Anda di halaman 1dari 80

i

Modul Fikih Modul 4 Pendidikan Profesi Guru

ARIYAH, JUAL BELI, KHIYAR, RIBA

Penulis:
Sabir U
M. Yusuf T
Abd. Rauf Amin
Besse Ruhaya

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam


Kementerian Agama Republik Indonesia

ii
MODUL 5 ARIYAH, JUAL BELI, KHIYAR, RIBA
PENANGGUNG JAWAB
Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani (Dirjen Pendidikan Islam)
Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M. Ag (Direktur Pendidikan Tinggi
Keagamaan Islam)
Dr. Muhammad Zain, M. Ag (Direktur GTK Madrasah)
Drs. H. Amrullah, M. Si (Direktur Pendidikan Agama Islam)

Penulis: Sabir U|M. Yusuf T|Abd. Rauf Amin| Besse Ruhaya

Penyunting: Khaeron Sirin

Reviewer: Muhammad Zain |Anis Masykhur|M. Munir|Mustofa Fahmi|


Fatkhu Yasik

Hak cipta dilindungi undang-undang


All right reserved

Cetakan I, Agustus 2019


Cetakan II, Agustus 2021 (Edisi Revisi 1)
Cetakan III, April 2023 (Edisi Revisi 2)
Desain sampul: Miftahul Abshor & Ali Rahman Hakim

Tata letak: M. Syamsul Ma’arif |Didik Priyanto| Istna Zakia Iriana|Achmad


Zukhruf Al-Faruqi| Laila Mu’arifatus Sa’adah

ISBN: -

Diterbitkan oleh:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Lantai VII dan VIII Gedung Kementerian Agama
Jalan Lapangan Banteng Barat Nomor 3-4 Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Website: https://kemenag.go.id | https://pendis.kemenag.go.id

iii
Sambutan

Direktur Jenderal Pendidikan Islam

Program Pendidikan Profesi Guru selanjutnya disebut PPG memiliki


tujuan untuk menghasilkan guru-guru profesional. Guru profesional adalah
guru yang memiliki seperangkat kompetensi meliputi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional. Melalui guru-guru professional ini
diharapkan proses pendidikan di madrasah dan sekolah dapat berjalan
secara inovatif dan bermakna, sehingga peserta didik tidak hanya dapat
memperoleh pengetahuan teoritik semata, tapi juga memiliki kemampuan
dalam mengaktualisasikan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui tangan-tangan guru professional ini, ekosistem pendidikan di
madrasah dan sekolah dapat mendukung tumbuh kembang peserta didik
secara optimal sesuai dengan amanat konstitusi.
Penulisan modul pembelajaran PPG ini menambah koleksi karya
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama RI. Aktifitas ini juga menunjukkan bahwa kita sebagai regulator dan
juga sebagai instansi pembina para guru agama dapat mengambil peran
dalam penyediaan sumber belajar bagi masyarakat.
Keberadaan Modul PPG ini sangat penting karena menjadi salah satu
sumber belajar mahasiswa PPG di Kementerian Agama RI. Melalui modul
ini para mahasiswa Program PPG dapat melakukan reskilling (melatih
kembali) atau bahkan upskilling (meningkatkan kemampuan), sehingga
memenuhi syarat untuk menjadi guru profesional.
Saya menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang terlibat
dalam penyusunan dan penyuntingan Modul PPG di lingkungan Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam. Semoga Modul PPG ini bermanfaat bagi
Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan dapat
digunakan sebagai rujukan bagi dosen dan mahasiswa Program PPG di
lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Jakarta, Januari 2023
Direktur Jenderal,
Ttd

Muhammad Ali Ramdhani

iv
Sambutan

Panitia Nasional PPG Dalam Jabatan


Kementerian Agama RI

Kualitas penyelenggaraan sebuah pendidikan berkaitan erat dengan


ketersediaan bahan ajar atau sumber belajar. Sebuah proses pendidikan juga
akan terlihat maksimal hasilnya jika didasari dengan ketercukupan dalam
mengakses referensi. Begitulah kira-kira yang dapat dijadikan alasan
mengapa Direktorat Jenderal pendidikan Islam berkepentingan untuk
menyediakan modul Pendidikan Profesi Guru.
Sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa peraturan perundang-
undangan memang mengamanatkan bahwa guru sebagai pendidik wajib
tersertifikasi, disamping harus sudah memenuhi kualifikasi, memiliki
kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan nasional. Sertifikat pendidik diperoleh melalui
mekanisme pendidikan profesi. Pendidikan profesi juga sekaligus juga
menjadi media meningkatkan kompetensi. Kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,
dikuasai, dan diaktualisasikan dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Terwujudnya profesionalitas itu, merupakan bentuk komitmen pemerintah
dalam hal ini Kementerian Agama RI dalam menciptakan kecerdasan anak
bangsa sesuai bunyi Pembukaan Undang-undang Dasar 45.
Sejak tahun 2017, proses sertifikasi guru tidak lagi ditempuh melalui
jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Seluruh guru
diwajibkan mengikuti sertifikasi melalui jalur pendidikan profesi, yang
selanjutnya dikenal dengan istilah pendidikan profesi guru disingkat PPG.
Untuk mendukung pelaksanaan PPG ini, sumber belajar seperti
halnya modul-modul untuk pengayaan kompetensi professional dan
pedagogik serta perangkat pembelajaran harus disediakan.
Jumlah keseluruhan modul yang dibutuhkan untuk penguatan
konten keagamaan pada guru PAI dan madrasah sebanyak 48 (empatpuluh
delapan) dari 8 (delapan) mata pelajaran, yakni; PAI, Fiqh, Quran-Hadis,
Akidah Akhlak, SKI, Bahasa Arab, Guru Kelas MI dan Guru Kelas RA.
Dalam setiap mata pelajaran disediakan 6 modul. Keberadaan 6 (enam)
modul tersebut menggambarkan ketuntasan kajian setiap mata pelajaran.
Saya menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang
membantu dalam penyelesaian modul, termasuk bagi para penyunting

v
yang memeriksa dan mengoreksi beberapa kesalahan kecil dalam modul-
modul tersebut yang tentu perlu masukan dan saran untuk perbaikan yang
lebih baik pada edisi berikutnya.
Kita semua berharap semua modul tersebut dapat mewakili
keseluruhan materi yang dibutuhkan dan dapat memberikan manfaat bagi
para mahasiswa peserta PPG.

Jakarta, Januari 2023

ttd

Ahmad Zainul Hamdi

vi
DAFTAR ISI
Sambutan Direktur Jenderal Pendidikan Islam .............................................................. iv
Sambutan Panitia Nasional PPG Dalam Jabatan Kementerian Agama RI ................. v
DAFTAR ISI............................................................................................................................. ix
PENDAHULUAN ................................................................................................................... ix
A. Peta Konsep ............................................................................................................... ix
B. Rasional ..................................................................................................................... ix
C. Deskripsi Singkat ...................................................................................................... ix
D. Relevansi .................................................................................................................... x
E. Petunjuk Belajar ........................................................................................................ x
KEGIATAN BELAJAR 1 : ‘ARIYAH ................................................................................... 1
A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan .................................................................. 1
B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan ............................................................. 1
C. Uraian Materi ............................................................................................................ 1
D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi ‘Ariyah ......... 10
E. Latihan ....................................................................................................................... 10
F. Daftar Pustaka ........................................................................................................... 11
KEGIATAN BELAJAR 2 : JUAL BELI DAN KHIYAR .................................................... 13
A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan .................................................................. 13
B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan ............................................................. 13
C. Uraian Materi ............................................................................................................ 13
D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Jual Beli
dan Khiyar ................................................................................................................. 39
E. Latihan ....................................................................................................................... 39
F. Daftar Pustaka ........................................................................................................... 40
KEGIATAN BELAJAR 3 : SYIRKAH DAN MUDARABAH ......................................... 42
A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan .................................................................. 42
B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan ............................................................. 42
C. Uraian Materi ............................................................................................................ 42
D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Mooderasi Beragama dalam Materi Syirkah
dan Mudarabah ........................................................................................................ 54
E. Latihan ....................................................................................................................... 55
F. Daftar Pustaka ........................................................................................................... 55
KEGIATAN BELAJAR 4 : RIBA .......................................................................................... 57
A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan .................................................................. 57
B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan ............................................................. 57

vii
C. Uraian Materi ............................................................................................................ 57
D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Riba .............. 67
E. Latihan ....................................................................................................................... 67
F. Daftar Pustaka ........................................................................................................... 68

viii
PENDAHULUAN
A. Peta Konsep

Modul 4

KB 4
KB 1 KB 2 KB 5
Syirkah
Ariyah JUAL BELI Khiyar Riba
Mudarabah

Pengertian
Jual Beli Khiyar SYIRKAH MUDARAABAH Pengertian Riba
Ariyah

Rukun Syarat Pengertian Jual Pengertian Pengertian Pengertian Macam –


Ariyah Beli Khiyar Syirkah Mudarabah Macam Ribah

Pandangan
Macam – Dasar – Dasar Rukun Dan Rukun
Rukn Jual Beli Ulama Tentang
Macam Ariyah Khiyar Syarat Syirkah Mudarabah
Bunga Baik

Konsekuensi Syarat – Syarat Macam – Jenis – Jenis Syarat – Syarat


Implikasi Riba
Hukum Ariyah Jual Beli Macam Khiyar Syirkah Mudarabah

Macam – Cara Implementasi


Prinsip – Prinsip Hukum Negara
Macam Akad Menggabungkan Syirkah Dalam
Mudarabah Riba
Jual Beli Khiyar Masyarakat

Putusnya
Sebab – Sebab Jenis – Jenis
Kerjaama
Larangan Khiyar Budarabah
Syirkah

Hukum Khiyar Ketentuan


Dalam Jual Beli Pembiayaan
Online Mudarabah

Hukum Khiyar

B. Rasional
Dalam modul ini, akan dipelajari berbagai hal agar mampu
memahami dan menguasai aturan hukum Islam dan dalil-dalil tentang
‘ariyah, yang di dalamnya membahas pengertian dan hukum ‘ariyah,
syarat dan rukun ‘ariyah, macam-macam ‘ariyah, dan konsekuensi hukum
‘ariyah. Selanjutnya akan dipelajari tentang jual beli dan khiyar, mulai dari
pengertian, dasar hukum, macam-macamnya, syarat dan rukunnya.
Setelah itu, akan dipelajari tentang syirkah dan mudarabah, mulai dari
pengertian, dasar hukum, macam-macam, dan syarat-rukunnya. Terakhir,
akan dipelajari tentang riba dan segala ketentuan hukumnya.

C. Deskripsi Singkat
Secara sederhana, modul ini akan mempelajari empat bab utama:
1. ‘Ariyah
2. Jual beli dan Khiyar

ix
3. Syirkah dan Mudarabah
4. Riba

D. Relevansi
Modul ini sangat relevan dipelajari oleh semua kalangan, baik
akademisi maupun praktisi. Untuk para kalangan akademisi, modul ini
menyajikan persoalan akademik, baik yang sudah baku menjadi
kesepakatan umum maupun persoalan-persoalan fikhiyah yang bersifat
khilafiyah. Bagi para praktisi, modul ini berguna untuk menemukan
panduan praktis bagaimana memetakan ‘ariyah, jual beli, khiyar, syirkah,
mudarabah, dan riba karena persoalan-persoalan tersebut sangat erat
dengan kehidupan sehari-sehari.

E. Petunjuk Belajar (Self Instruction)


Proses pembelajaran PPG pada modul Pendalaman Materi Fikih
yang sedang Bapak/Ibu ikuti sekarang ini, dapat berjalan dengan lebih
lancar bila Bapak/Ibu mengikuti langkah-langkah belajar sebagai berikut:
1. Pahami dulu mengenai berbagai kegiatan penting dalam PPG mulai
tahap awal sampai akhir!
2. Lakukan kajian terhadap proses pembelajaran Fikih yang telah ada dan
yang telah dilakukan di tempat kerja Bapak/Ibu, sebagai contoh atau
acuan!
3. Pelajari terlebih dahulu Kegiatan Belajar 1 lalu kegiatan belajar
selanjutnya!
4. Seteleh membaca materi setiap kegiatan belajar, kerjakanlah tugas yang
diminta!
5. Jawablah tes formatif setiap selesai satu kegiatan tanpa melihat kunci
jawaban terlebih dahulu. Setelah itu, cocokkan dengan kunci jawaban
yang ada untuk mengetahui ketuntasan belajar Bapak/Ibu!
6. Keberhasilan proses pembelajaran Bapak/Ibu dalam mata kegiatan ini
sangat tergantung kepada kesungguhan Bapak/Ibu dalam
mengerjakan latihan. Untuk itu, berlatihlah secara mandiri atau
berkelompok dengan teman sejawat!
7. Bila Bapak/Ibu menemui kesulitan, silakan hubungi instruktur
pembimbing atau fasilitator yang mengajar.
Baiklah Bapak/Ibu perserta PPG selamat belajar! Semoga
Bapak/Ibu sukses memahami pengetahuan yang diuraikan materi

x
pendalaman materi Fikih ini menjadi bekal bertugas guru Fikih dengan
baik.

xi
KEGIATAN BELAJAR 1
‘ARIYAH

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil tentang
‘ariyah, serta penerapannya dalam masyarakat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian dan hukum ‘ariyah;
2. Menganalisis rukun dan syarat ‘ariyah;
3. Membedakan macam-macam ‘ariyah dan tanggung jawab atasnya;
4. Menganalisis konsekuensi hukum ‘ariyah.

C. Uraian Materi
1. Pengertian ‘Ariyah
Untuk membedakan antara pinjam-meminjam yang
diperbolehkan oleh syariat agama dari praktik riba yang dilarang,
misalnya, maka perlu pemahaman yang utuh tentang definisi pinjam-
meminjam ini. Pinjaman bisa disebut juga sebagai ‘ariyah. Secara
semantik, ‘ariyah berasal dari akar kata a-‘ara yu’iru i’arah, meminjam
sesuatu, mengeluarkan sesuatu dari tangan pemiliknya kepada tangan
orang lain.
Empat mazhab fikih memiliki pengertian yang berbeda namun
hampir sama. Mazhab Hanafiyah memiliki pengertian, yaitu:
‫متليك املنافع بغري عوض‬
Memilikkan manfaat pada orang lain tanpa harus ada ganti rugi.
Menurut Malikiyah, ‘ariyah adalah:
‫متليك منافع العني بغري عوض‬
Memilikkan berbagai manfaat dari suatu benda tanpa harus ada ganti
rugi.
Sedangkan menurut Syafi’iyah, ‘ariyah memiliki arti:
‫اابحة االنتفاع مبا حيل االنتفاع به مع بقاء عينه لريده‬
Mengijinkan mendapat manfaat dari barang yang memiliki manfaat
dengan catatan wujud barang tersebut tetap demi bisa
mengembalikannya.

1
Adapun menurut Hanabilah, ‘ariyah berarti:
‫اابحة االنتفاع بعني من أعيان املال‬
Membolehkan mendapat manfaat atas sebuah barang yang termasuk
dari harta kekayaan.
Selain empat imam mazhab, ada juga ulama lain seperti Ibnu
Rif’ah yang berpendapat bahwa ‘ariyah adalah membolehkan
seseorang mengambil manfaat dari suatu barang dengan jalan yang
halal, namun wujud barang tersebut harus utuh dan dapat
dikembalikan kepada pemiliknya.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ‘ariyah bagian dari tolong
menolong. Sementara hukum tolong menolong adalah sunah.
Pinjaman adalah bagian dari amal kebaikan yang merupakan
manifestasi konkret dari prinsip tolong-menolong. Allah swt mencela
manusia yang enggan tolong menolong sesamanya.
Sebagaimana Ibnu Katsir, Sayyid Sabiq juga mengatakan bahwa
tolong menolong dalam ‘ariyah adalah amalan sunah. Hal senada
disampaikan oleh ulama lain, seperti al-Ruyani yang dikutip oleh
Taqiyuddin, bahwa hukum ‘ariyah adalah wajib ketika Islam baru
bangkit. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan ‘ariyah
atau pinjam-meminjam ini adalah firman Allah swt. dalam QS al-
Maidah/5: 2 sebagai berikut:
-٢- ‫اإل ِّْْث َوالْ ُع ْد َوا ِّن و‬
ِّ ‫وتَ َعاونُواْ َعلَى الْ ِّرب والتَّ ْقوى والَ تَ َعاونُواْ َعلَى‬
َ َ َ َ َ َ
(Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan takwa
dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan
permusuhan).
Sedangkan dalil hadis sebagai berikut:
‫ عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال (من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى هللا عنه ومن أخذ يريد‬:‫عن أيب هريرة رضي هللا عنه‬
)‫إتالفها أتلفه هللا‬

(Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, ”Siapa yang
meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka
Allah akan membayarkannya, barang siapa yang meminjam hendak
melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya)”. (HR.
Bukhari).
Berdasarkan hal tersebut, Islam sesungguhnya sangat
menganjurkan untuk saling tolong menolong pada hambanya.

2
‘Ariyah (pinjam meminjam) adalah bentuk dari sikap dan perilaku
tolong menolong. Jadi, ‘ariyah merupakan ajaran Islam yang perlu
dikembangkan dalam interaksi sosial kehidupan umat.

