Mengenal Hukum Adat Final
Mengenal Hukum Adat Final
,
M.Hum., MM., CLA
MENGENAL
HUKUM ADAT NUSANTARA
i
MENGENAL
HUKUM ADAT NUSANTARA
Diterbitkan oleh
Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI)
Jl. Haji Nawi Raya 10 B, Jakarta
Telp. 021 7201478
ii
MENGENAL HUKUM ADAT NUSANTARA
Dr. Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.Hum., MM., CLA
Jakarta, 2023
iii
PRAKATA
Penulis
Dr. Roberth K.R. Hammar, S.H., M.Hum., MM., CLA
v
DAFTAR ISI
vi
BAB 4 STRUKTUR MASYARAKAT HUKUM ADAT .......... 71
A. Masyarakat Hukum Adat ......................................... 71
B. Susunan Masyarakat Hukum Adat ......................... 74
BAB 5 ANEKA JENIS HUKUM ADAT ................................... 81
A. Hukum Kekeluargaan Adat ..................................... 81
B. Hukum Perkawinan Adat ......................................... 85
1. Pengertian Perkawinan ....................................... 85
2. Pertunangan ......................................................... 86
3. Bentuk-Bentuk Perkawinan ................................ 90
4. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat ..................... 94
5. Bentuk Perkawinan MHA Kei Maluku
Tenggara ............................................................... 105
6. Harta Perkawinan ................................................ 122
C. Hukum Kewarisan Adat ........................................... 127
1. Pengertian Hukum Kewarisan Adat ................. 127
2. Sistem Kewarisan................................................. 130
3. Proses Peralihan Harta Warisan ........................ 138
D. Hukum Tanah Adat ................................................... 146
1. Makna Tanah........................................................ 146
2. Hak Perseorangan Atas Tanah Adat ................. 147
3. Pengertian Hak Ulayat ........................................ 152
4. Tanda-Tanda Adanya Hak Ulayat .................... 157
5. Hak Ulayat Berlaku Ke Dalam dan Ke Luar .... 158
6. Obyek Dan Sifat Istimewa Hak Ulayat ............. 163
vii
7. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak
Perseorangan ........................................................ 166
8. Hak Ulayat Dalam UUPA................................... 168
BAB 6 DELIK ADAT.................................................................. 173
A. Pengertian Delik Adat ............................................... 173
B. Sifat Hukum Adat Delik............................................ 174
C. Jenis Delik Adat.......................................................... 178
D. Objek Delik Adat ........................................................ 179
E. Cara Penyelesaian Delik Adat .................................. 180
F. Delik Adat Menurut Lavur-Ngabal ......................... 181
BAB 7 PERADILAN ADAT ...................................................... 193
A. Pengertian ................................................................... 193
B. Hukum Adat Peradilan ............................................. 194
C. Peradilan Adat di Papua ........................................... 197
BAB 8 PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MHA DAN
KEPEMIMPINANNYA ................................................. 213
A. Pendahuluan ............................................................... 213
B. Regulasi Pengakuan dan Perlindungan .................. 217
C. Perwujudan Pengakuan Perwakilan dan
Perlindungan MHA ................................................... 222
D. Peran Kepemimpinan MHA ..................................... 225
E. Penguatan Peran Kepemimpinan MHA ................. 232
F. Implikasi Kepemimpinan MHA............................... 240
G. Penutup Dan Rekomendasi ...................................... 253
DAFTAR PUSTAKA
PROFIL PENULIS
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
memerintahkan mengkodifikasi hukum acara yang disebut
“Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam” bermakna: “Bahtera
bagi semua Hakim dalam menyelesaikan semua orang
berkusumat, yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh
Muhammad Kamaludin, yang pada intinya dikatakan bahwa
Hakim dalam memeriksa perkara wajib memperhatikan
Hukum Syarak, adat, Hukum Adat dan Resam.1
Profesor Doktor Cristian Snouck Hurgronye yang
memperkenalkan dan menjadi rujukan dalam berbagai kajian
ilmiah ilmu hukum adat ketika istilah tersebut diadopsi dalam
bukunya yang bertemakan “Orang-orang Aceh atau dengan
istilah lain “De Acheers”, selanjutnya diutarakan juga di buku
“Het Adat Recht van Nederland Indie.” yang ditulis oleh Prof. Mr.
Cornelis van Vollen Hoven.
Bandung. Hlm.19.
4
Menurut Penulis Adat adalah perilaku yang dilakukan
seseorang secara berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat
berupa nilai-nilai yang termanifestasi pada norma yang
mengikat komunitas dan menjadi perilaku masyarakat.
Jadi Unsur-unsur pembentuk adat adalah:
1. Adanya perilaku seseorang dalam masyarakat;
2. Perilaku itu dilakukan secara berkelanjutan;
3. Perilaku tersebut menjelma dalam norma yang memiliki
kekuatan mengikat;
4. Perilaku tersebut menjadi perilaku masyarakat.
5
a. Pandangan Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven (8 Mei
1874-29 April 1933)
Mengenai hukum adat yaitu aturan-
aturan yang berlaku bagi orang-orang
pribumi dan orang-orang timur asing,
yang disatu pihak mempunyai sanksi
(maka dikatakan hukum) dan dilain
pihak tidak dikodifikasi (maka
dikatakan Adat).
b. Prof. Mr. Barend ter Haar Bzn (8 Desember 1839-6 April
1899)
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan-
keputusan kepala-kepala adat dan
berlaku secara spontan dalam
masyarakat. Terhaar terkenal
dengan teori “Keputusan”
(Beslissingenleer) artinya bahwa untuk melihat apakah
sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum
adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa
masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan
adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan
hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu
sudah merupakan hukum adat. Pemikiran Terhaar
dipengaruhi oleh system anglo saxon sebagaimana
6
dikemukakan oleh Chipman Gray dari Inggris bahwa
semua hukum itu keputusan hakim (All the law is
judge made law)4.
c. Pandangan Mr. Joannes Henricus Paulus Bellefroid
(Hassel,15 Februari 1869-14 Februari 1959)
mengenai hukum adat yaitu
peraturan-peraturan dalam
kehidupan yang sangat ditaati
oleh masyarakat bahkan sangat
dihormati walaupun tidak
disahkan atau dibuat
perundangan oleh pihak yang
berwenang atau pihak penguasa, sebab masyarakat
memiliki kepercayaan ataupun keyakinan yang
memandang bahwa peraturan–peraturan tersebut
didasarkan atau berlaku sebagai bagian dari hukum.
d. Prof. Dr. Johann Heinrich Adolf Logemann (19 Januari
1892-12 November 1969), tidak menyetujui pemikiran
Ter Haar mengenai ajaran
Keputusan yang menyatakan
bahwa adat itu tidak mutlak
menjadi hukum adat norma
kehidupan Bersama yang
merupakan aturan-aturan
4 Ibid. Hlm.14.
7
perilaku yang patut diindahkan semua anggota
komunitas dalam pergaulan bersama yang
mengandung sanksi ringan sampai sanksi berat.
e. Prof Mr. Frederick “Frits” David Holleman (11 Mei
1887-22 Januari 1958), sependapat dengan pandangan
van Vollenhoven bahwa hukum
adat itu tidak tergantung pada
keputusan, karena hukum adat
itu mengandung norma-norma
yang hidup disertai sanksi,
bahkan dipaksakan oleh
masyarakat atau Lembaga-
lembaga adat agar dihormati dan dipatuhi dalam
pergaulan bersama.
f. Prof. Leopold Jaroslav Pospisil, kelahiran Olomouc,
Cekoslowakia 1923,
ketika tahun 1952 menempuh
program doctor di Universitas
Yale USA, melakukan penelitian
antropologi hukum dan tiga
bukunya berdasarkan penelitian
di Kapauku Papua yakni:
(1) Kapauku Papuans and Their Law (2) Antropoilogi
of Law (3) The Etnology of Law. Pospisil
8
mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang digunakan
untuk membedakan adat dan hukum adat sebagai
berikut:
1) Attribute of authority: Ciri otoritas interaksi
masyarakat yang dinamakan hukum itu adalah
keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme
yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam
masyarakat.Keputuisan itu menyelesaikan
pelangaran , konflik yang terjadi.
2) Attribute of intention of universal application: Ciri
kelanggengan berlaku keputusan penguasa yang
memiliki waktu Panjang ke depan terhadap
peristiwa yang sama di kemudian hari.
3) Attribute of obligation: Ciri hak dan kewajiban,
bahwa keputusan pejabat adat agar memiliki akibat
hukum maka harus mengandung hak dan
kewajiban bagi para pihak yang masih hidup.
4) Attribute of Sanction: Ciri penguat, hak milikbahwa
keputiusan mengandung sanksi baik terhadap fisik
(badan), deprivasi (penyitaan harta), maupun,
maupun sanksi rohani seperti rasa takut, malu, dan
lain sebagainya.
9
g. Prof. Dr. Raden Soepomo, S.H5 `memformulasikan
hukum adat sebagai hukum tidak tertulis (non statutair)
yang didominasi oleh tradisi-tradisi dalam masyarakat
adat diwarnai oleh hukum agama (islam) serta
sebagian kecil hukum islam yang terdiri atas peraturan
legislating tidak tertulis (unstatutory law) yang terjadi
dalam praktek kenegaraan (konvensi), keputusan
hakim (judge made law) , hukum kebiasaan (customary
law) serta peraturan kampung atau desa dan
keagamaan.
h. Dr. Sukanto, S.H. mengemukakan bahwa hukum adat
adalah kompleksitas adat-adat, kebanhyakan tidak
dibukukan dan disusun secara sistematis dan lengkap,
bersifat paksaan dan adanya sanksi.
i. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H. berpendapat bahwa
hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber pada
peraturan-peraturan yang ada. Hukum Adat itu tidak
meliputi peraturan-peraturan desa dan peraturan-
peraturan raja-raja karena bukan hukum adat.
j. Prof. Dr. Hazairin, menyatakan bahwa hukum adat
merupakan norma kesusilaan yang paling mendasar
dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan
5 Soepomo, R. 2013. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Balai Pustaka, Jakarta. Hlm. 3
10
norma-norma kesusilaan yang mana kebenarannya
tersebut sudah diakui masyarakat secara luas.
k. Prof. Dr. Soerojo Wignyodipuro, S.H mengemukakan
bahwa hukum adat adalah rangkaian kaedah atau
norma yang bersumber dari perasaan keadilan
masyarakat yang senantiasa berkembang dan meliputi
perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari,
sebagaian besar tidak tertulis dihormati, dipatuhi, dan
memiliki sanksi.
l. Rumusan Seminar Hukum Adat dan Pembangunan
Nasional bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan Republik Indonesia yang di sana-sini
mengandung unsur agama.
11
b. Pandangan Prof. Mr. Barend ter Haar Bzn, mengenai
perbedaan antara adat dan hukum adat adalah suatu
kebiasaan atau adat bisa berubah menjadi hukum adat
jika sudah ditetapkan atau diputuskan oleh para kepala
adat, namun jika belum ada keputusa dari para kepala
adat, maka hal tersebut adalah perilaku atau sikap atau
tingkah laku yang dikenal dengan adat.
c. Pandangan Prof. Dr. Roelof van Dijk, mengenai
perbedaan antara adat dan hukum adat dilihat dari
sudut pandang sumber atau asal maupun bentuknya.
Perbedaannya adat berasal dari nasyarakat itu sendiri
dan bentuknya tidak tertulis, sedangkan hukum adat
barasal dari alat alat perlengkapan masyarakat serta
berbentuk tertulis maupun tidak tertulis.
d. Pandangan Prof. Leopold Jaroslav Pospisil, kelahiran
Olomouc, Cekoslowakia 1923, ketika tahun 1952
menempuh program doctor di Universitas Yale USA,
melakukan penelitian antropologi hukum dan tiga
bukunya berdasarkan penelitian di Kapauku Papua
yakni: (1) Kapauku Papuans and Their Law (2)
Antropoilogi of Law (3) The Etnology of Law. Pospisil
mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang digunakan
12
untuk membedakan adat dan hukum adat sebagai
berikut6:
1) Attribute of authority: Ciri otoritas interaksi
masyarakat yang dinamakan hukum itu adalah
keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme
yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam
masyarakat.Keputuisan itu menyelesaikan
pelangaran , konflik yang terjadi.
2) Attribute of intention of universal application: Ciri
kelanggengan berlaku keputusan penguasa yang
memiliki waktu Panjang ke depan terhadap
peristiwa yang sama di kemudian hari.
3) Attribute of obligation: Ciri hak dan kewajiban, bahwa
keputusan pejabat adat agar memiliki akibat hukum
maka harus mengandung hak dan kewajiban bagi
para pihak yang masih hidup.
4) Attribute of Sanction: Ciri penguat, hak milikbahwa
keputiusan mengandung sanksi baik terhadap fisik
(badan), deprivasi (penyitaan harta), maupun,
maupun sanksi rohani seperti rasa takut, malu, dan
lain sebagainya.
17
perkawinan dan keluarga, dan pengaruh lainnya di
bidang Pendidikan dan kesehatan.
c. Tingginya Faktor wewenangan atau faktor kekuasaan
Pengaruh kekuasaan raja-raja, kepala nagari,
kepala kuria, yang dalam kepemimpinannya memiliki
sikap atau perilaku yang baik, namun ada pula
ditemukan pemimpin yang semena-mena atau sewenang-
wenang baik itu terhadap lingkungan terdekat seperti
keluarga maupun di lingkungan kerajaan itu sendiri,
misalnya dalam mengambil keputusan atau suatu
kebijakan yang tidak populis atau tidak bersandarkan
adat.
d. Masuknya kekuasaan asing di Indonesia
Masuknya kekuasaan asing di Indonesia ini, yang
cenderung memiliki sifat individualis dalam alam
pikirannya, memengaruhi alam pikiran masyarakat adat
yang komunal.
19
karakteristiknya pada masa lalu. Mempelajari berbagai
kelembagaan, kebijakan, pranata, pejabat hukum dalam
menegakan hukum adat di lingkungan masing-masing,
dan makna yang dipelajari tersebut menjadi bagian, dasar
dalam pengembangan hukum adat kontempotrer. Sejarah
merupakan guru dalam kehidupan “Historia Est Vitae
Magistra”. Kedua fungsi mempelajari Hukum Adat pada
saat sekarang guna mengetahui eksistensi, perkembangan
yang saling mempengaruhi dari hukum yang hidup
(living) law MHA, sehingga Ilmu Hukum Adat tidak
terjebak dalam substansi materi masa lalu semata.
Di samping itu ilmuan hukum adat terus
memantapkan hukum adat sebagai ilmu, sekaligus sebagai
norma kehidupan yang berakar dari interaksi manusia
dalam masyarakat. Interaksi masyarakat merupakan
bagian dari karakteristik manusia sebagai mahkluk
pergaulan sebagaimana dikemukan oleh Aristoteles yakni
manusia sebagai zoon politicon. Sejalan dengan Aristotels,
dan filsuf terkemuka dan terkenal yakni Cicero (106-43)
mendeklarasikan adagium yang terkenal yaitu: “Ubi
Societas Ibi Ius” artinya “ di mana ada masyrakat di situ
ada hukum”. Menurut Marcus Tullius Cicero bahwa
hukum tidak bisa dipisahkan dari kehidupan komunitas
manusia. Keteradaan hukum dalam masyarakat itu
20
penting guna mengawal berbagai kepentingan anggota
masyarakat yang kemungkinan tidak bisa terhindar dari
konflik-konflik akibat sifat manusia yang disebut oleh
Thomas Hobbes sebagai Homo Homini Lupus (manusia tak
ubahnya seperti serigala memangsa sesamanya). Oleh
karena itu berbagai hasil ineraksi yang meresultante norma
atau kaedah masyarakat yang telah melembaga menjadi
hukum itu perlu terus dikaji, diformulasikan menjadi
huium yang hidup dan berkontribusi bagi bangsa dan
negara Indonesia.
21
nasional yang ulet dan tangguh, demi kokohnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
8 Surat An Nisa Ayat 11 yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itusemuanya perempuan lebih dari dua maka bagi
mereka du pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta.
32
BAB 2
SEJARAH HUKUM ADAT
33
Pada tahun 1598 terjadi pelayaran menuju Nusantara
dipimpin oleh Jacob van Neck. Rombongan kapal-kapal
pada ekspedisi kedua ini milik perusahan-perusahan
Belanda. Pada bulan Maret 1599 rombongan van Neck tiba
di Maluku wilayah penghasil rempah-rempah terbesar saat
itu, dan rempah-rempah yang banyak itu dibawa van Neck
ke Belanda, membuatnya menjadi pebisnis sukses.
Pada tahun 1601 Ekspedisi ketiga Belanda menuju
Nusantara, dengan 14 (empat belas) buah armada kapal, dan
tiba di Nusantara. Para pengusaha Belanda tersebut
memulai melancarkan strategi perdagangan monopoli
rempah-rempah, karena harus bersaing dengan bangsa
eropa lainnya. Keuntugan perusahaan-perusahaan dari
penjualan rempah-rempah semakin berkurang di pasar
eropa akibat persaingan antar pengusaha, maka guna
menyiasati dampak negatif persaingan, dibentukalah
perserikatan dagang swasta bersatu di Negeri Belanda pada
tanggal 20 Maret 1602, dengan nama Vereenig de Oost Indische
Compagnie (VOC), Perserikatan Dagang (kompeni) Hindia
Timur. Kehadiran VOC menjadi tonggak sejarah di
Indonesia karena bukan saja perusahaan tersebut
memenopoli perdagangan rempah-rempah tetapi juga
mulai mengembagkan kekuasaannya dengan menguasai
Batavia dan beberapa wilayah Jawa, serta mengendalikan
34
beberapa raja Nusantara, dan inilah tonggak awal
kolonialisme negeri kincir angin, Nederland, bangsa
Belanda di Nusantara.
Dalam rangka kelancaran usaha dagang, maka VOC
mendapat hak oktroi dari Staten General (Dewan
Perwakilan Negara) yaitu:
1. Hak monopoli perdagangan
2. Hak milik atas tanah tempat tinggal
3. Hak membangun benteng-benteng pertahanan
4. Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja
Hindia
5. Hak membentuk pasukan perang
6. Hak atas kekuasaan kehakiman dan peradilan.
Pada zaman VOC ini banyak peraturan yang
dikeluarkan untuk mengatur berbagai hal yang berkenaan
dengan kekuasaan dan peradilan. Pada tanggal 30 Mei 1619,
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menguasai dan
mengambil alih kekuasaan Jakarta dari kekuasaan
kesultanan Banten dan mendirikan benteng “Batavia”.Pada
tanggal 24 juni 1620 dibentuk College van Schepenen yang
dikepalai oleh “Baljuw” yang bertugas dalam bidang
pemerintahan umum dan peradilan. Hukumyang
digunakan dalam memeriksa dan mengadili perkara adalah
peraturan dalam bentuk “plakat”, ketetapan-ketetapan
35
VOC, dilengkapi dengan Hukum Belanda Kuno dan Hukum
Romawi.
Dalam praktek, tidak semua hukum buatan Belanda
dan VOC itu dapat diberlakukan, walaupun mendapat
perintah dari pengurus VOC di Belanda, akhirnya dengan
keterpaksaan VOC membolehkan pemberlakuan hukum
adat, beberapa contoh sebagai berikut:
1. Hukum waris tanpa wasiat ternyata tidak berlaku sesuai
perintah petinggi VOC, sehingga diberlakukan hukum
waris rakyat.
2. Dalam hal warisan bagi penduduk Jayakarta yang
beragama Kristen, penganut kepercayaan, dan umat
Islam tetap berlaku hukum kebiasaan rakyat, dengan
pembentukan Gecommitteerde tot en over de zaken van
den Inlander (komisi untuk mengurus perkara orang-
orang pribumi).
3. VOC tidak dapat melaksanakan sistem peradilan eropa,
sehingga memperkenankan berlakunya peradilan asli.
4. Pada awal abad 18 di daerah Priangan dan Cirebon
memberlakukan sistem peradilan dari zaman Mataram II
yang berasal dari zaman Majapahit.
5. Resolusi 7 November 1754 Gubernur Jenderal Mossel
memerintahkan Gecommitteerde Freyer menyusun
suatu kitab hukum bagi daerah kekuasaan VOC yakni
36
Copendium Freyer, namu peraturan tersebut tidak
efektif dilaksanakan terutama hukum waris, karena
tidak sesuai dengan realitas hukum dalam masyarakat.
Beberapa Tonggak sejarah kolonialisme yaitu:
1. Pada tahun 1795, Republik Perserikatan Tujuh Provinsi-
Belanda (Republiek der zeven vereenigde Nederlanden)
diubah menjadi Republik Batavia (Bataafse Republiek),
maka pada tahun 1798 penguasa Republik Batavia
membatalkan hak oktroi VOC dan semua kekayaan serta
hutang-hutangnya, diambil alih oleh Republik Batavia.
2. Pada tahun 1803 terjadi peperangan antara Belanda dan
Inggris.
3. Pada tahun 1804 ditetapkan suatu Charter atau
Regeerings Reglement yang mengatur daerah jajahan di
Asia.
4. Pada tahun 1806 Republik Batavia berubah menjadi
kerajaan di bawah kekuasaan Raja Perancis yaitu Louis
Napolion.
5. Pada tahun 1807 Raja louis Napolion mengangkat dan
menetapkan Mr. Herman Willem Daendels (1762-1818)
sebagai Gubernur Jenderal untuk mempertahankan
jajahan Belanda di Nusantara dari tahun 1808 sd. 1811
terhadap serangan Inggris.
37
6. Selama berkuasa di Jawa, Daendels yang dijuluki
Marsekal besi, atau jenderal Guntur melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Melaksanakan pemerintahan secara otoriter.
b. Sistem sentralisasi pemerintahan, para bupati adalah
pegawai yang diberikan upah/gaji.
c. Raja-raja di Yogyakarta dan Surakarta dinyatakan
sebagai bawahan.
d. Membentuk pasukan tantara pribumi yang
dinamakan Jayengsekar, yang berada langsung di
bawah komandonya.
e. Memperbaiki dan membangun benteng-benteng
pertahanan dengan tenaga kerja rakyat secara paksa.
f. Mengubah usaha rakyat pengecoran perunggu di
Semarang mmenjadi pengecoran peluru.
g. Membangun jalan raya Anyer ke Panarukan dengan
kerja paksa
h. Mengadakan transaksi jual beli tanah pemerintah
kepada swasta untuk diperuntikan membiayai
pertahanan.
i. Memperbaiki peradilan berdasarkan Pasal 86
Charter Bataafse Republiek, sehingga peradilan
pribumi berlaku sesuai hukum adat.
38
7. Pada tanggal 4 Agustus 1811 Inggris tiba di Jawa,
dipimpin oleh Lord Minto dan Sekretarisnya Sir Thomas
Stamford Raffles; dan berdasarkan Capilulatie yang
yang berisi penyerahan kekuasaan belanda ke Inggris)
yang ditandatangani Gubernur Jenderal pengganti
Daendels yaitu Jan Willem Janssens (16 Mei sd.
September 1811) di Salatiga.
8. Pada tanggal 11 September 1811 Lord Minto
mengangkat dan menetapkan Raffles sebagai Letnan
Gubernur (Luitenant-Gouverneur) berdasarkan
proklamasi melaksanakan pemerintahan dengan politik
sabar dan bermurah hati terhadap rakyat pribumi. Garis
politik Raffles (1811-1816) sebagai berikut:
a. Memperkokoh dan mengembangkan pengaruh
kekuasaan eropa dalam perspektif hukum Inggris.
b. Menolak pemerintahan raja-raja Islam, akan
berbahaya dan merugikan.
c. Kekuasaan Barat, langsung kepada rakyat
berdasarkan kemanusiaan, apabila dipandang perlu
melampaui kepala negeri.
d. Melaksanakan reformasi tentang susunan
pengadilan.
39
9. Pada tanggal 30 April 1847 diterbitkan Ketentuan-
Ketentuan Umum bagi perundangan Indonesia
(Algemeene Bepaling van Wetgeving voor Nederland Indie,
AB). Pada Pasal 11 AB dinyatakan bahwa apabila
peraturan hukum adat yang bersangkutan bertentangan
dengan dasar-dasar keadilan atau perkara yang tidak
ada dasar hukum pada peraturan adat, maka hukum
eropa (perdata, dagang) yang dipergunakan sebagai
pedoman.
10. Pada tanggal 2 September 1854, Algemeene Bepaling van
Wetgeving voor Nederland Indie, diganti dengan
Regerings Reglement (RR) yang mengatur tentang
“Peraturan tentang kebijaksanaan Pemerintahan, urusan
pengadilan perdagangan daerah jajahan di Asia.
Persoalan hukum adat yang semula diatur dalam Pasal
II AB, kini diatur dalam Pasal 75 RR. Dinyatakan bahwa
perundang-undangan bagi golongan bangsa eropa tidak
diperlukan oleh Gubernur Jenderal untuk bangsa
Indonesia tidak menyatakan dengan suka rela bahwa ia
tunduk pada hukum dagang eropa.
11. Pada tanggal 1 Januari 1920. Dilakukan pembaharuan
RR teks lama ke teks baru.
40
12. Pada tanggal 23 Juni 1925 RR teks baru diganti dengan
Indische Staatsregeling (IS) mengatur: Peraturan
Ketatanegaraan Indonesia, dalam Stb. 1925 no 415
berlaku 1 Januari 1926. (pasal 75 RR substansinya mirip
dengan Pasal 131 IS. Perbedaannya:
a. Pasal 75 RR diperuntukan bagi hakim, sedangkan
Pasal 131 IS diperuntukan bagi legislator.
b. Pasal 75 RR tidak dimungkinkan pribumi atau timur
asing me nundukan diri pada hukum baru yakni
sintesa antara hukum adat dengan hukum eropa,
sedangkan Pasal 131 IS mengatur perihal
penundukan pribumi dan timur asing pada hukum
barat.
c. Hukum tidak dijalankan manakala bertentangan
dengan asas-asas keadilan. Apabila hukum adat
tidak dapat meyelesaikan suatu perkara penggunaan
hukum eropa boleh hakim diperbolehkan.
13. Pada tanggal 7 Maret 1942, Pemerintah Jepang
diterbitkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942. Pada
Pasal 3 dinyatakan bahwa: “semua badan-badan
pemerintahan yang dulu tetap diakui sah untuk
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer”.
41
B. Sejarah Setelah Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan
Bangsa Indonesia, yang kemudian sehari setelah
Kemerdekaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPK) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945
menghasilkan:
1. Memilih dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia, dan Drs Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia.
2. Mengesahkan Konstitusi (Hukum Dasar) Negara
Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
3. Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai
golongan dan daerah, termasuk anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Soeripto9 mengemukakan bahwa dengan disahkannya UUD
NRI Tahun 1945, maka Negara Republik Indonesia telah
memiliki dasar-dasar tertib hukum yang merupakan Tata
hukumNasional sebagai manifestasi kepribadian bangsa
Indonesia yang mengatur kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia.
9 Tolib Setiady. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta., Bandung. Hlm. 70
42
Beberapa perkembangan yang berkontribusi bagi ilmu hukum
adat adalah:
1. Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa:”Segala Badan-Badan Negara dan
Peraturan-Peraturan yang ada, masih berlaku
sebelumnya diadakan peraturan yang baru.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 10 Oktober 1945 menyatakan
bahwa:” Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-
Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama sebelum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar.
3. Pasal 18B UUD NRI 1945: Ayat (1) ”Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang,” Ayat (2) Negara mengakui
dan menghormati kesatuam-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Reoublik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
43
4. Pasa 28I UUD NRI Tahun 1945: Ayat (3)” Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
5. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada Pasal 5
menyatakan bahwa”Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama”.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat.
7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 8/Permen-KP/2018 tentang Tata Cara
Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat
Dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir dan pulau-
Pulau Kecil.
44
8. Pada tanggal 15-17 Januari 1975 dilakukannya seminar
nasional tentang “Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional” (kerjasama Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) dengan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada. Hasil seminar intinya sebagai berikut:
a. Seminar ini memformulasikan pengertian hukum
adat sebagai berikut: “Hukum Indonesia asli yang
tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia, yang di sana-sini mengandung
unsur agama”.
b. Salah satu sumber hukum nasional yang penting
dalam pembangunan hukum nasional adalah bahan-
bahan dari hukum adat.
c. Bahan-bahan dari hukum adat hanya pada hal-hal
yang dimungkinkan pada skala nasional.
d. Hukum kekeluargaan dan kewarisan diarahkan
kearah hukum yang bersifat parentalatau bilateral
yang memberikan kedudukan yang setara antara
laki-laki dan perempuan.
e. Penelitian hukum dipriritaskan kearah identifikasi,
inventarisasi MHA.
45
Hal-hal yang urgen dalam perkembangan hukum adat
menurut penulis adalah eksistensi MHA dan berbagai
kekayaan material dan immaterial diakui dalam NKRI.
46
BAB 3
KARAKTERISTIK HUKUM ADAT
47
dari MHA Kei), sehingga mudah diingat dan dilaksanakan
dalam pergaulan masyarakat.
3. Pejabat adat berkewajiban menyelesaikan setiap masalah
yang dilaporkan oleh yang merasa dirugikan atau anggota
masyarakat lain kepadanya. Pejabat adat yang dimaksud
adalah semua pejabat dalam semua jenjang sesuai dengan
bobot dan luas lingkup kasus yang dilaporkan.
4. Faktor agama, kepercayaan senantiasa mewarnai
kehidupan MHA. Contoh falsafah MHA Kei yakni “Teflur
Nit It Sob Duad” artinya Kita meluhurkan Leluhur dan
menyembah Tuhan; maka akan ada kekuatan laksanan
arus deras dari arah belakang yang berasal dari kekuatan
Tuhan dan leluhur mendorong kita bergerak maju untuk
mencapai tujuan10.
5. Adanya Harga Diri.
Kehormatan, harkat dan martabat anggota MHA,
senantiasa menjadi prioritas dalam kehidupan bersama.
Kesadaran akan saling menghormati, saling menghargai,
saling menopang, saling melengkapi menjadi kebutuhan
MHA dari generasi ke generasi. Kesadaran MHA dalam
kehidupan bersama merupakan kesadaran yang
terinternalisasi dari dalam setiap individu yang
11 Ignasius S.S. Refo. 2015. Manusia Kei: Relasi-Relasi Seputar Kematian, Yayasan
12 loccit
53
kehidupan bersama, karena setiap anggota masyarakat
merupakan elemen pembentuk masyarakat, sehingga
solidaritas yang tinggi merupakan kebutuhan utama guna
memantapkan soliditas masyarakat.
Pada MHA Kei dikenal berbagai pranata kehidupan
sosial penguat kebersamaan seperti “ain ni ain” artinya
salaing mengasihi; Manut ain mehe tilur, vuut ain mehe
ngivun” berarti kita semua bersaudara karena berasal dari
induk ayam dan ikan yang satu. Wujud kebersamaan
dalam realitas sosial ada tiga pranata yaitu: “Maren, Yelim
dan Sdov”
a. Maren dari asal kata “hamaren” yang terdiri atas tiga
suku kata: “ham” (bagi), “ar” (memisahkan) dan “en”
(selesai). Jadi “hamaren” artinya pembagian tugas
mengerjakan sesuatu kepada orang-orang yang hadir
dalam suatu kegiatan bersama untuk diselesaikan
secara efisien dan efektif. “Maren” merupakan suatu
bentuk aktivitas bersama (Komunal) dari MHA Kei
untuk membantu secara bersama-sama menyelesaikan
pekerjaan keluarga yang lain, secara sukarela, tanpa
ada imbalan jasa. Maren ini suatu bentuk gotong
royong dengan pembagian tugas dan terjadi secara
bergiliran, rotasi. Bentuk-bentuk “maren” sebagai
berikut:
54
(1) dad/fal, tirat rahan (kerja sama membangun
rumah);
(2) dad ve’e yab (kerja sama membuka lahan untuk
ladang/kebun);
(3) dad afa ohoi nuhu/utan (mengerjakan pekerjaan
bersama bersifat publik, kepentingan ohoi,
kampung).
b. Yelim terdiri atas dua suku kata “ye” (memberi), dan
“lim” (tangan). Jadi “Yelim” bermakna pemberian
sesuatu materi (barang atau uang) secara iklas untuk
membantu kegiatan orang secara individu maupun
kegiatan secara berkelompok. Bentuk-bentuk kegiatan
“Yelim” sebagai berikut:
(1) Yelim skol (Pendidikan)
(2) Yelim bacanik/fau (Perkawinan)
(3) Yelim ba had (Ibadah haji)
(4) Yelim lurluruk (aqiqah)
(5) Yelim matmatan (kedukaan)
(6) Dan sebagainya.
c. Sdov (rapat, musyawarah) sering dilakukan untuk
membahas suatu persoalan atau bahkan untuk
menyelesaikan suatu persolan baik individu maupun
persoalan umum (publik) di satu ohoi soa, ohoi
orangkay, bahkan ohoi rat. Sdov dibutuhkan untuk
55
membahas maren, yelim, dan semua jenis aktivitas
keagamaan, pemerintahan dan poilitik. Sdov
merupakan wujud pelaksanaan demokrasi pada MHA
Kei.
Berdasarkan ilmu hukum adat, kebersamaan
(komunal) memiliki sifat-sifat sebagai berikut: `
a. Orang dalam kehidupan masyarakat tidak
diperkenankan berperilaku sesuka hatinya karena
terikat pada norma yang berlaku.
b. Hak dan kewajiban setiap orang sesuai dengan
kedudukan dan perannya dalam masyarakat.
c. Mengutamakan kepentingan bersama
d. Adanya gotong royong
e. Saling menghormati
f. Berperilaku baik sesuai norma kesusilaan dan norma
kesopanan yang berlaku
g. Adanya fungsi sosial hak subyektif.
4. Konkret-Kontan
Konkret artinya jelas, terang, nyata. Maksudnya
setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat hukum
adat itu harus konkret, tidak dengan cara diam-diam, tidak
tersembunyi. Sedangkan Kontan (tunai) adalah sesuatu
dilakukan seketika
56
Contoh: dalam jual beli, kedua belah pihak penjual
dan pembeli memiliki hak dan kewajiban berarti pada
waktu bersamaan pembeli menyerahkan uang dan
menerima barang, penjual menyerahkan barang dan
menerima uang dilakukan padsa saat yang sama.
5. Visual
Masyarakat hukum adat dalam menyampaikan
informasi menggunakan media visual-penggambaran
yang dapat dilihat, dtangkap oleh indra penglihatan.
Contoh MHA Kei menggunakan janur kuning yang
dianyam, dan diletakan di tempat tertentu dengan maksud
bahwa ditempat itu ada larangan (sasi).
Ada beberapa doktrin yang berkenaan dengan sifat
hukum adat sebagai berikut:
1 Koesnoe, Mohammad, mendeklarasikan empat sifat
hukum adat:
a. Tradisional: berbagai hal ihkwal hukum adat,
senantiasa berasal dari masa lalu yang diwariskan dan
dipertahankan dari generasi ke generasi.
b. Luwes: Hukum adat itu mudah mengikuti kemajuan
zaman, karena kesadaran hukum adat yang
merupakan hukum yang hidup itu berkembang selaras
dengan perkembangan masyarakat.
57
c. Keramat: Hukum adat senantiasa menjaga
kepercayaan yang diwariskan leluhur, dan
kewibawaannya sehingga hal-hal yang sudah
ditetapkan, dilarang agar dipatuhi dan diindahkan.
d. Dinamis: Hukum adat terbukan bagi pengaruh luar,
asalkan pengarug tersebut tidak berdampak pada
tercabutnya MHA dari budayanya.
2 R. Soepomo
Sifat hukum adat, yakni:
a. Kebersamaan: adanya kebersamaan (komunal) dalam
berbagai aspek kehidupan atas dasar keeratan
hubungan dalam masyarakat, karena senasib, setujuan,
seketurunan, dan factor lainnya.
b. Magis Relijius: Adanya kepercayaan yang senantiasa
saling mempengaruhi antara dunia nyata dan dunia
ghaib (metafisika), guna menjaga keseimbangan
masyarakat maupun keseimbangan kosmis.
c. Konkret: Senantiasa terkonsentrasi pada hubungan
hukum dan perbuatan hukum yang nyata.
d. Visual: Ikatan hukum terjadi karena adanya penetapan
oleh pejabat adat dengan symbol-simbol tertentu yang
dapat di lihat.
3 F.D. Holleman
Sifat Hukum Adat yaitu:
58
a. Komunal: adanya keseimbangan antara hak
perseorangan dengan hak-hak umum.
b. Konkret: kejelasan obyek dalam perbuatan hukum.
c. Kontan: perbuatan hukum berkenaan dengan hak dan
kewajiban dilakukan pada saat yang bersamaan, demi
keseimbangan kosmis.
d. Magis: Perbuatan hukum senantiasa dipengaruhi hal-
hal ghaib, dan bila dilanggar akan mendatangkan
bencana.
61
Sederhana bermakna tidak rumit, tidak administrative,
kebanyakan tidak tertulis, muda dimengerti dan
dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai.
f. Dapat berubah dan menyesuaikan;
Artinya hukum adat bersifat dinamis/tidak statis.
Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh
berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum adat
dapat berubah menurut keadaan, waktu dan tempat.
Pepatah Minangkabau mengatakan, “Sakali aik gadang
sakali tapian beranja, sakali raja baganti, sakali adat
berubah” (Begitu datang air besar, tempat pemandian
bergeser. Begitu pemerintahan berganti, berubah pula
adatnya). Dimasa sekarang hukum adat banyak yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Contoh: Di Minangkabau kekuasaan mamak berganti ke
kekuasaan orang tua, dan dari sistem matrilinial
berubah ke parental. Dulu orang Lampung enggan
bermantukan orang Jawa, kini perkawinan campuran
antara adat, suku, daerah, bahkan agama sudah
membudaya.
g. Tidak dikodifikasi;
Artinya hukum adat sebagian besar tidak tertulis (non
statutair). Hukum adat pada umumnya tidak
dikodifikasi, oleh karena itu hukum adat mudah
62
berubah dan dapat disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat. Namun tetap berdasarkan musyawarah
mufakat dan alur kepatutan.
63
muncul akibat perbuatan yang melanggar akan
berdampak pada kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum. Menjaga keseimbangan kosmis
merupakan kewajiban semua warga persekutuan.
Demikianpula dalam hukum adat tidak mengenal
perbedaan hak kebendaan dan hak perseorang seperti
dalam hukum perdata eropa. Hukum adat mengajarkan
bahwa hak-hak perseorangan yakni kehormatan, hak
cipta, hak hidup, tidak mutlak menjadi hak perseorangan
karena hak-hak perseorangan selalu ada hubungannya
dengan kekerabatan, faam, keret, bahkan persekutuan.
Apabila seseorang hendak melakukan perbuatan hukum
atas hak perseorangannya makai a harus menyampaikan
kepada kerabat untuk dipertimbangkan dan disetujui atau
ditolak dalam musyawarah adat kerabat yang
bersangkutan.14
2 Kesadaran akan Harga Diri
Masyarakat hukum adat dalam kehidupannya senantiasa
menjujung tinggi kehormatan pribadi, keluarga dan
kerabat, sehingga terhindar dari perbuatan tercela yang
mengakibatkan keluarga tersebut dicemooh, dipandang
hina, dianggap amoral, biadab, bahkan dikucilkan dari
65
membedakan pejabat adat mana yang ditetapkan sebagai
hakim, jaksa, penasihat hukum secara kelembagaan, tetapi
fungsi dan peran pejabat adat melakukan peran menuntu,
mengadili, dan yang melakukan pembelaan.
Contoh pejabat-pejabat adat di MHA Kei dalam
kedudukannya secara kelembagaan, sering ditunjuk untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi (walaupun ada
pejabat hukum tertentu yang ditetapkan untuk mengadili).
Pejabat adat di MHA Kei maluku Tenggara lazimnya
dibagikan secara merata kepada semua faam (marga) asli
yang membentuk pemerintahan tersebut. Selanjutnya
jabatan itu akan dilanjutkan oleh keturunan lurus dalam
garis laki-laki dengan prioritas pada putra tertua. Berikut
diuraikan jabatan-jabatan dalam adat Kei sebagai berikut:
a. Rat atau Raja adalah sebagai kepala pemerintahan
dalam suatu wilayah ratschaap. Tugasnya
diantaranya adalah mengkoordinir tugas-tugas
pemerintahan yang dilakukan oleh orang kay,
menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang tidak
dapat diselesaikan oleh orang kay termasuk
pelanggaran-pelanggaran terhadap adat serta
menjaga dan mempertahankan hukum adat.
66
b. Kapitan (Akbitan) dan Mayor adalah jabatan untuk
67
hakim dalam memutus perkara tentu akan
68
meliputi menjaga batas-batas desa dari penyerobotan
marga.
69
sanksi denda disertai ritual-ritual adat yang diyakini akan
70
BAB 4
STRUKTUR MASYARAKAT HUKUM ADAT
15 Ter Haar. B. Poespanoto, S.K. Ng. 1983. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Padnya
71
mengartikan Masyarakat hukum sebagai kelompok yang
dari yang paling kecil yakni desa sampai yang paling besar
17 Ter Haar. B. Poespanoto, S.K. Ng. 1983. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Padnya
72
hukum itu sendiri, tetapi kekayaan itu digunakan pula untuk
sebelumnya.
20 Surojo Wignyodipuro. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. PT. Toko Gunung
74
keturunan yang sama22. Dalam hal ini ada tiga macam dasar
Maybrat, Biak.
faamili di Minangkabau.
22 Maria S.W. Sumardjono. 1982. Puspita Serangkum, Aneka Masalah Hukum Agraria. Andi
75
masing berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari
berpengaruh 28.
28 Pemda Provinsi Papua. 1993. Hasil Seminar Peningkatan Peran Lembaga Adat, Biro Bina
79
sendiri, akan tetapi dekat tepi laut terdapat beberapa golongan
81
memiliki peran serta posisi utama dan strategis dalam
keluarga diantaranya adalah
1. Anak merupakan penerus keturunan generasi
2. Anak di masa depan adalah pusat atau inti dari harapan
orang tua
3. Anak merupakan pelindung orangtua apabila di masa
depan orang tua tidak bisa mencari nafkah lagi.
Anak yang belum dewasa (dokoko: Iha Fakfak), laki-laki
belum dewasa Habondu dan Dukanggu perempuan yang belum
dewasa (Nimboran, Jayapura), koko (Kei-Evav), merupakan
tanggung jawab penuh orang tua untuk mendidik, menjaga,
memelihara, dan lain-lain sebagainya demi masa depannya
dan masa depan keluarga dan persekutuan. Sedangkan anak
yang dewasa menurut suku Ihandin Fakfak disebut mehewan,
Daerah Nimboran disebut dumase laki-laki dewasa, kikanggae
perempuan dewasa; 31sukukei: tafer (laki-laki dewasa), manelat
(perempuan dewasa); sudah mandiri dan diberikan hak untuk
mengolah, membuka hutan, mengambil hasil hutan untuk
kebutuhan pribadi, keluarga bahkan persekutuan.
31 Endang Sumiarni cs. 2022. Pengakuan dan Pelindungan Terhadap Eksistensi MHA
Suku Arfak Sougb di Kabupaten Teluk Bintuni. Maha Karya pustaka Yogyakarta. Hlm .141-
142; Endang Sumiarni cs 2010. Hukum Adat Biak. Bitro Hukum Setda Provinsi Papua.
Hlm.89-99; Endang Sumiarni cs 2018. Eksistensi Hukum Adat Serta Nilai-Nilai Kearifan
Lokal Suku Arfak sebagai penunjang Pembangunan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta
bekerjasama dengan STIH Manokwari. Hlm95-97. Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. 1997. Masalah-Masa;lah Hukum Perdata Adat di
Kecamatan Nimboran Jayapura. Hlm. 11-12.
82
Kedewasaan dalam hukum adat baik suku Arfak di
Papua Barat (Hatam, Sougb, Meyah, Moile), Wamesa di Teluk
Wondama dan Teluk Bintuni Papua Barat, maupu suku Biak,
Nimboran di Papua, sebagai berikut:
1. Tanda-tanda perempuan dewasa:
a. Buah dadanya sudah membesar (marijmogo-Suku
Sougb)
b. Telah haid, dating bulang (ouwada-Suku Sougb,
nimingkuk- suku Hatam; ia mai mamase- Bar Napa biak
utara)
2. Tanda-tanda laki-laki dewasa:
a. Sudah tumbuh kumis, jambang, jenggot (momun mod-
Suku Sougb; pinai- Hatam)
b. Kelihatan jakun (morum maga-Suku Sougb)
c. Mandiri, bekerja (suku Numfor: Sarver Ro Swanira, Biak
Bar Napa: Ryaswan artinya melaut; kemudian Damom:
bekerja di darat; Sup ya do artinya ke hutan yakni
berburu, membuka hutan, mengambil hasil hutan);
Snonkbor artinya dewasa menurut suku Biak Bar Mani.
Dalam Masyarakat Hukum Adat (MHA) sering
dilakuakn upacara pendewasaan guna mendidik baik anak
laki-laki (ibor) maupun perempuan (insos) yang menjelang
dewasa, agar pada saatnya mereka memiliki kapasitas dan
kompetensi yang handal sesuai parameter MHA.
83
Di Biak Papua khususnya Wilayah Adat biak Timur
yakni Bar Warmuren dikenal kelembagaan pendewasaan yang
ditempatkan dalam “Rumsram” yang merupakan rumah adat
suku Biak Numfor yang sejatinya diperuntukan bagi anak laki-
laki sebagai tempat membina, mendidik, mengajarkan,
melatih anak laki-laki yang beranjak dewasa agar mampu
bertanggungjawab, dan memiliki pengetahuan dan
ketrampilan berperang, berburu, melaut, berkebun,
mengambiul hasil hutan, memahat, membuat perahu dan hal-
hal lain guna bekal kehidupan ketika memasuki usia dewasa.
Pada dasarnya anak perempuan (insos) dilarang
memasuki rumsram, kecuali diantar/dikawal/bersama oleh
ibunya (Awin). Insos selalu mengikuti ibu (awin) dan
mempelacari berbagai hal ihkwal yang seyogyanya dilakukan
oleh anak perempuan dewasa.
Di Rumsram juga dilakukan berbagai upacara adat
misalnya Wor Kapanaknik yakni ritual mencukur rambut anak
laki-laki yang telah berusia 6-8 tahun, sebagai pertanda awal
kemampuan berpikir dan memulai Pendidikan (mirip dengan
anak masuk usia sekolah dasar pada jaman sekarang).
84
B. Hukum Perkawinan Adat
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara
seorang perempuan dan seorang laki-laki yang saling berjanji
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia guna
meneruskan generasi (terhindar dari kepunahan) demi
keberlanjutan persekutuan, marga, keret, faam masyarakat
hukum adat. Perkawinan Adat tidak hanya berkenaan dengan
keluarga laki-laki dan perempuan saja, melainkan melibatkan
semua kerabat bahkan persekutuan kedua belah pihak.
Prof. Dr. Hazairin, S.H32., tokoh hukum adat yang
menulis disertasi untuk memperoleh derajat doktor pada
tahun 1936 dengan juduk “De Redjang” di bawah promotor
ahli hukum adat ternama Prof. B. Ter Haar, mengemukakan
bahwa perkawinan adat merupakan rentetan perbuatan
magis, yang bertujuan untuk menjamin ketenangan (koalte),
kebahagiaan (wevaart) dan kesuburan (ruchtbaarheit) .
Sedangkan menurut Djojodegoeno33, perkawinan merupakan
suatu paguyupan atau somah (keluarga) dan bukan
merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian.
Hubungan suami-isteri sangat erat sebagi suatu ketunggalan.
