Liberalisasi Raperda RTRW Sumenep
Liberalisasi Raperda RTRW Sumenep
Di era neoliberal saat ini, kekuasaan (ruling class) selalu memaksa publik untuk percaya
bahwa pembangunan (developmentalism) adalah salah satu—kalau bukan satu-satunya—
jalan menuju tatanan hidup yang sejahtera dan beradab. Maka wajar, dengan kebijakan-
kebijakan infrastruktur status quo, yang selalu dijanjikan, rakyat akan sejahtera, punya
taraf hidup yang stabil, punya lapangan pekerjaan yang berlimpah, menekan angka
pengangguran, memberantas kemiskinan, dst. Namun apakah benar demikian? Apakah
“rezim infrastruktur” yang selama ini terus dijalankan oleh negara akan mampu
mewujudkan janji-janji manis tersebut?
luas kawasan fosfat yang tersedia ini, menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Jawa Timur sebagian sudah dikuasai oleh sejumlah perusahaan, sebagaimana
dalam tabel di bawah ini:
demi-tambang-fos-fat/#:~:text=Data%20Badan%20Geo-
logi%20Dinas%20Energi,Sampang%20sekitar%205.000.0-00%20m. diaksis 6 November 2023.
2 Data ini merupakan hasil mepetaan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur.
Anggadipa Desa Cabbiya dan WIUP
10 Fosfat 97.98 Ha
Raya Sejahtera Padike, Kec. Talango Pencadangan
Dwiryapada
Desa Kombang, IUP
11 Cahaya Fosfat 85.86 Ha
Kec.Talango Eksplorasi
Indonesia
Sumber: Walhi Jatim
Dua pasal ini membuktikan bahwa Raperda RTRW ini memfasilitasi industri
pertambangan mineral dan batubara di Sumenep. Bahkan Raperda ini
berusaha memproteksi segala bentuk yang menghalangi proses operasi
pertambangan mineral dan batubara tersebut. Salah satu tambang mineral
yang ada di Sumenep adalah fosfat. Anehnya, sebelum Raperda ini disahkan
11 tambang fosfat di Sumenep sudah mengantongi izin IUP cadangan dan
WIUP eksplorasi.
Raperda RTRW ini memang tidak serigid Perda RTRW Sumenep Nomor 12
Tahun 2013-2033. Dalam Raperda RTRW ini memang tidak dijelaskan berapa
haktare peruntukan kawasan industri tambak udang—seperti Perda
sebelumnya. Namu meski begitu, Raperda RTRW ini tetap melegalkan
industri tambak udang yang selama ini telah melanggengkan sejumlah
perampasan ruang hidup di wilayah pesisir Sumenep. Hingga 2023 saat ini,
ada 405 petak tambak udang yang sudah beroperasi. Dengan rincian, 26
tambak sudah berizin, sementara sisanya illegal.3
Dua pasal ini sangat kontradiksi. Karena pada satu sisi Raperda ini ingin
melindungin sumber daya air, tapi di sisi lain, mendorong tambang batuan.
Mafhum diketahui, tidak bisa melindungi air, jika masih melegalkan
pertambangan batuan. Karena salah satu dampak ekologis dari tambang
batuan yakni semakin terkikisnya sumber daya air.
Karst dalam Raperda RTRW Sumenep tidak masuk dalam kawasan yang perlu
dilindungi. Padahal dalam Perda RTRW Sumenep yang sebelumnya,
persisnya di Pasal 33, karst menjadi kawasan geologi yang diilndungi. Hal ini
membuktikan bahwa Raperda RTRW Sumenep memang tidak punya
komitmen pelestarian lingkungan yang kuat, terutama di sektor kawasan
karst, yang memang sangat penting untuk menjaga sumber daya air.
Dari sejumlah pasal yang bermasalah dalam Raperda RTRW Sumenep ini, kita bisa
memahami satu hal bahwa Raperda ini dirancang memang bukan untuk kemaslahatan
masyarakat Sumenep, melainkan sebuah upaya untuk menggenjot roda industrialisasi
di Kota Keris ini agar semakin massif, utamanya di sektor pertambangan dan
pertambakan. Dengan kata lain, Raperda ini menutup mata terkait bagaimana industri-
industri ekstraktif tersebut—beberapa tahun belakangan ini—telah membuat Sumenep
mengalami problem-problem agraria yang sangat akut.
Atas dasar itulah, kami mengimbau kepada seluruh elemen di Sumenep, atau secara
umum di Jawa Timur untuk saling bahu-membahu menolak pengesahan Raperda RTRW
ini. Karena dengan tidak disahkannya Rapertda ini akan menjadi langkah yang sangat
berarti untuk terus menjaga kelestarian ekologi dan ruang hidup di Sumenep.