Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seorang bidan dapat saja d tempatkan dimana saja sesuai dengan tempat – tempat
yang membutuhkannya. Bidan dapat di tempatkan pada pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit, mendirikan Praktek sendiri, di Komunitas ( atau yang lebih di kenal Bidan desa). Oleh
sebab itu seorang bidan harus dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan dan lingkungan
sekitarnya.
Definisi bidan menurut International Confederation Of Midwives (ICM) yang dianut dan
diadopsi oleh seluruh organisasi bidan di seluruh dunia, dan diakui oleh WHO dan
Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO). Definisi tersebut secara
berkala di review dalam pertemuan Internasional (Kongres ICM). Definisi terakhir disusun
melalui konggres ICM ke 27, pada bulan Juli tahun 2005 di Brisbane Australia ditetapkan
sebagai berikut: Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan
yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi
untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik
bidan.
Bidan diakui sebagai tenaga professional yang bertanggung-jawab dan akuntabel,
yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat
selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memimpin persalinan atas tanggung
jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir, dan bayi. Asuhan ini
mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan
anak, dan akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan
tindakan kegawat-daruratan.
Pelayanan kebidanan komunitas diarahkan “untuk mewujudkan keluarga yang sehat
sejahtera sehingga tercipta derajat kesehatan yang optimal”. Hal ini sesuai dengan visi
Indonesia Sehat 2010. Kesehatan keluarga merupakan salah satu kegiatan dari upaya
kesehatan dimasyarakat yang ditujukan kepada keluarga. Penyelenggaraan kesehatan
keluarga bertujuan untuk mewujudkan keluarga kecil, sehat, bahagia dan sejahtera. Didalam
kesehatan keluarga, kesehatan ibu mencakup kesehatan masa pra kehamilan, kehamilan,
persalinan, pasca persalinan dan masa diluar kehamilan (masa interval).
Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan
perkembangan anak. Upaya kesehatan anak dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak
dalam kandungan, masa bayi, balita, pra sekolah dan sekolah.Peningkatan kesehatan

1
keluarga dapat mewujudkan lingkungan keluarga yang sehat, selanjutnya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Wujud dari kesehatan keluarga dan komunitas merupakan
cita-cita bangsa Indonesia yang berupa kesehatan untuk semua.
Oleh sebab itu banyaknya peran bidan dalam masyarakat membuat bidan harus dapat
berbicara dan mendekatkan diri pada masyarakat, serta mampu melakukan tindakan untuk
dapat membantu mastarakat serta dapat di terima oleh masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaiman Metode perencanaan partisipatif tentang pelayanan kebidanan komunitas


yang tanggap gender ?
2. Bagaimana strategi yang digunakan dan langkah – langkah perencanaan pelayanan
kebidanan ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui metode perencanaan partisipatif pelayanan kebidanan komunitas yang


tanggap gender
2. Mengetahui strategi dan langkah – langkah perencanaan pelayanan kebidanan
komunitas

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Metode Perencanaan Partisipatif Pelayanan Kebidanan Komunitas yang


Tanggap Gender

Berbagai program kesehatan sudah dikembangkan dan dijalankan dimasyarakat,


mulai dari program kesehatan ibu dan anak (KIA) termasuk imunisasi, kesehatan reproduksi
remaja, program pencegahan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular seksual
(ISR)/PMS, termasuk HIV/AIDS, dll. Namun demikian, sejumlah program dikeluhkan
masyarakat karena dianggap belum menjawab kebutuhan masyarakat/komunitas. Bahkan,
program nilai belum tanggap/responsif gender karena mengabaikan kecenderungan
dimungkinkan adanya perbedaan kondisi kesehatan antara laki dan perempuan. Misalnya,
remaja perempuan lebih cenderung terkena anemia dibandingkan dengan remaja laki-laki.
Kondisi yang melatarbelakangi adalah adanya praktek budaya yang mentabukan jenis
makanan-makanan tertentu dikonsumsi perempuan, misalnya telur, ikan, buah, dan lainnya.
Padahal, asupan zat maupun kandungan mineraal makanan tersebut justru bermanfaat
untuk perempuan, khususnya saat kehamilan dan menyusui. Hal ini menunjukkan
bagaimana praktik budaya makan dapat berdampak negatif pada kesehatan reproduksi
perempuan.

Dalam perancangan program, ketidakmampuan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan


secara tepat akan berimplikasi pada ketidakjelasan program. Hal ini terefleksi dari tujuan
program, kelompok sasaran (target group), upaya pencapaian tujuan, indikator capaian,
serta sumber daya yang dibutuhkan. Implikasinya, program kurang berjalan efektif dan
kurang efisien, demikian pula capaian maupun keberlanjutannya (sustainabilitas).

Oleh sebab itu program yang efektif perlu dirancang dengan pendekatan partisipatif, yakni
pendekatan yang menekankan pentingnya keterlibatan warga/masyarakat secara sukarela
dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri. (Mikelsen,2005).
Dalam hal ini masyarakat bukanlah obyek (penerima) pembangunan, tetapi lebih sebagai
subyek ( pelaku) aktif dalam proyek pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencanaan,
pelaksanaan sampai pemantauan dan evaluasi progaram bahkan keberlanjutanya. Dengan
demikian, perencanaan yang partisipatif dan juga resposif gender perlu menerpakan prinsip-
prinsip mengutamakan masyarakat, berbasis pengetahuan masyarakat, dan melibatkan
perempuan.

Perencanaan Partisipatif

3
Di era demokrasi dan disentralisasi seperti saat iini, tuntunan masyarakat untuk terlibat
didalam proses penyusunan perencanaan pembangunan menjadi suatu keniscayaan.
Argumentasi yang mendasarinya adalah kesadaran dari masyarakat itu sendiri bahwa yang
mengetahui dengan baik kebutuhan dan kepentingannya adalah mereka sendiri. Oleh
karena itu, berpartisipasi atau ikut terlibat didalam proses penyusunan perencanaan atau
kebijakan publik menjadi hak dan kewajiban yang harus diperoleh dan dimiliki masyarakat.

ada beberapa asumsi yang mendorong partisipasi masyarakat,yakni: pertama, rakyatlah


yang paling tahu kebutuhannya karena itu rakyat mempunyai hak untuk mengindentifikasi
dan menentukan kebutuhan pembangunan diwilayah lokalnya, kedua, pendekatan
partisipatif dapat menjamin kepentingan dan suara kelompok-kelompok yang selama ini
tersisihkan dalam pembangunan, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, partisipasi
dalam pengawasan/monitoring terhadap proses pembangunan dapat mengurangi terjadinya
berbagai penyimpangan program, penurunan kualitas dan kuantitas program pembangunan
termasuk tidak tercapainya program. Untuk mengagregasi dan mengartikulasikan
kepetinganya, dalam partisipasi sosial masyarakat didorong untuk membangun organisasi
baik dalam bentuk gerakan sosial atau kelompok mandiri.

Dari asumsi diatas maka partisipasi yang efektif adalah yang mampu menggerakan
perubahan di masyarakat secara kolektif dan intutisional bukan semata individual.
Keberadaan wadah seperti ‘forum warga’ yang mempertemukan berbagai kelompok warga
masyarakat (kelas sosial, umur, gender, dll) menjadi relevan dan signifikan diperkuat
kapasitanya. Forum ini diharapkan mampu mengakomodir beberapa aspirasi dan
kepentingan warga dalam merancang sekaligus mengambil keputusan tentang program
yang menjadi kebutuhan/kepentingan bersama. Forum warga bisa merupakan forum multi
stakeholder karena terdiri dari berbagai kelompok warga/masyarakat berbasis latar belakang
sosial ekonomi,umur,gender.

Melalui ‘Forum Warga’ diharapkan akan terbangun; 1). kesadaran masyarakat akan
perlunya mereka ikut terlibat dalam perencanaan pembangunan atau pengembangan
masyarakat,2). Kesadaran bahwa perlu suatu pengorganisasian sosial atas berbagai
kelompok warga dalam merancang dan menetapkan program prioritas masyarakat, 3).
Identitas diri sebagai suatu kelompok kepentingan dan sama-sama terlibat dalam proses
perencanaan.

Dengan demikian, melalui perencanaan program yang pertisipatif, maka masyarakat di


dorong bukan hanya mampu menyuarakan kepentingan/kebutuhannya, tetapi juga mampu

4
mengorganisasikan diri untuk terlibat mulai dari penelusuran kebutuhan hingga monitor dan
evaluasi program. Untuk itu pengembangan program selain membutuhkan kesiapan
pengelola program secara organisasional juga penguatan kapasitas masyarakat sebagai
bagian dari stakeholder, kapasitas masyarakat ini bisa terindikasi dari tangga atau tingkat
partisipasinya.

