Anda di halaman 1dari 35

 Dalam era globalisasi ini, pembakuan syarat-

syarat perjanjian merupakan mode yang


tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha
mungkin ini merupakan cara mencapai
tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan
cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi
konsumen, justru merupakan pilihan yang
tidak menguntungkan karena hanya
dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu,
menerima walaupun dengan berat hati.
 Perjanjian baku adalah wujud dari
kebebasan individu pengusaha
menyatakan kehendak dalam menjalankan
usahanya. Dalam membuat perjanjian,
pihak pengusaha selalu berada pada posisi
kuat berhadapan dengan konsumen yang
umumnya berposisi lemah.
 Konsumen hanya dihadapkan pada dua
pilihan, yaitu : take it (jika konsuumen
membutuhkan silahkan ambil ), dan leave
it (jika keberatan tinggalkan saja.
 Dalam masyarakat kapitalis, sudah lumrah
jika pengusaha besar mengendalikan
perekonomian masyarakat (negara)
dengan menjual produk atau jasa yang
dihasilkannya berdasarkan modelmodel
perjanjian yang mengandung syarat-syarat
yang menguntungkan pihaknnya. Syarat-
syarat perjanjian yang mereka buat dan
sodorkan kepada konsumen umumnya
kurang mencerminkan rasa keadalan
karena konsumen tidak berhak menawar
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
pengusaha. Menawar berarti menolak
syarat-syarat yang ditentukan.
 Perjanjian baku diterima oleh para pengusaha
umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak
hanya di negara-negara maju, melainkan juga di
negara-negara berkem-bang sebagai dasar prinsip
ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin,
dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya
seringan mungkin, dengan cara sepraktis
mungkin, memperoleh keuntungan sebesar
mungkin.
 Dalam hubungan hukum sesama pengusaha,
perjanjian baku hampir tidak menimbulkan
masalah apa-apa kare-na mereka berpegang
pada prinsip ekonomi yang sama dan menerapkan
sistem bersaing secara sehat dalam melayani
konsumen.
 Dalam hubungan hukum antar pengusaha
dan konsumen biasa (common consumers)
justru muncul permasalahan utama, yaitu,
kemampuan konsumen memenuhi syarat-
syarat yang telah diterapkan secara baku
dan sepihak oleh pengusaha. Dalam hal ini
konsumen harus menerima segala akibat
yang timbul dari perjanjian tersebut
walaupun akibat itu merugikan konsu-men
tanpa kesalahannya. Konsumen dihadap-
kan pada satu pilihan, yaitu, menerima
dengan berat hati.
 Perjanjian baku disebut juga perjanjian
standar. Dalam bahasa Inggris disebut
standard contract, standard agreement.
 Kata baku atau standar artinya tolok ukur
yang dipakai sebagai patokan.
 Dalam hubungan ini, perjanjian baku
artinya perjanjian yang menjadi tolok
ukur yang dipakai sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap kon-sumen yang
mengadakan hubungan hukum de-ngan
pengusaha.
 Yang dibakukan dalam perjanjian baku
ialah model, rumusan, dan ukuran.
 Ciri-ciri perjanjian baku mengikuti dan
menye-suaikan perkembangan tuntutan
masyarakat.
 Ciri tersebut mencerminkan prinsip
ekonomi dan kepastian hukum.
 Prinsip ekonomi dan kepastian hukum
dalam perjanjian baku dilihat dari
kepentingan pengu-saha bukan dari
kepentingan konsumen.
 Pembakuan syarat-syarat perjanjian,
kepenting-an ekonomi pengusaha lebih
terjamin karena konsumen hanya
menyetujui syarat-syarat yang disodorkan
oleh pengusaha.
 Perjanjian baku dibuat secara tertulis
berupa akta otentik atau di bawah
tangan.
 Perjanjian baku memuat syarat-syarat
baku menggunakan kata-kata atau
susunan kalimat yang teratur dan rapi.
 Huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan
isinya padat dan sulit dibaca dalam waktu
singkat, dan hal ini yang merugikan
konsumen.
 Contoh perjanjian baku adalah polis
asuransi, kredita dengan jaminan, tiket
pengangkutan dan lainnya.
 Format perjanjian baku meliputi model,
rumusan, dan ukuran. Format ini dibakukan,
artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan
ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah,
atau dibuat dengan cara lain karena sudah
dicetak.
 Model perjanjian dapat berupa blanko naskah
perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang
dilampiri dengan naskah syarat-syarat
perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang
memuat syarat-syarat baku.
 Rumusan syarat-syarat perjanjian dapat dibuat
secara singkat berupa pasal-pasal, klausula-
klausula tertentu.
 Syarat-syarat perjanjian yang merupakan
pernyataan ke-hendak ditentukan sendiri secara
sepihak oleh pengusa-ha atau organisasi
pengusaha.
 Syarat-syarat perjanjian dimonopoli oleh
pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih
menguntungkan pengu-saha daripada konsumen.
 Dalam perjanjian tergambar adanya klausula
eksenorasi berupa pembebasan tanggung jawab
pengusaha, tang-gung jawab tersebut menjadi
beban konsumen.
 Pembuktian oleh pihak pengusaha yang
membebaskan diri dari tanggung jawab sulit
diterima oleh konsumen karena
ketidaktahuannya.
 Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat
perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka
ditandatangani-lah perjanjian itu.
Penandatanganan tersebut menunjuk-kan bahwa
konsumen bersedia memikul beban tang-gung
jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah.
 Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat
yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar
syarat-syarat yang dibakukan itu.
 Menawar syarat-syarat baku berarti menolak
perjanjian, pilihan menerima atau menolak
inidalam bahasa Inggris diungkapkan dengan “
take it or leave it “.
 Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat
klausula standar mengenai penyelesaian
sengketa. Klausula ini biasanya apabila
terjadi sengketa diselesaikan melalui
musyawarah mufakat, penyelesaian
melalui perantara, yaitu, mediasi dan
arbitrasi, dan melalui pengadilan.
 Penyelesaian sengketa tersebut selalu ada
da-lam perjanjian standar, termasuk
adanya pilihan forum dan hukum yang
digunakan (choice of forum dan choice of
law ).
 Istilah perjanjian baku atau standar dalam istilah
bahasa Inggris terdapat istilah standardized
agreement, stan-dardized contract, pad
contract, standard contract, con-tract of
adhesion, standaardvoorwaarden (Belanda),
contrat D’adhesion (Perancis), Allgemeine
Geschaftben-dingungen (Jerman), perjanjian
standar, perjanjian baku, kontrak standar, atau
kontrak baku.

 Kontrak baku adalah kontrak berbentuk tertulis


yang te-lah digandakan berupa formulir-formulir,
yang isinya te-lah distandardisasi atau dibakukan
terlebih dahulu seca-ra sepihak oleh para pihak
yang menawarkan, serta di-tawarkan secara
massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan
kondisi yang dimiliki konsumen.
 Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa
perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir.
 Hondius menyatakan bahwa perjanjian standar
adalah konsep janji-janji tertulis yang disusun
tanpa membica-rakan isinya serta pada umumnya
dituangkan dalam perjanjian-perjanjian yang
tidak terbatas jumlahnya, na-mun sifatnya
tertentu.
 Drooglever Fortuijn menyatakan bahwa
perjanjian baku adalah perjanjian di mana
bagian isinya yangpenting di-tentukan dalam
susunan janji.
 Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa
perjanjian ba-ku adalah perjanjian yang hampir
seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan
oleh pemakainya dan pi-hak yang lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan.

 Johanes Gunawan menyatakan bahwa perjanjian


stan-dar adalah perjanjian yang bentuknya
tertulis berupa formulir-formulir, yang isinya
telah disstandardisasi terlebih dahulu secara
sepihak oleh produsen, serta bersifat massal
tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi
yang dimiliki konsumen.
Lenhoff menyatakan bahwa perjanjian standar adalah
perjanjian de-ngan ciri :

 transaksi dilakukan atas dasar formulir yang telah


distandardisasai;
 formulir-formulir digunakan untuk memenuhi permintaan
akan ba-rang atau jasa secara massal;
 formulir-formulir dirancang dan ditawarkan pada umum
atau se-jumlah orang yang tidak tertentu banyaknya, dan
tidak secara per-seorangan;
 formulir-formulir dirancang oleh perusahaan-perusahaan
dengan bidang usaha besar, yang bergerak dalam produksi,
distribusi, dan pemberian jasa secara massal;
 setiap offeree tidak memiliki posisi tawar (bargaining
position), ia hanya dapat melekatkan diri pada kontrak
atau menolak kontrak.
 Sluijter menyatakan bahwa perjanjian baku
bukan per-janjian, sebab kedudukan pengusaha
itu (yang berha-dapan dengan konsumen) adalah
seperti pembentuk undang-undang swasta (legio
particuliere wetgever).
 Pitlo menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai
perjan-jian paksa (dwangcontract).
 Stein menyatakan bahwa perjanjian baku dapat
diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi
adanya kemauan dan kepercayaan yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak
mengikatkan diri pada perjanjian itu.
 Asser-Rutten menyatakan bahwa setiap orang
yang menandatangani perjanjian bertanggung
jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya.
 Hondius menyatakan bahwa perjanjian baku
mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan
kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan
masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
 Subekti menyatakan bahwa asas konsensualisme
ter-dapat dalam Pasal 1320 juncto Pasal 1338
KUH Pe-data, pelanggaran terhadap ketentuan
ini akan meng-akibatkan perjanjian itu tidak sah
dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.
 Enggens menyatakan bahwa kebebasan kehendak
di dalam perjanjian adalah merupakan tuntutan
kesusilaan.
 Mariam Darus Badrulzaman membagi jenis-jenis
perjanjian standar terdiri :
 1. perjanjian baku sepihak, yaitu, perjanjian
yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya di dalam perjanjian itu;
 2. perjanjian baku timbal balik, yaitu, perjanjian
yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak,
misal perjanjian perburuhan;
 3. perjanjian baku yang ditetapkan oleh
pemerintah, yai-tu, perjanjian yang isinya
ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-
perbuatan hukum tertentu, misal akta jual beli
taqnah, akta hak tanggungan;
 4. perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan
notaris atau advokat.
 Istilah klausula baku beraneka ragam, ada yang
meng-gunakan klausul eksemsi, klausul
eksenorasi, onredelijk bezwarend (Belanda),
unreasonably (Inggris), exemption clause
(Inggris),exculpatory clause (Amerika).
 Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa
klausul eksonerasi adalah klausula yang berisi
pembatasan per-tanggungan jawab dari kreditur.
 Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa klausul
ek-semsi adalah klausul yang bertujuan untuk
membebas-kan atau membatasi tanggung jawab
salah satu pihak terhadap gugatan [ihak lainnya
dalam hal yang bersang-kutan tidak atau tidak
dengan semestinya melaksanakan kewajibannya
yang ditentuklan di dalam perjanjian terse-but.
 Kumar menyatakan exclusion clause adalah
clause of a contract which purports to protect
the proferens abso-lutely or in a limited manner
against liability, for breach of contract, or
damages, or exclude his liability if the action is
brought after the stipulated time.
 David Yates menyatakan exclusion clause adalah
any term in a contract restricting, excluding or
modifying a remedy or a liability arising out of a
breach of a contrac-tual obligation.
 Klausula eksenorasi adalah syarat yang secara
khusus membebaskan pengusaha dari tanggung
jawab terha-dap akibat yang merugikan, yang
timbul dari pelaksana-an perjanjian.
 Klausula eksenorasi dapat berasal dari rumusan
pengu-saha secara sepihak, dapat juga berasal
dari rumusan undang-undang.
 Klausula eksenorasi rumusan pengusaha
membebankan pembuktian pada konsumen
bahwa konsumen tidak bersalah dan inilah yang
menyulitkan konsumen.
 Klausula eksenorasi rumusan undang-undang
membe-bankan pembuktian pada pengusaha
bahwa ia tidak bersalah, sehingga bebas
tanggung jawab.
 Tujuan utama klausula eksenorasi ialah
mencegah pihak konsumen merugikan
kepentingan pengusaha.
 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 memberikan definisi klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiap-kan dan ditetapkan terlebih
dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalamsuatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi
oleh konsumen.
 Rijken mengatakan bahwa klausula eksenorasi
adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu
perjanjian de-ngan mana satu pihak
menghindarkan diri untuk meme-nuhi
kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya
atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji
atau perbuatan melanggar hukum.
 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
menya-takan bahwa pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk dipedagangkan dila-rang
membuat dan/atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila :
 1. menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
 2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak menyerahkan kembali barang yang
dibeli oleh konsu-men;
 3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
 4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak lang-sung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen se-cara angsuran;
 5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
keguna-an barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh kon-sumen;
 6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsu-men yang menjadi objek jual
beli jasa;
 7. menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku
 usaha dalam massa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
 8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
kepa-da pelaku usaha untuk membebankan hak
tanggungan, hak gadai, dan hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula
baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
mengungkapkannya sulit dimengerti.
 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan
pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentu-an 1 dan 2, dinyatakan batal
demi hukum.
 Dilihat dari isinya terdapat 3 jenis
klausula baku, yaitu :
 1. pengurangan atau penghapusan
tanggung jawab terhadap akibat-akibat
hukum, misalnya ganti rugi akibat
wanprestasi;
 2. pembatasan atau penghapusan
kewajiban-kewajiban sendiri;
 3. penciptaan kewajiban-kewajiban yang
kemu-dian dibebankan kepada salah satu
pihak, misalnya penciptaan kewajiban
memberi ganti rugi kepada pihak ketiga
yang terbukti mengalami kerugian.
Apabila klausula baku tersebut digugat oleh
kon-sumen di pengadilan, akan
menyebabkan Ha-kim harus membuat
putusan declaratoir bahwa klausula baku
tersebut batal demi hukum.
Pelaku usaha yang melanggar Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) ta-hun atau pidana denda
paling banyak
Rp. 2.000.000.000.,00 ( dua milyar
rupiah).
 Terdapat empat persoalan dalam pengaturan sanksi
pidana dalam klausula baku, yaitu :
 1. soal besarnya/lamanya sanksi, di mana pelaku
usaha yang melanggar Pasal 18, untuk ketentuan
pidana pokok diancam pidana kurungan maksimal
lima tahun atau pi-dana denda maksimal Rp 2 milyar
(Pasal 62). Sedang-kan untuk sanksi tambahan, masih
dimungkinkan dija-tuhkan hukuman tambahan berupa
(a) perampasan ba-rang tertentu, (b) pengumuman
keputusan hakim;
 (c ) pembayaran ganti rugi; (d) perintah penghentian
ke-giatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen; (e) kewajiban penarikan barang
dari peredar-an, atau (f) pencabutan ijin usaha.
 2. kepada siapa sanksi pidana dijatuhkan.
Menurut Pa-sal 61, penuntutan pidana dapat
dilakukan terhadap pe-laku usaha dan/atau
pengurusnya. Pelaku usaha di sini menurut
penjelasan Pasal 1 angka 3 termasuk di dalam-
nya korporasi, dengan demikian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 mengakui keberadaan
pertanggungjawab-an pidana korporasi. Dalam
Pasal 59 KUHP dinyatakan bahwa dalam hal-hal
di mana karena pelanggaran diten-tukan pidana
terhadap pengurus anggota-anggota ba-dan
pengurus atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau
komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
 3. pengaturan sanksi pidana dalam
klausula baku adalah salah satu bentuk
kriminalisasi, di ma-na perbuatan sebelum
adanya undang-undang perlindungan
konsumen bukan merupakan tin-dak
pidana, tetapi sekarang menjadi tindak
pi-dana
 4. dengan adanya sanksi pidana dalam
klausula baku, menempatkan perjanjian
yang memuat klausula baku, bukan lagi
seratus persen dalam lingkup hukum
privat, tetapi secara normatif su-dah
termasuk dalam lapangan hukum publik.
 Salah satu tugas dan kewenangan BPSK adalah
melakukan pengawasan terhadap pencantuman
klausula baku ( Pasal 52 ). BPSK juga berwenang
menjatuhkan sanksi administrasi terhadap pelaku
usaha yang melang-gar ketentuan undang-undang
perlindungan konsumen. Namun, anehnya
pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku,
tidak termasuk dalam kompetisi BPSK untuk
menjatuhkan sanksi administrasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 60. Dengan demikian,
pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku
tidak dapat dikenakan sanksi administrasi oleh
BPSK.
 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh
pelaku usaha pada dokumen/perjanjian yang
memenuhi keten-tuan Pasal 18 ayat (1) dan (2)
dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian,
adanya klausula baku tidak menutup
kemungkinan bagi konsumen untuk melakukan
tuntutan perdata kepada pelaku usaha, manakala
kebe-radaan klausula baku tersebut merugikan
kepentingan konsumen. Tuntutan perdata
konsumen dapat mencakup biaya/cost selama
menggunakan produk/jasa yang bersangkutan
dan risiko yang diderita konsumen akibat
menggunakan produk/jasa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai