Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AL QARDH DAN RIBA

Oleh Kelompok 3 :

BN Imam Taufiqullah (210501041)

Elvina Natasa (210501056)

Zahratul Fadila (210501040)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MATARAM

2023
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 3
A. Al Qardh .................................................................................... Error! Bookmark not defined.
 Pengertian Al Qardh….…………………………….…………………………….…………………………….…………..4
 Dasar-dasar Hukum Al Qardh….…………………………….…………………………….……………………………5
 Rukun-Rukun Utang Piutang….…………………………….…………………………….……………………………. 6
 Syarat- Syarat Utang Piutang….…………………………….…………………………….…………………………….7

B. Riba….…………………………….…………………………….…………………………….…………………………….…………….8

 Pengertian Riba….…………………………….…………………………….…………………………….………………….8
 Tahapan Ayat Tentang Larangan Riba….…………………………….…………………………….……………….9

PENUTUP...................................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 12
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Organisasi
Koperasi dalam Sistem Pasar. Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ilmiah tentang Riba dan Al- Qardh ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Mataram, 11 September 2023


PEMBAHASAN

A. Al – Qardh

a. Pengertian Al-Qardh

Qardh berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara etimologi, qardh ْbermakna al-
qath’u yang berarti memotong. 1 Dinamakan tersebut karena uang yang diambil oleh orang yang
meminjamkan memotong sebagian hartanya. 2 Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang
diajak akad qardh) dinamakan qarad, sebab merupakan potongan dari harta muqrid (pemilik
barang).3 Qiradh merupakan kata benda (masdar). Kata qiradh memiliki arti bahasa yang sama
dengan qardh. Qiradh juga berarti kebaikan dan atau keburukan yang kita pinjamkan. Al-Qardh
adalah pinjaman yang diberikan kepada muqtaridh yang membutuhkan dana dan/atau uang.

Adapun secara istilah al-qardh qardh artinya pinjaman. Definisi akad qardh adalah
perjanjian pinjam meminjam dana, dimana pihak peminjam wajib mengembalikan dana sesuai
dengan jumlah yang diterimanya dan dalam jangka waktu tertentu. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dalam akad qardh peminjam hanya berkewajiban untuk mengembalikan dana pokok
pinjamannya saja. Akad qardh masuk ke dalam kategori akad Tatawwu’i atau akad saling
bantu, inilah sebabnya akad tersebut bukan termasuk transaksi komersial, melainkan hanya
digunakan untuk kegiatan sosial. Penyaluran dananya pun hampir sama dengan dana sosial lain
seperti sadaqah, zakat, infaq atau dana-dana sosial lain yang memang bukan digunakan untuk
kegiatan konsumtif.

Contoh akad qardh dalam kehidupan sehari-hari yaitu ketika seseorang meminjam uang
sebesar 10 juta rupiah, dan pihak pemberi pinjaman hanya memintanya untuk melunasi jumlah
uang yang dipinjamnya saja selama periode waktu tertentu. Sederhananya, tujuan akad qardh
adalah dilakukan dengan dasar tolong menolong, karena dalam pelaksanaannya tidak ada itikad
untuk mencari keuntungan atau imbalan sedikitpun.

1
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) Cet. 1, hlm.149
2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), Jilid 4, hlm. 181
3
Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet.1, hlm. 150
 Dasar-dasar Hukum Al-Qardh
Qiradh merupakan salah satu bentuk taqarrub kepada Allah swt., karena qiradh berarti
berlemah-lembut dan mengasihi sesama manusia, memberikan kemudahan dan solusi dari
duka dan kesulitan yang menimpa orang lain. Islam menganjurkan dan menyukai orang yang
meminjamkan (qiradh), dan membolehkan bagi orang yang diberikan qiradh, serta tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang makruh, karena dia menerima harta untuk dimanfaatkan
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, dan peminjam tersebut mengembalikan harta
seperti semula. 4

Firman Allah QS. Al-Baqarah : 245 ْ ْ

‫ّللا يقرض َّالذي ذَا َمن‬ َ ‫ّللا كَثي َرةً اَضعَافًا لَه فَيضٰ عفَه َح‬
ً ‫سنًا قَر‬
َ ٰ ‫ضا‬ ۗ ٰ ‫تر َجعونَ َوالَيه َو َيبصط يَقبض َو‬.

Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan

Firman Allah QS. Al-Baqarah : 280

‫س َرة ا ٰلى فَنَظ َرة عس َرة ذو َكانَ َوان‬ َ َ ‫س َرة ا ٰلى فَنَظ َرة عس َرة ذو َكانَ ت‬
َ ‫ص َوان َواَن ْۗ َمي‬ َ َ ‫كنت م ْان لَّكم َخير ت‬
َ ‫صدَّقوا َواَن ۗ َمي‬
‫ت َعلَمونَ كنتم ان لَّكم َخير ت َعلَمونَد َّقو ا‬

Artinya: Dan jika (orang-orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.

Dari Ibnu Mas‟ud, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Bukan seorang muslim (mereka)
yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah.”
(HR Ibnu Majah).

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak
ada seorang pun yang memiliki segala barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pinjam-

4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 274-275
meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang
sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.5

 Rukun Utang-Piutang
Adapun yang menjadi rukun qardh ada tiga, yaitu:

1. Shighat Qardh

Shighat terdiri dari ijab dan qabul. Redaksi ijab misalnya seperti, “Aku memberimu
pinjaman,” “Aku mengutangimu,” “Ambilah barang ini dengan ganti barang yang sejenis,”
atau “Aku berikan barang ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya.”
Menurut pendapat yang ashah, disyaratkan ada pernyataan resmi tentang penerimaan pinjaman,
seperti jenis transaksi lainnya. Redaksi qabul disyaratkan sesuai dengan isi ijab, layaknya jual
beli. Seandainya pemberi pinjaman berkata, “Aku mengutangimu 1000 dirham,” lalu
peminjam menerima lima ratus dirham, atau sebaliknya, maka akad tersebut tidak sah. Utang-
piutang dihukumi sah bila menggunakan kata qardh (meminjami) atau salaf (mengutangi) juga
sah digunakan dalam shighat ijab qabul seperti telah disebutkan diatas. Contohnya, “Aku
berikan kepadamu.” Sebagian ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa jika peminjam berkata
kepada pemberi pinjaman, “Berikanlah saya utang sekian,” lalu dia meminjamnya; atau
peminjam mengirim seorang utusan kepada pemberi pinjaman, lalu dia mengirim sejumlah
harta kepadanya, maka akad qardh tersebut sah. Menurut al-Adzra‟i, ijma’ ulama sepakat
sistem tersebut boleh dilakukan.

2. Para Pihak yang Terlibat

Qardh Pemberi pinjaman hanya disyaratkan satu hal yakni cakap mendermakan harta,
sebab akad utang piutang mengandung unsur kesunahan. Sedangkan peminjam hanya
disyaratkan cakap bermuamalah. Jadi hanya orang yang boleh bertransaksi saja yang akad
utang piutangnya dihukumi sah, seperti halnya jual beli.

3. Barang yang Dipinjamkan

Barang yang dipinjamkan disyaratkan harus dapat diserahterimakan dan dapat


dijadikan barang pesanan (muslam fih), yaitu berupa barang yang mempunyai nilai ekonomis

5
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.132-
133
(boleh dimanfaatkan menurut syara’) dan karakteristiknya diketahui karena ia layak sebagai
pesanan. Menurut pendapat shahih, barang yang tidak sah dalam akad pemesanan tidak boleh
dipinjamkan. Jelasnya setiap barang yang tidak terukur atau jarang ditemukan karena untuk
mengembalikan barang sejenis akan kesulitan.

