. Zona penyangga adalah zona madya karang kekeran yang sesuai konsep tapa wana

diperuntukkan sebagai kawasan hutan, ruang terbuka hijau, kawasan budidaya

pertanian, fasilitas darmasala, pasraman, dan bangunan fasilitas umum penunjang

kegiatan keagamaan;

89
c. Zona pemanfaatan adalah zona nista karang kekeran yang sesuai konsep sri wana

diperuntukkan sebagai kawasan budidaya pertanian, bangunan permukiman bagi

pengempon, penyungsung dan penyiwi pura, bangunan fasilitas umum penunjang

kehidupan sehari-hari masyarakat setempat serta melarang semua jenis kegiatan

usaha dan/atau kegiatan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan

nilai-nilai kesucian tempat suci;

Arahan tersebut diatur lebih rinci dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor

8 Tahun 2015 Tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Pada Pasal 42 huruf

e mengelompokkan karakteristik kawasan tempat suci Pura Kahyangan Jagat yaitu:

(1) kawasan tempat suci yang berada pada kawasan yang dominan belum terbangun

atau belum berkembang, disebut kawasan tempat suci tipe I; (2) kawasan tempat suci

yang berada pada kawasan semi terbangun atau sedang berkembang, disebut

kawasan tempat suci tipe II; dan (3) kawasan tempat suci yang berada pada

kawasan telah terbangun, sudah berkembang atau berada ditengah kawasan

permukiman, selanjutnya disebut kawasan tempat suci tipe III. Setiap tipe kawasan

suci memiliki proporsi luas zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan yang

berbeda-beda sesuai dengan tipe kawasan tempat suci tersebut.

Kecamatan Jembrana memiliki 2 (dua) Pura Dang Kahyangan, yaitu Pura

Mertasari yang terletak di Kelurahan Loloan Timur dan Pura Gede Perancak yang

terdapat di Desa Perancak. Penelitian ini hanya difokuskan pada Pura Mertasari.

Pengempon (pengelola) Pura Mertasari terdiri dari 4 (empat) Desa Pakraman yaitu

Desa Pakraman Loka Sari, Kertha Jaya, Batuagung, dan Dauhwaru. Piodalan

(upacara keagamaan yang dilakukan setiap enam bulan sekali) di Pura Mertasari jatuh

90
pada Hari Selasa Wuku Prangbakat (Anggarakasih Prangbakat). Setiap desa

pakraman tersebut akan bergiliran menyelenggarakan Piodalan tersebut. Adapun

struktur pengurus Pura Mertasari sebagai berikut:

Samania Pengempon Pura Gede Dang


Kahyangan Mertasari
(Ketua)
IDA BAGUS MAYUN

Sekretaris Bendahara
I NENGAH PARNAWA I WAYAN SUARTAMA

Koordinator Koordinator Koordinator


Baga Parhyangan Baga Pawongan Baga Palemahan

Kasinoman

Gambar 14.Struktur Pengurus Pura Mertasari


Sumber: Hasil Wawancara Bulan Mei 2017

Pura Mertasari ditinjau dari karakteristiknya termasuk kawasan tempat suci

tipe III. Ketentuan pemanfaatan tanah di kawasan tempat suci tipe III dapat dilihat

pada Tabel 13. di bawah ini.

Tabel 13. Ketentuan Pemanfaatan Tanah Di Kawasan Tempat Suci Pura


Dang Kahyangan tipe III
Diperbolehkan Tidak
No. Jenis Zona Diperbolehkan
Dengan Syarat Diperbolehkan
1 Zona Inti hutan rakyat, kawasan wisata spiritual dan fasilitas
pertanian, ruang terbuka wisata budaya, hiburan malam,
hijau, kegiatan pementasan kesenian, kegiatan yang
keagamaan, bangunan parkir pemedek dan tidak
penunjang kegiatan wisatawan, fasilitas memenuhi
keagamaan, rumah makan dan minum, dan ketentuan
Bersambung ...
91
Tabel 13. (sambungan)
jabatan pemangku atau fasilitas sanitasi kegiatan dan
penjaga pura setempat yang tidak pemanfaatan
bersangkutan, cagar menurunkan nilai-nilai ruang yang
budaya yang telah ada, kesucian pura diperbolehkan
serta permukiman dan yang
masyarakat diperbolehkan
Pengempon/pengemong dengan syarat
pura yang telah ada; atau kegiatan di
luar huruf a dan
huruf b yang
berpotensi
dapat
menurunkan
nilai kesucian
kawasan.

2 Zona hutan rakyat, kawasan wisata budaya dan


Penyangga pertanian, ruang terbuka wisata alam,
hijau, fasilitas pementasan kesenian,
dharmasala, pasraman, parkir pemedek dan
bangunan fasilitas wisatawan, fasilitas
umum penunjang sanitasi setempat,
kegiatan keagamaan, permukiman, usaha-
permukiman usaha kerajinan dan
Pengempon/pangemong industri rumah tangga
pura dan penduduk yang tidak
setempat di luar menimbulkan
kawasan lindung, pencemaran
pementasan kesenian, lingkungan, usaha
dan fasilitas penunjang penyediaan
kegiatan sosial ekonomi akomodasi, fasilitas
masyarakat setempat penunjang kegiatan
skala lingkungan. sosial ekonomi skala
kawasan

3 Zona hutan rakyat, kawasan permukiman, industri


Pemanfaatan pertanian, ruang terbuka kerajinan dan rumah
hijau, permukiman tangga yang tidak
Pengempon/pangemong menimbulkan
, penyungsung, penyiwi pencemaran
pura, penduduk lingkungan, usaha
setempat dan penduduk penyediaan
pendatang di luar akomodasi, bangunan
kawasan lindung, fasilitas penunjang
fasilitas penunjang kegiatan sosial
kegiatan sosial ekonomi
Bersambung ...
92
Tabel 13. (sambungan)
masyarakat skala ekonomi pelayanan
kawasan. skala kawasan.

Sumber: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015

Proporsi luasan zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan kawasan

tempat suci Pura Dang Kahyangan Tipe III menurut Perda Nomor 8 Tahun 2015 yaitu

10% untuk zona inti, 20% zona penyangga, dan 70% zona pemanfaatan. Luas kawasan

suci Pura Dang Kahyangan dengan radius 2 km adalah 12,56 km2. Menurut ketentuan

tersebut maka luas zona inti 1,256 km2, zona penyangga 2,512 km2, zona pemanfaatan

8,792 km2. Berdasarkan luasan itu didapat zona inti memiliki jarak 0-0,63 km, zona

penyangga 0,63-1,1 km, dan zona pemanfaatan 1,1-2 km. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 15. di bawah ini.

93
Zonasi Pura Mertasari

Keterangan

Batas Zona Inti Batas Zona Penyangga Batas Zona Pemanfaatan

Gambar 15. Zonasi Kawasan Tempat Suci Pura Dang Kahyangan Tipe III
Sumber: Perda Nomor 8 Tahun 2015

Kondisi terkini pemanfaatan tanah pada kawasan tempat suci Pura Mertasari

berdasarkan Gambar 15. pada zona inti yaitu: kawasan ekonomi skala perkotaan,

ruang terbuka hijau, kawasan tempat ibadah, kawasan pendidikan dasar, kantor

pemerintahan, pertanian lahan basah, bangunan penunjang kegiatan keagamaan,

94
pemukiman penyungsung maupun pemukiman non penyungsung. Zona penyangga:

kawasan pertanian lahan basah, kawasan tambak, kantor pemerintahan, pemukiman

penyungsung dan non penyungsung kepadatan sedang hingga tinggi, kawasan

ekonomi skala perkotaan, kawasan tempat ibadah, dan kawasan pendidikan dasar.

Zona pemanfaatan: kawasan pertanian basah, kawasan tambak, kantor pemerintahan,

pemukiman penyungsung dan non penyungsung kepadatan sedang hingga tinggi,

kawasan ekonomi skala perkotaan, kawasan tempat ibadah, dan kawasan pendidikan

dasar.

Menurut Laporan Penyusunan Rencana Teknis Ruang Kawasan Tempat Suci

Pura Dang Kahyangan (2015), di sekitar kawasan Pura Mertasari mengalami Ribbon

development yaitu arah pembangunan yang merembet di sekitar jalan-jalan utama

yang menuju ke luar wilayah Kabupaten Jembrana, jalan-jalan utama antar pusat

Bagian Wilayah Kecamatan (BWK), jalan-jalan utama menuju pusat kegiatan wisata,

jalan utama ke sebuah kawasan perumahan. Hal ini juga terjadi pada jalan-jalan

kolektor kota yang ditingkatkan kualitasnya atau jalan-jalan yang baru

dibangun/dikembangkan. Kawasan yang strategis tersebut menyebabkan

meningkatnya harga lahan sehingga mendorong petani untuk menjual atau

mengalihkan kegiatannya dari pertanian menjadi pendukung kegiatan perkotaan.

Kondisi tersebut menyebabkan pemanfaatan tanah tidak sesuai lagi dengan ketentuan

pemanfaatan tanah pada kawasan tempat suci tipe III menurut Perda Nomor 8 Tahun

2015. Sebagai contoh pada zona inti terdapat kawasan ekonomi skala perkotaan dan

pemukiman non penyungsung yang seharusnya tidak boleh berada pada zona inti.

95
Berdasarkan kondisi tersebut, setelah berkoordinasi dengan pengempon pura,

PHDI, MMDP, dan pihak terkait maka Pemerintah Kabupaten Jembrana menyusun

Materi Teknis Rencana Teknis Ruang Kawasan Tempat Suci Pura Mertasari

menyesuaikan dengan kondisi terkini di lapangan. Adapun zona inti, zona penyangga,

dan zona pemanfaatan memiliki luasan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan

ketentuan Perda Nomor 8 Tahun 2015. Batas zona tersebut dibuat dengan

pertimbangan pengempon Pura Mertasari, PHDI, MMDP, dan pihak terkait lainnya.

Pada zonasi yang baru ini, terlihat pada zona inti tidak terdapat kawasan ekonomi skala

kawasan dan pemukiman penduduk non pengempon yang menurut Perda Nomor 8

Tahun 2015 tidak boleh berada di zona inti. Hal lain yang menjadi pertimbangan

adalah pola ruang daerah sekitarnya sehingga radius kawasan tempat suci tidak mutlak

sebesar 2 Km.

Batas-batas tiap zona menggunakan batas yang jelas. Batas tersebut terdiri dari

batas alam (berupa saluran air, sungai) dan batas buatan (berupa jalan, pematang

sawah, jalan setapak). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 16.

96
Gambar 16. Zonasi Pura Mertasari
Sumber: Bidang Penataan Ruang Kabupaten Jembrana

97
Adapun rincian penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan zonasi pada

Gambar 16. sebagai berikut:

Tabel 14. Pengertian Kode Zonasi Pura Mertasari


Kode
No Pengertian
Zona
1 K-2 zona Perdagangan dan jasa yang menempati blok lapis pertama atau satu
blok peruntukan di sepanjang jalan arteri primer, kolektor primer, arteri
sekunder dan kolektor sekunder dalam bentuk rumah toko skala besar
atau bangunan perdagangan khusus, untuk skala pelayanan kota
2 KT Zona perkantoran pemerintah skala kecamatan dan desa yang letaknya
tersebar dan berada di sekitar kawasan permukiman
3 PI-2 Zona yang diperuntukan bagi kegiatan terkait perikanan baik
penangkapan ikan, kegiatan budidaya perikanan, dan pengolahan hasil
perikanan
4 PS-2 Zona Pura Dang Kahyangan
5 PS-4 Zona di sepanjang tepi kiri dan kanan sungai, meliputi sungai alam dan
buatan, kanal, dan saluran irigasi primer dengan mengambil garis tegak
lurus dari tepi sungai ke tembok bangunan atau tiang struktur bangunan
terdekat, yang difungsikan untuk menjaga kelestarian sungai.
6 PT-1 Kawasan budidaya pertanian lahan basah untuk pengembangan tanaman
padi sawah
7 PT-2 Kawasan lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembangan
tanaman hortikultura secara monokultur maupun tumpang sari
8 R-1 Zona perumahan tunggal kepadatan tinggi pada lingkungan perumahan
yang tumbuh alami dengan berbagai ukuran persil termasuk perumahan
tradisional di sepanjang jalan /blok lapis pertama jalan sampai minimal
rumija 4 meter atau dapat dilalui kendaraan roda 4 tanpa berpapasan
9 R-2 Zona perumahan tunggal kepadatan sedang pada lingkungan perumahan
yang tumbuh alami dengan berbagai ukuran persil termasuk perumahan
tradisional di sepanjang jalan /blok lapis pertama jalan sampai minimal
rumija 4 meter atau dapat dilalui kendaraan roda 4 tanpa berpapasan
10 R-3 Zona perumahan tunggal kepadatan rendah pada lingkungan perumahan
yang tumbuh alami dengan berbagai ukuran persil termasuk perumahan
tradisional di sepanjang jalan /blok lapis pertama jalan sampai minimal
rumija 4 meter atau dapat dilalui kendaraan roda 4 tanpa berpapasan
11 RTH-3 Zona setra/kuburan/taman
12 SPU-1 Zona yang diperuntukan bagi kegiatan pendidikan dasar seperti TK dan
SD
13 SPU-2 Zona yang diperuntukkan bagi kegiatan fasilitas kesehatan skala
kecamatan tanpa rawat inap
14 SPU-3 Zona yang diperuntukkan untuk tempat peribadatan
Sumber: Bidang Penataan Ruang Kabupaten Jembrana

98
Penetapan kawasan tempat suci Pura Dang Kahyangan dipengaruhi oleh:

1. Aspek Politik

Sangkepan penyungsung/pengempon pura, ini merupakan forum

perwujudan demokrasi. Penyungsung/pengempon terdiri dari beberapa desa

pakraman yang memberikan masukan-masukan dalam pemanfaatan kawasan

tempat suci Pura Dang Kahyangan yang dibahas bersama-sama dengan Majelis

Madya Desa Pakraman dan PHDI Kabupaten. Hal ini bersesuaian dengan

perencanaan dari bawah (bottom up planning) yang memiliki ciri antara lain

(Hafied 2009:16): (a) sesuai dengan daya dukung wilayah yang bersangkutan; (b)

dikaitkan dengan kultur masyarakat; (c) memperhatikan peran kelembagaan pada

berbagai tingkat pengambilan keputusan; dan (d) memandang manusia seutuhnya

sebagai subyek pembangunan. Penetapan kawasan tempat suci Pura Dang

Kahyangan memperhatikan peran kelembagaan dalam pengambilan keputusan

seperti misalnya peran desa pakraman, PHDI, dan MMDP dalam menentukan

batas kawasan suci. Berdasarkan masukan tersebut Kepala Bidang Penataan

Ruang menyusun Materi Teknis Rencana Teknis Ruang Kawasan Tempat Suci.