Organisasi Pelayanan Kesehatan: Jenis Stakeholder

No Kategori stakeholder contoh


1 Pekerja kemasyarakatan yang Pendamping IDT yang dipekerjakan
dipekerjakan oleh pemerintah (baik oleh program pemerintah dari pusat
pusat maupun daerah) atau oleh kepala desa badan perwakilan desa
lembaga lain (LSM atau swasta)  the (BPD)
employed community worker
2 Pekerja kemasyarakatan yang PLKB, bidan dan dokter yang
dipekerjakan oleh lembaga sektoral ditempatkan didesa
(lembaga pemerintah)  the employed
sectoral worker
3 Profesional yang bekerja untuk Bidan, dokter, jurnalis, guru ( bisa
melayani masyarakat  the pegawai negeri atau bukan), aktivis
community-focused-professional LSM
4 Aktivis yang bekerja tanpa dibayar  Kader kesehatan, toma, toga, relawan
the unpaid community activist lainnya

Upaya perubahan yang didasarkan pada keinginan, kebutuhan, dan kepentingan


masyarakat dan direncanakan oleh mereka sendiri dikenal sebagai ‘perencanaan
partisipatif’. Partisipasi masyarakat dilakukan dengan menerapkan prisip-prinsip, yakni :
mengutamakan masyarakat, berbasis pengetahuan masyarakat, dan melibatkan
perempuan.

Namun demikian partisipasi masyarakat –merujuk UNDP (1997)- bisa menunjukan tangga
keterlibatannya mulai dari : 1) manipulasi, 2) informasi, 3) konsultasi, 4) membangun
konsensus, 5) pembuatan keputusan, 6) berbagi resiko, 7) kerjasama, 8) mengatur sendiri

Tingkat Partisipasi :

5
8 = mendorong atau mempercepat terjadinya perubahan
7 = mobilisasi diri sendiri
6 = terlibat dalam suatu pekerjaan bersama dan saling
mendorong satu sama lain
5 = terlibat dalam bekerja
4 = terlibat untuk memberikan dukungan materi
3 = terlibat dalam konsultasi
2 = terlibat dalam memberikan informasi
1 = terlibat tapi pasif

Kondisi ideal adalah partisipasi sebagai tujuan bukan sekedar alat. Artinya masyarakat
mampu mengidentifikasi kebutuhan dan mengatasinya secara mandiri guna memperbaiki
kondisi yang ada. Dengan kata lain, partisipasi bukanlah bentuk mobilisasi masyarakat
sehingga masyarakat terlibat tapi lebih bersifat pasif.

Sebab itu, sasaran yang ingin dicapai oleh program pengembangan masyarakat adalah
penguatan kapasitas masyarakat dan peningkatan kesejahteraan maasyarakat. Dalam
konteks ini dilakukan juga upaya pemberdayaan (empowerment) masyarakat agar mereka
dapat melakukan trasformasi ekonomi, tekhnologi dan sosial budaya. berkenaan dengan
pembangunan kapasitas masyarakat, dapat dilihat dari tiga tingkatan/dimensi, yakni:

1. Dimensi kapasitas sistem


Pembangunan kapasitas sistem bisa merujuk pada perencanaan berkala yang
terpadu dan berkesinambungan, yang dirumuskan secara objektif, terarah, dan
sesuai kebijakan normatif yang menjadi rujukan bersama.
2. Dimensi Kapasitas Institusi
Pembangunan kapasitas institusi yang mampu memfasilitasi proses perencanaan
secara jelas dan konsisten. Untuk itu perlu struktur pengorganisasian yang jelas,
termasuk penjabaran tugas dan fungsi dari masing-masing pelaku/aktor yang terlibat.
Mekanisme koordinasi, serta evaluasi kinerja dan monitoring dampak untuk menilai
efektifitas, efisiensi, dan akuntabilitas (pertanggung jawaban) jalanya program
pelayanan masyarakat.

3. Dimensi Kapasitas Individu

6
Pengembangan kapasitas individu akan mencakup: a). Keterampilan perencanaan
(kemampuan atau kapasitas melakukan analisis situasi hingga monitor evaluasi), b).
Keterampilan manajerial, yakni kapasitas memfasilitasi, dan mengkoordinir semua
pelaku dan kepentingan ke dalam suatu proses perencanaan yang teratur. C).
Keterampilan sosial yakni kapasitas dalam membangun proses yang konstruktif
dalam rangka membangun kebersamaan dan keberagaman kepentingan untuk
menghasilkan produk perencanaan yang mampu mengkoordinir kepentingan dari
bawah. Selain itu, diperlukan kapasitas atau kemampuan mensosialisasikan
peluang, hambatan, keberhasilan, dalam implementasi serta faktor-faktor yang
mempengaruhi.

Dimensi – dimensi diatas juga bisa mengindikasikan level dan bentuk


perubahan/dampak dari program. Misalnya program nutrsi ibu hamil,pada dasarnya
capaian program bukan hanya adanya perubahan pada sikap dan perilakusehat di
level individual, namun juga diharapkan ada perubahan pada level
instutisional(keluarga, agama,dll). Pada konteks tertentu diharapkan terjadi
perubahan pada kebijakan dan strateginya.
Berkenaan dengan perencanaan partisipatif, pada dasarnya tujuannya tidak
memberdayakan masyarakat, tetapi juga pengelola program. Artinya, pengelola
program perlu membangun kapasitas organisasional maupun individual dalam
merancang, mengimplementasi, dan memonitor serta mengevaluasi jalannya
program. Lebih dari itu, juga dibutuhkan kemampuan kerjasama/koordinasi antar
berbagai pihak/stakeholders, yang dilandasi kuatnya komitmen masing-masing pihak
demi tujuan yang sama, yakni layanan publik yang berkualitas. Dengan demikian
dibutuhkan tim kerja yang solid diantara pengelola program (misalnya antara kader
posyandu dengan bidan).

Tidak hanya itu, aspek terpenting adalah perlunya terbangun koordinasi atau
kerjasama antara warga dan organisasi/institusi pengelola program. Berkenaan
dengan keberhasilan sinergi atau kerjasama ini, menurut Ostrom (1996), ada
beberapa kondisi yang menjadi prasyarat, yakni : (1) ada tidak kebijakan, (2) besar
kecilnya komitmen stakeholders, dan (3) ada tidaknya pendorong partisipasi
stakeholders baik secara internal dan eksternal, termasuk ada tidaknya sistem
komunikasi dan sistem insentif-disinsentif dalam pengelolaan program.

7
Perencanaan partisipatif yang tanggap gender

Berdasarkan intruksi presiden (INPRES) No.9 tahun 2000 tentang pengaruh


sutamaan gender (PUG) yakni :
“strategi pembangunan yang dilakukan dengan cara mengintregasikan pengalaman,
aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan
kegiatan dibidang pembangunan’
Jadi, pengarusutamaan gender merupakan strategi untuk memastikan perbedaan
kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki betul-betul diintegrasikan pada
setiap tahapan pembangunan (desain program, implementasi program, monitoring
dan evaluasi terhadap semua aspek politis, ekonomi dan sosial), sehingga
perempuan dan laki-laki mendapatkan masalah yang sama dari program
pembangunan dan kesenjangan tidak dilanggengkan. Dengan demikian, melalui
kebijakan atau program yang responsif gender, maka subjek pembangunan baik
perempuan maupun laki-laki perlu diupayakan dan dijamin untuk :
1. Memperoleh akses yang sama terhadap sumber daya ( pembangunan)
2. Mempunyai peluang berpartisipasi yang sama, termasuk dalam proses pengambilan
keputusan
3. Memiliki kontrol yang sama atau sumber daya (pembangunan)
4. Memperoleh manfaat yang sama dari hasil (pembangunan)

Adapun perencanaan yang tidak responsif gender bisa berupa perencanaan ‘buta atau
netral gender’ yang ditandain dengan ciri-ciri : i) tidak mengenal perbedaan antara laki-
laki dan perempuan, ii) informasi yang terkumpul tidak berdasarkan apakah hal itu
kebutuhan dan kepentingan perempuan atau laki-laki, tetapi pada asumsi apakah yang
dibutuhkan orang secara umum agar mereka tetap dapat hidup, iii) sering berdampak
hubungan gender yang tidak seimbang. Sementara perencaan yang bias gender
ditandai dengan anggapan bahwa satu jenis kelamin tertentu lebih diakui dan diakomodir
kebutuhannya, sehingga berdampak kembali pada dominasi kelompok tertentu.

Siklus Program/Proyek

8
Dengan demikian melalui perencanaan yang responsif gender, maka isu kesenjangan
gender bisa diatasi, sehingga kesetaraan gender bisa tercapai.

Monitoring dan Evaluasi yang Tanggap Gender

Kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara partisipatori, misalnya melalui
pertemuan berkala yang melibatkan seluruh stakeholders, bukan penerima program
langsung dan pengelola program atau proyek.

Monitoring Evaluasi
Melihat kemajuan kinerja program secara Menilai hasil program untuk perbaikan
periodek untuk tindakan korektif. program selanjutnya
Evaluasi merupakan proses periodik dan
Pemantauan ini dilakukan secara sistematis untuk menilai seluruh fungsi
sistematis yang bersifat periodik dan organisasi dengan cara menilai hasil yang
berkesinambungan untuk mengetahui dicapai kemudian dibandingkan dengan
sedini mungkin apakah pelaksanaan tujuan/target yang ingin dicapai
program sesuai atau menyimpang dari
rencana awal dengan memanfaatkan Tujuan evaluasi adalah untuk menjawab :
sekumpulan indikator terpilih. 1. Pencapaian tujuan
2. Pengaruh program
Tujuan monitoring adalah untuk 3. Keluaran dan dampak yang tidak
menjawab dua pertanyaan penting yakni : diharapkan
1. Apakah program telah mencapai 4. Penilaian program berdasar
polpulasi atau target yang keberhasilan dan kegagalan
diinginkan
2. Apakah pelaksanaan program Manfaat evaluasi, yaitu :
sesuai dengan yang direncanakan 1. Memberikn gambaran saampai
seberapa jauh tujuan dan sasaran
Manfaat monitoring adalah : telah tercapai
1. Mengenali masalah program sedini 2. Memberikan motivasi pada
mungkin seseorang untuk bertindak
2. Melakukan perbandingan antar 3. Dapat membantu menetapkan
lokasi/tempat prioritas dalam mengambil tindakan
3. Menilai tren status situasi tertentu, yang diperlukan

9
sehingga dapat diambil tindakan- 4. Membantu menguji asumsi
tindakan korektif mengenai strategi dan sasaran
sehingga manajer program dapat
memikirkan kembali strategi yang
tepat

Indikator Monitoring dan Evaluasi

Indikator merupakan ukuran-ukuran tidak langsung yang digunakan dalam proses


monev untuk membantu mengukur perubahan-perubahan yang merefleksikan “keadaan
sebenernya”.

Indikator dibedakan menjadi indikator input, output, dan efek dan impact. Indikator input
dan output merupakan indikator ditingkat program yang bertujuan menilai kinerja
program, sedangkan indikator efek dan impact merupakan indikator ditingkat
masyarakat/populasi yang menjadi target program/intervensi. Indikator ditingkat
masyarakat bertujuan menilai outcome keberhasilan dari program baik bersifat efek
seperti peningkatan pengetahuan. Peningkatan prevelensi kontrasepsi maupu impact
seperti penurunan fertilitas, penurunan kematian ibu. Dalam penentuan indikator perlu
adanya kesimbangan ( balancing ) yang relevan dalam menentukan jumlah indikator
yang akan ditetapkan. Kriterian yang digunakan adalah keseimbangan antara kriteria
akademik dengan kriteria praktis.

Adapun kriteria akademik adalah : valid ( mengukur apa yang diukur ); objektif ( hasil
sama, walau diukur oleh orang berbeda dengan waktu yang berbeda ); sensitif ( hasil
pengukuran berubah sesuai perubahan kondisi yang diukur ); spesifik ( hasil
pengukuran berubah hanya apabila kondisi yang diukur berubah, bukan karena
perubahan kondisi lain yang tidak diiukur). Sedangkan kriteria praktis adalah data dapat
diperoleh dengan mudah sesuai sumber daya yang ada / tersedia.

Ukuran Indikator

10
Beberapa ukuran indikator yang biasa digunakan, yaitu :
Jumlah : merupakan ukuran yang paling sederhana, yaitu hanya jumlah kejadian atau
objek / kasus
Ratio : perbandingan dua angka yang saling terpisah satu sama lain atau pembilang
bukan bagian dari penyebut.
Proporsi : ratio perbandingan pembilangan dengan penyebut dimana pembilangan
merupakan bagian dari penyebut.
Persentase : proporsi dikalikan 100.

2.2 Strategi dan Langkah – Langkah Perencanaan Pelayanan Kebidanan

Setiap petugas kesehatan yang bekerja di masyarakat perlu memahami masyarakat


yang dilayaninya, baik keadaan, budaya, maupun tradisi setempat sangat menentukan cara
pendekatan yang harus ditempuh. Pendekatan yang akan digunakan oleh bidan komunitas
harus memperhatikan strategi pelayanan kebidanan, tugas, dan tanggung jawab bidan serta
aspek perlindungan hukum bagi bidan di komunitas. Penting bagi bidan memberi pelayanan
yang komprehensif dan menyeluruh agar dalam memberi pelayanan dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat.

Pendekatan Edukatif

Pendekatan edukatif secara umum adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara sistematis, terencana, dan terarah dengan partisipasi aktif dari individu, kelompok,
maupun masyarakat umum, untuk memecahkan masalah masyarakat dengan
mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Pendekatan edukatif secara khusus
adalah satu bentuk atau model pelaksanaan organisasi sosial masyarakat dalam
memecahkan masalah yang dirasakan oleh masyarakat dengan pokok penekanan pada hal-
hal berikut.

1. Pemecahan masalah dan proses pemecahan masalah


2. Pengembangan provider merupakan bagian dari proses pengembangan masyarakat
secara keseluruhan.

Tujuan pendekatan edukatif.

11
1) Memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
2) Mengembangkan kemampuan masyarakat untuk dapat memecahkan masalahnya
sendiri secara swadaya dan gotong royong.

Provider adalah sektor yang bertanggung jawab secara teknis terhadap program –
program yang dikembangkan dalam pengembangan kemampuan masyarakat untuk dapat
memecahkan masalahnya sendiri. Secara swadaya dan gotong royong.
Langkah – langkah pendekatan edukatif.
1) Pendekatan pada tokoh masyarakat
a. Formal dengan surat resmi
b. Nonformal untuk penjagaan lahan
c. Tatap muka dengan provider dan tokoh masyarakat
d. Kunjungan rumah untuk menjelaskan maksud dan tujuan pengumpulan data
e. Pertemuan provider dan tokoh masyarakat untuk menetapkan suatu kebijakan
alternatif pemecahan masalah dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
f. Menjalin hubungan sosial yang baik dengan menghadiri upacara agama,
perkawinan, kematian, dsb.
2) Pendekatan kepada provider. Diadakan pada pertemuan tingkat kecamatan, tingkat
desa/kelurahan, tingkat dusun/lingkungan.
3) Pengumpulan data primer dan sekunder. Data umum, data teknis sesuai dengan
kepentingan masing – masing sektor, data perilaku sesuai dengan masalah yang ada,
data khusus hasil pengamatan, data orang lain. Pengembangan masyarakat perlu
dilakukan baik sumber daya alam/potensi desa, dan sumber daya manusia/kader
kesehatan agar mau tahu dan mampu mengatasi masalahnya sendiri secara swadaya
dan gotong – royong dengan menggunakan metode berikut.
a. Pendekatan tingkat desa dilakukan dengan pertemuan tersendiri dengan tokoh
masyarakat, seperti Musyawarah Masyarakat Desa ( MMD ) maupun pertemuan
tingkat dusun/lingkungan.
b. Pengumpulan data untuk mencari kebutuhan yang real dan kebutuhan yang
diinginkan masyarakat dalam rangka Survei Mawas Diri ( SMD )
c. Penyajian data pada waktu MMD yang berisi analisis situasi secara singkat, analisis
data, permasalahan, penyebab terjadinya masalah.
d. Komitmen bersama dari hasil kesepakatan MMD dalam suatu kebijakan alternatif
pemecahan untuk perencanaan kegiatan, perencanaan pelaksanaan, perencanaan,
dan evaluasi.

12
e. Tindak lanjut program dan pembinaannya dapat dilakukan dengan pertemuan
berkala, provider dan kader mengadakan studi banding ke desa lain, provider
mengadakan pembinaan ke desa agar mengubah sikap diri. Pada peringatan hari
besar, sebaiknya diadakan lomba penampilan antar – dusun atau desa.

Pelayanan Berorientasi Kebutuhan Masyarakat

Bekerja sebagai bidan di masyarakat berarti melayani masyarakat dengan memberi


pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan. Di samping itu, masyarakat dapat diajak
bekerja sama agar mampu berperilaku hidup sehat dan menyebarkannya ke orang lain di
lingkungan sekitar. Mereka juga dapat memberi masukan tentang bagaimana bentuk
pelayanan yang diharapkan. Dengan demikian, keberhasilan bidan yang bekerja di
masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mendengarkan dan memenuhi
harapan masyarakat serta melibatkan masyarakat dalam upaya memperbaiki tingkat
kesehatan masyarakat.
Ibu hamil di tengah keluarganya juga merupakan bagian dari masyarakat. Selain
memerlukan makanan bergizi seimbang yang lebih banyak dari biasa dan kebutuhan fisik
lainnya, ia juga memerlukan perhatian dan kasih sayang dari keluarganya agar tetap sehat.
Namun, kebutuhan tersebut sering tidak terpenuhi, antara lain karena kemiskinan,
pendidikan yang rendah, takhayul, atau kepercayaan yang merugikan kesehatan, tindak
kekerasan dalam keluarga, atau status wanita yang dianggap lebih rendah. Bidan mungkin
membantu dalam mengatasi sebagian masalah tersebut, tetapi untuk hal – hal yang
mempunyai nuansa kemasyarakatan, ia perlu bekerja sama dengan masyarakat secara
keseluruhan dan meminta bantuan tokoh masyarakat yang berpengaruh.

Faktor yang mempengaruhi kesehatan wanita


1. Status wanita yang rendah di masyarakat yang rendah
2. Risiko reproduksi ketika seorang wanita mengalami hamil, melahirkan, nifas
yang berisiko kematian
3. Ketidakmampuan wanita memelihara kesehatannya sendiri sebagai akibat
pendidikan yang rendah
4. Kurang biaya dalam upaya pemeliharaan wanita
5. Sosial-budah dan ekonomi dalam kesehatan wanita, antara lain pelayanan
kesehatan yang tidak terjangkau, pengetahuan yang rendah untuk mengenal
tanda dan gejala berbagai komplikasi terkait kehamilan, persalinan, dan nifas.

13
Wanita adalah manusia yang mempunyai hak asasi, terutama hak dalam bidang
kesehatan, yaitu hak untuk memelihara kesehatan reproduksinya. Bidan berperan dalam
memberi dukungan kepada wanita untuk memperoleh status yang sama di masyarakat
untuk memilih dan memutuskan perawatan kesehatan dirinya. Dalam memberi asuhan,
hendaknya dengan pendekatan asuhan yang berpusat pada wanita, fokusnya mencangkup
seluruh aspek kehidupan yang memandang wanita sebagai manusia yang utuh,
membutuhkan pemenuhan kebutuhan biologi, psikologi, sosial, spiritual, dan kultural selama
hidupnya. Bidan harus mempunyai pengetahuan yang luas dalam segala aspek, yaitu
kehamilan, persalianan, nifas, KB, dan kesehatan reproduksi dari pasangan usia subur
karena bidan komunitas adalah mitra dari seorang wanita dalam menghadapi berbagai
pengalaman hidupnya.
Model asuhannya adalah wanita sebagai figur sentral pada proses asuhan karena
wanita mengerti kebutuhannya sendiri, sedangkan bidan adalah pemberi asuhan profesional
yang membantu ibu dalam pengambilan keputusan dan menanggapi pilihan ibu. Salah satu
faktor yang mencerminkan wanita sebagai pusat asuhan diasumsikan dengan kepuasan
terhadap asuhan kebidanan, yaitu asuhan yang berkelanjutan.

Prinsip pelayanan kebidanan di komunitas


1. Pelayanan kebidanan adalah pelayanan yang didasarkan pada perhatian
terhadap kehamilan sebagai suatu bagian penting dari kesehatan, untuk bayi
baru lahir sebagai suatu proses yang normal dan proses yang ditunggu – tunggu
dalam kehidupan semua wanita.
2. Informed consen, sebelum melakukan tindakan apapun beri informasi kepada
klien dan minta persetujuan klien untuk tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya.
3. Informed choice, wanita yang mau melahirkan diberi pilihan dalam mengambil
keputusan tentang proses melahirkan
4. Bina hubungan baik dengan ibu, yaitu dengan melakukan berbagai pendekatan
sisi kehidupan
5. Beri asuhan yang berkelanjutan.

Pemanfaatan Fasilitas dan Potensi Masyarakat

Fasilitas dan potensi yang ada dimasyarakat, yaitu sumber daya alam atau potensi desa,
dan sumber daya manusia/ kader kesehatan. Bidan dalam memberi pelayanan kepada ibu
dan anak di komunitas perlu memperhatikan faktor lingkungan berikut.

14
1. Lingkungan Sosial. Masyarakat yang berada di dalam komunitas memiliki ikatan
sosial dan budaya. Dukun penolong persalinan sangat dekat dengan masyarakat,
terutama dikalangan keluarga di desa karena mereka menggunakan pendekatan
sosial – budaya sewaktu memberi pelayanan. Bidan dalam memberi pelayanan
kepada ibu hamil dan besalin diupayakan tidak bertentangan dengan kebiasaan,
adat istiadat, kepercayaan, dan agama dimasyarakat. Oleh karena itu, peran
masyarakat penting dalam upaya peningkatan kesehatan ibu, anak balita, keluarga,
serta keluarga berencana. Peran serta masyarakat ini selalu digerakan dan
ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan kesehatan.
Kondisi tingkat pendidikan dan ekonomi menentukan tingkat partisipasinya
dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan
masyarakat, semakin meningkat perhatian tersebut, menimbulkan peningkatan
tuntutan masyarakat. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah bersama
masyarakat menentukan arah upaya kesehatan masyarakat. Pelayanan kebidanan
komunitas perlu mendapat dukungan politik dari organisasi swasta atau pemerintah
terutama mendukung adanya undang-undang dan pelaksanaannya.
2. Lingkungan flora fauna. Kebutuhan gizi manusia bergantung pada keberadaan flora
dan fauna. Masyarakat dianjurkan melakukan penghijauan. Pemanfaatan
pekarangan dengan tanaman bergizi dan berkhasiat akan mendukung terwujudnya
kesehatan keluarga. Peternakan juga mendukung kondisi gizi manusia. Bidan yang
bekerja di komunitas memperhatikan pengaruh flora dan fauna ini. Pemanfaatan
tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak disampaikan melalui penyuluhan kesehatan
merupakan bantuan bidan kepada masyarakat terutama pada kaum ibu. Kerja sama
dengan petugas gizi dan pertanian diperlukan di dalam peningkatan gizi masyarakat.

Komunikasi yang Baik

Komunikasi yang nyata adalah sikap. Komunikasi tersebut melibatkan lebih banyak
proses mendengarkan daripada proses berbicara, merupakan suatu proses interaksi yang
tetap ditunjukan untuk suatu kesepakatan. Komunikasi yang baik akan membentuk
pengetahuan dan tanggung jawab orang – orang yang terlibat didalamnya. Sebaliknya jika
keadaan komunikasi adalah banyak rahasia, tidak tahu apa-apa, menerima sedikit
komunikasi akan membuat mereka merasa ditinggalkan, lemah dan tersingkir, yang akan
menyulut suasana ketidakpercayaan antara komunikator dan komunikan.
Komunikasi didalam masyarakat seharusnya bentuknya terbuka, dua arah dan sering
dilakukan. Harus ada bukti yang dapat dilihat tentang adanya proses mendengarkan yang

15
baik, mekanisme umpan balik, informasi dan diskusi tetap tentang bagaimana organisasi
tersebut melakukan semuanya.
Komunikasi yang baik dapat menunjukan rasa hormat kepada orang lain dan
memperlihatkan bahwa pandangan dan opini mereka dihargai. Selanjutnya hal ini dapat
membuat masyarakat mau mengambil keputusan dan mengusulkan ide-idenya. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan seorang bidan dalam berkomunikasi kepada masyarakat adalah
sebagai berikut:
1) Jangan terlalu banyak bicara ( banyak orang melakukannya ), cobalah untuk tidak
menyela
2) Jangan meneruskan kalimat mereka atau mengantisipasi apa yang sedang mereka
ucapkan
3) Tanyakan apabila anda merasa kurang jelas
4) Lebih baik membicarakan sesuatu dengan cara bertatap muka, daripada
berkomunikasi secara tertulis

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

partisipasi yang efektif adalah yang mampu menggerakan perubahan di masyarakat


secara kolektif dan intutisional bukan semata individual. Keberadaan wadah seperti ‘forum
warga’ yang mempertemukan berbagai kelompok warga masyarakat (kelas sosial, umur,
gender, dll) menjadi relevan dan signifikan diperkuat kapasitanya. Melalui perencanaan
program yang pertisipatif, maka masyarakat di dorong bukan hanya mampu menyuarakan
kepentingan/kebutuhannya, tetapi juga mampu mengorganisasikan diri untuk terlibat mulai
dari penelusuran kebutuhan hingga monitor dan evaluasi program.

Pendekatan edukatif memerlukan kesabaran dan ketangguhan dari para petugas


( penggerak ), karena mereka harus mengawal proses secara berkelanjutan hingga
trcapainya kemandirian masyarakat. Di jajaran kesehatan, penggerak awal adalah para
petugas di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, rumah sakit, serta puskesmas dan
jaringannya. Bidan juga harus dapat berkomunikasi yang baik yaitu dapat menunjukan rasa
hormat kepada orang lain dan memperlihatkan bahwa pandangan dan opini mereka
dihargai. Keberhasilan bidan di masyarakat juga ditentukan oleh peran serta masyarakat
oleh karena itu bidan senantiasa mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat demi
tercapainya derajat kesehatan yang diharapkan bersama,

17
DAFTRA PUSTAKA

Syafrudin. Kebidanan Komunitas / penulis, Syafrudin, Hamidah; editor, Monica Ester, Esty
Wahyuningsih. – Jakarta : EGC, 2009.

Niken Meilani, Nanik Setiyawati, Dwiana Estiwidani, Sumarah. Kebidanan Komunitas.


Yogyakarta; Fitramaya, 2009.

http://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/perencanaan-pelayanan-kebidanan-komunitas-
yang-tanggap-gender-dan-partisipatif

yayasan pendidikan kesehatan perempuan, 2013,Prespektif Gender dan HAM dalam


Asuhan Kebidanan Komunitas, Jakarta : Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan

18

Anda mungkin juga menyukai