Abstrak
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat seorang
penderita yang sedang menjalani perawatan rumah sakit.
Sumber infeksi nosokomial dapat terjadi pada tindakan
non invasif yaitu terjadi kontak antara pasien yang sedang
menderita penyakit infeksi menularkan penyakit yang di
derita terhadap keluarga pasien. Perantara yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial di rumah
sakit ialah faktor mikroorganisme, faktor pengobatan,
faktor lingkungan, faktor tuan rumah. Salah satu faktor
penyebab penyebaran infeksi nosokomial yang terjadi
pada Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2011
hingga 2012 ialah bakteri dan kelalaian Tenaga Kesehatan
dalam pemasangan ventilator kepada pasien. Pasien yang
dirawat inap pada Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
rentan menderita infeksi pneumonia. Pneumonia adalah
peradangan akut jaringan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, jamur, dan virus). Pneumonia
bisa menimbulkan gejala yang ringan hingga berat.
Pendahuluan
1
Diantara penyebab infeksi nosokomial, pneumonia nosokomial menempati
urutann ke-2 setelah infeksi saluran kemih, yaitu 5-50 kasus per 1.000 perawatan
di Rumah Sakit setiap tahun.
Berbagai upaya dalam pencegahan infeksi nosocomial sebaiknya menjadi
prioritas di setiap rumah sakit. Pada tahun 2011 Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan 1691 Tahun 2011 Tentang
Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit pada Pasal 7 yang menjelaskan bahwasanya
“Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan standar Keselamatan Pasien”. 2
Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (PPIRS) sangat penting
dalam menjaga peran pelayanan rumah sakit, ditambah lagi pelayanan dalam
bentuk pencegahan infeksi yang sering dijadikan sebagai acuan dalam proses
akreditas rumah sakit. Permenkes no 1691 th 2011 ttg Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) adalah infeksi nosokomial yang sering ditemukan dengan salah
satu faktor risiko utama adalah pada penggunaan alat bantu pernapasan berupa
ventilator mekanik, terutama pada pasien ICU. VAP merupakan salah satu bagian
dari HAI (Healthcare-associated infections). VAP menjadi penyebab utama
kematian pada HAI, dengan mortalitas 15-70% tergantung pada populasi pasien.
Faktor-faktor yang mempengaruhi VAP antara lain : Durasi penggunaan ventilasi
mekanik, penggunaan sedasi secara berkelanjutan, frekuensi penggantian sirkuit
ventilator, dan kurangnya praktek pengendalian infeksi.3
1
Metode Penelitian
Dalam menyusun penelitian ini, menggunakan tipe penelitian hukum
(legal research) yang bertujuan untuk mencari penyelesaian hukum, pemecahan
atas isu hukum yang ada. Hasil akhir yang akan dicapai dari tipe penelitian ini
ialah dengan menemukan suatu kebenaran koherensi yakni apakah tindakan (act)
yang dilakukan oleh tenaga Kesehatan dan pertanggung jawaban hukum rumah
sakit telah sesuai dengan aturan atau norma hukum yang berlaku. Pendekatan
penelitian yang digunakan ialah dengan menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus.
15
Roro Rukmini Widiaswari, “IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN
MINIMAL RUMAH SAKIT (Studi Standar Pelayanan Minimal RSUD H.
Damanhuri Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2008)” (2020) 4
PubBis : Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi Publik dan
Administrasi Bisnis 20.
16
Rudi S (n 14).
17
J Guwandi, Etika dan Hukum Kedokteran (Seri Hukum, Fakultas Hukum
Indonesia 1991).
18
Pudentiana, Buku Ajar Etika Profesi Perawat Gigi dan Tenaga Kesehatan
Gigi (Perpustakaan Adipadma ed, Perpustakan Adipadma IIK Bhakti Wiyata
Kediri 2014).
rujukan, rumah sakit juga mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna.19 Sedangkan untuk fungsi rumah sakit adalah :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
3. Pelayanan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun
2014 ada dua macam ruah sakit, yaitu :
1. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
2. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur,organ, jenis penyakit atau kekhususan
lainnya.
19
Darmadi, Infeksi Nososkomial Problematika dan Pengendaliannya (Salemba
Medika 2008).
20
Tjahjono Kuntjoro dan Hanevi Djasri, “Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit Sebagai Persyaratan Badan Layanan Umum dan Sarana Peningkatan
Kinerja” (2007).
Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Unsur
kesalahan merupakan jantung dari pertanggungjawaban pidana. Tidak seorang
pun yang melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan
(Geen Straf Zonder Schuld)21. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur
kesalahan terhadap korporasi bukan hal yang mudah, karena korporasi sebagai
subjek hukum pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya
manusia alamiah (natuurlijk).22 Dalam model pertanggungjawaban pidana
korporasi mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban
pidana korporasi terdapat model pertanggungjawaban korporasi sebagai berikut:
a) Pengurus Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
b) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
c) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
21
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana (Sinar Grafika 2010).
22
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revi, 2014).
23
Febi Irianto, “Pertanggungjawaban Hukum Pidana Rumah Sakit Sebagai
Korporasi Pelayanan Kesehatan” (2021) 4 Sol Justicia 163.
24
ibid.
Kondisi inilah yang menempatkan rumah sakit sebagai subjek hukum,.
Hak rumah sakit dibahas dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit Pasal 30 ayat (1) sedangkan kewajiban rumah sakit diatur pada Pasal
29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Menurut Pasal 46
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 dengan tegas merumuskan
pertanggungjawaban rumah sakit sebagai berikut : “Rumah sakit bertanggung
jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah sakit”. Suatu kelalaian
merupakan sebuah indikasi penyimpangan dalam pelayanan Kesehatan yang
apabila berakibat kecacatan atau kematian merupakan kajian hukum pidana.
Perumusan tanggung jawab hukum rumah sakit dalam ketentuan ini sangat
berbeda jika dibandingkan dengan perumusan tanggung jawab hukum korporasi
pada perundang-undangan lainnya.
Terkait dengan bentuk kesalahan yang mungkin dilakukan oleh tenaga
Kesehatan dalam memberikan pelayanan Kesehatan maka bentuk kelalaian lah
yang terjadi. Pola pemikiran seperti ini lah yang diterapkan dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menekankan kelalaian tenaga kesehatan
sebagai penyebab timbulnya sengketa, demikian pula Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009. Kesengajaan memang bisa saja dilakukan tenaga
Kesehatan seperti melakukan aborsi, euthanasia, memasang ventilator pasien
tanpa mensterilkannya, dan lain sebagainya, tapi hanya saja rumah sakit tidak
bertanggung jawab secara hukum karena tujuan rumah sakit untuk meningkatkan
Kesehatan, akan tetapi dengan tidak adanya perhatian yang lebih dari rumah sakit
terhadap pasien nya dapat menimbulkan penyakit yang derita pasien semakin
parah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 bahwa Rumah Sakit hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap
kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat kelalaian tenaga kesehatan (medical
negligence). Oleh karena itu dalam hal tenaga kesehatan melakukan kelalaian
maka harus dilihat terlebih dahulu apakah kelalaian tersebut terjadi sebagai akibat
kekurang hati-hatian tenaga kesehatan ataukah pelanggaran pada standar
pelayanan kesehatan. Loebby Loqman menegaskan " .. harus dicari secara per
kasus baik faktor yang ada dalam diri pemberi pelayanan kesehatan, pasien
maupun faktor-faktor diluar kedua subyek tersebut. Apabila tenaga kesehatan
kurang hati-hati dalam melakukan upaya kesehatan padahal sudah sesuai prosedur
maka kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab Rumah sakit. Sebaliknya
ketika tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan sesuai dengan prosedur
pelayanan kesehatan maka tenaga kesehatan harus bertanggung jawab secara
personal atas kerugian yang ditimbulkannya. hasil dari denda dan barang-barang
rampasan masuk kas negara.