Pentingnya penetapan kawasan tempat suci Pura dang Kahyangan dalam

materi Teknis Rencana Teknis Ruang Kawasan Tempat Suci antara lain:

a) Sebagai salah satu syarat pengajuan persetujuan substansi untuk proses

legalisasi Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tempat Suci Dang

Kahyangan. Syarat untuk permohonan persetujuan substansi yang diajukan ke

Kementerian Agraria dan Tata Ruang yaitu: (a) Rancangan perda RDTR/RTR

KS; (b) Materi Teknis RTR KS Tempat Suci; (c) Surat Rekomentasi Gubernur;

99
(d) Berita acara konsultasi publik, konsultasi publik dilaksanakan minimal 2

kali. Wujud persetujuan dalam konsultasi publik adalah berita acara konsultasi

publik yang ditandatangani oleh peserta antara lain instansi terkait, camat,

lurah, perbekel, PHDI, MMDP, bendesa adat; (e) Dokumen Kajian

Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS adalah rangkaian analisis yang

sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip

pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam

pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program

(Mutaali, 2013)

b) Memberikan batasan pemanfaatan tanah dan memberikan perlindungan

terhadap kawasan disekitar Pura Dang Kahyangan secara tegas. Berbeda

dengan kawasan tempat suci pura Tri Kahyangan, kawasan suci Pura Dang

Kahyangan mencakup wilayah yang luas yang dibagi ke dalam zona inti, zona

penyangga, dan zona pemanfaatan. Setiap wilayah di sekitar Pura Dang

Kahyangan memiliki karakteristik wilayah dan perkembangan kawasan yang

berbeda-beda sehingga dengan penetapan dalam materi teknis memberikan

acuan kegiatan apa yang boleh dilakukan di zona inti, penyangga, dan

pemanfaatan.

c) Sebagai bahan pertimbangan pemberian izin pemanfaatan tanah.

2. Aspek Sosial Budaya

Secara filosofis penetapan kawasan tempat suci Pura Dang Kahyangan

masih bersumber pada Bhisama dengan radius 2 (dua) kilometer. Tetapi

pelaksanaan di lapangan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing pura,

100
karena sebagian besar Pura Dang Kahyangan terletak di tengah-tengah

pemukiman penduduk sehingga kondisi existing tidak memungkinkan penerapan

Bhisama secara ketat. Pada praktiknya kawasan tempat suci Pura Dang

Kahyangan tetap dilarang pemukiman non penyungsung pada pada zona inti

karena menghindari pelaksanaan kegiatan yang bertentangan dengan budaya

setempat yang dapat mengurangi nilai kesucian pura. Sebagai contoh menaruh

jemuran yang lebih tinggi dari tembok pura. Disamping pemukiman non

penyungsung kegiatan yang dilarang pada zona inti adalah fasilitas hiburan malam

dan kawasan ekonomi yang dapat mengganggu ketenangan umat pada saat

melakukan persembahyangan.

3. Aspek Ekonomi

Penetapan kawasan suci Pura Dang Kahyangan secara ekonomi

memberikan beberapa manfaat antara lain:

a. Penetapan kawasan tempat suci akan memperindah kawasan pura, sehingga

berpotensi untuk dikembangkan sebagai pariwisata budaya dan pariwisata

spiritual yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagi wilayah di sekitar

kawasan tempat suci tersebut.

b. Kawasan tempat suci yang telah jelas batas-batasnya mempermudah

Pemerintah Daerah untuk memberikan izin terkait pembangunan terutama

pada zona penyangga dan zona pemanfaatan. Dengan demikian akan

mengundang investor untuk membangun pada lokasi-lokasi tersebut.

Masuknya investor pada wilayah tersebut akan meningkatkan pertumbuhan

101
ekonomi di wilayah tersebut. Contohnya masuknya proyek perumahan akan

menyerap tenaga kerja yang bisa didatangkan dari daerah sekitarnya.

C. Penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan untuk Izin Perubahan

Penggunaan Tanah di Sekitar Kawasan Tempat Suci

Penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP) mengacu pada Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011. PTP

diterbitkan dalam rangka kegiatan: (1) Izin Lokasi; (2) Penetapan Lokasi; (3) Izin

Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT). Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, Pertimbangan

Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Perubahan Penggunaan Tanah adalah

pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah,

sebagai dasar pemberian izin kepada pemohon untuk melakukan perubahan

penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Secara umum tidak ada perbedaan prosedur

penerbitan pertimbangan teknis di sekitar kawasan tempat suci dengan di luar kawasan

tersebut. Alur kegiatan permohonan PTP untuk IPPT di Kantor Pertanahan Kabupaten

Jembrana adalah sebagai berikut:

Seksi Pengaturan
Pemohon Loket dan Penataan
Pertanahan

Seksi Survei
Loket Kepala Kantor
Pengukuran dan
Pertanahan
Pemetaan
Gambar 17.Bagan Alir Permohonan PTP untuk IPPT
Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana 2017

102
Berdasarkan Gambar 17, alur kegiatan PTP untuk IPPT dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Pemohon membawa berkas permohonan ke Loket Kantor Pertanahan

Kabupaten Jembrana. Kelengkapan berkas permohonan antara lain:

a. Surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten Jembrana

b. Surat Kuasa apabila dikuasakan

c. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan

d. Fotocopy NPWP, Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum bagi

badan hukum

e. Proposal rencana kegiatan teknis

f. Sket lokasi yang dimohon

g. Fotocopy dasar penguasaan tanah

h. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan

i. Surat pernyataan

2. Petugas loket memeriksa kelengkapan berkas permohonan yang dibawa oleh

pemohon. Apabila berkas lengkap maka akan dilanjutkan untuk entri berkas

ke dalam sistem Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP). Setelah itu akan

dicetak Surat Perintah Setor (SPS) yang mengacu pada Peraturan Pemerintah

Nomor 128 Tahun 2015 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pemohon

diberikan SPS, kemudian diminta untuk membayar biaya permohonan ke

bank. Bukti pembayaran diserahkan kepada bendahara penerima untuk

dibuatkan kuitansi.

103
3. Berkas dikirim ke Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan dalam hal ini

diterima oleh staf Subseksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu.

Berkas tersebut diregister kemudian dibuatkan jadwal peninjauan lapangan,

surat tugas peninjauan lapangan dan surat pemberitahuan peninjauan

lapangan. Surat-surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Seksi Pengaturan

dan Penataan Pertanahan atas nama Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten

Jembrana.

