Anda di halaman 1dari 11

ABADI

Naskah : Greenhill Weol, SS

Adaptasi & Artistik : Petra Rondonuwu

Festival Mahtambulelen Padies Kimuwu 2021

Sebuah Tragedi Religi

Epsode l: Samaria

Sesosok tubuh tergeletak kaku diatas sebuah pembaringan. Tubuhnya hampir telanjang,
hanya dibungkus kain putih yang memanjang menutupi pembaringan. Situasi sekitarnya
kelam. Kosong. Puluhan, bahkan mungkin ratusan, lilin yang diletakkan menyebar tinggi
rendah meliuk-liuk apinya, menciptakan bayang-bayang ganjil dari situasi sekitarnya
ditingkahi sebuah musik yang tiba tiba meledak, tegang, mencekam.... namun berhenti
seketika. Sekelompok sosok-sosok hitam menghampiri tubuh yang menggeletak itu dari
berbagai sudut. Perlahan... perlahan... Mereka mengamat-amatinya dengan penuh selidik.
Berbagai macam kata-kata diserukan sosok-sosok itu kepada tubuh kaku tersebut:

Sosok-Sosok Hitam:

Kasihan kau...

Mati sia-sia...

Mati penuh dosa...

Cinta?

Apa cinta!

Ini aib! Ini aib!!

Terkutuk! Terkutuk!!

Puihh!!

Mereka menjauhi tubuh itu seakan-akan diusir bau bangkai yang busuk... kemudian sunyi
kembali.
Episode ll: Sodom

Sesosok bayangan tampak dibiaskan oleh cahaya dari kejauhan. Seseorang datang. Mula-
mula tak jelas... semakin mendekat dan mendekat dan menjelma menjadi seorang
perempuan yang berjalan perlahan... hampir tak bertenaga. Kepalanya terunduk dalam,
rambutnya terurai hampir menutupi mukanya... menutupi wajahnya yang pucat-hampir
sepucat tubuh kaku yang terbaring di pembaringan- dingin dan tanpa nafas. Gaunnya hitam.
Ia membawa sekeranjang kembang dan mulai menaburkan kembang-kembang itu di
sekitar tubuh kaku itu. Kemudian Ia duduk di pembaringan dan mulai meratap

Perempuan :

Tuhan menipu kita...

(menangis sambil menatap tubuh didepannya)

Ia penipu...

(tangisnya mulai meninggi)

Penipu... Penipu... Penipu

(mulai tersedu-sedu sambil membelai tubuh didepannya)

PENIPU... PENIPU!...PENIPU!!

(pada klimaksnya ia memeluk tubuh tersebut)

Tak ada fajar setelah mentari tenggelam...

Tak ada siang setelah malam kelam...

Tak ada kehidupan setefah kematian...

(terisak-isak)

Eli! Eli! Lama Sabachtani!!


Tiba-tiba tangisnya terhenti... wajahnya masih terbenam dI tubuh tak bergeming itu...
Nafasnya perlahan-lahan mulai memburu.. tangis yang semula mengiris mulai berubah
menjadi geraman... semakin meninggi dan meninggi... sambil beranjak berdiri perlahan-
lahan ia membentangkan tangannya seraya menatap ke langit dan berseru:
Perempuan:

Tuhan!

Mengapa kau kembangkan bunga, jika harus kau bakar dalam terik?

Mengapa kau semikan musim, jika harus kau beku pada salju?

Mengapa kau hembuskan nafas, jika harus kau kaku jadi baka?

Mengapa?

Inikah cinta yang kau ajarkan buat anak-anakmu?

Ini bukan cinta...

Kau cemburu!

Kau kehilangan anakyang kau cinta karena ia...

BUNUH DIRI!!

Ya!! BUNUH DIRI!!

Ha.. Ha ...

(perempuan tertawa mengejek)

Ha ...Haa... Haaa

(tawanya berubah histeris...)

Kau gagal...

(terus tertawa)

KAU GAGAL!!

HA... HA... HA...!

(tiba-tiba tawanya sirna... ganti tangis kembali menyeruak)

Kau... rebut... cinta... ku...

Kau..Kembalikan... cintaku...

Kem... ba...li...

(ucapannya terpotong oleh suara-suara)


Musik mengalun campur baur. Seseorang nampak mendekati pembaringan, berbaju putih
dan nampak suci. Tetapi ia bukan pendeta. Bukan. Kelihatannya ia akan melayat sang tubuh
kaku itu, namun ternyata ia melewatinya kemudian berdiri membelakangi perempuan itu
serta berbicara melewati pundaknya:

Laki-laki:

la tidak mati!!

