22-11-19-EBOOK-Keperawatan Paliatif Dan Menjelang Ajal - Hki
22-11-19-EBOOK-Keperawatan Paliatif Dan Menjelang Ajal - Hki
MENJELANG AJAL
Hasrima, S.Kep.,Ns.,M.Kep
Ns. Aidil Shafwan, S.Kep., M.Kes
Ns. Dwi Yanthi, M.Sc
Wa Ode Rahmadania, S.Kep., Ns., M.Kep
Indra, S.Kep., Ns., M.Kep
Narmawan, S.Kep., Ns., M.Kep
Nazaruddin,S.Kep.,Ns.,M.Kep
Firman, S.Kep, Ns, M.Kes
Ns. Vera Kurnia, S.Kep., M.Kep
Harmanto, S.Kep., Ns., M.Kep
Ns. Sudirman Efendi.,S.Kep.,M.Kep
Ns.Muhhammad Pauzi, M.Kep
iii
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan buku ini dari
awal sampai akhir. semoga allah swt senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Aamiin.
Tim Penulis
iv
DAFTAR ISI
vi
BAB 11 ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF CARE
DENGAN KASUS AIDS .................................................... 141
A. Pendahuluan ....................................................................141
B. Konsep Dasar Medis HIV/AIDS ...................................142
C. Perawatan Paliatif ........................................................... 144
D. Perawatan Paliatif Pada Pasien Hiv/Aids
Di Indonesia .....................................................................146
E. Peran dan Fungsi Perawat dalam Perawatan
Paliatif ............................................................................... 151
F. Asuhan Keperawatan Paliatif ........................................153
BAB 12 TREND KEPERAWATAN PALIATIF DI INDONESIA
DI MASA DEPAN ............................................................... 157
A. Pendahuluan ....................................................................157
B. Trend Keperawatan Paliatif Di Indonesia Dan
Di Masa Depan ................................................................ 158
C. Sistem Pelayanan ............................................................. 160
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 168
TENTANG PENULIS ........................................................................180
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
KEPERAWATAN
PALIATIF DAN
MENJELANG AJAL
x
BAB KONSEP PALIATIF
1
CARE DAN
HOSPICE CARE
A. Pendahuluan
Istilah perawatan paliatif diperkenalkan pada awalnya
1970-an oleh Balflour Mount untuk menggambarkan perawatan
pasien yang hidup dengan penyakit yang berpotensi membatasi
hidup yang berfokus pada memaksimalkan kualitas hidup.
Tidak seperti perawatan rumah sakit dari yang berkembang,
perawatan paliatif tidak dibatasi oleh prognosis atau pengaturan
perawatan selama 30 tahun terakhir, perawatan paliatif telah
muncul sebagai bidang praktik subspesialisasi yang diakui
(Lynch et al., 2011).
Pada tahun 2004, Proyek Konsensus Nasional untuk
Perawatan Paliatif Berkualitas, koalisi empat asosiasi akhir
kehidupan (EOL) utama (Asosiasi Perawat Rumah Sakit dan
Paliatif [HPNA], American Academy of Hospice dan
Pengobatan Paliatif, National Hospice and Palliative Care
Organization, dan Center to Advance Palliative Care)
mengembangkan dan menerbitkan pedoman praktik klinis
pertama untuk memastikan pengiriman perawatan paliatif yang
berkualitas.
Definisi dan konsep praktik keperawatan kontemporer
ditetapkan dalam Ruang Lingkup dan Standar Keperawatan
ANA Praktek (2004) menggarisbawahi perawatan / perawatan
paliatif dinamis. Keperawatan didefinisikan sebagai
''perlindungan, promosi, dan optimalisasi kesehatan dan
1
kemampuan, pencegahan'' penyakit dan cedera, pengurangan
penderitaan melalui diagnosis dan pengobatan tanggapan
manusia dan advokasi dalam perawatan individu, keluarga,
masyarakat, dan populasi.''
Respons manusia adalah fenomena yang kompleks; itu
adalah respons seluruh orang yang mencakup aspek fisik, sosial,
emosional, dan spiritual dari makhluk. Menggunakan proses
keperawatan sebagai kerangka berpikir kritis, perawat menilai,
mendiagnosis, dan melakukan intervensi untuk mendukung
atau memodifikasi tanggapan ini untuk mencapai positif hasil
pasien yang memaksimalkan kualitas hidup dan mengatasi
penderitaan. Edukasi pasien dan keluarga, koordinasi asuhan,
dan kolaborasi merupakan standar keperawatan.
Pada tahun 2014, Organisasi Kesehatan Dunia dan
Perawatan Paliatif Rumah Sakit Seluruh Dunia Alliance
bersama-sama menerbitkan The Global Atlas Perawatan Paliatif
di Akhir Kehidupan (Global Atlas). Publikasi ini mengukur
kebutuhan untuk dan ketersediaan perawatan paliatif di seluruh
dunia, memperkirakan bahwa jumlah orang yang
membutuhkan perawatan paliatif pada akhir kehidupan adalah
20 juta, sambil melaporkan bahwa hanya 14% dari kebutuhan itu
bertemu (Jackson, 2015).
4
sangat sistem terstruktur untuk memberikan perawatan
(Craig, 2000).
Perawatan paliatif memperluas tradisional perawatan
medis model penyakit untuk memasukkan tujuan
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga,
mengoptimalkan fungsi, membantu pengambilan keputusan
membuat, dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan
pribadi. Dengan demikian, itu bias diberikan bersamaan
dengan perawatan yang memperpanjang hidup atau sebagai
fokus utama perawatan
Perawatan paliatif bertujuan untuk membimbing dan
membantu pasien dan keluarga dalam membuat keputusan
yang memungkinkan mereka bekerja untuk tujuan selama
waktu apa pun yang tersisa. Layanan perawatan paliatif yang
komprehensif seringkali membutuhkan keahlian dari:
berbagai penyedia untuk menilai dan menangani kebutuhan
kompleks dari pasien yang sakit parah dan keluarganya.
Kepemimpinan, kolaborasi, koordinasi, dan komunikasi
adalah elemen kunci untuk integrasi yang efektif dari disiplin
dan layanan ini (NCP, 2004)
5
b. Pendanaan
Pendanaan pemerintah untuk layanan perawatan
paliatif terutama terbatas pada negara-negara
berpenghasilan tinggi. Sebagian besar LMIC dengan
sistem kesehatan yang rapuh memiliki sistem perawatan
kesehatan masyarakat yang kekurangan sumber daya
untuk mayoritas, dan sistem swasta yang relatif baik
pengisian dari saku, atau ditutupi oleh asuransi untuk
beberapa. Penyedia perawatan paliatif harus biasanya
mengandalkan bantuan asing atau amal local kontribusi
untuk pendanaan.
c. Pemantauan dan pengukuran
Beberapa upaya untuk mengembangkan indikator
global untuk memantau perawatan paliatif sebagai bagian
dari Universal Cakupan Kesehatan belum berhasil.
Asosiasi Amerika Latin untuk Perawatan Paliatif
mengembangkan sepuluh indikator untuk dipantau
perawatan paliatif yang telah dilaksanakan di
wilayah.
d. Bukti
Bukti penelitian untuk perawatan paliatif
berkembang tapi masih lemah. Uji coba terkontrol acak
adalah terbatas karena tidak etis untuk secara acak
menugaskan orang untuk perawatan paliatif.
e. Kekuatan suara masyarakat sipil
Adanya advokasi nasional yang terbatas, suara
warga dan permintaan untuk perawatan paliatif.
Sejumlah kecil advokat masyarakat sipil yang profesional
adalah memimpin gerakan. Gerakan global adalah
diperlukan untuk mengintegrasikan perawatan paliatif ke
dalam sistem kesehatan. Organisasi non-pemerintah
internasional menjadi lebih aktif dalam mempromosikan
perawatan paliatif seperti yang ditunjukkan oleh bagian
dari resolusi WHA tentang perawatan paliatif, dan
6
dimasukkan dalam Tujuan Global. Namun, ada masih
banyak lagi yang perlu dilakukan untuk memberdayakan
orang untuk memimpin permintaan perawatan paliatif
f. Integrasi ke dalam sistem kesehatan di pelayanan
kesehatan dasar (PHK)
Karena mayoritas pasien membutuhkan paliatif
perawatan dapat dirawat di PHC, dan tidak
membutuhkan layanan spesialis, sangat penting untuk
mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan
perawatan paliatif ke dalam pendidikan kesehatan
profesional dan memberikan dasar pelatihan untuk staf
Puskesmas
g. Pendidikan (dasar, menengah, spesialis)
Sebagian besar profesional kesehatan secara global
masih tidak menerima pendidikan paliatif perawatan
sebagai bagian dari pelatihan profesional mereka.
menantang untuk menambahkan modul perawatan
paliatif untuk farmasi, medis, keperawatan dan sosial
kurikulum kerja. Praktisi profesional juga perlu
memasukkan pelatihan perawatan paliatif untuk
melanjutkan pendidikan mereka. Beberapa LMICs
memiliki kapasitas untuk memberikan pelatihan untuk
memenuhi syarat profesional sebagai sub-spesialis dalam
paliatif perawatan, oleh karena itu mendidik pengasuh
komunitas sangat penting.
h. Perawatan yang hemat biaya
Bukti efektivitas biaya dari perawatan paliatif
berpusat pada pentingnya perawatan berbasis rumah
komunitas yang menghasilkan dalam pengurangan dan
pencegahan yang tidak perlu rawat inap, diagnostik,
perawatan darurat dan pengobatan. Sejak sumber bukti
ini adalah negara-negara berpenghasilan tinggi, relevansi
dengan negara-negara berpenghasilan rendah dan
7
pengaturan negara berpenghasilan menengah perlu lebih
lanjut (Jackson, 2015)
9
bantuan dengan medis pengambilan keputusan, dan
komunikasi yang efektif dengan semua individu yang
terlibat dalam perawatan pasien dan keluarganya
h. Keterampilan dalam merawat yang sekarat dan yang
berduka
Tim spesialis perawatan paliatif harus memiliki
pengetahuan tentang prognostik, tanda dan gejala
kematian yang akan segera terjadi, dan perawatan terkait
dan kebutuhan dukungan pasien dan keluarga mereka
sebelum dan sesudah kematian, termasuk sindrom fisik
dan psikologis spesifik usia, peluang untuk pertumbuhan,
kesedihan normal dan menyimpang, dan proses
berkabung.
i. Perawatan yang Berkesinambungan
Perawatan paliatif merupakan bagian integral dari
semua unsur sistem pemberian pelayanan kesehatan
(rumah sakit, gawat darurat, panti jompo, perawatan di
rumah, fasilitas hidup yang dibantu, rawat jalan, dan
lingkungan nontradisional, seperti sekolah).
Tim perawatan paliatif berkolaborasi dengan
profesional dan informal pengasuh di setiap unsur ini
untuk memastikan koordinasi, komunikasi, dan
kesinambungan perawatan paliatif di seluruh institusi
dan perawatan di rumah. Manajemen proaktif untuk
mencegah krisis dan transfer yang tidak perlu adalah hasil
penting dari perawatan paliatif.
j. Akses yang adil
Tim perawatan paliatif harus bekerja menuju akses
yang adil ke paliatif perawatan di semua usia dan
populasi pasien, semua kategori diagnostik, semua
pengaturan perawatan kesehatan, termasuk masyarakat
pedesaan, dan terlepas dari ras, etnis, preferensi seksual,
atau kemampuan untuk membayar.
10
k. Penilaian kualitas dan peningkatan kinerja
Layanan perawatan paliatif harus berkomitmen
untuk mengejar keunggulan dan perawatan berkualitas
tinggi. Penentuan kualitas memerlukan pengembangan,
implementasi, dan pemeliharaan penilaian kualitas yang
efektif dan program peningkatan kinerja. Hal ini
membutuhkan penilaian dan evaluasi yang teratur dan
sistematis dari proses perawatan dan pengukuran
(Jackson, 2015).
Perawatan rumah
Palliative Care
sakit
Apakah yang Untuk Kenyamanan
fokus ini memaksimalkan perawatan,
jenis perawatan? daripada
11
Perawatan rumah
Palliative Care
sakit
kualitas hidup menyembuhkan,
pasien membantu dengan
tujuan perawatan,
rencana perawatan
akhir hayat
Layanan apa? Kelola gejala, Perawatan
disediakan? diskusikan tujuan kenyamanan
perawatan, pro intensif yang
dan kontra dari mengurangi rasa
opsi perawatan, sakit dan gejala
berikan ekstra saat merawat fisik
koordinasi seseorang,
dukungan dan kebutuhan pribadi,
perawatan emosional, dan
spiritual.
Siapa yang Siapapun yang Pasien dengan
memenuhi hidup dengan penyakit serius
syarat? penyakit kronis yang membatasi
atau penyakit; hidup atau
tersedia untuk terminal penyakit;
siapa saja di setiap mendukung
tahap yang mereka yang
penyakit serius memiliki harapan
hidup bulan,
bukan tahun
Kapan Dari saat diagnosis Ketika pasien
seharusnya? hingga memilih untuk
kami mulai pengobatan dan berhenti atau pergi
jasa? hidup dengan tanpa pengobatan
penyakit kuratif, fokus
berubah dari
mengobati
penyakit untuk
12
Perawatan rumah
Palliative Care
sakit
memberikan
kenyamanan dan
menghilangkan
rasa sakit,
gejala, kecemasan,
dan stres
Apakah rujukan Tidak. Anda dapat Ya. Rujukan
yg dibutuhkan? menghubungi diperlukan, dan
kami kapan saja; staf rumah sakit
Beritahu penyedia dapat membantu
layanan kesehatan mengamankan
yang ingin Anda rujukan dari dokter
tambahkan paliatif Anda
peduli dengan
rencana
perawatan Anda
Apa tujuan dari Edukasi dan gejala Manajemen nyeri
perawatan obat manajemen, dan gejala adalah
menavigasi kuncinya. Pasien
melalui selalu menjadi
perkembangan pusat perawatan,
penyakit, dengan tujuan
dukungan dan membantunya
pendidikan untuk hidup dengan
pasien dan nyaman dan
keluarga, dengan rasa
perencanaan kenormalan, rasa
perawatan hormat, dan
lanjutan, dan martabat
transisi ke rumah
sakit, jika dan bila
perlu
13
8. Rentang Waktu Kontinuum Perawatan Paliatif
14
BAB PERKEMBANGAN
2
KEPERAWATAN
PALIATIF
A. Pendahuluan
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan
dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak
tegaknya diagnosa hingga akhir kehidupan pasien. Perawatan
paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga
dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan
cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri
serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual
(WHO, 2016). Perawatan paliatif juga merupakan suatu
pendekatan dalam perawatan pasien yang terintegrasi dengan
terapi pengobatan untuk mengoptimalkan kualitas hidup pasien
dengan penyakit kronis atau mengancam jiwa (National
Consensus Project for Quality Palliative Care, 2009).
15
1. Dame Cicely Mary Saunders OM BDBE FRCS FRCP
(Kelahiran 22 Juni 1918, Barnet - Britania Raya) Wanita
tersebut adalah seorang perawat, pekerja sosial, dokter, dan
penulis anglikan asal inggris, yang terlibat dalam beberapa
universitas internasional. Ia dikenal karena perannya dalam
melahirkan gerakan hospis yang mendorong perawatan
paliatif dalam kedokteran modern. Saunders mengatakan
bahwa setelah 11 tahun memikirkan proyek tentang rumah
sakit bagi penderita kanker, ia telah menyusun rencana
komprehensif dan mencari bantuan finansial. Dia berhasil
mendapat dukungan dari Albertine Winner, wakil kepala
petugas medis pada Kementerian Kesehatan pada saat itu.
Cicely Saunders mendirikan rumah sakit modern pertama
dan, lebih dari siapapun, bertanggung jawab untuk
membangun disiplin dan budaya perawatan paliatif. Dia
memperkenalkan manajemen nyeri yang efektif dan
bersikeras bahwa orang yang sekarat membutuhkan
martabat, kasih sayang, dan rasa hormat, serta metodologi
ilmiah yang ketat dalam pengujian perawatan. Dia
menghapus etika yang berlaku bahwa pasien harus
disembuhkan, bahwa mereka yang tidak dapat disembuhkan
adalah tanda kegagalan, dan bahwa dapat diterima dan
bahkan diinginkan untuk berbohong kepada mereka tentang
prognosis mereka. Dia membayar gagasan bahwa orang
sekarat harus menunggu sampai obat penghilang rasa sakit
mereka habis sebelum mereka menerima dosis lain, dan
membuang gagasan bahwa risiko kecanduan opiat adalah
masalah dalam manajemen rasa sakit mereka.
Cicely Saunders adalah pemimpin alami dan
membangun reputasi dalam kesadaran nasional hampir
setara dengan Florence Nightingale. Dia menjadi pahlawan
rakyat setelah jurnalis Victor Zorza dan istrinya menulis
laporan persuasif dan mengharukan tentang kematian putri
mereka di rumah sakit. Pada tahun 1967 ia mendirikan
Rumah Sakit St. Christopher di barat daya london. Itu adalah
16
pencapaian pribadinya dan telah ditiru di seluruh dunia. St.
Christopher's adalah rumah sakit modern pertama,
meskipun ada sejumlah rumah yang ada untuk orang yang
sekarat, yang sebagian besar dijalankan oleh ordo
keagamaan. Dia mengumpulkan dana untuk rumah sakit
dan menyumbangkan sebagian dari uangnya sendiri.
Saunders memperkenalkan gagasan "sakit total," yang
mencakup dimensi fisik, emosional, sosial, dan spiritual dari
kesusahan. Dia menganggap setiap orang, baik pasien atau
staf, sebagai individu sampai akhir. Sebagai pendengar yang
baik, dia memberikan perhatian sistematis pada narasi
pasien. Dia menghilangkan "jam berkunjung", yang
merupakan alasan untuk tidak memiliki jam berkunjung.
Seorang pasien St. Christopher, yang dipindahkan dari
rumah sakit lain, berkata, "Mereka biasa melihat berapa lama
saya bisa bertahan tanpa suntikan. Dulu saya berkeringat
karena rasa sakit. Saya tidak bisa berbicara dengan siapa pun
dan saya menangis. Kurasa aku hanya menangis sekali sejak
aku di sini. Perbedaan terbesar adalah merasa begitu tenang.
Aku tidak marah atau kesal." Cicely Mary Strode Saunders
adalah anak tertua dari tiga bersaudara, dalam keluarga kaya
tetapi tidak bahagia. Ayahnya yang dominan adalah seorang
agen real estat, dan mereka tinggal dengan nyaman di sebuah
rumah besar dengan halaman rumput dan lapangan
tenis. Ibunya dingin dan tertutup. Dia diberikan ke dalam
perawatan Bibi Daisy yang belum menikah ketika dia masih
sendiri, hanya untuk direnggut kembali melalui
kecemburuan pengaruh Daisy. Dia dikirim ke sekolah
roedean ketika dia berusia 10 tahun. Lebih tinggi dari gadis-
gadis lain, dia merasa dia tidak pernah cocok, yang
memberinya perasaan untuk orang-orang luar. Dia juga
menderita sakit tulang belakang dan sedikit bengkok, dan
dipaksa berbaring di lantai selama 40 menit sehari.
Saunders awalnya adalah seorang agnostik, tetapi, saat
berlibur di Cornwall dengan beberapa teman Kristen, dia
17
menemukan bahwa dia benar-benar percaya pada Tuhan. Itu,
katanya, "seolah-olah saklar telah diputar." Setahun
kemudian, selama pekerjaannya sebagai almoner, di rumah
sakit archway, dia merawat seorang imigran yahudi polandia
berusia 40 tahun yang sekarat bernama David Tasma. Ia
merasa hidupnya telah sia-sia. Dia tidak memiliki kerabat di
inggris, dan hanya memiliki sedikit teman. Dalam hubungan
yang singkat dan intens—yang mungkin merupakan
hubungan cinta spiritual—mereka mendiskusikan gagasan
bahwa dia mungkin menemukan rumah bagi orang-orang
yang sekarat untuk menemukan kedamaian di hari-hari
terakhir mereka.
Kematian David Tasma bertepatan dengan kematian
ayah Cicely Saunders dan seorang teman dekat, dan dia jatuh
ke dalam keadaan "kesedihan patologis." Dia merasa bahwa,
pada akhirnya, dia tahu apa yang Tuhan panggil untuk dia
lakukan, yaitu membangun rumah bagi orang-orang yang
sekarat, di mana pengetahuan ilmiah harus digabungkan
dengan perhatian dan kasih. Dia melengkapi pekerjaan
almonernya dengan menjadi suster sukarelawan di rumah
sakit St. Luke di london utara. Saunders mencari kontak lebih
dekat dengan pasien dan bertanya kepada ahli bedah
ortopedinya apakah dia boleh bekerja sebagai perawat
malam, yang akan mengurangi ketegangan pada
punggungnya, karena sebagian besar pekerjaan mengangkat
dilakukan oleh staf harian. Pendapatnya adalah bahwa
orang-orang tidak akan mendengarkannya sebagai perawat,
bahwa para dokter meninggalkan orang yang sekarat, dan
bahwa dia dapat membantu pasien yang sekarat dengan
menjadi dokter. Dia diterima sebagai mahasiswa kedokteran
di rumah sakit St. Thomas pada usia 33 tahun. Ayahnya
mendanai studinya. Rekan-rekan mahasiswanya membuat
sedikit usaha untuk memasukkan dia karena dia jauh lebih
tua. Namun, dia membuat gurunya terkesan dengan
kedewasaan emosionalnya; satu, Alex Paton, ingat dia
18
menghabiskan waktu luangnya membaca untuk pasien yang
tiba-tiba menjadi buta. Pada tahun 1958, tak lama setelah dia
memenuhi syarat, dia menulis sebuah artikel yang
memperdebatkan pendekatan baru untuk akhir hayat. Di
dalamnya dia berkata, "Tampaknya banyak pasien merasa
ditinggalkan oleh dokter mereka pada akhirnya. Idealnya
dokter harus tetap menjadi pusat tim yang bekerja sama
untuk meringankan di mana mereka tidak dapat
menyembuhkan, untuk menjaga perjuangan pasien sendiri
dalam kompasnya dan untuk membawa harapan dan
penghiburan sampai akhir."
Setelah memenuhi syarat sebagai dokter, ia
memperoleh beasiswa penelitian di Rumah Sakit St. Mary,
paddington, di mana ia belajar manajemen nyeri pada
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan pada saat yang
sama bekerja di St. Joseph's, sebuah rumah perawatan untuk
orang miskin yang sekarat di bayswater, yang dijalankan
oleh para biarawati. Di sini dia menggunakan keahlian medis
dan temuan penelitiannya untuk membantu para biarawati
meningkatkan standar perawatan mereka. Dia
mengembangkan metode pencatatan pada 1.100 pasien,
memperkenalkan sistem punch-card. Khususnya, dia
menulis enam artikel tentang perawatan orang yang sekarat
di Nursing Times pada tahun 1959;
Di St. Joseph's dia memperkenalkan sistem kontrol
rasa sakit yang dia kembangkan. Itu adalah pendekatan keras
kepala ("nyeri konstan membutuhkan kontrol konstan"), di
mana pasien diberi bantuan teratur dan tidak dipaksa untuk
menunggu sampai rasa sakit mereka kembali dan mereka
berteriak. Ini sangat mengurangi ketakutan dan kecemasan
mereka dan ini, pada gilirannya, mengurangi rasa sakit dan
kebutuhan mereka akan penghilang rasa sakit. Dia
mengatakan bahwa tidak ada yang namanya rasa sakit yang
tak tertahankan, meskipun dia telah bertemu dengan dokter
yang keras kepala. Dia berpendapat bahwa jika rasa sakit
19
fisik berkurang, maka rasa sakit mental juga berkurang. Dia
membedakan antara nyeri ringan, sedang, dan berat, yang
masing-masing diperlakukan secara berbeda. Dia juga
menggunakan obat-obatan untuk meringankan masalah lain
dari kematian, termasuk luka baring, mual, depresi, sembelit,
dan sesak napas.
Pada tahun 1960, di St. Joseph's, dia bertemu Antoni
Michniewicz, anak kedua dari tiga pria Polandia yang
mempengaruhi hidupnya. Sekali lagi, mereka memiliki
hubungan spiritual yang erat. Pada saat yang sama dia
mengabdikan dirinya untuk tujuan yang telah dia pilih, yaitu
menemukan rumah sakit, hal yang luar biasa untuk
dilakukan oleh seorang dokter baru yang memenuhi
syarat. Dia membaca secara luas tentang kematian dan
sekarat, dan terkesan oleh pandangan Elisabeth Kübler-Ross
bahwa ada lima tahap psikologis dari kematian: kemarahan,
penolakan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Pada
akhir tahun 1959 dia telah menyusun proposal 10 halaman
yang dia sebarkan ke teman-temannya. Ini menguraikan
struktur dan organisasi rumah sakit 60 tempat tidur. Dia
menamakannya setelah St. Christopher, santo pelindung
para pelancong, dan awalnya menginginkannya menjadi
rumah perawatan gereja inggris, tetapi beberapa organisasi
pemberi hibah memintanya untuk membuatnya terbuka
untuk orang-orang dari semua agama, jadi dia mengubah
rencana itu; hospice harus menjadi "landasan religius dari
karakter terbuka."
Dia menyusun rencana terperinci dan menghitung
biaya setiap tahap proses. Dia bertemu arsiteknya pada tahun
1959, dan badan amal St. Christopher terdaftar pada tahun
1961. Kakaknya menemukan lokasi pada tahun 1963 di
sydenham. Antara tahun 1961 dan 1964 dia mengumpulkan
£330.000. Pada tahun 1966 perkiraan biayanya adalah
£400.000 dan setahun kemudian menjadi £480.000. Selama ini
dia bekerja di St. Joseph's.
20
Pada tahun 1963 ia melakukan "pelayaran penemuan"
ke amerika serikat, yang berada di depan Inggris dalam
penelitian rasa sakit. Pekerjaan membangun dimulai pada
tahun 1965—tahun dia dianugerahi OBE—dan uang masih
belum cukup cepat masuk: sehingga terkadang b biaya
pembangun tidak dibayar tepat waktu. Cicely Saunders
mendapat dukungan luar biasa dari spektrum masyarakat
yang luas: anak-anak setempat membantu menyiapkan
taman, dan petugas pemadam kebakaran menutup
tirai. Rumah sakit itu berisi 54 tempat tidur rawat
inap. Sebuah artikel yang diterbitkan tak lama setelah
pembukaan mengatakan bahwa rumah sakit "akan mencoba
mengisi kesenjangan yang ada dalam penelitian dan
pengajaran." Ada rencana untuk mereka yang membutuhkan
perawatan istirahat, dan untuk layanan perawatan di rumah.
Pasien pertama dirawat pada tahun 1967. Putri
Alexandra melakukan upacara pembukaan dan masih
berkunjung setiap tahun, tak lama sebelum Natal. Rumah
sakit segera memperluas kegiatannya untuk penelitian, dan
menambahkan pusat studi. Pada tahun 1970 NHS
menyumbang dua pertiga dari biaya operasional, dan dokter
NHS mengambil bagian dari pelatihan spesialis mereka di
sana.
Pada tahun 1963, tiga tahun setelah kematian Antony
Michniewicz, Cicely Saunders bertemu dengan pria Polandia
lainnya, yang akan menjadi suaminya. Marian Bohusz-
Szyszko adalah seorang pelukis emigran dengan gelar dalam
seni rupa. Dia mengagumi penyaliban biru suram yang dia
tunjukkan di galeri London, menulis kepadanya, dan
kemudian menjadi pelindungnya; sebagian besar karyanya
digantung di rumah sakit. Dia memiliki istri yang sudah lama
terasing di polandia, yang dia dukung, dan dia adalah
seorang Katolik yang taat. Pada tahun 1969, dia dan Cicely
dan pasangan lain membeli sebuah rumah di sydenham,
yang mereka tinggali bersama; mereka menyebutnya kibbutz
21
mereka dan itu adalah pengaturan domestik yang
langgeng. Istri Marian meninggal pada tahun 1975, dan pada
tahun 1980 ia menikah dengan Cicely; dia 61 dan Cicely 79.
Marian meninggal pada tahun 1995, menghabiskan
hari-hari terakhirnya di St. Christopher's. Cicely Saunders
mengundurkan diri sebagai direktur medis St Christopher's
pada tahun 1985, tetap sebagai ketua. Dia menerima
penghargaan dari seluruh dunia. Dia sangat menentang
euthanasia, dia adalah seorang Kristen yang berkomitmen,
dan juga karena dia berpendapat bahwa pengendalian rasa
sakit yang efektif selalu memungkinkan dan oleh karena itu
euthanasia tidak diperlukan. Dia mengakui, bagaimanapun,
bahwa kedua belah pihak dalam perdebatan euthanasia
menentang rasa sakit yang tidak berguna dan penghinaan
impersonal. Dia menderita kanker payudara tetapi terus
bekerja, bahkan dari ranjang kematiannya. Dia meninggal di
St Christopher.
22
dan dedikasinya yang tak kenal lelah, bidang kedokteran
paliatif dan perawatan paliatif rumah sakit yang sedang
berkembang terus diakui baik di Kanada maupun di seluruh
dunia.
Pada tahun 1985, ia diangkat menjadi Anggota Ordo
Kanada sebagai pengakuan "telah mendirikan Layanan
Perawatan Paliatif pertama di Rumah Sakit Royal Victoria
Montreal. “Pasien berhutang banyak kepada Dr. Balfour
Mount,” kata Presiden dan Direktur Eksekutif MUHC Dr.
Pierre Gfeller. “Dia mendefinisikan bidang perawatan
paliatif, sehingga mengubah layanan klinis, penelitian, dan
pengajaran terkait akhir kehidupan, yang terus berkembang
hingga hari ini. Bahwa ia menciptakan unit perawatan
paliatif pertama di rumah sakit di Amerika Utara di bekas
lokasi Rumah Sakit Royal Victoria pada tahun 1975 jelas
merupakan sumber kebanggaan yang sangat besar bagi
MUHC, tetapi jejaknya pada pengobatan meluas jauh
melampaui tembok kita. Mayoritas rumah sakit Kanada
sekarang memiliki layanan perawatan paliatif karena
keinginannya untuk meningkatkan kualitas hidup orang
yang sekarat.
25
berbagai rumah sakit resmi. Tahun berikutnya, perhimpunan
kanker filipina mendirikan program rumah perawatan dan
memberikan dukungan terhadap grup atau kelompok yang
tertarik dalam perawatan paliatif. Selain itu, perawatan paliatif
dan hospice telah diajarkan sebagai bagian dari kedokteran
keluarga di tingkat universitas. Pada tahun 1998 sekitar 30
organisasi perawatan paliatif dan hospice yang menyediakan
layanan pada pasien kanker dengan kondisi terminal dan
menjelang ajal. Dimana layanan tersebut didukung oleh tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat dan pekerja social
medic. Pelayanan perawatan paliatif dan hospice dimulai sejak
tahun 1986 dimana rumah hospis St. joseph menyediakan 16
tempat tidur. Rumah hospis tersebut awalnya diperuntukan
untuk pasien lanjut usia yang dikelola oleh para biarawati
katolik sekte kanosian. Pada tahun 1987 terbentuk grup relawan
yang dikenal dengan nama “Hospice care grub” yang
menyediakan layanan hospis di bawah pengelolaan himpunan
kanker singapura. Pada tahun 1988 rumah Asisi merupakan
rumah hospis didirikan dengan kapasitas 50 tempat tidur,
hospis tersebut melayani pasien dengan penyakit kronis dan 12
tempat tidur di antaranya di peruntukan pada pasien dengan
penyakit terminal dan menjelang ajal. Saat ini layanan
perawatan paliatif dan hospice tersedia di berbagai fasilitas
seperti perawatan rumah hospis, rumah hospis rawat inap,
rumah hospis day care, perawatan paliatif di rumah sakit. Awal
pelayanan perawatan paliatif berupa layanan swadaya oleh
beberapa relawan yang kemudian berkembang menjadi layanan
profesional. Lebih lanjut, pendidikan mengenal perawatan
paliatif telah dimulai sejak tahun 1987, dimana saat itu
kegiatannya diadakan dalam bentuk khusus untuk dokter dan
perawat (Yodang, 2018).
26
E. Perkembangan Keperawatan Paliatif Di Indonesia
28
BAB
MODEL PELAYANAN
3
KEPERAWATAN
PALIATIF
A. Pendahuluan
B. Pengertian
30
Asuhan keperawatan paliatif bisa bermanfaat bagi siapa
pun yang hidup dengan penyakit serius, kronis, membatasi
hidup, atau mengancam jiwa seperti kanker, HIV/AIDS, stroke,
diabetes, penyakit jantung, penyakit paru, atau kelainan bawaan
lahir. Asuhan paliatif dapat diberikan bagi pasien anak maupun
dewasa. Pengobatan dan perawatan paliatif dilakukan sejak
pertama pasien didiagnosis kanker dan sejak kapan pun
setelahnya.
Perawatan dan pengobatan dibutuhkan karena berasal
dari latar belakang perlunya perawatan paliatif adalah karena
meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum
dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit
kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis,
cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung (heart failure),
penyakit genetika.
Perawatan paliatif diberikan pada pasien bukan untuk
menunda kematian tetapi memberikan kesempatan pada pasien
yang mengalami sakit parah meninggal dengan rasa tidak
tersiksa.
Apakah jika seorang pasien mendapatkan terapi paliatif
dia tidak akan diberikan terapi kanker lagi? Tidak, terapi
paliatif bukan berarti menghentikan semua pengobatan kanker.
Tetapi apabila pasien dalam tahap dimana terapi
kanker tersebut tidak lagi menghasilkan perbaikan medis
maka terapi paliatif menjadi hal utama.
Secara umum pelayanan paliatif bertujuan untuk
menghilangkan nyeri dan gejala lain, meningkatkan kualitas
hidup, memberikan dukungan psikososial dan spiritual serta
memberikan dukungan kepada keluarga selama pasien sakit
dan selama masa dukacita. Perawatan paliatif biasanya sangat
diperlukan bagi pasien dengan penyakit kronis atau stadium
lanjut, pasien demensia, serta pasien yang baru dipulangkan
dari rumah sakit dan perlu mendapatkan perawatan lebih lanjut
di rumah.
31
Perawatan paliatif diberikan pada setiap pasien dengan
penyakit rumit, apapun hasilnya. Dengan demikian, dapat
diberikan pada pasien yang diperkirakan sakit untuk jangka
waktu lama, untuk sepenuhnya pulih pada akhirnya, atau
mengalami perkembangan dari suatu penyakit.
Tim perawatan paliatif merupakan kolaborasi antara
interdisiplin ilmu dan biasanya terdiri dari seorang dokter dan
atau perawat senior bersama dengan satu atau lebih pekerja
sosial dan pemuka agama/rohaniawan.
Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi:
▪ Penatalaksanaan nyeri. Penatalaksanaan keluhan fisik lain.
Asuhan keperawatan
▪ Dukungan psikologis
▪ Dukungan sosial
▪ Dukungan kultural dan spiritual
▪ Dukungan persiapan dan selama masa duka cita
breavement).
34
4. Persetujuan
Persetujuan dari pasien adalah mutlak diperlukan
sebelum perawatan dimulai atau diakhiri. Mayoritas pasien
ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan, namun
dokter cenderung untuk meremehkan hal ini. Pasien yang
telah diberi informasi yang memadai dan setuju dengan
perawatan yang akan diterimanya, akan lebih patuh
mengikuti segala usaha perawatan.
5. Memilih tempat dilakukannya perawatan
Untuk menentukan tempat perawatan, baik pasien
maupun keluarganya harus ikut serta dalam diskusi ini.
Pasien dengan penyakit terminal sebisa mungkin diberi
perawatan dirumah.
6. Komunikasi
Komunikasi yang baik antara tenaga Kesehatan dan
pasien serta keluarga pasien adalah hal yang sangat penting
dan mendasar dalam pelaksanaan perawatan paliatif.
7. Aspek klinis perawatan yang sesuai
Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan
stadium dan prognosis dari penyakit yang diderita pasien.
Hal ini penting karena pemberian perawatan yang tidak
sesuai, baik itu lebih maupun kurang, hanya akan menambah
penderitaan pasien. Pemberian perawatan yang berlebihan
berisiko untuk memberikan harapan palsu kepada pasien.
Demikian juga perawatan yang dibawah standar akan
mengakibatkan kondisi pasien memburuk.
Hal ini berhubungan dengan masalah etika. Perawatan
yang diberikan hanya karena dokter merasa harus
melakukan banyak hal meskipun itu sia-sia adalah tidak etis.
8. Perawatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai
bidang profesi.
Perawatan paliatif memberikan perawatan yang
bersifat holistic dan integratif, sehingga dibutuhkan sebuah
tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup pasien serta
35
koordinasi yang baik dari masing-masing anggota tim
tersebut untuk memberikan hasil yang maksimal kepada
pasien dan keluarga.
9. Kualitas perawatan yang sebaik mungkin
Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan
berkelanjutan. Perawatan medis yang konsisten akan
mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi
yang tidak terduga, dimana hal ini akan sangat mengganggu
baik pasien maupun keluarga.
10. Perawatan yang berkelanjutan
Pemberian perawatan simptomatis dan suportif dari
awal hingga akhir merupakan dasar tujuan dari perawatan
paliatif. Masalah yang sering terjadi adalah pasien
dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain sehingga
sulit untuk mempertahankan kontinuitas perawatan.
11. Mencegah terjadinya kegawatan
Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan
yang teliti untuk mencegah terjadinya kegawatan fisik dan
emosional yang mungkin terjadi dalam perjalanan penyakit.
Pasien dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya
mengenai masalah-masalah yang sering terjadi, dan
membentuk rencana untuk meminimalisir stress fisik dan
emosional.
12. Bantuan kepada sang perawat
Keluarga pasien dengan penyakit lanjut seringkali
rentan terhadap stress fisik dan emosional, terutama apabila
pasien dirawat di rumah, sehingga perlu diberikan perhatian
khusus kepada mereka, mengingat keberhasilan dari
perawatan paliatif juga tergantung dari sang pemberi
perawatan itu sendiri.
36
13. Pemeriksaan Ulang
Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi
pasien, mengingat pasien dengan penyakit lanjut kondisinya
akan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
37
interdisipliner, dan terintegrasi. Kolaborasi berbagai perspektif
dalam perawatan kesehatan memberikan manfaat yang
beragam, baik dari segi pengetahuan maupun pengalaman
(Mitchell et al., 2012). Manfaat yang akan didapatkan tersebut
bukan hanya bagi pasien atau caregiver, namun juga bagi praktisi
maupun institusi pelayanan kesehatan (Leclerc et al., 2014).
1. Kolaborasi multidisiplin dalam perawatan paliatif
Chock et al., (2013) melakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengukur efektivitas intervensi
multidisiplin terhadap peningkatan 5 domain mayor dalam
kualitas hidup (fungsi kognitif, fisik, emosi, spiritual, dan
sosial) pada pasien kanker tahap lanjut dengan persentase
harapan hidup 0%-50%. Lima puluh empat responden
dirandomisasi secara terkomputerisasi terhadap intervensi
yang diberikan. Kelompok intervensi menerima terapi fisik,
sesi diskusi, dukungan dan refleksi spiritual, serta sesi
relaksasi yang diberikan oleh tim multidisiplin selama 2-4
minggu yang terdiri atas 90 menit intervensi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kualitas hidup
secara keseluruhan pada responden lansia.
Penelitian lain telah dilakukan oleh Preen et al., (2005),
dimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektivitas dari discharge care plan oleh tim multidisiplin pada
pasien dengan gejala kardiorespiratori kronis. Penelitian ini
melibatkan responden yang dirandomisasi menjadi
kelompok intervensi dan kelompok control. Kelompok
intervensi menerima discharge care plan sesuai dengan the
Australian Enhanced Primary Care Package yang selanjutnya
dipulangkan ke komunitas untuk dikaji lebih lanjut oleh tim
pekerja sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa discharge
care plan yang dilakukan secara multidisiplin, secara
signifikan meningkatkan kualitas hidup mental, namun tidak
signifikan pada kualitas hidup fisik.
38
2. Kolaborasi interdisiplin dalam perawatan paliatif
Gade et al., (2008) dalam penelitiannya, menilai
efektivitas Interdisciplinary Palliative Care Service (IPCS)
terhadap kepuasan pasien, outcome klinis, dan biaya selama 6
bulan perawatan. Penelitian ini melibatkan 517 responden,
terdiri dari kelompok intervensi dan kelompok control.
Selanjutnya, Brumley et al., (2007) melakukan
penelitian yang bertujuan untuk menentukan efektivitas In-
Home Palliative Care oleh tim interdisiplin terhadap beberapa
outcome, yaitu kepuasan pasien, biaya perawatan, dan
proporsi pasien yang meninggal di rumah. Penelitian ini
melibatkan pasien terminal dengan prognosis masa hidup ≤
1 tahun, yang dirandomisasi kedalam kelompok intervensi
dan kelompok kontrol. Intervensi yaitu berupa In-Home
Palliative Care yang dikombinasikan dengan perawatan
standard oleh tim interdisipliner. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan
pada tingkat kepuasan terhadap perawatan pada hari ke-30
dan 90, penurunan kunjungan instalasi gawat darurat dan
frekuensi hospitalisasi , sehingga biaya perawatan secara
signifikan lebih rendah pada kelompok intervensi.
Istilah tim multidisiplin dan interdisiplin telah
digunakan dalam perawatan kesehatan sejak dahulu
(Fergusson, 2014). Tim multidisiplin terdiri atas praktisi dari
berbagai disiplin ilmu, masing-masing mengembangkan
rencana perawatan, namun bersifat independen (Lecrerc et
al., 2014) sedangkan praktik interdisipliner didefinisikan
sebagai suatu kemitraan antara tim profesional kesehatan
dan pasien dalam bentuk perawatan partisipatif, kolaboratif
dan terkoordinasi dalam proses pengambilan keputusan
bersama terhadap masalah kesehatan pasien (Orchard,
Curran, & Kabene, 2005).
Pendekatan tim multidisiplin dan interdisiplin diatas
memiliki kesamaan, yaitu seluruh intervensi yang dilakukan
memberikan efek yang positif seperti penurunan gejala
39
penyakit, komorbiditas, dan biaya pengobatan. Adanya
kolaborasi interprofesi dari beberapa disiplin ilmu seperti
dokter, perawat, fisioterapis, ahli gizi, bahkan pekerja sosial
di masyarakat juga mampu meningkatkan kualitas hidup
dan kepuasan pasien maupun tenaga kesehatan.
Perbedaannya terletak pada tingkat interaksi, komunikasi,
dan integrasi rencana perawatan pasien yang disusun oleh
tim. Pada pendekatan multidisiplin, rencana perawatan yang
disusun cenderung terfragmentasi karena masing-masing
anggota tim merumuskan tujuan yang terpisah untuk pasien.
Perawatan yang terfragmentasi dapat merugikan pasien
karena dikaitkan dengan penundaan intervensi akibat
buruknya koordinasi tim, duplikasi intervensi,
meningkatkan biaya perawatan yang tidak perlu, dan
ketidakjelasan pengobatan (Tang, 2009).
Menurut Scarborough (2013), kurangnya interaksi dan
komunikasi antar anggota tim multidisiplin sering
menciptakan hambatan karena tiap anggota tim bertanggung
jawab hanya pada intervensi yang berkaitan dengan profesi
nya, atau diistilahkan dengan “do his or her own thing”. Tang
(2009) menambahkan, kurangnya partisipasi pasien dalam
pendekatan multidisiplin tidak sesuai dengan prinsip kunci
perawatan yang berfokus pada pasien.
Berbeda dengan pendekatan multidisiplin, saat ini
pendekatan interdisiplin lebih banyak dipilih dalam
pengelolaan pasien dengan kondisi medis yang kompleks.
Jessup (2007) memaparkan beberapa keuntungan dari tim
interdisiplin jika dibandingkan dengan tim multidisiplin,
yaitu terbangunnya patient-centered care dan terciptanya
lingkungan kerja yang kondusif dengan waktu dan biaya
perawatan yang optimal. Hal tersebut sejalan dengan
Orchard, Curran, dan Kabene (2005) yang memaparkan
model konseptual praktik kolaborasi tim interdisiplin.
Setidaknya ada 10 prinsip yang harus dimiliki oleh kolaborasi
tim untuk menciptakan perawatan yang efektif, yaitu
40
kepemimpinan dan manajerial yang baik, strategi
komunikasi terstruktur, intensif, pelatihan dan
pengembangan prosedur dan sumber daya yang tepat,
keterampilan, kondisi tim yang mendukung, karakteristik
individu yang mendukung kerja tim, kejelasan visi,
penetapan kualitas dan hasil perawatan, serta kemampuan
menghormati dan memahami peran antar anggota tim
(Nancarrow et al., 2013).
Pada pendekatan interdisiplin, komunikasi dilakukan
secara kolaboratif dan penerapan prakteknya bersifat
interdependen (Scarborough, 2013). Anggota tim tidak hanya
berkontribusi spesifik sebatas keahlian profesi mereka
sendiri, namun juga saling berkolaborasi untuk
mengidentifikasi data dan mengembangkan rencana
perawatan pasien. Walaupun pengkajian dapat dilakukan
secara terpisah, namun anggota tim bekerja untuk mencapai
tujuan bersama. Masalah pasien dikomunikasikan bersama
dan diselesaikan secara sistematis antar anggota tim (Jessup,
2007).
Lebih lanjut, pengelolaan pasien secara partisipatif
dapat tercapai pada pendekatan ini mengingat pasien dan
keluarga dilibatkan dalam semua aspek perawatannya.
Pasien dan keluarga memegang peran dalam penentuan
keputusan pengobatan yang dijalaninya. Kondisi ini
kemudian dapat menjadi motivasi tersendiri bagi tim
interdisiplin untuk mengeksplorasi solusi dan menentukan
intervensi terbaik bagi pasien (Jessup, 2007).
Review ini menyimpulkan bahwa tim interdisiplin
lebih direkomendasikan jika dibandingkan dengan tim
multidisiplin karena mampu menciptakan lingkungan
perawatan patient-centered-care, membangun lingkungan
kerja yang kondusif, dengan waktu dan total biaya
perawatan yang optimal. Selain itu, pendekatan interdisiplin
mampu memenuhi prinsip perawatan yang efektif, yaitu
adanya komunikasi efektif, kolaborasi, dan koordinasi.
41
H. Prinsip Palliative care
42
lainnya mengenai perawatan pasien dan ikut berperan serta
dalam penyediaan perawatan tersebut dengan berkolaborasi
dalam membuat rencana yang berfokus pada hasil dan
keputusan yang berhubungan dengan perawatan dan
pelayanan, mengindikasikan komunikasi dengan pasien,
keluarga dan yang lainnya.
45
terstruktur dan terintegrasi dalam penilaian dalam rencana
palliative care.
2. Semua perawat harus mampu merujuk pasien dan keluarga
pada kondisi yang serius dengan menghadirkan rohaniawan,
pendeta jika diperlukan (Ferrell et al., 2007; Ferrell, 2015).
47
2. Membantu pasien dalam membuat advance care planning
3. Pengobatan penyakit penyerta dari aspek sosial yang muncul
4. Tata laksana gejala
5. Dukungan psikologis, kultural dan sosial
6. Respons pada fase terminal : memberikan tindakan sesuai
wasiat atau keputusan keluarga bila wasiat belum dibuat.
7. Pelayanan terhadap pasien dan keluarga termasuk persiapan
duka cita (KEMENKES, 2013).
48
BAB ASPEK LEGAL
4
KEPERAWATAN
PALIATIF DI INDONESIA
DAN DUNIA
49
Aspek legal keperawatan paliatif adalah aspek aturan
dalam memberikan perawatan paliatif sesuai lingkup
wewenang dan tanggung termasuk hak dan kewajiban.
50
Aspek legal keperawatan paliatif di Indonesia tertuang
pada :
1. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Republik
Indonesia Nomor 0588/YM/RSKS/SK/VI/1992
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
0588/YM/RSKS/SK/VI/1992 tentang Proyek Panduan
Pelaksanaan Paliatif dan Bebas Nyeri Kanker. Hal ini
berdasarkan pada ruang lingkup dari perawatan paliatif
yang pada saat itu hanya diberikan kepada pasien kanker.
52
sendiri memiliki kapasitas hukum. Pasien harus diberikan
waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan
kerabatnya. Jika pasien tidak berhak secara hukum,
keluarga terdekat akan memenuhi syarat secara hukum
atas nama pasien. Tim perawatan paliatif harus mencoba
untuk mendapatkan pesan atau pernyataan dari pasien
tentang apa yang harus atau tidak boleh mereka lakukan.
Pesan tersebut dapat menentukan tindakan yang dapat
dan tidak dapat diambil, atau menyebutkan nama
seseorang untuk mewakili nanti dalam membuat
keputusan jika terjadi ketidakmampuan. Pernyataan ini
ditulis dan berfungsi sebagai panduan utama untuk tim
perawatan paliatif. Dalam keadaan darurat, mungkin
demi kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif
dapat mengambil langkah-langkah medis yang
diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada
kesempatan pertama.
b. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif
Keputusan untuk memberikan CPR dapat dibuat
oleh pasien yang kompeten atau tim perawatan paliatif.
Informasi ini harus diberikan ketika pasien memasuki
atau memulai perawatan paliatif. Pasien yang memenuhi
syarat memiliki hak untuk menolak resusitasi selama
mereka memahami informasi yang tepat yang diperlukan
untuk membuat keputusan. Keputusan tersebut dapat
berbentuk pemberitahuan (living will) atau informed
consent sebelum dia menjadi lumpuh. Sebagai aturan
umum, keluarga tidak boleh membuat keputusan untuk
tidak menjalani resusitasi kecuali diarahkan oleh surat
wasiat hidup. Namun, dalam keadaan tertentu,
permintaan tertulis untuk perintah ratifikasi pengadilan
dapat dilakukan oleh kerabat mana pun berdasarkan
pertimbangan tertentu yang masuk akal dan wajar. Tim
perawatan paliatif dapat memutuskan untuk tidak
melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di
53
area ini. Artinya, ketika pasien sakit parah dan resusitasi
tidak diketahui dapat menyembuhkan atau
meningkatkan kualitas hidup berdasarkan pengetahuan
ilmiah saat ini.
c. Perawatan pasien paliatif di ICU
Perawatan paliatif pasien di unit perawatan intensif
pada dasarnya mengikuti aturan umum di atas. Dalam
manajemen akhir kehidupan, tim perawatan paliatif harus
mengikuti pedoman untuk menentukan kematian batang
otak dan penghentian peralatan life-supporting.
d. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien
paliatif
Tim perawatan paliatif bekerja di bawah arahan
direktur rumah sakit bahkan ketika merawat pasien di
rumah. Pada prinsipnya kegiatan medis harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan, namun dengan pertimbangan
keselamatan pasien, beberapa kegiatan dapat
didelegasikan kepada tenaga kesehatan selain dokter
terlatih. Komunikasi antara pelaksana dan pembuat
kebijakan harus dijaga.
Persetujuan Tindakan
Yang bertanda tangan di bawah ini , saya, nama………,
umur…Laki-laki/perempuan, No KTP…………………….
Dengan ini menyatakan persetujuan untuk dilakukan
tindakan……Terhadap saya/…………saya bernama…….
Umur……laki-laki/perempuan, No KTP………………….
Saya memahami perlunya dan manfaat tindakan tersebut
sebagaimana telah dijelaskan kepada saya termasuk
resiko/komplikasi yang mungkin terjadi. Saya menyadari
bahwa ilmu kedokteran bukan ilmu pasti. Jika terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan saya tidak akan menuntut.
Jakarta,……………………………………jam……….
(………………………..) (…………..………………)
55
Salah satu indikator mutu manajemen perawatan paliatif
pasien kanker berdasarkan dokumentasi di rekam medis rumah
sakit di Indonesia yaitu aplikasi dari aspek legal misalnya
menginformasikan persetujuan untuk prosedur diagnostik
(Effendy, 2015). Selain hal tersebut, istilah euthanasia juga tidak
asing di Indonesia.
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah
sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal
344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan
bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-
pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan
memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan euthanasia.
Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara
kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapa
pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat
oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa :
Euthanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat
ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga
saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.”
57
perawatan paliatif terbanyak dibanding Negara lainnya di
regional Asia adalah Hong Kong.
Pada tahun 1992, perawatan paliatif telah dimulai di
Malaysia yaitu sekitar 20 rumah sakit milik pemerintah telah
membuka layanan perawatan paliatif rawat inap dan Sekitar 90
organisasi yang telah menyediakan perawatan paliatif. Dari
tahun ke tahun semakin bertambah yaitu tercatat sekitar 48
rumah sakit milik pemerintah membentuk tim perawatan
paliatif dan menyediakan layanan perawatan paliatif rawat inap
hingga tahun 2001. Pada akhirnya di tahun 2006, kementerian
kesehatan Malaysia menjadikan pelayanan perawatan paliatif
ini sebagai spesialisasi dalam bidang kedokteran.
Perawatan paliatif mulai dikenal di Thailand sekitar tahun
1980 an yang hanya berfokus pada penanganan nyeri.
Selanjutnya di tahun 1990an dikembangkanlah pelayanan
paliatif dengan membentuk kelompok komunitas untuk
mendukung pelaksanaan program tersebut. Kebutuhan paliatif
semakin meningkat di Negara ini sejalan dengan meningkatnya
kasus HIV/AIDS baik dewasa maupun anak-anak. Tercatat
sekitar 13 organisasi menyediakan pelayanan paliatif,
diantaranya ada satu organisasi keagamaan juga terlibat dalam
menyediakan pelayanan perawatan paliatif di Pura Wat Phrabat
Nampu.
Pada tahun 1980an juga, pelayanan paliatif baru mulai
dikenal di Filipina. Sekitar 34 organisasi terlibat dalam
pelaksanaan pelayanan perawatan paliatif. Pada tahun 1990,
program tersebut mulai berkembang diawali dengan program
penanganan nyeri pada pasien kanker. Setahun kemudian,
dibentuklah program rumah perawatan paliatif oleh Himpunan
Kanker Filipina yang mendukung organisasi-organisasi yang
tertarik untuk melaksanakan perawatan paliatif. Semakin
bertambah sekitar 30 organisasi yang terlibat dalam program
tersebut di tahun 1998.
Sekitar tahun 1986 perawatan paliatif mulai dikenal di
Singapura yaitu di rumah hospis St Joseph yang menyediakan
58
16 tempat tidur khusus pasien lanjut usia. Setahun kemudian
terbentuklah “Hospice Care Group” oleh kelompok relawan
yang menyediakan layanan hospis di bawah pengelolaan
himpunan kanker Singapura. Selain itu terdapat Rumah Asisi
yang merupakan rumah hospice dengan kapasitas 50 tempat
tidur, hospis tersebut melayani pasien dengan penyakit kronis
dan 12 tempat tidur di antaranya diperuntukkan pada pasien
kondisi terminal dan menjelang ajal pada tahun 1988.
Pembahasan tentang euthanasia juga bagian dari
perawatan paliatif. Menurut KNMG (Ikatan Dokter Belanda):
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup pasien, atau tindakan sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien, dan bahkan untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu
secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat
dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari
individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
1. Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara
sadar menginginkan kematian.
2. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak
mampu untuk menyetujui karena faktor umur,
ketidakmampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus
ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman
untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif
(koma).
3. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah
satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang
individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh
dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak
harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter
terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai
‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat,
kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
59
4. Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif
menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan
tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini
adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania
Raya dan Indonesia. Euthanasia pasif menjabarkan kasus
ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan
medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian
nutrisi, air, dan ventilator.
60
asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang
Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam
Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian
ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern
Territory di Australia. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal
yaitu polling (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang
Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
61
BAB
PRINSIP PERAWATAN
5
PALIATIF DAN
MANAJEMEN NYERI
A. Pendahuluan
64
fisioterapis sosial medis, dan lain-lain sesuai dengan
kebutuhan pasien dan keluarga.
65
nilai-nilai kasih sayang serta komitmen untuk merawat
orang-orang yang berada dalam situasi yang rapuh.
66
4. Pengembangan profesi dan dukungan sosial untuk
perawatan paliatif (Ningsih, 2011).
Penyuluhan pada masyarakat tentang kesadaran akan
kebutuhan perawatan untuk pasien dan nilai perawatan
paliatif serta usaha untuk mempersiapkan serta memperbaiki
hambatan secara ekonomi. Perawatan paliatif merupakan
area kekhususan karena sejumlah klien meninggal serta
kebutuhannya akan perawatan paliatif lebih ke pemberian
jangka panjang, perawatan yang dibutuhkan tidak hanya
kebutuhan fisik klien tetapi juga kebutuhan, emosi,
pendidikan dan kebutuhan sosial, serta keluarganya.
67
perawatan paliatif juga ditekankan pada prinsip komunikasi
yang baik antara pasien dan keluarga, sehingga adanya
keterbukaan antara pasien dan perawat pada saat
berkomunikasi, terkait dengan informasi tentang penyakit yang
diderita pasien. Selain komunikasi dan perilaku caring, proses
perawatan juga penting untuk perawatan paliatif, karena
munculnya keluhan tambahan terkadang disebabkan oleh
tindakan yang bersifat aktif atau mengabaikan proses perawatan
dengan tidak memperhatikan dan mengobservasi pasien dengan
baik.
68
Terdapat dua definisi perihal nyeri. Pertama, bahwa
persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul
adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).
Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut,
penyebabnya biasanya diketahui, dapat terjadi pada pasca
operasi, trauma, proses penyakit sebelumnya dengan durasi
relatif pendek, dan bila penyebabnya dihilangkan maka nyeri
juga akan sembuh sendirinya. Nyeri ini lebih dikenal dengan
sebutan “simtomatik”.
Nyeri akut dibagi sebagai berikut:
1. Pertama, nyeri yang muncul pada pasien, di mana
sebelumnya tidak ada nyeri kronik. Untuk pasien dengan
nyeri akut tipe ini, pengobatan ditujukan terhadap nyeri dan
penyebabnya.
2. Nyeri yang datang tiba-tiba pada pasien yang sebelumnya
sudah menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak
berhubungan dengan nyeri kronik. Misalnya, pasien dengan
nyeri kanker yang diderita selama ini, kemudian menderita
patah tulang tanpa berhubungan dengan kankernya, dan
mengalami nyeri. Keadaan seperti ini selain pengobatan
untuk nyeri yang lama, perlu ditambahkan analgetik yang
sesuai untuk patah tulang;
3. Nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik yang
selama ini diderita oleh pasien. Misalnya: seorang pasien
dengan nyeri kanker kronik dan mengalami nyeri patah
tulang karena memberatnya penyakit. Oleh karena itu,
kecemasan sangat mempengaruhi intensitas nyeri. Untuk
kasus seperti ini, terapi ditujukan untuk menurunkan
kecemasan yang dapat berupa dukungan emosional.
69
rematoid artritis, osteoartritis, nyeri tulang belakang, nyeri bahu,
kanker, nyeri tetap terjadi meskipun telah terjadi penyembuhan
jaringan dalam waktu > 3 bulan, durasi panjang, dan nyeri ini
lebih dikenal dengan “penyakit”.
Tujuan penanganan nyeri pada nyeri kronik adalah
mengontrol nyeri, bukan menyembuhkan nyeri. Nyeri kronik
dapat berupa:
1. Persistent pain/nyeri persistent: nyeri yang tetap terjadi
dalam 12 jam atau lebih setiap harinya; dan
2. Breakthrough pain: bangkitan nyeri tiba-tiba yang terjadi pada
periode pengobatan di mana nyeri sebelumnya sudah dalam
keadaan terkontrol, biasanya berupa serangan nyeri yang
terjadi dalam 3 menit dan bisa bertahan sampai 30 menit atau
lebih.
70
keuntungan antara lain pasien merasa nyaman sehingga
meningkatkan kepuasan pasien, mobilisasi bisa lebih dini,
menurunkan risiko deep vein thrombosis, pemulihan lebih cepat,
dan pada akhirnya akan mengurangi biaya perawatan.
Pemahaman akan mekanisme nyeri yang baik dapat
meningkatkan kualitas penanganan terhadap nyeri.
Nyeri kronis merupakan masalah yang paling utama
dalam perawatan paliatif yang bersifat komprehensif. Nyeri
kronis memerlukan pendekatan yang bersifat multidisiplin.
Secara umum nyeri diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme fisiologis (somatik, visceral, dan neuropatik) dan
pola temporal (akut dan kronis). Nyeri somatik dapat timbul
melalui aktivitas serabut saraf nosiseptif akibat terjadinya
kerusakan jaringan secara fisik, kimia. Nyeri visceral disebabkan
karena tekanan proses termal baik suhu yang panas maupun
dingin, dan nyeri neuropatik dilakukan berdasarkan jenisnya
(Lowey, 2015).
Secara neurofisiologi, nyeri dapat dibagi atas nyeri
nosiseptif dan nyeri non-nosiseptik.
1. Nyeri nosiseptik
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh
aktivitas nosiseptor baik pada serabut ∝-delta maupun
serabut-c, oleh stimulus-stimulus mekanis, termal maupun
kimiawi. Nyeri nosiseptik dapat dibagi atas nyeri somatik
dan nyeri viseral.
a. Nyeri somatik
Nyeri somatik bersifat tumpul, lokasinya jelas
berhubungan dengan lesi, contoh nyeri somatik adalah
nyeri muskuloskeletal, nyeri artritis, nyeri pasca bedah
dan metastasis.
b. Nyeri viseral
Nyeri viseral berhubungan dengan distensi organ
yang berongga, lokasinya sulit dideskripsikan, bersifat
dalam, seperti diremas, dan disertai kram. Nyeri ini
71
biasanya berhubungan dengan gejala-gejala autonom,
seperti nausea, vomitus dan diaforesis. Sering kali nyeri
viseral disertai penjalaran (referred pain).
2. Nyeri non-nosiseptif
Nyeri non-nosiseptif tidak berhubungan dengan
nosiseptor, yang dapat dibagi atas nyeri neuropatik dan nyeri
psikogenik.
a. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik disebabkan trauma neural atau
iritasi saraf. Misalnya neuralgia trigeminal, neuralgia
postherpetic dan neuropati perifer.
b. Nyeri psikogenik
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak
berhubungan dengan nyeri nosiseptif maupun nyeri
neuropatik dan disertai dengan gejala-gejala psikis yang
nyata. Seringkali disebut juga sebagai nyeri somatoform,
nyeri idiopatik, nyeri atypical. Secara psiko-fisiopatología,
nyeri psikogenik dapat langsung berhubungan dengan
pusat persepsi nyeri tanpa melalui jalur normal pada
umumnya
72
c. obat-obatan yaitu acetaminophen, anti inflamasi, trisiklik
antidepresan, dan obat anti epilepsi;
d. Mengatasi sindrom nyeri somatik dan nyeri neuropatik.
2. Tahap kedua
Bila pasien masih merasakan nyeri, walaupun sudah
mendapatkan pengobatan pada tahap pertama, maka
penggunaan obat opioid golongan lemah seperti codein
dapat digunakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan
yaitu:
a. Sindrom nyeri telah diidentifikasi;
b. Nyeri derajat sedang dengan skala 4-6;
c. Menggunakan obat opioid lemah, NSAID, TCA, AED;
d. Dapat dilakukan pada berbagai jenis nyeri.
3. Tahap ketiga
Pada tahap tiga ini jika pasien masih tetap dirasakan
oleh pasien walaupun sudah diberikan obat-obatan analgetik
pada tahap kedua, maka pemberian opioid golongan keras
atau kuat seperti morfin mulai dapat diberikan. Untuk dosis
pemberian obat opioid golongan kuat dapat dititrasi dari
dosis yang paling rendah ke dosis lebih tinggi secara
bertahap dan sesuai dengan respon nyeri dari pasien. Hal-hal
yang harus diperhatikan terkait dengan pemberian analgetik
pada tahap tiga yaitu:
a. Sindrom nyeri telah diidentifikasi;
b. Nyeri derajat berat dengan skala 7-10;
c. Obat yang digunakan opioid kuat (morpin) ditambah obat
golongan NSAID, TCA, dan AED serta obat golongan
lainnya;
d. Respon yang diberikan rata-rata baik dengan tingkat
presentasi sekitar 80-90%.
73
1. Medikamentosa
Analgetik: NSAID, non opioid, opioid, adjuvant
(kortikosteroid, antidepresan, anti epilepsi, relaksan otot,
antispasmodik).
2. Non Medikamentosa
a. Fisik: kompres dingin dan hangat, transcutaneous electrical
stimulation (TENS).
b. Interupsi terhadap mekanisme nyeri: anestesi, neurolisis,
dan neurosurgery.
c. Modifikasi lingkungan dan gaya hidup: hindari aktivitas
yang memacu atau memperberat nyeri, immobilisasi
bagian yang sakit dengan alat.
d. Psikologis: penjelasan untuk mengurangi dampak
psikologis.
e. Relaksasi, cognitive behavioural therapy, psychodynamic
therapy.
75
BAB PERAN PERAWAT DALAM
6
ASUHAN KEPERAWATAN
PALIATIF DAN MENJELANG
AJAL
A. Pendahuluan
77
Peran perawat diperkenalkan untuk memberikan
perawatan langsung kepada pasien dengan kebutuhan yang
kompleks sesuai dengan masalah-masalah klinis yang
didapatkan oleh perawat yang terampil di lahan praktek.
Masalah-masalah klinis yang diperoleh dari pasien didapatkan
melalui pengkajian baik secara objektif maupun secara subjektif,
yang selanjutnya didapatkan masalah prioritas dan rencana
keperawatan dapat disusun serta diimplementasikan. Sehingga
aktivitas ini menjadi bagian dari peran klinis sebagai seorang
perawat. Perawatan yang diberikan oleh seorang perawat klinis
dapat berupa upaya-upaya seperti peningkatan
kesehatan/promotif, perlindungan/preventif, pengobatan/
kuratif baik itu di komunitas maupun secara individu. Hal ini
sesuai dengan pernyataan oleh ANA (American Nursing
Association) bahwa keperawatan itu adalah perlindungan,
promosi dan optimalisasi kesehatan serta kemampuan,
pencegahan penyakit/cedera, pengurangan penderitaan melalui
diagnosis dan pengobatan respons manusia dan advokasi baik
pada individu, keluarga, dan komunitas (Thomas, Mcintosh and
Mensik, 2016; Stewart and DeNisco, 2019).
Konsep peran klinis perawat memiliki implikasi dalam
praktek keperawatan. Peran klinis ini ditunjukkan sebagai
proses interaksi yang kompleks antara perawat dan pasien
melalui proses berpikir kritis, pengalaman yang terinformasi
serta rasa otonomi. Pengetahuan tentang peran klinis perawat
yang berkaitan dengan kompetensi dapat berkontribusi
terhadap dimensi yang terlibat dalam praktek keperawatan
termasuk tentang kebijakan kesehatan. Karakteristik yang
mendasar dari peran klinis perawat adalah adanya ruang
interaksi antara pasien dan perawat baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat (Mendes, Cruz and Angelo, 2017).
Proses interaksi ini terjadi melalui proses keperawatan yang
dilakukan oleh perawat dalam asuhan keperawatan terhadap
pasien secara holistis.
78
Peran klinis perawat adalah proses interaksi yang
kompleks antara perawat dan klien. Untuk meningkatkan peran
klinis perawat harus mempengaruhi kinerja peran. Nilai praktis
dari pengetahuan yang lebih besar mengenai peran klinis yang
dimainkan perawat dalam praktik sehari-hari tidak dapat
diremehkan sebab manusia sebagai subjek mampu membangun
dan merekonstruksi pengalaman sosialnya melalui
pembelajaran. Analisis peran yang dilakukan memberikan
kesempatan untuk mempertimbangkan bentuk standar yang
berbeda dari perilaku kehidupan nyata yang kompleks, yang
mencakup posisi sosial dan pembagian kerja. Analisis konsep
peran klinis juga dapat digunakan untuk meningkatkan
manajemen dan efektivitas pelayanan keperawatan profesional.
Sehingga konsep peran klinis perawat dapat berkontribusi
untuk merefleksikan dimensi yang terlibat dalam praktik
keperawatan (Mendes, Cruz and Angelo, 2017).
80
2. Mengkomunikasikan segala kebutuhan dan status pasien
kepada tim/anggota
3. Mendukung partisipasi pasien dan keluarga dalam
pengambilan keputusan
4. Advokat untuk pasien dan keluarga
5. Mengatur lingkungan pasien untuk meminimalkan
kehilangan kendali
6. Merencanakan dan mengimplementasikan intervensi
keperawatan paliatif bersama dengan disiplin lain
7. Mendidik pasien dan keluarga tentang perjalanan penyakit
serta intervensi
8. Memberikan dukungan psikososial
81
Secara global, APN (Advanced Practice Nursing) yang
professional terbagi menjadi 2 bagian (Kidner, 2022) yaitu :
1. Perawat praktis (Nurse Practitioners/NPs).
Perawat ini telah menguasai kemajuan praktek
keperawatan, mampu mendiagnosis, membuat resep serta
merujuk pasien.
2. Perawat klinis spesialis (Clinical Nurse Specialists/CNSs).
Perawat ini merupakan perawat ahli atau expert yang
memberikan asuhan keperawatan berkualitas tinggi pada
pasien serta mempromosikan perawatan dan kinerja dalam
tim keperawatan. Perawat ini memiliki jenjang pendidikan
tingkat tinggi, mampu menghubungkan antara teori dan
praktek serta memberikan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti (Evidence Based Practice) yang berstandar tinggi
(Aitken, 2009). National Association of Clinical Nurse Specialists
2019 menjelaskan bahwa perawatan paliatif dan penyakit
kanker termasuk bagian dari jenis perawatan khusus yang
diberikan oleh perawat klinik spesialis dalam asuhan
keperawatan (Fulton and Holly, 2021).
84
pasien dalam berbagai situasi atau kondisi. Sebagai seorang
ahli klinis dan manajer kasus serta kondisi pasien yang
kompleks, maka perawat klinis spesialis ini berada pada
posisi yang ideal untuk mengambil peran sebagai pendidik,
membantu pasien dan keluarga untuk bisa memahami
penyakitnya (Aitken, 2009).
5. Pemimpin (Leader)
Spesialis perawat klinis memiliki tanggung jawab
terhadap inovasi dan perubahan dalam lingkup praktek dan
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan
tindakan perawatan untuk pasien. Peran dari seorang
pemimpin diantaranya adalah mengembangkan konsep
perawatan yang berbasis bukti (Evidence Based Practice) serta
memeriksa dan mengevaluasi praktek yang sedang
berlangsung.
Keterampilan sebagai pemimpin yang spesialis akan
ditunjukkan saat merawat pasien dengan kebutuhan yang
kompleks serta proses penyelesaian masalah secara klinis
baik melalui perawatan langsung maupun dengan
mengawasi dan mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan
juga menuntut keterampilan organisasi yang sangat baik dan
otoritas untuk membimbing secara profesional jika
diperlukan. Sebagai ahli dalam perawatan pasien, perawat
klinis spesialis dapat merencanakan perawatan yang
berkualitas, dan untuk mencapai hal tersebut dilakukan
melalui penerapan perannya sebagai seorang pemimpin.
Peran perawat klinis spesialis cukup kompleks dan
beragam serta harus tetap fleksibel untuk memenuhi segala
tuntutan kebutuhan pasien, staf perawat, tim kesehatan lain
yang profesional dan organisasi tempat kerja. Namun lebih
lanjut dari peran ini sangat diperlukan dimasa yang akan
datang, khususnya yang berkaitan dengan persyaratan
pendidikan serta gambaran khusus dari pekerjaan yang
memungkinkan untuk berkembang dan secara positif dapat
85
mempengaruhi perawatan pasien baik di RS maupun
lingkungan masyarakat (Aitken, 2009).
86
BAB KOMUNIKASI PADA
7
KERAWATAN PALIATIF DAN
TEKHNIK
PENYAMPAIAN BERITA
BURUK
A. Pengertian Komunikasi
B. Prinsip Komunikasi
87
b. Beritahu (Tell). Beritahu tentang Informasi diberikan
dalam jangka pendek, informasi jangan lebih dari 3 hal
dalam satu waktu dan hindari kata-kata medis.
c. Tanya (Ask). Meminta pasien/keluarga menyatakan
kembali apa yang telah disampaikan dengan
menggunakan bahasa mereka sendiri.
2. Tell Me More
Menggunakan pertanyaan yang terfokus agar
mendapatkan informasi yang diperlukan dari pasien atau
keluarga.
3. Teknik “refleksi”
a. Menyatakan kembali apa yang telah disampaikan
keluarga atau menerka apa yang dimaksud oleh keluarga
1) Refleksi sederhana
2) Refleksi kompleks
b. Fungsi pernyataan reflektif
1) Menunjukkan empati
2) Keluarga mengambil control atas pembicaraan
3) Keluarga menentukan arah pembicaraan
88
S= Supporting Kami akan terus mendampingi
dan memberikan saran kepada
anda
E= Exploring Bisakah diceritakan apa yang
anda pikirkan/rasakan saat ini ?
89
C. Kesulitan Dalam Komunikasi Paliatif
90
3. Hambatan masyarakat dalam berkomunikasi
Harapan untuk sembuh dan kurangnya kepercayaan
terhadap profesi medis/ tenaga kesehatan dapat
berpengaruh secara signifikan. Dalam masyarakat kematian
terjadi di rumah sakit lebih sering. Semakin banyak orang
tidak bersedia menyaksikan kematian seseorang anggota
keluarganya (Arumsari et al., 2016).
D. Komunikasi Interprofesional
91
masing-masing profesi dalam pengambilan keputusan
perawatan, terlibat dalam secara sistematis dalam tindakan
penyelesaian masalah pasien. Komunikasi interprofesional
terdiri dari (Triana, 2018) :
1. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan
antar profesi kesehatan
2. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif
antara petugas kesehatan berbeda profesi.
3. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi
kesehatan lain
4. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan
keselamatan pasien bila dilakukan individu ataupun
kelompok profesi kesehatan yang berbeda.
5. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja
dengan profesi kesehatan lain.
6. Mampu berkomunikasi dengan profesi kesehatan lain
terkait proses pengobatan (alternatif/tradisional), serta
informasi yang bersifat komplementer dalam memilih
pengobatan.
7. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar
profesi kesehatan sesuai dengan tugas, peran dan fungsi
profesi masing-masing
8. Negosiasi merupakan kemampuan dalam mencapai
persetujuan bersama antara profesi kesehatan mengenai
masalah kesehatan pasien
9. Kolaborasi merupakan kemampuan dalam bekerja sama
dengan petugas kesehatan dari profesi yang lain untuk
menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
10. Memahami keunikan masing-masing profesi
11. Mendengarkan ide-ide dan opini dari masing-masing
profesi
12. Saling memberikan umpan balik konstruktif masing-
masing anggota tim.
92
E. Definisi Berita Buruk
93
3. Kemungkinan penghambatan tidak memiliki pengalaman
pribadi.
4. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien
yang ada.
5. Takut mengganggu peran keluarga ada pasien atau
struktur.
6. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien.
7. Takut implikasi pasien misalnya, cacat, sakit, social, dan
kerugian keuangan.
8. Takut terhadap reaksi emosional pasien.
9. Ketidakpastian tentang apa yang mungkin terjadi
selanjutnya dan tidak memiliki jawaban atas beberapa
pertanyaan.
10. Kurang kejelasan peran seorang pelayan kesehatan
94
2) Perkenalkan diri
Yang harus dihindari adalah nervous di
hadapan pasien, bahkan sebelum menyampaikan
kabar buruk. Tips yang perlu dilakukan menyiapkan
tissue di saku, untuk diberikan pada pasien atau
keluarga bila menangis.
3) Privasi pasien
Penyampaian kabar buruk tidak boleh
dilakukan ditempat yang ramai atau banyak orang.
Hendaknya dilakukan di tempat tenang yang tertutup
seperti kamar praktek ataupun dengan menutup tirai
di sekeliling tempat tidur pasien
4) Libatkan pendamping
Untuk menghindari kesan kurang baik yang
dapat muncul bila pasien dan dokter berada di tempat
tertutup (untuk menjaga privasi), diperlukan satu
pendamping. Yang dapat menjadi pendamping:
a) Keluarga terdekat pasien satu saja, apabila terlalu
banyak dapat menyulitkan dokter, perawat atau
tenaga kesehatan lain dalam menangani emosi dan
persepsi banyak orang sekaligus
b) Perawat atau ko ass serta profesi ners yang ikut
terlibat dalam perawatan pasien
5) Posisi duduk
Posisi pasien dan dokter sebaiknya setara.
Dokter menyampaikan kabar buruk dalam posisi
duduk. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kesan
bahwa dokter berkuasa atas pasien dan memojokkan
pasien. Sebaiknya, penghalang fisik seperti meja,
dihindari. Duduk di sofa jika ada lebih baik.
6) Listening mode: ON
Sebelum menyampaikan kabar buruk,
hendaknya mempersiapkan kemampuan
‘mendengar’, secara prinsip meliputi:
95
a) Silence : Jangan memotong kata-kata pasien
ataupun berbicara tumpang tindih dengan pasien
b) Repetition : Ulangi kata-kata pasien atau berikan
tanggapan, untuk menunjukkan pemahaman
terhadap apa yang ingin disampaikan pasien
c) Availability : Dokter atau tenaga kesehatan harus
ada di tempat mulai awal hingga akhir
penyampaian kabar buruk. Jangan sampai ada
gangguan berupa interupsi, seperti ada komunikasi
via whatsapp, jika ada tamu minta bantuan pada
perawat untuk mengatasi tamu yang mungkin
datang.
b. Patient’s Perception
Sebelum menyampaikan kabar buruk, hendaknya
dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain mengetahui
persepsi pasien terhadap:
1) Kondisi medis dirinya sendiri
Tanyakan sejauh mana informasi yang pasien
tahu terkait penyakitnya serta kemungkinan terburuk
yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut
2) Harapannya terhadap hasil medikasi yang ia tempuh
Tanyakan perkiraan pasien terhadap hasil
medikasi.
Tujuannya adalah untuk mengetahui kedua
aspek tersebut bukan semata-mata untuk mengubah
persepsi pasien untuk sesuai kenyataan, melainkan
sebagai jalan untuk menilai kesenjangan antara
persepsi dan harapan pasien dengan kenyataan
sebagai pertimbangan penyampaian kabar buruk
supaya tidak terlalu membuat pasien terguncang.
96
c. Invitation to share Information
Tahap selanjutnya adalah mencari tahu seberapa
besar keinginan tahu pasien, orang tua (jika pasien anak)
atau keluarga. Penerimaan informasi setiap orang dapat
berbeda tergantung suku, agama, ras, sosial dan budaya
masing-masing. Setiap orang mempunyai hak untuk
menolak atau menerima informasi lebih lanjut. Jika pasien
menunjukkan tanda tidak menginginkan informasi yang
lebih detail, maka petugas kesehatan harus menghormati
keinginannya dan menanyakan pada siapa informasi
sebaiknya diberikan.
1) Tanyakan apakah pasien ingin tahu perkembangan
mengenai keadaannya atau tidak. Apabila pasien
menyatakan diri belum siap, pertimbangkan untuk
menyampaikan di waktu lain yang lebih tepat dan
minta pasien untuk mempersiapkan diri terlebih
dahulu
2) Apabila pasien menyatakan ingin tahu perkembangan
mengenai keadaannya, tanyakan sejauh mana ia ingin
tahu, secara umum ataukah mendetail.
Sering keluarga pasien meminta petugas medis
untuk tidak menyampaikan pada pasien diagnosis
atau informasi penting lainnya. Sementara petugas
medis mempunyai kewajiban secara hukum untuk
memberikan inform consent pada pasien dan disisi
lain hubungan terapetik yang efektif juga
membutuhkan kerjasama dengan keluarga. Maka jika
keluarga meminta demikian, tanyakan mengapa
mereka tidak menginginkan petugas medis
memberikan informasi pada pasien, apa yang mereka
takutkan akan apa yang petugas kesehatan sampaikan,
dan apa pengalaman mereka tentang berita buruk.
Sarankan bahwa petugas kesehatan bersama keluarga
menemui pasien dan menanyakan apakah pasien ingin
97
informasi mengenai kesehatannya dan apa pertanyaan
yang mungkin diajukan.
98
dirasakan pasien saat ini adalah sesuatu yang dapat
dimaklumi’.
2. Metode PACIENTE
Strategi menyampaikan berita buruk dengan protokol
PACIENTE menurut Pereira et al. (2017) antara lain :
a. P – Prepare
Siapkan kesehatan profesional harus dipersiapkan
sebelum transmisi berita buruk tepat. Pertama, kebenaran
informasi yang akan diungkapkan harus dikonfirmasi
dengan berkonsultasi dengan catatan medis. Hal ini juga
dianjurkan untuk berkonsultasi dengan literatur medis
agar kemungkinan keraguan untuk diselesaikan. Hal ini
diperlukan untuk mempersiapkan lingkungan dengan
benar, memastikan privasi total dan kenyamanan.
Sebaiknya, tidak boleh ada hambatan fisik yang berdiri di
antara dokter dan pasien. Profesional harus memastikan
bahwa tidak ada interupsi yang tidak terduga akan terjadi
selama komunikasi dan harus duduk pada ketinggian
yang sama dengan pasien.
99
b. A - Assess how much the patient knows and how much
they want to know
Menilai berapa banyak pasien tahu dan berapa
banyak mereka ingin tahu penting untuk menilai tingkat
pengetahuan pasien tentang diagnosis mereka. Demikian
pula, mempertanyakan tingkat informasi apa yang pasien
ingin terima saat ini, atau jika mereka benar tidak ingin
diberitahu tentang diagnosis mereka. Dalam hal ini,
pasien dapat menunjukkan seseorang yang mereka
percayai untuk menerima informasi atas nama mereka.
c. C - Invite the patient to the truth
Mengundang pasien untuk kebenaran dalam
langkah ini pasien diberitahu tentang adanya berita
buruk. Gunakan ungkapan seperti: "Maaf, tapi saya yakin
saya tidak punya kabar baik." Dengan demikian pasien
ditawarkan kemungkinan mengubah pikiran mereka
apakah mereka ingin diberitahu atau tidak. Dalam
beberapa situasi, pasien mungkin diam dan tidak terus
melampaui "mengundang pasien untuk kebenaran"
panggung. Sikap ini mungkin menunjukkan bahwa
pasien membutuhkan lebih banyak waktu untuk
memahami dan mengerjakan apa yang mereka
diberitahu.
d. I – Inform
Menginformasikan strategi terbaik adalah
menunggu waktu yang dibutuhkan oleh pasien dan
menawarkan ruang bagi mereka untuk "mengundang"
dokter, perawat atau tenaga kesehatan yang lain untuk
berbagi informasi dan bertanya secara langsung tentang
diagnosis, prognosis atau hasil. Informasi yang relevan
tentang keadaan kesehatan pasien kemudian dapat dibagi
pada jumlah yang cukup, kecepatan, dan kualitas, dan
pada jumlah yang diinginkan, sehingga pasien dapat
membuat keputusan tentang kehidupan mereka atau
menawarkan persetujuan yang diinformasikan tentang
100
pengobatan mereka. Hindari laporan yang tepat dari
prognosis, karena dokter cenderung untuk menaksir
harapan hidup. Menawarkan informasi dengan jelas dan
jujur, berusaha menjaga harapan pasien agar tetap
realistis dengan pilihan pengobatan. Jangan gunakan
eufemisme tetapi pilih kata kunci yang tepat, seperti
"kanker" dan "metastasis," menjelaskan signifikansi
mereka.
e. E – Emotions
Emosi setelah informasi tersebut terungkap, pasien
membutuhkan waktu untuk memahami dan bereaksi
terhadap berita buruk. Jauhkan jaringan di dekatnya.
Memungkinkan pasien untuk mengekspresikan diri.
Gunakan sentuhan sebagai bentuk komunikasi dan
kenyamanan. Memperjelas keraguan pasien, sehingga
mereka merasa diterima dan dilindungi.
f. N - Do not abandon the patient
Jangan meninggalkan pasien pastikan pasien Anda
akan menerima pemantauan medis. Buatlah komitmen
untuk tidak meninggalkan mereka, terlepas dari hasilnya.
g. T and E - Outline a strategy
Garis besar rencana strategi perawatan yang akan
ditawarkan dan pilihan pengobatan dengan pasien.
Sertakan perawatan interdisipliner dalam rencana, bila
memungkinkan. Permintaan pemantauan oleh dokter lain
yang dapat membantu dalam kontrol gejala.
101
BAB KEPERAWATAN PALIATIF
8
DALAM PERSPEKTIF
AGAMA DAN SPIRITUAL,
SOSIAL BUDAYA
A. Pendahuluan
103
tindakan medis. Padahal dengan usaha-usaha yang dilakukan
untuk mendukung atau membantu penderita, belum tentu
kondisi penderita akan menjadi lebih baik dan justru bisa
membuat penderita merasa tidak nyaman. (Witjaksono &
Maulina, 2016)
104
(2004) mengungkapkan tiga masalah spiritual utama yang
menjadi perhatian pasien, yaitu:
1. Mencari makna kehidupan dan identitas dalam pengalaman
penyakit
2. Mencari keterangan pikiran dan kebebasan dari rasa takut
akan kematian, dan
3. Mencari panduan (misal dari perawat atau dokter) untuk
membantu mereka memahami apa yang terjadi ketika
kematian semakin dekat.
105
1. Koneksi (agama dan kepercayaan yang dianut pasien titik
siapa atau komunitas apa yang ingin pasien Ingin dapatkan
dukungan nya. mengevaluasi Bagaimana kondisi sakit
mempengaruhi pasien, hubungan pasien dengan orang lain,
dan bagaimana petugas dapat memberi dukungan).
2. Makna dan kebahagiaan (menilai apa yang paling penting
bagi pasien saat ini, Apa yang paling disyukuri oleh pasien,
Apa yang dapat membahagiakan pasien, Apa hal yang paling
membanggakan pasien).
3. Kekuatan dan kenyamanan (adakah hal yang membuat
pasien nyaman saat ini, apa atau siapa yang menjadi sumber
kekuatan bagi pasien).
4. Harapan pasien (apakah harapan pasien saat ini, Adakah
masalah yang belum terselesaikan).
106
Masalah kesehatan yang sering muncul pada pasien
kanker meliputi masalah fisik dan masalah non fisik (Nuraeni, et
al., 2015). Diagnosis kanker dapat menyebabkan munculnya
perasaan takut, cemas, depresi, dan putus asa, dan dapat
menyebabkan keraguan dalam melakukan rencana-rencana
masa depan. Dalam menghadapi penyakit kritis, seperti kanker,
pasien memunculkan kebutuhan yang khusus, yang paling
penting adalah kebutuhan spiritual. Pasien-pasien ini
bergantung pada aspek spiritual, dan penyesuaian spiritual
adalah metode terkuat yang mereka gunakan untuk
menghadapi penyakitnya. Kecenderungan ke arah agama,
keyakinan, dan sumber-sumber spiritual dapat digunakan
sebagai pendekatan psikososial yang adaptif pasca diagnosis
(Simha,2013).
Menurut filosofi perawatan Florence Nightingale,
spiritualitas merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia
dan merupakan sumber terdalam dan terkuat untuk
penyembuhan. Karenanya, salah satu tanggung jawab perawat
adalah untuk memperhatikan dimensi spiritual dari perawatan
dan memberikan suasana yang menyembuhkan untuk pasien.
Sebagai bagian dari suatu perawatan holistik, penyedia layanan
perlu memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk
mendeteksi kebutuhan spiritual pasien dan memberikan
perawatan yang tidak sekedar memenuhi kebutuhan fisik;
karena ketika menghadapi diagnosis, perubahan status
penyakit, atau masalah-masalah pada akhir kehidupan, pasien
kanker dapat lebih berisiko mengalami stres spiritual.
Karenanya, perhatian terhadap kebutuhan spiritual merupakan
bagian yang diperlukan dari perawatan holistik dalam
keperawatan. Meskipun begitu, sebagian besar pasien tidak
menerima perawatan spiritual yang diperlukan oleh pelaku
rawat, dan respons terhadap kebutuhan spiritual pasien kanker
cenderung minimal atau terabaikan. Kegagalan untuk
memenuhi kebutuhan spiritual berhubungan dengan
107
penurunan kualitas perawatan, kepuasan pasien, dan kualitas
hidup (Hatamipour, 2015).
Pemahaman perawat tentang kebutuhan spiritual pasien
dapat mempengaruhi hubungan dan perawatan spiritual dari
pasien. Ketidakpastian dalam memahami konsep spiritualitas
dan tanggung jawab perawat yang ambigu untuk memberikan
perawatan spiritual dianggap sebagai suatu masalah etik.
Mengingat bahwa pengalaman pasien dan penyedia layanan
dapat berperan penting dalam menjelaskan perawatan spiritual
dalam keperawatan, dan karena mengenali kebutuhan spiritual
dianggap sebagai suatu unsur penting dalam memberikan
perawatan yang berbudaya, penting untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik kebutuhan
spiritual. Mempertimbangkan religiusitas, dimensi agama dapat
lebih penting dalam penilaian kesehatan spiritual, yang
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Menurut kode etik di
sebagian besar universitas, perawat diharapkan memberikan
perawatan berdasarkan kebutuhan fisik, psikologis, sosial
spiritual dan status pasien, dan berperan aktif dalam memenuhi
kebutuhan spiritual mereka.
Pendekatan spiritual dalam perawatan paliatif pada
pasien kanker yang sering digunakan dijelaskan sebagai berikut:
1. Meditasi
Meditasi secara umum dapat diartikan sebagai
pemikiran atau perenungan (contemplation) dan refleksi
(reflection). Kemungkinan seseorang melakukan meditasi
adalah ketika batin melakukan sesuatu yang dapat
merefleksikan diri dan belajar menentukan untuk apa tujuan
dan misi hidup sebenarnya. Terapi meditasi merupakan
salah satu teknik terapi yang dapat mempengaruhi tubuh
agar dapat berespon positif dan membuat tubuh menjadi
lebih tenang dan rileks. Serta bermanfaat untuk perbaikan
kesehatan, baik mental maupun fisik. Ketika relaksasi pikiran
akan terpusat sehingga pembuluh darah menjadi lebih elastis
dari sebelumnya. Pada kondisi tersebut sirkulasi darah lebih
108
lancar sehingga dapat merilekskan dan menghangatkan
tubuh, maka kerja jantung akan semakin ringan dan sangat
berpengaruh terhadap sistem kerja organ tubuh yang lain.
Meditasi biasanya berhubungan dengan kegiatan keagamaan
atau spiritual, namun banyak juga meditasi yang digunakan
dalam dunia medis tanpa adanya unsur keagamaan atau
spiritual. Dalam pendidikan islam meditasi dapat dilakukan
dengan cara berdzikir (Salsabila and Dahlan, 2020). Dzikir
menimbulkan efek relaksasi ketika dipadukan dengan
kalimat ritmis. Selain berdzikir, dengan melaksanakan shalat
5 waktu atau 17 rakaat dalam waktu satu hari. Melaksanakan
shalat 5 waktu dalam sehari sama dengan melaksanakan
aktivitas fisik dan psikis, yang di dalamnya terkandung
unsur bio-energi dan konsentrasi otot, gerakan otot-otot
dalam sholat merupakan proses relaksasi (Salsabila and
Dahlan, 2020).
2. Mendengarkan
Satu kebutuhan manusia yang penting adalah kontak
dengan orang lain. Hubungan dianggap sebagai dimensi
sosial dari kebutuhan spiritual, yang diekspresikan dalam
bentuk cinta, perasaan memiliki, dan kontak dengan orang
lain (Ketut and Ariani, 2017). Spiritualitas merupakan strategi
dukungan untuk mendapatkan harapan yang lebih besar
selama pengobatan. Harapan yang paling besar diinginkan
pasien kanker adalah dukungan dari kelompok dan pusat
pelayanan kesehatan dan selalu berkeinginan diajak untuk
berbicara dengan orang lain untuk mengatasi penyakit dan
kerasnya efek pengobatan (Yuliani et al., 2020). Pemenuhan
kebutuhan sosial berarti memberikan perlindungan dan
mengembangkan kemampuan penderita untuk menghadapi
kondisi yang penuh tekanan dan mampu menerima kondisi
kesehatannya. Dukungan sosial tidak hanya dari keluarga
namun juga berasal dari teman dan komunitas tertentu
(Maryatun, 2020). Selain dukungan dari orang lain dalam
bentuk komunikasi, mendengarkan music ternyata dapat
109
membuat kenyamanan bagi pasien. Terapi musik sangat
mudah diterima organ pendengaran penderita gangguan
mental dan kemudian melalui syaraf pendengaran
disalurkan ke bagian otak yang memproses emosi (sistem
limbik). Rangsangan suara yang terdiri dari ritme, harmoni,
timbre, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa
hingga tercipta terapi musik yang bermanfaat untuk
kesehatan tubuh dan mental. Ketika pasien mendengarkan
musik alam (Nature Instrumental Music), seperti desau
angin, air mengalir, cuitan (asli) burung, gemerisik daun,
atau suara alam lain, maka tubuh akan merespon dengan
melepaskan hormone dopamine dan hormone endorphin
(Direct and Schoolar, 2020)
3. Apresiasi
Bentuk dari apresiasi yang dapat dilakukan pasien
diantaranya motivasi baik dari diri sendiri maupun orang
lain, mendapatkan dan memberikan kasih sayang, peduli
dengan sesama, dan masih banyak hal lain positif dalam
bentuk dukungan untuk pasien. Pasien diharapkan
mengeluarkan kalimat positif, dan menghimbau kepada
pasien untuk menyebutkan kalimat positif setiap harinya.
Kalimat positif yang dilakukan oleh pasien disebut sebagai
Positive Self talk. Ketika seseorang menerapkan positive self
talk, maka rantai saraf akan mengeluarkan energy untuk
memunculkan suatu energy motivasi pada dirinya (Kim,
Keck, Miller, & Gonzalez, 2012; Land, Michalos, &
Sirgy,2012). Menciptakan struktur kalimat positif dapat
memicu respon fisik yang meningkatkan kekuatan.
Mengatakan, "Ya, saya bisa melakukan ini!" dapat membuat
kalimat terwujud dengan sendirinya. Pia Aravena dan rekan-
rekannya dari Institute of Cognitive Sciences di Perancis
baru-baru ini menemukan bahwa saat manusia melakukan
suatu pekerjaan dan menerapkan kalimat positif, maka akan
ada peningkatan energy dari dalam tubuh untuk
melaksanakannya, namun saat tidak diberikan kalimat
110
positif, maka energi tubuh pun tidak mengalami suatu
perubahan, begitu pula saat manusia tersebut menyebutkan
kalimat negatif, maka tubuh akan menunjukan adanya
penurunan energy (Anderson and Gustavson, 2016).
(Pendekatan Spiritual dalam Perawatan Paliatif pada Pasien
Kanker: Literatur Review, 2021)
111
dengan maksud baik. Apabila dukungan sosial yang diberikan
tidak sesuai, penderita bisa mengalami peningkatan ketegangan
dan stres (Christensen & Antoni, 2002). Selain itu, dukungan
sosial yang tidak efektif maupun aversif merendahkan self-
esteem dan dapat mengancam eksistensial individu (Revenson,
dalam Christensen & Antoni, 2002). Salah satu hal yang
menyebabkan masalah dan justru tidak membantu penderita
adalah apabila penderita menerima dukungan sosial yang
berlebihan (Helgeson, dalam Christensen & Antoni, 2002).
Dukungan sosial yang terlalu banyak dapat membuat penderita
merasa kompetensi dan kemandiriannya diremehkan.
Dukungan sosial yang berlebihan juga bisa mengganggu dan
merendahkan personal control penderita (Penninx, dalam
Christensen & Antoni, 2002).
Dukungan sosial yang diterima penderita bisa
memberikan dampak yang positif atau negatif. Muncul suatu
masalah apabila dukungan sosial yang seharusnya membantu
penderita, justru memberikan dampak yang negatif untuknya.
Dampak dari dukungan sosial tersebut bergantung pada
bagaimana penderita memaknai dukungan sosial yang
diterimanya atau yang disebut sebagai perceived social support.
Perceived social support penting untuk diketahui karena
keberhasilan suatu dukungan sosial bergantung pada
bagaimana penerima dukungan sosial memaknai proses
bagaimana dukungan tersebut memberikan dampak positif bagi
kesejahteraannya (Terry et al., dalam Chrishianie, 2014). Definisi
perceived social support yang diungkapkan oleh Duffy & Wong
(2003) dan Cohen (1992) adalah proses bagaimana individu
mengevaluasi dan memaknai dimensi dukungan sosial yang
tersedia dan apakah memadai untuknya ketika individu
membutuhkannya.
Dimensi dukungan sosial yang dimaksud adalah
emotional support, informational support, dan instrumental
support (House & Kahn, dalam Christensen & Antoni, 2002),
serta esteem support dan companionship support (Cohen &
112
Wills, dalam Orford, 1992). Berikut ini adalah uraian terkait
dimensi dukungan sosial secara fungsional, yaitu:
1. Emotional support merupakan bentuk dukungan berupa
komunikasi yang menunjukkan kasih sayang, pengertian,
cinta, dan perhatian. Selain itu berupa ketersediaan orang
lain untuk bisa diajak bicara terkait dengan masalahnya dan
bisa mendapatkan simpati (Willis & Ainette, dalam Ayers,
Baum, McManus, Newman, Wallston, Weinman, & West,
2007).
2. Informational support merupakan bentuk dukungan berupa
informasi, bimbingan, dan nasehat atau berupa suatu
kemampuan yang diajarkan kepada individu, sehingga bisa
membantu individu untuk mengatasi suatu masalah (House
dalam Orford, 1992).
3. Instrumental support merupakan bentuk dukungan berupa
bantuan atau bimbingan yang nyata di mana adanya
ketersediaan orang dalam memberikan suatu materi atau
pelayanan tertentu (Willis & Ainette, dalam Ayers, Baum,
McManus, Newman, Wallston, Weinman, & West, 2007).
Instrumental support diberikan untuk membantu individu
dalam mengatasi masalah-masalah praktis (Jacobson dalam
Orford, 1992).
4. Esteem support adalah bentuk informasi bahwa seseorang
dipandang baik dan diterima oleh orang lain. Hal tersebut
dilakukan dengan memberitahukan bahwa orang tersebut
dihargai dan diterima sekalipun dirinya melakukan suatu
kesalahan atau memiliki kekurangan.
5. Companionship support adalah bentuk dukungan yang
dilakukan dengan cara menghabiskan waktu dengan orang
lain dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang sifatnya
menghibur dan berekreasi. (Witjaksono & Maulina, 2016)
113
budaya negatif di etnis lainnya. Sehingga tidaklah
mengherankan jika permasalahan kesehatan di Indonesia begitu
kompleksnya.
Dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif
bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam kehidupan.
Sosial budaya seringkali dijadikan petunjuk dan tata cara
berperilaku dalam bermasyarakat, hal ini dapat berdampak
positif namun juga dapat berdampak negatif. Disinilah
kaitannya dengan kesehatan, ketika suatu tradisi yang telah
menjadi warisan turun temurun dalam sebuah masyarakat
namun ternyata tradisi tersebut memiliki dampak yang negatif
bagi derajat kesehatan masyarakatnya. Misalnya, cara
masyarakat memandang tentang konsep sehat dan sakit dan
persepsi masyarakat tentang penyebab terjadinya penyakit di
suatu masyarakat akan berbeda-beda tergantung dari
kebudayaan yang ada dalam masyarakat tersebut
Sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah
pandangan suatu masyarakat terhadap tindakan yang mereka
lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat
dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan
tumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya masyarakat yang
sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib
sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang
menderita demam atau diare berarti pertanda bahwa bayi
tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
sosial budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu individu
maupun kelompok. (Akbar Rosyid et al., n.d.)
114
BAB PENGKAJIAN
9
KEPERAWATAN
PALIATIF SECARA
HOLISTIK
A. Pendahuluan
115
Berikut diagram konseptualisasi dari domain perawatan
paliatif dan instrumen pengkajian perawatan paliatif(Hopkins,
2017).
116
Diagram konseptualisasi dari domain perawatan paliatif
dan instrumen pengkajian perawatan paliatif. Diadaptasi dari:
National consensus project for quality palliative care. clinical
practice guidelines for quality palliative care. Third edition 2015.
B. Pengkajian
1. Pengkajian Fisik
Perubahan fisik mungkin akan terjadi saat menjelang
kematian, diantaranya:
a. pasien cenderung kurang respon terhadap keadaan
b. melambatnya fungsi tubuh
c. pasien mulai tidak sengaja berkemih atau defekasi
d. jatuhnya rahang pasien
e. pernafasan pasien mulai terdengar dangkal, dan tidak
teratur
f. peredaran darah mulai terasa perlambatannya, dan teraba
dingin pada bagian ekstremitas, nadi semakin lemah
namun cepat.
g. pernafasan mulai tidak teratur dan terdengar dangkal
h. warna pucat pada kulit
i. mata membelalak serta mulai tidak menunjukkan respon
terhadap rangsangan cahaya (Rinawati, 2021).
117
b. Mutual Pretense/kesadaran/pengertian yang ditutupi.
Dalam keadaan ini, bisa dikatakan klien diberikan
kesempatan agar bisa membuat keputusan tentang semua
hal yang sifatnya pribadi meskipun itu menjadi hal yang
berat baginya
c. Open Awareness/sadar akan keadaan dan terbuka. Dalam
tahap ini, pasien dan orang disekitarnya sudah tahu
bahwa ajal sudah menjelang bagi pasien, dan mereka
berusaha untuk menerima serta mendiskusikannya
walaupun tetap merasa getir.
118
dengan dipasangkan drainase dari mulut serta pemberian
oksigen.
d. Aktifitas
Perlu diperhatikan apakah pasien masih bisa
beraktifitas untuk keperluan diri sendiri atau sudah
bergantung dengan orang lain. Kalau masih bergantung
dengan orang lain, perlu dilihat kembali apakah tingkat
ketergantungan pasien total atau sebagian.
Jika kondisi pasien memungkinkan, maka pasien
bisa mulai mobilisasi seperti: berusaha turun dari ranjang
tidur, mengganti posisi tidur agar mencegah terjadinya
dekubitus, dan hal ini dilakukan secara periodic. Bila
perlu, bisa menggunakan alat untuk menyangga tubuh
pasien, karena tonus otot sudah menurun.
e. Nutrisi
Acap kali pasien mengalami nausea dan anorexia
karena adanya penurunan gerakan peristaltic dalam
tubuhnya. Untuk mengatasi hal ini, pasien bisa diberikan
obat anti ametik untuk mengurangi mual yang dirasakan,
dan meningkatkan rangsangan nafsu makan serta
memberikan makanan dengan tingkat kalori tinggi.
f. Eliminasi
Adanya penurunan, atau bahkan kehilangan tonus
otot bisa membuat pasien mengalami konstipasi,
inkontinen feses dan urin.
Pemberian obat laxative bisa dikolaborasikan
untuk mencegah terjadinya konstipasi. Pasien yang
mengalami inkontinensia bisa diberikan urinal, pispot
secara periodic/teratur.Selain itu, bisa juga memasangkan
duk yang diganti tiap saat atau bisa juga dilakukan
kateterisasi. Kebersihan pada daerah sekitar perineum
perlu selalu dijaga dan diperhatikan, bila terjadi lecet,
harus segera diberikan salep.
119
g. Perubahan Sensori
Klien dengan penyakit terminal stadium lanjut,
sering terjadi penurunan sensori terutama apabila
penglihatan klien berubah menjadi kabur, biasanya pasien
mulai menghindari atau menolak untuk menghadapkan
kepala ke arah lampu/tempat terang. Pada saat seperti
itu, klien memang masih bisa mendengar, namun
mungkin sudah tidak bisa merespon (Rinawati, 2021).
Hopkins (2017) menggunakan instrumen
pengkajian fisik dalam perawatan paliatif didapatkan
gejala fisik meliputi beberapa subdomain seperti nyeri,
sesak nafas, mual, kelelahan, anoreksia, insomnia, gelisah,
kebingungan, dan sembelit. Dari beberapa kasus
didapatkan mayoritas subdomainnya adalah dispnea,
nyeri, dan kelelahan.
2. Pengkajian Psikologis
Systematic review yang dilakukan Ziegler (2011,
dalam Hopkins 2017), tentang instrumen pengkajian
psikologis membahas tentang depresi, ansietas, distress dan
respon psikologis terhadap penyakit paliatif yang diderita
pasien. Instrumen psikologis yang dilakukan systematic
review Ziegler (2011, dalam Hopkins 2017), mengumpulkan
beberapa instrumen domain, yaitu: skala pengukuran
ansietas dan depresi, dua pertanyaan tunggal: “apakah anda
depresi?” dan “apakah anda kehilangan minat?”, dan
kuesioner termometer distress.
Perawat berperan dalam wawancara mendalam
tentang wawasan pasien terkait kondisi dan masalah mereka
dan juga tentang kematian yang sifatnya sensitif dan
dieksplorasi dengan cara yang tepat. Pada kenyataannya
kebenaran mungkin menyakitkan tapi kebohongan lebih
menyakitkan. Pasien perlu merencanakan dan membuat
keputusan tentang tempat kematian mereka, mengatur
urusan mereka, ucapan selamat tinggal atau memaafkan
120
musuh lama dan memberikan informasi dan melindungi dari
terapi yang sia-sia (Beng, 2004).
3. Pengkajian Sosial
Terkadang pasien dalam keadaan terminal perlu
ditempatkan pada ruang tersendiri, terutama klien dengan
penyakit khusus, serta dalam upaya memenuhi seluruh
kebutuhan hubungan sosial dan keluarganya, beberapa hal
yang bisa dilakukan perawat dalam melakukan pengkajian
yaitu:
a. Menanyakan pada pasien atau keluarga siapa saja yang
ingin dihadirkan untuk bertemu dengan pasien, dan hal
ini bisa didiskusikan bersama keluarga, missal: teman
terdekat, anggota keluarga lain, sanak kerabat.
b. Berupaya menggali perasaan yang dirasakan klien
sehubungan dengan sakitnya saat ini hingga perlu
dilakukanisolasi.
c. Menyarankan saudara dan teman klien untuk lebih sering
mengunjungi serta mengajak orang lain untuk menjenguk
(Rinawati, 2021).
4. Pengkajian Spiritual
Dalam studi literatur yang dilakukan Yodang dan
Nuridah (2020), mengidentifikasi 6 model pengkajian
spiritual yang lazim digunakan dalam perawatan paliatif
yaitu FICA, FAITH, SPIRIT, HOPE, ETHNIC(S), dan Ars
Morendi Model. Penjelasan masing-masing model sebagai
berikut:
a. Pengkajian spiritual metode FICA merupakan bagian dari
riwayat spiritual pasien yang diperkenalkan oleh
Puchalski (1998 dalam Matzo & Sherman, 2010). FICA
singkatan dari faith, influence, community, dan addressing
spiritual concerns. Secara detail pengkajian metode FICA
sebagai berikut:
121
F merujuk pada faith, belief, dan meaning yaitu keyakinan,
kepercayaan dan makna hidup. Hal ini dapat
diidentifikasi melalui pertanyaan mendalam, seperti:
apakah yang menjadi makna dalam hidup bapak/ibu
(pasien).
I merujuk pada importance and influence yang bermakna
hal terpenting atau yang mempengaruhi. Pertanyaan
yang biasa diajukan berupa:
▪ apakah keyakinan dan kepercayaan itu penting
dalam kehidupan bapak/ibu (pasien).
▪ bagaimana keyakinan atau agama bapak/ibu
(pasien) mempengaruhi keputusan anda terkait
pengobatan anda.
▪ bagaimana keyakinan bapak/ibu mempengaruhi
perilaku anda terkait kondisi sakit yang anda alami,
C merujuk pada community yang bermakna komunitas
atau sekumpulan orang yang memiliki karakteristik
yang hampir sama. Hal ini dapat dinilai dengan
mengajukan pertanyaan, apakah bapak/ibu (pasien)
memiliki suatu komunitas keagamaan atau spiritual.
A merujuk pada addressing spiritual concern yang
bermakna cara mengatasi isu-isu spiritual yang
dialami oleh pasien. Hal ini dapat dinilai dengan
pertanyaan berupa, apakah menginginkan seseorang
yang dapat membantu mengatasi masalah atau isu-isu
terkait spiritual yang bapak/ibu (pasien) hadapi.
122
F : Faith/spiritual beliefs
▪ apakah ada kepercayaan, keyakinan atau
keagamaan khusus yang dianut oleh pasien,
▪ apa yang dapat anda maknai dengan kehidupan
anda,
▪ apa saja yang dapat membantu mengatasi atau
mengendalikan saat terjadi stress atau sakit.
A : Application,
▪ dengan cara apa anda mempraktekkan atau
mengaplikasikan keyakinan atau kepercayaan anda
dalam kehidupan sehari-hari,
▪ apakah anda menjadi bagian dari kelompok atau
jamaah tertentu,
▪ apakah beribadah, berdoa atau meditasi
merupakan hal yang penting bagi anda.
I : Influence/importance of faith in life, in this illness and on
healthcare decisions.
▪ Bagaimana keyakinan dan kepercayaan spiritual
anda mempengaruhi kehidupan anda,
▪ apakah hal tersebut penting bagi anda,
▪ bagaimana keyakinan dan kepercayaan spiritual
anda mempengaruhi anda dalam kondisi sakit,
▪ apakah hal tersebut mempengaruhi atau merubah
sikap dan perilaku anda,
▪ apakah sakit yang anda derita mempengaruhi
keyakinan dan kepercayaan anda,
▪ apakah keyakinan atau kepercayaan anda
mempengaruhi terhadap keputusan anda terkait
pengobatan dan hal tersebut dapat membantu anda
bila kami mengetahuinya.
T : Talk/terminal events planning
▪ apakah anda memiliki seseorang yang anda dapat
percaya untuk berbicara tentang spiritual anda,
▪ apakah anda membutuhkan pelayanan khusus bila
dalam kondisi menjelang akhir hayat.
123
H : Help
▪ apakah kami dapat membantu anda atau anda
membutuhkan bantuan dari tenaga kesehatan
lainnya,
▪ apakah anda membutuhkan bantuan atau
pertolongan untuk melakukan ibadah,
▪ apakah anda membutuhkan rohaniawan,
▪ apakah anda ingin mendiskusikan masalah
spiritual anda pada tenaga kesehatan (Blaber, Jone
& Willis, 2015).
124
I, Implication for medical care yang dapat berarti dampak
terhadap perawatan dan pengobatan.
T, Terminal events planning yang dapat berarti
perencanaan mengenai kejadian yang akan atau
kemungkinan terjadi di masa-masa menjelang akhir
kehidupan. Hal tersebut dapat mencakup seperti
dampak dari keyakinan pasien mengenai perencanaan
tingkat lanjut seperti pengambilan keputusan disaat
pasien tidak mampu secara mandiri membuat
keputusan, donasi organ tubuh, dan bagaimana
menghubungi tenaga rohaniawan (Yenurajalingam &
Bruera, 2016).
125
Spirituality, bagaimana peran agama, keyakinan, atau
kepercayaan dapat membantu mengatasi masalah yang
anda hadapi?
126
fleksibel, dan bantuan komunikasi secara praktis untuk
proses tanya jawab terkait spiritual di setting paliatif
(Vermandere et al, 2013). AMM menekankan pada 5 hal
penting yaitu otonomi, batasan tindakan medis,
mengatasi penderitaan, perpisahan, kesalahan, dan
pertanyaan mengenai kepercayaan dan makna.Lebih
lanjut, model pengkajian AMM dimodifikasi menjadi:
Oneself - the other
Apakah anda memiliki kesempatan untuk menjadi diri
anda sendiri?. Apakah anda saat meninggalkan dunia ini
sudah sesuai dengan harapan anda ?
Doing – undergoing
Bagaimana anda mempertahankannya?. Apakah anda
menginginkan kami untuk melakukan sesuatu untuk
anda.
Holding on – letting go
Apakah yang menjadikan anda lebih kuat/tegar,
siapa/apa yang menginspirasi anda, siapa yang anda
ingin pertahankan untuk bersama anda, siapkah anda
meninggalkan kehidupan ini.
Forgiving – forgetting
Jika anda melihat kebelakang/kisah hidup anda, apa yang
anda rasakan. Adakah sesuatu hal yang penting untuk
anda sampaikan atau diskusikan.
Knowing – believing
Apa makna kematian menurut anda. Apakah anda
merasakan adanya dukungan dari keyakinan atau
kepercayaan yang anda anut?.
5. Pengkajian Budaya
Kultur atau kebudayaan bisa membentuk sebuah
kebiasaan dan respon terhadap penyakit dan kesehatan, di
dalam semua lapisan masyarakat dengan mengesampingkan
tingkatannya. Oleh karenanya lah penting bagi tenaga
kesehatan agar tidak hanya berfokus pada promosi
127
kesehatan, tetapi juga membuat masyarakat mengerti proses
terjadinya suatu penyakit serta bagaimana caranya
meluruskan keyakinan dan budaya yang dianut dan
berhubungan dengan Kesehatan (Rinawati, 2021). Pengkajian
budaya mengacu pada apakah perawatan paliatif sensitif
terhadap budaya, ras, atau etnis pasien (Hopkins 2017).
128
BAB ASUHAN
10
KEPERAWATAN
PALIATIF CARE
DENGAN KANKER
A. Pendahuluan
B. Pengkajian
2. Observasi
Observasi merupakan metode pengumpulan data
dengan cara melihat kondisi pasien maupun lingkungan
sekitar pasien atau respon pasien dengan penyakit kanker,
biasanya terdapat nyeri sehingga pasien terlihat meringis
menahan nyeri. Tingkat nyeri yang dirasakan, durasi nyeri,
waktu nyeri, penyebaran nyeri. Kemampuan pasien untuk
menahan nyeri bagaimana koping pasien terhadap nyeri.
Obat apa saja yang telah diberikan untuk mengatasi nyeri.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan proses pemeriksaan fisik
dengan menggunakan metode head to toe yaitu dari ujung
rambut hingga ujung kaki untuk menemukan tanda-tanda
klinis atau kelainan pada suatu sistem. Pemeriksaan fisik
132
dapat dilakukan dengan teknik inspeksi, palpasi, auskultasi
dan perkusi;
Pemeriksaan fisik meliputi :
Keadaan umum berupa keadaan kesadaran pasien,
apakah pasien dalam keadaan sadar, apatis, somnolen, sopor
atau koma. Pemeriksaan tanda-tanda vital untuk
mendapatkan data objektif dari keadaan pasien, pemeriksaan
ini meliputi tekanan darah, suhu, respirasi, dan jumlah
denyut nadi.
Pada pemeriksaan pertama di mulai dari kepala
sampai leher meliputi pemeriksaan bentuk kepala,
penyebaran rambut, warna rambut, struktur wajah, warna
kulit, kelengkapan dan kesimetrisan mata, kelopak mata,
kornea mata, konjungtiva dan sklera, pupil dan iris,
ketajaman penglihatan, lapang pandang penglihatan,
keadaan lubang hidung, kesimetrisan septum nasal, ukuran
telinga kanan dan kiri, ketajaman pendengaran, keadaan
bibir, keadaan gusi dan gigi, keadaan lidah, keadaan palatum
dan orofaring, posisi trakea, apakah ada tiroid, kelenjar limfe,
apakah ada penonjolan vena jugularis, dan cek denyut nadi
karotis.
Pada pemeriksaan dada atau toraks meliputi inspeksi
(simetris atau tidak, apakah terlihat mempergunakan otot
bantu pernafasan dan lihat bagaimana pola nafas), palpasi
(penilaian vocal fremitus), perkusi (melakukan perkusi di
semua lapang paru), auskultasi (penilaian suara nafas).
Pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi (melihat
bentuk abdomen, ada atau tidak benjolan), auskultasi (bising
usus dengan hasil yang normal 5-35x/menit), palpasi (teraba
ada atau tidak massa, ada atau tidak pembesaran limfe dan
line serta ada atau tidak nyeri tekan) dan perkusi (penilaian
suara abdomen suara normalnya berupa timpani dan jika
abdomen terlihat membesar lakukan pemeriksaan shifting
dullness).
133
Pemeriksaan genitalia dan perkemihan meliputi
pemeriksaan bagian-bagian genitalia apakah ada kelainan
atau tidak, kebersihan genitalia, kemampuan berkemih,
intake dan output cairan serta menghitung balance cairan.
Pemeriksaan muskuloskeletal meliputi pemeriksaan
kekuatan otot, kelainan pada tulang belakang, dan kelainan
pada ekstremitas. Pemeriksaan integumen meliputi
kebersihan kulit, warna kulit, kelembaban, turgor kulit,
apakah ada lesi dan apakah ada penyakit kulit.
Sistem persyarafan meliputi pemeriksaan glasgow coma
scale and score (GCS) cantumkan hasil pemeriksaan hasil eye,
verbal, dan best motor, pemeriksaan ingatan memory, cara
berkomunikasi, kognitif, orientasi (tempat, waktu, orang),
saraf sensori (nyeri tusuk, suhu dan sentuhan), pemeriksaan
syaraf otak (NI-NXII), fungsi motorik dan sensorik, serta
pemeriksaan refleks fisiologis.
C. Perumusan Diagnosa
D. Intervensi Keperawatan
135
melakukan penatalaksanaan intervensi komplementer dan
alternatif (PPNI, 2018).
Perencanaan keperawatan sebagai intervensi yang harus
diberikan pada pasien dengan kanker, perlu memperhatikan
tindakan tanpa kolaborasi (tindakan mandiri perawat) serta
tindakan kolaboratif.
1. Manajemen Nyeri (I.08238)
Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri’
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
a. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
136
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Terapeutik
a. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
(misalnya, cahaya, suara, kunjungan)
b. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
c. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
d. Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
b. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
c. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
d. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
Terapeutik
a. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan
b. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
memungkinkan
c. Pahami situasi yang membuat ansietas
d. Dengarkan dengan penuh perhatian
e. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
f. Tempatkan barang pribadi yang memberikan
kenyamanan
g. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
kecemasan
h. Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang
akan datang
Edukasi
a. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin di
alami
b. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan dan prognosis
c. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
d. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif
e. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
f. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
g. Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
h. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
Edukasi
a. Jelaskan konsekuensi tidak menghadapi rasa bersalah dan
malu
b. Anjurkan mengungkapkan perasaan yang dialami
(misalnya, ansietas, marah, sedih)
c. Anjurkan mengungkapkan pengalaman emosional
sebelumnya dan pola respons yang biasa digunakan
d. Ajarkan penggunaan mekanisme pertahanan yang tepat
Kolaborasi
a. Rujuk untuk konseling, jika perlu
E. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat
mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk
intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan
yang telah ditetapkan (Jannah, 2020). Untuk mencapai asuhan
keperawatan yang tepat dan sempurna maka implementasi
keperawatan harus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahap perencanaan (Siregar, 2020). Dalam melaksanakan
rencana keperawatan dibutuhkan lingkungan yang kondusif.
Perawat harus mampu menghormati martabat dan rahasia
pasien, mampu memberikan pendidikan kesehatan kepada
139
pasien, menyesuaikan diri dengan beban kerja yang ada serta
mampu bekerja dengan tim kesehatan yang lain.
F. Evaluasi Keperawatan
140
BAB ASUHAN
11
KEPERAWATAN
PALIATIF CARE
DENGAN KASUS AIDS
A. Pendahuluan
143
Dengan kondisi yang tidak dapat disembuhkan, sehingga
besar kemungkinan kondisi psikologis penderitanya cukup
tertekan. Selain itu juga diperburuk dengan tekanan sosial
masyarakat yang masih bergelut di dalam stigma betapa
hinanya seseorang yang terkena HIV/AIDS. Indonesia
merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan pandemi
HIV tercepat di dunia. Tidak hanya terjadi pada dewasa, jumlah
penderita HIV/AIDS juga terjadi pada anak sebagai korban
transmisi infeksi vertical (Ramdhanie et al., 2019). Hal tersebut
perlu mendapat perhatian khusus agar penderita HIV dapat
bersikap kooperatif menjalani proses pengobatan dan perawatan
serta berdamai dengan penyakitnya.
C. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang
berorientasi pada peningkatan kualitas hidup pasien bersama
keluarganya dalam merespon sebuah penyakit yang
mengancam nyawa penderitanya (WHO, 2016). Upaya yang
dilakukan untuk mencegah dan mengurangi beban penderitaan
seorang pasien paliatif dimulai dari identifikasi awal, penilaian
tentang penyakitnya, penanganan nyeri dan masalah lainnya.
Perawatan paliatif bertujuan mencegah dan membantu
mengurangi beban penderitaan fisik, psikologis, sosial, atau
spiritual yang terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-
anak. Perawatan khususnya dilakukan pada seorang pasien
yang mengalami keterbatasan akibat penyakitnya (Connor &
Sepulveda Bermedo, 2018).
Diperkirakan sekitar 40-60% kematian, membutuhkan
perawatan paliatif dengan berbagai masalah kesehatan yang
membatasi kehidupan. Perawatan dilakukan bagi yang memiliki
penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular (38,5%), kanker
(34%), penyakit pernafasan paru kronis (10,3%), AIDS (5,7%),
dan diabetes (4,6%). Banyak kondisi lain yang memerlukan
perawatan paliatif, yaitu gagal ginjal, penyakit hati kronis,
rheumatoid arthritis, penyakit saraf, dementia, anomali
144
kongenital, dan tuberkulosis yang resisten terhadap obat (Kelley
& Meier, 2010; WHO, 2016).
Cakupan perawatan paliatif (Shatri et al., 2020) meliputi :
1. Meringankan rasa sakit/nyeri dan penderitaan lainnya
2. Meyakinkan bahwa kehidupan dan kondisi sekarat sebagai
proses yang normal
3. Tidak bermaksud untuk mempercepat atau menunda
kematian
4. Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual pada
perawatan pasien
5. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu pasien
hidup seaktif mungkin sampai kematian
6. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga
mengatasi penyakit pasien dan kedukaan mereka sendiri
7. Menggunakan pendekatan tim untuk memenuhi kebutuhan
pasien dan keluarga mereka, termasuk konseling jika
diindikasikan
8. Meningkatkan kualitas hidup dan hal yang dapat
berpengaruh positif terhadap jalannya penyakit
9. Melakukan terapi sejak dini dalam perjalanan penyakit untuk
mempertahankan kehidupan, seperti kemoterapi atau terapi
radiasi.
145
1. Mendiskusikan tentang kondisi dan prognosis pasien. Proses
ini bersifat literatif dan biasanya terjadi secara longitudinal
dalam konteks hubungan medis yang ada dan berlanjut
(Silveira et al., 2010; Sudore & Fried, 2010)
2. Pendekatan akhir kehidupan
3. Koordinasi dalam rencana perawatan lanjutan
4. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di tempat dan
waktu yang tidak biasa
5. Perawatan kesehatan di akhir masa kehidupan
6. Perawatan setelah akhir kehidupan (Radhakrishnan et al.,
2019; Turley et al., 2016)
147
pelatihan tenaga kesehatan, sulitnya dalam mendapatkan
morfin dan opioid fobia, serta sulitnya akses perawatan
kesehatan merupakan tantangan terbesar di Negara India dan
Uganda (Merriman, 2002; Palat & Venkateswaran, 2012) .
India dan Uganda telah menerapkan layanan perawatan
paliatif berbasis komunitas dalam mendukung pasien dengan
penyakit yang membatasi hidup dan keluarganya di level
masyarakat(Patient, 2019) . Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa,
populasi India dan Uganda masing-masing sekitar 1,35 miliar
dan 44,27 juta; dibandingkan dengan Indonesia dengan 267,5
juta penduduk. Jumlah populasi yang besar merupakan salah
satu sumber daya yang dimiliki negara- negara ini. Selain itu,
kesamaan lain antara India, Uganda, dan Indonesia juga pada
budaya komunitasnya, dimana masyarakat dan anggota
keluarga secara moral berkewajiban untuk merawat orang sakit,
dan tradisi social activism telah ada sejak lama di India (Sallnow
et al., 2010; Shanmugasundaram et al., 2006).
Serupa dengan ini, masyarakat Uganda pada umumnya
bersifat kolektif dan mereka mengatasi masalah sosial dengan
menggunakan nilai-nilai solidaritas yang telah lama ada
(UNESCO 2005). Ini mencerminkan masyarakat Indonesia yang
juga dianggap sebagai masyarakat kolektivis (McKee et al.,
2010), sehingga budaya dukungan keluarga yang kuat
memainkan peran kunci dalam memberikan dukungan dan
perawatan langsung bagi pasien yang sakit (Effendy et al., 2015).
Mempertimbangkan hambatan dan situasi yang sama dari
negara-negara ini, dan belajar dari praktik pelayanan paliatif
yang telah sukses diimplementasikan di India dan Uganda,
beberapa strategi yang efektif mungkin dapat teridentifikasi
untuk mendukung pengembangan perawatan paliatif berbasis
komunitas di wilayah di Indonesia.
India dan Uganda adalah negara berkembang dengan
tantangan dan potensi sumber daya yang mirip dengan
Indonesia dalam kaitannya dengan upaya pengembangan
perawatan paliatif. Namun, akhirnya kedua negara ini mampu
148
mengatasi hambatan tersebut dan membuktikan bahwa
perawatan paliatif sekarang tersedia dan dapat diakses oleh
masyarakat praktik perawatan paliatif berbasis komunitas
Community-based Palliative Care (CBPC) di negara berkembang
lainnya termasuk Indonesia. Belajar dari keberhasilan
implementasi perawatan paliatif berbasis komunitas di India
dan Uganda, beberapa rekomendasi untuk mempromosikan
CBPC di Indonesia mungkin perlu dipertimbangkan. Karena
Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) adalah pusat
perawatan kesehatan umum yang paling mudah diakses di
setiap daerah di Indonesia, perawatan paliatif perlu
diintegrasikan sepenuhnya dalam sistem ini untuk
mempromosikan layanan perawatan paliatif berbasis komunitas
yang lebih baik.
Beberapa strategi yang bisa diadopsi dari implementasi
perawatan paliatif berbasis komunitas di India dan Uganda :
1. Membangun dukungan dari pimpinan Puskesmas
setempat melalui advokasi dan penyadaran staf yang ada.
2. Pastikan bahwa pengembangan perawatan paliatif berbasis
komunitas di daerah setempat mempertimbangkan empat
komponen penting Model Kesehatan Masyarakat yang
direkomendasikan oleh WHO: kebijakan yang tepat,
ketersediaan obat yang memadai, pendidikan petugas
kesehatan dan masyarakat, dan pelaksanaan layanan
perawatan paliatif di semua tingkatan dalam masyarakat.
3. Setelah tim kecil perawatan paliatif dimulai, buat kolaborasi
dengan NGO yang ada, pemerintah daerah, atau organisasi
nasional/ internasional potensial lainnya terkait perawatan
paliatif untuk memberikan pelatihan atau peningkatan
kapasitas bagi staf yang ada (misalnya dokter, perawat,
pekerja sosial).
4. Mengundang semua kelompok/ organisasi yang ada dan/
atau orang-orang berpengaruh (misalnya kelompok agama,
peminat, LSM lokal, dukun, dll) di daerah setempat untuk
149
menghadiri diskusi kesadaran yang diadakan oleh tim
asuhan paliatif di Puskesmas.
5. Mengoptimalkan rawat jalan paliatif atau rawat inap di
Puskesmas, jika tersedia.
6. Buat program perawatan di rumah sebagai proyek
percontohan di wilayah tersebut yang dipimpin oleh,
setidaknya, dokter dan perawat terlatih.
7. Melatih mereka yang telah terdaftar sebagai relawan
mengenai asuhan keperawatan dasar, keterampilan
komunikasi/dukungan emosional, dan keterampilan
dalam mengidentifikasi tekanan yang tidak terkontrol dan
melaporkannya ke tingkat yang lebih tinggi.
8. Setelah pelatihan relawan selesai, minta mereka untuk
mendokumentasikan masalah pasien paliatif di lingkungan
mereka.
9. Awasi kunjungan perawatan rumah oleh relawan, dapat
dilakukan oleh dokter atau perawat terlatih, dan dukung
pasien dan keluarga dengan mengunjungi mereka sesuai
kebutuhan, tetap berhubungan dengan mereka melalui
telepon seluler atau alat komunikasi apa pun yang
memungkinkan
10. Merumuskan sumber pendanaan potensial, terutama jika
asuransi kesehatan tidak berperan penting dalam
penyediaan perawatan paliatif atau dukungan keuangan
dari pemerintah daerah terbatas.
11. Seiring dengan semua proses pengembangan ini, menjalin
kolaborasi dengan organisasi lain, misalnya Masyarakat
Paliatif Indonesia, dalam mengadvokasi kebijakan
perawatan paliatif dan ketersediaan obat terutama morfin
di puskesmas serta proses rujukan perawatan paliatif dan
cakupan kesehatan.
12. Membangun kerjasama dengan media massa lokal,
misalnya koran lokal, televisi, atau radio, untuk
mempromosikan kampanye perawatan paliatif untuk
meningkatkan kesadaran publik yang lebih luas.
150
13. Mengelola program rawat inap, rawat jalan, dan perawatan
di rumah melalui peningkatan keterampilan dan
pertemuan-pertemuan dengan relawan lokal. Hubungkan
dengan unit perawatan paliatif terdekat jika
memungkinkan (Lane, 2020)
152
Selain hal tersebut diatas, perawat juga perlu memiliki
sikap positif dalam memberikan asuhan keperawatan pada
ODHA yang meliputi :
1. Mempunyai falsafah hidup yang kokoh, agama dan sistem
nilai
2. Mempunyai kemampuan mendengar dengan baik dan
memotivasi pasien
3. Mempunyai kemampuan untuk tidak “judgemental”
terhadap pasien yang mempunyai sistem nilai yang berbeda.
4. Tidak menunjukkan reaksi berlebihan jika terdapat bau
ataupun kondisi yang tidak wajar
5. Mampu mengkaji, mengevaluasi secara cermat dari perilaku
non verbal
6. Senantiasa menemukan cara menangani setiap masalah
7. Menunjukkan perilaku caring (Ummu Muntamah, 2020)
153
Pendekatan model asuhan keperawatan paliatif diberikan
dengan melihat kebutuhan odha secara holistik yang meliputi
kebutuhan biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural
pada odha dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan, meliputi pengkajian keperawatan, penegakan
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.
Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Fisik, Perawat melakukan pengkajian kondisi
fisik secara keseluruhan dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Masalah fisik yang sering dialami ODHA biasanya
diakibatkan oleh karena penyakitnya maupun efek samping
dari pengobatan yang diterimanya.
2. Pengkajian Psiko sosio spiritual dan kultural, Perawat
melakukan pengkajian kemampuan fungsi sosial, kondisi
mental/emosional, hubungan interpersonal dan kegiatan
yang dilakukan oleh pasien HIV/Aids
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada
perawatan paliatif pada ODHA adalah :
1. Gangguan body image : (rambut rontok, luka bau)
2. Gangguan hubungan seksual
3. Gangguan pelaksanaan fungsi peran keluarga
4. Gangguan komunikasi
5. Kurang pengetahuan
6. Gangguan pola tidur
7. Gangguan interaksi sosial
8. Koping keluarga tidak efektif
9. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
10. Nyeri
Intervensi Keperawatan
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan pada
intervensi keperawatan pada perawatan paliatif pada ODHA :
1. Strategi pencapaian tujuan dari asuhan keperawatan
154
2. Memberikan prioritas intervensi keperawatan dan sesuai
dengan masalah keperawatan
3. Modifikasi tindakan dengan terapi komplementer
(hipnoterapi, yoga, healing touch dan lain-lain)
4. Melibatkan keluarga ODHA
Implementasi Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan paliatif pada
ODHA terdapat hal-hal yang harus diperhatikan yaitu :
1. Memberikan asuhan keperawatan sesuai masalah
keperawatan
2. Hak pasien adalah untuk menerima atau menolak tindakan
keperawatan
3. Rasa empati, support, motivasi dari berbagai pihak
khususnya perawat
4. Kolaborasi dengan tim perawatan paliatif
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses
asuhan keperawatan paliatif, namun bukan berarti asuhan
keperawatan akan berhenti pada tahapan ini, melainkan lebih
155
menekankan pada tahapan mengevaluasi perkembangan
ODHA.
Hal-hal yang harus menjadi perhatian perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan paliatif adalah :
1. Asuhan keperawatan paliatif berarti asuhan intensif dan
komprehensif
2. Selalu pelajari dan observasi hal yang baru dari ODHA
3. Semua anggota tim sepakat untuk mendukung rencana
tindakan yang telah disusun
4. Melibatkan keluarga ODHA
5. Gunakan bahasa yang mudah dipahami
6. Beri kesempatan bertanya dan jawab dengan jujur
7. Jelaskan perkembangan, keadaan dan rencana tindak lanjut
8. Jangan memberikan janji kosong pada ODHA
9. Melakukan konseling, pelatihan kepada ODHA, keluarga
dan care giver
10. Mempermudah kelancaran perawatan di rumah dalam
pelaksanaan asuhan
11. Memperhatikan aspek religius pasien
12. Tunjukkan rasa empati, keseriusan serta sikap yang
mendukung untuk siap membantu
13. Pertimbangkan latar belakang ODHA dan keluarga
14. Hindarkan memberi ramalan tentang waktu kematian
156
BAB
TREND KEPERAWATAN
12 PALIATIF DI INDONESIA
DIMASADEPAN
A. Pendahuluan
158
1. Palliative care approach dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan terampil yang telah menerima pelatihan secara
khusus.
2. General palliative care diberikan oleh tenaga kesehatan
profesional di layanan primer yang telah memiliki
pengetahuan dasar yang baik tentang perawatan paliatif.
3. Specialist palliative care diberikan oleh tim multidisiplin
untuk pasien dengan masalah kompleks.
159
dapat bertindak dan mengambil keputusan yang tepat sesuai
kondisi pasien. pengkajian nyeri secara akurat dan holistic
dengan menggunakan berbagai macam bentuk metode
menjadi hal yang dasar.
3. Keterampilan Interpersonal
Salah satu area yang menjadi komponen kunci untuk
dapat bekerja dengan baik dan sukses dalam area perawatan
paliatif adalah keterampilan interpersonal. Karena
kematangan secara pribadi dan profesional akan dapat
membantu perawat dalam mengatasi masalah yang terkait
dengan isu. Melalui proses komunikasi terapeutik
merupakan inti dari pendekatan psikososial dalam
perawatan paliatif.
Bekerja bersama dalam tim sebagai bagian dari tim
interprofesional merupakan hal yang sangat vital untuk
dapat melakukan praktik atau intervensi yang baik terhadap
pasien. perawat dituntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang baik untuk dapat melakukan asuhan
keperawatan secara langsung pasien dalam kondisi apapun
dan kapanpun,sehingga perawat. dapat bertindak dan
mengambil keputusan yang tepat sesuai kondisi pasien.
perawat dapat bekerja sama dengan baik dan sukses dalam
area perawatan paliatif, dan metode baik yang dijaga adalah
keterampilan intrapersonal. (Hedong at al , 2020)
C. Sistem Pelayanan
1. Rumah Sakit
Pelayanan paliatif di tatanan rumah sakit di Indonesia
telah dimulai sejak tahun 1992 disalah satu rumah sakit milik
pemerintah, dimana pelayanan yang tersedia pada saat itu
terbatas pelayanan rawat jalan saja. Pada tahun 2007
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan
mengeluarkan sebuah regulasi dan kebijakan mengenai
perawatan paliatif di Indonesia. Dalam keputusan menteri
160
Kesehatan disebutkan bahwa lima daerah sebagai
percontohan pelayanan paliatif yaitu Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya, Denpasar dan Makassar.Namun, di Indonesia
belum ada panduan pelayanan paliatif yang berstandar
beserta indikator pelayanan mutu terhadap organisasi
pemberian pelayanan paliatif seperti rumah sakit, sehingga
proses evaluasi terhadap implementasi pelayanan paliatif di
rumah sakit Indonesia belum dapat dilakukan (Effendy,
2015).
Sejak 2007 pemerintah Indonesia, melalui kementerian
kesehatan telah menerbit aturan berupa kebijakan perawatan
paliatif (Keputusan Menteri Kesehatan No 812/
Menkes/VII/2007). dimana dasar yang menjadi acuan
diterbitkannya peraturan tersebut yaitu;
a. kasus penyakit yang belum dapat disembuhkan semakin
jumlahnya baik pada pasien dewasa maupun anak
b. untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi
pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan
selain dengan perawatan kuratif dan rehabilitatif juga
diperlukan perawatan paliatif bagi pasien dengan
stadium terminal. seperti Informed consent, resusitasi
atau tidak resusitasi, perawatan pasien paliatif di ICU,
dan masalah medikolegal lainya.
1) Persetujuan Tindakan Medis
Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan
pelaksanaan perawatan paliatif. Pelaksanaan informed
consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada
dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Meskipun pada
umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang
membutuhkan informed consent, tetapi pada
perawatan paliatif 6 sebaiknya setiap tindakan yang
berisiko dilakukan informed consent. Baik penerima
informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan
pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan
161
saksi anggota keluarga terdekatnya(Kamal AH, Bull
JH, Wolf SP, et al. 2016). Waktu yang cukup agar
diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan
keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak
kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya
atas nama pasien. Tim perawatan paliatif sebaiknya
mengusahakan untuk memperoleh pesan atau
pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten
tentang apa yang harus atau boleh atau tidak boleh
dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya
kemudian menurun (advanced directive).
2) Resusitasi / tidak resusitasi
Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya
tindakan resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang
kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. Informasi
tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada
saat pasien memasuki atau memulai perawatan
paliatif.Pasien yang kompeten memiliki hak untuk
tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi
adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat
keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut
dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced
directive) atau dalam bentuk informed consent
menjelang ia kehilangan kompetensinya.
3) Perawatan Pasien Paliatif di ICU
Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU
mengikuti ketentuan-ketentuan umum yang berlaku
sebagaimana diuraikan di atas. Dalam menghadapi
tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus
mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak
dan penghentian peralatan life-supporting.
162
4) Masalah Medikolegal lainya pada perawatan pasien
paliatif
Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan
kewenangan yang diberikan oleh Pimpinan Rumah
Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di
rumah pasien. Pada dasarnya tindakan yang bersifat
kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi
dengan pertimbangan yang memperhatikan
keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat
didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis
yang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan
pembuat kebijakan harus dipelihara.
2. Puskesmas
Hingga saat ini pelayanan perawatan paliatif untuk
tingkat puskesmas masih sangat terbatas.Beberapa
puskesmas di Kota Jakarta dan Kota Surabaya telah
menyediakan layanan perawatan paliatif, dimana layanan
tersebut berupa kunjungan rawat jalan maupun kunjungan
rumah.Bahkan salah satu puskesmas di Kota Surabaya giat
mempromosikan paliatif pada pada masyarakat sehingga
terbentuklah suatu kelompok relawan paliatif.Untuk
membekali para relawan tersebut pihak puskesmas
memfasilitasi dengan kegiatan pelatihan dan workshop serta
praktik kunjungan rumah.
Salah satu kendala dalam aplikasi pelayanan
perawatan paliatif di tatanan fasilitas pelayanan kesehatan
mulai dari tingkat primer, sekunder dan tersier adalah sistem
rujukan. Hingga saat ini belum ditetapkannya dengan baik
sistem rujukan pasien paliatif dari puskesmas ke rumah sakit
ataupun sebaliknya. Sehingga banyak pasien kanker dan
lainya yang mengalami penderita yang tidak diharapkan
akibat gejala yang semakin memburuk sehingga kebutuhan
dasar pasien tidak dapat terpenuhi. Lebih lanjut, akhirnya
pasien tersebut meninggal dirumah tanpa mendapatkan
163
pelayanan dan dukungan yang adekuat dari para tenaga
professional paliatif (yodang, 2018 Zambrano SC, Chur-
Hansen A, C. G. 2014);).
165
implementasi terhadap perawatan paliatif di dunia.
Perawatan paliatif berprinsip (Richieri at al, 2011, Enggune M
dkk, 2014):
a. Dimulai dari tahap diagnosis, dan berkembang sesuai
kebutuhan sejalan dengan semakin parahnya penyakit.
b. Memberikan manajemen nyeri dan gejala lainnya.
c. Menegaskan bahwa proses kehidupan dan sekarat dalam
kematian adalah proses yang normal.
d. Bukan menandakan untuk mempercepat ataupun
menunda kematian.
e. Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual dalam
pelayanan pasien.
f. Menawarkan sistem pendukung dalam membantu pasien
hidup seaktif mungkin menuju kematiannya.
g. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu
keluarga pasien mengatasi kesedihan akibat penyakit
pasien.
h. Menawarkan bantuan pemecahan masalah menggunakan
sistem konseling pendekatan tim untuk keluarga pasien
dalam masa berkabung.
i. Meningkatkan kualitas hidup dan memberi masukan
positif dalam perjalanan penyakit.
166
standar perawatan paliatif yang berkualitas kepada pasien
dan keluarganya (Mayang Permata et al., 2019; Giacomo et al,
2019).
8. Home care
Perawatan dirumah merupakan kelanjutan perawatan
di rumah sakit. Pada perawatan di rumah, maka peran
keluarga lebih menonjol karena sebagian perawatan
dilakukan oleh keluarga, dan keluarga atau orang tua sebagai
care giver diberikan latihan pendidikan keperawatan dasar.
Perawatan di rumah hanya mungkin dilakukan bila pasien
tidak memerlukan alat khusus atau keterampilan perawatan
yang tidak mungkin dilakukan oleh keluarga. Sebelum
pasien dibawa pulang, perlu dipertimbangkan tentang
kelayakan dirawat di rumah dan kesiapan keluarga dalam
melakukan perawatan (Krisdianto, 2019).
Sebuah pengambilan keputusan tempat perawatan
paliatif harus mempertimbangkan pada beberapa faktor
diantaranya adalah harapan hidup pasien, kompleksitas dari
kebutuhan perawat, adanya caregiver ketika melakukan
perawatan paliatif di rumah, akses dari sumber perawatan
paliatif dan yang paling utama adalah merupakan pilihan
pasien atau keluarga. Oleh karena pendekatan tim perawatan
paliatif untuk mengidentifikasi tempat rawat terbaik bagi
merupakan hal yang tepat bagi pasien. Perawat memiliki
keahlian dalam mengidentifikasi kondisi kematian pasien
yang sudah semakin dekat. Perawat berperan
menginformasikan hal tersebut kepada keluarga, agar
keluarga memutuskan dapat memutuskan tempat perawatan
terbaik sesuai kemampuan keluarga dan mencari ke sumber
keluarga yang lain (Campbell M, 2013)(Giarti, A. T,2018).
167
DAFTAR PUSTAKA
Amano, K., Maeda, I., Morita, T., Tatara, R., Katayama, H., Uno, T.,
& T., & (2015), I. (2015). Need for nutritional support, eating-
related distress and experience of terminally ill patients with
cancer: a survey in an inpatient hospice. BMJ Supportive &
Palliative Care, 1–4.
Arisanti, N., Pudji, E., Sasongko, S., Pandia, V., & Hilmanto, D.
(2019). Implementation of palliative care for patients with
terminal diseases from the viewpoint of healthcare personnel.
BMC Research Notes, 1, 3–7.
168
Beng, K. S. (2004). The last hours and days of life: a biopsychosocial
– spiritual model of care. Asia Pacific Family Medicine, 4, 1–3.
Benson, C. A., Brooks, J. T., Holmes, K. K., Kaplan, J. E., Masur, H.,
& Pau, A. (2009). Guidelines for prevention and treatment of
opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents:
recommendations from CDC, the National Institutes of Health, and
the HIV Medicine Association/Infectious Diseases Society of
America.
Boon, H., Verhoef, M., O'Hara, D., Findlay, B. (2004). From parallel
practice to integrative health care: a conceptual framework.
BMC Health Services Research. 4, 15, 1-5. doi:10.1186/1472-
6963-4-15
Do, K., Wilsker, D., Ji, J., Zlott, J., Freshwater, T., Kinders, R. J.,
Collins, J., Chen, A. P., Doroshow, J. H., & Kummar, S. (2015).
Phase I study of single-agent AZD1775 (MK-1775), a Wee1
kinase inhibitor, in patients with refractory solid tumors.
Journal of Clinical Oncology, 33(30), 3409.
Effendy, C. (2015). The quality of palliative care for patients with cancer
in Indonesia. PhD Thesis, Radboud Universiteit Nijmegen, the
Netherland.
Effendy, C., Agustina, H. R., Kristanti, M. S., & Engels, Y. (2015). The
nascent palliative care landscape of Indonesia. European
Journal of Palliative Care, 22(2), 98–101.
Eti Wati, & Aat Agustini. (2019). Keperawatan Paliatif Dan menjelang
Ajal (aeni rahmawati (ed.); 1st ed.). LoveRinz Publishing.
Fadhil, I., Lyons, G., & Payne, S. (2017). Barriers to, and
opportunities for, palliative care development in the Eastern
Mediterranean Region. The Lancet Oncology, 18(3), e176–e184.
Fitrina, Yossi, dkk. (2022). Paliatif Care dan Home Care. Bandung:
Media Sains Indonesia
Gade, G., Venohr, I., Conner, D., Mcgrady, K., Beane, J., Richardson,
R. H., et al. (2008). Impact of an Inpatient Palliative Care
Team: A Randomized Controlled Trial. Journal of Palliative
Medicine. 11, 2, 180-190.
170
Giacomo Ercolani, MSc1 , Silvia Varani, Ms., , Barbara Peghetti, Ms.,
Luca Franchini, Ms., , Maria Beatrice Malerba, Ms., Rossana
Messana, Ms., , Vittoria Sichi, Ms., Raffaella Pannuti, Ms., & ,
and Franco Pannuti, M. (2019). Burnout in Home Palliative
Care: What Is the Role of Coping Strategies? Journal of
Palliative Care, 1–7.
Griffiths, J., Ewing, G., Wilson, C., Connolly, M., & Grande, G.
(2014). Breaking bad news about transitions to dying : A
qualitative exploration of the role of the District Nurse.
Palliative Medicine, 1–9.
https://doi.org/10.1177/0269216314551813
Hedong Han, P., , Feifei Yu, P., , Cheng Wu, P., , Lihe Dai, M.,
Yiming Ruan, M., & Yang Cao. (2020). Trends and Utilization
of Inpatient Palliative Care Among Patients With Metastatic
Bladder Cancer. Journal of Palliative Care, 1–8.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27856788
Kamal AH, Bull JH, Wolf SP, et al. (2016). Prevalence and
predic_tors of burnout among hospice and palliative care
clinicians in the U.S. J Pain Symptom Manage. Pain Symptom
Manage, 6(51), 690–696.
172
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2007). SK Menteri
Kesehatan Indonesia Nomor 812 Tahun 2007 tentang
Kebijakan Perawatan Paliatif. Jakarta : Kemenkes RI.
Korsvold, L., Lie, H. C., Mellblom, A. V., Ruud, E., Loge, J. H., &
Finset, A. (2016). Tailoring the delivery of cancer diagnosis to
adolescent and young adult patients displaying strong
emotions : An observational study of two cases. Citation: Int J
Qualitative Stud Health Well-Being, 1, 1–13.
173
Krisdianto. (2019). Perawatan Kanker Paliatif Di Rumah. In Buku
(Fitri Mail).
174
Ningsih, N. S. (2011). Pengalaman Perawat dalam Memberikan
Perawatan Paliatif pada anak dengan kanker di Wilayah
Jakarta. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta.
Phillips, J. L., Lobb, E., Mohacsi, P., Heneka, N., & Currow, D. (2018).
Identifying systems barriers that may prevent bereavement
service access to bereaved carers: A report from an Australian
specialist palliative care service. Collegian, 25(1), 39–43.
175
PPNI (2018) Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
Radhakrishnan, K., Van Scoy, L. J., Jillapalli, R., Saxena, S., & Kim,
M. T. (2019). Community-based game intervention to
improve South Asian Indian Americans’ engagement with
advanced care planning. Ethnicity & Health, 24(6), 705–723.
Sawatzky, R., Porterfield, P., Lee, J., Dixon, D., Lounsbury, K., Pesut,
B., Roberts, D., Tayler, C., Voth, J., & Stajduhar, K. (2016).
Conceptual foundations of a palliative approach: a
knowledge synthesis. BMC Palliative Care, 15(1), 1–14.
176
Setyawan, Aris. (2022).Cupping for Nursing Tinjauan Syar'iyah dan
Ilmiah.Solok: Yayasan Pendidikan Cendekia Muslim.
Shatri, H., Faisal, E., Putranto, R., & Sampurna, B. (2020). Advanced
directives pada perawatan paliatif. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 7(2), 125–132.
177
Tang, M. (2009). Multidisciplinary teams in cancer care: Pros and
cons. Cancer Forum. 33, 3, 1-4.
The, C. J., & Oxford, S. (2002). II . Hospice Palliative Care : Definition ,
Values , Principles and Foundational Concepts. 313(7072), 17–24.
Triana, N. (2018). Interprofessional Educatiom Institusi Dan Rumah
Sakit. Tanpa Perantara.
Turley, M., Wang, S., Meng, D., Kanter, M., & Garrido, T. (2016).
Impact of a care directives activity tab in the electronic health
record on documentation of advance care planning. The
Permanente Journal, 20(2), 43.
Ummu Muntamah. (2020). Perawatan, Pedoman Pada, Paliatif Dengan,
Orang Sakit, D I Rumah.
Vadivelu, N., Kaye, A. D., & Berger, J. M. (Eds.). (2012). Essentials of
palliative care. Springer Science & Business Media.
Watson, M. e. al. (2010). Oxford handbook of palliative nursing. In
U. Oxford University Press (Ed.), Oxford University Press,
USA.
Weingaertner, V., Scheve, C., Gerdes, V., Schwarz-Eywill, M.,
Prenzel, R., & Bausewein, Simon, S. T. (2014). Breathlessness,
functional status, distress, and palliative care needs over time
in patients with advanced chronic obstructive pulmonary
disease or lung cancer: A cohort study. Journal of Pain and
Symptom Management, 4, 569–581.
WHO. (2011). Palliative Care for Older People: Better Practices.
Copenhagen: WHO Regional Office for Europe.
Witjaksono, A. M. A. L., & Maulina, V. V. R. (2016). Gambaran
Perceived Social Support Pada Penderita Kanker Stadium
Lanjut yang Menjalani Perawatan Paliatif. Journal
Psicogenesis, 4(1), 12. https://doi.org/10.24854/jps.v4i1.514
WHO. (2016). Implementing Palliative Care Services: a guide for
programme managers. WHO, Editor. WHO Press, Switzerland,
91.
178
Wilson, G., Hine, P., & Talbot, J. (2013). P51 Six steps+ widening the
access to good EOL care. BMJ Supportive & Palliative Care,
3(Suppl 1), A27–A28.
179
TENTANG PENULIS
180
Ns.Dwi Yanthi, M.Sc lahir di Bandung 19
September 1966. Biasa dipanggil Ibu
Wiwik adalah perawat yang pernah tugas
di Rumah Sakit dan kemudian terjun ke
dunia pendidikan. Menyelesaikan
pendidikan program magister pada
Kedokteran Klinik peminatan Maternal
Perinatal di FK Universitas Gadjah Mada
dan sekarang mengabdi sebagai tenaga
pendidik di Poltekkes Kemenkes Kendari.
181
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di STIKES Mandala
Waluya (2008-2012), Profesi Ners di STIKES Mandala Waluya (2013-
2014), dan Magister Keperawatan di Universitas Gadjah Mada
(2016-2018). Saat ini penulis bekerja sebagai dosen di Prodi S1
Keperawatan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Mandala
Waluya.
182
Tenggara, serta aktif dalam penulisan berbagai jurnal. Saat ini
penulis sudah berkeluarga memiliki istri bernama Sitti Suarni,
S.Kep.,Ns dan dikaruniai anak bernama Zeya Arfena Acquila Wa
Ode.
183
Harmanto, S.Kep., Ns., M.Kep lahir pada
tanggal 29 juli 1990 di Waha, Kabupaten
Wakatobi. Penulis menempuh pendidikan
S1 Keperawatan di STIKes IST Buton dan
lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014,
penulis melanjutkan pendidikan Ners
(Profesi) di STIKes Amanah Makassar dan
lulus pada tahun 2015. Tahun 2018-2020
penulis melanjutkan pendidikan S2
(Magister) Program Studi Magister Keperawatan Minat
Keperawatan Komunitas di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Penulis menjadi tenaga pendidik di Program Studi S1 Keperawatan
& Ners STIKes IST Buton sejak tahun 2021. Penulis mengajarkan
mata kuliah dasar keperawatan komunitas, Keperawatan
Menjelang Ajal dan Paliatif, Komunikasi Dalam Keperawatan,
Falsafah dan Teori Keperawatan, Psikososial dan Budaya dalam
Keperawatan.
185
186