4. Pada saat cek lapangan, pemohon/kuasanya wajib hadir untuk menunjukkan

lokasi yang dimohon. Data yang dikumpulkan meliputi:

a. Letak dan batas-batas lokasi yang dimohon;

b. Penguasaan, pemilik, penggunaan dan pemanfaatan tanah pada lokasi yang

dimohon dan sekitarnya;

c. Keberadaan infrastruktur pada lokasi yang dimohon;

d. Kondisi fisik tanah yang dimohon dan sekitarnya;

e. Kondisi sosial ekonomi masyarakat pada lokasi yang dimohon dan

sekitarnya;

f. Keberadaan situs dan kepentingan publik lainnya; dan

g. Data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan yang dimohon.

5. Hasil cek lapangan dituangkan dalam Berita Acara Peninjauan Lokasi yang

ditandatangani oleh pemohon/kuasa dan petugas cek lapangan.

6. Berdasarkan analisa dari data yang diperoleh dari Peninjauan Lapangan, Tim

Pertimbangan Teknis mengadakan rapat untuk memberikan pertimbangan

104
mengenai permohonan tersebut. Hasil pertimbangan tersebut dituangkan

dalam Berita Acara Rapat.

7. Pembuatan 7 (tujuh) jenis peta yaitu Peta Petunjuk Letak Lokasi, Peta

Penggunaan Tanah, Peta Gambaran Umum Penguasaan Tanah, Peta

Kemampuan Tanah, Peta Kesesuaian Penggunaan Tanah, Peta Ketersediaan

Tanah, dan Peta Pertimbangan Teknis Pertanahan. Peta-peta tersebut dibuat

oleh staf Subseksi Tematik dan Potensi Tanah, kemudian ditandatangani oleh

Kepala Seksi Survei Pengukuran dan Pemetaan atas nama Kepala Kantor

Pertanahan.

8. Pembuatan Risalah Pertimbangan Teknis Pertanahan oleh staf Subseksi

Subseksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu, kemudian

ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.

9. Hasil permohonan ini berupa Risalah Pertimbangan Teknis Pertanahan dan

peta-peta, diserahkan kepada petugas loket untuk diserahkan kepada pemohon.

Kepala Subseksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu Kabupaten

Jembrana menyatakan “Pada saat cek lapangan, petugas tidak melakukan koordinasi

dengan pihak desa pakraman” (wawancara 24 Mei 2017). Padahal menurut Lampiran

I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2011 Tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin

Angka Romawi II Angka 1 menyatakan:

“Penggunaan dan pemanfaatan tanah tidak boleh saling mengganggu penggunaan


dan pemanfaatan tanah sekitarnya antara lain:
1. Tidak melanggar norma sosial, budaya, agama dan keyakinan yang dianut
mayoritas masyarakat setempat, misalnya:
a. Tidak melaksanakan usaha tertentu di lingkungan masyarakat yang
memiliki budaya dan keyakinan yang berbeda dengan usaha tersebut

105
b. Penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a
dimungkinkan apabila memperoleh persetujuan dari masyarakat sekitar
sesuai dengan peraturan perundangan
c. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b harus memperoleh ijin dari
instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan”

Jika mengacu pada ketentuan diatas pelaksanaan cek lapangan seharusnya

berkoordinasi dengan desa pakraman, khususnya pada wilayah di sekitar tempat suci.

Pelibatan desa pakraman memungkinkan dapat memberikan masukan-masukan

terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dimohon. Disamping itu,

acuan Pertimbangan Teknis Pertanahan adalah Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten

Jembrana. Dalam RTRW tidak diatur mengenai Kawasan Tempat Suci Pura, sehingga

tidak ada gambaran tentang pemanfaatan tanah di sekitar Kawasan Tempat Suci.

Adapun Peta RTRW Kabupaten Jembrana secara lengkap sebagaimana ditampilkan

pada Gambar 17.

106
108
107 107
Gambar 18.Peta RTRW Kabupaten Jembrana Tahun 2012-2032
Idealnya IPPT diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

sebagaimana dinyatakan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang Pasal 163 ayat (2). Namun di Kabupaten Jembrana

berdiri sendiri, setelah terbit Risalah PTP pemohon dapat mengajukan permohonan

Perubahan Penggunaan Tanah pada sertipikat berdasarkan Risalah PTP tersebut tanpa

IPPT dari Pemerintah Kabupaten. Di satu sisi Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas

Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman,

menerbitkan pula Izin Pemanfaatan Tanah/Permohonan Informasi Tata Ruang untuk

IMB, Ijin Prinsip dan sebagainya. Prosesnya juga ada cek lapangan yang melibatkan

Desa Pakraman. Pemberian izin oleh dua instansi untuk obyek yang sama ini

berpotensi menimbulkan ketidakpastian di masyarakat. Hal ini disebabkan karena PTP

untuk IPPT diterbitkan tanpa koordinasi dengan desa pakraman, sedangkan Izin

Pemanfaatan Tanah sebaliknya.

Penyelesaiannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: (a) PTP tetap

diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, tetapi IPPT diterbitkan oleh Pemerintah

Kabupaten. Solusi ini paling baik karena penerbitan izin akan lebih terarah karena

pedoman pemberian izin tidak hanya bersumber pada RTRW melainkan ditambah

keterangan Bendesa Desa Pakraman, maupun draf materi teknis; (b) Penerbitan PTP

disertai dengan mempertimbangkan masukan Bendesa Desa Pakraman. Solusi ini

merupakan alternatif agar izin yang di keluarkan Kantor Pertanahan dan Pemerintah

Kabupaten sejalan.

108
D. Pemberian Izin Pemanfaatan Tanah/Permohonan Informasi Tata Ruang Di

Sekitar Kawasan Tempat Suci

Selain PTP untuk IPPT yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Jembrana sebagaimana dijelaskan pada subbab diatas, Pemerintah Kabupaten

Jembrana juga mengatur tentang Izin Pemanfaatan Tanah melalui Permohonan

Informasi Tata Ruang. Permohonan ini terpisah atau tidak terkait dengan PTP dalam

rangka IPPT yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana. Alur

kegiatan Informasi Tata Ruang adalah sebagai berikut:

Loket Pelayanan
Pemohon
Perizinan Terpadu

Bidang Tata
Ruang Dinas PU

Selesai
Cek Lokasi

Kajian/telaah

Kepala Dinas
PU
Gambar 19.Bagan Alir Permohonan Informasi Tata Ruang
Sumber: Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan
Kawasan Permukiman Kabupaten Jembrana 2017

Berdasarkan Gambar 19. diatas, alur permohonan Informasi Tata Ruang dapat

dijelaskan sebagai berikut:

109
1. Pemohon mengajukan berkas permohonan Informasi Tata Ruang melalui loket

Pelayanan Perizinan Terpadu. Permohonan ini tidak dipungut biaya. Persyaratan

yang harus dilengkapi antara lain:

a. Fotokopi KTP/Surat Keterangan Domisili

b. Fotokopi Sertipikat/Buku Tanah/Pipil/Akte Jual Beli (Bukti Kepemilikan)

c. Sket Lokasi tanah

d. Surat Kuasa dari pemilik lahan (apabila dikuasakan)

e. Surat Permohonan yang ditujukan kepada Bupati Jembrana C.q Kepala Dinas

Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman

Kabupaten Jembrana

2. Setelah berkas permohonan dinyatakan lengkap, berkas dikirim ke Bidang

Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan

Kawasan Permukiman. Berkas diregister, selanjutnya dijadwalkan untuk cek

lokasi.

