Anda di halaman 1dari 3

Nama : Abdul Basri

NIM : 2023084119

Pembelajaran berdiferensiasi adalah suatu pendekatan yang mengakui bahwa setiap


peserta didik memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran
berdiferensiasi, siswa diberikan pilihan-pilihan yang bervariasi dalam hal materi
pembelajaran, metode pengajaran, dan penilaian. Tujuan utama dari pembelajaran
berdiferensiasi adalah untuk memastikan bahwa setiap peserta didik dapat mencapai potensi
maksimal mereka dan merasa termotivasi dalam proses belajar. Pendekatan ini memberikan
perlakuan yang berbeda kepada setiap peserta didik dengan tujuan agar mereka dapat
berkembang secara optimal sesuai dengan potensi masing-masing. Ki Hajar Dewantara
mengibaratkan guru seperti seorang petani dan murid seperti benih tanaman yang beraneka
ragam jenisnya. Tugas petani bukan mengubah semua benih menjadi satu jenis tanaman,
melainkan merawatnya agar dapat tumbuh subur sesuai kodrat masing-masing benih tanpa
kecuali. Demikian halnya dengan guru, mereka tidak boleh memaksakan keseragaman pada
anak didik yang unik dan berbeda-beda.

Pandangan filosofis padi oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa padi merupakan bentuk
produk dari bagian suatu kebudayaan, baik itu secara adab maupun barang yang
dihasilkannya. Menurut beliau, pertumbuhan padi ditentukan atas perlakuan oleh petani yang
mengolah padinya sendiri. Adanya usaha, inovasi, daya-upaya, atau cara-cara ilmiah untuk
memperbesar hidupnya padi, merupakan tantangan bagi petani bagaimana cara untuk
memperbaiki sawahnya. Dalam konsep sekolah Taman Siswa sendiri, Ki Hadjar Dewantara
juga mengibaratkan pendidikan layaknya sebuah taman. Taman yang di mana merupakan
sistem tempat untuk bertumbuh kembangnya tanaman beserta buahnya, serta tukang kebun
yang rutin merawat dan menikmati hasilnya. Hal yang ditekankan bahwa baik-buruknya
hasil tanaman, tugas dari tukang kebun hanya bisa memperbaiki atau memperindah jenis
tanaman yang dihasilkan. Begitu pula dengan pendidikan bagi anak-anak.

Pandangan Ki Hadjar Dewantara mengenai padi diibaratkan olehnya seperti anak


(murid) dalam melaksanakan pendidikan. Ibarat petani sebagai guru yang menyebarkan
benih atau bibit padi, tidak bisa memaksakan tanaman padi menjadi tanaman lainnya. Hal
tersebut juga dimaksudkan kepada anak-anak yang sudah mempunyai minat dan bakatnya
masing-masing, tidak bisa dipaksa untuk menjadi apa yang diinginkan oleh guru atau orang
tua untuk tujuan tertentu.

Beliau juga menegaskan bahwa petani tidak boleh membedakan darimana asal padi,
pupuk, dan hal lainnya, karena minat anak begitu beragam dan berbeda-beda, namun
mempunyai hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak yang cerdas atas
kemauannya sendiri. Secara historis pun, filosofi padi Ki Hadjar Dewantara terpapar dalam
kisah perjuangan Taman Siswa merebut pendidikan di masa kolonial. Berakhirnya aturan
ordonansi sekolah liar (Wildeschoolen Ordonantie 1932) pada Maret 1933, beliau menulis
artikel yang berjudul “Kembali ke Ladang”, yang mempunyai makna tentang kembalinya
petani untuk menyebarkan benih padi ke sawah atau ladang (sekolah), atas tujuan untuk
memperluas kembali tujuan pendidikan yang menjadi pokok kewajiban bagi Taman Siswa.

Dari pembahasan diatas, dapat dijelaskan bahwa pandangan Ki Hadjar Dewantara


terhadap filosofi padi dan anak-anak dalam pendidikan, mempunyai keterkaitan atas
pertumbuhan kecerdasan anak pada minat pendidikannya. Hal tersebut menjadi tantangan
bagi kita, khususnya bagi para guru dan orang tua agar mendukung dan memberikan
semangat kepada anak-anak dalam menentukan pilihannya. Guru bertugas agar setiap benih
unik yang ada pada diri peserta didik dapat berkecambah dan berkembang secara optimal
tanpa harus kehilangan ciri khasnya masing-masing. Guru harus bijaksana memahami
potensi setiap murid dan memandunya tumbuh dengan pendekatan personal yang sesuai bagi
masing-masing individu. Makna filosofis di balik perumpamaan Ki Hajar Dewantara
tersebut adalah bahwa setiap anak memiliki keunikan tersendiri. Mereka memiliki bakat,
minat, passion, dan talenta spesifik yang tidak seragam. Sudah semestinya hal ini dihargai
dan didorong untuk berkembang oleh guru, bukan dipaksakan seragam atau bahkan
diabaikan.

Konsep pembelajaran berdiferensiasi sangat selaras dengan filosofi Ki Hajar


Dewantara tersebut. Pembelajaran berdiferensiasi tidak memaksakan standarisasi tunggal,
tetapi justru mengakomodasi perbedaan individu peserta didik dan memberi perlakuan
khusus agar mereka dapat tumbuh optimal. Baik pembelajaran berdiferensiasi maupun
filosofi Ki Hajar Dewantara sama-sama menjunjung tinggi keberagaman dan keunikan setiap
individu. Keduanya membuka peluang setiap peserta didik untuk mengeksplorasi dan
mengembangkan potensi spesifik yang dimilikinya tanpa rasa tertekan untuk menjadi
seragam. Dengan demikian, ada keselarasan yang kuat antara konsep pembelajaran
berdiferensiasi dan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Kedua hal tersebut dapat
memahami setiap peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai