Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH

ANTAR KABUPATEN/KOTA DAN


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
DI PROVINSI JAWA TIMUR
TAHUN 2010-2014

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh:

GANTARA HADI NOTO


125020107111016

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2016
Analisis Ketimpangan Wilayah Antar Kabupaten/Kota dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014
Gantara Hadi Noto, Prof. Dr. Agus Suman, SE., DEA.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

gantarahn@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan pembangunan wilayah dan faktor-
faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2010-2014. Variabel-variabel yang digunakan ialah Upah Minimum Regional (UMR), angkatan kerja yang
bekerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pengeluaran pemerintah. Teknik analisis statistik deskriptif dan
analisis regresi panel dengan studi kasus yang di lakukan di 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dan pada
periode 2010-2014. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa
Timur sangat tinggi hal tersebut dikarenakan oleh adanya beberapa wilayah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki
PDRB perkapita yang tinggi jauh diatas PDRB perkapita Provinsi Jawa Timur, seperti Kota Kediri dan Kota
Surabaya dan variabel-variabel seperti Upah Minimum Regional (UMR), angkatan kerja yang bekerja, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan wilayah.
Kata Kunci : Ketimpangan Pembangunan, PDRB, UMR, Tenaga Kerja, IPM, Pengeluaran Pemerintah

A. PENDAHULUAN
Strategi pembangunan nasional pada awalnya diterapkan hampir seluruh negara di dunia untuk memulai
aktivitas perekonomian. Pembangunan merupakan proses multidimensi yang melibatkan berbagai perubahan
mendasar dalam stuktur sosial, sikap masyarakat, dan lembaga nasional serta percepatan pertumbuhan,
pengurangan ketimpangan dan penanggulangan kemiskinan (Smith dan Todaro, 2011). Tujuan pembangunan
tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita namun harus
memerhatikan proses pemerataan dan distribusi nilai tambah tertentu dalam kegiatan ekonomi di suatu wilayah
(Kuncoro, 2015). Smith dan Todaro, (2011) menjelaskan bahwa pembangunan mengharuskan adanya peningkatan
pendapatan yang tinggi dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya
mengenai bagaimana meningkatkan pendapatan, akan tetapi siapa yang akan meningkatkannya, sebagian kecil
orang atau orang banyak. Ketimpangan pembangunan antarwilayah selalu muncul dan cenderung akan semakin
melebar. Myrdal (dalam Jhingan, 2014), berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dapat menghasilkan suatu
proses sebab-menyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapatkan keuntungan semakin banyak, dan mereka
yang tertinggal di belakang menjadi semakin tertinggal. Dampak balik (backwash effects) cenderung membesar
dan dampak sebar (spread effects) akan cenderung mengecil sehingga akan memperburuk ketimpangan yang ada.
Di Indonesia, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Data dari BPS menunjukan laju perekonomian Provinsi Jawa Timur mampu tumbuh di atas pertumbuhan
perekonomian nasional dari tahun 2011 sampai 2014. Pada 2011 laju perekonomian di Provinsi Jawa Timur
sebesar 6.44% dan pada 2012 naik 0.20% menjadi 6.64%, namun pada 2013 dan 2014 laju pertumbuhan Provinsi
Jawa Timur terus mengalami penurunan yaitu menjadi 6.08% dan 5.86%. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa
Timur saat ini memiliki prospek, namun di sisi lain distribusi pendapatan di Provinsi Jawa Timur masih terlihat
timpang. Dapat dilihat pada gambar 1, Kota Surabaya dan Kota Kediri memiliki distribusi pendapatan yang tinggi,
bahkan lebih tinggi dari Provinsi Jawa Timur. Berbeda dengan kondisi daerah seperti Kota Blitar, Kota Pasuruan
dan Kota Mojokerto yang memiliki distribusi pendapatan yang rendah.

1
Gambar 1: PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa Timur Menurut
Kabupaten/kota, Tahun 2010 dan 2014 (Ribu Rupiah)

Kab.…
Kab.…
Kab.…

Kab.…
Kab.…
Kab.…

Kab.…

Kab.…

Kab.…

Kab.…

Kab.…
Kab. Sampang
Kab. Blitar

Surabaya
Kab. Sidoarjo

Kab. Gresik

Kab. Sumenep

Madiun

Batu
Kab. Malang

Kab. Jember

Pasuruan
Kab. Jombang
Kab. Nganjuk

Kab. Ngawi

Kediri
Kab. Tuban

Blitar

Mojokerto
Kab. Pacitan

Kab. Madiun

Probolinggo
Kab. Kediri

Kab. Pasuruan

Kab. Magetan

Malang
Kab. Ponorogo

Kab. Lumajang

2010 2014

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2010 dan 2014 (data diolah penulis)
Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembngunan wilayah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Perbedaan sumber daya alam, 2. Kondisi demografis, 3. Kurang lancanya mobilitas barang dan jasa, 4.
Konsentrasi kegiatan ekonomi, 5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah. Adanya ketimpangan pembangunan
antar wilayah menjelaskan bahwa terjadi ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan pada suatu wilayah,
terlebih wilayah perkotaan yang menjadi pusat pembangunan, pemukiman, industri dan lain-lain. Jika dilihat
perkembangan struktur ruang Provinsi Jawa Timur mengarah kepada dominasi kawasan perkotaan yang mampu
mempengaruhi perekonomian pedesan. Selain perbedaan distribusi pendapatan, terjadi perbedaan seperti Upah
Minimum Regional (UMR), Jumlah angkatan kerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan pengeluaran
pemerintah yang berbeda disetiap wilayah. Daerah dengan PDRB yang tinggi, rata-rata memiliki Upah Minimum
Regional (UMR), Jumlah angkatan kerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan pengeluaran pemerintah yang
tinggi pula. Menurut Kuncoro (2013) ketimpangan sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering
terjadi diberbagai daerah, yang pada ujungnya masyarakat akan rentan terhadap konflik. Konflik dapat
mengganggu distribusi barang dan jasa hingga penurunan dan penundaan investasi saat ini. Ketidaksesuaian antara
data dan teori yang relevan menggambarkan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan terutama peran
pemerintah dalam mengambil kebijakan di Provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan pembangunan yang terjadi di Provinsi
Jawa Timur pada 2010, 2011, 2012, 2013 dan 2014. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan di Provinsi Jawa Timur itu sendiri dengan 38 kabupaten/kota
sebagai satuan unitnya.

B. KAJIAN PUSTAKA
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses menuju perubahan-perubahan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Suatu wilayah dapat dikatakan sejahtera apabila pertumbuhan
ekonominya mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan wilayah lain. Tingginya pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah biasanya diikuti dengan pemerataan pendapatan pada masyarakat. Menurut Boediono
dalam Tarigan (2014), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikna output per kapita dalam jangka panjang.
Presentase kenaikan kenaikan output yang lebih tinggi dari presentase pertambahan jumlah penduduk dan
pertumbuhan akan berlanjut dalam jangka panjang. Ketentuan bahwa pertumbuhan harus bersumber dari proses
intern perekonomian sangat penting dalam ekonomi wilayah, suatu wilayah bias saja mengalami pertumbuhan
akan tetapi pertumbuhan tersebut terjadi karena adanya suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan
tersebut bias saja berhenti ketika tidak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah pusat (Tarigan, 2014).
Hubungan Antara Upah Minimum Kabupaten/kota dengan Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Upah minimum adalah suatu stanndar minimum yang dipakai oleh parapengusaha atau pelaku industri
untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Menurut
Prastyo (2010), pada awalnya upah minimum ditentukan secara terpusat oleh Departemen Tenaga Kerja untuk
region atau wilayah-wilayah di seluruh Indonesia. Dalam perkembangan otonomi daerah, pada tahun 2001 upah
2
minimum ditetapkan oleh masing-masing provinsi. Upah minimum ini dapat dibedakan menjadi upah minimum
regional dan upah minimum sektoral.
Peraturan Menteri Tenaga Krja Nomor: Per-01/MEN/1999. Tujuan dari penetapan upah minimum adalah
untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan
termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menaikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya
termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum.
Kaufman (2000), menyatakan bahwa tujuan ditetapkannya upah minimum adalah untuk memeihi standar
hidup minimum seperti kesehatan, efisiensi dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum merupakan usaha guna
mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah
minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga
ketimpangan dapat berkurang.

Hubungan Angkatan Kerja yang Bekerja dengan Ketimpangan

Angkatan kerja yang bekerja adalah seluruh jumlah penduduk yang tergolong usia kerja (15 tahun sampai
dengan 64 tahun) yang telah mendapatkan pekerjaan. Menurut Arsyad (2010), Jumlah angkatan kerja yang bekerja
merupakan faktor positif dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja yang bekerja,
semakin besar tingkat produksi yang dihasilkan dan akan meningkatkan perumbuhan ekonomi.
Penyebab ketimpangan suatu wilayah salah satunya adalah kondisi demografis antar wilayah yang berbeda.
Kondisi tersebut meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat
kesehatan dan pendidikan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan etos kerja yang dimiliki oleh masyarakat.
Kondisi demografis tersebut berpengaruh terhadap besarnya produktivitas dari suatu daerah. Daerah dengan
kemampuan demografis yang baik akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Tingkat orang yang bekerja
berpengaruh terhadap produktivitas suatu daerah, semakin tinggi tingkat orang yang bekerja di suatu daerah akan
berdampak kepada tingginya produktivitas daerah tersebut lebih tinggi dibandingkan daerah dengan tingkat
jumlah orang yang bekerja lebih sedikit. Perbedaan tingkat jumlah angkatan kerja yang bekerja antar daerah akan
menyebabkan angka ketimpangan pembangunan semakin tinggi.
Hubungan IPM Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa Timur

Becker 1964, dalam teori human capital bahwa manusia bukan sekedar sumber daya namun modal
(capital) yang menghasilkan pengembalian (return) dan setiap setiap pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
mengembangkan kualitas dan kuantitas modal tersebut merupakan kegiatan investasi. Sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Gaiha 1993 yang mengatakan bahwa pendidikan pada diri seseorang dapat meningkatkan
kemampuan dalam memperoleh dan menggunakan informasi dan memperoleh pemahaman akan perekonomian.
Pendidikan secara tidak langsung berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan pribadi seseorang dengan cara
menigkatkan produktiivitas sehingga tercapainya standar hidup yang lebih baik. Jika setiap orang memiliki
pendapatan yang tinggi karena pendidikan yang tinggi, maka pertumbuhan ekonomi penduduk dapat ditunjang,
sehingga adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak akan berpengaruh negatif terhadap
ketimpangan itu sendiri.
Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Ketimpangan Pembangunan

Menurut Sukirno, (2002), pengeluaran pemerintah adalah konsumsi barang dan jasa yang dilakukan
pemerintah serta pembiayaan yang dilakukan pemerintah untuk keperluan administrasi pemerintahan dan
kegiatan-kegiatan pembangunan. Peran pemerintah melalui pengeluaran pemerintah merupakan faktor penting
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui permintaan agregat. Semakin besar pengeluaran
pemerintah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang baik pada daerah tersebut. Pengeluaran pemerintah
melalui program-program untuk mendorong produktivitas sumber daya akan menjadi suntikan perekonomian,
namun ketika besaran pengeluaran pemerintah tidak merata maka akan menyebabkan peningkatan ketimpangan
pembangunan.

C. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif digunakan karena
dalam penelitian ini bermaksud untuk mengetahui besaran nilai dari variabel-variabel yang ada dalam model
matematis yang digunakan. Penelitian kuantitatif digunakan untuk mengukur seberapa besar ketimpangan

3
pendapatan wilayah antar Kabupaten/kota dan faktor yang mempengaruhi di Provinsi Jawa Timur tahun 2010-
2014.
Tempat dan Waktu Penelitian

Objek dala penelitian ini adalah Provinsi Jawa Timur dengan lokasi penelitian kabupaten/kota yang
terdapat di Provinsi Jawa Timur sebagai unit analisis. Kabupaten/kota merupakan penunjang perekonomian
daerah dalam hal ini Provinsi Jawa Timur, yang pada akhirnya sebagai penopang perekonomian nasional. Provinsi
Jawa Timur dipilih karena pertumbuhan ekonomi yang ada di Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, namun terdapat masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Ruang lingkup pada penelitian ini terdapat berbagai batasan-batasan dalam penelitian, guna menghindari
permasalahan yang dibahas dan tercapainya tujuan penelitian. Adapun batasan-batasan tersebut antara lain:
1. Data yang digunakan dan dianalisis dalam penelitian ini merupakan data tahun 2010 sampai dengan 2014.
2. Wilayah yang dianalisis merupakan Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 38 Kabupaten/kota diantaranta
terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota.
3. Penelitian ini dibatasi pada perhitungan serta analisis tingkat kesenjangan pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Timur antar Kabupaten/kota.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan pada sifat-sifat atau sesuatu hal yang dapat diamati atas
variabel penelitian tersebut. Untuk lebih memperjelas dan mempermudah pemahaman terhadap variabel-variabel
yang akan dianalisis dalam penelitian ini , maka perlu dirumuskan defenisi operasional sebagai berikut:
1. Ketimpangan Pembangunan Wilayah (Y), merupakan ketimpangan dalam distribusi pendapatan kepada
kelompok masyarakat di suatu daerah yang didasarkan pada perhitungan Indeks Williamson di
Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2014.
2. Upah Minimum Kabupaten/kota (UMR) (X1), merupakan suatu standar minimum yang digunakan oleh
para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh di
dalam lingkungan usaha atau kerjanya pada tahun 2010-2014.
3. Angkatan Kerja yang Bekerja (X2), merupakan jumlah penduduk yang tergolong usia kerja (15 tahun
sampai dengan 64 tahun) yang telah mendapatkan pekerjaan dan berperan aktif didalam proses
perekonomian wilayah pada tahun 2010-2014.
4. Indeks Pembangunan Manusia (X3), merupakan ukuran pencapaian pembangunan yang berbasis
sejumlah komponen dasar kualitas hidup di Kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2014.
5. Pengeluaran Pemerintah (X4), merupakan data total belanja langsung dan tidak langsung pada pos
belanja pemerintah yang terdapat dalam APBD masing-masing Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2010-2014.

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif dan analisis
regresi panel. Statistik deskriptif digunakan untuk menjawab rumusan masalah penelitian pertama yaitu
perhitungan tingkat ketimpangan pembangunan wilayah. Sedangkan analisis regresi untuk menjawab pertanyaan
penelitian kedua yaitu pengruh faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan itu sendiri.
Studi ini menggunakan analisis data panel (pooled data) sebagai pengolahan data menggunakan program
Eviews 7. Analisis dengan menggunakan data panel adalah kombinasi antara deret wakktu (data time series) dan
deret lintang (data cross section).Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik linier
berganda (multiple regression) untuk data panel. Teknik ini digunakan dengan tujuan untuk menguji hipotesis
penelitian yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Adapun persamaan dari regresi linier berganda untuk
penelitian ini adalah sebagai berikut:

𝑌𝑖𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋1𝑖𝑡 + 𝛼2 𝑋2𝑖𝑡 + 𝛼3 𝑋3𝑖𝑡 + 𝛼4 𝑋4𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡


Dimana:

𝑌 = Ketimpangan Wilayah

𝑋1 = Upah Minimum Kabupaten/kota

4
𝑋2 = Angkatan Kerja yang Bekerja

𝑋3 = Indeks Pembangunan Manusia

𝑋4 = Pengeluaran Pemerintah

𝛼0 = intersep

𝛼1 − 𝛼5 = koefisien bebas

𝜀𝑖𝑡 = komponen error di waktu t untuk unit cross section i

𝑖 = cross section (38 Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur)

𝑡 = waktu (time series, tahun 2010-2014)


Dasar pengujian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah probabilitas sebesar 0,05 atau 5% dan
untuk pengambilan keputusan, didasarkan pada hipotesis H0 = Koefisien regresi tidak signifikan, dan H1 =
Koefisien regresi signifikan. Berdasarkan hipotesis tersebut, maka pengambilan keputusan, jika P < 0,05, maka
H1 diterima dan jika P > 0.05, maka H1 ditolak.

D. PEMBAHASAN

Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Provinsi Jawa Timur


Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai pusat dari Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki perekonomian
yang tinggi, yakni memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) Nasional sebesar 14,85%.
Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur merupakan jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah
Provinsi Jawa Barat yaitu pada 2014 sebesar 38 610 202 jiwa. (Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur). Laju
pertumbuhan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari laju pertumbuhan Indonesia ternyata tidak menjamin tingkat
kesejahteraan masyarakatnya.
Ketimpangan pembangunan di Provinsi Jawa Timur sangat tinggi, walaupun pada tahun 2010-2014
ketimpangan yang terjadi pada Provinsi Jawa Timur terus mengalami penurunan. Ketimpangan pembangunan
yang terjadi dapat dilihat dari nilai indeks Williamson yang terus menunjukan penurunan nillai. Pada 2012 sampai
dengan 2014 menunjukkan tren yang cenderung menurun jika dibandingkan pada dua tahun sebelumnya. Pada
tahun 2010 indeks Williamson di Provinsi Jawa Timur sebesar 1.081326394 dan pada 2014 mengalami penurunan
menjadi 1.049201893. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa wilayah di Provinsi Jawa Timur yang
memiliki PDRB perkapita yang tinggi jauh diatas PDRB perkapita Provinsi Jawa Timur, seperti Kota Kediri dan
Kota Surabaya. Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah menjelaskan bahwa terjadi ketidakmerataan
dalam distribusi pendapatan pada suatu wilayah, terlebih wilayah perkotaan yang menjadi pusat pembangunan,
pemukiman, industri dan lain-lain. Terdapat 9 wilayah yang memiliki PDRB perkapita di atas PDRB perkapita
Provinsi Jawa Timur. Kota Kediri dan Kota Surabaya mendominasi PDRB perkapita jika dibandingkan wilayah
lain, hal tersebut merupakan salah satu yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur.
Kota Surabaya merupakan kota dengan sektor industri pengolahan yang menyumbang PDRB per kapita yang
tinggi dan Kota Kediri yang berada di yang berada di jalur transportasi regional antara wilayah Surabaya dengan
Tulungagung, Nganjuk, Blitar dan malang telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang
berfungsi mendorong sistem perkotaan sebagai pusat pelayanan sekunder. Banyaknya industri besar seperti
industri rokok Gudang Garam, Balowerti dan Dandangan serta pabrik gula menjadikan PDRB di Kota Kediri
menjadi tinggi dibandingkan dengan wilayah lain.
Ketimpangan pembangunan berdasarkan indeks gini menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
dibagi menjadi dua bagian yaitu wilayah kabupaten/kota dengan tingkat ketimpangan tinggi dan wilayah
kabupaten/kota dengan ketimpangan rendah. Terdapat 4 wilayah kabupaten/kota dengan kondisi ketimpangan
tinggi, yaitu Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Madiun dan Kota Blitar sedangkan 34 wilayah kabupaten/kota
lainnya dengan kondisi ketimpangan rendah. Ketimpangan pembangunan sering memicu kecemburuan sosial dan
kekerasan yang sering terjadi diberbagai daerah, yang pada ujungnya masyarakat akan rentan terhadap konflik.
Konflik dapat mengganggu distribusi barang dan jasa hingga penurunan dan penundaan investasi saat ini. Selain
itu ketimpangan yang tidak segera diatasi dapat menimbulkan kelompok miskin kronis sehingga memperlebar
ketimpangan dan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Wilayah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi memiliki
jumlah penduduk miskin yang rendah, sedangkan wilayah dengan ketimpangan rendah memiliki jumlah penduduk
miskin yang tinggi.

5
Gambar 2: Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio) dan Kemiskinan (%) Kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Timur Tahun 2010-2014

Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio) dan Kemiskinan (%) Kabupaten/kota di


Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014
0.45
Kota Malang
Kota Surabaya
0.40
Kota Madiun Kota Blitar
0.35
Ketimpangan (Gini Ratio)

Kota Kediri Kab. Gresik Kab. Pacitan Kab. Bangkalan


Kota Pasuruan
0.30 Kota Batu Kota Probolinggo
Kota Mojokerto Kab. Ngawi
Kab. Sidoarjo Kab. Probolinggo
0.25 Kab. Tulungagung Kab. Tuban Kab. Sumenep
Kab. Banyuwangi Kab. Trenggalek
Kab. Bondowoso Kab. Pamekasan
0.20 Kab. Blitar Kab. Bojonegoro
Kab. Lamongan
Kab. Malang
0.15 Kab. Mojokerto Kab. Kediri
Kab. Magetan Kab. Jombang Kab. Nganjuk
Kab. Pasuruan Kab. Situbondo
0.10 Kab. Madiun
Kab. Jember
0.05 Kab. Ponorogo
Kab. Lumajang
0.00
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00
Tingkat Kemiskinan (%)

Sumber : BPS Jawa Timur tahun 2010-2014, data diolah (2016)


*Keterangan: Warna Merah: Prioritas 1
Warna Kuning: Prioritas 2
Warna Hijau: Prioritas 3
Warna biru: Prioritas 4

Tingkat ketimpangan dan presentase kemiskinan di Provinsi Jawa Timur dapat di kelompokkan menjadi
3 kategori, antara lain:
1. 4 wilayah dengan Ketimpangan tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur) dan presentase kemiskinan rendah
(dibawah Provinsi Jawa Timur), antara lain: Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Blitar, Kota Madiun
2. 16 wilayah dengan Ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan presentase kemiskinan
rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur), antara lain: Kota Kediri, Kota Pasuruan, Kota Batu, Kota
Mojokerto, Kab. Sidoarjo, Kab. Tulungagung, Kab. Banyuwangi, Kab. Blitar, Kab. Malang, Kab.
Mojokerto, Kab. Magetan, Kab. Jombang, Kab. Pasuruan, Kab. Jember, Kab. Ponorogo, Kab. Lumajang.
3. 18 wilayah dengan Ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan presentase kemiskinan
tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur), antara lain: Kab. Gresik, Kab. Pacitan, Kab. Bangkalan, Kota
Probolinggo, Kab. Ngawi, Kab. Sumenep, Kab. Probolinggo, Kab. Pamekasan, Kab. Tuban, Kab.
Bondowoso, Kab. Bojonegoro, Kab. Trenggalek, Kab. Lamongan, Kab. Kediri, Kab. Nganjuk, Kab.
Situbondo, Kab. Madiun, Kab. Sampang.
Ketimpangan yang terjadi di Kota Malang dan Kota Surabaya terbilang tinggi, bahkan tertinggi di Provinsi
Jawa Timur, namun pertumbuhan ekonomi di Kota Malang dan Kota Surabaya juga tinggi dan persentase jumlah
penduduk miskin di Kota Malang dan Kota Surabaya sangat rendah, hal tersebut mengidentifikasikan bahwa di
Kota Surabaya PDRB per kapita mayoritas disumbang oleh orang kaya dibandingkan orang miskin. Tingkat
ketimpangan dan PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dapat di kelompokkan menjadi 4
kategori, antara lain:
1. 3 wilayah dengan kondisi ketimpangan tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita di atas
PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Madiun.
2. 1 wilayah dengan kondisi ketimpangan tinggi (diatas Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita di
bawah PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kota Blitar
3. 7 wilayah dengan kondisi ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita di
atas PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kota Kediri, Kab.Gresik, Kab. Sidoarjo,
Kab.Pasuruan, Kota Batu, Kab. Mojokerto, Kab.Bojonegoro.
4. 27 wilayah dengan kondisi ketimpangan rendah (dibawah Provinsi Jawa Timur) dan PDRB Per Kapita
di bawah PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Timur, antara lain: Kab. Tuban, Kab. Banyuwangi, Kota
Mojokerto, Kota Probolinggo, Kota Pasuruan, Kab. Tulungagung, Kab. Malang, Kab. Bangkalan, Kab.
Sumenep, Kab. Jombang, Kab. Blitar, Kab. Lumajang, Kab. Jember, Kab. Lamongan, Kab. Probolinggo,
Kab. Magetan, Kab. Situbondo, Kab. Pacitan, Kab. Madiun, Kab. Kediri, Kab. Trenggalek, Kab.
Bondowoso, Kab. Nganjuk, Kab. Sampan, Kab. Ngawi, Kab. Ponorogo, Kab. Pamekasan.

6
Gambar 3: Tingkat Ketimpangan (Indeks Gini) Terhadap PDRB Per Kapita ADHK kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Timur Tahun 2010-2014

Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio) Terhadap PDRB Per Kapita ADHK


(Ribu Rupiah) di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014
Kota Kediri
220.00
200.00
180.00
PDRB Per Kapita ADHK

160.00
140.00
120.00
100.00
Kab. Sidoarjo Kota Surabaya
80.00 Kota Batu
Kab. Bojonegoro
Kab. Gresik
60.00 Kab. Pasuruan
Kota Malang
40.00 Kab. Mojokerto Kota Madiun
20.00 Kota Blitar
0.00
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45
Ketimpangan (Gini Ratio)
Sumber : BPS Jawa Timur tahun 2010-2014, data diolah (2016)
*Keterangan: Warna Merah: Prioritas 1
Warna Kuning: Prioritas 2
Warna Hijau: Prioritas 3
Warna biru: Prioritas 4

Wilayah yang ditandai dengan warna merah menunjukkan bahwa, wilayah tersebut menjadi prioritas
utama oleh pemerintah, dilanjutkan dengan wilayah dengan warna kuning, hijau dan biru. Pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Jawa Timur selama ini hanya bertumpu pada wilayah-wilayah besar seperti: Kota Surabaya, Kota
Kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Malang yang merupakan pusat-pusat pertumbuhan.
Perbedaan seperti sumber daya alam, ketersediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan bandara
yang berperan terhadap kemajuan suatu daerah, birokrasi, alokasi dana, tenaga kerja yang baik, peluang ekonomi
dan arus investasi mengalir ke wilayah tersebut. Kondisi demikian akan memperlebar kondisi ketimpangan.
Meningkatnya ketimpangan pembangunan harus diwaspadai karena dapat memberikan efek yang kurang baik
terhadap keberlangsungan pembangunan. Tugas pemerintah dalam hal ini akan semakin berat dalam pelayanan
dan penyediaan barang publik karena salah satu dampak ketimpangan yang dirasakan adalah kenaikan urbanisasi
penduduk ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Ketika jumlah urbanisasi melebihi kapisitas pada suatu wilayah
tentunya akan berdampak kepada masalah ekonomi dan sosial, seperti: angka kemiskinan, kriminalitas dan
masalah sosial lainnya.
Secara Keseluruhan berikut adalah perbandingan kondisi ketimpangan pembangunan, PDRB per kapita,
dan presentase kemiskinan yang terjadi di 38 wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang terbagi menjadi
6 kelompok kategori:
1. Kategori (I). PDRB per kapita diatas Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah
Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Tinggi (Indeks Gini kabupaten/kota diatas Indeks Gini
Provinsi): Kota Malang, Kota Surabaya, dan Kota Madiun.
2. Kategori (II). PDRB per kapita dibawah Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah
Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Tinggi (Indeks Gini kabupaten/kota > Indeks Gini
Provinsi): Kota Blitar
3. Kategori (III). PDRB per kapita diatas Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah
Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks
Gini Provinsi): Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kabupatn Mojokerto, Kota Kediri dan Kota
Batu.
4. Kategori (IV). PDRB per kapita diatas Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota diatas
Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks
Gini Provinsi): Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Bojonegoro.
5. Kategori (V). PDRB per kapita dibawah Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota dibawah
Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks
Gini Provinsi): Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Banyuwanngi,

7
Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Magetan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Jember,
Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Lumajang.
6. Kategori (VI). PDRB per kapita dibawah Provinsi Jawa Timur, Kemiskinan kabupaten/kota diatas
Kemiskinan Provinsi Jawa Timur, Ketimpangan Rendah (Indeks Gini kabupaten/kota dibawah Indeks
Gini Provinsi): Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Pacitan, Kota Ponorogo, Kabupaten Ngawi,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bondowoso, Kaabupaten Probolinggo, Kabupaten
Sumenep, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Kediri,
Kabupaten Situbondo, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Sampang.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur bisa disebabkan oleh beberapa faktor
seperti Upah Minimum Regional (UMR), Jumlah angkatan kerja yang bekerja, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), dan pengeluaran pemerintah.

Analisis dan Pembahasan Uji Statistik


1. Uji Chow
Uji Chow digunakan untuk mengetahui model Common Effect (CEM) atau Fixed Effect (FEM) yang akan
dipilih untuk estimasi regresi panel data. Adapun uji Chow adalah sebagai berikut :
Tabel 1: Hasil Uji Chow

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 3514.665292 (37,148) 0.0000


Cross-section Chi-square 1288.113105 37 0.0000
Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Uji Chow memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Cross-section F = 0.0000 dengan tingkat signifikansi
α = 5%, maka menolak H0 dan menerima Ha (H0 = Common Effect Method (CEM), Ha = Fixed Effect Method
(FEM) ). Sehingga model panel data yang tepat untuk estimasi data panel adalah Fixd Effect Method (FEM)
daripada Common Effect Method (CEM).
2. Uji Hausman
Uji Hausmman digunakan untuk mennentukan metode apa yang paling efisien antara Fixed Effect Method
(FEM) dan Random Effect Method (REM) dalam mengestimasi model persamaan regresi.
Tabel 2: Hasil Uji Hausman

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 3514.665292 (37,148) 0.0000


Cross-section Chi-square 1288.113105 37 0.0000

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Uji Hausman memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Cross-sectioon Random sebesar = 0.0000 dengan
tingkat signifikansi α = 5%, maka menolak H0 dan menerima Ha (Ho = Random Effect Method (REM), Ha = Fixed
Effect Method (FEM) ). Sehingga model panel data yang tepat untuk estimasi data panel adalah Fixed Effect
Method (FEM) daripada Random Effect Method (REM).
3. Pengujian Asumsi Klasik
Uji Heterokedastisitas

Model ini menggunakan data panel yang berarti juga menggunakan data kerat-lintang (cross sectional
data) sehingga bisa diasumsikan bahwa model dalam penelitian ini melakukan pelanggaran homoskedastisitas.
Pengujian homoskedastisitas dapat dilihat dari Sum Square Resid (SSR) sesudah diberi perlakuan cross sectional
weights. Apabila nilai Sum Square Resid (SSR) sebelum diberi perlakuan cross sectional weights (Unweighted)
lebih besar dari nilai Sum Square Resid (SSR) sesudah diberi perlakuan cross sectional weights (Weighted) maka
model yang digunakan terbebas dari Heterokedastisitas.