3. Cek lokasi dilaksanakan oleh staf Bidang Penataan Ruang dengan membawa GPS

handheld, untuk mengetahui posisi koordinat tanah yang dimohon. Pada saat cek

lokasi, disertai dengan koordinasi dengan Bendesa Pakraman/pihak Pengempon

pura. Koordinasi dengan Bendesa Pakraman/pihak Pengempon dilakukan untuk

mengetahui adanya aturan (awig-awig) setempat mengenai pemanfaatan tanah

yang akan dimohon. Apabila tidak dapat diputuskan pada saat cek lokasi tersebut,

penerbitan permohonan Informasi Tata Ruang akan ditunda menunggu keputusan

rapat Bendesa Pakraman/pihak Pengempon.

110
4. Pembuatan kajian/telaah yang mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten

Jembrana Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten Jembrana, Draft Rencana Teknis Ruang Zonasi Radius Kesucian Pura

untuk Pura Dang Kahyangan, sedangkan untuk Pura Tri Kahyangan dan Pura

Kahyangan Jagat lainnya menggunakan awig-awig setempat atau keputusan hasil

rapat Pengempon.

5. Kajian/telaah ditandatangani oleh Kepala Dinas Penataan Ruang Dinas Pekerjaan

Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kajian ini

sebagai dasar pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Izin Prinsip, dan sebagainya.

Adanya koordinasi dengan Bendesa Pakraman/Pengempon pura merupakan

bentuk sinergi antara pemerintah daerah dengan Desa Pakraman. Hal tersebut tidak

terlepas dari sifat otonom Desa Pakraman. Sifat otonom Desa Pakraman terlihat dari

adanya kekuasaan. Menurut Griadhi (1985) dalam Surpha (2012), kekuasaan tersebut

dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kekuasaan utama yaitu:

1. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan untuk menjaga kehidupan organisasi

secara tertib dan tentram.

2. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi tersebut sehingga Desa

Pakraman dapat memenuhi fungsi untuk tercapainya kepentingan

perseorangan/kelompok secara harmonis.

3. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang menunjukkan adanya

pertentangan kepentingan antara warga desa atau berupa tindakan yang

menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan dapat dinilai sebagai perbuatan

yang mengganggu kehidupan masyarakat.

111
BAB VI
PENETAPAN KAWASAN SUCI DALAM RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KABUPATEN

A. Penyusunan Materi Teknis Rencana Teknis Ruang Kawasan Strategis (RTR KS)

Tempat Suci dan Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Tempat Suci

RTR KS Tempat Suci dan Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Tempat Suci

yang disusun di Kabupaten Jembrana adalah terhadap Kawasan Tempat Suci Pura

Dang Kahyangan yang berjumlah 6 (enam) Pura Dang Kahyangan. Sedangkan untuk

Kawasan Tempat Suci Pura Kahyangan Jagat Lainnya dan Pura Kahyangan Tiga

dimasukkan dalam RDTR kecamatan masing-masing. Kedudukan RTR KS Tempat

Suci dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang Kabupaten Jembrana dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 20. Sistem Perencanaan Tata Ruang Kabupaten Jembrana


Sumber: Bidang Penataan Ruang Kabupaten Jembrana

112
Tahapan penyusunan Materi Teknis Rencana Teknis Ruang Kawasan Strategis

(RTR KS) Tempat Suci dan Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Tempat Suci adalah

sebagai berikut:

1. Persiapan Penyusunan, Persiapan Penyusunan terdiri atas:

a. Persiapan awal: pemahaman terhadap TOR

b. Kajian awal data sekunder: kajian awal RTRWP, RTRWK, dan kebijakan

lainnya

c. Persiapan teknis pelaksanaan: penyusunan metodologi, teknik analisa,

penyiapan rencana survei

d. Penyiapan peta dasar Skala 1:5000 berbasis citra satelit Resolusi Tinggi

(resolusi 0,5-2,5 meter, proyeksi UTM, datum WGS84, format geotiff, usia

data paling lama 2 tahun) yang mencakup luasan Kawasan Radius Kesucian

Pura Dang Kahyangan, prosesnya meliputi:

1) Permohonan Rekaman Citra Satelit (tahun rekaman 2014/2015) ke

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)

2) Melakukan Ground Control Point (GCP) yang dilakukan oleh tim dari

Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama dengan Pemerintah

Kabupaten dan meng-orthokoreksi citra oleh BIG, sehingga dihasilkan

peta citra yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan Peta Dasar

RDTR.

3) Pembuatan Peta Dasar Skala 1: 5000 yang menggunakan Rekaman Citra

Satelit terbaru (paling lama 2 tahun terakhir)

113
4) Asistensi Peta Dasar ke Badan Informasi Geospasial (BIG), minimal 3

kali asistensi

5) Rapat Pleno dengan BIG terkait peta dasar RTR KS kawasan yang

disusun, sehingga keluar Berita Acara Persetujuan dari BIG.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data untuk mendapatkan data dan informasi kawasan dan terkait

kawasan secara lengkap mencakup:

a. Pengumpulan Data Primer (observasi lapangan, wawancara, penyebaran

kuisioner), pada tahap ini melibatkan peran masyarakat/organisasi

masyarakat secara aktif untuk memperoleh:

1) Pendataan dan informasi kewilayahan yang diketahui/dimiliki datanya

2) Pendataan untuk kepentingan penataan ruang yang diperlukan

3) Pemberian masukan, aspirasi, dan opini awal usulan rencana penataan

ruang dan

4) Identifikasi potensi dan masalah penataan ruang

b. Pengumpulan Data Sekunder

3. Pengolahan data dan Analisa:

Pengolahan data analisis Penyusunan Rencana Teknis Ruang Zonasi Radius

Kesucian Pura di Kabupaten Jembrana terdiri atas:

a. Analisis posisi kawasan dalam wilayah yang lebih luas

b. Analisis kondisi fisik dasar kawasan

c. Analisis sosial budaya dan kecenderungan pengembangan kawasan

d. Analisis potensi pengembangan ekonomi kawasan

114
e. Analisis kondisi tata bangunan tata lingkungan kawasan permukiman dan

kawasan budidaya lainnya

f. Analisis ketersediaan infrastruktur

g. Analisis ketersediaan fasilitas penunjang pemukiman

h. Analisis potensi dan masalah pengembangan kawasan

i. Analisis daya dukung dan tampung

j. Analisis struktur ruang kawasan

4. Perumusan Konsepsi Rencana Teknis Ruang Zonasi Radius Kesucian Pura

Strategis:

Perumusan konsepsi RTR Kawasan Strategi terdiri:

a. Rumusan Tujuan penataan ruang kawasan

b. Rumusan Kebijakan dan Strategi Penataan Kawasan

Pada tahap perumusan konsepsi RTR Kawasan, masyarakat/organisasi

masyarakat terlibat secara aktif dan bersifat dialogis/komunikasi dua arah.

