Anda di halaman 1dari 116

Special

Part

r e
h a
s
di
DUDA NEXT
n
DOOR

a
n g
Ja

NEV NOV
Dari Penulis
Nev Nov saat ini aktif menulis di Wattpad, Karyakarsa dan grup
kepenulisan Facebook. Kalian bisa menemukan karya-karya lainnya
di:
Wattpad : @NevNov
Facebook : Nev Nov Stories
Karyakarsa : Nev Nov
Karya-karyanya yang lain juga sudah tersedia versi ebook di
Google Playstore maupun versi cetak.
r e
h a
s
di
an
n g
Ja

2
Daftar Isi
Summer Special Story
Part 1 .............................................................................................. 5
Part 2 ............................................................................................16

Part 3 ............................................................................................27
Part 4 ............................................................................................38

Part 5 ............................................................................................50
Fifi & Alteza Special Story

re
Part 1 ............................................................................................63
a
i sh 73
Part 2 ............................................................................................
d
a n
Part 3 ............................................................................................ 84

a ng
Part 4 ............................................................................................ 94
J
Part 5 ..........................................................................................104
Bonus Part.................................................................................115

3
Summer
Special Story

r e
h a
s
di
an
n g
Ja

4
Part 1
Masa kehamilan Summer berlangsung sangat baik, tidak banyak
kendala atau bisa dikatakan bayinya tidak rewel. Summer masih
melakukan kegiatan seperti biasa, setiap pagi menyiapkan sarapan
untuk kedua anaknya dan suami. Mengantar sekolah, lalu ke salon.
Ia tidak membiarkan dirinya bermalas-malasan, selama
kandungannya tidak rewel. Yang senewen justru Melati. Mamanya
Summer itu lebih kuatir karena ini adalah cucu pertamanya. Hampir
setiap hari menelepon hanya untuk memastikan kalau anak dan
cucunya baik-baik saja.
“Kamu nggak ngidam apa-apa?”
a re
h apa
“Nggak, Ma. Suamiku sampai heran, kenapa aku nggaksmau
i
apa.” d
n
a aja?”
g
“Bayi yang nggak rewel. Tapi, badan kamu sehat
“Sehat, Ma. Hanya muntah-muntah saat J anpagi tapi sekarang
udah nggak lagi.”
“Baguslah. Ingat, kalau ada sesuatu yang dirasa sakit, cepat
hubungi aku. Nanti mama akan usahakan ke sana secepatnya.”
“Iya, Maa. Tenang saja.”
Bukan hanya Melati yang kuatir dengan keadaannya, bahkan
sang mertua pun sama. Adiratna banyak mengirimkan vitamin juga
makanan sehat untuk Summer dan berpesan agar tidak bekerja
terlalu lelah.
“Ammer, ada baiknya jam kamu ke salon dikurangi, mama rasa
mereka akan mengerti.”

5
Summer mendengarkan saran mertuanya dengan senyum.
“Ma, justru kalau di rumah saja aku bosan. Di sana banyak teman,
dan mereka siap siaga membantu.”
“Jangan terlalu dipaksa, pulang kalau lelah.”
“Iya, Ma. Tenang.”
Summer tahu kenapa mertua dan mamanya kuatir, Jayden pun
sama. Meski tidak ditunjukkan, tapi suaminya itu menyimpan
kekuatiran yang besar. Ia tahu kenapa, bisa jadi trauma dengan
kehilangan Tiara. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk
menenangkan suaminya selain menunjukkan pada Jayden kalau ia
baik-baik saja. Tubuhnya sehat dan sejauh ini kandungannya
membawa rasa bahagia.
r e
Pagi ini saat Summer bangun, Jayden sudah tidak ada di
h a
sampingnya. Ia bangun dengan sedikit mengernyit karena s
di
punggungnya sakit. Tertatih ke kamar mandi untuk membersihkan
a n
diri dan berganti pakaian. Ia mencari di mana keberadaan suaminya
n g
dan menemukan Jayden sedang berolah raga. Ia menghampiri
suaminya yang sedang melakukan cardio. Ja
“Sayang, sudah sarapan apa belum?”
Jayden mengangkat wajah. “Belum, aku nunggu kamu.”
“Mau roti atau makanan lain?”
“Nasi goreng bisa? Kalau kamu nggak repot.”
“Nggak, anak-anak pasti senang juga makan nasi goreng.”
Jayden menghentikan kegiatannya, mendatangi sang istri dan
mengecup bibir lalu mengusap perut Summer yang membulat.
“Bagaimana kabar anak papa pagi ini di dalam sana? Nggak rewel?”
Summer terkikik. “Dia rewel, tadi bisik-bisik kalau ingin sesuatu.”

6
Mata Jayden membulat. “Ingin apa? Kamu ngidam?” Ia berkata
dengan antusias. Mendengar istrinya yang hamil menginginkan
sesuatu adalah sebuah kegembiraan untuknya.
Senyum Summer makin lebar, antusias suaminya saat
mendengar kalau ia menginginkan sesuatu menghangatkan hati. Ia
berdehem kecil sebelum bicara lirih. “Anu, si bayi pingin punya
usaha hotel. Bisakah?”
Jayden mengernyit, menatap istrinya yang berusaha menahan
tawa. Ia tahu Summer sedang bercanda dan saatnya membalas
kejahilan sang istri. “Ehem, kebetulan. Ada hotel bintang empat
yang sedang dalam negosiasi pembelian. Kalau lancar, aku akan
menjadi pemegang sahamnya. Apa itu cukup untuk bayi kita?”
Summer tercengang, matanya berbinar tidak percaya. “Eh, r e
Sayang. Aku hanya bercanda.” h a
s
di
“Masalahnya aku serius, senang bisa memenuhi keinginan si
bayi.” an
n g
a
“Sayaaang, mana ada orang ngidam minta hotel? Bercanda aja.”
J
“Ada aja, buktinya kamu. Coba tanya
si bayi, selain hotel apa
ingin yang lain? Kapal pesiar? Mall? Mumpung uang papanya
nganggur.”
Summer yang sadar sedang dijahili, mencubit pinggang Jayden
sebelum meninggalkan suaminya yang terbahak-bahak. Tidak
mudah memang untuk menjahili Jayden, karena suaminya itu
selalu punya cara untuk menangkis semua perkataannya. Namun,
tidak terbantahkan kalau ia sangat bahagia menjadi istri Jayden.
Laki-laki itu membuatnya merasa dicinta dan disayangi. Ia sangat
beruntung, menjadi bagian dari keluarga yang penuh cinta.
Masuk ke rumah, Summer mendapati Fino sudah bangun.
Meraup anak itu dalam pelukan, ia mengusap rambut Fino yang
berantakan.
7
“Belum cuci muka?”
Fino menggeleng, menguap lebar. “Mama, Fino laper.”
“Ya, mama buatin nasi goreng. Sana, cuci muka, gosok gigi.
Nanti langsung ke dapur buat minum susu.”
Summer sedang mengaduk nasi di penggorengan saat Fifi
muncul. Gadis kecil itu mengendus udara dan berkata riang.
“Asyik, sarapan nasi goreng.”
Summer menoleh. “Bantu Bi Yanti siapin alat makan, Sayang.”
“Iya, Ma.”
Fifi mengambil piring, sendok, dan garpu lalu menyusunnya di
meja. Ia memang belum bisa memasak, tapi merasa senang bisa
r e
membantu mamanya melalukan pekerjaan ringan. Summer tidak
h a
s
di
pernah memaksanya melakukan sesuatu yang tidak disukai, tapi
soal pekerjaan rumah tangga, sang mama mengajarinya sedikit
an
demi sedikit. Sekarang, ia mahir menata meja dan bangga dengan
n g
Ja
hasilnya. Mencuci piring pun ia bisa lakukan dengan bersih,
meskipun ada pelayan yang bisa melakukan, tapi menyenangkan
bisa mengerjakannya.
“Ma, kita nggak main hari ini?” tanya Fifi.
Summer membiarkan Yanti menuang nasi goreng ke dalam
mangkok kaca. Ia duduk untuk minum teh hangat.
“Kamu mau main ke mana?”
“Biasanya ke salon.”
Summer memutar bola mata. “Sayang, mana ada main ke
salon? Itu mah sama aja kerja.”
“Mama kerja tapi buat Fifi itu main.”

8
“Baiklah-baiklah, kita ke salon kalau kamu mau. Tapi, nanti sore,
ya? Papa bilang katanya mau ajak kita makan di luar.”
“Horee!”
Summer bisa mengerti kenapa Fifi suka ke salon. Di sana semua
orang menyambutnya dengan ramah. Purnama serta yang lainnya,
menyayangi Fifi seperti anak sendiri. Selain memperhatikan orang
orang yang sedang berhias di salon, Fifi juga senang mengikuti
Purnama. Bertanya tentang alat-alat di salon dan mengobrol
tentang trend kecantikan terkini. Summer bisa melihat kalau
anaknya punya ketertarikan di bidang kecantikan, dan Jayden pun
menyadarinya.
“Fifi bebas melakukan apa pun yang disukainya. Aku tidak akan
melarangnya, kalau memang dia menyukai bidang fashion dan r e
kecantikan, aku akan mendukungnya.” Jayden berucap, saat h a
s
Summer mengajaknya bicara soal Fifi.
di
a n
“Kamu nggak marah kalau ternyata dia hanya ingin buka salon
misalnya?” n g
Ja
Jayden menggeleng. “Untuk apa marah? Anak-anak punya
jalannya sendiri. Lagi pula, jaman sekarang seorang make up artis
punya penghasilan tidak sedikit. Kita akan membantunya
mewujudkan keinginannya. Fifi pasti senang bisa mengikuti jejak
mamanya.”
Pemikiran Jaydenn yang luas dan terbuka menghangatkan hati
Summer. Tidak banyak orang kaya yang punya pikiran seperti
Jayden. Biasanya mereka menginginkan anaknya sekolah tinggi dan
menjalankan bisnis. Namun, Jayden berbeda dan Summer merasa
kalau Fifi beruntung punya papa yang pengertian.
Selesai sarapan, Summer menemani Fino membaca buku.
Mereka duduk di ruang tengah, dengan suara Fino yang lirih
mengisi keheningan. Jayden yang semula sibuk dengan pekerjaan,

9
ikut duduk di samping istrinya dan turut mendengar Fino
membaca. Sesekali mengkoreksi kalau ada kata-kata yang salah
pengucapan.
Fifi ikut bergabung setelah selesai mengerjakan tugas. Ia duduk
di sebelah sang mama dan berbisik untuk menghindari keributan.
“Maa, Alteza ngajak main.”
Summer menatap anak gadisnya dengan serius. “Main ke
mana?” tanya pelan.
“Ke museum. Boleh nggak?”
“Sama siapa?”
“Katanya, dia mau ajak mamanya dan tanya apa Mama mau ikut
r e
juga.”
h a
s
di
“Kapan?”
“Minggu depan.”
g an
Summer terdiam, memikirkan rencana n Minggu depan dan
mendapati tidak ada J a
masalah. “Boleh. Nanti mama dan adik
temani.”
“Asyiik!”
Jayden yang sedang membantu Fino membaca, mendongak.
Menatap istri dan anaknya yang sedang berbisik-bisik. Mereka
sepertinya berbagi rahasia antar wanita yang tidak boleh
diketahuinya. Wajah Fifi terlihat berseri-seri, ia menduga itu ada
hubungannya dengan Alteza. Mencoba untuk bersikap tenang,
meyakinkan diri kalau Fifi dan Alteza hanya berteman dan tidak ada
yang serius untuk dipikirkan.
Pukul 12.30 mereka pergi ke restoran yang letaknya ada di pusat
kota. Jayden telah memesan tempat sebelumnya. Restoran yang
menyajikan makanan khas daerah, dibangun dengan konsep

10
tradisional yang menggabungkan unsur candi dengan design
modern. Ada air mancur di tengah restoran, beserta patung
patung unik.
Mereka mendapatkan ruangan VIP di belakang, menghadap
langsung ke taman dan air mancur. Memesan makanan kesukaan
berupa gurami goreng, berserta lauk-pauk tradisional lainnya.
“Mama, nanti Fino mau ikut ke salon.”
Summer yang sedang mencabut duri dari daging ikan,
mengangguk. “Iya, nanti Fino ikut. Tapi, ngomong-ngomong papa
mau ke toko buku, kenapa nggak ikut saja?”
Fino menatap papanya penuh harap. “Beneran, Pa?”
Jayden mengangguk. “Iya, setelah mengantar mama dan kakak
r e
h a
ke salon, papa mau ke toko buku dan toko alat-alat olah raga. Fino
s
di
mau ikut papa?”
Fino mengangguk antusias. “Mauuu!”
g an
“Kalau begitu, makan yang banyak. Biar adantenaga untuk jalan
jalan.” Summer menyodorkan potongan ikan Jayang sudah tidak ada
durinya. “Ambil nasi sama sayurnya, Sayang.”
Fino makan dengan lahap, begitu pula Fifi. Summer sendiri
sangat tergugah dengan aroma masakan yang sedap.
“Kenapa Om Viero nggak pernah kelihatan? Sedang di luar
kota?” tanya Summer pada suaminya.
Jayden mengangguk. “Iya, sepertinya Minggu depan baru akan
kembali. Aku curiga kalau dia sedang mengejar Sandriana.”
Summer melongo. “Benarkah? Kenapa aku nggak tahu?”
Jayden tersenyum simpul. “Nggak kelihatan, Sayang. Aku pun
tahu karena pengamatan yang jeli. Viero pikir aku nggak bisa lihat
sikapnya yang aneh.”
11
“Aneh bagaimana?”
“Tanya-tanya soal Mama Puspa, Sandriana dan juga kapan kita
akan mengajaknya main ke rumah mereka.”
Summer tidak dapat menahan dengkusan, merasa geli
mendengar penuturan suaminya. Viero yang selama ini terkenal
mudah menaklukkan perempuan, ternyata sama saja saat jatuh
cinta. Tidak sabaran dan transparan. Bukankah laki-laki itu selalu
membanggakan diri kalau mudah menaklukkan seorang
perempuan? Kenyataannya, tetap saja grogi dan bingung saat
benar-benar menyukai seseorang. Kalau sekarang Viero ada di sini,
ia akan menggodanya habis-habisan.
“Sandriana perempuan yang baik. Dia juga sayang sama anak
anak. Aku rasa, dia akan cocok dengan Viero,” ucap Summer.
a re
i
“Semoga saja cintanya nggak bertepuk sebelah tangan.” sh
Mereka menyelesaikan makan siang dengan cepatdkarena Fifi
g andari ruang VIP,
dan Fino sudah tidak sabar untuk pergi. Saat keluar
Fino yang berlari hampir menabrak seorang
a n perempuan yang
J
berlawanan arah dengan mereka. Untung saja, Jayden dengan
sigap menahan anaknya.
“Fino, di luar nggak boleh lari-larian begitu. Bahaya.” Jayden
membantu anaknya menegakkan tubuh.
“Iya, Papa. Maaf.”
“Jayden? Ini kamu benar Jayden?”
Sapaan perempuan di depannya membuat Jayden mendongak.
Ia menelengkan kepala. Berusaha mengingat.
“Jay, ini aku, Liliana. Kamu lupaa?”
Pemahaman terlihat di wajah Jayden. “Ah, Liliana. Apa kabar?”

12
Liliana membuka lengan, hendak memeluk Jayden tapi
mengurungkan niatnya saat melihat laki-laki di depannya
merengkuh si anak dalam gendongan.
“Berapa tahun nggak ketemu, Jay. Kamu tinggal di mana?”
“Di daerah Selatan. Kabarmu bagaimana, Liliana?”
“Baik, aku sehat dan siapa mereka?”
Lilian menatap Fifi dan Summer yang berdiri diam di belakang
Jayden.
“Oh, mereka istri dan anakku. Itu Summer, istriku, Fifi anak
tertua dan ini Fino, anak kedua.”
Liliana menatap takjub pada Summer. Tidak dapat
r e
menyembunyikan kekagetannya. “Jayden, bukankah istrimu
h a
Tiara?”
s
di
Summer tersenyum kecil pada perempuan yang kaget itu,
a n
g
membiarkan suaminya menjelaskan situasi mereka.
n
Ja
“Kamu nggak tahu? Tiara sudah meninggal.”
Liliana ternganga, mengungkapkan bela sungkawa. Ia mengaku
lebih banyak tinggal di luar kota dan tidak tahu seluk-beluk teman
teman lama di kuliah. Terakhir berhubungan dengan Tiara adalah
saat baru menikah.
“Aku kehilangan kontak kalian karena kesibukan. Tiara adalah
sahabat terbaik dan aku turut menyesal, Jay.”
Jayden tersenyum. “Terima kasih, sudah berlalu sekarang.
Liliana, maaf, kami harus pergi.”
Liliana menyamping, memberikan jalan untuk Jayden. “Oh, aku
nggak akan menahan kalian. Jay, bisakah kalau ada waktu kita
mengobrol?”

13
Jayden menggeleng. “Aku nggak bisa kalau istriku tidak
mengijinkan.”
“Tapi, harusnya istrimu nggak masalah. Kita teman lama.”
Liliana menatap Summer yang sedari tadi tidak bicara. Mengamati
perempuan muda yang sedang hamil. Summer memang sangat
cantik meski dalam balutan gaun sederhana. “Maaf, kalau aku
lancang. Tapi, harusnya kamu nggak masalah kalau dia mengobrol
denganku bukan? Kami sahabat dulu. Maksudnya adalah aku,
Jayden, dan Tiara.”
Summer mengulum senyum kecil, sadar dirinya sedang diuji. Ia
menatap suaminya yang menggeleng kecil di belakang Liliana.
“Sebagai istri aku berhak untuk melarang suamiku bersama
perempuan lain, kecuali aku ikut.”
a re
h
Liliana terperangah, tidak menyangka dengan jawabansSummer.
i
“Tapi, kami hanya mengobrol biasa.” d
a n
g
“Maaf, tapi kamu sudah punya suami apa belum?”
n
Ja
Wajah Liliana memerah. “Apa hubungannya?”
“Ada, karena kalau kamu sudah menikah, pasti tidak suka
suamimu bersama perempuan lain, biarpun itu sahabat dekat.”
Liliana mendengkus. “Tiara saja, nggak pernah
memperlakukanku kayak kamu.”
“Oh, itu Tiara, bukan aku. Anggap saja, aku istri yang posesif.
Silakan bicara dengan suamiku, tapi aku harus ikut atau sebaliknya,
suamimu ikut. Demi menghindari fitnah.”
Ketegasan Summer membungkam Liliana. Perempuan itu
menatap Jayden, berharap ada dukungan tapi nyatanya nihil.
Jayden merengkuh pundak sang istri dan berkata lembut.
“Aku akan pergi kalau kamu ikut. Sudah, jangan marah. Ayo, kita
ke salon.”
14
“Asyiik! Ayo, Paa!” Fino menarik tangan sang papa.
Jayden menatap Liliana. “Maaf, kami tinggal dulu. Senang
bertemu denganmu.”
Liliana tidak bereaksi, tetap diam meskipun Summer
mengangguk kecil untuk berpamitan. Ia berdiri kaku, menatap
keluarga kecil yang sekarang beriringan keluar dari restoran.
Jayden yang baru ditemuinya, sangat berbeda dengan Jayden yang
ia kenal. Ia mendesah, lupa kalau waktu dan keadaan bisa
mengubah seseorang.
Obrolan Hati

Fino : Asyiik, kita ke toko buku.


r e
h a
Fifi : Mama marah.
s
Jayden : Istriku marah, atau cemburu? Bagus kalaudi
an
cemburu, berarti dia cinta.
n g
Summer
mereka setiap kali melihat suamiku?
Ja
: Kenapa para perempuan tidak dapat menahan diri

Liliana : Jayden, tadi itu pertemuan pertama kita setelah


sekian lama. Tapi, bukan yang terakhir.

15
Part 2
Rencana main berdua antara Alteza dan Fifi gagal. Summer tidak
mengerti apa masalahnya, karena anak sulungnya menolak untuk
bicara. Apakah kedua anak itu bertengkar? Sebenarnya tidak
masalah kalau ada sedikit pertikaian, dalam berteman itu biasa.
Seandainya wajah Fifi tidak menyiratkan kekesalan.
Biasanya, sehabis makan malam Alteza akan menelepon Fifi
untuk bertanya soal PR. Mereka akan mengobrol sambil berdiskusi
via video call. Sesekali, Fino ikut menyela dan karena dilakukan di
ruang keluarga dengan dirinya mengawasi, bagi Summer itu masih
hal yang wajar. Setelah rencana main bersama gagal, sekarang
r e
tidak ada lagi telepon malam.
h a
s
di
Fifi yang sehabis makan biasa rebahan di karpet, kali ini
a n
mengerjakan PR di kamar. Tanpa suara, sunyi, dan seperti bukan
n g
dirinya. Summer membawa sepiring buah iris dan mengetuk pintu
kamar anaknya. Ja
“Kak, belajar sambil makan buah. Biar pencernaan bagus.”
Summer meletakkan piring di meja kecil, menatap anaknya yang
serius menulis.
“Taruh aja, Ma. Nanti Fifi makan.”
“Banyak PR, Kakak?”
“Iya, Ma. Bahasa Indonesia sama IPS.”
Summer duduk di ujung ranjang, mengamati kamar anaknya
dalam nuansa serba merah muda yang lucu dan menggemaskan. Ia
merapikan boneka yang tersebar di pinggir ranjang, lalu melipat
selimut. Fifi menyukai Hello Kitty, semua barang-barangnya

16
berwana merah muda. Dari mulai lemari, ranjang sampai pelapis
dinding.
“Tumben nggak telepon Alteza. Kalian berantem?” tanya
Summer dengan suara lembut.
Jari Fifi yang sedang menggoreskan aksara di kertas terhenti.
Menghela napas lalu kembali menulis.
“Nggak, biasa aja.”
“Oh, biasa aja. Syukurlah kalau nggak berantem. Kemarin
bilangnya mau pergi, adik udah seneng banget malah mau pergi,
ternyata nggak jadi.”
“Alteza sibuk, Ma. Nggak bakalan bisa main sama kita.” Fifi
bicara tanpa memandang mamanya.
r e
h a
“Sibuk belajar sama les kali, ya?” tebak Summer.
s
“Termasuk hal-hal lain, contohnya pacaran!” di
a n
g
Tanda sadar, Fifi bicara dengan nada tinggi. Kali ini menengadah
n
Ja
dan menatap mamanya. Kejengkelan terlihat jelas di bola matanya
yang bulat. Summer berdehem, menyembunyikan senyuman.
“Kakak, Alteza mungkin menganggap mereka semua teman.”
“Emang teman! Sama Fifi juga teman. Cuman, karena dia
ngerasa popular, semua cewek suka, jadi belagu. Udah janji sama
Fifi mau makan siang bareng, udah ditungguin, ternyata dia malah
ke kantin sama Cindy. Fifi jadi kesel, Maa.”
Fifi kembali menunduk dengan wajah memerah. Summer
kebingungan sekarang. Tidak lagi mendesak Fifi untuk bicara. Ia
berpesan agar anaknya makan buah sebelum keluar dari kamar.
Di ruang tengah, ada Jayden yang sedang bermain balok dengan
Fino di karpet. Summer mendekati mereka dan duduk di sofa
sambil menghela napas panjang.

17
“Wajahmu muram sekali, Sayang. Kenapa? Ada masalah sama
Fifi?”
“Nggak ada apa-apa, ngobrol biasa aja.”
“Oh, aku pikir karena mulai abege, banyak masalah sama anak
kita.”
Summer mengusap bahu suaminya. “Masalah anak abege
apaan, sih, Pa. Paling juga nggak jauh dari pelajaran, guru, sama
temen.”
“Nah, itu, maksudku, Ma. Mungkin lagi ada masalah sama
temannya.”
“Memang, sama Alteza. Harusnya mereka Minggu lalu main
bareng ke museum, tapi nggak jadi.”
r e
h a
“Karena?”
s
di
“Alteza katanya sibuk pacaran.”
an
g
Melihat wajah Jayden yang kebingungan, Summer mendekat
n
Ja
dan berbisik. “Anak kita sepertinya lagi cemburu.”
Kali ini Jayden tercengang, lalu menghela napas panjang.
Mengembuskan napas perlahan, ia menumpuk balok. Sebenarnya,
sudah tahu kalau Fifi sedang dalam tahap pertumbuhan, tetap saja
banyak hal yang membuatnya terkaget-kaget, tentang cinta
cintaan terutama. Ia ingin menolak kenyataan dengan mengatakan
kalau anaknya masih kecil, tapi memang tidak bisa dihindari setiap
anak memang mengalami masa pubertas. Ia pun dulu sama. Tidak
ada salahnya hanya sekadar naksir, yang tidak boleh kalau melebihi
batas. Namun, Jayden merasa tenang. Tentang masalah Fifi dan
Alteza ini, kedua orang tua ikut campur tangan dan memantau.
“Fifi sudah besar. Lagi masa pubertas,” gumam Jayden setelah
rasa kagetnya hilang.

18
“Memang, tapi tenang saja. Ada aku dan Amelia yang akan
memantau.”
Keesokan harinya, saat anak-anak berada di sekolah, Amelia
membuat janji dengan Summer di salon. Mereka bicara tentang
pertengkaran Alteza dan Fifi, seolah-olah itu adalah masalah besar
yang menyangkut hidup dan mati orang banyak.
“Aku sudah tanya anaknya, kenapa jadi renggang sama Fifi.
Kalian tahu apa jawabannya?” Amelia bertanya pada Purnama dan
Summer yang berdiri tak jauh darinya.
“Fifi cemburu?” tebak Purnama.
Amelia menggeleng, menepuk jidatnya. “Bukaaan, tapi katanya
cewek itu ribet. Dia nggak tahu salahnya di mana, mendadak Fifi
r e
nggak mau diajak ngomong. Nomor WA juga diblokir. Kesel sendiri
h a
s
karena nggak tahu salahnya apa. Emang anakku itu sebelas dua
belas sama papanya, nggak peka!” di
a n
g
Summer terkikik geli. Bersedekap dengan bahu terguncang
n
Ja
karena tawa. “Kamu ada tanya soal Cindy, nggak?”
“Ada, kata anakku, Cindy datang buat nawarin es krim. Dia udah
nolak tapi tangannya ditarik sama temannya yang lain. Terpaksa dia
ikut ke tempat Cindy beli es krim. Balik ke taman, Fifi udah nggak
ada.”
“Ckckck, kenapa, sih, percintaan para bocil jauh lebih rumit dari
percintaan gue,” sela Citra.
Purnama mendengkus. “Jangan samain lah, para bocil cuma
paham senang sama marah. Emang, lo. Dari mulai tampang sama
duit juga lo perhatiin?”
“Eh, siapa yang nggak gitu? Coba lo tanya Summer. Emangnya
kalau duda tua, muka peyot, dia mau apa? Karena Pak Jay itu
tampan dan kaya raya, makanya Summer klepek-klepek!”

19
Summer menatap dua temannya yang sedang berdebat.
“Kenapa jadi ke gue, sih? Kita lagi bahas masalah para bocil ini.”
Mereka berempat saling pandang lalu menghela napas panjang
bersamaan. Tidak ada yang tahu, bagaimana caranya untuk
menyelesaikan masalah anak-anak yang ternyata jauh lebih rumit
dari dugaan mereka.
“Kalau misalnya, itu gue yang kena masalah sama cowok, gue
ajak tidur bareng udah beres,” celetuk Citra dan langsung menjerit
saat Hayu datang untuk mencubit pinggangnya. “Apaan, sih, lo!”
“Jangan samain lo sama bocil. Lihat, mama mereka udah pusing
gitu!” Hayu menunjuk Summer dan Amelia yang terdiam.
Karena salon sedang sepi, Amelia yang sebenarnya datang
r e
untuk bicara tentang anak-anak, akhirnya meminta Purnama
h a
mengecat kuku. Summer sedang makan camilan, dan Citra s
di
menghilang ke ruko sebelah. Mereka mendengar desas-desus
an
kalau Citra sedang dekat dengan Gandhi. Tidak ada yang tahu
n g
kebenarannya. Hayu datang membawa es teh untuk Amelia, dan
menyibukkan diri membereskan peralatan. Ja
“Aku tanya sama suamiku soal Alteza, kalian tahu apa
jawabnya?” ucap Amelia.
“Pasti bilang lagi pubertas,” jawab Summer.
Amelia terperangah. “Kok tahu.”
Summer mengangkat bahu. “Suamiku juga ngomong gitu. Pak
Jay nolak kenyataan kalau anaknya udah gadis dan nggak pakai
popok lagi.”
“Sepertinya, memang kita sebagai orang tua kayak nggak siap
terima kalau anak-anak sudah gede.”

20
“Selalu begitu.” Purnama nimbrung percakapan. “Nggak peduli
umur berapa pun kita, orang tua akan selalu menganggap kita
anak-anak.”
“Masalah anak-anak ini sederhana, mereka hanya perlu ketemu
berdua lalu ngobrol,” celetuk Hayu. “Coba, kalian jadi mama, ajak
mereka ketemu tapi diem-diem. Biar mereka yang bicara, kalian
cuma ngamati aja dari jauh.”
Amelia ternganga, begitu pula Summer. Keduanya
berpandangan dalam pemahaman yang sama dan akhirnya, bicara
bersamaan.
“Sabtu siang.”
“Mall Centrum.”
r e
a
“Nah, kaan, masalah emang beres kalau gue ikut campur,” sela
h
s
Hayu dengan mimik bangga bercampur gembira.
di
an
Dua pelanggan datang, Hayu dan Summer menyambut mereka.
n g
Satu orang ingin potong rambut dan satu lagi perawatan wajah.
Ja
Summer yang tidak bisa terlalu lelah, memilih untuk memotong
rambut. Selesai dengan satu pelanggan, jam untuk menjemput
anak-anak tiba. Ia sudah membuat kesepakatan dengan Amelia
akan memberi anak-anak mereka kejutan Sabtu nanti.
**
Di teras kelas yang teduh karena banyaknya pohon rindang
menaungi, Fifi melayangkan pandangan ke sekeliling yang ramai. Ia
baru saja mengirim pesan pada mamanya yang mengatakan
sedang terjebak kemacetan di jalan. Merasa kalau waktu
menunggu agak lama, Fifi mencari tempat di bangku kosong di
bawah pohon. Mengambil headset dan mendengarkan musik.
Mengabaikan sekelilingnya yang berisik.

21
Di dalam kelas, dari celah jendela, sepasang mata menatap ke
arah Fifi tanpa sepengetahuan gadis itu. Mata itu terlihat bimbang
bercampur ragu, sementara hatinya berkata ingin mendekati Fifi.
Memasukkan buku-buku ke dalam tas, ia berniat keluar dan
langkahnya terhenti saat sebuah pukulan mendarat di bahu.
“Mau ke mana lo?”
Alteza menoleh. “Pulanglah.”
“Baru juga jam berapa.”
“Nyokap udah di jalan.”
Seorang anak laki-laki dengan rambut kucai, mengerling. “Yakin
mau pulang langsung, atau mau nyamperin Fifi. Tuh, dia sendirian.”

r e
Beberapa orang yang mendengar, tertawa bersamaan. Alteza
h a
s
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Semua teman di kelasnya
di
tahu kalau ia akrab dengan Fifi, dan sekarang menjauh. Memang
a n
rasanya aneh, tapi ia sendiri tidak mengerti apa masalahnya.
n g
Ja
“Udah, sono. Lo samperin. Jangan sampai dia ngambek
kelamaan.”
“Awas kalau kalian berisik!” ancam Alteza. “Nggak bakalan gue
traktir lagi.”
“Iyee, iyee, paham!”
Alteza menghela napas panjang, berniat menghampiri Fifi yang
duduk di bawah pohon dan lagi-lagi langkahnya tertahan, kali ini
wali kelas memintanya mengantar buku besar ke ruang guru. Meski
enggan, ia tidak berani menolak. Ia mengambil buku dan bergegas
pergi, mengejar waktu.
Di bawah pohon, Fifi melihat Alteza membawa buku ke arah
ruang guru. Ia tahu, pasti temannya itu sedang disuruh oleh wali
kelas. Entah kenapa ia merasa sedih, bahkan saat melewati lorong,
Alteza sama sekali tidak meliriknya. Ia menunduk, mencari lagu
22
baru dan menyadari beberapa pasang kaki menghampiri. Ia
berpura-pura untuk tidak melihat mereka.
“Cindy, kok, lo masih di sini. Katanya mau jalan sama Alteza.”
Fifi menahan napas, tetap menunduk dan menekuri tanah
berbatu di bawahnya.
“Bentar lagi kita jalan. Palingan cuma makan doang, sih,” jawab
Cindy. Gadis itu sedang bicara dengan tiga temannya. Cindy, gadis
cantik dengan rambut ikal yang mengembang indah.
“Makan doang juga seneng. Namanya juga Alteza, si cakep.”
“Populer lagi. Siapa yang nggak mau kalau sama dia.”
Cindy terkikik, melirik Fifi yang terdiam dan menunduk. Ia
berdehem, berniat untuk menegur temannya itu tapi diurungkan r e
h a
saat melihat Alteza berjalan ke arah mereka.
s
di
“Alteza! Udah kelar tugasnya?” sapanya cerah.
an
g
Mendengar nama Alteza disebut, Fifi mengangkat wajah.
n
Ja
Bertatap mata dengan Alteza yang sedang melangkah ke arah
mereka.
“Sudah, gue mau—”
“Asyik, kalau gitu kita bisa jalan sekarang. Ayo!” Cindy
menghadang dan meraih lengan pemuda kecil itu. “Kita pulang.”
Alteza kebingungan. “Tunggu, gue—”
“Altezaa! Ayo, pulang! Pacaran melulu lo!”
Alteza tidak dapat menolak saat semua temannya bergabung
dengan teman-teman Cindy, menggiringnya ke gerbang sekolah. Ia
melirik ke arah Fifi dan gadis kecil itu membuang muka. Perasaan
kesal dan malu menyergapnya seketika. Ia kesal karena niatnya
untuk bicara dengan Fifi kandas. Malu karena teman-temanya
berisik dan menggodanya dengan Cindy. Ia menyukai semua
23
temannya, senang bergaul dengan mereka, tidak membeda
bedakan, tapi tetap saja lebih menyenangkan saat bersama Fifi.
Di gerbang Alteza melihat mobil mamanya. Melepaskan diri dari
cengkeraman Cindy, ia berlari.
“Gue pulang dulu, bye!”
Tidak menunggu jawaban teman-temanya, Alteza masuk ke
mobil dan duduk di samping mamanya.
“Kalian mau pergi?” tanya Amelia, matanya menatap
serombongan teman-teman anaknya dan mendapati tidak ada Fifi
di sana.
Alteza menggeleng. “Nggak, semua mau pulang.”
r e
Melihat anaknya tertunduk lesu, Amelia mengernyit. “Belum
h a
baikan sama Fifi?”
s
Alteza menggeleng, membuang muka ke arah jendela. di
an
Pandangannya menangkap kendaraan warna putih yang ia kenali
n g
Ja
milik mamanya Fifi. Sayangnya, mobil yang ia naiki meluncur cepat
meninggalkan gerbang. Tanpa ia sempat melihat Fifi.
Summer mengusap rambut Fino yang berbaring di
pangkuannya. Kelelahan membuat anaknya tertidur dalam
perjalanan pulang. Ia menatap bagian belakang tubuh Fifi,
mengamati bagaimana anak sulungnya itu terlihat lesu dengan
kepala menunduk. Ia menduga terjadi sesuatu di sekolah.
“Kak, bagaimana hari ini di sekolah. Ada masalah?” tanyanya.
Fifi menggeleng. “Nggak ada, Ma. Lancar.”
“Oh, banyak PR?”
“Ada, Ma. Beberapa.”
“Mau mampir makan es krim?”

24
Lagi-lagi Fifi menggeleng. “Nggak, Ma. Capek, mau pulang.”
Summer menghela napas panjang, memutar otak untuk
membuat anaknya kembali bersemangat.
“Ya sudah, kalau nggak mau makan es krim. Temani mama aja,
ya. Soalnya mama lagi ngidam.”
Fifi mendongak, menoleh sambil terbelalak. “Mama ngidam es
krim?”
Summer tersenyum dan mengangguk. “Hooh, es krim yang
banyak dan rasa strawberry.”
Fino yang semula berbaring di pangkuan Summer, mendadak
bangkit dan berteriak lantang. “Fino mau juga, Maa.”
Mereka berhenti di restoran fastfood, memesan es krim tiga r e
h a
s
mangkok dan duduk di dekat jendela. Selain itu, Summer membeli
di
burger untuk Fino dan kentang goreng untuknya serta Fifi. Ia
a n
sengaja tidak banyak bertanya pada anak sulungnya, membiarkan
n g
Fifi tenggelam dalam lamunan sambil makan es krim. Kadang kala,
Ja
menemani dan tidak banyak bicara adalah cara tersendiri
menghibur anak-anak. Ia yakin, Fifi akan bicara kalau memang
butuh untuk didengarkan.
“Menurut mama, rasa strawberry paling enak,” ucap Summer,
menjilati sendoknya.
Fifi menggeleng. “Nggak, Ma. Tetap aja vanilla paling enak.”
“Nggak, ah. Terlalu manis. Kalau strawberry ada asem
asemnya.”
“Justru itu, vanilla itu manis dan mantap dimakan pakai roti atau
pisang.”
Fino meletakkan es krimnya di tengah. “Enakan punya Fino.
Coklat.”

25
“Bosen!” tukas Fifi.
“Enak tahu.”
“Nggak, ah.”
“Awas ntar kalau makan coklat!”
Summer mendengarkan perdebatan anaknya sambil
tersenyum, lambat laun, wajah Fifi mulai ceria dan mereka makan
es krim hingga senja menjelang.

***
Obrolan Hati

a re
: Bocil aja udah naksir-naksiran, lah, guee?sh
Hayu
i
d(Merenung,
anViero)
Citra: Alteza dapat Fifi, gue sama siapa?
membayangkan hubungannya yang kandas dengan
n g
Ja Dulu gue juga gitu.
Purnama : Bocil naksir-naksiran itu seru.
Summer mencolek bahu Purnama: Moonie, lo dulu naksir
cowok apa cewek?
Purnama : Mau tahu aja, lo!
Jayden : Masa pubertas, sedikit mengerikan (Papa yang
kelewat kuatir dengan anak gadisnya)
Amelia : Kencan yang manis antara Alteza dan Fifi. Ah, aku
jadi pingin cosplay jadi bocil SMP.

26
Part 3
Summer sengaja tidak memberitahu Fifi, kalau akan bertemu
Alteza hari ini. Mereka berangkat ke mall pukul 11.00, kebetulan
Jayden sedang ada urusan jadi tidak bisa ikut. Summer membawa
kipas otomatis kecil, karena saat hamil mudah kepanasan. Berat
badannya pun naik cukup banyak dan sering mengeluh sakit
punggung. Meski begitu, ia tetap ingin pergi demi membuat
bahagia anak-anaknya. Summer juga sering mengeluh pada
suaminya, takut tidak lagi sexy karena hamil besar. Belum lagi
pusing masalah stretch mark di kulitnya, meski begitu Jayden tetap
menghiburnya.
r e
“Di kandunganmu ada dua nyawa, Sayang. Wajar kalau kamu
h a
s
di
jadi gemuk. Soal sexy, mau kamu gemuk atau kurus, di mataku
kamu tetap sexy.”
an
n g
Perkataan Jayden memang terkesan gombal. Anehnya, Summer
Ja
merasa senang mendengarnya. Yang terpenting dari masa
kehamilannya ini adalah, suaminya mendukung semua yang
dilakukannya. Melakukan tugas rumah tangga seperti menemani
anak bermain dan belajar secara bergantian. Jayden sangat sibuk,
tapi selalu menyempatkan waktu untuk sarapan dan makan malam
bersama. Hari libur digunakan untuk bermain bersama anak-anak,
kecuali ada situasi khusus seperti sekarang.
“Ma, tumben ke mall ini. Biasa yang dekat rumah,” tanya Fifi.
Summer yang berjalan menggandeng Fino, menatap anak
sulungnya. “Sesekali, Sayang. Katanya mall ini makanannya enak
enak. Eh, kita udah pernah datang, ya?”
Fifi mengangguk. “Iya, pas, nangkap pencopet itu.”

27
“Oh, ya. Mama hampir lupa, waktu janjian sama Alteza dan
mamanya.”
Saat nama Alteza disebut, Fifi terdiam. Bersikap seolah-olah
tidak mendengar. Summer tidak mendesaknya, mengajak dua
anaknya melihat-lihat restoran dan membiarkan mereka
memutuskan ingin makan apa.
“Ma, mau makan sushi,” ucap Fifi saat mereka melewati
restoran jepang yang menyajikan sushi.
Summer mengangguk. “Sushi enak. Masuk, kalau gitu.”
Summer membiarkan Fifi dan Fino memilih menu, sementara ia
mengirim pesan. Mereka duduk di meja tengah yang biasa
digunakan untuk enam orang. Saat minuman disajikan, tanpa
r e
disangka ada dua orang mendatangi meja mereka.
h a
s
di
“Ya ampun, kebetulan sekali bisa ketemu di sini!” Amelia
n
menggandeng Alteza yang terbeliak saat melihat Fifi.
a
n g
“Aduh, iya, loh. Padahal nggak janjian. Emang sehati kita, tuh.
Ayo, duduk sini.” Ja
Amelia mendorong anaknya duduk di samping Fifi, sementara
dirinya mengenyakkan diri di sebelah Summer dan mulai
berceloteh tentang sushi.
“Kalian sudah pesan?” tanya Amelia.
Summer mengangguk. “Sudah, Fifi yang pesan.”
Amelia menatap Fifi dan tersenyum manis. “Sayang, apa kamu
bisa bantu tante pesan. Soalnya, tante bingung mau makan apa.”
Fifi mengedip bingung, lalu mengangguk. “Iya, Tante.”
Karena Amelia terlibat obrolan dengan Summer, mau tidak mau
Fifi memutuskan sendiri untuk memesan yang menurutnya enak.

28
Ia duduk dengan tidak nyaman, membuka buku menu di depan
Alteza.
“Ka-kamu milih sendiri.”
Alteza mengamati gambar dan tulisan di hadapannya lalu
menggeleng. “Kamu pilihkan juga. Pasti enak kalau kamu yang
milih.”
“Eh, yakin?”
“Iya, yakin. Kalau Fifi yang milih.”
Mereka bertukar pandang dan Fifi menunduk dengan cepat.
Alteza memanggil pelayan restoran, membiarkan Fifi yang
memesan untuk mereka. Minuman datang lebih dulu, Fino
berrmain game di ponsel sementara Summer dan Amelia sibuk
r e
a
bicara. Fifi mengaduk minuman di gelas, melirik Alteza yang sedang
h
s
melakukan hal yang sama.
di
“Hais,” decak Alteza.
an
n g
“Kenapa?” tanya Fifi.
J a
Alteza bergidik. “Minumannya asem banget.”
“Ah, kamu salah pilih. Itu soda lime. Emang asam. Mau kayak
punyaku?” Fifi menunjuk minumannya, strawberry mojito.
Alteza tersenyum. “Kamu suka asam?”
Fifi mengangguk. “Lumayan.”
“Kalau gitu, kita tukar.”
“Ta-tapi, punyaku udah diminum.”
“Nggak apa-apa, aku juga.”
Tanpa izin dua kali, Alteza menukar minuman mereka. Untuk
sesaat Fifi tidak bicara apa-apa, menyeruput lime sodanya dan

29
mengernyit bingung. Menurutnya, ini manis. Sama sekali tidak
asam. Kenapa Alteza tidak suka?
Saat makanan datang, Summer diam-diam bertukar senyum
dengan Amelia. Bagaimana tidak, Fifi makan dalam diam, dengan
Alteza yang bolak-balik bertukar makanan dengannya. Tidak ada
protes dari Fifi saat itu terjadi. Sesekali keduanya bicara meskipun
tidak banyak.
“Fifi, mama sama Tante Amelia, nanti belanja sebentar. Fifi ajak
adik ke tempat bermain, ya?” ucap Summer.
Fifi mengerjap lalu mengangguk. “Iya, Ma.”
“Eh, kita ke tempat main yang waktu itu. Seru, ada selencurnya,”
celetuk Alteza.
r e
“Kamu mau ikut kami?” tanya Fifi.
h a
s
Alteza mengangguk. “Iyalah, masa aku ikut mama-mamadi
belanja. Nggak banget.”
g an
Amelia mengeluarkan kartu dari dalam
an dompet dan
menyerahkan pada anaknya. “Ini, mama Judah isi. Cukup untuk
kalian main. Kalau udah capek, telepon. Nanti kami jemput.”
Yang paling gembira dari rencana itu, tentu saja Fino. Bocah itu
berlari sepanjang jalan menuju pusat permainan. Summer dan
Amelia mengantar anak-anak mereka masuk arena permainan
sebelum pergi ke lantai bawah.
“Menurutmu, setelah ini mereka akan akur?” tanya Summer.
Amelia mengangguk. “Yakin. Anakku bisa diandalkan. Namanya
juga cowok, harus banyak ngalah dan peka. Kamu nggak lihat,
sedari tadi Alteza sibuk cari perhatian Fifi.”
Summer menghela napas panjang, saat menuruni eskalator.
“Kalau nggak ingat, mereka masih bau kencur. Pasti aku bilang
mereka saling naksir.”
30
Amelia tertawa terbahak-bahak, mengusap bahu Summer.
“Kalau mereka saling suka sampai dewasa, bisa kupastikan aku
akan jadi besan yang baik untukmu.”
Kali ini, Summer ikut tertawa. Lucu rasanya membayangkan
akan menjodohkan anak-anak mereka yang masih bau kencur dan
belum mengerti apa arti cinta.
Di arena permainan, Fifi lebih banyak terdiam karena Fino asyik
bermain bersama Alteza. Keduanya sama-sama laki-laki dan jenis
permainan yang disukai pun sama. Dari mulai balapan motor,
basket, dan banyak lagi. Fifi sesekali menawari mereka minum dan
berdiri di samping adiknya. Sampai akhirnya, Fino ingin mandi bola
dan Alteza yang terlalu besar, tidak diizinkan masuk.
Fifi duduk di bangku, menghadap ke area permainan bola
r e
dengan Alteza berada di sampingnya. Untuk sesaat keduanya h a
s
terdiam, sampai Alteza berdehem.
di
“Udah ngerjain PR MTK?” an
n g
Ja
Fifi mengangguk. “Udah.”
Alteza terbelalak. “Wah, gila. Rajin amat, hari libur ngerjain
peer.”
“Mumpung ada waktu.”
Fifi menunduk, memainkan tali tasnya. Ia mengamati tali sepatu
Alteza yang terlepas. “Tali sepatumu.”
Alteza menatap lantai. “Oh, ya.”
Selesai memasang tali sepatu, kembali duduk di samping Fifi.
“Mau nonton nggak?”
Fifi menggeleng. “Nggak.”
“Padahal, ini film yang kamu udah tunggu-tunggu.”

31
“Apaan emang.”
“Minion.”
Fifi mendongak kaget. “Udah main?”
Alteza mengangguk. “Udah. Waktu kamu bilang suka minion
dan mau nonton, aku cek terus jadwal tayang. Pas sekarang udah
main, kamu malah nggak mau diajak nonton.”
Fifi menghela napas panjang, terdiam bingung. “Sebenarnya,
pingin nonton. Tapi—”
Alteza menoleh cepat. “Tapi apa? Kamu marah dan benci sama
aku. Makanya nggak mau nonton?”
Mata Fifi melebar. “Be-benci? Nggak, gitu, kok.”
r e
a
“Udah dua Minggu ini kamu cuek. Aku tegur diam aja. Aku jadi
h
s
di
bingung salah apa.”
“Kamu nggak salah apa-apa.”
a n
“Kalau nggak salah, kenapa kamu marah? g
n Bukannya kita
J a
temenan? Harusnya, sebagai teman bisa saling jujur gitu.”
Fifi menggigit bibir bawah, merasa serba salah. Ia malu untuk
bicara terus terang, tapi bola mata Alteza yang berbinar dan
menuntut penjelasan darinya, membuat Fifi bingung. Bukankah
memalukan kalau ia mengatakan dengan jujur, tidak suka Alteza
dekat-dekat dengan Cindy. Bukankah Alteza berhak untuk
berteman dengan siapa pun?
“Eh, kemarin jadi makan barengan Cindy? Aku ada dengar dia
ngomong gitu,” ucap Fifi, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Alteza mengernyit. “Kemarin kapan?”
“Itu, Jumat sore.”

32
“Oh, nggak. Aku langsung pulang. Siapa bilang kita mau makan
bareng? Kalau ntar makan barengan di luar, pasti kamu aku ajak.”
“Oh ….”
“Itu juga kalau kamu mau. Soalnya, kamu kayak benci sama
aku.”
Fifi melotot. “Aku nggak benci kamu.”
Alteza mengangkat bahu. “Nggak benci, tapi nggak mau ajak
ngomong. Sama aja bohong.”
“Se-sebenarnya gini, aku nggak enak kalau dekat-dekat kamu.
Takut kalau Cindy ….”
Alteza mengangkat tangan. “Fifi, kamu teman baikku. Cindy juga
teman. Kita semua teman, harusnya nggak masalah kalau mau r e
h a
main sama-sama. Cuma, aku emang suka jadi sahabat kamu.
s
di
Makan bareng, ngerjain pe-er bareng, gitu. Cindy nggak ada hak
an
untuk marah. Kalau dia kesal, suruh aja ikut kita makan bareng.”
n g
Fifi tersenyum, menghela napas panjang. Sadar kalau dirinya
Ja
terlalu berprasangka pada Alteza. Mau dengan siapa pun dia
bergaul, mereka tetap teman bagaimana pun juga. Mendadak,
hatinya ikut lega.
“Menurutmu, mama kita ijinin nggak kalau kita nonton minion?”
Alteza terbelalak. “Kamu mau nonton?”
Fifi mengangguk. “Iya, Fino pasti juga seneng.” Ia melihat
adiknya main bola dengan gembira.
“Mama kita pasti ijinin. Bentar aku telepon dulu.”
Karena kebetulan di akhir Minggu, bioskop penuh. Mereka tidak
mendapatkan tiket. Akhirnya diputuskan untuk pergi nonton
Minggu depan. Setelah lelah bermain seharian, mereka berpisah
dan pulang. Summer yang kelelahan, menyandarkan kepalanya di

33
kursi, melirik anak sulungnya yang kini berwajah ceria. Ia yakin,
kalau masalah Fifi dan Alteza sudah diselesaikan mereka berdua.
Sampai di rumah, ia langsung berbaring. Punggung dan
pinggangnya terasa nyeri. Meminta bantuan Fifi untuk mengawasi
Fino, Summer pamit tidur sebentar. Tidak tahu berapa lama ia
terlelap, saat bangun sebuah tangan melingkari perutnya yang
membesar.
“Sayang, sudah pulang dari tadi?” tanya Summer dengan suara
serak.
Jayden mengecup pipinya. “Baru saja. Gimana tidurnya?
Nyenyak?”
Summer mengangguk. “Nyenyak.”
r e
“Masih nyeri punggungnya?”
h a
s
“Sedikit.” di
an
“Sini, aku olesi minyak kayu putih, biar enakan.”
n g
Ja
Summer berbaring miring, membiarkan suaminya membaluri
minyak kayu putih. Ia tidak pernah suka obat atau lotion panas
untuk menghilangkan nyeri. Kulitnya yang sensitif, mudah gatal
kalau terkena obat gosok yang panas. Minyak kayu putih satu
satunya yang bisa diterima oleh kulitnya.
Ia meregangkan tubuh, dan merasa bahunya kembali nyaman
setelah seharian berada di mall. Mau tidak mau harus diakui, kalau
jemari Jayden memang lihai dalam memijat.
“Kalian ke mana saja seharian ini?” tanya Jayden, kembali
berbaring di samping istrinya setelah selesai memijat.
“Ke mall, makan sushi, anak-anak main.”
“Kamu sama anak-anak, pasti ketemu Amelia dan Alteza.”
“Kok tahu?” tanya Summer dengan wajah berbinar.
34
“Sudah kuduga.”
Summer terkikik, melihat wajah masam suaminya. “Jangan
kuatir, kami hanya makan. Sengaja ninggalin anak-anak di area
permainan biar mereka baikan dan ternyata berhasil.”
“Alteza dan Fifi sudah baikan?”
“Sudah. Kesalahpahaman sudah diluruskan. Alteza itu, jadi anak
laki-laki cukup peka.”
Jayden mengerang, memegang pelipisnya. Bicara tentang Fifi
dan pergaulan anak gadisnya dengan para pemuda cilik membuat
Jayden diserang sakit kepala.
“Sayang, bisa nggak Fifi jangan terlalu cepat tumbuhnya.
Kemarin, dia masih murid TK. Aku ingat banget, dia pakai seragam
r e
a
pink, sepatu pink, dan pita di rambut. Lalu, hari ini kamu ngomong
h
s
di
dia lagi selesaikan kesalahpahaman sama cowok. Aduuuh.”

an
“Hei, memangnya salah kalau temenan trus salah paham, trus
g
jadi orang tua kita usaha gimana biar mereka akur lagi?”
n
“Tapi—” Ja
Summer mengecup bibir suaminya. “Kamu mikirnya terlalu
berlebihan, Sayang. Mereka masih kanak-kanak, biarkan bergaul
sewajarnya. Alteza itu teman yang baik, suka ngajarin Fifi olah raga.
Anak kita juga suka main sama dia.”
Jayden menatap istrinya sambil mengernyit. “Jadi, nggak ada
pacar-pacaran?”
Summer menggeleng dengan senyum geli tersungging di
bibirnya. “Nggak ada, mereka masih kecil. Mau pacaran gimana,
sih? Lagian, kalau janjian mau ketemu atau nonton, kita para mama
juga ikut.”
“Syukurlah, aku pikir anakku udah mulai cinta-cintaan.”

35
Jayden merengkuh tubuh Summer. Mereka berbaring dengan
tubuh saling memeluk. Summer meraba wajah suaminya yang
tampan dengan rambut halus tumbuh di rahang. Mengerti benar
apa yang menjadi kekuatiran sang suami.
“Anak-anak, punya masa depan mereka sendiri. Kita jadi orang
tua, cuma bisa mendampingi,” ucap Summer.
“Iya, dan juga mengarahkan jalan yang benar. Aku nggak
masalah kalau misalnya Fifi ingin mengikuti jejak kamu di bidang
kecantikan. Aku malah bangga, dua bidadariku jadi orang hebat.
Hanya saja, kadang aku belum bisa terima keadaan, kalau bayiku
kini sudah jadi gadis.”
“Kalau begitu, kamu harus siap dari sekarang kalau enam atau
tujuh tahun lagi, Fifi ngenalin cowoknya ke kita.”
a re
s
“Aargh! Masih lama. Enam atau tujuh tahun itu. Aku nggak
i h mau
mikirin.” d
a n
g
“Aku bilang dari sekarang, biar kamu jaga-jaga.”
an dan bayi dalam
“Nggak ada yang harus dijaga, selain Jkamu
kandunganmu.”
Jayden mengusap dan mengecup perut istrinya. Tangannya
dengan cepat melucuti pakaian sang istri dan berbisik lembut.
“Sepertinya, bayi-bayi dalam kandunganmu, udah kangen sama
papanya. Biar aku tengokin.”
Summer terengah saat suaminya mulai mencumbunya. “Eh,
maksudnya gimana?”’
“Nengok, Sayang. Mereka kangen.”
Protes Summer berubah menjadi erangan mendamba, saat
Jayden mulai melayangkan ciuman dan belaian mesra di seluruh
tubuhnya. Sore yang panas, membuat mereka berpeluh karena
gairah.
36
Obrolan Hati

Cindy : Aku dengar Alteza dan Fifi jalan bersama. Kok


nggak ngajak-ngajak?
Fino : Kakak marahan sama Kak Alteza.
Alteza : Akhirnya, Fifi nggak marah lagi.
Fifi : Kami bisa makan siang barengan lagi besok, yeay!
Summer : Sayang, kenapa kamu kuat sekali. Aaaah!
Jayden : Sayang, kamu sexy dan menggemaskan.
Amelia : Fifi dan Alteza udah baikan. Summer dan Jayden
lagi asyik masyuk. Ada baiknya aku ganggu suamiku, ah. Siapa tahur e
bisa diajak asyik-asyikan sekarang. h a
s
di
a n
n g
Ja

37
Part 4
Jumat siang, Amelia datang ke salon dengan wajah murung.
Tidak biasanya perempuan cantik yang biasanya selalu ceria, kini
terlihat lesu dan tidak bersemangat. Menunduk dengan mata
menekuri lantai, Amelia tidak terlibat dalam pembicaraan Summer
dan teman-temannya. Ada kesedihan yang sedang coba
disembunyikan.
Summer yang sibuk memotong rambut pelanggan, sesekali
melirik sahabatnya. Setelah pekerjaannya selesai, ia mencuci
tangan dan duduk di kursi bundar. Menepuk lembut pundak
Amelia.
r e
h a
is ada
“Ada apa? Murung gitu?”
d
an
Amelia menghela napas panjang lalu menggeleng. “Nggak
apa-apa.”
g
an lagi ngambek.”
“Masa? Tapi mukamu ditekuk kayak FifiJkalau
Amelia menyunggingkan senyum kecil mendengar gurauan
temannya. Purnama datang, meletakkan empat gelas es doger.
“Kalian harus coba ini. Esnya lembut dan topingnya banyak.
Baru jualan di depan.”
Summer membuka plastik pembungkus, begitu pula Amelia.
Mereka mencecap rasa es yang segar dan manis. Summer
mengangguk gembira.
“Enak banget emang. Jarang-jarang es doger kayak gini.”
Purnama mengangguk. “Emang, biasa warnanya merah
banget, ’kan? Bikin ngeri makannya. Ini enak dan warnanya cerah.”

38
Hayu dan Citra ikut bergabung, kebetulan pelanggan sedang
sepi. Summer bertukar pandang dengan Citra dan sama-sama
mengangkat bahu, menatap Amelia yang murung. Berdehem kecil,
Summer bertanya pada perempuan itu.
“Ada apa, Amelia? Masalah rumah tangga?”
Amelia mengangkat wajah. “Kok tahu.”
Summer tercengang. “Hah, hanya nebak. Jadi benar?”
Amelia mengangguk, menyuap es doger beberapa kali sebelum
memulai ceritanya. “Aku ngerasa, suamiku berubah.”
Ketiga orang lainnya tidak bicara, membiarkan Amelia
menuntaskan cerita. Perempuan itu terlihat benar-benar kuatir
dan murung, sepertinya memang sudah memendam masalah
r e
sendirian.
h a
s
di
“Ini bukan sekadar feeling atau apa, tapi aku benar-benar lihat
an
sendiri. Suamiku yang biasanya pendiam dan nggak banyak omong,
n g
mendadak jadi sering salting. Baca chat entah dari siapa sambil
Ja
senyum-senyum. Nggak cukup itu, sering terima telepon misterius.
Bayangin nggak gimana perasaan gue?”
Summer mengangguk, sementara yang lain menggeleng.
Amelia mengibaskan tangan. “Kalian baru pacaran, nggak paham
pastinya. Tapi, kami-kami para istri, punya naluri kalau ada yang
salah sama suami.”
“Kenapa kamu nggak ajak dia ngobrol? Tanya aja langsung. Pas
selesai cosplay,” ucap Summer.
Amelia lagi-lagi menggeleng sedih. “Sudah beberapa waktu ini
kami nggak cosplay. Biasanya sex rutin seminggu tiga kali dan satu
hari untuk berkostum”
“Kenapa?” Purnama membuka suara. “Tumben lama. Lagi
nggak mood?”
39
“Nggak tahu, kayak aku enggan aja gitu. Dia ngajak, aku tolak.”
“Kalian harus benar-benar bicara, aku yakin hanya salah
paham.” Summer berusaha menenangkan sahabatnya.
Sebenarnya, Amelia ingin bersikap optimis dan berpikir positif
seperti teman-temannya. Ia juga tidak suka mencurigai suaminya,
terlebih pernikahan mereka sudah menginjak 15 tahun. Bukan
waktu sebentar dalam rumah tangga. Mereka sudah melalui semua
masalah bersama, dari saat masih miskin, merintis usaha, hingga
punya uang seperti sekarang. Amelia sangat mencintai suaminya,
dan sangat berharap kecurigaannya salah.
Namun, saat pulang dari salon, rasa curiganya justru menyala
terang. Bagaimana tidak, selesai menjemput Alteza, ia mendapati
suaminya belum pulang. Karena mereka sudah janji untuk makan r e
h
malam bersama di luar, ia mencoba menghubungi ponsel suaminyaa
s
di
dan ternyata tidak aktif. Penasaran, ia menghubungi asisten
suaminya.
a n
n g
“Maaf, Bu. Tapi, Bapak Reynaldi sudah pulang dari tadi siang.
a
J mau pulang cepat
Beliau bilang ada urusan di luar dan sekalian
untuk makan malam di rumah.”
Untuk sesaat, jawaban asisten suaminya membuat Amelia
tenang. Ia mandi dan menyuruh Alteza untuk bersiap.
“Jangan main game terus, Al. Sana, mandi dan ganti pakaian.
Kita tunggu papa.”
Alteza mendongak dari PS-nya. “Mau kemana, Ma?”
“Makan di luar.”
“Emang nggak bisa kalau Al di rumah aja.”
Amelia menjewer telinga anaknya. “Kamu ini, giliran makan
sama Fifi aja semangat. Makan sama orang tua nggak mau!”
Alteza meringis. “Sakit, Maaa. Kenapa bawa-bawa Fifi, sih?”
40
“Iyalah, harus bawa-bawa dia biar kamu sadar. Kalau kamu
nggak nurut mama, lain kali mama nggak mau temani kamu jalan
sama Fifi!”
Alteza mencebik, mematikan game-nya dan pergi mandi.
Amelia berkali-kali mengecek ponsel dan sampai sekarang
suaminya masih tidak dapat dihubungi. Ia berdecak kesal,
mengarahkan pandangan ke Alteza yang sudah mandi dan sedang
video call dengan Fifi dan Fino. Bicara tentang game, pe-er, dan
makan malam. Sesekali Summer muncul untuk bertanya sesuatu
dan menghilang lagi.
Sampai jam sembilan malam, suaminya tidak juga pulang. Rasa
kesal berubah menjadi kuatir. Ia berganti pakaian rumahan, begitu
pula Alteza. Akhirnya, mereka makan seadanya yang sudah
r e
dimasak pelayan di rumah. Tepat jam sepuluh, suaminya pulang
h a
s
di
dan Amelia mengembuskan napas panjang.
“Sayang, maaf telat pulang.”
an
n g
Amelia menyongsongnya di pintu. “Ke mana aja? Ponsel nggak
bisa dihubungi.” Ja
“Oh, ada urusan. Cas-an rusak, nggak bisa dipakai.”
Melihat anaknya lagi makan, Reynaldi mengernyit. “Ya ampun,
aku lupa. Harusnya kita hari ini makan malam di luar.”
Amelia tersenyum. “Nggak apa-apa, kamu sibuk lagian. Sudah
makan belum?”
“Sudah tadi. Maaf beneran, Sayang.”
Reynaldi mengecup pipi istrinya dan tidak menyadari Amelia
yang mengernyit. “Aku mandi dulu.”
Penasaran dengan apa yang diciumnya, Amelia mengambil
kemeja suaminya dari keranjang pakaian kotor dan mengendusnya.
Ia tidak salah, parfum ini bukan parfum suami atau miliknya. Ada
41
aroma lain yang tidak dikenalnya. Hati Amelia berdebar tidak
menentu. Ada yang mengganjal dan akhirnya membuatnya terjaga
semalam suntuk.
Ia berbaring miring, mengamati suaminya yang terlelap.
Memikirkan sikap dan tingkah laku suaminya. Ke mana perginya
Reynaldi akhir-akhir ini. Kenapa mendadak jadi sering lupa janji,
padahal tidak pernah begini sebelumnya.
Dengan mata nyalang menatap langit-langit kamar, Amelia
berusaha untuk tetap tenang dan tidur. Namun, sayang sekali
otaknya tidak bisa diajak kerja sama. Besok siangnya, saat suaminya
pamitan pergi untuk urusan, Amelia menerima pesan dan foto yang
membuat dadanya berdebar kencang.
“Amel, kamu kemarin ke hotel Delta. Aku panggil diam saja. r e
Ngapain ke hotel sama suami?” h a
s
di
Amelia terbelalak, menatap foto yang baru saja dikirim
a n
temannya. Sosok laki-laki di foto adalah Reynaldi, sedangkan si
n g
perempuan bukan dirinya. Kenapa suaminya bersama perempuan
Ja
lain di hotel? Tidak aneh kalau si teman mengira perempuan itu
dirinya, karena potongan rambut mereka yang sama persis.
Memejam sesaat, Amelia melakukan panggilan singkat. Meminta
Alteza mengganti pakaian dan mereka pergi ke salon.
Sesampainya di sana, Alteza bergabung dengan Fifi dan Fino di
lantai atas, bermain game di ruang istirahat. Amelia duduk di kursi
samping, menunggu Summer yang sedang bicara dengan salah
seorang pelanggan.
“Ada rokok nggak?” tanyanya pada Purnama yang
menghampirinya.
“Ada, tumben ngerokok.” Purnama melempar sebungkus rokok
ke meja.

42
“Lagi pingin.” Amelia mengambil sebatang, menyalakan dan
mengisap kuat. Berharap aroma tembakau dapat mengusir
kekuatirannya. Wajahnya menggelap saat teringat foto yang ada di
ponselnya. Ia memperlihatkan foto itu pada Summer.
“Lihat, ini suamiku dan cewek ini nggak tahu siapa. Bukan aku,
tapi temanku mengira itu aku. Yang foto temanku, dikirim tadi
pagi.”
Summer mengerjap, tidak tahu harus berkata apa. “Mungkin itu
teman.” Ia berujar lembut.
“Teman tai kucing! Kemarin harusnya kami makan malam
bersama, aku sudah nunggu sama Al. Nyatanya, dia lupa. Ada wangi
parfum di kemejanya dan itu bukan parfumku atau parfumnya!”
r e
Amelia meletakkan kepala di atas meja, membenturkan dahi
h a
dengan permukaan meja yang keras.
d is
anmelampiaskan
“Hei, jangan gitu. Bisa pecah kepala.” Citra mengangkat kepala
Amelia dan tersenyum. “Butuh sesuatu untuk
n g
perasaan jengkel?”
Ja
Amelia mengangguk dengan raut wajah sedih. “Iya.”
“Ayo, karaoke. Kamu bisa teriak sampai puas.”
“Anak-anak gimana?” tanya Summer. “Kasihan kalau nggak
diajak.”
Citra tersenyum. “Gampang, karaoke menyediakan tempat
main anak-anak. Mereka mau ikut kita masuk atau mau main,
nggak masalah. Ada yang mengawasi.”
Amelia tidak dapat menahan rasa haru atas support teman
temannya. Demi menghiburnya, Summer rela menutup salon lebih
cepat dan mengajaknya karaoke. Seperti yang dikatakan Citra,
memang ada tempat bermain untuk anak-anak di sana. Seperti

43
biasanya, Alteza dan Fifi menolak bergabung dengan orang tua.
Mereka lebih suka bermain bersama Fino.
“Jaga adik, ya, Kak. Mama karaoke,” pamit Summer pada anak
sulungnya.
Fifi mengacungkan jempol. “Tenang, Ma. Adik kami yang jaga.”
Di sebelahnya Alteza mengangguk bersemangat.
Summer mengedipkan sebelah mata. “Main apa pacaran
kalian?”
Wajah Fifi merah padam seketika. “Ih, Mamaa. Apaan, sih. Udah
sono pergi!”
Summer tergelak, merogoh dompet dan memberikan uang
pada Fifi untuk jajan. Ternyata Alteza pegang uang cukup banyak r e
h a
dan menolak uang dari Summer.
s
“Biar Al yang traktir, Tante.” di
an
“Anak baik, tante tinggal dulu.”
n g
Ja
Sepeninggal Summer, Alteza meraih tangan Fino dan Fifi,
menuju arena bermain. Mereka punya dunia sendiri untuk
dinikmati, dari pada bersama para orang tua yang membosankan.
Saat Summer masuk ke ruangan karaoke, suara Amelia yang
melengking dan penuh kemarahan terdengar nyaring dan
membuatnya tersentak kaget.
You say I'm crazy
'Cause you don't think I know what you've done
But when you call me baby
I know I'm not the only one
I have loved you for many years
Maybe I am just not enough

44
You've made me realize my deepest fear
By lying and tearing us up

Menghela napas panjang, Summer duduk di samping Purnama.


Meraih gelas berisi es teh lemon dan menyesapnya. Ia menatap
sahabatnya yang kini berganti lagu. Masih dengan nuansa sedih
yang sama. Purnama bangkit dari sofa, dan kini bergabung bersama
Amelia menyanyikan lagi menyayat hati. Keduanya bersenandung
dengan sepenuh hati sambil berangkulan.
“Heh, ganti lagu napa? Lama-lama bisa nangis dia,” ucap Hayu
pada Summer.
“Biarin aja, mungkin emang sengaja mau cari nangis.”
r e
Hayu mendengkus, mencungkil kukunya yang dicat putih.
h a
s
“Nangis kok dicari.”
di
an
“Halah, kayak lo nggak aja. Kemarin siapa yang curhat lagi diem
dieman sama Rexi.” Citra mencibir.
n g
Ja
“Eh, itu kita salah paham. Rexi ternyata lagi sibuk sama Pak Jay,
gue pikir lagi sama cewek lain.”
“Dasar, curigaan,” cela Citra. “Rexi itu sibuk, emangnya lo.”
“Itu dia, gue salah sangka!”
Summer mengernyit, lalu menatap bergantian pada dua
sahabatnya. “Bagaimana kalau ternyata Amelia juga salah sangka
pada suaminya. Maksudnya, yang terlihat belum tentu
kebenarannya.”
Citra mengangguk. “Gue setuju. Kita udah pernah ketemu dan
kenal sama suami Amelia. Orang baik gitu.”
Tidak ada yang menyuarakan isi hati Summer tentang
dukungannya pada suami Amelia. Mereka bernyanyi hingga tiga
45
jam lamanya hingga suara Amelia serak serta mata merah karena
menangis. Untuk memulihkan tenaga, mereka makan di restoran
yang ada di hotel. Letaknya di seberang tempat karaoke.
“Malam ini, demi menghilangkah kesedihan, aku akan makan
sampai banyak,” gumam Amelia.
“Sama, aku juga makan banyak,” timpal Purnama.
“Tenang, aku yang traktir malam ini.”
Purnama mengangguk. “Thanks, Bestiee.”
Saat sedang makan, Summer menerima panggilan dari Jayden.
Ia mengangkat telepon dengan senyum tersungging.
“Sayang, malam ini kamu makan sendiri, ya. Maaf.”
r e
a
Suara Jayden terdengar bingung. “Memangnya kalian di mana?”
h
s
“Di restoran, ada Amelia dan anaknya.”
di
an
“Hotel apa, mumpung aku di jalan. Biar sekalian jemput kalian.”
g
ndan
Summer mengirim alamat pada suaminya
Ja Jayden datang
setengah jam kemudian. Tatapan mata laki-laki itu mengarah pada
Amelia dengan tidak mengerti. Tidak biasanya perempuan itu
makan dengan rakus, seolah-olah sudah setahun tidak makan.
Memasukkan panggangan daging dalam porsi besar ke mulut dan
menambah terus menerus.
“Mama, pelan-pelan makannya. Nanti keselek,” ucap Alteza
kuatir. Menatap mamanya dengan bingung.
Amelia menggeleng dengan mulut penuh. Mengunyah dan
menelannya, sebelum menjawab. “Tenang, mama nggak akan
keselek.”
Pandangan Amelia tertuju pada Jayden yang telaten membantu
Summer memanggang daging dan memotongnya sebelum
meletakkan di piring sang istri. Perasaan sedih menyergapnya.
46
Harusnya, malam Minggu begini Reynaldi ada di rumah, mereka
biasa makan atau nongkrong bersama. Kenyataannya, ia justru
tidak tahu suaminya ada di mana.
“Makan ini, enak. Cabenya banyak biar mantap.” Purnama
mengulurkan daging di piring kecil yang sudah dibumbui saos dan
cabai.
“Beneran pedas?” tanya Amelia.
“Dijamin.”
Benar kata Purnama, lidahnya terasa terbakar di gigitan
pertama. Matanya berair seketika tapi tidak peduli, tetap makan
dengan lahap. Saat minum, terbatuk-batuk karena hampir
tersedak. Jayden tidak mengizinkan Amelia yang membayar, ia
r e
mentraktir semua orang.
h a
s
di
“Pulang kenyang, karaoke sampai serak. Enak kali malam ini,”
n
ucap Purnama sambil merangkul bahu Alteza dan Fifi yang
a
g
melangkah paling depan. “Kalian berdua nempel terus. Pacaran,
n
Ja
ya?”
“Apaan, sih, Om!” Fifi berteriak.
“Hanya tanya, kaget amat!”
Senyum menghilang dari bibir Alteza, langkahnya terhenti tiba
tiba dan pandangannya terpaku pada sosok sang papa yang berdiri
bersisihan bersama seorang perempuan di lobi hotel.
“Papa ….”
Amelia mengarahkan pandangan pada tatapan anaknya yang
terbelalak. Ia mengenali perempuan itu karena memakai pakaian
yang sama dengan di foto. Sebelum ada yang bergerak, Amelia
melesat ke arah suaminya. Tersengal-sengal hingga tiba di hadapan
suaminya yang berdiri kaget.
“Sayang, kenapa ada di sini?”
47
Amelia menghela napas panjang. “Bukannya kerja, kenapa ada
di sini?”
“Eh, semua bisa aku jelaskan.”
“Oke, jelaskan sekarang dan siapa dia?” Amelia menunjuk
perempuan di samping Reynaldi.
“Sayang, namanya Rindy. Dia ini manajer hotel dan sedang …
anu, aku nggak bisa kasih tahu apa-apa, maaf.”
Amelia makin tidak senang saat melihat Reynaldi menatap Rindy
dan menggumamkan maaf. Merasa tidak dihargai, ia membalikkan
tubuh. Meraih tangan Alteza dan membawa anaknya
meninggalkan lobi hotel tanpa berpamitan pada teman-temannya.
“Sayaang, jangan pergi dulu. Tunggu!”
r e
h a
Percuma Reynaldi memanggil, Amelia menghilang dengan
s
di
cepat. Summer dan Jayden saling pandang, tidak tahu harus
an
bagaimana. Mereka berharap, kalau masalah Amelia dan suaminya
menemukan jalan keluar yang baik.
n g
Ja
Obrolan Hati

Alteza : Aku ingin suatu saat kuliah di luar negeri. Fifi, apa
kamu mau ikut?
Fifi : Aku ingin tetap ada di samping kedua orang tuaku,
dan adik-adikku kelak.
Pernama : Cinta itu menyedihkan.
Hayu : Heran, orang-orang napa melow karena cinta?
Citra: Cinta itu rumit.

48
Jayden : Ada apa ini sebenarnya? (Menatap bingung pada
Amelia yang meninggalkan suaminya tanpa pamit)
Summer : Semoga, apa pun yang terjadi suamiku selalu jujur.
Reynaldi : Sayang, seandainya kamu tahu ….
Amelia : Kamu bahkan nggak kejar aku? Suami sialan!
Rindy : Tunggu, kenapa aku terjebak dalam drama rumah
tangga orang lain?

r e
h a
s
di
a n
n g
Ja

49
Part 5
Summer tidak dapat tidur, meskipun bukan dirinya yang punya
masalah. Jayden berkali-kali membujuknya untuk rilek dan
istirahat, tapi Summer sama sekali tidak bisa melakukannya.
Kekuatiran pada masalah Amelia membuatnya terus terjaga.
“Sayang, mereka pasti baik-baik saja, ’kan?”
Itu adalah pertanyaan ke sepuluh yang diajukan Summer malam
ini. Jayden mengangguk sekali lagi, merasa bosan sekaligus lucu
melihat sikap istrinya.
“Iyaa, mereka pasti baik-baik saja.”
r e
h a
“Tapi, kalau nggak baik gimana?”
s
di
“Kalau nggak baik, Amelia sudah pasti meneleponmu.” Jayden
an
menjawab hal yang sama kesepuluh kalinya. Melihat istrinya tidak
bisa tidur, ia pun ikut terjaga. n g
Ja
Summer menatap langit-langit kamar, merasakan tangan
Jayden mengusap perutnya yang membulat. Rasa nyaman
membuatnya tersenyum. “Sayang, kalau suatu saat nanti kamu
nggak cinta lagi sama aku, tolong—”
“Ssst, ngomong apa, sih?” sergah Jayden jengkel. “Yang punya
masalah itu Amelia dan suaminya. Kenapa jadi kamu ikutkan over
thingking?”
“Yah, hanya jaga-jaga.”
“Nggak ada yang harus dijaga. Terpenting adalah, kita saling
terbuka satu sama lain. Jangan menutup-nutupi masalah. Amelia
dan suaminya hanya kurang komunikasi, itu saja.”

50
Summer mengerti kebenaran ucapan suaminya. Memang
benar, kalau Amelia kurang komunikasi dengan suaminya.
Bukankah kunci rumah tangga harmonis adalah komunikasi?
Summer mengenyahkan semua pikiran buruknya dan mencoba
untuk tidur. Menghela napas panjang, ia berusaha untuk santai
dengan tangan suaminya kini mengusap punggung, memberikan
rasa hangat dan nyaman lewat sentuhan.
Keesokan pagi, Summer menerima sebuah panggilan misterius,
atau tepatnya Jayden yang mengangkat teleponnya. Suara
Reynaldi memenuhi pendengaran. Laki-laki itu memohon pada
Summer untuk membujuk sang istri, karena Amelia kini ada di hotel
bersama Alteza.
Summer mendengarkan penjelasan Reynaldi tanpa banyak kata.
r e
Setelah itu mematikan ponsel dan menatap suaminya.
h a
s
“Bagaimana, Sayang?”
di
a n
Jayden tersenyum. “Bagaimana lagi? Sepertinya kamu butuh
bantuan teman-teman kamu.” n g
“Salon buka setengah hari berarti.” Ja
“Nggak apa-apa, setahun sekali. Kamu ke salon dulu sama anak
anak nanti siang. Sekalian bawa pakaian ganti, nanti kita ketemu di
hotel.”
“Tapi, kasihan mereka kalau main kelamaan di salon.
Bagaimana, kalau kamu yang temani mereka di rumah. Biar Alteza
juga ke sini. Kami jadi mudah tanpa anak-anak.”
Jayden setuju, itu adalah rencana terbaik untuk menolong
Amelia. Ia berencana mengajak anaknya berenang bersama Alteza.
Summer mengangguk, dan pembicaraan mereka diinterupsi
oleh Fino yang berteriak lapar. Summer membawa anak laki

51
lakinya ke meja makan, menyiapkan roti bakar dan susu. Setelah itu
menelepon teman-temannya untuk membuat rencana.
Jam satu siang, ia ke salon bersama Amelia, dan meninggalkan
Alteza di rumah. Sepanjang jalan, Summer terdiam, mendengarkan
Amelia bercerita panjang lebar tentang suaminya. Sahabatnya itu
menangis dan Summer tidak tega melihatnya.
“Kalian kurang komunikasi.” Summer menimpali lembut.
“Iyaa, awalnya aku juga mengira begitu. Kami kurang
komunikasi, sampai akhirnya tadi malam aku memohon sama dia,
buat jujur. Siapa Rindy dan apa hubungan mereka. Tapi, suamiku
bungkam. Akhirnya, aku tinggal pergi dan tidur di hotel!”
Sampai di salon, Amelia kembali menangis dan meraung,
r e
memaki-maki suaminya. Summer dan ketiga temannya saling
h a
s
pandang dengan prihatin. Jam tiga sore, Summer menutup salon
di
dan Purnama menghampiri Amelia yang duduk lesu di kursi bundar.
an
g
“Ayo, kita ke pesta. Mumpung anakmu ada Pak Jayden yang
n
jaga.”
Ja
Mata Amelia berbinar. “Pesta apa?”
“Pesta meriah pokonya. Kamu bawa gaun buat ganti, ’kan?”
Amelia mengangguk. “Bawa, tadi Summer yang minta dan aku
beli di butik. Pestanya siapa?”
“Pesta indah dan menyenangkan pokoknya. Sini, duduk di kursi,
biar aku make-up. Harus cantik, jangan kucel. Cewek mau gimana
pun keadaannya, musti tetap sly.”
Amelia tidak membantah, duduk di depan cermin besar dan
membiarkan Purnama memoles wajahnya serta Citra menangani
rambutnya. Saat selesia, ia menggumamkan banyak terima kasih
pada teman-temannya karena sudah dibantu tampil cantik. Selesai

52
dengan Amelia, Summer serta tiga temannya ikut berganti pakaian
dan berhias secantik mungkin.
Keluar dari kantor, mereka lebih mirip ingin pergi ke kondangan
pernikahan dari pada pesta di klub seperti rencana Purnama.
Amelia mengernyit saat Punama membawa kendaraan ke hotel
Delta.
“Kenapa kita ke sini?”
“Pestanya ada di sini,” jawab Summer.
Amelia terlihat kebingungan. “Eh, nggak enak kalau aku datang
tanpa diundang. Itu teman kalian, ’kan?”
“Nggak masalah, teman kita berarti teman kamu juga. Ayo,
re
turun!” ajak Citra. Menggandeng Amelia keluar dari kendaraan.
a
Mereka beriringan melintasi lobi dengan dada hAmelia
d is sedang
bergemuruh tidak menentu. Kemarin, ia melihat suaminya
an didadanya.
bersama Rindy di tempat ini, rasa sakit mencengkeram
g
a n
Bagaimana kalau ternyata ia menemukan suaminya sini lagi
bersama perempuan lain? Apakah ia masihJbisa menerima laki-laki
itu? Dalam kebingungan dan kesedihan, Amelia tidak menyadari
kalau mereka sudah sampai di lantai lima.
Summer mengaitkan tangan di lengan Amelia dan berbisik.
“Kuatkan hatimu, yang akan kamu lihat nanti, akan membuatmu
menangis.”
Amelia memandang Summer dengan heran. “Emangnya kenapa
aku harus nangis di pesta orang lain?”
“Nanti juga kamu tahu.”
Dua perempuan berseragam menghadang langkah mereka di
depan pintu. “Sebentar, Nyonya. Silakan menunggu, kami
konfirmasi dulu.”

53
Amelia bingung, kenapa untuk masuk ke pesta harus ada
konfirmasi kedatangan. Bukankah memperlihatkan undangan
harusnya sudah cukup. Apakah yang sedang pesta di dalam
ballroom itu seorang pejabat?
“Anda siap, Nyonya Amelia?” tanya salah seorang perempuan
penjaga.
“Siap untuk apa?” tanya Amelia balik.
“Pesta yang meriah. Saya hitung sampai lima sebelum pintu
terbuka.” Summer mendekati pintu, teman-temannya tepat di
belakang mereka. “Satu, duaa, tigaa, empaat … limaaa! Selamat
ulang tahun!”
Amelia mengerjap kaget, saat pintu dibuka dan mendapati
r e
a
konfeti ditembakkan ke arahnya. Terdengar tepuk tangan lirih dan
h
s
saat ia belum sadar, Reynaldi datang bersama Alteza dengan kue
di
besar di tangannya. Ia terbelalak, karena masalah melupakan kalau
an
hari ini ulang tahunnya. Mata Amelia berkaca-kaca saat suaminya
mendekat. n g
Ja
“Sayang, selamat ulang tahun. Ini pesta kejutan untukmu.”
Amelia benar-benar terkejut sampai menangis, bukan hanya
suami dan anaknya yang ada di sini, melainkan semua keluarga
besar dan juga teman-temannya. Ia mengamati dekorasi yang
cantik dan megah, terdiam sampai tidak bisa berkata-kata.
Setelah para tamu selesai memberi ucapan dan asyik menari
diiringi musik ceria, Reynaldi bercerita pada istrinya, kalau ia
sengaja merahasiakan ini.
“Rindy itu manajer di hotel ini, yang membantuku menyiapkan
pesta. Selain aku, orang tuamu juga terlibat. Maaf, sudah
membuatmu kuatir, marah, dan sedih. Tahun depan, aku nggak
akan gini lagi. Takut, kalau kamu benar-benar pergi karena marah.”

54
Amelia memeluk suaminya dengan rasa haru bercampur malu.
“Maaf, sudah menuduhmu yang bukan-bukan.”
Reynaldi mengusap rambut istrinya, melayangkan kecupan di
pipi Amelia. “Aku yang harus minta maaf, sudah membuatmu
curiga. Kalau tahu akhirnya, kamu marah lebih baik kalau aku
cosplay saja jadi kue.”
Amelia terbahak-bahak, semua gundah di hatinya sirna. Ia
berbisik mesra di telinga suaminya. “Padahal, kamu telanjang trus
cosplay jadi kue pasti menggairahkan. Bisa dicoba, Sayang.”
Reynaldi menghela napas panjang, tubuhnya menghangat.
“Kamu jadi apa? Kalau aku kuenya?”
“Lilin tentu saja, yang membakar gairah kita.”
r e
“Wow, boleh dicoba nanti.”
h a
s
di
Di meja bulat dekat dekat buket bunga raksasa, Alteza menatap
an
orang tuanya yang sedang bermesraan di depan. Menyantap es
krim, sambil menggelengkan kepala.
n g
Ja
“Kenapa?” tanya Fifi. “Kamu kayak mikir.”
Alteza mengangguk. “Bingung aku sama orang tuaku. Kemarin
berantem, sampai mama kabur dari rumah, ternyata papa lagi
siapin pesta. Kenapa nggak ngomong jujur aja, jadi nggak usah
ribut-ribut.”
Fifi mengangguk. “Bener itu, orang tua emang aneh.”
“Mau surprise harus bikin mama nangis dulu. Kayak bocil.”
“Kayak kita berarti.”
Alteza melirik Fifi yang asyik makan wafel. “Emangnya kita
bocil?”
Fifi mengangguk. “Iyalah.”

55
“Kalau Fino?”
“Bayi itu.”
Keduanya bertukar pandang lalu sama-sama tersenyum.
Melanjutkan makan sambil mengobrol, kali ini tentang ekskul
sekolah.
Summer duduk bersandar di bahu suaminya, menatap sekeliling
pesta yang ramai. Fino sedang bermain bersama sekelompok anak
yang seumuran dengannya. Di meja samping, Fifi sibuk mengobrol
dengan Alteza. Purnama, Citra, dan Hayu berbaur bersama para
tamu, sedangkan Amelia berdansa bersama suaminya. Semua
terlihat bahagia.
“Sayang, aku nggak mau dikasih surprise kayak gini,” gumam
r e
Summer.
h a
s
Jayden mengecup dahi istrinya. “Kenapa?”
dijadi
a n
“Karena harus OVT sepanjang waktu, belum lagi hati nggak
n g
tenang. Pasti mikir kalau kamu berubah, ini, dan itu.”
Ja
Jayden mengangguk. “Benar juga apa katamu. Kita merayakan
ultah sederhana saja, kalau pun ada pesta, kita atur bersama
sama.”
“Janji, ya?”
“Iya, janji.”
“Aku nggak kuat, kalau bayangin kamu sama perempuan lain.”
Jayden mengusap bahu sang istri, memahami kekuatiran
istrinya. Ia sendiri tidak menyukai kejutan yang pada akhirnya
justru akan membuat Summer sedih. Ia rasa, Reynaldi kini juga
menyesal. Hampir kehilangan Amelia karena merencanakan
kejutan.

56
Pesta makin malam makin meriah, meski begitu Summer tetap
izin pulang lebih dulun karena takut anak-anaknya kelelahan.
Meskipun hari Senin yang sebetulnya harus sekolah, tapi libur
tanggal merah. Saat berpamitan dengan tuan rumah, Reynaldi
tidak hentinya mengucapkan terima kasih pada Summer.
Membiarkan Jayden dan Renaldi mengobrol, Amelia menyeret
Summer ke pojok.
“Kamu tahu tentang kejutan ini kapan?”
“Tadi pagi, suamimu telepon aku.”
“Dan kamu masih biarin aku ngomel-ngomel?” Amelia mencubit
pinggang Summer dengan gemas. “Mana pakai nangis-nangis lagi.”
Summer meringis, merasa bersalah. “Sebenarnya kasihan, tapi
r e
gimana, namanya juga ingin kasih kejutan.”
h a
s
di
Purnama, Citra dan Hayu, bergabung bersama mereka di
n
pojokan. Amelia mengucapkan terima kasih pada mereka satu per
a
satu.
n g
Ja
“Kalian teman-teman yang baik. Hidupku jadi ceria semenjak
kenal kalian,” ucap Amelia dengan mata berkaca-kaca.
“Eit, jangan nangis. Nanti riasannya luntur,” celetuk Citra.
“Nikmati hari ulang tahunmu, pestamu dan kamu ratu malam
ini.” Hayu memeluk Amelia lembut.
“Bestiee, saranku kalian cosplay jadi petugas kebersihan hotel
dan tamunya yang nakal. Dijamin, pasti akan hot,” saran Purnama.
Amelia terbeliak lalu menepuk punggung Purnama dengan
keras. “Ide luar biasa!”
Summer pulang lebih dulu bersama kedua anaknya, sementara
tiga temannya yang lain masih bertahan di pesta. Sepanjang jalan
menuju rumah, ia tidak hentinya tersenyum membayangkan

57
kebahagiaan Amelia dan keluarganya. Ia melirik jok belakang, di
mana Fifi dan Fino terkulai dengan lelap.
“Rasanya menyenangkan, punya orang tua yang baik, anak yang
manis, dan teman-teman setia,” gumam Summer menatap malam
cerah bertabur bintang.
Jayden melirik istrinya yang melamun. “Apa pesta tadi
membuatmu terkesan?”
Summer mengangguk. “Iya, dan senang karena melihat Amelia
kembali mesra dengan suaminya. Apa kamu tahu malam ini mereka
ingin cosplay apa?” Ia berbisik, takut kalau anak-anaknya
mendengar.
Jayden mengernyit. “Kue mungkin.”
r e
“Bukaaan, itu udah pernah.”
h a
s
di
“Pangeran dan putri?” Jayden teringat akan kostum pesta
Amelia yang mengembang indah.
g an
an yang lain.”
“Bukan juga. Ayolah, Sayang, pikirkan sesuatu
J
Jayden tergelak, tidak dapat menahan rasa geli. “Kenapa aku
yang harus mikir urusan ranjang mereka?”
“Ssst!” Summer memberi peringatan. “Jangan kenceng
kenceng.”
“Iya, aku ngaku kalah. Yang benar apa?”
Summer mencondongkan tubuh ke arah suaminya dan berbisik.
“Tamu hotel yang nakal dan petugas kebersihan.”
Jayden mengerjap dan setelah rasa kagetnya hilang, kembali
tergelak. Tidak dapat dipungkiri, Amelia dan suaminya merupakan
pasangan ajaib, tapi anehnya, sangat harmonis. Dalam sebuah
rumah tangga, pasangan satu frekuensi memang akan

58
menyenangkan. Tidak akan ada satu pihak yang dirugikan atau
merasa terpaksa melakukannya.
“Sayang, kamu mau nggak?” tanya Jayden.
Summer menoleh. “Mau apa?”
“Cosplay,” jawab Jayden lirih.
“Nggak mau!”
“Ayolah, sesekali.”
“Nggak mau. Awas aja aneh-aneh.”
“Jangan gitu. Sesekali jadi guru dan murid itu seru.”
“Pak Jaydeeen! Tutup mulut, tolong!”
r e
Suara teriakan Summer bergema di kendaraan, dengan tawa
h a
s
di
Jayden menggelegar penuh kebahagiaan. Fifi dan Fino tetap tidur
dengan nyaman, tidak terganggu dengan orang tua mereka yang
sedang menggoda satu sama lain. an
n g
Ja
**

Terima kasih bagi yang sudah membeli kisah ini, saya akan
memberikan sedikit gambaran para tokoh di masa depan.
Saat lulus SMP, karena harus mengikuti tugas sang papa sebagai
diplomat, Alteza dibawa pindah ke Swiss oleh orang tuanya.
Dengan begitu, terpisah dari Fifi. Meskipun awalnya mereka masih
berkomunikasi, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, akhirnya
hubungan mereka merenggang dan saling menjauh satu sama lain.
Fifi, selepas lulus SMU, kuliah di jurusan fashion dan kecantikan.
Bersama beberapa temannya mendirikan klinik kecantikan dan
menjual perawatan tubuh serta wajah, dengan dirinya menjadi
59
model. Siapa sangka, wajah Fifi yang cantik dan menggemaskan
mampu membuat banyak orang tertarik dan menjadikan Fifi
seorang selebgram terkenal.
Di umur 21, Fifi menjalin hubungan dekat dengan teman
kuliahnya. Siapa sangka, Alteza pun kembali ke tanah air dan
mereka bertemu di acara reuni para orang tua. Alteza menyadari
kesalahannya karena abai dengan waktu dan Fifi, ingin mengulang
kembali masa lalu, tapi terlambat. Namun, tenang saja. Soal Fifi dan
Alteza berjodoh atau tidak, tergantung dari aku. Jadi, aku membuat
mereka bersama karena cinta lama belum kelar alias, cinta pertama
tidak pernah terlupa.
Untuk Summer, meskipun sudah punya anak kembar tetap saja
Fino adalah anak kesayangannya. Dia selalu menganggap, Fino
r e
a
adalah bagian dari dirinya meskipun tidak terlahir dari rahimnya.
h
s
di
Anak-anaknya yang lain tidak ada yang protes atau iri, karena tahu
kasih sayang orang tua terbagi rata. Jayden melarang Summer
an
punya anak lagi, karena trauma melihat istrinya melahirkan.
Sampai akhir, anak mereka hanya empat. n g
Ja
Viero menikah dengan Sandriana dan tinggal di luar negeri
bersama tiga anak mereka. Tobatnya sang playboy karena bertemu
perempuan yang tepat.
Citra putus nyambung dengan Gandhi, perlu waktu sampai
empat tahun lamanya sebelum memutuskan untuk menikah.
Hayu, punya satu anak dengan Rexi dan hidup berbahagia di
sebuah rumah yang dibeli Rexi dan lokasinya tidak jauh dari salon.
Purnama, menikahi tunangannya dan punya anak dua. Meski
begitu, dia merasa tidak bahagia padahal istrinya cantik dan sabar.
Ada sesuatu yang bergejolak dalam jiwanya, coba ditekan dengan
pernikahan. Purnama tidak tahu, apakah niatnya berhasil atau
tidak.

60
Sepulang dari Swis, Amelia reunian dengan teman-temannya
dan saat melihat Alteza berpacaran dengan Fifi, ia dengan lantang
berkata.
“Summer! Ayo, kita besanan!”
Tamat

r e
h a
s
di
an
n g
Ja

61
Fifi &
Alteza
Special Story

r e
h a
s
di
an
n g
Ja

62
Part 1
“Fifi, kita janjian, yuk?”
“Janjian mau ngapaian?”
“Kalau nanti aku pulang, dan kamu nggak punya pacar, kita
pacaran, ya?”
“Idih, itu berapa tahun lagi?”
“Yah, paling lima tahun.”
“Mana mungkin? Kamu sekarang aja dikejar cewek ke mana
mana?”
r e
“Kok aku? Ini tentang kamu.” h a
s
di
“Nggak! Urusan pacaran ini tentang kita berdua. Sulit kayaknya
untuk nggak ngarepin kamu pacaran.”
g an
n terang, aku juga
“Kalau aku bisa, kamu mau apa? Karenaaterus
nggak yakin kalau aku tinggal kamu J
nggak pacaran!”
“Al, kamu terlalu femes. Di mana pun kamu nanti, pasti fans
kamu berjejer!”
Fifi mengatakan kebenaran, meski usianya masih sangat muda,
tapi sudah mengerti harus realistis. Ia sedih Alteza pergi ke Swiss,
untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Mereka baru berumur 15
tahun, dan bicara soal penantian, rasanya aneh sekali. Bukankah
mereka masih terlalu muda untuk bicara tentang masa depan?
Banyak hal bisa terjadi, Fifi tahu diri untuk tidak merusak
persahabatan dengan janji muluk.
Bukan karena ia tidak menyukai Alteza, bukan itu. Selama
mereka berteman dari SD sampai SMP, ia menyukai anak laki-laki
itu. Alteza tampan, ramah, dan baik hati. Selain itu juga akrab
63
dengan orang tua dan adik-adiknya. Selama mereka berteman,
tidak terhitung berapa kali mereka liburan bersama karena mama
keduanya bersahabat.
Sering ia mendengar gurauan dari mamanya dan mama Alteza,
yang mengatakan akan menikahkan anak-anak mereka kalau besar
nanti, agar keduanya bisa selalu bersama. Bagi Fifi, itu tidak lebih
dari sekadar gurauan. Meskipun diakui, ia sempat merasa
berbunga-bunga saat mendengarnya.
“Eh, lo pacaran sama Alteza?”
“Kalian udah jalan berapa lama?”
“Gue, sih, kalau jadi Fifi bakalan kesel. Ada aja cewek yang
nembak Alteza.”
r e
Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman
h a
s
di
temannya saat mereka duduk di kelas tiga SMP. Alteza yang makin
n
dewasa makin terlihat tampan. Tinggi tubuh yang menjulang
a
g
ditambah dengan otaknya yang pintar, tak ayal lagi menjadi
n
Ja
dambaan banyak abege. Banyak dari para cewek yang
mendekatinya, karena mereka tahu kalau ia bersahabat dengan
Alteza. Mereka berpikir dengan bersikap akrab dengan Fifi, berarti
langkah untuk mendekati idola sekolah makin dekat. Sayangnya,
mereka tidak tahu kalau itu justru membuat Fifi kesal.
Apakah ia cemburu kalau Alteza dekat dengan cewek lain?
Kadang-kadang ia merasakan itu dan segera ditepiskan karena
tahu, bersahabat jauh lebih menyenangkan dari pada terlibat
hubungan cinta-cintaan. Alteza sendiri menganggap kalau semua
teman cewek sama semua, tidak ada yang istimewa. Menolak
semua pemberian dari mereka, kalau pun ada yang mengajak pergi
main, pasti mengajak Fifi. Sejauh ini, hubungan mereka sebagai
sahabat memang sangat dekat.

64
Entah kenapa akhir-akhir ini cewek yang kagum dengan Alteza
makin banyak. Sikap dan tingkah mereka dibuat-buat dan makin
menyebalkan. Mereka bahkan sering mengganggunya untuk
masalah Alteza. Sampai akhirnya, Fifi yang merasa kalau semua
cewek itu bersikap keterlaluan, menimpakan marahnya pada
Alteza. Ia menolak telepon dari temannya itu, membalas chat
sekadarnya, dan tidak mau lagi diajak ke mana-mana. Ia memberi
kesan kalau sedang bertengkar, dan ingin membuat para cewek itu
berhenti mengganggunya.
Masalahnya, tidak semudah itu untuk menjauh dari Alteza. Di
sekolah mungkin gampang, tapi tidak dengan keluarganya.
Summer yang sangat percaya dengan Alteza, sering meminta
tolong pada pemuda itu untuk menemani anak-anaknya. Kadang
r
kala Fifi berpikir, mamanya yang selalu kuatir dan ketakutan akan e
h a
s
mereka, kapan bisa membiarkannya mandiri? Contohnya saat sang
di
papa sedang keluar kota, dan mamanya harus bawa adik kembar
n
mereka ke rumah sakit, maka orang pertama yang akan ditelepon
a
untuk diminta bantuan adalah Alteza.
n g
Ja
“Al, kamu bisa bawa Fino main nggak sama Fifi? Soalnya hari ini
tante mau bawa si kembar ke dokter untuk check up. Kasihan kalau
mereka di rumah berdua.”
Fifi mengernyit, saat mendengar mamanya bicara dengan
Alteza di ponsel. Memberi tanda pada mamanya untuk berhenti
bicara, sayangnya Summer tidak mengerti.
“Oh, baiklah. Tante senang mendengarnya. Kamu bisa datang
sekarang. Ditunggu!”
Selesai mematikan ponsel, Summer menghampiri anaknya yang
duduk mencebik di atas sofa.
“Kenapa? Mukanya gitu amat?”

65
Fifi mendesah lalu bersedekap. “Mamaa, harusnya tanya dulu,
Fifi mau nggak ditemani Al.”
“Lah, biasanya juga nggak pakai tanya.”
“Ini bukan hari biasa, Maa.”
Summer duduk di samping Fifi, mengamati raut wajah anaknya
yang terlihat kesal. Ia tersenyum dan berucap menggoda.
“Napa? Lagi marahan, ya?”
Fifi menggeleng. “Nggak, tuh!”
“Terus? Napa nggak mau ditemani?”
Mendesah dramatis, Fifi mulai bercerita. “Mama tahu ’kan kalau
Al banyak fans-nya. Biasanya mereka ngerti kalau Fifi sama Al itu
r e
temen baik. Tapi, sekarang ini jadi kayak aneh gitu, Ma. Mereka
h a
s
di
kayak suka neror. Al nggak mau diajak jalan, aku yang suruh
ngomong. Itu baru contoh kecil, banyak hal lain kayak mau ngasih
a
hadiah, juga aku yang dititipi. Jadi sebel lama-lama!”n
n g
Ja
Summer terdiam, mendengarkan curahan hati anaknya.
Sepertinya ia mengerti duduk masalahnya, tapi tidak bisa ikut
campur. Urusan ini harus diselesaikan berdua antara Fifi dan
Alteza.
“Sayang, Al mungkin udah di jalan. Kasihan kalau disuruh balik
lagi. Gini aja, kalau nanti dia datang, kalian coba bicara. Siapa tahu
dia ngerti.”
“Nggak tahu, ah, Ma. Fifi takut dibilang lebay!”
“Kok lebay! Kamu terganggu itu wajar. Ngomong aja, Al anak
yang baik. Mama yakin dia ngerti!”
Fifi berpikir sejenak lalu mengangguk. Yang dikatakan mamanya
benar, Al teman yang baik dan pengertian, pasti mengerti kalau
diajak bicara. Masalahnya, ia yang malu. Merasa terlalu berlebihan

66
menanggapi masalah. Bukankah sudah sewajarnya kalau sahabat
saling membantu? Kenapa harus diributkan masalah sepele begini?
“Kak, nanti Kak Al datang, kita mau main ke mana?”
Fino yang berumur sembilan tahun, sangat suka bermain,
terlebih kalau ada Alteza. Mereka berdua cocok satu sama lain. Fifi
menoleh ke adiknya.
“Di rumah aja, ya? Kakak lagi males jalan.”
“Main game, ya?”
“Iya, boleh. Kamu sama Kak Al main game. Nanti kakak pesan
pizza.”
“Asyik!”
r e
Summer sudah pergi dengan pengasuh membawa serta si
h a
s
di
kembar, saat Alteza datang. Fifi tersenyum canggung, membawa
temannya itu ke ruang tengah.
a n
“Al, sorry, ya? Mamaku ngerepotin kamu.”
n g
Ja
Alteza menggeleng, melepas topinya. “Nggak, santai aja. Aku
juga lagi bosan di rumah. Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”
“Eh, kalau di rumah aja gimana? Aku lagi males jalan.”
“Good, nggak masalah.”
“Kak Aaal!” Fino berlari dari kamar, menyongsong Alteza. “Ayo,
kita main game. Kak Fifi mau pesan pizza.”
Alteza tersenyum, bertukar heboh dengan Fino lalu
mengangguk. “Ayo, kalau kalah jangan nangis!”
Mereka bertiga duduk di karpet ruang tengah, menghadap ke
televisi layar lebar. Yanti datang menawarkan minuman, dan Alteza
menolak ramah.
“Nggak usah, Bi. Fifi mau pesan pizza sama soda.”
67
Fifi duduk membawa buku, memperhatikan dalam diam Alteza
yang bermain game dengan Fino. Ia mengernyit bingung, merasa
kalau Alteza mahir dalam semua hal. Selama hampir 40 menit
bermain, mereka jeda sesaat untuk makan pizza. Alteza duduk
bersandar pada sofa, berdampingan dengan Fifi sementara Fino
asyik main sendiri.
“Baca buku apaa?” tanya Alteza sambil menggigit sepotong
pizza.
“Novel biasa.”
“Roman?”
“Hooh, terjemahan. Lucu, sih, tentang cinta-cinta anak SMU.”
Alteza tersenyum kecil, menandaskan pizza dan meneguk
r e
a
setengah gelas soda. Ia mengelap mulut, menatap Fifi yang sedang
h
s
makan roti bawang.
di
“Kamu lagi marah sama aku?”
g an
n tuh.”
Ja
Fifi menoleh cepat. “Marah sama kamu? Nggak,
“Masa? Tapi kamu beda aja. Kayak menghindar gitu. Aku ajak
makan bareng aja kamu nggak mau.”
“Oh, itu. Nggak marah kok.” Fifi melengos, menatap arah lain.
Alteza menghela napas panjang. “Fifi, ada apaan, sih? Aku nggak
suka kalau didiemin sama kamu?”
“Diih, nggak ada apa-apa, Al.”
“Yakin?”
Fifi mengangguk. “Sangat yakin.”
“Bohong!” sela Alteza tegas. “Kita temen udah lama, yakali, aku
nggak tahu kalau kamu lagi marah.”

68
Fino berteriak keras, menyela percakapan mereka. Memberi
jeda pada Fifi untuk berpikir. Alteza benar, mereka berteman sudah
lama. Sering salah paham, saling marah, tapi tidak pernah saling
menjauh. Baru kali ini Fifi merasa ingin menjauh dari Alteza, hanya
karena para fans cewek yang bikin kesal. Bukan salah Alteza punya
banyak fans, ia yakin kalau mereka semua hanya teman. Tetap saja,
bikin kesel.
“Kaaak! Mau pizza!”
Fino datang, mengambil sepotong pizza dan makan dengan
heboh. Fifi membantu adiknya menuang soda ke dalam gelas.
“Makannya hati-hati, jangan tumpah-tumpah.”
Fino mengangguk, sambil makan bermain game lagi. Alteza
r
menolak saat diajak, niatnya ingin makan dulu dan bicara sama Fifi. e
Ia masih merasa ada yang disembunyikan oleh temannya itu.
h a
s
di
“Kamu udahan makannya?” tanya Fifi saat melihat Alteza
melamun. a n
n g
Ja
Alteza menggeleng. “Lapar tapi males makan.”
“Kenapa?”
“Maunya disuapi.” Alteza berujar sambil nyengir dan Fifi
membalas dengan dengkusan keras.
“Ini, nih, makanya banyak cewek pada salah paham. Kamunya
suka ngegombal dan manja-manja!”
Alteza terbelalak. “Eh, siapa yang suka manja-manja? Aku berani
ngomong gini cuma sama kamu aja!”
“Oh, ya? Nggak caya, tuh.” Bibir Fifi mencebik sambil
mengangkat bahu. “Kalau kamu nggak manja-manja, mana
mungkin mereka naksir? Tiap hari adaaa aja yang datang ke aku.
Minta tolong buat bujuk kamu biar mau diajak jalan, minta tolong
suruh ngasih hadiah, belum lagi curhat panjang lebar dan
69
mendalam tentang kamu. Aduuh, aku berasa kayak jadi wali
kamu!”
Akhirnya, unek-unek Fifi tersampaikan semua. Alteza tertegun,
mendengar semua perkataan gadis di sebelahnya. Kini, ia mengerti
kenapa Fifi menghindarinya. Kalau ia berada di posisi yang sama
pun akan melakukan hal yang sama.
“Aku minta maaf kalau mereka ganggu kamu. Wajar kalau kamu
kesal, sih? Aku juga bingung mau gimana ngadepin mereka.” Alteza
mengacak-acak rambutnya, sambil menghela napas panjang. “Aku
udah nolak semua yang mereka kasih. Nggak mau diajak jalan
karena emang nggak mau ada gosip ini dan itu. Emang susahnya
apa, sih, berteman aja? Napa gitu harus pacar-pacaran?”
Fifi melirik Alteza dalam diam, mengerti kesulitan cowok di
r e
sampingnya. Terlalu popular memang bikin susah kadang-kadang. h a
s
di
“Aku juga nggak ngerti, kenapa pada ribet pingin punya pacar,”
desahnya tanpa sadar. a n
n g
Ja
Alteza tertawa tertahan. “Nah, ’kan, kamu aja bingung. Aku
tahu, kamu ngomong gitu karena ditembak sama cowok kelas
sebelah, ’kan? Si ketua OSIS.”
Wajah Fifi merah padam. “Idih, apaan, sih?”
“Hahaha. Jangan pikir aku nggak tahu, Trus, ada itu anak band
dari kelas G, juga naksir kamu. Belum lagi adik kelas. Fifiii, sok polos,
ih!”
“Eh, aku nggak sok polos, ya. Aku udah nolak mereka semua.”
“Kaaan, ’ngaku, kalau banyak yang naksir juga. Gitu ngomongin
aku? Impaslah kita!”
“Kok impas?”

70
“Ya iyalah, kamu pikir mereka nggak ngomong sama aku kalau
naksir kamu? Semua ngomong, cuma aku lebih tegas aja. Aku
bilang papa dan mamamu galak, nggak ngasih kamu pacaran!”
Fifi menatap Alteza dengan keheranan lalu tawa mereka
meledak bersamaan. Ternyata, mereka mengalami hal yang sama
dan terjadi salah paham karena kurang komunikasi. Selesai sudah
masalah, keduanya mengobrol seperti biasa, tidak ada lagi yang
harus disembunyikan. Keduanya sepakat, untuk tidak berpacaran
dalam waktu dekat, dan fokus dengan sekolah.
Setelah kesalahpahaman waktu itu, Fifi dan Alteza
menggunakan alasan yang sama untuk menolak para cewek dan
cowok yang mengajak mereka pacaran. Dengan dalih takut pada
orang tua mereka yang super galak, keduanya tidak ingin
r e
berpacaran.
h a
s
di
“Mamaku kalau marah seram, bisa-bisa ngamuk sama satu
n
kampung kalau ketahuan gue pacaran!” jawab Alteza saat seorang
a
adik kelas menembaknya.
n g
Ja
Fifi pun tidak jauh beda. “Sorry, ya, mamaku galak. Kalau
ketahuan pacaran, aku bisa kena hukum.”
Masalahnya, rata-rata mereka tahu kalau Summer adalah mama
sambung jadi banyak yang salah paham.
“Mama sambung jahat, emang biasa. Kasihan Fifi.”
Saat mendengar itu, Fifi mengucapkan permintaan maaf pada
mamanya dalam hati. Ia tahu, kalau Summer pasti mengerti kenapa
dirinya melakukan ini.
Sayangnya, hal-hal seperti itu tersisa hanya sebagai kenangan.
Menjelang kelulusan SMP, orang tua Alteza pindah ke Swiss karena
tugas. Mau tidak mau, Alteza mengikuti mereka. Rencana mereka
untuk sekolah SMU dan kuliah di universitas yang sama, kandas.

71
Bukan hanya Alteza dan Fifi yang bersedih karena hendak
berpisah, Summer dan Amalia pun tak kalah sedihnya. Keduanya
menangis dan berangkulan bersama Citra, Hayu, dan Purnama.
Mendeklarasikan persahabatan seumur hidup dan menyatakan,
akan tetap setia satu sama lain. Sungguh membuat Fifi yang
melihatnya terkagum-kagum. Ia berharap, punya persahabatan
yang sama seperti mereka. Saling mengerti satu sama lain, dan
sigap menolong saat salah seorang ada masalah.
“Fifi, jangan lupa sama aku. Ingat, harus selalu balas pesan, ya?”
“Oke, kamu juga, jangan main terus. Ingat belajar.”
“Pasti itu.”
Di hari kepergian Alteza, Fifi sekeluarga ikut mengantar mereka
r e
a
ke bandara. Pertama kalinya, Alteza memeluknya erat dan berbisik
h
s
di
parau.
“Tunggu aku pulang!”
an
n g
Fifi tidak bisa untuk tidak menangis. Meskipun masih terhubung
Ja
lewat ponsel dan media sosial, tetap saja raga mereka berjauhan
dan itu membuatnya sedih.
Bulan-bulan pertama setelah perpisahan, mereka masih sering
berhubungan. Bertukar pesan, atau saling menelepon saat
senggang. Hingga, menjelang kenaikan kelas XII, kesibukan belajar
mulai mempengaruhi keduanya.
Alteza jarang mengirim pesan, dan Fifi pun diliputi rasa segan.
Telepon semakin jarang, dan akhirnya terhenti sama sekali. Tidak
tahu siapa yang memulai, tapi saat mereka lulus SMU, bagi Fifi
nama Alteza tak lebih dari sekadar kenangan yang mengendap di
hati dan pikirannya.

72
Part 2
Tiga bulan lagi, Fifi akan berulang tahun ke 21 tahun. Summer
sudah menyiapkan pesta kejutan untuk anak sulungnya secara
diam-diam, meskipun rentang waktunya masih cukup lama. Ia
menyusun rencana, mengatur jalannya pesta, termasuk memilih
kue, hotel, dan gaun untuk Fifi. Ia tahu, Fifi pasti ingin dirayakan
secara pribadi. Namun, bagi Summer 21 adalah angka menuju
kedewasaan, sudah seharusnya disambut dengan lebih meriah.
Sekutu Summer dalam mempersiapkan pesta, selain teman
temannya di salon juga ada Fino dan tentu saja suaminya. Fino,
mengerjakan apa pun yang diminta oleh Summer. Anak itu
r e
memang benar-benar berbakti padanya.
h a
s
di
“Maa, emangnya kakak nggak marah kalau kita diam-diam
siapin pesta?”
g an
an
Fino bertanya suatu malam, meletakkan kepalanya pada bahu
sang mama yang sedang membaca artikelJ tentang kecantikan di
majalah.
Summer mengusap rambut Fino. “Kenapa marah? Kita nggak
ngadain pesta besar. Cuma keluarga, teman-teman dan juga pacar
kakak.”
“Ah, Kak Arvin. Tapi, Fino belum ngasih tahu Kak Arvin soal pesta
ini.”
“Nggak apa-apa, nanti aja ngasih tahunya kalau udah dekat.”
“Iya, sih. Siapa tahu juga Kak Arvin nggak bisa datang ’kan? Jadi
hanya kita-kita aja.”

73
Summer mengangkat kepala dan menatap anak laki-lakinya
sambil memiringkan kepala. “Entah kenapa mama mikir, Fino
berharap banget pacar kakakmu nggak datang?”
Fino mengangkat bahu. “Nggak juga, biasa aja.”
“Nggak, pasti ada yang kamu sembunyiin. Ayo, ngomomg. Ada
apa? Aneh aja kamu bertolak belakang sama kakakmu. Biasanya,
kamu mendukung semua yang dilakukan Fifi.”
Fino menegakkan tubuh, melirik halaman majalah yang
mengkilat. Ia menggaruk ibu jarinya yang gatal sambil menimbang
nimbang perkataan.
“Kak Arvin baik, ehm ….”
“Tapi?”
a re
s
“Tapi, Ma. Kak Fifi kayak kepaksa gitu jalan ama dia. Emang
i h Kak
Arvin baik, suka ngantar ke mana-mana, beliin barangdini dan itu,
trus juga sopan. Fino lihat, itu pacaran mereka kayakndi permukaan.
g a
Mama ngerti nggak maksud Fino?”
n
Summer tidak dapat menahan tawanya. Ja Fino yang baru
berumur 16 tahun, ternyata mengerti benar tentang sang kakak.
Sebenarnya, apa yang dipikirkan Fino, ia sendiri juga merasakan.
Namun, sebagai orang tua, Summer tidak bisa ikut campur dengan
hubungan anak-anaknya.
“Mama ngerti, tapi selama Kak Fifi suka, kita nggak bisa apa-apa,
Fino.”
“Iya, Maa. Masalahnya, Fino sebal kalau lihat Kak Fifi kayak
maksain diri buat terlihat bahagia. Kalau emang nggak pingin
pacaran, ya, nggak usah pacaran. Jangan terima perrnyataan cinta
cowok cuma karena nggak enak.”
Summer menghela napas panjang. “Semoga saja, Kak Fifi nggak
gitu, ya?”
74
“Iya, Ma. Dia mah, nggak bisa lupa sama Kak Al, makanya
sembarangan aja cari cowok.”
“Hush! Jangan ngadi-ngadi ngomongnya.”
“Ih, beneran juga.”
Percakapan mereka terhenti saat dua bocah laki-laki dan
perempuan berlari dari dalam kamar. Keduanya berebut untuk
masuk dalam pelukan sang mama.
“Mama, Farah mau main game tapi nggak boleh sama Fito.”
“Nggak, Mama. Fito bolehin kok, Farahnya aja cengeng.”
“Kamu yang cengeng!”
“Nggak, kamu!”
r e
a
Kedua anak kembar itu kembali ribut, kali ini dilakukanhdi atas
d
pangkuan Summer. Majalah yang ada di atas paha melesat is jatuh
dan tercecer ke lantai berkarpet. Fino menghela n
a napas panjang,
ng dan berucap
mengangkat kedua adiknya dari tubuh sang mama
tegas. J a
“Kalian berdua, diam, ya? Jangan ribut. Mentang-mentang anak
pungut, ribut aja tiap hari.”
Fito dan Farah melotot pada Fino. Summer tidak dapat
menahan tawa, melihat anak-anaknya yang sungguh lucu dan
menggemaskan.
“Nggak, kata papa kami bukan anak pungut!” protes Fito.
“Iya, papa bilang kami anak mama,” timpal Farah.
Fino menggeleng, kembali duduk di sofa dan kali ini memeluk
Summer dengan erat. “Nggak, kalian anak pungut. Cuma aku yang
anak kandung mama. Sana, minggir!”
“Mamaa! Kak Fino jahat!”

75
“Mama, nggak mau keluar!”
Summer menjerit kecil saat tubuhnya diperebutkan tiga
anaknya. Fino yang suka sekali menggoda adik-adiknya, tidak mau
kalah untuk memeluk. Terjadilah pergulatan yang tidak seimbang
di ruang tengah, antara Summer dan tiga anaknya.
Di teras samping, Fifi mengernyit saat mendengar suara jeritan.
Ia menduga, Fino sedang menggoda si kembar. Memang begitu
kerjaan adiknya setiap hari, suka melihat si kembar menangis. Ia
menatap botol-botol serta cepuk di meja. Menunggu sang papa
selesai menelepon. Di depannya adalah design terbaru dari produk
kecantikannya, yang sengaja ia bawa pulang untuk meminta
pendapat orang tuanya.
Jayden yang baru selesai menelepon, duduk di depan Fifi dan r e
h a
meraih satu buah botol dengan stiker hijau. “Apa ini design final?”
s
tanyanya.
di
a n
Fifi menggeleng. “Nggak, Pa. Baru awal. Menurut Papa
gimana?” n g
Ja
Jayden mengamati dari satu botol ke botol yang lain. “Design-ya
kurang menarik. Bukan apa-apa, produk kamu dikhususkan untuk
remaja, dan biasanya mereka suka yang berwarna cerah dengan
design lucu atau elegan. Sedangkan design-mu ini, gimana
ngomongnya?”
“Terlalu dewasa?”
“Benar. Coba, kamu ubah warna botol jadi lebih cerah.
Sesuaikan dengan logo brand kamu.”
Fifi mengambil botol kosong dan mengamatinya. Yang
dikatakan papanya memang benar, design ini terlalu sederhana
dan sama sekali tidak mencerminkan produknya. Ia menghela
napas panjang, berucap muram. “Padahal, penjualan skincare dan

76
liptint bagus, Pa. Tapi, kemasan terlalu pasaran, dari bentuk sampai
warna.”
“Nah, bukannya kamu mau meluncurkan produk baru? Hair
mist? Peluncuran produk sekaligus perkenalan design baru. Papa
kira, itu akan jadi waktu yang pas.”
Fifi mengangguk, meresapi perkataan sang papa. Semenjak ia
memutuskan untuk menekuni dunia kecantikan dan fashion, Fifi
banyak belajar dan akhirnya saat lulus SMU membuka usaha
sendiri. Awalnya, dibantu sang papa ia mencari pemasok bahan.
Menggunakan nama sendiri, meluncurkan produk khusus remaja
dengan harga terjangkau.
Bersama tiga temannya, mereka berpromosi di media sosial.
r
Siapa sangka, iklan amatir itu justru membuat Fifi melejit. Pengikut e
h a
di media sosial bertambah, setelah Fifi menjadi bintang iklan dari
s
di
produknya sendiri. Sekarang, ia tidak hanya dikenal sebagai owner,
n
tapi juga selebgram dengan pengikut mencapai tiga juta orang.
a
g
Sungguh bukan hal yang main-main, untuk seorang mahasiswa
n
biasa.
Ja
Banyak produser sinetron mencari Fifi dan menawari berakting,
tapi ditolak. Dengan tegas, Fifi mengatakan pada mereka ingin
fokus mengembangkan bisnis. Sesekali ia menerima tawaran untuk
mengisi acara peragaan busana, atau model iklan, itung-itung
untuk meningkatkan popularitasnya. Lain dari dua itu, ia tidak mau.
“Fifi, ayo, Sayang. Ikut mama ke salon.”
Summer datang, menggandeng Fino. Fifi mengernyit menatap
mama dan adiknya. “Si kembar nggak ikut?”
Summer menggeleng. “Mereka nggak mau ikut. Katanya mau
berenang sama papa.”

77
Jayden menghela napas panjang lalu mengangguk. “Benar, papa
sudah janji mau ngajak mereka berenang. Kalian pergi saja, nanti
papa jemput kalau sudah selesai berenang. Kita makan di luar.”
Fifi bangkit dari kursi, meraih tas kecil dan menghampiri
mamanya. “Ma, di salon ada Om Moonie nggak?”
Mereka melangkah beriringan menuju mobil. Fifi sudah punya
SIM dan sudah biasa menjadi sopir bagi mama dan adiknya.
“Kayaknya ada, kenapa emangnya?” tanya Summer.
“Nggak, mau konsul soal cushion.”
“Oh, soal itu memang dia jagonya.”
Summer duduk di jok belakang, sementara Fino duduk di jok
depan bersama Fifi. Musik rock menggelegar dari dalam stereo, r e
h a
s
dengan Fino bernyanyi sambil berteriak mengikuti lagu. Fifi melirik
di
adiknya dengan masam, daftar lagu di mobil menjadi acak-acakan
setiap kali Fino naik.
g an
a n
Sebuah panggilan datang ke ponsel. Fifi memberi tanda pada
J
adiknya untuk mengecilkan volume, sebelum menjawab panggilan.
“Iya, Arvin.”
“Fifi, kamu di mana?” Suara seorang cowok terdengar
menggema di kendaraan. Fifi menyalakan mode panggilan dengan
pengeras suara.
“Di perjalanan, lagi anter mama mau ke salon. Ada apa?”
“Ah, kebetulan. Aku mau ngasih kamu sesuatu. Nanti kita
ketemu di salon.”
“Oke, kita ketemu di sana.”
Fifi mematikan ponsel, dan musik kembali menggelegar. Fino
yang tidak puas, kembali mengecilkan volume dan menatap Fifi

78
sambil menyipit. “Kak, menurut Kakak, ganteng mana antara Kak
Arvin dan Kak Al.”
Mobil terhenti tiba-tiba dengan penumpang terbanting ke
depan. Fifi menghela napas panjang, meraba dadanya yang
berdebar. “Mobil depan ngerem mendadak. Untung nggak
tabrakan.” Ia menoleh ke arah jok belakang. “Maa, nggak ada yang
luka, ’kan?”
Summer menggeleng. “Nggak, cuma kaget aja.”
“Maaf, Ma. Gara-gara mobil depan.”
Fino membuka kaca jendela saat melewati mobil yang berhenti
mendadak. Ia mengelurkan kepala dan mengacungkan jari tengah
pada mereka.
r e
“Fino, nggak sopan itu!” tegur Fifi.
h a
s
“Biarin, bikin orang hampir celaka,” sungut Fino. di
a n
g
Fifi kembali melajukan kendaraan dengan tenang, meski begitu
n
Ja
dadanya bergemuruh yang tidak ada hubungannya dengan rem
mendadak. Ia merasa gelisah setelah Fino menyebut nama Alteza.
Kenapa adiknya harus membanding-bandingkan antara dua cowok,
Ervin dan Alteza? Memangnya kenapa kalau Alteza lebih tampan
dan menyenangkan? Toh, cowok itu berada di belahan bumi yang
lain dan tidak lagi mengingatnya. Lalu, kenapa hatinya terasa sakit
saat mengingat Alteza? Fifi menghela napas panjang,
mengingatkan diri sendiri untuk fokus.
Tiba di salon, ada Purnama dan Hayu yang sedang mengandung.
Purnama sendiri sudah menikah, tapi belum punya anak. Citra
berada di salon cabang dan tidak akan datang untuk hari ini.
“Hai, Cantik. Om lihat pengikut kamu di IG makin lama makin
banyak,” sapa Purnama riang.

79
Fifi tersenyum, meraih lengan Purnama dan menggandengnya
ke arah meja bulat. “Om, aku mau bicara.”
“Soal apa?”
“Cushion. Aku perlu pendapat Om.”
“Oh, tapi nggak ada yang gratis, ye?”
Fifi tergelak. “Iya, Om. Tenaang, ada upahnya. Eh, sepiring
siomay?”
Purnama mengetuk ujung hidung Fifi. “Idih, pelit. Tapi, kamu
yang cantik, om mau.”
Fifi dan Purnama terlibat pembicaraan serius di meja bulat. Fino
duduk di dekat mereka, sibuk bermain game di ponsel. Summer
r e
mendekati Hayu, dan mereka membahas tentang peralatan salon.
h a
s
Mereka ada di lantai dua, dengan lantai satu digunakan sebagai
tempat bekerja. di
a n
g
Bangunan yang sekarang mereka tempati, adalah milik Jayden
n
Ja
yang dikhususkan untuk salon. Beberapa tahun lalu, mereka
memutuskan untuk pindah ke mari untuk memperluas jaringan
konsumen.
Seorang karyawan salon berseragam hitam datang dan
memberitahu Summer kalau ada tamu penting yang ingin bertemu.
Summer yang memang sedang membuat janji dengan supplier
peralatan salon, mengatakan pada karyawan itu untuk membawa
tamunya ke atas. Siapa sangka, justru yang datang adalah sahabat
yang sudah sekian lama tidak terlihat.
“Bestiee, apa kabar. Aku pulang!”
Fifi bagai tersambar petir, saat mendengar suara Amelia
berteriak di pintu. Perempuan itu menghampiri Summer dan
keduanya saling berpelukan. Disusul oleh Purnama yang terlonjak
dari kursinya dan berlari menghampiri Amelia.
80
“Wow, perempuan paling sexy sejagat pulang? Apa ini?” tanya
Purnama.
Amelia membuka lengan lebar-lebar. “Tandanya, aku siap
mengajakmu clubbing!”
Purnama memeluk Amelia, disusul oleh Hayu. Suara tawa
mereka terdengar sangat ribut. Namun, yang menarik perhatian
Fifi justru hal lain. Di dekat pintu, ada pemuda tampan yang sedang
berdiri diam memandang lurus ke arahnya. Senyum kecil
mengembang dari mulut pemuda itu, dan meskipun sudah
bertahun-tahun tidak bertemu, Fifi masih mengenalinya.
“Alteza ….”
Fino juga menatap pemuda itu, senyum mengembang di
r e
bibirnya. “Kak Al!”
h a
s
di
Alteza meninggalkan keramaian para orang tua, melangkah
n
perlahan mendekati meja bulat. Ia bisa mengingat dengan jelas,
a
g
bagaimana dulu mereka sering berada di meja ini untuk bermain
n
Ja
game atau mengobrol. Selalu mereka bertiga, dirinya, Fifi, dan
Fino. Rasanya seperti dejavu, melihat kedua kakak beradik seolah
olah sedang menunggunya.
“Fino, apa kabar?” sapanya.
Fino bangkit dari kursi, menerima uluran tangannya dan mereka
saling membenturkan dada.
“Lama sekali baru pulang, Kak!” ucap Fino.
“Iya, begitulah.”
Fifi menunduk, berusaha meredakan dadanya yang mendadak
bergejolak tidak nyaman. Setelah sekian tahun berusaha mati
matian ingin mengubur bayangan Alteza, kini pemuda itu
mendadak muncul tanpa peringatan lebih dulu. Masih sama
tampannya seperti yang ia ingat, hanya saja sekarang jauh lebih
81
dewasa. Berapa tahun berlalu? Enam tahun bukanlah waktu yang
singkat.
“Fifi, apa kabar?”
Suara Alteza terdengar di atas kepalnya. Fifi mendongak dan
tersenyum. “Hai, Al. Apa kabar? Lama nggak ketemu.”
Alteza tersenyum, mengulurkan tangan. “Kabar baik, kamu
gimana kabarnya?”
Fifi tidak menyambut uluran tangan itu, karena ponselnya
berbunyi. Ia menerima panggilan dengan senyum tersungging.
“Arvin, kamu di mana?”
“Di bawah, nunggu kamu.”
r e
a
“Oke, aku turun!” Fifi bangkit dan tersenyum kecil pada Alteza.
h
“Sorry, aku tinggal dulu.”
d is
Fifi setengah berlari ke arah pintu dengan
an mata Alteza
mengikutinya hingga menghilang di g
tangga. Fino berdehem,
n
menepuk ringan punggung Alteza. Ja
“Kak, gimana kalau kita berdiri di sana. Lebih enak hawanya.”
Fino menunjuk jendela kaca.
Alteza terdiam lalu mengangguk. “Ayo, ngobrol di sana. Gimana
kabarmu? Main basket sekarang?”
“Hooh, atlet sekolah.”
“Pantas, tinggi banget kamu.”
Fino menarik gorden hingga terbuka, dan berdiri bersisihan
dengan Alteza menghadap halaman salon. Di belakang mereka,
para orang tua masih berisik dan bicara sambil tertawa. Pandangan
Alteza tertuju pada Fifi yang berdiri di depan pemuda tampan
dengan buket bunga di tangan. Wajahnya kaku seketika saat
melihat pemuda itu mengulurkan tangan dan membelai pipi Fifi.
82
Menghela napas panjang, Alteza bertanya tanpa menoleh pada
Fino.
“Siapa itu? Yang lagi sama Fifi.”
“Kak Arvin, pacar Kak Fifi.”
Alteza mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Ia sudah
menduga akan jawaban Fino, tapi tak urung tetap membuatnya
terpukul. Mencoba untuk tetap tenang, ia melihat kekasih Fifi
masuk ke mobil dan meninggalkan salon.
Fifi menghidu buket bunga di tangannya. Seolah-olah sadar ada
yang sedang mengawasi, ia mendongak ke arah jendela dan
melihat Alteza sedang memandangnya. Rasa gugup menguasainya.
Ia tidak tahu dari kapan Alteza berdiri di sana dan mengamatinya.
r e
a
Berdecak kecil, Fifi meninggalkan halaman. Mengatakan pada diri
h
s
sendiri untuk bersikap masa bodoh dengan Alteza. Ia tidak peduli
di
dengan pendapat dan pandangan pemuda itu padanya. Mereka
an
tidak lagi sedekat dulu, tidak ada yang harus ditakutkan atau
n g
dimengerti. Masa sudah berganti, hubungan mereka kini menjadi
Ja
asing satu sama lain, setelah sekian lama terpisah.

83
Part 3
Pertama kalinya para sahabat bertemu setelah terpisah
beberapa tahun. Amelia dan suaminya, mengundang Summer
serta teman-teman yang lain untuk makan-makan di sebuah
restoran bintang lima. Mereka memesan private room agar tidak
terganggu atau mengganggu pengunjung lain.
Para perempuan dewasa ditambah Purnama, sibuk bicara di
meja. Mereka seakan-akan punya dunia sendiri yang orang lain
tidak mengerti. Jayden bicara serius dengan Rexi dan suami Amelia.
Sedangkan Fifi duduk di sofa, dekat dengan Gandhi yang
r
memainkan gitar ditemani oleh dua adik kembar. Fifi menyuapi si e
h a
kembar secara bergantian, berusaha bersikap tenang dengan mata
Alteza yang menatapnya tak berkedip. is
ddan
a
Fifi selalu menolak ajakan Alteza untuk bertemu n bicara
n g
berdua. Tidak peduli untuk alasan apa pun. Ia tidak ingin dekat
Ja
dekat lagi dengan pemuda itu. Lagi pula, ia harus menjaga perasaan
Arvin. Si kembar mulai berdebat satu sama lain, kali ini tentang
sayur mayur. Sampai akhirnya Fifi mendesis marah dan keduanya
terdiam.
“Makan yang benar, kalau nggak habis kakak nggak mau bawa
kalian main.”
“Kak Fifi, aku mau main!” Fito memeluk lehernya dari belakang.
“Aku juga mau.” Farah.
Tubuh Fifi ditekan ke sofa dan tenggelam dalam pelukan kedua
adiknya. Suara tawa mereka terdengar riang, ditimpali musik yang
mengalun dari gitar Gandhi.
Alteza memandang nanar pada keributan di depannya. Ia duduk
di meja kopi bersama Fino. Rasanya ingin menghambur ke sofa,
84
menarik tangan Fifi dan mengajak bicara empat mata, tapi niatnya
terpental karena sikap gadis itu yang dingin dan acuh.
Setelah beberapa hari pulang ke tanah air, belum satu kali pun
ia berhasil mengajak Fifi mengobrol. Hanya sapaan kaku di
pertemuan pertama saja, selanjutnya tidak ada yang terjadi. Ia
mengirim banyak pesan pada Fifi, tapi diabaikan. Sesekali hanya
dibalas seperlunya. Telepon pun tidak pernah diangkat. Padahal, ia
hanya ingin mengobrol saja.
“Sebentar lagi Kak Fifi ulang tahun.” Fino berkata tanpa
mengangkat wajahnya dari ponsel.
Alteza menatapnya kaget. “Oh, ya. Untung kamu ingetin. Tiga
bulan lagi, Fino.”
r e
Fino mengangkat bahu. “Memang. Yah, nggak bisa dibilang
h a
sebentar lagi, tapi mama udah ribet siapin ini dan itu.”s
di
“Menurutmu, aku harus ngado apa?”
an
n g
“Kak, itu nggak penting. Yang utama adalah, kamu dapat
Ja
undangan untuk datang. Acara ini privat, sih. Mama mau bikin
pesta kejutan tanpa Kak Fifi tahu.”
“Berarti, yang pegang akses ke pesta mamamu?”
“Yuup, betul. Jangan sampai keceplosan sama Kak Fifi, ya?”
Wajah Alteza menggelap. Bagaimana mungkin ia bisa kelepasan
bicara kalau Fifi tidak pernah mengajaknya mengobrol. Gadis itu
menghindarinya seolah-olah sedang melihat borok yang
mengerikan.
“Semoga saja aku diundang.”
Perkataan Alteza yang penuh kesenduan membuat Fino
mengernyit. Ia menepuk paha pemuda di sampingnya.

85
“Yang sabar, Kak. Gimana juga, kakakku nunggu kamu lama
sekali. Emang nggak ada yang nyuruh buat dia nunggu, cuma cara
kalian saling jauh itu nggak enak.”
“Memang, aku salah.”
“Nah, ’kan? Yang sabar.”
Alteza tersenyum kecut, melirik pada Fifi yang sekarang
bergumul dengan si kembar di sofa. Rasa iri menguasainya.
Harusnya, ia ada di antara mereka, bercanda seperti dulu.
Sayangnya, ia sedang menerima karma karena kebodohannya.
“Bagaimana di Swiss? Lakinya cakep semua pasti,” tanya Citra
dengan suara pelan, melirik ke arah Gandhi.
Amelia menggeleng. “Produk lokal tetap paling bagus.
r e
h a
s
“Oh, udah pasti itu.” Purnama menimpali mereka. “Kalau nggak,
di
napa bule bule itu suka sama orang-orang kita. Ngomong
an
ngomong, kalian main cosplay gimana di sana?”
g
Pertanyaan Purnama membuat semua nmata tertuju pada
Ja dan bersikap malu
Amelia. Perempuan itu mengulum senyum
malu.
“Gimana, ya? Yang ada malah asyik. Karena di sana lebih
terbuka soal sex dari pada kita sini.”
Summer tergelak. “Sudah aku duga. Amelia sering mengirimi
kostumnya yang aneh-aneh dan lucu-lucu.”
“Aku nggak tahan buat nggak berbagi,” sergah Amelia.
“Pinginku, Summer ketularan. Tapi, nggak berhasil.”
Summer meleletkan lidah. “Kamu hanya satu anak, Alteza. Itu
pun udah gede. Lah, aku … ada buntut empat.”
Gelak tawa mereka membahana di ruang VIP. Setelah
berkumpul selama hampir empat jam, mereka memutuskan untuk
86
menyudahi pertemuan. Fifi menggendong Farah yang mengantuk,
berpamitan dengan teman-teman mamanya. Tanda disadari ada
Alteza yang berdiri di depannya seolah-olah menunggunya.
“Fifi, mau aku bantu gendong adikmu?”
Fifi menggeleng. “Nggak usah. Aku bisa kok.”
“Kayaknya berat.”
“Sedikit. Aku duluan. Daah!”
Alteza mematung, menatap Fifi yang menjauh dengan Farah di
pundak. Ia masih terdiam di tempat, tidak menyadari sang mama
yang mendekat.
“Kenapa? Galau karena Fifi?”
r e
Alteza menghela napas panjang. “Dia masih cuek, Ma.”
h a
s
di
“Trus? Kamu nyerah gitu? Baru juga pulang dua Minggu, apa
yang kamu harapkan?”
a n
“Iya, iya, nggak akan nyerah.” n g
Ja
Amelia menepuk pundak anaknya dengan sedikit keras. “Begitu,
baru namanya anak mama.”
Di dalam kendaraan yang membawanya pulang, Alteza menatap
layar ponsel. Terpampang di tangannya adalah akun media sosial
milik Fifi. Gadis itu sangat hebat, membangun usaha sendiri,
mengembangkannya dan menjual bersama teman-temannya. Fifi
juga yang menjadi bintang iklan produk, dengan wajahnya yang
cantik terlihat bersinar.
Fifi memposting pembaharuan dua jam lalu. Ada foto gadis itu
bersama dengan ketiga adiknya. Mereka duduk berjajar
menghadap meja makan. Senyum merekah dari bibir mereka
dengan wajah yang berseri-seri. Sekadar ingin tahu, Alteza
membaca kolom komentar dan mengernyit karena hampir

87
sebagian besar komen adalah para laki-laki hidung belang yang
memuji Fifi secara berlebihan. Ia mendengkus kesal, mematikan
ponsel dan melemparkannya ke samping.
Terdiam di jok belakang dengan mata memandang jendela,
Alteza merasa hatinya tidak karuan. Baru beberapa hari pulang, ia
mendapati Fifi berubah menjadi gadis yang sangat cantik dan
anggun. Tidak hanya itu, Fifi juga sudah punya pacar, dan menolak
untuk mengajaknya bicara. Ia tidak tahu, di antara ketiga itu mana
yang lebih parah untuk dirasakan.
“Ma, Pa, aku udah tahu mau pindah ke kampus mana.” Alteza
berujar tiba-tiba.
Amelia menoleh dari jok depan. “Ke kampus Fifi?”
r e
a
Alteza terbelalak lalu berkata malu-malu. “Kok Mama tahu,
h
sih?”
d is
an
Amelia berdecak. “Kamu lupa lahir dari rahim mama? Masa hal
begini, mama nggak tahu?”
n g
Sang papa ikut menimpali dan menggoda Ja Alteza. Rasapunya
malu
mengusainya tapi ditepiskan dengan cepat. Akhirnya, ia
tujuan untuk dilakukan selepas pulang dari luar negeri.
**
Hari-hari Fifi diisi dengan kesibukan yang seolah-olah tiada
henti. Pagi kuliah, siang mengurus bisnis, dan malam mengerjakan
tugas. Namun, ia sama sekali tidak mengeluh, menikmati
semuanya dengan gembira. Setelah menyampaikan usul sang papa
soal design pada teman-temannya, mereka segera memutuskan
untuk membuatnya. Tidak ada yang memprotes, karena usul
Jayden memang cocok untuk produk mereka.
Di tengah kesibukannya, Fifi sesekali mengecek ponsel dan
membaca pesan yang diterima sambil tertegun. Bukan pesan dari

88
Arvin yang membuatnya terdiam, melainkan dari Alteza. Pemuda
itu seolah-olah tidak menyerah untuk mengajaknya bicara.
Sebenarnya, Fifi juga malas bersikap seperti anak kecil, terus
menerus berusaha menjauhinya, tapi sikap Alteza yang sedikit
mendesak, membuatnya tidak suka.
Ia teringat pada suatu waktu, saat ingin bercerita tentang hal
penting pada Alteza, dan mendapati pemuda itu tidak aktif di
ponsel. Ia meninggalkan banyak pesan, dan tidak ada balasan
selama berminggu-minggu. Waktu yang sangat menakutkan bagi
Fifi, saat mamanya sakit dan terbaring lemah di ranjang perawatan.
Ia mengingat bagaimana dulu mama kandungnya juga mengalami
sakit parah karena melahirkan dan akhirnya meninggal. Fifi hanya
ingin berbagi cerita, dengan orang yang dianggapnya tepat, tetapi
sama sekali tidak ada tanggapan. Tiga bulan kemudian, Alteza r e
h a
kembali aktif dan Fifi tidak ada keinginan untuk menyapa. Pesan
s
di
yang sudah dikirim sebelumnya juga kadaluwarsa, tidak perlu lagi
sekadar basa-basi dan bertanya kabar.
g an
n menjadi hitungan
Tiga bulan menjadi enam bulan, lalu berganti
tahun, Alteza makin menjauh dan tidakJalagi mengirim pesan,
apalagi menelepon. Fifi membunuh perasaannya, menyingkirkan
rindu dan menutup hati.
“Eh, bengong aja lo. Ngapain?” Salah seorang teman di kelas
menegurnya.
Fifi tersenyum. “Nggak apa-apa.”
“Dicariin tuh!” Si teman menunjuk ke arah pintu, ada Arvin yang
berdiri dan melambai padanya.
Fifi menyimpan ponsel ke dalam tas, tanpa membalas pesan
Alteza, bergegas menghampiri Arvin. “Haii!”
“Sayang, makan, yuk! Lapar!”

89
Fifi mengangguk, mengikuti Arvin menuju kantin. Hubungannya
dengan Arvin belum lama, baru tiga bulan ini. Awalnya, pemuda itu
yang menyukainya lebih dulu, mengejarnya dari pertama bertemu
dan memberikan perhatian tidak terbatas. Meski begitu, Fifi tetap
tidak tergerak untuk membalas cintanya. Hanya menganggap
sebagai teman, dan tidak lebih. Hingga pada suatu hari, Fifi yang
pulang kesorean dari kampus, diganggu beberapa pemuda di
parkiran. Kalau bukan karena Arvin yang pasang badan untuk
menyelamatkannya, entah apa yang akan terjadi. Hari itu, Arvin
babak belur karena membelanya dan membuat hatinya tergerak
untuk membalas budi dengan menerima permintaan sebagai
pacar.
“Mau makan apa?” tanya Fifi basa-basi.
r e
“Kayaknya ada sop iga. Mau?”
h a
s
“Boleh.”
di
a n
Fifi mencari tempat duduk sementara Arvin memesan. Mereka
n g
duduk berhadapan di meja kayu dengan empat kursi. Arvin
Ja
mengaduk es jeruknya dan menatap Fifi dengan senyum
terkembang.
“Sayang, kamu cantik sekali,” pujinya.
Fifi tersenyum. “Kenapa setiap kalia ketemu, kamu selalu
ngerayu.”
“Nggak ngerayu, ini memang pujian. Ngomong-ngomong, besok
malam kita nonton, yuk?”
Fifi meneguk air mineral dari dalam botol. “Aku nggak janji, ya?
Soalnya mamaku ada urusan salon, papaku mau ke luar kota.
Mungkin aku harus di rumah jaga si kembar.”
Arvin mengernyit. “Bukannya ada Fino?”

90
“Fino mana bisa diharapkan, yang ada dia bikin si kembar
nangis.”
Arvin terlihat tidak tidak suka, tapi tidak membantah.
Menunduk sambil menyimpan desah kekecewaan. Makanan yang
mereka pesan datang, dan Fifi menyiapkan sendok serta garpu
untuknya. Dalam hati Arvin mengeluh, begitu menyayangi Fifi
sampai membuat hatinya sakit. Masalahnya, ia selalu tersisih oleh
keluarga dari gadis itu.
“Sesekali, kamu harus bersikap tegas dengan keluargamu, Fifi.
Masa, kamu sebesar ini nggak bisa punya kehidupan sendiri?
Minggu lalu aku mau ajak kamu kencan, udah siapin restoran dan
bunga, kamu malah sibuk sama mamamu di salon. Minggu ini, mau
nonton kamu ada aja alasan.”
r e
Fifi terdiam, mendengarkan perkataan Arvin. Bukan salah
h a
s
di
pemuda itu kalau merasa tersisihkan, karena memang ia mengakui,
n
tidak punya banyak waktu untuk berperan sebagai pacar yang baik.
a
g
Sering kali, Fifi menyesali keputusannya yang menerima cinta Arvin
n
Ja
terlalu cepat, tanpa berpikir lebih panjang dan pada akhirnya,
menyisakan banyak tanya di hati keduanya.
Suara-suara tawa, diiringi gurauan manja, terdengar gaduh di
sekitar mereka. Arvin mengangkat kepalanya dari atas mangkok,
mengernyit pada beberapa gadis yang sedang mengerumuni
pemuda tampan.
“Mahasiswa baru, langsung populer. Cewek-cewek emang
nggak bisa lihat yang ganteng,” gerutu Arvin.
Fifi mengikuti arah pandangnya dan terbelalak saat melihat
Alteza. Pemuda itu sedang bicara dengan banyak gadis yang
mengelilinginya. Mereka bertanya banyak hal dan Alteza meladeni
satu per satu dengan sabar. Fifi memalingkan wajah, kembali
menyantap makanannya. Ia kaget karena ternyata Alteza
mendaftar di kampus ini. Ada begitu banyak kampus bagus di kota
91
ini, kenapa harus di sini? Fifi menghela napas, merasa kalau itu
bukan urusannya.
“Fifi, akhirnya bisa lihat kamu juga.”
Sapaan dari belakang tubuhnya membuat Fifi mengerang dalam
hati. Ia menunduk, ingin sekali pergi dari sini tanpa terlihat.
“Lo kenal Fifi?” tanya Arvin.
Alteza menatap Arvin dan mengangguk. “Kenal banget.”
“Kok bisa?”
“Coba tanya Fifi.”
Arvin menatap Fifi dengan penasaran, tapi gadis di depannya
asyik makan.
r e
“Sayang, kamu kenapa kenal dia? Jangan diam aja, cobah a
i s jawab!”
tanya Arvin dengan tidak sabar.
d
Fifi menandaskan makanannya, mengelap mulut n
a denganudah tisu
n g
lalu bangkit dari kursi kayu. “Aku udah kenyang. Makanan
dibayar, ’kan?” Ja
Arvin mengangguk. “Udah. Kamu mau ke mana?”
“Aku pulang dulu, nanti aku telepon lagi.” Fifi menunjuk Alteza
yang berdiri di sampingnya. “Kamu tanya gimana kami kenal? Kami
dulu teman SMP, itu aja.”
Arvin belum sempat melarang, tapi Fifi sudah setengah berlari
meninggalkan meja. Ia menghela napas panjang, berniat
menghabiskan makanannya sampai tatapannya tertuju pada
Alteza. Pemuda tampan itu berdiri tertegun, memandang ke arah
Fifi pergi. Perasaan kurang nyaman menghinggapi Arvin.
“Gue nggak tahu, hubungan kalian dulu kayak gimana. Tapi,
saran gue cuma satu, jauh-jauh dari Fifi. Dia cewek gue.”

92
Ancaman Arvin membuat Alteza tersadar. Tersenyum kecil, ia
mengangkat tas di bahu. “Nggak usah kuatir. Gue sama Fifi cuma
teman. Sekarang, sih. Nggak tahu kalau nanti.”
Alteza meninggalkan meja bersama serombongan gadis-gadis.
Arvin menatap marah pada pemuda itu dan bertekad untuk tidak
membiarkan Fifi dekat-dekat dengannya.

r e
h a
s
di
an
n g
Ja

93
Part 4
Kedatangan Alteza sebagai mahasiswa baru, membuat heboh
kampus. Pesona pemuda itu memang tidak pernah memudar, dari
jaman SD sampai sekarang kuliah. Terbiasa dipuja-puja banyak
gadis-gadis. Fifi sendiri tidak menganggap luar biasa kedatangan
Alteza. Ia merasa sudah kebal dengan pesona pemuda itu. Tidak
peduli apa yang dilakukan Alteza, bukan urusannya lagi.
Ia menghindari kegiatan yang berhubungan dengan Alteza.
Tidak ingin mencari tahu apa pun tentang pemuda itu, dan
berusaha menjaga jarak sejauh mungkin. Sayangnya, mereka
seolah-olah terhubung oleh benang merah. Tidak peduli ke mana
r e
pun Fifi pergi, ada Alteza yang seolah-olah satu langkah di
h a
s
depannya.
di
an
Seperti hari ini, ada pertandingan voli di kampus. Fifi ingin
n g
menonton karena ada salah satu temannya bermain. Arvin tidak
Ja
bisa ikut datang karena ada kegiatan lain. Fifi tidak memaksanya,
memilih untuk menonton sendiri dan mengambil tempat duduk di
baris kedua.
Untungnya, arena olah raga mereka berada di dalam gedung,
meskipun matahari sangat terik, tidak mengganggu mereka. Fifi
melambaikan tangan pada temannya yang sedang bersiap di
pinggir lapangan, membuka tas untuk mengeluarkan roti lapis isi
tuna. Dari pagi jadwal kuliah sangat padat, membuatnya tidak
sempat sarapan. Jam dua sore, cacing-cacing dalam perutnya
berdemo. Ia sedang menggigit ujung roti, saat terdengar teriakan.
Mengabaikan gemuruh teriakan itu, Fifi makan dengan lahap dan
hampir tersedak saat terdengar teguran.
“Fifi, kebetulan sekali kita ketemu di sini.”

94
Fifi mendongak, menatap Alteza yang berdiri dengan dua cewek
yang tidak dikenalnya. Enggan berbasa-basi, ia hanya tersenyum
kecil dan melanjutkan makan.
“Roti itu kayaknya enak. Siapa yang bikin? Tante Summer atau
Bi Yanti?”
Fifi melengos, lalu menghela napas panjang. “Tolong, kalian
minggir. Gue mau nonton pertandingan.”
Dua cewek di sebelah Alteza melotot. “Eh, nggak ada sopan lo!”
“Tahu, nih. Sok kecentilan. Tempat lain banyak juga.”
Nafsu makan Fifi hilang seketika. Ia menatap mereka lalu
menghela napas panjang. Merapikan tas dan botol air minumnya.
Ia tidak suka berdebat, terlebih dengan orang-orang yang tidak
r e
penting.
h a
s
di
“Ladies, bisakah kalian tinggalkan aku sendiri. Kebetulan, aku
sedang ada urusan sama Fifi.”
g an
Suara Alteza terdengar di atas n Fifi
Ja
kepalanya, merapikan
barangnya dengan kecepatan super.
“Kamu ngusir kita, Al?”
“Gara-gara cewek itu?”
“Fifi dan aku bersahabat dari SD. Tolong dimaklumi, ya? Kita
ketemu lagi besok di ruang kuliah.”
Dua gadis itu mencebik dan Alteza bersikap tidak peduli. Ia
menahan lengan Fifi saat gadis itu beranjak pergi.
“Fifi, mau ke mana? Pertandingannya mulai.”
Fifi menatap lapangan, dan benar saja pertandingan akan
dimulai. Ia meletakkan kembali barang-barang lalu berdiri sambil
bertepuk tangan keras.

95
“Go, go, Yuliaaa!”
Fifi sibuk menonton dan memberi semangat pada tim
kesayangannya, sampai tidak menyadari Alteza yang duduk di
sebelah kursinya. Pemuda itu sesekali bertepuk tangan, selebihnya
sibuk mengamati Fifi.
“Jangan lengaaah! Aaargh!”
Alteza tersenyum, melihat Fifi berteriak, memaki, dan sesekali
memberikan semangat. Gadis itu masih sama menggemaskannya
seperti dulu. Ia tidak akan pernah lupa, pada Fifi yang ceria dengan
semangat meledak-ledak, tapi di sisi lain juga sangat anggun dalam
bersikap. Dalam diri Fifi ada sikap berwibawa yang diwarisi dari
sang papa, dan cara bersikap yang spontan serta ceria yang
didapatkannya dari Summer. Gadis berkepribadian yang menarik, r e
dan apa adanya. Alteza sangat menyesal sudah menyia-nyiakan
h a
s
waktu.
di
a n
“Pertandingan seru!” Fifi berucap dengan berapi-api. “Yulia
memang keren.” n g
“Sepakat sama kamu. Ini minum dulu.” Ja
Fifi menerima botol yang sudah terbuka dan meneguknya. Saat
duduk, ia tersadar ada Alteza di sampingnya. Mau tidak mau ia
tersenyum dan mengucapkan rasa terima kasih yang lirih.
“Kamu ada rencana lagi?”
Fifi menggeleng. “Nggak, mau ke salon. Jemput mama.”
“Oh, aku nebeng kalau gitu.”
“Hah, mobilmu ke mana?”
“Nggak bawa, lagi diservis. Biar mamaku jemput di salon nanti.”
Sebenarnya, Fifi enggan untuk membawa Alteza. Namun, tidak
ingin ada banyak pertanyaan nanti di salon, ia dengan terpaksa
96
mengangguk. Sepanjang jalan menuju tempat parkir, banyak mata
menatap mereka ingin tahu. Beberapa gadis menyapa Alteza dan
dibalas dengan lambaian tangan. Fifi benar-benar salut dengannya,
baru masuk kampus sudah banyak penggemar.
“Dari dulu kamu nggak berubah, sangat populer. Mau bawa
atau aku yang bawa?” Fifi mengulurkan kunci mobil.
Alteza menyambarnya, membuka pintu mobil dan duduk di
belakang kemudi. “Kamu juga sangat populer, Fifi. Kamu aja yang
nggak sadar.”
“Mana ada? Aku cuma mahasiswi biasa.”
“Cuma katamu? Berapa banyak follower-mu di IG? Biar kamu
tahu, saat aku ngumpul bersama yang lain dan melihat kamu lewat,
r e
secara otomatis mereka berdecak kagum padamu. Nggak cewek
h a
s
atau cowok, sama saja. Fifi yang cantik, mandiri, pintar bisnis dan
berada di luar jangkauan.” di
a n
“Lebay!”
n g
Ja
“Nggak, aku ngomong apa adanya. Apa perlu kita tanya mereka
satu per satu.”
Fifi memalingkan wajah, menatap barisan pohon yang mengapit
jalanan depan kampus. Sore yang indah, matahari memancarkan
sinar keemasan, dengan daun-daun gugur berserak ditiup angin.
Fifi selalu takjub dengan pemandangan alam yang begitu
menakjubkan, seoalah-olah dirinya berada di belahan dunia lain.
“Fifi ….”
“Ehm ….”
“Kamu masih marah sama aku?”
Pertanyaan yang berusaha dihindari oleh Fifi akhirnya
dilontarkan oleh Alteza. Jujur saja, ia tidak punya jawaban atas
pertanyaan itu, karena memang tidak tahu apa yang membuatnya
97
harus marah. Alteza menjauh, tidak menghubungi selama
beberapa tahun? Bukankah dirinya juga memutuskan untuk
menyingkir? Lalu, apa yang membuatnya harus marah?
“Ngga, kenapa harus marah?”
“Mungkin, aku udah bikin kamu kecewa.”
“Nggak juga. Santai aja.”
Alteza mendengkus dari balik kemudi. Melirik Fifi yang enggan
memandangnya. “Kamu menyuruhku santai, seandainya bisa
segampang itu, Fifi.”
“Emang gampang. Kamu aja yang bikin susah. Lagian, kita
temenan dari dulu. Nggak usah sungkan.”
r
Alteza terdiam lalu mengangguk kecil. “Benar, kita temanan dari e
h a
dulu dan aku yang mengacaukannya.”
s
di
Fifi tidak mengatakan apa pun, membiarkan perkataan Alteza
a n
menggantung di udara. Kisah masa lalu mereka memamg tidak
n g
habisnya kalau dibahas. Tidak ada hubungan apa pun selain
Ja
berteman, tapi rasanya sangat menyakitkan saat Alteza berhenti
menghubunginya. Bahkan, kalau pemuda itu bersikeras bahwa
hubungan mereka hanya sebatas teman biasa, tidak seharusnya
bertindak seperti itu.
Fifi mengingat, ada hari-hari di mana ia merasa sangat sengsara.
Tidak mengerti letak salahnya di mana, ada masalah apa, dan
bagaimana mengatasinya, salah satu orang yang paling dekat
dengannya mendadak menghindar. Saat itu Summer yang melihat
Fifi murung, bertanya pada Amelia dan jawaban dari mamanya
Alteza mengubah kesedihan di hati Fifi menjadi kemarahan.
“Al baik-baik aja, sibuk sekolah tiap hari. Udah mulai terbiasa
sama pergaulan sini, makanya mulai banyak teman.”
98
Lingkungan pergaulan baru, membuat Alteza berubah.
Seharusnya, tidak perlu sampai seperti itu. Mereka bisa tetap
berteman, tanpa perlu mengirim pesan atau menelepon setiap
hari. Rasa marah Fifi berujung dengan memblokir nomor ponsel
Alteza, hingga sekarang.
Saat mereka tiba di salon, para orang tua sudah berkumpul.
Amelia membawa banyak sekali makanan dan menghamparkannya
di meja bulat.
“Kalian berdua, sini duduk dan makan yang banyak.”
Fifi tersenyum. “Makasih, Tante.”
Amelia mengerling. “Tante suka kalau lihat Fifi makan banyak.
Sini, Sayang. Duduk dan nikmati. Ada jamur enoki, pop corn chicken
r e
katsu, dan banyak lagi.”
h a
s
di
Fifi terdiam saat Amelia memaksanya duduk. Alteza mengambil
n
tempat di sebelahnya. Tak lama Purnama datang menghampiri,
a
g
mengambil pop corn chicken dan mengunyahnya sambil menatap
n
Fifi serta Alteza bergantian.
Ja
“Kalian ke kampus barengan?”
Alteza mengangguk sementara Fifi menggeleng. Membuat
Purnama mengernyit bingung.
“Yang bener yang mana, nih. Geleng atau angguk?”
Fifi tertawa lirih. “Cuma barengan ke sini, Om. Bukan bareng
kuliah.”
“Oh, gitu. Kupikir kalian udah barengan lagi kayak dulu.”
Alteza tersenyum kecut, mengangkat sebelah bahu. Fifi
mencomot jamur enoki goreng dan menyesap teh susunya. “Om,
nanti aku mau ngomong soal produk lain.”

99
“Kapan aja, Fifi.” Pintu salon berdentang membuka, Purnama
tersenyum cerah seketika saat melihat langganannya datang.
“Tante, Sayang. Udah lama nggak lihat kamu.” Ia melangkah
gemulai menyongsong kedatangan pelanggan dan meninggalkan
meja.
Amelia sedang bicara dengan Summer di teras belakang,
sementara yang lainnya sibuk bekerja. Ada banyak kapster baru di
salon besar ini, tapi untuk pelanggan lama memang sudah terbiasa
ditangani sendiri. Fifi makan camilan dengan lahap, menatap ke
mana saja selain Alteza. Ia terpaksa duduk tenang, dan
menganggap seolah-olah tidak ada Alteza.
Alteza meliriknya berkali-kali, seolah-olah ingin mengatakan
sesuatu, tapi ditahan. Mereka terus berdiam diri sampai Summer
r e
dan Amelia menghampiri.
h a
s
di
“Heh, kalian diam-diaman kayak orang musuhan,” tegur Amelia.
Fifi menggeleng. “Lagi makan, Tante.”
g an
n bicara?” tanya
“Memangnya kalau makan, nggak bolehasambil
Summer. J
Baik Fifi maupun Alteza terdiam, tidak ada yang ingin menjawab
pertanyaan Summer. Membiarkan kedua orang tua mereka terus
bicara, tanpa melibatkan keduanya. Saat Summer mengajak
pulang, Fifi merasa lega luar biasa. Tanpa banyak kata, melesat
meninggalkan salon.
**
Siang yang terik, membakar tengkuk serta kulit para pejalan
kaki. Mengeringkan daun-daun, dan membuat layu bunga-bunga di
dalam pot. Di dalam arena olah raga, sekelompok anak sekolah
tidak peduli dengan panasnya cuaca, meskipun keringat
bercucuran, mereka tetap berlari mengejar bola dan
memasukkannya ke dalam keranjang.
100
Di pinggir arena, para gadis sibuk memberikan semangat
dengan kipas di tangan. Sesekali mereka menawari minuman
dingin pada para cowok di tengah lapangan. Sorakan bergemuruh
saat cowok berkostum nomor 23 memasukkan bola, diiringi
teriakan pada gadis.
Alteza yang baru saja memasuki arena olah raga basket,
menatap sekeliling. Menemukan sosok yang dicari. Ia duduk di
pinggir lapangan, tidak jauh dari para gadis yang sedang bersorak.
Saat melihatnya, gadis-gadis itu menatap dengan penuh minat dan
beberapa di antaranya berusaha menarik perhatiannya dengan
melambaikan tangan atau berteriak, tapi Alteza mengabaikannya.
Fokusnya tertuju pada pemain nomor 23 yang tidak lain adalah
Fino.
r e
Saat latihan selesai Alteza melambai Fino yang bergegas
h a
s
di
menghampiri. Ia menyodorkan es kopi pada Fino sambil
tersenyum.
a n
g
“Kak, bisa masuk ke area sekolah gimana caranya?” tanya Fino.
n
Ja
Mengenyakkan diri di samping Alteza dan menyedot es kopinya.
“Rahasia.”
“Paling nyogok penjaga.”
Alteza tertawa. “Nggak perlu gitu, aku bilang aja jemput adikku.”
Fino mendengkus, melambai pada gadis-gadis yang berteriak
padanya. Ia melirik Alteza. Pemuda itu sedang sibuk membalas
pesan. Ia tidak tahu, kenapa Alteza datang ke sekolahannya.
Bukankah mereka bisa bicara di luar?
“Fino, gimana kabar kakakmu?”
Pertanyaan Alteza membuat Fino tertegun. Ia menyeka keringat
dari wajah dan bahu dengan sapu tangan yang tersimpan di celana

101
olah raga. Menatap Alteza dengan pandangan heran bercampur
kaget.
“Bukannya kalian satu kampus?” tanyanya.
Alteza mengangguk. “Memang.”
“Kenapa masih tanya? Kakak bisa cari langsung di kampus.”
Alteza menggeleng dengan wajah muram. “Fifi menghindariku.
Sudah dua bulan ini, kami jarang sekali bertegur sapa. Kalau pun
secara nggak sengaja ketemu, dia akan pakai alasan apa pun untuk
pergi.” Menghela napas panjang, Alteza memainkan gelas kopi di
tangannya. “Padahal, aku hanya ingin berteman.”
Fino mengangguk. “Baru juga dua bulan, Kak. Dulu Kak Fifi kamu
cuekin lebih dari lima tahun.”
a re
Alteza terdiam, kata-kata Fino memukul perasaannya.hIa tidak
menyalahkan Fifi yang sudah menghindarinya, hanya d is melihat
saja
gadis itu pergi ke mana pun bersama Arvin, rasa
g an cemburunya
membabi buta.
n
“Fino ….” Ja
“Ya, Kak.”
“Apa hebatnya si Arvin itu.”
Fino melongo, menatap Alteza dengan bingung. “Kenapa tanya
gitu? Kakak suka sama Arvin?”
“Ngaco!”
“Terus?”
“Maksudku adalah, kenapa Fifi menyukainya? Kamu tahu nggak,
reputasi Arvin itu nggak bagus. Anak orang kaya yang terkenal foya
foya. Banyak di antara teman-temanku yang nggak suka sama
Arvin.”

102
Fino menandaskan es kopinya. Teman-temannya sudah
memberi tanda untuk melanjutkan pertandingan. Menoleh pada
Alteza yang menekuri lantai, ia berkata dengan nada bijak yang
dibuat-buat.
“Kak, kamu harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan hati
Kak Fifi. Aku bukannya nakuti-nakutin, ya? Tapi kakakku terlanjur
sakit hati sama kamu. Biar pun aku dan seluruh keluarga
mendukung, kalau Kak Fifi nggak suka, kami nggak bisa apa-apa.
Jujur aja, aku juga nggak suka sama Arvin. Kayak ada sesuatu yang
mengganjal gitu sama dia. Sikap baiknya kayak dibuat-buat. Tapi,
aku nggak bisa protes karena yang pacaran Kak Fifi.”
Alteza menghela napas panjang, membenarkan perkataan Fino.
Ia memang harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan
r e
perhatian Fifi dan juga persahabatan mereka yang hancur karena
h a
s
di
ulahnya. Beberapa bulan memang tidak berarti dibandingkan
waktu-waktu saat mereka berpisah. Tetap saja, hatinya berdenyut
a n
menyakitkan, setiap kali melihat Fifi dan gadis itu mengabaikannya.
n g
Ja
Ia ingin kembali seperti dulu, tidak berpacaran setidaknya saat
bertemu tidak saling menghindar. Ia ingin dekat dengan gadis itu,
mendengarkan cerita dan keluh kesahnya. Ia siap membantu Fifi
dalam keadaan apa pun, sayangnya tidak ada kesempatan untuk
itu.
Fino pamit kembali ke arena untuk latihan, Alteza menatap
langit-langit arena olah raga yang tinggi dan bergumam pada udara
yang panas.
“Fifi, aku harus gimana biar kamu percaya lagi sama aku.”

103
Part 5
Fifi membaca pesan-pesan yang masuk ke ponselnya sambil
tertawa. Teman-temannya mengatakan, hari ini peluncuran
kemasan baru. Mereka akan live di instagram secara bersamaa. Fifi
yang harus menjadi moderator sekaligus model produk. Ia awalnya
menolak, tapi akhirnya pasrah saat rentetan pesan penuh
permohonan masuk ke ponselnya.
“Dewi Fifi, hanya kamu yang bisa kami harapkan.”
“Fifi! Kamu adalah model terbaik dan tercantik dari produk
kita.”
r e
“Fifii! Kami mencintai dan meletakkan harapan padamu.”
h a
s
di
Mau tidak mau Fifi menerimanya, karena tidak tahan dengan
n
seribu rayuan mereka. Di antara semua, memang dirinya yang
a
g
punya pengikut paling banyak di media sosial. Banyak orang
n
Ja
terutama para perempuan pemakai skincare yang selalu
memperhatikan postingannya. Di kampus ini pun, ia cukup
terkenal, tidak hanya di kalangan cowok tapi juga cewek. Namun,
ia membatasi diri dari pergaulan. Bukan karena sombong, tapi
karena terlalu sibuk untuk berteman dengan banyak orang.
Yulia, teman yang tempo hari ikut pertandingan basket
menghampirinya. Membisikkan sesuatu yang membuatnya
tercengang.
“Serius?” tanyanya.
Yulia mengangguk. “Iya, barusan aja gue lewat sana dan mereka
masih sibut.”
“Alteza gimana?”

104
“Nggak gimana-gimana? Cuma berdiri bingung, nggak ngerti
harus bela yang mana kayaknya. Pas gue jalan ke sini, gue lihat dia
juga pergi.”
“Wow, dari dulu Alteza emang hebat. Banyak fans, dan hampir
semua cewek naksir dia,” decak Fifi kagum. “Bukan hari ini aja ada
cewek baku hantam karena dia. Dulu di SMP juga pernah.”
Yulia menyandarkan tubuh, menatap sahabatnya. “Tapi, gue
denger-denger dia naksir lo.”
“Denger dari mana?”
“Yah, semua orang juga tahu, Fifi. Aneh malah kalau lo nggak
tahu apa-apa.”
“Emang nggak. Lagian, gue ada Arvin.”
a re
sh
Yulia memutar bola mata, merasa kesal mendengar jawabam
i
temannya. “Gue boleh jujur sama lo nggak?” d
a n
Fifi meleletkan lidah. “Mau jujur ngomong apaan?”
n g
“Tentang Arvin.” Ja
“Kenapa dia?”
“Gue selalu ngerasa kalau kalian nggak cocok satu sama lain.
Bukan karena lo, tapi karena Arvinnya. Nggak tahu, dari mana
asalnya, tapi banyak gosip buruk tentang cowok lo.”
“Gosip buruk gimana?” selidik Fifi dengan heran. Ia sudah
menjalin hubungan dengan Arvin selama beberapa bulan tapi tidak
mendengar desas-desus apa pun.
“Gimana ngomongnya, ya? Gue ngerasa nggak enak.”
Fifi menepuk pundak temannya dengan keras. “Halah, lo kayak
sama siapa aja. Buruan ngomong, gue janji nggak akan marah atau
ngamuk.”

105
Yulia mencondongkan tubuh dan berujar serius. “Dari info
banyak orang termasuk beberap cewek, katanya Arvin itu suka
foya-foya dan pacarnya banyak.”
Fifi terdiam dengan mata melebar. “Hush, jangan sembarang
dengerin gosip.”
“Udah gue duga, lo pasti nggak percaya. Masalahnya, yang
ngomong bukan orang sembarang. Termasuk cewek-cewek yang
jadi korbannya.”
Fifi menelengkan kepala, merasa heran sekaligus bingung.
Perkataan Yulia membuatnya berada di ujung bimbang. Satu sisi
adalah pacarnya, sisi yang lain adalah sahabatnya. Mana yang harus
dipercaya di antara keduanya?
r e
“Yulia, gue nggak bisa percaya gitu aja selama nggak ada
h a
buktinya. Lo tahu bukan prinsip gue gimana?”
d is
an
Yulia mengangkat bahu lalu mengulum senyum. “Lo bener.”
“Gue terima kasih soal info ini. Pastig gue cari tahu
n
kebenarannya.” Ja
“Gue siap bantu lo. Yang penting buat gue, lo selamat dari
cowok maruk selangkangan kayak Arvin.”
Hari itu, Fifi live di intagram ditemani Yulia. Mereka mencari
tempat yang enak untuk online, dan menemukan ruang sekretariat
mahasiswa yang kosong dan aman untuk digunakan. Bibirnya
mengulum senyum sepanjang live tapi pikiran dan hatinya dipenuhi
pertanyaan, benarkan Arvin seperti yang dikatakan oleh teman
teman Yulia? Kenapa selama ini ia tidak tahu? Berbulan-bulan
pacaran, ia seolah-olah tidak mengenal pribadi Arvin sama sekali.
**
Alteza berdiri di bawah pohon yang jauh dari keramaian. Ia
butuh ruang untuk bernapas dan menjauh dari para gadis yang

106
mengejarnya. Terlebih hari ini, dua orang gadis saling mencaci,
memaki, adu pukul, karena masing-masing merasa lebih
mengenalnya. Padahal, untuknya kedua gadis itu sama saja. Tidak
ada yang istimewa di antara mereka di hatinya. Awalnya, ia berniat
ke ruang kelas Fifi, untuk bertanya tentang peluncuran produk
baru. Apesnya, ia malah dicegat oleh mereka dan berakhir dengan
dirinya harus melarikan diri seperti seorang pengecut.
Sebenarnya, ia tidak suka melihat dua gadis bertengkar dan
membuat kegaduhan karena dirinya. Akan banyak cacian dan
cibiran ditujukan padanya, sebagian besar pasti menganggapnya
sok tampan atau sok laku, padahal ia sendiri tidak tahu menahu.
Menyugar rambutnya yang berantakan tertiup angin, Alteza
beranjak dan bersiap kembali mencari Fifi saat terdengar suara
teriakan. Ia penasaran dan mencari di mana arah teriakan itu. r e
h a
s
di
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada sekelompok mahasiswa
sedang duduk di bangku taman. Ada laptop menyala di meja kayu.
an
Alteza berniat menyingkir saat telinganya mendengar nama Fifi
disebut. n g
“Ya ampun, Fifi emang sexy.”
Ja
“Bibirnya tebal dan menggoda.”
“Body juga bagus.”
“Di antara yang lain, cewek gue emang paling bohay!”
Arvin berada di antara teman-temannya, sedang menonton Fifi
yang sedang live di instagram. Ia tertawa dengan bangga, saat
semua teman-temannya memuji Fifi.
“Cantik, pintar bisnis, dan sexy. Semua cowok berharap jadi
pacar Fifi, sayangnya biarpun Arvin yang dapat, mereka nggak
pernah ngapa-ngapain.”

107
“Bener, tuh. Jangan kata ke hotel buat bobo bareng, ciuman aja
nggak pernah.”
Arvin mengangkat tangan, memberi tanda pada teman
temannya untuk berhenti bicara. “Gue taruhan sekali lagi. Ingat
nggak taruhan kita yang lalu, kalau gue bakalan dapetin Fifi.”
“Lo menang, karena kita bantu. Coba kita nggak gangguin Fifi
biar lo bisa jadi penolong. Biarpun kita pukul sampai babak belur,
tetap aja lo berhasil dapetin Fifi.”
“Yee-iyee, gue ngaku kalau kalian emang hebat!” Arvin berteriak
keras. “Gue makasih banget sama kalian. Kali ini, gue mau taruhan
sekali lagi. Sebentar lagi Fifi ulang tahun, gue mau siapin kejutan
dan pastinya, gue mau ajak dia ke hotel!”
r e
“Wah, serius lo?”
h a
s
di
“Tentu aja. Gue pastiin, kalau Fifi bakalan bisa gue tiduri kali ini.”

a n
Tawa menghilang dari bibir Arvin saat Alteza melesat seperti
n g
banteng liar dan memukul tepat di mulutnya. Tidak hanya itu,
Ja
Alteza juga menendang perut dan kemaluannya, membuat Arvin
melenguh kesakitan.
“Manusia kotor macam lo, nggak cocok sama Fifi!”
Arvin melenguh kesakitan, meludah ke tanah. “Oh, lo. Cowok
yang naksir Fifi dan nggak digubris.”
Alteza mengepalkan tangan dengan tubuh gemetar menahan
marah. “Bajingan! Awas aja lo berani deketin Fifi lagi!”
Alteza memekik saat sebuah batu dihantamkan ke lehernya. Ia
menoleh dan belum sempat menbalas, beberapa orang teman
Arvin menyerangnya secara serempak. Meskipun ia menguasai
sedikit ilmu bela diri, tetap saja kalah jumlah dan akhirnya, terkapar
di tanah berumput dengan tubuh bersimbah darah.

108
Arvin meludahinya, berkata dengan sinis. “Kali ini gue ampuni
lo. Kalau ikut campur lagi urusan gue sama Fifi, nyawa lo yang
bakalan gue cabut!”
Sepeninggal mereka, Alteza berbaring mengerang, menatap
langit yang panas. Tubuhnya terasa sakit dengan anyir darah di
mulutnya. Ia merangkak bangun, berusaha mengambil ponselnya
yang tercecer. Melihat panggilan teratas adalah nama Fino. Tanpa
pikir panjang memencet nomor pemuda itu dan bisa mendengar
suaranya.
“Kak Al, ada apa?”
“Fino, to-long!
**
r e
h
Awalnya ruang rawat itu penuh dengan orang-orang yang ingin a
s
di
menjenguk. Namun, karena dianggap terlalu ramai, suster datang
n
dan mengusir semua orang. Tersisa hanya Fifi dan Amelia. Orang
a
g
lainnya berada di teras, dan berkumpul di sana termasuk Summer,
n
Jayden, serta orang-orang salon.
Ja
Fifi berdiri, menahan isak. Hatinya sakit melihat Alteza terbaring
dengan tubuh penuh luka. Lebam-lebam di seluruh wajah, dengan
mata membengkak. Kaki dan tangannya yang patah diperban,
dengan Alteza berbaring diam karena pengaruh obat.
Amelia berdiri di sampingnya, meremas pundaknya perlahan.
“Kamu udah lihat rekaman CCTV?”
Fifi mengangguk. “Sudah dan mereka juga sudah ditangkap.”
“Yang memukuli Al, temanmu bukan?”
“Iya, Tante.” Fifi menjawab dengan malu. Pertama kalinya, ia
merasa sangat tidak beruntung karena punya pacar seperti Arvin.
Tega menganiaya Alteza secara beramai-ramai. Terlepas dari apa

109
pun masalah mereka, tidak seharusnya keroyokan seperti itu. Ia
yakin, Alteza tidak akan kalah, kalau satu lawan satu dengan Arvin.
“Kamu tahu apa masalahnya?” tanya Amelia.
Fifi menggeleng. Bagaimana ia tahu, karena saat sang mama
mengabarinya, Alteza sudah dalam keadaan tertidur. Ia bahkan
tidak punya kesempatan untuk bertanya pada pemuda itu apa yang
terjadi. Fino yang pergi menolong, bersama beberapa teman
sekolah mendatangi kampus dan membawa Alteza ke rumah sakit.
Amelia dan suaminya bertindak cepat, melapor polisi dan akhirnya
didapat bukti berupa rekaman CCTV. Fifi yang sedang sibuk
peluncuran produk baru, tidak tahu apa pun, hingga Summer
mengabarinya.
“Al sempat cerita, kalau pacarmu itu, berniat jahat padamu.
r e
h
Ingin mengajak tidur atau apalah, dan dia marah. Memukul Arvina
s
dan berakhir dengan dirinya dikeroyok.”
di
a n
Hati Fifi berdenyut nyeri saat mendengar cerita Amelia.
n g
Perkataan Yulia tadi siang kembali terdengar. Berarti, rumor
Ja
tentang kebejatan Arvin benar adanya, hanya dirinya saja yang
tidak tahu. Bisa jadi, tidak mau tahu.
“Fifi, Al memang salah, sudah menghindarimu selama bertahun
tahun. Tapi, apa kamu tahu yang dilakukannya selama di Swiss? Dia
sekolah sambil kerja sampingan. Dia bilang, ingin mengumpulkan
uang sendiri untuk membangun bisnis sama kamu. Katanya, kamu
punya cita-cita mendirikan perusahaan kecantikan.”
“Iya, Tante.”
“Al salah dalam bertindak. Harusnya, apa pun yang terjadi
ngomong jujur sama kamu. Bukan malah diam-diam saja dan
berharap kamu mengerti. Aku paham kalau kamu marah, karena
aku pun begitu. Cuma satu yang tante minta, Fifi. Tolong maafin
Al.”

110
Amelia keluar, ingin bicara dengan Summer dan yang lain. Fifi
terduduk di samping ranjang, meraih jemari Alteza dan
menggenggamnya. Kesalah pahaman dan kurangnya komunikasi,
membuat hubungan mereka memburuk. Fifi menghela napas
panjang, menyayangkan sikap Al yang tertutup.
“Apa susahnya kamu jujur, Al?” bisiknya parau.
Alteza tidak mendengar apa pun, masih berbaring dengan mata
tertutup, dan Fifi menyesali diri.
Karena luka-lukanya yang cukup parah, Alteza harus dirawat
selama beberapa hari di rumah sakit. Sepanjang waktu ia dipaksa
berbaring dengan tubuh dibalut perban. Selang infus menempel di
pergelangan tangan, membatasi ruang geraknya.
r e
Secara bergantian, teman dan kerabat bergantian
h a
s
mengunjunginya. Sayangnya, di antara mereka semua hanya Fifi
di
yang tidak bisa ditemui, karena dirinya selalu tertidur setiap kali
gadis itu datang. a n
n g
Ja
Seperti biasa, Fino datang sepulang sekolah. Kali ini, pemuda itu
bercerita secara menggebu-gebu tentang Fifi dan Arvin.
“Fino diajak sama Kak Fifi ke penjara buat ketemu Arvin. Sampai
di sana, si pecundang itu nangis-nangis minta dikeluarin. Kak Fifi
cuma bilang satu kalimat, ‘orang tua lo kaya, suruh aja mereka
keluarin lo!’ diucapin dengan tegas tanpa senyum.”
Alteza terbelalak. “Trus, gimana?”
“Kak Fifi tanya, apa bener pas kejadian dia diganggu cowok
cowok brengsek, itu sebenarnya rekayasa. Cowok-cowok itu
suruhan Arvin.”
“Arvin mengelak pasti.”
“Memang, tapi Kak Fifi punya rekaman pengakuan dari salah
satu pelaku, yang juga ikut ngeroyok Kak Al. Yah, si brengsek itu
111
nggak bisa berkelit. Kak Fifi ngomong dengan tegas, kalau mereka
nggak ada hubungan apa-apa lagi. Kalau sampai Arvin berani
ganggu dia, Kak Fifi ngancam bakalan pakai pengharuh papa buat
bikin si brengsek itu di penjara lamaa sekali. Selesai, hubungan
mereka putus dan si brengsek meraung saat kami pergi.”
“Menjijikkan,” gumam Alteza.
“Emang, kalau nggak ingat lagi di penjara, Fino bantai itu orang.”
Alteza merasa lega, akhirnya Fifi bisa bebas dari cowok brengsek
macam Arvin. Ia tidak menyesal harus terbaring penuh luka,
setidaknya itu bisa menyelamatkan Fifi.
“Kak, berarti nanti malam nggak bisa datang?” tanya Fino.
Alteza mengernyit lalu mendesah panjang. “Ah, ulang tahun
r e
Fifi.”
h a
s
di
“Bener, mama udah terlanjur bikin pesta kejutan. Sayang aja,
Kak Al nggak bisa datang.”
g an
n aja nyusul.”
Ja
Alteza tersenyum. “Nggak apa-apa, nanti kado
Malam itu, Alteza berbaring di ranjang menatap langit-langit
ruang rawat. Ia sendirian, tidak ada yang menemani di rumah sakit
karena semua orang termasuk kedua orang tuanya, pergi ke pesta
Fifi. Ia tidak iri atau marah karena itu. Fifi memang layak dicintai
semua orang. Pesta meriah, didukung oleh teman-teman dan
keluarga, layak didapatkan gadis itu.
Alteza sedang memikirkan kado yang cocok untuk diberikan
pada Fifi saat pintu ruang rawat membuka. Ia mendongak dan
terbelalak, saat Fifi muncul dalam balutan gaun pesta warna ungu
keperakan yang mengembang indah. Ada mahkota bunga di
rambut gadis itu, menambah pancaran kecantikannya.
“Fifi, ke-kenapa di sini? Bukannya sedang pesta?”

112
Fifi tersenyum, mengulurkan sepotong kue. “Emang lagi pesta,
aku diam-diam menyelinap pergi.”
“Hah, kenapa?”
“Mau ngasih kamu kue.” Fifi mendekat, berdiri di samping
ranjang. “Bukan potongan kue pertama, karena ada keluargaku
yang udah antri di depan. Tapi, ini potongan kue paling besar. Kamu
mau aku suapin?”
Alteza tersenyum dan mengangguk. “Mau.”
Fifi memencet tombol bagian atas ranjang dan membuat posisi
Alteza setengah duduk. Ia memotong kue dengan garpu kecil dan
menyuapi pemuda di depannya.
“Al, terima kasih,” ucapnya lirih.
r e
h a
“Terima kasih buat apa?”
s
di
“Sudah membelaku.”
an
“Itu sudah seharusnya aku lakukan, Fifi.”
n g
Ja
Mata Fifi membulat, menatap Alteza tajam. “Kenapa jadi
keharusan buat kamu? Kita hanya teman.”
Alteza menggeleng. “Hubungan kita memang hanya teman, tapi
buat aku kamu lebih dari sekadar teman. Aku memang bodoh,
kurang ajar, dan nggak tahu diri. Tapi, kamu percaya nggak kalau
aku bilang, perasaanku dari dulu nggak berubah sama kamu? Aku
selalu, sukaa … sama kamu.”
Ungkapan perasaan yang sederhana. Fifi mendengarnya dengan
terharu. Ia kembali menyuapi sepotong kue dan saat ada sisa krim
berada di bibir Alteza, tanpa segan ia menunduk dan mengecup
bibir pemuda itu. Tepat di tempat ada sisa krim menempel.
“Terima kasih, aku juga suka kamu,” bisiknya lembut.

113
Alteza ternganga dengan tubuh kaku. Kecupan Fifi membuat
indra dalam tubuhnya seolah mati rasa. Meneguk ludah, ia
bertanya dengan lirih.
“Fifi, bo-boleh nggak, aku jagain kamu? Ada di samping kamu
selalu?”
Fifi mengerjap lalu mengangguk dengan wajah merah padam.
“Boleh.”
Alteza tersenyum berseri-seri, mengulurkan tangannya yang
diperban untuk mengusap pipi gadis itu. Perasaan cinta meluap
dalam dadanya dan memberikan gemuruh kebahagiaan.
“Terima kasih, Sayang. Satu lagi, boleh nggak kecupannya
diulang. Yang tadi nggak berasa.”
r e
Fifi tergelak dengan wajah menyiratkan rasa malu. “Idih,
h a
s
ngarep.”
di
“Ayolah, sedikit aja.”
an
n g
Ja
“Nggak mau.”
“Fifi, tolonglah. Hibur orang sakit ini.”
Suara keduanya tertelan udara, saat Fifi kembali menempelkan
bibirnya pada bibir Atleza. Keduanya saling mengecup dan
mencium, dengan hati menghangat karena cinta.

114
Bonus Part
Fino berdiri di balik pintu rumah sakit dalam balutan jas merah
marun, menatap sambil tersenyum pada kakaknya dan si pasien
rumah sakit yang saling berpelukan dan mengecup.
“Dasar, nggak tahu tempat,” gumamnya dengan senyum
terkulum. Melangkah menuju kursi teras rumah sakit dan menatap
kegelapan.
Bertahun-tahun berlalu, semenjak Summer menolongnya dari
kecelakaan dan hujan. Saat itu ia belum mengerti apa artinya
‘mama’, sampai akhirnya Summer datang dan sukarela menjadi
r e
mamanya. Ia bersyukur punya mama hebat seperti Tiara, yang
h a
s
mengorbankan nyawa untuk melahirkan, dan berterima kasih pada
di
Summer karena sudah menjadi mama sambung rasa kandung yang
begitu tulus. an
n g
Ja
“Fino, kenapa di sini?”
Fino menoleh pada papa dan mamanya yang bergandengan
dalam balutan pakaian pesta. Ia bergegas bangun dan berbisik.
“Ma, mereka lagi ciuman.”
“Hah, ciuman?” tanya Jayden.
“Ssst! Papa jangan ganggu!”
“Tapi, ciuman?” Jayden masih berusaha untuk masuk. Ada
kekesalan terlintas di wajahnya.
Summer memeluk suaminya. “Sayang, ayo, kita cari kopi di
kantin.”
“Sayang, Fifi ciuman sama Al itu.”
“Nggak apa-apa, udah 21 tahun juga.”
115
“Masih kecil!”
“Ya, ya, anak-anak akan selalu menjadi bayi kita selamanya.
Tapi, mereka punya masa depan sendiri.”
Fino tersenyum mendengar perdebatan orang tuanya. Jayden
yang seakan-akan tidak rela anaknya disentuh laki-laki lain,
Summer yang berusaha menenangkannya, dan Fino mendadak
ingin pulang untuk mengganggu si kembar. Keluarganya memang
sangat hebat.
Summer menoleh, mengulurkan tangan pada anak laki-lakinya.
“Fino, ayo!”
Fino mengangguk. “Mama, gendong, dong!”
“Eh, kamu bukan bayi lagi, Fino!” protes Jayden.
a re
ish jauh
Fino memeluk mamanya dari belakang. Tingginya sekarang
melebihi Summer dan membuatnya mudah untuk d mengangkat
an
mamanya begitu saja. “Kalau gitu, Fino yang gendong!”
g
“Finoo! Turunkan mama!” teriak Summer.n
Ja
Fino memutar tubuh mamanya di lorong rumah sakit dengan
Jayden tertawa melihat kelakuannya. Kali ini bukan Summer yang
menggendong Fino, tapi sebaliknya. Waktu berlalu dan yang
diinginkan Fino hanya satu, membahagiakan mamanya.
Begitu pula seterusnya, mereka akan bergantian saling
mendukung, tidak akan meninggalkan apa pun yang terjadi, karena
itulah arti keluarga yang sesungguhnya.

116

Anda mungkin juga menyukai