8
Tabel 3: Hasil Uji Heterokedastisitas

Weighted Statistics

R-squared 0.999462 Mean dependent var 0.185373


Adjusted R-squared 0.999313 S.D. dependent var 0.139297
S.E. of regression 0.002811 Sum squared resid 0.001170
F-statistic 6707.410 Durbin-Watson stat 0.822329
Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.999032 Mean dependent var 0.095257


Sum squared resid 0.002661 Durbin-Watson stat 0.604096

Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)


Berdasarkan hasil estimasi data diperoleh nilai SSR sebelum diberi perlakuan cross sectional weights
(0.002) lebih besar daripada SSE sesudah diberi perlakuan cross sectional weights (0.001), maka model ini dapat
diasumsikan model terbebas dari Heterokedastisitas.

Uji Autokorelasi

Uji yang paling dikenal untuk mendeteksi uji autokolerasi adalah uji Durbin-Watson (Gujarati, 2006).
Adapun untuk melihat ada tidaknya autokolerasi dalam hasil regresi dapat dilihat melalui nilai Durbin-Watson
(DW) statistiknya. Apabila nilai DW lebih kecil dari nilai dL, maka mengindikasikan model mengandung
autokorelasi.

Tabel 4: Hasil Uji Autokorelasi


Durbin-Watson stat 2.017625
Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)
Sebelum dilakukan perbaikan, model memiliki nilai DW (0,79) lebih kecil dari nilai dL (1,7198)
sehingga terdeteksi mengandung autokolerasi. Salah satu cara menyembuhkan autokorelasi adalah dengan
mengestimasi model menggunakan cross-section SUR. Setelah model diestimasi dengan menggunakan cross-
section SUR, diperoleh nilai DW menjadi (2.017625) lebih besar dari nilai dL (1,4083) dan telah terbebas dari
autokolerasi.

4. Analisis Hasil Regresi Data Panel


Berdasarkan dari hasil uji Chow dan Uji Hausman, dapat dilihat bahwa Fixed Effect Method (FEM)
merupakan metode yang paling efisien dalam estimmasi persamaan regresi panel data dalam penelitian ini. Berikut
adalah hasil pengujian kriteria statistik:

Uji Koefisien Determinasi (R2)


Hasil estimasi pada regresi Fixed Effect Method (FEM) diperoleh nilai R2 sebesar 0.999153 atau sebesar
99,9153 %. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel independen (X) mampu menjelaskan variabel dependen
(Y) sebesar 99% dan sisanya 1% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model.

Tabel 5: Pengujian Parsial (Uji t)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


UMR 0.037488 0.008559 4.379813 0.0000
Angkatan kerja yang bekerja 0.025931 0.008362 3.100868 0.0023
IPM -0.002476 0.001048 -2.362215 0.0195
Pengeluaran Pemerintah -0.012429 0.005592 -2.222543 0.0278
C 0.053137 0.043887 1.210769 0.2279
Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Berdasarkan tabel 5 menjelaskan bahwa variabel independen (X) yaitu UMR, jumlah tenaga kerja, IPM
dan pengeluaran pemerintah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y), yaitu
ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur.
9
Uji Signifikansi Simultan (Uji F)

Tabel 6 : Hasil Uji Signifikansi Simultan (Uji F)


F-statistic 4256.937
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Eviews 7, data diolah (2016)

Hasil uji signifikansi simultan (Uji F) pada tabel 6 menunjukan bahwa nilai probabilitas F-statistik pada
penelitian ini adalah 0,000000, yang mana 0,000000 < (α = 5% = 0,05). Berdasarkan hasil tersebut maka H0 ditolak
atau variabel independen berpengaruh signifikan secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Sehingga
dapat dinyatakan bahwa UMR, angkatan kerja yang bekerja, IPM dan pengeluaran pemerintah berpengaruh
signifikan secara bersama-sama terhadap ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa Timur.

Hasil Pengujian Hipotesis


1. Pengaruh UMR Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa Timur
UMR memiliki hubungan positif terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa
Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel UMR adalah 0.037488 yang artinya apabila UMR naik sebesar
1% maka tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan meningkat sebesar
0.037488%, dengan asumsi variebel lain adalah konstan.
Hal ini tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor: Per-01/MEN/1999. Tujuan dari penetapan upah minimum adalah untuk mewujudkan
penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan termasuk
meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menaikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya
termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum. Rata-rata upah minimum di Provinsi
Jawa Timur yang ditetapkan oleh pemerintah pada tiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Hal ini
merupakan perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah agar pekerja tidak terjerat dalam kemiskinan.
Namun penetapan upah minimum oleh pemerintah beresiko meningkatkan ketimpangan pembangunan
wilayah semakin besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan upah minimum hanya dirasakan oleh sebagian
kelompok buruh yang bekerja di perusaahaan besar.
Diketahui bahwa mayoritas pekerja di Provinsi Jawa Timur adalah pekerja di sektor informal yang
merupakan usaha kecil dan tidak terikat kontrak. Pada 2013 dan 2014 lapangan pekerjaan di sektor Pertanian,
Kehutanan, Perburuan dan Perikanan merupakan jenis pekerjaan yang menyerap tenaga kerja paling banyak.
Hal ini menjelaskan bahwa upah minimum yang ditetapkan pemerintah hanya menyentuh mereka yang berada
disektor formal.
Pekerja dengan keahlian yang tinggi akan mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pekerja biasa. Upah minimum di Provinsi Jawa Timur semakin tinggi, namun ketimpangan semakin melebar
karena sebagian buruh tidak sejahtera karena hanya sedikit yang menerima manfaat dari penetapan upah
minimum tersebut.

2. Pengaruh Angkatan Kerja Yang Bekerja Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi
Jawa Timur
Angkatan kerja yang bekerja memiliki hubungan positif terhadap ketimpangan pembangunan antar
wilayah di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel angkatan kerja yang bekerja adalah
0.025931 yang artinya apabila angkatan kerja yang bekerja naik sebesar 1% maka tingkat ketimpangan
pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan meningkat sebesar 0.025931%, dengan asumsi
variebel lain adalah konstan. Hal ini sesuai dengan hipotesis penulis Tanda negatif pada koefisien
menunjukkan adanya hubungan berlawanan antara variabel angkatan kerja yang bekerja dengan ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
Hal tersebut sesuai dengan teori Neoklasik yang menyatakan bahwa, tenaga kerja berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan suatu wilayah, dengan adanya peningkatan dalam jumlah tenaga kerja maka akan
berakibat kepada meningkatnya pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, dan aliran teori ini mempercayai
adanya mobilitas faktor yang sempurna. Tenaga kerja akan berpindah dari daerah yang kurang maju ke daerah
yang maju, dimana daerah maju memiliki upah yang relatif lebih tinggi dan memiliki lapngan pekerjaan yang
lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang kurang maju. Kondisi demikian akan mengakibatkan
ketimpangan pembangunan antar wilayah antara daerah yang kurang maju dan daerah maju menjadi
meningkat karena para tenaga kerja yang produktif memilih bekerja di daerah maju daripada bekerja di daerah
kurang maju.
Selain faktor upah yang relatif lebih tinggi, pada wilayah tersebut terdapat jumlah lapangan pekerjaan
yang lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain sehingga ketimpangan antar wilayah semakin melebar.
10
Kota Surabaya memiliki jumlah perusahaan terbanyak yaitu pada 2014 memiliki jumlah perusahaan sebanyak
12534 yang terdiri dari 1793 perusahaan besar, 1528 perusahaan sedang dan 9213 perusahaan kecil.
Kemudian diikuti dengan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Gresik, Kabupaten
Banyuwangi dan Kota Malang yang memiliki jumlah lapangan pekerjaan yang tinggi. Berbeda dengan
kondisi yang terjadi pada Kabupaten Trenggalek yang memiliki jumlah perusahaan terkecil pada 2014 yaitu
sebanyak 108 perusahaan yang terdiri dari 2 perusahaan besar, 20 perusahaan sedang dan 86 perusahaan kecil.
Selain Kabupaten Trenggalek, wilayah seperti Kota Batu, Kota Mojokerto, Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Pacitan juga memiliki jumlah perusahaan yang sedikit sehingga
mempengaruhi lapangan pekerjaan pada wilayah tersebut.
Kondisi inilah yang menimbulkan ketimpangan pembangunan yang terjadi antar wilayah akan semakin
melebar, karena para pekerja akan memilih untuk mencari pekerjaan di wilayah yang memiliki jumlah
lapangan kerja yang banyak dan upah yang tinggi dibandingkan dengan daerah dengan lapangan pekerjaan
dan upah yang sedikit.

3. Pengaruh IPM Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa Timur


Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki hubungan negatif terhadap ketimpangan pembangunan
antar wilayah di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) adalah -0.002476, yang artinya apabila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik sebesar 1% maka
ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan turun sebesar 0.002476%. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Arzu (2007) yang menyatakan bahwa
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki hubungan negatif terhadap ketimpangan pembangunan antar
wilayah.
UNDP (2004) berpendapat, pembangunan manusia berpusat pada manusia yang menempatkan manusia
sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Hal tersebut berbeda dengan konsep dari pembangunan yang berpusat
pada pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menguntungkan manusia.Tujuan dari pembangunan
manusia adalah guna memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia yang tidak mungkin tercapai
tanpa adanya kebebasan memilih dan bagaimana cara mereka akan menjalani hidup.
Menurut Arzu (2007) untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan perkapita,
serta menurunkan tingkat ketimpangan pembangunan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebaiknya
menjadi prioritas dalam program pembangunan suatu negara maupun daerah. Nilai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang tinggi akan berdampak positif terhadap distribusi pendapatan, sehingga berdampak
kepada tinggkat ketimpangan pembangunan yang semakin rendah.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terbagi menjadi 3 dimensi yaitu angka harapan hidup, tingkat
pendidikan dan angka melek huruf. Semakin baik nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka tingkat
ketimpangan pembangunan akan semakin rendah. Begitu sebaliknya, ketika nilai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) rendah, maka akan dapat mengakibatkan tingkat ketimpangan pembangunan semakin tinggi.

4. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Jawa


Timur
Pengeluaran pemerintah daerah memiliki hubungan negatif terhadap ketimpangan pembangunan antar
wilayah di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien regresi pada variabel pengeluaran pemerintah adalah -
0.012429 yang artinya apabila pengeluaran pemerintah naik sebesar 1% maka ketimpangan pembangunan
antar wilayah di Provinsi Jawa Timur akan turun sebesar 0.012429%.
Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai segala kebutuhan daerah dan sebagai stimulus bagi
pertumbuhan suatu daerah. Teori kebijakan fiskal berpendapat, peningkatan pengeluaran pemerintah atau
penurunan pajak dibuat untuk meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan menurunkan angka pengangguran.
Program pengeluaran pemerintah digunakan untuk mengatasi masalah ketimpangan pembangunan antar
wilayah. Menurut Smith dan Todaro, (2011) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi
ketimpangan pembangunan, pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk kepentingan publik. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa pengeleluaran pemerintah dapat mengurangi ketimpangan pembangunan
antar wilayah. Hal ini disebabkan sebagian dana belanja daerah dialokasikan untuk pengeluaran belanja modal
yang digunakan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur khususnya di daerah kurang maju.
Peran pemerintah melalui pengeluaran pemerintah merupakan faktor penting dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui permintaan agregat. Semakin besar pengeluaran pemerintah akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang baik pada daerah tersebut. Penurunan ketimpangan
pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur dapat terjadi karena pengalokasian dana pengeluaran
11
pemerintah dilakukan secara tepat. Pengeluaran pemerintah harus dilakukan secara efisien agar dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Ketika dana pengeluaran pemerintah dialokasikan lebih
banyak untuk belanja modal, maka terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Namun ketika
pengeluaran pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk membiayai belanja pegawai seperti, pembeyaran
gaji dan pembayaran honor kegiatan yang dibayarkan kepada pegawai sipil maka akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah tersebut.

E. PENUTUPAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, terdapat beberapa kesimpulan dalam penelitian ini,
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Ketimpangan pembangunan di Provinsi Jawa Timur sangat tinggi bahkan ekstrim, walaupun dari tahun
ke tahun mengalami penurunan ketimpangan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan PDRB per kapita yang
tinggi antar wilayah. Wilayah dengan ketimpangan tertinggi di Provinsi Jawa Timur adalah Kota
Maalang, Kota Surabaya, Kota Madiun dan Kota Blitar.
2. Hasil uji F menjelaskan bahwa keempat variabel independen yaitu Upah Minimum Kabupaten/kota
(UMR), angkatan kerja yang bekerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pengeluaran pemerintah
secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen ketimpangan
pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur.
3. Hasil uji t menjelaskan bahwa keempat variabel independen yaitu Upah Minimum Kabupaten/kota
(UMR), angkatan kerja yang bekerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pengeluaran pemerintah
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen ketimpangan pembangunan wilayah di
Provinsi Jawa Timur. Dari hasil regresi tersebut diketahui bahwa dua variabel yang berpengaruh
signifikan yaitu Upah Minimum Kabupaten/kota (UMR) dan angkatan kerja yang bekerja memiliki nilai
berslope positif, hal ini mengindikkasikan bahwa selama lima tahun penelitian yaitu pada 2010 sampai
dengan 2014, kedua variabel tersebut telah membuat angka ketimpangan pembangunan antar wilayah di
Provinsi Jawa Timur meningkat. Sedangkan dua variabel lain yang berpengaruh signifikan yaitu Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan pengeluaran pemerintah memiliki slope negatif, hal ini
mengindikasikan bahwa selama lima tahun penelitian yaitu pada 2010 sampai dengan 2014, kedua
variabel tersebut telah membuat angka ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur
menurun dan menuju kearah pemerataan.
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya agar menjadi lebih baik penulis merasa
perlu memberikan beberapa saran diantaranya:
1. Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi sebaiknya pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak hanya
fokus kepada aspek peningkatan nilai saja akan tetapi juga memperhatikan aspek pemerataan
pembangunan wilayah itu sendiri.
2. Bagi pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebaiknya program-program pembangunan lebih banyak
diarahkan kepada Kabupaten/kota yang kurang maju atau tertinggal, sehingga diharapkan dapat
memperbesar investasi pada wilayah tersebut. Meningkatnya investasi pada wilayah tersebut akan
merangsang lapangan pekerjaan baru, baik perusahaan atau lapangan pekerjaan lain untuk berkembang,
sehingga diharapkan penyerapan tenaga kerja semakin meningkat.
3. Menciptakan pertumbuhan inklusif untuk mengatasi ketimpangan pembangunan. Penerapan pola
pertumbuhan inklusif akan memaksimalkan potensi ekonomi dan mendorong pertumbuhan di berbagai
sektor pembangunan seperti pertanian, industri dan jasa. Pertumbuhan inklusif harus berfokus kepada
proses dan dampak. Berfokus kepada proses pertumbuhan yang memungkinkan adanya partisipasi dari
masyarakat atau dengan kata lain mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Sedangkan
berfokus kepada dampak berarti masyarakat luas, baik masyarakat berpendapatan tinggi, menengah, di
atas garis kemiskinan maupun di bawah garis kemiskinan. Penerapan kebijakan inklusif oleh pemerintah
Provinsi Jawa Timur perlu dilakukan agar dapat memberikan peluang ekonomi yang sama bagi setuiap
individu dalam masyarakat.
4. Melakukan pengembangan lokal berkaitan dengan pembangunan yang berkelanjutan dalam jangka
panjang. Peran pemerintah lokal dalam pengembangan ekonomi lokal adalah meningkatkan kualitas
pelayanan publik sehingga menciptakan kondisi bisnis yang baik bagi berkembangnya wirausahawan
untuk bertahan dan memperluas aktivitas mereka serta dapat menarik investor dari luar wilayah.
Kebijakan pembangunan tradisional yang selama ini dilakukan harus diperbaharui menjadi kebijakan
12
pengembangan lokal seperti, Pembangunan dengan pendekatan sektoral harus diperbaharui menjadi
pembangunan dengan menggunakan pendekatan wilayah, pembangunan proyek industri besar guna
merangsang aktivitas ekonomi harus diperbaharui menjadi memaksimalkan potensi wilayah untuk
merangsang sistem ekonomi lokal yang progresif untuk memperbaiki lingkungan ekonomi pada wilayah
tersbut.

F. DAFTAR PUSTAKA
Alvan, Arzu. Forging a Link Between Human Development and Income Inequality: Cross-Country Evidence.
Review of Social, Economic and Business Studies, Vol.7/8, 31-43
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan edisi 5. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN

Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2011. Surabaya: Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2012. Surabaya: Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2013. Surabaya: Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2014. Surabaya: Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2015. Surabaya: Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Menurut Lapangan Usaha
Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Badan Pusat Statistik
Gujarati, Damodar. 2012. Dasar-Dasar Ekonometrika: Basic Econometrics edisi 5. Jakarta: Salemba Empat
Jhingan. M.L, 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan kesembilan, Jakarta: PT Raja Garafindo
Persada
Kaufman & Hotchkiss. 1999. The Economics Of Labour Markets, Fifth Edition. The Dryden Press.
Kuncoro, Mudrajad. 2015. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN Yogyakarta
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Padang : Baduose Media.

Sukirno, Sadono. 2002. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta: Universitas
Indonesia dengan Bima Grafika.
Tarigan. Robinson. 2014. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Todaro, Michael.P. dan Stephen C. Smith. 2011. Pembangunan Ekonomi Edisi Ke Sebelas. Jakarta : Erlangga

13

Anda mungkin juga menyukai