Dialog dilakukan antara lain melalui konsultasi publik, workshop, FGD,

seminar, dan bentuk komunikasi dua arah lainnya.

5. Perumusan Rencana Teknis Ruang Zonasi Radius Kesucian Pura

Perumusan Rencana Teknis Ruang Zonasi Radius Kesucian Pura terdiri atas:

a. Tujuan penataan ruang kawasan

b. Kebijakan dan Strategi penataan ruang kawasan

c. Rencana Struktur Ruang Kawasan

d. Ketentuan Pemanfaatan Ruang Kawasan dan

e. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan

115
f. Pengelolaan Kawasan

6. Pembahasan dalam Forum BKPRD Kabupaten Jembrana

7. Pembahasan bersama DPRD dan Pemerintah Kabupaten Jembrana

8. Konsultasi Publik. Persetujuan mengenai isi rumusan Rencana Teknis Ruang

Zonasi Radius Kesucian Pura dituangkan dalam Berita Acara Konsultasi Publik.

9. Pembahasan dalam Forum BKPRD Provinsi Bali

10. Penerbitan Rekomendasi Gubernur. Saat ini posisi RTR KS Tempat Suci sedang

menunggu keluarnya Rekomendasi Gubernur.

B. Pemberian Persetujuan Substansi RTR KS Tempat Suci

Proses selanjutnya adalah pemberian persetujuan substansi. Untuk itu

Pemerintah Kabupaten harus membuat surat permohonan persetujuan substansi RTR

KS Tempat Suci yang ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang c.q Dirjen

Penataan Ruang dengan melampirkan: (a) Rancangan perda RDTR/RTR KS; (b)

Materi Teknis RTR LS Tempat Suci; (c) Surat Rekomentasi Gubernur; (d) Berita acara

konsultasi publik; (e) Dokumen KLHS. Adapun alur proses pemberian persetujuan

substansi RTR KS Tempat Suci seperti gambar di bawah ini:

116
Subdit Wilayah/Perkotaan
Pemerintah (Penyempurnaan materi
Subdit Wilayah/Perkotaan
Kabupaten muatan teknis RTR KS)
(Pemeriksaan materi muatan
teknis RTR KS dan penyiapan
bahan Rakor Pokja Teknis
BKPRN oleh Tim Evaluasi Sesditjen PR
Menteri
Agraria dan (Pembuatan Checklist Substansi dan
c.q Pemeriksaan Kelengkapan Dokumen Oleh
Tata Ruang
Bagian Hukum dan Perundang-undangan
serta Proses Paraf Persetujuan Substansi RTR
Tim BKPRN/ KS di lingkungan Dirjen Penataan Ruang)
Rapat Koordinasi Kelompok
Kerja Teknis BKPRN
Dirjen Penataan Ruang (Dihadiri oleh seluruh
Dirjen Penataan Ruang
anggota BKPRN/hanya yang
(Penandatanganan Surat Persetujuan Substansi
terkait saja)
RTR KS oleh Dirjen Penataan Ruang a.n. Menteri
Agraria dan Tata Ruang dan penyampaian kepada
Direktur Pemda Kabupaten)
Wilayah/Perkotaan

Tim Clearance House


(Pemeriksaan CH)
Subdit Pemda Kabupaten
Wilayah/Kota

Gambar 21.Proses Pemberian Persetujuan Substansi RTR KS Tempat Suci


Sumber: Bidang Penataan Ruang Kabupaten Jembrana

117
Kendala yang dihadapi pada tahap ini adalah pembentukan tim yang dapat

menggantikan fungsi Tim BKPRN. Hal tersebut disebabkan karena berdasarkan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 116 Tahun 2016, Badan Koordinasi

Penataan Ruang Nasional telah dibubarkan. Dengan dibubarkannya Tim BKPRN

maka tugas dan wewenangnya dilaksanakan oleh kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang. Tetapi tugas

dan wewenang tersebut belum diatur secara tegas.

C. Legalisasi Raperda RTR KS Tempat Suci

Setelah Persetujuan Substansi, selanjutnya adalah proses legalisasi Raperda

RTR KS Tempat Suci. Adapun prosesnya sebagai berikut:

1. Pengajuan Pembahasan Raperda dari Bupati/Walikota kepada DPRD

Kabupaten/Kota

2. Pembahasan Raperda oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Pemerintah

Kabupaten/Kota (BKPRD)

3. Kesepakatan Substansi antara Pemkab/Pemkot dengan DPRD

4. Pengajuan Evaluasi Raperda kepada Gubernur

5. Evaluasi Raperda oleh Pemerintah Provinsi (BKPRD Propinsi), evaluasi

dilakukan terhadap:

a. Naskah Raperda tentang RDTR/RTR KS, terdiri atas: Raperda dan

lampirannya

b. Materi teknis, terdiri atas:

1) Buku data analisis yang dilengkapi peta-peta

2) Buku rencana dan

118
3) Album peta

Materi muatan teknis RDTR/RTR KS yang harus diperiksa:

a. Kesesuaian materi muatan teknis RDTR/RTR KS dengan ketentuan Permen

PU Nomor:20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan

Peraturan Zonasi/RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota

b. Kesesuaian proses dan prosedur dengan ketentuan Permen PU Nomor:

20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan

Zonasi/RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota dan peraturan perundang-

undangan

c. Kepentingan nasional dan provinsi yang perlu diakomodir didalam RTR KS

Tempat Suci

d. Kesesuaian RTR KS Tempat Suci dengan RTRW Kabupaten

e. Kesesuaian Naskah Raperda RDTR/RTR KS dengan format standar Raperda

dan

f. Kesesuaian dan keserasian muatan yang tercantum antara Raperda, materi

teknis, dan peta.

6. Surat Hasil Evaluasi Gubernur

7. Penetapan Raperda menjadi Perda oleh Kepala Daerah

119
BAB VII
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Urgensi Penetapan Kawasan Tempat Suci dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Jembrana dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:

a. Aspek Politik

Aspek politik sangat terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh desa

pakraman. Perwujudan kekuasaan dalam otonomi desa pakraman dimiliki

oleh pemuka desa (merupakan orang yang dituakan dan memiliki wibawa

dalam desa adat), sangkepan desa, dan awig-awig desa adat. Kekuasaan ini

berperan dalam proses penyusunan batas kawasan tempat suci. Kekuasaan

tersebut berguna untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal dalam

penyusunan kawasan tempat suci dalam rencana tata ruang. Adapun

pentingnya penetapan kawasan tempat suci yang dilakukan oleh desa

pakraman adalah:

1) Bahan penyusunan materi teknis dalam Pembuatan RDTR maupun RTR

KS.

2) Bahan pertimbangan pemberian izin pemanfaatan tanah.

3) Memberikan batasan pemanfaatan tanah dan memberikan perlindungan

terhadap kawasan tempat suci.

120
b. Aspek Sosial-Budaya

Pada dasarnya desa pakraman mempertahankan nilai-nilai konsep

tradisional secara fisik seperti konsep sanga mandala, namun dalam

pelaksanaanya lebih luwes disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Sebagai contoh adanya gang, jalan atau jarak tertentu yang digunakan sebagai

pemisah antara pemukiman dengan pura. Hal ini mencegah pemukiman

tersebut ngeluanin pura. Selain unsur fisik, kesucian pura juga diatur dari segi

non-fisik misalnya pada zona inti tidak diperkenankan pemukiman non

penyungsung karena dikhawatirkan ada perbedaan budaya yang bisa

mengganggu nilai kesucian pura. Pada zona inti juga dilarang kegiatan yang

menimbulkan keramaian seperti pasar, fasilitas hiburan malam tujuannya

untuk memberikan ketenangan kepada umat untuk melaksanakan

persembahyangan. Dalam budaya Bali diatur pula seseorang yang dilarang

memasuki pura, sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Seminar Kesatuan

Tafsir tentang Tata Cara Masuk Pura meliputi:

1) Dilarang masuk Pura bagi orang-orang yang:

k) Wanita dalam keadaan datang bulan, habis melahirkan dan habis

abortus.

l) Dalam keadaan sedang tertimpa halangan kematian (sebel).

m) Tidak menaati Tata Krama Masuk Pura.

n) Menderita noda-noda lain yang karena sifatnya dapat dianggap

menodai kesucian Pura.

121
o) Menodai kesucian Pura (berpakaian tidak sopan, berhajat besar/kecil,

bercumbu, berkelahi, mencorat-coret bangunan/Pelinggih).

2) Hanya orang yang terkait langsung dalam suatu

upacara/persembahyangan/piodalan dan atau kegiatan pengayoman Pura

bersangkutan, diperkenankan masuk Pura sesuai dengan kedudukan dan

fungsinya masing-masing, dengan tetap mengindahkan ketentuan-

ketentuan larangan.

3) Orang yang tidak berhubungan langsung dalam kegiatan pura tersebut,

dilarang masuk Pura.

c. Aspek Ekonomi

Penetapan kawasan suci Pura Dang Kahyangan secara ekonomi

memberikan beberapa manfaat antara lain:

1) Penetapan kawasan tempat suci akan memperindah kawasan pura,

sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai pariwisata budaya

dan pariwisata spiritual yang dapat memberikan manfaat ekonomis

bagi wilayah di sekitar kawasan tempat suci tersebut.

2) Kawasan tempat suci yang telah jelas batas-batasnya mempermudah

Pemerintah Daerah untuk memberikan izin terkait pembangunan

terutama pada zona penyangga dan zona pemanfaatan. Dengan

demikian akan mengundang investor untuk membangun pada lokasi-

lokasi tersebut. Masuknya investor pada wilayah tersebut akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Contohnya

122
masuknya proyek perumahan akan menyerap tenaga kerja yang bisa

didatangkan dari daerah sekitarnya.

2. Proses penetapan Kawasan Tempat Suci Pura dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

yang dilakukan oleh Bidang Penataan Ruang Kabupaten Jembrana terdiri dari 3

(tiga) proses utama yaitu:

a. Penyusunan Materi Teknis yang menghasilkan Buku data analisis yang

dilengkapi peta-peta, Buku rencana dan Album peta.

b. Persetujuan Substansi Materi Teknis

c. Pengesahan Materi Teknis Menjadi Peraturan Daerah

B. SARAN

1. Sebelum terbitnya RTR KS Tempat Suci, penerbitan PTP dalam rangka IPPT di

sekitar pura perlu berkoordinasi dengan Pengempon pura setempat.

2. Desa Pakraman sebaiknya melakukan penetapan kawasan tempat suci dalam

Awig-Awig untuk memberi perlindungan dan membatasi pemanfaatan tanah di

kawasan tempat suci

3. Perlu penunjukkan instansi yang berwenang menggantikan tugas Tim BKPRN,

BKPRD Provinsi, dan BKPRD Kabupaten dalam proses penyusunan RTR KS

Tempat Suci.

123
DAFTAR PUSTAKA

Adhika, I Made.2012. Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu.Denpasar: Udayana


University Press

Arniati, Ida Ayu Komang.2015. Bhisama Parisada Tentang Kesucian Pura Pergulatan
Interpretasi Atas Kawasan Suci Pura Uluwatu.Jurnal

Budhiari, Ni Made Dwi Sulistia dkk.2015. Eksistensi Konsep Nilai “Luan(hulu) dan
Teben (hilir)” sebagai sebagai Pembagian Ruang pada Level Makro Berdasarkan
Nilai Tradisional Bali di Wilayah Selatan Kabupaten Badung. Jurnal

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin.2008. Arsitektur Bangunan Suci Hindu: Berdasarkan


Asta Kosala-kosali.Denpasar: Udayana University Press dan CV Bali Media
Adhikarsa

________.2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali:Berdasarkan Asta Kosala-


kosali.Denpasar: Udayana University Press dan CV Bali Media Adhikarsa

Hafied, Hamzah.2009. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Makassar: Kretakupa

Harsono, Boedi.2008. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Djambatan

Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-


IX Parisada Hindu Dharma Pusat 1982-1983

Konsukartha, IGM dkk .2003. Persepsi Masyarakat Adat Terhadap Implementasi


Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Nusa Ceningan, Klungkung, Bali.Jurnal

Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Kabupaten Jembrana Tahun 2015

Laporan Penyusunan Rencana Teknis Ruang Kawasan Tempat Suci Pura Dang
Kahyangan Tahun 2015

Mayun, A.A.I.A. Gangga Devi. 2002. Kriteria-Kriteria Pemanfaatan Ruang Kota


Berlandaskan Tata Nilai Tradisional Bali Di Kawasan Warisan Budaya Di Pusat Kota
Denpasar, Tesis: Universitas Diponegoro

124
Moleong, Lexy J.2008.Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.Bandung: PT
Remaja Rosdakarya

Muta’ali, Lutfi.2013. Penataan Ruang Wilayah dan Kota (Tinjauan Normatif-Teknis).


Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada

Parimartha, I Gde.2013. Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Denpasar:
Udayana University Press

Putra, Anak Agung Gde Sutrisna Wijaya.2016. Pelanggaran Bhisama Kesucian Pura Di
Sekitar Pura Dang Kahyangan Di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.Tesis:
Universitas Udayana

Ridwan, Juniarso dan Ahmad Sodik Sudrajat.2013. Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah.Bandung: Penerbit Nuansa

Sihombing, Partigor Daud Pangeran.2016. Elemen Agama Di Ruang Publik Dalam Studi
Kasus Reklamasi Teluk Benoa. Tesis: Universitas Gajah Mada

Sudata, I Nengah.2002.Persepsi Masyarakat Bali Terhadap Sistem Nilai Ruang Terbuka


Tradisional Di Kota Denpasar. Tesis: Universitas Diponegoro

Surpha, I Wayan.2012. Seputar Desa Pekraman dan Adat Bali.Denpasar: Pustaka Bali
Post

Tim Peneliti Sistematis 2016.2016. Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas
Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran
Tanah, dan Integrasi Tata Ruang (Hasil Penelitian Sistematis 2016).Yogyakarta:
STPN Press

Wati, Dwi Wahjoeni Soesilo. 2011. Perubahan Pola Tata Ruang Pada Karang Desa Adat
Jatiluwih Di Bali.Jurnal