32 Biografi dan pemikiran Hazairin dan munawir Sjadzali tentang Bagian Waris Anak
2. Pertunangan
Mengkaji Perkawinan adat diawali dengan Lembaga
pertunangan. Pertunangan merupakan fase pra perkawinan
yakni terjadinya lamaran (Suku Kuri menyebut dengan istilah
34 Bartoven Vivit Nurdin, Elis Febriani Jesica. Ritual Ngebuyu: Membumikan Pewaris
dan Perubahan Ritual Kelahiran pada Marga Legun, Wawurang, Lampung. Jurnal
Sosiologi , Vol.20, No. 2 : 69-80. Jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id.diakses 19 April 2023
86
“puten rikindia atau naguer”; suku Karoon di Kabupaten
Tambrau menyebutnya “yeku yak”) dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan dan setujui untuk membentuk rumah
tangga, ditandai dengan sebuah tanda ikatan, lazimnya cincin,
dan “jujur” yakni harta berupa uang, atau barang jujur, di
MHA Kei disebut “wilin”; Gayo disebut “unjuk” serta tanda
ikatan, pada MHA Kei disebut “mas aye”; MH Kuri Papua
Barat disebut “rar”). namun laki-laki dan perempuan belum
bisa hidup bersama. Dalam MHA Kei bentuk perkawinan jujur
ini disebut Tai reet fid-Kebel taha lim.
Pertunangan terjadikarena:
a. Laki-laki dan perempuan telah dijodohkan sejak kecil
b. Perempuan dewasa yang dijodohkan merupakan pilihan
orang tua
c. Perempuan dan laki-laki dewasa yang saling jatuh cinta.
Pada MHA Biak mengenal tahapan pertunangan baik
sejak kecil, pilihan orang tuan sebagai berikut:
a. Tahapan penjajagan
Tahapan ini dilakukan oleh keluarga laki-laki dengan cara
mendatangi rumah keluarga perempuan di waktu pagi,
subuh (sebelum matahari terbit). Kedatangan pihak laki-
laki tersebut dengan segala aktivitas adat berupa tanda
bahwa keluarga laki-laki telah menaruh hati pada
perempuan dari keluarga yang dikunjungi. Kedatangan
87
keluarga laki-laki ke rumah perempuan hanya sebatas
halaman rumah, belum diperkenankan masuk ke dalam
rumah. Tahapan ini dilakukan untuk melihat respon
keluarga perempuan terhadap maksud baik keluarga laki-
laki. Tahapan ini dilakukan lazimnya sebanyak dua kali.
b. Tahapan menerima atau menolak
Pada tahapan ini, keluarga laki-laki mendatangi rumah
keluarga perempuan untuk yang ketiga kalinya. Ritual
yang dilakukan adalah naik rumah (masuk depan pintu)
dan melakukan “gosok kaki”. Pada tahapan ini keluarga
perempuan mempersilahkan keluarga laki-laki masuk ke
dalam rumah. Saat di dalam rumah inilah saat yang paling
menegangkan karena, akan segera diketatui apakah pihak
keluarga perempuan menyetujui atau menolak keinginan
keluarga laki-laki.
Tanda menolak keinginan keluarga laki-laki yakni
keluarga perempuan memberikan “kakes” berupa sirih-
pinang. Namun apabila keluarga perempuan tidak
melakukan pemberian “kakes” itu pertanda keinginan
keluarga laki-laki untuk meminang perempuan idaman
hati disetujui.
c. Tahapan kesepakatan waktu mengantar harta kawin dan
perkawinan
Tahapan ini terus berlanjut di waktu subuh tersebut
dengan agenda pembicaraan berbagai hal termasuk
88
menetapkan waktu mengantar “fasfes eren” yang diantar
secara rahasia pada malam hari oleh keluarga laki-laki
paling lama tiga hari. Pada Tahapan ini dibicarakan dan
disetujui waktu keluarga laki-laki mengantar “mas kawin”
dan waktu melangsungkan perkawinan.
Mas kawin pada Masyarakat Hukum Adat yang berupa
uang, barang berharga bukan diperuntukan untuk
membeli atau membayar perempuan yang dipersunting,
melainkan pemberian sejumlah barang berharga tersebut
sebagai bentuk mengembalikan keseimbangan kosmis
karena perempuan telah diambil oleh pihak keluarga laki-
laki, maka untuk keseimbangan kepergian anak
perempuan digantikan dengan harta perkawinan yang
berasal dari keluarga laki-laki.
Manakala perempuan dan laki-laki dewasa saling jatuh
cinta, maka pada MHA Arfak Sougb di teluk Bintuni Papua
Barat dideskripsikan sebagai berikut: dalam pergaulan
perempuan dewasa (enggiji) dan laki-laki dewasa (aktop) sering
ketemu dalam pesta adat, atau aktivitas lainnya dan akhirnya
saling jatuh cinta maka prosesi pertunangan:
Tahap 1 : Lerwara doubo yakni keluarga laki-laki mendatangi
rumah keluarga perempuan, dan setelah melalui
perbicaraan tentang maksud dan tujuan
kedatangan peminangan disampaikan oleh bapak
89
keluarga laki-laki, dan manakala pihak keluarga
perempuan sudah menyetujui, akan dilanjutkan
dengan menyerahkan harta yang dibawa pada
saat lamaran yakni kain timur (hugahan, minc),
babi (houj), paseda, manik-manik (limeta) dan
sejumlah uang.
Tahap 2 : Penentuan mas kawin. Pada tahap ini keluarga
perempuan akan menentukan besaran dan jenis
harta kawin (aromoub) yang wajib diselesaikan
oleh keluarga laki-laki sesuai kesepakatan waktu.
Besar harta kawin (aromoub) sebagai berikut:
a. Lima helai kain timor 12, 13, 15 mata
(hugahan); yang 1-2 mata (minc).
b. Enam ekor Babi (houj)
c. Senjata api (romoko)
d. Manik-manik (limeta), gigi anjing (mihmogda)
dan bulu kus-kus.
3. Bentuk-Bentuk Perkawinan
Dalam konsepsi Ilmu Hukum Adat dikenal berbagai
bentuk perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa: Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
90
dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hukum perdata
menguraikan pengertian perkawinan adalah perikatan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Perkawinan menurut hukum adat adalah aturan hukum adat
yang mengatur tentang bentuk perkawinan, tata cara lamaran,
upacara perkawinan, dan pemutusan perkawinan menurut
masyarakat adat Indonesia. Aturan hukum perkawinan adat
di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda, karena: Sifat
masyarakat, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat
yang berbeda; Banyak terjadi perkawinan campuran antara
suku, adat, dan agama yang berbeda. Kemajuan zaman,
menyebabkan terjadinya pergeseran adat perkawinan.
Pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat
ditinjau dari dua aspek, yaitu:
a. Aspek jumlah suami atau istri35
Ditinjau dari segi jumlah suami atau istri, maka bentuk
perkawinan terdiri atas:
1) Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara
seorang pria dan seorang wanita. Bentuk perkawinan
ini adalah yang paling ideal dan sesuai dengan ajaran
agama dan Undang-Undang Perkawinan.
35 Dominikus Rato dan J.A. Hartanto. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat: Sistem
38 Nana Cu’ana, “Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada Suku Dayak Di
Antara Adat Dan Agama,” SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-I 7 (2021): 21–34,
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/14237/pdf. Diakses 5 Mei
2022.
93
perempuan ayah. Misalnya: di daerah Batak (pariban), dan
sebagainya.
b. Perkawinan Parallel Cousin
Adalah perkawinan antara anak-anak dari saudara laki-
laki ayah mereka atau saudara perempuan ibu mereka.
c. Perkawinan Eleutherogami
Ialah seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam per-
kawinan, baik itu dari klan sendiri maupun dari klan
lainnya. Misalnya: pada masyarakat di Jawa, Sumatera
Timur, Kalimantan, Minahasa, Ternate, Bali dan
sebagainya.
94
Perkawinan dalam struktur kekerabatan matrilineal,
meskipun telah terjadi perkawinan, tetapi masing-
masing suami istri tetap berada dalam kelompok
kerabatnya masing-masing, sedangkan anak masuk
dalam kelompok kekerabatan ibu.
Perkawinan dalam susunan kekerabatan parental,
setelah perkawinan, suami istri masuk ke dalam
kerabat suami dan kerabat istri. Anak-anak juga
masuk dalam kerabat bapaknya dan kerabat ibunya.
b. Perkawinan Jujur.
Hukum Adat dalam masyarakat patrilineal42, misalnya
dalam hukum adat Batak, disebut dengan istilah boli, tuho,
parunjuk, pengoli, dan sinamot sebagai suatu serah-serahan.
Daerah lain yang menggunakan bentuk perwakinan jujur
adalah Gayo, Nias, Lampung, Bali, Timor dan Maluku.
Arti jujur disini berarti religius magis, jadi pemberian
sinamot bukan bermakna pembelian anak perempuan akan
tetapi menjaga keseimbangan antara kedua belah pihak.
Perkawinan Jujur atau perkawinan dengan pemberian
(pembayaran) uang (barang) jujur merupakan kewajiban
adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh
kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan
42 Andi Suryaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat: Dulu, Kini dan Akan Datang.
47 Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju,
100
“ngeroroat”, di Ambon disebut “lari bini”, di flores disebut
“kawin roko”.
Perkawinan lari dapat terjadi dalam masyarakat adat,
tetapi yang paling umum adalah di antara masyarakat
Batak, Lampung, Bali, Bugis atau Makasar, dan Maluku. Di
wilayah itu, meski kawin lari itu merupakan pelanggaran
adat, ada aturan bagaimana cara mengatasinya.
Sebenarnya kawin lari bukanlah suatu bentuk perkawinan,
tetapi merupakan suatu sistem pelamaran, karena dari
peritiwa kawin lari dapat berlaku perkawinan jujur,
semenda, atau bebas, tergantung pada keadaan dan
perundingan kedua pihak.49 Sistem perkawinan lari dapat
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
1) Perkawinan lari bersama50, dalam bahasa Belanda
disebut vluch-huwelijk atau wegloop-huwelijk, adalah
perbuatan belarian untuk melangsungkan perkawinan
dengan persetujuan pihak gadis (wanita). Cara
melakukannya adalah bahwa bujangan dan gadis
seyuju untuk kawin lari dan pada waktu yang sudah
ditentukan melakukan lari bersama. Atau gadis itu
diam-diam diambil oleh kerabat pihak bujangan dari
tempat tinggalnya, atau gadis itu datang sendiri ke
103
bisa terjadi pada masyarakat semendo yang disebut
perkawinan semendo ambil anak, dalam rangka penerus
silsilah menurut garis perempuan.
Perkawinan mengambil anak pada konsep patrilineal ini
terjadi karena hukum adat perkawinan memperkenankan
seorang ayah mengambil anak laki-laki untuk dikawinkan
dengan anak perempuannya, dengan maksud agar pria itu
menjadi anaknya sendiri beserta keturunannya mengikuti
marga (klan) menantunya tersebut.
Karena adanya pembayaran jujur, maka menantu dan
keterunannya resmi lepas dari klan marganya semula, hal
ini banyak terjadi Sumatera Selatan.
k. Perkawinan Karang Walu56
Bentuk perkawinan bilateral ini terjadi pada masyarakat
Jawa, atau tungkat dalam bahasa masyarakat Pasemah.
Bentuknya adalah perkawinan duda dengan seorang
perempuan dari almarhum istrinya.
l. Perkawinan Mangguh Kaya57
Bentuk perkawinan antara pria kaya dan perempuan
miskin, atau sebaliknya perkawinan ngalindung kagelung
antara perempuan kaya dengan pria miskin
58 Ibid.
59 Ibid. Hal 245.
105
kemasyarakatan tetapi juga kehidupan yang membentuk
mahligai rumah tangga. Kehidupan masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari kehdupan masyarakat, sebagaimana
diungkapkan oleh filsuf, ahli hukum dan politik terkemuka
kelahiran Roma bernama Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
bahwa Ubi Societas Ubi Ius, where there is society there is law yang
bermakna di mana ada masyarakat di situ ada hukum.
Masyarakat di sini bermakna ada dua orang (kelompok
masyarakat terkecil) bersosialisasi di situ ada hukum.
Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa dicapai
apabila tatanan hukum terbukti mendatangkan keadilan.
Begitu pula kelompok masyarakat yang berkendak
membentuk rumah tangga, mendambakan kebahagiaan,
sejahtera yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Perkawinan dalam masyarakat Kei, merupakan suatu
perbuatan hukum yang sakral, yang tidak hanya melibatkan
keluarga laki-laki dan perempuan tetapi melibatkan secara
aktif semua keluarga baik sesama marga (faam) maupun
keluarga dalam hubungan periparan. Pelibatan keluarga besar
bahkan lembaga sosial lainnya dimaksud untuk, selain ikut
mengantarkan kedua mempelai menuju kebahagiaan hidup
berumah tangga, dan bertanggungjawab atas kelangsungan
kenidupan rumah tangga, tetapi juga bertanggungjawab atas
106
harta yang harus dibayarkan kepada pihak perempuan,
sebagai perwujudan pengembalian keseimbangan kosmis
yang terganggu akibat perkawinan tersebut, sebagaimana
pengaturan dalam hukum Larvhul Ngabal.
Masyarakat Kei mengenal bentuk-bentuk perkawinan
sebagai berikut:
a. Tai reet fid-Kebel taha lim
Bentuk Perkawinan yang pertama adalah Tai reet
fid-Kebel taha lim60 Tai reet fid-Kebel taha lim: menapaki
tangga dan pintu-menggenggam tangan perempuan yang
hendak dikawinkan. Artinya kesempurnaan perkawinan,
baik proses, tata cara, tahapan berdasarkan hukum larvhul
ngabal dilaksanakan sepenuhnya. Inilah bentuk
perkawinan yang terhormat dan mulia dalam tradisi dan
hukum larvhul ngabal di Kepulauan Kei.
Bentuk perkawinan yang sama dengan perkawinan
jujur pada Masyarakat Patrilineal. Perkawinan jujur
merupakan perkawinan dengan pembayaran harta
(barang dan uang) yang disebut dengan penamaan beli
atau welin, ketika dilakukan pelamaran untuk dibagikan
kepada tua-tua (suku dan marga) pihak perempuan. Jujur
Tuburngil, 24 Juli 2021, Yanuarius Bukutubun dari Desa Kilwair (25 Juli 2021), Sergius
Kabrahanubun dari Kampung Yamtimur 26 Juli 2021.
107
sebagai tanda pengganti perempuan keluar dan pindah
dari kerabat suku, faam nya dan masuk ke keluarga laki-
laki/persekutuan suaminya. Jujur dalam perkawinan
sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai perempuan
keluar dari persekutuan hukum bapaknya, pindah dan
masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Hal ini
merupalam prinsip dalam hukum adat bahwa dalam
perkawinan perempuan tidak dibeli, tetapi harta diberikan
sebagai pengembalian keseimbangan kosmis, pengganti
keberadaan perempuan di persekutuan, kerabat, keluarga
bapaknya.
Tahapan bentuk perkawinan Tai reet fid-Kebel taha lim
termanifestasi pada tahapan penreahan harta perkawinan
adat sebagai berikut61:
1) Saan Sabak (peminganan, pelamaran).
Acara peminangan dilakukan oleh keluarga kerabat
laki-laki yang mengunjungi rumah orangtua/kerabat
perempuan untuk meminang perempuan pujaan hati.
Prosesi yang dilewati antara lain akan ditanyakan
kepada perempuan oleh yang mewakili para tetua,
apakah lamaran diterima atau ditolak.
109
4) Dok vhaan yaib-Kebel taha lim
Yang merupakan tahapan sidang adat guna
pengaturan pelaksanaan perkawinan sekaligus
penyerahan harta kawin, sesuai tahapan sebagai
berikut:
a) Ngebaan Tenan
Ngeban Tenan62 terlaksana dalam suatu persidangan
adat berupa harta adat utama yang wajib dibawa
oleh pihak keluarga laki-laki (yan ur) kepada
keluarga perempuan (mangohoi), wujud harta adat
utama (ngebaan tenan) berupa:
a) Saidsaid (Meriam kuno ukuran kecil
peninggalan portugis)
b) Beku (Meriam ukuran sedang)
c) Dada (gong)
Dalam prosesi persidangan terjadi bahwa pihak
yan ur masuk dan akan meletakan ngebaan tenan
dihadapan persidangan, pihak mangohoi akan
menyerahkan pakaian, kain, bahkan dalam amplop
berisi uang dan diserahkan kepada orang-orang
dari pihak yan ur yang membawa ngebaan tenaan
62 Wawancara dengan Elegius Pejabat Kepala Ohoi Hollat, 4 September 2021, dan Tokoh
65 Wawancara dengan Tokoh Adat Ohoi Tuburngi Maksimus Bukutubun, 12 Juli 2021
112
perempuan yang akan menjadi calon istri, dll,
dilanjutkan dengan pernihakan adat yakni
keduanya diikat dengan satu kain sarung yang
ujungnya diliti pada emas gelang tanda persatuan
suami, istri. Sesudah itu diberikan lagi petuah,
wejangan oleh satu atau dua orang yang dituakan
pada komunitas faam/marganya, dilanjutkan
dengan doa, maka sudah pihak yan ur berhak
mengambil si istri dari pihak mang ohoi dan
mengantarkan ke rumah orang tua si lelaki (suami)
disertai tarian dan atau bunyi musik tifa, gong,
lagu, suling serta sorak sorai.
b. Ftu Fboir (kawin lari, curi)
Bentuk Perkawinan yang kedua adalah Kawin Lari (Ftu
Fboir)66 adalah suatu bentuk perkawinan yang terjadi
tanpa melalui pelamaran dan pertunangan. Penyebab
terjadinya perkawinan Ftu Bboir sebagai berikut:
1) Pihak orang tua tidak setuju
Terjadinya kawin lari disebabkan karena orang tua
perempuan tidak menyetujui hubungan anak mereka,
berbagai alasan subyektif dari orang tua antara lain,
laki-laki tidak memiliki pekerjaan, malas, sering
66 Endang Sumiarni, Hukum Adat Dan Kearifan Lokal Suku Sentani (Papua: Biro Hukum
114
kepada pihak orang tua perempuan sebagaimana
dalam bentuk perkawinan Tai reet fid-Kebel taha lim.
4) Perbedaan keyakinan
Ketidaksetujuan orang tua (walaupun jarang terjadi)
atas hubungan laki-laki dan perempuan yang saling
mencintai disebabkan karena beda agama (disparis
cultus) atau beda gereja (mixta religio)
c. Tub Riin
Bentuk Perkawinan yang ketiga adalah Tub Riin
merupakan perkawinan yang dilaksanakan akibat pihak
orang tua lelaki tidak menyetui hubungan anaknya
dengan perempuan yang dicintainya. Seandainya pihak
orang tua perempuan setuju hubungan cinta anaknya,
maka akan menginformasikan kepada pihak laki-laki.
Tetapi manakala pihak orang tua perempuan tidak
menyetujui maka akan mengusir atau menahan lelaki di
rumahnya guna meminta pertangungjawaban. Misalnya
membayar harta adat tertentu karena adanya aib yang
memalukan di rumahnya67.
d. Kerik Temar Nger
Bentuk Perkawinan yang keempat adalah Kerik Temar Nger
Perkawinan bentuk ini disebut pula perkawinan Vhat
67 Wawancara dengan Tokoh Adat Ape Putnarubun dari Tokoh Adat turunan dari Ohoi
69 Departemen P dan K. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya Proyek Penelitian Dan
Pencatatan Ke Budayaan Daerah. Hlm. 86.
70 Endang Sumiarni. 2010. Hukum Adat Biak. Biro Hukum Setda Provinsi Papua,
118
dan pemilikan
harta yang
dimiliki oleh
suaminya.
Istri tidak lagi
berhak atas
kenikmatan dusun
orang tuanya,
kecuali yang
dihibahkan
kepadanya.
2 Yan ur Sidang adat Melaan: berupa -Memalukan
Ftu Fboir dan penyelesaian said-said, beku, (vameat), tidak
Mangohoi kewajiban gong, mas, etis. Tinggi nya
awal: Melaan; uang potensi konflik,
Sdevhon Yan Ur Namun manakala
Mangohoi- Dok terjadi
Vhaan Yaib. perkawinan maka
Penetapan akibat hukum
waktu sama dengan
pernikahan bentuk
adat dan perkawinan yang
Agama. pertama yakni:
Tai reet fid-Kebel
taha lim
3 Tub Riin Pihak Ada Prosesi Manakala hasil Memalukan,
lelaki dan sidang adat persidangan potensi konflik
perempua (Sdevhon Adat) adat dilakukan sangat tinggi;
n serta dipimpin oleh dan pihak laki-
pihak Pihak ketiga laki siap, Manakala sudah
Mediator: sebagai bersedia dan ada kesepakatan
lazimnya mediator; sanggup dalam rapat maka
Soa, kedua belah menyelesaikan hak-hak suami
Orangkai pihak baik laki- harta utama istri sama seperti:
atau Rat; laki maupun adat dan harta bentuk
Manakala pihak lainya yang perkawinan
kesepakat perempuan. ditentukan Tai reet fid-Kebel
an terjadi dalam sidang taha lim.
perkawin adat, maka
an baru harta adat
ada Yan berupa said-
ur dan said, beku, gong,
Mangohoi mas, uang,
hasil panen dan
lain-lain.
4 Kerik Temar Tidak ada Sidang adat Tidak ada harta Suami tetap
Nger Para (Sdevhoon) oleh utama Adat, menggunakan
Pihak Keluarga dan harta faam atau
Perempuan, lainnya. marganya, tetapi
119
Yang ada guna mengatur anak-anak yang
hanya dan dilahirkan dari
Keluarga menentukan perkawinan
Perempua waktu yang tersebut
ng yang tepat untuk menggunakan
mengatur dinikahkan. faam atau marga
segalanya. Ibunya. Yang
menentukan dan
memimpin tidak
secara terang-
terangkan dalam
keluarga adalah
Istri.
Suami mengolah
harta bawaan dari
istri, karena dalam
perkawinan
seperti ini istri
tetap menikmati,
memiliki harta
keluarga seperti
saudara lelakinya.
Suaminya dapat
mengolah dan
mengelola harta
dari keluarganya
kalau memang
ada.
Karena si suami
melakukan
perkawinan
masuk ini akibat
tidak mampu
menyelesaikan
kewajiban
sebagaimana
lazimnya dalam
perkawinan adat
Kei.
5 Vhat Stukar Yan ur Kebel Taha Lim; Tidak ada harta Perempuan
dan Proses kawin menyatu dengan
Mangohoi perkawinan keluarga suami
secara Adat yang dan kerabat
timbal dilakukan suami; Istri bukan
balik karena lagi milik keluarga
seimbang, dan kerabat orang
karena tuanya, tetapi
perkawinan telah masuk
silang antara menjadi keluarga
120
dua kakak dan kerabat
beradik denga suami, dan berhak
dua kakak menggunakan
beradik faam atau marga
lainnya. suaminya, berhak
menikmati harta
yang tak terbagi,
berhak atas
pemanfataan dan
pemilikan harta
yang dimiliki oleh
suaminya.
Istri tidak lagi
berhak atas dusun
orang tuanya,
kecuali yang
dihibahkan
kepadanya.
6 Fraung Tidak ada Prosesi yang Tidak Ada Janda berhak atas
para ada hanya Kebel Harta Adat harta asal dari
pihak taha lim Kawin suami barunya,
dalam Janda kawin kekayaan
perkawin sepupu bertambah, dan
an bentuk suaminya lazim sebaliknya
Fraung ada harta, suaminya juga
namun sebagai berhak atas harta
simbol saja peningalan suami
istrinya dan anak
dari istrinya.
