Anda di halaman 1dari 284

Dr. Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, S.H.

,
M.Hum., MM., CLA

MENGENAL
HUKUM ADAT NUSANTARA

Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI)


2023

i
MENGENAL
HUKUM ADAT NUSANTARA

Dr. Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, S.H.,


M.Hum., MM., CLA

viii + 274 hal, 21 cm


ISBN : ………………………….
Cetakan Pertama : Juni 2023

Diterbitkan oleh
Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI)
Jl. Haji Nawi Raya 10 B, Jakarta
Telp. 021 7201478

ii
MENGENAL HUKUM ADAT NUSANTARA
Dr. Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.Hum., MM., CLA

Jakarta, 2023

Desain Sampul dan Layout: Irwan Kusmadi


Sumber Foto Cover : https://kabar24.bisnis.com/

@ Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


All rights reserved. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Ketentuan pidana
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 UU Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melaukan perbuatan
sebagaiman dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana penjara paling sedikit 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00. (lima milliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum sesuatu
ciptaan barang atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah).

iii
PRAKATA

Syukur dan puji dihaturkan kehadirat Allah semesta alam,


atas bimbingan dan penyertaan-Nya yang memampukan saya
dapat menyelesaikan buku “Mengenal Hukum Adat Nusantara”;
merupakan buku yang substansinya merupakan bahan ajar yang
mendeskripsikan eksistensi hukum adat di Indonesia disertai
contoh yang berasal dari berbagai penelitian baik di Maluku
Tenggara maupun di Papua. Masih ada beberapa materi dari
berbagai suku di wilayah timur Indonesia, yang perlu terus
dilengkapi dalam buku ini, mudah-mudahan pada terbitan revisi,
apa yang menjadi komitmen saya sebagai dosen NIDK akan
terealisasi.
Saya menyadari bahwa buku ini perlu dan terus
disempurnakan agar dapat dijadikan salah satu referensi bagi
mahasiswa, dosen dan praktisi yang ingin mendalami hukum adat
di Indonesia. Untuk itu diperlukan kritik serta saran konstruktif
dari berbagai pihak.
Terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga kepada para
sahabat, kolega dan pihak-pihak yang tak dapat saya sebutkan
satu persatu, atas perhatian dan support yang luarbiasa sehingga
buku dapat terealisasi dan kini ada di tangan anda. semua pihak
iv
yang berkonribusi sejak awal hingga buku ini dapat diterbitkan.
Semoga berguna.

Penulis
Dr. Roberth K.R. Hammar, S.H., M.Hum., MM., CLA

v
DAFTAR ISI

PRAKATA ..................................................................................... iii


DAFTAR ISI ................................................................................... iv
BAB 1 PEMAKNAAN ADAT DAN HUKUM ADAT ........... 1
A. Istilah Adat dan Hukum Adat.................................. 1
B. Pengertian Adat dan Hukum Adat......................... 2
C. Perbedaan Antara Adat dan Hukum Adat ............. 11
D. Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan..................... 14
E. Faktor Yang Memengaruhi Hukum Adat .............. 15
F. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Mempelajari Hukum
Adat ............................................................................. 18
G. Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat ......... 22
H. Sumber Hukum Adat ............................................... 24
I. Teori Eksistensi Penerimaan Hukum Adat............ 28
BAB 2 SEJARAH HUKUM ADAT .......................................... 33
A. Sejarah Sebelum Kemerdekaan ............................... 33
B. Sejarah Setelah Kemerdekaan................................... 42
BAB 3 KARAKTERISTIK HUKUM ADAT ............................. 47
A. Ciri-Ciri Hukum Adat ............................................... 47
B. Sifat Hukum Adat ..................................................... 49
C. Corak Hukum Adat ................................................... 59
D. Sistem Hukum Adat .................................................. 63

vi
BAB 4 STRUKTUR MASYARAKAT HUKUM ADAT .......... 71
A. Masyarakat Hukum Adat ......................................... 71
B. Susunan Masyarakat Hukum Adat ......................... 74
BAB 5 ANEKA JENIS HUKUM ADAT ................................... 81
A. Hukum Kekeluargaan Adat ..................................... 81
B. Hukum Perkawinan Adat ......................................... 85
1. Pengertian Perkawinan ....................................... 85
2. Pertunangan ......................................................... 86
3. Bentuk-Bentuk Perkawinan ................................ 90
4. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat ..................... 94
5. Bentuk Perkawinan MHA Kei Maluku
Tenggara ............................................................... 105
6. Harta Perkawinan ................................................ 122
C. Hukum Kewarisan Adat ........................................... 127
1. Pengertian Hukum Kewarisan Adat ................. 127
2. Sistem Kewarisan................................................. 130
3. Proses Peralihan Harta Warisan ........................ 138
D. Hukum Tanah Adat ................................................... 146
1. Makna Tanah........................................................ 146
2. Hak Perseorangan Atas Tanah Adat ................. 147
3. Pengertian Hak Ulayat ........................................ 152
4. Tanda-Tanda Adanya Hak Ulayat .................... 157
5. Hak Ulayat Berlaku Ke Dalam dan Ke Luar .... 158
6. Obyek Dan Sifat Istimewa Hak Ulayat ............. 163
vii
7. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak
Perseorangan ........................................................ 166
8. Hak Ulayat Dalam UUPA................................... 168
BAB 6 DELIK ADAT.................................................................. 173
A. Pengertian Delik Adat ............................................... 173
B. Sifat Hukum Adat Delik............................................ 174
C. Jenis Delik Adat.......................................................... 178
D. Objek Delik Adat ........................................................ 179
E. Cara Penyelesaian Delik Adat .................................. 180
F. Delik Adat Menurut Lavur-Ngabal ......................... 181
BAB 7 PERADILAN ADAT ...................................................... 193
A. Pengertian ................................................................... 193
B. Hukum Adat Peradilan ............................................. 194
C. Peradilan Adat di Papua ........................................... 197
BAB 8 PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MHA DAN
KEPEMIMPINANNYA ................................................. 213
A. Pendahuluan ............................................................... 213
B. Regulasi Pengakuan dan Perlindungan .................. 217
C. Perwujudan Pengakuan Perwakilan dan
Perlindungan MHA ................................................... 222
D. Peran Kepemimpinan MHA ..................................... 225
E. Penguatan Peran Kepemimpinan MHA ................. 232
F. Implikasi Kepemimpinan MHA............................... 240
G. Penutup Dan Rekomendasi ...................................... 253
DAFTAR PUSTAKA
PROFIL PENULIS

viii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Istilah Adat dan Hukum Adat


Kata “adat” dan “hukum” berasal dari kata arab yakni
“adah” bermakna kebiasaan, dan “huk’m (ahkam) bermakna
“ketentuan” atau “suruhan”. Adat atau kebiasaan timbul
dalam interaksi masyarakat yang dilakukan terus-menerus
dan kemudian diyakini sebagai suatu keharusan dalam
bertingkah laku. Interaksi terjadi dalam suatu masyarakat
menimbulkan hukum, oleh karena itu hukum terjadi karena
ada masyarakat. Hal itu diutarakan oleh seorangan filsuf,
negarawan, pengacara terkenal kelahiran Roma Italy tokoh
termasyhur pada mazhab Filsafat Stoa yakni Cicero, Marcus
Tullius (3 Januari 106 SM sd. 7 Desember 43 SM) yakni: “Ubi
Societas Ibi Ius” bermakna “di mana ada masyarakat di sana ada
hukum”.
Istilah hukum adat telah lama dikenal sejak masih
eksisnya kerajaan-kerajan di Nusantara, antara lain di Aceh
Darusasalam ketika St. Iskandar Muda memegang tampuk
kekuasaan (1607 sd. 1636) , menetapkan hukum tertulis
dengan penamaan “Makuta Alam” dan juga ketika kekuasaan
berada di tangan Sultan Alaiddin Johan Syah (1781-1795) telah

1
memerintahkan mengkodifikasi hukum acara yang disebut
“Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam” bermakna: “Bahtera
bagi semua Hakim dalam menyelesaikan semua orang
berkusumat, yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh
Muhammad Kamaludin, yang pada intinya dikatakan bahwa
Hakim dalam memeriksa perkara wajib memperhatikan
Hukum Syarak, adat, Hukum Adat dan Resam.1
Profesor Doktor Cristian Snouck Hurgronye yang
memperkenalkan dan menjadi rujukan dalam berbagai kajian
ilmiah ilmu hukum adat ketika istilah tersebut diadopsi dalam
bukunya yang bertemakan “Orang-orang Aceh atau dengan
istilah lain “De Acheers”, selanjutnya diutarakan juga di buku
“Het Adat Recht van Nederland Indie.” yang ditulis oleh Prof. Mr.
Cornelis van Vollen Hoven.

B. Pengertian Adat dan Hukum Adat


1. Pengertian Adat
Adat atau kebiasaan merupakan suatu pola perilaku
yang dilakukan oleh orang perseorangan dalam kehidupan
masyarakat, yang dilakukan terus menerus, dalam waktu
yang lama serta ada keyakinan umum bahwa perilaku tersebut
menjadi sesuatu keharusan dalam interaksi sosial dalam

1 Hadikusuma.Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, cetakan II,

Mandar Maju, Bandung. Hlm. 8-9.


2
komunitas yang bersangkutan. Perilaku masyarakat tersebut
terjelma dalam norma atau kaedah yang merupakan
parameter tentang perilaku yang baik dan buruk, boleh dan
tidak boleh dilakukan, mana yang benar dan yang salah. Adat
atau kebiasaan (Gewoonte Recht) memiliki kekuatan mengikat
dan ada reaksi mashyarakat bagi yang melanggar.
Adat seringkali dipadukan dengan istiadat yakni “adat
Istiadat”. Istilah istiadat berasal dari bahasa arab “isti’adah”
yang bermakna permintaan kembali. Adat Istiadat bermakna
tata kelakuan yang diwarisi dan diturunkan dari generasi ke
generasi. Adat Istiadat merupakan warisan budaya yang
mengandung nilai-nilai yang berfungsi menjadi pedoman
dalam kehidupan masyarakat. Selain Adat Istiadat ada pula
istilah tradisi yang memiliki kesamaan yakni kebiasaan.
Namun apabila dikaji lebih mendalam, maka istilah kebiasaan
bermakna suatu perilaku yang dilakukan berulang-ulang yang
telah menyatu dengan diri seseorang dalam berbagai aspek
perilaku. Sedangkan Tradisi merupakan perilaku kebiasaan
dalam perspektif kebudayaan. Tradisi adalah perilaku yang
dilakukan sejak lama yang tumbuh dan berkembang Bersama
dengan suatu komunitas masyarakat. Seringkali istilah adat
dihubungkan dengan “peradaban” yang bermakna tingkat
kemajuan yang nyata terjadi dalam masyarakat dari aspek
perkembangan sosialnya, misalnya: kemajuan organisasi
3
hukum, dan kompleksitas Lembaga keagamaan, sosial dan
politik yakni peradaban bangsa Cina kuno di lembah sungai
kuniung (Hwang-Ho atau Huang-He) dimulainya dinasti awal
Cina oleh Kaisar Kuning (2700 SM); Peradaban Mesopotamia
(Sumeria, Akkadia, Babilonia, Assyria, Babilonia baru;
Peradaban Lembah Sungai Nil, Mesir (4000 SM); Peradaban
Sungai Indus, Indis Kuno (3000 SM); Yunani Kuno (Pulau
Kreta 2600 SM-1500 SM); Peradaban Maya (1500 SM-300M);
Peradaban Inca (di Amerika sebelum era Columbus).
Soerojo Wignyodipuro2 mengemukakan bahwa adat
merupakan cerminan kepribadian bangsa yang merupakan
penjelmaan dari jiwa bangsa yang berlangsung dari abad-ke
abadyang merupakan identitas yang membedakan antara
bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Adat itu mampu
beradaptasi dengan perkembangan zaman selaras dengan
tingkat peradaban dan kehidupan modern, sehingga adat itu
tetap segar dan kekal. Sedangkan menurut Hazairin3 bahwa
adat adalah renapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu
norma-norma atau kaedah-kaedah kesusilaan yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam
masyarakat.

2 Surojo Wignyodipoero.2021. Pengantar dan Asas-AsasHukum Adat. Cetakan

kedelapan, PT Gunung Agung, Jakarta. Hlm 13.


3 Hilman Hadikusuma.2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju,

Bandung. Hlm.19.
4
Menurut Penulis Adat adalah perilaku yang dilakukan
seseorang secara berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat
berupa nilai-nilai yang termanifestasi pada norma yang
mengikat komunitas dan menjadi perilaku masyarakat.
Jadi Unsur-unsur pembentuk adat adalah:
1. Adanya perilaku seseorang dalam masyarakat;
2. Perilaku itu dilakukan secara berkelanjutan;
3. Perilaku tersebut menjelma dalam norma yang memiliki
kekuatan mengikat;
4. Perilaku tersebut menjadi perilaku masyarakat.

2. Pengertian Hukum Adat


Hukum adat adalah peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat adat yang
harus diindahkan dan dikenakan sanksi bagi yang melanggar.
Penerapan sanksi ditetapkan dalam peradilan adat yang
dipimpin oleh pejabat adat. Tujuan peradilan adat ditujukan
untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu
akibat adanya pelanggaran adat.
Pendapat para ahli tentang pengertian Hukum Adat
terdapat beberapa perbedaan akibat sudut pandang yang
berbeda. Pendapat ahli tersebut sebagai berikut:

5
a. Pandangan Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven (8 Mei
1874-29 April 1933)
Mengenai hukum adat yaitu aturan-
aturan yang berlaku bagi orang-orang
pribumi dan orang-orang timur asing,
yang disatu pihak mempunyai sanksi
(maka dikatakan hukum) dan dilain
pihak tidak dikodifikasi (maka
dikatakan Adat).
b. Prof. Mr. Barend ter Haar Bzn (8 Desember 1839-6 April
1899)
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan-
keputusan kepala-kepala adat dan
berlaku secara spontan dalam
masyarakat. Terhaar terkenal
dengan teori “Keputusan”
(Beslissingenleer) artinya bahwa untuk melihat apakah
sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum
adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa
masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan
adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan
hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu
sudah merupakan hukum adat. Pemikiran Terhaar
dipengaruhi oleh system anglo saxon sebagaimana

6
dikemukakan oleh Chipman Gray dari Inggris bahwa
semua hukum itu keputusan hakim (All the law is
judge made law)4.
c. Pandangan Mr. Joannes Henricus Paulus Bellefroid
(Hassel,15 Februari 1869-14 Februari 1959)
mengenai hukum adat yaitu
peraturan-peraturan dalam
kehidupan yang sangat ditaati
oleh masyarakat bahkan sangat
dihormati walaupun tidak
disahkan atau dibuat
perundangan oleh pihak yang
berwenang atau pihak penguasa, sebab masyarakat
memiliki kepercayaan ataupun keyakinan yang
memandang bahwa peraturan–peraturan tersebut
didasarkan atau berlaku sebagai bagian dari hukum.
d. Prof. Dr. Johann Heinrich Adolf Logemann (19 Januari
1892-12 November 1969), tidak menyetujui pemikiran
Ter Haar mengenai ajaran
Keputusan yang menyatakan
bahwa adat itu tidak mutlak
menjadi hukum adat norma
kehidupan Bersama yang
merupakan aturan-aturan

4 Ibid. Hlm.14.
7
perilaku yang patut diindahkan semua anggota
komunitas dalam pergaulan bersama yang
mengandung sanksi ringan sampai sanksi berat.
e. Prof Mr. Frederick “Frits” David Holleman (11 Mei
1887-22 Januari 1958), sependapat dengan pandangan
van Vollenhoven bahwa hukum
adat itu tidak tergantung pada
keputusan, karena hukum adat
itu mengandung norma-norma
yang hidup disertai sanksi,
bahkan dipaksakan oleh
masyarakat atau Lembaga-
lembaga adat agar dihormati dan dipatuhi dalam
pergaulan bersama.
f. Prof. Leopold Jaroslav Pospisil, kelahiran Olomouc,
Cekoslowakia 1923,
ketika tahun 1952 menempuh
program doctor di Universitas
Yale USA, melakukan penelitian
antropologi hukum dan tiga
bukunya berdasarkan penelitian
di Kapauku Papua yakni:
(1) Kapauku Papuans and Their Law (2) Antropoilogi
of Law (3) The Etnology of Law. Pospisil

8
mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang digunakan
untuk membedakan adat dan hukum adat sebagai
berikut:
1) Attribute of authority: Ciri otoritas interaksi
masyarakat yang dinamakan hukum itu adalah
keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme
yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam
masyarakat.Keputuisan itu menyelesaikan
pelangaran , konflik yang terjadi.
2) Attribute of intention of universal application: Ciri
kelanggengan berlaku keputusan penguasa yang
memiliki waktu Panjang ke depan terhadap
peristiwa yang sama di kemudian hari.
3) Attribute of obligation: Ciri hak dan kewajiban,
bahwa keputusan pejabat adat agar memiliki akibat
hukum maka harus mengandung hak dan
kewajiban bagi para pihak yang masih hidup.
4) Attribute of Sanction: Ciri penguat, hak milikbahwa
keputiusan mengandung sanksi baik terhadap fisik
(badan), deprivasi (penyitaan harta), maupun,
maupun sanksi rohani seperti rasa takut, malu, dan
lain sebagainya.

9
g. Prof. Dr. Raden Soepomo, S.H5 `memformulasikan
hukum adat sebagai hukum tidak tertulis (non statutair)
yang didominasi oleh tradisi-tradisi dalam masyarakat
adat diwarnai oleh hukum agama (islam) serta
sebagian kecil hukum islam yang terdiri atas peraturan
legislating tidak tertulis (unstatutory law) yang terjadi
dalam praktek kenegaraan (konvensi), keputusan
hakim (judge made law) , hukum kebiasaan (customary
law) serta peraturan kampung atau desa dan
keagamaan.
h. Dr. Sukanto, S.H. mengemukakan bahwa hukum adat
adalah kompleksitas adat-adat, kebanhyakan tidak
dibukukan dan disusun secara sistematis dan lengkap,
bersifat paksaan dan adanya sanksi.
i. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H. berpendapat bahwa
hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber pada
peraturan-peraturan yang ada. Hukum Adat itu tidak
meliputi peraturan-peraturan desa dan peraturan-
peraturan raja-raja karena bukan hukum adat.
j. Prof. Dr. Hazairin, menyatakan bahwa hukum adat
merupakan norma kesusilaan yang paling mendasar
dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan

5 Soepomo, R. 2013. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Balai Pustaka, Jakarta. Hlm. 3
10
norma-norma kesusilaan yang mana kebenarannya
tersebut sudah diakui masyarakat secara luas.
k. Prof. Dr. Soerojo Wignyodipuro, S.H mengemukakan
bahwa hukum adat adalah rangkaian kaedah atau
norma yang bersumber dari perasaan keadilan
masyarakat yang senantiasa berkembang dan meliputi
perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari,
sebagaian besar tidak tertulis dihormati, dipatuhi, dan
memiliki sanksi.
l. Rumusan Seminar Hukum Adat dan Pembangunan
Nasional bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan Republik Indonesia yang di sana-sini
mengandung unsur agama.

C. Perbedaan Antara Adat dan Hukum Adat


Menurut para ahli perbedaan antara Adat maupun
Hukum Adat adalah sebagai berikut:
a. Pandangan Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven,
mengenai perbedaan antara adat dan hukum adat yaitu
apabila adat ataupun kebiasaan tersebut berubah fungsi
menjadi suatu hukum adat, jikalau suatu adat ataupun
kebiasaan tersebut dikenakan sanksi

11
b. Pandangan Prof. Mr. Barend ter Haar Bzn, mengenai
perbedaan antara adat dan hukum adat adalah suatu
kebiasaan atau adat bisa berubah menjadi hukum adat
jika sudah ditetapkan atau diputuskan oleh para kepala
adat, namun jika belum ada keputusa dari para kepala
adat, maka hal tersebut adalah perilaku atau sikap atau
tingkah laku yang dikenal dengan adat.
c. Pandangan Prof. Dr. Roelof van Dijk, mengenai
perbedaan antara adat dan hukum adat dilihat dari
sudut pandang sumber atau asal maupun bentuknya.
Perbedaannya adat berasal dari nasyarakat itu sendiri
dan bentuknya tidak tertulis, sedangkan hukum adat
barasal dari alat alat perlengkapan masyarakat serta
berbentuk tertulis maupun tidak tertulis.
d. Pandangan Prof. Leopold Jaroslav Pospisil, kelahiran
Olomouc, Cekoslowakia 1923, ketika tahun 1952
menempuh program doctor di Universitas Yale USA,
melakukan penelitian antropologi hukum dan tiga
bukunya berdasarkan penelitian di Kapauku Papua
yakni: (1) Kapauku Papuans and Their Law (2)
Antropoilogi of Law (3) The Etnology of Law. Pospisil
mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang digunakan

12
untuk membedakan adat dan hukum adat sebagai
berikut6:
1) Attribute of authority: Ciri otoritas interaksi
masyarakat yang dinamakan hukum itu adalah
keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme
yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam
masyarakat.Keputuisan itu menyelesaikan
pelangaran , konflik yang terjadi.
2) Attribute of intention of universal application: Ciri
kelanggengan berlaku keputusan penguasa yang
memiliki waktu Panjang ke depan terhadap
peristiwa yang sama di kemudian hari.
3) Attribute of obligation: Ciri hak dan kewajiban, bahwa
keputusan pejabat adat agar memiliki akibat hukum
maka harus mengandung hak dan kewajiban bagi
para pihak yang masih hidup.
4) Attribute of Sanction: Ciri penguat, hak milikbahwa
keputiusan mengandung sanksi baik terhadap fisik
(badan), deprivasi (penyitaan harta), maupun,
maupun sanksi rohani seperti rasa takut, malu, dan
lain sebagainya.

6 Koentjaraningrat.1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta. Hlm. 215-


216
13
e. Adamson Hoebel7 ahli antropologi hukum dari Amerika
Serikat mengemukakan bahwa tidak semua kebiasaan itu
bersifat hukum. Adanya sanksi sosial positif misalnya
pengukuhan (tanda kehormatan, tanda jasa, piagam,
medalai) dan negatif (ancaman: alis naik, ejek cela,
ditertawakan, siksaan tubuh, dikurung, dikucilkan dan
lain-lain) itu bersifat hukum.

D. Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan


Istilah adat diterjemahkan sebagai kebiasaan, dari
perspektif istilah tidak ada perbedaan, tetapi apabila dianalisis
sumber tempat hukum itu hidup berasal yakni komunitas
masyarakat maka menurut penulis ada perbedaan. Apabila
sumber asal dari masyarakat hukum adat, maka itu hukum
adat. Namun apabila sumber asal itu dari komunitas
masyarakat umum (organisasi, perkumpulan, kampus, dan
lain-lain) maka itu hukum kebiasaan.
Menurut Roelof Van Dijk bahwa perbedaan hukum adat
dan hukum kebiasaan terletak pada sumbernya. Hukum adat
sumbernya alat-alat perlengkapan masyarakat, sedangkan
hukum kebiasaan tidak. Lain halnya pendapat Soerjono
Soekanto bahwa hukum kebiasaan yang mempunyai akibat

7 Hilman Hadikusuma. Opcit. Hlm.16


14
hukum itu disebut hukum adat. Berbeda dengan kebiasaan
semata, karena kebiasaan yang merupakan hukum adat
adalah perbuatan yang sama yang dilakukan berulang-ulang
menuju tatanan hidup masyarakat.

E. Faktor Yang Memengaruhi Hukum Adat


Dalam perkembangan hukum adat banyak faktor yang
saling memengaruhi perkembangan hukum adat yaiti:
a. Faktor Magis serta faktor Animisme
Hal ihkwal magis dan animisme merupakan hal
yang belum dapat dipisahkan dari hukum adat, karena
masih terpeliharanya keyakinan bahwa adanya
hubungan saling mempengaruhi antara dunia nyata
dengan dunia gaib sebagaimana deskripsi berikut ini:
1) Percaya adanya roh, makluk halus serta hantu, yang
semuanya itu menduduki dari semua alam semesta,
serta tanda tanda alam maupun seluruh benda yang
berada di alam yang memiliki kehidupan.
2) Percaya adanya resistensi mustajab atau sakti serta
percaya akan adanya roh yang baik maupun roh yang
jahat.
3) memiliki perasaan gelisah, kecemasan serta ketakutan
dengan adanya suatu pembalasan atau sering dikenal
dengan hukuman yang berasal dari resistensi sakti
15
serta mustajab, semuanya itu bisa kita ketahui dengan
terdapatnya suatu kebiasaan atau adat yang
melakukan pertunjukan atau siaran, sesaji yang
biasanya dilakukan di tempat yang dianggap
masyarakat sebagai tempat yang keramat.
Mempercayai bahwa semua hal yang ada dalam
alam smesta ini pastilah memiliki nyawa, hal tersebut
dinamakan memiliki sifat animisme, sedang animisme itu
sendiri digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:
1) Jiwa-jiwa yang berada dalam alam semesta, yang
memiliki kapasitas yang melebihi besarnya
dibandingkan dengan kapasitas sebagai manusia, hal
tersebut lebih dikenal dengan istilah Fetisisme,
contohnya misalnya matahari, halilintar, topan, tanah,
pohon besar,samudera serta goa dan lain sebagainya.
2) Pemujaan terhadap roh roh yang diyakini sebagai
leluhur serta roh lainnya baik itu roh baik maupun roh
jahat, hal tersebut dinamakan spiritisme.
Keyakinan akan semua mahkluk atau benda baik
yang hdup maupun yang benda mati memiliki jiwa
dikenal secara sains dan bukan secara mitos, sejak Thales
dari Miletos filsuf pertama dari Yunani yang pada abad
ke-6 SM menyatakan bahwa segala sesuatu di jagat raya
memiliki jiwa. Bukan hanya benda hidup tetapi benda
16
matipun memiliki jiwa. Teori Thales ini dikenal sebagai
teori Hylezoisme.
b. Faktor agama
Indonesia, tentunya diiringi dengan masuknya
beragam agama. contohnya adalah sebagai berikut:
1) Agama Hindu
Berawal dari datangnya atau masuknya orang atau
bangsa India ke negara Indonesia tepatnya pada abad
ke-8, tentunya kedatangannya dengan membawa
agama yang dianutnya. Bali dipandang memiliki
pengaruh yang bisa dilihat dari hukum Hindu yang
memiliki pengaruh atau dampak pada pembagian
golongan atau kasta maupun berpengaruh pada
bidang atau kategori pemerintahan raja-raja.
2) Agama Islam
Para pedagang yang berasal dari Malaka, Iran masuk
ke Indonesia tepatnya pada abad ke 14 serta awal awal
abad ke 15, pedagang tersebut membawa pengaruh
agama Islam antara lain hukum perkawinan dan
wakaf.
3) Agama Kristen
Pedagang Barat datang ke Indonesia membawa ajaran
agama Kristen, pengaruhnya terutama pada hukum

17
perkawinan dan keluarga, dan pengaruh lainnya di
bidang Pendidikan dan kesehatan.
c. Tingginya Faktor wewenangan atau faktor kekuasaan
Pengaruh kekuasaan raja-raja, kepala nagari,
kepala kuria, yang dalam kepemimpinannya memiliki
sikap atau perilaku yang baik, namun ada pula
ditemukan pemimpin yang semena-mena atau sewenang-
wenang baik itu terhadap lingkungan terdekat seperti
keluarga maupun di lingkungan kerajaan itu sendiri,
misalnya dalam mengambil keputusan atau suatu
kebijakan yang tidak populis atau tidak bersandarkan
adat.
d. Masuknya kekuasaan asing di Indonesia
Masuknya kekuasaan asing di Indonesia ini, yang
cenderung memiliki sifat individualis dalam alam
pikirannya, memengaruhi alam pikiran masyarakat adat
yang komunal.

F. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Mempelajari Hukum Adat


1. Tujuan Mempelajari Hukum Adat
Hukum adat yang merupakan hukum asli bangsa
Indonesia,patut dipelajari sebagai sumber dan dasar
utama dalam pembentukan hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
18
Republik Indonesia Tahun 1945, khusunya Pasal 18B ayat
(2) tentang pengakuan dan penghormatan terhadap
masyarakat hukum adat, dan Pasal 28I ayat (3) yakni:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban. Di samping itu dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Pada Pasal 5 dinyatakan bahwa Hukum agrarian
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantumdalam
undang-undang inidan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-
unsur yang bersandar pada hukum agama. Untuk itu
tujuan mempelajari Hukum Adat agar norma-norma
hukum adat dapat dipertahankan dan dilestarikan sebagai
salah satu ciri kepribadian yang mewarnai kebudayaan
bangsa Indonesia.

2. Fungsi Mempelajari Hukum Adat


Mempelajari hukum adat berfungsi pertama untuk
mengetahui berbagai aturan hukum adat dengan berbagai

19
karakteristiknya pada masa lalu. Mempelajari berbagai
kelembagaan, kebijakan, pranata, pejabat hukum dalam
menegakan hukum adat di lingkungan masing-masing,
dan makna yang dipelajari tersebut menjadi bagian, dasar
dalam pengembangan hukum adat kontempotrer. Sejarah
merupakan guru dalam kehidupan “Historia Est Vitae
Magistra”. Kedua fungsi mempelajari Hukum Adat pada
saat sekarang guna mengetahui eksistensi, perkembangan
yang saling mempengaruhi dari hukum yang hidup
(living) law MHA, sehingga Ilmu Hukum Adat tidak
terjebak dalam substansi materi masa lalu semata.
Di samping itu ilmuan hukum adat terus
memantapkan hukum adat sebagai ilmu, sekaligus sebagai
norma kehidupan yang berakar dari interaksi manusia
dalam masyarakat. Interaksi masyarakat merupakan
bagian dari karakteristik manusia sebagai mahkluk
pergaulan sebagaimana dikemukan oleh Aristoteles yakni
manusia sebagai zoon politicon. Sejalan dengan Aristotels,
dan filsuf terkemuka dan terkenal yakni Cicero (106-43)
mendeklarasikan adagium yang terkenal yaitu: “Ubi
Societas Ibi Ius” artinya “ di mana ada masyrakat di situ
ada hukum”. Menurut Marcus Tullius Cicero bahwa
hukum tidak bisa dipisahkan dari kehidupan komunitas
manusia. Keteradaan hukum dalam masyarakat itu
20
penting guna mengawal berbagai kepentingan anggota
masyarakat yang kemungkinan tidak bisa terhindar dari
konflik-konflik akibat sifat manusia yang disebut oleh
Thomas Hobbes sebagai Homo Homini Lupus (manusia tak
ubahnya seperti serigala memangsa sesamanya). Oleh
karena itu berbagai hasil ineraksi yang meresultante norma
atau kaedah masyarakat yang telah melembaga menjadi
hukum itu perlu terus dikaji, diformulasikan menjadi
huium yang hidup dan berkontribusi bagi bangsa dan
negara Indonesia.

3. Manfaat Mempelajari Hukum Adat


Manfaat yang diharapkan dari mempelajari hukum
adat bagi semua komponen bangsa, terutama generasi
muda yang menyadarkan mereka bahwa ternyata bangsa
Indonesia yang multikulturalisme ini memiliki berbagai
kearifan, pranata, lembaga yang mampu beradaptasi
dalam mordernisasi kehidupan sekaligus sebagai
pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Berbagai hal ihkwal dalam hukum adat tersebut
merupakan produk kebudayaan bangsa yang
berkontribusi bagi kebudayaan nasional, sekaligus faktor
pemicu peningkatan kecintaan terhadap bangsa, tanpa
mengenyampingkan pengaruh global menuju ketahanan

21
nasional yang ulet dan tangguh, demi kokohnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

G. Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat


Keabsahan berlakunya Hukum Adat berdasarkan Pasal
II Aturan Peralihan UUD NRI tahun 1945 (Amandemen ke-4).
Hal ini dimungkinkan agar tidak terjadi kekosongan
(kevakuman) hukum. (Dasar hukum sebelum kemerdekaan
NKRI 17 Agustus 1945, lihat di pokok bahasan sejarah hukum
adat sebelum kemerdekaan). Pasal-pasal yang mengatur dan
menjadi dasar eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-
haknya yaitu:
a. Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang.
b. Pasal 28I ayat (3): Identitas budayandan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
c. Pasal 32 ayat (1): Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya; dan ayat (2):
22
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional.
d. Ada 14 (empat belas) undang-undang bahkan lebih dan
peraturan pelaksanaan yang mengakui MHA dan hak-
haknya, sekaligus merupakan dasar sah berlakunya
hukum adat di Indonesia.
Dalam konteks internasional ada regulasi yakni United
Nations Declaration on the rights of indigenous people, yang terdiri
atas 46 pasal telah mengakomodasikan hak-hak MHA yang
disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa
(MU PBB) dalam sesi ke-61-nya di Markas PBB di New York
pada hari Kamis, 13 September 2007, oleh mayoritas 144
negara yang mendukung, 4 suara menentang (Australia,
Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat) dan 11 abstain
(azerbaijan, Bangladesh. Bhutan, Burundi, Kolombia, Georgia,
Kenya, Nigeria, Federasi Rusia, Samoa dan Ukraina. Deklarasi
ini menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat,
serta hak mereka atas budaya, identitas, bahasa, pekerjaan,
kesehatan, pendidikan memelihara dan memperkuat institusi,
budaya dan tradisi, mengejar perkembangan masyarakat adat
sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat adat. Disi lain
deklarasi "melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat",
dan "mempromosikan partisipasi penuh dan efektif hak
mereka untuk tetap berbeda dan untuk mengejar visi mereka
23
sendiri dalam pembangunan ekonomi dan sosial". Tujuan
Deklarasi ini adalah untuk mendorong negara-negara untuk
bekerja sama dengan masyarakat adat dalam memecahkan
masalah global, seperti pembangunan, demokrasi
multikultural dan desentralisasi. Berdasarkan Pasal 31, ada
penekanan utama bahwa masyarakat adat dapat melindungi
warisan budaya dan aspek-aspek budaya dan tradisi mereka
lainnya, yang sangat penting dalam melestarikan warisan
Masyarakat Hukum Adat.

H. Sumber Hukum Adat


Sumber hukum adalah asal-muasal segala sesuatu
yang menimbulkan aturan-aturan yang memiliki daya paksa
dan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata bagi yang
melanggar. Sumber hukum adat dibagi dalam tiga bagian
yaitu: sumber pengenal, sumber isi dan sumber pengikat.
a. Sumber pengenal
Sumber pengenal hukum adat adalah perilaku masyarakat
yang dilakukan berulang-ulang dalam interaksi sosial
yang terkristalisasi dalam bentuk norma yang timbul dari
kesadaran hukum masyarakat yang diyakini sebagai suatu
kebenaran umum, baik yang telah diformulasi dalam
bentuk bentuk pergaulan masyarakat maupun dalam
bentuk keputusan pejabat adat.
24
b. Sumber isi
Sumber isi hukum adat adalah kesadaran hukum yang
hidup dan berkembang bersama-sama dengan kemajuan
masyarakat.
c. Sumber Pengikat
Sumber pengikat hukum adat adalah sistem nilai yang
termanifestasi karena kesadaran hukum masyarakat, yang
mengakibatkan rasa malu, bahkan terhina, yang berujung
pada sanksi apabila tidak berperilaku sesuai norma atau
kaedah yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Contoh: Dalam Masyarakat Hukum Adat Kei Maluku
Tenggara, mengenal Hukum Adat dengan penamaan
Hukum Adat Larvul Ngabal.
Sumber pengenal atas hukum adat Larvul Ngabal
adalah perilaku orang-perseorangan dalam kehidupan
masyarakat, yang dilakukan berulang-ulang dan terus-
menerus berlandaskan hukum Larvul Ngabal. Sedangkan
sumber isi dari hukum adat Larvul Ngabal adalah
kristalisasi dari perilaku yang dilakukan berulang-ulang
dan terus menerus itu di dikristalisasi dan dibentuk oleh
pemimpin adat yakni raja-raja yang terhimpun dalam
Lorsiu dan Lorlim. Sedangkan sumber pengikat adalah
adanya rasa malu dan terhina jika melakukan pelanggaran,
25
karena hukum Larvul Ngabal memiliki kekuatan berlaku
dan kekuatan mengikat seluruh komunitas masyarakat
Hukum Adat Kei (Evav).
Untuk meperjelas uraian hukum adat Larvul
Ngabal yang berkenaan dengan sumber hukum adat,
maka hukum adat Larvul Ngabal diuraikan secara singkat
sebagai berikut: Pembentuk hukum adat Larvul Ngabal
oleh pemimpin adat yang terdiri atas dua kelompok raja
Ursiu (serikat sembilan) dan Urlim (serikat lima) pada
Masyarakat Hukum Adat Kei (Evav). Hukum adat Larvul
ngabal yang terdiri atas hukum Nevnev, Hanilit dan
Hawear Balwirin, diyakini dan dilaksanakan karena
mengandung kualitas keadilan yang tinggi, dan memiliki
kekuatan mengikat karena dicetuskan oleh para raja Ursiu
yang melahirkan hukum larvul dan para raja Urlim yang
menghasilkan hukum ngabal.
Hukum Larvul Ngabal terdiri dari 7 (tujuh) Pasal
sebagai berikut:
Pasal satu : Ud entauk na atvunad
Kepala kita bertumpu di tengkuk kita.
Pasal dua : Lelad ain fo mahiling
Leher kita yang sebatang hendaklah
diluhurkan.
Pasal tiga : Ul nit envil atumud
26
Kulit mati membungkus badan kita.
Pasal empat : Lar nakmot na ivud
Darah menggenang di perut kita.
Pasal lima : Rek fo mahiling
Ambang bilik hendaklah diluhurkan.
Pasal enam : Moryain fo kelmutun
Bilik petiduran hendaklah disucikan.
Pasal tujuh : Hira ni fo i ni, it did fo it did
Milik orang biarlah miliknya, milik kita
biarlah milik kita.
Pasal 1 sd. 4 disebut hukum Nevnev (delik adat)
bentukan Raja-raja Lorsiu di kampung Elaar Nuhu Roa
(pulau Kei Kecil) disebut hukum Larvul; Sedangkan Pasal
5 dan 6 disebut hukum Hanilit (hukum keluarga) dan Pasal
7 disebut hukum Hawear Balwirin (hukum berkenaan
dengan kepemilikan, properti) disebut hukum Ngabal
produk Lorliem di kampung Lerohoilim-nuhuyuut (pulau
Kei besar).
d. Sumber-Sumber Hukum Adat
1) Adat istiadat;
2) Kebudayaan tradisional rakyat;
3) Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4) Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5) Pepatah adat
27
6) Yurisprudensi adat
7) Dokumen-dokumen adat yang ditemukan
8) Kitab-kitab hukum zaman kerajaan
9) Doktrin dari para ahli hukum adat
10) Hasil-hasil penelitian hukum adat
11) Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku di masyarakat
(living law).

I. Teori Eksistesi Penerimaan Hukum Adat


a. Receptio In Complelexu Theori
Teori Receptio In Complexu diperkenalkan oleh tiga
ilmuan Belanda yakni Winter, Salamon Keyze dan van den
Berg. Namun yang kesohor adalah Prof. Mr. Lodewijk
Wilem Christian van den Berg (19 Oktober 1845-2 Maret
1927). Van den Berg ilmuan, Universitas Leiden;
Universitas of Delt, Ilmuan asal Belanda yang terkenal
lewat berbagai penelitian dan tulisannya: “pangkat dan
gelar” di Jawa dan Madura, Le Hadramout et les colonies
arabes dans l’archipel Indien (Hadramaut dan Pemukiman
Arab di Kepulauan Hindia), Tulisan van den Berg bertajuk:
de Beginselen van het Mohammedaansche Recht, Volgens de
Imam; Abu Hanifat en Sjafisyar’I (Prinsip-prinsip Hukum
Islam menurut Imam Abu Hanifah dan Syafii) dicetak
tahun 1874, 1878 dan 1883.
28
Carel Frederik Winter,sr dan Salomon Keyzer. Carel
Frederik Winter,sr (1799-1859) adalah seorang ilmuan
belanda yang memfokuskan penelitian linguis Hindia
Belanda, dan karyanya antara lain Kesusasteraan Jawa dan
Barat: Kawi Javaansch woordenboek (kamus Kawi-Jawa),
dan versi bahasa Indonesia diterbitkan pada tahun 1983.
F.W. Winter dalam penjelajahan penelitiannya di Hindia
Belanda bekerja sama dengan pujangga asal keraton
Surakarta Hadiningrat yaitu Ranggawarsita. F.W. Winter
bersama-sama dengan Prof. Keyzer, Salomon (1823-1868)
profesor di Delft dan sekretaris pada Koninklijk Instituut
voor Taal-Lan-en Volkenkunde van Nederlands Indie.
Carel Frederik Winter,sr dan Salomon Keyzer serta Prof.
Lodewijk Wilem Christian van den Berg, Mr berpendapat
bahwa: “Hukum Adat suatu masyarakat itu mengikuti
hukum yang dianutnya, khususnya agama Islam. Hal ini
bermakna bahwa hukum Agama Islam diikuti secara
keseluruhan oleh masyarakat adat, sehingga hukum adat
masyarakat tersebut sama dengan hukum agamanya”
b. Receptie Theori
Teori Receptio merupakan reaksi terhadap Receptio in
Complexu Theorinya van den Berg cs. Tokoh utama teori
Receptio adalah Prof. Christian Snouck Hurgronje (1857-
1936). Ajaran teori Receptio sebagai berikut: “Hukum Adat
29
berlaku bagi pribumi, sedangkan bagi masyarakat yang
beragama Islam berlaku hukum agama Islam, jika norma
tersebut diterima. Hukum agama (Islam) mengikuti
hukum adat masyarakat adat.
Teori Receptio ini sangat memengaruhi perkembangan
hukum Islam di Nusantara. Teori ini dikembangkan oleh
yang amat terpelajar profesor Cornelis van Vollenhoven
dan Prof. Mr. Barend ter Haar Bzn, dan dijadikan alat
untuk membatasi, mengekang perkembangan hukum
Islam. Kebijakan pemerintah kolonial terdapat antara lain
dalam regulasi berikut:
1) Pasal 134 IS: Bagi pribumi akan berlaku hukum agama
(Islam) apabila masyarakat adat menerima hukum
agama tersebut.
2) Pasal 134 ayat (2) IS: sengketa perdata antara sesama
warga beragama Islam akan diselesaikan oleh hukum
agama islam apabila hukum adat masyarakat itu
menghendakinya.
c. Teori Receptio Exit
Teori ini dicetuskan oleh yang amat terpelajar professor
Dr. Hazairin, S.H. pakar hukum Islam dan hukum adat,
memulai karirnya sebagai pengajar hukum adat dan
etnologi pada Sekolah tinggi hukum di Batavia, menjadi
hakim, dan terakhir menjadi Profesor Ilmu hukum Islam
30
dan Adat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, serta
mengajar dibeberapa kampus di Jakarta.
Menurut Hazairin (28-11-1906 sd. 11-11-1975), teori
Receptio yang menyatakan bahwa hukum Islam baru
berlaku bagi orang Islam manakala sudah diterima dan
menjadi hukum adatnya merupakan Teori Iblis (setan) dan
telah “modar” atau terhapus (keluar) dengan berlakunya
UUD NRI Tahun 1945.
1) Receptio A Contrario Theori
Teori Receptio Exit nya Hazairin, yang ditindaklanjuti
menjadi teori Receptio a Contrario oleh Sayuti Thalib
bahwa: pada Masyarakat Adat pemeluk agama Islam
berlaku Hukum Agama. Sebaliknya manakala hukum
adat ditemukan tidak bertentangan dengan hukum
agama, maka hukum adat tersebut dapat diberlakukan.
Jadi Teori Receptio A Contrario merupakan kebalikan
dari teori Receptionya Prof. Christian Snouck
Hurgronje.
2) Credo Theori
Ajaran pokok dari teori Credo bahwa sesorang yang
telah memeluk agama Islam ia telah
mengucapkan/menyaksikan syahadat sebagai
pernyataan percaya dan mengaku keesaan Allah dan
Muhammad sebagai rasul Allah. Maka yang beragama
31
Islam berkewajiban menjalankan perintah Tuhan dan
menjauhi larangannya, sekaligus berkewajiban
melaksanakan hukum Islam tanpa terkecuali.
Kandungan syahadat adalah ikrar, sumpah, janji, dan
persaksian.
3) RECOIN (Receptio Contextual Interpretatio Theori)
Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretatio)
dirumuskn Oleh: Prof.Dr. Afdol, SH., MS Teori Recoin
dibutuhkan guna menelaah dan menganalisis pelbagai
teori terdahulu seperti Receptio In Complexu, Recreptie,
Receptio Exit, dan Receptio a Contrario. Contoh: dalam
kewarisan Islam yang menganut sistem “Bilateral
Individual” sebagaimana dalam arti tekstual Surat An
Nisa8 yang meyatakan bahwa: “bagian warisan untuk
anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”.
Interprestasi kontesktualnya: bagian warisan yang
diperoleh anak perempuan minimal sebesar setengah
dari besaran warisan yang diperoleh anak laki-laki.

8 Surat An Nisa Ayat 11 yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua

orang anak perempuan; dan jika anak itusemuanya perempuan lebih dari dua maka bagi
mereka du pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta.
32
BAB 2
SEJARAH HUKUM ADAT

A. Sejarah Sebelum Kemerdekaan


Ekspedisi bangsa Eropah menjelajahi dunia, untuk
mendapatkan rempah-rempah akhirnya terwujud, ketika
bangsa Portogis pada tahun 1511 memasuki wilayah
Nusantara dipimpin oleh Alfonso d’Albuguerque dan sekaligus
menguasai pusat perdagangan di Selat Malaka dan kemudian
masuk dan menjajaki rempah-rempah di Maluku, walaupun
mereka berhadapan dengan Sultan Baabullah.
Setelah Portugis dan Spanyol melakukan ekspedisi
dan menguasai Nusantara, maka ada tahun 1595 Bangsa
Belanda melakukan pelayaran dan akhirnya pada tahun
1596 tiba di Nusantara dengan empat armada kapal, 249
personil, 64 buah senjata meriam, dipimpin oleh Cornelis de
Houtman, memasuki perairan Banten pada tanggal 27 Juni
1596. Kemudian ekspedisi Belanda melanjutkan ke arah
timur melalui pantai utara jawa hingga Bali. Walaupun
Cornelis de Houtman meninggal namun ekspedisinya
berhasil kembali ke Belanda dengan membawa banyak
rempah-rempah.

33
Pada tahun 1598 terjadi pelayaran menuju Nusantara
dipimpin oleh Jacob van Neck. Rombongan kapal-kapal
pada ekspedisi kedua ini milik perusahan-perusahan
Belanda. Pada bulan Maret 1599 rombongan van Neck tiba
di Maluku wilayah penghasil rempah-rempah terbesar saat
itu, dan rempah-rempah yang banyak itu dibawa van Neck
ke Belanda, membuatnya menjadi pebisnis sukses.
Pada tahun 1601 Ekspedisi ketiga Belanda menuju
Nusantara, dengan 14 (empat belas) buah armada kapal, dan
tiba di Nusantara. Para pengusaha Belanda tersebut
memulai melancarkan strategi perdagangan monopoli
rempah-rempah, karena harus bersaing dengan bangsa
eropa lainnya. Keuntugan perusahaan-perusahaan dari
penjualan rempah-rempah semakin berkurang di pasar
eropa akibat persaingan antar pengusaha, maka guna
menyiasati dampak negatif persaingan, dibentukalah
perserikatan dagang swasta bersatu di Negeri Belanda pada
tanggal 20 Maret 1602, dengan nama Vereenig de Oost Indische
Compagnie (VOC), Perserikatan Dagang (kompeni) Hindia
Timur. Kehadiran VOC menjadi tonggak sejarah di
Indonesia karena bukan saja perusahaan tersebut
memenopoli perdagangan rempah-rempah tetapi juga
mulai mengembagkan kekuasaannya dengan menguasai
Batavia dan beberapa wilayah Jawa, serta mengendalikan
34
beberapa raja Nusantara, dan inilah tonggak awal
kolonialisme negeri kincir angin, Nederland, bangsa
Belanda di Nusantara.
Dalam rangka kelancaran usaha dagang, maka VOC
mendapat hak oktroi dari Staten General (Dewan
Perwakilan Negara) yaitu:
1. Hak monopoli perdagangan
2. Hak milik atas tanah tempat tinggal
3. Hak membangun benteng-benteng pertahanan
4. Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja
Hindia
5. Hak membentuk pasukan perang
6. Hak atas kekuasaan kehakiman dan peradilan.
Pada zaman VOC ini banyak peraturan yang
dikeluarkan untuk mengatur berbagai hal yang berkenaan
dengan kekuasaan dan peradilan. Pada tanggal 30 Mei 1619,
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menguasai dan
mengambil alih kekuasaan Jakarta dari kekuasaan
kesultanan Banten dan mendirikan benteng “Batavia”.Pada
tanggal 24 juni 1620 dibentuk College van Schepenen yang
dikepalai oleh “Baljuw” yang bertugas dalam bidang
pemerintahan umum dan peradilan. Hukumyang
digunakan dalam memeriksa dan mengadili perkara adalah
peraturan dalam bentuk “plakat”, ketetapan-ketetapan
35
VOC, dilengkapi dengan Hukum Belanda Kuno dan Hukum
Romawi.
Dalam praktek, tidak semua hukum buatan Belanda
dan VOC itu dapat diberlakukan, walaupun mendapat
perintah dari pengurus VOC di Belanda, akhirnya dengan
keterpaksaan VOC membolehkan pemberlakuan hukum
adat, beberapa contoh sebagai berikut:
1. Hukum waris tanpa wasiat ternyata tidak berlaku sesuai
perintah petinggi VOC, sehingga diberlakukan hukum
waris rakyat.
2. Dalam hal warisan bagi penduduk Jayakarta yang
beragama Kristen, penganut kepercayaan, dan umat
Islam tetap berlaku hukum kebiasaan rakyat, dengan
pembentukan Gecommitteerde tot en over de zaken van
den Inlander (komisi untuk mengurus perkara orang-
orang pribumi).
3. VOC tidak dapat melaksanakan sistem peradilan eropa,
sehingga memperkenankan berlakunya peradilan asli.
4. Pada awal abad 18 di daerah Priangan dan Cirebon
memberlakukan sistem peradilan dari zaman Mataram II
yang berasal dari zaman Majapahit.
5. Resolusi 7 November 1754 Gubernur Jenderal Mossel
memerintahkan Gecommitteerde Freyer menyusun
suatu kitab hukum bagi daerah kekuasaan VOC yakni
36
Copendium Freyer, namu peraturan tersebut tidak
efektif dilaksanakan terutama hukum waris, karena
tidak sesuai dengan realitas hukum dalam masyarakat.
Beberapa Tonggak sejarah kolonialisme yaitu:
1. Pada tahun 1795, Republik Perserikatan Tujuh Provinsi-
Belanda (Republiek der zeven vereenigde Nederlanden)
diubah menjadi Republik Batavia (Bataafse Republiek),
maka pada tahun 1798 penguasa Republik Batavia
membatalkan hak oktroi VOC dan semua kekayaan serta
hutang-hutangnya, diambil alih oleh Republik Batavia.
2. Pada tahun 1803 terjadi peperangan antara Belanda dan
Inggris.
3. Pada tahun 1804 ditetapkan suatu Charter atau
Regeerings Reglement yang mengatur daerah jajahan di
Asia.
4. Pada tahun 1806 Republik Batavia berubah menjadi
kerajaan di bawah kekuasaan Raja Perancis yaitu Louis
Napolion.
5. Pada tahun 1807 Raja louis Napolion mengangkat dan
menetapkan Mr. Herman Willem Daendels (1762-1818)
sebagai Gubernur Jenderal untuk mempertahankan
jajahan Belanda di Nusantara dari tahun 1808 sd. 1811
terhadap serangan Inggris.

37
6. Selama berkuasa di Jawa, Daendels yang dijuluki
Marsekal besi, atau jenderal Guntur melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Melaksanakan pemerintahan secara otoriter.
b. Sistem sentralisasi pemerintahan, para bupati adalah
pegawai yang diberikan upah/gaji.
c. Raja-raja di Yogyakarta dan Surakarta dinyatakan
sebagai bawahan.
d. Membentuk pasukan tantara pribumi yang
dinamakan Jayengsekar, yang berada langsung di
bawah komandonya.
e. Memperbaiki dan membangun benteng-benteng
pertahanan dengan tenaga kerja rakyat secara paksa.
f. Mengubah usaha rakyat pengecoran perunggu di
Semarang mmenjadi pengecoran peluru.
g. Membangun jalan raya Anyer ke Panarukan dengan
kerja paksa
h. Mengadakan transaksi jual beli tanah pemerintah
kepada swasta untuk diperuntikan membiayai
pertahanan.
i. Memperbaiki peradilan berdasarkan Pasal 86
Charter Bataafse Republiek, sehingga peradilan
pribumi berlaku sesuai hukum adat.

38
7. Pada tanggal 4 Agustus 1811 Inggris tiba di Jawa,
dipimpin oleh Lord Minto dan Sekretarisnya Sir Thomas
Stamford Raffles; dan berdasarkan Capilulatie yang
yang berisi penyerahan kekuasaan belanda ke Inggris)
yang ditandatangani Gubernur Jenderal pengganti
Daendels yaitu Jan Willem Janssens (16 Mei sd.
September 1811) di Salatiga.
8. Pada tanggal 11 September 1811 Lord Minto
mengangkat dan menetapkan Raffles sebagai Letnan
Gubernur (Luitenant-Gouverneur) berdasarkan
proklamasi melaksanakan pemerintahan dengan politik
sabar dan bermurah hati terhadap rakyat pribumi. Garis
politik Raffles (1811-1816) sebagai berikut:
a. Memperkokoh dan mengembangkan pengaruh
kekuasaan eropa dalam perspektif hukum Inggris.
b. Menolak pemerintahan raja-raja Islam, akan
berbahaya dan merugikan.
c. Kekuasaan Barat, langsung kepada rakyat
berdasarkan kemanusiaan, apabila dipandang perlu
melampaui kepala negeri.
d. Melaksanakan reformasi tentang susunan
pengadilan.

39
9. Pada tanggal 30 April 1847 diterbitkan Ketentuan-
Ketentuan Umum bagi perundangan Indonesia
(Algemeene Bepaling van Wetgeving voor Nederland Indie,
AB). Pada Pasal 11 AB dinyatakan bahwa apabila
peraturan hukum adat yang bersangkutan bertentangan
dengan dasar-dasar keadilan atau perkara yang tidak
ada dasar hukum pada peraturan adat, maka hukum
eropa (perdata, dagang) yang dipergunakan sebagai
pedoman.
10. Pada tanggal 2 September 1854, Algemeene Bepaling van
Wetgeving voor Nederland Indie, diganti dengan
Regerings Reglement (RR) yang mengatur tentang
“Peraturan tentang kebijaksanaan Pemerintahan, urusan
pengadilan perdagangan daerah jajahan di Asia.
Persoalan hukum adat yang semula diatur dalam Pasal
II AB, kini diatur dalam Pasal 75 RR. Dinyatakan bahwa
perundang-undangan bagi golongan bangsa eropa tidak
diperlukan oleh Gubernur Jenderal untuk bangsa
Indonesia tidak menyatakan dengan suka rela bahwa ia
tunduk pada hukum dagang eropa.
11. Pada tanggal 1 Januari 1920. Dilakukan pembaharuan
RR teks lama ke teks baru.

40
12. Pada tanggal 23 Juni 1925 RR teks baru diganti dengan
Indische Staatsregeling (IS) mengatur: Peraturan
Ketatanegaraan Indonesia, dalam Stb. 1925 no 415
berlaku 1 Januari 1926. (pasal 75 RR substansinya mirip
dengan Pasal 131 IS. Perbedaannya:
a. Pasal 75 RR diperuntukan bagi hakim, sedangkan
Pasal 131 IS diperuntukan bagi legislator.
b. Pasal 75 RR tidak dimungkinkan pribumi atau timur
asing me nundukan diri pada hukum baru yakni
sintesa antara hukum adat dengan hukum eropa,
sedangkan Pasal 131 IS mengatur perihal
penundukan pribumi dan timur asing pada hukum
barat.
c. Hukum tidak dijalankan manakala bertentangan
dengan asas-asas keadilan. Apabila hukum adat
tidak dapat meyelesaikan suatu perkara penggunaan
hukum eropa boleh hakim diperbolehkan.
13. Pada tanggal 7 Maret 1942, Pemerintah Jepang
diterbitkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942. Pada
Pasal 3 dinyatakan bahwa: “semua badan-badan
pemerintahan yang dulu tetap diakui sah untuk
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer”.

41
B. Sejarah Setelah Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan
Bangsa Indonesia, yang kemudian sehari setelah
Kemerdekaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPK) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945
menghasilkan:
1. Memilih dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia, dan Drs Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia.
2. Mengesahkan Konstitusi (Hukum Dasar) Negara
Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
3. Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai
golongan dan daerah, termasuk anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Soeripto9 mengemukakan bahwa dengan disahkannya UUD
NRI Tahun 1945, maka Negara Republik Indonesia telah
memiliki dasar-dasar tertib hukum yang merupakan Tata
hukumNasional sebagai manifestasi kepribadian bangsa
Indonesia yang mengatur kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia.

9 Tolib Setiady. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta., Bandung. Hlm. 70
42
Beberapa perkembangan yang berkontribusi bagi ilmu hukum
adat adalah:
1. Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa:”Segala Badan-Badan Negara dan
Peraturan-Peraturan yang ada, masih berlaku
sebelumnya diadakan peraturan yang baru.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 10 Oktober 1945 menyatakan
bahwa:” Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-
Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama sebelum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar.
3. Pasal 18B UUD NRI 1945: Ayat (1) ”Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang,” Ayat (2) Negara mengakui
dan menghormati kesatuam-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Reoublik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

43
4. Pasa 28I UUD NRI Tahun 1945: Ayat (3)” Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
5. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada Pasal 5
menyatakan bahwa”Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama”.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat.
7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 8/Permen-KP/2018 tentang Tata Cara
Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat
Dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir dan pulau-
Pulau Kecil.

44
8. Pada tanggal 15-17 Januari 1975 dilakukannya seminar
nasional tentang “Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional” (kerjasama Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) dengan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada. Hasil seminar intinya sebagai berikut:
a. Seminar ini memformulasikan pengertian hukum
adat sebagai berikut: “Hukum Indonesia asli yang
tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia, yang di sana-sini mengandung
unsur agama”.
b. Salah satu sumber hukum nasional yang penting
dalam pembangunan hukum nasional adalah bahan-
bahan dari hukum adat.
c. Bahan-bahan dari hukum adat hanya pada hal-hal
yang dimungkinkan pada skala nasional.
d. Hukum kekeluargaan dan kewarisan diarahkan
kearah hukum yang bersifat parentalatau bilateral
yang memberikan kedudukan yang setara antara
laki-laki dan perempuan.
e. Penelitian hukum dipriritaskan kearah identifikasi,
inventarisasi MHA.

45
Hal-hal yang urgen dalam perkembangan hukum adat
menurut penulis adalah eksistensi MHA dan berbagai
kekayaan material dan immaterial diakui dalam NKRI.

46
BAB 3
KARAKTERISTIK HUKUM ADAT

A. Ciri-ciri Hukum Adat


Dalam berbagai literatur ilmu hukum adat, dinyatakan
bahwa ciri-ciri hukum adat merupakan tanda-tanda lahiriah
yang memberikan arahan, petunjuk, pedoman berperilaku
dalam kehidupan masyarakat. Ciri-cirinya:
1. Tidak tertulis.
Hukum adat bermula dari adanya perilaku orang-
perorangan yang berinteraksi dalam pergaulan
masyarakat, yang dilakukan terus-menerus dan
berkelanjutan, yang akhirnya menjadi suatu keharusan,
sehingga ketika dilanggar ada reaksi dari masyarakat yang
mengakibatkan dikenakan sanksi oleh pejabat adat.
2. Bentuknya perumpamaan, pepatah, mitos dan sejenisnya.
Hukum Adat itu ditemukan dalam kearifan masyarakat
berbentuk nasehat yang berisi suruhan, anjuran dan
larangan, yang terformat dalam norma atau kaidah yang
menjadi dasar perilaku masyarakat, yang tersebar dalam
pepatah, petitih, lagu, perumpamaan, ceritera, mitos (misel,
masal, sukat sarang, tom tad, ngel-ngel, dan lain-lain, istilah

47
dari MHA Kei), sehingga mudah diingat dan dilaksanakan
dalam pergaulan masyarakat.
3. Pejabat adat berkewajiban menyelesaikan setiap masalah
yang dilaporkan oleh yang merasa dirugikan atau anggota
masyarakat lain kepadanya. Pejabat adat yang dimaksud
adalah semua pejabat dalam semua jenjang sesuai dengan
bobot dan luas lingkup kasus yang dilaporkan.
4. Faktor agama, kepercayaan senantiasa mewarnai
kehidupan MHA. Contoh falsafah MHA Kei yakni “Teflur
Nit It Sob Duad” artinya Kita meluhurkan Leluhur dan
menyembah Tuhan; maka akan ada kekuatan laksanan
arus deras dari arah belakang yang berasal dari kekuatan
Tuhan dan leluhur mendorong kita bergerak maju untuk
mencapai tujuan10.
5. Adanya Harga Diri.
Kehormatan, harkat dan martabat anggota MHA,
senantiasa menjadi prioritas dalam kehidupan bersama.
Kesadaran akan saling menghormati, saling menghargai,
saling menopang, saling melengkapi menjadi kebutuhan
MHA dari generasi ke generasi. Kesadaran MHA dalam
kehidupan bersama merupakan kesadaran yang
terinternalisasi dari dalam setiap individu yang

10 Efrem Silubun Opcit Hlm.290


48
teraktualisasi dalam kehidupan bersama. Apabila terjadi
pelanggaran terhadap norma yang diyakini
kebenaranannya oleh masyarakat tersebut, maka akam
muncul reaksi dalam berbagai bentuk yang berdampak
pada rasa malu dari sipelanggar bahkan keluarga dan
kerabatnya. Ini menimbulkan kehilangan “harga diri”
yang berujung pada rasa malu, serta kehilangan
kehormatan.

B. Sifat Hukum Adat


Kata “Sifat” dan “corak terdapat beberapa perbedaan
akibat sudut padang. Kadang kata sifat disamakan dengan
corak, corak disamakan dengan sifat. Kata sifat dugunakan
untuk menerangkan sifat, keadaan, kondisi, watak, tabiat dari
orang, benda binatang. “Sifat” itu mendeskripsikan kualitas,
kuantitas, urutan maupun penekanan suatu kata. Sedangkan
“Corak” bermakna bunga, gambar pada tenunan, anyaman,
dan sebagainya. Corak sinonim dengan macam, motif, ragam,
rupa, tipe. Sifat-sifat hukum adat adalah
1. Tradisional
Bersifat tradisional bermakna sebagai suatu sikap,
dan cara berpikir serta bertindak yang selalu memegang
teguh terhadap norma dan adat istiadat yang diwariskan
secara turun temurun.
49
Contoh sifat tradisional di MHA Kei Maluku
tenggara yang berkenaan dengan pengaturan kasta
sebagai berikut: Pada MHA Kei Maluku Tenggara sejak
leluhur berlaku kasta yang terbagi atas: Kasta “mel-mel”
adalah kasta tertinggi untuk para pendatang yang
kemudian menjadi pemimpin (bangsawan), di bawah-nya
terdapat kasta “ren-ren” atau kasta menengah yang terdiri
dari penduduk asli dan kasta “iri-iri” adalah kasta paling
bawah. Kasta “iri-iri” adalah kasta untuk para budak yang
berasal dari para tahanan yang kalah dalam peperangan
atau para terpidana yang dihukum mati karena melakukan
pelanggaran terhadap hukum adat namun lolos dari
hukuman mati karena ada yang menebusnya.
2. Magis Religius
Kata magis berasal dari kata latin yang bermakna
“lebih banyak” atau “lebih besar”. Hal ini berkaitan
dengan “Ad Majorem dei Gloriam” yaitu demi lebih
besarnya kemuliaan Tuhan” yang dikembangkan oleh
Ignatius Loyola dari komunitas Yesuit.
Sifat Magis-religius itu bermakna bahwa masyarakat
hukum adat senantiasa mendasarkan pemikirannya yang
bersifat sakral dan senantiasa berhubungan dengan dunia
ghaib,dan cara berpikir didasari pada pemikiran pada hal-
hal yang ghaib atau hal-hal yang irrasional. Contoh:
50
sesajen, ritual adat: falsafah hidup MHA Kei Maluku
Tenggara memahami dunia yang mereka hidup dalam dua
kategori yaitu “Nelyoan” (kelihatan) dan “Kavunin” (tak
kelihatan)
Nelyoan atau nelyoon bermakna: terbuka dan jelas
Ini mencakup semua yang dapat ditangkap dengan panca
indera: manusia, flora, fauna, hewan, dan lain-lain.
Sedangkan Kavunin atau kavuning bermakna
(tersembunyi), metafisika.
Kafunin ada dua pemaknaan: pertama orang-orang
hilang-hilang di kampung ohoidertutu yang telah
mengalami transformasi dari dunia nyata ke dunia tidak
nyata dan dipercaya mereka tinggal hutan, dan selalu
melakukan hubungan dengan warga masyarakat tertentu
di desa Ohoider Kei Kecil Maluku Tenggara. Kedua
kafunin bermakna “orang yang telah mati”, leluhur,
mahkluk gaib lainnya.
Karena itu, dalam aktivitas warga desa, dalam
keluarga-keluarga dan dalam ritual-ritual, orang harus
memberikan persembahan-persembahan untuk mereka
yang berada pada tempat tersembunyi. Untuk lebih
jelasnya, dalam oposisi nelyoan-kavunin ini, orang hilang-
hilang, orang mati dan para leluhur adalah bagian dari
kavunin.
51
Fam-fam yang dapat berhubungan dengan orang
hilang (ghaib) melalui ritual-ritual guna memohon
bantuan kavuninkhusus adalah
Keluarga-keluarga ini memiliki hubungan khusus
melalui beberapa ritual. Sebagai contoh, untuk memohon
bantuan “kavunin” di Ohoider, orang harus meminta
bantuan fam Remetwa dan fam Ngamelubun; Kavunin di
Letvuan melalui faam Mayabubun, para Kavunin di Haar-
Wasar dengan fam Sabenan.
Manakala membicarakan secara spesifik tentang
orang-orang mati dan para leluhur, mereka itu berbeda
dari para kavunin. Orang mengenal orang-orang mati dan
para leluhur, contohnya kuburan mereka, nama mereka
dan lain-lain, tetapi kavunin hanya dalam sejarah. Mereka
tidak memiliki kubur, dan lain-lain11.
Jika di Ohoidertutu dan di Ohoidertom orang
berpikir orang hilang-hilang memiliki relasi dengan
Rumah-Rumah partikuler, maka di dalam masyarakat
Lumefar, orang menganggap bahwa relasi utama adalah
relasi antara Rumah dengan leluhur mereka. Hal ini
menegaskan bahwa relasi ini bersifat khusus dan bukan
relasi dengan leluhur secara umum. Sebagian orang

11 Ignasius S.S. Refo. 2015. Manusia Kei: Relasi-Relasi Seputar Kematian, Yayasan

Pustaka Nusantara. Hlm. 44-45


52
berpikir bahwa orang hilang-hilang berada pada suatu «
tempat » partikuler. Secara geografik, mereka mendiami
suatu tempat khusus : di tanjung dan di hutan. Tetapi
orang mati dan leluhur mendiami tepian pantai, di hutan
ohoi mirin, di kuburan, di woma fuhar, dan di tempat-
tempat keramat dan tempat adat keluarga dan desa12.
Magis Religius mengandung indikator sebagai
berikut:
a. Kesatuan batin.
b. Kesatuan kosmis (dunia nyata dan ghaib tidak
terpisah).
c. Konektivitas denga arwah leluhur dan mahkluk
lainnya.
d. Kekuatan gaib.
e. Ritual.
f. Ada upacara religius dalam kegiatan
g. Animisme dan dinamisme.
h. Meyakini adanya kesaktian.
i. Meyakini pantangan-pantangan yang wajib dihindari.
3. Kebersamaan (Komunal)
Sifat kebersamaan (Komunal) bermakna bahwa
masyarakat hukum adat senantiasa menghargai

12 loccit
53
kehidupan bersama, karena setiap anggota masyarakat
merupakan elemen pembentuk masyarakat, sehingga
solidaritas yang tinggi merupakan kebutuhan utama guna
memantapkan soliditas masyarakat.
Pada MHA Kei dikenal berbagai pranata kehidupan
sosial penguat kebersamaan seperti “ain ni ain” artinya
salaing mengasihi; Manut ain mehe tilur, vuut ain mehe
ngivun” berarti kita semua bersaudara karena berasal dari
induk ayam dan ikan yang satu. Wujud kebersamaan
dalam realitas sosial ada tiga pranata yaitu: “Maren, Yelim
dan Sdov”
a. Maren dari asal kata “hamaren” yang terdiri atas tiga
suku kata: “ham” (bagi), “ar” (memisahkan) dan “en”
(selesai). Jadi “hamaren” artinya pembagian tugas
mengerjakan sesuatu kepada orang-orang yang hadir
dalam suatu kegiatan bersama untuk diselesaikan
secara efisien dan efektif. “Maren” merupakan suatu
bentuk aktivitas bersama (Komunal) dari MHA Kei
untuk membantu secara bersama-sama menyelesaikan
pekerjaan keluarga yang lain, secara sukarela, tanpa
ada imbalan jasa. Maren ini suatu bentuk gotong
royong dengan pembagian tugas dan terjadi secara
bergiliran, rotasi. Bentuk-bentuk “maren” sebagai
berikut:
54
(1) dad/fal, tirat rahan (kerja sama membangun
rumah);
(2) dad ve’e yab (kerja sama membuka lahan untuk
ladang/kebun);
(3) dad afa ohoi nuhu/utan (mengerjakan pekerjaan
bersama bersifat publik, kepentingan ohoi,
kampung).
b. Yelim terdiri atas dua suku kata “ye” (memberi), dan
“lim” (tangan). Jadi “Yelim” bermakna pemberian
sesuatu materi (barang atau uang) secara iklas untuk
membantu kegiatan orang secara individu maupun
kegiatan secara berkelompok. Bentuk-bentuk kegiatan
“Yelim” sebagai berikut:
(1) Yelim skol (Pendidikan)
(2) Yelim bacanik/fau (Perkawinan)
(3) Yelim ba had (Ibadah haji)
(4) Yelim lurluruk (aqiqah)
(5) Yelim matmatan (kedukaan)
(6) Dan sebagainya.
c. Sdov (rapat, musyawarah) sering dilakukan untuk
membahas suatu persoalan atau bahkan untuk
menyelesaikan suatu persolan baik individu maupun
persoalan umum (publik) di satu ohoi soa, ohoi
orangkay, bahkan ohoi rat. Sdov dibutuhkan untuk
55
membahas maren, yelim, dan semua jenis aktivitas
keagamaan, pemerintahan dan poilitik. Sdov
merupakan wujud pelaksanaan demokrasi pada MHA
Kei.
Berdasarkan ilmu hukum adat, kebersamaan
(komunal) memiliki sifat-sifat sebagai berikut: `
a. Orang dalam kehidupan masyarakat tidak
diperkenankan berperilaku sesuka hatinya karena
terikat pada norma yang berlaku.
b. Hak dan kewajiban setiap orang sesuai dengan
kedudukan dan perannya dalam masyarakat.
c. Mengutamakan kepentingan bersama
d. Adanya gotong royong
e. Saling menghormati
f. Berperilaku baik sesuai norma kesusilaan dan norma
kesopanan yang berlaku
g. Adanya fungsi sosial hak subyektif.
4. Konkret-Kontan
Konkret artinya jelas, terang, nyata. Maksudnya
setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat hukum
adat itu harus konkret, tidak dengan cara diam-diam, tidak
tersembunyi. Sedangkan Kontan (tunai) adalah sesuatu
dilakukan seketika

56
Contoh: dalam jual beli, kedua belah pihak penjual
dan pembeli memiliki hak dan kewajiban berarti pada
waktu bersamaan pembeli menyerahkan uang dan
menerima barang, penjual menyerahkan barang dan
menerima uang dilakukan padsa saat yang sama.
5. Visual
Masyarakat hukum adat dalam menyampaikan
informasi menggunakan media visual-penggambaran
yang dapat dilihat, dtangkap oleh indra penglihatan.
Contoh MHA Kei menggunakan janur kuning yang
dianyam, dan diletakan di tempat tertentu dengan maksud
bahwa ditempat itu ada larangan (sasi).
Ada beberapa doktrin yang berkenaan dengan sifat
hukum adat sebagai berikut:
1 Koesnoe, Mohammad, mendeklarasikan empat sifat
hukum adat:
a. Tradisional: berbagai hal ihkwal hukum adat,
senantiasa berasal dari masa lalu yang diwariskan dan
dipertahankan dari generasi ke generasi.
b. Luwes: Hukum adat itu mudah mengikuti kemajuan
zaman, karena kesadaran hukum adat yang
merupakan hukum yang hidup itu berkembang selaras
dengan perkembangan masyarakat.

57
c. Keramat: Hukum adat senantiasa menjaga
kepercayaan yang diwariskan leluhur, dan
kewibawaannya sehingga hal-hal yang sudah
ditetapkan, dilarang agar dipatuhi dan diindahkan.
d. Dinamis: Hukum adat terbukan bagi pengaruh luar,
asalkan pengarug tersebut tidak berdampak pada
tercabutnya MHA dari budayanya.
2 R. Soepomo
Sifat hukum adat, yakni:
a. Kebersamaan: adanya kebersamaan (komunal) dalam
berbagai aspek kehidupan atas dasar keeratan
hubungan dalam masyarakat, karena senasib, setujuan,
seketurunan, dan factor lainnya.
b. Magis Relijius: Adanya kepercayaan yang senantiasa
saling mempengaruhi antara dunia nyata dan dunia
ghaib (metafisika), guna menjaga keseimbangan
masyarakat maupun keseimbangan kosmis.
c. Konkret: Senantiasa terkonsentrasi pada hubungan
hukum dan perbuatan hukum yang nyata.
d. Visual: Ikatan hukum terjadi karena adanya penetapan
oleh pejabat adat dengan symbol-simbol tertentu yang
dapat di lihat.
3 F.D. Holleman
Sifat Hukum Adat yaitu:
58
a. Komunal: adanya keseimbangan antara hak
perseorangan dengan hak-hak umum.
b. Konkret: kejelasan obyek dalam perbuatan hukum.
c. Kontan: perbuatan hukum berkenaan dengan hak dan
kewajiban dilakukan pada saat yang bersamaan, demi
keseimbangan kosmis.
d. Magis: Perbuatan hukum senantiasa dipengaruhi hal-
hal ghaib, dan bila dilanggar akan mendatangkan
bencana.

C. Corak Hukum Adat


Menurut para ahli Corak Hukum Adat sebagai berikut:
1. Moch Koesno
a. Bentuk kiasan, perumpamaan.
Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata
adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang
menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai
pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui
berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud.
b. Masyarakat menjadi pusat perhatian.
Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok
perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan
manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai
satu kesatuan yang utuh;
59
c. Adanya Asas-asas.
Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan
asas-asas pokok. Artinya dalam lembaga-lembaga
hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan
keadaan serta segalanya diukur dengan asas pokok,
yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam
hidup bersama;
d. Kepercayaan kepada Petugas hukum.
Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada
para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum
adat.
2. Hilman Hadikusuma13
a. Tradisional:
Hukum adat itu bercorak tradisional bermakna turun
temurun, masih terus berlaku dan dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan.
b. Keagamaan (Magis-religeius): perilaku hukum
senantiasa berdasarkan kepercayaan terhadap kekuatan
ghaib, dan adanya keyakinan bahwa semua benda-beda
di ala mini memiliki jiwa (animism) dan bergerak
(dinamisme)

13 Hilman Hlm. 33-39


60
c. Kebersamaan (Komunal):
Hukum Adat memiliki corak yang bersifat kebersamaan
(komunal). Kepentingan umum diutamakan.
Hubungan hukum anatar anggota masyarakatdidasari
atas rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong
dan gotong royaong.
d. Konkret dan Visual:
Corak hukum adat bersifat konkret artinya jelas, terang,
nyata, berwujud. Sedangkan Visual bermakna jelas,
nyuta tidak tersembunyi.
e. Tebuka dan Sederhana selalu menerima unsur-unsur
dari luar, namun yang sesuai atau setelah disesuaikan
dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Artinya dapat
menerima unsur-unsur yang datang dari luar asalkan
tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Keterbukaannya dapat terlihat dari masuknya
pengaruh hukum hindu dalam hukum perkawinan adat
daerah tertentu. Atau masuknya pengaruh hukum
Islam dalam waris adat (sepikul segendong atau
pembagian waris 2:1 untuk pria dengan wanita)
Kesederhanaannya dapat terlihat dari transaksi-
transaksi yang biasanya tanpa surat menyurat, cukup
adanya kesepakatan para pihak.

61
Sederhana bermakna tidak rumit, tidak administrative,
kebanyakan tidak tertulis, muda dimengerti dan
dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai.
f. Dapat berubah dan menyesuaikan;
Artinya hukum adat bersifat dinamis/tidak statis.
Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh
berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum adat
dapat berubah menurut keadaan, waktu dan tempat.
Pepatah Minangkabau mengatakan, “Sakali aik gadang
sakali tapian beranja, sakali raja baganti, sakali adat
berubah” (Begitu datang air besar, tempat pemandian
bergeser. Begitu pemerintahan berganti, berubah pula
adatnya). Dimasa sekarang hukum adat banyak yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Contoh: Di Minangkabau kekuasaan mamak berganti ke
kekuasaan orang tua, dan dari sistem matrilinial
berubah ke parental. Dulu orang Lampung enggan
bermantukan orang Jawa, kini perkawinan campuran
antara adat, suku, daerah, bahkan agama sudah
membudaya.
g. Tidak dikodifikasi;
Artinya hukum adat sebagian besar tidak tertulis (non
statutair). Hukum adat pada umumnya tidak
dikodifikasi, oleh karena itu hukum adat mudah
62
berubah dan dapat disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat. Namun tetap berdasarkan musyawarah
mufakat dan alur kepatutan.

h. Musyawarah dan Mufakat;


Artinya untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan.
Sebagai sarana penyelesaian perselisihan/sengketa
berdasarkan asas rukun. rukun dan damai serta saling
memaafkan. Hukum adat mengutamakan adanya
musyawarah dan mufakat di dalam hubungan
kekerabatan dan ketetanggaan, baik untuk memulai
pekerjaan atau untuk mengakhiri pekerjaan, apalagi
yang bersifat peradilan, diutamakan diselesaikan rukun
damai dengan cara musyawarah mufakat untuk bisa
saling memaafkan, tidak buru-buru menyampaikan ke
pengadilan negara.

D. Sistem Hukum Adat


1 Sederhana
Hukum adat dikatakan sederhana karena hukum adat
tidak membedakan hukum publik dan hukum privat, atau
hak kebendaan dan hak perseorangan. Dalam hukum adat
tidak ada perbedaan berdasarkan kepentingan umum atau
perseorangan, karena esensinyya suatu reaksi yang

63
muncul akibat perbuatan yang melanggar akan
berdampak pada kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum. Menjaga keseimbangan kosmis
merupakan kewajiban semua warga persekutuan.
Demikianpula dalam hukum adat tidak mengenal
perbedaan hak kebendaan dan hak perseorang seperti
dalam hukum perdata eropa. Hukum adat mengajarkan
bahwa hak-hak perseorangan yakni kehormatan, hak
cipta, hak hidup, tidak mutlak menjadi hak perseorangan
karena hak-hak perseorangan selalu ada hubungannya
dengan kekerabatan, faam, keret, bahkan persekutuan.
Apabila seseorang hendak melakukan perbuatan hukum
atas hak perseorangannya makai a harus menyampaikan
kepada kerabat untuk dipertimbangkan dan disetujui atau
ditolak dalam musyawarah adat kerabat yang
bersangkutan.14
2 Kesadaran akan Harga Diri
Masyarakat hukum adat dalam kehidupannya senantiasa
menjujung tinggi kehormatan pribadi, keluarga dan
kerabat, sehingga terhindar dari perbuatan tercela yang
mengakibatkan keluarga tersebut dicemooh, dipandang
hina, dianggap amoral, biadab, bahkan dikucilkan dari

14 Hilman Hadikusuma Op.Cit Hlm. 40-41.


64
pergaulan masyarakat. Tentunya hal ini akan membuat
kehilangan kehormatan, dan menimbulkan rasa malu yang
luarbiasa. Untuk itu dorongan untuk selalu melakukan
kebajikan dalam pergaulan masyarakat demi terjaganya
keseimbangan alam, itu terjadi karena “Harga Diri”
pribadi, keluarga, kerabat merupakan harga mati yang
wajib dijaga.
3 Kepercayaan kepada Pejabat Adat
Dalam kehidupan masyarakat adat, memiliki pimpinan
dalam berbagai strata, pemimpin adat atau pejabat adat
tersebut dianggap sebagai orang yang mengetahui dan
memahami segala seluk beluk hukum adat, serta memiliki
kebijaksanaan dalam menyelesaikan berbagai reaksi adat
yang muncul dalam masyarakat. Pejabat-pejabat adat
tersebut akan menyelesaikan berbagai persoalan yang
dilaporkan kepadanya untuk diselesaikan dalam
musyawarah penyelesaian masalah yang lazim disebut
dengan peradilan adat. Hukum adat tidak membedakan
yurisdiksi hakim pidana, perdata, tata negara. Semua
pejabat adat akan diberikan peran untuk menyelesaikan
masalah sesuai dengan sifat persoalannya dan pejabat
dianggap memiliki pengetahuan yang cukup untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, sehingga tidak

65
membedakan pejabat adat mana yang ditetapkan sebagai
hakim, jaksa, penasihat hukum secara kelembagaan, tetapi
fungsi dan peran pejabat adat melakukan peran menuntu,
mengadili, dan yang melakukan pembelaan.
Contoh pejabat-pejabat adat di MHA Kei dalam
kedudukannya secara kelembagaan, sering ditunjuk untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi (walaupun ada
pejabat hukum tertentu yang ditetapkan untuk mengadili).
Pejabat adat di MHA Kei maluku Tenggara lazimnya
dibagikan secara merata kepada semua faam (marga) asli
yang membentuk pemerintahan tersebut. Selanjutnya
jabatan itu akan dilanjutkan oleh keturunan lurus dalam
garis laki-laki dengan prioritas pada putra tertua. Berikut
diuraikan jabatan-jabatan dalam adat Kei sebagai berikut:
a. Rat atau Raja adalah sebagai kepala pemerintahan
dalam suatu wilayah ratschaap. Tugasnya
diantaranya adalah mengkoordinir tugas-tugas
pemerintahan yang dilakukan oleh orang kay,
menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang tidak
dapat diselesaikan oleh orang kay termasuk
pelanggaran-pelanggaran terhadap adat serta
menjaga dan mempertahankan hukum adat.

66
b. Kapitan (Akbitan) dan Mayor adalah jabatan untuk

panglima perang. Tugasnya membantu raja dalam


menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran hukum adat

terutama dalam soal peperangan.


c. Orang Kay (Kepala Desa) adalah kepala
pemerintahan di tingkat ohoi yang membawahi

beberapa dusun. Orang kay bertugas memimpin


penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayahnya
dan mengatur serta menyelesaikan hal-hal yang

berhubungan dengan adat.


d. Tuan Tan/Toran Nuhu adalah tuan tanah dengan
tugas memperhatikan batas-batas tanah. Peranan tuan

tan akan terlihat dalam pembukaan hutan, menanam


atau memanen hasil bumi ataupun hasil laut.
Walaupun nama jabatannya adalah tuan tan, akan

tetapi tuan tan bukanlah pemilik tanah. Tuan tan tidak


berhak menjual atau menyerahkan tanah kepada

orang lain apalagi untuk kepentingan pribadi.


Menurut pengamatan penulis, selama ini sering
terjadi salah persepsi dimana tuan tan dianggap

sebagai orang yang memiliki semua tanah dalam


suatu desa. Apabila persepsi ini dibenarkan oleh

67
hakim dalam memutus perkara tentu akan

mengakibatkan konflik horisontal.


e. Dir’u, Ham Wang atau Wawat adalah pemuka yang

sangat ahli berbicara dan dianggap adil dalam


melakukan pembagian. Nasehat dan pengalamannya
sangat didengar untuk kebaikan bersama.

f. Dewan Seniri adalah dewan perwakilan yang


beranggotakan kepala-kepala faam (marga).
Tugasnya memberikan nasehat-nasehat mengenai

pemerintahan kepada orang kay.


g. Mitu Duan (Pemuka Berhala) bertugas sebagai
pemimpin upacara-upacara adat, memimpin doa dan

persembahan (sesaji) maupun memohon keselamatan


bagi seluruh warga masyarakat.
h. Marinyo adalah jabatan bagi pesuruh kampung yang

bertugas mengumumkan perintah atasan kepada


masyarakat.

i. Kepala Soa (Kepala Dusun) adalah jabatan yang


hampir sama dengan jabatan orang kay akan tetapi
terbatas dalam wilayah dusun. Kepala soa

membawahi satu atau beberapa marga, tugasnya

68
meliputi menjaga batas-batas desa dari penyerobotan

tanah yang dilakukan oleh desa atau dusun lainnya.


j. Kepala Faam merupakan jabatan kepala marga

sehingga tugasnya banyak bersifat intern marga.


Tugasnya diantaranya adalah memimpin marga
melakukan gotong-royong (maren), memimpin

musyawarah, dan dapat melakukan tindakan hukum


untuk dan atas nama marga yang didasarkan
kesepakatan musyawarah dengan semua anggota

marga.

4 Mengembalikan Keseimbangan Kosmis

MHA dalam kehidupannya, senantiasa menjaga


hubungan baik antar sesama anggota MHA dalam
pergaulan masyarakat. Sehingga senantiasa menjaga

keseimbangan kosmis dalam makna menjaga dan


menegakkan norma-norma adat yang telah diyakini
kebenarannya dalam masyarakat, dan berbagai hal ihkwal

yang berhubungan dengan alam dan dunia ghaib.


Sehingga setiap perbuatan yang menyimpang baik
dilakukan secara perorangan maupun kelompok, akan

timbul reaksi dari masyarakat, dan memberi koreksi atas


perbuatan tersebut melalui penyelesaian adat berupa

69
sanksi denda disertai ritual-ritual adat yang diyakini akan

mengembalikan kondisi kehidupan MHA seperti semula,


sebelum terjadi penyimpangan perilaku yang amoral,

tidak beradab, serta pelanggaran lainnya.

70
BAB 4
STRUKTUR MASYARAKAT HUKUM ADAT

A. Masyarakat Hukum Adat

Berkenaan dengan Masyarakat Hukum Adat (MHA),

dikatatakan bahwa Kelompok masyarakat yang terikat satu

sama lain, karena merasa senasib, tujuan bersama, memiliki

tanggung jawab bersama, merasa sebagai rumpun bersama

karena berasal dari nenek moyang yang sama, atau merasa

sebagai satu keatuan akibat perjanjian, dalam rangka

kepentingan komunitas dalam rangka membangun

kesejahteraan bersama, bahkan guna mengkosolidasi

kekuatan untuk menghadapi serangan dari luar komunitas.

Dalam pelbagai literatur diungkapkan bahwa komunitas

seperti itu disebut masyarakat hukum.

Masyarakat hukum merupakan komunitas yang teratur,

tetap dan memiliki otoritas, kekayaan baik berupa benda15.

Menurut Iman Sudiyat “Rech gemeenschap” diterjemahkan

sebagai persekutuan hukum16. Sedangkan Ter Haar

15 Ter Haar. B. Poespanoto, S.K. Ng. 1983. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Padnya

Paramita, Jakarta, hlm. 16.


16 Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat, Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, hlm. 7.

71
mengartikan Masyarakat hukum sebagai kelompok yang

teratur bersifat tetap dan memiliki kekuasaan, dan kekayaan

sendiri, baik berupa benda 17. Kusumadi Pujosewojo,

mengartikan “rechts gemeenschap” bermacam-macam mulai

dari yang paling kecil yakni desa sampai yang paling besar

yakni negara18, sebagai suatu kesatuan sosial (persekutuan)

yang memiliki ikatan batin dan merasa sebagai satu kesatuan

karena hidup di dalam tata tertib hukum yang sama.

Iman Sudiyat19 mengemukakan bahwa masyarakat

hukum sebagai satu kesatuan yang hidup dalam satu tata

hukum, membutuhkan sarana untuk melaksanakan,

memelihara dan mempertahankan tata hukumnya, dipandang

perlu masyarakat hukum itu mempunyai wewenang hukum

(otoritas hukum, rechts gezag) dan upaya pemaksa hukum

(rechts dwang). Selanjutnya masyarakat hukum mempunyai

kekayaan dan dapat mengadakan hubungan-hubungan dalam

lalu lintas hukum seperti subyek hukum lainnya. Kekayaan itu

tidak hanya digunakan untuk kepentingan masyarakat

17 Ter Haar. B. Poespanoto, S.K. Ng. 1983. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Padnya

Paramita, Jakarta, hlm. 16.


18 Marthinus Salossa. 1995. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah di Irian Jaya setelah

berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Kasus Jayapura. (PPS Universitas


Hasanuddin Makassar., hlm. 14.
19 Iman Sudiyat. Op.Cit, hlm. 52.

72
hukum itu sendiri, tetapi kekayaan itu digunakan pula untuk

kepentingan dan kemakmuran warganya. Persekutuan

hukum menurut Surojo Wignjodiporo20 bahwa persekutuan

merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan

yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri, dan

kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan

immateriil atau suatu masyarakat yang menetapkan hukum

untuk dirinya sendiri dan selanjutnya mengikatkan diri pada

hukum itu. Dengan demikian masyarakat hukum adalah

sekelompok orang-orang atau manusia yang mengikatkan diri

untuk hidup bersama pada suatu wilayah karena yang

didasarkan oleh faktor keturunan (geneologis) maupun faktor

kewilayahan (territorial) dan mempunyai penguasa tertinggi

yang diangkat berdasarkan kekuasaan atau kedaulatan dari

atasannya yang tertinggi serta memiliki kekuasaan untuk

menguasai wilayah dengan batas-batas yang ditetapkan

sebelumnya.

Secara teoretis menurut Maria S.W. Sumardjono21 ada

perbedaan pengertian antara masyarakat hukum dan

20 Surojo Wignyodipuro. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. PT. Toko Gunung

Mulia Jakarta, hlm. 78.


21 Maria S.W. Sumardjono.2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi.

Kompas, Jakarta, hlm. 56.


73
masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah

masyarakat yang terjadinya secara spontan di wilayah

tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan

oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya,

dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para

anggota, yang memandang bukan anggota masyarakat

sebagai orang luar, dan menggunakan wilayah sebagai

sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan

sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar

harus dengan izin dan pemberian imbalan tertentu, berupa

recoqnisi dan lain-lain”.

B. Susunan Masyarakat Hukum Adat

Susunan masyarakat hukum di Indonesia menurut

Maria Sumardjono dapat dibagi menjadi 2 golongan yakni: (1)

yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi), dan

(2) yang berdasarkan lingkungan daerah (territorial). Suatu

masyarakat hukum bersifat genealogi apabila seseorang

menjadi anggota persekutuan tersebut karena termasuk suatu

74
keturunan yang sama22. Dalam hal ini ada tiga macam dasar

pertalian tersebut yakni:

1. Pertalian berdasarkan garis bapak (patrilineal) misalnya

orang Kei, Batak, Nias, Sumba, Ambon, Ternate, Arfak,

Maybrat, Biak.

2. Pertalian berdasarkan garis ibu (matrilineal) misalnya

faamili di Minangkabau.

3. Pertalian berdasarkan garis bapak dan ibu

(Parental/Bilateral), misalnya di Kalimantan23.

Sedangkan masyarakat hukum territorial

keberadaannya didasarkan pada daerah tempat tinggal

tertentu, dan terbagi dalam tiga jenis 24 yakni:

1. Persekutuan desa, yakni segolongan orang yang merasa

terikat pada suatu tempat kediaman. Contoh: desa di Jawa

dan di Bali, ohoi Soa di Kei.

2. Persekutuan daerah, yakni apabila di daerah tersebut

terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai

tata susunan dan pemerintahan yang sejenis, masing-

22 Maria S.W. Sumardjono. 1982. Puspita Serangkum, Aneka Masalah Hukum Agraria. Andi

Offset, Yogyakarta, hlm. 3.


23 Loc. Cit.

24 Ibid, hlm. 3-4.

75
masing berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari

daerah tadi, mempunyai harta benda dan hutan sendiri di

sekelilingnya. Contoh: Kuria di Angkola dan Faam di

Sumatera Selatan, ohoi orangkai di Kei.

3. Perserikatan beberapa desa, yakni bilamana beberapa

badan persekutuan kampung yang terletak berdekatan

satu sama lain mengadakan persetujuan untuk

memelihara kepentingan bersama di mana tak ada

beschikkingsrecht perserikatan itu. Contoh: perserikatan

huta-huta di Batak, Ohoirat di Kei.

Maria S.W.Sumardjono25 mengemukakan bahwa:

”Secara teoretis, ada perbedaan pengertian antara masyarakat

hukum dan masyarakat hukum adat. Kusumadi Pujosewojo

mengartikan masyarakat hukum merupakan suatu

masyarakat yang menetap, terikat dan tunduk pada tata

hukumnya sendiri. Sedangkan masyarakat hukum adat

adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah

tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan

oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya,

25 Maria S.W. Sumardjono.2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi.

Kompas, Jakarta, hlm. 56.


76
dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para

anggota, yang memandang bukan anggota masyarakat

sebagai orang luar, dan menggunakan wilayah sebagai

sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan

sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar

harus dengan izin dan pemberian imbalan tertentu, berupa

recoqnisi dan lain-lain”.

Gottfried26 mengemukakan bahwa masyarakat hukum

adat di Papua adalah masyarakat yang pluralistis. Masyarakat

yang berdiam di pantai utara, Teluk Cenderawasih seperti

orang-orang Waropen, Biak, berbeda dengan orang Mimika,

orang Asmat dan Marindanim di bagian Selatan berbeda pula

dari orang-orang Moni atau orang Dani di pegunungan Jaya

Wijaya. Bahkan di daerah berdekatan pun berbeda-beda

seperti di desa Nura-marew di daerah Sungai Mamberamo

pantai utara, nampak perbedaan antara kelompok masyarakat

yang berdiam di sebelah Barat Sungai Mamberamo, dengan

penduduk di sebelah Timur Sungai Mamberamo yang

merupakan daerah pedalaman Barat Sarmi. Masyarakat

hukum adat Jayapura yakni masyarakat di Teluk Jayapura dan

26 Marthinus Salosa. Op.Cit., hlm. 19.


77
di sekitar danau Sentani mengenal Ondoafi yang tugasnya

mengawasi pembukaan tanah atau hutan-hutan sagu, karena

dianggap ahli adat yang banyak mengetahui riwayat dari

semua tanah yang ada di wilayahnya. Dalam pelaksanaan

pemerintahan kampung, Pemerintah mengangkat pejabat

kepala kampung yang disebut ”Korano”. Pejabat ini

didampingi oleh Ondoafi, sekretaris, beberapa Mandor, dan

seorang guru agama dan wakilnya (Penetua)27.

Etnis Tobati, Sentani Genyem (kemtuk gresi), Arso dan

seluruh masyarakat hukum adat Jayapura, dalam struktur

pemerintahan adatnya mengenal kekuasaan tertinggi yakni

Ondoafi. Jabatan Ondoafi diwarisi turun temurun kepada

anak sulung dalam keluarga. Ondoafi adalah figur dari

pemilik dan penghuni pertama tanah ditempati. Sebagai

Ondoafi mempunyai hak-hak yang meliputi hak kontrol, hak

melindungi, hak pengaturan dan hak bagi hasil. Ondoafi

secara informal di dalam kehidupan di kampung,

eksistensinya diakui dan mendapat pengakuan sebagai

pemimpin adat, yang berwenang menyelesaikan masalah-

27 Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan, Jakarta, hlm.


84.
78
masalah adat antara lain: hak ulayat, pertanahan, pewarisan,

perkawinan dan masalah adat lainnya, kendatipun kini ada

pemerintahan kampung, namun para Ondoafi masih eksis dan

berpengaruh 28.

Dari sisi penyebaran penduduk dan ciri-ciri

kehidupannya, maka masyarakat hukum adat Papua terbagi

dalam lima kelompok besar: (1) masyarakat hukum adat

Pantai Utara yang bermukim di Kabupaten Biak, Pesisir Pantai

Yapen Waropen, Nabire, Manokwari, dan Sorong, (2)

masyarakat hukum adat Pantai Timur di sebagian Yapen

Waropen sampai Jayapura bahkan sampai sebagian penduduk

Papua New Guinea, (3) masyarakat hukum adat pegunungan

tengah di Kabupaten Jayawijaya, sebagian Nabire, Jayapura,

Merauke, dan Fak-Fak, (4) masyarakat hukum adat

pegunungan barat (Wilayah pedalaman kepala burung) yang

meliputi pedalaman Kabupaten Sorong dan Manokwari29. Ter

Haar, mengemukakan bahwa di pedalaman Irian Jaya (Papua)

terdapat clan-clan (clan kangguru, kauwerawet, clan babi dan

seterusnya) yang masing-masing mendiami daerah sendiri-

28 Pemda Provinsi Papua. 1993. Hasil Seminar Peningkatan Peran Lembaga Adat, Biro Bina

Pemerintahan Desa. Jayapura, hlm. 80-81.


29 Pemda Provinsi Papua. Loc. Cit.

79
sendiri, akan tetapi dekat tepi laut terdapat beberapa golongan

kecil, bernama Keret yang berdiri sendiri masing-masing

mendiami tanah tertentu. Tempat-tempat kediaman para

faamili tersebut berada di dalam daerah kampung yang

dikepalai oleh seorang kepala kampung (korano). Kepala

kampung ini hanya mempunyai sedikit kekuasaan terhadap

orang-orang di luar golongannya sendiri 30.

30 Marthinus Sallosa. 1997, Op.Cit, hlm. 19.


80
BAB 5
ANEKA JENIS HUKUM ADAT

A. Hukum Kekeluargaan Adat


Keturunan adalah hubungan darah antara individu yang
satu ke individu baru yang meneruskan atau melahirkan
generasi baru suatu suku, clan, atau keluarga baik keturunan
lurus maupun menyamping. Keturunan yang diharapkan itu
laki-laki atau perempuan tergantung pada sistem kekerabatan
yang dianut.
Pada MHA Kei di Maluku Tenggara dengan sistem
kekerabatan patrilineal, anak-anak laki-laki sebagai penerus
keturunan keluarga, faam, klan, suku. Sehingga apabila suatu
keluarga tidak memperoleh keturunan laki-laki, maka
dianggap keluarga tersebut punah, dan semua yang dimiliki
kembali kepada kerabat dari lelaki yang keturunannya telah
punah tersebut.
Anak pada berbagai suku Nusantara merupakan tujuan
utama perkawinan, guna meneruskan garis keturunan sesuai
sistem kekerabatan yang dianut. Tanggungjawab orang tuan
memelihara, mendidik,memberikan petuah, agar anak kelak
menjadi generasi penerus yang mampu melanjutkan warisan
leluluhur dalam semua aspek kehidupan. Anak (kandung)

81
memiliki peran serta posisi utama dan strategis dalam
keluarga diantaranya adalah
1. Anak merupakan penerus keturunan generasi
2. Anak di masa depan adalah pusat atau inti dari harapan
orang tua
3. Anak merupakan pelindung orangtua apabila di masa
depan orang tua tidak bisa mencari nafkah lagi.
Anak yang belum dewasa (dokoko: Iha Fakfak), laki-laki
belum dewasa Habondu dan Dukanggu perempuan yang belum
dewasa (Nimboran, Jayapura), koko (Kei-Evav), merupakan
tanggung jawab penuh orang tua untuk mendidik, menjaga,
memelihara, dan lain-lain sebagainya demi masa depannya
dan masa depan keluarga dan persekutuan. Sedangkan anak
yang dewasa menurut suku Ihandin Fakfak disebut mehewan,
Daerah Nimboran disebut dumase laki-laki dewasa, kikanggae
perempuan dewasa; 31sukukei: tafer (laki-laki dewasa), manelat
(perempuan dewasa); sudah mandiri dan diberikan hak untuk
mengolah, membuka hutan, mengambil hasil hutan untuk
kebutuhan pribadi, keluarga bahkan persekutuan.

31 Endang Sumiarni cs. 2022. Pengakuan dan Pelindungan Terhadap Eksistensi MHA

Suku Arfak Sougb di Kabupaten Teluk Bintuni. Maha Karya pustaka Yogyakarta. Hlm .141-
142; Endang Sumiarni cs 2010. Hukum Adat Biak. Bitro Hukum Setda Provinsi Papua.
Hlm.89-99; Endang Sumiarni cs 2018. Eksistensi Hukum Adat Serta Nilai-Nilai Kearifan
Lokal Suku Arfak sebagai penunjang Pembangunan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta
bekerjasama dengan STIH Manokwari. Hlm95-97. Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. 1997. Masalah-Masa;lah Hukum Perdata Adat di
Kecamatan Nimboran Jayapura. Hlm. 11-12.
82
Kedewasaan dalam hukum adat baik suku Arfak di
Papua Barat (Hatam, Sougb, Meyah, Moile), Wamesa di Teluk
Wondama dan Teluk Bintuni Papua Barat, maupu suku Biak,
Nimboran di Papua, sebagai berikut:
1. Tanda-tanda perempuan dewasa:
a. Buah dadanya sudah membesar (marijmogo-Suku
Sougb)
b. Telah haid, dating bulang (ouwada-Suku Sougb,
nimingkuk- suku Hatam; ia mai mamase- Bar Napa biak
utara)
2. Tanda-tanda laki-laki dewasa:
a. Sudah tumbuh kumis, jambang, jenggot (momun mod-
Suku Sougb; pinai- Hatam)
b. Kelihatan jakun (morum maga-Suku Sougb)
c. Mandiri, bekerja (suku Numfor: Sarver Ro Swanira, Biak
Bar Napa: Ryaswan artinya melaut; kemudian Damom:
bekerja di darat; Sup ya do artinya ke hutan yakni
berburu, membuka hutan, mengambil hasil hutan);
Snonkbor artinya dewasa menurut suku Biak Bar Mani.
Dalam Masyarakat Hukum Adat (MHA) sering
dilakuakn upacara pendewasaan guna mendidik baik anak
laki-laki (ibor) maupun perempuan (insos) yang menjelang
dewasa, agar pada saatnya mereka memiliki kapasitas dan
kompetensi yang handal sesuai parameter MHA.
83
Di Biak Papua khususnya Wilayah Adat biak Timur
yakni Bar Warmuren dikenal kelembagaan pendewasaan yang
ditempatkan dalam “Rumsram” yang merupakan rumah adat
suku Biak Numfor yang sejatinya diperuntukan bagi anak laki-
laki sebagai tempat membina, mendidik, mengajarkan,
melatih anak laki-laki yang beranjak dewasa agar mampu
bertanggungjawab, dan memiliki pengetahuan dan
ketrampilan berperang, berburu, melaut, berkebun,
mengambiul hasil hutan, memahat, membuat perahu dan hal-
hal lain guna bekal kehidupan ketika memasuki usia dewasa.
Pada dasarnya anak perempuan (insos) dilarang
memasuki rumsram, kecuali diantar/dikawal/bersama oleh
ibunya (Awin). Insos selalu mengikuti ibu (awin) dan
mempelacari berbagai hal ihkwal yang seyogyanya dilakukan
oleh anak perempuan dewasa.
Di Rumsram juga dilakukan berbagai upacara adat
misalnya Wor Kapanaknik yakni ritual mencukur rambut anak
laki-laki yang telah berusia 6-8 tahun, sebagai pertanda awal
kemampuan berpikir dan memulai Pendidikan (mirip dengan
anak masuk usia sekolah dasar pada jaman sekarang).

84
B. Hukum Perkawinan Adat
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara
seorang perempuan dan seorang laki-laki yang saling berjanji
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia guna
meneruskan generasi (terhindar dari kepunahan) demi
keberlanjutan persekutuan, marga, keret, faam masyarakat
hukum adat. Perkawinan Adat tidak hanya berkenaan dengan
keluarga laki-laki dan perempuan saja, melainkan melibatkan
semua kerabat bahkan persekutuan kedua belah pihak.
Prof. Dr. Hazairin, S.H32., tokoh hukum adat yang
menulis disertasi untuk memperoleh derajat doktor pada
tahun 1936 dengan juduk “De Redjang” di bawah promotor
ahli hukum adat ternama Prof. B. Ter Haar, mengemukakan
bahwa perkawinan adat merupakan rentetan perbuatan
magis, yang bertujuan untuk menjamin ketenangan (koalte),
kebahagiaan (wevaart) dan kesuburan (ruchtbaarheit) .
Sedangkan menurut Djojodegoeno33, perkawinan merupakan
suatu paguyupan atau somah (keluarga) dan bukan
merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian.
Hubungan suami-isteri sangat erat sebagi suatu ketunggalan.

32 Biografi dan pemikiran Hazairin dan munawir Sjadzali tentang Bagian Waris Anak

Laki-Laki dan Perempuan http://repository.radenintan.ac.id diakses 19 April 2023


33 Djojodigoeno, M.M. 1964. Asas-asas Hukum Adat. Yayasan Badan Penerbit Gadjah

Mada, Yogyakarta hlm. 50-52


85
Pengertian perkawinan adat yang diformulasikan oleh Charles
Arnold Kurr van Gennep (23 April 1873 sd. & 7 Mei 1957)
etnografi Perancis, ahli ceritera rakyat, konsentrasi pada
bidang ritual berbagai kebudayaan, dengan karya
fenomenalnya terbit tahun 1909 dengan judul “The Rites of
Passage34, (upacara peralihan), mengemukan bahwa:
perkawinan merupakan suatu proses perubahan status
kemnadirian seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
tadinya hidup terpisah setelah melewati upacara sakral
menjadikan mereka hidup bersama sebagai suami dan isteri.
Ada tiga tingkatan yakni:
a. Rites De Separation yaitu upacara perpisahan dari status
semula.
b. Rites De Marga yaitu upacara perjalanan menuju status
baru.
c. Rites De Agreegation yaitu upacara penerimaan dalam
status yang baru.

2. Pertunangan
Mengkaji Perkawinan adat diawali dengan Lembaga
pertunangan. Pertunangan merupakan fase pra perkawinan
yakni terjadinya lamaran (Suku Kuri menyebut dengan istilah

34 Bartoven Vivit Nurdin, Elis Febriani Jesica. Ritual Ngebuyu: Membumikan Pewaris

dan Perubahan Ritual Kelahiran pada Marga Legun, Wawurang, Lampung. Jurnal
Sosiologi , Vol.20, No. 2 : 69-80. Jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id.diakses 19 April 2023
86
“puten rikindia atau naguer”; suku Karoon di Kabupaten
Tambrau menyebutnya “yeku yak”) dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan dan setujui untuk membentuk rumah
tangga, ditandai dengan sebuah tanda ikatan, lazimnya cincin,
dan “jujur” yakni harta berupa uang, atau barang jujur, di
MHA Kei disebut “wilin”; Gayo disebut “unjuk” serta tanda
ikatan, pada MHA Kei disebut “mas aye”; MH Kuri Papua
Barat disebut “rar”). namun laki-laki dan perempuan belum
bisa hidup bersama. Dalam MHA Kei bentuk perkawinan jujur
ini disebut Tai reet fid-Kebel taha lim.
Pertunangan terjadikarena:
a. Laki-laki dan perempuan telah dijodohkan sejak kecil
b. Perempuan dewasa yang dijodohkan merupakan pilihan
orang tua
c. Perempuan dan laki-laki dewasa yang saling jatuh cinta.
Pada MHA Biak mengenal tahapan pertunangan baik
sejak kecil, pilihan orang tuan sebagai berikut:
a. Tahapan penjajagan
Tahapan ini dilakukan oleh keluarga laki-laki dengan cara
mendatangi rumah keluarga perempuan di waktu pagi,
subuh (sebelum matahari terbit). Kedatangan pihak laki-
laki tersebut dengan segala aktivitas adat berupa tanda
bahwa keluarga laki-laki telah menaruh hati pada
perempuan dari keluarga yang dikunjungi. Kedatangan
87
keluarga laki-laki ke rumah perempuan hanya sebatas
halaman rumah, belum diperkenankan masuk ke dalam
rumah. Tahapan ini dilakukan untuk melihat respon
keluarga perempuan terhadap maksud baik keluarga laki-
laki. Tahapan ini dilakukan lazimnya sebanyak dua kali.
b. Tahapan menerima atau menolak
Pada tahapan ini, keluarga laki-laki mendatangi rumah
keluarga perempuan untuk yang ketiga kalinya. Ritual
yang dilakukan adalah naik rumah (masuk depan pintu)
dan melakukan “gosok kaki”. Pada tahapan ini keluarga
perempuan mempersilahkan keluarga laki-laki masuk ke
dalam rumah. Saat di dalam rumah inilah saat yang paling
menegangkan karena, akan segera diketatui apakah pihak
keluarga perempuan menyetujui atau menolak keinginan
keluarga laki-laki.
Tanda menolak keinginan keluarga laki-laki yakni
keluarga perempuan memberikan “kakes” berupa sirih-
pinang. Namun apabila keluarga perempuan tidak
melakukan pemberian “kakes” itu pertanda keinginan
keluarga laki-laki untuk meminang perempuan idaman
hati disetujui.
c. Tahapan kesepakatan waktu mengantar harta kawin dan
perkawinan
Tahapan ini terus berlanjut di waktu subuh tersebut
dengan agenda pembicaraan berbagai hal termasuk
88
menetapkan waktu mengantar “fasfes eren” yang diantar
secara rahasia pada malam hari oleh keluarga laki-laki
paling lama tiga hari. Pada Tahapan ini dibicarakan dan
disetujui waktu keluarga laki-laki mengantar “mas kawin”
dan waktu melangsungkan perkawinan.
Mas kawin pada Masyarakat Hukum Adat yang berupa
uang, barang berharga bukan diperuntukan untuk
membeli atau membayar perempuan yang dipersunting,
melainkan pemberian sejumlah barang berharga tersebut
sebagai bentuk mengembalikan keseimbangan kosmis
karena perempuan telah diambil oleh pihak keluarga laki-
laki, maka untuk keseimbangan kepergian anak
perempuan digantikan dengan harta perkawinan yang
berasal dari keluarga laki-laki.
Manakala perempuan dan laki-laki dewasa saling jatuh
cinta, maka pada MHA Arfak Sougb di teluk Bintuni Papua
Barat dideskripsikan sebagai berikut: dalam pergaulan
perempuan dewasa (enggiji) dan laki-laki dewasa (aktop) sering
ketemu dalam pesta adat, atau aktivitas lainnya dan akhirnya
saling jatuh cinta maka prosesi pertunangan:
Tahap 1 : Lerwara doubo yakni keluarga laki-laki mendatangi
rumah keluarga perempuan, dan setelah melalui
perbicaraan tentang maksud dan tujuan
kedatangan peminangan disampaikan oleh bapak
89
keluarga laki-laki, dan manakala pihak keluarga
perempuan sudah menyetujui, akan dilanjutkan
dengan menyerahkan harta yang dibawa pada
saat lamaran yakni kain timur (hugahan, minc),
babi (houj), paseda, manik-manik (limeta) dan
sejumlah uang.
Tahap 2 : Penentuan mas kawin. Pada tahap ini keluarga
perempuan akan menentukan besaran dan jenis
harta kawin (aromoub) yang wajib diselesaikan
oleh keluarga laki-laki sesuai kesepakatan waktu.
Besar harta kawin (aromoub) sebagai berikut:
a. Lima helai kain timor 12, 13, 15 mata
(hugahan); yang 1-2 mata (minc).
b. Enam ekor Babi (houj)
c. Senjata api (romoko)
d. Manik-manik (limeta), gigi anjing (mihmogda)
dan bulu kus-kus.

3. Bentuk-Bentuk Perkawinan
Dalam konsepsi Ilmu Hukum Adat dikenal berbagai
bentuk perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa: Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia

90
dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hukum perdata
menguraikan pengertian perkawinan adalah perikatan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Perkawinan menurut hukum adat adalah aturan hukum adat
yang mengatur tentang bentuk perkawinan, tata cara lamaran,
upacara perkawinan, dan pemutusan perkawinan menurut
masyarakat adat Indonesia. Aturan hukum perkawinan adat
di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda, karena: Sifat
masyarakat, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat
yang berbeda; Banyak terjadi perkawinan campuran antara
suku, adat, dan agama yang berbeda. Kemajuan zaman,
menyebabkan terjadinya pergeseran adat perkawinan.
Pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat
ditinjau dari dua aspek, yaitu:
a. Aspek jumlah suami atau istri35
Ditinjau dari segi jumlah suami atau istri, maka bentuk
perkawinan terdiri atas:
1) Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara
seorang pria dan seorang wanita. Bentuk perkawinan
ini adalah yang paling ideal dan sesuai dengan ajaran
agama dan Undang-Undang Perkawinan.

35 Dominikus Rato dan J.A. Hartanto. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat: Sistem

Kekerabatan, Bentyuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indomnesia. Laksbang


Yustisia. Surabaya. Hlm. 17-18.
91
2) Perkawinan Poligami ialah perkawinan antara seorang
pria dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan
antara seorang wanita dengan lebih dari seorang pria.
Dengan demikian, bentuk perkawinan ini dapat dibagi
lagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Poligini, yaitu perkawinan antara seorang pria dengan
lebih dari satu orang wanita.
2) Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang wanita
dengan lebih dari satu pria. Misalnya orang Eskimo,
orang Markesas di Oceania, orang Philipina di Pulau
Palawan dan sebagainya.
b. Aspek asal suami-istri
Apabila ditinjau dari segi asal suami-istri, maka bentuk
perkawinan terdiri atas:
1) Perkawinan Eksogami36 adalah perkawinan antara pria
dan wanita yang berbeda suku dan ras. Misalnya:
masyarakat di Tapanuli, Minangkabau dan Sumatera
Selatan.
2) Perkawinan Endogami37 adalah perkawinan antara
pria dan wanita yang berasal dari suku dan ras yang
sama. Misalnya: masyarakat Toraja.

36 B Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988). Hal 14


37 Ibid. Hlm. 29
92
3) Perkawinan Eleutherogami38 yaitu perkawinan yang
tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-
keharusan seperti halnya pada sistem endogami dan
sistem eksogami. Misalnya: masyarakat Daerah
Istimewa (DI) Yogyakarta.
4) Perkawinan Homogami39 ialah perkawinan antara pria
dan wanita dari lapisan sosial yang sama. Misalnya:
orang kaya cenderung kawin dengan anak orang kaya,
orang Batak cenderung juga kawin dengan anak dari
keluarga Batak pula, dan seterusnya.
5) Perkawinan Heterogami40 ialah perkawinan antara
pria dan wanita dari lapisan sosial yang berlainan.
Misalnya: orang keturunan bangsawan menikah
dengan orang biasa, orang Batak menikah dengan
orang Sunda.
Di samping bentuk-bentuk perkawinan di atas, terdapat
pula bentuk-bentuk perkawinan lainnya, yaitu:
a. Perkawinan Cross Cousin41
Adalah perkawinan antara sepupu, yaitu anak dari
saudara laki-laki ibu (putra paman) atau anak dari saudara

38 Nana Cu’ana, “Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada Suku Dayak Di

Desa Kumpang Kecamatan Toho Kabupaten Pontianak” (Universitas Diponegoro, 2006),


http://eprints.undip.ac.id/15709/. Diakses 4 Mei 2022.
39 B Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman: Suatu Tinjauan Sosiologi, Seri Pastoralia

(Ende: Nusa Indah, 2003). Hlm. 75


40 Ibid. Hlm. 76
41 Yohanes S. Lon, “Perkawinan Tungku Cu (Cross-Cousin Marriage) Di Manggarai

Antara Adat Dan Agama,” SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-I 7 (2021): 21–34,
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/14237/pdf. Diakses 5 Mei
2022.
93
perempuan ayah. Misalnya: di daerah Batak (pariban), dan
sebagainya.
b. Perkawinan Parallel Cousin
Adalah perkawinan antara anak-anak dari saudara laki-
laki ayah mereka atau saudara perempuan ibu mereka.
c. Perkawinan Eleutherogami
Ialah seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam per-
kawinan, baik itu dari klan sendiri maupun dari klan
lainnya. Misalnya: pada masyarakat di Jawa, Sumatera
Timur, Kalimantan, Minahasa, Ternate, Bali dan
sebagainya.

4. Bentuk Perkawinan Adat.


Terdapat beberapa susunan masyarakat yang dikenal
di Indonesia, seperti susunan masyarakat yang bersifat
patrilineal, matrilineal, parental, dan campuran. Perbedaan
susunan masyarakat tersebut kemudian melahirkan bentuk-
bentuk perkawinan adat yang berlaku berbeda-beda pula.
Beberapa bentuk perkawinan adat yang ada di dalam
masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Bentuk perkawinan menurut susunan kekerabatan
Perkawinan pada susunan kekerabatan patrilineal, wanita
berpindah ke dalam kekerabatan suaminya dan
melepaskan diri dari kerabat aslinya.

94
Perkawinan dalam struktur kekerabatan matrilineal,
meskipun telah terjadi perkawinan, tetapi masing-
masing suami istri tetap berada dalam kelompok
kerabatnya masing-masing, sedangkan anak masuk
dalam kelompok kekerabatan ibu.
Perkawinan dalam susunan kekerabatan parental,
setelah perkawinan, suami istri masuk ke dalam
kerabat suami dan kerabat istri. Anak-anak juga
masuk dalam kerabat bapaknya dan kerabat ibunya.
b. Perkawinan Jujur.
Hukum Adat dalam masyarakat patrilineal42, misalnya
dalam hukum adat Batak, disebut dengan istilah boli, tuho,
parunjuk, pengoli, dan sinamot sebagai suatu serah-serahan.
Daerah lain yang menggunakan bentuk perwakinan jujur
adalah Gayo, Nias, Lampung, Bali, Timor dan Maluku.
Arti jujur disini berarti religius magis, jadi pemberian
sinamot bukan bermakna pembelian anak perempuan akan
tetapi menjaga keseimbangan antara kedua belah pihak.
Perkawinan Jujur atau perkawinan dengan pemberian
(pembayaran) uang (barang) jujur merupakan kewajiban
adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh
kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan

42 Andi Suryaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat: Dulu, Kini dan Akan Datang.

Pelita Pustaka,2009. Makassar. Hlm. 155-157.


95
kepada sesepuh kerabat (marga atau suku) pihak wanita.
Pada umumnya perkawinan jujur terjadi dalam
masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis
keturunan bapak (lelaki) atau patrilineal, seperti yang
terjadi di daerah Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, dan
Maluku. Uang atau barang jujur di masing-masing daerah
disebut dengan nama yang berlainan, misalnya:
1) Gayo, uang atau barang jujur disebut Unjuk.
2) Batak, uang atau barang jujur disebut Boli, Tuhor,
Parunjuk, atau Pangoli.
3) Nias, uang atau barang jujur disebut Beuli Niha,
4) Lampung, uang atau barang jujur disebut Segreh, Seroh,
atau Daw Adat.
5) di Kei Maluku, uang atau barang jujur disebut dengan
Beli atau Wilin.
Uang atau barang jujur dilakukan oleh pihak kerabat
(marga atau suku) calon suami kepada pihak kerabat calon
istri sebagai pengganti pelepasan mempelai wanita keluar
dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya,
pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum
suaminya. Setelah perkawinan, istri berada di bawah
kekuasaan kerabat suami, hidup dan matinya menjadi
tanggung jawab kerabat suami, berdomisili secara sah dan
hidup tenang di sisi kerabat suami. Pada umumnya dalam
96
bentuk perkawinan jujur berlaku adat 'pantang cerai', jadi
senang atau susah selama hidupnya istri di bawah
kekuasaan kerabat suami.
c. Perkawinan Semanda43.
Perkawinan semanda pada umumnya berlaku di
lingkungan masyarakat adat yang matrilineal, dalam
rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu
(wanita). Dalam perkawinan semanda, calon mempelai
pria dan kerabatnya tidak memberikan uang jujur kepada
pihak wanita, bahkan seperti yang berlaku berlaku di
Minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak wanita
kepada pihak pria. Selama perkawinan terjadi, maka
suami berada di bawah kekuasaan kerabat istri dan
kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk
perkawinan semanda yang berlaku. Bentuk-bentuk
perkawinan semanda yang berlaku di Minangkabau
adalah:
1) Semanda raja-raja, berarti suami istri berkedudukan
seimbang atau sama, baik di pihak istri maupun di
pihak suami.
2) Semanda lepas, berarti suami mengikuti tempat
kediaman istri atau matrilokal.

43 Ibid. Hal 157-159


97
3) Semanda bebas, berarti suami tetap pada kerabat orang
tuanya.
4) Semanda nunggu, berarti suami istri berkediaman di
pihak kerabat istri selama menunggu adik istri (ipar)
sampai dapat mandiri.
5) Semanda ngangkit, berarti suami mengambil istri untuk
dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami, yang
dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak
wanita.
6) Semanda anak dagang atau semanda burung, berarti
suami tidak menetap di tempat istri, melainkan datang
sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi.
Pada umumnya dalam bentuk perkawinan semanda
kekuasaan pihak istri yang lebih berperan. Bentuk
perkawinan semanda ini banyak yang sudah tidak berlaku
lagi di masa sekarang, terutama sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
d. Perkawinan Bebas (Mandiri)44.
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada
umumnya berlaku bagi masyarakat hukum adat yang
bersifat parental (keorang-tuaan), seperti yang terjadi pada
masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi,

44 Ibid. Hal 159-160.


98
serta masyarakat modern Indonesia, dimana keluarga atau
kerabat tidak lagi campur tangan dalam keluarga/rumah
tangga.
Bentuk perkawinan ini yang dikehendaki oleh Undang-
undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di
mana kedudukan dan hak suami dan istri berimbang atau
sama. Setelah perkawinan suami dan istri memisah dari
kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing dan
membangun keluarga atau rumah tangga sendiri dan
hidup mandiri. Orang tua kedua pihak hanya memberi
bekal untuk kelangsungan hidup rumah tangga kedua
mempelai dengan harta pemberian atau warisan dalam
perkawinan mereka.
e. Perkawinan Campuran45.
Bentuk perkawinan campuran juga dikenal dalam hukum
perkawinan adat. Misalnya ada upacara pengangkatan
marga bagi suami/istri yang bukan dari marga batak,
sekarang, setelah atau sesudah perkawinan pengengkatan
marga/boru dapat dilakukan.
Perkawinan campuran menurut hukum adat46 adalah
perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang

45Ibid. Hal 161.


46Wulansari, CD dan Gunarsa,A. 2010. Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar. Refika
Aditama, Bandung. Hlm. 61
99
berbeda suku, adat budaya, dan/atau berbeda agama.
Sedangkan perkawinan campuran menurut Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
perkawinan yang terjadi di antara suami istri yang berbeda
kewarganegaraan.
Terjadinya perkawinan campuran menimbulkan
permasalahan hukum antara tata hukum adat dan atau
hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang
akan diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan
tersebut. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama
tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran.
Tetapi di dalam perkembangannya hukum adat setempat
memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya,
sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan47
f. Perkawinan Lari48.
Dalam hukum perkawinan adat, apabila seorang pria
secara diam-diam telah bersepakat dengan seorang wanita
untuk kawin lari, atau seorang pria secara sembunyi-
sembunyi mengambil seorang wanita, atau wanita datang
sendiri ketempat pria. Bentuk perkawinan adat ini di
Palembang dikenal dengan “belarian”, di Bali dengan

47 Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju,

Bandung. Hlm. 188.


48 Andi Mustari Pide. Opcit. Hal 164.

100
“ngeroroat”, di Ambon disebut “lari bini”, di flores disebut
“kawin roko”.
Perkawinan lari dapat terjadi dalam masyarakat adat,
tetapi yang paling umum adalah di antara masyarakat
Batak, Lampung, Bali, Bugis atau Makasar, dan Maluku. Di
wilayah itu, meski kawin lari itu merupakan pelanggaran
adat, ada aturan bagaimana cara mengatasinya.
Sebenarnya kawin lari bukanlah suatu bentuk perkawinan,
tetapi merupakan suatu sistem pelamaran, karena dari
peritiwa kawin lari dapat berlaku perkawinan jujur,
semenda, atau bebas, tergantung pada keadaan dan
perundingan kedua pihak.49 Sistem perkawinan lari dapat
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
1) Perkawinan lari bersama50, dalam bahasa Belanda
disebut vluch-huwelijk atau wegloop-huwelijk, adalah
perbuatan belarian untuk melangsungkan perkawinan
dengan persetujuan pihak gadis (wanita). Cara
melakukannya adalah bahwa bujangan dan gadis
seyuju untuk kawin lari dan pada waktu yang sudah
ditentukan melakukan lari bersama. Atau gadis itu
diam-diam diambil oleh kerabat pihak bujangan dari
tempat tinggalnya, atau gadis itu datang sendiri ke

49 Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Hal 189.


50 Ibid.
101
tempat tinggal pihak bujangan. Segala sesuatunya
berjalan menurut tata tertib adat belarian.
2) Perkawinan lari paksa51, dalam bahasa Belanda
disebut schaak-huwelijk, adalah tindakan melarikan
seorang gadis dengan tipu daya, atau dengan paksaan,
atau dengan kekerasan, dan tidak atas persetujuan si
gadis dan tidak menurut aturan adat belarian. Sistem
kawin lari paksa ini jika terjadi, seringkali diteruskan
oleh kerabat yang merasa kehormatannya diganggu ke
polisi dengan menggunakan ketentuan Pasal 332 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUH
Pidana) sebagai dasar pengaduan.
g. Perkawinan Mengabdi52.
Lanjutan dari perkawinan jujur yang tertunda. Pengabdian
hingga jujur itu terlunasi biasanya suami bersama istri
akan bekerja pada orang tua istri, anak-anak mereka masih
berada di pengawasan mertua dan masuk dalam marga
(klan) dari mertua laki-laki. Praktek Hukum Adat
Perkawinan ini dikenal di Batak dengan mangdingding, di
Bali dengan istilah nunggonin dan di Lampung disebut
erring beli.

51 Ibid. Hal 190.


52 T Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2008). Hal 232
102
h. Perkawinan Meneruskan53.
Ini adalah kelanjutan dari perkawinan jujur sehingga tidak
perlu adanya pembayaran jujur kembali. Perkawinan ini
terjadi karena istri yang pertama meninggal dikawinkan
dengan saudara perempuannya. Di Tapanuli perkawinan
meneruskan ini disebut dengan mangabia sedangkan di
jawa dikenal dengan karang wulu.
i. Perkawinan Mengganti54.
Merupakan kelanjutan dari perkawinan jujur dan tidak
perlu adanya pembayaran jujur, tetapi kejadian yang
terjadi pada perkawinan kedua karena suami pertama
meninggal, sehingga dikawinkan saudara laki-laki
suaminya. Di Tapanuli perkawinan mengganti ini disebut
dengan pareakhon, di Palembang dengan ganti tikar, dan
dijawa disebut dengan medun ranjang.
j. Perkawinan Mengambil Anak55.
Perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal,
dimana pihak laki-laki tidak perlu membayar jujur,
dengan maksud untuk memasukan laki-laki (menantunya)
ke dalam keluarganya agar keturunannya menjadi penerus
garis keturunan kakeknya. Bentuk perkawinan ini juga

53 Ibid. Hal 232.


54 Ibid. Hal 233.
55 Ibid.

103
bisa terjadi pada masyarakat semendo yang disebut
perkawinan semendo ambil anak, dalam rangka penerus
silsilah menurut garis perempuan.
Perkawinan mengambil anak pada konsep patrilineal ini
terjadi karena hukum adat perkawinan memperkenankan
seorang ayah mengambil anak laki-laki untuk dikawinkan
dengan anak perempuannya, dengan maksud agar pria itu
menjadi anaknya sendiri beserta keturunannya mengikuti
marga (klan) menantunya tersebut.
Karena adanya pembayaran jujur, maka menantu dan
keterunannya resmi lepas dari klan marganya semula, hal
ini banyak terjadi Sumatera Selatan.
k. Perkawinan Karang Walu56
Bentuk perkawinan bilateral ini terjadi pada masyarakat
Jawa, atau tungkat dalam bahasa masyarakat Pasemah.
Bentuknya adalah perkawinan duda dengan seorang
perempuan dari almarhum istrinya.
l. Perkawinan Mangguh Kaya57
Bentuk perkawinan antara pria kaya dan perempuan
miskin, atau sebaliknya perkawinan ngalindung kagelung
antara perempuan kaya dengan pria miskin

56 Ibid. Hal 244.


57 Ibid.
104
m. Perkawinan Gantung58
Bentuk Perkawinan Adat Gantung ini terjadi karena calon
istrinya masih anak di bawah umur sedangkan pihak laki-
laki sudah dewasa. Selama waktu tertentu atau karena
belum cukup umur, istrinya (yang masih di bawah umur)
tidak boleh bercampur dengan suaminya, sebaliknya
kehadiran suaminya bagi menantu merupakan tenaga
gratis bagi keluarganya.
n. Perkawinan Permaduan59
Permaduan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria
dengan dua orang wanita atau lebih dalam waktu
bersamaan. Di daerah-daerah yang mengenal lapisan
masyarakat, wanita yang dari lapisan yang lebih tinggi
(sama) dijadikan istri pertama dan wanita yang dari
lapisan bawah dijadikan istri kedua dan seterusnya. Para
istri yang dimadu (selir), masing-masing beserta anaknya
berdiam dan membentuk rumah berpisah satu sama lain.

5. Bentuk Perkawinan MHA Kei Maluku Tenggara


Dalam kehidupan manusia, ternyata manusia tidak
dapat hidup sendiri. Manusia perseorangan yang satu
membutuhkan sesama bukan saja dalam pergaulan hidup

58 Ibid.
59 Ibid. Hal 245.
105
kemasyarakatan tetapi juga kehidupan yang membentuk
mahligai rumah tangga. Kehidupan masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari kehdupan masyarakat, sebagaimana
diungkapkan oleh filsuf, ahli hukum dan politik terkemuka
kelahiran Roma bernama Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
bahwa Ubi Societas Ubi Ius, where there is society there is law yang
bermakna di mana ada masyarakat di situ ada hukum.
Masyarakat di sini bermakna ada dua orang (kelompok
masyarakat terkecil) bersosialisasi di situ ada hukum.
Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa dicapai
apabila tatanan hukum terbukti mendatangkan keadilan.
Begitu pula kelompok masyarakat yang berkendak
membentuk rumah tangga, mendambakan kebahagiaan,
sejahtera yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Perkawinan dalam masyarakat Kei, merupakan suatu
perbuatan hukum yang sakral, yang tidak hanya melibatkan
keluarga laki-laki dan perempuan tetapi melibatkan secara
aktif semua keluarga baik sesama marga (faam) maupun
keluarga dalam hubungan periparan. Pelibatan keluarga besar
bahkan lembaga sosial lainnya dimaksud untuk, selain ikut
mengantarkan kedua mempelai menuju kebahagiaan hidup
berumah tangga, dan bertanggungjawab atas kelangsungan
kenidupan rumah tangga, tetapi juga bertanggungjawab atas
106
harta yang harus dibayarkan kepada pihak perempuan,
sebagai perwujudan pengembalian keseimbangan kosmis
yang terganggu akibat perkawinan tersebut, sebagaimana
pengaturan dalam hukum Larvhul Ngabal.
Masyarakat Kei mengenal bentuk-bentuk perkawinan
sebagai berikut:
a. Tai reet fid-Kebel taha lim
Bentuk Perkawinan yang pertama adalah Tai reet
fid-Kebel taha lim60 Tai reet fid-Kebel taha lim: menapaki
tangga dan pintu-menggenggam tangan perempuan yang
hendak dikawinkan. Artinya kesempurnaan perkawinan,
baik proses, tata cara, tahapan berdasarkan hukum larvhul
ngabal dilaksanakan sepenuhnya. Inilah bentuk
perkawinan yang terhormat dan mulia dalam tradisi dan
hukum larvhul ngabal di Kepulauan Kei.
Bentuk perkawinan yang sama dengan perkawinan
jujur pada Masyarakat Patrilineal. Perkawinan jujur
merupakan perkawinan dengan pembayaran harta
(barang dan uang) yang disebut dengan penamaan beli
atau welin, ketika dilakukan pelamaran untuk dibagikan
kepada tua-tua (suku dan marga) pihak perempuan. Jujur

60 Wawancara dengan Max Bukutubun, Paulus Andreas Bukutubun, dari Kampung

Tuburngil, 24 Juli 2021, Yanuarius Bukutubun dari Desa Kilwair (25 Juli 2021), Sergius
Kabrahanubun dari Kampung Yamtimur 26 Juli 2021.
107
sebagai tanda pengganti perempuan keluar dan pindah
dari kerabat suku, faam nya dan masuk ke keluarga laki-
laki/persekutuan suaminya. Jujur dalam perkawinan
sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai perempuan
keluar dari persekutuan hukum bapaknya, pindah dan
masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Hal ini
merupalam prinsip dalam hukum adat bahwa dalam
perkawinan perempuan tidak dibeli, tetapi harta diberikan
sebagai pengembalian keseimbangan kosmis, pengganti
keberadaan perempuan di persekutuan, kerabat, keluarga
bapaknya.
Tahapan bentuk perkawinan Tai reet fid-Kebel taha lim
termanifestasi pada tahapan penreahan harta perkawinan
adat sebagai berikut61:
1) Saan Sabak (peminganan, pelamaran).
Acara peminangan dilakukan oleh keluarga kerabat
laki-laki yang mengunjungi rumah orangtua/kerabat
perempuan untuk meminang perempuan pujaan hati.
Prosesi yang dilewati antara lain akan ditanyakan
kepada perempuan oleh yang mewakili para tetua,
apakah lamaran diterima atau ditolak.

61 Wawancara dgn Herikus Ulukyanan, Elegius Rahayaan, Ernes Rahayaan, Poli

Layanan dari Desa Hollat 12 Juli 2021.


108
2) Ba Soloik Il (pihak perempuan mengunjungi pihak laki-
laki)
Tahap ini dilakukan kunjungan balasan dari pihak
perempuan ke pihak laki-laki (terlepas apakah lamaran
ditolak atau diterima). Tapi lazimnya lamaran seperti
ini diterima karena biasanya didahului dengan dengan
berbagai pendekatan kekeluargaan guna kesepakatan.
3) Ubut rovh-wolot tatau (pertunangan)
Tahapan pertunangan ini merupakan pertanda telah
dimaklumkan bahwa laki-laki dan perempuan siap
untuk kejenjang perkawinan, dan pertunangan ini
sebagai tanda larangan bahwa laki-laki dan
perempuan itu sudah yang memilik/saling memiliki,
sehingga tidak lagi terbuka ruang untuk diganggu oleh
laki-laki atau perempuan lain. Di sinilah muncul ikatan
yang disebut yan ur-mangohoi.
Yan ur artinya kelompok keluarga/kerabat
perempuan; mangohoi artinya: kelompok
keluarga/kerabat laki-laki. Maknanya adalah kesatuan
para pihak yang diikat akibat adanya perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang menjadi
tanggungjawab dua keluarga besar (fam).

109
4) Dok vhaan yaib-Kebel taha lim
Yang merupakan tahapan sidang adat guna
pengaturan pelaksanaan perkawinan sekaligus
penyerahan harta kawin, sesuai tahapan sebagai
berikut:
a) Ngebaan Tenan
Ngeban Tenan62 terlaksana dalam suatu persidangan
adat berupa harta adat utama yang wajib dibawa
oleh pihak keluarga laki-laki (yan ur) kepada
keluarga perempuan (mangohoi), wujud harta adat
utama (ngebaan tenan) berupa:
a) Saidsaid (Meriam kuno ukuran kecil
peninggalan portugis)
b) Beku (Meriam ukuran sedang)
c) Dada (gong)
Dalam prosesi persidangan terjadi bahwa pihak
yan ur masuk dan akan meletakan ngebaan tenan
dihadapan persidangan, pihak mangohoi akan
menyerahkan pakaian, kain, bahkan dalam amplop
berisi uang dan diserahkan kepada orang-orang
dari pihak yan ur yang membawa ngebaan tenaan

62 Wawancara dengan Elegius Pejabat Kepala Ohoi Hollat, 4 September 2021, dan Tokoh

Adat Ohoi Hollat Efrem Silubun


110
tersebut. Dalam prosesi ini pihak yan ur juga
menyerahkan harta adat kepada pihak mang ohoi
yang berhak menerima yaitu ayah dan saudara
lelaki calon mempelai perempuan, berupa: (1)
rubuil Yahau Duan (2) Waung Tamtam. Penyerahan
harta utama adat itu sebagi bentuk keseriusan
dalam pelamaran63.
b) Adat Ngelan
Adat ngelan adalah bagian dalam prosesi adat
berupa penyerahan beberapa harta adat (emas)
kepada pihak mang ohoi yang dipandang paling
berjasa antara lain: ibu si calon mempelai
perempuan, anggota yang tidak setuju calon
mempelai perempuan menikah. Harta yang
diberikan kepada ibu mempelai berupa emas,
sebagai penghargaan air susu ibu yang telah
membesarkan anaknya. Alam praktek kekinian
harta adat emas diganti dengan uang64.
c) Waung tamtam
Bagian ketiga dalam prosesi adat disebut waung
tamtam adalah penyerahan harta adat perkawinan
kepada pihak ur mangohoi yang memiliki

63 Wawancara dengan Tokoh Adat Efrem Silubun, 4 September 2021


64 Wawancara dengan Kepala Ohoi Tuburngil Paulus Adreas Bukutubun, 12 Juli 2021
111
kekerabatan dekat dengan calon mempelai
perempuan yakni, Mata Rumah, faam, marga dan
pihak yang berkontribusi dalam melancarkan
sidang adat. Menurut Tokoh Adat Ohoi Tuburngil
Maksimus Bukutubun65 bahwa waung tamtam yang
dikenal dengan istilah renak berupa saidsaid, yang
diserahkan oleh pihak yan ur maka pihak mang ohoi
mengkompensasikan dengan menyerahkan bahan
makanan seharga setengah dari perkiraan harta
yang diberikan oleh pihak yan ur.
d) Kebel Taha Lim
Kebel Taha Lim, merupakan tahapan akhir dari
prosesi bentuk perkawinan Tai reet fid-Kebel taha lim
yang ditandai dengan penyelesaian harta adat
perkawinan dari kedua belah pihak yakni yan ur
dan mang ohoi, maka si calon mempelai Wanita
akan diberikan nasehat perkawinan oleh
perempuan yang dituakan dalam kerabat faam,
kemudian calon mempelai perempuan keluar dari
kamar dan bertemu dengan mempelai laki-laki,
dan lazimnya ditanyakan perhal hubungan
keduanya secara singkat, misalnya benarkan ini

65 Wawancara dengan Tokoh Adat Ohoi Tuburngi Maksimus Bukutubun, 12 Juli 2021
112
perempuan yang akan menjadi calon istri, dll,
dilanjutkan dengan pernihakan adat yakni
keduanya diikat dengan satu kain sarung yang
ujungnya diliti pada emas gelang tanda persatuan
suami, istri. Sesudah itu diberikan lagi petuah,
wejangan oleh satu atau dua orang yang dituakan
pada komunitas faam/marganya, dilanjutkan
dengan doa, maka sudah pihak yan ur berhak
mengambil si istri dari pihak mang ohoi dan
mengantarkan ke rumah orang tua si lelaki (suami)
disertai tarian dan atau bunyi musik tifa, gong,
lagu, suling serta sorak sorai.
b. Ftu Fboir (kawin lari, curi)
Bentuk Perkawinan yang kedua adalah Kawin Lari (Ftu
Fboir)66 adalah suatu bentuk perkawinan yang terjadi
tanpa melalui pelamaran dan pertunangan. Penyebab
terjadinya perkawinan Ftu Bboir sebagai berikut:
1) Pihak orang tua tidak setuju
Terjadinya kawin lari disebabkan karena orang tua
perempuan tidak menyetujui hubungan anak mereka,
berbagai alasan subyektif dari orang tua antara lain,
laki-laki tidak memiliki pekerjaan, malas, sering

66 Endang Sumiarni, Hukum Adat Dan Kearifan Lokal Suku Sentani (Papua: Biro Hukum

Setda Provinsi Papua, 2010).


113
berbuat onar, mata keranjang, jarang beribadah,
pendidikan rendah, atau masalah antar orang tua di
masa lalu dan lain sebagainya. Di sisi lain, jarang orang
tua lelaki tidak setuju karena perilaku perempuan
tidak sesuai dengan harapan orang tua laki-laki, janda,
pernah kawin tanpa ikatan perkawinan, dan
sebagainya.
2) Perbedaan Stratifikasi sosial
Perbedaan stratifikasi sosial yang dimaksud pertama:
pihak laki-laki tidak memiliki tanah dan dusun yang
nantinya akan dipergunakan untk menafkahi anak
perempuan mereka; kedua: salah satu pihak laki-laki
atau perempuan tidak berasal dari satu kelompok adat
yang sama (di Kei dikenal dengan istilah Mel-mel:
kelompok bangsawan; Ren-ren: kelompok pekerja yang
membantu setiap kerjaan para bangsawan baik dalam
pemerintahan dan pembangunan serta perang; Iriri:
adalah kelompok yang hidupnya penuh dengan
praktek mistis yang menyesatkan, ilmu suanggi).
3) Tidak memilik cukup harta untuk mahar perkawinan
Tidak disetujuinya hubungan oleh orang tua karna
pihak laki-laki tidak cukup memiliki harta adat, atau
uang sebagai pengganti harta adat, untuk diserahkan

114
kepada pihak orang tua perempuan sebagaimana
dalam bentuk perkawinan Tai reet fid-Kebel taha lim.
4) Perbedaan keyakinan
Ketidaksetujuan orang tua (walaupun jarang terjadi)
atas hubungan laki-laki dan perempuan yang saling
mencintai disebabkan karena beda agama (disparis
cultus) atau beda gereja (mixta religio)
c. Tub Riin
Bentuk Perkawinan yang ketiga adalah Tub Riin
merupakan perkawinan yang dilaksanakan akibat pihak
orang tua lelaki tidak menyetui hubungan anaknya
dengan perempuan yang dicintainya. Seandainya pihak
orang tua perempuan setuju hubungan cinta anaknya,
maka akan menginformasikan kepada pihak laki-laki.
Tetapi manakala pihak orang tua perempuan tidak
menyetujui maka akan mengusir atau menahan lelaki di
rumahnya guna meminta pertangungjawaban. Misalnya
membayar harta adat tertentu karena adanya aib yang
memalukan di rumahnya67.
d. Kerik Temar Nger
Bentuk Perkawinan yang keempat adalah Kerik Temar Nger
Perkawinan bentuk ini disebut pula perkawinan Vhat

67 Wawancara dengan Tokoh Adat Ape Putnarubun dari Tokoh Adat turunan dari Ohoi

Tuburngil, 11 Juni 2021


115
Yanan, terjadi oleh karena laki-laki menyerahkan diri
masuk menjadi keluarga sang istri kelak, maka anak-anak
yang lahir dari perkawinan tersebut akan menggunakan
faam atau marga dari pihak perempuan. Lazimnya
perkawinan ini terjadi karena pihak laki-laki tidak mampu
memenuhi tuntutan adat dan pihak keluarga perempuan
yang berkenaan dengan harta adat perkawinan.
e. Vhat Stukar
Bentuk Perkawinan yang kelima adalah: Vhat Stukar.
Bentuk perkawinan Vhat Stukar ini terjadi manakala terjadi
perkawinan secara bersamaan antara laki-laki dan
perempuan yang sekandung dengan perempuan dan laki-
laki sekandung lainnya, perkawinan silang antara dua
keluarga. Kedua belah pihak laki-laki dan perempuan
dalam waktu bersamaan menjadi yan ur dan mang ohoi atau
sebaliknya.68
f. Fraung
Bentuk Perkawinan yang keenam adalah Fraung yakni
perkawinan antara duda dengan adik atau sepupu istri
yang telah meninggal atau sebaliknya janda menikah
dengan kakak, adik atau sepupu suaminya yang telah
meninggal. Tujuan dari perkawinan bentuk fraung ini,

68 Wawancara dengan Tokoh Adat Tuburngi Florentinus Gunawan Hammar, Johanis

Resbal. 12 Juli 2021


116
guna menjaga dan memelihara anak-anak agar tetap
diperhatikan oleh ayah dan atau ibu tirinya yang masih
kerabat.
Fraung dalam bentuk perkawinan umumnya di Indonesia
disebut dengan perkawinan ganti tikar69, bentuk
perkawinan ini dilakukan dengan alasan demi kelanjutan
kehidupan keluarga kaka, maka si adik suami kawin
dengan istri kakaknya. Tujuannya supaya kehidupan
keluarga itu terjamin. Anak-anak kakaknya akan diasuh
seperti ia mengasuh anaknya sendiri. Sebaliknya kalau istri
kakaknya yang meninggal sedang istrinya masih
mempunyai saudara perempuan yang sudah dewasa,
maka dia boleh kawin dengan suami saudaranya itu.
Perkawinan yang demikian di Kei disebut kawin ganti
tikar. Jenis ini juga terjadi di masyarakat Arfak di Papua
barat, dan suku Biak Papua perkawinan ini dikenal dengan
penamaan byuk fedwer70
g. Tu Vhaur
Bentuk Perkawinan yang ketujuh adalah Tu Vhaur
merupakan perkawinan yang dilakukan oleh janda

69 Departemen P dan K. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku. Departemen

Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya Proyek Penelitian Dan
Pencatatan Ke Budayaan Daerah. Hlm. 86.
70 Endang Sumiarni. 2010. Hukum Adat Biak. Biro Hukum Setda Provinsi Papua,

Jayapura. Hlm. 109.


117
dengan laki-laki diluar kerabat almarhum suaminya. Harta
yang diberikan oleh pihak laki-laki yan ur berupa Vhaur
vhungan sus vhahan hal ini bermakna harta diberikan
sebagai lambing pengantiaan pemeliharaan ayahnya yang
telah meninggal dan air susu ibu yang ditinggalkan karena
perkawinannya. Dalam realitasnya manakala anak-anak
masih kecil tetap mengikuti ibunya hidup bersama ayah
tirinya tapi tidak diperbolehkan menggantikan faam atau
marganya dengan fam/marga ayah tirinya.
Implikasi perkawinan pada masyarakat suku Kei (Evav)
ini berbeda-beda sesuai dengan bentuk perkawinan. Penulis
menggambarkan diferensiasi dalam tabel sebagai berikut:
Bentuk Para Implikasi hukum
No Prosesi adat Jenis harta
Perkawinan pihak dan/atau sosial
1 Tai reet fid- Yan ur Saan sabak; Beli atau welin; Perempuan
Kebel taha lim dan Ba soloik il;Ubut Ngeban Tenaan menyatu dengan
Mangohoi rov-Wolot tatau; :(sadsaid, keluarga suami
Dok vhaan yaib- beku, dada); dan kerabat
Kebel taha lim Adat Ngelan suami;
dan Waung
Tamta: ia bukan lagi milik
mas, kain, keluarga dan
uang, bahan kerabat orang
makanan. tuanya, tetapi
telah masuk
menjadi keluarga
dan kerabat
suaminya,
dan berhak
menggunakan
faam atau marga
suaminya,
berhak menikmati
harta yang tak
terbagi, berhak
atas pemanfataan

118
dan pemilikan
harta yang
dimiliki oleh
suaminya.
Istri tidak lagi
berhak atas
kenikmatan dusun
orang tuanya,
kecuali yang
dihibahkan
kepadanya.
2 Yan ur Sidang adat Melaan: berupa -Memalukan
Ftu Fboir dan penyelesaian said-said, beku, (vameat), tidak
Mangohoi kewajiban gong, mas, etis. Tinggi nya
awal: Melaan; uang potensi konflik,
Sdevhon Yan Ur Namun manakala
Mangohoi- Dok terjadi
Vhaan Yaib. perkawinan maka
Penetapan akibat hukum
waktu sama dengan
pernikahan bentuk
adat dan perkawinan yang
Agama. pertama yakni:
Tai reet fid-Kebel
taha lim
3 Tub Riin Pihak Ada Prosesi Manakala hasil Memalukan,
lelaki dan sidang adat persidangan potensi konflik
perempua (Sdevhon Adat) adat dilakukan sangat tinggi;
n serta dipimpin oleh dan pihak laki-
pihak Pihak ketiga laki siap, Manakala sudah
Mediator: sebagai bersedia dan ada kesepakatan
lazimnya mediator; sanggup dalam rapat maka
Soa, kedua belah menyelesaikan hak-hak suami
Orangkai pihak baik laki- harta utama istri sama seperti:
atau Rat; laki maupun adat dan harta bentuk
Manakala pihak lainya yang perkawinan
kesepakat perempuan. ditentukan Tai reet fid-Kebel
an terjadi dalam sidang taha lim.
perkawin adat, maka
an baru harta adat
ada Yan berupa said-
ur dan said, beku, gong,
Mangohoi mas, uang,
hasil panen dan
lain-lain.
4 Kerik Temar Tidak ada Sidang adat Tidak ada harta Suami tetap
Nger Para (Sdevhoon) oleh utama Adat, menggunakan
Pihak Keluarga dan harta faam atau
Perempuan, lainnya. marganya, tetapi
119
Yang ada guna mengatur anak-anak yang
hanya dan dilahirkan dari
Keluarga menentukan perkawinan
Perempua waktu yang tersebut
ng yang tepat untuk menggunakan
mengatur dinikahkan. faam atau marga
segalanya. Ibunya. Yang
menentukan dan
memimpin tidak
secara terang-
terangkan dalam
keluarga adalah
Istri.
Suami mengolah
harta bawaan dari
istri, karena dalam
perkawinan
seperti ini istri
tetap menikmati,
memiliki harta
keluarga seperti
saudara lelakinya.
Suaminya dapat
mengolah dan
mengelola harta
dari keluarganya
kalau memang
ada.
Karena si suami
melakukan
perkawinan
masuk ini akibat
tidak mampu
menyelesaikan
kewajiban
sebagaimana
lazimnya dalam
perkawinan adat
Kei.
5 Vhat Stukar Yan ur Kebel Taha Lim; Tidak ada harta Perempuan
dan Proses kawin menyatu dengan
Mangohoi perkawinan keluarga suami
secara Adat yang dan kerabat
timbal dilakukan suami; Istri bukan
balik karena lagi milik keluarga
seimbang, dan kerabat orang
karena tuanya, tetapi
perkawinan telah masuk
silang antara menjadi keluarga
120
dua kakak dan kerabat
beradik denga suami, dan berhak
dua kakak menggunakan
beradik faam atau marga
lainnya. suaminya, berhak
menikmati harta
yang tak terbagi,
berhak atas
pemanfataan dan
pemilikan harta
yang dimiliki oleh
suaminya.
Istri tidak lagi
berhak atas dusun
orang tuanya,
kecuali yang
dihibahkan
kepadanya.
6 Fraung Tidak ada Prosesi yang Tidak Ada Janda berhak atas
para ada hanya Kebel Harta Adat harta asal dari
pihak taha lim Kawin suami barunya,
dalam Janda kawin kekayaan
perkawin sepupu bertambah, dan
an bentuk suaminya lazim sebaliknya
Fraung ada harta, suaminya juga
namun sebagai berhak atas harta
simbol saja peningalan suami
istrinya dan anak
dari istrinya.
7 Tu Vhaur Yan ur Prosesi yang Ngeban Tenaan Janda menyatu
dan ada hanya Kebel :(sadsaid, dengan keluarga
Mangohoi; taha lim: beku, dada); suami dan kerabat
Perkawinan Adat Ngelan suaminya yang
Mangohoi Adat dan dan Waung baru; ia bukan lagi
di sini agama. Tamta: milik keluarga
bukan mas, kain, mendiang suami
keluarga uang, bahan dan kerabatnya,
dan orang makanan. tetapi telah masuk
tua janda (Jumlah dan menjadi keluarga
tersebut, kuliatas harta dan kerabat
melainka adat kawin suaminya yang
n tidak sama baru, Berhak
keluarga dengan menggunakan
mendiang perkawinan Tai faam atau marga
suaminya. reet fid-Kebel suaminya yang
(hubunga taha lim baru, Janda yang
n dengan Harta adat telah kawin lagi
orang tua kawin tersebut itu berhak
biologis diterima oleh menikmati harta
121
dan anak-anak dan berhak atas
kerabatny Janda tersebut harta harta yang
a sudah dan keluarga dimiliki oleh
putus, mendiang suaminya.
kecuali suaminya. Janda yang kawin
harta adat lagi tidak berhak
kawin atas dusun dan
belum harta mendiang
dilunasi). suaminya, kecuali
harta yang dibawa
olehnya ke dalam
perkawinannya
yang baru.

Bentuk-bentuk perkawinan pada masyarakat suku Kei


mengalami perkembangan dan mengadaptasikan dirinya
dengan perkembangan kekinian. Bentuk perkawinan
ditentukan oleh cara atau modus dari pihak laki-laki yang
melakukan perkawinan, dan tergantung pula pada
tersedianya harta perkawinan serta persetujuan pihak orang
tua perempuan, atau sebaliknya. Ada tujuh bentuk
perkawinan adat pada masyarakat Kei, dengan defrensiasi
bentuk prosesi adat, jenis harta perkawinan dan implikasi
hukumnya. Bentuk perkawinan menunjukkan tingkat
keberadaan pihak lelaki.

6. Harta Perkawinan
Harta perkawinan adalah harta-harta yang didapatkan,
dikuasai dan dimiliki oleh suami isteri dalam perkawinan,
baik harta asal (harta kerabatm warisan, hibah), harta yang
diperoleh sendiri, harta bersama termasuk hadiah.
122
Ilmu Hukum Adat membagi harta perkawinan suami
dan isteri dalam dua kelompok yakni:
a. Harta asal
b. Harta bersama
Harta asal adalah harta yang dibawa (gawan-Jawa; sisila-
Bugis Makassar; babakan-Bali; pimbit-Dayak Nganju) oleh
masing-masing suami dan isteri ke dalam perkawinan. Harta
bawaan tersebur berasal dari:
a. Warisan leluhur dapat berupa benda bergerak seperti mas
kerabat, benda-benda lainnya dan tak bergerak seperti
tanah, juga benda takberwujud seperti gelar adat, jabatan
adat dan sebagainya.
Warisan leluhur tersebut tidak diwariskan kepada semua
keturunan, hanya mereka yang berhaklah diwariskan
untuk menjaga, memelihra demi keberlanjutan kekayaan
keluarga, kerabat dan persekutuan. Benda warisan
tersebut ada yang sifatnya dapat dibagi dan tidak dapat
dibagi. Misalnya sebidang tanah kolektif warisan leluhur
tidak bias dibagi karena merupakan tempat ritual,
menyelesaikan perkara-perkara adat. Ada juga mas
pusaka kerabat yang tidak boleh dibagi. Harta-harta
tersebut merupakan kepemilikan kolektif yang
penguasaannya diberikan kepada anak tertua atau anak
lainnya sesuai dengan ketentuan hukum adat dan sistem
123
kekerabatan masing-masing daerah, suku atau
persekutuan.
1) Warisan orang tua, lazimnya berupa benda bergerak
dan tak bergerak, namun pada umumnya sifatnya
dapat dibagi dan diasingkan.
2) Hadiah dari kelurga, kerabat diberikan kepada suami
atau isteri.
3) Perolehan sendiri suami atau isteri sebelum
perkawinan.
b. Harta bersama
Harta bersama merupakan harta yang diperoleh
semasa atau dalam perkawinan. Dalam Hukum Adat
Harta bersama ini tidak termasuk dalam harta bawaan,
meskipun ada harta warisan orang tua, terutama benda
tidak bergerak, hadiah-hadiah, serta barang atau benda
yang diperoleh masing-masing suami isteri sebelum
perkawinan itu di bawa ke dalam perkawinan dan dapat
dimanfaatkan (dinikmati) untuk kehidupan keluarga.
Namun tetap dipisahkan dari harta bersama karena ada
akibat hukumnya ketika terjadi perceraian, atau perbuatan
hukum jual-beli dan sebagainya.
Harta bersama suami isteri (gono-gini Jawa Tengah
dan Jawa timur; harta suarang-Minangkabau; guna kaya
atau campur kaya-Jawa barat; perpantangan-Kalimantan;
124
cakkara-Bugis; drue gabro-Bali) merupakan harta yang
diperoleh secara bersama-sama dalam perkawinan. Dalam
sistem patrilineal penguasaan atas semua harta berada
pada suami sebagai kepala rumah tangga, dan dibantu
oleh isteri sebagai ibu rumah tangga/pendampingnya. Hal
ini disebabkan adanya bentuk perkawinan dengan
pembayaran jujur (harta kawin) maka isteri telah masuk
menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga suami dan
tunduk pada hukum kekerabatan suami71. Hilman
Hadikusuma mengelompokan harta perkawinan atas
empat jenis sebagai berikut:
a. Harta bawaan
b. Harta pencarian
c. Harta peninggalan
d. Harta pemberian
Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh suami
dan isteri ke dalam perkawinan berupa jerih payah
masing-masing suami dan isteri, warisan, hadiah yang
diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan berlangsung.
Sedangkan harta pencarian adalah harta yang diperoleh

71 Ziwar Effendi. 1987. Hukum Adat Ambon Lease. Pradnya Paramita Jakrta. Hlm.84-

89; Andi Suryaman Mustari Pide.2009. Hukum Adat, Dulu,Kini dan Akan dating. Pe3lita
Pustaka Jakarta. Hlm. 175-179; Hilman hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Mandar Maju Bandung. Hlm. 198; Dominikus Rato.2015. Hukum Perkawinan
dan Waris Adat Indonesia. Laksbang Pressindo Yogyakarta. Hlm. 71-72.
125
sebagai hasil suami dan isteri selama perkawinan
berlangsung. Kemudian Harta peninggalan adalah harta
yang diwariskan oleh orang tua suami dan isteri. Harta
pemberian adalah harta yang diperoleh suami dan isteri
karena pemberian seperti hadiah, hibah dan lain-lain.
Berkenaan dengan harta perkawinan, Sayuti Thalib
mengemukakan bahwa ada tiga sudut pandang yaitu:
a. Sudut asal harta
Dari sudut asal harta perkawinan suami dan isteri
dibagi dalam tiga digolongkan yaitu:
1) Harta masing-masing suami dan isteri yang telah
dimilikinya sebelum perkawinan, baik diperoleh
karena warisan, hadiah atay usaha lainnya. Disebut
harta bawaan.
2) Masing-masing suami dan isteri memiliki harta
yang diperolehnya selama perkawinan
berlangsung, namun bukan perolehan berdasarkan
usaha bersama atau sendiri-sendiri, tetapi
diperoleh karena warisa, wasiat atau hibah untuk
masing-masing.
3) Harta perolehan setelah perkawinan berlangsung
atas usaha suami isteri atau salah satu pihak suami
atau isteri, disebut harta pencarian.

126
b. Sudut penggunaannya
Harta yang dipergunakan untuk memenuhi nafkah
kehidupan rumah tangga seperti kebutuhan sandang,
pangan dan papan, serta pendidikan, kesehatan dan
lain sebagainya.
c. Sudut hubungan harta perorangan dalam masyarakat,
Hart aitu berwujud harta milik suami dan isteri, harta
seseorang tetapi terikat pada keluarga, dan harta milik
seseorang yang pemiliknya disebutkan dengan tegas
oleh yang bersamngkutan.

C. Hukum Kewarisa Adat


1. Pengertian Hukum Kewarisan Adat
Hukum kewarisan adat adalah keseluruhan aturan-
aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan serta
peralihan harta kekayaan material maupun immaterial dari
pewaris kepada turunannya, baik sewaktu pewaris masih
hidup matipun setelah meninggal.
Secara umum belum terdapat kesamaan pendapat
diantara para Pakar Hukum mengenai pengertian hukum
kewarisan adat. Ada kelompok berpendapat bahwa proses
peralihan itu terjadi pada waktu pewaris meninggal dunia.

127
Paham ini dianut antara lain oleh R. Wirjono72 yang memakai
istilah warisan yakni soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia beralih kepada orang lain yang
masih hidup. Sedangkan Pitlo73menyatakan bahwa: Hukum
Waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai
kekayaan wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
Ada beberapa Pakar Hukum yang bependapat bahwa
proses peralihan itu terjadi baik pada waktu pewaris masih
hidup seperti perbuatan penghibaan, wasiat, maupun pada
waktu pewaris meninggal dunia seperti perbuatan pembagian
harta peninggalan. Menurut B. Ter Haar74 Hukum Waris Adat
adalah aturan hukum tentang cara bagaimana dari abad ke
abad penerusan dan peralihan harta kekayaan metariil dan
immateriil dari turunan ke turunan. Sedang menurut

72 Prodjodikoro Wirjono.R. 1983. Hukum Waris di Indonesia. Sumur Bandung. Hlm. 13


73 Pitlo. 1986. Hukum Waris Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.
Jilid I, PT. Intermasas, Jakarta. Hlm. 1
74 Ter Haar. 1985. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta.

Hlm. 23.
128
Soepmo75 bahwa: Hukum Adat Waris memuat peraturan-
peraturan yang menyangkut proses penerusan serta
pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda (immateriele golderm) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Selanjutnya
Soepomo mengemukakan pula bahwa proses pewarisan
tersebut sudah berlangsung selagi orang tua masih hidup.
Proses tersebut tidak menjadi akuut disebabkan karena orang
tua meninggal dunia. Memang meninggalnya orang tua
adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu sendiri,
namun tidak mempengaruhi secara mendasar proses
penerusan dan pengoperan harta kekayaan. Sedangkan R. Van
Dijk terjemahan A. Soehardi76 menyatakan bahwa: Hukum
waris memuat seluruh peraturan yang mengatur pemindahan
hak milik, barang-barang harta benda dari generasi yang
berangsur mati (yang mewariskan) kepada generasi muda
(para ahli waris).
Selain itu menurut Hilman Hadikusuma77 Hukum Waris
Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta

75 Soepomo . 1977. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta. Hlm. 81-
82
76 Van Dijk, R dan A. Soehardi . 979. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Sumur,

bandung. Hlm 40.


77 Hilman Hadikusuma. 1983. Hukum Waris Adat. Alumni Bandung. Hlm 17

129
warisan, pewaris dan waris, serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan penguasaan dan pemiliknya dari
pewaris kepada waris.
Dari uraian pengertian Hukum kewarisan terdapat tiga
hal pokok yaitu:
a. Seorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya
meninggalkan harta kekayaan.
b. Seorang atau beberapa orang waris utama atau ahli waris
yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.
c. Harta warisan atau harta peninggalan yang ditinggalkan
oleh pewaris akan beralih kepada para waris.
2. Sistem Kewarisan
a. Sistem Kewarisan Keturunan
Kewarisan dengan sistem keturunan sudah ada sejak
jaman leluhur dan masih dianut oleh masyarakat
Indonesia. Dalam sistem kekerabatan di Indonesia
menunjukkan suatu corak tersendiri sebagaimana
dikemukakan Hazairin78 sebagai berikut: Hukum waris
adat mempunyai corak tersendiri dari dalam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan
yang sistem keturunannya patrilinial, matrilinial, parental
atau bilateral. Dalam masyarakat suku Ihandin-Fakfak

78 Hilman Hadikusuma. 1983. Hukum Waris Adat . 1983. Alumni, Bandung. Hlm. 83
130
menganut sistem kekerabatan patrilinial yang dalam
prakteknya terdapat beberapa pengecualian terhadap
sistem kewarisan keturunan.
Dalam sistem pewarisan keturunan yang terdapat
pada masyarakal suku Ihandin-Fakfak Papua Barat,
kedudukan anak laki-laki dibedakan dengan anak
perempuan dalam hal kewarisan. Menurut sistem ini anak
laki-laki mempunyai kedudukan sangat penting, bukan
saja sebagai waris utama dari pewaris tetapi juga sebagai
penerus keturunan dari keluarga atau faam tersebut. Anak
laki-laki berhak atas harta warisan yang ditinggalkan
pewaris, sedangkan anak perempuan pada dasaraya tidak
berhak atas harta warisan.
Di dalam sistem ini tidak semua harta warisan itu
dialihkan kepada para waris, disebabkan karena sifat,
kedudukan dari harta warisan tersebut. Ada harta kerabat
atau Kabari umum dan ada pula Kabari khusus. Tentang
Kabari khusus ini dapat langsung diwariskan oleh pewaris
kepada para waris. Selain itu semua pasiva dan aktifa
pewaris beralih kepada para waris, dan para waris tidak
boleh menolak peralihan harta warisan termasuk hutang-
piutang. Jika dibandingkan dengan sistem pewarisan
menurut hukum perdata barat maka terlihat suatu
perbedaan yang mencolok, yakni hukum barat
131
memberikan kebebasan kepada para waris untuk memilih
di antara tiga sikap menyangkut penerimaan warisan
sebagai berikut:
1) sikap menerima secara keseluruhan. Berarti para waris
menerima warisan termasuk hutang-piutang pewaris.
2) sikap menerima dengan syarat. Berarti para waris
menerima secara terperinci dan hutang-piutang
pewaris akan dibayar berdasarkan barang-barang
warisan yang diterima.
3) sikap menolak. Berarti para waris tidak mau menerima
warisan karena ia tidak tahu menahu mengenai
pengurusan harta warisan itu.
Perbedaan antara sistem hukum adat dan sistem
hukum barat ini disebabkan karena hukum barat bersifat
individual murni, di mana hubungan antara pewaris dan
para waris tidak didasarkan pada azas kekeluargaan,
kerukunan serta azas berat sama dipikul ringan sama
dijinjing. Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa para
waris dapat mengelak atau melepaskan diri dari beban
tanggungjawaban orang tua.
Kedatipun anak laki-laki mempunyai kedudukan
yang strategis dalam struktur masyarakat Ihandin, namun
anak perempuan tidak dapat diabaikan begitu saja. Hal ini
disebabkan karena Kupang atau harta kawin dari
132
anak/saudara perempuan nantinya diberikan kepada
saudara laki-laki sebagai pembayaran harta kawinnya
kelak, sebaliknya orang tua atau saudara laki-laki akan
memberikan bekal kepadanya yang disebut wahanema
berupa emas, dusun pala, perabot rumah tangga, dan lain-
lain.
Tentang pemilikan terhadap barang-barang yang
diwahanemakan, terutama berupa benda tetap bersifat
relatif, dalam arti bahwa manakala anak/saudara
perempuan yang telah berumah tangga serta kerabat yang
telah menerima mahanema selalu menjaga hubungan baik
atau berkelakuan baik terhadap si pemberi wahanema,
maka hak milik atas benda yang diwhanemakan tersebut
akan beralih kepada penerima wahanema. Namun
sebaliknya manakala penerima wahanema tidak menjaga
hubungan baik atau menimbulkan perselisihan, maka
benda yang telah diwahanemakan tersebut dapat ditarik
kembali oleh pemberi wahanema. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa, dalam soal kewarisan,
masyarakat suku Ihandin senantiasa menjunjung tinggi
musyawarah serta selalu mejaga keserasian, keselarasan
dan keseimbangan dalam hubungan kekerabatan, baik
hubungan antara pewaris dan para waris maupun

133
hubungan antara pemberi wahanema dengan pihak yang
menerima wahanema.
b. Sistem Kewarisan Individual
Kewarisan dengan sistem individual adalah sistem
pewarisan yang menggariskan bahwa setiap waris berhak
atas harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Setelah pembagian masing-masing waris dapat
menguasai, memiliki, serta berhak berbuat bebas atas
bagian harta warisannya, untuk diusahakan, dijual,
dialihkan kepada sesama waris, anggota kerabat ataupun
orang lain.
Sistem kewarisan ini pada umumnya terdapat pada
masyarakat dengan bentuk kekerabatan parental atau
bilateral, namun tidak mengherankan kalau dalam
masyarakat patrilinial selain adanya sistem kewarisan
keturunan ada pula sistem kewarisan individual. Hal
tersebut ternyata ada pada masyarakat suku Ihandin yang
menyamakan kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan dalam hal menerima warisan. Jadi bukan saja
anak laki-laki sebagai warisan utama tetapi juga anak
perempuan. Tentang hal ini dikemukakan oleh Raja Ati-ati
Jusup Bae dari Kerajaan Sangaria, sebagai berikut: "bahwa
anak laki-laki dan anak perempuan adalah, sama-sama
berhak mewarisi harta warisan dari orang tua, baik harta
134
laleuhur maupun harta bawaan suami istri serta
wahanema atau fagim maupun harta pencaharian yang
didapat dalam perkawinan, anak perempuan mendapat
setengah dari bagian anak laki-laki"79. Sebagai
perbandingan maka sistem kewarisan dalam hukum Islam
menurut Sulaiman Rasjid80sebagai berikut: "Allah telah
menetapkan pembagian harta pusaka terhadap anak kamu
hendaklah untuk seorang laki-laki sebanyak bahagian dua
orang perempuan". Fenomena yang terjadi menunjukkan
bahwa sistem kewarisan individual bilateral yang
laziamnya berlaku pada masyarakat dengan kekerabatan
parental dan sistem bilateral individual dalam agama
Islam telah memengaruhi MHA Ihandin yang beragama
Islam.
Sistem individual dalam hukum adat harus
dibedakan dari sistem kewarisan menurut hukum barat.
dalam sistem hukum barat mengharuskan harta selekas
mungkin diadakan pembagian setelah pewaris wafat, dan
setiap waris dapat menuntut bagiannya dan dapat pula
menuntut agar harta warisan yang belum dibagi agar
segera dibagikan. Sedangkan pembagian harti warisan

79 Roberth KR Hammar, 1989. Hukum Kewarisan Adat Ihandin Kabupaten Fakfak,

Skripsi STIH Manokwari.


80 Sulaiman Rasjid, H. 1976. Figh Islam. Attahirfiyah, Jakarta. Hlm. 335.

135
kepada para waris dalam sistem individual menurut
hukum adat disebabkan tidak ada lagi yang berkeinginan
memimpin penguasaan harta warisan secara kolektif.
Tentang hal tersebut dapat dibandingkan dengan
sistem kewarisan dalam hukum Islam yang
pelaksanaannya maupun penyelesaiaan hal ihkwal harta
warisan ketika seseorang meninnggal dunia,
meninggalkan harta kekayaan yang harus dibagi-bagikan
kepada para waris lelaki maupun perempuan, dan juga
memberikan kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.
Sistem kewarisan ini oleh Hazairin81 dinamakan Sistem
Individual Bilateral. Dasar berlakunya sistem individual
bilateral ialah Al Quran Surah IV An Nisa, yang
menyatakan bahwa: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi
orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila
sewaktu pembagian itu hadir kerabat anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang baik " (Q.IV, 7,8).

81 Hilman Hadikusuma. 1983. Opcit. Hlm.41


136
c. Sistem Kewarisan Kolektif
Sistem kewarisan kolektif merupakan sistem yang
mewariskan harta warisan yang tidak terbagi, dan
diterima oleh para waris secara bersama. Harta warisan
tersebut hanya bisa digunakan (hak pakai) guna
memberikan manfaat bagi kesejahteraan para waris. Harta
yang tidak terbagi tersebut lazim dikategorikan sebagai
harta pusaka, atau harta yang bersejarah, sehingga apabila
harta tersebut terbagi menjadi milik pribadi para waris
maka, kedudukan sebagai benda, harta pusakammenjadi
lenyap, atau makna historis atas benda tersebut punah, dan
berdampak pada eksistensi keluarga, kerabat tersebut.
Contoh tanah pusaka, mas pusaka, tomabk, kris pusaka,
rumah adat dan sebagainya. Harta pusaka yang sifat
kepemilikannya secara kolektif itu dikuasai oleh kepala
waris, anak tertua, atau waris yang layak untuk menjaga,
namun dipergunakan untuk kepentingan bersama-sama
para waris.
d. Sistem Kewarisan Mayorat
Sistem kewarisan mayorat adalah kewarisan atas
harta peninggalan orang tua (pusaka rendah) atau harta
peninggalan leluhur kerabat, persekutuan, (pusaka tinggi)
tidak terbagi kepada ahli waris. Harta tersebut dikuasai
oleh anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) di lingkungan
137
masyarakat patrilineal dan adakalanya juga terjadi
masyarakat matrilinial. Harta tidak terbagi tersebut diolah,
dipungut hasilnya, serta diurus dan dipelihara oleh anak
tertua. Kewajiban anak tertua memelihara adik-adiknya
sampai mereka dewasa, dan mandiri.
Persamaan sistem ini dengan sistem kewarisan
kolektif adalah harta warisan merupakan milik bersama
dan tidak dibagi kepada para waris. Perbedaannya dalam
sistem kewarisan mayorat anak tertua berkedudukan
sebagai penerus tanggung jawab orang tua, dan
berkewajiban memelihara dan mengurus saudara-
saudaranya yang amsih kecil hjingga dewasa dan mandiri
serta berumah tangga.
Sistem mayorat ada dua jenis yakni mayorat lai-laki
dan mayorat perempuan. Adapun kelemahan yang
terdeteksi pada sistem ini adalah terpeliharanya dan
keutuhan harta bersama tergantaung pada yang
mengurusnya, dan juga itikad baik anggota keluarga,
kerabat, persekutuan yang berkepentingan untuk
mempertahankannya.

3. Proses Peralihan Harta Warisan


Dalam kewarisan terjadinya suatu proses peralihan dan
pengoperan harta kekayaan materiil mupun immateriil dari

138
pewaris kepada para waris. Berkaitan dengan: proses tersebut,
Hilman Hadikusuma (1983 : 105) mengemukakan bahwa:
"Proses pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat
untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang
akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih
hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan
penguasaannya dan pembagiannya atau cara bagaimana
melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah
pewaris wafat".
a. Pembagian Semasa Hidup
Proses penerusan dan peralihan harta warisan
kepada para waris dimulai selagi orang tua masih hidup.
Proses peralihan harta warisan berupa harta kekayaan,
kedudukan atau jabatan adat (Gelar, Faam, dan lain-lain)
kepad para waris. Proses peralihan semacam ini cenderung
terjadi pada MHA Kei di Maluku Tenggara, Mbaham-
Matta di Fakfak Papua Barat.
Dalam MHA Mbaham-Matta, terdapat aturan bahwa
harta warisan yang diberikan sebagai bekal perkawinan
(Wahanema, Fagim) hanya kepada anak perempuan yang
hendak menikah. Sedangkan untuk anak laki-laki yang
mehewan akan diwariskan bagian harta kekayaannya.
Penyerahan harta warisan tersebut sudah semestinya
menjadi milik dari para waris yang menerimanya, baik
139
anak lelaki tertua maupun adik-adiknya. Namun perlu
diingat pula bahwa harta yang telah diterima tersebut
mempunyai fungsi sosial dalam arti bahwa sewaktu-
waktu hasil dari harta yang telah diwariskan dapat
disisihkan untuk keperluan keluarga/kerabat jika diminta,
misalnya untuk memperbaiki rumah orang tua ataupun
biaya perkawinan, dan sebagainya.
Perbuatan penghibahan harta kepada anak
perempuan yang hendak melakukan perkawinan
merupakan koreksi terhadap hukum waris suku Ihandin,
yang sebagian masyarakatnya menganut sistem kewarisan
keturunan yang menghendaki hanya anak laki-laki yang
berhak atas harta warisan.
Tentang besar kecilnya harta kekayaan yang akan
dihibahkan tergantung dari pewaris, namun tidak
menyampingkan bagian yang sepatutnya diterima oleh
para waris. Dengan demikian para waris, terlebih para
waris utama tidak boleh menolak warisan yang
dihibahkan.
b. Wasiat
Dalam masyarakat suku Ihandin, pewaris pada masa
hidupnya bukan saja memberikan (schenking) atau
menghibahkan harta kekayaan kepada para waris, tetapi
ada kalanya pewaris mengatakan keinginannya dengan
140
berpesan kepada anak isterinya tentang anak dan harta
kekayaannya.
Penangguhan pembagian harta warisan pada MHA
terjadi karena hal-hal berikut ini:
1) Pewaris tidak punya keturunan
2) Para waris belum dewasa
3) Di antara para waris ada yang belum hadir.
Dengan demikian harta waris yang tidak dibagi atau
ditangguhkan pembagiannya sesudah pewaris meninggal,
kemungkinan dikuasai oleh janda, anak pewaris, anggota
kerabat ataupun tua-tua adat.
Pada MHA Mbaham-Matta di Fakfak, jikalau
perkawinan dilakukan secara ”jujur” berakibat hukum
yakni perempuan masuk menjadi anggota keluarga,
kerabat dari suaminya. Hal ini mengakibatkan manakala
pewaris meninggal dunia maka harta warisan
kemungkinan berada dalam penguasaan janda.
Penguasaan janda atas harta warisan tersebut,
disebabkan karena para waris masih kecil (dokoko),
ataupun para waris sudah dewasa (kohehen) belum kawin
atau mehewan, sehingga janda tetap menguasai harta
warisan. Manakala ada anak yang hendak kawin
(mehewan), maka janda pewaris menyerahkan harta
warisan yang merupakan bagian dari pada anak tersebut
141
sesuai dengan petunjuk, pesan atau wasiat dari pewaris
ketika masih hidup.
Manakala terjadi bahwa sewaktu pewaris wafat
meninggalkan harta yang belum terbagi, maka harta
tersebut nantinya akan dibagikan dalam musyawarah
keluarga atau kerabat yang akan dipimpin oleh anak lelaki
tertua, dan didampingi oleh kepala faam atau tua-tua adat
dari kerabat yang berkepentingan. Keinginan terakhir ini
biasanya diucapkan pada waktu pewaris sedang sakit
keras, bahkan kadangkala dilakukan pada saat sebelum ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pesan atau
amanat dari pewaris kepada para waris harus diucapkan
di depan para waris, anggota keluarga, bahkan tua-tua
adat di kampung tersebut, sehingga menjadi perbuatan
yang terang.
Urgensi hibah wasiat ini agar para waris mendapat
bagiannya sesuai kepatutan dan mencegah persengketaan
atau keributan antara para waris yang kemungkinan
timbul pada saat pembagian warisan.
Pada dasarnya para waris sangat menghormati
kemauan terakhir dari pewaris yang menghendaki suatu
pembagian harta warisan yang sesuai dengan rasa
keadilan. Namun amanah terakhir oleh pewaris itu terjadi
akibat adanya paksaan atau tipu muslihat dari orang lain
142
atau salah seorang anggota keluarga, dan dapat dibuktikan
dalam musyawarah kerabat maka sesuai hukum
kewarisan suku Ihandin pesan atau amanat tersebut dapat
dibatalkan.
c. Penguasaan atas Harta Peninggalan
Penguasaan atas harta peninggalan terjadi manakala
warisan tidak dibagi-bagi, karena harta warisan itu
merupakan milik bersama, yang diperuntukan bagi
kepentingan bersama para anggota keluarga pewaris yang
ditinggalkan, ataupun pembagian itu ditangguhkan
disebabkan antara lain: Dalam pembagian tersebut perlu
diperhatikan bahwa janda pewaris demi kelangsungan
hidupnya, ia tetap menguasai sebidang tanah atau dusun
guna pemenuhan kebutuhan hidupnya, bahkan sering
terjadi janda tersebut diurus atau dipelihara, bahkan
tinggal bersama-sama dengan anaknya.
Jika janda sudah tua dan sudah tidak bisa bekerja
lagi, maka harta warisan yang dikuasai oleh janda tersebut
lazimnya diserahkan kepada anak lelaki tertua atau anak
lainnya untuk mengurus dan memelihara. Jika janda
meninggal dunia, pada hal anak-anaknya masih kecil
(dokoko), maka penguasaan atas harta tersebut jatuh
ketangan orang tua pewaris, namun jika tidak ada maka

143
penguasaannya, dapat diserahkan kepada saudara-
saudara pewaris atau keturunannya.
Penangguhan pembagian harta peninggalan
disebabkan pula karena di antara waris ada yang belum
hadir. Menunggu kehadiran semua waris penting guna
mencegah terjadinya perselisihan di kemudian hari. Jika
harta warisan yang ditinggalkan itu merupakan harta
pusaka yakni kabari umum, maka dengan meninggalnya
pewaris, maka harta yang disimpannya perlu diperiksa
oleh kerabat, dalam hal ini tua-tua adat. Selanjutnya tua-
tua adat akan bermusyawarah untuk menentukan siapa
yang akan menyimpan harta kerabat tersebut. Manakala
pewaris meninggal dunia, meninggalkan harta kekayaan
yang belum dibagikan semasa hidup, serta tidak berpesan
atau berwasiat, maka harta peninggalan tersebut perlu
dibagi kepada para waris, kalau memang sifatnya
demikian.
Pada MHA Mbaham-Matta tidak ditetapkan saat
tertentu untuk pembagian harta warisan. Hal ini
disebabkan karena saat pembagian tergantung pada
keadaan para waris, apakah ada yang sudah kawin
(mehewan). Jika ada waris yang telah kawin maka harta
warisan dimungkinkan untuk dibagikan.

144
Manakala para waris menghendaki pembagian harta
peninggalan selekas mungkin, maka yang memimpin
musyawarah dalam pembagian harta warisan tersebut
adalah kepada siapa yang menguasai harta peninggalan
tersebut.
Mereka yang menguasai harta peninggalan tersebut
antara lain :
1) Orang tua yang masih hidup (janda perempuan)
2) 2.Anak tertua laki-laki yang sudah kawin (mehewan)
3) Anggota keluarga yang dipandang bijaksana
4) Kepala Faam atau tua-tua adat.
Mereka tersebut di atas, tidak secara mutlak
menentukan bagian waris atas harta peninggalan. Mereka
hanya memimpin musyawarah untuk mencapai mufakat.
Jadi mereka bertugas menampung menyalurkan dan
menyimpulkan usul pendapat dari para waris tentang
bagaimana sebaiknya harta peninggalan itu dibagi.
Pembagian harta peninggalan dalam masyarakat
suku Ihandin selalu didasarkan atas pertimbangan
mengingat wujud dari harta yang ditinggalkan, maupun
kebutuhan para waris. Besarnya bagian harta peninggalan
yang diterima tidak berdasarkan suatu perhitungan secara
pasti, namun berdasarkan perkiraan saja. Misalnya anak
lelaki tertua mendapat dua bidang tanah, serta tumbuhan
145
yang ada di atasnya. Sedangkan anak lelaki bungsu karena
ia tinggal bersama-sama atau tinggal terlama dengan
pewaris sampai pewaris meninggal, maka selain ia
mendapat sebidang tanah atau dusun, dibagikan pula
rumah pewaris kepadanya.
Dalam pembagian harta warisan, maka perlu
diperhatikan apakah ada hutang-piutang pewaris sewaktu
hidupnya yang perlu dilunasi oleh para waris. Seberapa
besar hutang pewaris harus dilunasi oleh para waris. Bila
perlu oleh para kerabat, akibat adanya rasa kebersamaan
dan sepenanggungan. Namun sering terjadi bahwa para
berpiutang, pada saat ataupun sesudah pewaris
meninggal, menyatakan bahwa piutangnya dibayar
separuh saja, bahkan ada yang membebaskan debitur dari
hutangnya.

D. Hukum Tanah Adat


1. Makna Tanah
Tanah merupakan asset yang strategis yang nilainya
terus melambung dari masa ke masa, karena kebutuhan
masyarakat dan negara akan ketersediaan tanah terus
bertambah, sementara tanah tidak bertambah. Setiap orang
membutuhkan tanah baik ketika hidup, maupun ketika mati
manusia membutuhkan tanah. Bahkan tanah bagi MHA
146
adalah tempat bermukim, tanah tempat memberi mereka
makan, tempat bersemayam roh-roh pelindung persekutuan
beserta arwah leluhurnya, tanah tempat meresap daya-daya
hidup, oleh karenanya tergantung dan adanya pertalianyang
berakar pada alam pikiran yang merupakan suatu hubungan
hukum manusia, MHA dengan tanah82.
Tanah bagi MHA telah dikuasai dengan berbagai
kearifan dalam menjaga memelihara dan mengelolanya secara
turun temurun. Tanah adat dikategorikan menjadi dua jenis
yakni: (1) tanah perseorangan yakni tanah yang dikuasai dan
dimiliki oleh orang-perorang yang diperolehnya antara lain
karena membuka hutan, berkebun secara terus menerus dan
perbuatan hyukum lainnya, dan (2) tanah tanah ulayat adalah
tanah kepunyaan bersama, yang pengelolaannya diatur oleh
yang dituakan, guna menjamin kehidupan bersama keluarga,
dengan berbagai ketentuan sesuai sistem kekerabatan dan
hukum masing-masing MHA.

2. Hak Perseorangan atas Tanah Adat


a. Hak Untuk Membuka Hutan
Hak ini diperuntukan bagi anggota MHA, yang
berkeingiunan membukan tanah, hutan belukar untuk
keperluan berkebun, atau kepentingan lainnya , atas ijin

82 Roberth KR Hammar.2017. Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal. Calpulis

Yogyakarta. Hlm 11
147
kepala persekutuan, dengan pemberian tanda batas atas
bidang tanah tersebut.
b. Hak Wenang Pilih (Voorkeurecht)
Hak wenang pilih adalah hak seseorang atas perbuatannya
maupun kondisi tertentu yang berakibat ia memperoleh
hak. Hak ini ada tiga macam yakni:
1) Adanya tanda-tanda permulaan pemanfaatan tanah.
Seseorang yang melakukan perbuatan pemberian tanda
batas terhadap sebidang tanah yang akan digarap,
dimanfaatkan atas persetujuan kepala MHA. Tanda-
tanda batas tanah tersebut sebagai suatu pertanda
bahwa tanah tersebut akan dimanfaatkan pada saatnya.
Jika waktu yang telah ditentukan tidak memenuhi
kewajiban untuk menggarap tanah tersebut, maka hak
untuk memanfaatkan tanah itu berakhir.
2) Adanya Tanah belukar yang berbatasan.
Pemilik tanah pertanian memiliki hak istimewa untuk
didahulukan untuk menggarap tanah belukar yang
berbatasan dengan tanah pertaniannya. Tanah belukar
tersebut dikenal dengan penamaan: ekor sawah, kepala
tanah, kepala kebun, Hal ini terjadi di daerah Sumatera
Selatan, dan MHA Melayu lainnya.
3) Adanya tanah jerami.
Tanah jerami adalah hak utama dari penggarap tanah,
yang tanahnya menjadi belukar.

148
c. Hak Memungut Hasil (Genotrecht)
Hak memungut hasil berkaitan dengan pemanfaatan tanah
ulayat. Dalam MHA para anggota persekutuan yang ingin
memanfaatkan tanah ulayat untuk kebutuhan hidupnya,
akan diberikan izin oleh kepala persekutuan (Raja, Manir,
Moskur, kepala suku, ondoafi di Papua) untuk menggarap
sebidang tanah tertentu dalam wilayah otoritas MHA yang
bersangkutan. Jika anggota persekutuan mengolah tanah
tersebut untuk beberapa musim, dan kemudian lahan,
kebun tersebut kembali ditumbuhi pohon dan menjadi
hutan, maka sebidang tanah olahan tersebut kembali
menjadi tanah ulayat. Namun jika diolah terus menerus
maka akan berubah status pemanfaatan (hak pakai)
menjadi hak milik. Orang luaran MHA boleh
memanfaatkan tanah tersebut untuk waktu tertentu
dengan kewajiban membayar rekognitie kepada kepala
MHA. Orang luaran yang menggarap sebidang tanah adat
tidak bisa menjadi pemilik tanah tersebut.
Manakala pemanfaatan tanah hanya sementara dan
berpindah ke tanah yang lain (rotasi) dalam jangka waktu
7-10 tahun, yang bersangkutan akan kembali ke tanah
bekas garapannya sepanjang tanda-tanda masih ada.
d. Hak Milik
Anggota MHA dapat mempunyai tanah yang
dikategorikan sebagai tanah hak perseorangan. Lazimnya

149
tanah hak perseorangan itu timbul dari perbuatan
membuka hutan, berkebun, dan menanam tanaman umur
Panjang seperti kelapa, manga, sukun, sagu, kenari dan
lain-lain secara berkelanjutan, sehingga hubungan atas
pemanfaatan hak bersama tadi berubah menjadi hak
perseorangan, dan memiliki hak dan kewajiban
perseorangahn atas bidang tanah tersebut. Selain itu hak
perseorangan diperoleh karena pewarisan, hadiah,
perbuatan hukum lainnya.
e. Hak Wenang Beli (Naastingsrecht)
Hak wenang beli atau hak blengket adalah hak istimewa
(privilege) yang diberikan kepada seseorang untuk
mendapatkan kesempatan utama dari para pembeli lain,
untuk membeli tanah (tanah empang) dengan harga yang
sama. Hal ini terjadi pada Orang Batak Toba 83.
f. Hak Pakai, Hak Gadai dan Hak Sewa
Pada MHA tertentu mengenal hak pakai, terutama hak
mengelola tanah pertanian dan memungut hasil dari tanah
pertanian yang bukan miliknya. Hak pakai ini terjadi atas
ijin penguasa, pemilik tanah baik tanah hak perseorangan
maupun tanah hak ulayat. Di Minangkabau dan Minahasa
ada tradisi tanah pertanian diserahkan penggarapannya
kepada anggota-anggota keluarga tertentu untuk

83 Loc cit
150
dikerjakan84, tentunya sesuai dengan hukum adat
setempat. Sedangkan hak gadai adalah perpindahnya
penguasaan atas sebidang tanah tertentu sesuai waktu
kesepakatan dari pemberi gadai kepada penerima gadai
dengan menerima sejumlah uang secara tunai, dan ketika
pada saatnya pemberi gadai akan menerima kembali
tanahnya dari penerima gadai dengan pengembalian
sejumlah uang yang telah dibayar, sesuai kebiasaan adat
setempat. Kemudian Hak sewa adalah suatu perbuatan
hukum yakni menyerahkan sebidang tanah kepada pihak
lain dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang
(tanah sewa tersebut lazimnya tanah pertanian, namun
sering terjadi sewa tanah untuk membangun rumah dalam
jangka waktu tertentu).
g. Hak Keuntungan Jabatan atau Hak Penghasilan (Tanah
Bengkok)
Hak dari pejabat-pejabat MHA, persekutuan hukum atas
tanah persekutuan yang diberikan kepada pejabat adat
tersebut, sebagai konsekwensi jabatan. Jadi tanah tersebut
digarap untuk kepentingan pejabat adat selama
melaksanakan tugasnya, guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.

84 Rosnidar Sembiring. 2017. Hukum Pertanahan Adat. Rajawali Press. Depok. Hlm.124-
125.
151
3. Pengertian hak ulayat
Cornelis Van Vollenhoven, sebagaimana dikutip oleh
Maria S.W. Sumardjono, merumuskan hak ulayat sebagai hak
yang dimiliki suatu masyarakat hukum adat (suku, desa,
serikat desa) untuk menguasai seluruh tanah seisinya di dalam
lingkungan wilayahnya. Dengan demikian maka subyek dari
hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik yang tunggal
atau persekutuan daerah, tetapi tidak merupakan hak dari
individu, dan juga menurut Roestandi Ardiwilaga merupakan
pula hak dari suatu faamili85.
Maria S.W. Sumardjono86, mendefinisikan hak ulayat
sebagai berikut: “Secara umum, pengertian hak ulayat
utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara
masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan
wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan
kewajiban. Dalam pengertian “tanah dalam lingkungan
wilayahnya”, itu mencakup luas kewenangan masyarakat
hukum adat berkenaan dengan tanah, termasuk segala isinya,
yakni perairan, tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam

85 Maria S.W. Sumardjono. 1982 Op.Cit, hlm. 5


86 Maria S.W. Sumardjono. 2008. Pengaturan tentang Hak Ulayat Masyarakat Adat dalam
Peraturan Perundang-undangan, Makalah, “Seminar Nasional Kebijakan Pertanahan dan
Penataan Ruang di Papua Barat”. Forkoma PMKRI dan Pemda Prov. Papua Barat,
Manokwari, tanggal 14 Januari. Hlm. 3.
152
wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata
pencahariannya. Pemahaman ini penting karena pada
umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya
difokuskan pada hubungan hukum dengan tanahnya saja.
Tanah ulayat merupakan entitas tersendiri, di samping tanah
negara dan tanah hak . Masyarakat Indonesia, menurut Iman
Sudiyat beralam pikiran peran serta integral harmonis ke
dalam kehidupan alam semesta mendambakan suasana
selaras, serasi, seimbang-dinamis di dalam hidup
bermasyarakat. Sebaliknya kepentingan perorangan dinilai
sebagai integral dari kehidupan bersama sebagai suatu
keutuhan. Hal ini terbukti adanya hak milik perorangan atas
tanah, di samping hak ulayat persekutuan hukum87.
Pengertian Hak Ulayat dikemukakan pula oleh Surojo
Wignjodipoero sebagai berikut: ”hak ulayat merupakan
seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adat yang berhubungan dengan tanah, memanfaatkan
tanah, memungut hasil hutan, dan juga berburu hewan di situ”
88. Cornelis Van Vollenhoven mengemukakan pengertian
beschikkingsrecht sebagai berikut:
”Beschikkingsrecht adalah wewenang dari suatu atau lain
persekutuan hukum untuk menguasai tanah dan air

87 M. Syamsuddin. dkk (penyunting). 1998. Hukum Adat dan Modernisasi Hukum. F.H.UII

Yogyakarta, hlm. 34.


88 Surojo Wignjodiporo. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. PT. Toko Gunung

Mulia, Jakarta, hlm. 198.


153
yang tidak diolah atau diolah dalam daerah
kekuasaannya untuk kepentingan warganya atau orang
asing (untuk yang terakhir biasanya dengan suatu
pungutan), hak itu ditarakan dengan pertanggungan
jawab dari persekutuan hukum itu atas apa yang terjadi
di dalam daerahnya” 89.

Berkenaan dengan Hak Pertuanan (beschikkingsrecht) Ter


Haar90 mengemukakan bahwa:
”Masyarakat dusun (dorpsgemeenschap) dan masyarakat
wilayah (streekgemeenschap) berhak atas tanah,
mempunyai hak tertentu atas tanah, dan melakukan hak
itu, baik ke luar maupun ke dalam. Berdasarkan atas
berlakunya keluar, maka gerombolan itu sebagai
kesatuan berkuasa memungut hasil dari tanah itu
dengan menolak lain-lain orang berbuat sedemikian itu,
pula sebagai kesatuan ia bertanggung jawab terhadap
orang-orang luaran masyarakat atas perbuatan-
perbuatan pelanggaran (delikten) di bumi masyarakat
situ yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang tak
dapat diketemukan. Berdasarkan atas berlakunya hak ke
dalam maka masyarakat itu mengatur pemungutan hasil
oleh anggota-anggotanya, yang berdasarkan atas hak
daripada masyarakat itu bersama, dan agar masing-
masing anggota mendapat bagiannya yang sah, maka
masyarakat itu juga berhadapan dengan anggota-
anggotanya, dengan jalan membatasi tuntutan-tuntutan
dan hak-hak perseorangan (untuk kepentingan
masyarakat) dan dengan jalan melepaskan tanah-tanah
yang langsung diperuntukan kepentingan-kepentingan

89 M.G. Ohorella. 1993. Hukum Adat Mengenai Tanah dan Air di Pulau Ambon dan

Sumbangannya Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional (UUPA) dan Undang-Undang


Lainnya. Disertasi PPS Universitas Hasanuddin Makassar, hlm 172
90 Ter Haar dan B. Poespanoto 1983. Op.Cit, hlm. 71.

154
masyarakat-masyarakat dari usaha-usaha perseorangan
yang memungut hasilnya untuk diri sendiri”.

Hak ulayat atau hak patuanan (beschikkingsrecht)


meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum, baik yang sudah dihaki oleh seseorang
maupun yang belum. Menurut Boedi Harsono dalam
lingkungan hak ulayat tidak ada tanah res nullius.91
Hak ulayat diakui keberadaannya sepanjang
kenyataannya masih ada. Hal ini diketahui dari kegiatan
sehari-hari kepala adat dan para tetua adat sebagai
pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan
memimpin penggunaan tanah ulayat yang menurut Van Dijk
memiliki kekuatan berlaku ke luar dan ke dalam 92. Berkenaan
dengan hak ulayat, Gautama 93 menyatakan bahwa di samping
diakui, pelaksanaan hak ulayat dibatasi, dalam arti sedemikian
rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara,
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan di Republik
Indonesia.
Maria S.W. Sumardjono94 mengemukakan bahwa hak
ulayat meliputi seluruh tanah seisinya, berarti meliputi tanah-

91 Boedi Harsono. 2003. Op.Cit, hlm.186.


92 R. Van Dijk dan A. Soehardi. 1979. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Sumur Bandung,
hlm. 56-57
93 Sudargo Gautama. 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Citra Aditya Bakti.

Bandung, hlm. 26.


94 Maria S.W. Sumardjono. 1982. Op.Cit, hlm 5.

155
tanah yang belum diusahakan maupun tanah-tanah yang telah
diusahakan. Dinyatakan pula bahwa mengenai nama untuk
hak ulayat (beschikkingrecht) dalam bahasa Indonesia jarang
atau tidak terdapat. Namun dikenal nama-nama untuk
menyatakan berlakunya beschikkingrecht tersebut (lingkungan
daripada beshikkingrecht, beschikkingskring), 95 misalnya:
a. patuanan di Ambon yang berarti lingkungan kepunyaan
b. panyampeto di Kalimantan, dalam arti daerah penghasil
makanan
c. wewengkon di Jawa, prabumian di Bali, pawatasan di
Kalimantan yang kesemuanya berarti daerah yang
terbatas.
d. Totobuan di Bolaang Mongondow yang berarti tanah yang
terlarang bagi orang lain.
e. Ulayat di Minangkabau yang berarti daerah kekuasaan
wali, pengurus, kepala daerah dan sebagainya.
Hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah
wilayahnya tersebut bukanlah hubungan milik melainkan
hubungan pertuanan sebagaimana disebut oleh Van
Vollenhoven dengan istilah beschikkingsrecht di mana dengan
tegas disebut bahwa masyarakat hukum tidak dapat
memindahtangankan beschikkingsrecht tersebut.

95 Loc. Cit.
156
4. Tanda-tanda adanya hak ulayat
Cornelis Van Vollenhoven96 memberikan 6 (enam) tanda
khusus atas keberadaan hak ulayat, yakni:
a. Hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta warga-
warganya dapat dengan bebas mempergunakan tanah liar
yang terletak dalam wilayahnya.
b. orang asing (luar masyarakat hukum) hanya boleh
mempergunakan tanah itu dengan izin, penggunaannya
tanpa izin dipandang sebagai suatu delik.
c. untuk penggunaan tanah tersebut kadang-kadang bagi
warga masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang
luar masyarakat hukum selalu dipungut recognisi.
d. Masyarakat adat bertanggung jawab terhadap delik-delik
tertentu yang terjadi dalam wilayahnya, delik mana tidak
dapat dituntut pelakunya.
e. Masyarakat adat tidak dapat melepaskan hak ulayat,
memindahtangankannya ataupun mengasingkannya
secara menetap.
f. Masyarakat adat masih mempunyai campur tangan
(intensif atau kurang instensif) terhadap tanah-tanah yang
sudah diolah.

96 Ibid, hlm. 6-7.


157
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
pada intinya mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum
adat, dan dipandang perlu dapat didaftarkan. Kriteria penentu
terdiri dari tiga unsur yakni (1) adanya masyarakat hukum
adat tertentu, (2) adanya hak ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup
masyarakat hukum adat itu, dan (3) adanya tatanan hukum
adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum
adat. Penentuan tentang keberadaan hak ulayat dilakukan
oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan
masyarakat hukum adat yang ada di daerah tersebut, pakar
hukum adat, LSM, dan instansi yang terkait dengan
sumberdaya alam97.

5. Hak ulayat berlaku ke dalam dan ke luar


Maria S.W. Sumardjono98 mengemukakan bahwa
masyarakat hukum mempunyai kekuasaan atas tanah dalam
wilayahnya, baik yang sudah diusahakan maupun belum. Hak
tersebut mempunyai kekuatan berlaku ke dalam ialah
terhadap sesama anggota masyarakat hukum yang diatur

97 Maria S.W. Sumardjono. 2005. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi.

Kompas, Jakarta, hlm. 68.


98 Maria S.W. Sumardjono. 1982. Op.Cit, hlm. 7.

158
sedemikian rupa sehingga setiap orang, menerima bagiannya
dari hasil yang diperoleh berdasarkan hak masyarakat hukum
adat tadi, membatasi hak-hak seseorang dan mengambil tanah
tertentu bagi kepentingan umum. Misalnya seorang warga
masyarakat hukum mempunyai hak untuk berburu atau
mengumpulkan hasil hutan guna keperluan sendiri beserta
keluarganya. Dengan prosedur tertentu ia dapat memperoleh
hak membuka tanah yang kemudian apabila dikerjakannya
secara terus menerus dapat menjadi miliknya, hak mana
sifatnya tidak terbatas melainkan dikenal pula pembatasan-
pembatasan dari masyarakat hukum. Apabila tanah miliknya
tidak dikerjakan sebagaimana mestinya sehingga kembali
menjadi semak belukar (Kei: ibut kait) maka hak atas tanah tadi
dapat hilang dan tanah tersebut boleh diusahakan oleh
anggota masyarakat lainnya.
Hak ulayat berlaku ke dalam ini, juga mengandung
konsekwensi bahwa apabila warga persekutuan meninggal
dunia, tanpa meninggalkan ahli waris dan pengaturannya,
maka masyarakat hukumnya yang menjadi ahli warisnya.
Sedangkan untuk kepentingan umum dapat dicadangkan
bagian-bagian tanah tertentu di wilayahnya untuk tempat
kediaman umum, makam, pengembalaan umum, jalan-jalan,
tanah jabatan, dan hutan cadangan99.

99 Maria S.W. Sumardjono. Loc.Cit.


159
Muhammad Isa100, mengemukakan bahwa fungsi
kegiatan-kegiatan atau aktifitas hak ulayat atas tanah tampak
pada fungsi ke dalam yakni:
a. Anggota-anggota persekutuan hukum mempunyai hak-
hak tertentu atas objek hak ulayat yaitu:
1) Hak atas tanah: hak membuka tanah, hak memungut
hasil, mendirikan tempat tinggal, hak menggembala.
2) Hak atas air: memakai air, menangkap ikan dan lain-
lain.
3) Hak atas hutan: hak berburu, hak-hak mengambil hasil
hutan dan sebagainya.
b. Kembalinya hak ulayat atas tanah-tanah dalam hal
pemiliknya pergi tak tentu rimbanya, meninggal tanpa
waris atau tanda-tanda membuka tanah telah punah.
1) Persekutuan menyediakan tanah untuk keperluan
persekutuan, umpamanya tanah pekuburan, tanah
jabatan dan sebagainya.
2) Bantuan kepada persekutuan hukum dalam hal
transaksi-transaksi tanah dalam hal ini dapat
dikatakan kepala persekutuan dapat bertindak sebagai
pengatur.

100 Muhammad Isa. 1985. Kecenderungan Pengaruh Pensertifikatan Tanah Terhadap

Pelestarian Tanah Adat (di Minangkabau) dalam Sayuti Thalib (Penyunting) Hubungan
Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Jakarta, hlm. 23-24.
160
Berkenaan dengan berlakunya ke dalam Boedi
Harsono101 mengemukakan, bahwa kewajiban yang utama
penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah
memelihara kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat
hukumnya, mencegah terjadinya perselisihan dalam
penggunaan tanah dan kalau terjadi persengketaan ia wajib
menyelesaikannya. Berdasarkan hal tersebut, maka pada
asasnya penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan
atau mengalihkan seluruh atau sebagian tanah wilayah
kepada siapapun. Kata pada asasnya artinya ketentuan itu ada
pengecualiannya.
Para anggota masyarakat hukum adat mempunyai
keleluasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah yang
termasuk dalam lingkungan wilayah masyarakat hukumnya.
Agar tidak terjadi bentrokan atau perselisihan di antara
anggota masyarakat, maka sebelum membuka tanah ia harus
memberitahukannya bahwa kepada penguasa adat.
Pemberitahuan itu bukan bersifat permintaan izin untuk
membuka tanah. Untuk membuka tanah, tidak diharuskan
membayar sesuatu. Inilah yang dimaksud dengan kekuatan
berlaku ke dalam terhadap hak ulayat. 102

101 Boedi Harsono. 1994. Op.Cit, hlm. 162.


102 Ibid, hlm. 163.
161
Maria S.W. Sumardjono103, mengemukakan bahwa
kekuatan berlaku ke luar dari hak ulayat bermakna bahwa
masyarakat hukum berhadapan dengan orang-orang luar di
mana orang-orang tersebut dilarang menggunakan tanah
dalam wilayahnya dan warga persekutuan sebagai suatu
kesatuan bertanggung jawab terhadap kejahatan yang
dilakukan di wilayahnya bila si pelaku kejahatan tidak
dikenal. Bagi orang luar diperbolehkan memungut hasil dari
lingkungan hak ulayat suatu masyarakat hukum dengan cara
minta izin, setelah itu membayar recognisi dan retribusi. Hak
pakai yang dapat dinikmati hanyalah selama satu kali
panenan, orang luar juga tidak diperkenankan membeli atau
pun mewaris tanh-tanah pertanian tersebut.
Fungsi ke luar menurut Muhammad Isa104, tampak pada
penjelmaannya antara lain:
1) Melarang untuk membeli atau menerima gadai tanah
(terutama dimana hak ulayat itu masih kuat).
2) Untuk mendapat hak memungut hasi atas tanah
memerlukan izin serta membayar ”recoqnitie” atau
retribusi.
3) Tanggung jawab persekutuan atas reaksi adat, dalam hal
terjadinya suatu delik dalam wilayahnya yang

103 Maria S.W. Sumardjono. 1982. Op.Cit, hlm. 7.


104 Muhammad Isa. Op.Cit, hlm. 23-24.
162
sipembuatnya tidak diketahui. Dalam hal fungsi keluar ini,
kepala persekutuan bertindak mewakili persekutuan itu”.
Boedi Harsono105, menguraikan kekuatan berlaku ke
luar hak ulayat yakni hak ulayat dipertahankan dan
dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Orang asing atau bukan anggota
masyarakat yang bermaksud untuk mengambil hasil hutan
atau membuka tanah harus seizin penguasa adat. Untuk itu ia
wajib memberi kepadanya barang sesuatu, yang disebut
pengisi adat. Berdasarkan izin itu barulah ia dapat membuka
tanah untuk berladang atau berkebun dengan hanya
menanam tanaman berjangka pendek, sebab orang asing
hanya boleh menguasai atau mengerjakan tanah yang
dibukanya selama satu panen saja. Orang asing tidak boleh
(tidak dapat) mempunyai tanah dengan hak milik, karena itu
ia diberikan dengan hak pakai.

6. Obyek dan sifat istimewa hak ulayat


Hak ulayat berlaku terhadap wilayah meliputi; tanah,
perairan, hutan, tanaman-tanaman dan hewan. Terhadap
tanah yang telah diusahakan pengaruh dari hak ulayat tidak
sama. Maria S.W. Sumardjono106, mengemukakan bahwa

105 Boedi Harsono. Op.Cit, hlm. 165.


106 Maria S.W. Sumardjono. 1982. Op.Cit, hlm. 8-9.
163
dipelbagai daerah terdapat 3 (tiga) tingkat perbedaan sebagai
berikut:
a. Hak ulayat yang menjadi kuat karena tidak ada
pemiliknya lagi dan jatuh kepada masyarakat hukum di
mana masyarakat hukum kemudian menyerahkannya
kepada seorang anggota masyarakat hukum lainnya, akan
tetapi pemilik baru ini terikat kepada aturan-aturan
masyarakat hukum dalam arti ia tidak boleh memindah
tangankan hak atas tanah tersebut dan setiap kali bila ia
lalai mengerjakannya tanah dapat diambil kembali
(kempitan, los, playangan).
b. Hak ulayat yang kuat berlakunya terhadap tanah yang
merupakan milik inti penduduk selama ada anak laki-laki
dan pemilik yang terus-menerus mengusahakan tanah
tersebut; masyarakat hukum tak dapat mengizinkan
perubahan-perubahan terhadap milik inti tersebut, tidak
boleh diwariskan secara menyimpang dari aturan
masyarakat hukum tersebut (sawah pekoelen, gogolan, di
jawa).
c. Di samping tanah milik inti tadi didapat tanah pertanian
yang hak ulayatnya sudah menipis, campur tangan
masyarakat hukum sedikit sekali, pemilik dapat dengan
bebas menjual tanahnya (sawah yasan di Jawa)”.

164
Perairan yang dikuasai hak ulayat ialah sungai dan jalur
laut sepanjang pantai, atau menurut hukum adat Ambon lease
disebut labuhan, dan juga meti atau metiin di kepulauan Kei,
sedangkan wilayah hutan yang dikuasai hak ulayat ialah hasil
hutan dan hewan-hewan yang hidup liar dan berada di hutan.
Pelaksanaan hak ulayat, hak-hak perseorangan dapat
dibatasi bagi kepentingan masyarakat hukum. Menurut Maria
S.W. Sumardjono107, di sinilah letak keistimewaan hak ulayat
itu, yakni adanya hubungan yang timbal balik antara hak
ulayat dengan hak perseorangan.
Hak ulayat meliputi pula hak-hak perseorangan atas
tanah, penggarapan tanah secara intensif akan menimbulkan
hak yang kuat antara si penggarap dengan tanah dan oleh
karenanya hak ulayat menjadi lemah. Namun apabila tanah
garapan ditinggalkan oleh yang bersangkutan dan tidak
dipelihara lagi maka hak ulayat menjadi kuat kembali.
Kendatipun warga persekutuan menggarap tanahnya secara
intensif namun hak ulayat dapat menjadi kuat kembali,
misalnya penggarap berkelakuan sangat buruk, meninggal
dunia atau meninggalkan daerah tempat tinggalnya. Hak
tersebut kembali kepada masyarakat hukum dan masyarakat

107 Maria S.W. Sumardjono. Op.Cit, hlm 9.


165
hukum dapat menetukan untuk memberikan hak atas tanah
tersebut kepada seorang penggarap baru.
Bushar Muhammad108 mengemukakan ruang lingkup
atau obyek hak ulayat sebagai berikut:
a. Tanah (daratan).
b. Air (perairan seperti misalnya: kali, danau, pantai beserta
perairannya).
c. Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara liar (pohon,
buah-buahan, pohon yang dapat diambil kayunya untuk
pertukangan dan kayu bakar, dan sebagainya)
d. Binatang liar yang hidup bebas dalam hutan.

7. Hubungan hak ulayat dengan hak perseorangan


Dalam masyarakat hukum adat, selain hak ulayat ada
pula hak perseorangan. Hak perseorangan ini bersumber dari
hak ulayat. Antara hak ulayat dan hak perseoraangan selalu
ada pengaruh timbal balik. Makin sering usaha yang
dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, makin eratlah
hubungan dengan tanah dan makin kuat pula haknya atas
tanah tersebut.
Maria S.W. Sumardjono mengemukakan bahwa:
”Seorang anggota masyarakat hukum dapat
mempunyai hak untuk membuka tanah, hak mana tak
dapat dipunyai oleh bukan anggota masyarakat hukum

108 Bushar Muhammad. 1995. Op.Cit, hlm 105.


166
tersebut. Cara menimbulkan hubungan hukum dengan
tanahnya ialah dengan jalan memilih sebidang tanah
tertentu dan dengan sepengetahuan kepala masyarakat
hukum membuat tanda larangan disertai upacara
sekadarnya. Bilamana setelah yang bersangkutan tidak
menunjukkan sesuatu usaha yang nyata untuk
mengolah tanah tersebut, maka anggota masyarakat
hukum lain dapat menuntut dan menyuruh yang
bersangkutan memilih untuk mengerjakan tanah
tersebut atau menyerahkannya kepada orang lain. Bila
yang bersangkutan memilih mengerjakan tanahnya,
maka ia mempunyai hak memmungut hasil dari
tanahnya. Akan tetapi bila setelah itu tanah tersebut
ditinggalkan dan menjadi belukar kembali, maka tanah
tersebut dikuasai lagi sepenuhnya oleh hak ulayat. Jika
terhadap bidang tanah tadi dikerjakannya secara terus
menerus dengan tanaman-tanaman yang berumur lama,
maka hak atas tanah tersebut menjadi hak milik. Bila
bidang tanah menjadi sempit maka diperlukan izin
membuka tanah, sifat daripada izin ini tidak sama
dengan izin yang selalu diperlukan oleh orang luar
masyarakat hukum sebab izin tadi hanya bersifat hak
pengawasan dari masyarakat hukum”109

Sejalan dengan hak-hak perseorangan kaitannya dengan


kepentingan masyarakat, menarik disimak konsepsi hukum
adat Makassar sebagaimana dikemukakan oleh Kaimuddin
Salle110 sebagai berikut:
”Konsepsi hak milik bagi orang Makassar disimpulkan
bahwa jabatan raja adalah amanah rakyat, sehingga

109Maria S.W. Sumardjono. 1982. Op.Cit, hlm. 10.


110Kaimuddin Salle. 1999. Kearifan Lingkungan menurut Pasang (Sebuah Kajian Hukum
Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II
Bulukumba. Disertasi PPS Universitas Hasanuddin Makassar, hlm. 10.
167
rakyat bergantung pada raja, bahkan menjadi abdi, abdi
kepada raja, tidak termasuk atas hak milik yang
dipunyai oleh rakyat. Kalau raja akan membeli hak milik
rakyat maka ia wajib memberikan ganti rugi yang wajar
atau menggantinya dengan barang pengganti yang
sesuai dengan nilainya. Rakyat akan memberi
permintaan sesuatu secara wajar sepanjang tidak
berdasarkan kesewenangan”.

8. Hak Ulayat Dalam UUPA


Pada tanggal 24 September 1960, lahirlah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, Lembaran Negara 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043, yang dikenal dengan sebutan
Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA, maka
terjadilah perubahan secara fundamental pada Hukum
Agraria di Indonesia, terutama di bidang hukum pertanahan.
Perubahan yang terjadi baik mengenai konsepsi yang
mendasarinya, maupun isinya, sebagaimana terungkap pada
konsiderans ”berpendapat huruf (a) yang menyatakan bahwa
perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas
hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada agama”. Juga
dalam konsiderans ”berpendapat huruf (b), bahwa hukum
agraria nasional harus memberi kemungkinan akan

168
tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang
dimaksud di atas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria”.
Pengakuan hukum adat sebagai dasar hukum agraria
nasional, secara tegas dinyatakan atau dirumuskan di dalam
Pasal 3 dan 5 UUPA. Dalam Pasal 3 yang berbunyi sebagai
berikut: ”dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal
1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi”.
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada agama (Pasal 5 UUPA).

169
Boedi Harsono111 mengemukakan bahwa: pengakuan
hak ulayat oleh UUPA berkenaan dengan eksistensi dan
pelaksanaannya. Dari segi eksistensinya hak ulayat itu diakui
sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Di daerah-
daerah yang hak ulayatnya sudah tidak ada lagi, maka hak
ulayat itu tidak akan dihidupkan kembali, dan daerah-daerah
yang hak ulayatnya tidak pernah ada, tidak akan diberikan
hak ulayat baru, sedangkan dari segi pelaksanaannya, maka
pelaksanaan hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara dan dengan undang-undang
serta peraturan perundangan lain yang lebih tinggi.
A.P.Parlindungan mengemukakan, sebagai berikut:
Seyogyanya dapat diterima hukum adat seperti yang
dikatakan oleh Boedi Harsono, “hukum adat yang disaneer”
atau oleh Sudargo Gautama disebutkannya sebagai hukum
adat yang “diretool” setidak-tidaknya seperti yang disinggung
adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang
khusus daerah dan diberi sifat nasional112.
Lebih lanjut A.P. Parlindungan mengemukakan bahwa:
hukum adat menurut versi UUPA, bukanlah hukum adat
sebagaimana yang digambarkan olah Van Vollenhoven, akan

111Boedi Harsono. 1994. Op.Cit, hlm. 166.


112A.P. Parlindungan. 1991. Komentar Atas Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 24
Tahun 1992). Mandar Maju, Jakarta, hlm. 52.
170
tetapi hukum adat yang telah disesuaikan dengan filosofi,
pengertian-pengertian dan pranata-pranata yang ada
kesamaannya di seluruh Indonesia dan kemudian berlakunya
hukum adat itu secara nasional 113.
Dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa:
”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional”.
Dalam Memori Penjelasan UUPA telah ditegaskan pula,
bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan
ruang angkasa adalah semacam hubungan hak ulayat
(beschikkingsrecht) yang diangkat pada tingkat paling
atas/tinggi yaitu pada tingkat yang mengenai seluruh wilayah
negara. Kepetingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk
pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan
luas. Dengan demikian maka tidak dapat dibenarkan jika di
dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum

113 Ibid, hlm. 93.


171
masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara
mutlak.
Pengakuan hak-hak adat atas tanah oleh UUPA menurut
Lev114 bahwa para perancang UUPA mengatakan undang-
undang karya mereka itu didasarkan pada hukum adat, tetapi
nyatanya UUPA banyak melakukan langkah-langkah besar ke
arah penghapusan hak-hak milik adat. Alasannya semua tanah
itu harus tunduk pada tuntutan kepentingan nasional dan
tujuan persatuan nasional, sekalipun masih mengizinkan
beberapa kebijaksanaan administrartif sesuai dengan hukum
adat setempat. UUPA ini jelas sekali mengingkari hak-hak adat
yang khas. Maksudnya untuk menciptakan suatu hukum
tanah yang umum bagi seluruh negara.

114 Abdurrahman. 1994. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan Agraria

Indonesia. Akademika Pussindo, Jakarta, hlm. 76.


172
BAB 6
HUKUM ADAT DELIK

A. Pengertian Delik Adat


Dalam literatur hukum adat, belum ada kesamaan
dalam formulasi istilah yang dipakai untuk pelanggaran dan
pengenaan sanksi dalam hukum adat. Istilah tersebut sebagai
berikut: Hukum Adat Delik (adatdelicten recht); Hukum Pidana
Adat; Hukum Pelanggaran Adat.
Hukum Adat Delik adalah keseluruhan aturan-aturan
hukum adat yang mengatur perbuatan-perbuatan yang tidak
sesuai dengan norma hukum adat, dan menimbulkan reaksi
dari masyarakat, yang mengakibatkan terganggunya
keseimbangan kosmis baik bersifa material atau immaterial,
sehingga perlu diselesaikan guna mengembalikan
keseimbangan hidup yang terganggu.
Menurut Ter Haar, Delik adat adalah setiap gangguan
darisuatu pihak terhadap keseimbangan, di mana setiap
pelanggaran itu dari suatupihak atau dari sekelompok orang
berwujud atau tidak berwujud, berakibat menimbulkan reaksi,
maka keseimbangan harus dipulihkan dengan pembayaran
uang atau barang. Sedangkan menurut Cornelis van
Vollenhouven Delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh

173
dilakukan, walaupun kenyataannya perbuatan itu hanya
“sumbang” (kesalahan) kecil saja. Soerojo Wignyodipoero
menytakan bahwa delik adat suatu perbuatan menyalahi
aturan yang berkaitan dengan perasaan keadilan maupun
perasaan akan ketaatan atau kepatuhan yang ada dalam
kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan
terganggunya ketentraman, kenyamanan maupun
keseimbangan masyarakat dan dengan adanya reaksi adat
tersebut diharapkan dapat memulihkan kondisi yang
terguncang menuju keadaan semula.

B. Sifat Hukum Adat Delik


Sifat hukum adat delik115 sebagai berikut?
1. Tradisional magis religieus
Secara turun-temurun dan diwariskan dari generasi ke
generasi berkenaan dengan hal-hal yang baik, sesuai
dengan norma-norma yang diyakini kebenarannya oleh
semua warga MHA, dan segala sesuatu yang dilakukan itu
berhubungan dengan dunia ghaib. Apabila terjadi
pelanggaran seperti berzina, memperkosa dan lain-lain
sebagainya, akan mengganggu keseimbangan dan
kutukan dari penguasa jagat.

115 Hilman Hadikusuma. Opcit. Hlm. 231-238


174
2. Menyeluruh dan menyatukan
Peristiwa delik adat itu bersifat menyeluruh dan
menyatukan dalam arti hukum adat tidak membedakan
antara delik pidana atau perdata, kejahatan atau
pelanggaran, perbuatan kesengajaan atau kelalaian. Semua
itu merupakan rangkaian perbuatan yang menggangu
keseimbangan dan semuanya diselesaikan di hadapat
peradilan.
3. Tidak Prae-Existente
Hukum adat delik tidak mengenal asas legalitas yakni:
“nullum delictim, nulla poena sine praevia lege poenali”
Menurut Hukum adat pelanggaran adat tidak tergantung
pada ada aturan atau tidak ada aturan. Yang menjadi dasar
adalah perbuatan itu menggangu keseimbangan
masyarakat, maka perbuatan itu dapat dihukum.
4. Tidak menyamaratakan
Dalam hukum adat delik senantiasa diperhatikan
timbunya reaksi atau koreksi terhadap perbuatan
terganggunya keseimbangan, siapa dan apa latar belakang
yang melakukan perbuatan tercela tersebut. Misalnya
apabila terjadi perbuatan perzinahan yang dilakukan oleh
anggota MHA biasa, hukumannya pasti lebih ringan dan
perzinahan yang dilakukan oleh seorang pejabat adat, atau
pemuka adat, hukumannya pasti lebih berat. Atau
175
pengrusakan terhadap rumah ibadah, hukumannya lebih
berat dari pengrusakan rumah orang biasa.
5. Terbuka dan lentur
Hukum adat terbuka atas masuknya unsur-unsur baru,
baik dari dalam MHA maupun pengaruh luar MHA.
Hukum adat mampu menyesuaikan diri sebagai hukum
yang hidup, berkembang sesuai dengan kemajuan
peradaban masyarakat (living law).
6. Terjadinya delik adat
Terjadinya delik adat pada saat ada suatu peristiwa atau
perbuatan yang melanggar adat, atau perbuatan
merugikan orang lain, sehingga menimbulkan reaksi dan
koreksi terhadap terganggunya keseimbangan
masyarakat.
7. Delik Aduan
Apabila ada perilaku anggota atau kelompok masyarakat
yang menimbulkan kerugian, dan adanya reaksi dari
masyarakat, maka untuk menyelesaikan pelanggaran adat
tersebut, yang merasa dirugikan atau yang berkompeten
melakukan pengaduan kepada pejabat adat untuk
diselesaikan dalam peradilan adat.
8. Reaksi dan koreksi
Reaksi dan koreksi terhadap pelanggaran adat, delik adat
untuk memulihkan kembali keseimbamngan yang
176
terganggu, dilakukan oleh pejabat adat. Misalnya
peristiwa terjadi ketika berlangsungnya upacara adat.
Sedangkan yang menganggu pribadi atau keluarga
dilaksanakan oleh kepala kerabat atau kepala keluarga,
faam, keret yang bersangkutan. Koreksi atas pelanggaran
adat itu berupa116:
a. Ganti kerugian immaterial
b. Menbayar uang adat
c. Mengadakan Selamatan untuk membersihkan
masyarakat dari kotoran ghaib
d. Permintaan maaaf, penutup malu
e. Berbagai macam hukuman badan
f. Dikucilkan dari komuniutas, kampung.
9. Pertanggungjawaban kesalahan
Pertanggungjawaban atas kesalahan oeleh yang
melakukan pelanggaran, atau keluarga dan kerabatnya.
Karena hukum adat yang dipermasalahkan adalah akibat
perbuatan itu dan siapa yang wajib diminta
pertanggungjawaban.
10. Tempat berlakunya
Tempat berlakunya hukum delik adat terbatas pada
lingkungan MHA yang bersangkutan.

116 Lihat Hilman Hadikusuma. Opcit. Hlm 236


177
C. Jenis Delik Adat
Jenis delik adat beranekaragam, sesuai karakteristik masing-
masing MHA. Secara umum jenis delik adat117 sebagai berikut:
a. Tipe delik yang terberat adalah melakukan tindakan
menggangu perimbangan dunia lahir dan dunia ghaib
serta pelanggaran terhadap susunan masyarakat.
b. Tipe delik pada diri sendiri, delik terhadap kepala adat
bahkan pada seluruh masyarakat sebab mereka
mengganggap kepala desa adalah merupakan jelmaan
masyarakat.
c. Tipe delik yang berkaitan dengan perilaku atau tindakan
atau perbuatan mengenai tenung ataupun sihir.
d. Semua tindakan, perbuatan serta kekuatan, yang
menghalangi atau menghambat, mengganggu batin
masyarakat serta tindakan tersebut bisa mencemarkan
suasana batin masyarakat itu sendiri.
e. Tipe delik yang bisa membuat rusak dasar tatanan atau
susunan masyarakat. Contohnya: perkawinan yang terjadi
dengan saudara sedarah (incest).
f. Tipe delik yang menolak atau menolak akan kepentingan
bersama atau umum di masyarakat serta menentang
dengan keras hal hal yang berkaitan dengan kepentingan

117 Agusta Pinta Kurnia Rizky dan Aris Prio Agus Santoso. 2021.Pengantar Hukum Adat.

Pustaka Baru Press, Yogyakarta. Hlm.137


178
mengenai hukum suatu kelompok ataupun golongan
keluarga atau family.
g. Tipe delik yang menyimpang atau melanggar kehormatan
yang berkaitan dengan keluarga serta hukum seseorang
sebagai suami.
h. Tipe delik mengenai badan seseorang, misalnya melukai.
i. Hilman Hadikusuma118 mengemukakan beberapa macam
delik adat sebagai berikut:
1) Kesalahan menganggu keamanan: perampokan,
pembunuhan, pencurian dan lain-lain.
2) Kesalahan mengganggu ketertiban: (1) kesalahan tata
tertib masyarakat berjudi dan lain-lain; (2) kesalahan
tata tertib pemerintahan.
3) Kesalahan kesopanan dan dan kesusilaan.
4) Kesalahan dalam perjanjian, ingkar janji dan lain-lain.
5) Kesalahan menyangkut tanah, tumbuhan dan hasil
hutan.
6) Kesalahan menyangkut hewan ternak dan perikanan.

D. Objek Delik Adat


Obyek delik adat119 antara lain sebagai berikut:

118 Hilman Hadikusuma. OpCit Hlm.238-239


119 Ibid. Hlm 138
179
1. Merumuskan pedoman berperilaku bagi masyarakat
sehingga mewujudkan integrasi dalam masyarakat.
2. Menetralisir kekuatan dalam masyarakat dan
dimanfaatkan untuk menciptakan ketertiban.
3. Mengatasi konflik menuju pemulihan keseimbangan ke
keadaan semula.
4. Memformulasikan kembali pedoman-pedoman yang
mengatur hubungan antaraa warga masyarakat dan
kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.

E. Cara Penyelesaian Delik Adat


Penyelesaian delik adat lazimnya disesuaikan dengan
perbuatan tercela yang mengganggu keseimbangan tersebut
antara pelaku dan korban. Kalau itu terjadi di kampung,
lingkungan kerja, dapat diselesaikan antara pribadi, keluarga,
tetangga yang bersengketa. Manakala penyelesaian antara
pribadi, keluarga tidak terselesaikan maka, penyelesaian kasus
tersebut dibawa ke kepala kerabat, faam, atau kepala adat.
Namun manakala kasus belum juga diselesaikan guna
mengembalikan keseimbangan, maka kelanjutan diselesaikan
oleh kepala desa. Namun model penyelesaian dalam MHA
sangat tergantung pada kondisi, situasi dan kelaziman yang
ada pada MHA tersebut.

180
F. Delik Adat menurut Hukum Larvul-Ngabal
MHA Kei di Maluku Tenggara, kehidupan adat
istiadatnya bertumpu pada hukum adat yang dikenal dengan
penamaan Larvul Ngabal. Hukum adat MHA Kei ini,
diperkirakan terbentuk, dicetuskan antar tahun 1530 sd.1580
oleh Kasdew anaknya Tebtut dan cucunya Dit Sakmas serta
Jangra dan anaknya Dit Somar yang berasal dari Bali. Hukum
Larvul Ngabal terdiri atas 7 (tujuh) pasal yakni:
1. Pasal 1: Uud entauk na atvunad (Kepala bertumpu pada
tengkuk)
2. Pasal 2: Lelad ain fo mahiling (Leher kita dihormati,
diluhurkan)
3. Pasal 3: Uil nit enwil rumud (Kulit dari tanah membungkus
badan kita)
4. Pasal 4: Lar nakmot na rumud (Darah tertutup dalam tubuh)
5. Pasal 5: Rek fo kilmutun (Perkawinan hendaklah pada
tempatnya agar tetap tetap suci murni)
6. Pasal 6: Morjain fo mahilinh (Tempat untuk perempuan
dihormati, diluhurkan)
7. Pasal 7:Hira I ni fo I ni, it did fo it did (Milik orang tetap milik
mereka, milik kita tetap milik kita.
Tindak lanjut dari hukum Larvul Ngabal, khusus dalam
hal pelanggaran adat yang dinamakan “Sasa Sor Fit”
dikelompokan menjadi tiga bagian yaitu:
181
1. Hukum Nevnev adalah hukum yang mengatur tentang
larangan terhadap tindakan yang tidak sepautnya
terhadap sesama manusia.
2. Hukum Hanilit adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran kesusilaan.
3. Hukum Hawear Balwirin adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran terhadap harta benda, hak milik dan
keadilan sosial.
Sasa Sor Fit terdiri atas tiga kata dalam bahasa Kei: sasa
atau sa artinya salah, kesalahan; Sor artinya artinya
helai,tingkat, lapis; Fit artinya tujuh. Jadi Sasa Sor Fit
artinyatujuh lapis atau tingkatan kesalahan.
Masing-masing hukum, baik Nevnev, Hanilit dan
Hawear Balwirin mengatur pelanggaran terhadap hukum
Larvul Ngabal masing-masing mengandung 7 (tujuh)
rumusan formulasi perilaku yang dilarang, dan merupakan
kesalahan yang mengusik keseimbangan hidup MHA, dan
merupakan kesalahan yang harus dibayar guna memulihkan
keseimbangan alam dan masyarakat. Efrem Silubun120
mengemukakan bahwa:
Ad. 1 Hukum Adat delik yang diatur dalam Hukum Nevnev
(hukum berisi ketentuan-ketentuan yang harus dikenakan
bagi pelanggar Pasal 1 sd. Pasal 4 Larvhul Ngabal) adalah:

120 Efrem Silubun. Opcit. Hlm. 113-120


182
a. Pasal 1 Muur nai- suban tai (Mengatai-ngatai,
menyumpahi orang).
Ada tiga hal yang diatur dalam pasal ini yakni muur,
nai dan suban tai. Kata “muur” membicarakan
kekurangan, kejelekan, kelemahan secara sembunyi-
sembunyi. Kalau “nai” berarti mencaci maki, menghina
orang, merendahkan martabat orang, dilakukan secara
terbuka. Sedangkan “suban” menyumpah seseorang tanpa
alasan baik secara sembunyi-sembunyi atau secara
terbuka. Hukuman bagi pelanggar adalah: “Vhur ngoin ne
tet liman” artinya mengiris mulut dan memotong tangan.
Dikenakan denda “emas tail tel tunan lai (mas vhuil). Tail
adalah besaran ukuran yang dikenakan pada harta adat
Kei yang terdiri atas emas, gong, dan Meriam kuno.
Ukuran tail ini dihitung dari satu sampai sepuluh. Untuk
Meriam kuno ada empat jenis yaitu: bees, said-said, beku
dan kasber. Ukuran tail hanya dikenakan pada said-said
(ukuran kecil).
b. Pasal 2 Hebang haung (Rencana jahat, niat jahat untuk
mencelakai orang lain). Apabila rencana jahat ini kenudian
tidak dilaksanakan karena ketahuan, maka akan
dilaporkan ke pejabat adat dan dikenakan denda tiga tail
mas disebut “ ihin vhahan” emas murni. Namun rencana

183
nya terealisasi maka akan dikenakan hukum dalam pasal
yang lain.
c. Pasal 3 Rasung smu-rodang daid (Mencelakakan dengan
ilmu hitam, tenung, sihir). Pasal ini sulit dibuktikan,
kecuali tertangkap tangan atau pengakuan dari si penyihir.
Manakala ketahuan dan korban masih hidup, maka pelaku
menarik kembali semua ilmu sihirnya dan membayar
denda sebagaimana pasal 1: Vhur ngoin ne tet liman.
Sedangkan apabila korban telah meninggak maka si
pelaku dikenakan hukuman “fnuvh” yakni
ditenggelamkan atau dikuburkan secara hidu-hidup,
namun disetarakan dengan membayar denda saja.
Bilamana pelaku tindak pelanggaran tidak diketahui
maka, ada keyakinan bahwa pelaku akan menerima
hukuman Kavhunin sesuai dengan perbuatannya.
d. Pasal 4 Kef ovh bangil (Memukul, membenturkan,
meninju).
Pasal ini melarang semua tindakan menyakiti raga
orang lain. Hukumannya adalah: “he luun” (penyeka air
mata) terbagi dalam tiga bagian:
1) Apabila pemukulan dilakukan oleh yan vhat terhadap
mangohoi, maka yang memukul dikenakan denda
membayar satu emas tanpa ditentukan ukurannya
yakni mas “ihin vhahan (mas vhuil)”
184
2) Apabila pemukulan dilakukan oleh mangohoi
terhadap yan vhat, maka yang memukul akan
dikenakan denda membayar sekurang-kurangnya satu
pasang pakaian.
3) Manakala pemukulan dilakukan terhadap orang yang
tidak memiliki hubungan apaun dengan yang
memukul, maka yang bersangkutan akan dikenakan
denda membayar satu emas “mas ihin vhahan (mas
vhuil)” tanpa ditentukan ukuran.
e. Pasal 5 Tevh hai sung tavhat (Melempar, menikam,
menusuk).
Tindakan melempar, menikam, menusuk mengakibatkan
luka pada seseorang, dikenakan hukuman “envhis il
mangaan” (membungkus atau menutupi kembali luka dan
bekasnya). Denda yang harus dibayar emas murni sebesar
lima tail.
f. Pasal 6 Fedan na tet vhanga (Menghilangkan nyawa orang,
membunuh, memancung, memotong).
Menghilangkan nyawa orang lain dengan cara memotong
atau memancung, dikenakan hukuman”fnuvh”
g. Pasal 7 Tivak luduk fo vavain (Menguburkan,
menenggelamkan hidup-hidup).
Menghilangkan nyawa orang dengan cara menguburkan
menenggelamkan hidup-hidup amat dilarang. Hukuma
185
bagi pelaku adalah dikubur hidup-hidup, atau
ditenggelamkan hidup-hidup. Apabila sipelaku atau
orang lain tidak ada yang menebus.

Ad. 2 Hukum Adat Delik yang diatur dalam Hukum Hanilit


(hukum berisi ketentuan-ketentuan yang harus dikenakan
bagi pelanggar Pasal 5 dan Pasal 6 Larvhul Ngabal) adalah:
a. Pasal 1 Sis aif, svar sbuuk (Memanggil perempuan dengan
melambaikan tangan, mendesisi, bersiul).
Memanggil perempuan dengan cara melambaikan tangan,
mendesisi ataupun bersiul, merupakan perbuatan yang
dilarang, karena menggoda perempuan. Hukuman bagi
pelanggar adalah “teng tail (mas ngiar)” yakni satu mas
tanpa ditentukan ukuran, jenis dan mutunya).
b. Pasal 2 Kufuk matko (Bermain mata)
Bermain mata dengan seorang perempuan akan dikenakan
hukuman yang disebut “fufu kemin” (satu emas
murni,mas vhuil) tanpa ditentukan ukuran dan jenisnya.
c. Pasal 3 Kis kafir, temar u mur (Mencubit, mengorek,
menyenggol dengan bagian muka, atau belakang busur
panah).
Dilarang menyentuh tubuh perempuan baik secara
langsung dengan tangan, kaki atau bagian tubuh lainnya,
atau dengan alat tertentu sebagai busur panah. Hukuman

186
dinamakan “ihin vhahan” (tiga tail emas murni). Ihin
vhahan adalah emas murni berkadar karat terendah.
d. Pasal 4 En a lebak, en humak vhoan (Meraih, memeluk,
mencium).
Perilaku meraih, memeluk, mencium ini di larang
ditempat umum. Hukuman bagi pelanggar adalah
setingkat “Ihin vhahan tunan lai (mas vhuil), tiga tail emas
yang kadarnya lebih tinggi dari ihin vhahan).
e. Pasal 5 Envhail sir beraung, en kom lavhur (Membuka
pakaian dan memperkosa)
Membuka pakaian secara paksa dan memperkosa.
Menurut hukum adat Kei membuka pakaian wanita secara
paksa, dianggap telah memperkosa. Ada juga makna dari
“envhail sir beraung” juga bermakna telah terjadi
persetubuhan secara suka sama suka, maka dua-duanya
mendapat hukuman tambahan apabila salah satu atau
keduanya telah berumah tangga. Orang yang melanggar
dikenakan hukuman “met masuhun” (kesedihan
bercampur malu akibat aib) adalah:
1) Ravhit Sbo waan (satu pasang kain kebaya) untuk
mengembalikan dan memakaikan kembali pakaian
perempuan.
2) Mas ihin vhahan Tunan Lai waan foe n vhail vhaut ne en tet
ai waar (Satu emas kadar Ihin Vhahan Tunan Lai untuk
187
membalik batu dan memutuskan akar pohon). Emas
ini ditentukan ukurannya sebesar lima tail. Makna
membalik batu dan memutuskan akar pohon adalah
menutupi kembali aib yang telah dibuat dengan batu
dan perbuatan tidak terulang lagi disimbolkan dengan
terputusnya akar pohon.
3) Berun el ru fo beteniak (satu rangkaian manik-manik
kuno seukuran dua kali siku orang dewasa) untuk
mengikat kembali kain sarungnya yang telah terlepas.
4) Lavhur laur il rek atau felo il rek yang diberikan kepada
salah satu yang telah bersuami atau beristeri, atau dua-
duanya apabila masing-masing dari mereka atau salah
satunya telah berumah tangga. Lavhur laur il rek atau felo
il rek juga bermakna memulihkan kembali keutuhan
dan kemuliaan rumah tangga yang tercemar akibat
perbuatan tersebut, dan felo il rek bermakna
menegakkan kembali pembatas (rek) yang telah rusak
dan hampir runtuh akibat perbuatan tercela tersebut.
Manakala salah satu belum berumah tangga akan
membayar satu emas. Dan Manakala dua-duanya telah
berumah tangga, maka harus membayar satu emas
kepada isteri dan suami dari pasangan selingkuhan.
f. Pasal 6 Envhel evh yan (Hamil diluar nikah).
Hamil di luar nikah dapat terjadi karena:
188
1) Perkosaaan
2) Hubungan cinta pra nikah.
Hukuman terhadap laki-laki adalah hukuman “meet
masuhun” ditambah demgan satu Meriam kuno yang
disebut “yauf naang matan” (percikan api pada mulut
Meriam: bermakna perbuatan menghamili tersebut dapat
menimbulkan perang dan kematian. Meriamnya
bermakna pengganti ayah dari anak hamil pra nikah.
g. Pasal 7 Ftu fboir atau fwer (kawin lari).
Kawin lari sanksi adatnya sebagai berikut:
1) Mas tub luvh
(Satu mas tanpa ditetapkan ukuran dan kadar
mutunya yang diletakan pada tempat tidur
perempuan). Penggunaan emas sebagi pemberitahuan
kepada keluarga perempuan bahwa anak perempuan
dilarikan oleh seorang lai-laki untuk dinikahan.
2) Melaan
(uang atau emas yang diberikan kepada keluarga
perempuan yang telah bersusah payah mencari
perempuan). Besar uang atau emas disesuaikan
dengan jumlah orang yanhg mencariperempuan
tersebut.
3) Melmoil laar mavh
Penyelesaian sanki dilaksanakan apabila terjadi
pelanggaran tersebut, perempuan sementara menjaga
189
moil (tali jiwa=sesuatu yang penting dan rahasia) dari
seorang saudara laki-lakinya yang sedang merantau
terganggu, sehingga harus dipulihkan dengan satu
emas.
4) De (satu emas yang harus diberikan kepada Soa atau
Orang Kay tempat perempuan berasal, apabila
perempuan menikah di luar kampung (ohoi) atau desa
(utan) asalnya. Apabila perempuan menikah di
kampung sendiri maka “de” tidak dibuat.
Ada tiga121 pelanggaran dalam hukum hanilit ini,
namun beratnya hukuman maka penyelesaiannya
dimasukan dalam hukum Nev-nev yakni:
a) Rehe wat tee (merampas isteri orang lain)
b) Itwail ngutun-enan, itlawur umat hoan (membuka
keluar penutup di atas dan bawah, merusak isteri
orang lain).
c) Dos sa te’en yanat te urwair tunan (Kejahatan
persetubuhan sedara/sekandung).

Ad. 3 Hukum Adat Delik yang diatur dalam Hukum


Hawear Balwirin (hukum berisi ketentuan-ketentuan yang
harus dikenakan bagi pelanggar Pasal 7 Larvhul Ngabal)
adalah:

121 Efrem Silubun. Opcit. Hlm. 127-128


190
a. Pasal 1 Faryatad sa (Menginginkan barang orang lain
secara tidak sah).
Faryatad terdiri dari: far artinya membawa, yatad artinya
organ hati, sa atau sasa artinya salah. Sikap yang egois
yang merampas, mengambil barang yang bukan miliknya.
Hukumannya mengembalikan barang tersebut kepada
pemiliknya yang sah.
b. Pasal 2 Etkulik fanaub te it fetub afa bor-bor (Memungut
dan atau menyimpan barang curian).
Memungut dan menyimpan barang curian, dihukum
untuk mengembalikan barang curian secara utuh kepada
pemiliknya. Apabila sipelaku menyangkal, sementara
bukti-bukti tuduhan mengarah kepada pelaku, maka akan
dilakukan sumpah untuk keputusan yang adil dari hukum
Kavhunin.
c. Pasal 3 It bor (Mencuri)
Mengambil barang orang lain tanpa ijin secara sembunyi-
sembunyi. Hukuman yang dikenakan kepada pelanggar
adalah mengembalikan seluruh barang yang dicuri kepada
pemiliknya, dan juga hukuman sosial (diawasi, dihindari,
dikucilkan), sesuai keputusan pejabat dalam peradilan
adat, Lembaga Mahkamah peradilan adat dinamakan:
Keken Ngod Rat Ngod Vhavh.

191
d. Pasal 4 Tef en it n ail tomat lian I ni afa it liik ken te it
fanaub.
(Tidak mau mengembalikan barang orang lain yang
ditemukan atau disimpan, secara sengaja maupun
taksengaja). Hukuman bagi pelanggar adalah
mengembalikan barang yang ditemukan, atau disimpan
kepada yang berhak, dan juga hukuman sosial yang
merupakan aib.
e. Pasal 5 Taan rereng, it ot afa waid (Makan upah tanpa
kerja). Pelaku yang melanggar dalam praktek jarang di
bawah ke mahkamah Peradilan Adat. Hukuman yang
dikenakan kepada pelanggar diserahkan kepada hukum
Kavhunin.
f. Pasal 6 It lavhur kom ira I ni afa (Merusak dan
menghancurkan barang milik orang lain). Hukuman bagi
pelanggar adalah mengganti seluruh kerugian dan
kerusakan yang terjadi, memperbaiki kerusakan yang
terjadi.
g. Pasal 7 Etna ded vhut raut fo enfasus te enfakuis tomat lian
(Mengambil atau melakukan apa saja dengan berbagai cara
untuk menyusahkan atau menguras milik orang lain).
Hukuman yang dikenakan kepada pelanggar adalah
membayar atau mengembalikan apa yang telah dikuras,
serta dikenakan hukum Kavhunin.

192
BAB 7
PERADILAN ADAT

A. Pengertian
Dalam peraturan perundang-undangan dan pendapat
ahli hukum, memformulasikan pengertian peradilan adat
sebagai berikut:
1. Peradilan Adat adalah peradilan perdamaian di
lingkungan masyarakat hukum adat yang mempunyai
kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata
adat dan perkara pidana diantara para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan122.
2. Peradilan Adat adalah suatu sistem penyelesaian perkara
yang hidupdalam masyarakat hukum adat tertentu di
Papua123.
3. Hukum Adat Peradilan adalah aturan-aturan hukum adat
yang mengatur tentang cara menyelesaikan perkara
dan/atau menetapkan keputusan hukum atas sesuatu
perkara menurut hukum adat. Proses penyelesaian dan
penetapan keputusan perkara dinamakan Peradilan
Adat124

122 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua, Pasal 51.


123 Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di

Papua Pasal 1 angka 16.


124 Hilman Hadikusuma Opci. Hlm.246-247

193
4. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian yang
memiliki kompetensi memeriksa dan mengadili
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat hukum adat.

B. Hukum Adat Peradilan


1. Peradilan Adat, Penyelesaian Perkara secara damai
Hilman Hadikusuma125 mengemukakan bahwa istilah
peradilan (rechpraak) bermakna “hukum dan keadilan”
yang diwujudkan dalam sistem persidangan baik secara
litigasi maupun non litigasi. Peradilan Adat atau Peradilan
Hukum Adat dapat terjadi manakala peradilan itu didasari
pada hukum adat. Penyelesaian delik adat secara damai
dalam rangka mengembalikan keseimbangan MHA yang
terganggu, melalui kelembagaan peradilan adat berupa:
a. Penyelesaian langsung oleh angota masyarakat yang
bertikai.
b. Penyelesaian dilakukan oleh keluarga, tetangga.
c. Penyelesaian oleh kepala kerabat (Hakim Desa).
d. Penyelesaian oleh Kepala Adat (Hakim Adat).
e. Penyelesaian oleh kepala desa (Hakim Desa).

125 Loc cit


194
Lebih lanjut Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa
peradilan adat itu dapat dilaksanakan oleh peradilan
negara. Penyelesaian perkara adat delik dilaksanakan
secara damai, sesuai kultur bangsa Indonesia.
2. Pertimbangan Pemeriksaan Perkara dan Penetapan
Keputusan
Dalam pemeriksaan perkara, hakin adat tidak terikat
dengan ketentuan-ketentuan pembuktian dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam menjalankan fungsi hakim
dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara
adat memperhatikan dengan sungguh living law, yang
selaras dengan kesadaran umum MHA dalam realitas
kehidupan. Hilman Hadikusuma126 mengetengahkan
parameter menilai kekuatan material dari aturan hukum
adat berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. Struktur MHA.
Menganalisis dan menilai apakah struktur MHA
masih terus dipertahankan dalam realitas sosial atau
telah mengalami penggerusan, reformasi atau bahkan
transformasi.
b. Peranan petugas hukum.
Para kepala adat dan perangkat hukum adat, apakah
masih berfungsi dan berperan sebagai pejabat hukum
MHA.

126 Ibid. Hlm.250


195
c. Konsistensi keputusan.
Apakah penyelesaian perselisihan antar anggota
MHA, keputusan yang dieksekusi oleh pejabat adat,
masih mengikuti putusan-putusan hakim
sebelumnya.
d. Eksistensi hukum adat.
Keberadaan norma-norma hukum adat pada MHA,
apakah masih eksis ataukah sudah ditinggalkan oleh
MHA, bergeser atau berubah.
e. Sinergitas terhadap idiologi dan konstitusi negara.
MHA dan hukum adatnya merupakan bagian tak
terpisahkan dari hukum nasional Negara Republik
Indonesia, wajib selaras, sesuai dan tidak
bertentangan dengan Ideologi Negara: Pancasila dan
Konstitusi Negara: Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Guna sinergitas
dengan ideologi dan konstitusi NKRI, maka norma-
norma hukum adat yang diberlakukan adalah norma
hukum adat yang telah disaner, dibersihkan dari
unsur-unsur yang bertentangan dan tidak sesuai
dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
3. Penetapan putusan.
Penetapan putusan hakim adat, merupakan suatu
keputusan berupa denda dan/atau ritual untuk
196
mengembalikan keseimbangan masyarakat yang
terganggu.

C. Peradilan Adat di Papua


1. Dasar Hukum
a. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagai berikut:
Pada Pasal 50 dinyatakan bahwa:
(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua
dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perihal peradilan dan pengadilan adat di Papua pada
pasal 51 diuraikan sebagai berikut:
(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di
lingkungan masyarakat hukum adat, yang
mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili
sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara
para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
197
(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa
perdata adat dan perkara pidanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau
yang berperkara berkeberatan atas putusan yang
telah diambil oleh pengadilan adat yang
memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak
meminta kepada pengadilan tingkat pertama di
lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau
perkara yang bersangkutan.
(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatukan
hukuman pidana penjara atau kurungan.
(6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidanan
yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan
ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4),
menjadi putusan akhir dan kekuatan hukum tetap.
(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan
pidana menurut ketentuan hukum pidana yang
berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk
dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang
mewilayahinya yang diperoleh melalu Kepala
198
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan
tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan
untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh
Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menjadi
bahan pertimbangan hukum pengadilan Negeri
dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.
b. Peraturan Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008
tentang Peradilan Adat Papua, Lembaran Daerah Tahun
2008 Nomor 20 Tanggal 22 Desember 2008.
2. Asas dan Tujuan
Dalam peraturan daerah khusus (Raperdasus) Nomor 20
Tahun 2008 menyatakan bahwa Peradilan Adat di Papua
berasaskan:
a. Kekeluargaan
b. Musyawarah dan mufakat
c. Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Peradilan adat di Papua bertujuan:
a. Menjamin terealisasinya keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum bagi MHA
b. Menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos
199
3. Tempat Kedudukan Peradilan Adat
Peradilan adat berkedudukan di MHA Papua
berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian,
sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria
berwibawa, dan sistem kepemimpinan campuran.
4. Tugas dan fungsi peradilan adat diatur sebagai berikut:
Pengadilan adat bertugas menerima dan mengurus
perkara-perkara perdata adat dan perkara pidana adat.
Pengadilan adat memiliki fungsi:
a. Menyelesaikan perkara adat dan perkara pidana adat;
dan
b. Melindungi hak-hak orang asli Papua dan bukan Papua.
5. Kompetensi pengadilan adat adalah:
a. Menerima dan mengurus perkara perdata adat dan
perkara pidana adat di antara warga masyarakat adat di
Papua.
b. Menerima dan mengurus perkara yang terjadi antara
orang asli Papua dan bukan orang asli Papua, apabila
ada kesepakatan di antara para pihak.
c. Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan dalam lingkup
kewenangan peradilan adat dapat diselesaikan
mekanisme peradilan umum.

200
d. Apabila ada pihak yang keberatan atas putusan
pengadilan adat, dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri.
e. Pembebasan pelaku pidana dari tuntutan pidana ,
diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan
dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya
yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri
tempat terjadinya peristiwa pidana.
f. Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk
dilaksanakan bagi keputusan pengadilan adat ditolak
oleh Pengadilan Negeri, maka kepolisian dan kejaksaan
dapat melakukan penyidikan dan penuntutan, dan
putusan pengadilan adat dijadikan bahan
pertimbangan.
6. Susunan, mekanisme dan putusan peradilan adat diatur
dalam perdasus sebagai berikut:
a. Pengadilan adat bukanlah pengadilan bertingkat,
melainkan Lembaga peradilan masyarakat adat.
b. Lembaga peradilan adat, susunan dan keanggotaannya
di atur menurut ketentuan hukum adat masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
c. Penyelenggaraan peradilan adat diurus oleh hakim
adat.

201
d. Regulasi yang berkenaan dengan kelembagaan dan
hakim adat dapat diatur melalui Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
7. Mekanisme untuk menerima, mengurus, mengadili dan
mengambil keputusan dilaksanakan menurut hukum adat
MHA yang bersangkutan, dan dapat diatur melalui
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
8. Putusan Pengadilan Adat diatur sebagai berikut:
a. Putusan pengadilan adat berdasarkan musyawarah dan
mufakat.
b. Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak
atau pelaku
c. Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan
putusan menurut hukum adat MHA yang bersangkutan
sesuai sistem kepemimpinan keondoafian, sistem
kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria
berwibawa dan sistem kepemimpinan campuran.
9. Dalam perdasus nomor 20 tahun 2008 mengatur perihal
kerjasama sebagai berikut:
a. Pengadilan adat dalam mengurus perkara adat, dapat
meminta dukungan teknis dan finansial dari
Permerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
b. Dalam melakukan kerjasama dengan Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan
202
dukungan teknis dan finansial berdasarkan peraturan
perundang-undangan bagi penyelenggara peradilan
adat di Papua.
c. Majelis Rakyat Papua (MRP) berkewajiban memberikan
pembinaan dan penguatan kapasitas serta pro aktif
mengembangkan kemitraan dalam rangka
pemberdayaan peradilan adat di Papua.
d. Pengadilan adat dalam pengurusan perkara adat dapat
bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Papua,
Pengadilan negeri, Kejaksaan negeri, dapat
memberikan dukungan teknis bagi penyelenggaraan
peradilan adat di Papua,
10. Regulasi Perdasus Papua tersebut mengatur pula soal
larangan sebagai berikut:
a. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan pidana
penjara dan kurungan
b. Pengadilan adat tidak berwenang menerima dan
mengurus perkara perdata dan pidana yang salah satu
pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan
warga masyarakat hukumn adatnya, kecuali tunduk
pada ketentuan
11. Sanksi pengadilan adat dalam perdasus terdiri atas:
a. Denda adat dengan memperhatikan asas kepatiutan
dan kewajaran sesuai dengan ketentuan hukum adat
dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
203
b. Melaksanakan upacara pemulihan adat dengan
memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran sesuai
dengan ketentuan adat MHA yang bersangkutan.
c. Denda adat dan ritual dikenakan sendiri-sendiri atau
terpisah.
d. Sanksi tidak menghapus pidana apabila pihak tidak
menerima.
e. Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan
pidana menurut ketentuan hukum pidana, diperlukan
pernyataan persetujuan dari ketua Pengadilan Negeri
Melalui Kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan
dengan tempat terjadinya peristiwa pidana.
12. Pejabat adat, yang menjalankan fungsi peradilan adat
senantiasa dilambangkan127 sebagai:
a. Tanah bermakna pelindung semua warga MHA
b. Air bermakna membnerikan kenyamanan,
kedamaian, ketentraman
c. Api bermakna penyelesaian perkara berada dalam
komando dan keputusan pemimpin
d. Matahari bermakna sumber penghidupan, dalam
suka dan duka, tempat mengadu.
e. Samudera bermakna bijaksana, wawasan luas
f. Cenderawasih bermakna kebanggaan senantiasa
dipuja sepanjang masa

127 Tim kepolisian Daerah Papua-Fakultas Hukum Uncen-Paternership for Governance

Reform In Indonesia. 2005. Peradilan Adat di Papua. Jayapura. Hlm. 91.


204
g. Beringin bermakna mengayomi semua rakyat tanpa
disklriminasi.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan Perdasus
Nomor 20 tahun 2008 merupakan suatu kemajuan dalam
pengakuan hukum adat oleh negara, namun meninggalkan
banyak catatan yang memprihatinkan masa depan peradilan
adat, dan hukum adat yang tengah mengalami cengkraman
kapitalisme dan memunculkan banyak kelemahan, sebagai
berikut:
1. Adanya pembedaan peradilan perkara Perdata-Pidana.
Dalam Ilmu hukum adat tidak mengenal adanya
perbedaan antara hukum perdata adat, dan hukum pidana
adat dalam sistem peradilan adatnya. Namun dalam UU
Otsus telah melakukan pembedaan peradilan yang
tentunya menurut penulis, telah menimbulkan
kesemrawutan yang sejatinya peradilan adat tidak
mengenal pembedaan peradilan peradata pidana, bahkan
hakim perdata dan pidana. Pembedaan perdata-pidana,
perbuatan dengan sengaja atau kelalaian, hak kebendaan-
hak perorangan yang dikenal dalam sistem hukum barat.
Sedangkan hukum adat sifat perbuatan hukum dan
penyelesaiannya sifat “menyeluruh dan menyatukan”.

205
2. Pengakuan Peradilan Adat.
Pada Pasal 50 dan 51 UU Otsus, negara megakui
eksistensi peradilan adat dan dinyatakan pula bahwa
peradilan adat bukan peradilan negara.
Menurut Mohammad Jamin penjelasan pasal tidak
boleh memunculkan norma baru, dan peradilan adat
seharusnya mandiri dan otonom sesuai karakteristik
pengadilan adat berdasarkan tipe kepemimpinan adat
yang berlaku yakni:
a. Kepemimpinan keondoafian
Ciri-ciri utama sistem politik ondoafi adalah pewarisan
kedudukan dan birokrasi tradisional, dan teritorial
kekuasaan ondoafi meliputi satu kampung dan satu
golongan etnik saja. Pusat orientasi kekuasaan ondoafi
ialah religi. Sistem politik ondoafi terdapat di bagian
Timur Laut Papua, dengan masyarakat pendukungnya
masing-masing orang Sentani, orang Genyem
(Nimboran), penduduk Teluk Humbold (Yos Sudarso),
orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari-Skou dan
orang Arso-Waris.
b. Kepemimpinan Pria Berwibawa
Kekuasaan diperoleh melalui pencapaian prestasi
yakni kemampuan individual seperti memiliki
kekayaan material termasuk keberhasilan mengalokasi

206
dan mendistribusikan kekayaan; kepandaian
berdiplomasi dan berpidato, memimpin perang,
memiliki sifat bermurah hati, fisik tubuh yang besar
dan tegap.
Hanya orang yang menduduki dan menjadi pemimpin
itu sendiri yamg melaksanakan kekuasaan. Artinya
kepemimpinan dalam semua bidang di pegang dan
dilakukan oleh satu orang saja yakni pemimpin itu
sendiri yang melaksanakan kekuasaan. Suku yang
melaksanakan sistem ini antara lain: suku Meybrat,
Asmat, Dani, Muyu dan Me
c. Kepemimpina Raja
Ciri dari sistem ini adalah pewarisan kedudukan
pemimpin. Lazimnya kedudukan diwariskan kepada
anak tertua. Dalam sistem ini dikenal pula pembagian
fungsi dalam melaksanakan kekuasaan. Penganut
sistem ini antara lain: daerah Fakfak, Kaimana,
Kepulauan Raja Ampat
d. Kepemimpinan Campuran.
Ciri-ciri sistem percampuran adalah kedudukan
pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan/atau
pencapaian. Dengan kata lain, di dalam sistem ini
seseorang dapat menjadi pemimpin masyarakat
berdasarkan kemampuan individualnya termasuk
207
berdasarkan prestasi dalam kondisi tertentu dan/atau
berdasarkan keturunan. Para pemimpin berdasarkan
prestasi biasanya muncul pada saat-saat tertentu,
misalnya pada saat adanya peperangan, bencana atau
pada saat terjadi dekadensi kebudayaan. Pemimpin
golongan ini disebut juga pemimpin situasional.
Sedangkan pemimpin berdasarkan pewarisan yang
terdapat di dalam sistem percampuran biasanya terjadi
dalam kondisi normal yakni tidak terjadi peperangan,
bencana alam dan sebagainya. Masyarakat penganut
Sistem kepemimpinan percampuran ini antara lain
suku Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan orang
Maya.
Peradilan adat yang otonom dan mandiri tersebut
kemudian terjadi suatu paradoks dengan memberikan
ruang sebagaimana Pasal 51 ayat (4) UU No. 21 Tahun
2001, kepada pihak yang bersengketa yang berkeberatan
terhadap putusan peradilan adat, megajukan keberatan ke
Pegadilan Negeri, yang merupakan peradilan tingkat
pertama dalam sistem peradilan negara untuk memeriksa
dan megadili ulang, sengketa yang telah diputuskan dalam
peradilan adat. Pengakuan Kelembagaan peradilan adat

208
oleh Negara yang setengah hati. Menurut Mohon Jamin128
pengakuan kelembagaan peradilan adat yang tidak tegas
dan tidak utuh, atau pegakuan semu, karena peradilan
adat ditempatkan sebagai sub ordinasi peradilan negara
sehingga tidak otonom dan mandiri; selain itu eksistensi
peradilan adat yang dinyatakan sebagai peradilan
perdamaian dipertanyakan, karena peradilan adat bukan
hanya Lembaga perdamaian tetapi juga melaksanakan
fungsi penegakan hukum dalam upaya reaksi terhadap
pelanggar hukum adat dalam rangka menjaga
keseimbangan dalam masyarakat.
3. Kekaburan kewenangan perkara pidana.
Dalam UU Otsus (Pasal 51) dinyatakan abhwa
Pengadilan adat memiliki kompetensi dalam memeriksa
dan mengadili perkara pidana, namun dalam penjelasan
dilakukan pembatasan yakni pengadilan adat tidak
berwenang menjatuhkan pidana penjara dan kurungan,
serta perkara perdata dan pidana yang salah satu pihak
bukan MHA yang bersangkutan. Ada kelemahan yaitu
kekaburan norma (vagua norm) yakni apakah kewenangan
peradilan adat hanya delik adat saja atau juga meliputi
perkara pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 1

128 Mohammad Jamin. 2014. Peradilan Adat: Pergeseran Politik hukum, Perspektif

Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Graha Ilmu Yogyakarta Hlm. 196-197.


209
Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
4. Putusan peradilan adat
Ada empat hal yang diatur dalam Pasal 51 UU No.
21 tahun 2001 yaitu:
a. Pihak yang keberatan atas putusan pengadilan adat,
berhak meminta pengadilan negeri untuk memeriksa
dan mengadili ulang perkara yang bersangkutan.
b. Putusan pengadilan adat tidak diajukan keberatan dan
dimintakan pemeriksaan ulang merupakan putusan
akhir dan berkekuatan tetap.
c. Dalam rangka membebaskan terdakwa dari tuntutan
pidana menurut hukum yang berlaku, maka perlu
pengajuan persetujuan eksekusi dari Ketua pengadilan
Negeri melalui Kejaksaan Negeri.
d. Manakala pengajuan eksekusi ditolak, maka putusan
pengadilan adat dijadikan bahan pertimbangan
hukum bagi hakim pengadilan negeri yang
memutuskan perkara tersebut.
Mohammad Jamin129 menjelaskan bahwa persoalan
kewenangan peradilan adat, mengandung beberapa
kelemahan sebagai berikut:

129 Ibid. Hlm. 199-212


210
a. Adanya hidden interest. Ketentuan Pasal 51 ayat (4) UU
Otsus tidak sesuai dengan hukum adat yang
berkembang dalam MHA yang tidak mengenal
peradilan bertingkat seperti pada peradilan negara
(Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (banding),
Mahkamah Agung (kasasi)
b. Tidak adat pembatasan akan berdampak pada
terbukanya peluang melakukan trial and error.Tidak
ada pembatasan jenis perkara dan putusan seperti apa,
serta alasan yang menjadi dasar pengajuan keberatan
atas putusan peradilan adat dan diajukan nya perkara
tersebut ke pengadilan negeri untuk diperiksa ulang,
sehingga para pihak dengan begitu mudah
mengajukan keberatan, guna mencari keuntungan.
c. Tidak ada kejelasan subyek hukum yang dapat
mengajukan keberatan.
Pihak yang berperkara dapat menerima dan menolak
putusan Peradilan adat. Apabila salah satu pihak
keberatan, maka UU Otsus memberikan dasar
legitimasi kepada pihak yang keberatan untuk
meminta Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
mengadili ulang perkara yang bersangkutan. Dalam
Peradilan Adat sanksi yang dikenakan kepada para
pihak bukan saja pelaku, tetapi juga bisa kerabat,
211
kampung MHA yang bersangkutan. Sehingga yang
dimaksud pihak bermakna siapa saja yang
menanggung sanksi adat dapat dikualifikasikan
sebagai pihak yang berhak mengajukan keberatan.
d. Istilah “memeriksa dan mengadili ulang” secara “ne
bis in idem”
Pengajuan keberatan atas putusan pengadilan adat,
dan diajukan untuk “memeriksa dan mengadili ulang”
perkara yang telah diputiuskan oleh pengadilan adat,
bertentangan dengan asas ne bis in idem: seseorang
tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya atas
peristiwa dan pelaku yang sama. Landasan filosofis
adalah adanya jaminan kepastian hukum dan asas
legalitas.

212
BAB 8
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
MASYARAKAT HUKIUM ADAT DAN
KEPEMIMPINANNYA

A. Pendahuluan
Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan suatu
perjuangan panjang sejak perlawanan fisik yang bersifat
kedaerahan, sampai dengan tonggak kebangkitan nasional
yang diawali dengan lahirnya budi utomo, sumpah Pemuda
1928. Bangsa multikulturalisme yang beraneka warna suku
bangsa, ras, golongan dan agama. Konstitusi NKRI mengatur
perihal penghormatan dan pengakuan terhadap daerah-
daerah istimewa serta mengakui eksistensi MHA serta
identitas budayanya sesuai perkembangan peradaban130.
Manifestasi dari pengakuan atas identitas budaya dan MHA,
maka eksistensi Masyarakat Adat dan kepemimpinannya
wajib dilindungi dan diberikan pengakuan dalam kapasitas
sebagai penyandang hak dan kewajiban dalam pengelolaan
sumberdaya alam di wilayah hukum adatnya dengan batas-
batas wilayah dalam NKRI131.

130 Lihat UUD NRI 1945 pasal 18B dan 28I ayat (3).
131 Lihat Permendagri No. 152 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengakuan MHA.
213
Kondisi NKRI yang merupakan negara
multikulturalisme membutuhkan kewaspadaan terhadap
pelbagai perbedaan baik suku, agama, ras dan antara
golongan. Kewaspadaan itu penting, disebabkan generasi
sekarang maupun yang akan datang tidak mengalami
berbagai perjuangan baik fisik, diplomasi politik dan merebut
kemerdekaan dari kaum penjajah di bumi nusantara. Setelah
perlawanan fisik terhadap kolonial belanda yang bersifat
kedaerahan, mulailah timbul suatu kesadaran nasional
perlawanan berubah dari fisik kedaerahan menjadi diplomasi
politk pada tahun 1908, kemudian para pemuda
mengikrarkan sumpah pemuda 18 Oktober 1928, dan pada
saat itu pertama kali lagu kebangsaan dinyanyikan, dan
puncaknya pada momen proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.
Kondisi kemajemukan pada saat ini, terdiri dari suku-
suku berbentuk masyarakat hukum adat (MHA) yang
masing-masing suku, atau wilayah adat memiliki
kepemimpinannya masing-masing. Kepemimpinan adat di
berbagai daerah masih ada yang memperlihatkan sikap
resistensi terhadap berbagai kebijakan negara, terutama yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya agraria,
sumber daya alam, wilayah tempat kepemimpinan
masyarakat hukum adat dan komunitasnya. Resistensi MHA
214
terhadap pemerintah dalam mempertahankan eksistensi
kepemimpinan masyarakat hukum adat (MHA) di Papua,
Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi132.
Berbagai Realitas konflik MHA dengan pengusaha dan
pemerintah dipelopori oleh pemimpin adat mereka masing-
masing. Hal ini kalau dibiarkan dan tidak segera mencari
solusi strategis guna pemecahannya, maka akan berdampak
buruk bagi ketahanan nasional Indonesia. Untuk itu tulisan
ini menganalisis berbagai hal ikhwal yang berkenaan dengan
peran kepemimpinan Adat, pengakuan MHA agar ke depan
para pemimpin adat dan MHAnya mejadi perekat persatuan
bangsa demi tegaknya NKRI. Eksistensi MHA dalam mengisi
pembangunan bangsa, telah, sedang dan akan terus
berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara menuju
masyarakat adik dan makmur merata material dan spiritual

132Lihat: Tuntutan Pembayaran denda Adat oleh Genting Oil.


https://www.papualives.com; Tanah Sumuri Tidak dilepas Untuk Kawasan Strategis.
https://panahpapua.or.id; Septa Dinata. Adat dan Konflik Horizontal di Kerinci.
http://www.jambiupdate.co; Kriminalisasi akibat konflik tanah Transmigrasi di Jambi.
https://www.walhi.or.id; Konflik Agraria, Perwakilan Warga Jambi Audensi ke Komnas
HAM RI. https://www.komnasham.go.id; Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Ungkap Konflik Agraria di Jambi 14 Tahun Silam. https://www.cnnindonesia.com; Ferdi
Almunanda. Konflik Lahan di Jambi, Temuan Legislatif Provinsi Jambi.
https://news.detik.com; Kennial Laia. Masyarakat Adat Di Kalbar Dikriminalisasi Usai
Aksi Damai.https://betahita.id; Ronad. Ketua Adat Kinipan ditangkap akibat sengketa
lahan sawit di Kalimantan Tengah. https://m.merdeka.com; Kami sudah ganti rugi konflik
di Adat Dayak Mondang Long Wai. https:/.regional.kompas.com; Wahyu Santoso.
Masyarakat Adat Pamona Tuntut Hak Tanah Ulayat. https://sulawesi.bisnis.com; Taufik
Ahmad. Kasus Tambang Emas di Bombana sulawesi Tenggara.
https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id; Banding kasus Lahan di Kepulauan Aru
https://regional.kompas.com; diakses 5 Mei 2022.
215
dalam NKRI. Ekses dari pembangunan antara lain terjadinya
gesekan-gesekan internal MHA, MHA dengan pengusaha
dan Pemerintah, akibat ketidakadilan pemanfaatan
sumberdaya alam. Dilain pihak ada juga hal-hal positif yang
dilakukan oleh MHA sebagai kontribusi bagi bangsa dan
negara.
Berbagai kearifan lokal MHA seperti suku Arfak di
Papua yang memandang hutan sebagai mama, menjadi dasar
pengelolaan hutan dan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Hutan sebagai mama (meng ofot mesu-Arfak) mengandung
makna bahwa hutan dengan segala yang di dalamnya
dieksploitasi untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk
kebutuhan bisnis, tetap menjaga kelestarian dari flora, fauna
dan potensi sumberdaya alam bagi keberlanjutan generasi
mendatang. Ibaratnya menjaga susu mama jangan sampai
habis, kalau habis nanti mama akan mati (suku Arfak dikenal
dengan istilah: Prinsip Mosu Efen Meng Ofot133). Bahkan MHA
Nusantara dalam penataan ruang adatnya telah membagi
wilayah lindung dan budidaya sebagaimana diatur dalam
undang-undang penataan ruang134. Kontribusi MHA dalam
pembangunan ekonomi dengan instrumen kearifan lokal di

133 Hammar, Robert. K.R. 2017. Penataan Ruang Masyarakat Hukum Adat Berbasis

Kearifan Lokal. Calpulis, Yogyakarta. Hlm. 164-165


134 Ibid. Hlm. 156-164.

216
Kepulauan Aru Maluku yang diyakini mendorong ekonomi
yang berkelanjutan135. Hal yang sama dilakukan oleh
masyarakat di Papua Barat ada tradisi di kawasan Egeg,
dilarang mengambil sumberdaya tertentu; juga di Daerah
Kawe Papua Barat ada tradisi Sasi yakni melarang untuk
waktu tertentu mengambil hasil laut berlebihan136. Kegiatan
mendukung pemerintah misalnya Masyarakat adat sulawesi
tengah dukung Vaksinasi Masyarakat Adat137. Contoh lain
Masyarakat Adat Kalimantan Timur dan pemimpinnya
mendukung pembangunan ibu kota negara138.
Kepemimpinan MHA menjadi penting untuk ditingkatkan
peran dan eksistensinya melalui penguatan dan pengakuan
MHA, yang berimplikasi positif terhadap kesejahteraan dan
ketanahan nasional.

B. Regulasi Pengakuan dan Perlindungan


MHA di Indonesia telah diberikan pengakuan dalam
konstitusi, yang berkaitan dengan pengakuan dan
penghormatan kepada MHA. Namun belum ada pengakuan

135 Matuanakotta, Jenni K. 2018. Peran Aktif MHA dalam pembangunan Ekonomi.

Jurnal Sasi Vol. 24 Nomor 2 Juli-Desember. Hl. 101-113 diakses 5 Mei 2022
136Peran Masyarakat Adat Dukung Pembangunan Tanah Papua. https://katadata.co.id

diakses 3 Agustus 2022


137 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Tengah Dukung Vaksinasi

Masyarakat Adat. https://www.aman.or.id. diakses 3 Agustus 2022.


138 Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) didukung Tokoh Adat Kalimantan Timur

https://www.presidenri.go.id. diakses 3 Agustus 2022.


217
dan penghormatan negara atas MHA yang diatur dalam
undang-undang tersendiri. Pengakuan MHA terbatas pada
tataran nilai instrumental, sedangkan dalam tataran praksis,
tataran realitas lalu lintas hukum belum dirasakan oleh MHA,
buktinya hingga sekarang belum ada undang-undang
tentang MHA, walaupun telah diajukan oleh beberapa
komponen MHA yakni organisasi Aliansi Masyarakat Adat
Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fraksi Nasional
Demokrat (Nasdem) sejak 2009 ke Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR RI). Alasan diajukannya Rancangan Undang-Undang
Masyarakat Hukum Adat (RUUMHA) dilatarbelakangi oleh
belum optimalnya perlindungan kepada MHA dalam
pelaksanaan hak pengelolaan yang bersifat komunal dan
individu, baik hak atas tanah,wilayah, budaya dan sumber
daya alam yang diperoleh secara turun temurun, maupun
diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum
adat setempat; belum tercapainya kesejahteraan MHA, serta
adanya konflik yang mengancam stabilitas keamanan.
Kondisi yang terjadi adalah sektoralisme pengaturan
pengelolaan sumberdaya alam yang tidak sinergis dengan
hukum dasar mengakibatkan eksistensi MHA antara ada dan
tiada, hilangnya identitas budaya bangsa, serta kriminalisasi
MHA yang mempertahankan haknya, tidak diberikan ruang

218
untuk MHA berpartisipasi dalam setiap pembangunan yang
berkenaan dengan dirinya dan lingkungannya.
Regulasi sebagai aspek utama adanya Pengakuan dan
perlindungan MHA, kendatipun belum ada undang-undang
yang mengatur PPMHA, namun untuk merespon tuntutan
MHA Indonesia, maka Pemerintah melalui Kementrian
Dalam Negeri, menerbitkan regulasi yang mengatur tata cara
pemberian pengakuan kepada MHA, yaitu Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 menyatakan bahwa
dalam rangka mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI perlu
pengakuan dan perlindungan terhadap MHA. Dalam
Permendagri diperintahkan agar provinsi, kabupaten dan
kota menyipkan anggaran, dan tim peneliti yang terdiri atas
birokrasi, politisi, MHA, kampus dan LSM, yang diketuai
secara exoficio oleh Sekretaris Daerah. Struktur organisasi
Panitia Masyarakat Hukum Adat terdiri atas: Sekretaris
Daerah kabupaten/kota sebagai ketua; Kepala SKPD yang
membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris;
Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai
anggota; Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan

219
Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum
adat sebagai anggota.
Pengakuan dan perlindungan MHA dilakukan melalui
tahapan identifikasi, verifikasi, validasi dan penetapan MHA.
Tahapan identifikasi dilakukan oleh kepala daerah melalui
kepala distrik/camat dengan melibatkan MHA. Selanjutnya
Bupati/Walikota melalui Camat/Kepala Distrik melakukan
identifikasi dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau
kelompok masyarakat, maka hasil identifikasi dilakukan
verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat
kabupaten/kota dan diumumkan kepada Masyarakat
Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan. Panitia
Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan
rekomendasi kepada Bupati/Walikota berdasarkan hasil
verifikasi dan validasi Bupati/walikota melakukan
penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum
Adat dengan Keputusan Kepala Daerah. Dalam hal
masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih
kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala
Daerah atau Gubernur. Segala biaya yang diperlukan dalam
pelaksanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat dibebankan pada:
220
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi;
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota; dan
4. Lain-lain pendapatan yang sah dan tidak mengikat.
Aspek keteradaan MHA itu nyata yakni ada
wilayahnya, ada masyarakat anggota komunitas, ada
sejarahnya, kepemimpinan, atura-aturan adat-istiadat, harta
benda adat, hak komunal atas tanah, dan juga tanah
perseorangan.
Data dan informasi tentang keteradaan MHA juga
tersedia di kampung-kampung, distrik yang berada di
wilayah tradisional MHA.
Contoh: MHA suku Pedalaman Arfak Papua Barat:
1. Wilayah: berada dan bermukim di wilayah pemerintahan
kabupaten Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan
Arfak dan Teluk Bintuni, dan Teluk Wondama;
2. Kepemimpinan: memiliki kepemimpinan adat yang
disebut Mananir (kepala suku), Moskur (wakil kepala
suku) dengan perangkatnya
3. Harta persekutuan: tanah, kain timur, senjata; kearifan
lokal: misalnya igya ser hanjob (menjaga batas wilayah); e)
dan
4. Masyarakat: komunitas Arfak terdiri atas sub suku hatam,
Meyah, Sough, Moile.
221
5. Hukum Adat: aturan yang mengatur tentang keluarga,
kewarisan, tanah dan lain-lain
Pengakuan dan perlindungan MHA secara eksplisit
dan implisit sudah di atur dalam konstitusi dan lebih dari 14
UU sektoral yang mengakui keberadaan kepemimpinan dan
MHA, namun dalam implementasinya keberadaan MHA
tidak dihormati dalam setiap aktivitas kementrian/badan
yang berdampak pada resistensi MHA. Untuk perlu
pengakuan setingkat undang-undang tentang PPMHA yang
kedudukannya setara dengan undang-undang.

C. Perwujudan Pengakuan dan Perlindungan MHA


1. Mendorong RUUPPMHA
Solusi yang ditawarkan adalah berbagai pihak
yakni Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN),
Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia (APHA),
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPDRI)
mendorong Rancangan UUPPMHA tersebut untuk
segera, dibahas oleh Pemerintah bersama DPRRI, agar
secepatnya ditetapkan dan diundangkan dalam lembaran
negara, sehingga memiliki kekuatan hukum, kekuatan
mengikat dan kekuatan berlaku bagi semua orang, dan
sebagai landasan MHA sebagai subyek hukum dan
memiliki legal standing yakni hak menggugat
222
mengatasnamakan kepentingan pihak MHA di badan
peradilan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun
2014 menyatakan tentang pengakuan dan perlindungan
MHA dilakukan oleh kepala daerah dengan membentuk
panitia MHA yang terdiri atas sekretaris daerah sebagai
ketua, SKPD pemberdayaan sebagai sekretaris, Kepala
biro/bagian hukum, camat/kepala distrik, SKPD terkait
dgn MHA sebagai anggota.
Tim ini melakukan penelitian dengan tahapan:
a. Identifikasi MHA
b. Verifikasi dan validasi MHA
c. Penetapan MHA.
Identifikasi dalam rangka penerbitan Surat
Keputusan Kepala Daerah dengan mencermati:
a. Sejarah MHA
b. Wilayah Adat
c. Hukum Adat
d. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. Kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Penelitian yang dilakukan terhadap MHA berbasis
suku, sub suku dan marga/keret, dilakukan secara
bertahap, termasuk batas wilayah masing-masing suku,
sub suku, marga/keret. Pembiayaan penelitian tersebut
223
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), kabupaten/kota, atau provinsi.
Guna kelancaran pengakuan MHA, maka anggaran
penelitian, validasi dan verifikasi berserta
kelembagaannya wajib diakomodasikan dalam
perencanaan sesuai tahapan hingga penetapan dalam
APBD induk dan APBD Perubahan. Hal ini tergantung
dari kemauan dan komitmen kepala daerah, dalam
memformulasikan kebijakannya memihak rakayat
(populis) atau tidak. Pengakuan dan perlindungan MHA
oleh Kepala Daerah berupa Keputusan merupakan
legitimasi kuat bagi MHA sebagai subyek hukum dan
memiliki legal standing dalam lalu lintas hukum. Untuk
Negara seyogyanya menindaklanjuti pengakuan dan
perlindungan MHA.
2. Mendorong Terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota.
Upaya mendorong agar Pemerintah daerah segera
mewujudkan peraturan daerah Provinsi, Kabupaten dan
Kota, yang mengatur tentang tindak lanjut perlindungan
dan pengakuan MHA yang diatur dalam Permendagri
Nomor 52 Tahun 2014. Regulasi dalam bentuk peraturan
daerah provinsi, peraturan daerah khusus, peraturan
gubernur; peraturan daerah kabupaten dan kota,
224
peraturan bupati/wali kota, sebagai dasar legitimasi
dilakukannya penelitian MHA, wilayah adat yang
bermanfaat menyajikan data-data tentang wilayah adat,
batas-batas wilayah, sumber daya alamnya serta
kepemimpinan MHA yang memiliki kekuasaan di
wilayah adat sesuai tingkatannya. Data-data wilayah adat
dapat dijadikan data kepada pemerintah, investor yang
berniat menanamkan modalnya di suatu daerah, sehingga
investor terhindar dari konspirasi para spekulan tanah
dan sumber daya alam. Misalnya investor yang
membutuhkan tanah 10 hektar untuk pembangunan
smelter, akan dengan mudah mengetahui luas areal,
dengan batas-batasnya, keluarga, marga, dan suku,
kampung, kecamatan, kabupaten lokasi areal tanah
tersebut, sehingga proyek tersebut bisa segera
dilaksanakan, dan pihak penerima rekognisi dan ganti
rugi, penyertaan modal/saham adalah pihak yang tepat.
Hal ini akan mengurangi resistensi oleh kepemimpinan
MHA dan komunitas pemangku hak tersebut.

D. Peran kepemimpinan MHA


Konstitusi NKRI yakni UUD NRI Tahun 1945, maupun
peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang
pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat
225
(MHA) yang tentunya dalam pengakuan MHA tersebut
termasuk kepemimpinan MHA. Dalam perundang-
undangan tersebut peran kepemimpinan tidak secara
eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan, yang
diatur hanyalah pengakuan terhadap komunitas MHA
dengan berbagai kearifan lokalnya. Peran kepemimpinan
adat secara umum adalah dengan sebaik-baiknya menjaga,
memelihara kehidupan yang baik, rukun, kerja sama dalam
komunitas adat tersebut, serta menegakkan hukum baik
hukum pidana maupun aspek hukum lainnya.
Kepemimpinan MHA dalam tulisan Soepomo disebut
sebagai kepala adat. Ia merupakan bapak dari persekutuan
yang memimpin, menjaga, memelihara kehidupan bersama,
menjaga ketentraman dan keseimbangan kosmis termasuk
penegakan hukum dan peradilan. Kepemimpinan MHA
melakukan peran pokoknya sebagai berikut:
1. Mengatur tanah persekutuan (komunal dan
perseorangan).
2. Penegakan hukum: preventif dan represif.
3. Peradilan: pembetulan/penyelesaian pelanggaran,
(hakim).
Peran Kepemimpinan MHA senantiasa
mempertimbangkan berbagai kemajuan dan perubahan demi
kesejahteraan warga MHA-nya sebagai berikut:
226
1. Menetapkan pedoman dalam tingkah laku sesuai adat
istiadat dan hukum adat yang berlaku.
2. Menjaga dan melindungi MHA dari musuh maupun
kekacauan yang timbul dari anggota MHA.
3. Mengawasi perilaku anggota MHA.
4. Melaksanakan semua keputusan adat, menjaga
kewibawaan putusan adat.
5. Sebagai tempat bersandar, tempat menyampaikan keluh-
kesah para anggota MHA.
Kepemimpinan MHA yang diharapkan dalam
menjalankan perannya yang strategis dalam menggerakan
MHA menuju tujuan yang dikehendaki sebagai berikut:
1. Memimpin pemerintahan adat, menyelenggarakan
ketertiban umum, dan mewujudkan kondisi yang
memungkinkan setiap anggota MHA dapat
melaksanakan aktivitasnya guna kelangsungan
hidupnya.
2. Mengatur peruntukan penggunaan sumberdaya alam
sesuai prinsip-prinsip hukum yang berlaku di
komunitasnya yaitu:
a. mengatur peruntukan ruang
b. mengatur hubungan antara anggota MHA dengan
tanah, ruang dan sumber daya alam di wilayahnya

227
c. perbuatan hukum antara anggota MHA mengenai
tanah, wilayah tempay sumber daya alam itu berada.
Fungsi mengatur sumber daya alam tersebut bersifat
kolektif publik dan privat yang dalam perundang-undangan
disebut dengan istilah hak ulayat.
1. Kepemimpinan MHA bertanggung jawab atas berbagai
peristiwa pidana dan sengketa keperdataan yang terjadi
di wilayahnya, serta memperkuat pertahanan MHA
dalam rangka menghadapi musuh (binatang buas,
penyakit, peperangan); Kepemimpinan MHA menjadi
katalisator terhadap berbagai konflik yang terjadi akibat
kebijakan negara atas komunitas MHA dan lingkungan
hidup serta sumber daya alam di wilayahnya; serta
menjalankan dan menegakkan hukum-adat istiadat
berdasarkan kearifan lokal secara adil guna
mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu
(restitio integrum).
2. Melestarikan adat-budaya dan wilayah MHA, motivator,
inspirator dan teladan bagi MHA; memengaruhi
kebijakan pemerintahan kampung/desa, atau
distrik/kecamatan merujuk pada nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal MHA.
3. Mensinergikan berbagai kebijakan negara yang berkaitan
dengan MHA, sumber daya alam dan lingkungannya,
228
program-program pemerintah yang berkenaan dengan
pemerintahan, pembangunan pembinaan
kemasyarakatan di komunitasnya yang merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional.
4. Kepemimpinan MHA menjalankan dan menegakan
hukum dan kearifan lokal, menyelesaikan pelanggaran
Adat dalam lembaga peradilan adat secara adil
berasaskan restituo integrum dalam suatau peradilan
adat yang adil dn tidak memihak.
5. Kepemimpinan MHA bertanggungjawab dan mencari
solusi atas adanya wabah penyakit yang melanda
komunitasnya, serta dapat memfasilitasi pengobatan dari
bahan-bahan tradisionl dan/atau pengobatan modern.
6. Kepemimpinan MHA bertanggungjawab atas
ketersediaan pangan bagi kelangsungan hidup komunitas
MHA (ketahanan pangan).
7. Menjamin setiap anggota MHA berperan aktif dalam
pembangunan disegala bidang (relegius, ekonomi,
pendidikan, keamanan, pertahanan), serta memajukan
kebudayaan MHA, yang merupakan bagian integral dari
kebudayaan bangsa, serta mendorong pencapaian
prestasi di bidang seni dan olah raga sebagai wujud
kecintaan MHA kepada bangsa dan NKRI.

229
8. Aspek Penunjang dan Penghambat Perwujudan Peran
Kepemimpinan MHA
Kepemimpinan MHA dalam menjalankan perannya,
menuai keberhasilan/kesusksesan karena didukung
sepenuhnya oleh warga komunitas MHA didasari aspek
sebagai berikut:
a. Adanya pengakuan, penghormatan dan perlindungan
terhadap MHA secara konstitusional yakni MHA dan
kepemimpinannya beserta hak-hak tradisional diakui
dan dihormati sepanjang dalam kenyataan masih ada
(UUD NRI 1945 dan Perundang-undangan).
b. Adanya kepercayaan (trust) dari MHA terhdap
kepemimpinan masyarakat adat karena diyakini bahwa
kepemimpinan MHA berwibwa, kuat, orator,
pengetahuan luas, dan memiliki kekuatan magis dan
lain-lain, akan terjamin kehidupan baik material maupun
immaterial, serta memengaruhi, membimbing dan
mengevaluasi berbagai kegiatan sesuai dengan tujuan
guna kesejahteraan MHA; komunikator, artikulator
kepentingan MHA, sekaligus agen perubahan.
c. Ketersediaan ruang hidup, harta kekayaan komunal,
hukum adat baik mengenai perseorangan, keluarga,
perkawinan, warisan, delik adat serta prinsip

230
keberlanjutan sumber daya alam, hutan, air dan
sebagainya.
d. Adanya bantuan/subsidi pembangunan kampung yang
merupakan ruang hidup komunitas MHA oleh
pemerintah dan pemerintah daerah.
e. Kepemimpinan MHA dilibatkan dalam pengambilan
keputusan oleh pemerintah kampung bahkan
dipercayakan sebagai ketua Lembaga Musyawarah
Kampung (sebatas kebijakan pemerintahan kampung).
Aspek yang berkontribusi menghambat implementsi
peran kepemimpinan MHA sebagai berikut:
a) MHA dan kepemimpinannya belum memiliki legitimasi
yang kuat karena belum ada regulasi setingkat undang-
undang yang mengatur, mengakui, melindungi MHA
dan kepemimpinan beserta sumber daya alam yang
merupakan tempat mereka melangsungkan
kehidupannya.
b) Kepemimpinan MHA belum sepenuhnya dilibatkan
dalam pengambilan keputusan strategis yang
menyangkut penatan tata ruang/ rencana tata ruang
wilayah (RTRW), perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang, serta belum
adanya sinergitas antara penataan ruang pemerintah
dengan penataan ruang MHA.
231
c) Belum optimalnya pembinaan kepemimpinan MHA,
guna memperkuat perannya baik secara internal MHA
maupun eksterna yang berkontribusi bagi pemantapan
integrasi bangsa guna memperkokoh ketahanan nasional
NKRI.

E. Penguatan Peran Kepemimpinan MHA


1. Legitimasi Peran Kepemimpinan MHA.
Kepemimpinan MHA memiliki peran yang strategis
dalam memengaruhi para pengikutnya, mentaati segala
kebijakan dan perintah dalam rangka pencapaian tujuan
yang kesejahteraan dan penghormatan. Berbagai
resistensi yang dilakukan oleh berbagai komponen MHA,
gejolaknya merata di seluruh provinsi, kabupaten, kota,
paling tidak di pulau-pulau besar di NKRI.
Kepemimpinan yang dimiliki MHA di berbagai daerah di
Indonesia adalah kepemimpinan kharismatik walaupun
dengan perbedaan sistem yang deferensiasi sesuai
dengan kultur masing-masing suku pada MHA yang
bersangkutan. Kepemimpinan kharismatik tradisional
adalah kepemimpinan didasarkan atas legitimasi
tradisional, komitmen, identitas dan adanya keyakinan
bahwa kepemimpinan tersebut mampu membawa
warganya mencapai suatu kondisi yang diharapakan,
232
misalnya penghormatan, kesejahteraan serta perubahan.
Kepemimpinan kharismatik-tradisional ini memiliki
kapasitas, kompetensi yang diyakini direstui leluhur
(sebagian MHA) yang memiliki warisan bersifat magis
religius. Model kepemimpinan kharismatik-tradisional
ini senantiasa didukung oleh perangkat-perangkat adat
yang memiliki fungsi sebagai penasehat spiritual
misalnya MHA Arfak di Manokwari Papua Barat dikenal
dengan nama “Dwabebah”. Kondisi kepemimpinan
seperti ini membuat para anggota persekutuan menaruh
harapan yang besar akan masa depan, sehingga semua
perintah sang pemimpin akan dilaksanakan dengan spirit
akan memperoleh kebahagiaan yang dicita-citakan. Ini
sebuah peluang yang strategis yang bisa dimanfaatkan
oleh pemerintah untuk mendorong akselerasi
pembangunan di daerah-daerah dengan melibatkan para
pemimpin MHA.
Dalam rangka efektivitas peran kepemimpinan
MHA yang strategis, hendaknya pemerintah dan
pemerintah daerah mewujudkan pengakuan
kepemimpinan MHA. Pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI), segera
menindaklanjuti pembahasan Rancangan Undang-
Undang Pengakuan dan perlindungan Masyarakat
233
Hukum Adat (RUUPPMHA) dan segera ditetapkan
menjadi undang-undang. Sebagai tindak lanjut
pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
menyusun peraturan daerah provinsi (Perdasi) atau
peraturan daerah khusus (Perdasus) dan petunjuk teknis
pengakuan berupa peraturan gubernur (Pergub), sebagai
pedoman bagi kabupaten dan kota, serta menjadi dasar
legitimasi penerbitan surat keputusan (SK) oleh Gubernur
atas pengakuan suku, marga yang wilayah adatnya
berada di dua kabupaten atau kota. Bagi kabupaten dan
kota dapat menetapkan peraturan daerah
kabupaten/kota serta peraturan bupati atau peraturan
walikota untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis
operasional dalam mewujudkan pengakuan MHA.
Adanya regulasi setingkat undang-undang akan
memberikan kedudukan hukum (legal standing) bagi
kepemimpinan adat, sehingga ia dapat melakukan
berbagai hubungan hukum maupun perbuatan hukum
yang berkenaan dengan perannya menjaga,
mensejahterakan, dan melegasikan tatanan adat-istiadat
dan hal ihkwal lainnya terhadap MHA yang dipimpinya,
bahkan dapat melakukan juga perbuatan hukum dengan
kepemimpinan MHA yang lain di lingkup kabupaten,
provinsi di seluruh Indonesia. Bahkan Peran
234
kepemimpinan MHA, tidak hanya sebatas mengurusi hal-
hal yang bersifat tradisional semata, tetapi di era
globalisasi ini tantangan para pemimpin MHA mampu
mengadaptasikan kepemimpinannya dengan kondisi
negara dan pengaruh globalisasi. Ikatan psikhologis
tradisional oleh MHA menunjukan ikatan primordial
kesukuan yang sungguh kuat. Ikatan primordial memiliki
kekuatan dan kelemahan. Dari sisi kekuatan, primordial
suku memperkuat kohesi antara sesama komunitas suku
karena merasa satu turunan (misalnya di Kei dangan
kearifan lokal “Manut ain mehe tilur, Vuut ain mehe
ngivun” artinya telur yang berasal dari induk ayam satu
dan sama, dan telur dari induk ikan yang sama,
maknanya: kita bersatu karena kita dari turunan yang
sama., ada juga” Ain ni ain” artinya satu punya satu,
bermakan saling mengasihi, saling memiliki; ada juga
kearifan lokal: “ it fiang fo kud entau fo banglu” artinya
kita lakukan dengan baik maka kekuatannya seperti
peluru, hal ini bermakna “kalau kita bersatu pasti kuat”.
Kondisi ini juga memperkokoh kondisi multikulturalisme
Indonesia, dan kekuatan budaya masing-masing suku,
daerah merupakan puncak budaya daerah dan sekaligus
berkontribusi bagi kebudayaan nasional. Namun
sebaliknya manakala kondisi primordial MHA itu
235
berubah menjadi pemicu terjadinya ketidakpercayaan
MHA kepada pemerintah, akibat tidak diberi pengakuan
dan perlindungan kepada kepemimpinan MHA, maka
akan terjadi kegaduhan, bahkan resistensi MHA menjadi
ancaman disintegrasi bangsa. Dinamika kehidupan MHA
dan kepemimpinannya dipengaruhi pula oleh pengaruh
global yang kini melanda dunia. Pengaruh tersebut bisa
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, namun
dapat memanfaakan kepemimpinan MHA untuk
komunitasnya dari pengaruh asing yang tidak sesuai
dengan kearifan lokalnya. Peran Kepemimpinan adat
adalah menjaga sakralitas dari nilai-nilai adat yang
diyakini turun-temurun yang merupakan identitas MHA,
yang dikuatirkan akan tergerus sehingga kepemimpinan
adat perlu diberikan penguatan (empowering).
Regulasi yang menjadi rujukan dibeberapa Provinsi
dan Kabupaten/kota adalah Permendagri Nomor 52
Tahun 2014 beserta Peraturan Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Namun MHA belum percaya diri kalau
regulasi tentang pengakuan dan perlindungan MHA
belum dalam bentuk undang-undang. Terhambatnya
penetapan UU PPMHA ini karena belum adanya
kemauan (political will) penguasa baik di pusat maupun
daerah. Di tingkat pusat: Pemerintah dan Legislatif belum
236
memproses, menetapkan, dan mengundangkan
Rancangan UUPPMHA menjadi UUPPMHA. Di tingkat
daerah: Pemerintah Daerah baik provinsi maupun
kabupaten dan kota enggan menyediakan dana (provinsi,
kabupaten/kota belum mengalokasikan dana khusus
untk penelitan MHA) yang jumlahnya milyaran rupiah
untuk memproses pengakuan MHA, dan identifikasi
batas-batas wilayah adat yang satu dengan wilayah adat
yang lainnya yang dikuasai oleh suku dan atau marga.
2. Pembinaan Kepemimpinan MHA.
Penguatan kepemimpinan MHA melalui program
pembinaan tokoh-tokoh adat, tokoh agama. Tokoh
pemuda, tokoh perempuan yang selama ini telah
dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
melalui Badan Kesatuan Bangsa, dan perangkat
pemerintahan lainnya di provinsi maupun
kabupaten/kota. Namun perlu dimantapkan substansi,
metode dan pemateri. Program dan kegiatan seperti bela
negara, latihan kepemimpinan, kegiatan anti korupsi,
pemantapan wawasan kebangsaan, kegiatan kerukunan
umat beragama, kegiatan Musabqoh Tilawatil Quran,
Pekan Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi), Pesta Paduan
Suara Gerejani Katolik (Pesparani), dan seni budaya, olah
raga, pemberdayaan ekonomi MHA perlu direncanakan,
237
didukung dengan ketersediaan anggaran pemerintah dan
dilaksanakan secara periodik dan berkelanjutan. Di
samping itu perlu mendorong berbagai keterlibtan
kepemimpinan MHA dalam kegiatan pembangunan
seperti rapat koordinasi pembagunan (Rakorbang) atau
musyawarah rencana pembangunan (Musrembang), dari
tingkat kampung, kabupaten dan provinsi, kegiatan
penataan ruang antara lain terlibat sebagai anggota Badan
Koordinasi Penataan Ruang tingkat distrik/kecamatan
dan kabupaten/kota, serta diberikan ruang kepada
kepemimpinan MHA untuk memberikan saran
pertimbangan mengenai penataan ruang yakni
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
perencanaan tata ruang yang berkenaan dengan
wilayahnya, karena MHA memiliki kearifan lokal dalam
penataan ruang yang dijaga, dipelihara, ditaati turun-
temurun. Disadari bahwa negara memiliki kewenangan
mengatur bumi, air dan ruang angkasa (Teori Hak
Menguasai) namun hak negara tersebut melingkupi MHA
dan sumber daya alamnya. Maka sudah sepatutnya
kepemimpinan MHA dilibatkan secara aktif dalam
keseluruhan proses penataan ruang, demi kehidupan
komunitas MHA baik sekarang maupun yang akan
datang.
238
Kebijakan penguatan Kepemimpinan MHA di era
globalisasi ini perlu dimantapkan agar kepemimpinan
MHA dapat mengetahui bahkan memahami berbagai
kondisi dan pengaruh negatif dalam dimensi nasional
maupun internasional, terutama diwaspadai ideologi
transnasional yang memengaruhi ideologi Pancasila.
Untuk itu kepemimpinan MHA perlu secara terus
menerus diberikan penguatan serta kepekaan dalam
aspek kewaspadaan nasional. Kepemimpinan MHA yang
telah mengalami proses pencerahan kewaspadaan,
diharapkan memiliki jiwa nasionalis serta kemampuan
mengantisipasi, berbagai potensi ancaman, hambatan dan
gangguan serta memiliki daya tangkal untuk
menghindari diri dan komunitasnya, bahkan negaranya
dari ancaman tehadap eksistensi NKRI.
Penguatan kepemimpinan MHA dalam semua
aspek, pada akhirnya bermuara pada kondisi kehidupan
yang ulet, tangguh yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap ketahanan MHA di bidang adat-
istiadat, sosial-keagamaan, pangan, dan ideologi menuju
ketahanan nasional NKRI.

239
F. Implikasi Kepemimpinan MHA
1. Implikasi Terhadap Kepastian Hukum
Pengakuan kepemimpinan dan perlindungan MHA
di Indonesia telah diperjuangkan sejak lama oleh MHA
Indonesia melalui organisasi seperti Aliansi Masyarakat
Adat Indonesia (AMAN), Asosiasi Pengajar Hukum Adat
Indonesia (APHA), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan lembaga independen lainnya agar MHA memiliki
suatu regulasi pada tataran undang-undang. Memang
kini ada regulasi setingkat Peraturan Menteri Dalam
Negeri yang mengatur secara teknis pengakuan dan
perlindungan terhadap kepemimpinan MHA. Namun
harapan tersebut belum menjadi kenyataan di Indonesia
tercinta ini. Kondisi tersebut menyebabkan MHA
mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPRRI) untuk segera menetapkan
UU Pengakuan dan Perlindungan MHA dengan
argumentasi sebagai berikut:
a. Belum adanya pengakuan negara secara utuh,
totalitas terhadap MHA.
b. Semua pengakuan yang sekarang merupakan
pengakuan secara politis semata,

240
c. Adanya kebijakan pengakuan kepemimpinan MHA
yang tumpang tindih. Hal ini sejalan dengan kondisi
MHA saat ini yaitu:
1) Hampir punah karena tak bisa akses wilayah adat.
2) MHA berada dalam kondisi kritis karena wilayah
adat (hutan) berubah jadi perkebunan
monokultur.
3) Belum adanya mekanisme penyelesaian konflik
yang adil.
4) Penyelesaian konflik jalur yudisial berbenturan
dengan status MHA.
5) Penggunaan hukum formal memarjinalisasi peran
hukum dan kelembagaan adat.
MHA dalam pengakuan bukan hanya berkaitan
dengan kesejahteraan, tapi juga mendudukan secara
proporsional MHA sebagai subyek hukum dan mengakui
keberadaanya dengan segala kearifan lokal, dan wilayah
tempat mereka melangsungkan kehidupan beserta
kekayaan alam yang memberi mereka hidup. Untuk
memulihkan hubungan negara dengan MHA dan
mendudukkan MHA sebagai warga negara yang setara
dengan warga negara lainnya di Indonesia maka
kebijakan yang perlu diwujudnyatakan sebagai berikut:

241
a. Melindungi MHA agar dapat hidup aman, tumbuh
dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaannya serta
bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
b. Memberikan kepastian hukum bagi MHA dalam
rangka menikmati haknya
c. Menjadi dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan
pemulihan hak masyarakat hukum adat,
pemberdayaan dan penyelenggaraan program
pembangunan.
Pengakuan pemerintah atas eksistensi MHA
memberikan kemanfaatan sebagai berikut:
a. Pengakuan MHA atas tanah dan sumber daya alam.
b. Mengakhiri ketidakpastian dan tupamg tindih
tuntutan tanah.
c. Penyelesaian sengketa sumber daya alam.
d. Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Adatnya.
e. Pemberian layanan kemasyarakatan, pemerintahan
dan pembangunan yang bermartabat.
Pengakuan Negara atas eksistensi MHA merupakan
implementasi dari Hak menguasai negara atas sumber
daya alam (SDA). Negara tidak memiliki SDA tapi
memiiki kewenangan untuk mengatur peruntukan,
termasuk mengakui MHA denagn wilayah adat dan
242
batas-batasnya dalam NKRI. Pengakuan negara tersebut
memiliki implikasi politik kepada MHA, yakni MHA
diakui tidak saja secara de jure tetapi juga diberikan
pengakuan secara faktual, bahwa MHA itu sudah berada
jauh sebelum NKRI, dan mereka adalah pendukung
NKRI, maka sudah sewajarnya mereka diberikan hak
keistimewaan untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai bumi, air yang merupakan ruang kehidupan
mereka. Dengan demikian mereka merasakan bahwa
mereka sedang berada dan beraktifitas di rumah besar
mereka sendiri yaitu NKRI.
2. Implikasi terhadap Kesejahteraan
Dalam perspektif ekonomi ketika MHA dan
kepemimpinannya diberikan pengakuan dan
kepercayaan atas eksistensi dan sumber daya alamnya,
maka kehidupan akan mendatangkan kemakmuran, dan
keberlanjutan sumber daya alam tempat mereka hidup.
MHA di mana pun di Indonesia ini, meyakini bahwa
sumber daya alam diibaratkan sebagai seorang ibu yang
menyusui anaknya, dan untuk itu ibu harus dijaga
dipelihara agar dapat terus memberikan susu kepada
anak-anaknya. Dengan demikian MHA menjaga alam,
alam jaga MHA, MHA mewariskan mata aoir kepada
generasi penerus, bukan mewarisi air mata penderitaan
243
bagi generasi penerus. Dalam perspektif sosial budaya
menimbulkan akibat yang berkontribusi bagi bangsa
Indonesia yang majemuk ini yakni adanya saling
pengakuan atas nilai-nilai kultural yang berbeda, dan
sekaligus mejadi perekat persatuan bangsa.
MHA dan kepemimpinannya dalam perspektif
geopolitik, merupakan aspek yang sangat strategis,
karena MHA menghuni hampir sebagian besar pulau-
pulau di Nusantara ini. Sehingga keberadaan mereka
menjadi dasar berbagai kebijakan Negara dan Pemerintah
untuk membangun di segala bidang menuju masyarakat
adil dan makmur dalam wadah NKRI. Kondisi kehidupan
MHA yang diakui keberadaannya beserta sumber daya
alam, dengan kepemimpinan yang kuat akan
berkontribusi bagi keamanan persekutuan sekaligus
keamanan wilayah, regional dan nasional.
Menyikapi terjadinya resistensi MHA, bukan
semata soal kesejahteraan semata, maka solusi yang
cerdas adalah menjadikan MHA menjadi tuan rumah di
negeri sendiri dengan cara memanusiakan mereka
melalui tindakan kepercayaan, berikan ruang partisipasi,
berkreasi membangun daerahnya mulai dari diri sendiri,
keluarga, lingkungan, daerah dan nasional, yang
tentunya tetap dalam kontrol hukum negara yang populis
244
dalam NKRI. Untuk itu para pemimpin MHA diberikan
penguatan melalui pembinaan kepemimpinan agar
kapasitas dan kompetensi, khususnya hal-hal yang urgen
dalam pembangunan seperti wawasan kebangsaan dan
persoalan strategis lainnya.
Pengaruh ideologi saparatis, politik identitas,
primordialisme sempit, ekses negatif kemajemukan
budaya, serta pengaruh globalisasi, dan rivalitas Amerika
Serikat dan sekutunya, China dan sekutunya dalam dunia
perdagangan, persenjataan, provokasi negara-negara
pasifik terhadap HAM dan isu kemerdekaan di Papua,
memengaruhi dinamika perkembangan MHA dan
kepemimpinannya, maka kewaspadaan terus
ditingkatkan, melalui pemantauan sejak dini, terus-
menerus dari berbagai dampak situasi dan kondisi
lingkungan MHA, regional bahkan global. Dengan
memberikan peran kepemimpinan MHA yang kuat, dan
pengakuan eksistensi MHA akan berimplikasi pada
penguatan integrasi bangsa dengan segala ketangguhan
dan keuletan yang mengandung kekuatan untuk
mengatasi dan menghadapi berbagai ancaman baik dari
dalam maupun dari luar, sehingga kelangsungan
kehidupan bangsa tetap terjamin. Inilah ketahanan
nasional yang diharapkan, sehingga NKRI tetap eksis,
245
dan mampu membawa negara ini mencapai tujuannya
yakni masyarakat yang adil dan makmur.
3. Implikasi terhadap Ketahanan Nasional
Belum diselesaikannya Rancangan undang-undang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
(UUPPMHA) mengakibatkan MHA belum diberikan
pengakuan dan perlindungan yang optimal baik kepada
komunitas adatnya maupun kepemimpinannya. Hal ini
terjadi karena dalam praktek pemerintahan pengaturan
pengakuan diatur dalam regulasi setingkat peraturan
menteri dalam negeri. Dari sisi kualitas dan tingkat daya
laku tidak sekuat regulasi dalam bentuk undang-undang,
hal tersebut ternyata dalam praktek mengalami kesulitan
dalam hal pembiayaan untuk penelitian bahkan pemetaan
MHA baik fisik ruang hidupnya maupun non fisik.
Sehingga Surat Keputusan Gubernur, Bupati dan Wali
Kota, belum memiliki dampak yang luas terhadap
eksistensi MHA dan kepemimpinannya, karena masih
lemah jika dibandingkan dengan regulasi sektoral (UU
Kehutanan, UU Pertambangan, dan lain-lain) yang sangat
mendominasi pemanfaatan bumi, air, dan ruang angkasa,
dalam kenyataannya, undang-undang otonomi khusus,
yang merupakan lex spesialis derogat lege generalis, tidak
diindahkan. Hal yang juga berdampak terhadap MHA
246
dan kepemimpinanya karena belum diakuinya MHA
sebagai subyek hukum yang memiliki (pemangku,
pendukung) hak dan kewajiban, dan untuk itu MHA dan
kepemimpinannya dapat melakukan hubungan hukum
(hubungan MHA dengan tanah, hutan, tambang dan
sebagainya) dan perbuatan hukum (jual beli, sewa
menyewa, jual beli cicilan, sewa beli) dan tidak memiliki
legal standing. Inilah hal yang esensial yang
menyebabkan terjadinya berbagai resistensi MHA
terhadap pemerintah dan pengusaha. Resistensi ini terjadi
akibat berbagai konflik seperti Konflik yang terjadi di
Papua kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam
merupakan konflik horisontal antara MHA dengan para
pengusaha, dan antara MHA dengan Pemerintah sebagai
berikut:
a. Konflik antara MHA dengan perusahaan kelapa
sawit, akibat lahan pertanian dan hutan adat mereka
dicaplok oleh pengusaha, tanpa ada proses
musyawarah.
b. Perusahaan perkebunan membuka tambahan luasan
lahan di luar luasan yang diijinkan oleh pemerintah.
c. Perusahan tambang minyak dan gas mengambil alih
areal sumur dengan ijin pemerintah, tanpa
musyawarah dengan MHA
247
d. Perusahaan kayu, yang mendapat ijin (HPH, HTI dll)
dengan hanya membayar rekognitie saja, tanpa
perhitungan kubikasi dari hasil hutan kayu yang
diambil.
e. Adanya konflik tenaga kerja, perusahaan tidak
mempekerjakan anggota MHA yang hidup di sekitar
areal perusahaan.
f. Perusahaan tidak memberikan perhatian kepada
MHA oleh perusahaan guna pengembangan sumber
daya manusia, dan kesejahteraan warga sekitar
perusahaan.
Kebijakan pemerintah dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah, dan ditindaklanjuti (implementasi
pembangunan yang sesuai dengan penetapan Rencana
Tata Ruang Wilayah) wujudnya antara lain dengan
pemberian ijin perkebunan, pertambangan, kehutanan
dan lain-lain pemanfaatan sumber daya alam (SDA) tidak
melibatkan MHA disebabkan MHA belum diakui secara
formal-legal. Pengaturan penataan ruang oleh pemerintah
belum bersinergis dengan wilayah MHA. Di sinilah
sumber konflik yang berkepanjangan. Belum diakuinya
MHA (Kepala Daerah belum menerbitkan Surat
Keputusan Kepala Daerah tentang Pengakuan eksistensi
MHA sebagai subyek hukum, dengan batas wilayahnya
dalam NKRI) berimplikasi pada lemahnya posisi tawar

248
(melakukan negosiasi, kesepakatan dalam perjanjian
berkenaan dengan hak dan kewajiban perdata) dalam
berbagai kegiatan terutama kegiatan yang berkenaan
dengan pengelolaan sumber daya alam. Manakala
ditelaah secara teoretis bahwa MHA hadir di bumi
persada ini, jauh sebelum negara ini diproklamasikan,
sehingga hubungan hukum, hubungan psikhologis,
hubungan magis-riligius antara MHA dengan ruang
hidupnya (lebensraum) sudah menyatu. Pengelolaan
SDA didasari pada teori Hak Menguasai Negara yang
intinya menganut paham bahwa negara tidak memiliki
SDA tetapi negara hanya mengatur, dan mengurus demi
kesejahteraan rakyat sebanyak-banyaknya. Wujud hak
menguasai di bidang pertanahan yakni: (1) mengatur
(regelendaad) penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai
dengan tata ruang; (2) mengurus (bestuursdaad) termasuk
mengelola (beheersdaad); (3) pengendalian yaitu arahan,
bimbingan, supevisi, perizinan, pelatihan, sertifikasi,
bantuan teknis, penyuluhan, didiklat; (4) pengawasan
(toezichthoundensdaad) yakni pemantauan, evaluasi,
korektik dan penegakan hukum. Teori hak menguasai
negara ini sinergis dengan teori tujuan hukum Jeremi
Bentham yakni hukum harus menjamin kebahagiaan
kepada banyak orang (greatest happiness for the greatest
number).

249
Untuk itu Negara harus mampu mengatur wilayah
yang dalam kenyataannya merupakan wilayah adat
MHA wajib diakui dan diberikan dasar legitimasi untuk
mengelolanya, bukan semua SDA menjadi kewenangan
mutlak oleh negara untuk mengatur dan mengurus
seperti yang terjadi sekarang. Kondisi inilah yang
memunculkan resistensi MHA dan kepemimpinannya di
beberapa provinsi di Indonesia. Akumulasi dari Implikasi
belum optimalnya pengakuan MHA dan kepemimpinan
berimbas pada marginaliasi, diskriminasi,
primordialisme, kedaerahan sempit dan lain sebagainya.
Marginalisasi tampak dari tidak dibukanya ruang
partisipasi pemimpin MHA dalam berbagai kebijakan
pembangunan. Dengan ketidakikutsertaan pemimpin
MHA disikapi sebagai suatu diskriminasi pemerintah
kepada orang papua, termasuk rasisme kasus Surabaya
bahkan kekecewaan masyarakat/MHA berdampak pada
munculnya sikap kedaerahan sempit. Contoh kasus yang
terjadi di Papua yakni kasus berdarah di Teluk Wondama
dan Kasus ganti rugi tambang gas di Teluk Bintuni.
Peristiwa berdarah akibat perebutan sumberdaya alam di
Wasior di daerah konsensi Hak Pengusahaan Hutan CV.
Vatika Papuana Perkasa di Kampung Wondiboi, 13 Juni
2001. Peristiwa terjadi akibat penyerangan yang
menewaskan 5 anggota brimob dan satu sipil. Niat baik

250
pemerintah untuk mencari dan menangkap pelaku
pembunuhan, dikotori dengan penyiksaan sedikitnya 30
orang warga kampung, penangkapan sewenang-wenang,
bahkan pemerkosaan dan pembunuhan. Penanganan dan
penyelesaian kasus ini hingga kini belum tuntas,
walaupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) telah menindaklanjuti hingga kejaksaan Agung,
untuk dimajukan di Badan Peradilan. Kasus berdarah di
Wasior (kini kabupaten Teluk Wondama), membawa
penderitaan yang hingga saat ini, belum mampu
memulihkan kekecewaan yang terjadi, terutama pihak
korban merasa bahwa pemerintah merupakan musuh.
Untuk itu proses penyelesaian secara hukum harus
diselesaikan disertai dengan pembinaan secara
psikhologis untuk memulihkan keadaan masyarakat
(para korban), sesuai fungsi hukum restituo integrum,
mengembalikan kondisi keseimbangan kosmis.
Praktek baik dari kebijakan Pemerintah Papua Barat
dan Kabupaten Teluk Bintuni yakni penyelesaian
kompensasi ganti rugi hak ulayat suku Sebyar di Teluk
Bintuni atas kompensasi pembayaran sumur gas senilai
32,4 milliar, Setelah terjadi negosiasi antara pemimpin
MHA Sebyar dan Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
akhirnya terjadi kesepakatan walaupun membutuhkan
waktu 7 (tujuh) tahun, guna realisasi oleh Pemerintah

251
Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni pada
tahun anggaran 2022, berdasarkan Peraturan Gubernur
Papua Barat tahun 2022 dan Peraturan Bupati Teluk
Bintuni Nomor 8 Tahun 2022.
Dalam berbagai kasus Papua berbagai resistensi
MHA terhadap perusahaan perkebunan, kehutanan,
pertambangan, perikanan mulai terdeviasi pada ideologi
papua merdeka. Kekecewaan MHA yang miskin,
sementara kekayaan alam yang berada di wilayah
adatnya dieksploitasi, dieksplorasi oleh perusahaan yang
diberikan konsensi oleh pemerintah mengakibatkan
MHA kehilangan ruang hidup, atau terjadi ruang hidup
secara frontal yaitu MHA yang hidup dari hasil
mengambil hasil hutan (sagu, rotan, kayu, berburu) kini
tidak berdaya karena wilayah tersebut telah berubah
menjadi perkebunan dan lai-lain. Bahkan perubahan
fungsi wilayah MHA tersebut tidak dibarengi dengan
kompensasi, bahkan akses ke wilayah MHA telah sirna
karena telah dikuasai perusahaan. Ketika semua upaya
yang dilakukan oleh MHA menjadi sia-sia maka yang ada
adalah perlawanan terhadap negara baik secara terbuka
maupun secara rahasia. Motif resistensi seperti ini ada
kemiripan dibeberapa komunitas adat di Indonesia. Ini
ancaman yang serius, dan signal seperti ini menjadi
perhatian serius penguasa. Di samping itu diperlukan

252
politik luar negeri yang bersahabat dengan negara-negara
di kawasan pasifik, guna meminimalisasi potensi
ancaman melalui isu-isu HAM, kemiskinan, diskriminasi
terhadap MHA di tanah Papua yang sering dilakukan
dalam diplomasi di PBB yakni Vanuatu, Palau,
Tuvalu.Sedangkan Dua negara yang dulunya
mendukung kemerdekaan Papua, kini berbalik
memberikan dukungan bagi NKRI dalam pembanguna di
tanah Papua, yakni Kepulauan Solomon dan Nauru. Ini
bukti dari diplomasi politik yang kontinyu dan saling
menghargai dari NKRI.

G. Penutup dan Rekomendasi


1. Rangkuman
a. Pengakuan negara terhadap eksistensi kepemimpinan
MHA di Nusantara masih dalam tataran politik
semata, belum teraktualisasi dalam kehidupan nyata.
Walaupun dalam Permendagri telah mengatur arahan
teknis pemberian pengakuan kepada kepemimpinan
MHA, belum kuat secara legitimasi pengakuan
terhadap kepemimpinan MHA. Kondisi ini yang
mengakibatkan MHA dan kepemimpinannya tidak
dapat memposisikan dirinya sebagai subyek hukum.
Legal standing untuk mengelola sumber daya alam
tempat mereka hidup dan memberikan meraka
makan secara turun-temurun. Kondisi ini
253
berkontribusi terhadap adanya resistensi MHA,
terhadap pemerintah dan pengusaha bahkan
separatis-teroris memengaruhi integrasi dan
memperburuk kondisi ketahanan nasional NKRI.
b. Peran Kepemimpinan Masyarakat Hukum Adat
(MHA) sangat strategis, sebagai pemimpin
kharismatik-tradisional memiliki: 1) Tanggung jawab
dalam menjaga anggota MHA, harta kekayaan
persekutan, menjaga dan melestarikan nilai-nilai
sakralitas dalam adat-istiadat dan kearifan lokal; 2)
bertanggung jawab dan menjaga suumberdaya alam
sebagai sumber kehidupan dan memanfaatkannya
secara berkelanjutan bagi anggota MHA menuju
kesejahteraan dan bagi generasi mendatang; 3)
Kepemimpinan MHA dalam menjalankan
pemerintahan adat dalam rangka menciptakan
kedamaian dan melindungi anggota komunitas dari
ancaman pihak baik dari dalam maupun dari luar
komunitas MHA; 4) Kepemimpinan MHA
bertanggungjawab atas berbagai perubahan akibat
pengaruh luar terhadap budaya dan peradaban MHA;
5) Kepemimpinan MHA berkewajiban melaksanakan
berbagai program pemerintah, dan wajib dilibatkan
dalam pemanfataan ruang oleh pemerintah di wilayah
adat MHA.

254
c. Implikasi belum adanya pengakuan MHA dalam
bentuk undang-undang berkontribusi pada
ketidakpastian hukum. Kesejahteraan MHA belum
optimal dikarenakan wilayah MHA diatur belum
sepenuhnya ikut ditentukan oleh MHA, karena belum
adanya pengakuan sebagai subyek hukum. Kondisi
belum diakuinya MHA, mengakibatkan belum
optimalnya peran kepemimpinan yang berimplikasi
pada adanya resistensi MHA terhadap kebijakan yang
berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya alam
MHA.
2. Rekomendasi
a. Pengakuan dan perlindungan:
1) Menyelesaikan regulasi tentang RUU Masyarakat
Hukum Adat, yang kini masuk dalam program
legislasi tahun 2022 oleh Kementrian Dalam
Negeri dan DPRRI di Jakarta.
2) Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
menyediakan anggaran guna membiayai
penelitian, vrifikasi, dan validasi dan segera
menerbitkan keputusan Kepala Daerah sebagai
bentuk pengakuan Pemerintah terhadap
eksisitensi kepemimpinan MHA.
3) Pengaturan untuk pemberian ijin pengelolaan
sumber daya alam oleh pemerintah disinergikan

255
dengan wilayah MHA, menghindari terjadinya
resistensi yang koordinasikan oleh Kementrian
Dalam Negeri, Kementrian Lingkungan Hidup,
dan kemetrian lainnya.
4) Kementrian Dalam Negeri beserta Kementrian
dan Lembaga terkait, Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPDRI) agar secepatnya
mengadakan pelatihan, bimbingan dan lain-lain
terhadap MHA dalam kapasitas sebagai subyek
hukum..
b. Kepemimpinan MHA:
1) Implementasi pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah yang berorientasi desa/kampung
yang kini sedang dilaksanakan dengan alokasi
dana desa/kampung, dari dana tersebut
direkomendasikan untuk ada alokasi khusus pada
pembinaan kepemimpinan MHA di masing-
masing desa/kampung. Instansi Pusat yang
terlibat Kementrian Desa dan Transmigrasi,
Pemberdayaan masyarakat, Biro Pemerintahan
dan bagian pemerintahan kampung baik di
provinsi, kabupaten dan kota,
2) Kepemimpinan MHA diberikan kepercayaan
untuk senantiasa berpartisipasi dalam
keseluruhan tahapan mulai perencanaan,

256
pelaksanaan serta pengawasan anggaran
desa/kampung. Instansi yang terlibat Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Kampung yang menginisiasi dan membina.
3) Penetapan wilayah lindung dan budi daya serta
zonasi di wilayah MHA, wajib melibatkan
kepemimpinan MHA, dan lembaga-lembaga yang
memiliki kompetensi untuk memberikan saran
pertimbangan, karena MHA memiliki kearifan
dalam penataan ruang MHA. Instansi yang
terlibat adalah instansi yang mengurus perihal
penataan ruang, baik di Provinsi mauun di
kabupaten/kota.
4) Kepemimpin MHA bersama kelembagaan adat
lainnya, secara periodik, bertahap mengikuti
latihan kepemimpinan dan pembinaan wawasan
kebangsaan sebagai modal memantapkan
kesatuan dan persatuan bangsa yang memiliki
ketahanan nasional yang ulet, tangguh dan
mampu menangkal setiap ATHG. Instansi yang
terlibat yakni Lemhannas RI, Menkopolhukham,
Badan Kesatuan Bangsa dan Pollitik yang ada di
provinsi, kabupaten/kota.
c. Implikasi belum adanya pengakuan atas MHA dan
kepemimpinannya:

257
1) Guna adanya kepastian hukum bagi MHA dan
kepemimpinannya, maka Kementrian Dalam
Meneri, DPRRI untuk segera menuntaskan
UUPPMHA.
2) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan MHA,
maka Kepemimpinan MHA diberikan
kepercayaan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan guna percepatan kesejahteraan
MHA.
3) Dalam rangka memantapkan integrasi bangsa
yang menghasilkan kemampuan dan keuletan
dalam menghadapi ATHG sebagai manifestasi
ketahanan nasional yang kokoh demi tegak dan
lestari NKRI, maka Pemerintah melalui
Lemhannas, BPIP bersama komponen bangsa
secara terus-menerus memberikan pembinaan
tentang wawasan kebangsaan kepada
kepemimpinan MHA.

258
DAFTAR PUSTAKA

A. Teks Book:
Abdurrahman. 1994. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-
Undangan Agraria Indonesia. Akademika Pussindo,
Jakarta.
Agusta Pinta Kurnia Rizky dan Aris Prio Agus Santoso. 2021.
Pengantar Hukum Adat. Pustaka Baru Press,
Yogyakarta.
Andi Suriyaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat: Dulu, Kini Dan
Akan Datang. Pelita Pustaka. Makassar.
Bartoven Vivit Nurdin, Elis Febriani Jesica. Ritual Ngebuyu:
Membumikan Pewaris dan Perubahan Ritual Kelahiran
pada Marga Legun. Wawurang, Lampung.
Departemen P dan K. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Maluku.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penelitian
Sejarah Dan Budaya Proyek Penelitian Dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara. 1997. Masalah-Masalah Hukum Perdata
Adat di Kecamatan Nimboran. Jayapura.
Djojodigoeno, M.M. 1964. Asas-asas Hukum Adat. Yayasan
Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dominikus Rato dan J.A. Hartanto. 2011. Hukum Perkawinan dan
Pola Pewarisasn Adat di Indonesia. Laksbang Yustusia.
Surabaya.
Dominikus Rato.2015. Hukum Perkawinan dan Waris Adat
Indonesia. Laksbang Pressindo Yogyakarta.
Endang Sumiarni. 2010. Hukum Adat Biak. Biro Hukum Setda
Provinsi Papua. Jayapura.
Efrem Silubun.2020. Larvhul Ngabal Menyingkap kembali Hulu
Adat Kei. Insistpress, Yogyakarta.

259
Endang Sumiarni cs 2010. Hukum Adat Biak. Biro Hukum Setda
Provinsi Papua.
Endang Sumiarni cs 2018. Eksistensi Hukum Adat Serta Nilai-
Nilai Kearifan Lokal Suku Arfak sebagai penunjang
Pembangunan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta
bekerjasama dengan STIH Manokwari.
Endang Sumiarni cs. 2022. Pengakuan dan Pelindungan Terhadap
Eksistensi MHA Suku Arfak Sougb di Kabupaten Teluk
Bintuni. Maha Karya pustaka Yogyakarta.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Cetakan II, Mandar Maju, Bandung.
Hilman Hadikusuma.2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Ignasius S.S. Refo. 2015. Manusia Kei: Relasi-relasi Seputar
Kematian. Yayasan Pustaka Nusantara.
Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat, Sketsa Asas. Liberty,
Yogyakarta
Kaimuddin Salle. 1999. Kearifan Lingkungan menurut Pasang
(Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat pada
Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten
Daerah Tingkat II Bulukumba. Disertasi PPS Universitas
Hasanuddin Makassar.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Djambatan, Jakarta.
Koentjaraningrat.1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru,
Jakarta.
Kusumadi Pudjosewojo.1984. Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia. Aksara baru, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono. 1982. Puspita Serangkum, Aneka
Masalah Hukum Agraria. Andi Offset, Yogyakarta.
Maria S.W. Sumardjono.2005. Kebijakan Pertanahan Antara
Regulasi dan Implementasi. Kompas, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono. 2008. Pengaturan tentang Hak Ulayat
Masyarakat Adat dalam Peraturan Perundang-
undangan, Makalah, “Seminar Nasional Kebijakan
Pertanahan dan Penataan Ruang di Papua Barat”.
260
Forkoma PMKRI dan Pemda Prov. Papua Barat,
Manokwari, tanggal 14 Januari.
Marthinus Salossa. 1995. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah di
Irian Jaya setelah berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria, Kasus Jayapura. (PPS Universitas Hasanuddin
Makassar.
Hilman Hadikusuma. 1983. Hukum Waris Adat. Alumni
Bandung.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Mandar Maju Bandung.
Ignasius S.S. Refo. 2015. Manusia Kei: Relasi-relasi Seputar
Kematian, Yayasan Pustaka Nusantara.
Marthinus Sallosa. 1997. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah di
Irian Jaya setelah berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria, Kasus Jayapura. (PPS Universitas Hasanuddin
Makassar.
Mohammad Jamin. 2014. Peradilan Adat: Pergeseran Politik
hukum, Perspektif Undang-undang Otonomi Khusus
Papua. Graha Ilmu Yogyakarta.
M.G. Ohorella. 1993. Hukum Adat Mengenai Tanah dan Air di
Pulau Ambon dan Sumbangannya Terhadap
Pembangunan Hukum Agraria Nasional (UUPA) dan
Undang-Undang Lainnya. Disertasi PPS Universitas
Hasanuddin Makassar.
Muhammad. B. 1988. Pokok-Pokok Hukum Adat . Pradnya
Paramita, Jakarta.
Muhammad Isa. 1985. Kecenderungan Pengaruh Pensertifikatan
Tanah Terhadap Pelestarian Tanah Adat (di
Minangkabau) dalam Sayuti Thalib (Penyunting)
Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di
Minangkabau. Jakarta.
Parlindungan, AP. 1991. Komentar Atas Undang-Undang
Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Mandar Maju,
Jakarta.
Pemda Provinsi Papua. 1993. Hasil Seminar Peningkatan Peran
Lembaga Adat. Biro Bina Pemerintahan Desa. Jayapura.
261
Pitlo. 1986. Hukum Waris Menurut kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Belanda. Jilid I, PT. Intermasas, Jakarta.
Prodjodikoro Wirjono.R. 1983. Hukum Waris di Indonesia. Sumur
Bandung.
Raho, B. 2003. Keluarga Berziarah Lintas Zaman: Suatu Tinjauan
Sosiologi. Seri Pastoralia.Nusa Indah, Ende.
Roberth KR Hammar, 1989. Hukum Kewarisan Adat Ihandin
Kabupaten Fakfak. Skripsi STIH Manokwari.
Roberth KR Hammar. 2017. Penataan Ruang Berbasis Kearifan
Lokal. Calpulis Yogyakarta.
Rosnidar Sembiring. 2017. Hukum Pertanahan Adat. Rajawali
Press. Depok.
Setiady, T. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta.
Bandung.
Soepomo. 1977. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Sudargo Gautama. 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok
Agraria. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sulaiman Rasjid, H. 1976. Figh Islam. Attahirfiyah, Jakarta.
Surojo Wignyodipoero. 2021. Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat. Cetakan kedelapan, PT Gunung Agung, Jakarta.
Hlm 13.
Syamsuddin. M dkk (penyunting). 1998. Hukum Adat dan
Modernisasi Hukum. F.H.UII Yogyakarta.
Ter Haar. B. Poespanoto, S.K. Ng. 1985. Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat. Padnya Paramita, Jakarta.
Tim kepolisian Daerah Papua-Fakultas Hukum Uncen-
Paternership for Governance Reform In Indonesia. 2005.
Peradilan Adat di Papua. Jayapura.
Tolib Setiady. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta.,
Bandung.
Van Dijk, R dan A. Soehardi . 1979. Pengantar Hukum Adat
Indonesia. Sumur, Bandung.
Wulansari, C.D. and A Gunarsa. 2010. Hukum Adat Indonesia:
Suatu Pengantar. Refika Aditama, Bandung.

262
Ziwar Effendi. 1987. Hukum Adat Ambon Lease. Pradnya
Paramita Jakarta.

B. Internet:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Tengah
Dukung Vaksinasi Masyarakat Adat.
https://www.aman.or.id. diakses 3 Agustus 2022.
Banding kasus Lahan diKepulauan Aru
https://regional.kompas.com; diakses 5 Mei 2022.
Biografi dan pemikiran Hazairin dan munawir Sjadzali. tentang
Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Perempuan.
http://repository.radenintan.ac.id diakses 19 April 2023
Ferdi Almunanda. Konflik Lahan di Jambi, Temuan Legislatif
Provinsi Jambi. https://news.detik.com; diakses 5 Mei
2022
Jurnal Sosiologi, Vol.20, No.2:69-80.
Jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id. diakses 19 April 2023
Kami sudah ganti rugi konflik di Adat Dayak Mondang Long Wai.
https:/regional.kompas.com; diakses 5 Mei 2022
Kennial Laia. Masyarakat Adat Di Kalbar Dikriminalisasi Usai
Aksi Damai.https://betahita.id; diakses 5 Mei 2022
Kriminalisasi akibat konflik tanah Transmigrasi di Jambi.
https://www.walhi.or.id; diakses 5 Mei 2022
Konflik Agraria, Perwakilan Warga Jambi Audensi ke Komnas
HAM RI. https://www.komnasham.go.id; diakses 5 Mei
2022
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Ungkap Konflik Agraria
di Jambi 14 Tahun Silam.
https://www.cnnindonesia.com; diakses 5 Mei 2022
Matuanakotta, Jenni K. 2018. Peran Aktif MHA dalam
pembangunan Ekonomi. Jurnal Sasi Vol. 24 Nomor 2 Juli-
Desember. Hl. 101-113 diakses 5 Mei 2022
Nana Cu’ana, 2006. “Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum
Adat Pada Suku Dayak Di Desa Kumpang Kecamatan

263
Toho Kabupaten Pontianak” Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/15709/. Diakses 4 Mei 2022
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) didukung Tokoh Adat
Kalimantan Timur https://www.presidenri.go.id. akses
3 Agustus 2022.
Peran Masyarakat Adat Dukung Pembangunan Tanah Papua.
https://katadata.co.id diakses 3 Agustus 2022
Ronad. Ketua Adat Kinipan ditangkap akibat sengketa lahan sawit
di Kalimantan Tengah. https://m.merdeka.com; diakses
5 Mei 2022
Septa Dinata. Adat dan Konflik Horizontal di Kerinci.
http://www.jambiupdate.co; diakses 5 Mei 2022
Taufik Ahmad. Kasus Tambang Emas di Bombana sulawesi
Tenggara. https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id;
diakses 5 Mei 2022
Tuntutan PembayaranDenda Adat oleh Genting Oil.
https://www.papualives.com; diakses 4 Mei 2022
Tanah Sumuri tidak dilepas untuk Kawasan Strategis,
https://panahpapua.or.id; diakses 4 Mei 2022
Yohanes S. Lon, “Perkawinan Tungku Cu (Cross-Cousin
Marriage) Di Manggarai Antara Adat Dan Agama,”
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-I 7 (2021): 21–34,
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/vie
w/14237/pdf.
Wahyu Santoso. Masyarakat Adat Pamona Tuntut Hak Tanah
Ulayat. https://sulawesi.bisnis.com; diakses 5 Mei 2022

264
PROFIL PENULIS:

Nama : Dr. Roberth Kurniawan Ruslak


Hammar, S.H., M.Hum., M.M., CLA
Tempat Tg Lahir : Larat Kota, 18 Agustus 1965
NİP : 196508181992031022
Pangkat Golongan : Pembina Utama Madya /IVd
Jabatan Fungsional : Lektor (Sementara pengusulan Jabatan
Guru Beşar sebagai Dosen NIDK pada
STIH Caritas Papua Manokwari)
Jabatan Struktural : 1. Kepala Biro Hükum Setda Papua
Barat 2018-sekarang
2. Wakil Bupati Manokwari 2011-2016
3. Ketua Sekolah Tinggi limu Hükum
2020-2024
4. Wakil Ketua Bidang Akademik
Sekolah Tinggi limu Ekonomi (STIE)
Mah Eisa Manokwari 2020-2024
Email : roberthhammar@yahoo.com
Suku Bangsa : Kei (Evav) Maluku Tenggara

Karya Ilmiah:
A. Buku-buku sudah diterbitkan:
1. Perlindungan Hukum dalam Perspektif Tata Ruang Kota;
Erikson Triit Press 2008
2. Kebijakan Pertanahan dan Tata Ruang di Papua Barat;
Erikson Triit Press 2008
3. Pengantar Ilmu Hukum; Caritas Press 2021
4. Filsafat Ilmu; Caritas Press 2021
5. Pendidikan Pancasila ; Caritas Press 2020
6. Penataan Ruang Berbasis Kerifan Lokal MHA Penerbit
Calpulis Yogya 2019
7. Bunga Rampai: Hukum dan Kearifan Masyarakat Hukum
Adat; Caritas Press 2021

265
8. Hollyland: dari Mansinam ke Yerusalem; Caritas Press
2021

B. Penelitian dan Publikasi Jurnal Ilmiah:


2005 : Implikasi Penataan Ruang Kota Terhadap
Perlindungan Hak-Hak Rakyat Atas tanah di
Manokwari-Papua. Jurnal Amanna Gappa Vol. 13
Issue 2005 Hal 286.
2008 : 1. Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Bagi Pegawai. Murnal Patriot,
Vol.1 No.1 juni 2008. ISSN. 1979-7052
2. Pengendalian Pencemaran Lingkungan Laut dan
Pesisir. Jurnal Patriot Vol. 1 No. 1 Juni 2008. ISSN.
1979-7052
3. Inkonsistensi Pelaksanaan Penataan Ruang Kota
Manokwari. Jurnal Patriot Vol 1, No. 1 Juni 2008.
ISSN 1979-7052
4. Buku: Perlindungan Hak-Hak Rakyat Atas tanah
dalam Perspektif Tata Ruang Kota. Penerbit
Erikson Triit Press. ISBN: 979-99589-4-5
2009 : 1. Proses Peralihan Harta Waris Pada Suku Ihandin
di Fakfak Papua Barat. Jurnal Patriot Vol.2 No 1
Juni 2009 ISSN 1979-7052
2. Hak Ulayat Laut Dalam Perspektif Otonomi
Daerah di Kepulauan kei dan Papua. Jurnal UGM
Mimbar Vol. 1 No. 2 ISSN 2443-0994
(online)/ISSN 0852-100x (print)
3. Analisis Hukum Terhadap Penataan Perangkat
Daerah dalam Rangka Peningkatan Kinerja
pemerintah Daerah. Jurnal Patriot Vol. 2. No 1
Juni 2009
4. Buku: Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang.
Erikson Triit Press. ISBN: 978-979-99589-5-2
2010 : 1. Pertanggungjawaban Perdata Dalam Kecelakaan
Lalulintas di Kota Manokwari. Jurnal Patriot.
Vol.3 No. 1 Juni 2010. ISSN. 1979-7052
266
2. Perkembangan Peraturan Daerah Tentang
Penataan Ruang di Kabupaten Manokwari. Jurnal
Patriot Vol 3 No 1 Juni 2010. ISSN 1979-7052
2011 : 1. Masyarakat Desa Pantai dan Hak Ulayat Lautnya
Dalam perspektif Otonomi Daerah. Jurnal Patriot
Vol. 4 No 1 juni 2011. ISSN 1979-7052
2. Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah. Jurnal Patriot. Vol
4 No 1 Juni 2011. ISSN 1979-7052
2017 : 1. Peranan Perguruan Tinggi Hukum Dalam
Mendorong Profesionalisme Penegakan Hukum.
Jurnal Patriot Vol 10 No 2 juni 2017. ISSN 1979-
7052
2. Buku: Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal.
Calpulis Yogyakarta. ISBN: 978-602-6576-04-0
2018 : 1. The Exixtence of Customary Rights of Customary
Law Community and its Regulation in The Era of
Special Autonomy of Papua. Journal of Social
Studies Education Research (JSSER) Sosial Bligler
Egitimi Arastirmalarn Dergisi 2018.9 (10 201-213.
2. Proces and Form of Spatial Panning for Ecological,
Environmental Sustainability and Customary
Rights Guarantee: The Perpective of Arfak Tribal
People on National Spatial Planning. International
Journal of Civil Enginering and Technologi
(IJCIET) Volume 9, issue 1, Januari 2018, pp.490-
498 Article ID: IJCIET-09-01-049. ISSN online:
0976-6316.
3. Factors That Influence Voluntary Auditor Change
in Companies Registered in Indonesia Stock
Exchange in 2018.
2019 : 1. Consolidating and Strengthening the Capacity of
Indigenous People Leading in Maintaining
Customery Law

267
2. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat Sough
Di Kabupaten Bintuni
3. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat
Wamesa Teluk Bintuni
2020 : 1. Buku: Fisafat Ilmu. Caritas Press. Manokwari.
ISBN: 978-602-53077-77-5
2. Bunga Rampai: Hukum dan Kearifan Masyarakat
Hukum Adat. Yayasan caritas Papua, ISBN: 978-
602-53077-5-1
3. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat Arfak
Hatam dan Meyah di Kabupaten Manokwari dan
Pegunungan Arfak.
4. Hibah: Penelitian dan penyususnan Naskah
akademikdan Rancangan Perdasi Kabupaten
Manokwari sebanyak 7 (tujuh) buah yaitu:
a. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Kepemudaan
b. Naskah akademik dan Raperda tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Adat
c. Naskah Akademik dan Rapeda tentang
Perlindungan Produk Lokal
d. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan
e. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Penataan dan Pemberdayaan Pedagangan
Kaki Lima
f. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Pembentukan Koperasi, usaha Kecil dan
Menengah
g. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Produk Lokal
5. Hibah Penelitian dan Penyusunan Raperda Teluk
Bintuni:

268
a. Naskah Akademik dan Ranperda tentang 145
Kampung
b. Naskah Akademik dan Rapenda tentang
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Daerah
c. Naskah Akademik dan Raperda Tentang
Pemerintahan Kampung
2021 : 1. Spatial Panning for Indigenous Law Communities
to Solve Social Conflict Resolution In West Papua
Indonesia JSSER: Journal of Social Studies
Education Research Vol 12, No 4.
2. Cybercrimes and Violations of Intellectual
Property Law on Indigenous Papuans in
Indonesia.
3. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat Suku
Sough Bohon Manokwari Selatan
2022 : 1. Protection of The Rights of Customary Law
Communities in The Zonation Plan For The
coastal Areas of Small Islands in West Papua.
2. Catching up Local Wisdom of The Kei Traditional
Law Community spatial Arrangements In The Kei
Island, Southeast.
3. Conservation of Crab and Mangrove in
Perspective of Local Wisdom
4. Analysis of Regional Regulation in Customary
Law and Rights of Customary Communities: Case
in Concerning Coastal Zone Zoning in West
Papua.
5. A local Pride and Tourism Business Mechanism
wit Financial Tools: Evidence in Labuhan Bajo,
Flores Island.
6. Assigning Business Roles and New Product
Trough Economic Market Focused for
Sustainability Development Government.

269
7. Hibah Penelitian Masyarakat Hukum Adat Doreri
Manokwari
8. Kepemimpinan Masyarakat Hukum Adat
Berbasis Ketahanan Nasional; Dalam Buku Ide
Naga Untuk Bangsaku PPRA 63. Didistribusikan
oleh Penerbit Aksara pena. ISBN: 9-786239-945541
2023 : 1. Sea Spatial Arrangement of the Kei Indegenous
Law Community base on Local Wisdom. Hufs
Global Law Riview. Vo.15 Februari 2023.
2. Local Wisdom of Customary law Communities
For Food Scurity in West Papua.

Penelitian Masyarakat Hukum Adat (MHA):


1. Penelitian Masyarakat Hukum Adat Sough di Teluk Bintuni
(2019) Prof. Endang Sumarni, S.H.,M.Si, Dr. Roberth KR
Hammar, cs
2. Penelitian Masyarakat Hukum Adat Wamesa di Teluk Bintuni
(2020) Roberth KR Hammar, cs
3. Penelitian Masyarakat Hukum Adat Arfak Hattam dan
Meyah (2021) Dr Roberth KR Hammar cs
4. Penelitian Masyarakat Hukum Adat Sough Bohon di Mansel
(2021) Dr Roberth KR Hammar cs
5. Penelitian Masyarakat Hukum Adat Doreri Manokwari (2022)
Dr Roberth KR Hammar cs

Pendidikan/latihan dan pertemuan ilmiah:


1. Diklasar Resimen Mahasiswa Tahun 1986
2. Perencanaan Daerah Tahun 1994 Di Manokwari
3. Perencanaan Wilayah Tahun 1994 Di Sorong
4. TOT Perenc Wilayah Tahun 1995 Di Makassar
5. Penatar P4 pola 144 Jam Tk Nasional Tahun 1998 Di Jayapura
6. TOT Presentasi Yg Efektif Tahun 2002 Jakarta
7. TOT Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Tahun
2002 di Bogor
8. TOT Penyusunan Peraturan Desa Tahun 2003 Di Bogor
270
9. Pelatihan Pengacara Daerah Di Bandung 2002
10. Pelatihan Teknis Penanganan Class Action Di Bandung 2002
11. Pelatihan Penghitungan Kenaikan Pajak dan Retribusi Di
Yogyakarta Tahun 2002 dan 2008
12. TOT Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Tahun
2003 Di Jakarta
13. Workshop Pertanahan Tahun 2003 Di Makassar
14. Bintek Bantuan Hukum Dan Perundang-Undangan Tahun
2003 Di Jakarta
15. Workshop Pembuatan Dan Negosiasi Kerja Sama Di Jakarta
Tahun 2003
16. Workshop UU Pemerintahan Daerah Tahun 2003 Di Jakarta
17. Workshop Tentang Pilkada di Jakarta Tahun 2003
18. Workshop Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Era Global,
Makassar 2005.
19. Workshop Pengadaan Tanah Dan Ganti Rugi Tanah 2005 Di
Jakarta
20. Diklat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pajak Dan Retribusi
Daerah Di Jakarta, 2005.
21. Semiloka Nasional Pertambangan Tahun 2000 Di Makassar
22. Seminar Nasional Mahkamah Agung Tahun 2000 Di
Makassar
23. Semiloka Pendidikan Kristiani Untuk Bangsa (Ayub) 2004 Di
Yogyakarta
24. Semiloka Pendidikan Kristiani Untuk Bangsa (Ayub) 2005 Di
Manado
25. Seminar Nasional Membangun Kemampuan Dasar untuk
mencapai keunggulan yang berkelanjutan, di Yogyakarta
2007
26. Seminar Internasional: Environment and Sustainable
Development, di Makasar 2007
27. Sertifikat Kompetensi Legal Auditor (CLA) Jakarta 2022

271
Jabatan Organisasi
1. Anggota Seksi Kaderisasi KNPI Kab Mkw 1993-1996
2. Wakil Sekretaris Pengurus KNPI Kab Mkw 1996-1998
3. Koord. Komisi Kepemudaan Dewan Paroki Immanuel
Sanggeng 2002-2005
4. Sekretaris Komisi Tinju Indonesia Prov. Papua Barat 2005-
2009.
5. Sekretaris Kosgoro 1957 Prov. Papua Barat 2005-2010
6. Ketua PDK Kosgoro 1957 Provinsi Papua Barat 2011 sd.
sekarang.
7. Koord Komisi Hukum Dewan Paroki Immanuel Sanggeng
2005-2008
8. Ketua Komisi Kehormatan KONI Prov. Papua Barat 2005-2009
9. Ketua Harian Persatuan Panahan Indonesia (Perpani)
Provinsi Papua Barat 2006-2010
10. Ketua Panitia Perumahan Dan Pertanahan Keuskupan
Manokwari Sorong, Tim Pastoral Manokwari.
11. Pembina Komunitas Paduan Suara dan Vocal Group Caritas
STIE Mah-Eisa Manokwari 2002-sekarang.
12. Penasehat Persatuan Sepakbola Kamasan Wirsi Manokwari
Periode 2004-2008.
13. Ketua Umum Persatuan Sepak Bola STIE Mah-Eisa
Manokwari 2005 - 2009.
14. Direktur Sekolah Sepak Bola "Mansinam" Manokwari 2004 —
sekarang.
15. Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM Kosgoro 1957
Provinsi Papua Barat.
16. Anggota Bidang Advokasi dan Sosialisasi DEKOPINWIL
Papua Barat 2007-2012.
17. Ketua Yayasan Peg. Bintang Cabang Manokwari Pengelola
SMA Santo Paulus Manokwari
18. Ketua Pembina Yayasan Gracia Dei Pengelola SMA
Sanewesyen Bintuni

272
19. Ketua Dewan Pembina Yayasan Caritas Manokwari Pengelola
STIE Mah-Eisa dan STIH Bintuni
20. Ketua Badan Pengurus SIT Erikson Triit Manokwari 2004-
2008.
21. Sekretaris Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah C
Papua Barat 2007-2011.
22. Ketua Umum Perpani Provinsi Papua Barat 2010-2014
23. Ketua Umum Ikatan Kerukunan Keluarga Kei Provinsi Papua
Barat Tahun 20112016.
24. Ketua Umum Lembaga Pengembagan Pesparawi Kabupaten
Manokwari 2011-2016.
25. Ketua Harian KONI Kabupaten Manokwari, 2011-2016.
26. Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan Aids
Kabupaten Manokwari, 20112016.
27. Ketua Kontingen Paduan Suara Anak, Remaja dan Dewasa ke
World Choir Games 2014 di Riga, Latvia.
28. Manajer Team Kontingen Paduan Suara Caritas dan Vocal
Group Narwastu Manokwari, di Ajang Bali International
Choir.
29. Manejer Tim Provinsi Papua Barat dalam ajang PESPARAWI
Tingkat Nasional di Ambon Oktober 2015.
30. Pembina Komunitas Pramuka Sukarela Keliling Manokwari
2013 sd, sekarang
31. Ketua Palang Merah Indonesia Kabupaten Manokwari 2013-
2018
32. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta se Papua Barat, 2013-
2017
33. Ketua Asosiasi Pengelola Perguruan Tinggi Hukum Wilayah
Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, 2015-2019.
34. Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Wilayah
Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, 2015-2019.
35. Ketua Asosiasi Profesi Hukum Hukum Wilayah Maluku,
Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, 2015-2019.

273
36. Pengurus Pusat Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI)
Bidang Penguatan Indonesia Timur 2016-2020.
37. Manejer Tim Provinsi Papua Barat dalam ajang PESPARAWI
Tingkat Nasional XII di Pontianak Kalimantan Barat, 28 Juli
sd. 3 Agustus 2018.
38. Sekretaris Umum APTISI Wilayah XIVb Papua Barat 2019-
2024.
39. Ketua Umum Panitia Pesparawi MAHASISWA ke XVTingkat
Nasional di Manokwari 1518 Juli 2018
40. Pengurus Pusat APTSI (Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggu
Swasta Indonesia) bidang penguatan wilayah Indonesia
Timur 2021 sd. 2025
41. Pengurus Pusat APPTHI ( Asosiasi Pimpinan Perguruan
Tinggi Hukum Indonesia) 2022-2026
42. Bendahara APHA Pusat ( Asosiasi Pengajar Hukum Adat)
2020-2025
43. Wakil Bendahara APHI Pusat ( Asosiasi Profesi Hukum
Indonesia) 2019-2024
44. Ketua Wilayah ADHI (Asosiasi Doktor Hukum Indonesia)
Papua Barat
45. Wakil Ketua ADRI Papua Barat (Asosiasi Dosen dan Ahli
Republik Indonesia) 2016-2021
46. Ketua Umum ADRI (Asosiasi Dosen dan Ahli Republik
Indonesia) Papua Barat 2022-2027
47. Ketua BPSMI (Badan Pembinaan Seni Mahasiswa Indonesia)
Papua Barat (2019-2024
48. Ketua ARTIPENA (Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti
Narkoba) Papua Barat 2022-2026

=============================

274

Anda mungkin juga menyukai