Wesnawa, I Gede Astra.2015.Kelestarian Budaya dan Adat Bali dalam Permukiman


Perdesaan.Yogyakarta: Graha Ilmu

Yasa, I Gede Dana.2015. Implementasi Kebijakan Desa Pakraman Dalam Pemberdayaan


Masyarakat (Studi: Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng).Skripsi:
Universitas Panji Sakti

125
Yunus, Hadi Sabari.2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Zuhelsa, Violina.2012.Fungsi Tempat Suci Penduduk Bali di Sekitar Pura Besakih di


Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Skripsi:Universitas Indonesia

WEBSITE

http://bali.bisnis.com/read/20161027/1/62592/pengusaha-ingin-jembrana-jadi-proyek-
percontohan-proyek-rumah-subsidi diakses tanggal 9 Desember 2016 Pukul 17.15
WIB

http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/5/datafile/F1/V7 diakses tanggal


12 Juli 2017 Pukul 22.41 WIB

http://radarbali.jawapos.com/read/2016/09/18/6266/ingin-bertahan-pengembang-harus-
pintar-bersiasat/2 diakses tanggal 24 Maret 2017 Pukul 17.00 WIB

http://www.penataanruang.com/perumahan1/satpol-pp-jembrana-setop-pembangunan-
perumahan diakses tanggal 24 Maret 2017 Pukul 18.00 WIB

https://jembranakab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/8 diakses tanggal 9 Desember


2016 Pukul 17.05 WIB

https://jembranakab.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/9 diakses tanggal 9 Desember


2016 Pukul 17.00 WIB

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan


Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

126
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat dalam Penataan Ruang

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman


Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35
Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi
Perkotaan dan Perdesaan Di Indonesia

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011
tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi,
Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa pakraman

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Tahun 2009-2029

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi
Sistem Provinsi

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Jembrana Tahun 2012-2032

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan

Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994


tentang Bhisama Kesucian Pura

127
LAMPIRAN
Lampiran 1
PANDUAN WAWANCARA

A. Pertanyaan untuk Kepala Bidang Penataan Ruang Kantor Dinas


Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan
Permukiman Kabupaten Jembrana
1. Bagaimana mekanisme pemberian izin pemanfaatan tanah di sekitar
kawasan tempat suci?
2. Apa pentingnya penetapan kawasan tempat suci dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten?
3. Bagaimana proses penetapan kawasan tempat suci dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten?
B. Pertanyaan untuk Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan
1. Bagaimana mekanisme pemberian pertimbangan teknis terhadap tanah-
tanah yang berada di sekitar kawasan tempat suci?
2. Apa dasar hukum penerbitan pertimbangan teknis pertanahan di kawasan
tempat suci?
C. Pertanyaan untuk Bendesa Adat/ kelihan banjar adat:
1. Apa kriteria-kriteria penetapan batas kawasan tempat suci Pura Tri
Kahyangan di wilayah desa adat……….?
2. Apa yang dilakukan seandainya ada warga yang melanggar kawasan tempat
suci dalam melakukan pembangunan? Apakah ada sanksi tertentu?
3. Apakah ada perbedaan perlakuan terhadap krama desa adat dengan non
krama desa adat dalam melakukan pembangunan di sekitar kawasan tempat
suci?
4. Bagaimana struktur organisasi desa adat/banjar adat………..?
5. Berapa banjar penyungsung (pengelola) Pura Tri Kahyangan di desa adat
……….?
6. Upacara apa saja yang dilaksanakan di Pura Tri Kahyangan?

128
Lampiran 2
Nama Bendesa Adat dan Kelihan Adat Se- Kecamatan Jembrana
No Desa/Kelurahan Desa Pekraman Bendesa Adat Banjar Adat Kelihan Adat
1 Perancak Perancak I Nengah Parna Mekarsari I Wayan Seken
Perancak I Ketut Bagi
Lemodang I Nengah Suparka
Tibu Kleneng I Nengah Gama
Dangin Berawah I Wayan Riasa
2 Budeng Budeng I Ketut Hindu Riasa Budeng I Ketut Budi Darma
Delod Pangkung I Komang Suastika
3 Yehkuning Yehkuning Nengah Wartono Yehkuning I Putu Suardana
Tengah I Ketut Santun
Beratan Dangin Kepuh I Ketut Marhena
Beratan Dauh Kepuh I Ketut Sudiasa
Tegalcantel I Komang Wiasa
Kayu Putih I Ketut Darta
4 Dangin Tukadaya Dangin Tukadaya I Nyoman Madiun Dangin Tukadaya I Gusti Ngurah Komang Pujayana
Sebual I Wayan Wikrama Wardana
Yeh Mekecir I Gusti Agung Sudiarsa
Munduk Kemoning I Kadek Warsa
Munduk I Wayan Sumantra
5 Batuagung Batuagung Ida Bagus Mantra Batuagung Ida Bagus Kade Widana
Tegalasih I Wayan Narma
Taman Ida Bagus Sugiarta
Sawe I Made Suka
Palungan Batu I Gusti Agung Kade Sutarata
Anyar Ida Bagus Komang Asa
Petanahan Ida Bagus Putu Redana
Masean Ida Komang Suparma
Pancaseming I Gusti Ketut Tarka
6 Pendem Kertha Jaya I Wayan Diandra Satria I Wayan Teler
Pendem I Komang Asta Wirama
Pancardawa I Made Suyadnya
Dewasana I Wayan Suparta
7 Loloan Timur Loka Sari I Gusti Putu Darmayasa Mertasari I Ketut Argawanta
Ketugtug I Ketut Putra
8 Dauhwaru Dauhwaru I Nengah Rinata Sawe Munduk Waru I Ketut Erman
Sawe Rangsasa I Nyoman Desen
Dauhwaru I Dewa Ketut Sumadia
Pemedilan I Nengah Subandria
Menega I Wayan Wender
Keladian I Gusti Putu Wiarta
Sri Mandala Ir. I Ketut Wijaya
Waru Mekar I Wayan Mara
9 Sangkaragung Sangkaragung I Ketut Wardana Samblong I Nengah Suarma
Sangkaragung I Ketut Suana
Pangkung Gondang I Nyoman Suarsa
Sumber: Kantor Kecamatan Jembrana Bulan Mei 2017

129
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : I Made Alit Swardiana

NIM/Konsentrasi : 13222771/Perpetaan

NIP : 19870204 201101 1 006

Tempat, Tanggal Lahir : Tabanan, 4 Pebruari 1987

Alamat, No. Telp : Banjar Dinas Penebel Kaja, Desa Penebel, Kecamatan

Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali,

085237195921

Status : Belum Menikah

Nama Instansi : Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana

Alamat Kantor : Jalan Mayor Sugianyar No. 9 Dauhwaru Kec.

Jembrana

Jabatan : Staf Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan

Pangkat/Golongan : Pengatur Muda Tingkat I / II/b

Riwayat Pendidikan : SD Negeri 1 Penebel (1993-1999)

SMP Negeri 1 Penebel (1999-2002)

SMA Negeri 1 Tabanan (2002-2005)

Diploma I PPK STPN (2005-2006)

Riwayat Pekerjaan : CPNS Tahun 2011

PNS Golongan II/a Tahun 2012

Tugas Belajar DIV STPN Tahun 2013

PNS Golongan II/b Tahun 2015

130

Anda mungkin juga menyukai