Dengan demikian, qardh boleh dilakukan terhadap setiap harta yang dimiliki melalui
transaksi jual beli dan dibatasi karakteristik tertentu. Alasannya qardh merupakan akad
penyerahan akad penyerahan hak milik yang kompensasinya diberikan kemudian (dalam
tanggungan). Karena itu, objek qardh tidak lain adalah sesuatu yang bisa dimiliki dan dibatasi
dengan karakteristik tertentu seperti akad pemesanan, bukan barang yang tidak dibatasi dengan
sifat tertentu seperti batu mulia dan lain sebagainya. Qardh juga hanya boleh dilakukan di
dalam harta yang telah diketahui kadarnya. Apabila seseorang mengutangkan makanan yang
tidak diketahui takarannya, itu tidak boleh, karena qardh menuntut pengembalian barang yang
sepadan. Jika kadar barang tidak diketahui, tentu tidak mungkin melunasinya. 6

 Syarat-Syarat Utang-Piutang (Al Qardh)


Ada empat syarat sahnya qardh. Pertama. Akad qardh dilakukan dengan shigah ijab
qabul atau bentuk lain yang bisa menggantikannya, seperti cara mu’athah (melakukan akad
tanpa ijab qabul) dalam pandangan jumhur, meskipun menurut Syafi‟iyah cara mu’athah
tidaklah cukup sebagaimana dalam akad-akad lainnya.

Kedua. Adanya kapibilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi maupun
penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa, berkehendak tanpa
paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru’ (berderma). Karena qardh adalah bentuk akad
tabarru. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang
yang dibatasi tindakannya dalam membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan seorang wali
yang tidak sangat terpaksa atau ada kebutuhan. Hal itu karena mereka semua bukanlah orang
yang dibolehkan melakukan akad tabarru’ (berderma).

Ketiga. Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli. Sedangkan
dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa dibolehkan dengan
harta apa saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang, biji-bijian, dan harta qimiy seperti
hewan, barang tak bergerak dan lainnya.

6
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. 1, hlm. 20-21
Keempat. Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran, timbangan,
bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan. Dan dari jenis yang belum
tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang bercampur dengan jelai karena sukar
mengembalikan gantinya.

Akad qardh dibolehkan adanya kesepakatan yang dibuat untuk mempertegas hak milik,
seperti pensyaratan adanya barang jaminan, penanggung pinjaman (kafil), saksi, bukti tertulis,
atau pengakuan di hadapan hakim. Mengenai batas waktu, jumhur ulama menyatakan syarat
itu tidak sah, dan Malikiyah menyatakan sah. Tidak sah syarat yang tidak sesuai dengan akad
qardh, seperti syarat tambahan dalam pengembalian, pengembalian harta yang bagus sebagai
ganti yang cacat atau syarat jual rumahnya. Adapun syarat yang fasid (rusak) diantaranya
adalah syarat tambahan atau hadiah bagi si pemberi pinjaman. Syarat ini dianggap batal namun
tidak merusak akad apabila tidak terdapat kepentingan siapa pun. Seperti syarat pengembalian
barang cacat sebagai ganti yang sempurna atau yang jelek sebagai ganti yang bagus atau syarat
memberikan pinjaman kepada orang lain.

B. Riba
 Pengertian Riba

Riba dalam pandangan Islam berada dalam kelebihan baik dalam bentuk uang ataupun barang.
Riba berarti kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontak penukaran satu barang
yang sama, hingga itu disebut dengan riba. Riba disebut juga pembayaran yang dikenakan
terhadap pinjaman yang berlaku dimana modal yang berada dalam pinjaman tersebut
digunakan. Riba juga merupakan sebagian dari kegiatan ekonomi yang telah berkembang sejak
zaman jahiliyah hingga pada sampai saat ini. Sistem pinjam meminjam pada sistem riba ini
banyak menguntungkan kaum pemilik modal karena banyak mendapat keuntungan yang lebih
dari yang dipinjamkan. Dari adanya riba tersebut sehingga Islam melarang atau mengharamkan
adanya riba karena menumbuhkan tradisi shadaqah agar tidak ada yang teraniaya karena
adanya riba. Dalam kesamaan antara Bunga dan Riba yang dilarang di Al-Qur’an dan hadits
tapi masih banyak umat muslim yang masih bergabung dengan bank konvensional yang
menggunakan sistem bunga dalam kehidupan maka dari itu turunlah ayat Allah yang melarang
adanya riba yang menyebabkan kemelaratan dan kerusakan dalam kehidupan manusia.

Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari
sumber tersebut bisa berupa qard1dan lain sebagainya. Para ulama menetapkan dengan tegas
dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang
dampaknya merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta
ijma' para ulama. Bebarapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap
sebagai sesuatu yang tidak bermoral akan tetapi merupakan sesuatu yang menghambat aktifitas
perekonomian masyarakat, sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan orang miskin
akan semakin miskin dan tertindas. Manusia merupakan makhluk yang "rakus", mempunyai
hawa nafsu yang bergejolak dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan watak dan
karakteristiknya, tidak pernah merasa puas, sehingga transaksi-transaksi yang halal susah
didapatkan karena disebabkan keuntungannya yang sangat minim, maka harampun jadi (riba).
Ironis memang, justru yang banyak melakukan transaksi yang berbau riba adalah dikalangan
umat Muslim. Riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya transaksi riba
sering dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana peminjam meminta tambahan dari
modal asal kepada yang dipinjami. Tidak dapat dinafikkan bahwa dalam jual beli juga sering
terjadi praktek riba, seperti menukar barang yang tidak sejenis, melebihkan atau mengurangkan
timbangan atau dalam takaran.

 Tahapan ayat tentang larangan riba

Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar.
Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by step).
Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan
riba dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan
kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan
perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada
akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan:

Tahap pertama

Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak menyenangi
orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan menjauhkan
riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk
menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan
harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan melipat
gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum
mengharamkannya.

Tahap kedua
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba digambarkan sebagai
sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi
kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang
riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi
orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima
pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam
agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan
menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.

Tahap ketiga

Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang
dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu
yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit
demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya.

Tahap keempat

Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas, jelas,
pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan
besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut
jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasuln-
Nya.

Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang yang telah
dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an, dan riba jual beli yang juga telah
dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.

a. Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qard , yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah, yaitu
hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.

b. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang
ribawi.
c. Dan Riba Nasi'ah, yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Qiradh berarti berlemah-lembut dan mengasihi sesama manusia, memberikan kemudahan dan
solusi dari duka dan kesulitan yang menimpa orang lain. Islam menganjurkan dan menyukai
orang yang meminjamkan , dan membolehkan bagi orang yang diberikan qiradh, serta tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang makruh, karena dia menerima harta untuk
dimanfaatkan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, dan peminjam tersebut
mengembalikan harta seperti semula.

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya.
Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang dibutuhkan. Islam adalah agama
yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

Shighat Qardh

Redaksi ijab misalnya seperti, «Aku memberimu pinjaman,» «Aku mengutangimu,»


«Ambilah barang ini dengan ganti barang yang sejenis,» atau «Aku berikan barang ini
kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya.» Menurut pendapat yang ashah,
disyaratkan ada pernyataan resmi tentang penerimaan pinjaman, seperti jenis transaksi
lainnya. Seandainya pemberi pinjaman berkata, «Aku mengutangimu 1000 dirham,» lalu
peminjam menerima lima ratus dirham, atau sebaliknya, maka akad tersebut tidak sah. Utang-
piutang dihukumi sah bila menggunakan kata qardh atau salaf juga sah digunakan dalam
shighat ijab qabul seperti telah disebutkan diatas.

Para Pihak yang Terlibat

Jadi hanya orang yang boleh bertransaksi saja yang akad utang piutangnya dihukumi sah,
seperti halnya jual beli.

Dari uraian diatas ialah riba merupakan hal yang diharamkan atau dilarang keras dalam
agama Islam karena riba sendiri sangat merugikan bagi orang yang berhutang, sedangkan
yang menghutangi akan semakin kaya dan menginjak-injak orang yang miskin. Dari riba
tersebut tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah mengharamkan transaksi yang
mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendholimi orang lain dan adanya unsur
ketidakadilan. Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-Qur'an
surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba, juga
mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipat gandakan uang yang telah
dihutangkan, juga karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011) Cet. 1, hlm.149

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), Jilid 4, hlm. 181

Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet.1, hlm. 150

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 274-275

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
hlm.132-133

Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. 1, hlm. 20-21

Chair, Wasilul : riba dalam perspektif Islam (2017)

Yulianti Timorita, Rahmani : riba dalam prespektif ekonomi Islam (2002)


PERTANYAAN DAN JAWABAN (KELOMPOK 3)

AL QARDH DAN RIBA

KELOMPOK 2 : ANISA AZIZAH : Apakah ada inovasi finansial atau instrumen


investasi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tanpa bergantung pada riba?

JAWABAN : Ya, ada berbagai inovasi finansial dan instrumen investasi yang
memungkinkan pertumbuhan ekonomi tanpa bergantung pada riba. Beberapa di antaranya
termasuk:

1. Mudharabah dan Musharakah: Ini adalah prinsip-prinsip keuangan Islam yang melibatkan
berbagi keuntungan dan risiko antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Dalam
mudharabah, satu pihak menyediakan modal dan yang lainnya mengelola bisnis, sementara
dalam musharakah, kedua pihak berpartisipasi dalam modal dan pengelolaan bisnis.

2. Sukuk: Sukuk adalah obligasi Islam yang memberikan pemegangnya hak kepemilikan aset
yang berhubungan dengan proyek atau bisnis tertentu. Pemegang sukuk berbagi keuntungan
dan risiko dari proyek tersebut.

3.Crowdfunding Syariah: Platform crowdfunding syariah memungkinkan individu dan bisnis


untuk mengumpulkan dana dari banyak investor tanpa melibatkan bunga. Ini bisa digunakan
untuk mendukung proyek-proyek yang sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan Islam.

4.Investasi Ethical: Ada instrumen investasi yang mematuhi prinsip-prinsip etika dan sosial
tertentu, seperti investasi dalam perusahaan yang tidak terlibat dalam industri alkohol,
tembakau, atau perjudian.

5. Peer-to-Peer Lending Syariah: Platform P2P lending syariah memfasilitasi pinjaman antara
individu atau bisnis tanpa bunga. Keuntungan dibagi antara peminjam dan pemberi pinjaman.

6. Investasi dalam Aset Riil: Investasi dalam aset fisik seperti properti atau komoditas dapat
menjadi alternatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan Islam.

Ini adalah beberapa contoh inovasi finansial dan instrumen investasi yang dapat digunakan
untuk pertumbuhan ekonomi tanpa riba. Namun, penting untuk berkonsultasi dengan ahli
keuangan atau penasihat keuangan yang memahami prinsip-prinsip keuangan Islam sebelum
membuat keputusan investasi.

KELOMPOK 7 : SISKA JULIANTI : Bagaimana hukum al-qard ketika berurusan


dengan seseorang yang bukan Muslim dalam konteks memberikan atau menerima pinjaman,
serta bagaimana hukumnya ketika berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional
yang tidak berbasis syariah?

JAWABAN : Hukum al-qard dalam Islam adalah bentuk pinjaman tanpa bunga antara
dua pihak. Dalam konteks memberikan atau menerima pinjaman kepada seseorang yang
bukan Muslim, prinsip dasarnya tetap sama. Anda dapat memberikan atau menerima
pinjaman tanpa bunga dari atau kepada mereka, karena prinsip al-qard tidak membedakan
agama pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Namun, ketika berurusan dengan lembaga keuangan konvensional yang tidak berbasis
syariah, situasinya bisa menjadi lebih kompleks. Beberapa ulama Islam menganggap bahwa
berurusan dengan lembaga keuangan konvensional yang menerapkan bunga (riba) dapat
dianggap haram (melanggar prinsip syariah). Oleh karena itu, sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan seorang ahli agama atau ulama yang dapat memberikan panduan lebih rinci sesuai
dengan konteks dan hukum Islam yang berlaku di wilayah Anda.

KELOMPOK 5 : MUHAMMAD WAHYU HIDAYAT : Allah tidak mengharamkan


riba secara tuntas, jadi riba jenis apa/sperti apa yg tidak diharamkan oleh allah swt?

JAWABAN : Sebenarnya untuk hal riba, Allah subhanallah sudah melarang hal
tersebut dengan jelas sedari awal. Namun pada awal turunnya ayat tentang riba Allah tidak
serta merta menegur kaum muslimin dengan ayat yang keras seperti pada surat al baqarah
275. Karena ini adalah ini bentuk kebijaksanaan Allah dan sifat maha lembut Allah kepada
hamba2nya, alasan lainnya juga karena praktek riba ini sudah melekat pada orang arab
jahiliyah, oleh sebab itu lah mengapa di dalam surat ali imran ini Allah tidak melarang secara
keras praktek riba karena ayat ini termasuk ayat2 awal sebelum Allah menerangkan dengan
keras praktek riba

KELOMPOK 10 : LALU RAYAN RENALDI : Kapan utang-piutang dianggap riba?

JAWABAN : Utang-piutang dianggap riba (bunga) dalam Islam ketika terdapat


pertambahan atau keuntungan tambahan atas pinjaman yang diberikan. Prinsip dasar yang
dipegang teguh dalam Islam adalah larangan riba, yang dijelaskan dalam Al-Quran dan
Hadis. Dalam banyak interpretasi dan pemahaman Islam, riba adalah tambahan atau imbalan
yang dikenakan atas jumlah pinjaman yang diberikan, yang tidak memiliki dasar dalam
perdagangan yang sah atau keuntungan yang dihasilkan dari transaksi yang adil.

Contoh umum yang dianggap sebagai riba adalah bunga yang dikenakan pada pinjaman uang,
seperti dalam lembaga keuangan konvensional yang mengenakan bunga pada pinjaman.
Dalam Islam, bunga ini dianggap riba karena tidak ada transaksi yang sah atau keuntungan
yang dihasilkan dari pinjaman tersebut; itu hanya keuntungan tambahan atas penggunaan
uang.

Penting untuk diingat bahwa riba adalah salah satu bentuk penindasan ekonomi yang dilarang
dalam Islam untuk mendorong keadilan ekonomi dan keberdayaan sosial. Sebaliknya, Islam
mendorong prinsip-prinsip ekonomi yang adil dan amanah dalam semua transaksi keuangan.

KELOMPOK 4 : RIZWAN HAFIZI : Bagaimana solusi utk bank konvensional agar


tidak menggunakan riba tanpa mengadopsi ekonomi syariah?

JAWABAN : Kemungkinan untuk mengubah sistem bank konvensional agar tidak


ada praktek riba di dalamnya sebenarnya bisa-bisa saja, namun hal ini tidak bisa serta merta
dilakukan karena ada bantak hal yang menghambatnya contohnya seperti:
1. Perubahan Regulasi: Peraturan perbankan dan keuangan yang ada dalam suatu negara
mungkin mengharuskan bank untuk beroperasi dengan praktek-praktek yang melibatkan
bunga atau riba. Mengubah peraturan ini bisa menjadi proses yang panjang dan sulit.

2. Model Bisnis yang Ada: Bank konvensional telah mengembangkan model bisnis mereka
berdasarkan pendapatan bunga. Mengganti model ini dengan model yang tidak melibatkan
riba akan memerlukan restrukturisasi yang signifikan.

3.Kepentingan Pemegang Saham: Pemegang saham bank mungkin memiliki kepentingan


dalam melanjutkan praktik riba karena itu menghasilkan pendapatan yang stabil. Mengubah
model bisnis dapat menghadapi resistensi dari pemegang saham.

4. Penerimaan Publik: Mengubah cara bank beroperasi mungkin memerlukan edukasi dan
penerimaan publik yang kuat. Beberapa pelanggan mungkin tidak siap untuk bertransisi ke
model perbankan yang tidak melibatkan bunga.

5. Kesulitan Teknis: Mengembangkan produk-produk perbankan yang tidak melibatkan


bunga dan masih menguntungkan bisa menjadi tugas yang rumit dari segi teknis.

6. Komitmen dan Budaya Organisasi: Bank perlu memiliki komitmen yang kuat untuk
mengadopsi prinsip-prinsip perbankan tanpa riba dan mengubah budaya organisasi mereka
agar sesuai dengan perubahan ini.

7. Pengawasan dan Audit: Sistem pengawasan dan audit perlu disesuaikan untuk memastikan
bahwa bank beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diadopsi.

8. Kerjasama dengan Institusi Syariah: Jika bank ingin mengadopsi prinsip-prinsip keuangan
syariah, mereka perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan syariah dan
memahami persyaratan yang terkait.

9.Resistensi Industri: Industri perbankan konvensional mungkin memiliki resistensi terhadap


perubahan signifikan dalam model bisnis mereka.

10. Lingkungan Hukum dan Ekonomi: Faktor-faktor ekonomi dan hukum di negara tertentu
dapat memengaruhi kemampuan bank untuk mengubah model bisnis mereka.

KELOMPOK 6 : INDRIANI : Bagaimana cara Islam menanggulangi kerugian yang


mungkin dialami oleh pemberi pinjaman jika tidak diperbolehkan mengambil bunga dalam
akad qardh?

JAWABAN : Dalam Islam, ketika seseorang memberikan pinjaman tanpa bunga


(qardh), ada kesadaran akan potensi kerugian yang mungkin dialami oleh pemberi pinjaman.
Namun, Islam mendorong tindakan yang lebih altruistik dan menekankan nilai-nilai seperti
tolong-menolong, amanah, dan kebaikan. Ada beberapa cara Islam menanggulangi potensi
kerugian bagi pemberi pinjaman:
1. Sadaqah (sedekah): Pemberi pinjaman dapat memandang pinjaman yang diberikan sebagai
bentuk sadaqah (sedekah), yang berarti memberikan tanpa mengharapkan imbalan atau
keuntungan finansial. Ini adalah bentuk ibadah dan amal baik yang dianjurkan dalam Islam.

2. Perlakuan baik: Islam mengajarkan untuk berlaku adil dan baik terhadap sesama manusia.
Dalam konteks pemberian pinjaman, pemberi pinjaman seharusnya berlaku adil dan
memperlakukan peminjam dengan baik. Ini termasuk memberikan pinjaman tanpa
membebankan bunga yang dapat mengakibatkan beban berlebihan bagi peminjam.

3. Menjaga hubungan sosial: Islam sangat mendorong menjaga hubungan sosial yang baik
dan menghindari konflik. Dalam konteks pemberian pinjaman, meskipun tidak ada bunga
yang dikenakan, menjaga hubungan yang baik dengan peminjam dapat membantu
menghindari kerugian jangka panjang yang lebih besar.

4. Tawakkal (bergantung sepenuhnya kepada Allah): Islam mengajarkan agar kita bergantung
sepenuhnya kepada Allah dalam segala hal. Pemberi pinjaman yang mempraktikkan nilai ini
mungkin merasa bahwa mereka akan mendapatkan balasan dari Allah di dunia atau akhirat
karena tindakan baik mereka.

Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, pemberian pinjaman tanpa bunga (qardh)
dianjurkan sebagai tindakan kebaikan dan kasih sayang kepada sesama, bukan sebagai cara
untuk mencari keuntungan finansial. Jadi, kerugian yang mungkin dialami pemberi pinjaman
harus dianggap sebagai bagian dari amal baik dan kepatuhan terhadap ajaran agama.

KELOMPOK 9 : NISWATUL HASANIAH : Bagaimana mengelola keuangan yang


baik dalam pandangan islam agar terhindar dari riba?

JAWABAN : Mengelola keuangan dengan baik dalam pandangan Islam dan terhindar
dari riba melibatkan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Berikut adalah beberapa langkah yang
dapat membantu Anda mengelola keuangan dengan baik sesuai dengan ajaran Islam:

1.Pahami Larangan Riba: Penting untuk memahami sepenuhnya larangan riba dalam Islam.
Ini termasuk menghindari pinjaman uang dengan bunga, investasi yang melibatkan riba, dan
semua bentuk transaksi yang dianggap melibatkan riba.

2.Gunakan Akad Syariah: Saat membutuhkan pinjaman atau investasi, pastikan untuk
menggunakan akad syariah yang sesuai. Misalnya, Anda dapat mencari pembiayaan syariah
atau akad bagi hasil yang adil.

3.Buat Rencana Keuangan: Buat rencana keuangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip
Islam. Ini termasuk menyisihkan sebagian pendapatan Anda untuk sedekah, menabung, dan
menghindari utang yang melibatkan riba.

4. Hindari Utang yang Tidak Perlu: Jika memungkinkan, hindari utang yang tidak perlu.
Utang yang besar dengan bunga tinggi dapat mengakibatkan masalah keuangan. Lebih baik
hidup sesuai dengan kemampuan finansial Anda.
5.Sedekah dan Infaq: Jangan lupa untuk memberikan sedekah (amal) dan infaq (sumbangan)
sebagai bagian dari manajemen keuangan Anda. Ini adalah bagian penting dari ajaran Islam
yang membantu membersihkan harta Anda dan memberikan kepada yang membutuhkan.

6.Investasi yang Halal: Jika Anda ingin berinvestasi, pastikan untuk memilih investasi yang
halal dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ini bisa berupa investasi properti, saham
syariah, atau bisnis yang sah.

7. Pendidikan Keuangan: Pelajari prinsip-prinsip keuangan Islam dan caranya


diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan keuangan akan membantu Anda
membuat keputusan yang bijaksana dalam mengelola keuangan.

8. Berkonsultasi dengan Ahli: Jika Anda memiliki pertanyaan khusus atau situasi keuangan
yang kompleks, berkonsultasilah dengan seorang ahli ekonomi syariah atau konsultan
keuangan yang kompeten dalam hal ini.

9. Perencanaan Warisan: Pastikan Anda memiliki perencanaan warisan yang sesuai dengan
hukum Islam agar harta Anda diperlakukan sesuai dengan prinsip syariah ketika Anda
meninggal dunia.

10. Disiplin Keuangan: Disiplin dalam mengelola keuangan sangat penting. Patuhi rencana
keuangan Anda, hindari pemborosan, dan pertimbangkan kebutuhan sejati daripada keinginan
yang berlebihan.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini dan menjaga kesadaran tentang nilai-nilai syariah dalam
manajemen keuangan Anda, Anda dapat mengelola keuangan dengan baik dan terhindar dari
riba. Ini akan membantu Anda mencapai stabilitas finansial sambil mematuhi ajaran agama
Anda.

KELOMPOK 1 : RIKA UMATUSHOLEHA : Apa saja konsekuensi dari terlibat


dalam praktik riba dalam sudut pandang islam?

JAWABAN : Terlibat dalam praktik riba (bunga) dalam sudut pandang Islam
memiliki konsekuensi serius. Islam melarang riba dengan tegas dan menganggapnya sebagai
dosa besar. Berikut adalah beberapa konsekuensi dari terlibat dalam praktik riba dalam Islam:

1.Haram dalam Islam: Terlibat dalam riba dianggap sebagai pelanggaran hukum Islam yang
serius. Hal ini dapat berdampak negatif pada keimanan seseorang dan dapat mengakibatkan
dosa besar.

2.Ketidakadilan Ekonomi: Praktik riba dapat mengakibatkan ketidakadilan ekonomi dengan


mengenakan beban berat pada orang-orang yang meminjam uang dengan bunga tinggi. Ini
dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dan sosial.

3.Kehancuran Kesejahteraan Spiritual dan Material: Terlibat dalam riba dapat merusak
kesejahteraan spiritual dan material seseorang. Allah mengancam hukuman bagi mereka yang
terlibat dalam riba dalam Al-Quran.
4. Kehilangan Berkah: Riba diyakini sebagai sumber kehilangan berkah dalam kehidupan.
Keuntungan yang diperoleh dari riba sering kali dianggap tidak barokah dan bisa
mendatangkan kesialan.

5. Kehilangan Perlindungan Allah: Terlibat dalam riba bisa berarti kehilangan perlindungan
Allah. Ini dapat membuat seseorang merasa terasing dari-Nya dan kehilangan berkah-Nya
dalam kehidupan.

6. Hilangnya Solidaritas Sosial: Praktik riba bisa merusak hubungan sosial dan solidaritas
dalam masyarakat. Ini karena riba sering kali menciptakan perbedaan ekonomi yang besar.

7. Potensi Hukuman di Akhirat: Terlibat dalam riba dapat memiliki konsekuensi di akhirat.
Dalam Al-Quran, ditegaskan bahwa orang-orang yang terlibat dalam riba akan menghadapi
hukuman di akhirat.

Oleh karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya menghindari riba dan mengikuti
prinsip-prinsip ekonomi yang adil dan beretika. Masyarakat Muslim dianjurkan untuk
mencari alternatif keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah untuk menjaga
integritas moral dan spiritual serta memastikan kesejahteraan ekonomi yang adil

Anda mungkin juga menyukai