Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH INFEKSI SILANG

( INFEKSI NOSOKOMINAL)
Dosen Pengampu : Drg. Surya Irayani Yunus, M.MKes

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
 Nadya Dwi fauziah (PO713261211031)
 Nazwatun Nur Aulia Rizky (PO713261211032)
 Nisaul Fashihah (PO713261211033)
 Novitasari (PO713261211034)
 Nur Aisyah Al Fani (PO713261211035)

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


PROGRAM STUDI DIII KESEHATAN GIGI
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, kami bias menyelesaikan makalah yang berjudul "Infeksi Nosokominal."
Tidak lupa kami, mengucapkan terima kasih kepada Drg. Surya Irayani Yunus, M.MKes
selaku dosen mata kuliah Infeksi silang yang telah membantu kami dalam mengerjakan makalah
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam
pembuatan karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik senantiasa diharapkan demi
perbaikan makalah ini.

Penulis. Jakarta, 21 Agustus 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit akibat peradangan
maupun luka, yang dapat merusak fungsi jaringan maupun organ. Masalah kesehatan ini bisa
terjadi di mana saja, salah satunya adalah infeksi di rumah sakit yang dikenal dengan sebutan
infeksi nosokomial.
Infeksi nosokominal adalah jenis infeksi yang menyebar di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya. Dalam dunia medis, kondisi ini juga disebut sebagai health-
care associated infection (HAI) atau hospital-acquired infections.
Suatu infeksi dapat digolongkan sebagai HAI apabila penularannya terjadi di rumah sakit.
Gejalanya pun baru muncul ketika pasien sudah keluar dari rumah sakit. Selain itu, para
pekerja di rumah sakit juga sangat mungkin terinfeksi.
Infeksi nosokomial bisa disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit atau jamur yang ada
di rumah sakit. Banyak faktor yang dapat memicu seseorang terinfeksi di rumah sakit.
Beberapa di antaranya, seperti rendahnya kekebalan tubuh, penggunaan teknologi dan
prosedur medis yang meningkatkan risiko infeksi, dan penyebaran bakteri yang kebal obat di
antara orang-orang di rumah sakit.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu infeksi nosokomial
2. Apa yang dilakukan rumah sakit untuk mencegahnya

1.3 Tujuan
Mengetahui kesesuaian aktivitas cuci tangan sebelum menyentuh pasien dengan indikasi
cuci tangan dan aktivitas mencuci tangan sebelum melakukan tindaan aseptik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Infeksi Nosokomial


 Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Seseorang dikatakan
mengalami infeksi nosokomial jika infeksinya didapat ketika berada atau pada saat menjalani
perawatan di rumah sakit.
Infeksi nosokomial paling sering disebabkan oleh bakteri. Infeksi bakteri ini lebih
berbahaya karena umumnya disebabkan oleh bakteri yang sudah kebal (resisten) terhadap
antibiotik. Infeksi nosokomial akibat bakteri ini bisa terjadi pada pasien yang sedang
mendapatkan perawatan di rumah sakit atau pasien dengan sistem imun atau daya tahan
tubuh yang lemah. Selain bakteri, infeksi nosokomial juga dapat disebabkan oleh virus,
jamur, dan parasit. Penularan infeksi nosokomial dapat terjadi lewat udara, air, atau kontak
langsung dengan pasien yang ada di rumah sakit.
 Empat jenis infeksi nosokomial yang paling umum meliputi: infeksi aliran darah
primer (IADP), infeksi saluran kemih (ISK) terkait kateter, infeksi daerah operasi (IDO) dan
Pneumonia terkait ventilator (VAP).
 Infeksi aliran darah primer (IADP)
Infeksi aliran darah primer didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi
langsung pada aliran darah di dalam pembuluh darah. Infeksi aliran darah
primer harus dikonfirmasi dengan adanya mikroorganisme patogen di dalam
aliran darah, tanpa adanya infeksi di organ atau jaringan tubuh lain.
Umumnya, kondisi ini dikaitkan dengan pemasangan kateter pembuluh darah,
sehingga sering disebut dengan catheter-related bloodstream infection
(CRBSI) dan central line-associated bloodstream infection (CLABS).
Gejala infeksi aliran darah umumnya mirip dengan gejala penyakit infeksi
pada umumnya, di antaranya:
1. Demam dan menggigil
2. Napas yang cepat
3. Jantung berdebar-debar
4. Tubuh berkeringat
5. Lelah dan lemas
Diagnosis Infeksi Aliran Darah
Dokter akan menanyakan keluhan yang dirasakan pasien dan riwayat
kesehatannya. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik,
termasuk memeriksa tanda-tanda vital, seperti suhu, tekanan darah, frekuensi
pernapasan, dan denyut nadi.
Infeksi aliran darah akan dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memeriksa keberadaan bakteri
atau mikroorganisme di dalam aliran darah. Beberapa jenis pemeriksaan
laboratorium yang akan dilakukan adalah:
1. Kultur darah, untuk menilai jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab
infeksi aliran darah
2. Tes darah, untuk memeriksa ada tidaknya infeksi di dalam darah
Selain itu, jika dicurigai mengalami infeksi aliran darah sekunder akibat
penyebaran infeksi di bagian tubuh lain, dokter akan melakukan beberapa tes
lain, seperti tes urine, Rontgen, USG, CT scan, atau MRI.
Pengobatan infeksi aliran darah bertujuan untuk meredakan gejala
sekaligus mencegah komplikasi. Jenis dan lamanya waktu pengobatan akan
disesuaikan dengan penyebab dan tingkat keparahan infeksi.
Obat yang digunakan untuk mengobati infeksi aliran darah antara lain:
1. Antibiotik yang diberikan melalui suntikan untuk mengatasi bakteri
penyebab infeksi
2. Obat untuk meredakan demam dan nyeri, seperti paracetamol
3. Obat-obatan vasoaktif untuk meningkatkan tekanan darah
Selain itu, jika disebabkan oleh penggunaan kateter pembuluh darah, maka
penggantian dan penyesuaian penggunaan kateter akan dilakukan untuk
mengatasi infeksi aliran darah.
Komplikasi Infeksi Aliran Darah
Infeksi aliran darah bisa menyebabkan infeksi pada bagian dan organ tubuh
yang lain. Jika infeksi menyebar ke seluruh tubuh (sepsis) dan menyebabkan
terganggunya sirkulasi atau aliran darah, maka bisa terjadi syok septik. Syok
septik adalah kondisi yang berbahaya dan membutuhkan penanganan segera.
Selain itu bisa terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS), jika infeksi
aliran darah menyebabkan sepsis dan merusak sistem pernapasan.
Pencegahan Infeksi Aliran Darah
Untuk mencegah infeksi aliran darah, ada beberapa langkah yang bisa
dilakukan, yaitu:
1. Jaga kebersihan dan rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir,
atau dengan hand sanitizer.
2. Lakukan pemeriksaan ke dokter jika mengalami gejala penyakit infeksi.
3. Ikuti anjuran dan terapi yang diberikan oleh dokter sampai penyakit
infeksi benar-benar dinyatakan sembuh.
4. Jangan menggunakan jarum suntik atau obat-obatan suntik secara
sembarangan.
5. Lakukan vaksinasi wajib sesuai dengan jadwal
 Infeksi Saluran Kemih (ISK) Terkait Katerer
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme
patogen naik dari uretra ke kandung kemih dan berkembangbiak serta
meningkat jumlahnya sehingga menyebabkan infeksi pada ureter dan ginjal.
Keberadaan bakteriuria merupakan indikasi infeksi saluran kemih yaitu terjadi
pertumbuhan bakteri murni sebanyak > 100.000 colony forming units (cfu/ml)
pada biakan urin. Jenis bakteri patogen penyebab bakteriuria adalah
Escherichia coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, Enterobacter, Serratia,
Streptococcus, dan Staphylococcus.
Infeksi nosokomial saluran kemih umumnya disebabkan
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan urine dan penurunan
mekanisme alamiah kandung kemih untuk mempertahankan sterilitas terhadap
mikroorganisme.
Kateterisasi urine adalah proses atau tindakan pengeluaran urine dengan
memasukkan kateter urine dari uretra ke menuju kandung kemih. Kateterisasi
urine dilakukan apabila pasien tidak mampu mengeluarkan urine secara
normal (retensi atau obstruksi urine). Pemasangan kateter urine menjadi port
of entry bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam kandung kemih pada
kateter yang terkontaminasi. Terdapat dua metode yang digunakan dalam
kateterisasi urine yaitu kateter indwelling (kateter menetap) dan kateter
intermitten (kateter yang digunakan sewaktu- waktu). Kateter tetap akan
berpotensi bagi mikroorganime untuk berkolonisasi di sepanjang kateter.
Jalur perjalanan mikroorganisme ke kandung kemih melalui 3 hal yaitu:
uretra ke dalam kandung kemih pada saat pemasangan kateter, jalur dalam
lapisan tipis cairan uretra yang berada di luar kateter, dan migrasi ke dalam
kandung kemih di sepanjang lumen internal kateter yang terkontaminasi.
Kolonisasi bakteri akan mencapai kandung kemih setelah 7 hari pemasangan
kateter urine indwelling pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Penelitian
yang dilakukan oleh Leaver, menyebutkan bahwa bakteriuria ditemukan
sebanyak 44% pada pasien setelah 72 jam pertama pemasangan kateter urine
indwelling. Penelitian lain oleh Soewondo, menyebutkan bahwa pada pasien
terpasang kateter urine indwelling ditemukan bakteriuria 3–10% per hari,
sehingga pemasangan kateter urine indwelling harus dilakukan pada pasien
yang tepat indikasi dengan teknik aseptik yang benar dan peralatan yang steril.
Hal tersebut merupakan langkah awal kewaspadaan standar (universal
precaution) sebagai tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial saluran kemih. Faktor host yang mempengaruhi kejadian infeksi
nosokomial saluran kemih di antaranya: jenis kelamin, umur pasien, status
DM, gangguan metabolisme dan keadaan immunosupresi, pasien yang sedang
hamil, serta pasien yang mengalami gangguan neurologi. Insiden infeksi
nosokomial saluran kemih lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki. Perempuan lebih berisiko terkena infeksi saluran kemih
karena uretra perempuan lebih pendek sehingga mikroorganisme lebih mudah
memperoleh akses ke kandung kemih serta secara anatomi dekat dengan
vagina, kelenjar periuretral, dan rektum. Umur pasien di atas 55 tahun berisiko
mengalami infeksi saluran kemih, karena terjadi penurunan daya imun. Hal
tersebut ditandai dengan menurunnya fungsi atrofi sel timus. Involusi sel
timus menyebabkan jumlah dan kualitas respons sel T semakin berkurang.
Pasien dengan status DM terjadi peningkatan kadar glukosa dalam urine
sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi serta terjadi pengosongan
kandung kemih yang tidak normal pada pasien stoke atau neuropati otonom
dengan status DM. Penyakit tertentu seperti DM dan penyakit ginjal kronik
(PGK) dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan immunosupresi
sehingga menyebabkan gangguan mekanisme normal pertahanan sterilitas
kandung kemih. Kehamilan dan gangguan neurologi menyebabkan
pengosongan kandung kemih yang tidak normal dan statis urine.

 Infeksi Daerah Operasi (IDO)


Adalah satu komplikasi tindakan operasi yang sangat mengganggu, baik dari
sisi pasien maupun dokter dan rumah sakit sebagai penyedia layanan
kesehatan. Rerata insidens IDO pasca-seksio sesaria (SC) menurut literatur
berkisar antara 3-15%, bergantung pada metode pengawasan yang digunakan
untuk mengidentifi kasi infeksi, populasi, dan penggunaan antibiotik profi
laksis1 . Sementara, data dari National Nosocomial Infections Surveillance
System di Amerika menyatakan insidens IDO sebesar 3,15%2 . Terjadi
peningkatan insiden IDO pasca-SC di Departemen Obstetri dan Ginekologi
(Obsgin) pada bulan September 2014 sebanyak lebih dari dua kali lipat
dibandingkan dengan insidens pada bulan sebelumnya, yaitu dari kisaran
0,16% - 0,33% menjadi 2,32%, sedangkan di RSCM tidak boleh lebih ambang
sebesar dari 2%. Dengan demikian, hal ini sudah masuk dalam kriteria
kejadian luar biasa. Faktor risiko terjadinya IDO menurut Centers for Disease
Control terdiri dari faktor preoperatif, faktor operatif, dan faktor pasca-
operatif. Secara spesifik untuk IDO pasca-SC, faktor risikonya antara lain
pembentukan hematoma pascaoperasi, tempat operasi di RS pendidikan, dan
korioamnionitis3 . Rumah sakit telah melakukan beberapa upaya dalam
program penanggulangan KLB IDO pasca-SC oleh beberapa pihak yang
terkait, yaitu Panitia Penanggulangan Infeksi di Rumah Sakit

 Pneumonia Terkait Ventilator (VAP)


VAP adalah pneumonia yang merupakan infeksi nosokomial yang terjadi
setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik, baik melalui
pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. VAP menjadi perhatian utama di
ICU karena merupakan kejadian yang cukup sering dijumpai, sulit untuk
didiagnosis secara akurat dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk
pengobatannya. Kejadian VAP memperpanjang lama perawatan pasien di
ICU, dengan angka kematian mencapai 40- 50% dari total penderita.
Meskipun belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia,
namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian
VAP cukup tinggi, bervariasi antara 9-28% pada pasien dengan ventilator
mekanik dan angka kematian akibat VAP sebanyak 24-50%. Angka kematian
dapat meningkat mencapai 76% pada infeksi yang disebabkan pseudomonas
atau accinobacter. Disamping itu kejadian VAP dapat memperpanjang waktu
perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan meningkatkan biaya perawatan.
Secara umum, VAP dapat di diagnosis jika ditemukan tanda diagnosis standar
seperti demam, takikardi, leukositosis, sputum yang purulent dan konsolidasi
pada gambaran radiografi thoraks. Diagnosis VAP agak sulit dilakukan jika
hanya melihat penampilan klinis pasien. Diagnosis VAP dapat dibantu dengan
Critical Pulmonary Infection Score (CPIS). Penentuan CPIS berdasarkan pada
6 variabel, yaitu suhu tubuh pasien, jumlah leukosit dalam darah, volume dan
tingkat kekentalan sektret dalam trakea, indek oksigenasi, pemeriksaaan
radiologi paru dan kultur semi kuantitatif dari aspirasi trakea, jika diperoleh
skor lebih dari 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakan. Beberapa faktor
resiko yang dicurigai dapat memicu terjadinya VAP, antara lain adalah usia
lebih dari 60 tahun, derajat keparahan penyakit, penyakit paru akut atau
kronik, sedasi yang berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat, posisi
tubuh yang supine, Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 9, penggunaan
obat pelumpuh otot, perokok dan lama pemakaian ventilator. Pemakaian
ventilator mekanik dengan pipa yang diintubasikan ke tubuh pasien akan
mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kolonisasi ujung pipa
endotrakeal pada penderita dengan posisi telentang.
2.2 Pencegahan Rumah sakit
Rumah sakit (RS) merupakan sumber infeksi bagi petugas kesehatan, pasien dan juga
pengunjung. Risiko infeksi di rumah sakit dikenal dengan istilah infeksi nosokomial merupakan
masalah kesehatan global. Infeksi adalah masuknya bakteri atau mikroorganisme patogen ke
dalam tubuh yang mampu menyebabkan sakit. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu
masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat
berasal dari komunitas (Community Acquired Infection) atau berasal dari lingkungan pelayanan
kesehatan atau klinik. ). Infeksi yang terjadi di rumah sakit dan gejalagejala yang dialami baru
muncul selama seseorang dirawat atau selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Infeksi
nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroorganisme patogen yang bersumber dari
lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Hospital Acquired Infections (HAI’s) merupakan
problem yang serius bagi kesehatan masyarakat. HAI’s merupakan infeksi yang didapat pasien
selama menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di pelayanan kesehatan setelah ≥ 48
jam dan setelah ≤ 30 hari setelah keluar dari fasilitas kesehatan.
Kejadian infeksi yang tinggi di rumah sakit merupakan indikator pentingnya suatu usaha
pengendalian infeksi dengan menerapkan standar kewaspadaan infeksi (Standard precaution).
Standard Precaution pada dasarnya merupakan transformasi dari universal precaution, yaitu
suatu bentuk precaution pertama yang bertujuan untuk mencegah infeksi nosokomial. Saat ini
pelayanan kesehatan yang bermutu telah menjadi sorotan dunia. Kualitas dari sebuah pelayanan
kesehatan telah menjadi tuntutan dari setiap lapisan masyarakat. Menyikapi hal tersebut,
beberapa negara mulai menyusun berbagai indikator terkait dengan mutu pelayanan kesehatan
tersebut yang salah satunya dikenal dengan akreditasi. Menyikapi permasalahan mutu rumah
sakit ini, berbagai negara menyusun kebijakannya terkait dengan proses akreditasi yang
diberlakukan terhadap penyedia layanan kesehatan di wilayahnya. Upaya pencegahan infeksi di
rumah sakit melibatkan berbagai unsur, mulai dari peran pemimpin sampai petugas kesehatan
sendiri. Peran pemimpin adalah penyediaan sistem, sarana dan pendukung lainnya. Peran petugas
adalah sebagai pelaksana langsung dan upaya pencegahan infeksi, agar upaya pencegahan infeksi
ini berjalan dengan baik. Maka dibutuhkan motivasi (dorongan) kerja petugas yang baik.
Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat penting. dilaksanakan di rumah sakit
untuk melindungi pasien, petugas, pengunjung, dan keluarga dari risiko tertular HAIs. Upaya
pencegahan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan pasien, salah satunya dengan
menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam setiap tindakan yang dilakukan tenaga
medis di rumah sakit. Pencegahan merupakan aspek kesehatan yang sangat penting untuk
memutus rantai penularan suatu penyakit. Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
merupakan sebuah program yang wajib dilaksanakan disetiap fasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia untuk meminimalisir risiko penyebaran infeksi. Selain peran teknis, faktor manajemen
merupakan unsur yang diperlukan dalam keberhasilan Program Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Rumah Sakit.
1. APD
APD merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap
bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat
keparahan dari kecelakaan kerja yang terjadi. APD memiliki peran yang penting dalam
upaya mengeliminir transmisi agent penyakit infeksi baik dari lingkungan rumah sakit,
dari pasien ke perawat maupun dari pasien ke pasien lainnya maupun infeksi yang terjadi
pada pasien itu sendiri. Untuk dapat menggunakan APD secara benar harus didukung
oleh pengetahuan dan sikap yang baik, dari segi pengetahuan perawat harus bisa
memahami potensi risiko bahaya infeksi dan pintu masuk dari transmisi agent infeksi
tersebut sehingga dapat memilih jenis dan bahan APD yang sesuai dengan potensi bahaya
yang ada. Sedangkan dari segi sikap perawat harus didukung dengan perilaku yang baik
terkait dengan penggunaan APD seperti kepatuhan dalam menggunakan APD dengan
benar pada saat melakukan tindakan keperawatan dan kesadaran untuk merawat APD.

2. Disenfeksi
Disinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia
atau secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi dengan
membunuh mikroorganisme patogen. Disinfektan dapat diartikan sebagai bahan kimia
atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran
jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah
mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Sedangkan antiseptik diartikan sebagai
bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti
bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan hidup. Bahan disinfektandapat digunakan untuk
proses disinfeksi tangan, lantai, ruangan, peralatan dan pakaian. Disinfeksi berarti
membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan bahan kimia atau secara
fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinfeksi denganjalam membunuh
mikroorganisme patogen. Tujuan disinfeksi adalah mencegah terjadinya infeksi,
mencegah makanan menjadi rusak, mencegah kontaminasi mikroorganisme dalam
industri, mencegah kontaminasi terhadap bahanbahan yg dipakai dalam melakukanbiakan
murni.

3. Disenfektan
Disinfektan dapat diartikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan
untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus,
juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit
lainnya. Sedangkan antiseptik diartikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat
atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada
jaringan hidup. Bahan disinfektandapat digunakan untuk proses disinfeksi tangan, lantai,
ruangan, peralatan dan pakaian. Disinfeksi berarti membunuhmikroorganisme penyebab
penyakit denganbahan bahan kimia atau secara fisik, hal ini dapatmengurangi
kemungkinan terjadinfeksi dengan jalam membunuh mikroorganisme patogen. Tujuan
disinfeksi adalah mencegah terjadinya infeksi,mencegah makanan menjadi rusak,
mencegahkontaminasi mikroorganisme dalam industri,mencegah kontaminasi terhadap
bahanbahan yg dipakai dalam melakukanbiakan murni.Jenis-jenis disinfeksi adalah
disinfeksi golonganaldehid, alkohol, pengoksidasi,halogen,fenol,garamamoniu m
kuarterner, biguanida.Teknik disinfeksi ada 2, yaitu disinfeksi dengan cara fisik
(pemanasan, penyinaran, mekanis) dan disinfeksi dengan cara kimia (penambahan
oksidator, penambahan asam/basa).

4. Mencuci Tangan Menggunakan Antiseptik


Mencuci tangan menggunakan handrub antiseptik dapat dilakukan bila tidak ada akses
wastafel atau air bersih. Kondisi darurat dimana fasilitas cuci tangan sulit dijangkau,
sedangkan di ruangan memerlukan disinfeksi tangan.Handrub berbasis alkohol 70%
dapat digunakan. Bahan ini mudah didapat dan tidak mahal. Selain itu juga dapat dibuat
sendiri menggunakan gliserin 2 ml yang dicampur 100 ml alkohol 70 %. Antiseptik
handrub bereaksi cepat untuk menghilangkan sementara mikroorganisme penghuni tetap
dan melindungi kulit tanpa menggunakan air. Sebanyak 3-5 cc antiseptik berbasis alkohol
dituangkan ke dalam permukaan tangan. Lalu menggosok kedua telapak tangan hingga
merata, punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan seba-liknya,
menggosok kedua telapak dan sela-sela jari, jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling
mengunci, menggosok ibu jari kiri diputar dalam genggaman tangan kanan dan
sebaliknya, menggosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan ditelapak tangan
kiri dan sebaliknya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang dirawat atau setelah selesai
dirawat atau setelah selesai dalam masa perawatan. Secara umum, pasien yang masuk rumah
sakit dan menunjukkan gejala infeksi setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit.
3.2 Saran
Rumah sakit melakukan evaluasi dan supervisi secara rutin dan berlanjut setiap bulan untuk
tindakan hand hygiene berdasarkan five moments dan 6 langkah cuci tangan.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mikhael Yosia, (01 November 2021). “Infeksi Nosokomial”


https://hellosehat.com/infeksi/infeksi-nosokomial/. ( diakses pada tanggal, 7 Maret 2022).

Dr. Soeradjo Tirtonegoro, (18 Juni 2021). “infeksi Nosokomial”


https://rsupsoeradji.id/infeksi-nosokomial-apa-itu/. ( diakses pada tanggal, 7 Maret
2022)

Arif Sardi, (01 November 2021). “Jenis Infeksi”


https://conference.upnvj.ac.id ( diakses pada tanggal 7 Maret 2022 )

dr. Merry Dame Cristy Pane, (27 April 2020). “Infeksi Aliran Darah”
https://www.alodokter.com/infeksi-aliran-darah. (diakses pada tangal 7 Maret 2022)

Edel Weiha permata Sari, (Surabaya, Jawa Timur).”Infeksi Nosokomial saluran kemih
Berdasarkan keteterasasi urin”.
https://ejournal.unair.ac.id/index.php/JBE/article/download/1662/1279#:~:text=Infeksi
%20nosokomial%20saluran%20kemih%20merupakan,%2C%20agen%2C%20dan
%20kateterisasi%20urin . (diakses pada tanggal 7 Maret 2022)

Surahman Hakim, Yogyakarta, (01 maret 2017). “Infeksi Daerah Operasi”


https://journal.ugm.ac.id/jkki/article/download/29003/17414. (diakses pada tanggal 7
Maret 2022)

Eka Susanti, Riau, (01 Februari 2015). “Pneomia pada pasien terpasang ventilator”
https://media.neliti.com/media/publications/188356-ID-none.pdf. (diakses pada tanggal 7
Maret 2022)

Khairun Nisa. “Kebijakan rumah sakit dalam upaya pencegahan infeksi”.


https://osf.io/gwrbh/download/?format=pdf. (diakses pada tanggal 7Maret 2022)
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………….
Daftar Isi………………………………………………………………………
BAB I………………………………………………………………………….
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………..
1.3 Tujuan……………………………………………………………………..
BAB II………………………………………………………………………….
2.1 Infeksi Nosokomial………………………………………………………
2.2 Pencegahan Rumah Sakit…………………………………………………
BAB III………………………………………………………………………….
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….
3.2 Saran………………………………………………………………………...
Daftar Pustaka………………………………………………………………….

Anda mungkin juga menyukai