2. Rukun dan Syarat ‘Ariyah


Sebelumnya telah kita bahas tentang definisi ‘ariyah. Islam
dengan ajaran al-Qur’an maupun hadisnya telah mengijinkan umat
Islam untuk melakukan transaksi pinjam-meminjam, dan hal itu
adalah bagian dari amalan sunah karena ‘ariyah bernuansa tolong-
menolong dan tidak untuk membebani orang lain. Untuk itulah, ilmu
fikih kemudian menentukan secara lebih detail tentang rukun-rukun
dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi ‘ariyah.
Ilmu fikih secara detail membahas tentang rukun-rukun ‘ariyah.
Berikut ini adalah rukun-rukun ‘ariyah.
a. Mu’ir
Mu’ir adalah pihak yang meminjamkan atau mengizinkan
penggunaan barang untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Beberapa
syarat yang harus ada pada mu’ir yaitu:
1) Ahli al-Tabarru, yakni memiliki hak penuh untuk memberikan izin
atas pemanfaatan barang;
2) Mukhtar, yakni tidak dalam keadaan dipaksa oleh pihak lain. Akad
‘ariyah hanya sah dilakukan jika peminjaman barang itu atas dasar
kehendak atau inisiatif sendiri, bukan atas dasar tekanan atau
paksaan.
b. Musta’ir
Musta’ir adalah pihak yang meminjam barang atau orang yang
mendapat izin untuk menggunakan barang. Beberapa syarat yang
harus ada pada musta’ir adalah sebagai berikut:
1) Sah mendapat hak penggunaan barang setelah melalui akad
tabarru’. Seseorang yang tidak melewati akad tabarru’, maka tidak
dapat dianggap sebagai musta’ir sehingga ia tidak bisa
menggunakan barang untuk diambil manfaatnya.
2) Mua’yan, yakni jelas dan tertentu. Orang yang meminjam harus
jelas identitasnya, nama dan alamatnya, serta identitas-identitas
lain yang menutup kemungkinan untuk menghilangkan barang
atau menghilangkan kemungkinan pengrusakan atas barang tanpa
tanggung jawab.
c. Musta’ar atau mu’ar

3
Musta’ar atau mu’ar adalah barang yang dipinjamkan. Jadi,
barang yang manfaatnya sudah diizinkan untuk dipergunakan oleh
musta’ir disebut sebagai musta’ar. Beberapa syarat yang harus ada
dalam musta’ar adalah sebagai berikut:
1) Berpotensi dimanfaatkan. Jadi, barang yang tidak mengandung
nilai guna atau nilai manfaat maka tidak bisa dipinjamkan;
2) Manfaat barang merupakan milik pihak mu’ir. Jika manfaat
barang bukan milik mu’ir, maka barang tersebut tidak bisa
dipinjamkan. Contoh, sepetak lahan disewakan oleh A kepada
B. Sekalipun lahan tersebut berstatus milik A, tetapi
manfaatnya sudah milik pihak B. Jadi, C sudah tidak bisa
mengambil manfaat pada lahan itu.
3) Syar’i, yaitu pemanfaatannya sudah legal secara agama. Jika
suatu barang mengandung nilai guna yang tidak dibenarkan
oleh agama, maka tidak boleh dipinjamkan.
4) Maqsudah, yaitu manfaat barang memiliki nilai ekonomis. Jika
ghairu maqsudah, maka barang tidak bisa dipinjamkan.
Misalnya, sebutir debu atau lainnya.
5) Pemanfaatannya tidak berkonsekuensi mengurangi fisik
barang.

d. Shighah
Shighah dalam akad ‘ariyah adalah bahasa komunikasi atau
ucapan. Sighah berfungsi sebagai penegas bahwa akad ‘ariyah
sudah dijalankan dengan baik dan benar. Sighah di sini bisa
meliputi ijab dan qabul. Ijab berarti ucapan dari mu’ir bahwa
dirinya meminjamkan barang yang mengandung nilai guna
pada musta’ir, sedangkan qabul adalah pernyataan yang
menunjukkan bahwa musta’ir telah mendapatkan izin untuk
mengambil manfaat dari barang milik mu’ir.

3. Macam-macam ‘Ariyah dan Tanggung Jawab Atasnya


Setelah mempelajari tentang rukun dan syarat transaksi ‘ariyah
yang benar menurut aturan hukum Islam, muncul pertanyaan:
seberapa lama seseorang berhak meminjam barang dan sejauh mana
barang bisa dimanfaatkan? Pertanyaan tentang tempo dan ruang
pemanfaatan barang ini mengantarkan pada konsep baru tentang

4
‘ariyah. Ada batasan atau tidak adanya batasan atas barang yang
dipinjamkan merupakan bahasan tersendiri dalam ilmu fikih.
a. Macam-macam ‘Ariyah
Terdapat dua macam ‘ariyah yaitu: ‘ariyah muqayyadah dan
‘ariyah muthlaqah.
1) ‘Ariyah Muqayyadah
‘Ariyah Muqayyadah adalah bentuk pinjam-meminjam barang
yang bersifat terikat dengan batasan-batasan tertentu. Dengan
adanya batasan ini, maka peminjaman barang harus mengikuti
batasan yang telah ditentukan atau disepakati bersama.
Pembatasan dapat berupa apa saja, baik itu pembatasan waktu
atau tempat maupun poin-poin lain yang disepakati bersama
sejak awal. Apabila batasan-batasan ini telah dilanggar, maka
pelanggar bisa dijatuhi hukuman, setidaknya dihukumi bersalah.
Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan
waktu, tempat, atau batasan lain tersebut, maka seseorang tidak
memililki pilihan lain selain mentaatinya. Contoh, mobil hanya
boleh dipinjam sehari dalam radius 100 kilometer. Batasan waktu
dan jarak tempuh untuk mobil ini harus ditaati oleh peminjam
barang.
‘Ariyah muqayyadah ini biasanya berlaku pada objek yang
bernilai besar, sehingga mu’ir merasa khawatir atas musta’ir jika
tidak diberi batasan semacam itu. Namun, jika pembatasan dari
mu’ir menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat dari
barang pinjamannya, maka musta’ir boleh melanggarnya. Contoh,
mobil hanya dibolehkan dipakai dalam radius 100 kilometer,
sedangkan kebutuhannya 1.000 km. Pembatasan yang mustahil
semacam ini memembatalkan pembatasan. Dengan demikian,
musta’ir boleh melanggar batasan selama terdapat kesulitan untuk
memanfaatkan barang pinjaman. Contoh, A meminjam mobil
pada B selama 24 jam. Tiba-tiba, di sebuah perjalanan terjadi
kecelakaan yang tidak memungkinkan musta’ir (A) untuk
mengembalikan mobil pada mu’ir (B) dalam jangka waktu 24 jam.
Sebab, mobil harus masuk bengkel dan menjalani reparasi dalam
durasi waktu yang lebih lama. Tanpa sepengetahuan dan seizin
mu’ir pun, musta’ir boleh melebihi batas waktu 24 jam.
Namun demikian jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir
dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai

5
barang, tempat, dan jenis barang, maka pendapat yang harus
dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin
untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai
dengan keinginannya. Menurut jumhur ulama, dalam konteks
‘ariyah muqayyadah, musta’ir hanya boleh memakai barang sesuai
ijin mu’ir. Dengan demikian, musta’ir pada dasarnya tidak boleh
melanggar atau melewati batas waktu, tempat, jarak, atau ukuran
yang ditetapkan oleh mu’ir,, kecuali ada izin atau kerelaan dari
mu’ir untuk melanggarnya.
2) ‘Ariyah Muthlaqah
‘Ariyah muthlaqah adalah bentuk pinjam-meminjam barang
yang tidak dibatasi oleh ketentuan apapun. Melalui akad ‘ariyah
ini, musta’ir diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang
pinjaman selama apapun dan dalam ruang seluas apapun. Jika A
menyerahkan mobil pada B tanpa ada kesepakatan berupa
pembatasan apapun, maka B berhak menggunakan mobil berapa
hari pun dan sejauh mana pun.
Apabila dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan
dengan penggunaan kendaraan mobil tersebut, misalnya terkait
waktu dan tempat mengendarainya, maka praktek tersebut
dikenal dengan ‘ariyah muthlaqah. ‘Ariyah muthlaqah ini sering
terjadi di kalangan mu’ir atau musta’ir yang sudah saling percaya
satu sama lain. Karena itulah, hukum adat menjadi berlaku.
Batas waktu dan batas ruang harus disesuaikan dengan
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan
kendaraan tersebut siang malam tanpa henti, dan dalam radius
yang sangat jauh tanpa kendali. Jika penggunaannya tidak sesuai
dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak, maka mu’ir harus
bertanggung jawab. Menurut ulama Mazhab Hanafiyah, dalam
status ‘ariyah muthlaqah, musta’ir berperan sepenuhnya sebagai
malik atau pemilik barang.
b. Tanggung Jawab atas Barang Pinjaman
Hal penting lain yang harus diperhatikan oleh musta’ir
adalah soal biaya atau nafakah barang pinjaman. Ulama
Hanafiyah mengatakan, musta’ar atau barang pinjaman itu adalah
sepenuhnya amanah dan tanggung jawab musta’ir atau si
peminjam dalam situasi atau momen-momen pemanfaatan.

6
Sebaliknya, di luar momen pemanfaatan, maka barang
pinjaman bukan tanggung jawab musta’ir, kecuali sengaja lalai
dan abai. Sebab, pada diri si peminjam itu sendiri tidak ada alasan
untuk menanggung beban tanggung jawab, kecuali sejak awal
sudah masuk kategori ‘ariyah muqayyadah. Contoh, A boleh
memakai mobil milik B dengan catatan jika hilang atau rusak, baik
lalai atau sengaja, maka wajib ganti. Ini sudah masuk kategori
muqayyadah.
Jumhur ulama mengatakan bahwa barang pinjaman
sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab si peminjam atau
musta’ir, baik sengaja maupun tidak, sesuai nominal barang saat
terjadi kerusakan. Sebab, ada sabda Nabi: “Ariyah itu tanggung
jawab,” (HR. Abu Daud, Nasai, Ahmad dan Hakim). Jadi, tidak
ada alasan lain selain bertanggung jawab sepenuhnya.

4. Konsekuensi Hukum ‘Ariyah


a. Pertentangan Perspektif antara Mu’ir dan Musta’ir
Barang pinjaman atau musta’ar adalah barang yang bisa
mendatangkan manfaat bila dipakai dalam jangka waktu tertentu dan di
ruang tertentu. Barang tersebut pada dasarnya adalah milik dari seorang
pemberi pinjaman atau mu’ir, dan berpindah tangan kepada orang yang
meminjam atau musta’ir. Apabila di tengah perjalanan tiba-tiba ada
perubahaan perasaan dari mu’ir, bolehkah dirinya menarik barang yang
menjadi hak miliknya tersebut? Apakah musta’ir wajib mengembalikan
barang pinjamannya, padahal belum habis waktu yang disepakati atau
bahkan belum sedikit pun mengambil manfaat dari barang tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu terlebih dahulu mengerti
hakikat status kepemilikan barang pinjaman atau musta’ar. Menurut
mayoritas ulama, barang pinjaman yang ada di tangan musta’ir berstatus
sebagai semi-hak milik (milk ghair lazim). Sebab, barang yang
bersangkutan adalah hak milik penuh dari mu’ir. Konsekuensi
pandangan mayoritas ulama tersebut adalah bahwa mu’ir dapat menarik
barang hak miliknya yang dipinjamkan pada orang lain tersebut kapan
saja dan di mana saja. Hal yang serupa berlaku pada musta’ir yang boleh
mengembalikan barang pinjamannya itu kapan saja dan di mana saja
sesuai yang dia kehendaki.

7
Pendapat lain datang dari ulama Mazhab Malikiyah yang
mengatakan bahwa seorang mu’ir tidak boleh menarik barangnya
yang sudah dipinjamkan kepada orang lain sebelum barang tersebut
mendatangkan manfaat atau telah digunakan. Perbedaan pendapat
antara mayoritas ulama dan mazhab Malikiyah ini harus dipahami
dengan benar. Penyelesaian konflik sosial dapat dilihat dari dua sudut
pandang ini. Misalnya, jika seseorang yang bernama (A) meminjam
suatu barang terhadap orang yang bernama (B), maka (A) boleh
menarik barang itu kapan saja dan di mana saja. Demikian pula (B)
boleh mengembalikannya kapan saja dan di mana saja. Hal ini
tidaklah menimbulkan konflik sosial jika (A) dan (B) sudah sama-
sama mengerti. Tetapi, jika (A) dan (B) terjadi konflik atau
permusuhan sebelum barang digunakan, maka mereka sebagai mu’ir
dan musta’ir akan memperebutkan barang pinjaman. A pasti ngotot
untuk menarik barang dari B, sedangkan B ngotot untuk tidak
mengembalikan barang dengan alasan belum memanfaatkannya
sedikit pun. Mazhab Malikiyah dapat digunakan untuk
menyelesaikan kasus seperti ini. Dalam hal ini, A wajib mengalah dan
memberikan kesempatan bagi B untuk memanfaatkan barang yang
dipinjamnya.
b. Pertentangan Klaim antara Mu’ir dan Musta’ir
Pertentangan klaim sering terjadi. Berikut ini adalah aspek-
aspek yang sering terjadi di masyarakat:
1) Pertentangan klaim soal jenis akad dan kesepakatan;
2) Pertentangan klaim soal barang yang hilang atau rusak;
3) Pertentangan klaim soal pengembalian.
Seseorang merasa barang yang ada di tangannya itu adalah
barang pinjaman, sehingga saat mengembalikan barang tersebut
kepada pemiliknya tidak diwajibkan memberikan upeti tertentu.
Sedangkan orang yang memiliki barang merasa bahwa barangnya
yang dipinjamkan itu adalah barang sewaan, sehingga harus
dikembalikan beserta uang sewanya. Jika barang rusak maka harus
diganti biaya perawatan dan ganti rugi.
Dalam kasus pertentangan klaim di atas, apakah barang itu
barang pinjaman atau barang sewaan maka klaim musta’ir adalah
klaim yang dimenangkan. Yaitu, klaim bahwa barang yang ada di
tangannya adalah barang pinjaman, bukan barang sewaan. Namun,

8
musta’ir harus diikat dengan sumpah bahwa dirinya memang
meminjam bukan menyewa.
Kasus lain yang mungkin melibatkan pertentangan klaim
adalah soal pengembalian barang, apakah barang sudah
dikembalikan atau belum dikembalikan. Boleh saja seorang musta’ir
mengatakan bahwa dirinya telah mengembalikan barang yang
pernah dipinjamnya. Sedangkan mu’ir menolak itu dan mengatakan
bahwa barang belum dikembalikan.
Dalam kasus seperti itu, klaim dari mu’ir adalah klaim yang
dimenangkan dengan catatan, mu’ir wajib bersumpah atas
pernyataannya. Mu’ir harus bersumpah bahwa barang miliknya
belum dikembalikan. Setelah bersumpah selesai, maka klaimnya
adalah klaim yang harus dimenangkan.
c. Tempo Berakhirnya Akad ‘Ariyah
Kapan transaksi akad ‘Ariyah berakhir? Ada banyak alasan
yang bisa menyebabkan akad ‘ariyah itu berakhir. Berikut ini adalah
momen dan faktor yang mengakhiri akad ‘ariyah.
1) Mu’ir meminta barang untuk dikembalikan oleh musta’ir. Apabila
dua belah pihak sepakat untuk mengembalikan barang/musta’ar,
maka secara otomatis traksaksi sebelumnya sudah selesai/berakhir.
2) Musta’ir mengembalikan barang yang dipinjam kepada mu’ir baik
sesudah tempo yang disepakati berdua maupun sebelum tempo itu
berakhir. Sebab, akad ‘ariyah adalah akad yang jaiz, artinya boleh
dikembalikan kapan saja.
3) Salah satu dari dua pihak (mu’ir dan musta’ir) menjadi tidak lagi
cakap hukum dalam melakukan akad ‘ariyah. Hal itu bisa
disebabkan oleh kegilaan dari salah satunya. Jika mu’ir atau musta’ir
kehilangan akal sehat maka akad ‘ariyah dengan sendirinya sudah
batal.
4) Salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak bisa melanjutkan
tasharruf. Hal itu bisa disebabkan oleh kematian. Apabila salah satu
dari mu’ir atau musta’ir adalah yang meninggal dunia, maka akad
‘ariyah berakhir dengan sendirinya. Apabila salah satu faktor ini
terjadi maka akad ‘ariyah berakhir secara otomatis. Tidak ada salah
satu pihak yang bisa melanjutkan argumentasi atau memperpanjang
persoalan. Sebab, dua orang yang melakukan transaksi sudah tidak
bisa dikonfirmasi lagi.

9
D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi ‘Ariyah
‘Ariyah merupakan salah satu bentuk muamalah dan termasuk
transaksi tolong menolong. Dalam transaksi ini, suatu barang dapat
diserahkan kepada pihak tertentu untuk diambil manfaatnya dan
dikembalikan setelah pemanfaatan barang tersebut. Salah satu jenis
transaksi ‘ariyah adalah ‘ariyah muqayyadah yang mana pihak peminjam dan
pemilik berkewajiban menyepakati batas waktu dan penggunaan barang
pinjaman.
Keharusan adanya musyawarah untuk menyepakati waktu dan
penggunaan barang pinjaman ini merupakan implementasi dari nilai
toleransi dalam moderasi beragama sehingga tidak terdapat pertikaian
dalam transaksi tersebut. Selain itu, nilai toleransi juga diperlukan ketika
terjadi perbedaan pendapat atau pertikaian antara mu’ir dan musta’ir
terkait pembatasan pemanfaatan barang pinjaman. Hal ini mengingat
peristiwa atau kasus yang bisa saja terjadi diluar perkiraan yang
menyebabkan tidak sesuainya kesepakatan dengan fakta di lapangan. Hal
ini mengaruskan adanya sikap toleransi atas perbedaan pendapat tersebut
sebagai bentuk implementasi nilai moderasi beragama dalam kehidupan
beragama.
Selain nilai toleransi, nilai moderasi beragama apa saja yang dapat
Saudara peroleh dari materi ‘ariyah ini?

E. Latihan
Fahmi meminjam mobil pada Lukman untuk pergi berwisata ke
puncak. Ketika sampai di vila tempatnya menginap, Fahmi meminjamkan
mobil tersebut kepada teman anaknya, Romi pergi ke pasar yang kebetulan
juga menyewa vila yang bersebelahan dengan vila sewaan mereka. Dalam
perjalanan ban mobil yang dipakai Romi robek sehingga harus diganti.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas lalu kemukakan jawaban
Saudara terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut!
1. Bagaimana perilaku Fahmi meminjamkan mobil yang ia juga
pinjam kepada Lukman?
2. Siapa yang bertanggung jawab mengganti ban mobil yang robek
tersebut?

10
3. Kapan akad ‘ariyah (pinjam-meminjam) antara Fahmi dan
Lukman berakhir?

