Anda di halaman 1dari 3

Feminisme Gelombang Ketiga

Terjadi perubahan tatanan sosial di Inggris pada tahun 1967,


ditandai dengan disahkannya undang-undang tentang
seksualitas dan perkawinan.

Pada tahun 1980-an banyak bermunculan perempuan


intelektual, yang menjadi babak perjuangan baru perempuan
yaitu feminisme gelombang ketiga.

Feminisme gelombang ketiga pada awal tahun 1980-an hingga awal 1990-an
kemunculannya ditandai dengan pemahaman terhadap gerakan feminisme
yang semakin beragam.
Feminisme gelombang ketiga merupakan perkembangan feminisme yang
mendekonstruksi atau pencarian alternatif lain dan mengevaluasi kembali
feminisme sebelumnya untuk memfasilitasi perempuan-perempuan pasca
tahun 1970-an agar terus bergerak bebas dan berkembang.

Menurut Suwastini yang mengutip pernyataan Gamble, feminisme gelombang


ketiga lahir sebagai suatu reaksi perempuan kulit berwarna gelap terhadap
dominasi perempuan kulit putih dalam feminisme gelombang kedua dan
penolakan terhadap asumsi bahwa penindasan terhadap perempuan bersifat
seragam dan universal.

Menurut Zaisler feminisme gelombang ketiga tidak mengutamakan aksi-aksi


kolektif dan mengedepankan pilihan individu, di mana mereka berusaha
memasukkan dan memprioritaskan banyak masalah identitas yang
terpinggirkan seperti kisah-kisah tentang identitas dan perjuangan individu,
seperti isu-isu warna kulit berwarna, kelas pekerja perempuan dan
transgender.
Feminisme Multikultural
Penindasan perempuan, sebagai sesuatu yang satu, dimana penindasan hanya
dilakukan kepada perempuan tanpa melihat perbedaan kelas, ras, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.

Feminisme Multikultural lebih mempermasalahkan ide bahwa ketertindasan


perempuan itu “satu definisi”, satu definisi, yang dimaksud di sini adalah
keteropresian terhadap perempuan yang terjadi hanya dilihat dalam
masyarakat patriarkis.

Tong menjelaskan bahwa feminisme multikultural mendasarkan


pandangannya bahwa semua perempuan tidak dikonstruksi dalam bingkai
kesetaraan. Menurut feminisme multikultural ketertindasan perempuan
berkaitan dengan ras, kelas, preferensi seksual, pendidikan, kesempatan kerja,
umur, agama, dan lain-lain. Perbedaan-prbedaan tersebut dapat menimbulkan
konflik yang berkepanjangan dalam masyarakat perempuan.

Anda mungkin juga menyukai