Hanya tidur...

(suaranya dalam... yakin... kemudian ia tertawa dengan suara yang meremehkan...


kemudian terbahak-bahak)

Ha... Ha... Ha...Ha ...Ha...Ha!

(wanita tadi seperti tersihir ikut terbahak-bahak bersamanya)

Aku diberi kuasa atas air, tanah, dan udara...

Aku diberi kuasa atas manusia, tumbuhan, dan hewan...

Aku diberi kuasa atas lahir, hidup, dan mati...

(la mendekati tubuh itu, menyalakan empat obor di empat penjuru tubuh kaku itu dan
mulai komat-kamit membaca entah apa kemudian berseru dengan nada memerintah)

Bangkitlah!!

(hening)

Bangkit dan berjalanlah!!

(hening)

Dalam nama langit, bumi, bintang dan bulan BANGKITLAH!!... BANGKITLAH!!


BANGKITLAH!!

(hening)

BANGKITLAH!!... BANGKITLAH!!... BANGKITLAH!!

Kata-kata laki-laki itu seperti membentur tembok. Ia menjadi panik dan mulai
menggoncang--goncang tubuh kaku itu. Tiba-tiba ia melangkah mundur. Sorot matanya
curiga. Kemudian ia menuding sambil berteriak dengan takut bercampur tudingan
memuakkan.

Laki-laki:

Dia...

Dia mati... bunuh diri...

Dia mati bunuh diri...

DIA MATI BUNUH DIRI!!

Karena cinta...

CUMA KARENA CINTA IA MATI BUNUH DIRI!!

BUNUH DIRI!!

Pendosa!

Pendosa!

Penghujat!

PENGHUJAT!

Kafir! Kafir!

Iblis!

Islam!

Kristen!

Utara!
Selatan!

Ahh..

Yaa Tuhan!

Najis... najis...

Bunuh... bunuh!

Mati!

MATI!!
la menjadi histeris. Bertingkah layaknya seorang tak waras ia menjambak rambutnya
sendiri. Baju putihnya dirobeknya. Teriakkannya melengking. Tiba-tiba sebuah suara
menghardik:

Sosok Satu:

DIAM!!

Dari arah belakang penonton masuk empat sosok dengan langkah lambat. Yang
menghardik tadi berada ditengah memegang sebuah guci diapit oleh dua sosok dengan lilin
yang menyala. Di belakang ada sesosok yang memegang sehelai kain dan dua buah
mahkota duri. Mereka berjalan kearah panggung. Sambil berjalan, sosok-sosok itu
menyanyikan sebuah himne. dan mengambil posisi di empat penjuru dari tubuh kaku itu,
menghadap ke depan. Selanjutnya sosok yang ditengah itu meletakkan guci itu di lantai dan
mulai berkata-kata kepada laki-laki tadi...

Sosok Satu:

REDAHLAH WAHAI KAU...

TOPAN BADAI...

Laki-laki tadi ternyata masih memiliki keberanian, atau mungkin lebih tepat, kesombongan
untuk menyodorkan sebuah ucapan penuh selidik sembari menuding ia berkata:

Laki-laki:

Siapa kau...

Ssiappaa kau...

Siapa berani mencampuri urusanku!!

Siapa berani mencampuri urusanku!!

Aku adalah umat yang terpilih!!

Aku adalah yang tertinggi dari yang tertinggi!!

Siapa kau...?

LANCANG BENAR KAU!!


Sosok Satu:

Aku adalah aku...

Kau adalah kau...

Aku ada dalam terang...

Kau ada dalam gelap...

Aku dan kau tak akan pernah bisa bercampur jadi satu!

Enyah dari hadapanku

Kau... Ular biludak!

Sosok-Sosok yang memegang lilin menyambut dengan suara keras:

Sosok-Sosok Lilin:

Dalam nama Bapa dan Putra dan Rohul Kudus...

Dalam nama Bapa dan Putra dan Rohul Kudus...

Dalam nama Bapa dan Putra dan Rohul Kudus...

Laki-laki itu terhenyak, tubuhnya tiba-tiba kaku. Matanya melotot. Napasnya naik turun. Ia
seperti melihat hantu. Kemudian ia mulai takut dan gemetar lalu dengan teriakan histeris
ia lari keluar meninggalkan perempuan sendiri seperti anjing yang ketakutan, lari men
jepit ekornya. Suasana mendadak tenang... tenteram.

Episode lll: Utopia

Kekelaman pun sirna berganti terang yang lembut. Perempuan itu berangsur -angsur
tenang dan tenang... sosok tadi kembali berbicara. Kali ini jauh lebih ramah dan lembut
Sosok Satu:

Akulah kelahiran itu...

