KONSEPSI
PENGEMBANGAN
KOPERASI
Editor
PENULIS
Dr. Sesraria Yuvanda., S.P., M.E.
Prof. Dr. H. M. Rachmad. R. S.E., M.S.
ISBN : 978-623-95611-2-3
EDITOR
PENERBIT
iii
BAB III. KONSEPSI PENGEMBANGAN
KOPERASI UNTUK WANITA
3.1. Latar Belakang ........................................12
3.2. Tinjauan Teori.........................................17
A. Aspek Internal ...................................17
B. Aspek Ekstrenal.................................19
3.3. Pembahasan ............................................20
A. Keterkaitan Organisasi Wanita
dan Koperasi ......................................20
B. Perspektif Hubungan Organisasi
Wanita Dengan Koperasi .................22
3.4. Kesimpulan dan Saran ..........................25
A. Kesimpulan ........................................25
B. Saran....................................................26
3.5. Daftar Pustaka ........................................26
v
5.4.1. Deskripsi Daerah Penelitian......65
A. Potensi Ekonomi ...................65
B. Perkembangan Koperasi ......70
C. Pola Kemitraan Koperasi .....75
5.4.2. Analisis Dampak Model
Kemitraan ...................................78
5.4.3. Analisis Kelayakan Model
Kemitraan ...................................79
5.4.4. Implikasi Kebijakan...................83
5.5. Kesimpulan dan Saran ..........................85
A. Kesimpulan ......................................85
B. Saran .................................................86
5.6. Daftar Pustaka ........................................87
viii
C. Studi UKM dan Koperasi
Terdahulu ........................................156
D. Kerangka Pemikiran.......................157
7.3. Metode Penelitian .......................................159
A. Metode Penelitian yang Digunakan ....159
B. Teknik Pengumpulan Data ...................160
C. Metode Penarikan Sampel ....................161
D. Model Analisis Data ..............................163
E. Operasional Variabel Penelitian ..........167
7.4 Hasil Penelitian dan Pembahasan .............170
7.4.1 Analisis Perekonomian Provinsi
Jambi Serta Perkembangan Usaha
Kecil, Menengah dan Koperasi........170
A. Analisis Perekonomian Provinsi
Jambi ................................................170
A1. Pertumbuhan Ekonomi..........170
A2. Struktur Ekonomi ...................173
A3. Tenaga kerja ............................175
B. Perkembangan Usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi...............180
B1. Perkembangan Usaha Kecil
dan Menengah.........................180
B2. Perkembangan Koperasi ........182
ix
7.4.2 Analisis Kontribusi Usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi Dalam
Perekonomian ....................................183
A. Kontribusi Usaha Kecil,
Menengah
dan Koperasi Terhadap PDRB ...183
B. Kontribusi Usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi
teerhadap Investasi .....................185
C. Kontribusi Usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi
terhadap Daya Serap Tenaga
Kerja ...............................................187
D. Kontribusi Usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi
terhadap Pendapatan
Asli Daerah ...................................189
7.4.3 Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan
Pembangunan Usaha Kecil, Menengah
dan Koperasi .............................................190
A. Makro Ekonomi....................................190
B. Mikro Ekonomi ....................................195
7.4.4 Strategi Pengembangan usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi untuk
Peningkatan Perannya dalam
perekonomian
x
Provinsi Jambi ...........................................200
A. Makro Ekonomi .................................200
B. Mikro Ekonomi ..................................205
7.5 Kesimpulan dan Saran ......................................208
A. Kesimpulan ..................................................208
B. Saran .............................................................210
BAB VIII PENUTUP .................................................211
BIODATA PENULIS PERTAMA ...........................212
BIODATA PENULIS KEDUA ................................215
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xiv
BAB I
Pendahuluan
1
Pada sisi lain, koperasi juga akan cepat
berkembangnya di sektor pertanian khususnya
untuk agribisnis dan agroindustri. Koperasi
pertanian yang mayoritas koperasi unit desa
(KUD) memegang peranan penting bagi
peningkatan nilai tambah produk-produk
pertanian dan akhirnya juga akan meningkatkan
pendapatan petani dimana petani merupakan juga
anggota koperasi. Oleh karena itu, perlu dibangun
kemitraan usaha koperasi dalam membangun
sistem agribisnis yang baik dan agroindustri bagi
produk unggulan.
2
BAB II
Konsepsi Pengembangan
Koperasi Untuk Mahasiswa
B. Motivasi Berkoperasi
5
1. Motivasi Ekonomi
C. Partisipasi Anggota
Keikutsertaan anggota dalam berbagai
kegiatan koperasi harus diupayakan untuk
ditingkatkan. Untuk itu pengembangan
perkoperasian harus ditekankan pada peningkatan
partisipasi anggota. Hanel (1984) mengatakan ada
dua unsur penting dalam partisipasi anggota
dalam koperasi yang perlu dikembangkan yaitu :
6
1. Kontributif
Peningkatan partisipasi dibidang kontribusi
keuangan mutlak harus dilakukan. Kontribusi
yang benar dan terjamin peningkatan modal kerja
bagi koperasi. Oleh karena itu, harus diusahakan
peningkatan partisipasi anggota dalam
menyimpan di koperasi.
Pemanfaatan pelayanan koperasi oleh
anggota merupakan unsur yang turut menentukan
suksesnya perusahaan koperasi. Guna merangsang
anggota untuk berpartisipasi aktif dalam
pemanfaatan pelayanan, maka koperasi harus
berusaha menciptakan keuntungan bagi
anggotanya.
2. Kontrol
Pendekatan ini menuntut pemerintah
mendirikan dan mengembangkan sendiri koperasi
dan kehidupan berkoperasi sehingga unsur
pengawasan dari pemerintahan terhadap koperasi
terasa amat dominan.
2.3 Pembahasan
A. Pendidikan Koperasi
Bertolak dari beberapa pengertian yang
dipaparkan didalam landasan teori maka rumusan
kebijaksanaan yang merupakan konsepsi bagi
7
pengembangan koperasi khususnya dikalangan
mahasiswa harus mengutmakan peningkatan
pendidikan koperasi. Pendidikan koperasi bagi
mahasiswa harus ditujukan untuk meingkatkan
rasionalitas mahasiswa tentang koperasi.
Rasionalitas yang tinggi terhadap koperasi oleh
para mahasiswa akan dapat memotivisir mereka
untuk mengembangkan kehidupan berkoperasi.
Orientasi pendidikan koperasi untuk
mahasiswa harus menitikberatkan pada penciptaan
kader-kader koperasi dan pengembangan
pemikiran tentang teori koperasi. Diharapakan,
melalui pendidikan koperasi para mahasiswa akan
punya motivasi yang tinggi untuk berpartisipasi
dalam berkoperasi.
Ada dua kebijaksanaa yang dapat dipakai
untuk mengembangkan perkoperasian melalui
pendidikan yaitu :
1. Peningkatan mutu pendidikan koperasi yang
terjadwal. Peningkatan ini dapat dilakukan
melalui perbaikan silabus dan sasaran
perkuliahan koperasi.
2. Peningkatan frekuensi dan kualitas kegiatan
latihan, seminar dan diskusi tentang koperasi
untuk mahasiswa.
8
B. Wirausaha Koperasi
Kebijaksanaan pengembangan koperasi
dikalangan mahasiswa tidak cukup hanya melalui
pendidikan saja. Unsur wirausaha koperasi perlu
juga diperhatikan sehingga koperasi mahasiswa
yang ada dilingkungan mahasiswa dapat dijadikan
tempat praktek untuk berkoperasi.
Koperasi mahasiswa dapat diarahkan untuk
menciptakan cooperative sehingga para mahasiswa
merasakan kehadiran koperasi ditengah
kehidupannya. Namun pengarahan dan
pembinaan harus memakai pendekatan “sponsor”
dimana campur tangan pihak
pembinaan/pengarahan harus diminimalisisir.
Kebijaksanaan pengembangan
perkoperasian melalui wirausaha dikalangan
mahasiswa akan mendorong mahasiswa untuk
berpartisipasi aktif baik dari segi kontributif
maupun insentif. Kemudian, mahasiswa juga
mempunyai motivasi ekonomi dan non ekonomi
yang kuat dalam berkoperasi.
Guna memenuhi sasaran diatas maka
kebijaksanaan yang dapat ditempuh melalui
wirausaha koperasi dapat dilakukan dalam 2
bentuk yaitu :
9
1. Pengembangan unit-unit usaha perusahaan
koperasi guna memenuhi kebutuhan anggota
dan pengembangan bisnis dengan non koperasi
atau koperasi lainnya.
2. Peningkatan mutu pengelolaan koperasi
mahasiswa melalui latihan dan bimbingan.
Dengan demikian, diharapkan koperasi
mahasiswa dapat memberikan insentif yang
lebih besar pada anggotanya.
10
B. Saran
1. Perlu kiranya dibentuk laboratorium
perkoperasian untuk mahasiswa sebagai
media latihan dan penerapan konsep
perkoperasian yang dirumuskan.
2. Perlu dilakukan untuk mendapatkan
masukan dari para mahasiswa tentang
masalah perkoperasian dikalangannya.
11
BAB III
Konsepsi Pengembangan
Koperasi Untuk Wanita
12
maka perkembangan koperasi perlu terus
dilakukan. Menurut Inpres no.4 tahun 1984
koperasi diarahkan untuk memegang peranan
utama dalam kegiatan-kegiatan perekonomian
perdesaan. Koperasi diharapkan sebagai wahana
untuk melaksanakan aktivitas ekonomi desa dan
pelaksana program-program pembanguanan yang
direncanakan pemerintah dan oleh masyarakat
sendiri (Hadisapoetro,1986).
Agar koperasi dapat makin besar
peranannya dalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat di pedesaan maka pembangunan
aktivitas koperasi diberbagai kegiatan
perekonomian pedesaaan juga harus
diprioritaskan. Inpres No. 4 tahun 1984 juga telah
menetapkan bahwa bidang-bidang utama ekonomi
desa harus mendapatkan perhatian, adapaun
bidang-bidang tersebut adalah:
1. Perkreditan, simpan pinjam dan
pertanggungan kerugian
2. Penyediaan dan penyaluran sarana
produksi dan kebutuhan sehari-hari dan
jasa lainnya
3. Pengelolaan dan pemasaran hasil-hasil
produksi
13
4. Kegiatan perekonomian lainnya dibutuhkan
oleh anggota.
14
Tabel 3.1 Keadaan 4 indikator keberhasilan koperasi-
koperasi Provinsi Jambi dan laju pertumbuhan.
15
Kendatipun secara kuantitatif, secara makro
pertumbuhan koperasi-koperasi di Provinsi Jambi
cukup berarti namun secara kualitatif
pertumbuhan tersebut masih dihadapakan pada
problem.
Untuk pernyataan diperlukan dukungan
semua aspek internal dan eksteral yang terkait.
Organisasi wanita dengan berbagai program kerja
dan keterkaitan dengan aktivitas koperasi
diharapkan akan dapat member kontribusi
terhadap pertumbuhan koperasi tersebut.
Permasalahan
Sesuai dengan uraian diatas maka masalah
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah bentuk keterkaitan
organisasai wanita dengan koperasi
2. Bagaimanakah perspektif hubungan
organisasi wanita dengan koperasi
16
3.2 Tinjauan Teori
A. Aspek Internal
Dari aspek internal,problem yang dihadapi
koperasi untuk tumbuh dan berkembang
bersumber dari pengurus, manejer, dan anggota.
Belum semua koperasi mempunyai pengurus dan
manejer yang terampil dan melaksanakan fungsi
manejemen secara teknis merupakan masalah yang
perlu mendapatkan perhatian dan binaan. Sebagai
akibatnya, koperasi belum memanfaatkan iklim
yang telah diciptakan pemerintah untuk
perkembangan koperasi (Anonim,1989 b).
17
memperhatikan bidang teknis
penyelenggaraan usahanya.
4. Ditemui pimpinan koperasi bekerjasama
dengan tengkulak sehinga koperasi hanya
terima fee saja.
18
Melalui anggota koperasi yang wanitanya atau istri
anggota koperasi, iklim anggota yang aktif dan
kreatif dapat didorong oleh organisasi wanita baik
yang formal maupun informal. Untuk pengurus
dan manejer, organisasi wanita dapat pula
mengupayakan agar peran wanita didalamnya
ditingkatkan.
B. Aspek Eksternal
Soewardi (1984) menyarankan agar koperasi
mengusahakan sendiri hidup dalam suasana
persaingan yang sehat. Selanjutnya Presiden
Soeharto menghimbau pula agar koperasi
mengikutsertakan semua rakyat yang terlibat
dalam poses produksi di desa untuk aktif dalam
aktifitas koperasi agar koperasi tumbuh dengan
baik (anonim,1989 a). Bila saran dan himbauan ini
diamati dilapangan kitanya ini pula yang
menimbulkan problem bagi pertumbuhan
koperasi.
Dalam kenyataan, banyak koperasi yang
hanya tergantung pada bantuan dan fasilitas yang
diberikan lembaga eksternal dari koperasi. Akan
tetapi, pemanfaatan peluang usaha yang
mendorong pertumbuhan koperasi malah kurang
diperhatikan. Kerjasama dengan lembaga swadaya
19
masyarakat baik bersifat sosial maupun ekonomi
hampir juga kurang dipikirkan oleh pengelola
koperasi. Padahal, kerjasama tersebut akan dapat
mendatangkan keuntungan di kedua pihak.
Jika dihubungkan pula dengan perantara
organisasi wanita berserta aktivitasnya maka
penciptaan jalinan kerjasama yang saling
menguntungkan perlu ditantang untuk
dikembangkan. Dengan demikian, problem
pertumbuhan koperasi dari sudut eksternal dapat
teratasi kendatipun tidak menyeluruh.
3.3 Pembahasan
A. Keterkaitan Organisasi Wanita dan
Koperasi
Seperti yang telah disinggung pada tinjauan
pustaka organisasi wanita diharapkan ikut ambil
bagian dalam mengatasi problem yang dihadapi
koperasi dalam pertumbuhannya. Hubungan
organisasi wanita dengan koperasi dalam hal ini
adalah dalam bentuk saling menguntungkan bagi
perkembangan kedua organisasi tersebut. Bagi
koperasi, bentuk kerjasama yang demikian
merupakan development aid dari faktor eksternal
yang mendorong pertumbuhan koperasi (Benecke,
1982).
20
Dilihat dari sifat organisasi wanita maka ada
dua sifat organisasi yang dapat mengembangkan
kerjasama yang dimaksud yaitu organisasi wanita
yang bersifat formal dan organisasi yang bersifat
informal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
gambar berikut ini.
Tim PKK
Formal
Badan Koordinasi
Wanita Koperasi
Organisasi
Wanita Kelompok Koperasi
Tani
21
organisasi pengajian ibu-ibu/wanita yang
merupakan organisasi yang informal dapat pula
menstimulir aktivitas koperasi kearah
pertumbuhan yang lebih pesat lagi.
Untuk organisasi wanita yang bersifat
formal, keterkaitan yang dimaksud diatas kiranya
lebih baik bila hubungan tersebut berjalin secara
permanen. Hubungan tersebut akan meningkatkan
pula peranan organisasi wanita dalam memajukan
koperasi lebih realis dan berarti. Khusus untuk
organisasi wanita dalam bentuk jalinan informasi
dan informasi dan motivasi. Jalinanyang demikian
menuntut pula system keterbukaan dan saling
percaya khususnya dari pihak koperasi sebagai
lembaga ekonomi formal.
2. Hubungan Usaha/Bisnis
Dari segi bisnis, hubungan organisasi
wanita dengan koperasi dapat berbentuk 2 pola
yaitu:
23
a. Pola pertama : Organisasi wanita
merupakan potensi pasar bagi koperasi.
Pada pola ini, koperasi dapat memanfaatkan
organisasi wanita beserta anggotanya
sebagai objek bisnis tersebut akan dapat
meningkatkan laju pertumbuhannya.
b. Pola kedua : Organisasi wanita sebagai
subjek yang meamanfaatkan koperasi
sebagai media/objek seperti media
pemasaran produk yang dihasilkan
organsasi seperti PKK dan kelompok wanita
tani. Fasilitas yang dimiliki koperasi dapat
dioptimalkan penggunaannya oleh
organisasi wanita kearah yang
memungkinkan pula aktifitas koperasi
mempertinggi laju pertumbuhannya.
24
3.4 Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Pada hakekatnya, organisasi wanita sebagai
faktor eksternal bagi koperasi dapat berperan
dalam mendorong laju pertumbuhan koperasi.
Walaupun koperasi diharapkan lembaga ekonomi
di pedesaaan yang mandiri, namun kerjasama
prganisasi wanita dengan koperasi tidak akan
mengurangi arti kemandiriannya. Organisasi
wanita dengan pendekatan persuasive dan pola
kerjasama yang saling menguntungkan akan
mempercepat laju pertumbuhan usaha koperasi.
Bila perkembangan koperasi cukup pesat maka
impian untuk mewujudkan wadah ekonomi
pedesaan akan tercapai. Pada akhirnya, tentu
masyarakat akan lebih sejahtera. Inilah sasaran
utama pengembangan koperasi di pedesaan.
Sasaran tersebut tentu saja searah dengan
keinginan organisasi wanita dalam memajukan
pedesaan khususnya melalui koperasi.
25
B. Saran
Bertolak dari bahasan yang telah
dipaparkan maka disarankan :
27
BAB IV
Konsepsi Pengembangan
Koperasi Untuk Agribisnis dan
Agroindustri
28
untuk berperan sebagai penyedia input bagi petani
produsen dan membantu petani meningkatkan
nilai tambah output yang diproduksinya. Akan
tetapi peluang tersebut belum sepenuhnya
dimanfaatkan karena dibatasi oleh kendala-
kendala. Kendala internal dan eksternal
menghambat ruang gerak koperasi untuk ikut serta
dalam agribisnis dan agroindustri.
Secara kuantitas, Provinsi Jambi cukup
berpotensi untuk melibatkan koperasi dalam
pengembangan agribisnis dan agroindustri.
Tercatat 227 koperasi yang dimiliki Provinsi Jambi
yang mayoritas beroperasi didaerah yang
menghasilkan produk pertanian dan kehutanan.
Namun potensi koperasi tersebut belum dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi
pengembangan agribisnis dan agroindustri karena
dihadapkan pada beberapa dilema.
Untuk mengatasi dilema diperlukan suatu
keterbukaan operasionalisasi koperasi dan sistem
keterkaitan yang mendukung agar peran koperasi
betul-betul menunjang agribisnis dan agroindustri.
Sejalan dengan hal tersebut, dibutuhkan pula suatu
kebijakan yang mudah dipahami dan
diimplementasikan. Dari kebijakan tersebut
diharapkan koperasi dapat mendayagunakan
29
potensinya guna memanfaatkan peluang terutama
dalam aktivitas agribisnis dan agroindustri di
Provinsi Jambi.
Secara makro, koperasi di Provinsi Jambi
masih minimal kontribusinya dalam agribisnis dan
agroindustri. Dari 227 koperasi yang ada di
Provinsi Jambi hanya ada 5 koperasi yang terkait
sepenuhnya dengan aktivitas agroindustri. Kelima
koperasi tersebut terdiri dari 3 koperasi terkait
dengan komoditas sawit dan 2 koperasi terkait
dengan komoditas karet. Suatu hal yang menarik
sekali, ekspor non migas Provinsi Jambi
didominasi oleh karet dan hasil hutan. Akan tetapi
koperasi yang terlibat dalam aktivitas tersebut
masih memperihatinkan jumlahnya.
Secara kualitatif, masalah internal dan
eksternal koperasi berhubungan dengan
kemampuan koperasi dalam aktivitas agribisnis
dan agroindustri adalah sebagai berikut :
1. Masalah Internal
a) Kelengkapan organisasi belum berperan
sepenuhnya dan cenderung pada part time
activity.
b) Kesadaran anggota selaku owner dan user
masih minimal
30
c) Para pengelola manajemen masih belum
profesional dan belum market orientasi dan
member oriented.
2. Masalah Eksternal
a) Ketergantungan pada program pemerintah
masih dominan dan itupun belum
dimanfaatkan secara optimal.
b) Persaingan makin kuat sehingga cenderung
meminta proteksi dan fasilitas pada
pemerintah.
4.2 Pembahasan
A. Peluang Koperasi Dalam Agribisnis dan
Agroindustri
31
pendapatan selaku produsen bahan baku bagi
industri atau juga sebagai pemilik agroindustri.
Sendjaja (1990) berpendapat bahwa keterkaitan
agroindustri dengan koperasi akan mendorong :
1. Agroindustri yang diusahakan koperasi akan
menciptakan koperasi dan mendorong usaha
pertanian para anggota koperasi dan sekaligus
meningkatkan pendapatan anggota koperasi.
2. Agroindustri yang diusahakan koperasi
menciptakan struktur perekonomian yang
tangguh, efisien dan fleksibel diwilayah
kerjanya.
3. Agroindustri menciptakan lapangan kerja bagi
para anggota dan keluarganya.
4. Agroindustri menciptakan nilai tambah hasil
pertanian para anggotanya.
33
4. Industri berbahan baku hasil perkebunan dan
kehutanan.
5. Industri berbahan baku hasil pertanian.
34
Untuk memadukan ketiga unsur tersebut
diperlukan kejelian yang tinggi dari para pengelola
koperasi. Untuk keperluan tersebut pemanfaatan
jasa konsultan oleh koperasi adalah tepat
dilakukan. Hasil analisis kelayakan usaha oleh
konsultan dapat dijadikan pedoman bagi
pemilihan peluang usaha yang ada.
35
tersebut mengacu kepada prasyarat sebagai
berikut:
37
ketidakmampuan manajemen mengenai
keanekaragaman usaha. Oleh karena itu,
sebaiknya koperasi berawal dari “Single
Purpose” sehingga kemampuan manajemen
koperasi berimbang dengan perkembangan
usaha. Bila dihubungkan dengan agribisnis dan
agroindustri, melalui “Single Purpose” akan
memungkinkan koperasi berperan lebih
banyak. “Single Purpose” dapat diselaraskan
dengan jenis komoditas yang dikembangkan
dalam agribisnis dan agroindustri. Pada tahap
awal, koperasi sebaiknya hanya menangani satu
komoditas saja yang sesuai dengan konsep
pengembangan agribisnis dan agroindustri
sehingga akan muncul koperasi karet, koperasi
kelapa dan lain-lain. Jika tingkat kemapanan
koperasi telah tercapai maka koperasi baru
tepat berperan dalam “Multifunction”.
5. Menganut Sistem “Open Management”
Disamping menganut sistem “open
membership”, koperasi juga harus menganut
“open management”. Sistem ini membutuhkan
para pengelola koperasi punya kearifan
berkoperasi yang tinggi. Pengelola koperasi
harus betul-betul terbuka kepada anggota
38
selaku pemilik dan pelanggan koperasi. Melalui
sistem ini, para anggota akan bersedia
mengembangkan usahataninya melalui
koperasi. Keikutsertaan koperasi dalam
agribisnis dan agroindustri akan dipercayai
anggota melalui sistem keterbukaan sehingga
anggota yakin keikutsertaan tersebut akan
menguntungkan baginya juga. Pada segi lain,
sistem ini membutuhkan pula dedikasi dan
pengertian para pengelola koperasi dan bukan
pelatihan yang mengacu kepada
keformalitasan.
39
C. Kebijakan Keterkaitan Koperasi Dengan
Agribisnis dan Agroindustri
Menurut Helm (1968), koperasi dapat
membantu petani melalui :
1. Menyediakan sistem pemasaran yang efisien
dengan menyediakan pemasaran yang cocok.
2. Meningkatkan pendapatan petani melalui
kombinasi posisi pasar yang kuat, harga stabil,
margin perdagangan yang rendah dan meneliti
pasar yang menguntungkan.
40
1. Contract Farming With Cooperative
Pada pola ini, koperasi lebih besar
peranannya pada pasar input terhadap
agroindustri atau juga pada sistem pengadaan
bahan buku industri diserahkan kepada
koperasi. Petani-petani selaku produsen input
bergabung dalam koperasi untuk melakukan
transaksi dengan agroindustri (Kirk, 1987). Pola
ini mirip dengan pola PIR dimana petani
plasma bergabung dalam koperasi milik petani
saja.
2. InterCooperative Joint In Farming
Pola ini menginginkan kerjasama antara 2
koperasi dalam agribisnis dan agroindustri.
Petani selaku produsen bahan baku harus
bergabung pada koperasi sedangkan agribisnis
harus dimiliki oleh koperasi sekunder seperti
PUSKUD. Dengan demikian koperasi sekunder
harus melakukan investasi pada agroindustri
sedangkan koperasi primer milik petani
bertindak sebagai penyedia bahan baku.
Kebijakan seperti ini membutuhkan tingkat
kemapanan yang lebih tinggi pada koperasi
sekunder yang mengelola agribisnis karena
akan menjadi faktor penentu bagi
41
kelangsungan hidup petani yang tergabung
pada koperasi primer.
3. Vertical Integration Farming in Cooperative
Pola ini merupakan pola yang ideal karena
seluruh aktivitas agroindustri sejak dari
pengadaan input dan processing hingga
menjadi output ditangani langsung oleh satu
koperasi milik petani. Petani selaku produsen
bahan baku sudah terintegrasi secara vertikal
kedepan kedalam agroindustri secara bersama-
sama melalui koperasi (White, 1990). Bila ini
dapat tercapai maka peran koperasi dalam
agribisnis dan agroindustri boleh dikatakan
peranserta yang sempurna.
42
4.3 Kesimpulan
Pada dasarnya koperasi selaku badan usaha
dapat berperan aktif dalam aktivitas agribisnis dan
agroindustri. Koperasi dapat bertindak sebagai
peranserta atau pengelola agribisnis dan
agroindustri. Besar kecilnya peranan koperasi
tersebut amat ditentukan oleh kemampuan
koperasi dan kebijakan yang mendukung. Koperasi
yang mapan akan mempunyai kesiapan organisasi
dan manajemen yang baik untuk mengantisipasi
perubahan yang terjadi pada agribisnis dan
agroindustri.
Koperasi di Provinsi Jambi belum begitu
dapat berbuat banyak dalam artian makro.
Kendala internal dan eksternal koperasi
memerlukan pemerataan dan kajian yang
memungkinkan koperasi tersebut dapat
memainkan peranannya dalam agribisnis dan
agroindustri. Pola Contract Farming With Cooperative
dalam pengembangan agribisnis dan agroindustri
perlu kiranya mendapat perhatian dan
dikembangkan di Provinsi Jambi. Namun pola
tersebut mempunyai prasyarat agar sukses yaitu
kemapanan koperasi. Dalam memilih agribisnis
mana yang layak dikelola oleh koperasi atau juga
koperasi dapat berintegrasi kedalamnya,
diperlukan pula studi kelayakan yang baik agar
sesuai dengan kondisi dilapangan.
43
4.4 Daftar Pustaka
44
White, B. 1990. Agroindustri, Industrialisasi
Pedesaan dan Transformasi Pedesaan, IPB,
Bogor.
45
BAB V
Konsepsi Pengembangan
Koperasi Untuk Kemitraan
Usaha Agroindustri
46
Nasution (1987) menyatakan bahwa kemampuan
koperasi untuk memupuk modal dari anggota
sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan
koperasi. Kondisi ini tentu membawa dampak
terhadap koperasi dan usaha para enggotanya
yang bergerak dalam agroindustri. Dengan
demikian, diperlukan upaya kemitraan untuk
membantu dan meningkatkannya.
Menurut Hatta (1987), bila koperasi makmur
maka makmurlah hidup anggotanya. Ini berarti,
upaya meningkatkan usaha koperasi akan
berpengaruh terhadap usaha para anggotanya
yang bergerak dalam agroindustri. Oleh karena itu,
pemerintah telah mengeluarkan beberapa
kebijakan yang mendorong pengembangan
kemitraan. Melalui kebijakan tersebut telah
diupayakan melibatkan pihak BUMN dan BUMS
sebagai mitra usaha koperasi. Khusus untuk
BUMN, telah diinstruksikan untuk mendaya-
gunakan laba bersih sebesar 5 persen guna
pembinaan koperasi.
Dalam bentuk kemitraan usaha, telah
dikembangkan pula kerjasama koperasi dengan
BUMN dan BUMS dalam 4 bentuk (Soedjono, 1990)
yaitu :
47
1. Kerjasama insidentil/tidak tetap atas dasar
kepentingan bersama untuk kegiatan
tertentu dan berhenti bila selesai.
2. Kerjasama untuk waktu yang lebih panjang
dan terus menerus.
3. Pemilikan saham pada perusahaan bukan
koperasi.
4. Koperasi bersama bukan koperasi
membentuk usaha patungan dalam bentuk
PT dimana koperasi salah satu pemegang
saham dari PT tersebut.
48
b. Pola II : Koperasi sebagai pengumpul dan
pengolah bahan baku yang
selanjutnya akan dipasarkan oleh
BUMN dan BUMS yang menjadi
mitranya.
c. Pola III : Koperasi sebagai pengumpul,
pengolah bahan baku, pemasar
dan pemilik saham dari BUMN
dan BUMS yang menjadi mitranya
usaha dalam meningkatkan
pangsa pasar dan efisiensi
usahanya.
49
kesinambungan kebijaksanaan pengurus karena
pada koperasi penggantian pengurus akan
mempengaruhi jalannya kemitraan usaha dengan
BUMN dan BUMS.
Problema bentuk kemitraan usaha koperasi
dengan BUMN dan BUMS akan lebih lengkap bila
diamati bentuk kemitraan pemilikan saham dan
usaha patungan. Pada bentuk kemitraan usaha
dalam bentuk pemilikan saham oleh koperasi atas
saham perusahaan yang bonafit, posisi koperasi
hanya sebagai penerima saham dan profit.
Penerimaan saham dari perseroan yang bonafit
kurang diikuti oleh kontra prestasi dan bahkan ada
yang tidak terkait dengan usaha koperasi penerima
saham. Sedangkan bentuk kemitraan usaha dalam
usaha patungan dihadapkan pula pada persoalan
perimbangan kekuatan pada usaha yang dibentuk
Koperasi dengan BUMN dan BUMS tersebut.
Kemampuan manajemen koperasi dalam negosiasi
cukup rendah sehingga dalam operasional usaha
patungan posisi koperasi tidaklah kuat.
Kabupaten Batang Hari yang memiliki 51
koperasi yang bergerak dalam agroindustri dengan
jumlah anggotanya 17.936 orang, dalam
perkembangannya ada yang melakukan kemitraan
usaha dengan BUMN dan BUMS. Persoalan
50
kemitraan usaha yang dipaparkan diatas juga
ditemui pada koperasi di Kabupaten Batang Hari.
Kiranya upaya meneliti permasalahan kemitraan
usaha yang dilakukan Koperasi dengan BUMN
dan BUMS menarik untuk dilakukan guna
menemukan model pengembangan kemitraan
usaha yang terbaik.
51
5.1.2 Tujuan dan Kontribusi Penelitian
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui apakah ada perbedaan
keberhasilan koperasi yang bergerak dalam
usaha agroindustri sebelum dan sesudah
melakukan kemitraan dengan BUMN dan
BUMS.
2. Mengetahui model kemitraan mana yang
layak dikembangkan antara Koperasi
dengan BUMN dan BUMS dalam
pengembangan agroindustri.
B. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi kepada:
1. Departemen Koperasi dan PPK serta
Departemen Perindustrian dalam
mengembangkan agroindustri melalui
kemitraan antara Koperasi dengan BUMN
dan BUMS.
2. Para peminat dan peneliti koperasi dalam
mengembangkan koperasi melalui
kemitraan dengan BUMN dan BUMS
khususnya bagi koperasi yang bergerak
dalam usaha agroindustri.
52
5.2 Tinjauan Pustaka
Keikutsertaan pihak BUMN dan BUMS
dalam kemitraan usaha dengan Koperasi dalam
pengembangan agroindustri patut dikembangkan.
Kemitraan usaha tersebut akan mempercepat
kemajuan koperasi dan agroindustri. Pemberian
bantuan lewat kemitraan usaha akan
menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi
bantuan yang berbentuk kemitraan usaha antara
Koperasi dengan BUMN dan BUMS harus berbasis
pada kepentingan dari kemitraan bersama
(Soedjono, 1992).
Hasil penelitian Rachmad R (1993) di
Provinsi Jambi menunjukkan bahwa peluang usaha
yang diberikan BUMN dan BUMS sangat
berpengaruh bagi keberhasilan pengembangan
koperasi. Selaku faktor eksternal, pengaruh
peluang usaha yang diberikan BUMD dan BUMS
sangat dominan dibandingkan dengan faktor
eksternal lainnya. Peluang usaha tersebut dapat
dipermanenkan dalam bentuk kerjasama yang
punya keterkaitan usaha.
Keterkaitan usaha merupakan bentuk upaya
kerjasama yang dilakukan koperasi dengan pihak
lain terutama melalui kegiatan pemasaran atau
pendistribusian prosuk, dengan tujuan untuk
53
mendukung dan memenuhi kebutuhan para
anggota koperasi. Keterkaitan yang demikian
merupakan kemitraan usaha yang berdampak bagi
koperasi beserta usaha agroindustri milik para
anggota.
Sejalan dengan konsep keterkaitan diatas
maka pengembangan konsep keterkaitan
intergratif antara usaha koperasi di bidang industri
dengan usaha BUMN dan BUMS harus
diperhatikan. Tjakrawardaya (1993) memberi
isyarat bahwa keterkaitan intergratif harus
dilaksanakan dalam rangka hubungan yang saling
memberi manfaat, baik manfaat ekonomi maupun
manfaat sosial. Keterkaitan tersebut dapat bersifat
komplementer dan substitusi.
Pada bagian lain Ropke (1992) melihat
keterkaitan usaha Koperasi dengan BUMN dan
BUMS dapat dikembangkan dalam bentuk Bapak
Angkat. Model Bapak Angkat tersebut
dikembangkan dalam 5 alternatif pengembangan
yaitu:
54
2. Partisipasi permodalan dari Bapak Angkat
guna meningkatkan modal usaha
agroindustri anggota atau koperasi.
3. Kerjsama koperasi dengan Bapak Angkat
dalam mengembangkan produk
agroindustri milik anggota koperasi.
4. Kontrak kerja dalam jangka pendek antara
Bapak Angkat dengan koperasi selaku Anak
Angkat.
5. Pembelian produksi agroindustri yang
dihasilkan koperasi atau para anggota
koperasi oleh Bapak Angkat untuk
membantu pemasaran koperasi.
55
IKOPIN (1992) menyarankan, bentuk
kemitraan usaha yang dapat dikembangkan dalam
pembangunan koperasi adalah:
1. Manajemen Kontrak
2. Joint Venture (Usaha Patungan)
3. Mitra Usaha
4. Bapak Angkat – Anak Angkat
56
dianggap kurang mendorong pengembangan
usaha koperasi.
Dari segi konsep pemerataan perolehan
pendapatan maka kemitraan usaha dalam bentuk
pemilikan saham adalah tepat. Namun aspek
keterkaitan usaha harus pula menjadi dasar
berpijak agar pelimpahan saham tidak
menimbulkan dampak negatif dari perilaku
pengelola koperasi. Tanpa dimensi kemitraan
usaha dalam pelimpahan saham tersebut maka
nilai guna hanya terletak pada aspek penambahan
harta tetapi tidak terjadi penambahan volume
usaha.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian menginginkan, tata
hubungan usaha yang serasi dan saling
menguntungkan antara Koperasi dengan BUMN
dan BUMS guna mewujudkan sistem perkonomian
nasional yang berlandaskan demokrasi ekonomi.
Untuk itu, model pengembangan kemitraan usaha
antara Koperasi dengan BUMN dan BUMS
khususnya dalam agroindustri haruslah
merupakan hubungan yang saling membutuhkan
dan menguntungkan. Bertolak dari hal tersebut
kiranya model kemitraan usaha Koperasi dengan
57
BUMN dan BUMS dalam mengembangkan
agroindustri yang ideal perlu dikaji lebih lanjut.
Analisis tentang model tersebut akan memberikan
masukan bagi desain kemitraan usaha yang
mampu mengangkat derajat koperasi sejajar
dengan pelaku ekonomi lainnya di satu pihak dan
mengembangkan agroindustri di pihak lain.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam
penelitian ini adalah metode penelitian survai.
Penelitian survai yang dimaksud adalah penelitian
yang mengambil sampel dari suatu populasi dan
menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul
data yang pokok (Singarimbun, 1990). Dari data
yang diperoleh diharapkan dapat mewakili
populasi penelitian.
58
C. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini variabel penelitian
yang digunakan adalah:
59
4. Kemitraan usaha adalah kerjasama usaha
antara Koperasi dengan BUMN dan BUMS.
BUMN dan BUMS tersebut memberi
peluang usaha kepada koperasi yang
bergerak dalam usaha agroindustri.
5. Keberhasilan koperasi adalah keberhasilan
yang diperoleh koperasi selaku Cooperative
Enterprise dan koperasi selaku Cooperative
Group. Dengan demikian kriteria penilaian
yang digunakan bukan aspek bisnisnya saja
tetapi juga dalam aspek dinamika
anggotanya.
Tingkat Penilaian
No Kriteria Penilaian Skor Skor Skor Skor Skor
1 2 3 4 5
1 Rata-rata % < 20% 21- 41- 61- >
pertambahan 40% 60% 80% 81%
SHU per anggota
per tahun selama
5 tahun (1986-
1990)
2 Rata-rata % < 20% 21- 41- 61- >
pertambahan 40% 60% 80% 81%
volume usaha
koperasi selama 5
tahun (1986-1990)
60
3 Rata-rata % < 20% 21- 41- 61- >
pertambahan 40% 60% 80% 81%
jumlah anggota
koperasi koperasi
selama 5 tahun
(1986-1990)
4 Rata-rata %
pertambahan
jumlah modal
selama 5 tahun
(1986-1990)
a. modal < 20% 21- 41- 61- >
sendiri 40% 60% 80% 81%
b. modal > 81% 61- 41- 21- <
asing 80% 60% 40% 20%
5 Pertambahan unit < -1 0 unit +1 +2 > +3
usaha koperasi unit unit unti unit
selama 5 tahun
(1986-1990)
6 Jumlah <1 2 kali 3 kali 4 kali >5
penyelenggaraan kali kali
RAT yang tepat
waktunya selama
5 tahun (1986-
1990)
7 % penduduk < 15% 16- 31- 46- >
dewasa di daerah 30% 45% 60% 61%
kerja koperasi
yang jadi anggota
koperasi
8 % volume usaha < 20% 21- 41- 61- >
yang terkait 40% 60% 80% 81%
dengan
pelayanan/
61
kebutuhan
anggota koperasi
9 Pertambahan <1 2 3 4 >5
karyawan orang orang orang orang orang
koperasi selama 5
tahun (1986-1990)
10 Rata-rata % < 20% 21- 41- 61- >
realisasi rencana 40% 60% 80% 81%
usaha koperasi
selama 5 tahun
(1986-1990)
62
BUMN dan BUMS di bidang agroindustri.
Sampling Frame yang digunakan adalah daftar
koperasi yang terdaftar pada Dinas Koperasi dan
PPK Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi.
2. Populasi Sasaran
Untuk mendapatkan data yang dapat
mewakili koperasi yang melakukan kemitraan
dalam bidang agroindustri maka dilakukan
pengambilan dengan metode Stratified Random
Sampling. Jumlah koperasi sampel yang diambil
adalah 30% dari populasi sampel yang
dialokasikan secara proporsional menurut Strata.
63
̅
⁄
√
Dimana:
∑ (∑ )
√
( )
Dimana:
64
Untuk analisis deskriptif, akan dijelaskan
secara rinci tentang model kemitraan yang layak
untuk dikembangkan khususnya bagi agroindustri.
65
merupakan Dati II yang memiliki potensi ekonomi
di sektor pertanian dan industri. Indikasi potensi
ekonomi ini bila dikaitkan dengan penelitian
Kuznets mengenai perubahan struktur ekonomi,
akan terlihat dari sumbangan per sektor terhadap
Produk Domestik Regional Bruto (Sukirna, 1987).
Kondisi tahun 1993 menunjukan bahwa sektor
pertanian dan industri memberikan kontribusi
terbesar terhadap PDRB, yaitu masing-masing
sebesar 29,66% dan 20,96%. Walaupun mengalami
penurunan namun untuk tahun 1994 tetap
menunjukkan kontribusi terbesar masing-masing
sebesar 29,43% dan 20,31% dengan pertumbuhan
sebesar 7,28% dan 4,87%. Bila ditelusuri lebih
mendalam, penurunan kontribusi ini lebih
dikarenakan peningkatan cukup besar sektor
pertambangan dan penggalian (16,7%) dan sektor
sektor perdagangan, restooran dan hotel (15,34).
Deskripsi kuantitatif dapat dicermati pada tabel
berikut:
66
Tabel 5.2 PDRB Kabupaten Batang Hari Atas Dasar Harga
Konstran Tahun 1993-1994
No Sektor Tahun 1993 Tahun 1994 Pertumbu
Nilai Kontribusi Nilai Kontribusi han 1993-
1994
1 Pertanian 111.814.136 29,66 120.063.841 29,43 7,38
2 Pertambangan 45.515.790 12,05 52.757.423 12,93 16,17
& Penggalian
3 Industri 79.025.707 20,96 82.871.906 20,31 4,87
Pengolahan
4 Listrik, Gas, Air 340.730 0,09 388.107 0,10 13,90
Minum
5 Bangunan 17.323.960 4,60 17.876.702 4,38 3,19
6 Perdag, 57.059.950 15,14 65.814.368 16,13 15,34
Restoran &
Hotel
7 Angkutan & 17.045.851 4,52 17.699.721 4,34 3,84
Komunikasi
8 Keuangan, 13.670.019 3,63 14.286.425 3,50 4,51
Pesewaan
9 Jasa-Jasa 13.670.019 9,35 36.205.487 8,8 8,23
PDRB Migas 376.930.837 100,00 407.963.980 100,00 8,23
PDRB Non 337.275.927 361.211.228 7,10
Migas
Sumber : Bappeda Batang Hari, 1996
67
Kabupaten Batang Hari telah mampu memenuhi
98,34% kebutuhan beras untuk penduduknya.
Disamping potensi yang dimiliki pada
komoditi pertanian tanaman pangan, Kabupaten
Batang Hari pada saat ini berupaya
mengembangkan komoditi andalan dari sub sektor
perkebunan terutama Karet dan Kelapa Sawit.
Dengan luas areal tanam 190.903 Ha komoditi
perkebunan pada tahun 1995, 74,58% (142.379 Ha)
merupakan luas areal tanam komoditi karet dan
23,48% (44.824 Ha) luas areal tanam kelapa sawit.
Kesungguhan pemerintah daerah dalam
pengembangan sub sektor perkebunan ini diikuti
dengan pengembangan pola kemitraan. Baik dalam
bentuk pola PIR maupun pola Dagang yang
lmelibatkan 2 perusahaan inti dari 49 KUD Mandiri
(Kandep Koperasi dan PPK, 1997). Potensi sub
sektor perkebunan ini dapat diamati pada tabel
berikut:
68
Tabel 5.3 Luas dan Produksi Komoditi Perkebunan di
Kabupaten Batang Hari Tahun 1993 dan 1995
No Komoditi Tahun 1993 Tahun 1994
Luas (Ha) Produksi Luas (Ha) Produksi
(Ton) (Ton)
1 Karet 139.665 57.592 142.379 60.563
2 Kelapa Dalam 1.967 690 2.009 683
3 Kelapa Hiprida 628 98 707 107
4 Kelapa Sawit 42.548 312.958 44.824 360.364
5 Kopi 334 61 513 73
6 Cengkeh 103 105 72 4,0
7 Coklat 3.467 49 3.485 26
8 Lain
Jumlah 189.063 190.903
Sumber : Bappeda Batang Hari, 1996
B. Perkembangan Koperasi
Jiwa utama yang diamanatkan dalam UUD
1945 Pasal 33 guna memajukan perekonomian
masyarakat adalah usaha bersama berazaskan
kekeluargaan. Ini berarti, koperasi bukan satu-
70
satunya alternatif yang dapat mengakomodasi
amanat tersebut. Karena menurut Ropke (1987),
usaha bersama yang dimaksud dapat juga
dioperasikan dalam bentuk cooperative enterprise
yang merupakan pengimplementasian dari
cooperative society. Jika pada akhirnya pilihan jatuh
pada koperasi lebih dikarenakan koperasi masih
dianggap mampu memenuhi dua aspek yang
diharapkan sekaligus yaitu aspek sosial dan
sekaligus aspek ekonomi. Oleh Draheim dalam
Duelfer (1986) hal ini disebut dengan double nature.
Sehingga pada akhirnya, melalui koperasi
diharapkan terjadi peningkatan taraf hidup
masyarakat tanpa menghilangkan jiwa
kebersamaan. Harapan ini tentu saja berlaku untuk
koperasi di Kabupaten Batang Hari. Berikut akan
diperlihatkan perkembangan koperasi di
Kabupaten Batang Hari, yang terdiri dari KUD
(Koperasi Unit Desa) dan KOPTA (Koperasi
Perkotaan).
Hal yang menarikk untuk dicermati dari
perkembangan KUD di Kabupaten Batang Hari
adalah keterkaitan antara perkembangan unit
usaha, total asset dan volume usaha. Dengan
jumlah 84 unit KUD untuk kondisi tahun 1996 atau
71
meningkat 4,45% dibanding tahun 1994, mampu
meningkatkan total asset sebesar 275,34%.
Sehingga, seiring dengan peningkatan volume
usaha sebesar 38,80% maka berdampak positif
pada peningkatan SHU sebesar 113,10%.
Peningkatan asset ini sangat terkait dengan pola
kemitraan yang dikembangkan. Melalui pola
kemitraan ini, maka diharuskan adanya 1 KUD
Mandiri yang berlaku sebagai inti.
Pengembangan pola kemitraan di
Kabupaten Batang Hari ini secara tidak langsung
telah menjawab kekhawatirkan yang dilontarkan
oleh Djojohadikusumo (1985). Djojohadikusumo
menyatakan bahwa kekurang mampuan KUD
berkembang dikarenakan pengelola KUD kurang
tanggap atas kebutuhan anggota dan kurang
memperhatikan bidang teknis usahanya. Melalui
pola kemitraan justru hal yang dikhawatirkan
tersebut diupayakan untuk dieliminir. Sebenarnya,
pola kemitraan yang dilakukan saat ini jauh-jauh
waktu telah dilansir oleh Wowor (1989) yang
menyatakan bahwa keberhasilan KUD sangat
ditentukan oleh pangsa pasar yang dimiliknya dan
besarnya bantuan yang diterima. Dalam pola
kemitraan kedua hal tersebut ditemui. Dan searah
dengan pendapat Wowor, Tjakrawardaya (1989)
72
mengungkapkan bahwa bantuan yang diberikan
kepada KUD pada dasarnya mengharapkan agar
KUD menjadi mandiri. Dan kesemuanya tersebut
diharapkan berdampak positif bagi anggota dan
masyarakat. Deskriptif kuantitatif dapat diamati
pada tabel berikut:
73
Dengan pertumbuhan jumlah KOPTA
sebesar 8,50% (tahun 1994-1996), ternyata diikuti
dengan pertumbuhan yang tinggi pada modal
(89,99%), total asset (92,25%), volume usaha
(83,92%) dan SHU (71,70%). Kondisi ini tidak
terlepas dari karakteristik yang lebih dinamis pada
KOPTA. Disamping itu, KOPTA di Kabupaten
Batang Hari juga cenderung berbentuk multi service
dan multi function. Walaupun hal ini tidak dapat
dinyatakan secara tegas sebagai penyebab
indikasin diatas, karena pada beberapa kasus
koperasi single service dan single function lebih
berhasil (Fachturozy, 1997). Secara lebih spesifik
data keragaan KOPTA di Kabupaten Batang Hari
dapat diamati pada tabel berikut:
74
C. Pola Kemitraan Koperasi
Hadi Sapoetro (1986) dalam bukunya
“Pokok-Pokok Pikiran Pengembangan Koperasi di
Indonesia” telah menegaskan bahwa
pengembangan koperasi, terutama KUD tidak
hanya tanggung jawab pemerintah tapi juga
seluruhu masyarakat, termasuk perusahaan
perkebunan milik negara dan swasta. Inti gagasan
ini adalah perlunya kemitraan antara koperasi
dengan BUMN dan BUMS. Sehingga diharapkan
dari kemitraan yang dikembangkan dapat
menumbuhkan suatu sinergi. Sinergi yang
dimaksud dapat berupa penciptaan peluang usaha,
perluasan pasar, penyediaan input ataupun
peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada
koperasi. Bahkan menurut Rachmad R (1993),
peluang usaha dari kemitraan dengan BUMN dan
BUMS merupakan faktor unggulan dalam penentu
keberhasilan pengembangan KUD. Hal yang
senada juga disampaikan oleh Prijadi, dkk (1985).
Beranjak dari pemikiran akan begitu
urgennya kemitraan usaha dalam pengembangan
koperasi, maka Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Batang Hari berupaya mewujudkan
melalui kerjasama dengan pihak swasta (Bappeda,
1996). Pola kemitraan yang dikembangkan
75
merupakan suatu bentuk kemitraan usaha antara
Perusahaan Besar (Inti) dengan Petani Kecil
(Plasma) melalui kelembagaan koperasi, dengan
memanfaatkan fasilitas Kredit Koperasi Primer
untuk Anggota (KKPA).
Ada dua bentuk pola kemitraan yang
dikembangkan yaitu pola PIR dan pola Dagang.
Pada pola PIR, koperasi yang dilibatkan sebanyak
44 KUD inklusif di dalamnya 2 KUD Mandiri
sebagai inti pada dua komoditi yang dikelola yaitu
karet dan kelapa sawit. Untuk pola Dagang,
komoditi yang dikelola adalah karet rakyat, yang
melibatkan 7 KUD. Deskripsi sederhana tentang
Skema Kemitraan KUD dapat diamati berikut ini:
Mandiri inti
(1 KUD)
Karet
(12 KUD)
Mandiri
(11 KUD)
PIR
Mandiri inti
(1 KUD)
Sawit
(32 KUD)
Mandiri
(31 KUD)
KUD Kemitraan SUB
CONTRACTING
Mandiri inti
(Tidak Ada)
Karet
DAGANG
(7 KUD)
Mandiri
(7 KUD)
76
Bila dilakukan evaluasi sementara terhadap
target volume usaha untuk Desember 1997,
ditemui KUD Mandiri Inti pola PIR Karet untuk
kondisi November 1997, telah mampu merealisasi
sebesar 85,25%. Kemampuan KUD Mandiri Inti
PIR Karet ini lebih tinggi dibandingkan KUD
Mandiri Inti PIR Sawit yang baru mampu
meralisasi sebesar 78,31%. Namun, untuk KUD
Mandiri Plasma PIR Karet melebihi target hanya
sebesar 1,23% dan untuk KUD Mandiri pola
Dagang baru mampu merealisasi sebesar 68,89%.
Angka-angka mentah ini secara sederhana
memberi indikasi dari kondisi dan prospek dari
pola kemitraan dan prospek komoditi yang layak
dikembangkan. Informasi yang dapat
diinterpretasikan lebih jauh bisa diamati pada tabel
berikut:
77
5.4.2 Analisis Dampak Model Kemitraan
Guna menjawab permasalahan pertama
maka dengan menggunakan model Uji Beda Dua
Rata-Rata Dependent, diperoleh hasil yang
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada
ɑ = 0,01, dimana thitung (15,93) > ttabel (2,65). Ini
berarti, terdapat perbedaan tingkat keberhasilan
koperasi yang bergerak dalam usaha agroindustri,
setelah melakukan kemitraan dengan BUMN dan
BUMS, dibandingkan sebelum melakukan
kemitraan.
Peningkatan keberhasilan koperasi setelah
melakukan kemitraan semestinya sudah menjadi
suatu keharusan. Terutama sekali bila dikaitkan
dengan tujuan dan pelaksanaan pola kemitraan itu
sendiri. Dalam kemitraan, kerjasama dititik
beratkan pada peningkatan kualitas sumberdaya
manusia yang mencakup aspek pengelolaan
perkoperasian, pengorganisasian dan manajemen.
Sehingga pada gilirannya nanti koperasi benar-
benar menjadi kekuatan perekonomian rakyat.
Bila koperasi telah berhasil berkembang
dengan baik maka menurut Helm (1986), akan
mampu membantu anggotanya meningkatkan
pendapatan melalui kombinasi posisi pasar yang
78
kuat, harga stabil, magrin perdagangan yang
rendah dan penelitian pasar yang menguntungkan
anggota. Peningkatan pendapatan yang dimaksud
dapat berupa cash maupun non cash (Kay, 1986).
Dalam aspek yang lebih luas, peningkatan
keberhasilan koperasi dapat memberikan
kombinasi dalam pembangunan ekonomi daerah,
dalam hal ini Kabupaten Batang Hari. Melalui
proses multiplier effect hal ini mendorong
peningkatan aktifitas ekonomi dan terjadinya
perubahan tingkat sosial ekonomi dalam
masyarakat (Wilson, 1986). Bila proses demikian
berjalan sesuai dengan yang diharapkan, ini berarti
secara tidak langsung koperasi dengan pola
kemitraannya telah membantu pemerintah dengan
mencapai tujuan program pembangunan ekonomi
dearah. Hal ini menunjukkan apa yang dinyatakan
Hanel (1989) dalam bukunya State Sponsored
Cooperative and Self Reliance ditemui kasus KUD
pada kemitraan di Kabupaten Batang Hari.
79
adalah pola kemitraan mana yang sebaiknya
dikembangkan. Sehingga benar-benar memberi
dampak akumulatif yang positif riil, baik pada
ekonomi anggota maupun ekonomi masyarakat
dan daerah secara umum. Berkenann dengan ini,
menurut Benecke (1982) dalam penentuan pilihan
harus diperhatikan faktor internal dan eksternal.
Untuk Kabupaten Batang Hari ditemui dua
pola kemitraan yaitu pola PIR dan pola Dagang.
Guna menentukan pola yang lebih layak maka
terlebih dahulu kita menyakini bahwa pola
kemitraan yang dikembangkan harus atas dasar
saling menguntungkan dan saling mengisi
terutama dalam pengembangan agroindustri.
Pola PIR yang dikembangkan di Kabupaten
Batang Hari memberi penekanan pada pembinaan
sumber daya manusia (petani) disamping aspek
teknis budidaya. Disamping itu juga dilakukan
pengorganisasian, penghadiran dan pelatihan, baik
yang terkait dengan teknis budidaya maupun
aspek manajemen usaha/perkoperasian. Guna
mendukung kegiatan tersebut maka dilengkapi
dengan Tenaga Pendamping yang direkrut khusus
dari program Sarjana Masuk Desa. Sehingga dapat
diyakini melalui pola PIR ini manfaat yang
80
diperoleh koperasi/KUD berdimensi luas,
mencakupn faktor internal dan eksternal.
Pada pola Dagang, hubungan antara
koperasi dan mitranya hanya terbatas pada
perdagangan komoditi. Ini berarti, kemitraan tidak
memberi dampak pada peningkatan kualitas
anggota, manajemen koperasi dan keterlibatan
anggota secara penuh dalam aktivitas pasca
produksi. Manfaat yang diperoleh hanya pada
kelancaran pemasaran produk yang dihasilkan
anggota koperasi.
Dari komparatif aktivitas masing-masing
pola kemitraan diatas maka dapat diyakini bahwa
kemitraan pola PIR lebih memberi dampak positif
riil yang komprehensif, dibandingkan pola
Dagang. Bila pola PIR diyakini lebih baik maka
sebaiknya juga ditentukan komoditi mana yang
harus dikembangkan, yaitu karet atau kelapa
sawit.
Komoditi karet merupakan komoditi
tradisional bagi petani di Kabupaten Batang Hari,
yang beberapa waktu lalu merupakan komoditi
andalan. Namun dikarenakan teknis budidaya
dilakukan secara tidak benar, perilaku petani yang
tidak teratur dalam penyadapan dan pada sisi lain
karet yang dihasilkan dapat dijual kepada siapa
81
saja, dan tidak dilakukannya peremajaan maka
berakibat pada melemahnya potensi pada komoditi
ini. Dari sisi yang lebih luas dengan adanya
temuan dari karet sintetis, berdampak pada
berfluktuasinya harga komoditi karet alam ini.
Pada bagian lain komoditi sawit juga tidak
kalah baik tumbuh di lahan Kabupaten Batang
Hari. Walaupun petani kurang begitu familiar
dengan komoditi ini, namun dengan adanya
pelatihan yang insentif dan disertai dengan adanya
pendamping maka komoditi ini juga memiliki nilai
ekonomis yang baik. Keunggulannya
dibandingkan karet adalah komoditi ini tidak
dapat dipanen dan dijual ke sembarang tempat
kecuali ke pabrik pengolahan sehingga sistem
pemanenan akan lebih teratur. Pada bagian lain,
nilai jual komoditi ini dipasaran internasional
relatif lebih stabil dibanding karet.
Atas dasar studi komparatif ringkas diatas
dapat kita yakini bahwa komoditi sawit lebih
prospektif secara ekonomi untuk dikembangkan.
Bila dikaitkan dengan model kemitraan, ini berarti
model yang layak dikembangkan adalah pola PIR-
BUN Sawit-Koperasi.
82
5.4.4 Implikasi Kebijakan
Guna mencapai tujuan secara riil dari
adanya kemitraan koperasi terutama dalam
konteks penelitian ini, yaitu model kemitraan pola
PIR-BUN Sawit-Koperasi, maka perlu dirumuskan
beberapa kebijakan. Kebijakan ini pada dasarnya
menekankan pada kesejajaran posisi antara
koperasi dengan mitranya, kemandirian koperasi
dan kesejahteraan anggota. Adapun implikasi
kebijakan yang dimaksud adalah:
1. Pada model kemitraan yang dikembangkan,
terlihat pada tahap awal adanya dimensi
program dari perusahaan inti (KUD Mandiri
Inti) kepada plasma (KUD Mandiri). Secara
konsepsional, hal ini bertujuan untuk
menciptakan kondisi yang kondusif dan
secara bertahap akan dikurangi. Namun
dalam perkembangannya yang muncul
justru ketergantungan sehingga pada
akhirnya, koperasi yang muncul adalah
koperasi yang dimandirikan. Untuk
mengantisipasi kemungkinan demikian
maka Departemen Koperasi dan PPK selaku
pembina, harus selalu melakukan
pengevaluasian terhadap pelaksanaan
program. Disamping itu, beserta pihak
83
swasta (perusahaan inti) dan lembaga
penelitian, harus dilakukan penelitian guna
menemukan pola hubungan kemitraan yang
ideal. Sehingga mampu menempati koperasi
bersama mitranya untuk sama-sama
berkembang.
2. Pengembangan model kemitraan sendiri
mungkin harus melibatkan lembaga
ekonomi. Dalam artian, anggota koperasi
harus diarahkan secara benar dalam
berperilaku ekonomi dan diperkenalkan
akan arti penting lembaga ekonomi
(perbankan). Sehingga, bila terjadi
peningkatan pendapatan tidak disertai
dengan peningkatan konsumsi, tapi
peningkatan tabungan atau investasi.
Dengan demikian, keberhasilan program
kemitraan dapat memberi efek berlanjut
(multiplier effect) yang lebih luas.
3. Guna mengantisipasi terjadinya fluktuasi
harga dan permintaan, sehingga berdampak
pada petani plasma (anggota koperasi)
maka perlu dikembangkan komoditi
pendamping. Komoditi dimaksud
disamping dapat untuk memenuhi
84
kebutuhan sendiri, juga harus mempunyai
nilai jual ekonomi.
86
3. Khusus dalam pengembangan IR BUN,
perlu dilakukan studi kelayakan secara tepat
atas komoditi yang unggul untuk
dikembangkan yang disertai komoditi
pendamping, sehingga pola kemitraan yang
dilakukan dapat berlangsung secara
kontinyu dan berdampak luas pada seluruh
anggota koperasi. Hal ini dikarenakan
perbedaan waktu dan lokasi mempunyai
implikasi yang berbeda terhadap komoditi
yang potensial untuk dikembangkan.
87
Ms. Mary Treacy & Mr. Lajos Varadi, ICA,
Geneva.
Hadisapoetro, Sudarsono, 1986. Pokok-Pokok Pikiran
Pengembangan Koperasi di Indonesia, Sapta
Cahara, Jakarta.
Hanel, Alfred, 1989. State Sponsored Cooperative and
Self Reliance, Institut For Coperation in
Entwik Klung Sladern, Institute For
Cooperative in Developing Countries, Philips
Universitat, Marburg.
Hatta M., 1987. Membanguna Koperasi dan Koperasi
Membangun, Inti Idayu Press, Jakarta.
Helm, Franz, C., 1986. The Economic of Cooperative
Enterpride, The Cooperative College
Tanzania and University of London,
University of London Press, London.
IKOPIN, 1992. Pokok-Pokok Pemikiran IKOPIN
Tentang Strategi dan Kebijakan Pembangunan
Koperasi Pada PJPT II, IKOPIN Press,
Jatinangor.
Ismangil, W., 1992. Beberapa Permasalahan Dalam
Pengembangan Keterkaitan Usaha dalam Infokop
No. 10 Tahun 1992, Balitbang Depkop,
Jakarta.
88
Iwantono, S., 1993. Membangun Kemitraan Antara
Koperasi dan BUMN, dalam Warta Ekonomi
No. 52 Tahun 1993, IKPN, Jakarta.
Koch, Eckard and Radolfzell, A.B., 1985. Afflication
of Cooperative Developing Countries, FES
Departement of Cooperative and Economic
Promotion, Bonn.
Kay, Ronald D., 1986. Farm Management, Planning,
Control and Implementation, Mc Graw-Hill,
New York.
Nasution, M., 1987. Strategy Menuju ke Swadayaan
Koperasi, Balitbang Depkop, Jakarta.
Prijadi, dkk., 1985. Studi Pengembangan Koperasi
Unit Desa (KUD) di Daerah Transmigrasi,
Balitbang Depkop, Jakarta.
Rachmad R., 1993. Pengaruh Faktor Internal dan
Eksternal Terhadap Keberhasilan Pengembangan
KUD di Wilayah Transmigrasi Provinsi Jambi,
Disertasi, UNPAD, Bandung.
Ropke, J., 1992. The Economic of Industrial Vertical
Intergration in Indonesia, UNPAD, Bandung.
Ropke, J., 1987. The Economic Theory of Cooperative
Enterprise in Developing Countries With in
Special Reference, Marburg.
Singarimbun, M., 1990. Metode Penelitian Survai,
LP3ES, Jakarta.
89
Soedjono, I., 1992. Koperasi Sebagai Mitra Usaha
Perusahan Go Public, Universitas Yasri,
Jakarta.
Sukirno, S., 1987. Ekonomi Pembangunan, Teori dan
Kebijakan, LPFE-UI, Jakarta.
Tjakrawardaya S., 1989. Posisi, Peranan dan
Kerjasama Antara Pelaku Ekonomi Dalam
Memperjelas Wujud Demokrasi Ekonomi, UI,
Jakarta.
Wilson, T., 1986. The Officialization od The
Cooperative System in Developing Countries
Problem and Counter Strategies, in
Cooperative to Day Edited by Ms. Mary
Treacy and Mr. Lojos Varadi, ICA, Geneva.
Wowor, J., 1989. Keberhasilan Lingkungan Usaha
Terhadap Keberhasilan KUD (Kasus KUD di
Kabupaten Minahasa), Tesis Magister,
UNPAD, Bandung.
90
BAB VI
Konsepsi Pengembangan
Koperasi Untuk Pengentasan
Kemiskinan
91
untuk mendukung pembangunan pertanian
maupuan pembangunan pedesaan secara umum.
Dalam konteks pembangunan ekonomi
secara umum, masalah ketimpangan pendapatan
sebagai akibat kesenjangan pembangunan antara
pedesaan dan perkotaan telah menimbulkan
masalah kemiskinan. Koperasi sebagai institusi
ekonomi di pedesaan diharapkan mampu
mengatasi ketimpangan tersebut. Koperasi
merupakan lembaga ekonomi yang diharapkan
dapat mendayagunakan sumberdaya pedesaan,
guna meningkatkan harkat penduduk miskin atau
juga merubah kondisi desa miskin. Menurut Koch
dan Radolfzell (1985) pembangunan koperasi di
daerah pedesaan akan dapat merubah situasi sosial
ekonomi masyarakat yang lemah, yang pada
akhirnya dapat merubah kehidupan di pedesaan.
Ini berarti pembangunan koperasi mempunyai
kontribusi dalam pembangunan ekonomi,
khususnya dalam peningkatan pendapatan
masyarakat pedesaan dan mengurangi
ketimpangan pendapatan.
94
1. Mengetahui apakah ada perbedaan antara
pendapatan masyarakat desa miskin yang
menjadi anggota koperasi dengan yang
bukan menjadi anggota koperasi.
2. Mengetahui apakah ada keterkaitan antara
keberadaan koperasi dengan pendapatan
desa miskin.
B. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat bagi :
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun
Bangko dalam upaya pengentasan
kemiskinan pada daerah kantong
kemiskinan yang dimilikinya.
2. Departemen Koperasi dan Dewan Koperasi
Indonesia, khususnya di jajaran Kabupaten
Sarolangun Bangko dalam meningkatkan
peranserta koperasi dalam upaya
pengentasan kemiskinan pada desa-desa
miskin.
95
pemerataan pendapatan. Akan terjadi
ketimpangan pendapatan sebagai akibat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang dominan
didukung oleh pertumbuhan sektor industri.
Untuk mengatasi hal tersebut, kebijakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus diikuti
dengan kebijakan penanggulangan kemiskinan,
agar kesenjangan pendapatan dapat diperkecil
(BPS, 1992).
Guna mendukung kebijakan tersebut maka
upaya penggunaan seluruh sumberdaya yang ada,
khususnya pada sentra kemiskinan harus
ditingkatkan. Oleh karena masalah kemiskinan
lebih dominan ditemui didaerah pedesaan dengan
melibatkan institusi ekonomi pedesaan. Hasil
penelitian Arsyad (1968) di desa Wahyuharjo dan
desa Bumirejo, Kecamatan Lendah Kabupaten
Progo di Yogyakarta menyimpulkan bahwa
pendapatan masyarakat desa dapat ditingkatkan
lagi antara lain dengan pendayagunaan seluruh
potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya
manusia.
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut
maka keterlibatan koperasi dalam meningkatkan
pendapatan masyarakat desa miskin amatlah
penting artinya. Pendapatan senada juga
96
diungkapan oleh Arifin (1992) bahwa koperasi
dapat membantu anggotanya dalam meningkatkan
pendapatan melalui usaha-usaha pemasaran dan
efisiensi pengadaan input, guna menurunkan biaya
produksi anggotanya. Pada akhirnya akan
bermuara pada peningkatan pendapatan para
anggota yang berasal dari masyarakat desa miskin.
Menurut Jauharai dan Muhammad Taufik
(1992), usaha koperasi haruslah usaha yang
berkaitan langsung dengan anggota, guna
meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.
Ini berarti, usaha-usaha dimiliki koperasi yang
beroperasi pada desa-desa miskin haruslah terkait
langsung dengan aktivitas ekonomi masyarakat
desa tersebut, maka kehadiran koperasi akan
berdampak kepada pendapatan masyarakat desa
miskin. Selanjutnya Ropke (1987) berpendapat pula
bahwa setiap orang yang menjadi anggota koperasi
menginginkan memperoleh sesuatu keuntungan.
Keuntungan tersebut dapat berupa perbedaan
pendapatan antara anggota koperasi dengan non
anggota koperasi. Kondisi ini tentu saja juga
berlaku untuk anggota koperasi pada desa miskin.
Hatta (1981) menyatakan, koperasi yang
didirikan adalah merupakan persekutuan kaum
lemah untuk membela hidupnya. Bagi penduduk
97
desa miskin yang hidupnya serba lemah dalam
artian ekonomi, maka kehadiran koperasi amat
penting artinya dalam meningkatkan taraf
hidupnya.
Selanjutnya Emil Salim dalam Swasono
(1987) mengatakan, koperasi adalah wahana
ekonomi yang utama dan alat untuk memenuhi
kepentingan ekonomi masyarakat yang menjadi
anggotanya. Bagi masyarakat desa miskin, selain
peran selaku wahana ekonomi, koperasi juga
adalah perubahan sosial, sehingga memungkinkan
desa miskin tersebut berubah status menjadi desa
makmur.
Pada bagian lain, Wilson (1986) berpendapat
bahwa koperasi dipedesaan haruslah dapat
menciptakan harga jual yang rendah dan harga beli
yang tinggi untuk anggotanya. Agar anggotanya
mendapatkan nilai tambah dari keberadaan
koperasi. Ini berarti, peranserta koperasi pada desa
miskin melalui keterkaitan usaha dengan aktivitas
ekonomi masyarakatnya akan berdampak pula
terhadap peningkatan masyarakat desa miskin,
yang merupakan perwujudan dari upaya
pengentasan kemiskinan.
98
B. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah :
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian survai. Penelitian survai yang
dimaksud adalah penelitian yang mengambil
99
sampel dari suatu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpul data yang
pokok (Singarimbun, 1990). Dari data yang
diperoleh tersebut diharapkan dapat mewakili
populasi penelitian.
C. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini variasi yang dianggap
penting adalah :
101
koperasi yang terdapat di daerah desa miskin,
khususnya pada daerah kantong kemiskinan di
Kabupaten Sarolangun Bangko. Sampling Frame
yang digunakan adalah daftar desa miskin yang
dikeluarkan oleh BPS. Daftar desa miskin tersebut
dibuat BPS berdasarkan hasil survai potensi desa.
Berdasarkan daftar tersebut Kabupaten Sarolangun
Bangko memiliki 107 desa miskin.
102
tersebut. Khusus yang menjadi anggota
koperasi pengambilannya didasarkan kepada
koperasi sampel.
b) Pengambilan Koperasi Sampel
Koperasi sampel diambil dengan metode
sensus. Ini berarti 10 koperasi yang ada didesa
miskin dijadikan sebagai sampel.
E. Analisis Statistik
1. Untuk Hipotesis Satu
Hipotesis satu akan diuji dengan
menggunakan model analisis Uji Beda Dua Rata-
Rata dengan formulasi sebagai berikut (Conover
and Ronald L. Iman, 1983) :
̅ ̅
( ) ( )
√{ }{ }
dimana:
103
̅ Rata-rata pendapatan masyarakat desa
miskin yang bukan menjadi anggota
koperasi
Varians untuk Variabel YA
Varians untuk Variabel YB
Banyaknya masyarakat desa miskin yang
menjadi anggota koperasi yang dijadikan
sampel dalam penelitian
Banyaknya masyarakat desa miskin yang
bukan menjadi anggota koperasi yang
dijadikan sampel dalam penelitian
104
2. Untuk Hipotesis Dua
Hipotesis dua akan diuji dengan
menggunakan model analisis Chi-Square dengan
formulasi sebagai berikut (Levin, 1984) :
( )
Dimana:
X2 = Chi Square hitung
0ij = Frekuensi Amatan
eij = Frekuensi Harapan
dimaksud adalah :
105
Tabel 6.1. Kontingensi
Pendapatan
Masyarakat Jenjang Pendapatan (Rp’000)
Miskin
Jumlah
Keberadaan
Koperasi Pada I II III IV
Desa Miskin
Tidak Ada 01.1 01.2 01.3 01.4 b1
E1.1 E1.2 E1.3 E1.4
Ada 02.1 02.2 02.3 02.4 b2
E2.1 E2.2 E2.3 E2.4
Jumlah K1 K2 K3 K4 n
106
miskin yang terpilih menjadi
sampel. Pengambilan data
dilakukan dengan wawancara.
2. Data Sekunder : Diperoleh berbagai instansi
dan kepustakaan yang
mempunyai kaitan dengan
penelitian ini.
108
Table 6.3 Kontribusi Lapangan Usaha Terhadap
PDRB Kabupaten Sarolangun Bangko Tahun
1983,1986 dan 1989 Atas Harga Konstan 1983.
No Lapangan usaha 1983 1986 1989 r
109
Dengan demikian, industrilisasi di
Kabupaten Sarolangun Bangko masih relatif belum
memberi arti bagi perekonomiannya tetapi
sebaliknya aktifitas perekonomian dan pedesaan
mendominasinya. Hal ini terlihat dari kontribusi
usaha pertanian terhadap PDRB rata-rata sebesar
56,9% dan dominasi Kabupaten Sarolangun
Bangko dalam pemilikan desa miskin di Propinsi
Jambi. Usaha pertanian khususnya pertanian
rakyat erat kaitannya dengan masa kemiskinan
yang terjadi dipedesaan termasuk juga yang di
alami Kabupaten Sarolangun Bangko.
2. Kondisi Koperasi
Dalam satu dasarwasa terakhir ini (1984-
1993), perkembangan jumlah koperasi dan
anggotanya di Kabupaten Sarolangun Bangko
menujukan kenaikan yang cukup baik. Terdapat
kenaikan jumlah koperasi sebesar 62,5% dan
kenaikan jumlah anggota sebesar 101,22% dalam
dasarwasa tersebut. Deskripsi lebih rinci tentang
perkembangan jumlah koperasi dan anggotanya
tersebut dapat dilihat tabel berikut ini.
110
Tabel 6.4 Perkembangan Koperasi Kabupaten
Sarolangun Bangko Tahun 1984-1993
No Tahun Jumlah KUD Jumlah Anggota
1 1984 48 14,277
2 1985 58 16,520
3 1986 61 14,510
4 1987 64 15,489
5 1988 69 17,098
6 1989 71 23,327
7 1990 75 23,372
8 1991 75 23,009
9 1992 78 22,987
10 1993 82 28,728
112
Tabel 6.5 Perkembangan Simpanan Koperasi dan
Simpanan per Anggota Kabupaten Sarolangun Bangko
Tahun 1984-1993 (dalam rupiah) .
Jumlah
Jumlah Simpanan per
No Tahun Simpanan
Anggota koperasi
koperasi
1 1984 38.090.560 2.666,97
2 1985 46.517.545 2.815,83
3 1986 61.298.952 4.224,60
4 1987 57.360.354 3.703,30
5 1988 96.170.660 5.624,67
6 1989 115.601.801 4.955,71
7 1990 150.421.114 5.928,63
8 1991 186.371.814 8.099,95
9 1992 169.826.058 7.387,92
10 1993 503.902.000 17.540,45
Sumber : Dept. Koperasi dan PKK Kab. Sarolangun Bangko, 1994 (data
diolah)
3. Kondisi Kemiskinan
Kabupaten Sarolangun Bangko memiliki 107
desa miskin atau 43,32 % dari 247 desa yang ada di
Kabupaten ini. Di tingkat Propinsi Jambi,
Kabupaten Sarolangun Bangko merupakan
peringkat pertama dalam pemilikan desa miskin.
Tercatat 38,91 % dari 275 desa miskin di Propinsi
Jambi berada di Kabupaten Sarolangun Bangko.
Penduduk yang berdomisili di desa miskin di
Kabupaten Sarolangun Bangko berjumlah 76,315
orang dan 70,86% dari penduduk tersebut adalah
penduduk miskin. Jika dibandingkan dengan
populasi penduduk Kabupaten Sarolangun Bangko
114
maka keberadaan penduduk miskin tersebut
cukup berarti. Hal ini dilihat dari persentase
penduduk miskin yaitu 17,90% dari populasi
penduduk adalah kategori miskin. Jumlah tersebut
akan bertambah lagi jika dihitung pula melalui
sensus jumlah penduduk miskin dibukan desa
miskin karena penduduk miskin akan dijumpai
pada desa-desa non miskin. Deskripsi lebih rinci
tentang jumlah desa dan penduduk miskin
Kabupaten Sarolangun Bangko dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 6.6. Jumlah Desa dan Penduduk Miskin
Kabupaten Sarolangun Bangko menurut Kecamatan
Jumlah desa Jumlah penduduk
Miskin
No Kecamatan Desa
Miskin Total Total di desa
miskin
miskin
1 Jangkat 21 22 14.750 16.625 4.827
2 Batang asai 17 20 10.528 14.388 9.464
3 Limun 7 14 5.012 15.863 4.287
4 Sarolangun 4 23 4.232 36.905 2.098
5 Pauh 13 31 9.967 28.655 7.521
115
Dari tabel diatas dapat dihitung bahwa rata-
rata desa miskin di Kabupaten Sarolangun Bangko
memiliki penduduk miskin sebanyak 505 orang
dan rata-rata desa yang ada di Kabupaten tersebut,
memiliki penduduk miskin sebanyak 219 orang.
Bearti secara rata-rata Kabupaten Sarolangun
Bangko memiliki keluarga miskin sebanyak 44
keluarga dengan asumsi satu keluarga terdiri dari
atas 5 orang. Perhitungan tersebut mengabaikan
keluarga miskin yang ada pada desa non miskin.
Namun hasil perhitungan patut untuk
diperhatikan karena jumlah keluarga miskin
tersebut cukup berarti untuk dientaskan dari
kemiskinan.
116
seperti yang telah dijabarkan pada bagian
terdahulu.
118
pembelian dari anggota tersebut dan menjual
kembali pada pedagang besar.
120
koperasi diharapkan dapat membantu
mengentaskan kemiskinan maka pengelola
koperasi harus mendekatkan diri kepada golongan
tersebut melalui pedekatan yang mengarah kepada
penigkatan keterkaitan dengan usaha tani atau
sumber pendapatan mereka. Para pengelola harus
melakukan sistem jemput bola pada anggota
koperasi yang tergolong miskin (jenjang
pendapatan I <). Dengan demikian para anggota
tersebut merasakan perlindungan dan manfaat
yang besar atas keberadaaan koperasi. Nilai ini
dilakukan, keberadan koperasi disekitar desa
miskin akan lebih punya arti terutama dalam
keikutsertaaan dalam program pengentasan
kemiskinan.
121
miskin yang bertumpu pada karet sebagai
monokultur penting untuk diperhatikan. Bila harga
mengalami penurunan yang relatif lama maka
masyarakat desa miskin tentu pendapatan turun
secara terus menerus. Akibatnya kemiskinan
masyarakat didesa miskin terus berlanjut. Untuk
itu diperlukan kebijakan penganekaragaman
sumber pendapatan dari masyarakat desa miskin
disamping berupaya meningkatkan produksi karet
itu sendiri melalui kebun karet yang produktif atau
yang telah diremajakan. Dengan demikian,
kebijakan diversifikasi usaha tani dan kebijakan
peremajaan kebun karet amat diperlukan karena
67,05% karet yang dimiliki petani responden yang
juga masyarakat desa miskin tergolong karet tua.
Agar kebijakan tersebut dapat memenuhi harapan
maka diperlukan dukungan pihak eksternal yang
turut mensukseskan kebijakan seperti Dinas
Pekebunan, Dinas Tanaman Pangan dan
Perbankkan.
122
Berarti KUD harus berperan pula dalam Processing
dan penciptaan pasar. Bila dihubungkan dengan
kondisi dilapangan maka kebijakan peningkatan
peran KUD dalam meningkatkan pendapatan
masyarakat di desa miskin yang mayoritas
masyarakat adalah petani karet harus berorientasi
pada input Processing dan Market dari komoditas
karet. Penyediaan input telah dilakukan KUD
dengan baik tetapi aktivitas Processing dan
Market masih terbatas. Oleh karena itu kebijakan
pengelola KUD harus mengarahkan usaha KUD
kepada aktivitas Processing dan Market tersebut.
Kebijakan tersebut dapat berupa penyediaan
peralatan giling dan pengeringan guna
meningkatakan mutu karet yang dihasilkan
anggota. Sedangankan kebijakan market adalah
berupa penyediaan unit berasal dari masyarakat
desa tersebut.
123
luar. Melalui kebijakan dan dukungan tersebut
diharapkan pula peran KUD dalam turut serta
mengentaskan masyarakat desa miskin khususnya
yang menjadi anggota KUD.
124
berate (signifikan pada =0,001). Hanya
saja keterkaitan tersebut hanya dalam
perolehan input dan bantuan pemasaran
output usaha tani khususnya bagi para
anggota KUD di desa miskin dan
masyarakat desa miskin pada umumnya.
3. Kebijakan peningkatan pendapatan
masyarakat desa miskin diarahkan kepada
kebijakan diversifikasi usaha tani dan
kebijakan peremajaan kebun bagi karet uang
tergolong tua atau kurang produktif.
Sedangkan untuk meningkatkan peran KUD
maka pengelola KUD harus berorientasi
kepada kebijakan yang mengarah kepada
aktivitas processing dan market guna
meningkatkan value added dari output
yang dihasilkan anggota. Agar kebijakan
tersebut dapat berhasil dieprlukan
dukungan pihak eksternal agar peran KUD
dalam turut serta mengentaskan kemiskinan
di desa miskin dapat tercapai.
B. Saran
Berdasakan hasil penelitian dan
pembahasan maka peneliti menyarankan:
125
1. Para pengelola KUD yang berada
dikawasan desa miskin perlu memperluas
jaringan unit desa terutama yang terkait
dengan aktivitas ekonomi para anggota dan
masyarakat desa miskin. Makin besar
keterkaitannya maka peluang KUDuntuk
berperan dalam meningkatkan pendapatan
masyarakat desa miskin khususnya yang
menjadi anggota makin besar.
2. Pengeloala KUD juga perlu berupaya
meningkatkan daya saing usaha melalui
efisiensi usaha agar KUD mampu bersaing
dengan non KUD khususnya dalam
membantu anggotanya memasarkan output
seperti karet .Efisiensi tersebut akan
berdampak bagi masyarakat desa miskin
yang menjadi anggota KUD dan menarik
bagi masyarakat desa miskin yang belum
menjadi anggota KUD untuk menjadi
anggota KUD.
3. Kerjasama yang baik antara pengelola KUD
dengan BUMN, BUMS serta instansi teknis
pemerintah perlu dilakukan agar peran
KUD dalam turut berperan aktif dalam
pengentasan kemiskinan dapat menjadi
kenyataan dan berlanjut.
126
6.7 Daftar Pustaka
Arifin, R.M, 1992. Formulasi Perhitungan Pendapatan,
Biaya dan SHU Koperasi ditinjau dari Pasal 34
UU No. 112 Tahun 1967 serta Penerapannya
Jurnal Koperasi Indonesia, No. 1 Tahun 1992,
IKOPIN, Jatinangor.
Anonim, 1993. Garis-Garis Besar Haluan Negara,
Sekneg, Jakarta.
Anonim, 1992. Pokok-Pokok Pikiran IKOPIN Tentang
Strategi dan Kebijakan Pembangunan Koperasi
Pada PJPT II, IKOPIN, Bandung.
Anonim, 1992. Daftar Desa Miskin dan Sangat Miskin
Provinsi Jambi, BPS, Jakarta.
Arsyad, 1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Upaya Peningkatan Pendapatan Desa Miskin,
LP3ES, Jakarta.
Conover and Ronald L. Iman, 1983. Introduction to
Modern Bussiness Statistic, John Wiley and
Sons, New York.
Emil Salim dalam Swasono, Edi, 1987. Transmigrasi
di Indonesia (1905-1985), UI-Press, Jakarta.
Hatta, 1993. Membangun Ekonomi Indonesia, Inti
Idayu Press, Jakarta.
Koch, Eckard and Radolfzell. A.B, 1985. Offlication
of Cooperative Developing Countries, FES
127
Departement of Cooperative and Economic
Promotion, Bonn.
Mubyarto, 1984. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia,
LP3ES, Jakarta.
Midori, M. 1985. Agricultural Cooperative Banking in
Form Finance and Agricultural Development,
Asean Productivity Organization, Tokyo.
Priyadi, dkk. 1985. Studi Pengembangan Koperasi di
Daerah Transmigrasi, Balitbang Depkop,
Jakarta.
Ropke, Jochen, 1987. The Economic Theory of
Cooperative Enterprise in Developing Countries
With in Special Reference to Indonesia,
Marburg.
Singarimbun, Masri, 1990. Metode Penelitian Survei,
LP3ES, Jakarta.
Taufik, 1992. Konsep Pengembangan Koperasi di
Wilayah Pedesaan, IKOPIN, Bandung.
128
BAB VII
Konsepsi Pengembangan
Koperasi Untuk Pembangunan
Daerah
129
Khusus untuk pembangunan Provinsi Jambi
kontribusi dan peranan usaha kecil menengah dan
koperasi dinilai amat besar. Usaha kecil, menengah
dan koperasi telah berperan dalam mengatasi dan
memulihkan daerah dari masa krisis moneter yang
telah berlalu. Dalam membangun kembali ekonomi
daerah Provinsi Jambi, peran serta usaha kecil,
menengah dan koperasi juga terlihat amat penting.
Dalam pembangunan ekonomi usaha kecil
menengah dan koperasi amat berarti dalam
menumbuhkembangkan perekonomian daerah
provinsi Jambi. Disamping itu, juga berdampak
terhadap daya serap tenaga kerja investasi dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta peningkatan
pendapatan masyarakat khususnya yang terlibat
dalam aktivitas usaha kecil, menengah dan
koperasi di Provinsi Jambi. Besarnya kontribusi
yang diberikan usaha kecil menengah dan koperasi
tersebut tentu berdampak bagi kegiatan
perekonomian Provinsi Jambi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan analisis yang lebih mendalam
tentang peran usaha kecil, menengah dan koperasi
dalam pembangunan ekonomi Provinsi Jambi.
130
A. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang ingin dicapai dari
pelaksanaan penelitian ini adalah:
1. Seberapa besarkah kontribusi Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi terhadap PDRB,
investasi, daya serap tenaga kerja dan
pendapatan asli daerah provinsi Jambi
2. Faktor – faktor apakah yang mempengaruhi
keberhasilan pembangunan Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi di provinsi Jambi
baik dari aspek makro ekonomi maupun
aspek mikro ekonomi.
3. Bagaimana strategi pengembangan usaha
kecil, menengah dan kop untuk
meningkatkan peranannya dalam
perekonomian provinsi Jambi.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan
penelitian ini adalah:
1. Seberapa besarkah kontribusi Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi terhadap PDRB,
investasi, daya serap tenaga kerja,
pendapatan asli daerah provinsi Jambi.
2. Untuk mengetahui faktor – faktor apa yang
mempengaruhi keberhasilan pengembangan
131
Usaha Kecil Menengah dan Koperasi di
provinsi Jambi baik dari aspek makro
ekonomi maupun aspek mikro ekonomi.
3. Untuk mengetahui strategi pengembangan
usaha kecil, menengah dan koperasi guna
peningkatan peranannya dalam
perekonomian Provinsi Jambi
C. Manfaat Penelitian
Dari hasil kegiatan analisis peranan usaha
kecil, menengah dan koperasi terhadap
pembangunan ekonomi Provinsi Jambi maka
diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut ;
1. Bahan masukan bagi Kementerian UKM dan
Koperasi provinsi Jambi dalam perumusan
program dan kegiatan untuk pembangunan
usaha kecil, menengah dan koperasi di
provinsi Jambi.
2. Bahan informasi bagi Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jambi dan
Dinas/kantor Koperasi dan PKM
Kabupaten dilingkungan Provinsi dalam
penyusunan strategi dan pengembangan
usaha kecil, menengah dan koperasi di
provinsi Jambi.
132
7.2 Tinjauan Pustaka
A. Landasan Teoritis
1. Konsepsi Koperasi
Koperasi adalah usaha bersama menurut
ICA (1995) usaha bersama tersebut mempunyai
karateristik sebagai berikut :
a) Koperasi otonom
b) Perkumpulan orang-orang
c) Bersatu secara sukarela
d) Diorganisis oleh anggota
e) Perusahaan yang dimiliki bersama
133
memberikan manfaat kepada anggota berdasarkan
kegunaan. Sedangkan Soedaydono Hardjo
Soekarto (1994) menjelaskan bahwa ciri utama
koperasi adalah dari keanggotaannya. Anggota
Koperasi adalah pemilik sekaligus pelanggan,
sehingga rasa ikut memiliki lebih mudah di
kembangkan secara bertanggung jawab.
Dari uraikan diatas memplihatkan bahwa
usaha bersama yang diinginkan oleh anggota yang
tergabung dalam organisasi dioperasikan dalam
bentuk badan usaha. Dengan demikian arti
koperasi yang lebih luas akan mempunyai ciri
sebagai berikut ;
134
Dilihat dari sudut ekonomi, prisip identitias
ganda memperlihatkan bahwa pada koperasi
untuk waktu yang sama, pemilik dan pelanggan.
Penyedia dari Coorporative Enterpose adalah sama
disebut juga Coopertor atau anggota coppertaive
Society (Benecke, 1982)
Munkner (1997) menyatakan bahwa
pengertian ekonomi untuk koperasi punya
persyaratan yang merupakan ciri khusus sebagai
berikut ;
135
d) Tujuan utama badan usaha yang dimiliki
bersama tersebut yaitu memajukan
kepentingan ekonomis para anggota
kelompok
Adapun tujuan pendirian koperasi
sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 UU No. 25
Tahun 1992 adalah koperasi bertujuan memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Disamping itu, ikut
membangun tatanan perekonomian mansional
dalam rangka mewujudkan masyarakan yang
maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila
dan UUD 1945.
Dari segi pengertian hukum, koperasi
mempunyai persyaratan dan fungsi untuk
menentukan ciri-ciri khusus koperasi sebagai
badan usaha yang syah. Ciri-ciri khusus tersebut
yang membedakan koperasi dengan badan usaha
lain dan menetapkan dengan jelas terhadap tipe
badan usaha yang mana hukum koperasi itu akan
berlaku.
136
2. Pemberdayaan Koperasi
2) Pendekatan langsung
Pemerintah turut serta dalam mengambil
prakarsa dalam mendirikan koperasi dan
rurut pula menentukan semua tujuan dan
keputusan operasional koperasi. Biasanya
138
koperasi tersebut lansung dipakai pemerintah
sebagai alat pembangunan sesuai dengan
kebijaksanaan pembangunan .
139
d) Membantu pengembangan jaringan usaha
koperasi dan kerjasama yang saling
menguntungkan antar koperasi
e) Memberikan bantuan konsultasi guna
memecahkan permasalahan yang dihadapi
oleh koperasi dengan tetap memperhatikan
anggaran dasar dan prinsip koperasi
140
program bantuan tersebut dapat dikelola dengan
baik.
4. Permodalan Koperasi
a) Simpanan Pokok
b) simpanan Wajib
c) Dana Cadangan
d) Hibah atau donasi
Simpanan pokok adalah sejumlah dana
yang dihimpun dari setiap anggota koperasi
141
dengan jumlah yang telah ditetap dan wajib
dibayar seluruh anggota koperasi pada saat masuk
menjadi anggota koperasi, sedangkan simpanan
wajib adalah dana yang dihimpun dari simpanan
anggota yang waktu pembayaran dan jumlah dana
telah disepakati bersama oleh seluruh anggota.
Simpanan wajib ini bisa ditetapkan waktunya
secara periodek. Simpanan pokok dan simpanan
wajib ini tidak dapat diambil selama anggota
tersebut masih menjadi anggota koperasi.
142
5. Pengelolaan Koperasi
143
partisipasi anggota juga ikut menentukan
pengembangan koperasi kedepannya. Partisipasi
anggota yang diwujudkan dalam bentuk transaksi
dengan koperasi seperti menyimpan, meminjam,
menjual dan membeli dengan koperasi serta
partispasi dalam pengelolaan dan pengawasan
koperasi (Prijadi Atmadja, 2004). Menuru Hanel
(1985), dimensi partisipasi anggota dapat
dibedakan sesuai dengan peran ganda anggota
yang ditandai oleh prinsip identitas ganda yaitu ;
144
2) Kedudukan anggota sebagai pelanggan/
pemakai, para anggota dapat memanfaat
barbagai potensi yang disediakan oleh
perusahan koperasi dalam menunjang
kepentingan.
1. Permasalahan
Rendahnya produktivitas dan pendapatan.
Perkembangan dari segi kuantitas belum
diimbangi dengan peningkatan kualitas UKM dan
Koperasi yang memadai, khususnya skala usaha
mikro. Masalah yang dihadapi adalah rendahnya
produktivitas SDM pada UKM dan Koperasi.
Kondisi ini membawa konsekuensi pada
146
rendahnya pendapatan yang mereka terima. Bila
proses ini dibiarkan maka akan menimbulkan
kesenjangan yang sangat lebar antar pelaku usaha
dan tenaga kerja pada UKM dan Koperasi sendiri.
Kesenjangan akan juga terjadi antara UKM dan
Koperasi dengan usaha besar. Kondisi demikian
berkaitan dengan: (a) rendahnya kualitas sumber
daya manusia UKM dan koperasi khususnya
dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan
teknologi, dan pemasaran; dan (b) rendahnya
kompetensi kewirausahaan UKM dan koperasi.
Peningkatan produktivitas UKM dan koperasi
sangat diperlukan untuk mengatasi ketimpangan
antar pelaku, antargolongan pendapatan dan antar
daerah, termasuk penanggulangan kemiskinan,
selain sekaligus mendorong peningkatan daya
saing daerah Jambi.
147
koperasi keadaan ini sulit untuk meningkatkan
kapasitas usaha ataupun mengembangkan produk-
produk yang bersaing. Disamping persyaratan
pinjamannya yang tidak mudah dipenuhi, dunia
perbankan juga masih memandang UKM dan
koperasi sebagai kegiatan yang beresiko tinggi.
148
rangkap dalam pelaksanaan organisasi koperasi.
Kondisi ini mempersulit koperasi sebagai
organisasi dalam mencapai tujuan. Hingga saat ini
juga masih ditemui adanya beberapa koperasi yang
tidak memiliki manajer.
149
Ketiga, masih terdapat kebijakan dan regulasi yang
kurang mendukung kemajuan koperasi. Kondisi
yang kurang kondusif tersebut memberi akibat : (i)
kinerja dan kontribusi koperasi dalam
perekonomian relatif tertinggal dibandingkan
badan usaha lainnya, dan (ii) citra koperasi di mata
masyarakat kurang baik. Lebih lanjut, kondisi
tersebut mengakibatkan terkikisnya kepercayaan,
kepedulian dan dukungan masyarakat kepada
koperasi.
150
stimulus guna memacu perkembangan UKM dan
Koperasi sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan PAD. Untuk itu, pengidentifikasian
yang telah dilakukan terhadap peraturan-
peraturan yang menghambat pengembangan UKM
dan Koperasi perlu ditindaklanjuti. Diantaranya
melalui peningkatan pelayanan kepada UKM dan
Koperasi dengan mengembangkan pola pelayanan
satu atap. Oleh karena itu, aspek kelembagaan
perlu menjadi perhatian yang sungguh-sungguh
dalam rangka memperoleh daya jangkau hasil dan
manfaat (outreach impact) yang semaksimal
mungkin mengingat besarnya jumlah,
keanekaragaman usaha dan tersebarnya UKM dan
koperasi.
2. Sasaran
Peranan UKM dan Koperasi mempercepat
perubahan struktural dalam peningkatan taraf
hidup rakyat banyak menempati posisi yang
strategis. Sebagai wadah kegiatan usaha bersama
bagi produsen maupun konsumen, koperasi
diharapkan berperan dalam meningkatkan posisi
tawar dan efisiensi ekonomi rakyat, sekaligus turut
memperbaiki kondisi persaingan usaha di pasar
151
melalui dampak eksternalitas positif yang
ditimbulkannya. Sementara itu UKM dan koperasi
berperan dalam memperluas penyediaan lapangan
kerja, memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, dan
memeratakan peningkatan pendapatan. Bersamaan
dengan itu adalah meningkatnya daya saing dan
daya tahan ekonomi daerah. Dengan perspektif
peran seperti itu, sasaran umum pemberdayaan
UKM dan Koperasi dalam lima tahun mendatang
adalah:
1) Meningkatnya kualitas manajemen
kelembagaan dan organisasi koperasi
sehingga meningkatkan daya saing UKM
dan Koperasi dalam dunia usaha.
2) Meningkatnya produktivitas UKM dan
Koperasi yang disertai dengan peningkatan
pendapatan dan distribusi pendapatan antar
masyarakat.
3) Berkembangnya produk unggulan yang
berbasis karakteristik lokal pada setiap
wilayah UKM dan Koperasi guna
meningkatkan pemasaran produk UKM dan
Koperasi pada tingkatan regional dan
ekspor.
152
4) Meningkatkan fungsi dan sistem
kelembagaan yang menumbuh
kembangkan wirausaha baru berbasis ilmu
pengetahuan dan teknologi.
5) Meningkatkan eksistensi dari usaha mikro
dan kecil formal.
3. Arah Kebijakan
Dalam rangka mewujudkan sasaran
tersebut, pemberdayaan UKM dan Koperasi akan
dilaksanakan dengan arah kebijakan sebagai
berikut :
153
yang baik dan berwawasan gender terutama
untuk :
a. Memperluas akses kepada sumber
permodalan khususnya perbankan;
b. Memperbaiki lingkungan usaha dan
menyederhanakan prosedur perijinan;
c. Memperluas dan meningkatkan kualitas
institusi pendukung yang menjalankan
fungsi intermediasi sebagai penyedia
jasa diklat dan pengembangan usaha,
teknologi, manajemen, pemasaran dan
informasi.
3) Memperluas basis dan kesempatan berusaha
serta menumbuhkan wirausaha baru
berkeunggulan untuk mendorong
pertumbuhan, peningkatan ekspor dan
penciptaan lapangan kerja terutama dengan:
a. Meningkatkan perpaduan antara tenaga
kerja terdidik dan terampil dengan
adopsi penerapan tekonologi;
b. Mengembangkan UKM dan koperasi
melalui pendekatan klaster di sektor
agribisnis dan agroindustri melalui
komoditas unggulan berkarakteristik
lokal disertai pemberian kemudahan
dalam pengelolaan usaha, termasuk
154
dengan cara meningkatkan kualitas
kelembagaan koperasi sebagai wadah
organisasi kepentingan usaha bersama
untuk memperoleh efisiensi kolektif;
c. Mengembangkan UKM dan koperasi
untuk makin berperan dalam proses
industrialisasi, perkuatan keterkaitan
industri, percepatan pengalihan
teknologi, dan peningkatan kualitas
SDM;
d. Mengintegrasikan pengembangan usaha
dalam konteks pengembangan regional,
sesuai dengan karakteristik pengusaha
dan potensi usaha unggulan di setiap
daerah.
D. Kerangka Pemikiran
Keberhasilan pembangunan usaha kecil,
menengah dan koperasi di Provinsi Jambi akan
berdampak terhadap perekonomian daerah Jambi.
Produksi barang dan jasa yang dihasilkan usaha
kecil, menengah dan koperasi memiliki kontribusi
terhadap PDRB Provinsi Jambi. Disamping itu
usaha kecil, menengah dan koperasi tersebut
punya kontribusi terhadap investasi, daya serap
tenaga kerja dan pendapatan asli daerah (PAD).
Pada akhirnya tentu usaha kecil, menengah dan
koperasi akan berperan pula dalam peningkatan
pendapatan masyarakat dan laju pertumbuhan
ekonomi Provinsi Jambi.
157
Untuk meningkatkan keberhasilan
pembangunan usaha kecil, menengah dan koperasi
maka perlu diperhatikan faktor-faktor yang turut
menentukan keberhasilan tersebut. Ada 2 kategori
faktor yang turut menentukan keberhasilan
dimaksud yaitu faktor makro ekonomi dan faktor
mikro ekonomi.
Secara makro ekonomi, peran usaha kecil,
menengah dan koperasi dalam pembangunan
ekonomi dapat di tingkatkan dengan
memperhatikan faktor input. Faktor input tersebut
adalah alokasi dana APBD Provinsi Jambi dan
kabupaten/kota. Kebijakan khusus dari pemda
Provinsi Jambi dan kabupaten/kota. Disamping
itu, faktor input lain berupa dukungan
sumberdaya manusia, infrastruktur, sistem
informasi dan teknologi, BUMN, Perbankan dan
kemitraan usaha.
Dari sudut mikro peran serta usaha kecil,
menengah dan koperasi dalam pembangunan
ekonomi dapat pula ditingkatkan melalui faktor
yang terkait. Faktor dimaksud adalah modal
sendiri, tenaga kerja, bantuan modal dari
pemerintah, BUMN dan Perbakan. Sedangkan
faktor pelatihan, studi banding, magang, pameran
158
dan temu usaha yang diikuti usaha kecil,
menengah dan koperasi juga turut berperan.
Faktor lain adalah konsultasi lapangan, bantuan
teknologi, pendampingan dan kemitraan usaha
dengan swasta juga turut menentukan peningkatan
peran usaha kecil, menengah dan koperasi dalam
pembangunan ekonomi Provinsi Jambi.
159
Melengkapi metode penelitian Deskriptif
Kuantitatif maka digunakan metode penelitian
survey. Metode Kegiatan Survai digunakan untuk
menganalisis secara mikro ekonomi peran dari
usaha kecil, menengah dan koperasi dalam
aktivitas ekonomi Provinsi Jambi.
160
Dinas koperasi dan PKM Provinsi Jambi dan
Dinas Koperasi/Dinas Perindagkop
kabupaten/kota di lingkungan Provinsi
Jambi.
N
ni
Nd 2 1
dimana :
N = Jumlah populasi usaha kecil, menengah
dan koperasi
ni = Jumlah sampel industri yang terpilih
d = Presisi yang diharapkan
1 = Konstanta
161
Oleh karena terdapat berbagai jenis usaha
kecil, menengah dan Koperasi maka jumlah sampel
tersebut di alokasikan secara proporsional
berdasarkan jumlah populasi masing-masing jenis
usaha kecil, menengah dan koperasi. Adapun
formulasi pengalokasian sampel usaha kecil,
menengah dan koperasi secara proporsional adalah
sebagai berikut :
dimana :
162
D. Model Analisis Data
Model analisis adalah suatu sistem yang
menyajikan beberapa fenomena yang aktual.
Fenomena yang aktual tersebut digambarkan oleh
suatu model yang dapat menerangkan,
memprediksi dan mengontrol perubahan dari
fenomena tersebut. Dengan demikian, suatu model
harus mampu memaparkan fenomena yang dikaji
dan dijadikan dasar untuk menganalisis fenomena
yang ada. Untuk itu, dalam penelitian ini
digunakan beberapa model analisis sehingga dapat
diperoleh hasil analisis yang memiliki tingkat
validasi yang tinggi. Adapun model analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Model Kontribusi
a. Kontribusi usaha kecil, menengah dan
koperasi (UKMK) terhadap PDRB Provinsi
Jambi/kabupaten adalah :
2. Model Matematis
a) Faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan Pengembangan usaha kecil,
menengah dan koperasi
1) Formulasi Model
a) Model Makro Ekonomi
Dimana :
164
Ymakro = Keberhasilan pengembangan
usaha kecil, menengah dan
koperasi
X1 = Alokasi dana APBN
X2 = Alokasi dana APBD Provinsi
Jambi
X3 = Alokasi dana APBD
kabupaten
X4 = Kebijakan khusus dari pemda
Provinsi Jambi/kabupaten
X5 = Dukungan sumber daya
manusi
X6 = Dukungan infrastruktur
X7 = Dukungan sistem informasi
dan teknologi
X8 = Dukungan BUMN
X9 = Dukungan Perbankan
X10 = Dukungan kemitraan Swasta
e = error tern
Dimana :
165
Ymikro = Keberhasilan pengembangan
usaha kecil, menengah dan
koperasi
Z1 = Modal sendiri
Z2 = Tenaga kerja
Z3 = Bantuan modal dari
pemerintah
Z4 = Bantuan modal BUMN
Z5 = Bantuan modal dari
Perbankan
Z6 = Pelatihan yang diikuti
Z7 = Studi banding yang diikuti
Z8 = Magang yang diikuti
Z9 = Pameran / promosi yang
diikuti
Z10 = Temu usaha yang diikuti
konsultasi lapangan yang
diterima
Z11 = Konsultasi lapangan yang
diterima
Z12 = Bantuan teknologi yang
diterima
Z13 = Pendampingan yang diterima
Z14 = Kemitraan usaha dengan
swast
f = error tern
166
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel utama dan dinilai penting dalam
penelitian ini dijelaskan secara operasional, seperti
berikut ini ;
1. Barang dan jasa adalah produksi barang
dan jasa yang dihasilkan usaha kecil,
menengah dan koperasi
2. PDRB adalah produk domestik regional
bruto untuk provinsi Jambi
3. Investasi adalah jumlah dana yang
digunakan menciptakan dan menambah
nilai tambah baran dan jasa
4. Dana APBN adalah dana yang berasal dari
pemerintah pusat yang bersumber dari
APBN
5. Dana APBD adalah dana yang berasal dari
pemerintah daerah provinsi
Jambi/kabupaten/kota yang bersumber
dari APBD
6. Kebijakan khusus adalah kebijakan yang
khusus diperuntukan untuk
menumbuhkembangkan usaha kecil,
menengah dan koperasi di daerah yang
dilakukan oleh pemerintah daerah
Provinsi/kabupaten/kota
167
7. Sumberdaya manusia adalah ketersediaan
tenaga kerja untuk membangun usaha
kecil, menengah dan koperasi
8. Infrastruktur adalah ketersediaan sarana
dan prasarana yang digunakan untuk
membangun usaha kecil, menengah dan
koperasi
9. Sistem informasi dan teknologi adalah
ketersediaan sistem informasi dan
teknologi yang digunakan untuk
membangun usaha kecil, menengah dan
koperasi
10. BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara
yang beroperasi di provinsi Jambi dan
melakukan kemitraan dan binan terhadap
usaha kecil, menengah dan koperasi
11. Perbankan adalah lembaga keuangan
perbankan yang beroperasi di provinsi
Jambi dan memberikan kredit kepada
usaha kecil, menengah dan koperasi
12. Kemitraan swasta adalah perusahaan
swasta yang melakukan kemitraan usaha
dengan usaha kecil, menengah dan
koperasi
13. Keberhasilan pengembangan adalah
keberhasilan atas menumbuhkembangkan
168
usaha kecil, menengah dan koperasi yang
tergambar pada peningkatan keuntungan
setiap tahunnya
14. Modal adalah jumlah dana yang diterima
usaha kecil, menengah dan koperasi yang
digunakan untuk meningkatkan mutu
sumberdaya manusianya
15. Pelatihan adalah latihan yang diikuti oleh
usaha kecil, menengah dan koperasi untuk
meningkatkan mutu sumberdaya
manusianya
16. Studi banding adalah studi yang dilakukan
usaha kecil, menengah dan koperasi ke
suatu daerah/sentra/usaha lain guna
meningkatkan mutu sumber daya manusia
17. Magang adalah bekerja sambil belajar yang
dilakukan usaha kecil, menengah dan
koperasi pada suatu daerah/sentra/usaha
lain guna meningkatkan mutu sumberdaya
manusia
18. Pameran/promosi adalah aktivitas
pameran/promosi yang dilakukan usaha
kecil, menengah dan koperasi guna
meningkatkan volume penjualannya
169
19. Temu usaha adalah aktivitas temu bisnis
antar pengusaha kecil, menengah dan
koperasi guna meningkatkan pangsa pasar
20. Konsultasi lapangan adalah konsultasi
yang dilakukan petugas terhadap usaha
kecil, menengah dan koperasi di lapangan
atau tempat usaha guna memecahkan
masalah yang dihadapinya
21. Bantuan teknologi adalah bantuan berupa
alat dan mesin produksi yang diterima
usaha kecil, menengah dan koperasi untuk
meningkatkan produksinya
22. Pendampingan adalah aktivitas dilakukan
untuk mendapingi usaha kecil, menengah
dan koperasi dalam menumbuh
kembangkan usahanya.
170
yang dilaksanakan khususnya dalam bidang
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tersebut,
merupakan kontribusi dari pertumbuhan berbagai
macam sektor ekonomi, yang secara tidak
langsung menggambarkan tingkat perubahan
ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini
penting untuk mengetahui keberhasilan
pembangunan yang telah dicapai dan berguna
untuk menentukan arah pembangunannya dimasa
yang akan datang
Perekonomian Provinsi Jambi tahun 2008
menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan. Keadaan tersebut ditunjukkan
oleh pertumbuhan ekonomi yang positif yaitu
sebesar 8,60% (triwulan III 2008), dengan tingkat
inflasi yang fluktuasinya relatif lebih besar dari
16,55% tahun 2005 menjadi 10,66% tahun 2006
kemudian terjadi penurunan 7,44% pada tahun
2007 dan naik lagi menjadi 11,57% pada tahun
2008. Disamping itu kesempatan kerja juga
meningkat, sehingga tingkat pengangguran
berkurang dari 76.000 orang tahun 2007 menurun
menjadi 66.000 orang tahun 2008. Kondisi ini
mendorong meningkatnya PDRB perkapita.
Peningkatan PDRB perkapita ini pada gilirannya
mendorong tumbuhnya permintaan dan tingkat
171
konsumsi masyarakat. Perkembangan Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi Jambi selama
Tahun 2005-2008 dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
2008*
Lapangan usaha 2005 2006 2007
TW II TW III
1. Pertanian 3.811.542 3.984.390 4.224.534 2.383,31 2.529,9
2. Pertambangan & 1.588.493 1.606.230 1.800.800 1.587,56 1.591,3
penggalian
3. Industri 1.769.220 1.839.289 1.997.508 1.231,41 1.287,7
pengolahan
4. Listrik, gas & air 97.824 102.861 108.621 82,20 83,8
bersih
5. Bangunan 535.289 646.254 596.107 443,59 459,0
6. Perdag. Hotel & 2.149.765 2.340.541 2.545.310 1.405,59 1.493,9
restoran
7. Pengangkutan & 1.021.598 1.099.837 1.175.324 654,55 676,3
komunikasi
8. Keu. Persewaan & 483.786 536.120 532.186 439,80 469,4
jasa perusahaan
9. Jasa_jasa 1.162.454 1.208.107 1.267.816 998,88 1.015,6
PDRB dengan migas 12.619.971 13.363.629 14.248.208 9.226,92 9.606,98
* kondisi TW II – dan III 2008 atas harga berlaku
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2009
Realisasi
No Keterangan
2004 2005 2006 2007 2008
1 Jumlah 2.619. 2.657. 2.667. 2.742. 2,788,
Penduduk 553 536 755 196 289
Pertumbuhan (%) 1,98 1,45 0,76 2,41 1,68
2 Jumlah Angkatan 1.229. 1.200. 1.205. 1.222. 1.290.
Kerja 364 356 636 100 000
Pertumbuhan (%) (0,40) (2,36) 0,44 1,37 0,06
3 Jumlah 1.137. 1.097. 1.110. 1.147. 1.224.
Kesempatan Kerja 460 207 933 450 000
Pertumbuhan (%) (1,30) (3,54) 1,25 3,99 6,67
4 Tingkat 91.90 103.1 66.00
94.703 76.00
Pengangguran 4 49 0
Pertumbuhan (%) 12,23 12,24 -8,19 19,75 -13,16
5 Persentase
Pengangguran
7,48 8,59 7,86 6,22 5,12
dari Angkatan
Kerja (%)
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2009
177
Tabel diatas memperlihatkan juga tingkat
pengangguran, dimana selama tahun 2008 provinsi
Jambi berhasil menekan tingkat pengangguran.
Dari 70.000 orang pengangguran pada tahun 2007
dapat ditekan menjadi 66.000 orang pengangguran
pada tahun 2008. Dari segi persentase tingkat
pengangguran juga mengalami penurunan dari
6,62 % pada tahun 2007 menjadi 5,12 % pada tahun
2008.
178
Tabel 7.4 Penduduk Bekerja Menurut Sektor Lapangan
Usaha Tahun 2006-2008
No Sektor 2006 2007 2008 Proporsi
1 Pertanian 520.873 660.056 706.903 57,73
2 Pertambangan 12.691 11.996 12.835 1,05
3 Industri Pengolahan 104.375 48.193 46.426 3,79
4 Listrik, Gas & Air 6.871 3.920 3.315 0,27
5 Bangunan/Konstruksi 31.206 39.013 45.581 3,72
6 Perdagangan 239.802 171.640 190.976 15,60
7 Transportasi 46.327 61.962 60.999 4,98
8 Keuangan, 5.529 12.975 8.093 0,66
Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
9 Jasa 139.765 137.694 149.355 12,20
Jumlah 1.103.386 1.147.450 1.224.483 100
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2009
179
B. Perkembangan Usaha Kecil, Menengah
dan Koperasi
B.1 Perkembangan Usaha Kecil dan Menengah
Usaha kecil dan menengah yang dimiliki
Provinsi Jambi berjumlah 40.346 unit usaha dan
daya serap tenaga kerja sebanyak 108.669 orang.
Nilai asset yang dimiliki usaha kecil menengah
senilai Rp 8.448.300.936.000. Gambaran lebih detil
dapat diamati pada tabel berikut ini.
180
menggambarkan terjadinya penurunan aktivitas
produksi oleh usaha kecil dan menengah.
181
karyawan
8 Permodalan
184
Tabel diatas memperlihatkan bahwa
kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki rata-
rata kontribusi paling kecil diantara 10
kabupaten/kota di provinsi Jambi. Sedangkan
kabupaten Bungo merupakan kabupaten yang
paling besar kontribusi UKM dan koperasi
terhadap PDRB.
185
termasuk juga UKM melakukan investasi non
fasilitas. Jadi adalah wajar jika kontribusinya amat
kecil. Namun tetap harus dicermati baik investasi
fasilitas maupun non fasilitas, koperasi harus
melakukan investasi untuk kedua kategori tersebut
sehingga koperasi beserta UKM punya peran
Besar.
186
kabupaten/kota yang terkecil pada kabupaten
Muaro Jambi. Sedangkan kontribusi yang terbesar
dimiliki kabupaten Merangin.
KABUPATEN/ RATA-RATA
No
PROVINSI KONTRIBUSI (%)
1 Kota Jambi 71,11
2 Batanghari 65.84
6 Tebo 71,18
188
7 Bungo 72,68
8 Sarolangun 80.46
9 Merangin 83.58
10 Kerinci 67.47
190
disampaikan tahapan dalam menemukan model
yang dimaksud.
1. Model ekonometrika dari sisi ekonomi makro
yang mempengaruhi keberhasilan
pembangunan UKM dan Koperasi (Y) adalah
Dana APBN (X1), Dana APBD Provinsi (X2),
Dana APBD Kabupaten (X3), Kebijakan
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten (X4), SDM
(X5), Infrastruktur (X6), Hibah BUMN (X7),
Pinjaman BUMN (X8), Dana Perbankan (X9)
dan Mitra Swasta (X10). Dari model yang
terbentuk ternyata terindikasi bahwa data
untuk variabel Infrastruktur (X6) dan Mitra
Swasta (X10) tidak tersedia. Ketidak sediaan
data infrastruktur dikarenakan sulitnya
melakukan pemilahan terhadap aset daerah
yang telah melakukan pemekaran sejak era
otonomi. Sedangkan ketidak sediaan data yang
berkenaan dengan Mitra Swasta lebih
disebabkan program kemitraan ini tidak
berlanjut lagi setelah era reformasi. Dengan
demikian, model ekonometrika yang terbentuk
adalah Y = a + X1 + X2 + X3 + X4 + X5 + X7 +
X8 + X9 + e
191
2. Berdasarkan hasil perhitungan dari model yang
terbentuk pada tahap pertama di atas ( lihat
lampiran )maka dilakukan evaluasi kembali
terhadap model. Dikarenakan data untuk
variabel Kebijakan Pemerintah
Provinsi/Kabupaten (X4) menggunakan
dummy maka menghasilkan indikator yang
kurang baik. Untuk itu variabel ini di drop
keluar. Demikian juga halnya dengan variabel
SDM (X5) yang cenderung bersifat konstan dan
tidak memberi pengaruh secara significant.
Pada tahapan ini, model yang terbentuk
menjadi Y = a + X1 + X2 + X3 + X7 + X8 + X9 + e
3. Berdasarkan hasil perhitungan dari model yang
terbentuk pada tahap kedua di atas maka
terindikasi bahwa model tersebut belum
mengindikasikan model yang baik secara
ekonometrika. Dikarenakan variabel X2 dan X3
hampir memiliki kesamaan yaitu sama-sama
merupakan data APBD maka kedua variabel
tersebut dimerger sehingga menjadi variabel
X10. Demikian juga halnya dengan variabel X7
dan X8 yang sama-sama bersumber dari dana
BUMN sehingga dimerger menjadi variabel
X11. Sehingga model akhir yang terbentuk
menjadi Y = a + X1 + X9 + X10 + X11 + e
192
Hasil analisis terhadap model terakhir yang
terbentuk di atas mengindikasikan bahwa variabel
ekonomi makro secara over all test mempunyai
pengaruh yang significant pada = 0,001. Adapun
besaran pengaruh variabel ekonomi makro
terhadap keberhasilan pembangunan koperasi
adalah sebasar 97,10% yang terindikasi dari nilai
Adjusted R Square.
193
Tabel 7.10 Hasil Analisis Pengaruh Faktor Makro
Terhadap Keberhasilan Pengembangan UKM dan
koperasi
194
Kedua, peranan lembaga perbankan dan
BUMN terutama yang terkait dengan pendanaan
juga memberi dampak yang berarti. Oleh sebab itu
perlu dikembangkan lebih lanjut pola hubungan
yang lebih memberi dampak positif bagi
pengembangan UKM dan koperasi.
B. Mikro Ekonomi
Analisis terhadap keberhasilan
pengembangan UKM dan Koperasi dari sisi faktor
ekonomi mikro dilakukan melalui tahapan
pembentukan model ekonometrika seperti yang
juga dilakukan pada analisis dari sisi makro. Secara
sistimatis disampaikan tahapan pembentukan
model dimaksud.
196
3. Hasil analisis terhadap model terakhir yang
terbentuk di atas mengindikasikan bahwa
variabel ekonomi mikro secara over all test
mempunyai pengaruh yang significant pada
= 0,001. Adapun besaran pengaruh variabel
ekonomi mikro terhadap keberhasilan
pengembangan koperasi adalah sebasar 96,50%
yang terindikasi dari nilai Adjusted R Square.
197
konrehensif atas hasil analisis secara ekonometrika
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7.11 Hasil Analisis Pengaruh Faktor Mikro
Terhadap Keberhasilan Pengembangan UKM dan
Koperasi
Variabel tahap i Variabel tahap ii Parameter Standard T for ho : Prob
estimasi error Parameter >t
=0
200
kebijakan maupun untuk tujuan yang bersifat
stimulus. Oleh sebab itu peningkatan alokasi
sumber penerimaan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah (sharing revenue) secara
konsisten harus terus dilakukan. Ada beberapa
kebijakan yang perlu dilakukan melalui dukungan
dana APBN atau APBD :
202
Ada beberapa kebijakan penunjang dalam
kaitannya dengan bankings credit supporting
strategy ini yaitu :
a. Pengembangan kelembagaan keuangan mikro
serta lembaga pembiayaan lainnya sebagai
sistem yang terintegrasi.
b. Bantuan dana bergulir bagi lembaga keuangan
mikro dan koperasi, pengembangan pola
tanggung renteng dan pengembangan sistim
penyelesaian kredit bermasalah.
Secara lebih informatif dari deskripsi di atas
maka dapat diamati skema berikut.
203
Penyederhanaan Perizinan,
Layanan Publik & Sistem Insentif
Penyempurnaan Kebijakan
Investasi
Fund
Supporting
Strategy Pemberdayaan LSM dan Asosiasi
PKM Utk Melaksanakan Advokasi
& Legislasi
PENGEMBANG
Dukungan Akses Informasi Usaha, AN UKM DAN
Promosi, Pengembangan Jaringan KOPERASI
Kerja
Partnership
Strategy Dukungan Peningkatan
Produktivitas, Daya Saing Melalui
Bantuan Teknologi, Insentif
Standarisasi
Pengembangan Kelembagaan
Keuangan Mikro serta Lembaga
Banking Credit Pembiayaan Lainnya Secara
Terintegrasi
Supporting
Strategy
Bantuan Dana Bergulir Bagi
Lembaga Keuangan Mikro dan
Koperasi, Pengembangan Pola
Tanggung Renteng
204
B. Mikro Ekonomi
Beranjak dari hasil analisis model
ekonometrika yang dilakukan maka pada bagian
berikut dirumuskan strategi kebijakan dari sisi
mikro ekonomi. Kebijakan pengembangan tenaga
kerja dapat diupayakan melalui peningkatan
produktivitas diantaranya melalui pelatihan
dengan materi yang tepat secara berkala serta
didukung dengan penerapan sistem pengupahan
yang tepat. Disamping itu juga perlu diperhatikan
tingkat kemajuan teknik produksi yang pakai. Hal
ini dikarenakan kemajuan teknik produksi dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga
kerja.
205
instrumen perbankannya yang terkait dengan
kebijakan pengalokasian kredit untuk usaha kecil.
Disamping itu diperlukan dukungan dari lembaga
penjamin.
206
Pelatihan
Peningatan
Produktivitas Sistim
Upah
Pengembangan Teknik
SDM Produksi
Pembangunan
UKM Dan
Koperasi
Pengembangan Kelembagaan
Keuangan Mikro Serta Lembaga
Penjamin Secara Terintegrasi
Modal
Bantuan Dana Bergulir Bagi UKM
Dan Koperasi, Kredit Usaha Kecil
Perbankan
207
7.5 Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Bertolak dari paparan yang telah
menganalisis peran UKM dan koperasi dalam
perekonomian provinsi Jambi dan strategi
pengembangannya maka dapat ditarik butiran
simpulan. Adapun butiran simpulan tersebut
adalah:
1. Kontribusi UKM dan Koperasi terhadap
PDRB provinsi Jambi, rata-rata sebesar
8,76%. Angka tersebut melebihi kontribusi
UKM dan koperasi ditingkat nasional
(55,76). Untuk kontribusi UKM dan koperasi
terhadap investasi di provinsi Jambi sebesar
2,37 %. Angka kontribusi tersebut amat kecil
dibandingkan ditingkat nasional mencapai
51,67%. Sedangkan kontribusi UKM dan
koperasi terdapat daya serap tenaga kerja
sebesar 69,06%. Kontribusi tersebut juga
masih kecil bila dibandingkan tingkat
nasional yang mencapai 99,51%. Khusus
untuk kontribusi UKM dan koperasi
terhadap PAD Provinsi Jambi hanya sebesar
18,25 %. Besaran kontribusi UKM dan
koperasi terhadap PAD tersebut berpotensi
208
untuk ditingkatkan bila UKM dan koperasi
dapat dipacu pengembangannya.
2. Keberhasilan pengembangan UKM dan
koperasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
makro ekonomi dan mikro ekonomi. Dari
sudut makro ekonomi, pengaruh dana
APBN, APBD, dana BUMN dan dana
perbankan berupa kredit terhadap
keberhasilan pembangunan UKM dan
koperasi dominan. Untuk dana APBN
merupakan faktor yang paling berpengaruh
terhadap keberhasilan tersebut. Sedangkan
dari sisi mikro ekonomi, pengaruh bantuan
modal dari luar, konsultasi lapang dan
pendampingan, tenaga kerja serta pelatihan
merupakan faktor penentu dalam
keberhasilan pengembangan UKM dan
Koperasi
3. Strategi pengembangan UKM dan koperasi
kedepan harus berbasis pada pemberdayaan
UKM dan koperasi yang berlanjut dan
didukung oleh sumber pembiayaan yang
cukup dan proporsional dengan kontribusi
UKM dan koperasi terhadap PAD
209
B. Saran
Searah dengan hasil analisis peranan UKM
dan koperasi dalam perekonomian provinsi Jambi
dan strategi pengembangannya maka perlu
dirumuskan pula rekomendasi. Adapun rumusan
rekomendasi tersebut adalah:
1. Perlu ditingkatkan keefektifan penggunana
dana APBN, APBD dan BUMN serta
penggalangan dana potensi lainnya seperti
dana CDF agar dapat ikut membiayai kegiatan
pengembangan UKM dan koperasi secara
optimal.
2. Perlu ditingkatkan penerimaan untuk PAD
yang bersumber dari UKM dan koperasi yang
dibarengi dengan peningkatan pembinaaan dan
bantuan pendanaan bagi pengembangan UKM
dan koperasi di masa datang.
3. Perlu dipertajam program dan kegiatan
pengembangan UKM dan koperasi agar
keberhasilan pengembangan UKM dan
koperasi lebih besar lagi. Disamping itu
program dan kegiatan juga perlu dilakukan
secara berlanjut. Kegiatan pembinaan dan
pengembangan dilaksanakan minimal 3 tahun
secara berlanjut.
210
BAB VIII
Penutup
212
Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Muhammadiyah
Jambi sejak tahun 2010 hingga sekarang menjadi
Universitas Muhammadiyah Jambi dan menjabat
sebagai Kepala Lembaga Penjamin Mutu
Universitas Muhammadiyah Jambi.
Selaku konsultan, Sesraria Yuvanda pernah
aktif menjadi sekretaris koordinator wilayah
Asosiasi Bussines Development Service Provinsi
Jambi tahun 2008-2010. Aktif pula mengikuti
pelatihan untuk meningkatkan kompetensi
dibidang bisnis yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia dan APRACA Consultancy Service pada
tahun 2005 serta Kementerian Koperasi dan
UMKM Republik Indonesia pada tahun 2007.
Sebagai praktisi koperasi, Sesraria Yuvanda
tercatat juga sebagai pendiri dan ketua pengurus
pertama Koperasi Wiratama Adikarya pada tahun
2007-2012 dan sekarang menjadi ketua pengawas
koperasi tersebut. Kemudian juga turut menjadi
pendiri dan sekretaris pengurus Koperasi Sang
Surya STIE Muhammadiyah Jambi sejak tahun
2015 hingga 2020 dimana sekarang telah berubah
menjadi Universitas Muhammadiyah Jambi.
Disamping itu pada tahun 2017 juga pendiri
koperasi Mitra Aman Sejahtera (Kopimas) milik
Alumni SMA Negeri 5 Kota Jambi.
213
Selaku aktivis sosial, Sesraria Yuvanda juga
aktif sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni
SMP Negeri 7 Kota Jambi sejak tahun 2016 hingga
sekarang. Kemudian juga aktif juga sebagai Wakil
Ketua ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia
(IPEMI) Jambi tahun 2018 hingga sekarang.
214
BIODATA PENULIS KEDUA
217