Anda di halaman 1dari 14

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Atas Penyebaran

Infeksi Pneumonia Yang Menular Pada Pasien

Rateh Kusumaningseh, Prilian Cahyani


ratehkim@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Airlangga

How to cite: Abstract


Histori artikel:
Nosocomial infection is an infection acquired by a patient
who is undergoing hospital treatment. The source of
DOI:
-
nosocomial infection can occur in non-invasive
procedures, namely contact between patients who are
suffering from infectious diseases transmitting the disease
to the patient's family. Intermediaries that can cause
nosocomial infections in hospitals are microorganism
factors, treatment factors, environmental factors, host
factors. One of the factors causing the spread of
nosocomial infections that occurred at Dr. Soetomo
Surabaya from 2011 to 2012 was caused by bacteria and
negligence by health workers in installing ventilators for
patients. Patients who are hospitalized at Dr. Soetomo
Surabaya is prone to pneumonia infection. Pneumonia is
an acute inflammation of lung tissue caused by
microorganisms (bacteria, fungi and viruses). Pneumonia
can cause mild to severe symptoms.

Keywords: Pneumonia Infection, Negligemce of Health


Workes, Hospital;

Abstrak
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat seorang
penderita yang sedang menjalani perawatan rumah sakit.
Sumber infeksi nosokomial dapat terjadi pada tindakan
non invasif yaitu terjadi kontak antara pasien yang sedang
menderita penyakit infeksi menularkan penyakit yang di
derita terhadap keluarga pasien. Perantara yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial di rumah
sakit ialah faktor mikroorganisme, faktor pengobatan,
faktor lingkungan, faktor tuan rumah. Salah satu faktor
penyebab penyebaran infeksi nosokomial yang terjadi
pada Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2011
hingga 2012 ialah bakteri dan kelalaian Tenaga Kesehatan
dalam pemasangan ventilator kepada pasien. Pasien yang
dirawat inap pada Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
rentan menderita infeksi pneumonia. Pneumonia adalah
peradangan akut jaringan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, jamur, dan virus). Pneumonia
bisa menimbulkan gejala yang ringan hingga berat.

Kata Kunci: Infeksi Pneumonia, Kelalaian Tenaga


Kesehatan, Rumah Sakit.

Pendahuluan
1
Diantara penyebab infeksi nosokomial, pneumonia nosokomial menempati
urutann ke-2 setelah infeksi saluran kemih, yaitu 5-50 kasus per 1.000 perawatan
di Rumah Sakit setiap tahun.
Berbagai upaya dalam pencegahan infeksi nosocomial sebaiknya menjadi
prioritas di setiap rumah sakit. Pada tahun 2011 Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan 1691 Tahun 2011 Tentang
Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit pada Pasal 7 yang menjelaskan bahwasanya
“Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan standar Keselamatan Pasien”. 2
Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (PPIRS) sangat penting
dalam menjaga peran pelayanan rumah sakit, ditambah lagi pelayanan dalam
bentuk pencegahan infeksi yang sering dijadikan sebagai acuan dalam proses
akreditas rumah sakit. Permenkes no 1691 th 2011 ttg Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) adalah infeksi nosokomial yang sering ditemukan dengan salah
satu faktor risiko utama adalah pada penggunaan alat bantu pernapasan berupa
ventilator mekanik, terutama pada pasien ICU. VAP merupakan salah satu bagian
dari HAI (Healthcare-associated infections). VAP menjadi penyebab utama
kematian pada HAI, dengan mortalitas 15-70% tergantung pada populasi pasien.
Faktor-faktor yang mempengaruhi VAP antara lain : Durasi penggunaan ventilasi
mekanik, penggunaan sedasi secara berkelanjutan, frekuensi penggantian sirkuit
ventilator, dan kurangnya praktek pengendalian infeksi.3
1

