Anda di halaman 1dari 41

Pertemuan 2 Fitoterapi

PERBEDAAN FITOFARMAKA
DENGAN OBAT TRADISIONAL
DAN OBAT SINTETIS
PERBEDAAN FITOFARMAKA DAN
OBAT TRADISIONAL
Obat Tradisional (jamu)
- digunakan dalam upaya perawatan sendiri
- khasiat berdasarkan pengalaman (empiris,
turun-temurun)
- tujuan penggunaan untuk maksud
promotif/memelihara kesehatan (jamu
habis bulan), preventif/pencegahan
(temulawak untuk antioksidan)
- indikasi dan parameter pengujian tidak
jelas (cth : datang bulan, cabe puyang, jamu
bersalin)
- Bahan baku belum terstandarisasi
PERBEDAAN FITOFARMAKA DAN
OBAT TRADISIONAL
Fitofarmaka
- Digunakan dalam upaya pelayanan
kesehatan formal
- Khasiat berdasarkan penelitian ilmiah (uji
farmakologi, uji toksisitas, uji klinis)
- Tujuan pengobatan untuk
kuratif/pengobatan penyakit (anti
hipertensi, diabetes)
- parameter pengujian jelas.
- Bahan baku telah terstandarisasi
PERBEDAAN FITOFARMAKA DAN
OBAT SINTETIS
Obat sintetis/kimiawi
1. Kandungan senyawa kimianya merupakan
satu atau beberapa senyawa kimia yang
dimurnikan atau sintetik.
2. Zat aktifnya jelas.
3. Efek samping relatif lebih besar
dibandingkan dengan fitofarmaka.
4. Lebih diutamakan untuk penyakit-
penyakit yang sifatnya akut (butuh
pertolongan segera) seperti asma, diare,
patah tulang, infeksi dll
PERBEDAAN FITOFARMAKA DAN
OBAT SINTETIS
Obat sintetis/kimiawi
lebih banyak digunakan untuk tujuan
kuratif
5.Reaksi cepat, namun sering bersifat
destruktif artinya melemahkan organ
tubuh lain, terutama jika dipakai terus-
menerus dalam jangka waktu lama.
6. Kendali mutu relatif lebih mudah.
PERBEDAAN FITOFARMAKA DAN
OBAT SINTETIS

Fitofarmaka
1. Merupakan ekstrak bahan sehingga
terdiri atas berbagai senyawa kimia.
2. Efek samping relatif kecil. Senyawa-
senyawa di dalamnya memiliki side
effect eliminating system, sistem yang
bisa mengurangi atau mengeleminisasi
efek komponen lain
3. Pengobatan bersifat preventif dan
promotif karena efek yang diinginkan
diperoleh dalam pemakaian jangka lama.
PERBEDAAN FITOFARMAKA DAN
OBAT SINTETIS
Fitofarmaka
4. Lebih diutamakan untuk mencegah
penyakit, pemulihan penyakit-penyakit
komplikasi menahun, serta jenis
penyakit yang memerlukan pengobatan
lama.
5. Reaksi lambat tetapi bersifat konstruktif
atau memperbaiki dan membangun
kembali organ-organ yang rusak.
6. Efek samping hampir tidak ada, asalkan
sesuai dosis dan cara pemakaiannya.
PERBEDAAN FITOFARMAKA DAN
OBAT SINTETIS

Fitofarmaka
efek farmakologis yang lemah dan
lambat disebabkan karena kadar bahan
aktif yang rendah serta kompleksnya
zat-zat yang terkandung dalam bahan
obat.
6. Efek samping hampir tidak ada, asalkan
sesuai dosis dan cara pemakaiannya.
7. Kendali mutu sangat sulit.
PENERAPAN FITOTERAPI DAN OBAT
TRADISIONAL YANG TEPAT DAN RASIONAL

Obat fitoterapi yang diakui oleh ilmu


kedokteran modern : telah melalui tiga uji
penting, yaitu :
- uji praklinik (uji khasiat dan toksisitas),
- uji teknologi farmasi/standarisasi untuk
menentukan identitas atau bahan
berkhasiat secara seksama hingga dapat
dibuat produk yang terstandardisasi,
- uji klinis kepada pasien
Keunggulan obat bahan alam antara lain :
1 Efek samping obat tradisional relatif lebih kecil bila
digunakan secara benar dan tepat, baik tepat takaran,
waktu penggunaan, cara penggunaan, ketepatan
pemilihan bahan, dan ketepatan pemilihan obat
tradisional atau ramuan tanaman obat untuk indikasi
tertentu.
2 Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam
ramuan obat/komponen bioaktif tanaman obat.
Dalam suatu ramuan obat tradisional umumnya terdiri
dari beberapa jenis tanaman obat yang memiliki efek
saling mendukung satu sama lain untuk mencapai
efektivitas pengobatan.
Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat
setepat mungkin agar tidak menimbulkan efek
kontradiksi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang
saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki.
3 Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek
farmakologi. Zat aktif pada tanaman obat umumnya
dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu
tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit
sekunder, sehingga memungkinkan tanaman tersebut
memiliki lebih dari satu efek farmakologi.
4 Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit
metabolik dan degeratif. Perubahaan pola konsumsi
mengakibatkan gangguan metabolisme dan faal tubuh
sejalan dengan proses degenerasi.
Yang termasuk penyakit metabolik antara lain diabetes
(kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam
urat, batu ginjal, dan hepatitis.
Sedangkan yang termasuk penyakit degeneratif antara
lain rematik (radang persendian), asma (sesak nafas),
ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambein/wasir) dan
pikun (lost of memory).
Untuk mengobati penyakit tersebut diperlukan waktu
lama sehingga penggunaan obat alam lebih tepat karena
efek sampingnya relatif lebih kecil.
Di samping keunggulannya, obat bahan alam juga
memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan
kendala dalam pengembangan obat tradisional antara
lain :
- Efek farmakologisnya lemah (umumnya dosisnya
rendah),
- bahan baku belum terstandar dan
- bersifat higroskopis serta volumines,
- belum dilakukan uji klinik dan
- mudah tercemar berbagai mikroorganisme.
Kendala dalam penggunaan fitoterapi yang
rasional :

Banyaknya jumlah simplisia penyusun


kesulitan pada pelaksanaan uji dari berbagai
aspek penelitian.

Upaya Pemerintah
Penerapan peraturan tentang pembatasan
jumlah simplisia penyusun jamu

Tujuan : mengurangi kemungkinan efek


samping dan memudahkan penelitian
penunjang apabila jamu tersebut akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka.
Sumber Perolehan Obat Tradisional

1. Obat tradisional buatan sendiri

Dikembangkan oleh pemerintah dalam


bentuk program TOGA.
Dengan adanya program TOGA diharapkan
masyarakat mampu menyediakan baik bahan
maupun sediaan jamu yang dapat
dimanfaatkan dalam upaya menunjang
kesehatan keluarga. Program TOGA lebih
mengarah kepada self care untuk menjaga
kesehatan anggota keluarga serta
penanganan penyakit ringan yang dialami
oleh anggota keluarga.
2. Obat tradisional berasal dari pembuat
jamu /Herbalist

Bentuk jamu pada umumnya sejenis jamu


gendong, namun ada juga yang lebih
mempunyai kekhususan untuk pengobatan
penyakit atau keluhan kesehatan tertentu
Dibuat oleh tabib, peracik jamu tradisional,
pejamu gendong dan sinshe
Diatur oleh pemerintah dalam peraturan
tentang battra dan pengobatan alternatif.
Obat tradisional buatan industri

