DOI:
https://doi.org/10.18196/jasika.v1i2.16
Abstrak
Pendidikan dimulai sejak anak usia dini. Dalam usia enam tahun pertama, cara anak usia dini
belajar dan berpikir sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak menyerap informasi
layaknya spons melalui panca indera, penyerapan bahasa, pengembangan motorik, kognitif, dan
kemampuan sosial bahkan spiritual mereka. Pendidikan anak usia dini menjadi waktu yang
tepat untuk membangun fondasi inti dan karakter anak sebagai bekal kehidupan di masa depan.
Prinsip Montessori setidaknya menawarkan lima aspek dalam mengembangkan metode
pendidikan yang akan membekali keterampilan hidup anak di masa perkembangan selanjutnya.
Beberapa prinsip Montessori yang menjadi kajian adalah (1) pendidikan sendiri; (2) periode
peka; dan (3) kebebasan. Dalam studi ini prinsip Montessori akan diulas sebagai metode praktis
yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Namun, tantangan
pendidikan dewasa ini tidak cukup hanya mengembangkan hal-hal yang bersifat praktis dalam
kehidupan. Pendidikan yang mengembangkan karakter anak pun perlu mendapat perhatian.
Pendidikan yang menumbuhkan karakter membutuhkan landasan filosofis dan pedoman, maka
pendidikan berbasis pendekatan keislaman menjadi landasan pendidikan karakter pada fokus
kajian. Pendidikan keislaman yang dimaksud berkaitan dengan tiga nilai yakni akidah, ibadah,
dan akhlak yang berpedoman dari Al Quran dan Al Hadits. Metode yang digunakan adalah studi
literatur yang berkaitan dengan topik pendidikan Montessori, pendidikan Islam, dan pendidikan
anak usia dini. Hasil studi ini akan memberikan gambaran tentang bagaimana implementasi
prinsip Montessori dipandang dari pendekatan pendidikan keislaman dalam penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini.
Kata kunci:; anak usia dini; Montessori; pendidikan anak; pendidikan keislaman
Abstract
Education begins at an early age. In the first six years, the way young children learn and think
is very different from that of adults. Children absorb information like a sponge through their five
senses, language absorption, motor development, cognitive, and social and even spiritual
abilities. Early childhood education is the right time to build the core foundation and character
of children as provisions for life in the future. The Montessori principle offers at least five aspects
in developing educational methods that will equip children's life skills in their next developmental
period. Some of the Montessori principles that were studied were (1) self-education; (2) sensitive
period; and (3) freedom. In this study, the Montessori principle will be reviewed as a practical
method applied in the implementation of early childhood education. However, the challenges of
education today are not enough to only develop practical things in life. Education that develops
children's character also needs attention. Education that fosters character requires a
philosophical foundation and guidelines, so education based on an Islamic approach is the basis
for character education in the focus of study. Islamic education in question is related to three
values, namely aqidah, worship, and morals that are guided by the Qur'an and Al-Hadith. The
method used is a literature study related to the topic of Montessori education, Islamic education,
and early childhood education. The results of this study will provide an overview of how the
implementation of the Montessori principle is seen from the Islamic education approach in the
implementation of early childhood education.
1. Pendahuluan.
Anak usia dini adalah individu yang sedang dalam proses tumbuh kembang,
dimana akan mendasari kebutuhan untuk masa perkembangan selanjutnya. Pada tahapan
usia dini, anak akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan fisik serta sosio-
emosional yang cukup banyak. Dalam usia enam tahun pertama, cara anak belajar dan
berpikir sangat berbeda dengan orang dewasa.1 Anak-anak menyerap informasi layaknya
spons melalui panca indera, penyerapan bahasa, pengembangan motorik, kognitif, dan
kemampuan sosial bahkan spiritual mereka.2 Struktur otak anak pun berkembang
mencapai 85% pada masa ini.
Pada tahapan ini, anak usia dini akan merespons serta mengolah berbagai hal baru
yang mereka terima dengan cepat. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diselenggarakan
untuk memberikan layanan pada anak sejak lahir hingga usia enam tahun untuk
mendapatkan stimulasi untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak baik
jasmani maupun rohani, sehingga memiliki keterampilan untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang selanjutnya, yaitu sekolah dasar. 3
Pendidikan anak usia dini menjadi salah satu isu yang menarik untuk dikaji
dewasa ini. Pendidikan anak usia dini yang seharusnya memberikan sarana bagi anak
untuk bereksplorasi dan berkreasi dengan bebas, tidak jarang justru guru memberikan
penugasan-penugasan yang membuat anak harus patuh dengan rambu-rambu pengerjaan
yang distandarkan sehingga membatasi kebebasan anak.4 Tidak jarang praktek
pendidikan anak usia dini tidak mengembangkan anak menjadi pribadi yang kreatif.
Ketidakberhasilan anak dalam mengembangkan keterampilan intelektual dan
psikomotorik dapat berdampak pada ketidaksiapan anak saat masuk ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Sejalan dengan hasil penelitian Aryanti 5 bahwa kesiapan
anak saat memasuki sekolah dasar, seperti kemampuan non-kognitif atau emosional anak
1
Zahira. (2019). “Islamic Montessori: Panduan Mendidik Anak dengan Metode Montessori”.
Jakarta: Mizan
2
Kramer, R. (1976). “Maria Montessori: A biography”. New York: Putnam’s.
3
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaanrepublik Indonesia Nomor 146 Tahun 2014
Tentang Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini
4
Aryani, N. (2015). “ Pendidikan Anak Usia Dini dalam perspektif pendidikan Islam”.
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, 1(2), 2015.
5
Aryanti, Z. (2015). “Kesiapan anak saat memasuki sekolah dasar”. Elementary, 1(2), 64-67.
2. Metode Penelitian.
Metode yang digunakan dalam review artikel ini didasarkan pada tinjauan pustaka
pada buku, artikel ilmiah dan temuan penelitian. Pencarian literatur berbahasa Indonesia
dan Inggris yang tersedia dari tahun 1976 hingga 2019 dilakukan dengan menggunakan
pencarian search enginee dan google scholar. Hasil pencarian artikel dilakukan dengan
menggunakan beberapa kata kunci yang berkaitan dengan filsafat pendidikan,
montessori, pendidikan keislaman, dan anak usia dini. Semua artikel ilmiah dan temuan
penelitian yang relevan digunakan sebagai materi dalam penyajian review artikel ini.
6
Gandhi HW, T. W. (2017). “Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab filsafat pendidikan”.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
7
Oktarina, A. & Maemonah. (2019). “Filsafat pendidikan Maria Montessori dengan teori belajar
progresivisme dalam Pendidikan AUD”. Jurnal Bunayya (Jurnal Pendidikan Anak), VI(2), 64-
88).
8
Cipta Paramana, 2020, Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Dimasa Pandemi
Covid-19, Indonesian Journal of Early Childhood: Jurnal Dunia Anak Usia Dini Volume 2
Nomor 2
9
Hewi, L., & Asnawati, L. (2021). Strategi Pendidik Anak Usia Dini Era Covid-19 dalam
Menumbuhkan Kemampuan Berfikir Logis Abstrak. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini, 5(1), 158167. https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.530
10
Aryani, N. (2015). “ Pendidikan Anak Usia Dini dalam perspektif pendidikan Islam”.
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, 1(2), 2015.
11
Halim, M. N. A. (2001). “Anak Soleh Dambaan Keluarga”. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
12
Palmer, J. (Ed.), Bresler, L. (Ed.), & Cooper, D. (Ed.). (2002). “Fifty Major Thinkers on
Education”. London: Routledge, https://doi.org/10.4324/9780203467121.
13
Syafri, F. (2016). “Pendidikan anak usia dini menurut Maria Montessori”. Nuansa : Jurnal
Studi Islam dan Kemasyarakatan, 9(2), 1-10 . http://dx.doi.org/10.29300/nuansa.v9i2.1529
14
Masyrofah. (2017). “Model pembelajaran Montessori anak usia dini”. As-Sibyan: Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 2(2), 105-116.
15
Irsad, M. (2017). “Metode Maria Montessori dalam Perspektif Filsafat Pendidikan”. Jurnal
Komunikasi Pendidikan, 1(1), 51-58.
16
Irsad, M. (2017). “Metode Maria Montessori dalam Perspektif Filsafat Pendidikan”. Jurnal
Komunikasi Pendidikan, 1(1), 51-58.
tradisional. Meja dan kursi dibuat kecil, ringan, dan mudah dipindahkan oleh anak sendiri,
agar anak dapat memilih posisi duduk mereka sendiri, agar pembelajaran terasa nyaman
seperti ketika mereka sedang duduk dan belajar di rumah sendiri.
