Anda di halaman 1dari 2

DAKWAH ADALAH CINTA DAN CINTA ADALAH DAKWAH

Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta
semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan,
duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang
dakwah. Tentang umat yang kau cintai.

Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai


tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu.
Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.

Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua
juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan
Allah.

Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar.
Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yg bisa
diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras
apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya
dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang
diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.

Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat
tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya
membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya diperjelas dengan
salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang
Khalifah yang sholih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat
sholat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah


bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi
dari godaan kefuturan.

Tidak! Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang
hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi
dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.

Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani. Justru
karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi. Akhirnya
menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada
akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang
akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.

Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga
“hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang
begitu cantik.

Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia
tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking
seringnya “ditinggalkan”, hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi
semacam tonik bagi iman.

Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya


adalah anak kemarin sore. Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya
juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap
saat mereka memproduksi karya-karya besar. Maka sekalinya hal itu mereka
kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang
besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “Ya
Allah, berilah dia petunjuk. Sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha
Penyayang“

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban
dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta. Mengajak kita untuk terus
berlari.

Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.


Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.

Anda mungkin juga menyukai