Umumnya yang berbentuk sediaan moderen


berupa ekstrak bahan alam atau
fitofarmaka.
Industri jamu memproduksi lebih condong
untuk memproduksi bentuk jamu yang
sederhana meskipun akhir-akhir ini cukup
banyak industri besar yang memproduksi
jamu dalam bentuk sediaan moderen (tablet,
kapsul, syrup dll.) dan bahkan fitofarmaka
Depkes telah memberikan petunjuk
pembuatan obat tradisional dengan
komposisi rasional melalui PEDOMAN
RASIONALISASI KOMPOSISI OBAT
TRADISIONAL DAN PETUNJUK
FORMULARIUM OBAT TRADISIONAL
akibat dari banyaknya ditemui
penyusunan obat tradisional yang tidak
rasional (irrasional) ditinjau dari jumlah
bahan penyusunnya.
Sejumlah simplisia penyusun obat
tradisional tersebut seringkali merupakan
beberapa simplisia yang mempunyai
khasiat yang sama.

Oleh karena itu, perlu diketahui racikan


simplisia yang rasional agar ramuan obat
yang diperoleh mempunyai khasiat sesuai
maksud pembuatan jamu

Bentuk obat ekstrak alam dan fitofarmaka


pada umumnya tersusun dari simplisia
tunggal atau maksimal 5 macam jenis
bahan tanaman obat
Hal-hal yang berkaitan/harus diperhatikan
dalam penggunaan obat tradisional yang
rasional :
1. Terdapat peraturan tentang penandaan
obat tradisional.
Jamu yang diproduksi dan didistribusikan kepada
konsumen harus diberi label yang menjelaskan tentang
obat tradisional tersebut, di antaranya tentang manfaat
atau khasiat jamu.
Kemasan harus menginformasikan /
mencantumkan :
-Nama produk/nama dagang
-No pendaftaran/ izin edar
-Khasiat dan kegunaan
-Komposisi dan dosis pemakaian
-Kontra indikasi (bila ada)
-Tanggal kadaluwarsa
-No. Kode produksi
-Nama industri atau alamat
-Untuk OT lisensi harus mencantumkan
nama dan alamat pemberi lisensinya
-Logo

Penjelasan tentang manfaat jamu hanya


boleh disampaikan dalam bentuk
mengurangi atau menghilangkan keluhan
atau gejala yang dialami seseorang dan
bukan menyembuhkan suatu diagnosis
penyakit.
2. Komposisi bahan penyusun jamu
Dilakukan dengan memperhatikan manfaat
yang akan diambil dari ramuan yang dibuat
serta kegunaan dari simplisia penyusun
jamu tersebut.
Tujuan pemanfaatan jamu untuk keadaan
tertentu harus memperhatikan keluhan
yang biasa dialami pada kondisi tersebut.

Keterbatasan yang dijumpai dalam


penyusunan komposisi jamu adalah takaran
penelitian ilmiah biasanya masih sangat
kurang sehingga penetapan takaran
maupun dosis hanya mengacu pada
pengalaman peracik obat tradisional yang
lain dan atas dasar kebiasaan sebelumnya
3. Simplisia dan kegunaan
Beberapa tanaman yang mempunyai
kegunaan yang mirip satu dengan lainnya
meskipun terdapat perbedaan karena
kandungan bahan berkhasiat antara satu
tanaman dengan lainnya berbeda akibat
pengaruh dari tanah tempat tumbuh,
iklim, dan perlakuan, misalnya
pemupukan.
Pengetahuan tentang kegunaan masing-
masing simplisia sangat penting
diharapkan tidak terjadi tumpang tindih
pemanfaatan tanaman obat serta dapat
mencarikan alternatif pengganti yang tepat
apabila simplisia yang dibutuhkan ternyata
tidak dapat diperoleh.
4. Penelitian terhadap simplisia
Sampai saat ini telah banyak dilakukan
penelitian. tetapi, masih bersifat
pendahuluan dan masih sangat sedikit
percobaan dilakukan sampai fase penelitian
klinik.
Penelitian yang telah dilakukan terhadap
tanaman obat sangat membantu dalam
pemilihan bahan baku obat tradisional.
Pengalaman empiris perlu ditunjang dengan
penelitian agar semakin memberikan
keyakinan akan khasiat dan keamanan obat
tradisional.
Untuk memilih OT (dan SM) yang baik bisa melihat edaran
yang dikeluarkan oleh Badan POM
(lihat slide)
Sembilan spesies tanaman yang dipilih sebagai
tanaman unggulan untuk diteliti lebih lanjut,
termasuk uji klinik :
cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.),
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.),
kunyit (Curcuma domestica Val.),
jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.),
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.), jahe
(Zingiber officinale Rosc.),
mengkudu (Morinda citrifolia L.),
salam (Eugenia polyantha Wight.), dan
jambu biji (Psidium guajava L.).
Obat tradisional yang dikembangkan menjadi
fitofarmaka (berdasarkan Permenkes) :

Antelmintik, anti asma,


anti diabetes (hipoglikemik), anti diare,
anti hepatitis kronik, anti herpes genitalis,
anti hiperlipidemia, anti hipertensi,
anti hipertiroidisme, anti histamin,
anti inflamasi, anti kanker,
anti malaria, anti TBC,
antitusif, disentri,
dispepsia (gastritis), dan diuretik.
Perangkat pengujian pada fiitofarmaka :
- uji farmakologi (pembuktian efek atau
pengaruh obat),
- uji toksikologi (pembuktian syarat
keamanan obat secara formal), dan
- uji klinik (manfaat pencegahan dan
penyembuhan penyakit atau gejala
penyakit).

Uji klinik
Adalah uji yang dilakukan pada manusia,
setelah pengujian pada hewan (pra-klinik).
Uji klinik baru dapat dilakukan jika syarat
keamanan diperoleh dari pengujian
toksisitas pada hewan serta syarat mutu
sediaan memungkinkan untuk pemakaian
pada manusia.
Pengujian klinik pada manusia terbagi
dalam beberapa fase yaitu :

Fase I :
Dilakukan pada sukarelawan sehat untuk
melihat apakah efek farmakologi, sifat
farmakokinetik yang diamati pada hewan
juga terlihat pada manusia.
dilakukan untuk menguji keamanan dan
tolerabilitas obat tradisional
Hal yang diamati :
-hubungan dosis dengan efek yang
ditimbulkan dan
-profil farmakokinetik obat pada manusia.
Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara
terbatas (100-200 pasien).
Tujuan : melihat kemungkinan
penyembuhan dan pencegahan penyakit.
Rancangan penelitian masih dilakukan
tanpa kelompok pembanding (kontrol),
sehingga belum ada kepastian bukti manfaat
terapetik.
Fase II awal : tanpa pembanding
Fase II akhir : dengan pembanding
Fase III :
Merupakan uji klinik defenitif
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji
klinik yang memadai, memakai kontrol
sehingga didapat kepastian ada tidaknya
manfaat terapetik.

Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran (surveilan
post marketing) untuk melihat
kemungkinan terjadinya efek samping yang
tidak teramati pada waktu pengujian pra
klinik atau klinik fase 1 , 2 , 3 (efek yang
jarang atau lambat timbulnya)
THALIDOMIDE
Peraturan mengenai uji keamanan dan khasiat obat
tradisional berbeda-beda di berbagai negara tetapi
peraturan tersebut tidak berbeda secara
fundamental dari pedoman yang digunakan pada uji
pharmaceutical.
Tidak adanya uji toksikologi menjadi isu
kontroversial utama mengenai uji tanaman obat.
WHO dan FDA adalah lembaga yang menganjurkan
penggunaan sejarah/ turun temurun sebagai
data keamanan yang memadai.
Di Indonesia, pelaksanaan uji praklinik dan klinik OT
berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 56/Menkes/SK/I/2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional.
Uji praklinik terdiri atas uji toksikologi dan
farmakodinamik.
Uji toksikologi untuk menilai keamanan
obat tradisional yang diuji dan menetapkan
spektrum efek toksik;
Uji farmakodinamik untuk membuktikan khasiat
dan menelusuri mekanisme efek dari obat
tradisional-uji tersebut.
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar
luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek
samping yang merugikan, setelah mengalami uji
preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan
pembanding.

Untuk obat tradisional yang belum digunakan


secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan
(fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien
terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang
digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris
tidak
didasarkan dose-ranging study.

Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan


pembandingan secara tersamar dengan plasebo
atau obat standar.

Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau


khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar.
FITOFARMAKA DI INDONESIA

Sudah ada 5 fitofarmaka yang telah


terdaftar, yaitu Nodiar, Stimuno,
Rheumaner, Tensigard, X-gra (Note :
sekarang sudah 6)

Contoh : Nodiar (Kimia Farma).


Khasiat sebagai anti diare nonspesifik.
Komposisi : Attapulgite 300 mg, ekstrak
Psidii folium (daun jambu biji) 50 mg, dan
ekstrak Rhizoma Curcuma domesticae
(rimpang kunyit) 7,5 mg.
Dosis : 2 kapsul sesudah buang air besar,
maksimal 3x sehari.
FITOFARMAKA DI INDONESIA

CARA PENGUJIAN
Jika dosis sebanyak 2 kapsul dikonversikan
ke dosis hewan uji berupa tikus dengan berat
200 g, maka:
dosis = (70 kg)/(60 kg) 715mg 0,018
=15,015 mg/200g tikus. = 0,075 mg/gBB
tikus.
Jika diketahui berat tikus adalah 210 g,
maka dosisnya menjadi:
(0,075 mg)g 210g = 15,75 mg
kapsul = (15,75 mg)/(357,5 mg) 1kapsul =
0,044 kapsul
FITOFARMAKA DI INDONESIA

Jadi, dosis 15,75 mg setara dengan 0,044


kapsul. Maka, tikus dengan berat 210 g
memerlukan 0,044 kapsul.

Jadi, dosis 15,75 mg setara dengan 0,044


kapsul.
Maka, tikus dengan berat 210 g memerlukan
0,044 kapsul.
Daun jambu biji merupakan komposisi utama
pada fitofarmaka ini karena berdasarkan
pengalaman empiris, tanaman ini dapat
menghentikan diare.
Dosis empiriknya sebanyak 9 lembar daun
jambu biji dibuat infusa bersama dengan
kunyit sebanyak 1 jari, 4 butir biji kedawung
(disangrai), 4 g rasuk angin, 110 ml air.
Diminum 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore.
Setiap kali minum 100 ml, dan diulang
selama 4 hari.
HASIL PENELITIAN KOMPOSISI KIMIA DAUN
JAMBU BIJI
mengandung total minyak 6% dan minyak
atsiri 0,365%; 3,15% resin; 8,5% tannin,
dan lain-lain.
Komposisi utama minyak atsiri yaitu pinene
limonene, menthol, terpenyl acetate,
isopropyl alcohol, longicyclene,
caryophyllene, bisabolene, caryophyllene
oxide, copanene, farnesene, humulene,
selinene, cardinene dan curcumene.
Minyak atsirinya juga mengandung
nerolidiol, sitosterol, ursolic, crategolic, dan
guayavolic acids.
Kandungan lainnya :
minyak atsiri yang kaya akan sineol dan
empat asam triterpen dan tiga jenis
flavonoid yaitu; quercetin, 3-L-4-4-
arabinofuranoside (avicularin).
Kuersetin menunjukkan efek antibakteri
dan antidiare dengan mengendurkan otot
polos usus dan menghambat kontraksi usus.
Berdasarkan studi mengenai ekstrak daun
jambu biji, adanya kuersetin dapat
menghambat pelepasan asetilkolin di
saluran cerna.

Anda mungkin juga menyukai