Epsode l: Samaria
Sesosok tubuh tergeletak kaku diatas sebuah pembaringan. Tubuhnya hampir telanjang,
hanya dibungkus kain putih yang memanjang menutupi pembaringan. Situasi sekitarnya
kelam. Kosong. Puluhan, bahkan mungkin ratusan, lilin yang diletakkan menyebar tinggi
rendah meliuk-liuk apinya, menciptakan bayang-bayang ganjil dari situasi sekitarnya
ditingkahi sebuah musik yang tiba tiba meledak, tegang, mencekam.... namun berhenti
seketika. Sekelompok sosok-sosok hitam menghampiri tubuh yang menggeletak itu dari
berbagai sudut. Perlahan... perlahan... Mereka mengamat-amatinya dengan penuh selidik.
Berbagai macam kata-kata diserukan sosok-sosok itu kepada tubuh kaku tersebut:
Sosok-Sosok Hitam:
Kasihan kau...
Mati sia-sia...
Cinta?
Apa cinta!
Terkutuk! Terkutuk!!
Puihh!!
Mereka menjauhi tubuh itu seakan-akan diusir bau bangkai yang busuk... kemudian sunyi
kembali.
Episode ll: Sodom
Sesosok bayangan tampak dibiaskan oleh cahaya dari kejauhan. Seseorang datang. Mula-
mula tak jelas... semakin mendekat dan mendekat dan menjelma menjadi seorang
perempuan yang berjalan perlahan... hampir tak bertenaga. Kepalanya terunduk dalam,
rambutnya terurai hampir menutupi mukanya... menutupi wajahnya yang pucat-hampir
sepucat tubuh kaku yang terbaring di pembaringan- dingin dan tanpa nafas. Gaunnya hitam.
Ia membawa sekeranjang kembang dan mulai menaburkan kembang-kembang itu di
sekitar tubuh kaku itu. Kemudian Ia duduk di pembaringan dan mulai meratap
Perempuan :
Ia penipu...
PENIPU... PENIPU!...PENIPU!!
(terisak-isak)
Tuhan!
Mengapa kau kembangkan bunga, jika harus kau bakar dalam terik?
Mengapa kau semikan musim, jika harus kau beku pada salju?
Mengapa kau hembuskan nafas, jika harus kau kaku jadi baka?
Mengapa?
Kau cemburu!
BUNUH DIRI!!
Ha.. Ha ...
Ha ...Haa... Haaa
Kau gagal...
(terus tertawa)
KAU GAGAL!!
Kau..Kembalikan... cintaku...
Kem... ba...li...
Laki-laki:
la tidak mati!!
Hanya tidur...
(la mendekati tubuh itu, menyalakan empat obor di empat penjuru tubuh kaku itu dan
mulai komat-kamit membaca entah apa kemudian berseru dengan nada memerintah)
Bangkitlah!!
(hening)
(hening)
(hening)
Kata-kata laki-laki itu seperti membentur tembok. Ia menjadi panik dan mulai
menggoncang--goncang tubuh kaku itu. Tiba-tiba ia melangkah mundur. Sorot matanya
curiga. Kemudian ia menuding sambil berteriak dengan takut bercampur tudingan
memuakkan.
Laki-laki:
Dia...
Karena cinta...
BUNUH DIRI!!
Pendosa!
Pendosa!
Penghujat!
PENGHUJAT!
Kafir! Kafir!
Iblis!
Islam!
Kristen!
Utara!
Selatan!
Ahh..
Yaa Tuhan!
Najis... najis...
Bunuh... bunuh!
Mati!
MATI!!
la menjadi histeris. Bertingkah layaknya seorang tak waras ia menjambak rambutnya
sendiri. Baju putihnya dirobeknya. Teriakkannya melengking. Tiba-tiba sebuah suara
menghardik:
Sosok Satu:
DIAM!!
