Pembayaran QRIS Terhadap Kemajuan UMKM di Kota Semarang
Latar Belakang Masalah
Terjadi pergeseran preferensi yang sangat signifikan di kalangan anak-anak muda Indonesia belakangan ini, dari pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja, mengingat kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan media sosial memudahkan mereka membangun berbagai jenis usaha dengan modal yang tidak terlalu besar (Kasali, 2017 hal.151). Selain itu, mereka tidak hanya sekedar berwirausaha, melainkan “mendisrupsi” industri yang ada, meremajakan, dan membongkar pendekatan-pendekatan lama dengan cara-cara baru. Dunia usaha Indonesia saat ini didominasi oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), jumlah usaha ini mencapai 64,2 juta usaha atau 99,99% dari jumlah pelaku usaha di Indonesia (Medcom.id, 2021). UMKM mampu menyerap cukup banyak tenaga kerja dan memberi sumbangan signifikan bagi Produk Domestik Bruto. Menurut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, UMKM menyerap hingga 119 juta pekerja atau 97% dari daya serap tenaga kerja dunia usaha (Medcom.id, 2021). Tidak dapat dipungkiri bahwa UMKM memiliki peran sangat penting dalam membangun kestabilan ekonomi Indonesia. UMKM terbukti tetap berdiri kokoh pada saat usaha-usaha besar berjatuhan. Terdapat tiga keunggulan UMKM: Pertama, UMKM menghasilkan barang konsumsi atau jasa yang dekat dengan masyarakat; Kedua, UMKM cenderung tidak menggunakan bahan baku impor; dan Ketiga, UMKM cenderung menggunakan modal sendiri tanpa ditopang pinjaman dari bank. Meskipun memiliki beberapa keunggulan, UMKM masih menghadapi berbagai keterbatasan. Keterbatasan ini membuat UMKM sulit berkembang dan memiliki daya saing. Sarwono (2015) menjabarkan keterbatasan-keterbatasan tersebut, yaitu: minimnya akses perbankan, kemampuan/pengetahuan SDM masih rendah, penggunaan teknologi masih terbatas, dan belum mampu mengimbangi perubahan selera/kebutuhan konsumen yang berorientasi ekspor. Sebagai dampak pandemi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melaporkan bahwa UMKM di Indonesia menghadapi masalah berupa penurunan omzet usaha, distribusi terhambat, dan kendala permodalan (Medcom.id, 2021). Seiring perkembangan teknologi, muncul berbagai pasar digital/marketplace maupun platform yang membuka ruang semakin luas bagi UMKM untuk memasarkan produknya, menjangkau berbagai wilayah geografis di Indonesia maupun mancanegara. Kehadiran berbagai marketplace ini telah mengubah cara manusia berinteraksi, dari interaksi tatap muka menjadi interaksi daring. Berbagai marketplace dan platform ini, seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Shopee telah berkontribusi besar bagi upaya peningkatan kecepatan, efisiensi, dan kualitas layanan transaksi perdagangan (Kasali, 2018 hal.42). Pemasaran produk UMKM melalui berbagai platform dan marketplace serta media sosial terbukti menjadi strategi efektif yang membantu UMKM bertahan pada masa pandemi (Rizhaldi & Mahyuni, 2021). Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menggalakkan program digitalisasi UMKM, karena diyakini bahwa transformasi digital menjadi kunci penting untuk memulihkan dan membangkitkan UMKM pada masa pandemi. Jumlah UMKM yang telah terhubung dengan ekosistem digital mencapai 15,9 juta atau 24,9% dari total pelaku UMKM (Herman, 2021) Seiring dengan perkembangan berbagai marketplace dan platform digital yang memudahkan proses transaksi perdagangan, berkembang pula teknologi pembayaran berbasis digital (Hadad, 2017), antara lain Go-Pay, OVO, Shopee pay, dan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS). Saat ini, QRIS sudah mulai banyak digunakan oleh UMKM sebagai sistem pembayaran nontunai yang lebih efisien. Keunggulan yang dimiliki QRIS antara lain dapat menerima switching dari berbagai jenis merchant yang berbeda. Lebih lanjut, Bank Indonesia menjelaskan bahwa QRIS merupakan sistem pembayaran digital yang cepat, murah, aman, dan andal. Tingginya pengguna QRIS oleh UMKM dan semakin meningkatnya tren cashless oleh konsumen dan pelaku usaha di Kota Semarang tersebut menunjukkan tingginya tingkat adopsi teknologi yang tercermin dari intensi perilaku para pelaku UMKM sebagai pengguna layanan digital payment. Karenanya, faktor-faktor penentu intensi pengguna QRIS tersebut sangat urgen untuk lebih lanjut, terlebih intensi penggunaan oleh pelaku UMKM. Hal ini akan menjadi isu penting dalam pengembangan UMKM dan pemanfaatan QRIS secara optimal, terutama dengan gencarnya gerakan cashless yang dicanangkan oleh Bank Indonesia. Dari sisi merchant QRIS, pada Mei 2023 merchant UMKM mendominasi dengan jumlah 2,65 juta merchant, yang berkontribusi 98,14% dari total merchant QRIS di Jateng. Jumlah merchant UMKM tersebut tumbuh 86,03% secara year on year. Secara keseluruhan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah (KPw BI Prov Jateng) mencatat pengguna QRIS di Jateng sampai dengan April 2023 telah mencapai 3,82 juta dan volume transaksi sebesar mencapai 27,98 juta kali transaksi (ytd). Nominal transaksi QRIS tumbuh mencapai Rp2,7 triliun atau sebesar 203,45% (yoy). Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji intensi perilaku adopsi QRIS ditinjau dari persepsi kemanfaatan dan kemudahan yang dirasakan oleh pelaku UMKM di pasar tradisional Kota Semarang. Temuan riset ini diharapkan dapat memberikan pengalaman yang lebih baik dalam mempertimbangkan faktor-faktor penerimaan para pedagang terhadap QRIS. Dengan demikian, kehadiran teknologi pembayaran QRIS ini merupakan wujud nyata peran pemerintah dalam meningkatkan transaksi non tunai dan digitalisasi UMKM. Tinjauan Pustaka QRIS (QR Code Indonesia Standard) adalah standar QR Code pembayaran untuk sistem pembayaran Indonesia yang dikembangkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) (Bank Indonesia) . Persepsi hambatan penggunaan QRIS dan intensi UMKM menggunakan QRIS Beberapa persepsi hambatan penggunaan QRIS yang terungkap dari penelitian sebelumnya antara lain: kendala jaringan internet, penguasaan teknologi informasi yang kurang, adanya biaya dan limit transaksi (Arianti et al., 2019; Karniawati et al., 2021; Setiawan & Mahyuni, 2020) diakui dapat menjadi faktor yang menimbulkan keraguan penggunaan QRIS. Selain itu, penelitian lain juga mengungkap adanya kekhawatiran akan keamanan data pribadi jika menggunakan metode pembayaran digital, dimana hal ini kemudian menimbulkan keraguan untuk menggunakan QR code atau QRIS. Sutanto et al. (2013) menjelaskan bahwa untuk dapat meningkatkan performa dan personalisasi layanan, QRIS mengumpulkan berbagai informasi pribadi. Sekalipun data pribadi maupun data transaksi dijamin keamanannya, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat kekhawatiran dan keraguan akan keamanan data pribadi (Tu et al., 2015). Pengguna kemudian menimbang antara besaran manfaat dan potensi risiko penggunaan pembayaran digital sebelum memutuskan untuk menggunakan metode pembayaran digital. Temuan penelitian sebelumnya tersebut kemudian mengarahkan pada perumusan hipotesis kelima sebagai berikut: Hipotesis 5: Semakin besar persepsi hambatan penggunaan QRIS, semakin rendah intensi UMKM menggunakan QRIS. Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi kemajuan UMKM menggunakan QRIS di Kota Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain kausal dan mengadopsi konsep Technology Acceptance Model (TAM). Tujuan pendekatan penelitian yang diaplikasikan yakni guna menjelaskan peran antar variabel dalam mempengaruhi atau bertanggung jawab terhadap perubahan variabel lainnya (Cooper et al., 2006). Sehingga variabel yang dipilih mencakup persepsi kemanfaatan dan persepsi kemudahan dalam mempengaruhi intensi penggunaan. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap para pelaku UMKM dari pedagang pasar tradisional di Kota Semarang. Sebagaimana populasi yang ditetapkan pada studi ini yakni para pedagang di tujuh (7) pasar tradisional di Kota Semarang Metode sampling yang ditetapkan yakni simple random sampling, yang terdiri atas 100 responden dari pedagang pasar. Sejumlah sampel tersebut diperoleh atas dasar pernyataan Hair Jr et al. (2016) yang menyebutkan bahwa ukuran sampel studi dengan jumlah populasi yang tidak pasti, jumlah minimumnya yakni lima kali indikator pertanyaan variabel. Adapun total indikator pertanyaan terdiri atas 15 pertanyaan dengan menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Altin Gumussoy et al. (2018), Kasilingam (2020), dan Le et al. (2022). Diperoleh hasil 75 sampel, dengan pertimbangan kelayakan jangkauan objek observasi pada tujuh (7) pasar tradisional, maka ditentukanlah 100 responden. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan ialah dengan menyebarkan kuesioner berdasarkan skala likert lima (5) poin untuk pengukurannya. Dimana kuesioner tersebut dibagikan kepada para pedagang menggunakan google form. Sedangkan teknik dalam menganalisis data yang diaplikasikan ialah Structural Equation Model (SEM) dengan Partial Last Square (PLS). Berdasarkan pendapat Ghozali (2014), SEM-PLS merupakan metode yang paling cocok untuk mengkaji berbagai penelitian berupa model kompleks, baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan evaluasi struktur multivariat. Penelitian ini kemudian dianalisis menggunakan software SmartPLS.