Dalam prinsip pendidikannya, Montessori mengembangkan periode-periode
kepekaan (sensitive periods), dimana periode ini sering disebut mirip dengan periode
kritis, bahwa secara genetis individu sudah terprogram untuk memblokir waktu sehingga
pada waktu-waktu tertentu anak begitu ingin melakukan suatu hal.17 Selama periode ini
anak akan berusaha dengan keras untuk dapat menguasai kemampuan utama pada setiap
masa kepekaan tertentu. Jika orangtua atau orang di sekitarnya mencegah mereka untuk
mengembangkan penguasaan kemampuan tertentu pada masa kepekaan tersebut, maka
kepekaan khusus itu akan hilang, dan dapat berdampak pada perkembangan mereka pada
tahapan selanjutnya. Adapun berikut periode-periode kepekaan Montessori yang
dijelaskan oleh Crain.
Periode Kepekaan dan Keteraturan (usia 0-3 tahun), periode kepekaan terjadi
selama tiga tahun pertama usia anak, dimana mereka benar-benar membutuhkan
keteraturan. Selanjutnya orangtua bisa mulai mengajarkan anak tentang pendidikan
ibadah, seperti untuk berdoa saat mau makan, mau tidur, dan lain sebagainya. Periode
keteraturan ini juga bisa mengoptimalkan pengenalan anak pada waktu shalat, bahwa
waktu adzan berkumandang adalah waktu untuk melaksanakan shalat wajib lima waktu.
Pada masa ini pula, anak-anak akan suka meletakkan dan mengembalikan sesuatu di
tempat yang sama. Pada periode ini mereka akan merasa marah jika mungkin orang
dewasa meletakkan barangnya tidak pada tempat yang sesuai. Nah pada periode ini
orangtua bisa mengajarkan tentang akhlak, misalnya untuk mengajarkannya sabar ketika
ia mulai merasa marah atas perilaku yang tidak sesuai dari harapannya. Bagi anak kecil
di usia ini keteraturan menjadi sangat esensial. Keteraturan juga berkaitan dengan
pembiasaan waktu makan, minum, tidur, dan aktivitas lainnya. Maka tidak heran jika
rutinitas pada anak di usia ini cenderung teratur dan tertib. Pada periode ini sangat baik
jika mulai mengajarkan anak kebiasaan untuk tidur awal setelah shalat isya dan bangun
pagi ketika shalat subuh. Misalnya anak belum bisa tidur dan bangun pada waktu tersebut
setidaknya orangtua akan memberikan contoh dan perlahan anak-anak akan mengikuti
pola tersebut. Dari periode kepekaan ini, mereka akan memahami tentang orientasi dari
lingkungannya tentang apa saja yang harus mereka kuasai dalam tahap peka keteraturan
ini yang akan berdampak pada penguasaan mereka di kemudian hari.
Periode Kepekaan akan Detail (1-2 tahun), pada usia satu-dua tahun anak akan
memusatkan pada detail secara bermenit-menit. Misal dalam melihat suatu objek, mereka
akan benar-benar melihat sampai pada detail pada objek yang menjadi latar belakangnya.
Biasanya mereka berfokus pada warna. Kepedulian pada detail ini menandakan bahwa
mereka telah berkembang secara psikis. Pada masa kepekaan ini, anak dapat mulai
dikenalkan dengan pendidikan aqidah, ibadah, dan akhlak melalui story telling dan
membacakan buku. Dengan mendengar dan melihat gambar anak-anak akan belajar
tentang memusatkan perhatian pada detail dan suatu objek. Pada periode ini anak-anak
juga bisa dikenalkan oleh warna atau bentuk, seperti mungkin bentuk huruf hijaiyah atau
bentuk gambar masjid yakni tempatnya beribadah.
17
Crain, W. (2007). “Teori perkembangan: Konsep dan aplikasi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Periode Kepekaan bagi Penggunaan Tangan (usia 18 bulan-3 tahun), pada usia 18
bulan sampai 3 tahun, mereka mulai suka menggunakan fungsi tangannya untuk
memegang objek. Anak pada usia ini mulai suka membuka, dan menutup segala sesuatu,
serta meletakkan, menuangkan, dan memasukkan mengeluarkan objek. Secara berangsur-
angsur mereka akan memperbaiki gerakan dan fungsi indera penggeraknya. Pada periode
ini, orangtua mulai bisa mengajarkan anak untuk mengendalikan tangannya dan berhati-
hati mengorganisasikan tangannya. Misal dengan cara menyampaikan dan memberikan
isyarat tidak baik untuk dilakukan jika anak menggunakan tangannya untuk memukul.
Pada masa ini anak mulai dapat diajarkan pendidikan akhlak lainnya, seperti tentang
kebiasan makan menggunakan tangan kanan dan memberi/menerima sesuatu
menggunakan tangan kanan. Pada masa ini pula anak bisa diajarkan fungsi salaman atau
mencium tangan untuk menunjukkan kehormatan atau kasih sayang dengan orang lain.
Periode Kepekaan Berjalan, pada tahapan kepekaan berjalan, dikatakan
Montessori bahwa ini seperti kelahiran kedua, karena dengan mampu berjalan anak
berubah dari makhluk yang tidak berdaya menjadi individu yang lebih aktif. Mereka
seperti digerakkan oleh impuls yang tidak bisa dilawan, seolah-oleh mereka dengan
bangga mengatakan bahwa mereka telah mengetahui cara untuk berjalan dengan mandiri.
Fungsi berjalan bagi anak berbeda dengan orang dewasa, dimana berjalan untuk mencapai
tujuan. Anak-anak yang baru mampu berjalan tidak Lelah untuk mengeksplorasi
kemampuan barunya sebagai bentuk untuk menyempurnakan fungsinya sendiri sehingga
tujuannya adalah sesuatu yang kreatif untuk dirinya sendiri. Pada tahap ini anak akan
belajar juga tentang kehati-hatian, dan mengajarkannya untuk berhenti untuk istirahat
serta tetap menjaga keteraturan yang telah dibentuk, meskipun ia telah mendapat
kesenangan yang baru.
Periode Kepekaan terhadap Bahasa, periode kepekaan kelima, adalah tentang
penguasaan Bahasa pada masa perkembangan anak. Hal yang menakjubkan dalam
perkembangan ini adalah bagaimana anak dapat belajar menguasai proses Bahasa yang
kompleks. Dimana anak-anak tidak hanya belajar kata-kata atau makna dari kata saja,
melainkan proses penyusunan aturan tata bahasa atau gramatikal dari sebuah kalimat
yang dihasilkan untuk dapat dipahami menjadi sebuah Bahasa komunikasi dengan orang
lain. Pada masa kritis di usia nol bulan sampai dua setengah tahun anak-anak akan secara
bawaan menyerap suara, dan kata-kata dari lingkungannya. Tidak hanya itu mereka juga
menyerap impresi tentang intensitas dan emosi yang diciptakan dari kata-kata yang
mereka dengar. Maka tidak mengherankan jika di usia saat mereka siap memproduksi
Bahasa mereka terlihat mudah mengeluarkan kata-kata dengan maksud dan tujuan yang
jelas dari hasil belajarnya selama periode menyerap.
Pada tahap ini pendidikan aqidah bisa dilakukan dengan mengajarkan anak untuk
belajar menghafal kalimat syahadat, shalawat nabi, nama-nama baik Allah, dan
sebagainya. Dalam pendidikan ibadah, anak usia dini bisa mulai diajak belajar hafalan
doa dan surat pendek, dan mulai belajar bacaan shalat atau kalimat thayyibah. Pada
pendidikan akhlak, anak-anak harus diajarkan untuk dapat berkata-kata baik. Bisa juga
dengan mulai membiasakan tiga kata ajaib, yakni terimakasih, maaf, dan tolong. Dalam
masa ini, peran orang dewasa atau orang tua di sekitarnya sangat penting dalam
memberikan contoh dan tauladan yang baik untuk anak mereka. Hal ini karena menurut
Montessori, kemahiran Bahasa anak mirip dengan proses imprinting.
Kebebasan, menjadi hal yang penting dalam metode Montessori, karena ini
merupakan dasar pandangan yang melatarbelakangi perkembangan pendidikan
Montessori. Dalam pembelajaran, anak memiliki kebebasan untuk berpikir, berkarya, dan
berbuat sesuatu. Bagi anak-anak, indra mereka adalah alat pembelajaran alamiahnya.
Inilah cara mereka melihat menemukan dunia di sekitar mereka. Hal ini sejalan dengan
paham nativisme yang menjadi acuan dari pandangan prinsip pendidikan yang
dikembangkannya, tentang sikap Montessori yang memberikan kebebasan penuh
terhadap para peserta didiknya.18
4. Simpulan.
Menurut Maria Montessori, pendidikan bukan semata-mata untuk membuat
mereka sukses di sekolah, melainkan untuk kesuksesan dalam kehidupan. Pandangan
Montessori yang dipengaruhi oleh pandangan tokoh aliran progresivisme, yang
meletakkan dasar-dasar terhadap kebebasan dan kemerdekaan kepada anak didiknya.