7 Tu Vhaur Yan ur Prosesi yang Ngeban Tenaan Janda menyatu
dan ada hanya Kebel :(sadsaid, dengan keluarga
Mangohoi; taha lim: beku, dada); suami dan kerabat
Perkawinan Adat Ngelan suaminya yang
Mangohoi Adat dan dan Waung baru; ia bukan lagi
di sini agama. Tamta: milik keluarga
bukan mas, kain, mendiang suami
keluarga uang, bahan dan kerabatnya,
dan orang makanan. tetapi telah masuk
tua janda (Jumlah dan menjadi keluarga
tersebut, kuliatas harta dan kerabat
melainka adat kawin suaminya yang
n tidak sama baru, Berhak
keluarga dengan menggunakan
mendiang perkawinan Tai faam atau marga
suaminya. reet fid-Kebel suaminya yang
(hubunga taha lim baru, Janda yang
n dengan Harta adat telah kawin lagi
orang tua kawin tersebut itu berhak
biologis diterima oleh menikmati harta
121
dan anak-anak dan berhak atas
kerabatny Janda tersebut harta harta yang
a sudah dan keluarga dimiliki oleh
putus, mendiang suaminya.
kecuali suaminya. Janda yang kawin
harta adat lagi tidak berhak
kawin atas dusun dan
belum harta mendiang
dilunasi). suaminya, kecuali
harta yang dibawa
olehnya ke dalam
perkawinannya
yang baru.
6. Harta Perkawinan
Harta perkawinan adalah harta-harta yang didapatkan,
dikuasai dan dimiliki oleh suami isteri dalam perkawinan,
baik harta asal (harta kerabatm warisan, hibah), harta yang
diperoleh sendiri, harta bersama termasuk hadiah.
122
Ilmu Hukum Adat membagi harta perkawinan suami
dan isteri dalam dua kelompok yakni:
a. Harta asal
b. Harta bersama
Harta asal adalah harta yang dibawa (gawan-Jawa; sisila-
Bugis Makassar; babakan-Bali; pimbit-Dayak Nganju) oleh
masing-masing suami dan isteri ke dalam perkawinan. Harta
bawaan tersebur berasal dari:
a. Warisan leluhur dapat berupa benda bergerak seperti mas
kerabat, benda-benda lainnya dan tak bergerak seperti
tanah, juga benda takberwujud seperti gelar adat, jabatan
adat dan sebagainya.
Warisan leluhur tersebut tidak diwariskan kepada semua
keturunan, hanya mereka yang berhaklah diwariskan
untuk menjaga, memelihra demi keberlanjutan kekayaan
keluarga, kerabat dan persekutuan. Benda warisan
tersebut ada yang sifatnya dapat dibagi dan tidak dapat
dibagi. Misalnya sebidang tanah kolektif warisan leluhur
tidak bias dibagi karena merupakan tempat ritual,
menyelesaikan perkara-perkara adat. Ada juga mas
pusaka kerabat yang tidak boleh dibagi. Harta-harta
tersebut merupakan kepemilikan kolektif yang
penguasaannya diberikan kepada anak tertua atau anak
lainnya sesuai dengan ketentuan hukum adat dan sistem
123
kekerabatan masing-masing daerah, suku atau
persekutuan.
1) Warisan orang tua, lazimnya berupa benda bergerak
dan tak bergerak, namun pada umumnya sifatnya
dapat dibagi dan diasingkan.
2) Hadiah dari kelurga, kerabat diberikan kepada suami
atau isteri.
3) Perolehan sendiri suami atau isteri sebelum
perkawinan.
b. Harta bersama
Harta bersama merupakan harta yang diperoleh
semasa atau dalam perkawinan. Dalam Hukum Adat
Harta bersama ini tidak termasuk dalam harta bawaan,
meskipun ada harta warisan orang tua, terutama benda
tidak bergerak, hadiah-hadiah, serta barang atau benda
yang diperoleh masing-masing suami isteri sebelum
perkawinan itu di bawa ke dalam perkawinan dan dapat
dimanfaatkan (dinikmati) untuk kehidupan keluarga.
Namun tetap dipisahkan dari harta bersama karena ada
akibat hukumnya ketika terjadi perceraian, atau perbuatan
hukum jual-beli dan sebagainya.
Harta bersama suami isteri (gono-gini Jawa Tengah
dan Jawa timur; harta suarang-Minangkabau; guna kaya
atau campur kaya-Jawa barat; perpantangan-Kalimantan;
124
cakkara-Bugis; drue gabro-Bali) merupakan harta yang
diperoleh secara bersama-sama dalam perkawinan. Dalam
sistem patrilineal penguasaan atas semua harta berada
pada suami sebagai kepala rumah tangga, dan dibantu
oleh isteri sebagai ibu rumah tangga/pendampingnya. Hal
ini disebabkan adanya bentuk perkawinan dengan
pembayaran jujur (harta kawin) maka isteri telah masuk
menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga suami dan
tunduk pada hukum kekerabatan suami71. Hilman
Hadikusuma mengelompokan harta perkawinan atas
empat jenis sebagai berikut:
a. Harta bawaan
b. Harta pencarian
c. Harta peninggalan
d. Harta pemberian
Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh suami
dan isteri ke dalam perkawinan berupa jerih payah
masing-masing suami dan isteri, warisan, hadiah yang
diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan berlangsung.
Sedangkan harta pencarian adalah harta yang diperoleh
71 Ziwar Effendi. 1987. Hukum Adat Ambon Lease. Pradnya Paramita Jakrta. Hlm.84-
89; Andi Suryaman Mustari Pide.2009. Hukum Adat, Dulu,Kini dan Akan dating. Pe3lita
Pustaka Jakarta. Hlm. 175-179; Hilman hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Mandar Maju Bandung. Hlm. 198; Dominikus Rato.2015. Hukum Perkawinan
dan Waris Adat Indonesia. Laksbang Pressindo Yogyakarta. Hlm. 71-72.
125
sebagai hasil suami dan isteri selama perkawinan
berlangsung. Kemudian Harta peninggalan adalah harta
yang diwariskan oleh orang tua suami dan isteri. Harta
pemberian adalah harta yang diperoleh suami dan isteri
karena pemberian seperti hadiah, hibah dan lain-lain.
Berkenaan dengan harta perkawinan, Sayuti Thalib
mengemukakan bahwa ada tiga sudut pandang yaitu:
a. Sudut asal harta
Dari sudut asal harta perkawinan suami dan isteri
dibagi dalam tiga digolongkan yaitu:
1) Harta masing-masing suami dan isteri yang telah
dimilikinya sebelum perkawinan, baik diperoleh
karena warisan, hadiah atay usaha lainnya. Disebut
harta bawaan.
2) Masing-masing suami dan isteri memiliki harta
yang diperolehnya selama perkawinan
berlangsung, namun bukan perolehan berdasarkan
usaha bersama atau sendiri-sendiri, tetapi
diperoleh karena warisa, wasiat atau hibah untuk
masing-masing.
3) Harta perolehan setelah perkawinan berlangsung
atas usaha suami isteri atau salah satu pihak suami
atau isteri, disebut harta pencarian.
126
b. Sudut penggunaannya
Harta yang dipergunakan untuk memenuhi nafkah
kehidupan rumah tangga seperti kebutuhan sandang,
pangan dan papan, serta pendidikan, kesehatan dan
lain sebagainya.
c. Sudut hubungan harta perorangan dalam masyarakat,
Hart aitu berwujud harta milik suami dan isteri, harta
seseorang tetapi terikat pada keluarga, dan harta milik
seseorang yang pemiliknya disebutkan dengan tegas
oleh yang bersamngkutan.
127
Paham ini dianut antara lain oleh R. Wirjono72 yang memakai
istilah warisan yakni soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia beralih kepada orang lain yang
masih hidup. Sedangkan Pitlo73menyatakan bahwa: Hukum
Waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai
kekayaan wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
Ada beberapa Pakar Hukum yang bependapat bahwa
proses peralihan itu terjadi baik pada waktu pewaris masih
hidup seperti perbuatan penghibaan, wasiat, maupun pada
waktu pewaris meninggal dunia seperti perbuatan pembagian
harta peninggalan. Menurut B. Ter Haar74 Hukum Waris Adat
adalah aturan hukum tentang cara bagaimana dari abad ke
abad penerusan dan peralihan harta kekayaan metariil dan
immateriil dari turunan ke turunan. Sedang menurut
Hlm. 23.
128
Soepmo75 bahwa: Hukum Adat Waris memuat peraturan-
peraturan yang menyangkut proses penerusan serta
pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda (immateriele golderm) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Selanjutnya
Soepomo mengemukakan pula bahwa proses pewarisan
tersebut sudah berlangsung selagi orang tua masih hidup.
Proses tersebut tidak menjadi akuut disebabkan karena orang
tua meninggal dunia. Memang meninggalnya orang tua
adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu sendiri,
namun tidak mempengaruhi secara mendasar proses
penerusan dan pengoperan harta kekayaan. Sedangkan R. Van
Dijk terjemahan A. Soehardi76 menyatakan bahwa: Hukum
waris memuat seluruh peraturan yang mengatur pemindahan
hak milik, barang-barang harta benda dari generasi yang
berangsur mati (yang mewariskan) kepada generasi muda
(para ahli waris).
Selain itu menurut Hilman Hadikusuma77 Hukum Waris
Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta
75 Soepomo . 1977. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta. Hlm. 81-
82
76 Van Dijk, R dan A. Soehardi . 979. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Sumur,
129
warisan, pewaris dan waris, serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan penguasaan dan pemiliknya dari
pewaris kepada waris.
Dari uraian pengertian Hukum kewarisan terdapat tiga
hal pokok yaitu:
a. Seorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya
meninggalkan harta kekayaan.
b. Seorang atau beberapa orang waris utama atau ahli waris
yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.
c. Harta warisan atau harta peninggalan yang ditinggalkan
oleh pewaris akan beralih kepada para waris.
2. Sistem Kewarisan
a. Sistem Kewarisan Keturunan
Kewarisan dengan sistem keturunan sudah ada sejak
jaman leluhur dan masih dianut oleh masyarakat
Indonesia. Dalam sistem kekerabatan di Indonesia
menunjukkan suatu corak tersendiri sebagaimana
dikemukakan Hazairin78 sebagai berikut: Hukum waris
adat mempunyai corak tersendiri dari dalam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan
yang sistem keturunannya patrilinial, matrilinial, parental
atau bilateral. Dalam masyarakat suku Ihandin-Fakfak
78 Hilman Hadikusuma. 1983. Hukum Waris Adat . 1983. Alumni, Bandung. Hlm. 83
130
menganut sistem kekerabatan patrilinial yang dalam
prakteknya terdapat beberapa pengecualian terhadap
sistem kewarisan keturunan.
Dalam sistem pewarisan keturunan yang terdapat
pada masyarakal suku Ihandin-Fakfak Papua Barat,
kedudukan anak laki-laki dibedakan dengan anak
perempuan dalam hal kewarisan. Menurut sistem ini anak
laki-laki mempunyai kedudukan sangat penting, bukan
saja sebagai waris utama dari pewaris tetapi juga sebagai
penerus keturunan dari keluarga atau faam tersebut. Anak
laki-laki berhak atas harta warisan yang ditinggalkan
pewaris, sedangkan anak perempuan pada dasaraya tidak
berhak atas harta warisan.
Di dalam sistem ini tidak semua harta warisan itu
dialihkan kepada para waris, disebabkan karena sifat,
kedudukan dari harta warisan tersebut. Ada harta kerabat
atau Kabari umum dan ada pula Kabari khusus. Tentang
Kabari khusus ini dapat langsung diwariskan oleh pewaris
kepada para waris. Selain itu semua pasiva dan aktifa
pewaris beralih kepada para waris, dan para waris tidak
boleh menolak peralihan harta warisan termasuk hutang-
piutang. Jika dibandingkan dengan sistem pewarisan
menurut hukum perdata barat maka terlihat suatu
perbedaan yang mencolok, yakni hukum barat
131
memberikan kebebasan kepada para waris untuk memilih
di antara tiga sikap menyangkut penerimaan warisan
sebagai berikut:
1) sikap menerima secara keseluruhan. Berarti para waris
menerima warisan termasuk hutang-piutang pewaris.
2) sikap menerima dengan syarat. Berarti para waris
menerima secara terperinci dan hutang-piutang
pewaris akan dibayar berdasarkan barang-barang
warisan yang diterima.
3) sikap menolak. Berarti para waris tidak mau menerima
warisan karena ia tidak tahu menahu mengenai
pengurusan harta warisan itu.
Perbedaan antara sistem hukum adat dan sistem
hukum barat ini disebabkan karena hukum barat bersifat
individual murni, di mana hubungan antara pewaris dan
para waris tidak didasarkan pada azas kekeluargaan,
kerukunan serta azas berat sama dipikul ringan sama
dijinjing. Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa para
waris dapat mengelak atau melepaskan diri dari beban
tanggungjawaban orang tua.
Kedatipun anak laki-laki mempunyai kedudukan
yang strategis dalam struktur masyarakat Ihandin, namun
anak perempuan tidak dapat diabaikan begitu saja. Hal ini
disebabkan karena Kupang atau harta kawin dari
132
anak/saudara perempuan nantinya diberikan kepada
saudara laki-laki sebagai pembayaran harta kawinnya
kelak, sebaliknya orang tua atau saudara laki-laki akan
memberikan bekal kepadanya yang disebut wahanema
berupa emas, dusun pala, perabot rumah tangga, dan lain-
lain.
Tentang pemilikan terhadap barang-barang yang
diwahanemakan, terutama berupa benda tetap bersifat
relatif, dalam arti bahwa manakala anak/saudara
perempuan yang telah berumah tangga serta kerabat yang
telah menerima mahanema selalu menjaga hubungan baik
atau berkelakuan baik terhadap si pemberi wahanema,
maka hak milik atas benda yang diwhanemakan tersebut
akan beralih kepada penerima wahanema. Namun
sebaliknya manakala penerima wahanema tidak menjaga
hubungan baik atau menimbulkan perselisihan, maka
benda yang telah diwahanemakan tersebut dapat ditarik
kembali oleh pemberi wahanema. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa, dalam soal kewarisan,
masyarakat suku Ihandin senantiasa menjunjung tinggi
musyawarah serta selalu mejaga keserasian, keselarasan
dan keseimbangan dalam hubungan kekerabatan, baik
hubungan antara pewaris dan para waris maupun
133
hubungan antara pemberi wahanema dengan pihak yang
menerima wahanema.
b. Sistem Kewarisan Individual
Kewarisan dengan sistem individual adalah sistem
pewarisan yang menggariskan bahwa setiap waris berhak
atas harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Setelah pembagian masing-masing waris dapat
menguasai, memiliki, serta berhak berbuat bebas atas
bagian harta warisannya, untuk diusahakan, dijual,
dialihkan kepada sesama waris, anggota kerabat ataupun
orang lain.
Sistem kewarisan ini pada umumnya terdapat pada
masyarakat dengan bentuk kekerabatan parental atau
bilateral, namun tidak mengherankan kalau dalam
masyarakat patrilinial selain adanya sistem kewarisan
keturunan ada pula sistem kewarisan individual. Hal
tersebut ternyata ada pada masyarakat suku Ihandin yang
menyamakan kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan dalam hal menerima warisan. Jadi bukan saja
anak laki-laki sebagai warisan utama tetapi juga anak
perempuan. Tentang hal ini dikemukakan oleh Raja Ati-ati
Jusup Bae dari Kerajaan Sangaria, sebagai berikut: "bahwa
anak laki-laki dan anak perempuan adalah, sama-sama
berhak mewarisi harta warisan dari orang tua, baik harta
134
laleuhur maupun harta bawaan suami istri serta
wahanema atau fagim maupun harta pencaharian yang
didapat dalam perkawinan, anak perempuan mendapat
setengah dari bagian anak laki-laki"79. Sebagai
perbandingan maka sistem kewarisan dalam hukum Islam
menurut Sulaiman Rasjid80sebagai berikut: "Allah telah
menetapkan pembagian harta pusaka terhadap anak kamu
hendaklah untuk seorang laki-laki sebanyak bahagian dua
orang perempuan". Fenomena yang terjadi menunjukkan
bahwa sistem kewarisan individual bilateral yang
laziamnya berlaku pada masyarakat dengan kekerabatan
parental dan sistem bilateral individual dalam agama
Islam telah memengaruhi MHA Ihandin yang beragama
Islam.
Sistem individual dalam hukum adat harus
dibedakan dari sistem kewarisan menurut hukum barat.
dalam sistem hukum barat mengharuskan harta selekas
mungkin diadakan pembagian setelah pewaris wafat, dan
setiap waris dapat menuntut bagiannya dan dapat pula
menuntut agar harta warisan yang belum dibagi agar
segera dibagikan. Sedangkan pembagian harti warisan
135
kepada para waris dalam sistem individual menurut
hukum adat disebabkan tidak ada lagi yang berkeinginan
memimpin penguasaan harta warisan secara kolektif.
Tentang hal tersebut dapat dibandingkan dengan
sistem kewarisan dalam hukum Islam yang
pelaksanaannya maupun penyelesaiaan hal ihkwal harta
warisan ketika seseorang meninnggal dunia,
meninggalkan harta kekayaan yang harus dibagi-bagikan
kepada para waris lelaki maupun perempuan, dan juga
memberikan kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.
Sistem kewarisan ini oleh Hazairin81 dinamakan Sistem
Individual Bilateral. Dasar berlakunya sistem individual
bilateral ialah Al Quran Surah IV An Nisa, yang
menyatakan bahwa: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi
orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila
sewaktu pembagian itu hadir kerabat anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang baik " (Q.IV, 7,8).
138
pewaris kepada para waris. Berkaitan dengan: proses tersebut,
Hilman Hadikusuma (1983 : 105) mengemukakan bahwa:
"Proses pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat
untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang
akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih
hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan
penguasaannya dan pembagiannya atau cara bagaimana
melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah
pewaris wafat".
a. Pembagian Semasa Hidup
Proses penerusan dan peralihan harta warisan
kepada para waris dimulai selagi orang tua masih hidup.
Proses peralihan harta warisan berupa harta kekayaan,
kedudukan atau jabatan adat (Gelar, Faam, dan lain-lain)
kepad para waris. Proses peralihan semacam ini cenderung
terjadi pada MHA Kei di Maluku Tenggara, Mbaham-
Matta di Fakfak Papua Barat.
Dalam MHA Mbaham-Matta, terdapat aturan bahwa
harta warisan yang diberikan sebagai bekal perkawinan
(Wahanema, Fagim) hanya kepada anak perempuan yang
hendak menikah. Sedangkan untuk anak laki-laki yang
mehewan akan diwariskan bagian harta kekayaannya.
Penyerahan harta warisan tersebut sudah semestinya
menjadi milik dari para waris yang menerimanya, baik
139
anak lelaki tertua maupun adik-adiknya. Namun perlu
diingat pula bahwa harta yang telah diterima tersebut
mempunyai fungsi sosial dalam arti bahwa sewaktu-
waktu hasil dari harta yang telah diwariskan dapat
disisihkan untuk keperluan keluarga/kerabat jika diminta,
misalnya untuk memperbaiki rumah orang tua ataupun
biaya perkawinan, dan sebagainya.
Perbuatan penghibahan harta kepada anak
perempuan yang hendak melakukan perkawinan
merupakan koreksi terhadap hukum waris suku Ihandin,
yang sebagian masyarakatnya menganut sistem kewarisan
keturunan yang menghendaki hanya anak laki-laki yang
berhak atas harta warisan.
Tentang besar kecilnya harta kekayaan yang akan
dihibahkan tergantung dari pewaris, namun tidak
menyampingkan bagian yang sepatutnya diterima oleh
para waris. Dengan demikian para waris, terlebih para
waris utama tidak boleh menolak warisan yang
dihibahkan.
b. Wasiat
Dalam masyarakat suku Ihandin, pewaris pada masa
hidupnya bukan saja memberikan (schenking) atau
menghibahkan harta kekayaan kepada para waris, tetapi
ada kalanya pewaris mengatakan keinginannya dengan
140
berpesan kepada anak isterinya tentang anak dan harta
kekayaannya.
Penangguhan pembagian harta warisan pada MHA
terjadi karena hal-hal berikut ini:
1) Pewaris tidak punya keturunan
2) Para waris belum dewasa
3) Di antara para waris ada yang belum hadir.
Dengan demikian harta waris yang tidak dibagi atau
ditangguhkan pembagiannya sesudah pewaris meninggal,
kemungkinan dikuasai oleh janda, anak pewaris, anggota
kerabat ataupun tua-tua adat.
Pada MHA Mbaham-Matta di Fakfak, jikalau
perkawinan dilakukan secara ”jujur” berakibat hukum
yakni perempuan masuk menjadi anggota keluarga,
kerabat dari suaminya. Hal ini mengakibatkan manakala
pewaris meninggal dunia maka harta warisan
kemungkinan berada dalam penguasaan janda.
Penguasaan janda atas harta warisan tersebut,
disebabkan karena para waris masih kecil (dokoko),
ataupun para waris sudah dewasa (kohehen) belum kawin
atau mehewan, sehingga janda tetap menguasai harta
warisan. Manakala ada anak yang hendak kawin
(mehewan), maka janda pewaris menyerahkan harta
warisan yang merupakan bagian dari pada anak tersebut
141
sesuai dengan petunjuk, pesan atau wasiat dari pewaris
ketika masih hidup.
Manakala terjadi bahwa sewaktu pewaris wafat
meninggalkan harta yang belum terbagi, maka harta
tersebut nantinya akan dibagikan dalam musyawarah
keluarga atau kerabat yang akan dipimpin oleh anak lelaki
tertua, dan didampingi oleh kepala faam atau tua-tua adat
dari kerabat yang berkepentingan. Keinginan terakhir ini
biasanya diucapkan pada waktu pewaris sedang sakit
keras, bahkan kadangkala dilakukan pada saat sebelum ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pesan atau
amanat dari pewaris kepada para waris harus diucapkan
di depan para waris, anggota keluarga, bahkan tua-tua
adat di kampung tersebut, sehingga menjadi perbuatan
yang terang.
Urgensi hibah wasiat ini agar para waris mendapat
bagiannya sesuai kepatutan dan mencegah persengketaan
atau keributan antara para waris yang kemungkinan
timbul pada saat pembagian warisan.
Pada dasarnya para waris sangat menghormati
kemauan terakhir dari pewaris yang menghendaki suatu
pembagian harta warisan yang sesuai dengan rasa
keadilan. Namun amanah terakhir oleh pewaris itu terjadi
akibat adanya paksaan atau tipu muslihat dari orang lain
142
atau salah seorang anggota keluarga, dan dapat dibuktikan
dalam musyawarah kerabat maka sesuai hukum
kewarisan suku Ihandin pesan atau amanat tersebut dapat
dibatalkan.
c. Penguasaan atas Harta Peninggalan
Penguasaan atas harta peninggalan terjadi manakala
warisan tidak dibagi-bagi, karena harta warisan itu
merupakan milik bersama, yang diperuntukan bagi
kepentingan bersama para anggota keluarga pewaris yang
ditinggalkan, ataupun pembagian itu ditangguhkan
disebabkan antara lain: Dalam pembagian tersebut perlu
diperhatikan bahwa janda pewaris demi kelangsungan
hidupnya, ia tetap menguasai sebidang tanah atau dusun
guna pemenuhan kebutuhan hidupnya, bahkan sering
terjadi janda tersebut diurus atau dipelihara, bahkan
tinggal bersama-sama dengan anaknya.
Jika janda sudah tua dan sudah tidak bisa bekerja
lagi, maka harta warisan yang dikuasai oleh janda tersebut
lazimnya diserahkan kepada anak lelaki tertua atau anak
lainnya untuk mengurus dan memelihara. Jika janda
meninggal dunia, pada hal anak-anaknya masih kecil
(dokoko), maka penguasaan atas harta tersebut jatuh
ketangan orang tua pewaris, namun jika tidak ada maka
143
penguasaannya, dapat diserahkan kepada saudara-
saudara pewaris atau keturunannya.
Penangguhan pembagian harta peninggalan
disebabkan pula karena di antara waris ada yang belum
hadir. Menunggu kehadiran semua waris penting guna
mencegah terjadinya perselisihan di kemudian hari. Jika
harta warisan yang ditinggalkan itu merupakan harta
pusaka yakni kabari umum, maka dengan meninggalnya
pewaris, maka harta yang disimpannya perlu diperiksa
oleh kerabat, dalam hal ini tua-tua adat. Selanjutnya tua-
tua adat akan bermusyawarah untuk menentukan siapa
yang akan menyimpan harta kerabat tersebut. Manakala
pewaris meninggal dunia, meninggalkan harta kekayaan
yang belum dibagikan semasa hidup, serta tidak berpesan
atau berwasiat, maka harta peninggalan tersebut perlu
dibagi kepada para waris, kalau memang sifatnya
demikian.
Pada MHA Mbaham-Matta tidak ditetapkan saat
tertentu untuk pembagian harta warisan. Hal ini
disebabkan karena saat pembagian tergantung pada
keadaan para waris, apakah ada yang sudah kawin
(mehewan). Jika ada waris yang telah kawin maka harta
warisan dimungkinkan untuk dibagikan.
144
Manakala para waris menghendaki pembagian harta
peninggalan selekas mungkin, maka yang memimpin
musyawarah dalam pembagian harta warisan tersebut
adalah kepada siapa yang menguasai harta peninggalan
tersebut.
Mereka yang menguasai harta peninggalan tersebut
antara lain :
1) Orang tua yang masih hidup (janda perempuan)
2) 2.Anak tertua laki-laki yang sudah kawin (mehewan)
3) Anggota keluarga yang dipandang bijaksana
4) Kepala Faam atau tua-tua adat.
Mereka tersebut di atas, tidak secara mutlak
menentukan bagian waris atas harta peninggalan. Mereka
hanya memimpin musyawarah untuk mencapai mufakat.
Jadi mereka bertugas menampung menyalurkan dan
menyimpulkan usul pendapat dari para waris tentang
bagaimana sebaiknya harta peninggalan itu dibagi.
Pembagian harta peninggalan dalam masyarakat
suku Ihandin selalu didasarkan atas pertimbangan
mengingat wujud dari harta yang ditinggalkan, maupun
kebutuhan para waris. Besarnya bagian harta peninggalan
yang diterima tidak berdasarkan suatu perhitungan secara
pasti, namun berdasarkan perkiraan saja. Misalnya anak
lelaki tertua mendapat dua bidang tanah, serta tumbuhan
145
yang ada di atasnya. Sedangkan anak lelaki bungsu karena
ia tinggal bersama-sama atau tinggal terlama dengan
pewaris sampai pewaris meninggal, maka selain ia
mendapat sebidang tanah atau dusun, dibagikan pula
rumah pewaris kepadanya.
Dalam pembagian harta warisan, maka perlu
diperhatikan apakah ada hutang-piutang pewaris sewaktu
hidupnya yang perlu dilunasi oleh para waris. Seberapa
besar hutang pewaris harus dilunasi oleh para waris. Bila
perlu oleh para kerabat, akibat adanya rasa kebersamaan
dan sepenanggungan. Namun sering terjadi bahwa para
berpiutang, pada saat ataupun sesudah pewaris
meninggal, menyatakan bahwa piutangnya dibayar
separuh saja, bahkan ada yang membebaskan debitur dari
hutangnya.
Yogyakarta. Hlm 11
147
kepala persekutuan, dengan pemberian tanda batas atas
bidang tanah tersebut.
b. Hak Wenang Pilih (Voorkeurecht)
Hak wenang pilih adalah hak seseorang atas perbuatannya
maupun kondisi tertentu yang berakibat ia memperoleh
hak. Hak ini ada tiga macam yakni:
1) Adanya tanda-tanda permulaan pemanfaatan tanah.
Seseorang yang melakukan perbuatan pemberian tanda
batas terhadap sebidang tanah yang akan digarap,
dimanfaatkan atas persetujuan kepala MHA. Tanda-
tanda batas tanah tersebut sebagai suatu pertanda
bahwa tanah tersebut akan dimanfaatkan pada saatnya.
Jika waktu yang telah ditentukan tidak memenuhi
kewajiban untuk menggarap tanah tersebut, maka hak
untuk memanfaatkan tanah itu berakhir.
2) Adanya Tanah belukar yang berbatasan.
Pemilik tanah pertanian memiliki hak istimewa untuk
didahulukan untuk menggarap tanah belukar yang
berbatasan dengan tanah pertaniannya. Tanah belukar
tersebut dikenal dengan penamaan: ekor sawah, kepala
tanah, kepala kebun, Hal ini terjadi di daerah Sumatera
Selatan, dan MHA Melayu lainnya.
3) Adanya tanah jerami.
Tanah jerami adalah hak utama dari penggarap tanah,
yang tanahnya menjadi belukar.
148
c. Hak Memungut Hasil (Genotrecht)
Hak memungut hasil berkaitan dengan pemanfaatan tanah
ulayat. Dalam MHA para anggota persekutuan yang ingin
memanfaatkan tanah ulayat untuk kebutuhan hidupnya,
akan diberikan izin oleh kepala persekutuan (Raja, Manir,
Moskur, kepala suku, ondoafi di Papua) untuk menggarap
sebidang tanah tertentu dalam wilayah otoritas MHA yang
bersangkutan. Jika anggota persekutuan mengolah tanah
tersebut untuk beberapa musim, dan kemudian lahan,
kebun tersebut kembali ditumbuhi pohon dan menjadi
hutan, maka sebidang tanah olahan tersebut kembali
menjadi tanah ulayat. Namun jika diolah terus menerus
maka akan berubah status pemanfaatan (hak pakai)
menjadi hak milik. Orang luaran MHA boleh
memanfaatkan tanah tersebut untuk waktu tertentu
dengan kewajiban membayar rekognitie kepada kepala
MHA. Orang luaran yang menggarap sebidang tanah adat
tidak bisa menjadi pemilik tanah tersebut.
Manakala pemanfaatan tanah hanya sementara dan
berpindah ke tanah yang lain (rotasi) dalam jangka waktu
7-10 tahun, yang bersangkutan akan kembali ke tanah
bekas garapannya sepanjang tanda-tanda masih ada.
d. Hak Milik
Anggota MHA dapat mempunyai tanah yang
dikategorikan sebagai tanah hak perseorangan. Lazimnya
149
tanah hak perseorangan itu timbul dari perbuatan
membuka hutan, berkebun, dan menanam tanaman umur
Panjang seperti kelapa, manga, sukun, sagu, kenari dan
lain-lain secara berkelanjutan, sehingga hubungan atas
pemanfaatan hak bersama tadi berubah menjadi hak
perseorangan, dan memiliki hak dan kewajiban
perseorangahn atas bidang tanah tersebut. Selain itu hak
perseorangan diperoleh karena pewarisan, hadiah,
perbuatan hukum lainnya.
e. Hak Wenang Beli (Naastingsrecht)
Hak wenang beli atau hak blengket adalah hak istimewa
(privilege) yang diberikan kepada seseorang untuk
mendapatkan kesempatan utama dari para pembeli lain,
untuk membeli tanah (tanah empang) dengan harga yang
sama. Hal ini terjadi pada Orang Batak Toba 83.
f. Hak Pakai, Hak Gadai dan Hak Sewa
Pada MHA tertentu mengenal hak pakai, terutama hak
mengelola tanah pertanian dan memungut hasil dari tanah
pertanian yang bukan miliknya. Hak pakai ini terjadi atas
ijin penguasa, pemilik tanah baik tanah hak perseorangan
maupun tanah hak ulayat. Di Minangkabau dan Minahasa
ada tradisi tanah pertanian diserahkan penggarapannya
kepada anggota-anggota keluarga tertentu untuk
83 Loc cit
150
dikerjakan84, tentunya sesuai dengan hukum adat
setempat. Sedangkan hak gadai adalah perpindahnya
penguasaan atas sebidang tanah tertentu sesuai waktu
kesepakatan dari pemberi gadai kepada penerima gadai
dengan menerima sejumlah uang secara tunai, dan ketika
pada saatnya pemberi gadai akan menerima kembali
tanahnya dari penerima gadai dengan pengembalian
sejumlah uang yang telah dibayar, sesuai kebiasaan adat
setempat. Kemudian Hak sewa adalah suatu perbuatan
hukum yakni menyerahkan sebidang tanah kepada pihak
lain dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang
(tanah sewa tersebut lazimnya tanah pertanian, namun
sering terjadi sewa tanah untuk membangun rumah dalam
jangka waktu tertentu).
g. Hak Keuntungan Jabatan atau Hak Penghasilan (Tanah
Bengkok)
Hak dari pejabat-pejabat MHA, persekutuan hukum atas
tanah persekutuan yang diberikan kepada pejabat adat
tersebut, sebagai konsekwensi jabatan. Jadi tanah tersebut
digarap untuk kepentingan pejabat adat selama
melaksanakan tugasnya, guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.
84 Rosnidar Sembiring. 2017. Hukum Pertanahan Adat. Rajawali Press. Depok. Hlm.124-
125.
151
3. Pengertian hak ulayat
Cornelis Van Vollenhoven, sebagaimana dikutip oleh
Maria S.W. Sumardjono, merumuskan hak ulayat sebagai hak
yang dimiliki suatu masyarakat hukum adat (suku, desa,
serikat desa) untuk menguasai seluruh tanah seisinya di dalam
lingkungan wilayahnya. Dengan demikian maka subyek dari
hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik yang tunggal
atau persekutuan daerah, tetapi tidak merupakan hak dari
individu, dan juga menurut Roestandi Ardiwilaga merupakan
pula hak dari suatu faamili85.
Maria S.W. Sumardjono86, mendefinisikan hak ulayat
sebagai berikut: “Secara umum, pengertian hak ulayat
utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara
masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan
wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan
kewajiban. Dalam pengertian “tanah dalam lingkungan
wilayahnya”, itu mencakup luas kewenangan masyarakat
hukum adat berkenaan dengan tanah, termasuk segala isinya,
yakni perairan, tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam
87 M. Syamsuddin. dkk (penyunting). 1998. Hukum Adat dan Modernisasi Hukum. F.H.UII
89 M.G. Ohorella. 1993. Hukum Adat Mengenai Tanah dan Air di Pulau Ambon dan
154
masyarakat-masyarakat dari usaha-usaha perseorangan
yang memungut hasilnya untuk diri sendiri”.
155
tanah yang belum diusahakan maupun tanah-tanah yang telah
diusahakan. Dinyatakan pula bahwa mengenai nama untuk
hak ulayat (beschikkingrecht) dalam bahasa Indonesia jarang
atau tidak terdapat. Namun dikenal nama-nama untuk
menyatakan berlakunya beschikkingrecht tersebut (lingkungan
daripada beshikkingrecht, beschikkingskring), 95 misalnya:
a. patuanan di Ambon yang berarti lingkungan kepunyaan
b. panyampeto di Kalimantan, dalam arti daerah penghasil
makanan
c. wewengkon di Jawa, prabumian di Bali, pawatasan di
Kalimantan yang kesemuanya berarti daerah yang
terbatas.
d. Totobuan di Bolaang Mongondow yang berarti tanah yang
terlarang bagi orang lain.
e. Ulayat di Minangkabau yang berarti daerah kekuasaan
wali, pengurus, kepala daerah dan sebagainya.
Hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah
wilayahnya tersebut bukanlah hubungan milik melainkan
hubungan pertuanan sebagaimana disebut oleh Van
Vollenhoven dengan istilah beschikkingsrecht di mana dengan
tegas disebut bahwa masyarakat hukum tidak dapat
memindahtangankan beschikkingsrecht tersebut.
95 Loc. Cit.
156
4. Tanda-tanda adanya hak ulayat
Cornelis Van Vollenhoven96 memberikan 6 (enam) tanda
khusus atas keberadaan hak ulayat, yakni:
a. Hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta warga-
warganya dapat dengan bebas mempergunakan tanah liar
yang terletak dalam wilayahnya.
b. orang asing (luar masyarakat hukum) hanya boleh
mempergunakan tanah itu dengan izin, penggunaannya
tanpa izin dipandang sebagai suatu delik.
c. untuk penggunaan tanah tersebut kadang-kadang bagi
warga masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang
luar masyarakat hukum selalu dipungut recognisi.
d. Masyarakat adat bertanggung jawab terhadap delik-delik
tertentu yang terjadi dalam wilayahnya, delik mana tidak
dapat dituntut pelakunya.
e. Masyarakat adat tidak dapat melepaskan hak ulayat,
memindahtangankannya ataupun mengasingkannya
secara menetap.
f. Masyarakat adat masih mempunyai campur tangan
(intensif atau kurang instensif) terhadap tanah-tanah yang
sudah diolah.
97 Maria S.W. Sumardjono. 2005. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi.
158
sedemikian rupa sehingga setiap orang, menerima bagiannya
dari hasil yang diperoleh berdasarkan hak masyarakat hukum
adat tadi, membatasi hak-hak seseorang dan mengambil tanah
tertentu bagi kepentingan umum. Misalnya seorang warga
masyarakat hukum mempunyai hak untuk berburu atau
mengumpulkan hasil hutan guna keperluan sendiri beserta
keluarganya. Dengan prosedur tertentu ia dapat memperoleh
hak membuka tanah yang kemudian apabila dikerjakannya
secara terus menerus dapat menjadi miliknya, hak mana
sifatnya tidak terbatas melainkan dikenal pula pembatasan-
pembatasan dari masyarakat hukum. Apabila tanah miliknya
tidak dikerjakan sebagaimana mestinya sehingga kembali
menjadi semak belukar (Kei: ibut kait) maka hak atas tanah tadi
dapat hilang dan tanah tersebut boleh diusahakan oleh
anggota masyarakat lainnya.
Hak ulayat berlaku ke dalam ini, juga mengandung
konsekwensi bahwa apabila warga persekutuan meninggal
dunia, tanpa meninggalkan ahli waris dan pengaturannya,
maka masyarakat hukumnya yang menjadi ahli warisnya.
Sedangkan untuk kepentingan umum dapat dicadangkan
bagian-bagian tanah tertentu di wilayahnya untuk tempat
kediaman umum, makam, pengembalaan umum, jalan-jalan,
tanah jabatan, dan hutan cadangan99.
Pelestarian Tanah Adat (di Minangkabau) dalam Sayuti Thalib (Penyunting) Hubungan
Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Jakarta, hlm. 23-24.
160
Berkenaan dengan berlakunya ke dalam Boedi
Harsono101 mengemukakan, bahwa kewajiban yang utama
penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah
memelihara kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat
hukumnya, mencegah terjadinya perselisihan dalam
penggunaan tanah dan kalau terjadi persengketaan ia wajib
menyelesaikannya. Berdasarkan hal tersebut, maka pada
asasnya penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan
atau mengalihkan seluruh atau sebagian tanah wilayah
kepada siapapun. Kata pada asasnya artinya ketentuan itu ada
pengecualiannya.
Para anggota masyarakat hukum adat mempunyai
keleluasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah yang
termasuk dalam lingkungan wilayah masyarakat hukumnya.
Agar tidak terjadi bentrokan atau perselisihan di antara
anggota masyarakat, maka sebelum membuka tanah ia harus
memberitahukannya bahwa kepada penguasa adat.
Pemberitahuan itu bukan bersifat permintaan izin untuk
membuka tanah. Untuk membuka tanah, tidak diharuskan
membayar sesuatu. Inilah yang dimaksud dengan kekuatan
berlaku ke dalam terhadap hak ulayat. 102
164
Perairan yang dikuasai hak ulayat ialah sungai dan jalur
laut sepanjang pantai, atau menurut hukum adat Ambon lease
disebut labuhan, dan juga meti atau metiin di kepulauan Kei,
sedangkan wilayah hutan yang dikuasai hak ulayat ialah hasil
hutan dan hewan-hewan yang hidup liar dan berada di hutan.
Pelaksanaan hak ulayat, hak-hak perseorangan dapat
dibatasi bagi kepentingan masyarakat hukum. Menurut Maria
S.W. Sumardjono107, di sinilah letak keistimewaan hak ulayat
itu, yakni adanya hubungan yang timbal balik antara hak
ulayat dengan hak perseorangan.
Hak ulayat meliputi pula hak-hak perseorangan atas
tanah, penggarapan tanah secara intensif akan menimbulkan
hak yang kuat antara si penggarap dengan tanah dan oleh
karenanya hak ulayat menjadi lemah. Namun apabila tanah
garapan ditinggalkan oleh yang bersangkutan dan tidak
dipelihara lagi maka hak ulayat menjadi kuat kembali.
Kendatipun warga persekutuan menggarap tanahnya secara
intensif namun hak ulayat dapat menjadi kuat kembali,
misalnya penggarap berkelakuan sangat buruk, meninggal
dunia atau meninggalkan daerah tempat tinggalnya. Hak
tersebut kembali kepada masyarakat hukum dan masyarakat
168
tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang
dimaksud di atas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria”.
Pengakuan hukum adat sebagai dasar hukum agraria
nasional, secara tegas dinyatakan atau dirumuskan di dalam
Pasal 3 dan 5 UUPA. Dalam Pasal 3 yang berbunyi sebagai
berikut: ”dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal
1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi”.
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada agama (Pasal 5 UUPA).
169
Boedi Harsono111 mengemukakan bahwa: pengakuan
hak ulayat oleh UUPA berkenaan dengan eksistensi dan
pelaksanaannya. Dari segi eksistensinya hak ulayat itu diakui
sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Di daerah-
daerah yang hak ulayatnya sudah tidak ada lagi, maka hak
ulayat itu tidak akan dihidupkan kembali, dan daerah-daerah
yang hak ulayatnya tidak pernah ada, tidak akan diberikan
hak ulayat baru, sedangkan dari segi pelaksanaannya, maka
pelaksanaan hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara dan dengan undang-undang
serta peraturan perundangan lain yang lebih tinggi.
A.P.Parlindungan mengemukakan, sebagai berikut:
Seyogyanya dapat diterima hukum adat seperti yang
dikatakan oleh Boedi Harsono, “hukum adat yang disaneer”
atau oleh Sudargo Gautama disebutkannya sebagai hukum
adat yang “diretool” setidak-tidaknya seperti yang disinggung
adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang
khusus daerah dan diberi sifat nasional112.
Lebih lanjut A.P. Parlindungan mengemukakan bahwa:
hukum adat menurut versi UUPA, bukanlah hukum adat
sebagaimana yang digambarkan olah Van Vollenhoven, akan
173
dilakukan, walaupun kenyataannya perbuatan itu hanya
“sumbang” (kesalahan) kecil saja. Soerojo Wignyodipoero
menytakan bahwa delik adat suatu perbuatan menyalahi
aturan yang berkaitan dengan perasaan keadilan maupun
perasaan akan ketaatan atau kepatuhan yang ada dalam
kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan
terganggunya ketentraman, kenyamanan maupun
keseimbangan masyarakat dan dengan adanya reaksi adat
tersebut diharapkan dapat memulihkan kondisi yang
terguncang menuju keadaan semula.
117 Agusta Pinta Kurnia Rizky dan Aris Prio Agus Santoso. 2021.Pengantar Hukum Adat.
180
F. Delik Adat menurut Hukum Larvul-Ngabal
MHA Kei di Maluku Tenggara, kehidupan adat
istiadatnya bertumpu pada hukum adat yang dikenal dengan
penamaan Larvul Ngabal. Hukum adat MHA Kei ini,
diperkirakan terbentuk, dicetuskan antar tahun 1530 sd.1580
oleh Kasdew anaknya Tebtut dan cucunya Dit Sakmas serta
Jangra dan anaknya Dit Somar yang berasal dari Bali. Hukum
Larvul Ngabal terdiri atas 7 (tujuh) pasal yakni:
1. Pasal 1: Uud entauk na atvunad (Kepala bertumpu pada
tengkuk)
2. Pasal 2: Lelad ain fo mahiling (Leher kita dihormati,
diluhurkan)
3. Pasal 3: Uil nit enwil rumud (Kulit dari tanah membungkus
badan kita)
4. Pasal 4: Lar nakmot na rumud (Darah tertutup dalam tubuh)
5. Pasal 5: Rek fo kilmutun (Perkawinan hendaklah pada
tempatnya agar tetap tetap suci murni)
6. Pasal 6: Morjain fo mahilinh (Tempat untuk perempuan
dihormati, diluhurkan)
7. Pasal 7:Hira I ni fo I ni, it did fo it did (Milik orang tetap milik
mereka, milik kita tetap milik kita.
Tindak lanjut dari hukum Larvul Ngabal, khusus dalam
hal pelanggaran adat yang dinamakan “Sasa Sor Fit”
dikelompokan menjadi tiga bagian yaitu:
181
1. Hukum Nevnev adalah hukum yang mengatur tentang
larangan terhadap tindakan yang tidak sepautnya
terhadap sesama manusia.
2. Hukum Hanilit adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran kesusilaan.
3. Hukum Hawear Balwirin adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran terhadap harta benda, hak milik dan
keadilan sosial.
Sasa Sor Fit terdiri atas tiga kata dalam bahasa Kei: sasa
atau sa artinya salah, kesalahan; Sor artinya artinya
helai,tingkat, lapis; Fit artinya tujuh. Jadi Sasa Sor Fit
artinyatujuh lapis atau tingkatan kesalahan.
Masing-masing hukum, baik Nevnev, Hanilit dan
Hawear Balwirin mengatur pelanggaran terhadap hukum
Larvul Ngabal masing-masing mengandung 7 (tujuh)
rumusan formulasi perilaku yang dilarang, dan merupakan
kesalahan yang mengusik keseimbangan hidup MHA, dan
merupakan kesalahan yang harus dibayar guna memulihkan
keseimbangan alam dan masyarakat. Efrem Silubun120
mengemukakan bahwa:
Ad. 1 Hukum Adat delik yang diatur dalam Hukum Nevnev
(hukum berisi ketentuan-ketentuan yang harus dikenakan
bagi pelanggar Pasal 1 sd. Pasal 4 Larvhul Ngabal) adalah:
183
nya terealisasi maka akan dikenakan hukum dalam pasal
yang lain.
c. Pasal 3 Rasung smu-rodang daid (Mencelakakan dengan
ilmu hitam, tenung, sihir). Pasal ini sulit dibuktikan,
kecuali tertangkap tangan atau pengakuan dari si penyihir.
Manakala ketahuan dan korban masih hidup, maka pelaku
menarik kembali semua ilmu sihirnya dan membayar
denda sebagaimana pasal 1: Vhur ngoin ne tet liman.
Sedangkan apabila korban telah meninggak maka si
pelaku dikenakan hukuman “fnuvh” yakni
ditenggelamkan atau dikuburkan secara hidu-hidup,
namun disetarakan dengan membayar denda saja.
Bilamana pelaku tindak pelanggaran tidak diketahui
maka, ada keyakinan bahwa pelaku akan menerima
hukuman Kavhunin sesuai dengan perbuatannya.
d. Pasal 4 Kef ovh bangil (Memukul, membenturkan,
meninju).
Pasal ini melarang semua tindakan menyakiti raga
orang lain. Hukumannya adalah: “he luun” (penyeka air
mata) terbagi dalam tiga bagian:
1) Apabila pemukulan dilakukan oleh yan vhat terhadap
mangohoi, maka yang memukul dikenakan denda
membayar satu emas tanpa ditentukan ukurannya
yakni mas “ihin vhahan (mas vhuil)”
184
2) Apabila pemukulan dilakukan oleh mangohoi
terhadap yan vhat, maka yang memukul akan
dikenakan denda membayar sekurang-kurangnya satu
pasang pakaian.
3) Manakala pemukulan dilakukan terhadap orang yang
tidak memiliki hubungan apaun dengan yang
memukul, maka yang bersangkutan akan dikenakan
denda membayar satu emas “mas ihin vhahan (mas
vhuil)” tanpa ditentukan ukuran.
e. Pasal 5 Tevh hai sung tavhat (Melempar, menikam,
menusuk).
Tindakan melempar, menikam, menusuk mengakibatkan
luka pada seseorang, dikenakan hukuman “envhis il
mangaan” (membungkus atau menutupi kembali luka dan
bekasnya). Denda yang harus dibayar emas murni sebesar
lima tail.
f. Pasal 6 Fedan na tet vhanga (Menghilangkan nyawa orang,
membunuh, memancung, memotong).
Menghilangkan nyawa orang lain dengan cara memotong
atau memancung, dikenakan hukuman”fnuvh”
g. Pasal 7 Tivak luduk fo vavain (Menguburkan,
menenggelamkan hidup-hidup).
Menghilangkan nyawa orang dengan cara menguburkan
menenggelamkan hidup-hidup amat dilarang. Hukuma
185
bagi pelaku adalah dikubur hidup-hidup, atau
ditenggelamkan hidup-hidup. Apabila sipelaku atau
orang lain tidak ada yang menebus.
186
dinamakan “ihin vhahan” (tiga tail emas murni). Ihin
vhahan adalah emas murni berkadar karat terendah.
d. Pasal 4 En a lebak, en humak vhoan (Meraih, memeluk,
mencium).
Perilaku meraih, memeluk, mencium ini di larang
ditempat umum. Hukuman bagi pelanggar adalah
setingkat “Ihin vhahan tunan lai (mas vhuil), tiga tail emas
yang kadarnya lebih tinggi dari ihin vhahan).
e. Pasal 5 Envhail sir beraung, en kom lavhur (Membuka
pakaian dan memperkosa)
Membuka pakaian secara paksa dan memperkosa.
Menurut hukum adat Kei membuka pakaian wanita secara
paksa, dianggap telah memperkosa. Ada juga makna dari
“envhail sir beraung” juga bermakna telah terjadi
persetubuhan secara suka sama suka, maka dua-duanya
mendapat hukuman tambahan apabila salah satu atau
keduanya telah berumah tangga. Orang yang melanggar
dikenakan hukuman “met masuhun” (kesedihan
bercampur malu akibat aib) adalah:
1) Ravhit Sbo waan (satu pasang kain kebaya) untuk
mengembalikan dan memakaikan kembali pakaian
perempuan.
2) Mas ihin vhahan Tunan Lai waan foe n vhail vhaut ne en tet
ai waar (Satu emas kadar Ihin Vhahan Tunan Lai untuk
187
membalik batu dan memutuskan akar pohon). Emas
ini ditentukan ukurannya sebesar lima tail. Makna
membalik batu dan memutuskan akar pohon adalah
menutupi kembali aib yang telah dibuat dengan batu
dan perbuatan tidak terulang lagi disimbolkan dengan
terputusnya akar pohon.
3) Berun el ru fo beteniak (satu rangkaian manik-manik
kuno seukuran dua kali siku orang dewasa) untuk
mengikat kembali kain sarungnya yang telah terlepas.
4) Lavhur laur il rek atau felo il rek yang diberikan kepada
salah satu yang telah bersuami atau beristeri, atau dua-
duanya apabila masing-masing dari mereka atau salah
satunya telah berumah tangga. Lavhur laur il rek atau felo
il rek juga bermakna memulihkan kembali keutuhan
dan kemuliaan rumah tangga yang tercemar akibat
perbuatan tersebut, dan felo il rek bermakna
menegakkan kembali pembatas (rek) yang telah rusak
dan hampir runtuh akibat perbuatan tercela tersebut.
Manakala salah satu belum berumah tangga akan
membayar satu emas. Dan Manakala dua-duanya telah
berumah tangga, maka harus membayar satu emas
kepada isteri dan suami dari pasangan selingkuhan.
f. Pasal 6 Envhel evh yan (Hamil diluar nikah).
Hamil di luar nikah dapat terjadi karena:
188
1) Perkosaaan
2) Hubungan cinta pra nikah.
Hukuman terhadap laki-laki adalah hukuman “meet
masuhun” ditambah demgan satu Meriam kuno yang
disebut “yauf naang matan” (percikan api pada mulut
Meriam: bermakna perbuatan menghamili tersebut dapat
menimbulkan perang dan kematian. Meriamnya
bermakna pengganti ayah dari anak hamil pra nikah.
g. Pasal 7 Ftu fboir atau fwer (kawin lari).
Kawin lari sanksi adatnya sebagai berikut:
1) Mas tub luvh
(Satu mas tanpa ditetapkan ukuran dan kadar
mutunya yang diletakan pada tempat tidur
perempuan). Penggunaan emas sebagi pemberitahuan
kepada keluarga perempuan bahwa anak perempuan
dilarikan oleh seorang lai-laki untuk dinikahan.
2) Melaan
(uang atau emas yang diberikan kepada keluarga
perempuan yang telah bersusah payah mencari
perempuan). Besar uang atau emas disesuaikan
dengan jumlah orang yanhg mencariperempuan
tersebut.
3) Melmoil laar mavh
Penyelesaian sanki dilaksanakan apabila terjadi
pelanggaran tersebut, perempuan sementara menjaga
189
moil (tali jiwa=sesuatu yang penting dan rahasia) dari
seorang saudara laki-lakinya yang sedang merantau
terganggu, sehingga harus dipulihkan dengan satu
emas.
4) De (satu emas yang harus diberikan kepada Soa atau
Orang Kay tempat perempuan berasal, apabila
perempuan menikah di luar kampung (ohoi) atau desa
(utan) asalnya. Apabila perempuan menikah di
kampung sendiri maka “de” tidak dibuat.
Ada tiga121 pelanggaran dalam hukum hanilit ini,
namun beratnya hukuman maka penyelesaiannya
dimasukan dalam hukum Nev-nev yakni:
a) Rehe wat tee (merampas isteri orang lain)
b) Itwail ngutun-enan, itlawur umat hoan (membuka
keluar penutup di atas dan bawah, merusak isteri
orang lain).
c) Dos sa te’en yanat te urwair tunan (Kejahatan
persetubuhan sedara/sekandung).
191
d. Pasal 4 Tef en it n ail tomat lian I ni afa it liik ken te it
fanaub.
(Tidak mau mengembalikan barang orang lain yang
ditemukan atau disimpan, secara sengaja maupun
taksengaja). Hukuman bagi pelanggar adalah
mengembalikan barang yang ditemukan, atau disimpan
kepada yang berhak, dan juga hukuman sosial yang
merupakan aib.
e. Pasal 5 Taan rereng, it ot afa waid (Makan upah tanpa
kerja). Pelaku yang melanggar dalam praktek jarang di
bawah ke mahkamah Peradilan Adat. Hukuman yang
dikenakan kepada pelanggar diserahkan kepada hukum
Kavhunin.
f. Pasal 6 It lavhur kom ira I ni afa (Merusak dan
menghancurkan barang milik orang lain). Hukuman bagi
pelanggar adalah mengganti seluruh kerugian dan
kerusakan yang terjadi, memperbaiki kerusakan yang
terjadi.
g. Pasal 7 Etna ded vhut raut fo enfasus te enfakuis tomat lian
(Mengambil atau melakukan apa saja dengan berbagai cara
untuk menyusahkan atau menguras milik orang lain).
Hukuman yang dikenakan kepada pelanggar adalah
membayar atau mengembalikan apa yang telah dikuras,
serta dikenakan hukum Kavhunin.
192
BAB 7
PERADILAN ADAT
A. Pengertian
Dalam peraturan perundang-undangan dan pendapat
ahli hukum, memformulasikan pengertian peradilan adat
sebagai berikut:
1. Peradilan Adat adalah peradilan perdamaian di
lingkungan masyarakat hukum adat yang mempunyai
kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata
adat dan perkara pidana diantara para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan122.
2. Peradilan Adat adalah suatu sistem penyelesaian perkara
yang hidupdalam masyarakat hukum adat tertentu di
Papua123.
3. Hukum Adat Peradilan adalah aturan-aturan hukum adat
yang mengatur tentang cara menyelesaikan perkara
dan/atau menetapkan keputusan hukum atas sesuatu
perkara menurut hukum adat. Proses penyelesaian dan
penetapan keputusan perkara dinamakan Peradilan
Adat124
122 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
193
4. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian yang
memiliki kompetensi memeriksa dan mengadili
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat hukum adat.
200
d. Apabila ada pihak yang keberatan atas putusan
pengadilan adat, dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri.
e. Pembebasan pelaku pidana dari tuntutan pidana ,
diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan
dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya
yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri
tempat terjadinya peristiwa pidana.
f. Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk
dilaksanakan bagi keputusan pengadilan adat ditolak
oleh Pengadilan Negeri, maka kepolisian dan kejaksaan
dapat melakukan penyidikan dan penuntutan, dan
putusan pengadilan adat dijadikan bahan
pertimbangan.
6. Susunan, mekanisme dan putusan peradilan adat diatur
dalam perdasus sebagai berikut:
a. Pengadilan adat bukanlah pengadilan bertingkat,
melainkan Lembaga peradilan masyarakat adat.
b. Lembaga peradilan adat, susunan dan keanggotaannya
di atur menurut ketentuan hukum adat masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
c. Penyelenggaraan peradilan adat diurus oleh hakim
adat.
201
d. Regulasi yang berkenaan dengan kelembagaan dan
hakim adat dapat diatur melalui Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
7. Mekanisme untuk menerima, mengurus, mengadili dan
mengambil keputusan dilaksanakan menurut hukum adat
MHA yang bersangkutan, dan dapat diatur melalui
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
8. Putusan Pengadilan Adat diatur sebagai berikut:
a. Putusan pengadilan adat berdasarkan musyawarah dan
mufakat.
b. Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak
atau pelaku
c. Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan
putusan menurut hukum adat MHA yang bersangkutan
sesuai sistem kepemimpinan keondoafian, sistem
kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria
berwibawa dan sistem kepemimpinan campuran.
9. Dalam perdasus nomor 20 tahun 2008 mengatur perihal
kerjasama sebagai berikut:
a. Pengadilan adat dalam mengurus perkara adat, dapat
meminta dukungan teknis dan finansial dari
Permerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
b. Dalam melakukan kerjasama dengan Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan
202
dukungan teknis dan finansial berdasarkan peraturan
perundang-undangan bagi penyelenggara peradilan
adat di Papua.
c. Majelis Rakyat Papua (MRP) berkewajiban memberikan
pembinaan dan penguatan kapasitas serta pro aktif
mengembangkan kemitraan dalam rangka
pemberdayaan peradilan adat di Papua.
d. Pengadilan adat dalam pengurusan perkara adat dapat
bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Papua,
Pengadilan negeri, Kejaksaan negeri, dapat
memberikan dukungan teknis bagi penyelenggaraan
peradilan adat di Papua,
10. Regulasi Perdasus Papua tersebut mengatur pula soal
larangan sebagai berikut:
a. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan pidana
penjara dan kurungan
b. Pengadilan adat tidak berwenang menerima dan
mengurus perkara perdata dan pidana yang salah satu
pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan
warga masyarakat hukumn adatnya, kecuali tunduk
pada ketentuan
11. Sanksi pengadilan adat dalam perdasus terdiri atas:
a. Denda adat dengan memperhatikan asas kepatiutan
dan kewajaran sesuai dengan ketentuan hukum adat
dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
203
b. Melaksanakan upacara pemulihan adat dengan
memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran sesuai
dengan ketentuan adat MHA yang bersangkutan.
c. Denda adat dan ritual dikenakan sendiri-sendiri atau
terpisah.
d. Sanksi tidak menghapus pidana apabila pihak tidak
menerima.
e. Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan
pidana menurut ketentuan hukum pidana, diperlukan
pernyataan persetujuan dari ketua Pengadilan Negeri
Melalui Kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan
dengan tempat terjadinya peristiwa pidana.
12. Pejabat adat, yang menjalankan fungsi peradilan adat
senantiasa dilambangkan127 sebagai:
a. Tanah bermakna pelindung semua warga MHA
b. Air bermakna membnerikan kenyamanan,
kedamaian, ketentraman
c. Api bermakna penyelesaian perkara berada dalam
komando dan keputusan pemimpin
d. Matahari bermakna sumber penghidupan, dalam
suka dan duka, tempat mengadu.
e. Samudera bermakna bijaksana, wawasan luas
f. Cenderawasih bermakna kebanggaan senantiasa
dipuja sepanjang masa
205
2. Pengakuan Peradilan Adat.
Pada Pasal 50 dan 51 UU Otsus, negara megakui
eksistensi peradilan adat dan dinyatakan pula bahwa
peradilan adat bukan peradilan negara.
Menurut Mohammad Jamin penjelasan pasal tidak
boleh memunculkan norma baru, dan peradilan adat
seharusnya mandiri dan otonom sesuai karakteristik
pengadilan adat berdasarkan tipe kepemimpinan adat
yang berlaku yakni:
a. Kepemimpinan keondoafian
Ciri-ciri utama sistem politik ondoafi adalah pewarisan
kedudukan dan birokrasi tradisional, dan teritorial
kekuasaan ondoafi meliputi satu kampung dan satu
golongan etnik saja. Pusat orientasi kekuasaan ondoafi
ialah religi. Sistem politik ondoafi terdapat di bagian
Timur Laut Papua, dengan masyarakat pendukungnya
masing-masing orang Sentani, orang Genyem
(Nimboran), penduduk Teluk Humbold (Yos Sudarso),
orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari-Skou dan
orang Arso-Waris.
b. Kepemimpinan Pria Berwibawa
Kekuasaan diperoleh melalui pencapaian prestasi
yakni kemampuan individual seperti memiliki
kekayaan material termasuk keberhasilan mengalokasi
206
dan mendistribusikan kekayaan; kepandaian
berdiplomasi dan berpidato, memimpin perang,
memiliki sifat bermurah hati, fisik tubuh yang besar
dan tegap.
Hanya orang yang menduduki dan menjadi pemimpin
itu sendiri yamg melaksanakan kekuasaan. Artinya
kepemimpinan dalam semua bidang di pegang dan
dilakukan oleh satu orang saja yakni pemimpin itu
sendiri yang melaksanakan kekuasaan. Suku yang
melaksanakan sistem ini antara lain: suku Meybrat,
Asmat, Dani, Muyu dan Me
c. Kepemimpina Raja
Ciri dari sistem ini adalah pewarisan kedudukan
pemimpin. Lazimnya kedudukan diwariskan kepada
anak tertua. Dalam sistem ini dikenal pula pembagian
fungsi dalam melaksanakan kekuasaan. Penganut
sistem ini antara lain: daerah Fakfak, Kaimana,
Kepulauan Raja Ampat
d. Kepemimpinan Campuran.
Ciri-ciri sistem percampuran adalah kedudukan
pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan/atau
pencapaian. Dengan kata lain, di dalam sistem ini
seseorang dapat menjadi pemimpin masyarakat
berdasarkan kemampuan individualnya termasuk
207
berdasarkan prestasi dalam kondisi tertentu dan/atau
berdasarkan keturunan. Para pemimpin berdasarkan
prestasi biasanya muncul pada saat-saat tertentu,
misalnya pada saat adanya peperangan, bencana atau
pada saat terjadi dekadensi kebudayaan. Pemimpin
golongan ini disebut juga pemimpin situasional.
Sedangkan pemimpin berdasarkan pewarisan yang
terdapat di dalam sistem percampuran biasanya terjadi
dalam kondisi normal yakni tidak terjadi peperangan,
bencana alam dan sebagainya. Masyarakat penganut
Sistem kepemimpinan percampuran ini antara lain
suku Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan orang
Maya.
Peradilan adat yang otonom dan mandiri tersebut
kemudian terjadi suatu paradoks dengan memberikan
ruang sebagaimana Pasal 51 ayat (4) UU No. 21 Tahun
2001, kepada pihak yang bersengketa yang berkeberatan
terhadap putusan peradilan adat, megajukan keberatan ke
Pegadilan Negeri, yang merupakan peradilan tingkat
pertama dalam sistem peradilan negara untuk memeriksa
dan megadili ulang, sengketa yang telah diputuskan dalam
peradilan adat. Pengakuan Kelembagaan peradilan adat
208
oleh Negara yang setengah hati. Menurut Mohon Jamin128
pengakuan kelembagaan peradilan adat yang tidak tegas
dan tidak utuh, atau pegakuan semu, karena peradilan
adat ditempatkan sebagai sub ordinasi peradilan negara
sehingga tidak otonom dan mandiri; selain itu eksistensi
peradilan adat yang dinyatakan sebagai peradilan
perdamaian dipertanyakan, karena peradilan adat bukan
hanya Lembaga perdamaian tetapi juga melaksanakan
fungsi penegakan hukum dalam upaya reaksi terhadap
pelanggar hukum adat dalam rangka menjaga
keseimbangan dalam masyarakat.
3. Kekaburan kewenangan perkara pidana.
Dalam UU Otsus (Pasal 51) dinyatakan abhwa
Pengadilan adat memiliki kompetensi dalam memeriksa
dan mengadili perkara pidana, namun dalam penjelasan
dilakukan pembatasan yakni pengadilan adat tidak
berwenang menjatuhkan pidana penjara dan kurungan,
serta perkara perdata dan pidana yang salah satu pihak
bukan MHA yang bersangkutan. Ada kelemahan yaitu
kekaburan norma (vagua norm) yakni apakah kewenangan
peradilan adat hanya delik adat saja atau juga meliputi
perkara pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 1
128 Mohammad Jamin. 2014. Peradilan Adat: Pergeseran Politik hukum, Perspektif
212
BAB 8
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
MASYARAKAT HUKIUM ADAT DAN
KEPEMIMPINANNYA
A. Pendahuluan
Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan suatu
perjuangan panjang sejak perlawanan fisik yang bersifat
kedaerahan, sampai dengan tonggak kebangkitan nasional
yang diawali dengan lahirnya budi utomo, sumpah Pemuda
1928. Bangsa multikulturalisme yang beraneka warna suku
bangsa, ras, golongan dan agama. Konstitusi NKRI mengatur
perihal penghormatan dan pengakuan terhadap daerah-
daerah istimewa serta mengakui eksistensi MHA serta
identitas budayanya sesuai perkembangan peradaban130.
Manifestasi dari pengakuan atas identitas budaya dan MHA,
maka eksistensi Masyarakat Adat dan kepemimpinannya
wajib dilindungi dan diberikan pengakuan dalam kapasitas
sebagai penyandang hak dan kewajiban dalam pengelolaan
sumberdaya alam di wilayah hukum adatnya dengan batas-
batas wilayah dalam NKRI131.
130 Lihat UUD NRI 1945 pasal 18B dan 28I ayat (3).
131 Lihat Permendagri No. 152 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengakuan MHA.
213
Kondisi NKRI yang merupakan negara
multikulturalisme membutuhkan kewaspadaan terhadap
pelbagai perbedaan baik suku, agama, ras dan antara
golongan. Kewaspadaan itu penting, disebabkan generasi
sekarang maupun yang akan datang tidak mengalami
berbagai perjuangan baik fisik, diplomasi politik dan merebut
kemerdekaan dari kaum penjajah di bumi nusantara. Setelah
perlawanan fisik terhadap kolonial belanda yang bersifat
kedaerahan, mulailah timbul suatu kesadaran nasional
perlawanan berubah dari fisik kedaerahan menjadi diplomasi
politk pada tahun 1908, kemudian para pemuda
mengikrarkan sumpah pemuda 18 Oktober 1928, dan pada
saat itu pertama kali lagu kebangsaan dinyanyikan, dan
puncaknya pada momen proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.
Kondisi kemajemukan pada saat ini, terdiri dari suku-
suku berbentuk masyarakat hukum adat (MHA) yang
masing-masing suku, atau wilayah adat memiliki
kepemimpinannya masing-masing. Kepemimpinan adat di
berbagai daerah masih ada yang memperlihatkan sikap
resistensi terhadap berbagai kebijakan negara, terutama yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya agraria,
sumber daya alam, wilayah tempat kepemimpinan
masyarakat hukum adat dan komunitasnya. Resistensi MHA
214
terhadap pemerintah dalam mempertahankan eksistensi
kepemimpinan masyarakat hukum adat (MHA) di Papua,
Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi132.
Berbagai Realitas konflik MHA dengan pengusaha dan
pemerintah dipelopori oleh pemimpin adat mereka masing-
masing. Hal ini kalau dibiarkan dan tidak segera mencari
solusi strategis guna pemecahannya, maka akan berdampak
buruk bagi ketahanan nasional Indonesia. Untuk itu tulisan
ini menganalisis berbagai hal ikhwal yang berkenaan dengan
peran kepemimpinan Adat, pengakuan MHA agar ke depan
para pemimpin adat dan MHAnya mejadi perekat persatuan
bangsa demi tegaknya NKRI. Eksistensi MHA dalam mengisi
pembangunan bangsa, telah, sedang dan akan terus
berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara menuju
masyarakat adik dan makmur merata material dan spiritual
133 Hammar, Robert. K.R. 2017. Penataan Ruang Masyarakat Hukum Adat Berbasis
216
Kepulauan Aru Maluku yang diyakini mendorong ekonomi
yang berkelanjutan135. Hal yang sama dilakukan oleh
masyarakat di Papua Barat ada tradisi di kawasan Egeg,
dilarang mengambil sumberdaya tertentu; juga di Daerah
Kawe Papua Barat ada tradisi Sasi yakni melarang untuk
waktu tertentu mengambil hasil laut berlebihan136. Kegiatan
mendukung pemerintah misalnya Masyarakat adat sulawesi
tengah dukung Vaksinasi Masyarakat Adat137. Contoh lain
Masyarakat Adat Kalimantan Timur dan pemimpinnya
mendukung pembangunan ibu kota negara138.
Kepemimpinan MHA menjadi penting untuk ditingkatkan
peran dan eksistensinya melalui penguatan dan pengakuan
MHA, yang berimplikasi positif terhadap kesejahteraan dan
ketanahan nasional.
135 Matuanakotta, Jenni K. 2018. Peran Aktif MHA dalam pembangunan Ekonomi.
Jurnal Sasi Vol. 24 Nomor 2 Juli-Desember. Hl. 101-113 diakses 5 Mei 2022
136Peran Masyarakat Adat Dukung Pembangunan Tanah Papua. https://katadata.co.id
218
untuk MHA berpartisipasi dalam setiap pembangunan yang
berkenaan dengan dirinya dan lingkungannya.
Regulasi sebagai aspek utama adanya Pengakuan dan
perlindungan MHA, kendatipun belum ada undang-undang
yang mengatur PPMHA, namun untuk merespon tuntutan
MHA Indonesia, maka Pemerintah melalui Kementrian
Dalam Negeri, menerbitkan regulasi yang mengatur tata cara
pemberian pengakuan kepada MHA, yaitu Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 menyatakan bahwa
dalam rangka mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI perlu
pengakuan dan perlindungan terhadap MHA. Dalam
Permendagri diperintahkan agar provinsi, kabupaten dan
kota menyipkan anggaran, dan tim peneliti yang terdiri atas
birokrasi, politisi, MHA, kampus dan LSM, yang diketuai
secara exoficio oleh Sekretaris Daerah. Struktur organisasi
Panitia Masyarakat Hukum Adat terdiri atas: Sekretaris
Daerah kabupaten/kota sebagai ketua; Kepala SKPD yang
membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris;
Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai
anggota; Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan
219
Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum
adat sebagai anggota.
Pengakuan dan perlindungan MHA dilakukan melalui
tahapan identifikasi, verifikasi, validasi dan penetapan MHA.
Tahapan identifikasi dilakukan oleh kepala daerah melalui
kepala distrik/camat dengan melibatkan MHA. Selanjutnya
Bupati/Walikota melalui Camat/Kepala Distrik melakukan
identifikasi dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau
kelompok masyarakat, maka hasil identifikasi dilakukan
verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat
kabupaten/kota dan diumumkan kepada Masyarakat
Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan. Panitia
Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan
rekomendasi kepada Bupati/Walikota berdasarkan hasil
verifikasi dan validasi Bupati/walikota melakukan
penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum
Adat dengan Keputusan Kepala Daerah. Dalam hal
masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih
kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala
Daerah atau Gubernur. Segala biaya yang diperlukan dalam
pelaksanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat dibebankan pada:
220
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi;
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota; dan
4. Lain-lain pendapatan yang sah dan tidak mengikat.
Aspek keteradaan MHA itu nyata yakni ada
wilayahnya, ada masyarakat anggota komunitas, ada
sejarahnya, kepemimpinan, atura-aturan adat-istiadat, harta
benda adat, hak komunal atas tanah, dan juga tanah
perseorangan.
Data dan informasi tentang keteradaan MHA juga
tersedia di kampung-kampung, distrik yang berada di
wilayah tradisional MHA.
Contoh: MHA suku Pedalaman Arfak Papua Barat:
1. Wilayah: berada dan bermukim di wilayah pemerintahan
kabupaten Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan
Arfak dan Teluk Bintuni, dan Teluk Wondama;
2. Kepemimpinan: memiliki kepemimpinan adat yang
disebut Mananir (kepala suku), Moskur (wakil kepala
suku) dengan perangkatnya
3. Harta persekutuan: tanah, kain timur, senjata; kearifan
lokal: misalnya igya ser hanjob (menjaga batas wilayah); e)
dan
4. Masyarakat: komunitas Arfak terdiri atas sub suku hatam,
Meyah, Sough, Moile.
221
5. Hukum Adat: aturan yang mengatur tentang keluarga,
kewarisan, tanah dan lain-lain
Pengakuan dan perlindungan MHA secara eksplisit
dan implisit sudah di atur dalam konstitusi dan lebih dari 14
UU sektoral yang mengakui keberadaan kepemimpinan dan
MHA, namun dalam implementasinya keberadaan MHA
tidak dihormati dalam setiap aktivitas kementrian/badan
yang berdampak pada resistensi MHA. Untuk perlu
pengakuan setingkat undang-undang tentang PPMHA yang
kedudukannya setara dengan undang-undang.
227
c. perbuatan hukum antara anggota MHA mengenai
tanah, wilayah tempay sumber daya alam itu berada.
Fungsi mengatur sumber daya alam tersebut bersifat
kolektif publik dan privat yang dalam perundang-undangan
disebut dengan istilah hak ulayat.
1. Kepemimpinan MHA bertanggung jawab atas berbagai
peristiwa pidana dan sengketa keperdataan yang terjadi
di wilayahnya, serta memperkuat pertahanan MHA
dalam rangka menghadapi musuh (binatang buas,
penyakit, peperangan); Kepemimpinan MHA menjadi
katalisator terhadap berbagai konflik yang terjadi akibat
kebijakan negara atas komunitas MHA dan lingkungan
hidup serta sumber daya alam di wilayahnya; serta
menjalankan dan menegakkan hukum-adat istiadat
berdasarkan kearifan lokal secara adil guna
mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu
(restitio integrum).
2. Melestarikan adat-budaya dan wilayah MHA, motivator,
inspirator dan teladan bagi MHA; memengaruhi
kebijakan pemerintahan kampung/desa, atau
distrik/kecamatan merujuk pada nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal MHA.
3. Mensinergikan berbagai kebijakan negara yang berkaitan
dengan MHA, sumber daya alam dan lingkungannya,
228
program-program pemerintah yang berkenaan dengan
pemerintahan, pembangunan pembinaan
kemasyarakatan di komunitasnya yang merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional.
4. Kepemimpinan MHA menjalankan dan menegakan
hukum dan kearifan lokal, menyelesaikan pelanggaran
Adat dalam lembaga peradilan adat secara adil
berasaskan restituo integrum dalam suatau peradilan
adat yang adil dn tidak memihak.
5. Kepemimpinan MHA bertanggungjawab dan mencari
solusi atas adanya wabah penyakit yang melanda
komunitasnya, serta dapat memfasilitasi pengobatan dari
bahan-bahan tradisionl dan/atau pengobatan modern.
6. Kepemimpinan MHA bertanggungjawab atas
ketersediaan pangan bagi kelangsungan hidup komunitas
MHA (ketahanan pangan).
7. Menjamin setiap anggota MHA berperan aktif dalam
pembangunan disegala bidang (relegius, ekonomi,
pendidikan, keamanan, pertahanan), serta memajukan
kebudayaan MHA, yang merupakan bagian integral dari
kebudayaan bangsa, serta mendorong pencapaian
prestasi di bidang seni dan olah raga sebagai wujud
kecintaan MHA kepada bangsa dan NKRI.
229
8. Aspek Penunjang dan Penghambat Perwujudan Peran
Kepemimpinan MHA
Kepemimpinan MHA dalam menjalankan perannya,
menuai keberhasilan/kesusksesan karena didukung
sepenuhnya oleh warga komunitas MHA didasari aspek
sebagai berikut:
a. Adanya pengakuan, penghormatan dan perlindungan
terhadap MHA secara konstitusional yakni MHA dan
kepemimpinannya beserta hak-hak tradisional diakui
dan dihormati sepanjang dalam kenyataan masih ada
(UUD NRI 1945 dan Perundang-undangan).
b. Adanya kepercayaan (trust) dari MHA terhdap
kepemimpinan masyarakat adat karena diyakini bahwa
kepemimpinan MHA berwibwa, kuat, orator,
pengetahuan luas, dan memiliki kekuatan magis dan
lain-lain, akan terjamin kehidupan baik material maupun
immaterial, serta memengaruhi, membimbing dan
mengevaluasi berbagai kegiatan sesuai dengan tujuan
guna kesejahteraan MHA; komunikator, artikulator
kepentingan MHA, sekaligus agen perubahan.
c. Ketersediaan ruang hidup, harta kekayaan komunal,
hukum adat baik mengenai perseorangan, keluarga,
perkawinan, warisan, delik adat serta prinsip
230
keberlanjutan sumber daya alam, hutan, air dan
sebagainya.
d. Adanya bantuan/subsidi pembangunan kampung yang
merupakan ruang hidup komunitas MHA oleh
pemerintah dan pemerintah daerah.
e. Kepemimpinan MHA dilibatkan dalam pengambilan
keputusan oleh pemerintah kampung bahkan
dipercayakan sebagai ketua Lembaga Musyawarah
Kampung (sebatas kebijakan pemerintahan kampung).
Aspek yang berkontribusi menghambat implementsi
peran kepemimpinan MHA sebagai berikut:
a) MHA dan kepemimpinannya belum memiliki legitimasi
yang kuat karena belum ada regulasi setingkat undang-
undang yang mengatur, mengakui, melindungi MHA
dan kepemimpinan beserta sumber daya alam yang
merupakan tempat mereka melangsungkan
kehidupannya.
b) Kepemimpinan MHA belum sepenuhnya dilibatkan
dalam pengambilan keputusan strategis yang
menyangkut penatan tata ruang/ rencana tata ruang
wilayah (RTRW), perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang, serta belum
adanya sinergitas antara penataan ruang pemerintah
dengan penataan ruang MHA.
231
c) Belum optimalnya pembinaan kepemimpinan MHA,
guna memperkuat perannya baik secara internal MHA
maupun eksterna yang berkontribusi bagi pemantapan
integrasi bangsa guna memperkokoh ketahanan nasional
NKRI.
239
F. Implikasi Kepemimpinan MHA
1. Implikasi Terhadap Kepastian Hukum
Pengakuan kepemimpinan dan perlindungan MHA
di Indonesia telah diperjuangkan sejak lama oleh MHA
Indonesia melalui organisasi seperti Aliansi Masyarakat
Adat Indonesia (AMAN), Asosiasi Pengajar Hukum Adat
Indonesia (APHA), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan lembaga independen lainnya agar MHA memiliki
suatu regulasi pada tataran undang-undang. Memang
kini ada regulasi setingkat Peraturan Menteri Dalam
Negeri yang mengatur secara teknis pengakuan dan
perlindungan terhadap kepemimpinan MHA. Namun
harapan tersebut belum menjadi kenyataan di Indonesia
tercinta ini. Kondisi tersebut menyebabkan MHA
mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPRRI) untuk segera menetapkan
UU Pengakuan dan Perlindungan MHA dengan
argumentasi sebagai berikut:
a. Belum adanya pengakuan negara secara utuh,
totalitas terhadap MHA.
b. Semua pengakuan yang sekarang merupakan
pengakuan secara politis semata,
240
c. Adanya kebijakan pengakuan kepemimpinan MHA
yang tumpang tindih. Hal ini sejalan dengan kondisi
MHA saat ini yaitu:
1) Hampir punah karena tak bisa akses wilayah adat.
2) MHA berada dalam kondisi kritis karena wilayah
adat (hutan) berubah jadi perkebunan
monokultur.
3) Belum adanya mekanisme penyelesaian konflik
yang adil.
4) Penyelesaian konflik jalur yudisial berbenturan
dengan status MHA.
5) Penggunaan hukum formal memarjinalisasi peran
hukum dan kelembagaan adat.
MHA dalam pengakuan bukan hanya berkaitan
dengan kesejahteraan, tapi juga mendudukan secara
proporsional MHA sebagai subyek hukum dan mengakui
keberadaanya dengan segala kearifan lokal, dan wilayah
tempat mereka melangsungkan kehidupan beserta
kekayaan alam yang memberi mereka hidup. Untuk
memulihkan hubungan negara dengan MHA dan
mendudukkan MHA sebagai warga negara yang setara
dengan warga negara lainnya di Indonesia maka
kebijakan yang perlu diwujudnyatakan sebagai berikut:
241
a. Melindungi MHA agar dapat hidup aman, tumbuh
dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaannya serta
bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
b. Memberikan kepastian hukum bagi MHA dalam
rangka menikmati haknya
c. Menjadi dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan
pemulihan hak masyarakat hukum adat,
pemberdayaan dan penyelenggaraan program
pembangunan.
Pengakuan pemerintah atas eksistensi MHA
memberikan kemanfaatan sebagai berikut:
a. Pengakuan MHA atas tanah dan sumber daya alam.
b. Mengakhiri ketidakpastian dan tupamg tindih
tuntutan tanah.
c. Penyelesaian sengketa sumber daya alam.
d. Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Adatnya.
e. Pemberian layanan kemasyarakatan, pemerintahan
dan pembangunan yang bermartabat.
Pengakuan Negara atas eksistensi MHA merupakan
implementasi dari Hak menguasai negara atas sumber
daya alam (SDA). Negara tidak memiliki SDA tapi
memiiki kewenangan untuk mengatur peruntukan,
termasuk mengakui MHA denagn wilayah adat dan
242
batas-batasnya dalam NKRI. Pengakuan negara tersebut
memiliki implikasi politik kepada MHA, yakni MHA
diakui tidak saja secara de jure tetapi juga diberikan
pengakuan secara faktual, bahwa MHA itu sudah berada
jauh sebelum NKRI, dan mereka adalah pendukung
NKRI, maka sudah sewajarnya mereka diberikan hak
keistimewaan untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai bumi, air yang merupakan ruang kehidupan
mereka. Dengan demikian mereka merasakan bahwa
mereka sedang berada dan beraktifitas di rumah besar
mereka sendiri yaitu NKRI.
2. Implikasi terhadap Kesejahteraan
Dalam perspektif ekonomi ketika MHA dan
kepemimpinannya diberikan pengakuan dan
kepercayaan atas eksistensi dan sumber daya alamnya,
maka kehidupan akan mendatangkan kemakmuran, dan
keberlanjutan sumber daya alam tempat mereka hidup.
MHA di mana pun di Indonesia ini, meyakini bahwa
sumber daya alam diibaratkan sebagai seorang ibu yang
menyusui anaknya, dan untuk itu ibu harus dijaga
dipelihara agar dapat terus memberikan susu kepada
anak-anaknya. Dengan demikian MHA menjaga alam,
alam jaga MHA, MHA mewariskan mata aoir kepada
generasi penerus, bukan mewarisi air mata penderitaan
243
bagi generasi penerus. Dalam perspektif sosial budaya
menimbulkan akibat yang berkontribusi bagi bangsa
Indonesia yang majemuk ini yakni adanya saling
pengakuan atas nilai-nilai kultural yang berbeda, dan
sekaligus mejadi perekat persatuan bangsa.
MHA dan kepemimpinannya dalam perspektif
geopolitik, merupakan aspek yang sangat strategis,
karena MHA menghuni hampir sebagian besar pulau-
pulau di Nusantara ini. Sehingga keberadaan mereka
menjadi dasar berbagai kebijakan Negara dan Pemerintah
untuk membangun di segala bidang menuju masyarakat
adil dan makmur dalam wadah NKRI. Kondisi kehidupan
MHA yang diakui keberadaannya beserta sumber daya
alam, dengan kepemimpinan yang kuat akan
berkontribusi bagi keamanan persekutuan sekaligus
keamanan wilayah, regional dan nasional.
Menyikapi terjadinya resistensi MHA, bukan
semata soal kesejahteraan semata, maka solusi yang
cerdas adalah menjadikan MHA menjadi tuan rumah di
negeri sendiri dengan cara memanusiakan mereka
melalui tindakan kepercayaan, berikan ruang partisipasi,
berkreasi membangun daerahnya mulai dari diri sendiri,
keluarga, lingkungan, daerah dan nasional, yang
tentunya tetap dalam kontrol hukum negara yang populis
244
dalam NKRI. Untuk itu para pemimpin MHA diberikan
penguatan melalui pembinaan kepemimpinan agar
kapasitas dan kompetensi, khususnya hal-hal yang urgen
dalam pembangunan seperti wawasan kebangsaan dan
persoalan strategis lainnya.
Pengaruh ideologi saparatis, politik identitas,
primordialisme sempit, ekses negatif kemajemukan
budaya, serta pengaruh globalisasi, dan rivalitas Amerika
Serikat dan sekutunya, China dan sekutunya dalam dunia
perdagangan, persenjataan, provokasi negara-negara
pasifik terhadap HAM dan isu kemerdekaan di Papua,
memengaruhi dinamika perkembangan MHA dan
kepemimpinannya, maka kewaspadaan terus
ditingkatkan, melalui pemantauan sejak dini, terus-
menerus dari berbagai dampak situasi dan kondisi
lingkungan MHA, regional bahkan global. Dengan
memberikan peran kepemimpinan MHA yang kuat, dan
pengakuan eksistensi MHA akan berimplikasi pada
penguatan integrasi bangsa dengan segala ketangguhan
dan keuletan yang mengandung kekuatan untuk
mengatasi dan menghadapi berbagai ancaman baik dari
dalam maupun dari luar, sehingga kelangsungan
kehidupan bangsa tetap terjamin. Inilah ketahanan
nasional yang diharapkan, sehingga NKRI tetap eksis,
245
dan mampu membawa negara ini mencapai tujuannya
yakni masyarakat yang adil dan makmur.
3. Implikasi terhadap Ketahanan Nasional
Belum diselesaikannya Rancangan undang-undang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
(UUPPMHA) mengakibatkan MHA belum diberikan
pengakuan dan perlindungan yang optimal baik kepada
komunitas adatnya maupun kepemimpinannya. Hal ini
terjadi karena dalam praktek pemerintahan pengaturan
pengakuan diatur dalam regulasi setingkat peraturan
menteri dalam negeri. Dari sisi kualitas dan tingkat daya
laku tidak sekuat regulasi dalam bentuk undang-undang,
hal tersebut ternyata dalam praktek mengalami kesulitan
dalam hal pembiayaan untuk penelitian bahkan pemetaan
MHA baik fisik ruang hidupnya maupun non fisik.
Sehingga Surat Keputusan Gubernur, Bupati dan Wali
Kota, belum memiliki dampak yang luas terhadap
eksistensi MHA dan kepemimpinannya, karena masih
lemah jika dibandingkan dengan regulasi sektoral (UU
Kehutanan, UU Pertambangan, dan lain-lain) yang sangat
mendominasi pemanfaatan bumi, air, dan ruang angkasa,
dalam kenyataannya, undang-undang otonomi khusus,
yang merupakan lex spesialis derogat lege generalis, tidak
diindahkan. Hal yang juga berdampak terhadap MHA
246
dan kepemimpinanya karena belum diakuinya MHA
sebagai subyek hukum yang memiliki (pemangku,
pendukung) hak dan kewajiban, dan untuk itu MHA dan
kepemimpinannya dapat melakukan hubungan hukum
(hubungan MHA dengan tanah, hutan, tambang dan
sebagainya) dan perbuatan hukum (jual beli, sewa
menyewa, jual beli cicilan, sewa beli) dan tidak memiliki
legal standing. Inilah hal yang esensial yang
menyebabkan terjadinya berbagai resistensi MHA
terhadap pemerintah dan pengusaha. Resistensi ini terjadi
akibat berbagai konflik seperti Konflik yang terjadi di
Papua kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam
merupakan konflik horisontal antara MHA dengan para
pengusaha, dan antara MHA dengan Pemerintah sebagai
berikut:
a. Konflik antara MHA dengan perusahaan kelapa
sawit, akibat lahan pertanian dan hutan adat mereka
dicaplok oleh pengusaha, tanpa ada proses
musyawarah.
b. Perusahaan perkebunan membuka tambahan luasan
lahan di luar luasan yang diijinkan oleh pemerintah.
c. Perusahan tambang minyak dan gas mengambil alih
areal sumur dengan ijin pemerintah, tanpa
musyawarah dengan MHA
247
d. Perusahaan kayu, yang mendapat ijin (HPH, HTI dll)
dengan hanya membayar rekognitie saja, tanpa
perhitungan kubikasi dari hasil hutan kayu yang
diambil.
e. Adanya konflik tenaga kerja, perusahaan tidak
mempekerjakan anggota MHA yang hidup di sekitar
areal perusahaan.
f. Perusahaan tidak memberikan perhatian kepada
MHA oleh perusahaan guna pengembangan sumber
daya manusia, dan kesejahteraan warga sekitar
perusahaan.
Kebijakan pemerintah dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah, dan ditindaklanjuti (implementasi
pembangunan yang sesuai dengan penetapan Rencana
Tata Ruang Wilayah) wujudnya antara lain dengan
pemberian ijin perkebunan, pertambangan, kehutanan
dan lain-lain pemanfaatan sumber daya alam (SDA) tidak
melibatkan MHA disebabkan MHA belum diakui secara
formal-legal. Pengaturan penataan ruang oleh pemerintah
belum bersinergis dengan wilayah MHA. Di sinilah
sumber konflik yang berkepanjangan. Belum diakuinya
MHA (Kepala Daerah belum menerbitkan Surat
Keputusan Kepala Daerah tentang Pengakuan eksistensi
MHA sebagai subyek hukum, dengan batas wilayahnya
dalam NKRI) berimplikasi pada lemahnya posisi tawar
248
(melakukan negosiasi, kesepakatan dalam perjanjian
berkenaan dengan hak dan kewajiban perdata) dalam
berbagai kegiatan terutama kegiatan yang berkenaan
dengan pengelolaan sumber daya alam. Manakala
ditelaah secara teoretis bahwa MHA hadir di bumi
persada ini, jauh sebelum negara ini diproklamasikan,
sehingga hubungan hukum, hubungan psikhologis,
hubungan magis-riligius antara MHA dengan ruang
hidupnya (lebensraum) sudah menyatu. Pengelolaan
SDA didasari pada teori Hak Menguasai Negara yang
intinya menganut paham bahwa negara tidak memiliki
SDA tetapi negara hanya mengatur, dan mengurus demi
kesejahteraan rakyat sebanyak-banyaknya. Wujud hak
menguasai di bidang pertanahan yakni: (1) mengatur
(regelendaad) penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai
dengan tata ruang; (2) mengurus (bestuursdaad) termasuk
mengelola (beheersdaad); (3) pengendalian yaitu arahan,
bimbingan, supevisi, perizinan, pelatihan, sertifikasi,
bantuan teknis, penyuluhan, didiklat; (4) pengawasan
(toezichthoundensdaad) yakni pemantauan, evaluasi,
korektik dan penegakan hukum. Teori hak menguasai
negara ini sinergis dengan teori tujuan hukum Jeremi
Bentham yakni hukum harus menjamin kebahagiaan
kepada banyak orang (greatest happiness for the greatest
number).
249
Untuk itu Negara harus mampu mengatur wilayah
yang dalam kenyataannya merupakan wilayah adat
MHA wajib diakui dan diberikan dasar legitimasi untuk
mengelolanya, bukan semua SDA menjadi kewenangan
mutlak oleh negara untuk mengatur dan mengurus
seperti yang terjadi sekarang. Kondisi inilah yang
memunculkan resistensi MHA dan kepemimpinannya di
beberapa provinsi di Indonesia. Akumulasi dari Implikasi
belum optimalnya pengakuan MHA dan kepemimpinan
berimbas pada marginaliasi, diskriminasi,
primordialisme, kedaerahan sempit dan lain sebagainya.
Marginalisasi tampak dari tidak dibukanya ruang
partisipasi pemimpin MHA dalam berbagai kebijakan
pembangunan. Dengan ketidakikutsertaan pemimpin
MHA disikapi sebagai suatu diskriminasi pemerintah
kepada orang papua, termasuk rasisme kasus Surabaya
bahkan kekecewaan masyarakat/MHA berdampak pada
munculnya sikap kedaerahan sempit. Contoh kasus yang
terjadi di Papua yakni kasus berdarah di Teluk Wondama
dan Kasus ganti rugi tambang gas di Teluk Bintuni.
Peristiwa berdarah akibat perebutan sumberdaya alam di
Wasior di daerah konsensi Hak Pengusahaan Hutan CV.
Vatika Papuana Perkasa di Kampung Wondiboi, 13 Juni
2001. Peristiwa terjadi akibat penyerangan yang
menewaskan 5 anggota brimob dan satu sipil. Niat baik
250
pemerintah untuk mencari dan menangkap pelaku
pembunuhan, dikotori dengan penyiksaan sedikitnya 30
orang warga kampung, penangkapan sewenang-wenang,
bahkan pemerkosaan dan pembunuhan. Penanganan dan
penyelesaian kasus ini hingga kini belum tuntas,
walaupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) telah menindaklanjuti hingga kejaksaan Agung,
untuk dimajukan di Badan Peradilan. Kasus berdarah di
Wasior (kini kabupaten Teluk Wondama), membawa
penderitaan yang hingga saat ini, belum mampu
memulihkan kekecewaan yang terjadi, terutama pihak
korban merasa bahwa pemerintah merupakan musuh.
Untuk itu proses penyelesaian secara hukum harus
diselesaikan disertai dengan pembinaan secara
psikhologis untuk memulihkan keadaan masyarakat
(para korban), sesuai fungsi hukum restituo integrum,
mengembalikan kondisi keseimbangan kosmis.
Praktek baik dari kebijakan Pemerintah Papua Barat
dan Kabupaten Teluk Bintuni yakni penyelesaian
kompensasi ganti rugi hak ulayat suku Sebyar di Teluk
Bintuni atas kompensasi pembayaran sumur gas senilai
32,4 milliar, Setelah terjadi negosiasi antara pemimpin
MHA Sebyar dan Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
akhirnya terjadi kesepakatan walaupun membutuhkan
waktu 7 (tujuh) tahun, guna realisasi oleh Pemerintah
251
Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni pada
tahun anggaran 2022, berdasarkan Peraturan Gubernur
Papua Barat tahun 2022 dan Peraturan Bupati Teluk
Bintuni Nomor 8 Tahun 2022.
Dalam berbagai kasus Papua berbagai resistensi
MHA terhadap perusahaan perkebunan, kehutanan,
pertambangan, perikanan mulai terdeviasi pada ideologi
papua merdeka. Kekecewaan MHA yang miskin,
sementara kekayaan alam yang berada di wilayah
adatnya dieksploitasi, dieksplorasi oleh perusahaan yang
diberikan konsensi oleh pemerintah mengakibatkan
MHA kehilangan ruang hidup, atau terjadi ruang hidup
secara frontal yaitu MHA yang hidup dari hasil
mengambil hasil hutan (sagu, rotan, kayu, berburu) kini
tidak berdaya karena wilayah tersebut telah berubah
menjadi perkebunan dan lai-lain. Bahkan perubahan
fungsi wilayah MHA tersebut tidak dibarengi dengan
kompensasi, bahkan akses ke wilayah MHA telah sirna
karena telah dikuasai perusahaan. Ketika semua upaya
yang dilakukan oleh MHA menjadi sia-sia maka yang ada
adalah perlawanan terhadap negara baik secara terbuka
maupun secara rahasia. Motif resistensi seperti ini ada
kemiripan dibeberapa komunitas adat di Indonesia. Ini
ancaman yang serius, dan signal seperti ini menjadi
perhatian serius penguasa. Di samping itu diperlukan
252
politik luar negeri yang bersahabat dengan negara-negara
di kawasan pasifik, guna meminimalisasi potensi
ancaman melalui isu-isu HAM, kemiskinan, diskriminasi
terhadap MHA di tanah Papua yang sering dilakukan
dalam diplomasi di PBB yakni Vanuatu, Palau,
Tuvalu.Sedangkan Dua negara yang dulunya
mendukung kemerdekaan Papua, kini berbalik
memberikan dukungan bagi NKRI dalam pembanguna di
tanah Papua, yakni Kepulauan Solomon dan Nauru. Ini
bukti dari diplomasi politik yang kontinyu dan saling
menghargai dari NKRI.
254
c. Implikasi belum adanya pengakuan MHA dalam
bentuk undang-undang berkontribusi pada
ketidakpastian hukum. Kesejahteraan MHA belum
optimal dikarenakan wilayah MHA diatur belum
sepenuhnya ikut ditentukan oleh MHA, karena belum
adanya pengakuan sebagai subyek hukum. Kondisi
belum diakuinya MHA, mengakibatkan belum
optimalnya peran kepemimpinan yang berimplikasi
pada adanya resistensi MHA terhadap kebijakan yang
berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya alam
MHA.
2. Rekomendasi
a. Pengakuan dan perlindungan:
1) Menyelesaikan regulasi tentang RUU Masyarakat
Hukum Adat, yang kini masuk dalam program
legislasi tahun 2022 oleh Kementrian Dalam
Negeri dan DPRRI di Jakarta.
2) Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
menyediakan anggaran guna membiayai
penelitian, vrifikasi, dan validasi dan segera
menerbitkan keputusan Kepala Daerah sebagai
bentuk pengakuan Pemerintah terhadap
eksisitensi kepemimpinan MHA.
3) Pengaturan untuk pemberian ijin pengelolaan
sumber daya alam oleh pemerintah disinergikan
255
dengan wilayah MHA, menghindari terjadinya
resistensi yang koordinasikan oleh Kementrian
Dalam Negeri, Kementrian Lingkungan Hidup,
dan kemetrian lainnya.
4) Kementrian Dalam Negeri beserta Kementrian
dan Lembaga terkait, Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPDRI) agar secepatnya
mengadakan pelatihan, bimbingan dan lain-lain
terhadap MHA dalam kapasitas sebagai subyek
hukum..
b. Kepemimpinan MHA:
1) Implementasi pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah yang berorientasi desa/kampung
yang kini sedang dilaksanakan dengan alokasi
dana desa/kampung, dari dana tersebut
direkomendasikan untuk ada alokasi khusus pada
pembinaan kepemimpinan MHA di masing-
masing desa/kampung. Instansi Pusat yang
terlibat Kementrian Desa dan Transmigrasi,
Pemberdayaan masyarakat, Biro Pemerintahan
dan bagian pemerintahan kampung baik di
provinsi, kabupaten dan kota,
2) Kepemimpinan MHA diberikan kepercayaan
untuk senantiasa berpartisipasi dalam
keseluruhan tahapan mulai perencanaan,
256
pelaksanaan serta pengawasan anggaran
desa/kampung. Instansi yang terlibat Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Kampung yang menginisiasi dan membina.
3) Penetapan wilayah lindung dan budi daya serta
zonasi di wilayah MHA, wajib melibatkan
kepemimpinan MHA, dan lembaga-lembaga yang
memiliki kompetensi untuk memberikan saran
pertimbangan, karena MHA memiliki kearifan
dalam penataan ruang MHA. Instansi yang
terlibat adalah instansi yang mengurus perihal
penataan ruang, baik di Provinsi mauun di
kabupaten/kota.
4) Kepemimpin MHA bersama kelembagaan adat
lainnya, secara periodik, bertahap mengikuti
latihan kepemimpinan dan pembinaan wawasan
kebangsaan sebagai modal memantapkan
kesatuan dan persatuan bangsa yang memiliki
ketahanan nasional yang ulet, tangguh dan
mampu menangkal setiap ATHG. Instansi yang
terlibat yakni Lemhannas RI, Menkopolhukham,
Badan Kesatuan Bangsa dan Pollitik yang ada di
provinsi, kabupaten/kota.
c. Implikasi belum adanya pengakuan atas MHA dan
kepemimpinannya:
257
1) Guna adanya kepastian hukum bagi MHA dan
kepemimpinannya, maka Kementrian Dalam
Meneri, DPRRI untuk segera menuntaskan
UUPPMHA.
2) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan MHA,
maka Kepemimpinan MHA diberikan
kepercayaan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan guna percepatan kesejahteraan
MHA.
3) Dalam rangka memantapkan integrasi bangsa
yang menghasilkan kemampuan dan keuletan
dalam menghadapi ATHG sebagai manifestasi
ketahanan nasional yang kokoh demi tegak dan
lestari NKRI, maka Pemerintah melalui
Lemhannas, BPIP bersama komponen bangsa
secara terus-menerus memberikan pembinaan
tentang wawasan kebangsaan kepada
kepemimpinan MHA.
258
DAFTAR PUSTAKA
A. Teks Book:
Abdurrahman. 1994. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-
Undangan Agraria Indonesia. Akademika Pussindo,
Jakarta.
Agusta Pinta Kurnia Rizky dan Aris Prio Agus Santoso. 2021.
Pengantar Hukum Adat. Pustaka Baru Press,
Yogyakarta.
Andi Suriyaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat: Dulu, Kini Dan
Akan Datang. Pelita Pustaka. Makassar.
Bartoven Vivit Nurdin, Elis Febriani Jesica. Ritual Ngebuyu:
Membumikan Pewaris dan Perubahan Ritual Kelahiran
pada Marga Legun. Wawurang, Lampung.
Departemen P dan K. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Maluku.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penelitian
Sejarah Dan Budaya Proyek Penelitian Dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara. 1997. Masalah-Masalah Hukum Perdata
Adat di Kecamatan Nimboran. Jayapura.
Djojodigoeno, M.M. 1964. Asas-asas Hukum Adat. Yayasan
Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dominikus Rato dan J.A. Hartanto. 2011. Hukum Perkawinan dan
Pola Pewarisasn Adat di Indonesia. Laksbang Yustusia.
Surabaya.
Dominikus Rato.2015. Hukum Perkawinan dan Waris Adat
Indonesia. Laksbang Pressindo Yogyakarta.
Endang Sumiarni. 2010. Hukum Adat Biak. Biro Hukum Setda
Provinsi Papua. Jayapura.
Efrem Silubun.2020. Larvhul Ngabal Menyingkap kembali Hulu
Adat Kei. Insistpress, Yogyakarta.
259
Endang Sumiarni cs 2010. Hukum Adat Biak. Biro Hukum Setda
Provinsi Papua.
Endang Sumiarni cs 2018. Eksistensi Hukum Adat Serta Nilai-
Nilai Kearifan Lokal Suku Arfak sebagai penunjang
Pembangunan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta
bekerjasama dengan STIH Manokwari.
Endang Sumiarni cs. 2022. Pengakuan dan Pelindungan Terhadap
Eksistensi MHA Suku Arfak Sougb di Kabupaten Teluk
Bintuni. Maha Karya pustaka Yogyakarta.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Cetakan II, Mandar Maju, Bandung.
Hilman Hadikusuma.2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Ignasius S.S. Refo. 2015. Manusia Kei: Relasi-relasi Seputar
Kematian. Yayasan Pustaka Nusantara.
Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat, Sketsa Asas. Liberty,
Yogyakarta
Kaimuddin Salle. 1999. Kearifan Lingkungan menurut Pasang
(Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat pada
Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten
Daerah Tingkat II Bulukumba. Disertasi PPS Universitas
Hasanuddin Makassar.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Djambatan, Jakarta.
Koentjaraningrat.1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru,
Jakarta.
Kusumadi Pudjosewojo.1984. Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia. Aksara baru, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono. 1982. Puspita Serangkum, Aneka
Masalah Hukum Agraria. Andi Offset, Yogyakarta.
Maria S.W. Sumardjono.2005. Kebijakan Pertanahan Antara
Regulasi dan Implementasi. Kompas, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono. 2008. Pengaturan tentang Hak Ulayat
Masyarakat Adat dalam Peraturan Perundang-
undangan, Makalah, “Seminar Nasional Kebijakan
Pertanahan dan Penataan Ruang di Papua Barat”.
260
Forkoma PMKRI dan Pemda Prov. Papua Barat,
Manokwari, tanggal 14 Januari.
Marthinus Salossa. 1995. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah di
Irian Jaya setelah berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria, Kasus Jayapura. (PPS Universitas Hasanuddin
Makassar.
Hilman Hadikusuma. 1983. Hukum Waris Adat. Alumni
Bandung.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Mandar Maju Bandung.
Ignasius S.S. Refo. 2015. Manusia Kei: Relasi-relasi Seputar
Kematian, Yayasan Pustaka Nusantara.
Marthinus Sallosa. 1997. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah di
Irian Jaya setelah berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria, Kasus Jayapura. (PPS Universitas Hasanuddin
Makassar.
Mohammad Jamin. 2014. Peradilan Adat: Pergeseran Politik
hukum, Perspektif Undang-undang Otonomi Khusus
Papua. Graha Ilmu Yogyakarta.
M.G. Ohorella. 1993. Hukum Adat Mengenai Tanah dan Air di
Pulau Ambon dan Sumbangannya Terhadap
Pembangunan Hukum Agraria Nasional (UUPA) dan
Undang-Undang Lainnya. Disertasi PPS Universitas
Hasanuddin Makassar.
Muhammad. B. 1988. Pokok-Pokok Hukum Adat . Pradnya
Paramita, Jakarta.
Muhammad Isa. 1985. Kecenderungan Pengaruh Pensertifikatan
Tanah Terhadap Pelestarian Tanah Adat (di
Minangkabau) dalam Sayuti Thalib (Penyunting)
Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di
Minangkabau. Jakarta.
Parlindungan, AP. 1991. Komentar Atas Undang-Undang
Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Mandar Maju,
Jakarta.
Pemda Provinsi Papua. 1993. Hasil Seminar Peningkatan Peran
Lembaga Adat. Biro Bina Pemerintahan Desa. Jayapura.
261
Pitlo. 1986. Hukum Waris Menurut kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Belanda. Jilid I, PT. Intermasas, Jakarta.
Prodjodikoro Wirjono.R. 1983. Hukum Waris di Indonesia. Sumur
Bandung.
Raho, B. 2003. Keluarga Berziarah Lintas Zaman: Suatu Tinjauan
Sosiologi. Seri Pastoralia.Nusa Indah, Ende.
Roberth KR Hammar, 1989. Hukum Kewarisan Adat Ihandin
Kabupaten Fakfak. Skripsi STIH Manokwari.
Roberth KR Hammar. 2017. Penataan Ruang Berbasis Kearifan
Lokal. Calpulis Yogyakarta.
Rosnidar Sembiring. 2017. Hukum Pertanahan Adat. Rajawali
Press. Depok.
Setiady, T. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta.
Bandung.
Soepomo. 1977. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Sudargo Gautama. 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok
Agraria. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sulaiman Rasjid, H. 1976. Figh Islam. Attahirfiyah, Jakarta.
Surojo Wignyodipoero. 2021. Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat. Cetakan kedelapan, PT Gunung Agung, Jakarta.
Hlm 13.
Syamsuddin. M dkk (penyunting). 1998. Hukum Adat dan
Modernisasi Hukum. F.H.UII Yogyakarta.
Ter Haar. B. Poespanoto, S.K. Ng. 1985. Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat. Padnya Paramita, Jakarta.
Tim kepolisian Daerah Papua-Fakultas Hukum Uncen-
Paternership for Governance Reform In Indonesia. 2005.
Peradilan Adat di Papua. Jayapura.
Tolib Setiady. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta.,
Bandung.
Van Dijk, R dan A. Soehardi . 1979. Pengantar Hukum Adat
Indonesia. Sumur, Bandung.
Wulansari, C.D. and A Gunarsa. 2010. Hukum Adat Indonesia:
Suatu Pengantar. Refika Aditama, Bandung.
262
Ziwar Effendi. 1987. Hukum Adat Ambon Lease. Pradnya
Paramita Jakarta.
B. Internet:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Tengah
Dukung Vaksinasi Masyarakat Adat.
https://www.aman.or.id. diakses 3 Agustus 2022.
Banding kasus Lahan diKepulauan Aru
https://regional.kompas.com; diakses 5 Mei 2022.
Biografi dan pemikiran Hazairin dan munawir Sjadzali. tentang
Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Perempuan.
http://repository.radenintan.ac.id diakses 19 April 2023
Ferdi Almunanda. Konflik Lahan di Jambi, Temuan Legislatif
Provinsi Jambi. https://news.detik.com; diakses 5 Mei
2022
Jurnal Sosiologi, Vol.20, No.2:69-80.
Jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id. diakses 19 April 2023
Kami sudah ganti rugi konflik di Adat Dayak Mondang Long Wai.
https:/regional.kompas.com; diakses 5 Mei 2022
Kennial Laia. Masyarakat Adat Di Kalbar Dikriminalisasi Usai
Aksi Damai.https://betahita.id; diakses 5 Mei 2022
Kriminalisasi akibat konflik tanah Transmigrasi di Jambi.
https://www.walhi.or.id; diakses 5 Mei 2022
Konflik Agraria, Perwakilan Warga Jambi Audensi ke Komnas
HAM RI. https://www.komnasham.go.id; diakses 5 Mei
2022
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Ungkap Konflik Agraria
di Jambi 14 Tahun Silam.
https://www.cnnindonesia.com; diakses 5 Mei 2022
Matuanakotta, Jenni K. 2018. Peran Aktif MHA dalam
pembangunan Ekonomi. Jurnal Sasi Vol. 24 Nomor 2 Juli-
Desember. Hl. 101-113 diakses 5 Mei 2022
Nana Cu’ana, 2006. “Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum
Adat Pada Suku Dayak Di Desa Kumpang Kecamatan
263
Toho Kabupaten Pontianak” Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/15709/. Diakses 4 Mei 2022
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) didukung Tokoh Adat
Kalimantan Timur https://www.presidenri.go.id. akses
3 Agustus 2022.
Peran Masyarakat Adat Dukung Pembangunan Tanah Papua.
https://katadata.co.id diakses 3 Agustus 2022
Ronad. Ketua Adat Kinipan ditangkap akibat sengketa lahan sawit
di Kalimantan Tengah. https://m.merdeka.com; diakses
5 Mei 2022
Septa Dinata. Adat dan Konflik Horizontal di Kerinci.
http://www.jambiupdate.co; diakses 5 Mei 2022
Taufik Ahmad. Kasus Tambang Emas di Bombana sulawesi
Tenggara. https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id;
diakses 5 Mei 2022
Tuntutan PembayaranDenda Adat oleh Genting Oil.
https://www.papualives.com; diakses 4 Mei 2022
Tanah Sumuri tidak dilepas untuk Kawasan Strategis,
https://panahpapua.or.id; diakses 4 Mei 2022
Yohanes S. Lon, “Perkawinan Tungku Cu (Cross-Cousin
Marriage) Di Manggarai Antara Adat Dan Agama,”
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-I 7 (2021): 21–34,
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/vie
w/14237/pdf.
Wahyu Santoso. Masyarakat Adat Pamona Tuntut Hak Tanah
Ulayat. https://sulawesi.bisnis.com; diakses 5 Mei 2022
264
PROFIL PENULIS:
Karya Ilmiah:
A. Buku-buku sudah diterbitkan:
1. Perlindungan Hukum dalam Perspektif Tata Ruang Kota;
Erikson Triit Press 2008
2. Kebijakan Pertanahan dan Tata Ruang di Papua Barat;
Erikson Triit Press 2008
3. Pengantar Ilmu Hukum; Caritas Press 2021
4. Filsafat Ilmu; Caritas Press 2021
5. Pendidikan Pancasila ; Caritas Press 2020
6. Penataan Ruang Berbasis Kerifan Lokal MHA Penerbit
Calpulis Yogya 2019
7. Bunga Rampai: Hukum dan Kearifan Masyarakat Hukum
Adat; Caritas Press 2021
265
8. Hollyland: dari Mansinam ke Yerusalem; Caritas Press
2021
267
2. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat Sough
Di Kabupaten Bintuni
3. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat
Wamesa Teluk Bintuni
2020 : 1. Buku: Fisafat Ilmu. Caritas Press. Manokwari.
ISBN: 978-602-53077-77-5
2. Bunga Rampai: Hukum dan Kearifan Masyarakat
Hukum Adat. Yayasan caritas Papua, ISBN: 978-
602-53077-5-1
3. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat Arfak
Hatam dan Meyah di Kabupaten Manokwari dan
Pegunungan Arfak.
4. Hibah: Penelitian dan penyususnan Naskah
akademikdan Rancangan Perdasi Kabupaten
Manokwari sebanyak 7 (tujuh) buah yaitu:
a. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Kepemudaan
b. Naskah akademik dan Raperda tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Adat
c. Naskah Akademik dan Rapeda tentang
Perlindungan Produk Lokal
d. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan
e. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Penataan dan Pemberdayaan Pedagangan
Kaki Lima
f. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Pembentukan Koperasi, usaha Kecil dan
Menengah
g. Naskah Akademik dan Raperda tentang
Produk Lokal
5. Hibah Penelitian dan Penyusunan Raperda Teluk
Bintuni:
268
a. Naskah Akademik dan Ranperda tentang 145
Kampung
b. Naskah Akademik dan Rapenda tentang
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Daerah
c. Naskah Akademik dan Raperda Tentang
Pemerintahan Kampung
2021 : 1. Spatial Panning for Indigenous Law Communities
to Solve Social Conflict Resolution In West Papua
Indonesia JSSER: Journal of Social Studies
Education Research Vol 12, No 4.
2. Cybercrimes and Violations of Intellectual
Property Law on Indigenous Papuans in
Indonesia.
3. Hibah: Penelitian Masyarakat Hukum Adat Suku
Sough Bohon Manokwari Selatan
2022 : 1. Protection of The Rights of Customary Law
Communities in The Zonation Plan For The
coastal Areas of Small Islands in West Papua.
2. Catching up Local Wisdom of The Kei Traditional
Law Community spatial Arrangements In The Kei
Island, Southeast.
3. Conservation of Crab and Mangrove in
Perspective of Local Wisdom
4. Analysis of Regional Regulation in Customary
Law and Rights of Customary Communities: Case
in Concerning Coastal Zone Zoning in West
Papua.
5. A local Pride and Tourism Business Mechanism
wit Financial Tools: Evidence in Labuhan Bajo,
Flores Island.
6. Assigning Business Roles and New Product
Trough Economic Market Focused for
Sustainability Development Government.
269
7. Hibah Penelitian Masyarakat Hukum Adat Doreri
Manokwari
8. Kepemimpinan Masyarakat Hukum Adat
Berbasis Ketahanan Nasional; Dalam Buku Ide
Naga Untuk Bangsaku PPRA 63. Didistribusikan
oleh Penerbit Aksara pena. ISBN: 9-786239-945541
2023 : 1. Sea Spatial Arrangement of the Kei Indegenous
Law Community base on Local Wisdom. Hufs
Global Law Riview. Vo.15 Februari 2023.
2. Local Wisdom of Customary law Communities
For Food Scurity in West Papua.
271
Jabatan Organisasi
1. Anggota Seksi Kaderisasi KNPI Kab Mkw 1993-1996
2. Wakil Sekretaris Pengurus KNPI Kab Mkw 1996-1998
3. Koord. Komisi Kepemudaan Dewan Paroki Immanuel
Sanggeng 2002-2005
4. Sekretaris Komisi Tinju Indonesia Prov. Papua Barat 2005-
2009.
5. Sekretaris Kosgoro 1957 Prov. Papua Barat 2005-2010
6. Ketua PDK Kosgoro 1957 Provinsi Papua Barat 2011 sd.
sekarang.
7. Koord Komisi Hukum Dewan Paroki Immanuel Sanggeng
2005-2008
8. Ketua Komisi Kehormatan KONI Prov. Papua Barat 2005-2009
9. Ketua Harian Persatuan Panahan Indonesia (Perpani)
Provinsi Papua Barat 2006-2010
10. Ketua Panitia Perumahan Dan Pertanahan Keuskupan
Manokwari Sorong, Tim Pastoral Manokwari.
11. Pembina Komunitas Paduan Suara dan Vocal Group Caritas
STIE Mah-Eisa Manokwari 2002-sekarang.
12. Penasehat Persatuan Sepakbola Kamasan Wirsi Manokwari
Periode 2004-2008.
13. Ketua Umum Persatuan Sepak Bola STIE Mah-Eisa
Manokwari 2005 - 2009.
14. Direktur Sekolah Sepak Bola "Mansinam" Manokwari 2004 —
sekarang.
15. Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM Kosgoro 1957
Provinsi Papua Barat.
16. Anggota Bidang Advokasi dan Sosialisasi DEKOPINWIL
Papua Barat 2007-2012.
17. Ketua Yayasan Peg. Bintang Cabang Manokwari Pengelola
SMA Santo Paulus Manokwari
18. Ketua Pembina Yayasan Gracia Dei Pengelola SMA
Sanewesyen Bintuni
272
19. Ketua Dewan Pembina Yayasan Caritas Manokwari Pengelola
STIE Mah-Eisa dan STIH Bintuni
20. Ketua Badan Pengurus SIT Erikson Triit Manokwari 2004-
2008.
21. Sekretaris Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah C
Papua Barat 2007-2011.
22. Ketua Umum Perpani Provinsi Papua Barat 2010-2014
23. Ketua Umum Ikatan Kerukunan Keluarga Kei Provinsi Papua
Barat Tahun 20112016.
24. Ketua Umum Lembaga Pengembagan Pesparawi Kabupaten
Manokwari 2011-2016.
25. Ketua Harian KONI Kabupaten Manokwari, 2011-2016.
26. Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan Aids
Kabupaten Manokwari, 20112016.
27. Ketua Kontingen Paduan Suara Anak, Remaja dan Dewasa ke
World Choir Games 2014 di Riga, Latvia.
28. Manajer Team Kontingen Paduan Suara Caritas dan Vocal
Group Narwastu Manokwari, di Ajang Bali International
Choir.
29. Manejer Tim Provinsi Papua Barat dalam ajang PESPARAWI
Tingkat Nasional di Ambon Oktober 2015.
30. Pembina Komunitas Pramuka Sukarela Keliling Manokwari
2013 sd, sekarang
31. Ketua Palang Merah Indonesia Kabupaten Manokwari 2013-
2018
32. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta se Papua Barat, 2013-
2017
33. Ketua Asosiasi Pengelola Perguruan Tinggi Hukum Wilayah
Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, 2015-2019.
34. Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Wilayah
Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, 2015-2019.
35. Ketua Asosiasi Profesi Hukum Hukum Wilayah Maluku,
Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, 2015-2019.
273
36. Pengurus Pusat Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI)
Bidang Penguatan Indonesia Timur 2016-2020.
37. Manejer Tim Provinsi Papua Barat dalam ajang PESPARAWI
Tingkat Nasional XII di Pontianak Kalimantan Barat, 28 Juli
sd. 3 Agustus 2018.
38. Sekretaris Umum APTISI Wilayah XIVb Papua Barat 2019-
2024.
39. Ketua Umum Panitia Pesparawi MAHASISWA ke XVTingkat
Nasional di Manokwari 1518 Juli 2018
40. Pengurus Pusat APTSI (Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggu
Swasta Indonesia) bidang penguatan wilayah Indonesia
Timur 2021 sd. 2025
41. Pengurus Pusat APPTHI ( Asosiasi Pimpinan Perguruan
Tinggi Hukum Indonesia) 2022-2026
42. Bendahara APHA Pusat ( Asosiasi Pengajar Hukum Adat)
2020-2025
43. Wakil Bendahara APHI Pusat ( Asosiasi Profesi Hukum
Indonesia) 2019-2024
44. Ketua Wilayah ADHI (Asosiasi Doktor Hukum Indonesia)
Papua Barat
45. Wakil Ketua ADRI Papua Barat (Asosiasi Dosen dan Ahli
Republik Indonesia) 2016-2021
46. Ketua Umum ADRI (Asosiasi Dosen dan Ahli Republik
Indonesia) Papua Barat 2022-2027
47. Ketua BPSMI (Badan Pembinaan Seni Mahasiswa Indonesia)
Papua Barat (2019-2024
48. Ketua ARTIPENA (Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti
Narkoba) Papua Barat 2022-2026
=============================
274