Anda di halaman 1dari 1

William Suryajaja

Tahun 1998,

Pada saat puncak kerusuhan terjadi dimana massa begitu beringas untuk merusak, menjarah, dan
membakar apa saja di hadapan mereka. Areal pusat pertokoan dimana milik si pengusaha juga tak
luput dari amuk massa. Semua toko dirusak, dijarah, dan dibakar.

Entah mengapa hanya satu yang sama sekali tidak disentuh oleh massa, padahal posisi dan
bentuknya sama dengan toko lainnya. Hanya banner nama dan papan balihonya saja yang yang
membuat toko itu berbeda.

Oleh para direktur dan manajer, hal yang 'ajaib' tersebut dilaporkan kepada sang pengusaha dalam
sebuah pertemuan terbuka.

"Semua pertokoan dan perusahaan di lingkungan sekitar kantor kita habis, Pak. Semua dijarah,
dirusak, dan beberapa diantaranya ada yang dibakar" seorang manaier membuka suara
danmenjelaskan situasinya.

"Iya, Pak. Semuanya musnah, kecuali toko kita saja, hanya toko kita saja yang selama" sambung
manajer yang lainnya dengan wajah sumringah.

"Benar, Pak. Kita harus bersyukur karena massa sama sekali tidak mengusik kantor dan toko kita"
seorang anggota direksi yang lain menimpali dan diamini dengan senyum oleh hampir semua orang
dalam ruang tersebut.

Hanya satu orang yang tidak senang mendengar kabar itu, yaitu sang pengusaha itu sendiri. Ia hanya
tertunduk, matanya memejam, sama sekali tidak tampak raut kegembiraan di wajahnya.

Melihat gelagat seperti itu, orang-orang dalam ruangan tersebut mulai saling pandang. Menunda
senyum simpul mereka yang terlampau sudah diumbar dan menunggu apa yang bakal dikatakan oleh
sang bos besar setelah itu.

"Saya sungguh malu mendengar apa yang kalian katakan"

Sang pengusaha membuka suara, ada getaran kemarahan terdengar disana. Kemudian ia meunduk
sebentar sembari memejamkan matanya, lalu mengangkat wajahnya dan kembali berkata.

"Saya malu mendengar apa yang kalian katakan hari ini. Kalian semua sungguh keterlaluan, tidakkah
kalian lihat saudara-saudara kita di sana yang usahanya hancur, bisnisnya dijarah, tokonya dibakar,
sementara kalian mengajak saya untuk mensyukuri hal itu?"

Mendadak suasana dalam ruang itu hening laksana kuburan, tak ada yang berani berbicara.
Semuanya tertunduk, malu sekaligus takut, mereka sama sekali tidak menyangka, berita gembira
yang mereka bawa akan disambut dengan cara yang berbeda oleh sang pengusaha.

"Belajarlah untuk tidak selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang kepentingan kita sendiri.
Belajarlah untuk melihat juga dari sudut pandang orang lain, dari sudut pandang saudara kita yang
dijarah, dari sudut pandang orang- orang yang mungkin kehilangan semuaya karena peristiwa ini"

Semua tetap membisu, menunduk dalam rasa malu yang semakin dalam.

Anda mungkin juga menyukai