Dari arah belakang penonton masuk empat sosok dengan langkah lambat. Yang
menghardik tadi berada ditengah memegang sebuah guci diapit oleh dua sosok dengan lilin
yang menyala. Di belakang ada sesosok yang memegang sehelai kain dan dua buah
mahkota duri. Mereka berjalan kearah panggung. Sambil berjalan, sosok-sosok itu
menyanyikan sebuah himne. dan mengambil posisi di empat penjuru dari tubuh kaku itu,
menghadap ke depan. Selanjutnya sosok yang ditengah itu meletakkan guci itu di lantai dan
mulai berkata-kata kepada laki-laki tadi...
Sosok Satu:
TOPAN BADAI...
Laki-laki tadi ternyata masih memiliki keberanian, atau mungkin lebih tepat, kesombongan
untuk menyodorkan sebuah ucapan penuh selidik sembari menuding ia berkata:
Laki-laki:
Siapa kau...
Ssiappaa kau...
Siapa kau...?
Aku dan kau tak akan pernah bisa bercampur jadi satu!
Sosok-Sosok Lilin:
Laki-laki itu terhenyak, tubuhnya tiba-tiba kaku. Matanya melotot. Napasnya naik turun. Ia
seperti melihat hantu. Kemudian ia mulai takut dan gemetar lalu dengan teriakan histeris
ia lari keluar meninggalkan perempuan sendiri seperti anjing yang ketakutan, lari men
jepit ekornya. Suasana mendadak tenang... tenteram.
Kekelaman pun sirna berganti terang yang lembut. Perempuan itu berangsur -angsur
tenang dan tenang... sosok tadi kembali berbicara. Kali ini jauh lebih ramah dan lembut
Sosok Satu:
Nazareth...
Golgotha...
Eden...
Nirwana...
Itu aku...
Itu aku...
Aku...
Aku...
(menunduk sedih)
Sosok yang membawa mahkota dan kain mulai berbicara dengan suara yang lembut...
Sosok Dua:
Tapi...
Sosok-Sosok Lilin:
Perempuan tadi mulai beranjak. Matanya mencari-cari asal suara tadi. Ia bergerak dengan
mata yang keheranan seolah-olah ia mengenali suara itu. Ternyata asal suara tadi adalah
seolah dari deru jiwa dari tubuh di depannya itu. Perempuan itu mendekati dada tubuh itu
dan menyandarkan kepalanya ke pundak tubuh itu sambil memeluknya sambil bergumam:
Perempuan:
Maaf..
maakan aku...
Kini...
Wahai malaikatku...
Segera...
...Abadi...
(Tubuh kedua kekasih tadi seolah berpelukan dalam diam. Tenang. Keduanya tanpa gerak.
Tanpa nafas. Sebuah perasaan tak terungkapkan merebak. Namun bukan sesuatu yang
sedih. Bukan juga gembira. Hanya nada-nada yang menyiratkan kedamaian... Sejenak
kemudian, sosok-sosok tadi mulai bergerak. Yang memegang lilin berhadap-hadapan
kemudian perlahan-lahan berlutut. Sosok yang telah mengusir laki-laki tadi berjalan ke
belakang kedua kekasih yang diam itu kemudian mengambil kedua mahkota duri dari
sosok yang berdiri di belakang. Ia berjalan ke depan dan mengenakkannya kepada
sepasang kekasih itu. Sosok yang berdiri di belakang, yang memegang kain, kemudian
membentangkan kain itu dan membungkus sepasang kekasih tadi dengan kain putih,
kecuali wajah keduanya. Sosok yang memasangkan mahkota tadi kemudian mengambil
guci yang tadi diletakkannya kemudian berjalan kebelakang kedua kekasih itu. Ia berdiri
dan menatap ke depan kemudian berseru dengan nyaring:
Sosok Satu:
Setelah itu menumpahkan isi guci itu, air berwarna merah darah, ke kepala dan kemudian
tubuh kedua kekasih itu, membasahi kain putih tadi. Ketiga sosok lainnya menyambut
dengan menyanyikan sebuah kata penutup:
Sosok-Sosok:
Amin...
Amin...
Amin...
SELESAI