Kini, pandangan pendidikan Montessori berkembang pesat dan banyak dijadikan sebagai
acuan dalam menyusun kurikulum penyelenggaraan pendidikan, khususnya bagi
Pendidikan Anak Usia Dini. Bahkan pendidikan Montessori juga dikembangkan dalam
penyelenggaraan pada strata pendidikan yang lebih tinggi yakni sekolah dasar, menengah,
dan menengah ke atas.
Bermain sebagai aktivitas utama anak untuk mempelajari dan mendalami
pengalaman yang dimiliki agar anak memiliki pengetahuan baru. Bermain juga sebagai
kegiatan dan aktivitas anak usia dini memiliki andil terhadap aspek-aspek
perkembangannya. Melalui aktivitas bermain anak menguasai fungsi-fungsi motoriknya
dengan baik, dengan belajar mengkoordinasi mata dengan gerakannya, melatih otot-otot
mereka, membuat keputusan, dan mendapatkan keterampilan baru. Hasil studi ini telah
memberikan gambaran tentang bagaimana implementasi prinsip Montessori dipandang
dari pendekatan pendidikan keislaman dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini.
Metode yang dikembangkan Montessori berlandaskan pada tiga aspek yakni
pendidikan sendiri, masa kepekaan, dan pendidikan kebebasan. Kemudian
dikolaborasikan dengan pendidikan dengan nilai keislaman untuk mendidik anak usia
dini yang berperan sebagai pembatas anak dalam mempraktikkan kebebasan. Tujuan dari
pendidikan sendiri, menurut Maria Montessori adalah untuk (1) membantu orang tua
dalam proses menerapkan pola pengajaran yang efektif bagi anak usia dini mereka saat
di rumah; (2) untuk dapat membantu anak usia dini dalam mengembangkan tingkat
intelektual dan psikomotorik dengan lebih baik; (3) membuat anak dituntut untuk dapat
berkembang sesuai dengan periode perkembangannya, yaitu pada masa peka; (4)
mengajarkan cara belajar menggunakan media pendukung; (5) mementingkan bagaimana
anak dapat bekerja secara bebas; (6) anak usia dini dapat belajar berkonsentrasi dan
berkreasi; (7) fokus belajar terletak pada anak, karena guru hanya sebagai pendamping.
Daftar Pustaka.
18
Irsad, M. (2017). “Metode Maria Montessori dalam Perspektif Filsafat Pendidikan”. Jurnal
Komunikasi Pendidikan, 1(1), 51-58.
Aryani, N. (2015). “ Pendidikan Anak Usia Dini dalam perspektif pendidikan Islam”.
POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, 1(2), 2015.
Aryanti, Z. (2015). “Kesiapan anak saat memasuki sekolah dasar”. Elementary, 1(2), 64-
67.
Crain, W. (2007). “Teori perkembangan: Konsep dan aplikasi”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gandhi HW, T. W. (2017). “Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab filsafat pendidikan”.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Halim, M. N. A. (2001). “Anak Soleh Dambaan Keluarga”. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Irsad, M. (2017). “Metode Maria Montessori dalam Perspektif Filsafat Pendidikan”.
Jurnal Komunikasi Pendidikan, 1(1), 51-58.
Kramer, R. (1976). “Maria Montessori: A biography”. New York: Putnam’s.
Masyrofah. (2017). “Model pembelajaran Montessori anak usia dini”. As-Sibyan: Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 2(2), 105-116.
Oktarina, A. & Maemonah. (2019). “Filsafat pendidikan Maria Montessori dengan teori
belajar progresivisme dalam Pendidikan AUD”. Jurnal Bunayya (Jurnal Pendidikan
Anak), VI(2), 64-88).
Palmer, J. (Ed.), Bresler, L. (Ed.), & Cooper, D. (Ed.). (2002). “Fifty Major Thinkers on
Education”. London: Routledge, https://doi.org/10.4324/9780203467121.
Sumantri, M. S. (2016). “Hakikat Manusia dan Pendidikan”. Seri Modul Pembelajaran
Universitas Terbuka, MKDK40001/Modul 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
Diakses pada 22 Oktober di http://repository.ut.ac.id/4028/1/MKDK4001-M1.pdf
Syafri, F. (2016). “Pendidikan anak usia dini menurut Maria Montessori”. Nuansa : Jurnal
Studi Islam dan Kemasyarakatan, 9(2), 1-10 .
http://dx.doi.org/10.29300/nuansa.v9i2.1529
Zahira. (2019). “Islamic Montessori: Panduan Mendidik Anak dengan Metode
Montessori”. Jakarta: Mizan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaanrepublik Indonesia Nomor 146 Tahun 2014 Tentang
Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini