Anda di halaman 1dari 10

FEMINISME GELOMBANG KETIGA SEBAGAI POSTFEMINISME

Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Politik Gender

di Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Oleh:

Yoan Sihombing 175120500111027

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi..............................................................................................................................1

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang................................................................................................................2

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................3

C. Tujuan.............................................................................................................................4

Bab II Pembahasan..............................................................................................................5

Bab III Penutup....................................................................................................................8

Daftar Pustaka.....................................................................................................................9

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gerakan feminisme merupakan gerakan yang memperjuangkan kepentingan kaum
perempuan yang muncul pertama kali di abad ke-19 tepatnya era victoria. Feminisme lahir
untuk memperjuangkan dan mengakhiri terjadinya penindasan pada perempuan. Feminisme
disini dapat diartikan sebagai sebuah keyakinan, gerakan dan usaha untuk memperjuangkan
kesetaraan posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang bersifat patriarkis. Tujuan
feminisme sendiri berkaitan dengan Revolusi Prancis dan Abad Pencerahan, dimana
feminisme disini diidentifikasi memiliki keinginan untuk persamaan gender dan hak wanita
atas perbedaan attitude terhadap persepsi mengenai wanita. 1 Seperti yang disebutkan
sebelumnya fokus perjuangan feminisme awal adalah melawan pandangan patriarkis
mengenai posisi subordinat perempuan karena dianggap sebagai mahluk yang lebih lemah,
lebih emosional dan tidak rasional. Ideologi patriarki ini sangat sulit untuk dihilangkan dari
masyarakat karena pada saat masyarakat sangat memeliharanya.
Dalam melihat perkembangan gerakan feminisme ada tiga pembagian yaitu, gerakan
gelombang feminisme awal, feminisme gelombang kedua, dan feminisme gelombang
ketiga(postfeminisme). Secara singkatnya aliran-aliran feminisme yang pada feminisme, yang
pertama pada feminisme gelombang pertama mencakup aliran feminisme liberal, feminisme
radikal, feminisme anarkis, feminis sosialis, dan feminisme marxis. Kemudian dalam
gelombang kedua terdapat feminisme eksistensial dan feminisme gynosentris. Selanjutnya
dalam gelombang ketiga yang terdapat feminisme postmodern, feminisme multikultural,
feminisme global, dan ekofeminisme dan lainnya.
Gelombang pertama gerakan feminisme muncul pada abad 19 ketika kaum
perempuan menuntut persamaan hak dengan laki-laki dan menyoal berbagai penindasan yang
menimpa kaum perempuan, dan terwujud dengan pengakuan atas hak perempuan sebagai
warganegara (hak sipil, ekonomi dan sosial), serta berbagai hak formal yang diakui oleh
hukum. Hak tersebut antara lain hak untuk ikut dalam pemilu, hak kepemilikan dan hak
hukum lainnya.2 Aliran feminis awal yang dimulai pada tahun 1792-1960 ini dipelopori oleh
seorang filsuf feminis di abad 18 bernama Mary Wollstonecraft dengan sebuah buku
karangannya berjudul A Vindication of The Rights of Woman. Dimana pada buku
karangannya ia menyatakan bahwa perempuan secara ilmiah tidak lebih rendah dari laki-laki,
tetapi terlihat seperti itu hanya karena mereka tidak memperoleh banyak pendidikan.
Menurut Hodgson-Wright (2006), perjuangan feminisme awal melalui tiga cara.
Pertama melalui usaha untuk merevisi esensials subordinasi perempuan dalam ajaran gereja.
Kedua dengan menentang berbagai buku panduan bersikap yang cenderung mengekang
perempuan pada jaman tersebut. Ketiga, dengan membangun solidaritas antar penulis
1
Nikolay Popov, Feminisme Sebagai Ideologi Politi, International Conference KNOWLEDGE-
BASED ORGANIZATION, Vol. XXIV, No 2, 2018, Hal 373

Kuncoro Bayu Prasetyo. Membaca Diskursus Post-Feminisme Dalam Novel Melaku Novel
2

Perempuan di Titiik Nol. Vol. 2, No.2, 2010, Hal 136

3
perempuan. Solidaritas ini membangun kepercayaan diri dan dukungan finansial di kalangan
penulis perempuan.3
Pada feminis gelombang kedua mereka lebih melakukan aktivitas pembebasan
peremouan atau dikenal dengan istilah Women Liberation yang muncul pada tahun 1960-
1980. Di era ini para aktivis feminis mulai menunjukkan reaksi kaum perempuan atas
ketidakpuasaan mereka terhadap diskriminasi yang terjadi walaupun dalam era gelombang
satu mereka sudah menyuarakan hal ini, tetapi tidak terealisasikan sepenuhnya. Berdirinya
feminis gelombang kedua ini ditandai dengan terbitnya Feminine Mystique yang kemudian
dilanjut dengan dibentuknya National Organization for Woman (NOW) yamg didirikan oleh
Betty Freidan. Feminisme gelombang kedua bertema besar ―women‟s liberation‖ yang
dianggap sebagai gerakan kolektif yang revolusionis.4 Disini para feminis memfokuskan diri
kepada kasus yang lebih mempengaruhi perempuan secara langsung seperti reproduksi,
pengasuhan anak, kekerasan seksual, seksualitas perempuan, dan masalah domestisitas.
Disini feminisme terbagi menjadi dua aliran atau pemahaman, yang pertama adalah
aliran yang bersifat liberal atau feminisme liberal dengan tujuan untuk memperjuangkan
partisipasi perempuan dalam seluruh kehidupan sosial dengan hak dan kewajiban yang sama
dengan laki-laki, aliran ini sendiri tepatnya dinaungi oleh NOW. Aliran yang kedua adalah
aliran kiri yang bersifat radikal atau feminisme radikal. Feminisme radikal berakar reaksi
para feminis yang merasa tidak terfasilitasi dalam feminisme liberal NOW karena perbedaan
ras, kelas, dan protes terhadap kekejaman Amerika dalam perang Vietnam. Konsep utama
feminisme radikal adalah ―consciousness raising‘ dengan paham ―the personal is political.
Dalam pandangan feminisme radikal bahwa perempuan dipaksa oleh ideologi patriarki untuk
bersikap apolitis, mengalah, dan lemah lembut. Mereka juga turut menentang kontes
kecantikan karena mereka mengganggap hal tersebut merupakan sarana untuk mencecoki
perempuan dengan standart kecantikan yang melemahkan posisi perempuan. Salah satu ciri
utama feminisme gelombang kedua baik di Inggris maupun di Amerika adalah usaha mereka
untuk merumuskan teori yang mampu memayungi semua perjuangan feminis.
Tahun 1970 menjadi akhir dari feminisme gelombang dua, yang dimana saat itu
terjadi perkembangan yang membuat para aktivis feminis khawatir. Di tahun 1980, mulai
banyak muncul aliran femnisme yang kerap memiliki argumen yang kontra satu sama
lainnya. Hal tersebutlah yang dialami di feminisme gelombang ketiga yang akan dibahas
pada tulisan ini secara lebih lengkapnya.
B. Rumusan Masalah
Setelah melihat perkembangan dari feminis gelombang awal dan gelombang kedua,
ternyata banyak aliran feminis yang berbeda dan sering berkontradiksi satu sama lainnya. Isu-
isu serta persoalan tersebut di sebut terjadi pada era feminis gelombang ketiga. Bagaimana
isu itu terjadi akan menjadi sorotan dalam tulisan itu dan akan memfokuskan kepada apa
yang terjadi pada feminis gelombang ketiga.

3
Ni Komang Arie Suwastini. Perkembangan Feminis Barat dari Abad ke-18 Hingga Post
Feminisme : Sebuah Tinjauan Teoritis. Jurnal Sosial dan Humaniora. Vol. 2, No. 1, April 2013. Hal
199
4
Ibid. Hal 201

4
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang terjadi di era
feminisme gelombang ketiga. Kemudian dengan mengetahui apa yang terjadi kita akan dapat
mengerti mengapa isu-isu yang ada pada gelombang ketiga dapat terjadi serta hubungannya
dengan masalah yang terkait di era feminis gelombang awal dan kedua.

5
BAB II

PEMBAHASAN

Setelah melewati gelombang kedua terdapat banyak kritik dan argumen pada
feminisme saat itu atau tepatnya pada akhir tahun 1980-an. Yang dimana akhirnya muncul
reartikulasi konsep-konsep dalam feminis pada era gelombang ketiga atau disebut juga
sebagai postfeminisme. Dalam feminisme modern, para aktivis feminisme lebih banyak
mengambil bahan rujukan dari pemikiran yang ada di postfeminisme. Akan tetapi ada tokoh
feminis yang menyampaikan bahwa feminis gelombang ketiga berbeda dengan
postfeminisme karena gerakan postfeminisme ini menolak feminisme gelombang dua.
Menurut Lyotard dan Vattimo, pengaruh postmodernisme terhadap feminisme gelombang
ketiga dapat dilihat dari empat ciri. Keempat cirri tersebut, seperti menawarkan pendekatan
revolusioner pada studi-studi sosial (mempertanyakan validitas ilmu pengetahuan modern
dan anggapan adanya pengetahuan objektif), mengabaikan sejarah (menolak humanisme dan
kebebasan tunggal), mempertanyakan rigiditas pembacaan antara ilmu alam (humaniora, ilmu
sosial, seni dan sastra, fisksi dan teori, image, dan realitas), serta berfokus pada wacana
alternatif (postmodernisme mencoba melihat kembali apa yang telah dibuang, dilupakan
dianggap irasional, tidak penting, tradisional, ditolak, dimarginalkan dan disunyikan).
Dengan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa postfeminisme ini adalah
gerakan feminis pembebasan perempuan dari penghalang terhdapat struktur sosial yang
berkaitan dengan hubungan perempuan dan laki-laki. Tidak seperti gelombang awal dan
kedua yang cenderung memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam pandangan post-feminis
menuntut kesetaraan gender merupakan bentuk pengakuan terselubung atas peranan laki –
laki karena dengan menuntut kesetaraan berarti perempuan masih membutuhkan pengakuan
dari laki – laki agar dapat sejajar dengan mereka. 5 Postfeminisme tidak memfokuskan diri
terhadap menegejar kesetaraan, tetapi juga membentuk perempuan yang bermakna(karena
memang seharusnya mereka memiliki makna).
Istilah postfeminisme muncul lebih awal dalam sebuah artikel pada 1920. Istilah ini
digunakan untuk menyatakan sikap pro perempuan namun tidak anti-laki-laki, yang
merayakan keberhasilan feminisme gelombang pertama dalam meraih hak pilih.6 Kemudian
istilah itu muncul tahun 1980an dengan makna yang bervariasi, dan ada secara umum ada
empat pengertian feminisme (Gill dan Scharff, 2011), yaitu:
a) Postfeminisme sebagai titik temu antara feminisme dengan postmodernisme,
poststrukturalisme, dan postkolonialisme yang berarti postfeminisme merupakan
pengkajian pengkajian yang lebih kritis terhadap feminisme.
b) Postfeminisme mengacu pada perayaan matinya feminisme yang ditandainya dengan
tercapainya tujuan-tujuan feminisme gelombang kedua pada 1970an sehingga tujuan-
tujuan tersebut tidak lagi relevan pada 1980an.
c) Postfeminisme adalah backlash. Susan Faludi dalam bukunya Backlash: The
Undeclared War Against American Women (1991), Faludi merumuskan
postfeminisme sebagai perang terhadap feminisme melalui media masa dan budaya
popular.

5
Kuncoro Bayu Prasetyo, op.cit. hal 137
6
Faludi. S. 1991/2006. Backlash: The Undeclared War Against American Women. New York: Three Rivers Press.

6
d) Postfeminisme sebagai sensibility, yang mengartikulasikan konsep-konsep feminisme
pendahulunya sekaligus melakukan peninjauan ulang atas konsep tersebut.
Disini postfeminisme membalikkan beberapa nilai-nilai yang selama ini berlaku
dimasyarakat. Salah satu contoh isu pornografi, dimana isu ini sangat banyak ditentang oleh
kaum perempuan. Dimana asumsi pornografi telah mengeksploitasi tubuh perempuan dan
hanya laki-laki yang mendapatkan keuntungan. Dalam kasus ini perempuan merasa dirinya
dipermalukan dan beberapa menyebutkan bahwa pornografi merupakan pemerkosaan dalam
dunia fiksi media visual. Tetapi paradigma postfeminisme dapat membalikkan bahwa
pornografi dapat digunakan untuk kesadaran seksualitas perempuan itu sendiri, perempuan
juga berhak menunjukkan hasrat seksualitas dirinya. Pornografi dapat menyelamatkan
perempuan dari ‘kungkungan tempat tidur’ yang selama ini hanya dikuasai lelaki. Perempuan
pun akan bereksplorasi atas tubuhnya sendiri, dan itu berarti perempuan dapat memiliki
dirinya sendiri yang selama ini kehadirannya hanya untuk lelaki. Demikian perempuan tidak
lagi diletakan seperti boneka, dan lelaki tidak lagi bisa mengatur tentang ‘bagaimana
perempuan seharusnya’.
Kasus pertama yang menjadi awal era postfeminisme ini adalah munculnya selebritis
Madonna diawal tahun 1980-an. Madonna mendapat perhatian luarbiasa oleh media massa
karena penampilannya yang terlihat seksi dan provokativ. Penampilan Madonna inipun
membuat kontroversi antar feminis yang berujung feminis terbagi menjadi dua kubu. Satu
kubu menganggap bahwa hal tersebut adalah pelecahan terhadap kaum wanita dan kubu yang
lain mendukung penampilan seksi Madonna. Dalam pandangan postfeminisme sendiri
Madonna adalah ikon dalam semangat membalik atau dekonstruksi (seperti tujuan
postfeminisme). Postfeminisme beranggapan bahwa kapitalisme dan tubuh Madonna ia
gunakan untuk menunjukkan kekuasaannya dan tidak menjadi korban eksploitasi melainkan
ia yang mengeksploitasi media dan laki-laki. Era postfeminisme ingin menunjukka bahwa
fenomena Madonna ini memperlihatkan perempuan dapat bernilai bagi dirinya sendiri,
independan, bebas, dan sada akan harga yang ada pada dirinya.
Seperti yang dijelaskan diawal bahwa, banyak pemikir feminis yang membedakan
feminisme gelombang ketiga dengan postfeminisme. Mereka berpendapat bahwa sebenarnya
postfeminisme itu merupakan salah satu aliran dari feminisme gelombang ketiga, jadi masih
ada aliran-aliran lain yang terdapat di feminisme gelombang ketiga. Berikut penjelasan
beberapa aliran yang masuk dalam era gelombang ketiga.
Feminisme Multikultural, feminisme ini lebih mempersoalkan ide bahwa
ketertindasan perempuan berasal dari satu definisi bukan dari kelas dan ras, preferensi
seksual, agama, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Feminisme ini pertama kali muncul di
Amerika Serikat dimana ideologi yang mendukung adanya ide tentang perbedaan yang
kemudian menjadi gaya maupun ideologinya. Sederhananya, feminisme multukultural ini
didasari oleh penggunaan ide oerbedaan, dan menurut mereka semua orang itu berbeda baik
secara kulit, agama, ras, dan lainnya.
Feminisme Global, feminisme ini memfokuskan pada ketertindasan perempuan dari
sistem keterkaitan. Hanya saja, jika feminisme multikultural fokus pada rasisme, etnisitas dan
kelasisme, feminisme global justru lebih fokus pada isu kolonialisme, di samping soal politik
dan ekonomi skala nasional. Mereka sepakat bahwa penindasan politik dan ekonomi lebih
diperhatikan. Kemudian selanjutnya adalah ekofeminisme dengan pengertian sebagai berikut.

7
Ekofeminisme, aliran ini merupakan gerakan yang diciptakan untuk menjaga
kelestarian alam dan lingkungan dengan menggunakan dasar feminitas. Disini perempuan
dianggap memiliki peran strategis yang dapat menciptakan lingkungan alam yang lebih
nyaman dan asri. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Carolyn Merchant bahwa ada
empat hal yang saling berkaitan di mana peran perempuan menjadi penting, yakni ekologi,
produksi, reproduksi dan kesadaran.

8
BAB III
PENUTUP
Pada akhirnya, usaha untuk membedakan postfeminisme dan feminisme gelombang
ketiga dianggap sia-sia karena menurut Gamble, “any attempt to differentiate between third
wave feminism and postfeminism may be achieving nothing more than a little juggling with
semantics”. Meski pendapat ini cenderung menggaris bawahi feminisme gelombang ketiga
sebagai perkembangan yang didominasi dunia Barat, namun kesadaran feminisme untuk
mengakui perbedaan dan merangkul kemajemukan menjadi modal sendiri bagi perempuan
non-Barat untuk mengembangkan feminisme dengan keyakinan bahwa feminisme pasca
gelombang kedua berkomitmen untuk merangkul aliran-aliran feminis yang berbeda.
Kemudian dapat dikatakan bahwa perubahan dalam feminisme dari waktu ke waktu
maupun kemajemukan feminisme pasca 1970an bukanlah sebuah kelemahan. Perubahan
dalam tujuan-tujuan feminisme merupakan bukti bahwa feminisme dapat beradaptasi
terhadap perubahan kebutuhan perempuan sesuai dengan tuntuan jaman yang dihadapi
perempuan. Sedangkan kemajemukan dalam feminisme pasca gelombang kedua bukanlah hal
yang baru bagi feminisme.

9
DAFTAR PUSTAKA

Gills dan Schraff. 2011. Gill, Rosalind dan Christina Scharff. 2011. New Femininities:
Postfeminism, Neoliberalism and Subjectivity. Hampshire dan New York:
Palgrave MacMillan.
Kuncoro Bayu Prasetyo, 2010, Membaca Diskursus Post-Feminisme Dalam Novel Melaku
Novel Perempuan di Titiik Nol, Vol.2, No. 2
Nikolay Popov, 2018, Feminisme Sebagai Ideologi Politic, International Conference
Knowledge-Based Organization, Vol. XXIV, No. 2

Ni Komang Arie Suwastini, 2013, Perkembangan Feminis Barat dari Abad ke-18 Hingga
Post Feminisme : Sebuah Tinjauan Teoritis, Jurnal Sosial dan Humaniora,
Vol. 2, No. 1

10

Anda mungkin juga menyukai