Anda di halaman 1dari 4

Liberalisasi Raperda RTRW Sumenep:

“Karpet Merah” untuk Industri Ekstraktif


Observe Madura
Center for Ecology and Political Economy Studies

Di era neoliberal saat ini, kekuasaan (ruling class) selalu memaksa publik untuk percaya
bahwa pembangunan (developmentalism) adalah salah satu—kalau bukan satu-satunya—
jalan menuju tatanan hidup yang sejahtera dan beradab. Maka wajar, dengan kebijakan-
kebijakan infrastruktur status quo, yang selalu dijanjikan, rakyat akan sejahtera, punya
taraf hidup yang stabil, punya lapangan pekerjaan yang berlimpah, menekan angka
pengangguran, memberantas kemiskinan, dst. Namun apakah benar demikian? Apakah
“rezim infrastruktur” yang selama ini terus dijalankan oleh negara akan mampu
mewujudkan janji-janji manis tersebut?

Tentu saja, jawabannya, tidak! Karena di mana-mana, rumus kesejahteraan ala


developmentalisme justru membuktikan sebaliknya: semakin masifnya investasi—untuk
menunjang proyek-proyek pembangunan—searti dengan kolonialisasi dan
marginalisasi. Karena inilah watak kapitalisme yang predatoris: memprivatisasi,
merampas, menguasai, dan berekspansi. Dengan kata lain, proyek pembangunan yang
selama ini dilegitimasi oleh sejumlah regulasi pemerintah, tidak akan membuat tatanan
ruang hidup publik menjadi lebih berdaulat, malah sebaliknya, semakin mengorkestrasi
problem-problem SDA dan ruang hidup: land-grabbing, penggusuran rumah-rumah
warga, pencemaran lingkungan dan krisis iklim.

Situasi inilah yang kini berlangsung di tengah-tengah kita, di sejumlah daerah-daerah


penjuru negeri, termasuk di Sumenep, sebuah kabupaten ujung timur pulau Madura.
Sebagai daerah yang kaya SDA-nya, Sumenep tentu tak luput dari skema pembangunan
ruling class. Karena itulah, sejumlah regulasi kini dengan segala cara dikondisikan
menjadi “karpet merah” untuk proyek-proyek investasi lokal dan global.

Mega proyek pembangunan di Sumenep—atau Madura secara umum—berawal sejak


diresmikannya Jembatan Suramadu. Sejak itulah, Madura, utamanya Sumenep,
mengalami darurat agraria. Suramadu ternyata tidak hanya menjadi instrumen
transportasi yang dibangun untuk mempermudah akses penduduk Madura-Jawa,
melainkan juga menjadi fasilitas untuk menyambut para investor agar membangun
industri-industri di wilayah Bangkalan, Sampang, Pamekasan atau Sumenep. Pasca
jembatan senilai Rp 4,5 triliun itu beroerapasi, banyak industri—terutama di bidang
SDA—berekspansi ke Madura, dimulai dari ujung timur, yakni Sumenep.

Ekspansi industri ekstraktif di Sumenep ini membuat aset-aset SDA bergeser


kepemilikannya. Dari yang awalnya kolektif, dimiliki negara, menjadi kepemilikan
privat para pemilik modal (investor). Sejak 2013 ratusan hektare wilayah pesisir dan
persawahan di Sumenep sudah diprivatisasi oleh para pemilik modal. Banyak wilayah
pesisir dan persawahan yang kini sudah disulap menjadi beton-beton industri, mulai
dari sektor migas, batuan, tambak udang, pegaraman, hingga perumahan dan
perhotelan.
Selain beberapa bidang industri di atas ini, Sumenep kini menghadapi ancaman sektor
pertambangan baru, yaitu tambang fosfat. Proyek tambang fosfat saat ini nampaknya
sudah mulai degenjot oleh pemerintah. Selain melalui Undang-Undang Minerba dan
Cipta Kerja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI pada 14
September 2023 kemarin juga telah menetapkan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam
Klasifikasi Mineral Kritis. Kepmen ESDM ini hadir—salah satunya—sebagai acuan bagi
Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah provinsi untuk melakukan pertimbangan
penerbitan perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral dan batubara.

Sumenep merupakan wilayah yang memiliki komoditas yang ditetapkan sebagai


mineral kritis dalam Kepmen ESDM ini, yakni fosfat. Menurut Badan Geologi Dinas
ESDM Jawa Timur, Sumenep memiliki sumber fosfat 827.500 meter persegi (m ).1 Dari 2

luas kawasan fosfat yang tersedia ini, menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Jawa Timur sebagian sudah dikuasai oleh sejumlah perusahaan, sebagaimana
dalam tabel di bawah ini:

Daftar Perusahaan Tambang Fosfat di Sumenep2


Nama
No Lokasi Jenis Izin Komoditas Luas
Perusahaan
Sumenep
Desa Langsar, Kec. WIUP
1 Mahkota Fosfat 93.32 Ha
Saronggi Pencadangan
Nusantara
Sumenep
Desa Lobuk, WIUP
2 Mahkota Fosfat 152.12 Ha
Langsar, Bluto Eksplorasi
Nusantara
Putera Wangsa Desa Tanamera Kec. WIUP
3 Fosfat 71.46 Ha
Dwiryapada Bluto Pencadangan
Desa Aengtongtong
Soengenep WIUP
4 dan Desa Juluk, Kec. Fosfat 7.47 Ha
Sarana Mineral Pencadangan
Saronggi
Arya Wiraraja
Desa Soddara, Kec. WIUP
5 Galang Fosfat 7.12 Ha
Pasongsongan Pencadangan
Nusantara
Galang Wangsa Desa Panaongan, WIUP
6 Fosfat 70.25 Ha
Dwiryapada Kec. Pasongsongan Pencadangan
Java Mining Desa Panaongan, IUP
7 Fosfat 22.06 Ha
Fertilizo Kec. Pasongsongan Eksplorasi
Batuputih
Desa Sergang, Kec IUP
8 Mineral Fosfat 59.57 Ha
Batuputih Eksplorasi
Indonesia
Desa
Laranganbarma,
Somala Nata WIUP
9 Bantelan, Fosfat 95.96 Ha
Jaya Pencadangan
Larangankerta, Kec.
Batuputih

1 Lebih lanjut baca di https://www.mongabay.co.id/2020/12/29/sumenep-bakal-ubah-rtrw-

demi-tambang-fos-fat/#:~:text=Data%20Badan%20Geo-
logi%20Dinas%20Energi,Sampang%20sekitar%205.000.0-00%20m. diaksis 6 November 2023.
2 Data ini merupakan hasil mepetaan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur.
Anggadipa Desa Cabbiya dan WIUP
10 Fosfat 97.98 Ha
Raya Sejahtera Padike, Kec. Talango Pencadangan
Dwiryapada
Desa Kombang, IUP
11 Cahaya Fosfat 85.86 Ha
Kec.Talango Eksplorasi
Indonesia
Sumber: Walhi Jatim

Untuk mempermudah terbukanya sirkuit-sirkuit industri dan pertambangan di


Sumenep, para pengambil kebijakan kini mulai merevisi Peraturan Daerah (Perda)
Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumenep Nomor 12 Tahun 2013-
2033. Dalam agenda ini DPRD Sumenep menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) RTRW Tahun 2023-2043 untuk menggantikan Perda RTRW Sumenep
sebelumnya. Dalam Raperda ini, banyak sejumlah pasal yang apabila disahkan, jelas
akan menambah problem-problem ruang hidup yang sejak beberapa tahun terakhir ini
sudah sangat masif terjadi di Sumenep. Berikut pasal-pasal bermasalah dalam Raperda
RTRW tersebut:

1) Tambang Mineral dan Batu Bara


• Pasal 130, ayat (1), huruf a, kegiatan pemanfaatan ruang yang diperbolehkan
berupa kegiatan operasional, penunjang, dan pengembangan kawasan
pertambangan mineral dan batubara.
• Pasal 130, ayat (1), huruf a, point 1, kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak
diperbolehkan terdiri atas, kegiatan yang mengganggu kawasan
pertambangan mineral dan batubara.

Dua pasal ini membuktikan bahwa Raperda RTRW ini memfasilitasi industri
pertambangan mineral dan batubara di Sumenep. Bahkan Raperda ini
berusaha memproteksi segala bentuk yang menghalangi proses operasi
pertambangan mineral dan batubara tersebut. Salah satu tambang mineral
yang ada di Sumenep adalah fosfat. Anehnya, sebelum Raperda ini disahkan
11 tambang fosfat di Sumenep sudah mengantongi izin IUP cadangan dan
WIUP eksplorasi.

2) Melegalkan Industri Tambak Udang


• Pasal 61, ayat 7, huruf a, pengembangan kawasan perikanan budi daya berupa
tambak udang.

Raperda RTRW ini memang tidak serigid Perda RTRW Sumenep Nomor 12
Tahun 2013-2033. Dalam Raperda RTRW ini memang tidak dijelaskan berapa
haktare peruntukan kawasan industri tambak udang—seperti Perda
sebelumnya. Namu meski begitu, Raperda RTRW ini tetap melegalkan
industri tambak udang yang selama ini telah melanggengkan sejumlah
perampasan ruang hidup di wilayah pesisir Sumenep. Hingga 2023 saat ini,
ada 405 petak tambak udang yang sudah beroperasi. Dengan rincian, 26
tambak sudah berizin, sementara sisanya illegal.3

3Bisa dibaca lebih lanjut dalam berita dengan link https://dpmpts-p.sume-n-epk-


ab.go.id/web/berita_detil.jsp?q=82#:~:text=TRIBUNMADURA.COM%2C%20SUMENEP%20%2D%20D-
ari,dan%20Naker)%20Sumenep%20tahun%202022. Diakses 5 Novmber 2023
3) Tambang Batuan
• Pasal 1, nomor 94, kawasan peruntukan pertambangan batuan adalah bagian
dari wilayah pertambangan yang telah memiliki ketersediaan data, potensi,
dan/atau informasi geologi yang secara dominan terdapat komoditas tambang
batuan.
• Pasal 73, ayat (1), perwujudan kawasan lindung terdiri dari perwujudan
bandan air.

Dua pasal ini sangat kontradiksi. Karena pada satu sisi Raperda ini ingin
melindungin sumber daya air, tapi di sisi lain, mendorong tambang batuan.
Mafhum diketahui, tidak bisa melindungi air, jika masih melegalkan
pertambangan batuan. Karena salah satu dampak ekologis dari tambang
batuan yakni semakin terkikisnya sumber daya air.

4) Lemahnya Perlindungan Sumber Daya Karst


• Pasal 26, kawasan lindung terdiri dari a) badan air b) kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap kawasan c) kawasan perlindungan
setempat d) kawasan konservasi e) kawasan konsevasi d) kawasan ekosistem
mangrove.

Karst dalam Raperda RTRW Sumenep tidak masuk dalam kawasan yang perlu
dilindungi. Padahal dalam Perda RTRW Sumenep yang sebelumnya,
persisnya di Pasal 33, karst menjadi kawasan geologi yang diilndungi. Hal ini
membuktikan bahwa Raperda RTRW Sumenep memang tidak punya
komitmen pelestarian lingkungan yang kuat, terutama di sektor kawasan
karst, yang memang sangat penting untuk menjaga sumber daya air.

Dari sejumlah pasal yang bermasalah dalam Raperda RTRW Sumenep ini, kita bisa
memahami satu hal bahwa Raperda ini dirancang memang bukan untuk kemaslahatan
masyarakat Sumenep, melainkan sebuah upaya untuk menggenjot roda industrialisasi
di Kota Keris ini agar semakin massif, utamanya di sektor pertambangan dan
pertambakan. Dengan kata lain, Raperda ini menutup mata terkait bagaimana industri-
industri ekstraktif tersebut—beberapa tahun belakangan ini—telah membuat Sumenep
mengalami problem-problem agraria yang sangat akut.

Atas dasar itulah, kami mengimbau kepada seluruh elemen di Sumenep, atau secara
umum di Jawa Timur untuk saling bahu-membahu menolak pengesahan Raperda RTRW
ini. Karena dengan tidak disahkannya Rapertda ini akan menjadi langkah yang sangat
berarti untuk terus menjaga kelestarian ekologi dan ruang hidup di Sumenep.

Anda mungkin juga menyukai