Isbandiyah Asadullah, “Pola Bakteri Penyebab Pneumonia Nosokomial Di RS


Dr. Sutomo Surabaya Periode Januari 2011-Maret 2012” (2015) 11
Universitas Muhamadiyah Malang.
2
ibid.
3
ibid.
Dari 25 pasien dengan keterangan hasil kultur diketahui 4 pasien menderita
pneumonia nosokomial disebabkan oleh 4 pasien menderita pneumonia
nosokomial disebabkan oleh acinetobacter spp, 1 pasien oleh klebsiella
pneumoniae dan acinetobacter baumannii, 1 pasien oleh proteus mirabilis, 6
pasien oleh pseudomonas aeruginosa, 1 pasien oleh citrobacter freundii,
acinetobacter spp dan pseudomonas aeruginosa, 2 pasien oleh klebsiella
pneumoniae, 1 pasien oleh klebsiella oxytoca, pseudomonas aeruginosa,
bokholderia cepacia, acinetobacter baumannii, 1 pasien oleh pantoea
agglomerans, 2 pasien oleh staphylococcus aureus, 1 pasien oleh acinetobacter
spp, pseudomonas aeruginosa, 2 pasien oleh enterobacter aeruginosa, dan 3
pasien oleh acinetobacter baumannii.4
Berdasarkan data yang diperoleh dari 25 sampel diketahui 4 pasien berada
pada usia 10-19 tahun, 4 pasien berada pada usia 20-29 tahun, 6 pasien berada
pada usia 30-39 tahun, 4 pasien berada pada usia 40-49 tahun, sedangkan 7
lainnya berada pada usia >50 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dari 25 sampel
dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan berdasarkan waktu terjadinya
pneumonia nosokomial. Sebanyak 6 pasien menderita pneumonia nosokomial
setelah 3-5 hari perawatan, 6 pasien setelah 6-8 hari perawatan, 5 pasien setelah 9-
11 hari perawatan, 4 pasien setelah 12-15 hari perawatan, 4 pasien setelah >16
hari perawatan. Berikut ini tabel tentang lama perawatan dan jumlah sampel. 5
Berdasarkan data yang diperoleh dari 25 sampel diketahui 7 diantaranya
dirawat di ruang observasi intensif (ROI) dan 18 lainnya di rawat di ruang bedah
flamboyan (RBF). Diantara 7 pasien yang mendapat perawatan di ROI 3 pasien
disebabkan oleh pseudomonas aeruginosa, 3 pasien oleh acinetoacter spp, dan 1
pasien disebabkan oleh pantoea agglomerans.6 Sedangkan dari 18 pasien yang
mendapat perawatan di ruang BF 3 pasien disebabkan oleh pseudomonas
aeruginosa, 1 pasien oleh klebsiella pneumoniae dan acinetobacter baumannii, 1
4
A.Baharutan, “Pola Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial Pada Ruang
Perawatan Intensif Anak Di Blu RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado” (2015)
3 Jurnal e-Biomedik.
5
RSDK, Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial RSUP. Dr. Karyadi
Semarang (Perpustakaan RSUP Dr Karyadi Semarang 1989).
6
Asadullah (n 1).
pasien oleh proteus mirabilis, 1 pasien oleh citrobacter freundii, acinetobacter
spp dan pseudomonas aeruginosa, 2 pasien oleh klebsiella pneumoniae, 1 pasien
oleh klebsiella oxytoca, pseudomonas aeruginosa, bokholderia cepacia,
acinetobacter baumannii, 1 pasien oleh acinetobacter spp, 2 pasien oleh
staphylococcus aureus, 1 pasien oleh acinetobacter spp dan pseudomonas aureus,
2 pasien oleh enterobacter aeruginosa, dan 3 pasien oleh acinetobacter
baumannii7.
Berdasarkan data yang diperoleh dari 25 sampel diketahui 8 diantaranya
meninggal dunia dan 17 sisanya hidup. Dari 8 pasien yang meninggal dunia
semuanya memiliki diagnosa cedera otak berat (COB) sebagai diagnosa utamanya
dan pneumonia nosokomial sebagai diagnosa sekundernya. Banyak yang
mengatakan bahwasanya sampel rumah sakit terkait dengan jangka waktu
perawatan pasien yang menyebabkan pasien banyak tertular pneumonia
nosokomial di rumah sakit. Akan tetapi kemungkinan hal ini disebabkan oleh
perbedaan jenis pneumonia nosokomial yang terjadi. Bahwa pneumonia
nosokomial dapat di picu oleh banyak hal seperti masuknya bakteri melalui
inhalasi, aspirasi cairan lambung, dan salah satunya oleh pemasangan ventilator. 8
Dengan melihat bahwa sebagian besar sampel yaitu 68% pasien menderita cedera
otak berat sebagai diagnosis primer, kemungkinan besar pneumonia nosokomial
yang terjadi pada pasien-pasien ini diakibatkan oleh pemasangan ventilator
mengingat standar perawatan pada pasien dengan cidera otak berat menurut
Satyanegara memerlukan pemasangan ventilator segera setelah pasien masuk
ICU.9
Rumah sakit pasti memiliki peraturan yang mengatur mengenai apa saja
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh tenaga medis maupun tenaga
kesehatan10. Dalam Peraturan Bupati Paser Nomor 27 Tahun 2016 Tentang
Peraturan Internal Rumah Sakit Umum Daerah Panglima Sebaya menjelaskan
7
ibid.
8
ibid.
9
A.Baharutan (n 4).
10
Rico Mardiansyah, “Dinamika Politik Hukum Dalam Pemenuhan Hak Atas
Kesehatan Di Indonesia” (2018) 4 Kementerian Kesehatan Repbulik
Indonesia.
bahwasanya di Pasal 1 angka 11 Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital
Bylaws) adalah aturan dasar yang mengatur tata cara penyelenggaraan rumah sakit
meliputi peraturan internal korporasi dan peraturan internal staf medis yang
disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola rumah sakit yang baik dan
tata kelola klinis yang baik. Dalam hal ini maka rumah sakit bergerak atas dasar
peraturan internal yang sudah diterapkan oleh pihak rumah sakit, guna
mempererat pekerjaan dan juga tanggungjawab setiap pekerjaan yang dilakukan
oleh tenaga medis maupun tenaga kesehatan. Pencegahan infeksi nosokomial di
rumah sakit sangat susah diterapkan atau sangat sulit diidentifikasi karena tingkat
pengetahuan tenaga kesehatan menunjukkan bahwa Sebagian besar pengetahuan
tenaga kesehatan masih di bawah rata-rata. Padahal sebagian besar tenaga
Kesehatan telah mengetahui bahwa tenaga Kesehatan wajib menjaga Kesehatan
dan keselamatan dirinya sendiri maupun orang lain serta bertanggung jawab
sebagai pelaksana kebijakan yang ditetapkan oleh rumah sakit. Tenaga Kesehatan
juga bertanggung jawab dalam menggunakan sarana yang disediakan dengan baik
dan benar serta memelihara sarana agar selalu siap untuk dipakai11
Harus disadari bahwa hidup dan kebebasan manusia akan menjadi tanpa
makna jika kesehatannya tidak terurus. Oleh sebab itu, kesehatan sebagai isu hak
asasi manusia, dalam hal ini hak atas derajat kesehatan yang optimal dan negara
berkewajiban memenuhi hak tersebut. Konsep kesehatan akan memiliki muatan
normatif sebagai konsep hukum jika konsep kesehatan menyandang predikat
yuridis tertentu dalam hal ini hak, yaitu sebagai hak asasi manusia. 12 Dalam Pasal
28 huruf H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwasanya “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan dan negara wajib untuk
menyediakannya”. Maka dari itu, jika selaku tenaga Kesehatan yang menangani
pasien tidak mau atau kurang setuju atas pencegahan penularan infeksi
11
ibid.
12
Hasbi Ibrahim, Pengendalian Infeksi Nosokomial dengan Kewaspadaan
Umum di Rumah Sakit (Integrasi Nilai Islam dalam Membangun Derajat
Kesehtan), vol 53 (2019).
nosokomial dengan alasan klasik itu sangat tidak memenuhi hak atas Kesehatan
yang berhak diperoleh oleh pasien.

Metode Penelitian
Dalam menyusun penelitian ini, menggunakan tipe penelitian hukum
(legal research) yang bertujuan untuk mencari penyelesaian hukum, pemecahan
atas isu hukum yang ada. Hasil akhir yang akan dicapai dari tipe penelitian ini
ialah dengan menemukan suatu kebenaran koherensi yakni apakah tindakan (act)
yang dilakukan oleh tenaga Kesehatan dan pertanggung jawaban hukum rumah
sakit telah sesuai dengan aturan atau norma hukum yang berlaku. Pendekatan
penelitian yang digunakan ialah dengan menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus.

STANDAR PENCEGAHAN INFEKSI PNEUMONIA MENURUT


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Rumah sakit sebagai tingkat pelayanan lanjutan setelah puskesmas
tentunya harus mempunyai pelayanan yang lebih baik. Bukan hanya sebagai
penunjang kesehatan di dalam wilayah kecil seperti kecamatan, namun dalam
cakupan lebih luas seperti kabupaten ataupun kota. Seseorang yang datang berobat
ke rumah sakit mempunyai harapan tinggi akan pelayanan kesehatan yang
diberikan. Karena masyarakat beranggapan kualitas pelayanan rumah sakit pasti
berkualitas dengan didukung fasilitas, sumber daya manusia di rumah sakit lebih
bisa menanggulangi masalah kesehatan mereka.13
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan rawat darurat.14 Rumah sakit umum adalah rumah sakit
yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang penyakit. Hakikat
dasar rumah sakit adalah pemenuhan kebutuhan dan tuntutan pasien yang
13
Soekanto Soerjono, Pengantar Hukum Kesehatan (Remadja Karya 1987).
14
Rudi S, “Sejarah Perkembangan Rumah Sakit” (2016) 2 Universitas
Atmajaya Yogyakarta.
mengharapkan penyelesaian masalah kesehatannya pada rumah sakit. 15 Pasien
memandang bahwa hanya rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan medis
sebagai upaya penyembuhan dan pemulihan atas rasa sakit yang dideritanya.
Pasien mengharapkan pelayanan yang siap, cepat, tanggap, dan tanggap terhadap
keluhan penyakit pasien.16
Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2018 adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam KMK
No. 34 tahun 2010 tentang klasifikasi rumah sakit dijelaskan bahwa rumah sakit
diklasifikasi menurut tugas, kelas dan cakupan wilayah kerjanya dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.17 Dalam Pasal 4 Bab III KMK No.340
tersebut dijelaskan bahwa terdapat 4 tipe rumah sakit sesuai dengan kelas
pelayanan dan cakupan wilayah pelayanan kesehatan yang diberikan. Terdiri dari
rumah sakit tipe A, Tipe B, Tipe C dan Tipe D.18
Rumah sakit memiliki tugas dan fungsi berdasarkan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Tugas rumah sakit adalah
melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna
dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara
serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya

15
Roro Rukmini Widiaswari, “IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN
MINIMAL RUMAH SAKIT (Studi Standar Pelayanan Minimal RSUD H.
Damanhuri Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2008)” (2020) 4
PubBis : Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi Publik dan
Administrasi Bisnis 20.
16
Rudi S (n 14).
17
J Guwandi, Etika dan Hukum Kedokteran (Seri Hukum, Fakultas Hukum
Indonesia 1991).
18
Pudentiana, Buku Ajar Etika Profesi Perawat Gigi dan Tenaga Kesehatan
Gigi (Perpustakaan Adipadma ed, Perpustakan Adipadma IIK Bhakti Wiyata
Kediri 2014).
rujukan, rumah sakit juga mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna.19 Sedangkan untuk fungsi rumah sakit adalah :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
3. Pelayanan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun
2014 ada dua macam ruah sakit, yaitu :
1. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
2. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur,organ, jenis penyakit atau kekhususan
lainnya.

Maksud dan tujuan dari adanya Standar Pelayanan Minimal dimakasudkan


agar tersedianya panduan bagi daerah dalam melaksanakan perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan standar pelayanan minimal rumah sakit. Standar pelayanan
minimal ini bertujuan untuk menyamakan pemahaman tentang definisi operasi
indicator kinerja.20

19
Darmadi, Infeksi Nososkomial Problematika dan Pengendaliannya (Salemba
Medika 2008).
20
Tjahjono Kuntjoro dan Hanevi Djasri, “Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit Sebagai Persyaratan Badan Layanan Umum dan Sarana Peningkatan
Kinerja” (2007).
Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Unsur
kesalahan merupakan jantung dari pertanggungjawaban pidana. Tidak seorang
pun yang melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan
(Geen Straf Zonder Schuld)21. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur
kesalahan terhadap korporasi bukan hal yang mudah, karena korporasi sebagai
subjek hukum pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya
manusia alamiah (natuurlijk).22 Dalam model pertanggungjawaban pidana
korporasi mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban
pidana korporasi terdapat model pertanggungjawaban korporasi sebagai berikut:
a) Pengurus Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
b) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
c) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.

Rumah sakit sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik


mempunyai tanggung jawab atas setiap pelayanan jasa publik kesehatan yang
diselenggarakannya23. Tanggung jawab tersebut yakni menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau berdasarkan prinsip aman,
menyeluruh, non diskriminatif, partisipatif, dan memberikan perlindungan bagi
masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan (health receiver), juga
bagi penyelenggara pelayanan kesehatan demi untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.24 Tanggung jawab atas pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh rumah sakit sebagai rechtpersoon sering menimbulkan
masalah hukum, apabila terjadi tuntutan atau gugatan ganti kerugian dan
sebagainya.

21
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana (Sinar Grafika 2010).
22
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revi, 2014).
23
Febi Irianto, “Pertanggungjawaban Hukum Pidana Rumah Sakit Sebagai
Korporasi Pelayanan Kesehatan” (2021) 4 Sol Justicia 163.
24
ibid.
Kondisi inilah yang menempatkan rumah sakit sebagai subjek hukum,.
Hak rumah sakit dibahas dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit Pasal 30 ayat (1) sedangkan kewajiban rumah sakit diatur pada Pasal
29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Menurut Pasal 46
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 dengan tegas merumuskan
pertanggungjawaban rumah sakit sebagai berikut : “Rumah sakit bertanggung
jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah sakit”. Suatu kelalaian
merupakan sebuah indikasi penyimpangan dalam pelayanan Kesehatan yang
apabila berakibat kecacatan atau kematian merupakan kajian hukum pidana.
Perumusan tanggung jawab hukum rumah sakit dalam ketentuan ini sangat
berbeda jika dibandingkan dengan perumusan tanggung jawab hukum korporasi
pada perundang-undangan lainnya.
Terkait dengan bentuk kesalahan yang mungkin dilakukan oleh tenaga
Kesehatan dalam memberikan pelayanan Kesehatan maka bentuk kelalaian lah
yang terjadi. Pola pemikiran seperti ini lah yang diterapkan dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menekankan kelalaian tenaga kesehatan
sebagai penyebab timbulnya sengketa, demikian pula Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009. Kesengajaan memang bisa saja dilakukan tenaga
Kesehatan seperti melakukan aborsi, euthanasia, memasang ventilator pasien
tanpa mensterilkannya, dan lain sebagainya, tapi hanya saja rumah sakit tidak
bertanggung jawab secara hukum karena tujuan rumah sakit untuk meningkatkan
Kesehatan, akan tetapi dengan tidak adanya perhatian yang lebih dari rumah sakit
terhadap pasien nya dapat menimbulkan penyakit yang derita pasien semakin
parah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 bahwa Rumah Sakit hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap
kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat kelalaian tenaga kesehatan (medical
negligence). Oleh karena itu dalam hal tenaga kesehatan melakukan kelalaian
maka harus dilihat terlebih dahulu apakah kelalaian tersebut terjadi sebagai akibat
kekurang hati-hatian tenaga kesehatan ataukah pelanggaran pada standar
pelayanan kesehatan. Loebby Loqman menegaskan " .. harus dicari secara per
kasus baik faktor yang ada dalam diri pemberi pelayanan kesehatan, pasien
maupun faktor-faktor diluar kedua subyek tersebut. Apabila tenaga kesehatan
kurang hati-hati dalam melakukan upaya kesehatan padahal sudah sesuai prosedur
maka kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab Rumah sakit. Sebaliknya
ketika tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan sesuai dengan prosedur
pelayanan kesehatan maka tenaga kesehatan harus bertanggung jawab secara
personal atas kerugian yang ditimbulkannya. hasil dari denda dan barang-barang
rampasan masuk kas negara.
Dasar hukum untuk menjatuhkan pidana kepada perawat (tenaga
kesehatan) yang melakukan delik atas dasar culpa adalah adanya perbuatan yang
merugikan berbagai kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun
kepentingan masyarakat. Dengan adanya dasar culpa tersebut pasal yang
dikenakan Pasal 360 KUHP. Serta dikaitkan dengan Pasal 84 ayat (1)
UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan. Setiap Tenaga
Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun.
Berdasarkan data yang dihimpun pada tahun 2011-2012 di Rumah Sakit
Dr. Soetomo Surabaya terjadi kelalaian yang diakibatkan oleh tenaga kesehatan
dalam melakukan tindak pergantian ventilator atau alat bantu pernapasan terhadap
pasien yang mengidap infeksi pneumonia. Diduga melakukan malpraktek dalam
pekerjaan nya, maka tenaga kesehatan tersebut harus mengganti kerugian berupa
uang sebesar hari rawat yang dikeluarkan pasien. Dan jika tenaga kesehatan
tersebut melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian terhadap pasien,
maka pertanggungjawaban tenaga kesehatan dikenakan sesuai dengan Pasal 84
ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang
akan diancam pidana penjara 3 (tiga) tahun.
Sanksi pidana rumah sakit menurut Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang No
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar
rupiah). Dalam pasal tersebut, sanksi pidana tersebut ditujukan pada rumah sakit
yang tidak memiliki izin dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dalam
rumah sakit tersebut. Jika dilihat dari sanksi pidana pada Pasal 25 ayat (1)
pertanggungjawaban hukum rumah sakit atas terjadinya penyebaran infeksi
pneumonia atas kesalahan tenaga kesehatan maka rumah sakit dapat dituntut
pidana penjara selama 2 tahun, dikarenakan hal yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang tidak mensterilkan alat medis itu termasuk dalam tidak memenuhi
perizinan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Menurut Pasal 62 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan
rumah sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.

Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di bab-bab diatas dan disertai
dengan hasil penelitian dan sampel yang ada di dalam data Rumah Sakit Dr.
Soetomo Surabaya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Penyebaran infeksi nosokomial yang terjadi pada Rumah Sakit Dr.
Soetomo Surabaya telah memakan banyak korban, banyak sekali pasien yang
telah mengidap infeksi pneumonia yang penyebaran nya sangatlah pesat
dikarenakan bakteri dan kelalaian tenaga kesehatan dalam pemasangan ventilator.
Penyebaran infeksi nosokomial ini di hitung karena lamanya rawat inap pasien,
bakteri, serta pemasangan ventilator. Penyebaran infeksi nosokomial akibat
pemasangan ventilator diduga karena tenaga kesehatan lalai tidak mensterilkan
ventilator terlebih dahulu sebelum di pasang.
Menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit pertanggungjawaban akan ditanggung oleh pihak rumah sakit. Akan tetapi,
jika pada kesalahan tenaga Kesehatan maka rumah sakit tidak menanggung semua
pertanggungjawaban. Pihak rumah sakit akan memberikan pertanggungjawaban
berupa kerugian yang di dapat pasien. Oleh karena itu dalam hal tenaga kesehatan
melakukan kelalaian maka harus dilihat terlebih dahulu apakah kelalaian tersebut
terjadi sebagai akibat kekurang hatihatian tenaga kesehatan ataukah pelanggaran
pada standar pelayanan kesehatan.

DAFTAR BACAAN

Buku

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revi, 2014)

Darmadi, Infeksi Nososkomial Problematika dan Pengendaliannya (Salemba


Medika 2008).

Guwandi J, Etika dan Hukum Kedokteran (Seri Hukum, Fakultas Hukum


Indonesia 1991).

Pudentiana, Buku Ajar Etika Profesi Perawat Gigi dan Tenaga Kesehatan Gigi
(Perpustakaan Adipadma ed, Perpustakan Adipadma IIK Bhakti Wiyata Kediri
2014).

Rico Mardiansyah, “Dinamika Politik Hukum Dalam Pemenuhan Hak Atas


Kesehatan Di Indonesia” (2018) 4 Kementerian Kesehatan Repbulik Indonesia
RSDK, Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial RSUP. Dr. Karyadi
Semarang (Perpustakaan RSUP Dr Karyadi Semarang 1989).

Jurnal

A.Baharutan, “Pola Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial Pada Ruang Perawatan


Intensif Anak Di Blu RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado” (2015) 3 Jurnal e-
Biomedik.

Asadullah I, “Pola Bakteri Penyebab Pneumonia Nosokomial Di RS Dr. Sutomo


Surabaya Periode Januari 2011-Maret 2012” (2015) 11 Universitas Muhamadiyah
Malang.
Febi Irianto, “Pertanggungjawaban Hukum Pidana Rumah Sakit Sebagai
Korporasi Pelayanan Kesehatan” (2021) 4 Sol Justicia 163.

H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana (Sinar Grafika 2010)


Ibrahim H, Pengendalian Infeksi Nosokomial dengan Kewaspadaan Umum di
Rumah Sakit (Integrasi Nilai Islam dalam Membangun Derajat Kesehtan), vol 53
(2019).

Kuntjoro T dan Djasri H, “Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Sebagai


Persyaratan Badan Layanan Umum dan Sarana Peningkatan Kinerja” (2007) .

Rudi S, “Sejarah Perkembangan Rumah Sakit” (2016) 2 Universitas Atmajaya


Yogyakarta.

Soerjono S, Pengantar Hukum Kesehatan (Remadja Karya 1987)


Widiaswari RR, “IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN MINIMAL
RUMAH SAKIT (Studi Standar Pelayanan Minimal RSUD H. Damanhuri
Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2008)” (2020) 4 PubBis : Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Administrasi Publik dan Administrasi Bisnis .

Peraturan Perundangan-Undangan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5607.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072.

Peraturan Pemeritah Nomor 67 Tahun 2019 Tentang Pengelolahan Tenaga


Kesehatan. Lmebaran Tahun 2019 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6391.

Anda mungkin juga menyukai