Anda di halaman 1dari 14

Muraqabatullah

(Allah Senantiasa Mengawasi)


1. MAKNA MURAQABAH DAN MUHASABAH
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa
merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi
upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri
dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Sedangkan Muhasabah merupakan usaha
seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri
seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-
mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi
Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu
menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang
dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan
Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya
terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Muraqabah
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya
muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang
Muslim maka dalam dirinya terdapat 'waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni
sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan
mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti
dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:
“...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan”.(QS. 57:4).
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16).
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai
daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam
kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)
(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat
biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(QS.
31:16)
Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan
engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang
mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan
Allah akan melahirkan ma'iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak
pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya
Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan
bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula
pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di
belakang tentara Fir'aun mengepung dan laut merah ada di depan
mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau
sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak
(akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.
Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi
contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan
Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau
tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun
dalam keadaan sehat wal 'afiat karena Allah telah memerintahkan
makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin dengan izin dan
kehendak-Nya.
2. Urgensi Muraqabah dan Muhasabah
Bila setiap Muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan
menghadirkan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam dirinya
maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan karena ia
selalu merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan
pengawasan Allah.
Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena
takut pada perhitungan hari akhirat, maka bisa dipastikan akan
terwujud masyarakat yang aman karena semua orang sudah
memiliki pengawasan melekat.
Orientasi Ukhrawi membuat seseorang senantiasa
memperhitungkan segala tindak-tanduknya dalam perspektif
Ukhrawi. Ia juga akan terhindar dari penyakit Wahn (cinta dunia
dan takut mati), keserakahan, kezhaliman, penindasan dan
kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan
menyengsarakannya di akhirat kelak.
2. Urgensi Muraqabah dan Muhasabah
• Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS. 22:77)
agar dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah
mengibaratkan bahwa dunia adalah ladang tempat menanam, bibitnya adalah
keimanan dan ketaatan adalah air dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat
kita memetik atau menuai hasilnya, kelak.
• Bila demikian keadaannya, Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun
warabbun ghafur” (negeri yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan
sekedar slogan. Selain tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup
negeri, Insya Allah akan tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia
internasioanal bila para Muslimnya dengan kualitas seperti itu mampu menjadi
“Ustadziatul 'alam” (soko guru dunia).
• Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul 'alam yang sekaligus
khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari bencana, kerusakan dan
kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).
Namun bila para Muslim tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-
Qur'an (QS. 47:25-26) maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan
mata dan tetap saja yahudi la'natullah alaihim yang memegang supremasi dan
mengendalikan dunia serta terus menimbulkan kerusakan dan menumpahkan
darah.
3. TAHAPAN-TAHAPAN MURAQABAH
1. Mu'ahadah
Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian
kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin
yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah
dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka
menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (Al-
A’raf:172)
Dengan bermu'ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap
dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan
kesaksian kita.
Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya
lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan
pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja
kita tak boleh merubah atau mencederainya (Ar-Ruum:30).
3. TAHAPAN-TAHAPAN MURAQABAH

2. Muraqabah
Setelah bermu'ahadah, seyogyanyalah kita
bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang
selalu memuraqabahi diri kita apakah
melanggar janji dan kesaksian tersebut atau
tidak.
Penjelasan yang detail tentang muraqabah
diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan
ini memang menitikberatkan pada pembahasan
tentang muraqabah dan muhasabah.
3. TAHAPAN-TAHAPAN MURAQABAH

3. Muhasabah
Muhasabah adalah usaha untuk
menilai, menghitung, mengkalkulasi
amal shaleh yang kita lakukan dan
kesalahan-kesalahan atau maksiat
yang kita kerjakan. Penjabaran lebih
detail tentang muhasabah juga ada
pada bagian tersendiri.
3. TAHAPAN-TAHAPAN MURAQABAH
4. Mu'aqabah
Selain mengingat perjanjian (mu'ahadah), sadar akan
pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu
meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng'iqab
(menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri).
Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum
kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan
mu'aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum
kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari
menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk
mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya
kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka
ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut
untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu
Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat
karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan
kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
3. TAHAPAN-TAHAPAN MURAQABAH
5. Mujahadah
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah
dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi
SAW yakni Ka'ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang
Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk
mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka'ab bin Malik mengakui
dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya
turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar
biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai
bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul
Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu,
bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan
datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi 'abdan syakuran?”.
3. FENOMENA BAHAYA LISAN

6. Mutaba'ah
Terakhir kita perlu memonitoring,
mengontrol dan mengevaluasi sejauh
mana proses-proses tersebut seperti
mu'ahadah dan seterusnya berjalan
dengan baik.
3. FENOMENA BAHAYA LISAN
7. Muhasabah
Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri
adalah satu upaya bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal
hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak.
Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk
hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 59:18).
Persiapan diri yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan taqwa
kepada karena di sisi Allah bekal manusia yang paling baik dan berharga
adalah taqwa.
Umar r.a pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal:
“Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak
engkau dihisab).
Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan
syurga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-
orang yang bertaqwa.(QS 3:133)
4. Hasil Muraqabah dan Muhasabah
1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-
kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir
atau bahkan menghilangkannya.

2. Istiqamah di atas syari'at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar


akan konsekuensi-konsekuensi keimanan dan
pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar
apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti
misalnya tokoh Bilal dan Masyitah. Walaupun keistiqamahan
adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah SAW sampai
mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di
dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).

3. Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di


hari kiamat nanti (QS. 3:30).

Anda mungkin juga menyukai