F. Daftar Pustaka
Abd. Rahman, dkk. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2010.
Abdur Rahman I. Muamalah (Syari‟ah III). Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
al-Anshari, Imam Abi Zakaria. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah.
al-Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam
Islam. Jakarta: Amzah, 2014.
Basyir. Asas – Asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam)
Basyith, Ahmad Azhar. Asas-asa Hukum Mu’amalah. Yogyakarta: UII Pres,
1990.
Daud, Ali Mahmud. Hukum Islam di Indonesia: Pengantar Hukum Islam dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo, 1993.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ibn Abidin¸ Ad-Dar-Al-Muhtar, Hasan, Ali, Bebagai Macam Transaksi dalam
Islam,
Ibn Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka
Setia, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Jld. III, Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Sahroni, Oni. Fikih Muamalah. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2016.
Syafii, Imam. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986.
Syarifuddin, Amir. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pranada Media, 2005.
Thayar, Abdullah bin Muhammad, dkk. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2004.
al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Jilid IV, Cet. IV;
Beirut: Dar al-Fikr al- Muashir, 2005.

11
Ibn Rusyd, Abu al-Walid bin Muhammad bin Ahmad, Bidayah al-
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Berikut: Dar al-Kitab al-
‘Ulumiyyah, 1983,jilid 2.
Al-Dasuqi, Muhammad bin Ahmad bin Arafah, Hasyiyah al-Dasuqi
‘ala Ummi al-Barahin, Berikut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1989, jilid
3

12
KEGIATAN BELAJAR 2
JUAL BELI DAN KHIYAR

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil tentang
jual beli dan khiyar serta aplikasinya dalam masyarakat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian dan hukum jual beli;
2. Menganalisis rukun dan syarat jual beli;
3. Membedakan bentuk-bentuk jual beli;
4. Menganalisis pengertian khiyar;
5. Membedakan macam-macam khiyar;
6. Menganalisis sebab-sebab berakhirnya khiyar;
7. Menganalisis hikmah khiyar.

C. Uraian Materi
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab sering disebut dengan kata al-bai', al-
tijarah, atau al-mubadalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam
QS Fathir/35: 29:
ِّ
َ ُ‫يَْر ُجو َن ِتَ َارًة لَّن تَب‬
-٢٩- ‫ور‬

Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.


Secara bahasa, jual beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'in bi
syai'in (‫)مقابلة ش ْي بش ْي‬. Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab mengatakan bahwa jual beli adalah ( ‫مقابلة مال بمال‬
‫ )تمليكا‬yang berarti: tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan.
Sementara itu, Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni menjelaskan
bahwa jual beli sebagai (‫ )مبادلة المال بالمال تمليكا تملكا‬yang artinya pertukaran
harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.
Dari pengertian di atas, jual beli adalah “Menukar barang dengan
barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan
melepaskan hak kepemilikan dari pihak yang satu kepada pihak yang
lain atas dasar saling merelakan".

13
Jual beli adalah aktivitas ekonomi yang hukumnya boleh. Hal ini
berdasarkan nash al-Qur’an dan hadis serta ijmak dari seluruh umat
Islam. Dalam QS al-Baqarah/2: 275, Allah berfirman:
ِّ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم ر‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ر‬
َ ‫َوأ‬
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan
riba.”
Sedangkan dari hadis Rasulullah saw bersabda:
َِّ ‫اَن‬
‫َج ًيعا أ َْو‬ ِّ َ‫اح ٍد ِّمْن ُهما ِّاب ْْلِّي‬
َ ‫ار َما َلْ يَتَ َفَّرقَا َوَك‬ ِّ ‫الرجالَ ِّن فَ ُك ُّل و‬ ِّ
ُ َّ ‫ أَنَّهُ قَا َل « إ َذا تَبَايَ َع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬
َِّّ ‫ول‬ِّ ‫اب ِّن ُعمر َعن رس‬
ُ َ ْ ََ ْ
َ َ
‫اح ٌد ِّمنْ ُه َما‬
ِّ ‫ك فَ َق ْد وجب الْب يع وإِّ ْن تَ َفَّرقَا ب ع َد أَ ْن تَباي عا وَل ي ْْت ْك و‬ ِّ ِّ َ ‫ُُيَِّرري أَح ُد ُُهَا‬
َ ُ َ ْ َ ََ َ َْ َ ُ َْ َ َ َ َ ‫اآلخَر فَتَ بَايَ َعا َعلَى ذَل‬
َ ‫َح ُد ُُهَا‬
َ ‫اآلخَر فَإ ْن َخ ََّري أ‬ َ ُ
.» ‫ب الْبَ ْي ُع‬
َ ‫الْبَ ْي َع فَ َق ْد َو َج‬
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang
melakukan jual beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar
(memilih antara membatalkan atau meneruskan jual beli) selama mereka
belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara
keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah
seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas
dasar itu, maka jadilah jual beli itu”. (HR. Muttafaq alaih).
Pada hadis yang lain, Nabi bersabda:
‫ اي رسول هللا أي الكسب اطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبور‬: ‫عن رفاعة بن رافع قال قيل‬

Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya:
Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau bersabda: “Pekerjaan sese-
orang dengan tangannya dan setiap jual beli yang bersih”. (HR Ahmad).

2.Rukun Jual Beli


Sebuah transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun yang
harus terpenuhi untuk sahnya jual beli. Rukun jual beli, ada tiga, yaitu:
a. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka
yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi
muamalah. Ahliyah itu berupa keadaan pelaku yang harus berakal
dan baligh. Dengan rukun ini, maka jual beli tidak memenuhi
rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau

14
tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk
orang yang kurang akalnya.
Demikian juga jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang
belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan
hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila
seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual
beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah, sebagaimana
dibolehkan jual beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan,
tetapi bukan sebagai penentu jual beli. Misalnya, seorang ayah
meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah toko.
Jual beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli
adalah ayahnya, sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan
atau suruhan saja.
b. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk
bertukar dalam jual-beli. Misalnya: “Aku jual barang ini kepada
anda dengan harga Rp 10.000", lalu pembeli menjawab, "Aku
terima." Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus
dengan lafaz yang diucapkan, kecuali bila barang yang
diperjualbelikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun,
ulama lain membolehkan akad jual beli dengan sistem mu'athah,
(‫ )معاطة‬yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
bertransaksi tanpa mengucapkan lafaz.
c. Adanya Barang/Jasa yang Diperjualbelikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang
diperjual belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang
diperjual belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh
dilakukan akad. Agar jual beli menjadi sah secara syariah, maka
barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat,
salah satunya adalah suci.
Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dalam arti
bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis
yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging
babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan
lainnya. Akan tetapi, Mazhab Hanbali menetapkan bahwa
kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, hukumnya tidak
najis. Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw.

15
‫ أنه مسع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول عام الفتح وهو مبكة ( إن‬:‫عن جابر بن عبد هللا رضي هللا عنهما‬
) ‫هللا ورسوله حرم بيع اْلمر وامليتة واْلنزير واألصنام‬

Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah


saw. bersabda di Mekah pada tahun penaklukan kota itu:
”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras,
bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)

3. Syarat-Syarat Jual Beli


a. Syarat bagi orang yang melakukan akad (‫)عاقد‬, antara lain:
1) Baligh (Berakal)
Pihak yang bersangkutan, pembeli dan penjual, harus
sudah dewasa, cakap, dan dalam kondisi sadar saat
melakukan transaksi. Artinya tak ada penipuan,
pengelabuan terhadap salah satu pihak karena sedang
tidak sadar, atau masih anak-anak.
2) Beragama Islam
Hal ini berlaku untuk pembeli (khusus kitab suci
al-Qur’an/budak muslim), bukan penjual. Hal ini dijadikan
syarat karena dihawatirkan jika orang yang membeli
adalah orang kafir, maka mereka akan merendahkan atau
menghina Islam dan kaum muslimin (Syafi’iyah dan
Malikiyah). Bila bukan al-Qur’an dan budak, maka tidak
disyaratkan beragama Islam.
3) Tidak Dipaksa
Pelaku transaksi tidak bisa dipaksa. Bila seseorang
dipaksa untuk melakukan transaksi jual beli, maka
transaksinya dianggap tidak sah.
b. Syarat ma’qud ‘alaih, barang yang diperjualbelikan antara lain:
1) Suci atau mungkin disucikan
Tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi
dan lain-lain. Dalam hadis disebutkan:
‫ أنه مسع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول عام الفتح وهو مبكة ( إن هللا ورسوله‬: ‫عن جابر بن عبدهللا‬
) ‫حرم بيع اْلمر وامليتة واْلنزير واألصنام‬

16
Dari Jabir r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda
pada hari pembebasan Mekah, “Sesungguhnya Allah dan
Rasulnya telah mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi,
dan berhala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2) Bermanfaat
3) Dapat diserahkan secara cepat atau lambat
4) Milik sendiri
5) Diketahui (dilihat)
Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui
banyak, berat, atau jenisnya. Dalam sebuah hadis
disebutkan:
‫ هنى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم عن بيع احلصاة وعن بيع الغرر‬: ‫عن أيب هريرة قال‬

“Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. telah


melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli
yang mengandung tipuan.” (HR Muslim)
c. Syarat sah ijab qabul
1) Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak
boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau
sebaliknya yang mengindikasikan penolakan menerima;
2) Tidak diselingi kata-kata lain;
3) Tidak ditaklikkan (digantungkan) dengan hal lain.
Misalnya “Jika bapakku mati, maka barang ini aku jual
padamu”
4) Tidak dibatasi waktu. Misal, “Barang ini aku jual padamu
satu bulan saja”

4. Macam-macam Akad Jual Beli


Dari segi barang yang dapat dipertukarkan, akad jual beli dapat
dibagi menjadi empat macam. Pertama sistem barter, yaitu pertukaran
benda tertentu dengan benda lain (bai’ al-‘ain bi al-‘ain), seperti menukar
pakaian dengan beras. Kedua akad jual beli, yaitu menjual benda
tertentu dengan tidak tertentu (bai’ al-‘ain bi al-dain), seperti menjual
barang dengan uang logam atau uang kertas. Ketiga akad sharf, yaitu
menjual benda tidak tertentu dengan benda tidak tertentu lainnya (bai’
al-dain bi al-‘ain), seperti menjual uang rupiah dengan uang dolar atau
valuta lainnya yang berlaku di pasaran. Keempat, akad salam

17
(memesan barang), yaitu menjual benda tidak tertentu dengan benda
lain yang tertentu (bai’ al-dain bi al-‘ain). Benda yang dipesan merupa-
kan barang yang dijual dan merupakan barang tidak tertentu.
Sedangkan modal merupakan harga yang dapat berupa benda tertentu
atau benda tidak tertentu (dain), tetapi modal tersebut harus diserahkan
dalam majlis sebelum kedua belah pihak berpisah sehingga berubah
menjadi barang tertentu.
Dilihat dari segi bentuk harganya, jaul beli dapat dibagi menjadi
empat macam. Pertama murabahah, yaitu pertukaran barang dengan
harga sesuai dengan harga pertama ditambah keuntungan tertentu.
Kedua tawliyah, yaitu pertukaran dengan harga sesuai dengan harga
awal (modal) tanpa tambahan atau pengurangan apa pun. Ketiga
wadhi’ah, yaitu pertukaran dengan harga sesuai dengan harga awal
dengan mengurangi sedikit dengan kerugian tertentu. Keempat
musawamah, yaitu pertukaran barang dengan harga yang disepakati
oleh kedua belah pihak yang melakukan akad karena pada umumnya
penjual selalu menyembunyikan jumlah modalnya. Inilah sistem jual
beli yang umum digunakan saat ini.
Akad jual beli juga dapat dibagi menjadi beberapa macam
lainnya seperti akad istishna’, yaitu menjual barang sebelum barang itu
dibuat atau didatangkan. Demikian juga akad dhaman, yaitu menjual
buah ketika masih di pohon. Pembahasan berikut akan mengemukakan
beberapa jenis jual beli seperti salam, istishna’, murabahan, dan lain-lain.
a. Salam
1) Pengertian
Secara bahasa, salam (‫ )سلم‬adalah al-i'tha' (‫ )العطاء‬dan al-taslif
(‫ )التسليف‬yang berarti pemberian. Sedangkan secara istilah, salam
didefinisikan sebagai ‫( بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجال‬jual-beli
barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan
imbalan/pembayaran yang dilakukan saat itu juga).
Secara sederhana, salam dapat dikatakan sebagai jual beli
dengan hutang. Jual beli ini biasanya menghutangkan barang
dengan pembayaran uang tunai. Hal ini berkebalikan dengan
kredit, di mana kredit barang diserahkan terlebih dahulu,
sedangkan uang pembayaran menjadi hutang.

18
Dasar diperbolehkannya salam tertera di dalam al-Qur'an,
hadis, dan ijmak ulama. Firman Allah swt. dalam QS al-Baqarah/2:
282:
ِّ ِّ ِّ ِّ َّ
َ ‫ين َآمنُواْ إذَا تَ َدايَنتُم ب َديْ ٍن إ ََل أ‬
ُ‫َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬ َ ‫َاي أَيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”
Di dalam hadis Nabi saw., dalil salam diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas r.a.
‫ قدم النيب صلى هللا عليه و سلم املدينة وهم يسلفون ابلتمر السنتني والثالث‬: ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما قال‬
) ‫فقال ( من أسلف يف شيء ففي كيل معلوم إَل أجل معلوم‬

Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa ketika Nabi saw. baru tiba di
Madinah, orang-orang Madinah biasa meminjamkan buah kurma
dua tahun dan tiga tahun. Maka Nabi saw. bersabda, "Siapa yang
meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan
timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
2) Rukun Salam
Rukun di dalam akad salam harus ada ijab dan qabul dengan
sebuah pernyataan dari penjual: seperti aslamtuka (aku jual secara
salam) atau aslaftuka (aku jual secara salaf), atau dengan kata-kata
yang mudah dipahami oleh penjual dan pembeli. Misalnya lafaz:
a'thaituka salaman (aku serahkan kepadamu secara salam).
Sedangkan pembeli menjawabnya: qabiltu (saya terima), atau
radhitu (saya rela), atau kata lain yang bermakna persetujuan.
Dalam akad salam, penjual dan pembeli harus ada di tempat.
Penjual (musallim) dan pembeli (musallam ilaihi), keduanya memiliki
syarat ahliyah (kepantasan) atau wilayah. Syarat ahliyah, pemiliknya
orang yang beragama Islam, aqil, baligh, rasyid. Sedangkan syarat
wilayah orang yang menjadi wali yang mewakili pemilik aslinya
dari uang atau barang dengan penunjukan yang sah dan
berkekuatan hukum sama. Karena dalam akad salam harus ada
uang dan barang, maka uang digunakan sebagai alat pembayaran
dan barang sebagai benda yang diperjualbelikan. Uang dalam akad
salam disebut ra'sul maal, dan barang dalam akad salam disebut
musallam fiihi.

19
3) Syarat Akad Salam
Syarat sahnya akad salam harus ada uang dan barang. Uang
yang digunakan dalam akad salam harus memenuhi kriteria:
a) Jenis Nilainya
Uang yang digunakan harus jelas nilai dan kursnya. Misalnya,
apakah uang yang digunakan berbentuk rupiah atau dolar.
b) Harus Tunai
Akad salam mensyaratkan uang tunai, tanpa ada cicilan atau
apa pun. Diperbolehkan menunda pembayaran asalkan jelas
tanggal dan waktu pembayarannya.
Barang yang diperjualbelikan dalam akad salam memiliki syarat:
a. Spesifikasi Barang jelas
Barang yang dijual dalam akad salam harus ditetapkan
dengan spesifikasi tertentu. Misalnya, seorang pedagang
menjual HP merk Samsung Galaxy A52s 5G sesuai kesepakatan
penjual dan pembeli. Penjual diperbolehkan menjual Samsung
Galaxy A52s 5G pada pembeli lain, asalkan di waktu yang
ditentukan ia bisa memberikan barang kepada pembeli dalam
akad salam. Di sini, setiap kriteria yang diinginkan harus dite-
tapkan dan dipahami kedua belah pihak, sehingga pada waktu
yang telah disepakati, tidak ada komplain terhadap barang
yang diperjualbelikan.
b. Barang menjadi untung bagi Si Penjual
Dalam akad salam, barang yang diperjual belikan tidak
diserahkan pada saat akad sehingga menjadi utang bagi
sipenjual untuk menyerahkan tersebut pada saat yang
disepakati. Akad salam akan gugur jika barang diserahkan saat
terjadi akad. Hal ini sesuai hadis:
‫من أسلف يف متر فليسلف يف كيل معلوم ووزن معلوم إَل أجل معلوم‬

“Siapa yang meminjamkan buah kurma, maka harus


meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai
pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Batas Penyerahan Barang
Ada beberapa pendapat tentang penyerahan barang ini.
Mazhab Hanafiyah mensyaratkan minimal setengah hari dan
tidak boleh kurang; Ibnu Hakam membolehkan satu hari; Ibnu

20
Wahab mensyarakatkan minimal penyerahan barang 2 atau 3
hari sejak akad; dan ulama lain mensyaratkan batasnya cuma 3
hari.
c) Harus Jelas Waktu Penyerahan
Penjual dan pembeli harus memperjelas penyerahan barang
(jatuh tempo). Jatuh tempo di sini, harus jelas, tanggal bulan, tahun,
atau jumlah hari atau pekan sesuai akad antara penual dan pembeli.
Rasulullah saw. bersabda:
‫إَل أجل معلوم‬

Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah
pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
d) Barang Memungkinkan untuk Diserahkan pada Waktunya
Penjual dan pembeli harus memperhitungkan ketersediaan
barang pada saat jatuh tempo, demi terhindar dari tipu-menipu atau
mengambil keuntungan sebelah pihak. Orang tidak boleh memesan
barang yang sifatnya untung-untungan, seperti memesan buah
musiman. Nabi saw. bersabda:
‫ضَرَر َوالَ ِّضَر َار‬
َ َ‫ال‬
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan
yang lebih besar dari perbuatan. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan
dihasankan oleh Al-Albany).
e) Tempat Penyerahan Barang Harus Jelas
Seorang penjual diperbolehkan mendatangkan barang dari
mana saja. Hal ini demi memudahkan penjual, karena bisa jadi
penjual tidak bisa mendatangkan barang dari gudangnya sendiri,
sehingga ia harus membeli dari orang lain.
b. Istishna’
1) Pengertian
Istishna' adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-
yastashni'u berarti meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu
untuknya. Misalnya, orang mengatakan istashna'a fulan baitan, kita
meminta orang lain untuk membuatkan rumah.
Menurut sebagian ulama mazhab Hanafiyah, istishna’ dapat
diartikan sebagai sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan
syarat pengerjaannya. Misalnya, satu orang menemui seorang desainer,
lalu berkata:”Buatkan saya desain logo untuk perusahaan saya dengan

21
harga sekian juta”. Lalu, sang desainer menerimanya, berarti mereka
telah melakukan kesepakatan istishna’.
Menurut mazhab Hanabilah, istilah istishna’ berarti jual beli
barang pesanann yang belum dimilikinya yang tidak termasuk dalam
akad salam. Akad ini merupakan akad jual beli terhadap barang
pesanan, bukan pada pekerjaan perbuatan. Sementara, menurut
mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah mendeskripsikan akad istishna’
dengan akad salam sehingga pengertiannya ada suatu barang yang
diserahkan kepada orang lain sesuai dengan cara pembuatannya. Akad
istishna’ dapat dikatakan sebagai sebuah transaksi jual beli yang terjadi
antara pemesan sebagai pihak pertama dan produsen sebagai pihak
kedua. Produsen sebagai pihak kedua membuatkan barang atau
sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pihak pertama
sebagaimana kesepakatan yang terjalin di awal. Dalil naqli yang
menjelaskan perihal dibolehkannya akad ini adalah firman Allah swt.
dalam QS. al-Baqarah/2: 275:
ِّ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم ر‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ر‬
َ ‫َوأ‬
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba..
Ayat ini memang bersifat umum dalam sebuah transaksi jual beli.
Namun, sifat keumuman ini berarti membolehkan akad istishna’,
asalkan terhindar dari riba. Segala transaksi diperbolehkan selama
tidak ada dalil kuat yang mengharamkannya. Dalam sebuah hadis
diterangkan:
.ٌ‫يل لَهُ إِّ َّن الْ َع َج َم الَ يَ ْقبَلُو َن إِّالَّ كِّتَ ًااب َعلَْي ِّه َخ ِّاِت‬ ِّ ِّ ِّ ُ‫ َكا َن أَرا َد أَ ْن يكْت‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬
َ ‫ب إ ََل الْ َع َجم فَق‬
َ َ َ
َِّّ ‫س أ ََّن نَِِّب‬
َّ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
.ِّ‫اض ِّه ِِّف يَ ِّده‬
ِّ ‫ال َكأ َِّّن أَنْظُر إِّ ََل ب ي‬ ٍ ِّ ِّ
ََ ُ ‫ قَ َ ر‬.‫اصطَنَ َع َخامتًَا م ْن فضَّة‬ ْ َ‫ف‬
“Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. hendak menuliskan surat kepada
raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-
Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau
pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak.
Anas mengisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Hadis di atas menjelaskan sebuah deskripsi bahwa akad istishna’
telah dilakukan oleh Nabi sesuai ajaran Islam dan itu artinya
diperbolehkan secara hukum fikhiyyah. Kalangan ulama bersepakat
bahwa istishna' merupakan akad yang dibolehkan dan telah
diaplikasikan sejak dahulu tanpa ada sahabat atau ulama yang

22
mengingkarinya. Artinya, istishna’ diperbolehkan secara nash dan
dilakukan oleh orang terdahulu. Sehingga, adanya pelarangan seolah
menjadi kurang tepat.
‫األصل يف األشياء االابحة حىت يدل الدليل على حترميه‬

Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang
menunjukkan akan keharamannya.
Di era modern, kebutuhan orang mulai beragam dan bervariasi.
Maka, akad jual beli istishna’ seolah menemukan bentuk
pengaplikasiannya. Artinya, ketika orang membutuhkan seuatu
barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu yang diinginkan, tetapi
kesulitan di dapatkan di pasar, maka solusinya tentu dengan
memesan pada produsen. Dengan demikian, apabila pemesanan
semacam itu diharamkan, maka bagaimana masyarakat akan
memecahkan persoalan kebutuhan hidupnya. Tentu, hal semacam ini
perlu dipecahkan dan disikapi secara serius demi kelangsungan hidup
masyarakat.
2) Rukun Istishna’
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad
itu benar-benar terjadi: kedua-belah pihak, barang yang diakadkan,
dan shighah (ijab qabul). Ketiga rukun tersebut sebagai berikut:
a) Adanya pemesan dan produsen. Di sini, pemesan biasanya disebut
mustashni' sebagai pihak pertama. Sedangkan produsen sebagai
pihak kedua disebut shani'.
b) Barang yang diakadkan/diperjualbelikan. Barang yang diakadkan
disebut al-mahal. Dalam akad jual beli istishna’, objeknya adalah
benda atau barang harus dihadirkan atau dibuat. Sebagian ulama
berpandangan dibolehkannya akad bukan barang. Tetapi, akad
tersebut bisa berupa jasa, asalkan kedua belah pihak saling
menyepakati.
c) Adanya ijab qabul. Ijab berarti lafaz dari pemesan yang meminta
kepada produsen untuk membuatkan barang atau jasa dengan
imbalan yang ditentukan. Sedangkan, qabul berarti penerimaan
atau jawaban dari pihak produsen bahwa ia siap membuat atau
menyediakan barang atau jasa sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh pemesan.
3) Syarat Istishna’

23
Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi dalam akad istishna’,
yaitu:
a) Adanya penyebutan dan kesepakatan kriteria barang dan jasa yang
akan dilangsungkan, agar tidak ada kesalahpahaman antara kedua
belah pihak. Hal ini penting, agar saat penyerahan barang atau jasa
benar-benar sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pemesan.
b) Tidak ada batasan waktu penyerahan barang. Dalam akad istishna’,
seorang produsen atau pemesan tidak boleh memerikan tenggat
waktu, karena jika pemesan memberikan tenggat waktu, maka
akadnya berubah menjadi akad salam. Hal ini disampaikan oleh
Imam Abu Hanifah. Sementara, sebagian dari ulama Hanafiyah
(Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) berpendapat, tidak
menjadi persoalan ada tenggat waktu, karena masyarakat
terdahulu memang melakukan akad semacam itu dan akad
tersebut tidak akan berubah menjadi akad salam. Dapat dikatakan
bahwa tidak ada alasan untuk menentukan batasan waktu
penyerahan barang karena tradisi masyarakat tidak berbeda
pendapat soal dalil dan hukum syar’inya.
c) Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan
dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari
dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa
akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah
berlangsung sejak dahulu kala.
Akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang
yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'.
Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal. Akan
tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna',
maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak,
karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat Islam,
melainkan juga berdasarkan dalil dari al-Qur'an dan sunnah. Bila
demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad
istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema istishna' saja.
4) Apakah Istishna' Akad yang Mengikat?
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya
menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak
mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan, keduanya

24
berhak untuk mengundurkan diri dari akad istishna'. Produsen berhak
menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana
pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Abu Yusuf, murid Abu
Hanifah menganggap akad istishna' sebagai akad yang mengikat.
Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang dan
produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengan pesanan, maka
tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari
pesanannya. Demikian pula produsen tidak berhak untuk menjual
hasil produksinya kepada orang lain.
c. Bai’ bi Tsaman –‘Ajil
1) Pengertian
Bai` bi tsaman –‘ajil dapat dikatakan sebagai istilah baru
dalam literatur fikih Islam, walaupun secara aplikatif telah
dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu. Secara harfiyah, bai`
maknanya adalah jual beli atau transaksi. Tsaman maknanya
harga dan ajil maknanya bertempo atau tidak tunai.
Bai` bi al-tsaman ajil dapat dikatakan sebagai jual beli yang
uangnya diberikan secara bertahap atau
belakangan/ditangguhkan. Artinya, harga barang bisa berbeda
ketika barang tersebut dibeli secara tunai. Contohnya, jika HP
dibeli secara tunai seharga 2,5 juta, maka karena ditangguhkan
harganya, bisa berharga 3 juta. Artinya, harga tersebut bisa
menyesuaikan dengan naik-turunnya harga.
Bagaimana menentukan halal dan haramnya harga dalam
bai` bi al-tsaman ajil? Dalam transaksi ini, ketika harga dan barang
telah disepakati sejak awal, maka akadnya halal. Akan tetapi,
jika harga mark up tidak ditentukan sejak pertama kali transaksi,
dan memungkinkan di perjalanan waktu, ada perubahan harga,
maka akad tersebut tidak diperbolehkan, karena barang
berpotensi naik dan turun di masa depan. Artinya, harga harus
ditetapkan dan ditentukan sejak awal, dan tidak ada lagi peru-
bahan waktu pelunasan harga. Berikut ini kami sajikan beberapa
contoh bai` bi al-tsaman ‘ajil:
a) Transaksi jual beli antara harga tunai dan kredit berbeda
yang mana harga kredit lebih tinggi daripada harga tunai.

25
Misalnya, orang menjual HP dengan harga tunai 1,5 juta,
maka harga kredit menjadi 2 juta;
b) Transaksi jual beli yang tidak ada kejelasan apakah tunai atau
kredit. Misalnya, harga barang 1 juta tunai dan 2 juta kredit.
Kedua belah pihak tidak menentukan mana yang akan
diambil; tunai atau kredit. Hal ini tidak diperbolehkan atau
dilarang oleh agama;
c) Membeli harga barang dengan tangguhan, tetapi dengan
persyaratan akan dijual kembali kepada pihak produsen
dengan harga yang lebih rendah. Hal ini diharamkan di
dalam Islam karena mengandung riba;
d) Transaksi jual beli dengan syarat penjualan lagi. Misalnya,
Roni membeli rumah seharga 2 milyar dari Budi dengan
syarat Budi membeli tanah Roni dengan harga 2 milyar.
Transaksi ini dilarang, karena masuk bai’u wa syart;
e) Transaksi dengan syarat mengambil manfaat. Misalnya, Edi
menjual rumahnya kepada Deni tetapi dengan syarat Edi
akan menempatinya terlebih dahulu selama 1 tahun.
Transaksi ini memilik perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Mazhab Malikiyah dan Hanabilah membolehkan,
tetapi mazhab Syafi’iyah melarang transaksi seperti ini.
2) Kebutuhan Transaksi Bai’ bi Tsaman ‘Ajil
Jenis transaksi ini dalam Islam memiliki keuntungan,
keringanan, dan kemudahan. Hal ini dikarenakan, tidak semua
orang dapat membeli keinginannya secara kontan dan tunai.
Kadang, orang tidak dapat memiliki kebutuhan hidupnya
hanya dengan sekali bayar. Seorang karyawan akan kesulitan
memenuhi kebutuhan hidupnya untuk membeli rumah, tanah
atau mobil mengingat gaji bulanannya yang tidak mencukup.
Orang yang memiliki penghasilan pas-pasan, boleh saja
menabung uangnya untuk dibelikan ketika uangnya cukup.
Akan tetapi, di tengah kehidupan yang serba cepat dan harga
yang cenderung terus naik/meningkat, orang cenderung
berusaha memenuhi kebutuhannya sesegera mungkin. Jika pun
harus menabung, membutuhkan waktu lama untuk
mendapatkan barang yang diinginkan. Selain itu, para penjual,
biasanya berusaha untuk membuat barangnya segera laku.

26
Karena, jika barang tidak laku, maka kerugian akan ditanggung
penjual. Solusinya, penjual akan melakukan transaksi dengan
cara menjual barang secepat mungkin, walau pun
pembayarannya ditangguhkan terlebih dahulu.
Di sini, antara pembeli dan penjual sama-sama memiliki
kepentingan. Pembeli butuh barang, dan penjual butuh
barangnya segera laku. Maka, jalan keluarnya dengan
melakukan transaksi bai` bi al-tsaman ‘ajil.
3) Bai’ bi Tsaman ‘Ajil dan Sistem Bank Syariah
Bai` bi al-tsaman ‘ajil sebenarnya tidak hanya terbatas pada
pembeli dan penjual di pasar tradisional. Lembaga keuangan
seperti bank pun bisa melakukan transaksi bai` bi al-tsaman –‘ajil
di mana pihak bank memiliki uang dan tidak memiliki barang.
Jika ada orang yang ingin membeli barang, pihak bank
menyediakan barang dengan cara membeli di pasar sesuai
kebutuhan pembeli dengan mengambil keuntungan tertentu
selama tidak mengandung riba.
Prinsip jual beli adalah tukar menukar barang dengan
uang. Di sini, berlaku hukum bahwa barang yang dijual sudah
harus milik dari penjual. Pihak bank berposisi sebagai penjual
sementara nasabah sebagai pembeli. Akan tetapi, secara
aplikatif, pihak bank biasanya tidak akan melakukan penjualan
barang, tetapi meminjamkan uang atau mewakilkan kepada
pembeli untuk dibeli langsung barang yang dibutuhkan oleh
pembeli ke pasar. Dalam proses ini, biasa disebut wakalah atau
ijarah dengan konsekuensi hukum yang telah berlaku.
Akad muwakalah berupa pihak bank mewakilkan pembeli
untuk membeli barang atau pihak bank meminta tolong pada
pembeli untuk membelikan barang. Namun, kepemilikan barang
ketika dibeli tetap milik bank. Pembeli hanya dititipi untuk
membeli barang. Pihak bank hanya perlu mengecek faktur
pembelian kepada pihak yang dititipi ketika disuruh membeli.
Hal ini perlu dilakukan agar menghindari terjadinya barang
tidak dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman
uang dengan pengembalian lebih.
Resiko yang muncul dalam proses pengadaan barang,
bukan milik pembeli, tetapi tanggung jawab penjual. Transaksi

27
ini akan berlaku ketika barang sudah diterima oleh pembeli
dalam keadaan selamat. Dalam transaksi ini berlaku dua akad:
a) Akad wakalah antara bank dengan nasabah di mana saat itu
bank membeli barang dari pihak ketiga dan pembeli saat itu
bertindak sebagai wakil dari pihak bank yang melakukan
pembelian barang dari pihak ketiga.
b) Akad jual-beli kredit. Setelah barang telah terbeli, maka bank
menjual barang tersebut dengan harga yang disepakati dua
pihak. Kemudian nasabah/pembeli membayar kepada bank
dengan cara kredit atau tidak tunai.
4) Kelemahan Bai’ bi Tsaman ‘Ajil
Transaksi jual beli bai` bi al-tsaman –‘ajil sangat
memungkinkan terjadi kesalahpahaman dan melangkar hukum
fikih ketika kurang memahami prinsip syariah dan begitu
tipisnya perbedaan dengan akad yang lain. Misalnya, ketika
pihak bank menitipkan uang kepada pembeli untuk membeli
barang yang telah disepakati dalam transaksi, ada celah yang
bisa dimanfaatkan. Misalnya, pembeli tidak membeli barang
yang dimaksudkan dalam transaksi, tetapi digunakan untuk
keperluan lain, atau membeli barang dengan harga yang lebih
murah, dan sisanya digunakan untuk keperluan yang lain. Lalu
ketika jatuh tempo, pembeli akan melunasi pembayaran yang
telah disepakati di awal antara pihak bank dan pembeli.
Jika transaksi semacam ini terjadi, berarti tidak ada
bedanya dengan pinjaman uang berbunga. Alasan membeli
barang hanya bentuk tipuan. Karena, secara aplikatif yang
terjadi adalah peminjaman uang dengan pengembalian
melebihi peminjaman. Dalam transaksi semacam itu telah
terjadi transaksi riba yang dilarang, baik dalil naqli maupun
aqli.
Jika pihak bank terjebak transaksi seperti di atas berarti
telah hilang prinsip syariahnya. Prinsip syariah yang
digunakan hanya kedok untuk menipu umat. Maka, bank yang
berlabel syariah harus berhati-hati dalam melakukan transaksi
agar tidak melanggar aturan agama. Di sini, penting kiranya,
pihak bank merekrut para bankir atau karyawan yang benar-
benar memahami prinsip bank syariah. Karena, ketika bankir

28
atau karyawan tidak memiliki pemahaman ekonomi syariah,
potensi penyalahgunaan atau kekeliruan semakin besar terjadi.
d. Sharf (Jual Beli Valuta)
1) Pengertian
Sharf menurut bahasa berarti tambahan. Sedangkan
menurut istilah, sharf adalah bentuk jual beli naqdaian, baik
sejenis maupun tidak, yaitu jual beli emas dengan emas, perak
dengan perak, atau emas dengan perak, baik berbentuk
perhiasan maupun mata uang.
Transaksi sharf dibolehkan karena Nabi saw. membolehkan
jual beli komoditas ribawi satu sama lainnya Ketika jenisnya
sama dan ada kesamaan ukuran, atau jenisnya berbeda
walaupun ada ketidaksamaan ukuran dengan syarat
diserahterimakan secara tunai {kontan).
2) Syarat Sharf
Syarat-syarat sharf adalah:
a) Adanya serah terima antara kedua pihak sebelum berpisah
Dalam akad sharf, disyaratkan adanya serah terima
barang sebelum kedua pihak yang melakukan akad berpisah.
Hal itu agar tidak terjatuh pada riba nasiah. Rasul saw.
bersabda:
َّ ‫ َو‬،‫ َوالُُّْب ِّابلُِّْرب‬،‫ضةُ ِّابلْ ِّفض َِّّة‬
،‫ ِّمثْ ًال مبِِّّثْ ٍل‬،‫ َوالْ ِّملْ ُح ِّابلْ ِّملْ ِّح‬،‫ َوالت َّْمُر ِّابلت َّْم ِّر‬،‫الشعِّريُ ِّابلشَّعِّ ِّري‬ َّ ‫ َوالْ ِّف‬،‫ب‬ ِّ ‫الذ َهب ِّاب َّلذ َه‬
ُ َّ «
‫ يَ ًدا بِّيَ ٍد‬،‫َس َواءً بِّ َس َو ٍاء‬

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan


gandum jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam
dengan garam, masing-masing harus serupa, harus sama,
diserahkan dari tangan ke tangan (tunai).” (HR. Jamaah kecuali
al-Bukhari)
Apabila kedua pihak atau salah satunya berpisah sebelum
adanya serah terima kedua barang, maka keduanya menjadi
fasid atau batal karena tidak adanya serah terima. Selain itu agar
akadnya tidak berubah bentuk menjadi jual beli utang dengan
utang yang mengakibatkan adanya riba fadl.
b) Adanya kesamaan ukuran jika kedua barang sejenis

