PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan tanaman obat di kalangan masyarakat sangat luas, mulai
untuk bahan penyedap hingga bahan baku industri obat-obatan dan
kosmetika. Namun, di dalam sistim pelayanan kesehatan masyarakat,
kenyataannya peran obat-obat alami belum sepenuhnya diakui, walaupun
secara empiris manfaat obat-obat alami tersebut telah terbukti. Sebagai salah
satu contoh adalah penggunaan jamu sebagai obat kuat, obat pegal linu,
mempertahankan keayuan, pereda sakit saat datang bulan dan lain-lain,
menyiratkan penggunaan jamu yang sangat luas di masyarakat. Memang
disadari, bahwa produksi jamu belum banyak tersentuh oleh hasil-hasil
penelitian karena antara lain disebabkan para produsen jamu pada umumnya
masih berpegang teguh pada ramuan yang diturunkan turun-temurun.
Akibatnya, hingga saat ini obat tradisional masih merupakan bahan
pengobatan alternatif di samping obat modern.
Kecenderungan kuat untuk menggunakan pengobatan dengan bahan
alam, tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara
karena cara-cara pengobatan ini menerapkan konsep back to nature atau
kembali ke alam yang diyakini mempunyai efek samping yang lebih kecil
dibandingkan obat-obat modern.
Mengingat peluang obat-obat alami dalam mengambil bagian di dalam
sistem pelayanan kesehatan masyarakat cukup besar dan supaya dapat
menjadi unsur dalam sistem ini, obat alami perlu dikembangkan lebih lanjut
agar dapat memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu.
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang
jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu
obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih
memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara proses produksi obat tradisional?
2. Bagaimana menyangkut semua kegiatan pembuatan dimulai dari
pengadaan bahan awal termasuk penyiapan bahan baku, pengolahan,
sampai dengan pengemasan untuk menghasilkan produk jadi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui cara proses produksi obat tradisional.
2. Untuk mengetahui dan memahami menyangkut semua kegiatan
pembuatan yang dimulai dari pengadaan bahan awal termasuk
penyiapan bahan baku, pengolahan, sampai dengan pengemasan untuk
menghasilkan produk jadi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Pengobatan tradisional (Undang-Undang RI No. 23
Tahun 1992 tentang kesehatan) adalah pengobatan dan atau perawatan dengan
cara, obat dan pengobatannya yang mengacu pada pengalaman dan
keterampilan turun temurun dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat.
Obat tradisional menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI.No.179/Men.Kes/Per/VII/1976 Tentang Produksi dan Distribusi Obat
Tradisionil adalah obat jadi atau obat berbungkus yang berasal dari bahan
tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau sediaan galeniknya atau campuran
bahan-bahan tersebut yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan
dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman bahan alam dan bedasarkan
pengalaman.
Obat tradisional menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI.No.246/Men.Kes/Per/V/1990 Tentang Izin Usaha IOT dan Pendaftaran O.T
Dan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan Adalah bahan
atau ramuan bahan, yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
3
2) Bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat
obat
3) Narkotika atau psikotropika
4) Bahan lain yang berdasarkan pertimbagan kesehatan dan/atau berdasarkan
penelitian membahayakan kesehatan
4
bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang
terhadap suatu efek yang dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat
dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri dari komponen utama
sebagai unsur pokok dalam tujuan pengobatan, asisten sebagai
unsur pendukung atau penunjang, ajudan untuk membantu
menguatkan efek serta pesuruh sebagai pelengkap atau
penyeimbang dalam formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari
1 jenis TO sehingga komposisi OT lazimnya cukup komplek.
3. Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi
Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit
sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa
metabolit sekunder; sehingga memungkinkan tanaman tersebut
memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut
adakalanya saling mendukung (seperti pada herba timi dan daun
kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling
berlawanan atau kontradiksi (sperti pada akar kelembak). Sebagai
contoh misalnya pada rimpang temu lawak (Curcuma xanthoriza)
yang disebutkan memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain :
sebagai anti inflamasi (anti radang), anti hiperlipidemia (penurun
lipida darah), cholagogum (merangsang pengeluaran produksi
cairan empedu), hepatoprotektor (mencegah peradangan hati) dan
juga stomakikum (memacu nafsu makan).
4. Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik
dan degeneratif. Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di
Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari
penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke
penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970
hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan
tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai
penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan
5
peningkatan kesejahteraan umat manusia.Pada periode sebelum
tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi yang
memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan
antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan
OT atau Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan
pengobatannya tidak efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya
hinga sekarang sudah cukup banyak ditemukan turunan
antibiotika baru yang potensinnya lebih tinggi sehingga mampu
membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi. Akan tetapi
timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik,
melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi
berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal
tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal
dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif. Yang
termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis),
hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan
hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik
(radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung),
haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory).
6
ilmiah serta memenuhi indikasi medis; yaitu kelompok obat fitoterapi atau
fitofarmaka Akan tetapi untuk melaju sampai ke produk fitofarmaka, tentu
melalui beberapa tahap (uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga
bisa menjawab dan mengatasi berbagai kelemahan tersebut.
Efek farmakologis yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar
senyawa aktif dalam bahan obat alam serta kompleknya zat balast/senyawa
banar yang umum terdapat pada tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan
ekstrak terpurifikasi, yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya
menyari senyawa-senyawa yang berguna dan membatasi sekecil mungkin
zat balast yang ikut tersari.
Landasan
Tujuan CPOTB
Agar obat tradisional yang dibuat aman, bermanfaat dan bermutu
sesuai dengan persyaratan yang berlaku. (BPOM, 1994).
7
Waktu Pelaksanaan
IOT, IKOT wajib melaksanakan CPOTB sejak dari perencanaan
membangun sarana produksi hingga tahap akhir.
Sertifikat CPOTB
Semua obat tradisional yang akan didaftarkan harus sudah
melampirkan sertifikat CPOTB sebagai bukti pemenuhan persyaratan yang
berlaku.
1. Personalia
Personalia hendaklah mempunyai pengetahuan, pengalaman,
ketrampilan dan kemampuan yang sesuai dengan tugas dan
fungsinya, dan tersedia dalam jumlah yang cukup. Mereka
hendaklah dalam keadaan sehat dan mampu menangani tugas yang
dibebankan kepadanya.
2. Bangunan
Bangunan untuk pembuatan obat tradisional selain harus terhindar
dari pencemar juga hendaklah memiliki rancangan, ukuran dan
konstruksi yang memadai agar:
3. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan produk hendaklah
memiliki rancang bangun konstruksi yang tepat, ukuran yang
memadai serta ditempatkan dengan tepat, sehingga mutu yang
8
dirancang bagi tiap produk terjamin secara seragam dari bets
ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan
perawatannya.
Setiap proses dan peralatan harus dilakukan tindakan validasi
ulang, secara periodik untuk menjamin bahwa proses dan
peralatan tersebut tetap menghasilkan produk yang memenuhi
persyaratan yang berlaku.
9
pengeluaran (metode FIFO dan FEFO), sortasi basah dan
kering bahan baku.
7. Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari cara
pembuatan obat tradisional yang baik. Rasa keterikatan dan
tanggung jawab semua unsur dalam semua rangkaian pembuatan
adalah mutlak untuk menghasilkan obat trasisional yang bermutu
mulai dari bahan awal sampai pada produk jadi. Untuk keperluan
tersebut bagian pengawasan mutu harus merupakan bagian yang
tersendiri.
8. Inspeksi Diri
Tujuan inspeksi diri adalah untuk melakukan penilaian apakah
seluruh aspek pengolahan, pengemasan dan pengendalian
mutu selalu memenuhi mutu CPOTB.
10
Program inspeksi diri harus dirancang untuk mengevaluasi
pelaksanaan CPOTB dan untuk menetapkan tindak lanjut.
Inspeksi diri ini harus dilakukan secara teratur. Tindakan
perbaikan yang disarankan harus dilaksanakan. Untuk
pelaksanaan inspeksi diri ditunjuk tim inspeksi yang mampu
menilai secara obyektif pelaksanaan CPOTB. Harus dibuat
prosedur dan catatan mengenai inspeksi diri.
9. Dokumentasi
Dokumentasi pembuatan obat tradisional merupakan bagian
dari system informasi menajemen yang meliputi: spesifikasi,
label/etiket, prosedur, metoda dan instruksi, catatan dan
laporan serta jenis dokumentasi lain yang diperlukan dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi seluruh
rangkaian kegiatan pembuatan obat tradisional. (BPOM, 1994)
Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap
petugas mendapat instruksi secara rinci dan jelas mengenai
bidang tugas yang harus dilaksanakannya sehingga
memperkecil resiko terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang
biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan.
11
Tindak lanjut
Atas dasar hasil evaluasi dan penelitian dilakukan tindak lanjut
berupa:
a. Tindakan perbaikan yang diperlukan
b. Penarikan kembali batch obat tradisional atau seluruh obat
tradisional yang bersangkutan (Penarikan kembali
dilakukan apabila ditemukan adanya produk yang tidak
memenuhi persyaratan atau atas dasar pertimbangan
adanya efek samping yang tidak dierhitungkn yang
merugiakan kesehatan. Penarikan kembali seluruh obat
tradisional tertentu merupakan tindak lanjut penghentian
pembuatan satu jenis obat tradisional yang bersangkutan
c. Tindak lanjut lainnya yang sesuai.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis
dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu obat
tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan
proses produksi dan penanganan bahan baku.
SUMBER
1. Pemeriksaan
Makroskopik
2. Pemeriksaan
Mikroskopik
3. Pemeriksaan Kimia
(jika perlu)
1. Sortir, cuci
2. Kering, rajang
13
BAHAN BAKU
SIAP PAKAI
1. Penimbangan
2. penggilingan
1. Uapkan
1. Isi wadah 2. Cetak
2. Pemeriksaan 3. Isi Wadah
Mutu 4. Pemeriksaan
3. Labelisasi Mutu
5. Labelisasi
Ekstraksi
EKSTRAK
14
diperoleh simplisia yang bersih, dan terbebas dari mikroba patogen,
kapang, khamir serta pencemar lainnya.
6. Simplisia yang telah dicuci hendaklah dikeringkan lebih dahulu dengan
cara yang tepat sehingga tidak terjadi perubahan mutu dan mencapai
kadar air yang dipersyaratkan.
7. Simplisia yang sudah bersih serta kering dan bahan baku yang bukan
simplisia yang telah lulus dari pemeriksaan mutu bila tidak langsung
digunakan hendaklah disimpan dalam wadah tertutup dan diberi label
yang menunjukkan status simplisia dan bahan baku tersebut.
8. Label sebagaimana dimaksud pada butir 7 hanya boleh dipasang oleh
petugas yang ditunjuk pimpinan bagian pengawasan mutu dan warna
label dibuat berbeda dengan label yang digunakan pada 2.
9. Pengeluaran simplisia yang akan diolah dilakukan oleh petugas yang
ditunjuk dengan cara mendahulukan simplisia yang disimpan lebih awal
(First In, First Out), atau yang mempunyai batas kadaluwarsa lebih awal
(First Expired, First Out).
10. Semua bahan baku yang tidak memenuhi syarat hendaklah ditandai
dengan jelas, disimpan secara terpisah menunggu tindak lanjut.
B. Pengolahan dan Pengemasan
Pengolahan dan pengemasan hendaklah dilaksanakan dengan
mengikuti cara yang telah ditetapkan oleh industri sehingga dapat menjamin
produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku.
1. Verifikasi
1.1. Sebelum suatu prosedur pengolahan induk diterapkan hendaklah
dilakukan langkah-langkah untuk membuktikan bahwa prosedur
bersangkutan cocok untuk pelaksanaan kegiatan secara rutin, dan
bahwa proses yang telah ditetapkan dengan menggunakan bahan
dan peralatan yang telah ditentukan, akan senantiasa menghasilkan
produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan.
1.2. Setiap proses dan peralatan hendaklah dilakukan tindakan
pembuktian ulang secara periodik untuk menjamin bahwa proses
15
dan peralatan tersebut tetap menghasilkan produk yang memenuhi
persyaratan yang berlaku
2. Pencemaran
2.1. Pencemaran fisik, kimiawi atau jasad renik terhadap produk yang
dapat merugikan kesehatan atau mempengaruhi mutu suatu produk
tidak boleh terjadi.
2.2. Pencemaran khamir, kapang dan atau kuman non patogen terhadap
produk meskipun sifat dan tingkatannya tidak berpengaruh
langsung pada kesehatan hendaklah dicegah sekecil mungkin
sampai dengan persyaratan batas yang berlaku.
3. Sistem Penomoran Kode Produksi
Sistem penomoran kode produksi hendaklah dapat memastikan
diketahuinya riwayat suatu bets atau lot secara lengkap. Dengan
diketahuinya asal usul produk jadi tersebut akan mempermudah tindak
lanjut pengawasannya.
3.1. Suatu sistem yang menjabarkan cara penomoran kode produksi
secara rinci diperlukan untuk memastikanbahwa produk antara,
produk ruahan dan produk jadi suatu bets dapat dikenali dengan
nomor kode produksi tertentu.
3.2. Sistem penomoran kode produksi hendaklah dapat menjamin
bahwa nomor kode produksi yang sama tidak digunakan secara
berulang.
3.3. Pemberian nomor kode produksi hendaklah segera dicatat dalam
suatu buku catatan harian. Catatan hendaklah mencakup tanggal
pemberian nomor, identitas produk dan besarnya bets yang
bersangkutan.
3.4. Penimbangan dan Penyerahan
3.4.1. Sebelum dilakukan penimbangan atau pengukuran
hendaklah dipastikan ketepatan timbangan dan ukuran serta
kebenaran bahan yang akan ditimbang.
16
3.4.2. Penimbangan, perhitungan dan penyerahan bahan baku,
bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan
hendaklah dicatat.
3.4.3. Untuk setiap penimbangan atau pengukuran hendaklah
dilakukan pembuktian kebenaran, ketepatan identitas dan
jumlah bahan yang ditimbang atau diukur oleh dua petugas
yang berbeda.
3.5. Pengolahan
3.5.1. Sebelum melaksanakan pengolahan hendaklah dilakukan
pengecekan kondisi ruangan, peralatan, prosedur
pengolahan, bahan dan hal lain yang diperlukan dalam
proses pengolahan.
3.5.2. Air yang digunakan dalam proses pengolahan sekurang-
kurangnya memenuhi persyaratan air minum.
3.5.3. Karyawan termasuk pakaian yang digunakan harus bersih
dan hendaklah mengenakan alat pelindung yang sesuai
(masker, sarung tangan, alas kaki, penutup kepala).
3.5.4. Wadah dan penutup yang dipakai untuk bahan yang akan
diolah, untuk produk antara dan produk ruahan, harus
bersih, dengan sifat dan jenis yang tepat untuk melindungi
produk dan bahan terhadap pencemaran atau kerusakan.
3.5.5. Semua wadah yang berisi produk antara dan produk ruahan
hendaklah diberi label secara tepat yang menyatakan nama
dan atau kode, jumlah, tahap pengolahannya dan nomor
kodeproduksi serta status bahan yang ada di dalamnya.
3.5.6. Pengolahan beberapa produk dalam waktu yang sama dalam
satu ruangan hendaklah dihindari untuk mencegah
terjadinya pencemaran silang antar produk.
3.5.7. Terhadap kegiatan pengolahan yang memerlukan kondisi
tertentu, hendaklah dilakukan pengawasan yang seksama,
17
misalnya pengaturan suhu, pengaturan tekanan uap,
pengaturan waktu dan atau pengaturan kelembaban.
3.5.8. Pengawasan dalam proses hendaklah dilakukan untuk
mencegah hal-hal yang menyebabkan kerugian terhadap
produk jadi.
3.5.9. Hasil pengawasan dalam proses (in proces control) dari
produk antara dan produk ruahan setiap bets hendaklah
dicatat dicocokkan terhadap persyaratan yang berlaku. Bila
ada penyimpangan yang berarti hendaklah diambil
perbaikan sebelum pengolahan bets tersebut dilanjutkan.
3.6. Pengemasan
Sebelum dilakukan pengemasan hendaklah dapat dipastikan
kebenaran identitas, keutuhan serta mutu produk ruahan dan bahan
pengemas.
3.6.1. Proses pengemasan hendaklah dilaksanakan dengan
pengawasan ketat untuk menjaga identitas dan kualitas
produk jadi.
3.6.2. Hendaklah ada prosedur tertulisuntuk kegiatan pengemasan.
Semua kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai
dengan instruksi yang diberikan dan menggunakan
pengemas yang tercantum pada prosedur pengemasan
tersebut.
3.6.3. Setiap penyerahan produk ruahan dan pengemas hendaklah
diperiksa dan diteliti kesesuaian satu sama lain.
3.6.4. Wadah yang akan digunakan diserahkan ke bagian
pengemasan hendaklah dalam keadaan bersih.
3.6.5. Untuk memperkecil terjadinya kesalahan dalam
pengemasan, label dan barang cetak lain hendaklah
dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki perbedaan
yang jelas antara satu produk dengan produk yang lainnya.
18
3.6.6. Produk yang bentuk atau rupanya sama atau hampir sama,
tidak boleh dikemas pada jalur berdampingan, kecuali ada
pemisahan fisik.
3.6.7. Wadah dan pembungkus produk ruahan hendaklah diberi
label atau penandaan yang menunjukkan identitas, jumlah,
nomor kode produksi dan status produk tersebut.
3.6.8. Pengemas atau bahan cetak yang berlebih, yang cacat dan
atau yang ditemukan pada waktu pembersihan hendaklah
diserahkan pada pimpinan bagian pengemasan untuk
dilakukan tindakan lebih lanjut.
3.6.9. Produk yang dikemas hendaklah diperiksa dengan teliti
untuk memastikan bahwa produk jadi tersebut sesuai
dengan persyaratan dalam prosedur pengemasan.
3.6.10. Produk yang telah selesai dikemas dikarantina, sambil
menunggu persetujuan dari bagian pengawasan mutu untuk
tindakan lebih lanjut.
3.7. Penyimpanan
3.7.1 Bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk
ruahan dan produk jadi, hendaklah disimpan secara teratur
dan rapi untuk mencegah risiko tercampur dan atau
terjadinya saling mencemari satu sama lain, serta untuk
memudahkan pemeriksaan, pengambilan dan
pemeliharaannya.
3.7.2 Bahan yang disimpan hendaklah diberi label atau
penandaan yang menunjukan identitas, kondisi, jumlah,
mutu dan cara penyimpanannya.
3.7.3 Pengeluaran bahan yang disimpan hendaklah dilaksanakan
dengan cara mendahulukan bahan yang disimpan lebih awal
(first in, first out) atau yang mempunyai batas kadaluwarsa
lebih awal (first expired, first out).
19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses produksi obat tradisional, menyangkut semua kegiatan
pembuatan dimulai dari pengadaan bahan awal termasuk penyiapan bahan
baku, pengolahan, sampai dengan pengemasan untuk menghasilkan produk
jadi, haruslah mengikuti Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB) yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan
senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan
tujuan penggunaannya.
B. Saran
Saya sebagai penyusun sadar bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan karena memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tidak dapat
dipungkiri, untuk itu diharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca.
20
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005. Pedoman Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik. Jakarta.
Hariana, A., 2005, Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri I, JakartaL Penebar
Swadaya.
21