Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

I.2 Rumusan Masalah

I.3 Tujuan Penulisan

I.4 Maksud Penulisan

BAB II : MATERI FLAVANOID

II.1 Pengertian Flavanoid

II.2 Sifat Kimia dan Fisika dari Senyawa Flavanoid

II.3 Klasifikasi Senyawa Flavanoid

II.4 Struktur Flavanoid dan Aktivitas Antioksidannya

II.5 Efek Biologis Flavanoid

II.6 Simplisia Tanaman yang Mengandung Flavanoid

II.7 Cara Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavanoid

BAB III : PENUTUP

III.1 Kesimpulan

III.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN JURNAL
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tingginya angka penderita penyakit jantung koroner dan kanker payudara, prostat, pankreas, kolon,
ovari, dan endometrium di negara maju berkorelasi dengan adanya konsumsi tinggi terhadap makanan
bergoreng, berkadar lemak tinggi, kolesterol tinggi dan berserat rendah, sebaliknya peningkatan resiko
terkena penyakit seperti hipertensi, stroke, dan kanker perut dan esophagus di negara berkembang
berkaitan dengan komsumsi yang tinggi terhadap makanan asin, berempah dan makanan yang proses
pengolahannya menggunakan asap (Deshpande et al., 1985). Adanya distribusi geografis terhadap
munculnya penyakit-penyakit tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara gaya hidup, tradisi dan
pola makan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat.

Fakta di atas menyadarkan manusia akan pentingnya peranan nutrisi-nutrisi tertentu di dalam makanan
dan korelasinya terhadap asal mula suatu penyakit. Studi epidemiologis mengenai hubungan penyakit
tertentu dengan pola diet seringkali cenderung menunjukkan adanya hubungan terbalik antara konsumsi
pangan, khususnya sayuran berdaun hijau-kuning dan buah-buahan dengan penyakit-penyakit tertentu
(Deshpande et al., 1985). Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, diyakini bahwa
flavonoid sebagai salah satu kelompok senyawa fenolik yang memiliki sifat antioksidatif serta berperan
dalam mencegah kerusakan sel dan komponen selularnya oleh radikal bebas reaktif.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengetahuan dan wawasan mengenai peranan penting flavonoid
sebagai antioksidan dan efek biologis yang dimilikinya. Hasil-hasil penelitian yang dipaparkan dalam
artikel ini dapat berperan sebagai tinjauan kolektif mengenai evaluasi epidemiologis flavonoid dan
hubungannya dengan penyakit-penyakit kronis tertentu.
I.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud flavanoid ?

2. Bagaiamana sifat kimia dan fisika dari senyawa flavanoid ?

3. Bagaiaman klasifikasi senyawa flavanoid ?

4. Bagaimana struktur flavanoid dan aktivitas antioksidannya ?

5. Bagaiaman efek biologis dari flavanoid ?

6. Sebutkan simplisia tanaman yang mengandung flavanoid !

7. Bagaiamana cara isolasi dan identifikasi senyawa flavanoid ?

I.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian flavanoid

2. Untuk mengetahui sifat kimia dan fisika dari senyawa flavanoid

3. Untuk menggetahui klasifikasi senyawa flavanoid

4. Untuk mengetahui struktur flavanoid dan aktivitas antioksidannya

5. Untuk mengetahui efek biologis dari flavanoid

6. Untuk mengetahui simplisia tanaman yang mengandung flavanoid

7. Untuk mengetahui cara isolasi dan identifikasi senyawa flavanoid

I.4 Manfaat Penulisan

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, untuk menambah wawasan dan
sebagai bahan pelajaran untuk dapat mendeskripsikan senyawa flavonoid.
BAB II

MATERI FLAVANOID

II.1 Pengertian Flavanoid

Flavonoid merupakan sejenis senyawa fenol terbesar yang ada, senyawa ini terdiri dari lebih dari 15
atom karbon yang sebagian besar bisa ditemukan dalam kandungan tumbuhan. Flavonoid juga dikenal
sebagai vitamin P dan citrin, dan merupakan pigmen yang diproduksi oleh sejumlah tanaman sebagai
warna pada bunga yang dihasilkan.Bagian tanaman yang bertugas untuk memproduksi flavonoid adalah
bagian akar yang dibantu oleh rhizobia, bakteri tanah yang bertugas untuk menjaga dan memperbaiki
kandungan nitrogen dalam tanah.

Tidak ada benda yang begitu menyolok seperti flavonoida yang memberikan kontribusi keindahan dan
kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di alam. Flavin memberikan warna kuning atau jingga,
antodianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi
kecuali warna hijau. Secara biologis flavonoida memainkan peranan penting dalam kaitan penyerbukan
tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoida mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak
sejenis ulat tertentu.

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-
senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan
dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan dengan warna kuning, kuning jeruk,
dan merah dapat ditemukan pada buah, sayuran, kacang, biji, batang, bunga, herba, rempah-rempah,
serta produk pangan dan obat dari tumbuhan seperti minyak zaitun, teh, cokelat, anggur merah, dan
obat herbal.

Senyawa ini berperan penting dalam menentukan warna, rasa, bau, serta kualitas nutrisi makanan.
Tumbuhan umumnya hanya menghasilkan senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan flavonoid pada
tingkat spesies, genus atau familia menunjukkan proses evolusi yang terjadi sepanjang sejarah hidupnya.
Bagi tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam pertahanan diri terhadap hama, penyakit, herbivori,
kompetisi, interaksi dengan mikrobia, dormansi biji, pelindung terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal
pada berbagai jalur transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan fertilitas jantan.

Senyawa flavonoid untuk obat mula-mula diperkenalkan oleh seorang Amerika bernama Gyorgy (1936).
Secara tidak sengaja Gyorgy memberikan ekstrak vitamin C (asam askorbat) kepada seorang dokter
untuk mengobati penderita pendarahan kapiler subkutaneus dan ternyata dapat disembuhkan. Mc.Clure
(1986) menemukan pula oleh bahwa senyawa flavonoid yang diekstrak dari Capsicum anunuum serta
Citrus limon juga dapat menyembuhkan pendarahan kapiler subkutan. Mekanisme aktivitas senyawa
tersebut dapat dipandang sebagai fungsi „alat komunikasi‟ (molecular messenger} dalam proses
interaksi antar sel, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme sel atau mahluk
hidup yang bersangkutan, baik bersifat negatif (menghambat) maupun bersifat positif (menstimulasi).

II.2 Sifat Kimia dan Fisika dari Senyawa Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa polifenol sehingga bersifat kimia senyawa fenol yaitu agak asam dan
dapat larut dalam basa, dan karena merupakan senyawa polihidroksi(gugus hidroksil) maka juga bersifat
polar sehingga dapat larut dalan pelarut polar seperti metanol, etanol, aseton, air, butanol, dimetil
sulfoksida, dimetil formamida. Disamping itu dengan adanya gugus glikosida yang terikat pada gugus
flavonoid sehingga cenderung menyebabkan flavonoid mudah larut dalam air.

Pemisahan senyawa golongan flavonoid berdasarkan sifat kelarutan dalam berbagai macam pelarut
dengan polaritas yang meningkat adalah sebagai berikut :

1. Flavonoid bebas dan aglikon,dalam eter .

2. O-Glikosida,dalam etil asetat.

3. C-Glikosida dan leukoantosianin dalambutanol dan amil alkohoI.

Oleh karena itu banyak keuntungan ekstraksi dengan polaritas yang meningkat.

II.3 Klasifikasi Senyawa Flavonoid

Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling beragam dan tersebar luas. Sekitar 5-10%
metabolit sekunder tumbuhan adalah flavonoid, dengan struktur kimia dan peran biologi yang sangat
beragam Senyawa ini dibentuk dari jalur shikimate dan fenilpropanoid, dengan beberapa alternatif
biosintesis. Flavonoid banyak terdapat dalam tumbuhan hijau (kecuali alga), khususnya tumbuhan
berpembuluh. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu,
kulit, tepung sari, nectar, bunga, buah buni dan biji. Kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis
oleh tumbuh-tumbuhan diubah menjadi flavonoid. Flavonoid merupakan turunan fenol yang memiliki
struktur dasar fenilbenzopiron (tokoferol), dicirikan oleh kerangka 15 karbon (C6-C3-C6) yang terdiri dari
satu cincin teroksigenasi dan dua cincin aromatis. Substitusi gugus kimia pada flavonoid umum- nya
berupa hidroksilasi, metoksilasi, metilasi dan glikosilasi. Klasifikasi flavonoid sangat beragam, di
antaranya ada yang mengklasifikasikan flavonoid menjadi flavon, flavonon, isoflavon, flavanol, flavanon,
antosianin, dan kalkon. Lebih dari 6467 senyawa flavonoid telah diidentifikasi dan jumlahnya terus
meningkat. Kebanyakan flavonoid berbentuk monomer, tetapi terdapat pula bentuk dimer (biflavonoid),
trimer, tetramer, dan polimer. Istilah flavonoid diberikan untuk senyawa-senyawa fenol yang berasal dari
kata flavon, yaitu nama dari salah satu flavonoida yang terbesar jumlahnya dalam tumbuhan. Senyawa-
senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2-fenilkroman, dimana posisi orto dari dari cincin A dan atom
karbon yang terikat pada cincin B dari 1,3 diarilpropana dihubungkan oleh jembatan oksigen sehingga
membentuk cincin heterosiklik yang baru (cincin C).
Senyawa-senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai
propane dari system 1,3-diarilpropana. Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis yang banyak
ditemukan di alam sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama. Banyaknya senyawa flavonoida ini
disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikosilasi dari struktur tersebut. Senyawa-
senyawa isoflavonoida dan neoflavonoida hanya ditemukan dalam beberapa jenis tumbuhan, terutama
suku leguminosae. Masing-masing jenis senyawa flavonoida mempunyai struktur dasar tertentu.
Flavonoida mempunyai beberapa cirri struktur yaitu: cincin A dari struktur flavonoida mempunyai pola
oksigenasi yang berselang-seling yaitu pada posisi 2,4 dan 6. Cincin B flavonoida mempunyai satu gugus
fungsi oksigen pada posisi para atau dua pada posisi para dan meta aau tiga pada posisi satu di para dan
dua di meta. Cincin A selalu mempunyai gugus hidroksil yang letaknya sedemikian rupa sehingga
memberikan kemungkinan untuk terbentuk cincin heterosiklik dalam senyawa trisiklis. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene (C6)
terikat pada suatu rantaipropana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat
menghasilkan tiga jenis struktur senyawa flavonoida, yaitu:

1. Flavonoida atau 1,3-diarilpropana

Beberapa senyawa flavonoida yang ditemukan di alam adalah sebagai berikut

a. Antosianin

Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas dalam tumbuhan. Secara
kimia antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya
terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan
metilasi. Antosianin tidak mantap dalam larutan netral atau basa. Karena itu antosianin harus diekstraksi
dari tumbuhan dengan pelarut yang mengandung asam asetat atau asam hidroklorida (misalnya metanol
yang mengandung HCl pekat 1%) dan larutannya harus disimpan di tempat gelap serta sebaiknya
didinginkan. Antosianidin ialah aglikon antosianin yang terbentuk bila antosianin dihidrolisis dengan
asam. Antosianidin terdapat enam jenis secara umum, yaitu : sianidin, pelargonidin, peonidin, petunidin,
malvidin dan delfinidin.

Antosianidin adalah senyawa flavonoid secara struktur termasuk kelompok flavon. Glikosida antosianidin
dikenal sebagai antosianin. Nama ini berasal dari bahasa Yunani antho-, bunga dan kyanos-, biru.
Senyawa ini tergolong pigmen dan pembentuk warna pada tanaman yang ditentukan oleh pH dari
lingkungannya. Senyawa paling umum adalah antosianidin, sianidin yang terjadi dalam sekitar 80 persen
dari pigmen daun tumbuhan, 69 persen dari buah-buahan dan 50 persen dari bunga. Kebanyakan warna
bunga merah dan biru disebabkan antosianin. Bagian bukan gula dari glukosida itu disebut suatu
antosianidin dan merupakan suatu tipe garam flavilium. Warna tertentu yang diberikan oleh suatu
antosianin, sebagian bergantung pada pH bunga. Warna biru bunga cornflower dan warna merah bunga
mawar disebabkan oleh antosianin yang sama, yakni sianin. Dalam sekuntum mawar merah, sianin
berada dalam bentuk fenol. Dalam cornflower biru, sianin berada dalam bentuk anionnya, dengan
hilangnya sebuah proton dari salah satu gugus fenolnya. Dalam hal ini, sianin serupa dengan indikator
asam-basa. Istilah garam flavilium berasal dari nama untuk flavon, yang merupakan senyawa tidak
berwarna. Adisi gugus hidroksil menghasilkan flavonol, yang berwarna kuning.

Dalam pengidentifikasian antosianin atau flavonoid yang kepolarannya rendah, daun segar atau daun
bunga jangan dikeringkan tetapi harus digerus dengan MeOH. Ekstraksi hampir segera terjadi seperti
terbukti dari warna larutan. Flavonoid yang kepolarannya rendah dan yang kadang-kadang terdapat pada
bagian luar tumbuhan, paling baik diisolasi hanya dengan merendam bahan tumbuhan segar dalam
heksana atau eter selama beberapa menit.

Stabilitas Antosianin

Antosianin secara umum mempunyai stabilitas yang rendah. Pada pemanasan yang tinggi, kestabilan dan
ketahanan zat warna antosianin akan berubah dan mengakibatkan kerusakan. Selain mempengaruhi
warna antosianin, pH juga mempengaruhi stabilitasnya, dimana dalam suasana asam akan berwarna
merah dan suasana basa berwarna biru. Antosianin lebih stabil dalam suasana asam daripada dalam
suasana alkalis ataupun netral. Zat warna ini juga tidak stabil dengan adanya oksigen dan asam askorbat.
Asam askorbat kadang melindungi antosianin tetapi ketika antosianin menyerap oksigen, asam askorbat
akan menghalangi terjadinya oksidasi. Pada kasus lain, jika enzim menyerang asam askorbat yang akan
menghasilkan hydrogen peroksida yang mengoksidasi sehingga antosianin mengalami perubahan warna.
Warna pigmen antosianin merah, biru, violet, dan biasanya dijumpai pada bunga, buah-buahan dan
sayur-sayuran. Dalam tanaman terdapat dalam bentuk glikosida yaitu membentuk ester dengan
monosakarida (glukosa, galaktosa, ramnosa dan kadang-kadang pentosa). Sewaktu pemanasan dalam
asam mineral pekat, antosianin pecah menjadi antosianidin dan gula.

Pada pH rendah (asam) pigmen ini berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi violet dan
kemudian menjadi biru. Pada umumnya, zat-zat warna distabilkan dengan penambahan larutan buffer
yang sesuai. Jika zat warna tersebut memiliki pH sekitar 4 maka perlu ditambahkan larutan buffer asetat,
demikian pula zat warna yang memiliki pH yang berbeda maka harus dilakukan penyesuaian larutan
buffer. Warna merah bunga mawar dan biru pada bunga jagung terdiri dari pigmen yang sama yaitu
sianin. Perbedaannya adalah bila pada bunga mawar pigmennya berupa garam asam sedangkan pada
bunga jagung berupa garam netral. Konsentrasi pigmen juga sangat berperan dalam menentukan warna.
Pada konsentrasi yang encer antosianin berwarna biru, sebaliknya pada konsentrasi pekat berwarna
merah dan konsentrasi biasa berwarna ungu. Adanya tanin akan banyak mengubah warna antosianin.
Dalam pengolahan sayur-sayuran adanya antosianin dan keasaman larutan banyak menentukan warna
produk tersebut. Misalnya pada pemasakan bit atau kubis merah. Bila air pemasaknya mempunyai pH 8
atau lebih (dengan penambahan soda) maka warna menjadi kelabu violet tetapi bila ditambahkan cuka
warna akan mejadi merah terang kembali. Tetapi jarang makanan mempunyai pH yang sangat tinggi.
Dengan ion logam, antosianin membentuk senyawa kompleks yang berwarna abu-abu violet. Karena itu
pada pengalengan bahan yang mengandung antosianin, kalengnya perlu mendapat lapisan khusus
(lacquer)
b. Flavonol

Flavonol lazim sebagai konstituen tanaman yang tinggi, dan terdapat dalam berbagai bentuk
terhidroksilasi. Flavonol alami yang paling sederhana adalah galangin, 3,5,7 –tri-hidroksiflavon;
sedangkan yang paling rumit, hibissetin adalah 3,5,7,8,3’,4’,5’ heptahidroksiflavon. Bentuk khusus
hidroksilasi (C6(A)-C3-C6(B), dalam mana C6 (A) adalah turunan phloroglusional, dan cincin B adalah 4-
atau 3,4-dihidroksi, diperoleh dalam 2 flavonol yang paling lazim yaitu kaempferol dan quirsetin.
Hidroksiflavonol, seperti halnya hidroksi flavon, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai glikosida.
Flavonol kebanyakan terdapat sebagai 3-glikosida. Meskipun flavon, flavonol, dan flavanon pada
umumnya terdistribusi melalui tanaman tinggi tetapi tidak terdapat hubungan khemotakson yang jelas.
Genus Melicope mengandung melisimpleksin dan ternatin, dan genus citrus mengandung nobiletin,
tangeretin dan 3’,4’,5,6,7-pentametoksiflavon.

c. Flavonon

d. Khalkon

Polihidroksi khalkon terdapat dalam sejumlah tanaman, namun terdistribusinya di alam tidak lazim.
Alasan pokok bahwa khalkon cepat mengalami isomerasi menjadi flavanon dalam satuan keseimbangan.
Bila khalkon 2,6-dihidroksilasi, isomer flavanon mngikat 5 gugus hidroksil, dan stabilisasi mempengaruhi
ikatan hydrogen 4-karbonil-5-hidroksil maka menyebabkan keseimbangan khalkon-flavon condong ke
arah flavanon. Hingga khalkon yang terdapat di alam memiliki gugus 2,4-hidroksil atau gugus 2-hidroksil-
6-glikosilasi.

Struktur khalkon.

Beberapa khalkon misalnya merein, koreopsin, stillopsin, lanseolin yang terdapat dalam tanaman,
terutama sebagai pigmen daun bunga berwarna kuning, kebanyakan terdapat dalam tanaman
Heliantheaetribe, Coreopsidinae subtribe, dan family Compositea.

e. Auron (Cincin A –COCO CH2 – Cincin B)

f. Dihidrokhalkon.

Meskipun dihidrokhalkon jarang terdapat di alam, namun satu senyawa yang penting yaitu phlorizin
merupakan konstituen umum family Rosaceae juga terdapat dalam jenis buah-buahan seperti apel dan
pear. Phlorizin telah lama dikenal dalam bidang farmasi, ia memiliki kesanggupan menghasilkan kondisi
seperti diabetes. Phlorizin merupakan β-D-glukosida phloretin. Phloretin mudah terurai oleh alkali kuat
menjadi phloroglusional dan asam p-hidroksihidrosinamat. Jika glukosida phlorizin dipecah dengan alkali
dengan cara yang sama, maka ternyata sisa glukosa tidak dapat terlepas dan dihasilkan phloroglusinol β-
O-glukosida.

g. Flavon
Flavon mudah dipecah oleh alkali menghasilkan diasil metan atau tergantung pada kondisi reaksi, asam
benzoate yang diturunkan dari cincin A. flavon stabil terhadap asam kuat dan eternya mudah didealkilasi
dengan penambahan HI atau HBr, atau dengan aluminium klorida dalam pelarut inert. Namun demikian,
selama demetilasi tata ulang sering teramati; oleh pengaruh asam kuat dapat menyebabkan pembukaan
cincin pada cara yang lain. Sebagai contoh demetilasi 5,8-dimetoksiflavon dengan HBr dalam asam asetat
menghasilkan 5,6 dihidroksiflavon (persamaan 1). Dalam keadaan khusus pembukaan lanjut dapat
terjadi (persamaan 2).

Demetilasi gugus 5-metoksi dalam polimetoksiflavon segera terjadi pada kondisi yang cocok, sehingga 5-
hidroksi-polimetoksiflavon mudah dibuat.

Flavon alam

2. Isoflavonoida atau 1,2-diarilpropana.

Isoflavon terdiri atas struktur dasar C6-C3-C6, secara alami disintesa oleh tumbuh-tumbuhan dan
senyawa asam amino aromatik fenilalanin atau tirosin. Biosintesa tersebut berlangsung secara bertahap
dan melalui sederetan senyawa antara yaitu asam sinnamat, asam kumarat, calkon, flavon dan isoflavon.
Berdasarkan biosintesa tersebut maka isoflvon digolongkan sebagai senyawa metabolit sekunder.
Isoflavon termasuk dalam kelompok flavonoid (1,2-diarilpropan) dan merupakan kelompok yang
terbesar dalam kelompok tersebut. Meskipun isoflavon merupakan salah satu metabolit sekunder, tetapi
ternyata pada mikroba seperti bakteri, algae, jamur dan lumut tidak mengandung isoflavon, karena
mikroba tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesanya. Jenis senyawa isoflavon di alam
sangat bevariasi. Diantaranya telah berhasil diidentifikasi struktur kimianya dan diketahui fungsi
fisiologisnya, misalnya isoflavon, rotenoid dan kumestan, serta telah dapat dimanfaatkan untuk obat-
obatan. Berbagai potensi senyawa isoflavon untuk keperluan kesehatan antara lain:

a. Anti-inflamasi

Mekanisme anti-inflamasi terjadi melalui efek penghambatan jalur metabolisme asam arachidonat,
pembentukan prostaglandin, pelepasan histamin, atau aktivitas „radical scavenging’ suatu molekul.
Melalui mekanisme tersebut, sel lebih terlindung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan
viabilitas sel. Senyawa flavonoid yang dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi adalah toksifolin, biazilin,
haematoksilin, gosipin, prosianidin, nepritin, dan lain-lain.

b. Anti-tumor/Anti-kanker

Senyawa isoflavon yang berpotensi sebagai antitumor/antikanker adalah genistein yang merupakan
isoflavon aglikon (bebas). Genistein merupakan salah satu komponen yang banyak terdapat pada kedelai
dan tempe. Penghambatan sel kanker oleh genistein, melalui mekanisme sebagai berikut : (1)
penghambatan pembelahan/proliferasi sel (baik sel normal, sel yang terinduksi oleh faktor pertumbuhan
sitokinin, maupun sel kanker payudara yang terinduksi dengan nonil-fenol atau bi-fenol A) yang
diakibatkan oleh penghambatan pembentukan membran sel, khususnya penghambatan pembentukan
protein yang mengandung tirosin; (2) penghambatan aktivitas enzim DNA isomerase II; (3)
penghambatan regulasi siklus sel; (4) sifat antioksidan dan anti-angiogenik yang disebabkan oleh sifat
reaktif terhadap senyawa radikal bebas; (5) sifat mutagenik pada gen endoglin (gen transforman faktor
pertumbuhan betha atau TGFβ). Mekanisme tersebut dapat berlangsung apabila konsentrasi genestein
lebih besar dari 5μM.

c. Anti-virus

Mekanisme penghambatan senyawa flavonoida pada virus diduga terjadi melalui penghambatan sintesa
asam nukleat (DNA atau RNA) dan pada translasi virion atau pembelahan dari poliprotein. Percobaan
secara klinis menunjukkan bahwa senyawa flavonoida tersebut berpotensi untuk penyembuhan pada
penyakit demam yang disebabkan oleh rhinovirus, yaitu dengan cara pemberian intravena dan juga
terhadap penyakit hepatitis B. Berbagai percobaan lain untuk pengobatan penyakit liver masih terus
berlangsung.

d. Anti-allergi

Aktivitas anti-allergi bekerja melalui mekanisme sebagai berikut : (1) penghambatan pembebasan
histamin dari sel-sel „mast‟, yaitu sel yang mengandung granula, histamin, serotonin, dan heparin; (2)
penghambatan pada enzim oxidative nukleosid-3‟,5‟ siklik monofast fosfodiesterase, fosfatase, alkalin,
dan penyerapan Ca; (3) berinteraksi dengan pembentukan fosfoprotein. Senyawa-senyawa flavonoid
lainnya yang digunakan sebagai anti-allergi antara lain terbukronil, proksikromil, dan senyawa kromon.

e. Penyakit kardiovaskuler

Berbagai pengaruh positif isoflavon terhadap sistem peredaran darah dan penyakit jantung banyak
ditunjukkan oleh para peneliti pada aspek berlainan. Khususnya isoflavon pada tempe yang aktif sebagai
antioksidan, yaitu 6,7,4- trihidroksi isoflavon (Faktor-II), terbukti berpotensi sebagai anti kotriksi
pembuluh darah (konsentrasi 5μg/ml) dan juga berpotensi menghambat, pembentukan LDL (low density
lipoprotein). Dengan demikian isoflavon dapat mengurangi terjadinya arterosclerosis pada pembuluh
darah. Pengaruh isoflavon terhadap penurunan tekanan darah dan resiko CVD (cardio vascular deseases)
banyak dihubungkan dengan sifat hipolipidemik dan hipokholesteremik senyawa isoflavon.

f. Estrogen dan Osteoporosis

Pada wanita menjelang menopause, produksi estrogen menurun sehingga menimbulkan berbagai
gangguan. Estrogen tidak saja berfungsi dalam sistem reproduksi, tetapi juga berfungsi untuk tulang,
jantung, dan mungkin juga otak. Dalam melakukan kerjanya, estrogen membutuhkan reseptor estrogen
(ERs) yang dapat “on/off” di bawah kendali gen pada kromosom yang disebut _-ER. Beberapa target
organ seperti pertumbuhan dada, tulang, dan empedu responsif terhadap _-ER tersebut. Isoflavon,
khususnya genistein, dapat terikat dengan _-ER. Walaupun ikatannya lemah, tetapi dengan β-ER
mempunyai ikatan sama dengan estrogen. Senyawa isoflavon terbukti mempunyai efek hormonal,
khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur isoflavon yang dapat
ditransformasikan menjadi equol. Dimana equol mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon
estrogen. Mengingat hormon estrogen berpengaruh pula terhadap metabolisme tulang, terutama proses
kalsifikasi, maka adanya isoflavon yang bersifat estrogenik dapat berpengaruh terhadap berlangsungnya
proses kalsifikasi. Dengan kata lain, isoflavon dapat melindungi proses osteoporosis pada tulang sehingga
tulang tetap padat dan masif.

g. Anti kolesterol

Efek isoflavon terhadap penurunan kolesterol terbukti tidak saja pada hewan percobaan seperti tikus dan
kelinci, tetapi juga manusia. Pada penelitian dengan menggunakan tepung kedelai sebagai perlakuan,
menunjukkan bahwa tidak saja kolesterol yang menurun, tetapi juga trigliserida VLDL (very low density
lipoprotein) dan LDL (low density lipoprotein). Di sisi lain, tepung kedelai dapat meningkatkan HDL (high
density lipoprotein) (Amirthaveni dan Vijayalakshmi, 2000). Mekanisme lain penurunan kolesterol oleh
isoflavon dijelaskan melalui pengaruh peningkatan katabolisme sel lemak untuk pembentukan energi
yang berakibat pada penurunan kandungan kolesterol.

3. Neoflavonoida atau 1,1-diarilpropana

Neoflavonoid meliputi jenis-jenis 4-arilkumarin dan berbagai dalbergoin.

Penggolongan flavonoid berdasarkan jenis ikatan sebagai berikut :

a. Flavonoid O-Glikosida

Pada senyawa ini gugus hidroksil flavonoid terikat pada satu gula atau lebih dengan ikatan hemiasetal
yang tidak tahan asam, pengaruh glikosida ini nenyebabkan flavonoid kurang reaktif dan lebih mudah
larut dalam air. Gula yang paling umum terlibat adalah glukosa disamping galaktosa, ramilosa, silosa,
arabinosa, fruktosa dan kadang-kadang glukoronat dan galakturonat. Disakarida juga dapat terikat pada
flavonoid misalnya soforosa, gentibiosa, rutinosa dan lain-lain.

b. Flavonoid C-Glikosida

Gugus gula terikat langsung pada inti benzen dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam.
Lazim di temukan gula terikat pada atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat
lebih sedikit dibandingkan dengan O-glikosida. Gula paling umum adalah galaktosa, raminosa, silosa,
arabinosa.

c. Flavonoid Sulfat

Senyawa flavonoid yang mengandung satu ion sulfat atau lebih yang terikat pada OH fenol atau gula,
Secara teknis termasuk bisulfate karena terdapat sebagai garam yaitu flavon O-SO3K. Banyak berupa
glikosida bisulfat yang terikat pada OH fenol yang mana saja yang masih bebas atau pada guIa. Umumnya
hanya terdapat pada Angiospermae yang mempunyai ekologi dengan habitat air.

d. Biflavonoid
Senyawa ini mula-mula ditemukan oleh Furukawa dari ekstrak daun G. biloba berupa senyawa berwarna
kuning yang dinamai ginkgetin (I-4’, I-7-dimetoksi, II-4’, I-5, II-5, II-7-tetrahidroksi [I-3’, II-8] biflavon).
Biflavonoid (atau biflavonil, flavandiol) merupakan dimer flavonoid yang dibentuk dari dua unit flavon
atau dimer campuran antara flavon dengan flavanon dan atau auron. Struktur dasar biflavonoid adalah
2,3-dihidroapigeninil-(I- 3′,II-3′)-apigenin. Senyawa ini memiliki ikatan interflavanil C-C antara karbon C-3′
pada masing-masing flavon. Beberapa biflavonoid dengan ikatan interflavanil C- O-C juga ada. Biflavonoid
terdapat pada buah, sayuran, dan bagian tumbuhan lainnya.. Hingga kini jumlah biflavonoid yang
diisolasi dan dikarakterisasi dari alam terus bertambah, namun yang diketahui bioaktivitasnya masih
terbatas. Biflavonoid yang paling banyak diteliti adalah ginkgetin, isoginkgetin, amentoflavon,
morelloflavon, robustaflavon, hinokiflavon, dan ochnaflavon. Senyawa- senyawa ini memiliki struktur
dasar yang serupa yaitu 5,7,4’-trihidroksi flavanoid, tetapi berbeda pada sifat dan letak ikatan antar
flavanoid

II.4 Struktur Flavonoid dan Aktivitas Antioksidannya

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan
di dalam jaringan tanaman (Rajalakshmi dan S. Narasimhan, 1985). Flavonoid termasuk dalam golongan
senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6 (White dan Y. Xing, 1951; Madhavi et al., 1985;
Maslarova, 2001) (Gambar 1). Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin aromatik
B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini
dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya (Hess, tt). Sistem penomoran
digunakan untuk membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya (Cook dan S. Samman, 1996).

Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah satu kelompok
antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-sayuran dan buah, telah banyak dipublikasikan.
Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui
kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa)
atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppett et al.,1954).

Gambar 1. Kerangka C6 – C3 – C6 Flavonoid

Pada sorgum yang diekstraksi dengan metanol, didapatkan tiga jenis anthocyanogen flavonoid, satu jenis
merupakan flavonone (kemungkinan eriodictyol) dan sisanya adalah anthocyanidin (pelargonidin)
(Yumatsu et al., 1965). Narasimhan et al. (1988, 1989) melaporkan bahwa telah ditemukan komponen
aktif dari ekstrak kulit gabah dua kultivar padi, Katakura (Oryza sativa Linn, var. Indica; berumur panjang)
dan Kusabue (Oryza sativa Linn, var. Japonica; berumur pendek), berupa substansi flavonoid dan salah
satunya diidentifikasi sebagai isovitexin, yaitu senyawa C-glycosil flavonoid yang memiliki aktivitas
antioksidan sebanding dengan -tokoferol. Kemudian oleh Osawa et al. (1992) telah diisolasi suatu
senyawa flavonoid baru dari daun green barley muda (Hordeum vulgare L. var. nudum Hook) yang
diidentifikasi sebagai 2’’-O-Glycosylisovitexin (2’’-O-GIV). Berdasarkan pengujian dengan sistem
peroksidasi lipid, 100 M senyawa 2’’-O-GIV pada pH 7,4 dalam kondisi irradiasi UV, mampu menekan
pembentukan 40% malonaldehyde (tidak berbeda nyata dengan -tokoferol pada konsentrasi yang
sama) (Kitta et al., 1992). Sedangkan vitexin dan isovitexin yang diisolasi dari ekstrak kulit gabah
buckwheat (Fagopyrum esculentum Moench) tidak menunjukkan aktivitasnya sebagai peroxy radical
scavenger (Watanabe et al., 1997). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar flavonoid terikat
pada jagung, gandum, oat dan padi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kadar flavonoid dalam
bentuk bebasnya (Adom dan Rui Hai Liu, 2002) (Gambar 2). Bentuk flavonoid terikat memiliki koefisien
korelasi yang nyata terhadap aktivitas antioksidan total (r2 = 0,925).

Dalam upaya mengoptimasi metode penentuan kuantitatif flavonoid dengan HPLC, Hertog et al. (1992a)
telah mendapatkan beberapa senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai anti-karsinogenik dari
sejumlah sayuran dan buah (Tabel 1). Hasil studi selanjutnya terhadap 28 jenis sayuran dan 9 jenis buah-
buahan yang secara umum dikonsumsi di Belanda (Hertog et al., 1992b), menunjukkan adanya senyawa
quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin dan luteolin.

Pada penelitian lanjut (Hertog et al., 1993) diketahui pula adanya senyawa-senyawa flavonoid seperti
quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin dan luteolin pada 12 jenis teh, 6 jenis minuman anggur dan 7
macam jus buah yang biasa dijumpai pada pusat-pusat perbelanjaan di Belanda

II.5 Flavanoid dan Efek Biologisnya

Fakta menunjukkan bahwa hampir semua komponen nutrisi yang diidentifikasi berperan sebagai agen
protektif terhadap penyakit-penyakit tertentu dalam survei/penelitian mengenai diet, sejauh ini
mempunyai beberapa sifat antioksidatif (Deshpande et al., 1985). Pada uraian sebelumnya, telah
dipaparkan bahwa beberapa senyawa flavonoid seperti quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin,
luteolin, vitexin dan isovitexin terdapat pada sereal, sayuran, buah dan produk olahannya dengan
kandungan yang bervariasi serta sebagian besar memiliki sifat sebagai antioksidan. Hal ini telah
memperkuat dugaan bahwa flavonoid memiliki efek biologis tertentu berkaitan dengan sifat
antioksidatifnya tersebut.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara asupan flavonoid dengan
resiko munculnya penyakit jantung koroner. Efek kardioprotektif flavonoid sebagai sumber diet telah
ditinjau oleh Cook dan S. Samman (1996). Antioksidan alami seperti flavonoid yang banyak terdapat
pada minuman dan buah anggur, diketahui memiliki kontribusi dalam menghambat oksidasi LDL (low
density lipoprotein) secara ex-vivo (Kanner et al., 1994). Produk oksidatif LDL dapat menyebabkan
terjadinya penyempitan pembuluh darah koroner. Tampaknya aktivitas minuman anggur dalam
melindungi LDL manusia dari oksidasi terdistribusi cukup luas diantara komponen-komponen phenolik
utamanya (Frankel et al., 1995). Kemudian dengan menggunakan Model Oksidasi in Vitro untuk Penyakit
Jantung (in Vitro Oxidation Model for Heart Desease) diketahui bahwa isoflavon ganeistein dan
flavonone hesperetin menunjukkan aktivitas antioksidan terikat-lipoprotein (IC50) yang lebih tinggi dari
tokoferol (Vinson et al., 1995a). Pada metode yang sama, senyawa flavonol yang terdapat dalam teh
diketahui bersifat sebagai antioksidan yang kuat (Vinson et al., 1995b). Konsumsi tujuh sampai delapan
cangkir teh hijau yang mengandung epigallocathecingallate (kira-kira 100 mL tiap cangkir) dapat
meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi in vivo, sehingga dapat menurunkan resiko terkena
penyakit kardiovaskuler (Miura et al., 2000). Hasil dari studi yang dilakukan oleh Zhu et al. (2000)
menunjukkan bahwa senyawa-senyawa flavonoid alami seperti kaempferol, morin, myricetin, dan
quercetin memiliki aktivitas perlindungan yang bervariasi terhadap penurunan kandungan α-tokoferol
dalam LDL sedangkan kaempferol dan morin kurang efektif dibandingkan dengan myricetin dan
quercetin. Komponen α-tokoferol (bentuk umum vitamin E) dikenal sebagai antioksidan primer yang
dapat melindungi LDL dari oksidasi.

Selain efek kardioprotektif, telah banyak pula hasil penelitian yang menunjukkan bahwa flavonoid
mempunyai kontribusi dalam aktivitas anti-proliferatif pada sel kanker manusia. Diketahui bahwa dari
hasil penelitian, tangeretin, suatu senyawa flavonoid yang terdapat pada citrus, dapat menghambat sel
tumor manusia (Bracke et al., 1994). Manthey dan Najla Guthrie (2002) menyatakan bahwa senyawa
flavone polymethoxylated pada citrus (termasuk senyawa alami dan sejumlah senyawa analog
sintetisnya) menunjukkan aktivitas anti-proliverativ terhadap 6 jenis sel kanker. Aktivitas yang tinggi
dapat dilihat pada 5-desmethylsinensetin, suatu senyawa minor pada kulit jeruk (orange), dengan nilai
rata-rata IC50 dan IC90-nya adalah 1,4 dan 4,4 μM. Sedangkan nilai rata-rata IC50 dan IC90 untuk
kelompok senyawa alami terhadap 6 sel kanker adalah 7,6 ± 9,4 dan 29,2 ± 39,4 μM.

II.6 Simplisia Tanaman Yang Mengandung Flavonoid

Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit,
tepungsari, nektar, bunga, buah dan biji. Hanya sedikit catatan yang melaporkan flavonoid pada hewan,
misalnya dalam kelenjar bau berang-berang, propilis (sekresi lebah), sayap kupu-kupu, yang mana
dianggap bukan hasil biosintesis melainkan dari tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut,
Senyawa antosianin sering dihubungkan dengan warna bunga tumbuhan. Sianidin umumnya terdapat
pada suku Gramineae. Senyawa biflavonoid banyak terdapat pada subdivisi Gymnospernae sedang
isoflavonoid pada suku leguminosae. Pada tumbuhan yang mempunyai morfologi sederhana seperti
lumut, paku, dan paku ekor kuda mengandung senyawa flavonoid O-GIikosida, flavonol, flavonon,
Khalkon, dihidrokhalkon, C-Gl ikosida . Angiospermae mengandung senyawa flavonoid kompleks yang
lebih banyak.

Berikut beberapa contoh tanaman yang mengandung flavonoid :

1. Kembang Sepatu

Nama simplisia : Hibiscus rosa-sinensidis Folium, Hibiscus rosa sinensidis Radix

Nama Tanaman Asal : Hibiscus rosa-sinensis L.

Keluarga : Malvaceae

Zat berkhasiat : Lendir, flavonoid, dan zat samak


Penggunaan : Akar : Batuk, bronkitis, demam, haid tidak teratur, infeksi saluran kemih,
keputihan, pelembut kulit, radang kemih dan sariawan, bisul (obat luar), radang kulit bernanah (obat
luar), radang payudara(obat luar) Anti inflamasi, diuretik, analgesik, sedatif, dan ekspectoran.

2. Mahoni

Nama simplisia : Swieteniae Radix

Nama Tanaman Asal : Swietenia mahaboni Jacq.

Keluarga : Meliaceae

Zat berkhasiat : Saponin dan flavonoida

Penggunaan : Tekanan darah tinggi (hipertensi), kencing manis (diabetes militus), kurang nafsu
makan, masuk angin, demam, rematik.

3. Nangka

Nama simplisia : Artocarpi Lignum

Nama Tanaman Asal : Artocarpus integra Merr. Thumb.

Keluarga : Moraceae

Zat berkhasiat : Morin, flavon, sianomaklurin (zat samak), dan tanin

Penggunaan : Anti spasmodik dan sedatif

4. Remak Daging

Nama simplisia : Hemigraphis coloratae Folium

Nama Tanaman Asal : Hemigraphis colorata Hall.

Keluarga : Euphorbiaceae

Zat berkhasiat : Flavonoid, natrium, senyawa kalium

Penggunaan : Disentri, wasir, perdarahan sesudah melahirkan. Diuretik dan hemostatik

5. Temu Putih
Nama simplisia : Zedoariae Rhizoma

Nama Tanaman Asal : Curcuma zedoaria Berg. Roscoe.

Keluarga : Zingiberaceae

Zat berkhasiat : Minyak atsiri zingiberin, sineol, prokurkumenol, kurkumenol,


kurkumolisofuranolgermakrena, kukumadeol, hars, zat pati lendir, minyak lemak, saponin, polivenol dan
flavonoid.

Penggunaan : Kanker rahim, kanker kulit, pencernaan tidak baik, nyeri hamil rahim membesar,
sakit maag, memar (obat luar), pelega perut. Antineoplastik, kholeretik, stomakik, antiflogostik, dan
antipiretik.

II.6 Isolasi dan Identifikasi Dari Senyawa Flavonoid.

1. Isolasi Flavonoid

Isolasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode ekstraksi, yakni dengan cara maserasi atau
sokletasi menggunakan pelarut yang dapatmelarutkan flavonoid. Flavonoid pada umumnya larut dalam
pelarutpolar, kecuali flavonoid bebas seperti isoflavon, flavon, flavanon,dan flavonol termetoksilasi lebih
mudah larut dalam pelarut semipolar. Oleh karena itu pada proses ekstraksinya, untuk tujuanskrining
maupun isolasi, umumnya menggunakan pelarut methanol atauetanol. Hal ini disebabkan karena pelarut
ini bersifat melarutkan senyawa–senyawa mulai dari yang kurang polar sampai dengan polar. Ekstrak
methanol atau etanol yang kental, selanjutnya dipisahkankandungan senyawanya dengan tekhnik
fraksinasi, yang biasanyaberdasarkan kenaikan polaritas pelarut (Monache, 1996).

Senyawa flavonoid diisolasi dengan tekhnik maserasi,mempergunakan poelarut methanol teknis.


Ekstraksi methanol kental kemudian dilarutkan dalam air. Ekstrak methanol–air kemudian difraksinasi
dengan n-heksan dan etil asetat. Masing–masing fraksiyang diperoleh diuapkan, kemudian diuji
flavonoid. Untuk mendeteksiadanya flavonoid dalam tiap fraksi, dilakukan dengan melarutkansejumlah
kecil ekstrak kental setiap fraksi kedalam etanol.Selanjutnya ditambahkan pereaksi flavonoid seperti :
natriumhidroksida, asam sulfat pekat, bubuk magnesium–asam klorida pekat,atau natrium amalgam–
asam klorida pekat. Uji positif flavonoidditandai dengan berbagai perubahan warna yang khas setiap
jenisflavonoid (Geissman, 1962).

Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom,
kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan
kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat
memisahkan komponen paling baik (Harborne, 1987). Flavonoid (terutama glikosida) mudah mengalami
degradasi enzimatik ketika dikoleksi dalam bentuk segar. Oleh karena itu disarankan koleksi yang
dikeringkan atau dibekukan. Ekstraksi menggunakan solven yang sesuai dengan tipe flavonoid yg
dikehendaki. Polaritas menjadi pertimbangan utama. Flavonoid kurang polar (seperti isoflavones,
flavanones, flavones termetilasi, dan flavonol) terekstraksi dengan chloroform, dichloromethane, diethyl
ether, atau ethyl acetate, sedangkan flavonoid glycosides dan aglikon yang lebih polar terekstraksi
dengan alcohols atau campuran alcohol air. Glikosida meningkatkan kelarutan ke air dan alkohol-air.
Flavonoid dapat dideteksi dengan berbagai pereaksi, antara lain:

a. Sitroborat

b. AlCl3

c. NH3

Sebelum melakukan suatu isolasi senyawa, maka yang dilakukan adalah ekstraksi terlebih dahulu.

a. Ekstraksi

Ekstraksi artinya mengambil atau menarik suatu senyawa yang terdapat dalam suatu bahan dengan
pelarut yang sesuai. Proses yang terjadi dalam ekstraksi adalah terlarutnya senyawa yang dapat larut dari
sel melalui difusi, tergantung dari letak senyawa dalam sel dan juga permeabilitas dinding sel dari bahan
yang akan di ekstraksi.

Ekstraksi adalah suatu proses atau metode pemisahan dua atau lebih komponendengan menambahkan
suatu pelarut yang hanya dapat melarutkan salahsatu komponennya saja. Dalam prosedur ekstraksi,
larutan berair biasanya dikocok dengan pelarutorganik yang tak dapat larut dalam sebuah corong
pemisah. Zat – zatyang dapt larut akan terdistribusi diantara lapisan air dan lapisanorganik sesuai dengan
(perbedaan) kelarutannya. Padaekstraksi senyawa – senyawa organik dari larutan berair, selain airatau
eter, biasanya digunakan pula etil asetat, benzena, kloroform dan sebagainya. Ekstraksi lebih efisien bila
dilakukan berulang kali dengan jumlah pelarut yanglebih kecil dari pada bila jumlah pelarutnya banyak
tapi ekstraknyahanya sekali (Markham, 1988).

Metode ekstraksi terdiri atas dua jenis yakni ekstraksi panas dan ekstraksi dingin. Ekstraksi panas
menggunakan cara refluks dan destilasi uap sedangkan ekstraksi secara dingin menggunakan cara
maserasi,perkolasi dan soxhletasi.

1. Ekstraksi Secara Panas

a. Ekstraksi Secara Refluks

Ekstraksi secara refluks adalah cara berkesinambungan dimana cairan penyari secara kontinyu menyari
zat aktif dalam sampel.

b. Ekstraksi Secara Destilasi Uap


Ekstraksi secara destilasi uap adalah cara yang digunakan untuk menyaring saampel yang mangandung
minyak yang mudah menguap ataumengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi
padatekanan udara normal. Destilasi merupakan metode ekstraksi yang memanfaatkan perbedaan titik
didih dari senyawa. Biasa digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri.

2. Ekstraksi Secara Dingin

a. Ekstraksi Secara Maserasi

Secara harfiah berarti merendam. Ekstraksi secara maserasi merupakan cara penyarian yang
palingsederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalamcairan penyari. Metode ini
merupakan metode yang paling sederhana. Tidak ada batas pelarut dalam metode ini. Jika menggunakan
metode ini, simplisia dibasahkan terlebih dahulu, jika tidak di khawatirkan akan ada simplisia yang tidak
teraliri pelarut. Proses maserasi sendiri dilakukan secara berulang dengan memisahkan cairan perendam
dengan cara penyaringan, dekantir atau di peras, selanjutnya ditambahkan lagi penyari segar kedalam
ampas hingga warna rendaman sama dengan warna pelarut.

b. Ekstraksi Secara Perkolasi

Perkolasi adalah suatu cara penarikan dengan memakai alat yang yang disebut perkolator, dimana
simplisia terendam dalam cairan penyari sehingga zat-zatnya terlarut dan larutan tersebut akan menetes
secara beraturan keluar sampai memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Ekstraksi secara perkolasi
merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk sampel
yang telah dibasahi.

c. Ekstraksi Secara Soxhletasi

Merupakan metode ekstraksi yang memanfaatkan pemanasan untuk destilasi pelurut sehingga terjadi
sirkulasi pelarut melalui serbuk simplisia. Metode ini efisiensi dalam pemanfaatan pelarut tetapi berisiko
pembentukan artefak akibat penggunaaan panas. Ekstraksi secara soxhletasi merupakan cara penyarian
sampel secaraberkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uapcairan penyari
terkondensasi menjadi molekul-molekul cairan oleh pendingin balik dan turun menyari sampel di dalam
klonson dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa siphon.

b. Kromatografi

Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik pemisahan tertentu. Pada dasarnya semua
cara kromatografi menggunakan dua fase yaitu fasa tetap (stationary) dan fasa gerak (mobile),
pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fasa tersebut. Kromatografi secara garis besar dapat
dibedakan menjadi kromatografi kolom dankromatografi planar. Kromatografi kolom terdiri atas
kromatografi gas dan kromatografi cair, sedangkan kromatografi planar terdiri ataskromatografi lapis tipis
dan kromatografi kertas (Anwar, 1994).

Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fasa tetap, yang dapat berupa zat
padat atau zat cair. Jika fasa tetap berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi
serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Karena fasa bergerak dapat berupa zat cair
atau gas maka semua ada empat macam sistem kromatografi yaitu kromatografi serapan yang terdiri dari
kromatografi lapis tipis dan kromatografi penukar ion, kromatografi padat, kromatografi partisi dan
kromatografi gas-cair serta kromatografi kolom kapiler.

Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponennya.


Seluruh bentuk kromatografi berkerja berdasarkan prinsip ini. Semua kromatografi memiliki fase diam
(dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase
gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran.
Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda (Harborne, 1987).

Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-senyawa dalam
bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada
lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut. Kecepatan senyawa-senyawa dibawa
bergerak ke atas pada lempengan, tergantung pada kelarutan senyawa dalam pelarut. Hal ini bergantung
pada besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut (Harborne, 1987).

Kemampuan senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika tergantung pada besar atraksi antara
senyawa dengan gel silika. Senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada gel silika
lebih kuat dibanding senyawa lainnya karena senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya.
Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada permukaan (Harborne,
1987). Penyerapan bersifat tidak permanen, terdapat pergerakan yang tetap dari molekul antara yang
terjerap pada permukaan gel silika dan yang kembali pada larutan dalam pelarut. Dengan jelas senyawa
hanya dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam pelarut. Ketika senyawa
dijerap pada gel silika -untuk sementara waktu proses penjerapan berhenti- dimana pelarut bergerak
tanpa senyawa. Itu berarti bahwa semakin kuat senyawa dijerap, semakin kurang jarak yang ditempuh ke
atas lempengan (Harborne, 1987). Dalam hal ini, senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan
menjerap lebih kuat daripada yang tergantung hanya pada interaksi van der Waals, dan karenanya
bergerak lebih jauh pada lempengan.

Jika komponen-komponen dalam campuran dapat membentuk ikatan-ikatan hydrogen, terdapat


perbedaan bahwa ikatan hidrogen pada tingkatan yang sama dan dapat larut dalam pelarut pada
tingkatan yang sama pula. Ini tidak hanya merupakan atraksi antara senyawa dengan gel silika. Atraksi
antara senyawa dan pelarut juga merupakan hal yang penting dimana hal ini akan mempengaruhi
mudahnya proses senyawa ditarik pada larutan keluar dari permukaan silika. Ini memungkinkan
senyawa-senyawa tidak terpisahkan dengan baik ketika membuat kromatogram. Dalam kasus itu,
perubahan pelarut dapat membantu dengan baik, termasuk memungkinkan perubahan pH pelarut. Ini
merupakan tingkatan uji coba, jika satu pelarut atau campuran pelarut tidak berkerja dengan baik, maka
dapat mencoba dengan pelarut lainnya (Harborne, 1987).

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Mereka dapat diekstraksi dengan etanol 70 %
dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa
senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi mereka mudah
dideteksipada kromatogram atau dalam larutan (Harborne, 1987 : 70).

1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis adalah suatu metode pemisahan yang menggunakan plat atau lempeng kaca
yang sudah dilapiskan adsorben yang bertindak sebagaifasa diam. Fase bergerak ke atas sepanjang fase
diam danterbentuklah kromatogram. Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahandan sensitif
(Khopkar, 1990). Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan yang memisahkan
terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam,
atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau
pita (awal), kemudian pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan selanjutnya
senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

Pada prinsipnya KLT dilakukan berdasarkan pada penggunaan fasa diam untuk menghasilkan pemisahan
yang lebih baik. Fasa diam yang biasadigunakan dalam KLT adalah serbuk silika gel, alumina, tanah
diatomedan selulosa (Harborne, 1987). Adapun carakerja dari KLT yakni larutan cuplikan sekitar 1%
diteteskan denganpipet mikro pada jarak 1-2 cm dari batas plat. Setelah eluen ataupelarut dari noda
cuplikan menguap, plat siap untuk dikembangkandengan fasa gerak (eluen) yang sesuai hingga jarak
eluen dari batasplat mencapai 10-15 cm. Mengeringkan sisa eluen dalam plat dengandidiamkan pada
suhu kamar. Noda pada plat dapat diamati langsung dengan menggunakan lampu UV atau dengan
menggunakan pereaksi semprot penampak warna. Setelah noda dikembangkan dan
divisualisasikan,identitas noda dinyatakan dengan harga Rf (retardation factor)(Anwar, 1994).

Tujuan mendapatkan identitas noda dengan harga Rf untuk mencari pelarut untuk kromatografi kolom,
analisis fraksi yang diperoleh darikromatografi kolom, menyigi arah atau perkembangan reaksi seperti
hidrolisis atau metilasi, identifikasi flavonoid secarako-kromatografi dan isolasi flavonoid murni skala
kecil (Markham,1988).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil
kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem
penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Roy, et. all,
1991). Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini menurut Ibnu Gholib Gandjar dan Abdul
Rohman (2007) adalah :

· Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.

· Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorisensi atau dengan
radiasi menggunakan sinar ultraviolet.

· Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2
dimensi.
· Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan
bercak yang tidak bergerak.

Pelaksaanan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam
pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase
diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat
berpendarflour dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang
sesuai (Harborne, 1987).

Keuntungan kromatografi lapis tipis adalah dapat memisahkan senyawa yang sangat berbeda seperti
senyawa organik alam dan senyawa organik sintesis, kompleks organik dan anorganik serta ion anorganik
dalam waktu singkat menggunakan alat yang tidak terlalu mahal. Metode ini kepekaannya cukup tinggi
dengan jumlah cuplikan beberapa mikrogram. Kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan
kromatografi kertas adalah dapat digunakan pereaksi asam sulfat pekat yang bersifat korosif,
kelemahannya adalah harga RF yang tidak tetap (Gritten, et. al., 1991).

a. KLT Preparatif

Kromatografi Lapis Tipis Preparatif merupakan proses isolasi yang terjadi berdasarkan perbedaan daya
serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak mengikuti
kepolaran eluen oleh karena daya serap adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka
komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan.

b. KLT 2 Dimensi

KLT 2 arah atau 2 dimensi bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen
solute mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama
sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat
digunakan secara berurutan sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang
mempunyai tingkat polaritas yang berbeda.

Sampel ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu sistem fase gerak sehingga campuran
terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar
90° dan diletakkan dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak kedua sehingga bercak yang
terpisah pada pengembangan pertama terletak dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu dikromatografi
lagi.

Deteksi dengan KLT dapat dilakukan dengan cara:

1. Sinar tampak

2. Sinar UV

3. Pereaksi warna

2. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan dan pemurnian senyawa dalam skalapreparative.
Kromatografi kolom dapat dilakukan pada tekanan atmosferatau dengan tekanan lebih besar dengan
menggunakan bantuan tekananluar (Khopkar, 1990). Kromatografikolom prinsipnya mudah memilih
ukuran, kemasan (packing), dan isikolom sesuai jenis serta jumlah cuplikan yang akan dipisahkan.
Kolomyang digunakan dan kromatografi ini dapat berupa gelas, plastik ataunilom. Ukuran kolom yang
lazim digunakan mempunyai diameter 2 cm danpanjang 45 cm. Untuk memilih kemasan (Packing) yang
akan digunakandalam kolom biasanya menggunakan selulosa, silika gel, alumina, arang(charcoal) (Anwar,
1994).

Adapun cara kerja dari kromatografi kolom yakni langkah pertama mengemas kolom(packing) dilakukan
dengan hati-hati agar dihasilkan kolom kemas yangserba sama. Selanjutnya kemasan kolom dijadikan
bubur dalam gelaspiala memakai pelarut yang sama, lalu dituangkan hati-hati ke dalamkolom. Kemasan
dibiarkan turun dan pelarut yang berlebihandikeluarkan melalui keran. Selanjutnya langkah kedua
menempatkanlarutan cuplikan pada (bagian atas) kolom sehingga terbentuk pitayang siap untuk dielusi
lebih lanjut. Cuplikan harus dilarutkan dalampelarut yang volumenya sedikit. Pelarut yang dipakai harus
samadengan pelarut untuk mengelusi (Markham, 1988).

1. High Pressure Liquid Chromatography (HPLC)

High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan
salah satu metode kimia dan fisikokimia. KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu teknik
kromatografi dengan fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau padat. Banyak kelebihan metode ini jika
dibandingkan dengan metode lainnya (Done dkk, 1974; Snyder dan Kirkland, 1979; Hamilton dan Sewell,
1982; Johnson dan Stevenson, 1978).

Informasi seperti kelarutan, gugus fungsi yang ada, besarnya berat molekul (BM) dapat diperoleh dari
pembuat informasi, pemberi sampel, atau data spektroskopik seperti Nucleic Magnetic Resonance
Spectrosphotometer (NMR), Infrared spectrophotometer, ultra violet spectrumeter, dan mass
Spectrophotometer. Semua data-data ini dapat digunakan sebagai petunjuk bagi analis memilih tipe
HPLC yang tepat untuk digunakan (Johnson dan Stevenson, 1978)

Berdasarkan Hukum Dasar "like dissolves like" maka sangat mudah untuk memutuskan tipe KCKT yang
akan dipilih. Seleksi tipe KCKT, dengan cepat kita dapat melihat bahwa Berat Molekul (BM) lebih besar
dari 2000, maka kita dapat menggunakan kromatografi eksklusi. Fasa geraknya adalah air jika sampelnya
larut dalam air; bila dapat larut dalam pelarut organik maka digunakan pelarut- pelarut organik sebagai
rasa gerak. Fasa diamnya adalah Sephadex atau Bondagel Seri E untuk rasa gerak air dan Styragel atau
MicroPak TSK gel untuk rasa gerak organik. Bila BM lebih rendah dari 2000, pertama yang harus
ditentukan adalah apakah sampel dapat larut dalam air. Bila sampel dapat larut dalam air, maka
kromatografi partisi rasa terbalik atau kromatografi penukar ion dapat digunakan. Bila kelarutan
dipengaruhi oleh penambahan asam atau basa atau bila pH larutan bervariasi lebih dari 2 (dua) satuan
pH dari pH 7, maka kromatografi penukar ion adalah pilihan utama. Bila kelambatan tidak dipengaruhi
oleh asam dan basa dan larutan sampel adalah netral, maka kromatografi partisi rasa terbalik adalah
pilihan terbaik. Tipe Eksklusi menggunakan ukuran poros yang kecil dan rasa air dapat juga dicoba.
c. Metode Spektroskopi

Spektroskopi merupakan suatu metode untuk penentuan rumus struktur dari suatu senyawa. Menurut
Anwar (1994) bahwa spektroskopi bila dibandingkandengan metode kimia konvensional (metode basah),
spektroskopi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya : Jumlah zat yang diperlukan untuk analisis
relatif kecil dan zat tersebut sering kali dapat diperoleh kembali dan waktu pengerjaannya relatif cepat.

Dasar metode spektroskopi adalah molekul pada suatu energi level tertentu,misalnya E1,disinari dengan
sinar tertentu. Sinar ini akan melewati molekul itudan seterusnya melewati suatu detektor. Selama
molekul itu tidakmenyerap sinar itu maka sinar yang terdeteksi akan sama intensitasnyadengan sinar
yang berasal dari sumber. Pada frekuensi yangmemungkinkan terjadinya pemindahan energi level
molekul misalnya dariE1 keE2,maka sinar akan diserap oleh frekuensi yang memungkinkan
terjadinyapemindahan energi level molekul misalnya dari E1ke E2,maka sinar akan diserap oleh molekul
dan tidak akan tampak dalamdetektor (Siregar, 1988).

1. Spektrofotometri Ultra Lembayung (UV)

Spektrofotometri UV adalah suatu alat yang menggambarkan antara panjang gelombang atau frekuensi
lawan intensitas serapan (absorbansi). Spektrosfotometri UV ini menghasilkan radiasi (cahaya) dengan
panjang gelombang 200– 400 nm (Anwar, 1994). Pada umumnya spektrofotometri UV umumnyahanya
menunjukkan jumlah peak (puncak ) yang kecil jumlahnya.Puncak-puncak dilaporkan sebagai panjang
gelombang.

Spektrofotometri ini biasanya juga digunakan untuk mendeteksi konjugasi. Molekul-molekul yang tidak
mempunyai ikatan rangkap atau hanya mempunyai satu ikatan tidak menyerap sinar 200-800 nm.
Lainhalnya dengan senyawa-senyawa yang mempunyai sistem konyugasi yang dapat menyerap sinar
pada daerah ini, semakin panjang sistem konyugasinya maka makin besar panjang gelombang absorpsi
(Siregar,1988)

Untuk menganalisis struktur dari senyawa-senyawa dari metabolitsekunder seperti senyawa flavonoid,
spektroskopi UV merupakan carayang terbaik untuk mengkarakterisasi jenis-jenis senyawa flavonoiddan
menentukan pola oksigenasi. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebasyang terdapat pada inti flavonoid
dapat ditentukan juga denganmenambahkan pereaksi geser (Markham, 1988).

Spektrum Flavonoid Umum

Spektroskopi serapan lembayung dan serapan sinar tampak digunakan untuk membantu
mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Disamping itu, kedudukan gugus
hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi (pereaksi
geser) ke dalam larutancuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Cara ini
berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugushidroksil fenol
(Markham, 1988 : 38).Spektrum flavonoid (gambar 2) biasanya ditentukan dalam larutan denganpelarut
metanol atau etanol. Spektrum khas terdiri atas dua maksimal pada rentang240-285 nm (pita II) dan
300-550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat dan kekuatannisbi maksimal tersebut memberikan informasi
yang berharga mengenai sifatflavonoid dan pola oksigenasinya.

Spektrum khas jenis flavonoid utama dengan pola oksigenasi yang setara (5,7,4‟) adalah kekuatan nisbi
yang rendah pada pita Idalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan isoflavon. Ciri nisbi ini tidak
berubah,bahkan bila pola oksigenasi berubah, sekalipun rentang maksimal serapan pada jenis flavonoid
(tabel 2) yang berlainan tumpang tindih sebagai keseragaman polaoksigenasi. Keseragaman dalam
rentang maksimal ini akan bergantung pada polahidroksilasi dan pada derajat substitusi gugus hidroksil
(Markham, 1988 : 39).

Cara Isolasi dan Identifikasi Flavonoid Secara Umum

1. Isolasi Dengan metanol

Terhadap bahan yang telah dihaluskan, ekstraksi dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan
metanol:air (9:1) dilanjutkan dengan metanol:air (1:1) lalu dibiarkan 6-12 jam. Penyaringan dengan
corong buchner, lalu kedua ekstrak disatukan dan diuapkan hingga 1/3 volume mula-muIa, atau sampai
semua metanol menguap dengan ekstraksi menggunakan pelarut heksan atau kloroform (daIam corong
pisah) dapat dibebaskan dari senyawa yang kepolarannya rendah, seperti lemak, terpen, klorofil, santifil
dan lain-lain

2. Isolasi Dengan Charaux Paris

Serbuk tanaman diekstraksi dengan metanol,lalu diuapkan sampai kental dan ekstrak kental ditambah air
panas dalam volume yang sama, Ekstrak air encer lalu ditambah eter, lakukan ekstraksi kocok, pisahkan
fase eter lalu uapkan sampai kering yang kemungkinan didapat bentuk bebas. Fase air dari hasil
pemisahan ditambah lagi pelarut etil. asetat diuapkan sampai kering yang kemungkinan didapat
Flavonoid O Glikosida. Fase air ditambah lagi pelarut n - butanol, setelah dilakukan ekstraksi, lakukan
pemisahan dari kedua fase tersebut. Fase n-butanol diuapkan maka akan didapatkan ekstrak n - butanol
yang kering, mengandung flavonoid dalam bentuk C-glikosida dan leukoantosianin. Dari ketiga fase yang
didapat itu langsung dilakukan pemisahan dari komponen yang ada dalam setiap fasenya dengan
mempergunakan kromatografi koLom. Metode ini sangat baik dipakai dalam mengisolasi flavonoid
dalam tanaman karena dapat dilakukan pemisahan flavonoid berdasarkan sifat kepolarannya

3. Isolasi dengan beberapa pelarut.

Serbuk kering diekstraksi dengan kloroform dan etanol, kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan
dibawah tekanan rendah. Ekstrak etanol pekat dilarutkan dalam air lalu diekstraksi gojog dengan dietil
eter dan n-butanol, sehingga dengan demikian didapat tiga fraksi yaitu fraksi kloroform, butanol dan
dietil eter.

4. Identifikasi Dengan Reaksi warna

a. Uji WILSTATER
Uji ini untuk mengetahui senyawa yang mempunyai inti δ benzopiron. Warna-warna yang dihasilkan
dengan reaksi Wilstater adalah sebagai berikut:

- Jingga Daerah untuk golongan flavon.

- Merah krimson untuk golongan fLavonol.

- Merah tua untuk golongan flavonon.

b. Uji BATE SMITH MATECALVE

Reaksi warna ini digunakan untuk menuniukkan adanya senyawa leukoantosianin, reaksi positif jika
terjadi warna merah yang intensif atau warna ungu.

5. Identifikasi flavonoid

Sebagian besar senyawa flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosidanya, dimana unit flavonoid
terikat pada suatu gula. Glikosida adalah kombinasi antara gula dan suatu alcohol yang saling berikatan
melalui ikatan glikosida. Pada prinsipnya, ikatan glikosida terbentuk apabila gugus hidroksil dari alcohol
beradisi kepada gugus karbonil dari gula, sama seperti adisi alcohol kepada aldehid yang dikatalis oleh
asam menghasilkan suatu asetal.

Pada hidrolisis oleh asam, suatu glikosida terurai kembali atas komponen-komponennya menghasilkan
gula dan alcohol yang sebanding dan alcohol yang dihasilkan ini disebut aglokin. Residu gula dari
glikosida flavonoid alam adalah glukosa tersebut masinbg-masing disebut glukosida, ramnosida,
galaktosida dan gentiobiosida. Flavonoida dapat ditemukan sebagai mono-, di- atau triglikosida dimana
satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula. Poliglikosida larut dalam air
dan sedikit larut dalam pelarut organic seperti eter, benzene, kloroform dan aseton.

Flavonoid merupakan metabolit sekunder dalam tumbuhan yang mempunyai variasi struktur yang
beraneka ragam, namun saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama. Jalur biosintesis flavonoid
dimulai dari pertemuan alur asetat malonat dan alur sikimat membentuk khalkon, dari bentuk khalkon
ini diturunkan menjadi bentuk lanjut menjadi berbagai bentuk lewat alur antar ubah posisi,
dehidrogenasi, denetilasi dan lain-lain. Kenudian daripada itu menghasilkan bentuk sekunder
dihidrokalkon, flavon, auron, isoflavon (penurunan selanjutnya membentuk peterokarpon dan rotenoid)
dan dehidroflavonol (penurunan selanjutnya antosianidin, flavonol, epikatekin ).

Dari bentuk-bentuk sekunder tersebut akan terjadi modifikasi lebih lanjut pada berbagai tahap dan
menghasilkan penambahan / pengurangan hidroksilasi, metilenasi, ortodihidroksil, metilasi gugus
hidroksil atau inti flavonoid, dimerisasi, pembentukan bisulfat, dan yang terpenting glikolisasi gugus
hidroksil
DAFTAR PUSTAKA

Adom, Kafui Kwami and Rui Hai Liu. (2002). Antioksidant Activity of Grains. J. Agric. Food. Chem. (50):
6182-6187

Cook, N. C. and S. Samman. (1996). Review Flavonoids-Chemistry, Metabolism, Cardioprotective Effect,


And Dietary Sources, J. Nutr. Biochem (7): 66-76

Cuppett, S., M. Schrepf and C. Hall III. (1954). Natural Antioxidant – Are They Reality. Dalam Foreidoon
Shahidi: Natural Antioxidants, Chemistry, Health Effect and Applications, AOCS Press, Champaign, Illinois:
12-24

Deshpande, S.S, U.S. Deshpande and D.K. Salunkhe. (1985). Nutritional and Health Aspects of Food
Antioxidants dalam D.L. Madhavi: Food Antioxidant, Technological, Toxilogical and Health Perspectives.
Marcel Dekker Inc. Hongkong :361-365

Hertog, Michael G.L., Peter C.H. Hollman and Betty van de Putte. (1993). Content of Potentially
Anticarcinogenic Flavonoids of Tea Infusions, Wines, and Fruit Juices. J. Agric. Food Chem (41): 1242-
1246

Hertog, Michael G.L., Peter C.H. Hollman and Dini P. Venema. (1992a). Optimization of Potentially
Anticarcinogenic Flavonoids in Vegetables and Fruits. J. Agric. Food Chem (40): 1591-1598

Hertog, Michael G.L., Peter C.H. Hollman and Martijn B. Katan. (1992b). Content of Potentially
Anticarcinogenic Flavonoids of 28 Vegetables and 9 Fruits Commonly Consumed in The Netherlands. J.
Agric. Food Chem (40): 2379-2383

Hess, D, tt. Plant Physiology, Molecular, Biochemical, and Physiological Fundamentals of Metabolism and
Development. Toppan Company (S) Pte Ltd, Singapore: 117-118

Kanner, Joseph, Edwin Frankel, Rina Granit, Bruce German and John E. Kinsella. (1994). Natural
Antioksidant in Grapes and Wines. J. Agric. Food. Chem. (42): 64-69
Kitta, K., Yoshihide Hagiwara and Takayuki Shibamoto. (1992). Antioxidative Activity of an Isoflavonoid,
2’’-O-Glycosylisovitexin Isolated from Green Barley Leaves. J. Agric. Food. Chem. (40): 1843-1845

Madhavi, D.L., R.S. Singhal, P.R. Kulkarni. (1985). Technological Aspects of Food Antioxidants dalam D.L.
Madhavi, S.S. Deshpande dan D.K. Salunkhe: Food Antioxidant, Technological, Toxilogical and Health
Perspectives. Marcel Dekker Inc., Hongkong: 161-265

Maslarova, N.V. Yanishlieva. (2001). Inhibiting oxidation dalam Jan Pokorny, Nedyalka Yanislieva dan
Michael Gordon: Antioxidants in food, Practical applications. Woodhead Publishing Limited, Cambridge:
22-70

Narasimhan, R., Toshihiko Osawa, Mitsuo Namiki and Shunro Kawakishi. (1988). Chemical Studies on
Novel Rice Hull Antioxidants. 1. Isolation, Fractination, and Partial Characterization. J. Agric. Food. Chem
(37): 732-737

Rajalakshmi, D dan S. Narasimhan. (1985). Food Antioxidants: Sources and Methods of Evaluation dalam
D.L. Madhavi: Food Antioxidant, Technological, Toxilogical and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc.,
Hongkong: 76-77

Vinson, Joe A., Jinhee Jang, Yousef A. Dabbagh, Mamdouh M. Serry and Songhuai Cai. (1995a). Plant
Polyphenols Exhibit Lipoprotein-Bound Antioxidant Activity Using an in Vitro Oxidation Model for Heart
Disease. J. Agric. Food. Chem. (43): 2798-2799

Vinson, Joe A., Yousef A. Dabbagh, Mamdouh M. Serry and Jinhee Jang. (1995b). Plant Flavonoids,
Especially Tea Flavonols, Are Powerful Antioxidants Using an in Vitro Oxidation Model for Heart Disease.
J. Agric. Food. Chem. (43): 2800-2802

Watanabe, Mitsuru, Yasuo Oshita, and Tojiro Tsushida. (1997). Antioxidant Compounds from Buckwheat
(Fagopyrum esculentum Moench) Hulls, J. Agric. Food. Chem. (45): 1039-1044

White, P.J. and Y. Xing. (1954). Antioxidants from Cereals and Legumes dalam Foreidoon Shahidi: Natural
Antioxidants, Chemistry, Health Effect and Applications. AOCS Press, Champaign, Illinois: 25-63

Anda mungkin juga menyukai