29
Apabila barang sejenis dijual dengan sejenisnya seperti
perak dengan perak atau emas dengan emas, maka tidak boleh
dilakukan, kecuali bila timbangannya sama meskipun berbeda
kualitas dan bentuknya di mana salah satunya lebih berkualitas
daripada yang lain atau lebih bagus bentuknya.
c) Terbebas dari hak khiyar syarat
Dalam akad sharf tidak diperbolehkan adanya khiyar syarat
bagi kedua pihak yang melangsungkan akad atau salah satunya
karena dalam akad sharf serah terima merupakan salah satu
syarat. Apabila pihak yang mempunyai hak khiyar
menggugurkan haknya itu di majlis (tempat akad) kemudian
kedua pihakberpisah tanpa adanya serah terima, maka akadnya
menjadi boleh. Berbeda dengan itu, khiyar ru’yah dan khiyar aib
tidak menghalangi hak kepemilikan sehingga tidak memengaruhi
serah terima sama sekali meskipun kedua pihak berpisah dari
majlis.
d) Akad dilakukan secara kontan
Di antara syarat akad sharf adalah tidak adanya
penangguhan waktu, baik dari kedua pihak maupun salah
satunya. Kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka akadnya menjadi
fasid karena sebagaimana diketahui serah terima dua barang yang
saling dipertukarkan mesti terlaksana sebelum terpisah.
Penangguhan waktu jelas akan menunda terjadinya serah terima
sehingga akad menjadi batal. Namun, apabila orang yang
menangguhkan tersebut membatalkan niatnya sebelum berpisah
dan melaksanakan aturan yang semestinya kemudian keduanya
berpisah dengan adanya serah terima, maka akad kembali lagi
menjadi boleh.
e. Jual Beli Online
Pengertian online shop adalah suatu proses pembelian barang
atau jasa dari mereka yang menjual melalui internet. Istilah lain
untuk bisnis onlinem adalah e-commerce. Tetapi yang pasti, setiap
kali orang berbicara tentang e- commerce, mereka memahaminya
sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet. Dari definisi di
atas, bisa diketahui karakteristik bisnis online, yaitu:
1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;
2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;

30
3) Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme
akad tersebut.
Jadi, yang membedakan antara bisnis online dan bisnis offline yaitu
proses transaksi (akad) dan media utama dalam proses tersebut.
Bentuk baru kegiatan jual beli ini tentu mempunyai banyak nilai
positif, di antaranya kemudahan dalam melakukan transaksi
(karena penjual dan pembeli tidak perlu repot bertemu untuk
melakukan transaksi). Online shop biasanya menawarkan
barangnya dengan menyebutkan spesifikasi barang, harga, dan
gambar. Dari situ pembeli memilih dan kemudian memesan barang
yang biasanya akan dikirim setelah pembeli mentransfer uang.
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Risalah mengatakan bahwa
semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim itu
tentu ada hukum jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya
ketentuan hukum harus dicari dengan cara ijtihad. Secara
konvensional jual beli dalam Islam diatur dalam fikih muamalah
yang mengharuskan adanya empat hal, yaitu: sighat al-’aqd (ijab
qabul), mahallul ‘aqd (obyek perjanjian/barang), al’aqidaian (para
pihak yang melaksanakan isi perjanjian) dan maudhu’ ul’aqd (tujuan
perjanjian).
Dalam transaksi mengunakan internet, penyediaan aplikasi
permohonan barang oleh pihak penjual di website merupakan ijab
dan pengisian serta pengiriman aplikasi yang telah diisi oleh
pembeli merupakan qabul. Adapun barang hanya dapat dilihat
gambarnya serta dijelaskan spesifikasinya dengan gamblang dan
lengkap, dengan penjelasan yang dapat memengaruhi harga jual
barang. Setelah ijab qabul, pihak penjual meminta pembeli
melakukan tranfer uang ke rekening bank milik penjual. Setelah
uang diterima, si penjual baru mengirim barangnya melalui kurir
atau jasa pengiriman barang. Jadi, Transaksi seperti ini (jual beli
online) mayoritas para ulama menghalalkannya selama tidak ada
unsur gharar atau ketidakjelasan, dengan memberikan spesifikasi
baik berupa gambar, jenis, warna, bentuk, model dan yang meme-
ngaruhi harga barang.
Dalam Islam sendiri sesungguhnya telah mengatur akad jual
beli dengan sistem pemesanan sebagaimana akad salam.
Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud juga menegaskan:

31
bahwa apa yang telah dipandang baik oleh muslim, maka baiklah
dihadapan Allah, Begitu juga sebaliknya.

5. Khiyar
a. Pengertian Khiyar
Khiyar menurut bahasa artinya “memilih yang terbaik”.
Sedangkan pengertian khiyar menurut istilah syara’ adalah penjual
dan pembeli boleh memilih antara meneruskan atau
mengurungkan jual belinya. Dalam pengertian lain, khiyar adalah
hak yang dimiliki oleh orang yang melakukan transaksi untuk
meneruskan atau membatalkannya sesuai kondisi orang yang
bertransaksi masing-masing.
Dalam bisnis, khiyar merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan dan juga dipahami, baik oleh penjual maupun
pembeli. Khiyar dalam konteks jual beli bisa memiliki beberapa
maksud. Hal ini di antaranya adalah hak memilih yang diberikan
kepada dua belah pihak (penjual dan pembeli). Penjual dan
pembeli memiliki hak yang sama untuk melangsungkan jual beli
serta mengikuti syarat-syarat jual beli.
Tujuan adanya khiyar adalah agar kedua belah pihak (penjual
ataupun pembeli) tidak akan mengalami kerugian atau penyesalan
setelah transaksi yang diakibatkan dari sebab-sebab tertentu dari
proses jual beli yang dilakukan. Atau hal yang terkait mengenai
barang ataupun harga. Berikut adalah penjelasan mengenai khiyar
dalam jual beli.
Setiap aturan Islam pasti ada hikmah dan orientasi
pemecahan masalah yang dapat diselesaikan. Begitu pula dengan
adanya aturan khiyar dalam proses transaksi jual beli. Dengan
adanya aturan khiyar, dapat diambil beberapa hikmah yang luas, di
antaranya sebagai berikut:
1) Dengan adanya khiyar dapat dipertegas adanya akad yang
terdapat dalam jual beli;
2) Membuat kenyamanan dan akan muncul kepuasan dari masing-
masing belah pihak;
3) Dengan adanya khiyar, maka penipuan dalam transaksi akan
juga terhindarkan, karena adanya kejelasan dan hak yang sudah
jelas;

32
4) Tiap-tiap penjual dan pembeli dapat secara jujur dan transparan
melakukan proses transaksi;
5) Menghindarkan adanya perselisihan dalam proses jual beli.
Adanya khiyar tentu sangat menjaga proses transaksi jual
beli itu terlaksana dengan baik. Umat Islam yang baik dan taat
terhadap aturan agama hendaknya memperhatikan masalah
khiyar ini agar dapat terlaksana dengan lancar segala macam
transaksi bisnis yang dilakukannya. Masalah-masalah dalam
transaksi jual beli biasanya terjadi karena tidak ada kejujuran,
keterbukaan, dan transparansi dari tiap-tiap pihak. Khiyar ini
juga sekaligus mengajarkan pada manusia bahwa dalam sektor
apapun juga harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang
sesuai ajaran agama Islam.
b. Dasar Hukum Khiyar
Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah/2: 275
ِّ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم ر‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ر‬
َ ‫َوأ‬
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan telah
mengharamkan riba.”
Lafaz jual beli dalam ayat ini adalah umum meliputi akad
jual beli. Dengan begitu, ia menjadi mubah (boleh) untuk semua
termasuk khiyar.
Sedangkan dari hadis Rasulullah saw. bersabda:
‫ قال النيب صلى هللا عليه و سلم ( البيعان ابْليار ما ل يتفرقا أو يقول أحدُها‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما قال‬
) ‫ ورمبا قال ( أو يكون بيع خيار‬. ) ‫لصاحبه اخْت‬

Telah bersabda Nabi: “Penjual dan pembeli boleh melakukan


khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang
mengatakan kepada temannya: pilihlah. Dan kadang-kadang
beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar.” (HR. Al-Bukhari).
Pada hadis yang lain, Nabi bersabda:
‫عن حكيم بن حزام رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ( البيعان ابْليار ما ل يتفرقا أو قال حىت‬
) ‫يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك هلما يف بيعهما وإن كتما وكذاب حمقت بركة بيعهما‬

Dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda: “Penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum
berpisah. Apabila mereka berdua benar-benar dan jelas, maka
mereka berdua diberi keberkahan di dalam jual beli mereka, dan

33
apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka
dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua.” (HR. Al-
Bukhari).
Dua hadis di atas menunjukkan adanya hak khiyar bagi
orang yang sedang melakukan transaksi jual beli.
c. Macam-macam Khiyar
Secara umum, khiyar dibagi kepada:
1) Khiyar Majlis
Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli
semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka
berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan
untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan
hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang
di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga
hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
Dari Ibnu Umar r.a. dari Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka
masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama
mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah
satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain.
Namun, jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada
yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika
mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah
seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya,
maka jual beli telah terjadi juga).”
Penjual dan pembeli yang khawatir membatalkan bila
meninggalkan majlis, maka hendaknya tidak meninggalkan
majlis. Hal ini sesuai dengan hadis dari Amr bin Syu’aib dari
bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka
belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka
seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya
karena khawatir dibatalkan”.
2) Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu kedua orang yang sedang melakukan
jual beli mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau

34
salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai
waktu tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu
berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama. Hadis dari Ibnu
Umar r.a., dari Nabi saw. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dua
orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam
jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya
dengan akad khiyar”.
Jika mencermati pengertian, tujuan dan maksud
disyariatkannya khiyar syarat, maka dapat dipahami bahwa
antara khiyar syarat dan garansi memiliki perbedaan yang
cukup mendasar sekalipun dalam hal tertentu memiliki sisi
kesamaan. Perbedaan mendasarnya adalah bahwa khiyar syarat
merupakan suatu transaksi antara penjual dan pembeli yang
dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli
sesuai dengan kesepakan kedua belah pihak. Sedangkan garansi
umumnya merupakan salah satu bentuk pelayanan pihak
penjual untuk menjamin kualitas barang, di mana selama waktu
yang telah ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap
barang yang telah dijual jika terjadi sesuatu, baik menyangkut
perawatan maupun kerusakan dan tidak berakibat pada
pembatalan transaksi jual beli.
Adapun persamaannya adalah, baik khiyar syarat maupun
sistem garansi, sama-sama memiliki motif untuk menjamin hak-
hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka tidak merasa
dirugikan dan terciptanya kepuasan dan saling rida (rela) antara
mereka berdua sesuai dengan spirit yang diajarkan oleh
Rasulullah saw.,“Innamal bai’ ‘an taradhin” (hanya saja jual beli
harus atas dasar saling meridai).
3) Khiyar Aib
Jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau
cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si
pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan
barang dagangan tersebut kepada si penjualnya. Hal ini sesuai
riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasul saw. bersabda
“Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat teteknya,
kemudian memerahnya, maka jika ia suka, ia boleh
menahannya, dan jika ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai
ganti perahannya adalah (memberi) satu sha’ tamar”.

35
4) Khiyar Ru'yah
Khiyar ru'yah adalah hak pembeli dalam membatalkan atau
meneruskan transaksi jual beli yang disebabkan objek transaksi
belum tampak saat akad dilakukan. Pada khiyar ini, pembeli
belum dapat meneliti barang yang dibelinya. Nabi Muhammad
bersabda: ”Siapa saja yang membeli sesuatu yang belum
dilihatnya, maka ia berhak khiyar bila telah melihatnya.”(HR.At-
Tirmizi).
d. Cara Menggugurkan Khiyar
Cara mengugurkan Khiyar ada tiga:
1) Pengguguran Jelas (Sharih)
Penguguran sharih ialah penguguran oleh orang yang
berkhiyar, seperti menyatakan,”Saya batalkan khiyar dan saya
rida.” Dengan demikian, akad menjadi lazim (sahih).
Sebaliknya, akad gugur dengan pernyataan, ”Saya batalkan
atau saya gugurkan akad.”
2) Pengguguran dengan Dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf
(beraktivitas dengan barang tersebut) dari perilaku khiyar
yang menunjukkan bahwa jual beli jadi dilakukan, seperti
pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain,
atau sebaliknya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada
penjual.
3) Pengguran khiyar dengan kemudaratan
e. Sebab-sebab Gugurnya Khiyar
1) Habis Waktu
Khiyar menjadi gugur setelah habis waktu yang telah
ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yang berkhiyar.
Dengan demikian, akad menjadi lazim atau mengikat. Hal ini
sesuai dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, akad tidak gugur dengan
berakhirnya waktu, tetapi harus ada ketetapan dari yang
berkhiyar, sebab khiyar bukan kewajiban. Contohnya, janji
seorang tuan terhadap budak untuk dimerdekakan pada waktu
tertentu. Budak tersebut tidak merdeka karena berkhirnya
waktu.
2) Kematian Orang yang Memberikan Syarat

36
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, maka
khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli
maupun penjual, lalu akad pun menjadi lazim, sebab tidak
mungkin membatalkannya. Namun, tentang kewarisan syarat
para ulama berbeda pendapat, antara lain: Menurut ulama
Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur
dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat; Ulama
Hanbaliyah berpendapat bahwa bahwa khiyar menjadi batal
dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat, kecuali
jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya. Dalam hal ini,
khiyar menjadi kewajiban ahli waris; Ulama syafi’iyah dan
Malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi haknya ahli
waris. Dengan demikian, tidak gugur dengan meninggalnya
orang yang memberikan syarat.
3) Adanya Hal-hal yang Semakna dengan Mati
Khiyar gugur dengan adanya hal-hal yang serupa dengan
mati, seperti gila, mabuk, dan lain-lain. Dengan demikian, jika
akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, maka akadnya
menjadi batal.
4) Barang Rusak Ketika Masa Khiyar
Tentang rusaknya barang ketika khiyar terdapat beberapa
masalah, apakah rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli
atau masih dipegang penjual dan lain-lain, sebagaimana akan
dijelaskan di bawah ini:
a) Jika barang masih di tangan pembeli batallah jual beli dan
khiyar pun gugur;
b) Jika barang sudah pada tangan pembeli, jual beli batal jika
khiyar berasal dari penjual, tetapi pembeli harus
menggantinya;
c) Jika barang suadah ada di tangan pembeli dan khiyar dari
pembeli, jual-beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.
5) Adanya Cacat pada Barang
Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan. Jika khiyar
berasal dari penjual dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar
gugur dan jual-beli batal. Tetapi, jika cacat karena perbuatan
pembeli atau orang lain,maka khiyar tidak gugur dan pembeli
bertanggung jawab atas kerusakannya. Jika khiyar berasal dari

37
pembeli dan ada cacat karena perbuatan orang lain, maka khiyar
gugur, tetapi jual beli tidak gugur sebab barang menjadi
tanggung jawab pembeli.
f. Hak Khiyar dalam Jual Beli Online
Perkembangan teknologi saat ini bisa memudahkan transaksi
melalui jarak jauh, dimana manusia bisa dapat berinteraksi secara
singkat walaupun tanp face to face, akan tetapi di dalam bisnis
adalah yang terpenting memberikan informasi dan mencari
keuntungan. Oleh sebab itu, jual beli online dalam Islam
diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya dan
ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan
penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi, jika tidak sesuai maka
pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau
membatalkan jual belinya.
Dalam UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 7 huruf E yang berbunyi “memberi kesempatan
kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi
atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan”. UU
tersebut kiranya penting karena pada umumnya konsumen sering
berada pada posisi yang dirugikan dalam transaksi jual beli online,
seperti barang yang tidak sesuai dengan pemesanan, penipuan, dan
sebagainya. Dalam hukum jual beli online, perlu ada ketentuan
khiyar agar hak-hak konsumen bisa terlindungi. Yang paling
penting adalah kejujuran, keadilan, dan kejelasan dengan
memberikan data secara lengkap dan tidak ada niat untuk menipu
atau merugikan orang lain sebagaimana firman Allah dalam QS al-
Baqarah/2: 275 dan 282 harus ada dalam transaksi jual beli online.
g. Hikmah Khiyar
1) Khiyar dapat membuat akad jual beli berlnagsung menurut
prinsip-prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan
pembali;
2) Mendidik masyarakat agar hati-hati dalam melakukan akad jual
beli, sehingga pembeli mendapatkan barang yang baik atau
benar-benar disukainya;

38
3) Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli
dan mendidiknya agar besikap jujur dalam menjelaskan keadaan
barang;
4) Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual
maupun pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual
beli;
5) Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih
antra sesama. Adapun ketidakjujuran atau kecurangan pada
akhirnya akan berakibat dengan penyesalan yang mengarah
pada kemarahan, kedengkian.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Jual Beli dan


Khiyar
Jual beli merupakan aktivitas ekonomi yang dibolehkan dalam Islam.
Aktivitas jual beli mengharuskan adanya kerelaan dalam serah terima barang
yang diperjualbelikan. Aktivitas jual beli saat ini sangat bervariasi dan bentuk
lain dapat muncul setiap saat, baik diadaptasi dari kebiasaan masyarakat
tertentu mapun perpaduan dari berbagai bentuk jual beli. Syariat Islam
membolehkan aktivitas jual beli termasuk jual beli yang baru bermunculan
seperti salam, istishna, jual beli online dan sebagainya selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Akomodasi terhadap bentuk-bentuk jual beli tersebut merupakan
implementasi dari nilai-nilai moderasi beragama berupa i'tibar al- ‘urf (ramah
terhadap budaya) dan juga mengandung nilai ishlah (perdamaian) sehingga
kemaslahatan dalam bermuamalah dapat diraih atau diperoleh. Keharusan
adanya kerelaan dalam transaksi jual beli serta adanya khiyar untuk
melanjutkan jual beli atau tidak juga mengandung nilai la ‘unf (anti kekerasan)
sebagai bentuk moderasi beragama.
Selain nilai ‘urf dan ishlah tersebut, nilai moderasi beragama apa saja
yang dapat Saudara peroleh dari materi jual beli dan khiyar?

