Anda di halaman 1dari 9

Nikmatnya Berkendaraan

Kendaraan yang kita gunakan sebagai fasilitas untuk dapat pergi ke suatu tempat
merupakan suatu nikmat yang sepatutnya kita syukuri
Oleh: Ummu Ubaidillah April 18, 2014

Pada masa silam, manusia bepergian dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang
lain dengan membawa barang atau perbekalan di atas punggungnya. Sebagian yang lain
bepergian dengan menunggang hewan tunggangan sambil membawa berbagai muatan,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala

‫)َو اْلَخْيَل َو اْلِبَغاَل َو اْلَحِم يَر ِلَتْر َك ُبوَها َو ِزيَنًة‬٧( ‫َو َتْح ِم ُل َأْثَقاَلُك ْم ِإَلى َبَلٍد َلْم َتُك وُنوا َباِلِغ يِه ِإال ِبِش ِّق األْنُفِس ِإَّن َر َّبُك ْم َلَر ُء وٌف َر ِح يٌم‬
‫َو َيْخ ُلُق َم ا ال َتْع َلُم وَن‬

“Dan ia (hewan ternak) mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak
sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Rabbmu Maha Pengasih,
Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.
An-Nahl: 7-8)

Adapun di masa sekarang, begitu mudahnya seseorang untuk bepergian dari satu tempat ke
tempat yang lain dalam waktu cepat tanpa banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran,
walaupun terkadang tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan.
Kendaraan sebagai bukti kasih sayang Allah

Kendaraan merupakan salah satu nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia.
Hal ini juga sebagai bukti curahan kasih sayang Allah Ta’ala kepada para makhluk-Nya. Hal
ini karena segala nikmat yang kita terima atau musibah yang kita terhindar darinya
merupakan tanda kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita. Allah Ta’ala berfirman

)٤٢( ‫)َو َخ َلْقَنا َلُهْم ِم ْن ِم ْثِلِه َم ا َيْر َك ُبوَن‬٤١( ‫َو آَيٌة َلُهْم َأَّنا َح َم ْلَنا ُذ ِّرَّيَتُهْم ِفي اْلُفْلِك اْلَم ْش ُحوِن‬

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah Kami angkut keturunan mereka
dalam perahu yang penuh muatan, dan Kami ciptakan bagi mereka (angkutan lain) seperti
apa yang mereka kendarai.” (QS. Yasin: 41-42)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat
di atas, “Tanda dalam ayat tersebut maksudnya adalah tanda kekuasaan Allah. Namun, di
dalamnya juga terdapat tanda yang lain, yaitu rahmat Allah kepada makhluk, serta
kenikmatan yang diberikan kepada kita.” Selanjutnya beliaujuga menerangkan bahwa ayat
tersebut menjadi dalil atas kekuasaan Allah Ta’ala, rahmat, dan karunia-Nya bagi kita, yaitu
dengan adanya perahu untuk mengarungi lautan menuju ke tempat yang lain, mengangkut
manusia, hewan-hewan ternak, dan semua yang bermanfaat untuk kita. Dan
Allah Ta’ala menjadikan perahu tersebut nyaman untuk dikendarai sebagai nikmat bagi kita
semua.

Ayat di atas juga menerangkan nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia
berupa pengetahuan mengenai tata cara pembuatan perahu. Seandainya tidak ada perahu,
tentunya seseorang tidak akan mampu menyeberang sungai dan lautan untuk menuju tempat
tujuannya. Namun, Allah Ta’ala memberi pengetahuan tentang tata cara membuatnya,
sehingga seseorang dapat menjangkau tempat tujuannya tersebut.

