Anda di halaman 1dari 9

Nama : Berta Jasma Arisanti

NIM : PO7120222006
Tingkat :1(A)
Mata Kuliah : Manajemen Pasien Safety
Dosen Pengampu : Ns, Aisyah, S.Kep.,M.Kep

Infeksi Nosokomial

1. Pengertian Infeksi Nasokomial


Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Seseorang
dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika infeksinya terjadi ketika sedang berada atau
menjalani perawatan di rumah sakit.Infeksi nosokomial bisa terjadi pada pasien, perawat,
dokter, serta pekerja atau pengunjung rumah sakit. Beberapa contoh penyakit yang dapat
terjadi akibat infeksi nosokomial adalah infeksi aliran darah, pneumonia, infeksi saluran
kemih (ISK), dan infeksi luka operasi (ILO).
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan
komeo artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/rumah sakit. Jadi, infeksi
nosokomial dapat diartikan infeksi yang terjadi di rumah sakit (Salam, 2013). Infeksi
nosokomial adalah infeksi silang yang terjadi pada perawat atau pasien saat dilakukan
perawatan di rumah sakit. Jenis yang paling sering adalah infeksi luka bedah dan infeksi
saluran kemih dan saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia). Tingkat paling tinggi
terjadi di unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan ortepedi serta pelayanan obstetric
(seksio sesarea).

2. Penyebab Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial paling sering disebabkan oleh bakteri, seperti Staphylococcus


aureus, E. coli, Enterococci, dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi bakteri ini lebih
berbahaya karena umumnya disebabkan oleh bakteri yang sudah kebal (resisten) terhadap
antibiotik, misalnya MRSA atau bakteri penghasil ESBL.

Infeksi nosokomial akibat bakteri bisa menyerang pasien yang sedang dirawat di rumah
sakit atau pasien dengan daya tahan tubuh yang lemah.Selain bakteri, infeksi nosokomial juga
dapat disebabkan oleh virus, jamur, dan parasit. Penularan infeksi nosokomial dapat terjadi
lewat udara, air, atau kontak langsung dengan pasien yang ada di rumah sakit.

3. Faktor risiko infeksi nosokomial

Seseorang yang berada di rumah sakit lebih berisiko terkena infeksi nosokomial jika memiliki
faktor-faktor berikut:

 Berusia lanjut atau masih bayi


 Memiliki riwayat mengonsumsi antibiotik dalam jangka panjang
 Menggunakan infus, kateter urine, dan tabung endotrakeal (ETT)
 Menderita koma, cedera berat, luka bakar, atau syok
 Memiliki daya tahan tubuh yang lemah, misalnya akibat HIV/AIDS atau
menggunakan obat imunosupresan
 Sering kontak dengan pasien penyakit menular tanpa menggunakan alat pelindung diri
yang sesuai standar operasional (SOP)
 Menggunakan alat bantu pernapasan, seperti ventilator
 Mendapatkan perawatan dalam jangka panjang di ICU
 Menjalani prosedur operasi, seperti operasi jantung, operasi tulang, operasi
transplantasi organ, dan operasi implan alat medis, seperti alat pacu jantung

Selain faktor-faktor di atas, lingkungan rumah sakit yang padat, pemindahan pasien dari satu
unit ke unit yang lain, serta penggabungan pasien penyakit menular dan pasien dengan daya
tahan tubuh lemah di ruangan yang sama, juga meningkatkan risiko terjadinya infeksi
nosokomial.

4. Gejala Infeksi Nosokomial

Gejala yang muncul pada penderita infeksi nosokomial dapat bervariasi, tergantung pada
penyakit infeksi yang terjadi. Gejala yang dapat muncul antara lain:

 Demam
 Batuk
 Sesak napas
 Ruam di kulit
 Denyut nadi yang cepat
 Tubuh terasa lemas
 Sakit kepala
 Nyeri otot
 Mual atau muntah
 Diare

Selain gejala umum yang disebutkan di atas, penderita juga bisa mengalami gejala spesifik
sesuai jenis infeksi nosokomial yang dialami, seperti:

 Infeksi aliran darah, dengan gejala berupa demam, menggigil, sesak napas, tekanan
darah menurun, atau kemerahan dan nyeri di tempat pemasangan infus bila infeksi
terjadi melalui pemasangan infus
 Pneumonia, dengan gejala berupa demam, sesak napas, batuk berdahak, dan nyeri
tajam di dada yang terasa saat bernapas atau batuk
 Infeksi luka operasi, yang ditandai dengan demam, kemerahan, nyeri, dan keluarnya
nanah pada luka
 Infeksi saluran kemih, dengan gejala berupa demam, sulit atau sakit saat buang air
kecil, sakit di bagian bawah perut atau punggung, dan terdapat darah pada urine
(hematuria).

5. Pengobatan Infeksi Nosokomial

Jika infeksi diduga disebabkan oleh bakteri, dokter akan memberikan antibiotik secara
empiris. Terapi antibiotik secara empiris adalah pemberian antibiotik awal sebelum jenis
bakteri penyebab infeksi diketahui dengan pasti.

Tujuan terapi tersebut adalah untuk menghambat perkembangan atau membunuh bakteri
penyebab infeksi sambil menunggu hasil kultur keluar. Setelah hasil kultur keluar, antibiotik
dan obat lain yang diberikan akan disesuaikan dengan jenis bakteri atau kuman yang
menyebabkan infeksi nosokomial.

Jika infeksi nosokomial disebabkan oleh infeksi luka operasi atau ulkus dekubitus, dokter
akan melakukan operasi debridement. Prosedur ini berguna untuk mengangkat jaringan yang
terinfeksi dan rusak agar infeksi tidak menyebar.
Terapi penunjang, seperti pemberian cairan, oksigen, atau obat untuk mengatasi gejala, akan
diberikan sesuai kondisi dan kebutuhan pasien. Terapi penunjang bertujuan untuk
memastikan agar kondisi pasien tetap stabil. Bila memungkinkan, semua alat yang
meningkatkan risiko terjadinya infeksi akan dicabut atau diganti.

6. Komplikasi Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan berbagai komplikasi,
seperti:

 Infeksi jantung (endokarditis)


 Infeksi tulang (osteomielitis)
 Infeksi pada selaput pelindung organ pencernaan (peritonitis)
 Infeksi selaput otak (meningitis)
 Sepsis
 Kumpulan nanah di dalam paru (abses paru)
 Kerusakan organ
 Pembusukan organ (gangren)
 Gagal napas
 Penyembuhan luka yang lebih lambat
 Gagal ginjal.

7. Pencegahan Infeksi Nosokomial

Pencegahan infeksi nosokomial menjadi tanggung jawab seluruh orang yang berada di rumah
sakit, termasuk pasien, pengunjung, serta petugas kesehatan, seperti dokter dan perawat.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi ini adalah:

a) Cuci tangan

Penting bagi semua orang yang berada di rumah sakit untuk mencuci tangan dengan cara
yang benar sesuai rekomendasi WHO. Ada lima kondisi wajib untuk cuci tangan saat berada
di rumah sakit, yaitu:
 Sebelum memegang pasien
 Sebelum melakukan prosedur dan tindakan kepada pasien
 Setelah terpapar dengan cairan tubuh (misalnya darah, urine, atau feses)
 Setelah menyentuh pasien
 Setelah menyentuh barang-barang di sekitar pasien

b) Jaga kebersihan lingkungan rumah sakit

Lingkungan rumah sakit perlu dibersihkan dengan cairan pembersih atau disinfektan. Lantai
rumah sakit perlu dibersihkan sebanyak 2–3 kali per hari, sementara dindingnya perlu
dibersihkan setiap 2 minggu.

c) Gunakan alat sesuai dengan prosedur

Tindakan medis dan penggunaan alat atau selang yang menempel di tubuh, seperti infus, alat
bantu napas, atau kateter urine, harus digunakan dan dipasang sesuai standar operasional
prosedur (SOP) yang berlaku di tiap-tiap rumah sakit atau sarana kesehatan.

d) Tempatkan pasien berisiko di ruang isolasi

Penempatan pasien harus sesuai dengan kondisi dan penyakit yang diderita. Contohnya,
pasien dengan daya tahan tubuh lemah atau pasien yang berisiko menularkan penyakit ke
pasien lain akan ditempatkan di ruang isolasi.

e) Gunakan alat pelindung diri (APD) sesuai SOP

Staf dan setiap orang yang terlibat dalam pelayanan di rumah sakit perlu menggunakan alat
pelindung diri sesuai SOP, seperti sarung tangan dan masker, saat melayani pasien.

Selain beberapa upaya pencegahan di atas, disarankan bagi bayi, anak-anak, dan lansia untuk
tidak melakukan kunjungan ke rumah sakit guna mengurangi risiko terkena infeksi
nosokomial.
PATIENT SAFETY MEMUTUS RANTAI INFEKSI

Keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Salah satu sasaran keselamatan pasien (patient safety) yaitu:
pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.

Infeksi nosokomial yang dikenal dengan Healthcare Associated Infections (HAIs)


dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari
pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Salah satu
tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan pengendalian infeksi adalah
hand hygiene (kebersihan tangan) karena kegagalan dalam menjaga kebersihan tangan adalah
penyebab utama infeksi nosokomial dan mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multi
resisten di fasilitas pelayanan kesehatan. Menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci
tangan adalah metode paling mudah dan efektif dalam pencegahan infeksi nosokomial.
Tangan merupakan organ tubuh yang selalu kontak langsung dengan apapun termasuk
bendabenda disekitar kita.

Tangan sebagai sumber perantara berbagai macam mikroorganisme yang bisa


mengganggu kesehatan kita. Mencuci tangan dengan benar dapat mencegah terjadinya
infeksi. Namun pada kenyataannya, tindakan cuci tangan yang benar seringkali diabaikan, hal
ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang cara mencuci tangan yang benar.

Kewaspadaan Standar Komponen utama standar pencegahan dan pengendalian infeksi


nosokomial dalam tindakan operasional mencakup kegiatan sebagai berikut:

a) Mencuci tangan Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan
dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Mencuci tangan dengan
sabun biasa dan air bersih adalah sama efektifnya mencuci tangan dengan sabun
antimikroba. Ada beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan
menggunakan sabun antiseptik ini, yaitu saat akan melakukan tindakan invasif,
sebelum kontak dengan pasien yang dicurigai mudah terkena infeksi (misalnya: bayi
yang baru lahir dan pasien yang dirawat di ICU). Mencuci tangan sebaiknya
dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa dan mengadakan kontak langsung dengan
pasien, saat memakai melepas sarung tangan bedah steril atau yang telah di disinfeksi
tingkat tinggi pada operasi serta pada pemeriksaan untuk prosedur rutin, saat
menyiapkan, mengkonsumsi dan setelah makan juga pada situasi yang membuat
tangan terkontaminasi (misal: memegang instrumen kotor, menyentuh membran
mukosa, cairan darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak yang intensif dalam waktu
yamg lama dengan pasien, mengambil sampel darah, saat memeriksa tekanan darah,
tanda vital lainnya juga saat keluar masuk unit isolasi).
b) Menggunakan alat pelindung diri/APD seperti: sarung tangan, masker, pelindung
wajah, kacamata dan apron pelindung Alat pelindung diri yang paling baik adalah
yang terbuat dari bahan yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh
cairan. Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit
dan dapat melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat di tangan petugas
kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) yang paling penting untuk
mencegah penyebaran infeksi. Satu pasang sarung tangan harus digunakan untuk
setiap pasien sebagai upaya menghindari kontaminasi silang. Sarung tangan dipakai
saat ada kemungkinan kontak dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa
atau kulit yang terlepas, saat akan melakukan prosedur medis yang bersifat invasif
(seperti: pemasangan kateter dan infus intravena), saat menangani bahan-bahan bekas
pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar, serta
memakai sarung tangan bersih atau tidak steril saat akan memasuki ruang pasien yang
telah diketahui atau dicurigai mengidap penyakit menular. Masker dipakai untuk
mencegah percikan darah atau cairan tubuh memasuki hidung atau mulut petugas
kesehatan, juga menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara,
bersin dan batuk. Masker juga dipakai untuk mencegah partikel melalui udara atau
droplet dari penderita penyakit menular (tuberkulosis). Masker dilepas setelah
pemakaian selama 20 menit secara terusmenerus atau masker sudah tampak kotor atau
lembab. Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang memiliki
kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh. Pelindung mata harus jernih,
tidak mudah berembun, tidak menyebabkan distorsi, dan terdapat penutup
disampingnya. Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan kulit
petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun pelindung juga harus dipakai saat ada
kemungkinan terkena darah, cairan tubuh. Apron terbuat dari karet atau plastik,
merupakan penghalang tahan air sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan.
Apron harus dikenakan dibawah gaun pelindung ketika melakukan perawatan
langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan prosedur saat terdapat
risiko terkena tumpahan darah dan cairan tubuh. Hal ini penting jika gaun tidak tahan
air.
c) Praktik keselamatan kerja Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian
instrumen tajam seperti jarum suntik. Hal ini meliputi: hindari menutup kembali
jarum suntik yang telah digunakan. Bila terpaksa dilakukan, maka gunakan teknik
satu tangan untuk menutup jarum, hindari melepas jarum yang telah digunakan dari
spuit sekali pakai, hindari membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi
jarum suntik dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke dalam wadah yang
tahan tusukkan dan tahan air.
d) Perawatan pasien Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan:
pemakaian kateter urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi darah, pemasangan
selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan luka bekas operasi.
Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi terhadap infeksi saluran kemih
(ISK). Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan ISK nosokomial terjadi akibat
instrumentasi traktus urinarius, terutama pada tindakan kateterisasi. Pemasangan
kateter urin merupakan tindakan perawatan yang sering dilakukan di rumah sakit.
Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter urin harus dilakukan sesuai prinsip
aseptik untuk mencegah dan mengendalikan ISK nosokomial. Penggunaan alat
intravaskular untuk memasukkan cairan steril, obat atau makanan serta untuk
memantau tekanan darah sentral dan fungsi hemodinamik meningkat tajam pada
dekade terakhir. Kateter yang dimasukkan melalui aliran darah vena atau arteri
melewati mekanisme pertahanan kulit yang normal dan penggunaan alat ini dapat
membuka jalan untuk masuknya mikroorganisme. Transfusi darah memiliki kesamaan
dalam beberapa hal dengan penggunaan pemberian pengobatan melalui pembuluh
darah. Terdapat risiko serius bagi pasien yang menerima transfusi darah. Pedoman
dalam melakukan proses seleksi, pemeriksaan serta prosedur transfusi yang tepat dan
aman telah dikembangkan mengingat resiko infeksi HBV, HCV dan HIV.Cara yang
paling penting untuk mencegah infeksi nosokomial adalah memutus cara penularan
yang berhubungan dengan prosedur perawatan peralatan. Dekontaminasi,
pembersihan dan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi harus diperhatikan sebelum
peralatan digunakan kembali. Infeksi luka paska operasi atau surgical site infection
(SSI) dapat terjadi akibat perawatan luka yang tidak memenuhi syarat aseptik.
Transmisi mikroorganisme mudah terjadi saat prosedur ganti balut luka operasi di
ruangan berlangsung. Cuci tangan, memakai sarung tangan dan alat pelindung diri,
teknik ganti balut secara aseptik dan peralatan steril merupakan prosedur perawatan
luka paska operasi yang sering diabaikan.
e) Penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan Larutan antiseptik dapat digunakan untuk mencuci tangan terutama pada
tindakan bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan bedah atau tindakan invasif
lainnya. Instrumen yang kotor, sarung tangan bedah dan barang-barang lain yang
digunakan kembali dapat diproses dengan dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi
atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk mengendalikan infeksi. Dekontaminasi dan
pembersihan merupakan dua tindakan pencegahan dan pengendalian yang sangat
efektif meminimalkan risiko penularan infeksi. Hal penting sebelum membersihkan
adalah mendekontaminasi alat tersebut. Dengan merendam dalam larutan kloron 0,5
% selama 10 menit. Langkah ini dapat menonaktifkan HBV, HCV dan HIV serta
dapat mengamankan petugas yang membersihkan alat tersebut. Setelah melakukan
langkah dekontaminasi, selanjutnya adalah pembersihan. Proses pembersihan penting
dilakukan karena tidak ada prosedur sterilisasi dan DTT yang efektif tanpa melakukan
pembersihan terlebih dahulu. Pembersihan dapat dilakukan dengan menggunakan
sabun cair dan air untuk membunuh mikroorganisme. Gunakan pelindung saat
membersihkan alat. Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung
dengan aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan . Sterilisasi dapat
dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe), pemanasan kering
(oven), sterilisasi kimiawi dan fisik.

Anda mungkin juga menyukai