E. Latihan
Rina seorang gadis yang sangat aktif di media sosial. Ia membeli kue
kesukaannya melalui aplikasi secara online dan membayarnya setelah kue
tersebut diantar ke rumahnya. Satu minggu sebelumnya, ia juga membeli
sebuah tas melalui aplikasi online shooping secara tunai dengan mentransfer
harga tas tersebut. Satu minggu kemudian tas tersebut sampai tetapi

39
warnanya berbeda dari warna yang dipesan. Hari itu juga Rina membeli
sepatu olahraga yang akan dicicil selama 3 bulan sejak sepatu itu diterima.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas, lalu kemukakan jawaban
Saudara terhadap pertanyaan berikut!
1. Akad jual beli apa saja yang dilakukan oleh Rina ketika membeli
kue, tas, dan sepatu? Apakah jual beli tersebut dibolehkan
meskipun penjual dan pembeli tidak saling bertemu muka dalam
satu tempat?
2. Dapatkah Rina mengembalikan tas yang ia beli secara online
namun berbeda dengan yang ia terima?
3. Bagaimana kalau pihak penjual sepatu yang dibeli oleh Rina tidak
mau menerima kembali sepatu tersebut?
F. Daftar pustaka
Abd. Rahman, dkk. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2010.
Abdur Rahman I. Muamalah (Syari‟ah III). Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
al-Anshari, Imam Abi Zakaria. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah.
al-Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam
Islam. Jakarta: Amzah, 2014.
Basyir. Asas – Asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam)
Basyith, Ahmad Azhar. Asas-asa Hukum Mu’amalah. Yogyakarta: UII Pres,
1990.
Daud, Ali Mahmud. Hukum Islam di Indonesia: Pengantar Hukum Islam dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo, 1993.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ibn Abidin¸ Ad-Dar-Al-Muhtar, Hasan, Ali, Bebagai Macam Transaksi dalam
Islam,
Ibn Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Jld. III, Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Sahroni, Oni. Fikih Muamalah. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2016.

40
Syafii, Imam. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.
Syarifuddin, Amir. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pranada Media, 2005.
Thayar, Abdullah bin Muhammad, dkk. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2004.
al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Jilid IV, Cet. IV;
Beirut: Dar al-Fikr al- Muashir, 2005.
Ibn Rusyd, Abu al-Walid bin Muhammad bin Ahmad, Bidayah al-
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Berikut:Dar al-Kitab al-‘Ulumyyah,
1983, jilid 2,
Al-Dasuqi, Muhammad bin Ahmad bin Arafah, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala
Ummi al-Barahin, Berikut:Dar al-Kutub al-Islamiyyah,1989, jilid 3

41
KEGIATAN BELAJAR 3
SYIRKAH DAN MUDARABAH

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil tentang
syirkah dan mudarabah serrta aplikasinya dalam masyarakat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis Pengertian, hukum, dan dasar hukum syirkah;
2. Membedakan jenis-jenis syirkah dan implementasi syirkah dalam
kehidupan sehari-hari;
3. Menganalisis cara-cara pemutusan kerjasama syirkah;
4. Menganalisis pengertian, hukum, dan dasar hukum mudarabah;
5. Menganalisis rukun dan syarat mudarabah;
6. Membedakan jenis-jenis mudarabah dan cara pemutusan kerjasama
mudarabah.

C. Uraian Materi
1. Konsep Syirkah dalam Kerjasama Perdagangan dan Jasa
a. Pengertian Syirkah
Secara bahasa, syirkah adalah bercampurnya harta dengan harta
yang lain sehingga keduanya tidak bisa dibedakan lagi. Jumhur ulama
kemudian menggunakan istilah ini untuk menyebut transaksi khusus,
meskipun tidak terjadi percampuran kedua harta itu karena yang
menyebabkan bercampurnya harta adalah transaksi. Dalam buku
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, syirkah didefinisikan sebagai
kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan,
keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan.
Ulama mazhab mendefinisikan syirkah secara berbeda. Hanafiyah
menjelaskan bahwa syirkah adalah ungkapan adanya akad transaksi
antara dua orang yang bersekutu. Persekutuan ini terkait pokok harta
dan keuntungan. Malikiyah mendefinisikan bahwa syirkah adalah izin
pendayagunaan (tasharruf) harta milik dua orang yang bersekutu secara
bersama-sama. Keduanya juga saling mengizinkan jika ada salah satu
pihak yang ingin menggunakan harta tersebut. Syafi'iyah mendefiniskan

42
bahwa syirkah adalah ketetapan hak pada barang modal yang dimiliki
satu orang atau lebih. Ketetapan ini menggunakan cara yang masyhur
atau diketahui semua pihak terkait. Sedangkan Hanabilah berpendapat,
syirkah adalah perhimpunan hak atau pengolahan harta antara semua
pihak yang terkait.
Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fikih
di atas hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang
terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerja sama yang
dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya
akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang
mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu,
dan berhak mendapat keuntungan.
Kegiatan syirkah diperbolehkan sesuai dengan firman Allah dalam
QS Shad/38: 24 sebagai berikut:
ِّ ِّ ِّ َّٰ ‫ض إَِّّال ٱلَّ ِّذين ءامنو۟ا وع ِّملُو۟ا‬ ِّ ِّ ِّ ِّ
‫يل َّما ُه ْم‬
ٌ ‫ٱلصل َٰحت َوقَل‬ َ َ َُ َ َ ُ ‫َوإِّ َّن َكث ًريا رم َن ٱ ْْلُلَطَآء لَيَ ْبغى بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَ ٰى بَ ْع‬

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu


sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, dan amat
sedikitlah mereka ini.”
Dalah salah satu hadis Rasul saw. Abu Dawud meriwayatkan
bahwa:
" ‫ت ِّم ْن بَْينِّ ِّه َما‬ ِّ ‫ني ما َل َُين أَح ُد ُُها‬ ِّ
ُ ‫ فَِّإذَا َخانَهُ َخَر ْج‬،ُ‫صاحبَه‬
َ َ َ ْ ُ ْ َ ِّ ْ ‫َّري َك‬ ِّ ‫ث الش‬
ُ ‫ أ َََن ََثل‬:‫ول‬ َّ ‫ " إِّ َّن‬:‫ال‬
ُ ‫اّللَ يَ ُق‬ َ َ‫ َرفَ َعهُ ق‬،َ‫َع ْن أَِّيب ُهَريْ َرة‬
Dari Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman: "Aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama tidak
ada salah seorang di antara mereka yang berkhianat kepada
sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya, maka aku keluar dari
keduanya”.
b. Rukun dan Syarat Syirkah
1) Sighat (lafaz akad)
2) Orang (pihak-pihak yang mengadakan serikat), yaitu pihak-pihak
yang mempunyai kepentingan dalam mengadakan perserikatan.
3) Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan). Dalam berserikat
atau kerja sama mereka (orang-orang yang berserikat) itu
menjalankan usaha dalam bidang apa yang menjadi titik sentral usaha
apa yang dijalankan. Orang orang yang berserikat harus bekerja
dengan ikhlas dan jujur, artinya semua pekerjaan harus berasas pada

43
kemaslahatan dan keuntungan terhadap syirkah. Adapun syarat-
syarat syirkah adalah:
1) Syirkah dilaksanakan dengan modal uang tunai
2) Dua orang atau lebih berserikat, menyerahkan modal,
mencampurkan antara harta benda anggota serikat dan mereka
bersepakat dalam jenis dan macam perusahaanya;
3) Dua orang atau lebih mencampurkan kedua hartanya, sehingga
tidak dapat dibedakan satu dari yang lainya;
4) Keuntungan dan kerugian diatur dengan perbandingan modal
harta serikat yang diberikan.
Adapun syarat-syarat orang (pihak-pihak) yang mengadakan
perjanjian serikat atau kongsi itu adalah:
1) Orang yang berakal;
2) Baligh;
3) Dengan kehendak sendiri (tidak ada unsur paksaan).
Sedangkan mengenai barang modal yang disertakan dalam
serikat dapat berupa:
1) Barang modal yang dapat dihargai (lazimnya sering disebutkan
dalam bentuk uang);
2) Modal yang disertakan oleh masing-masing persero dijadikan
satu, yaitu menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi
dari mana asal-usul modal itu.
c. Jenis-jenis Syirkah
Syrikah dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Syirkah amlak, yaitu persekutuan kepemilikan dua orang atau lebih
terhadap suatu barang tanpa transaksi syirkah. Syirkah hak milik ini
dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak
dua pihak yang bersekutu. Contohnya, dua orang yang
mengadakan kongsi untuk membeli suatu barang atau dua orang
yang mendapatkan hibah atau wasiat di mana mereka berdua
menerimanya sehingga menjadi sekutu dalam hak milik;
b) Syirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi antara dua
orang atau lebih tanpa sekehendak mereka. Seperti dua orang yang
mendapatkan sebuah warisan sehingga barang waris menjadi hak
milik kedua orang yang bersangkutan.

44
2) Syirkah 'uqud yaitu transaksi yang dilakukan dua orang atau lebih
untuk menjalin persekutuan dalam harta dan keuntungan. Macam-
macam syirkah ‘uqud meliputi:
a) Syirkah al-amwal, yaitu persekutuan antara dua pihak pemodal
atau lebih dalam usaha tertentu dengan mengumpulkan modal
bersama dan membagi keuntungan dan resiko kerugian
berdasarkan kesepakatan;
b) Syirkah a’mal atau syirkah abdan, yaitu persekutuan dua pihak
pekerja atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Hasil atau
upah dari pekerjaan tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan
mereka;
c) Syirkah al-wujuh, yaitu persekutuan antara dua pihak pengusaha
untuk melakukan kerjasama dimana tiap-tiap pihak sama sekali
tidak menyertakan modal. Mereka menjalankan usahanya
berdasarkan kepercayaan pihak ketiga;
d) Syirkah al-inan, yaitu sebuah persekutuan di mana posisi dan
komposisi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak
sama baik dalam hal modal, pekerjaan, maupun dalam hal
keuntungan dan resiko kerugian;
e) Syirkah al-Mufawadhah, yaitu sebuah persekutuan di mana posisi
dan komposisi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya adalah
sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, maupun dalam hal
keuntungan dan resiko kerugian.
c. Implementasi syirkah dalam masyarakat
Syirkah tidak hanya untuk sesama muslim. Kerja sama dalam bentuk
perserikatan atau perseroan tersebut dapat dilaksanakan dengan
berbagai pihak. Hukum melakukan syirkah dengan orang non muslim
adalah mubah. Namun orang Islam tidak boleh melakukan syirkah
untuk menjual barang-barang haram. Bagaimanapun juga, Islam tidak
membenarkan jual beli barang haram. Rasulullah saw. yang diceritakan
Nafi' dan Abdullah bin Umar bersabda:
ِّ ِّ َِّّ ‫ول‬
ِّ ‫اّللِّ ب ِّن ُعمر َعن رس‬ ِّ ِّ
‫وها‬ َ ‫ أَنَّهُ َدفَ َع إِّ ََل يَ ُهود َخْي ََب َنْ َل َخْي ََب َوأَْر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬
َ ُ‫ض َها َعلَى أَ ْن يَ ْعتَمل‬ ُ َ ْ َ َ ْ َّ ‫َع ْن ََنف ٍع َع ْن َعْبد‬
‫ َشطُْر ََثَِّرَها‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِّ‫اّلل‬َّ ‫ول‬ ِّ ‫ِّمن أَمو ِّاهلِّم ولِّرس‬
ُ َ َ ْ َْ ْ
“Dari Nafi', dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwasannya Rasulullah saw.
menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang
daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari

45
mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah saw. mendapatkan
separuh dari hasil panennya." (HR Bukhari).
d. Putusnya kerjasama syirkah
1) Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal di mana jika salah satu
pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang
lainnya. Hal ini disebabkan syirkah adalah akad yang terjadi atas
dasar rela sama rela dari kedua pihak yang tidak ada kemestian
untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak
menginginkannya lagi.
2) Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf
(keahlian mengelola harta) baik karena gila ataupun karena alasan
lainnya.
3) Salah satu pihak meninggal dunia. Tetapi apabila anggota syirkah
lebih dari dua orang yang batal hanyalah yang meninggal saja.
Syirkah berjalan terus pada anggota yang masih hidup. Apabila
ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam
syirkah tersebut maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris
yang bersangkutan.
4) Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan. Pengampuan
yang dimaksud di sini baik karena boros yang terjadi pada waktu
perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
5) Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi
atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan
oleh mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat
bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang
dilakukan oleh yang bersangkutan.
6) Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas
nama Syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi
percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi yang
menanggung resiko adalah para pemilikya sendiri. Apabila harta
lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-
pisahkan lagi menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi
setelah dibelanjakan menjadi resiko bersama. Apabila masih ada
sisa harta syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang
masih ada.

2. Konsep Mudarabah dalam Kerjasama Permodalan


a. Pengertian Mudarabah

46
Istilah mudarabah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu
darb, yang memiliki arti memukul, berdetak, mengalir, berenang,
bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain
sebagainya. Secara terminologi mudarabah adalah bentuk kontrak
(perjanjian) antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengguna dana
(mudharib) untuk digunakan aktivitas yang produktif di mana
keuntungan dibagi kedua belah pihak antara pemilik modal dan
pengelola dana. Apabila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik
modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal
(shahibul maal) tidak boleh intervensi kepada pengelola dana (mudharib)
dalam menjalankan usahanya.
Berdasarkan fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000, definisi
mudarabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga keuangan
syariah kepada pihak lain untuk membuka suatu usaha yang produktif.
Dalam pembiayaan ini posisi lembaga keuangan sebagai pemilik dana
dan membiayai 100% atas usaha pengelola, sedangkan posisi pengelola
sebagai mudharib. Sedangkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.
8/21/PBI/ 2006, pengertian mudarabah adalah penanaman dana dari
pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan
metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (net
revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya.
Didalam fikih muamalah, terminologi mudarabah
diungkapkan oleh ulama mazhab. Mazhab Hanafi berpandangan bahwa
mudarabah adalah suatu bentuk perjanjian dalam melakukan kongsi
untuk mendapatkan keuntungan dengan modal dari salah satu pihak
dan kerja (usaha) dari pihak lain. Mazhab Maliki berpandangan bahwa
mudarabah adalah penyerahan uang di muka oleh pemilik modal dalam
jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan
usaha dengan uang tersebut disertai dengan sebagian imbalan dari
keuntungan usahanya. Mazhab Syafi’i mendefinisikan mudarabah
sebagai pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha
untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan
menjadi milik bersama. Adapun mazhab Hambali mengemukakan
bahwa mudarabah adalah penyerahan barang atau sejenisnya dalam
jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya
dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.

47
Selain empat mazhab di atas, pendapat lainnya mengenai
mudarabah diungkap juga oleh Ibn Rusyd, Sayyid Sabiq, dan
Abdurrahaman al-Jaziri. Dalam kitab “Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-
Muqtashid”, Ibn Rusyd menyamakan isitilah mudarabah dengan qirad
atau muqaradhah. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama
sebagai perkongsian modal dan usaha. Di dalam kitab tersebut Ibn
Rusyd tidak terlalu banyak membahas mengenai definisi mudarabah
karena telah dibahas secara lengkap oleh ulama lain khususnya imam
mazhab.
Landasan hukum mudarabah terdapat dalam QS al-
Muzzammil/73: 20, yaitu:
‫ه‬ ْ َ ْ َ ْ َُْ َْ َ ُْ ْ َ َ ٰ
ِ ‫َواخ ُر ْون َيض ِربون ِفى الا ْر ِض َيبتغون ِمن فض ِل‬
‫اّٰلل‬

“Dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian


karunia Allah swt.”
Demikian pula Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
bersabda:
»‫ت َال لِّلْبَ ْي ِّع‬
ِّ ‫ لِّلْب ي‬،‫ وأَخ َال ُط الْ ِّب ِّابلشَّعِّ ِّري‬،ُ‫ضة‬
َْ ‫ُر‬ ْ َ َ ‫ َوالْ ُم َق َار‬،‫َج ٍل‬ ِّ ِّ ٌ ‫ «ثََال‬:‫اّللِّ صلَّى هللا علَي ِّه وسلَّم‬
َ ‫ الْبَ ْي ُع إ ََل أ‬،ُ‫ث ف ِّيه َّن الََْبَكة‬ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ق‬
Rasulullah saw. bersabda, "Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudarabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk dijual". (H.R. Ibnu Majah).
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah
berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara
mudarabah. Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan mudarabah
dengan meng-qiyas-kannya (analogi) kepada transaksi musaqat, yaitu
bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal
ini, pemilik kebun bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan
menyiram, memelihara, dan merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian
ini, sang perawat (penyiram) mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai
dengan kesepakatan di depan dari output perkebunan (pertanian).
Dalam mudarabah, pemilik dana (shahibul maal) dianalogikan dengan
pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogikan dengan
pengusaha (entrepreneur).
b. Rukun Mudarabah
Rukun dalam mudarabah berdasarkan jumhur ulama ada tiga, yaitu:
dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma'qud alaih), dan

48
shighat (ijab dan qabul). Sedangkan ulama Syafi'iyah lebih memerinci
lagi menjadi enam rukun, yaitu:
1) Pemilik modal (shahibul maal);
2) Pelaksanaan usaha (mudarib atau pengusaha);
3) Akad dari kedua belah pihak (ijab dan kabul);
4) Objek mudarabah (pokok atau modal);
5) Usaha (pekerjaan pengelola modal);
6) Nisbah keuntungan.
c. Syarat-syarat Mudarabah
1) Syarat yang terkait dengan orang yang melakukan akad (aqidain),
yaitu:
a) Cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai orang yang
berakad (aqid).
b) Pemilik dana tidak boleh mengikat dan melakukan intervensi
kepada pengelola dana.
2) Syarat terkait dengan modal, antara lain yaitu:
a) Modal harus diketahui secara pasti termasuk jenis mata uangnya;
b) Modal harus dalam bentuk tunai, seandainya berbentuk aset
diperbolehkan asalkan berbentuk barang niaga dan memiliki nilai
atau historinya pada saat mengadakan kontrak;
c) Besarnya ditentukan secara jelas di awal akad;
d) Modal bukan merupakan pinjaman (hutang);
e) Modal diserahkan langsung kepada pengelola dana dan secara
tunai;
f) Modal digunakan sesuai dengan syarat-syarat akad yang
disepakati;
g) Pengembalian modal dapat dilakukan bersamaan dengan waktu
penyerahan bagi hasil atau pada saat berakhirnya masa akad
mudarabah.
3) Syarat yang terkait dengan keuntungan, antara lain yaitu:
a) Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan;
b) Pemilik dana siap mengambil risiko rugi dari modal yang
dikelola;
c) Penentuan angka keuntungan dihitung dengan persentase hasil
usaha yang dikelola oleh pengelola dana berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak;
d) Pengelola dana hanya bertanggung jawab atas sejumlah modal
yang telah diinvestasikan dalam usaha;

49
e) Pengelola dana berhak memotong biaya yang berkaitan dengan
usaha yang diambil dari modal mudarabah.
4) Kegiatan usaha oleh pengelola (mundarib), sebagai pertimbangan
(muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus
memperhatikan hal-hal berikut:
a) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mundarib, tanpa campur
tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk
melakukan pengawasan;
b) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola
sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan
mudarabah, yaitu keuntungan.
c) Pengelola tidak boleh menyalai hukum syariah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudarabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.
d. Prinsip-prinsip Mudarabah
1) Prinsip berbagi keuntungan di antara pihak-pihak yang melakukan
akad mudarabah. Laba bersih yang telah diperoleh harus dibagi
antara pemilik dana dan pengelola dana secara adil sesuai dengan
porsi yang sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Pembagian laba ini harus dilakukan setelah adanya pengurangan
biaya-biaya dan juga modal dari pemilik dana telah dikembalikan
secara utuh.
2) Prinsip bagi kerugian di antara masing-masing pihak yang berakad.
Dalam mudarabah, asas keseimbangan dan keadilan terletak pada
pembagian kerugian apabila usaha yang dijalankan pengelola dana
mengalami kerugian. Kerugian tersebut dapat ditanggung oleh
pemilik dana, akan tetapi apabila terbukti ada kelalaian yang
dilakukan oleh pengelola dana, maka pengelola dana yang akan
menanggung kerugian tersebut.
3) Prinsip kejelasan. Sebelum melakukan kontrak mudarabah ini, antara
pemilik dana dan pengelola dana harus jelas dalam menyatakan
modal yang disertakan, syarat-syarat, porsi bagi hasil yang akan
diterima oleh masing-masing pihak dan juga jangka waktu
berlakunya akad tersebut.
4) Prinsip kepercayaan dan amanah. Unsur terpenting dalam melaksana-
kan akad mudarabah ini adalah saling percaya. Pemilik dana
mempercayakan dananya untuk dikelola oleh pengelola dana

50
(mudarib). Pemilik dana bisa saja membatalkan kontrak perjanjian
akad mudarabah tersebut apabila sudah tidak ada rasa saling percaya.
5) Prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian menjadi kunci
keberhasilan dari berlangsungnya akad mudarabah. Apabila prinsip
kehati-hatian ini tidak dimiliki oleh masing-masing pihak, maka yang
terjadi akan menimbulkan kerugian finansial, waktu, dan juga tenaga.
e. Jenis-jenis Mudarabah
1) Mudarabah Mutlaqah
Mudarabah mutlaqah merupakan akad mudarabah yang
digunakan untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis sesuai dengan
permintaan pemilik dana (shahibul maal). Pembiayaan mudarabah
mutlaqah juga disebut dengan investasi pemilik dana kepada bank
syari’ah. Bank syari’ah tidak mempunyai kewajiban untuk mengganti
rugi atas pengelolaan dana yang bukan disebabkan kelalaian atau
kesalahan bank sebagai mudarib. Sebaliknya, apabila kesalahan atau
kelalaian dalam mengelola dana investor (shahibul maal) dilakukan
secara sengaja, maka bank syari’ah wajib mengganti semua dana
investasi mudarabah mutlaqah. Penerapan mudarabah mutlaqah dapat
berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis himpunan
dana yaitu mudarabah dan deposito mudarabah. Berdasarkan prinsip
ini tidak ada pembatasan dalam menggunakan dana yang dihimpun.
2) Mudarabah Muqayyadah
Mudarabah muqayyadah merupakan akad mudarabah yang mana
dalam melakukan kegiatan usahanya, pemilik dana (shahibul maal)
memberikan syarat-syarat tertentu atau dibatasi dengan adanya
spesifikasi tertentu kepada pengelola dana. Adanya pembatasan ini
sering kali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal
dalam jenis dunia usaha. Mudarabah muqayyadah atau disebut juga
dengan istilah restricted mudarabah atau specified mudarabah adalah
kebalikan dari mudarabah mutlaqah.
Akad mudarabah muqayyadah ada dua macam, yaitu:
1) Mudarabah muqayyadah on balance sheet, yaitu akad kerja sama
usaha yang mana mudharib ikut menanggung resiko atas
kerugian dana yang diinvestasikan oleh shahibul maal. Dalam akad
ini, shahibul maal juga memberi batasan secara umum misalnya,

51
batasan tentang jenis usaha, jangka waktu pembiayaan, dan sektor
usahanya. Karakteristik jenis simpanan ini:
(1) Pemilik dana harus wajib menetapkan syarat atau membuat
akad yang wajib di penuhi oleh mudharib.
(2) Bank wajib memberitahu pemilik dana mengenai nisbah
dan tata cara bagi hasil serta pembagian secara risiko yang
dicantumkan dalam akad.
(3) Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti
simpanan khusus yang memisahkan dana dari rekening
lainnya.
(4) Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan
sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada
deposan.
2) Mudarabah muqayyadah of balance sheet, yaitu jenis mudarabah
yang merupakan penyaluran dana mudarabah langsung kepada
pelaksana usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara
yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana
usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu
yang harus dipenuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha
yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya. Karakteristik jenis
penyimpanan ini di antaranya:
(1) Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti
simpanan khusus yang memisahkan dana dari rekening
lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam
rekening administratif.
(2) Dana simpanan khusus harus disalurkan langsung kapada
pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
(3) Bank menerima komisi atas jasanya mempertemukan kedua
belah pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana
usaha berlaku nisbah bagi hasil.
f. Ketentuan Pembiayaan Mudarabah
Menurut Antonio, skema pembiayaan mudarabah dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:

52
Adapun penjelasan ketentuan pembiayaan mudarabah adalah sebagai
berikut:
1) Nasabah (mudharib) mengajukan pembiayaan kepada bank (shahibul
maal) atas suatu rencana proyek usaha. Kemudian diadakan
negosiasi sampai bank menyetujui proyeksi yang diajukan oleh
nasabah dengan syarat dan analisis yang ditetapkan oleh pihak
bank. Pada tahap negosiasi tercapai kesepakatan berarti sudah
terjadi asas konsensualisme.
2) Perjanjian dibuat dengan perlengkapan seluruh dokumen yang
dibutuhkan. Pada tahap ini data diartikan sebagai asas formalisme.
Di mana akad terjadi jika sudah terjadi formalitas suatu perjanjian
sesuai dengan peraturan yang berlaku, bank sebagai shahibul maal
(pihak pertama), dan nasabah sebagai mudharib (pihak kedua).
3) Nasabah menyalurkan dana pembiayaan untuk proyek yang telah
disepakati.
4) Nasabah memberikan nisbah bagi hasil atau nilai keuntungan
sesuai dengan nilai kontrak. Lazimnya dibayarkan secara regular
dalam interval per-bulan.
5) Perjanjian pembiayaan akad mudarabah selesai sesuai dengan nota
perjanjian atau sebagian pihak mengakhiri dengan beberapa alasan
peraturan atau perundang-undangan yang berlaku.
Menurut fatwa DSN-MUI No.07/DSN/IV/2000, ketentuan
umum pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
1) Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh
LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2) Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)
membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan
pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola
usaha.

53
3) Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian
keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak (LKS dengan pengusaha).
4) Mundarib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah
disepakati bersama dan sesuai dengan syariah, dan LKS tidak ikut
serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tetapi
mempunyai hak melakukan pembinaan dan pengawasan.
5) Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
6) LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
dari mundharabah. Kecuali dari mudharib (nasabah) melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai, menyalahi perjanjian.
7) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudarabah tidak ada jaminan,
namun agar mundharib tidak melakukan penyimpangan, LKS
dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan
ini dapat dicairkan apabila mundarib terbukti melakukan hal-hal
yang telah disepakati bersama dalam akad.
8) Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme
pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan
dalam fatwa DSN-MUI.
9) Biaya operasional dibebankan pada mudharib.
10) Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban
atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib
berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Syirkah dan


Mudarabah
Syirkah dan mudarabah merupakan kerjasama antara dua pihak atau
lebih dalam perdagangan, hanya saja dalam syirkah semua pihak terlibat dalam
penyediaan modal dan dalam menjalankan usaha sedangkan dalam
mudarabah, salah satu pihak menjadi penyedia modal sedangkan pihak lan
menjalankan usaha. Dalam mudarabah, pihak pemberi modal tidak terlibat
dalam menjalankan usaha dan akan mendapat keuntungan berdasarkan
perjanjian antara mereka.
Dalam kajian syirkah dan mudarabah, terdapat pandangan ulama yang
berbeda. Perbedaan pandangan ulama ini memberi peluang kepada umat Islam
untuk menerima salah satu di antara pandangan yang berbed tersebut tanpa
mencela dan menyalahkan pandangan yang lain. Hal ini merupakan bentuk

54
tasamuh (toleransi) sebagai implementasi dari nilai moderasi beragama.
Demikian pula dalam menentukan keuntungan yang akan diperoleh semua
pihak yang terlibat dalam syirkah dan mudarabah didahului oleh adanya
musyawarah sehingga tidak terdapat perselisiahan dalam membagi
keuntungan yang akan diperoleh. Hal ini juga merupakan implementasi salah
satu di antara nilai-nilai moderasi beragama.
Selain nilai moderasi beragama tersebut, nilai moderasi beragama apa saja
yang dapat Saudara peroleh dari syirkah dan mudarabah?

E. Latihan
Hasyim berencana membeli rumah untuk ditinggali bersama keluarganya,
tetapi ia tidak memiliki cukup uang untuk membayar secara kontan. Untuk
mengatasi hal tersebut, Hasyim bermohon ke sebuah bank syariah untuk
memperoleh fasilitas kredit perumahan. Dalam transaksi antara Hasyim dan
pihak bank, ditetapkan ketentuan bahwa pihak bank akan membelikan rumah
yang diinginkan Hasyim yang berharga Rp 200.000.000,- secara kontan lalu
pihak bank menjual kepada Hasyim rumah tersebut seharga Rp 275.000.000,-
yang akan dilunasi dalam jangka 5 (lima) tahun.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas lalu kemukakan jawaban Saudara
terhadap pertanyaan berikut!
1) Apakah akad yang dilakukan antara Hasyim dan pihak bank termasuk
akad riba?
2) Bila pihak bank meminjamkan uang kepada Hasyim untuk membeli
rumah seharga Rp 200.000.000,- dan akan membayar kepada bank
sebesar Rp 275.000.000,- selama lima tahun, bagaimana hukum akad
tersebut?
3) Bagaimana pula hukumnya bila pihak bank menitipkan uang pembeli
rumah kepada Hasyim seharga Rp 200.000.000,- sebagai pihak yang
akan membeli rumah tersebut dari bank?

F. Daftar pustaka
Ismail. Perbankan Syari'ah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Naf'an. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Umam, Khotibul. Perbankan Syariah: Dasar-dasar dan Dinamika Perkembangannya
di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2016.

55
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI, Jakarta: Gaung Persada, 2006.
Dahlan, Ahmad. Bank Syariah: Teoritik Praktik Kritik, Yogyakarta: Teras, 2012.
Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
Nurhasanah, Neneng. Mudharabah dalam Teori dan Praktik, Bandung: Refika
Aditama, 2015.
Muhammad. Manajemen Dana Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syari'ah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Antonio, Muhammad Syafi'i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.

56
KEGIATAN BELAJAR 4
RIBA

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis hukum agama tentang riba dan mengidentifikasi
praktik riba dalam kehidupan masyarakat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian, hukum, dan dasar hukum riba;
2. Membedakan macam-macam riba;
3. Menganalisis implikasi riba;
4. Menemukan hikmah pengharaman riba dan upaya penanggulangannya.

C. Uraian Materi
1. Pengertian Riba
Riba merupakan jenis transaksi lawas yang telah ada sejak lama. Buktinya
adalah terdapatnya larangan riba pada kitab suci ajaran Nabi Musa a.s., yang
hidup pada 1500 tahun sebelum masehi. Setelah lebih dari 3500 tahun,
transaksi tersebut telah berkembang sehingga mereka yang tidak memahami
arti riba turut melakukannya, baik disadari maupun tidak.
Selain itu, beberapa ulama menyebutkan bahwa riba adalah termasuk
perbuatan yang zalim atau menzalimi orang lain karena mengambil harta
orang lain tanpa ada pertukaran yang seimbang. Oleh karena riba adalah
transaksi yang seharusnya ditinggalkan dan tidak dilakukan, maka
diperlukan ilmu untuk tidak terjebak dalam transaksi ribawi.
Riba menurut bahasa merupakan isim masdar dari rabaa, yarbuu,
berarti tambahan, kelebihan atau bertambah, dan tumbuh. Pemakaian
makna ini dalam al-Qur'an dapat dilihat pada QS al-Hajj/22: 5.
ٍ ِّ‫ت ِّمن ُك ِّرل َزْو ٍج َب‬
-٥- ‫يج‬ ْ َ‫ت َوأَنبَ ت‬
ْ َ‫ت َوَرب‬ َ ‫فَِّإ َذا أ‬
ْ ‫َنزلْنَا َعلَْي َها الْ َماء ْاهتَ َّز‬
Kemudian apabila telah Kami Turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah
bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan
(tetumbuhan) yang indah.
Kata rabat dalam ayat ini bermakna “menumbuhkan” yang merupakan
makna kebahasaan dari kata itu sendiri.

57
Dalam istilah syara’, riba menurut ulama Hanbali berarti tambahan
pada barang-barang tertentu. Sedangkan dalam mazhab Hanafi, riba
diartikan sebagai tambahan tanpa imbalan dalam transaksi harta dengan
harta. Selanjutnya menurut definisi yang lain, riba adalah tambahan pada
harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar
menukar antara harta dengan harta. Muhammad al-Syirbini mengemukakan
bahwa riba adalah suatu transaksi yang pada saat berlangsungnya akad
tidak diketahui kesamaannya (transaksi pengganti) menurut ukuran syariat.
Riba dipraktikkan sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi sampai
masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa keislaman. Padahal
semua agama samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan
sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan menurut Mawardi, riba
tidak pernah dibolehkan dalam syariat apa pun.
Riba hukumnya haram berdasar pada al-Qur'an. Allah swt. berfirman
dalam QS al-Nisaa’/4: 160-161
ِّ ‫الرَاب َوقَ ْد ُهنُواْ َعْنهُ َوأَ ْكلِّ ِّه ْم أ َْم َو َال الن‬
‫َّاس‬ ِّ‫َخ ِّذ ِّهم ر‬ ِّ ِّ ‫ات أ ُِّحلَّت َهلم وبِّص رِّد ِّهم عن سبِّ ِّيل‬
ُ ْ ‫ َوأ‬. ً‫اّلل َكثريا‬
‫ْ ُْ َ َ ْ َ َ ر‬
ٍ ‫فَبِّظُلْ ٍم ِّمن الَّ ِّذين هادواْ حَّرمنَا علَي ِّهم طَيِّب‬
َ‫ر َ َ َ ُ َ ْ َ ْ ْ ر‬
. ً‫ين ِّمْن ُه ْم َع َذاابً أَلِّيما‬ ِّ ِّ ِّ ِّ
َ ‫ابلْبَاط ِّل َوأ َْعتَ ْد ََن ل ْل َكاف ِّر‬
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Pada ayat lain, Allah swt. berfirman dalam QS. al- Baqarah/2: 278-279:
‫اّللِّ َوَر ُسولِِّّه َوإِّن تُْب تُ ْم فَلَ ُك ْم‬ ِّ ٍ ‫ فَإِّن َّل تَ ْفعلُواْ فَأْذَنُواْ ِِّبر‬-٢٧٨- ‫الراب إِّن ُكنتم ُّم ْؤِّمنِّني‬
‫ب رم َن ر‬ َْ َ ْ َ ُ
ِّ ِّ
َِّ‫اّللَ َوذَ ُرواْ َما بَق َي م َن ر‬
‫ين َآمنُواْ اتَّ ُقواْ ر‬
ِّ َّ
َ ‫َاي أَيُّ َها الذ‬
-٢٧٩- ‫وس أ َْم َوالِّ ُك ْم الَ تَظْلِّ ُمو َن َوالَ تُظْلَ ُمو َن‬
ُ ‫ُرُؤ‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Selain al-Qur'an, hadis juga melarang riba di antaranya:
‫ لعن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم آكل الراب ومؤكله قال قلت وكاتبه وشاهديه‬:‫عن عبد هللا قال‬

58
“Dari Ibnu Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah saw. melaknat pemakan riba’, yang
memberi makan, kedua orang saksinya dan pencatatnya.”(HR Muslim)
Dalam hadis yang lain Rasul bersabda:
‫َش ُّد ِّم ْن ِّست ٍَّة‬ َّ ُ‫ « ِّد ْرَه ُم ِّرابً ََيْ ُكلُه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِّ‫اّلل‬
َ ‫الر ُج ُل َوُه َو يَ ْعلَ ُم أ‬ َّ ‫ول‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫اّللِّ بْ ِّن َحنْظَلَةَ َغ ِّس ِّيل الْ َمالَئِّ َك ِّة ق‬
َ َ‫ال ق‬ َّ ‫َع ْن َعْب ِّد‬
» ً‫ني َزنْيَة‬ ِّ
َ ‫َوثَالَث‬
“Dari Abdullah bin Hanzhalah Ghasilul malaikah berkata bahwa
Rasulullah saw. bersabda, ‘Satu dirham uang riba yang dimakan oleh
seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyat daripada 36 wanita
pezina’.” (HR. Ahmad)

2. Macam-macam Riba
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba al-
fadhl dan riba al-nasa'. Sedangkan Imam al-Syafi'i membaginya menjadi
tiga, yaitu: riba al-fadhl, riba al-nasa', dan riba al-yadd. Al-Mutawally
menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-Qardh. Semua jenis riba ini
diharamkan secara ijma' berdasarkan nash al-Qur'an dan hadis Nabi.
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar
menukar benda yang sejenis. Dengan kadar atau takaran yang berbeda.
Dalam konteks ini, jenis barang yang dipertukarkan itu hanya tertentu
saja,yaitu jenis barang yang nilainya bisa berkembang. Barang jenis ini
kemudian sering disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat
mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadis nabawi terbatas
pada emas, perak, gandum, terigu, kurma, dan garam saja. Rasulullah
saw. bersabda:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ( الذهب ابلذهب والفضة ابلفضة والب ابلب والشعري ابلشعري‬:‫عن عبا دة بن الصامت قال‬
)‫والتمر ابلتمر وامللح ابمللح مثال مبثل سواء بسواء يدا بيد فإذا اختلفت هذه األصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد‬

“Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:


‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus
sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah
sekehendakmu tetapi harus tunai’.” (HR Muslim).
Contoh, barter emas dengan emas hukumnya haram bila kadar dan
ukurannya berbeda. Begitu pula emas 10 gram 24 karat tidak boleh

59
ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat, kecuali setelah
dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Secara umum, riba fadhl memiliki beberapa ketentuan, yakni:
1. Riba fadhl berlaku hanya untuk transaksi tukar menukar benda
ribawi yang sejenis. Adapun yang tidak termasuk benda ribawi,
tidak berlaku riba fadhl. Misalnya, tukar tambah motor bekas
dengan motor baru. Hal tersebut boleh ada kelebihan sebab motor
bukanlah benda ribawi.
2. Terkait tukar menukar benda ribawi tidak sejenis, maka boleh ada
kelebihannya. Contohnya adalah emas dan perak. Kedua benda
tersebut merupakan benda ribawi tetapi benda sejenis, sehingga
boleh ada kelebihan.
3. Perbedaan kualitas dalam tukar menukar benda ribawi yang sejenis
tidak diperhitungkan. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang
artinya: Dari Abu Said Al-Kudri dan Abu Humairah Radhiyallahu
‘Anhuma, bahwa Nabi saw. pernah menunjuk orang untuk menarik
zakat hasil pertanian di Khaibar. Ternyata orang ini datang dengan
membawa kurma yang sangat bagus, beliau bertanya, ‘Apakah
semua kurma Khaibar seperti ini?’ Kemudian sahabat menjawab,
‘Tidak, ya Rasulullah. Tapi kami menukar 1 sha’ kurma bagus ini
dengan 2 sha’ kurma yang kualitas rendah.’Kemudian Nabi saw.
melarangnya.” (HR. Bukhari 2201 dan Muslim 4166). Dalam hal
tersebut, Nabi saw. melarangtransaksi kurma dengan benda kualitas
karena beda kualitas.
b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah disebut juga riba jahiliyah karena macam-macam riba dan
contohnya ini dipraktikkan oleh masyarkat Arab pada masa jahiliyah, yaitu
masa sebelum kenabian Muhammad saw. Nasi'ah berasal dari kata nasa'
yang artinya penangguhan sebab riba ini terjadi karena adanya
penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa
sekarang ini di mana seseorang memberi hutang berupa uang kepada
pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan
hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan persentase bunganya. Riba
dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian.
Contoh: Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu, dia pinjam
uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % per tahun. Sistem

60
peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus
bunganya, adalah bentuk transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat
Islam.
c. Riba Yad
Riba yad adalah termasuk jenis riba jual beli, baik barang ribawi
maupun non ribawi. Arti riba yad adalah riba yang terjadi pada transaksi
yang tidak menegaskan harga pembayaran apabila transaksi dilakukan
dengan penyerahan langsung (tunai) atau penyerahan tunda.
Contoh riba yad atau riba al-yadi adalah transaksi pembelian motor
yang oleh penjual ditawarkan dengan harga transaksi kontan Rp. 10 juta
dan transaksi kredit sebesar Rp. 15 juta kepaada seorang pembeli
kendaraan tersebut, namun sampai kedua pihak berpisah, belum ada
kesepakatan harga yang akan dibayarkan.
Perbedaan nilai transaksi kontan dan kredit, tanpa ada kesepakatan
harga inilah yang disebut sebagai riba yad. Namun, jika kedua belah pihak
sepakat memilih satu harga sebelum berpisah. Maka transaksi tersebut
tidak riba.
d. Riba Qard
Riba qard adalah riba karena adanya persyaratan kelebihan
pengembalian pinjaman yang dilakukan di awal akad atau perjanjian
hutang-piutang. Pada saat jatuh tempo hutang, pemberi hutang (muqridh)
menerima pengembalian sebesar pokok ditambah kelebihan yang
dipersyaratkan dari penerima hutang (muqtharidh). Misalnya, seseorang
meminjam uang sebesar Rp. 5 juta kepada orang lain, kemudian yang
bersangkutan meminjamkan uang dengan syarat bunga 20% selama 6
bulan. Saat pembayaran, peminjam maupun pemberi pinjaman telah
makan riba sebesar Rp 1 juta.

3. Pandangan Ulama tentang Bunga Bank Konvensional


Para ulama, baik ulama salaf (mazhab empat) maupun ulama kontem-
porer, semua sepakat akan keharaman riba. Bahkan ulama yang memboleh-
kan bunga bank, juga mengharamkan riba. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum
keharaman riba, melainkan soal hukum bunga bank. Ulama yang
mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga bank termasuk
riba, sedangkan ulama yang membolehkannya meyakini bahwa ia tidak
termasuk riba. Dalam kegiatan bank konvensional, terdapat dua macam

61
bunga: Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan oleh bank
sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya
di bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak
bank, bunga simpanan merupakan harga beli. Kedua, bunga pinjaman,
yaitu bunga yang dibebankan kepada para peminjam atau harga yang
harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit. Bagi pihak
bank, bunga pinjaman merupakan harga jual. Bunga simpanan dan bunga
pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi
bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan
kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang
diterima dari nasabah. Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga
simpanan merupakan laba atau keuntungan yang diterima oleh pihak
bank.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum bunga
bank. a. Bunga Bank adalah Riba
Sebagian ulama, seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu
Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan bahwa bunga bank
hukumnya haram, karena termasuk riba. Pendapat ini juga merupakan
pendapat forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’
Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
a. Bunga Bank bukan Riba
Sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti Syekh Ali Jum’ah,
Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab
Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank
hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat ini sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah
tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002
M. Mereka berpegangan pada firman Allah swt. dalam QS al-
Nisa/4: 29:
‫اض ِّمْن ُك ْم‬ ِّ ‫ايأَيُّها الَّ ِّذين آمنُوا َال ََتْ ُكلُوا أَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم ِّابلْب‬
ٍ ‫اط ِّل إَِّّال أَ ْن تَ ُكو َن ِِّتَ َارًة َع ْن تَ َر‬ َ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain
dengan cara yang batil, seperti mencuri, menggasab, dan dengan
cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan
dengan perniagaan yang berjalan dengan saling rida. Karenanya,

62
keridaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan
besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank,
dibenarkan dalam Islam. Di samping itu, mereka juga beralasan
bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok
pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan
ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh,
maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda antara bunga
bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut. Di dalam fatwa
Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah disebutkan:
‫س بِِّّه‬ ِّ ِّ‫استِّثْ َم َار ْاأل َْمو ِّال لَ َدى الْبُنُ ْو ِّك الَِِّّت ُحتَ رِّد ُد ر‬
ً ‫الربْ َح أَ ِّو ا َلعائ َد ُم َقد‬ ْ ‫إِّ َّن‬
َ ْ‫َّما َح َال ٌل َش ْر ًعا َوَال ََب‬ ْ َ
Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang
menentukan keuntungan atau bunga di depan hukumnya halal
menurut syariat, dan tidak apa-apa.
Pada Munas alim ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992,
terdapat tiga pendapat tentang hukum bunga bank: Pertama,
pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba
secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram. Kedua, pendapat
yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga
hukumnya adalah boleh. Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga
bank hukumya syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu
untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang
sesuai dengan hukum Islam.
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga
bank merupakan masalah khilafiyah. Ada ulama yang
mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang
membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba. Tetapi
mereka semua sepakat bahwa riba hukumnya haram. Terhadap
masalah khilafiyah seperti ini, prinsip saling toleransi dan saling
menghormati harus dikedepankan. Sebab, tiap-tiap kelompok ulama
telah mencurahkan tenaga dalam berijtihad menemukan hukum
masalah tersebut, dan pada akhirnya pendapat mereka tetap
berbeda. Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk
memilih pendapat sesuai dengan kemantapan hatinya. Jika hatinya
mantap mengatakan bunga bank itu boleh maka ia bisa mengikuti
pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya
ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan-
nya. Rasul saw. bersabda:

63
‫َّاس َوأَفْ تُ ْو َك‬ َ َ‫الص ْد ِّر َوإِّ ْن أَفْ ت‬
َّ ‫س َوتَ َرَّد َد ِّيف‬
ِّ ‫اك ِّيف النَّ ْف‬ ِّْ ‫ و‬،‫َن إِّلَْي ِّه الْ َقلْب‬
َّ ‫َن إِّلَْي ِّه النَّ ْفس َواطْ َمأ‬ ُّ ِّ
َّ ‫الب َما اطْ َمأ‬
ُ ‫اك الن‬ َ ‫اح‬
َ ‫اإل ْْثُ َم‬ َ ُ ُ
“Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu.
Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang
dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut
merupakan kebaikan." (HR. Ahmad)

4. Implikasi Riba
a. Implikasi Riba dalam Kehidupan Ekonomi
Islam memang sangat melarang riba dalam seluruh praktek
kehidupan perekonomian karena memiliki dampak yang signifikan. Di
antara dampak yang nampak dalam kehidupan ekonomi adalah:
1) Ketidakadilan distribusi pendapatan dan kekayaan. Prinsip riba yang
memberikan hasil tetap pada satu pihak (pemodal) dan hasil tak tetap
pada pihak lawan (pengusaha);
2) Potensi ekploitasi terhadap pihak yang lemah dan keuntungan lebih
berpihak pada orang-orang kaya. Sistem riba memiliki kecenderungan
terjadinya akumulasi modal pada pihak bermodal tinggi;
3) Alokasi sumber daya ekonomi tidak efisien. Prinsip dan sistem bunga
membawa kecenderungan alokasi dana tidak di dasarkan atas
prospek profitabilitas usaha melainkan lebih pada dasar kemampuan
pengembalian pinjaman (kolektibilitas) dan nilai jaminan (kolateral);
4) Terhambatnya investasi
b. Implikasi Riba dalam Kehidupan Masyarakat
Selain implikasi terhadap ekonomi, riba juga membawa dampak
yang tidak sedikit dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya:
1) Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan
mengurangi semangat kerja sama/saling menolong dengan sesama
manusia. Dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan
menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan
tidak mau tahu kesulitan orang lain;
2) Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan
mengurangi semangat kerja sama/saling menolong dengan sesama
manusia. Dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan
menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan
tidak mau tahu kesulitan orang lain;

64
3) Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur
yang meminjamkan modal dengan menuntut pembayaran lebih
kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama.
Menjadikan kreditur mempunyai ligetimasi untuk melakukan
tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut kesepakatan
tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah
memperhitugkan keuntungan yang diperoleh dari kelebihan bunga
yang akan diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa
pengharapan dan belum terwujud;
4) Yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Bagi orang
yang mendapatkan pendapatan lebih akan banyak mempunyai
kesempatan untuk menaikkan pendapatannya dengan
membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang
mempunyai pendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam
membayar cicilan utang tetapi harus memikirkan bunga yang akan
dibayarkan;
5) Riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak
melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi selain sebagai alat
tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan barang
sama atau intrinsik. Bila uang dipotong uang tidak bernilai lagi,
bahkan nilainya tidak lebih dari kertas biasa. Oleh karena itu, uang
tidak bisa dijadikan komoditas;
6) Tingkat bunga tinggi menurunkan minat untuk berinvestasi.
Investor akan memperhitungkan besarnya harga peminjam atau
bunga bank. Investor tidak mau menanggung biaya produksi yang
tinggi yang diakibatkan biaya bunga dengan mengurangi
produksinya. Bila hal ini terjadi maka akan mengurangi
kesempatan kerja dan pendapatan sehingga akan menghambat
pertumbuhan ekonomi.

5. Hikmah Pengharaman Riba


Menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, jika Islam memperketat urusan
riba dan memperkeras keharamannya, sesungguhnya ia bermaksud
memelihara kemaslahatan manusia, baik mengenai akhlak, hubungan
sosial, maupun ekonominya. Dari pernyataan tersebut sangat jelas bahwa
yang diinginkan Islam adalah kebaikan, usaha keras, kemandirian, dan
tolong menolong. Bukan sebaliknya menindas, dan mengeksploitasi sesama
saudaranya.

65
Para ulama Islam menyebutkan beberapa alasan rasional mengenai
hikmah diharamkannya riba. Penjelasan ini kemudian diperkuat oleh
kajian-kajian kontemporer. Imam al-Razi, misalnya, di dalam tafsirnya
menjelaskan sebagai berikut:
a. Alasan dari Aspek Ekonomi
Bahwa riba adalah mengambil harta orang lain tanpa imbalan,
karena orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham berarti dia
mendapatkan tambahan satu dirham tanpa ada imbalan apa-apa.
Sedang harta seseorang merupakan standar hidupnya yang memiliki
kehormatan besar, sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Kehormatan
harta seseorang seperti kehormatan darahnya.” Oleh karena itu,
mengambil harta orang lain tanpa imbalan sudah pasti haram;
b. Alasan dari Aspek Sosial
Bahwa bergantung kepada riba akan menghalangi orang dari
melakukan usaha, karena apabila pemilik uang sudah dapat
menambah hartanya dengan melakukan transaksi riba, baik tambahan
itu dilakukan secara kontan maupun berjangka, maka dia akan
meremehkan persoalan mencari peghidupan, sehingga nyaris dia tidak
mau menanggung risiko berusaha, berdagang, dan pekerjaan-pekarjaan
yang berat. Hal ini akan mengakibatkan terputusnya kemanfaatan bagi
masyarakat. Sudah dimaklumi bahwa kemaslahatan dunia tidak akan
dapat diwujudkan kecuali dengan adanya perdagangan, keterampilan,
perusahaan, dan pembangunan;
c. Alasan Aspek Akhlak
Bahwa riba akan menyebabkan terputusnya kebaikan
antarmasyarakat dalam bidang pinjam meminjam. Karena apabila riba
diharamkan maka hati akan merasa rela meminjamkan uang satu
dirham dan kembalinya juga satu dirham. Sedangkan jika riba
dihalalkan, maka kebutuhan orang yang terdesak akan mendorongnya
untuk mendapatkan uang satu dirham dengan pengembalian dua
dirham. Hal demikian ini sudah barang tentu akan menyebabkan
terputusnya perasaan belas kasihan, kebaikan, dan kebajikan;
d. Alasan Teologi
Pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang
kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang
memperbolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk
memungut tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Padahal

66
tindakan yang demikian itu tidak diperbolehkan menurut asas kasih
sayang Yang Maha Penyayang.
Ini semua dapat diartikan bahwa di dalam riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang
kuat. Akibatnya yang kaya bertambah kaya dan yang miskin
bertambah miskin. Hal ini akan mengarah kepada tindakan
membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain yang
pada gilirannya akan menciptakan kedengkian dan sakit hati, akan
menyulut api permusuhan antara sebagian masyarakat terhadap
sebagian yang lain, bahkan dapat menimbulkan pemberontakan.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Riba


Riba merupakan perilaku yang dilarang dalam aktivitas ekonomi oleh
Islam. Praktik riba sudah berlangsung sejak lama dan juga terjadi pada masa
awal lahirnya Islam meskipun semua agama samawi sesungguhnya melarang
praktik ini. Pelarangan praktik riba sangat penting karena mengandung mudarat
yang sangat luas, baik dalam aspek ekonomi, sosial maupun kehidupan
beragama.
Pelarangan riba merupakan implementasi dari nilai-nilai moderasi
beragama berupa ishlah sehingga menghindarkan mudarat dalam kehidupan
masyarakat seperti potensi mengeksploitasi masayarakat miskin, hilangnya
sikap tolong-menolong, munculnya permusuhan antar pihak pemberi utang dan
penerima utang dan sebagainya.
Selain nilai ishlah tersebut, nilai moderasi beragama apa saja yang dapat
Saudara peroleh dari materi riba
E. Latihan
Fatma, seorang renteiner yang memberikan piutang dengan ketentuan harus
mengembalikan utang dengan melebihkan 10% dari jumlah utangnya. Ruhmi
mendatangi Fatma dan mengambil uang darinya sebanyak Rp 5.000.000,- tanpa
melakukan perjanjian untuk melebihkan 10%. Satu bulan kemudian Ruhmi
membayar utangnya kepada Fatma dan melebihkan 10% dari jumlah utangnya.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas lalu kemukakan jawaban Saudara
terhadap pertanyaan berikut!
1. Apakah kelebihan pembayaran utang Ruhmi kepada Fatma termasuk
riba meskipun tidak ada perjanjian sebelumnya?

67
2. Apakah kasus ini sama dengan transaksi di bank konvensional dan
keduanya termasuk riba?
3. Bagaimana pula dengan peminjaman uang pada bank syariah yang
juga ada kelebihan dalam pembayaran utang, lalu tidak dianggap
riba?

F. Daftar pustaka
Abd. Rahman, dkk. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2010.
Abdur Rahman I. Muamalah (Syari‟ah III). Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
al-Anshari, Imam Abi Zakaria. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah.
al-Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam
Islam. Jakarta: Amzah, 2014.
Basyir. Asas – Asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam)
Basyith, Ahmad Azhar. Asas-asa Hukum Mu’amalah. Yogyakarta: UII Pres,
1990.
Daud, Ali Mahmud. Hukum Islam di Indonesia: Pengantar Hukum Islam dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo, 1993.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ibn Abidin¸ Ad-Dar-Al-Muhtar, Hasan, Ali, Bebagai Macam Transaksi dalam
Islam,
Ibn Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, jilid 2,
Mar’i, Ali Ahmad .Buhus fi Fiqhil Mu’amalat, Kairo: Al-Azhar Press
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah,
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Jld. III, Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Sahroni, Oni. Fikih Muamalah. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2016.
Syafii, Imam. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.

68
Syarifuddin, Amir. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pranada Media, 2005.
Thayar, Abdullah bin Muhammad, dkk. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2004.
al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Jilid IV, Cet. IV; Beirut:
Dar al-Fikr al- Muashir, 2005.
https://islam.nu.or.id/fiqih-perbandingan/ragam-pendapat-ulama-tentang-
hukum-bunga-bank-rDsVp

69

Anda mungkin juga menyukai