Allah Ta’ala mengajarkan manusia cara membuatnya

Keahlian manusia dalam memproduksi suatu kendaraan canggih bukanlah semata-mata


karena kecerdasannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menunjang
kemajuan berbagai alat transportasi masa kini, tidak lain karena karunia yang
Allah Ta’ala berikan kepada kita. Jika bukan karena kehendak Allah Ta’ala atas makhluk-
Nya untuk memahami ilmu-ilmu tersebut, tentu manusia tidak akan mampu memanfaatkan
seonggok besi untuk membawa dirinya ke suatu tempat tujuan. Bahkan
Allah Ta’ala mengajarkan ilmu tersebut kepada manusia agar dapat diterapkan.

Allah Ta’ala berfirman

‫َو َح َم ْلَناُه َع َلى َذ اِت َأْلَو اٍح َو ُد ُس ٍر‬

“Dan kami angkut Nuh ke atas (perahu) yang terbuat dari papan dan paku.” (QS. Al Qomar:
13)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala tidak langsung menyebut “perahu”, namun menyebutnya
sebagai “sesuatu yang terbuat dari papan dan paku”. Hal ini mengisyaratkan adanya
pengajaran dari Allah Ta’ala kepada manusia tentang bahan baku pembuatan perahu. Seakan-
akan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perahu Nabi Nuh ‘alaihissalam terbuat dari papan
dan paku agar menjadi contoh bagi manusia untuk membuatnya.

Allah Ta’ala menisbatkan pembuatan perahu kepada diri-Nya seperti dalam ayat (yang
artinya), “Kami ciptakan untuk manusia semisal (perahu Nuh ‘alaihis salam) …”. Padahal
perahu tersebut dibuat oleh manusia (Nabi Nuh ‘alaihis salam), bukan diciptakan oleh
Allah Ta’ala sebagaimana Dia menciptakan unta yang kita tunggangi, kuda, dan yang serupa
dengannya. Hal ini dikarenakan Allah-lah yang mengajari manusia tata cara membuat perahu.

Ketika nikmat berkendaraan terlupakan

Sering kali manusia menganggap rumput tetangga jauh lebih hijau sehingga membuatnya
merasa perlu memiliki sesuatu seperti milik si tetangga. Orang yang hanya memiliki sepeda
akan terbetik dalam benaknya suatu angan-angan untuk memiliki sepeda motor sebagaimana
yang dikendarai oleh kebanyakan orang. Namun, bagi yang telah memiliki sepeda motor,
mungkin dia juga berangan-angan untuk memiliki sepeda motor yang lebih bagus atau malah
sebuah mobil yang dapat melindunginya dari terik matahari dan hujan, demikian seterusnya.
Obsesi tersebut dapat menjadi bencana berupa lenyapnya kebaikan demi kebaikan
sebagaimana lenyapnya kayu bakar yang dilahap api, apabila diiringi dengan harapan
hilangnya kenikmatan tersebut dari tangan orang lain. Itulah hasad yang terlarang.
Untuk mencegah hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telahmemperingatkan
umatnya agar tidak duduk-duduk di pinggir jalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ِإَّياُك ْم َو اْلُج ُلوَس َع َلى الُّطُر َقاِت َفَقاُلوا َم ا َلَنا ُبٌّد ِإَّنَم ا ِهَي َم َج اِلُسَنا َنَتَح َّد ُث ِفيَها َقاَل َفِإَذ ا َأَبْيُتْم ِإاَّل اْلَم َج اِلَس َفَأْع ُطوا الَّطِريَق َح َّقَها‬
‫َقاُلوا َو َم ا َح ُّق الَّطِريِق َقاَل َغُّض اْلَبَص ِر َو َكُّف اَأْلَذ ى َو َر ُّد الَّس اَل ِم َو َأْم ٌر ِباْلَم ْعُروِف َو َنْهٌي َع ْن اْلُم ْنَك ِر‬

“Tinggalkanlah oleh kalian duduk-duduk di jalan-jalan”. Maka para sahabat berkata, “Kami
tidak bisa untuk tidak duduk-duduk di jalan-jalan karena di sanalah tempat kami
berbincang-bincang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian
menolak untuk tidak duduk-duduk di sana, maka tunaikanlah hak jalan.” Mereka
berkata, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan,
menyingkirkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang baik dan mencegah
kemungkaran.” (HR. Al-Bukhari)

Menundukkan pandangan di sini maksudnya adalah menjaga diri dari memandang hal-hal
yang diharamkan, termasuk di dalamnya berupa memandang kemewahan-kemewahan
duniawi, misalnya kendaraan-kendaraan mewah yang lewat. Sehingga menyebabkan
seseorang menjadi panjang angan-angan, dan tidak mampu mensyukuri nikmat yang
Allah Ta’ala karuniakan untuknya.

Ketika orang musyrik zaman dahulu dan sekarang tertimpa marabahaya saat
berkendaraan

Orang musyrik zaman dahulu, mereka memohon kepada Allah Ta’ala dengan penuh
keikhlasan ketika kondisi genting meliputi dirinya saat berkendaraan. Bahkan orang musyrik
zaman dulu, yang tadinya menyekutukan Allah Ta’ala, dengan serta-merta mereka
meninggalkan sesembahan selain Allah demi mengharap pertolongan Allah atas marabahaya
yang menimpa mereka ketika berkendara di lautan. Hal ini Allah Ta’ala kabarkan dalam
firman-Nya

‫َو ِإَذ ا َم َّسُك ُم الُّض ُّر ِفي اْلَبْح ِر َض َّل َم ْن َتْدُع وَن ِإال ِإَّياُه َفَلَّم ا َنَّجاُك ْم ِإَلى اْلَبِّر َأْع َر ْض ُتْم َو َك اَن اإلْنَس اُن َك ُفوًرا‬
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru,
kecuali Dia. Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-
Nya).” (QS. Al-Isra: 67)

Seperti inilah keadaan orang-orang musyrik zaman dahulu saat tertimpa kesulitan ketika naik
kapal atau perahu di tengah lautan. Mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada
Allah Ta’ala dan mengetahui bahwasanya Allah-lah satu-satunya yang bisa menyelamatkan
mereka serta tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya. Namun, manakala
kondisi telah lapang (selamat sampai daratan), mereka pun kembali menyekutukan Allah
dengan sesembahan mereka.

Adapun orang-orang musyrik zaman sekarang ini, sama saja bagi mereka antara kondisi
susah ataupun senang, mereka senantiasa melakukan kemusyrikan. Bahkan ketika
marahabahaya menimpa mereka ketika naik perahu atau kapal di lautan, semakin parah-lah
kemusyrikan yang mereka lakukan dengan meminta pertolongan kepada sesembahan mereka
selain Allah Ta’ala. Dan lebih-lebih lagi ketika selamat sampai daratan, mereka akan
semakin mengagungkan sesembahan mereka -selain Allah- yang mereka yakini telah
menyelamatkan mereka. Kondisi seperti ini disebabkan karena ketidakfahaman serta
kebodohan akan hakikat tauhid yang melingkupi kebanyakan manusia zaman sekarang, wal
’iyaadzu billah.

Mensyukuri nikmat-Nya

Kendaraan yang kita gunakan sebagai fasilitas untuk dapat pergi ke suatu tempat merupakan
suatu nikmat yang sepatutnya kita syukuri. Rasa syukur hamba terhadap Rabb yang telah
memberinya karunia ditunjukkan melalui lisan berupa pujian dan sanjungan, dan juga melalui
anggota badan dengan menundukkannya dalam ketaatan kepada Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba yang paling bersyukur, beliau
memberikan keteladanan bagi umatnya ketika berkendaraan yaitu dengan:

1. Berdoa ketika naik kendaraan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk berdoa


( ‫ َو ِإَّنا ِإَلى َر ِّبَنا َلُم ْنَقِلُبْو َن‬. ‫ ُهللَا َأْك َبُر ُهللَا )ُسْبَح اَن اَّلِذ ْي َس َّخ َر َلَنا َهَذ ا َو َم ا ُكَّنا َلـُه ُم ْقِرِنْيَن‬، ‫َاْلَحْم ُد ِهََّلِل َاْلَحْم ُد هلِل َاْلَحْم ُد ِهََّلِل َاْلَحْم ُد هلِل‬
‫ ُسْبَح اَنَك ِإِّنْي َظَلْم ُت َنْفِسْي َفاْغ ِفْر ِلْي َفِإَّنُه َال َيْغ ِفُر الُّذ ُنْو َب ِإَّال َأْنَت‬، ‫َأْك َبُر ُهللَا َأْك َبُر‬

“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah yang menundukkan
kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (pada hari kiamat). Segala puji bagi
Allah (3x), Allah Maha Besar (3x), Maha Suci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku
menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni
dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Doa ini mengandung sanjungan kepada Allah Ta’ala yang telah menjadikan kendaraan
tersebut dapat dikendarai, padahal sebelumnya manusia tidak memiliki kemampuan untuk
mengendarainya. Di dalam doa ini juga terkandung pengakuan bahwasanya kita akan kembali
kepada Allah pada hari kiamat, serta pengakuan atas kelalaian dan dosa yang telah kita
lakukan.

2. Bertakbir dan bertasbih selama perjalanan

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami bertakbir ketika melewati jalan yang naik, dan
bertasbih ketika melewati jalan yang turun”. (HR. Al-Bukhari) Maksudnya adalah ketika
menaiki tempat-tempat yang tinggi mengucapkan: “Allahu Akbar”, dan ketika menuruni
tempat-tempat yang lebih rendah mengucapkan: “Subhanallah”. Bertakbir manakala menaiki
tempat yang tinggi akan membuat kita merasakan kebesaran Allah Ta’ala serta keagungan-
Nya. Sedangkan bertasbih ketika menuruni tempat yang rendah akan membuat kita
merasakan kesucian Allah Ta’ala dari segala kekurangan.

3. Berdoa ketika kendaraan tergelincir

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengumpat setan ketika tergelincir
dan mengajarkan kita untuk mengucapkan, “bismillah”. Usamah bin ‘Umair radhiyallahu
‘anhu menceritakan, “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
tunggangannya tergelincir, maka aku berkata, ‘tergelincirlah setan.’ Maka Nabi berkata,
‘Janganlah kamu katakan tergelincirlah setan. Jika kamu berkata demikian, dia (setan) akan
membesar hingga sebesar rumah, dan berkata, ‘Dengan kekuatanku.’ Akan tetapi
katakanlah, ‘bismillah’. Jika kamu berkata demikian, dia akan mengecil hingga sekecil
lalat.’” (HR. Abu Dawud) Menyebut nama Allah Ta’ala akan meleburkan setan sebagaimana
air meleburkan garam.

4. Membebani kendaraan sesuai daya angkut

Di antara adab berkendaraan adalah dibolehkannya berkendaraan dengan beberapa


penumpang selama tidak melebihi daya angkut kendaraan tersebut. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memboncengkan sebagian sahabatnya seperti Mu’adz, Usamah, Al-
Fudhail, begitu juga memboncengkan ‘Abdullah bin Ja’far dan Hasan atau Husain bersama-
sama, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua.

Membebani kendaraan melebihi daya angkut yang telah ditetapkan merupakan suatu bentuk
kedzaliman. Hal ini akan menyebabkan rusaknya kendaraan dan ini merupakan bentuk
penyia-nyiaan harta.

5. Tidak menjadikan kendaraan semata-mata sebagai tempat duduk

Terdapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kalian menjadikan
punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar (semata-mata sebagai
tempat duduk). Sesungguhnya Allah menundukkannya untuk kalian supaya mengantarkan ke
negeri yang belum pernah kalian capai kecuali dengan bersusah payah. Dan Allah
menciptakan bumi untuk kalian, maka hendaklah kalian tunaikan kebutuhan kalian di atas
tanah”. (HR. Abu Dawud)

Maksud dari hadits ini adalah larangan untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang dalam
rangka jual beli atau yang selainnya di atas kendaraan (berupa hewan) yang sedang berhenti.
Hendaknya seseorang menunaikan keperluannya dengan cara turun dari kendaraan dan
mengikatnya di tempat yang semestinya.

Adapun berdirinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hewan tunggangan beliau saat
Haji Wada’ adalah demi kemaslahatan yang besar. Hal ini supaya khutbah beliau kepada para
manusia mengenai perkara-perkara Islam serta hukum-hukum yang terkait ibadah dapat
didengar dengan jelas oleh sahabat-sahabat beliau ketika itu. Apalagi, perbuatan beliau
tersebut juga tidak dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim rahimahullah, sehingga hal ini tidak membuat hewan tunggangan merasa letih dan
bosan. Berbeda dengan sekedar duduk-duduk dan berbincang-bincang di atas hewan
tunggangan yang sedang berhenti tanpa ada maslahat, dalam waktu lama, dan dilakukan
berulang-ulang maka dapat menyebabkan hewan tunggangan merasa letih dan bosan.

Kendaraan pada zaman ini tidak bisa disamakan dengan hewan tunggangan yang dapat
merasa letih dan bosan. Meskipun demikian, tidak selayaknya seorang pengendara duduk-
duduk dan berbincang-bincang di atas kendaraannya yang sedang berhenti karena akan
mengganggu serta menyusahkan pengguna jalan yang lain. Berhenti di sembarang tempat
juga akan mempersempit jalan yang seharusnya dapat dipergunakan oleh pengguna jalan
yang lain. Allah Ta’ala berfirman

‫َو اَّلِذ يَن ُيْؤ ُذ وَن اْلُم ْؤ ِمِنيَن َو اْلُم ْؤ ِم َناِت ِبَغْيِر َم ا اْك َتَس ُبوا َفَقِد اْح َتَم ُلوا ُبْهَتاًنا َو ِإْثًم ا ُم ِبيًنا‬

“Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang
mereka perbuat maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)

6. Memandang kendaraan yang lebih rendah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada umatnya bagaimana cara
memperkuat rasa syukur atas berbagai nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan, yaitu dengan
selalu memandang orang-orang yang berada di bawahnya dalam akal, nasab (keturunan),
harta, dan berbagai nikmat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اْنُظُروا ِإَلى َم ْن ُهَو أْس َفَل ِم ْنُك ْم َو َال َتْنُظُروا ِإَلى َم ْن ُهَو َفْو َقُك ْم ؛ َفُهَو أْج َدُر أْن َال َتْز َدُروا ِنْع َم َة هللا َع َلْيُك ْم‬

“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang yang di atas
kalian. Itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah
anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Demikianlah paparan ringkas yang dapat kami tuliskan. Semoga kita dapat mengambil
keteladanan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diterapkan dalam kehidupan kita
sehari-hari. Hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan.
Referensi:

1. Tafsir Al-Quran Al-Karim Surat Yasin hal 150-155, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsurayya.
2. Bahjah Qulub Al-Abrar hal 66, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah.
3. Kitab Al-Adab hal 301-304, Fuad bin ‘Abdil ‘Aziz Asy Syalhubi, Dar Al-Qosam.
4. Syarh Kitab Al-Qawa’id Al-Arba’ hal 22-23, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Dar As-
Salafiyyah.
5. Syarh Hishnul Muslim hal 292, 298, 301, Majdi bin ‘Abdil Wahhab Ahmad, Muassasah Al-
Jaraysi Littauzi’ wal-I’lan.

***
Penulis: Ummu ‘Ubaidillah
Artikel Buletin Zuhairoh
Dipublikasi ulang oleh www.muslimah.or.id
Sumber: https://muslimah.or.id/5709-nikmatnya-berkendaraan.html

Anda mungkin juga menyukai