Dasar hukum untuk menjatuhkan pidana kepada perawat (tenaga
kesehatan) yang melakukan delik atas dasar culpa adalah adanya perbuatan yang
merugikan berbagai kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun
kepentingan masyarakat. Dengan adanya dasar culpa tersebut pasal yang
dikenakan Pasal 360 KUHP. Serta dikaitkan dengan Pasal 84 ayat (1)
UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan. Setiap Tenaga
Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun.
Berdasarkan data yang dihimpun pada tahun 2011-2012 di Rumah Sakit
Dr. Soetomo Surabaya terjadi kelalaian yang diakibatkan oleh tenaga kesehatan
dalam melakukan tindak pergantian ventilator atau alat bantu pernapasan terhadap
pasien yang mengidap infeksi pneumonia. Diduga melakukan malpraktek dalam
pekerjaan nya, maka tenaga kesehatan tersebut harus mengganti kerugian berupa
uang sebesar hari rawat yang dikeluarkan pasien. Dan jika tenaga kesehatan
tersebut melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian terhadap pasien,
maka pertanggungjawaban tenaga kesehatan dikenakan sesuai dengan Pasal 84
ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang
akan diancam pidana penjara 3 (tiga) tahun.
Sanksi pidana rumah sakit menurut Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang No
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar
rupiah). Dalam pasal tersebut, sanksi pidana tersebut ditujukan pada rumah sakit
yang tidak memiliki izin dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dalam
rumah sakit tersebut. Jika dilihat dari sanksi pidana pada Pasal 25 ayat (1)
pertanggungjawaban hukum rumah sakit atas terjadinya penyebaran infeksi
pneumonia atas kesalahan tenaga kesehatan maka rumah sakit dapat dituntut
pidana penjara selama 2 tahun, dikarenakan hal yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang tidak mensterilkan alat medis itu termasuk dalam tidak memenuhi
perizinan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Menurut Pasal 62 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan
rumah sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di bab-bab diatas dan disertai
dengan hasil penelitian dan sampel yang ada di dalam data Rumah Sakit Dr.
Soetomo Surabaya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Penyebaran infeksi nosokomial yang terjadi pada Rumah Sakit Dr.
Soetomo Surabaya telah memakan banyak korban, banyak sekali pasien yang
telah mengidap infeksi pneumonia yang penyebaran nya sangatlah pesat
dikarenakan bakteri dan kelalaian tenaga kesehatan dalam pemasangan ventilator.
Penyebaran infeksi nosokomial ini di hitung karena lamanya rawat inap pasien,
bakteri, serta pemasangan ventilator. Penyebaran infeksi nosokomial akibat
pemasangan ventilator diduga karena tenaga kesehatan lalai tidak mensterilkan
ventilator terlebih dahulu sebelum di pasang.
Menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit pertanggungjawaban akan ditanggung oleh pihak rumah sakit. Akan tetapi,
jika pada kesalahan tenaga Kesehatan maka rumah sakit tidak menanggung semua
pertanggungjawaban. Pihak rumah sakit akan memberikan pertanggungjawaban
berupa kerugian yang di dapat pasien. Oleh karena itu dalam hal tenaga kesehatan
melakukan kelalaian maka harus dilihat terlebih dahulu apakah kelalaian tersebut
terjadi sebagai akibat kekurang hatihatian tenaga kesehatan ataukah pelanggaran
pada standar pelayanan kesehatan.
DAFTAR BACAAN
Buku
Pudentiana, Buku Ajar Etika Profesi Perawat Gigi dan Tenaga Kesehatan Gigi
(Perpustakaan Adipadma ed, Perpustakan Adipadma IIK Bhakti Wiyata Kediri
2014).
Jurnal
Peraturan Perundangan-Undangan