Akulah kematian itu...

Kelahiran adalah awal...

Kematian adalah akhir...

Nazareth...

Golgotha...

Eden...

Nirwana...

Itu aku...

Itu aku...

Aku tlah lahir sebagai manusia ini...

Aku tlah bunuh diriku sebagai ganti nyawa manusia ini...

Aku...

Aku...

(menunduk sedih)

Sosok yang membawa mahkota dan kain mulai berbicara dengan suara yang lembut...

Sosok Dua:

Tak sadarkah dirimu?

Bahwa bunga tak selamanya mekar

Mentari tak sepanjang tahun bersinar

Dan nyawa tak abadi bersekutu raga?

Tak sadarkah dirimu?

Bahwa langit tak selamanya cerah

Laut tak sepanjang tahun tenang


Dan jantung tak abadi berdetak?

Tapi...

Sadarkah dirimu kini bahwa jiwaku abadi mencintaimu?

Bahwa nadiku abadi mengasihimu?

Walau duka derita kurasa

Lakumu cekik nafas sukma

Tak sedetikpun kan aku serah!

...cintaku kelak kubawa mati.

Kedua sosok yang memegang lilin menyambut dengan suara lantang:

Sosok-Sosok Lilin:

Tuhan yang memberi...

Tuhan yang mengambil...

Abu kembali jadi abu!

Perempuan tadi mulai beranjak. Matanya mencari-cari asal suara tadi. Ia bergerak dengan
mata yang keheranan seolah-olah ia mengenali suara itu. Ternyata asal suara tadi adalah
seolah dari deru jiwa dari tubuh di depannya itu. Perempuan itu mendekati dada tubuh itu
dan menyandarkan kepalanya ke pundak tubuh itu sambil memeluknya sambil bergumam:

Perempuan:

Maaf..

maakan aku...

Kita memang berbeda...

Jalan kita tak sama...


Hari kita tak sama...
Tapi...

Tak seharusnya aku ragukan kesetiaanmu...

Tak sepantasnya aku sangsikan cintamu...

Kau... Kau relakan jiwamu pergi untuk buktikan setia cintamu...

Kini aku sadar...kau dan aku diciptakan untuk selama-lamanya bersama...

Kini aku yakin...

Aku adalah bintang di mahkotamu...

Kini...

Kini bawa aku bersamamu...


Dari kekal sampai kepada kekal...

Wahai malaikatku...

Dibawah tudung sayapmu kurebahkan jiwa...

Dan pabila ajal tlah benar tiba..

Diribaanmulah kurindu meranggas nyawa...

Tapi toh satu pertanyaan tetap tak terjawabkan...

Haruskah cinta musnah karena perhedaan...

Antara siang dan malam...

Antara awal dan akhir...

Antara hidup dan mati...

Namun kita akan kembali satu…

Segera...

Sebab cinta kita...

...Abadi...
(Tubuh kedua kekasih tadi seolah berpelukan dalam diam. Tenang. Keduanya tanpa gerak.
Tanpa nafas. Sebuah perasaan tak terungkapkan merebak. Namun bukan sesuatu yang
sedih. Bukan juga gembira. Hanya nada-nada yang menyiratkan kedamaian... Sejenak
kemudian, sosok-sosok tadi mulai bergerak. Yang memegang lilin berhadap-hadapan
kemudian perlahan-lahan berlutut. Sosok yang telah mengusir laki-laki tadi berjalan ke
belakang kedua kekasih yang diam itu kemudian mengambil kedua mahkota duri dari
sosok yang berdiri di belakang. Ia berjalan ke depan dan mengenakkannya kepada
sepasang kekasih itu. Sosok yang berdiri di belakang, yang memegang kain, kemudian
membentangkan kain itu dan membungkus sepasang kekasih tadi dengan kain putih,
kecuali wajah keduanya. Sosok yang memasangkan mahkota tadi kemudian mengambil
guci yang tadi diletakkannya kemudian berjalan kebelakang kedua kekasih itu. Ia berdiri
dan menatap ke depan kemudian berseru dengan nyaring:

Sosok Satu:

Atas nama cinta...

Dalam nama cinta...

Inilah anak-anakku yang terkasih...

Setelah itu menumpahkan isi guci itu, air berwarna merah darah, ke kepala dan kemudian
tubuh kedua kekasih itu, membasahi kain putih tadi. Ketiga sosok lainnya menyambut
dengan menyanyikan sebuah kata penutup:

Sosok-Sosok:

Amin...

Amin...

Amin...

Lampu memudar, panggung kembali gelap.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai